Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk
Memenuhi Salah Satu Syarat Mencapai Gelar Sarjana Pendidikan
Islam (S.Pd.I)
Oleh:
BAHTIAR FAHMI UTOMO
NIM: 1110011000002
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
iv
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui Pemikiran Emha Ainun Nadjib Tentang Pendidikan Islam.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah wawancara, observasi dan dokumentasi. Teknik yang digunakan ialah wawancara tidak berstruktur (unstructured interview), pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan. Obserfasi yang peneliti gunakan ialah obserfasi partisipasi moderat (moderate participation), dalam observasi ini terdapat keseimbangan antara peneliti menjadi orang dalam dengan orang luar. Dokumentasi data-data yang diperlukan adalah buku-buku mengenai Emha Ainun Nadjib, karya-karya Emha Ainun Nadjib dan berkas-berkas lain yang berkaitan dengan pemikiran Emha Ainun Nadjib tentang pendidikan Islam.
Teknik analisis isi dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari lapangan diolah dan dianalisa sesuai dengan jenis data yang terkumpul, yaitu dengan menggunakan metode deskriptif analisis, yaitu suatu teknik analisis data dimana peneliti terlebih dahulu memaparkan semua data yang diperoleh dari hasil wawancara dan pengamatan kemudian menganalisanya dengan berpedoman kepada sumber-sumber yang tertulis.
v
semesta alam yang telah memberikan nikmat iman, nikmat Islam, nikmat kesehatan, nikmat rezeki dan nikmat kesempatan. Sehingga peneliti dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul Sumbangan Pemikiran Emha Ainun Nadjib Terhadap Pendidikan Islam. Shalawat teriring salam peneliti aturkan kepada suri tauladan kita baginda Rasulullah Muhammad SAW, semoga di akhirat kelak mendapatkan syafaatnya, amin.
Pada kesempatan ini juga peneliti ingin mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang berperan penting dalam penyelesaian studi peneliti di Jurusan Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Mereka antara lain adalah sebagai berikut:
1. Dra. Nurlena Rifa’I, M. A, Ph. D, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan
Keguruan (FITK), UIN Jakarta, atas asuhan dan kepemimpinannya selama peneliti menempuh studi di FITK hingga selesai.
2. Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag; dan Marhamah Saleh, Lc, M. A, selaku Ketua dan Sekretaris Jurusan Pendidikan Agama Islam, FITK, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, atas bimbingan dan kepemimpinannya selama peneliti menempuh perkuliahan di Jurusan Pendidikan Agama Islam.
3. Ahmad Irfan Mufid, M. A, selaku Dosen Penasihat Akademik yang telah memberikan bimbingannya selama peneliti menempuh perkuliahan di Jurusan Pendidikan Agama Islam.
4. Dr. K. H. Akhmad Sodiq, M. Ag, selaku Dosen Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktunya dalam membimbing dan memberikan ilmunya kepada peneliti dalam penulisan skripsi dan kehidupan sehari-hari.
vi
menjadi guru hingga lulus ujian PPKT; Iwan Permana Suwarna, M. Pd, selaku Dosen Praktikum Komputer yang telah membimbing dan memberikan ilmunya dalam kegiatan praktik komputer, dan para Dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam, FITK, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang memberikan ilmunya.
7. Orang Tua peneliti, Ibu Tercinta dan Ayah Tercinta yang senantiasa mendo’akan, membimbing, merawat, mendidik, serta memberikan materi dan moril, sehingga peneliti dapat menyelesaikan serangkaian pendidikan dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi sarjana strata satu. Semoga Allah SWT senantiasa memberikan kesehatan, umur yang barokah, hidayah dan taufik-Nya serta diberikan istiqomah dalam menjalankan amal ibadah kepada Allah SWT. Ibu, Ayah, Ku persembahkan skripsi ini untuk panjenengan.
8. Kepada mba’ku, Amelia Rosyidah yang senantiasa memberikan dukungan materi
dan moril, semoga diberikan Allah rizeki yang halalan toyyiban mubarokah. 9. Kepada teman sekampung, Ainur Rifak, yang senantiasa mendukung dan
mendo’akan dalam pembuatan skripsi ini. Semoga selalu diberikan Allah yang terbaik dan diridhoi menjadi hamba Allah yang ahli syukur.
10. Jama’ah Mihrobul Muhibbin, yang senantiasa memberikan do’anya kepada
peneliti dan mendukung penuh dalam rangka tholabul ilmi di Jakarta. Semoga selalu diberikan istiqomah dalam menapaki jalan para Wali-Wali Allah SWT. 11.Kepada keluarga Imadu, yang senantiasa mendo’akan peneliti di dalam bacaaan
-bacaan Istighosahnya, semoga semua keluarga Imadu diberikan istiqomah dalam ibadahnya.
vii
hati dan selalu membimbing dalam proses pembuatan skripsi. Semoga Allah memberikan umur yang barokah, ilmu yang bermanfaat, istiqomah dalam ibadah serta rizeki yang barokah.
Semoga Allah SWT, menjadikan setiap bantuan materi dan moril yang mereka berikan kepada peneliti dijadikan amal ibadah, dan diberikan balasan yang berlipat-lipat dari Allah SWT. Terakhir, semoga ridho dan rahmat Allah SWT, selalu menyertai kita. Amin.
Ciputat, 17 November 2014 Peneliti,
viii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN MUNAQOSAH ... iii
ABSTRAK ... iv
KATA PENGANTAR ... v
DAFTAR ISI ... viii
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Identifikasi Masalah ... 5
C. Pembatasan Masalah ... 6
D. Perumusan Masalah... 6
E. Tujuan Penelitian... 6
F. Kegunaan Penelitian ... 6
BAB II KAJIAN TEORI A. Pengertian Kontribusi ... 8
B. Konsep Pemikiran ... 8
C. Pendidikan Islam ... 10
1. Al-Tarbiyah ... 10
2. Al-Ta’lim ... 12
3. Al-Ta’dib ... 13
D. Landasan Pendidikan Islam ... 14
1. Al-Qur’an ... 15
2. Sunnah ... 19
3. Ijtihad ... 21
E. Prinsip-Prinsip Pendidikan Islam ... 22
1. Prinsip Tauhid ... 23
2. Prinsip Integrasi... 24
ix
F. Metode Pendidikan Islam ... 27
G. Tujuan Pendidikan Islam ... 31
H. Kurikulum Pendidikan ... 37
BAB III METODE PENELITIAN A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 40
B. Metode Penelitian ... 40
C. Teknik Pengumpulan Data ... 41
1. Wawancara ... 41
2. Observasi ... 41
3. Dokumentasi... 41
D. Teknik Analisis Data ... 42
BAB IV BIOGRAFI DAN PEMIKIRAN EMHA AINUN NADJIB TENTANG PENDIDIKAN ISLAM A. Biografi Emha Ainun Nadjib ... 44
B. Pendapat Para Ahli Tentang Emha Ainun Nadjib ... 50
C. Pemikiran Emha Ainun Nadjib Tentang Pendidikan Islam ... 51
BAB V PENUTUP A. Kesimpulan... 64
B. Saran ... 65
DAFTAR PUSTAKA ... 67
1
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan faktor yang sangat penting bagi kehidupan manusia, dengan pendidikan manusia bisa menduduki tempat yang paling tinggi di dunia maupun di akhirat dan sebaliknya tanpa pendidikan manusia akan menduduki tempat yang rendah, karena itu pendidikan mempunyai peran penting dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia agar dapat menjadi manusia yang utuh, baik secara jasmani maupun rohani.
Menurut M. Arifin, “manusia dididik bukan hanya secara jasmani (lahiriah) saja melainkan juga secara rohani (bathiniah).”1 tetapi yang terjadi saat ini hal-hal yang bersifat bathiniah masih sering diabaikan di dalam dunia pendidikan. Contohnya di dalam mengerjakan ibadah shalat yang lebih ditekankan masih dalam tataran pengetahuan tentang syarat, rukun, dan hal-hal yang membatalkannya. Sementara aspek rohani shalat yaitu makna shalat untuk membentuk pribadi muslim yang baik masih kurang diperhatikan.
Untuk menjadikan manusia yang utuh baik secara jasmani dan rohani maka yang diperlukan adalah pendidikan Islam, karena pendidikan Islam merupakan suatu proses yang mengarahkan manusia baik secara jasmani maupun rohani yang sesuai dengan nilai-nilai ajaran agama Islam. Maka pendidikan Islam dapat digambarkan sebagai suatu sistem yang membawa manusia kearah kebahagiaan dunia dan akhirat.
Mengingat pentingnya pendidikan Islam bagi terciptanya kondisi lingkungan dan pendidikan yang harmonis, diperlukan upaya serius untuk menanamkan nilai-nilai tersebut secara intensif. Karena pada hakikatnya pendidikan Islam adalah suatu proses yang berlangsung secara kontiniu dan berkesinambungan. Berdasarkan hal ini, maka tugas dan fungsi yang
perlu diemban oleh pendidikan Islam adalah pendidikan manusia seutuhnya dan berlangsung sepanjang hayat. Menurut Samsul Nizar, “konsep ini bermakna bahwa tugas dan fungsi pendidikan mempunyai sasaran pada peserta didik yang senantiasa tumbuh dan berkembang secara dinamis, mulai dari kandungan sampai akhir hayatnya.”2
Masalah yang timbul akibat pendidikan Islam yang kurang baik ialah penurunan moral pada masa moderen ini, di antaranya permusuhan yang terjadi antar agama, antar ormas-ormas Islam, hamil diluar nikah, tidak adanya sekat muda-mudi dalam pergaulan (pergaulan bebas), dan lain sebagainya. Emha Ainun Nadjib atau yang akrab disapa Cak Nun selaku orang yang sangat paham akan keadaan ini selalu mengajak masyarakat agar mencintai kerukunan, mencintai kedamaian, menghindari perselisihan, mengajak agar di jalan yang lurus, mengkaji berbagai masalah yang akhirnya menemukan solusi dan mencari persamaan agar hidup menjadi tenang dan harmonis. Menurut Cak Nun, “kesalahan pendidikan saat ini disebabkan karena budaya pendidikan kita meninggalkan moral dan pengetahuan. Bahwa yang paling prinsip pada manusia itu ialah moralnya dan akhlaknya, bukan pandai-tidaknya. Di universitas, sekolah-sekolah lanjutan pada saat ini tidak peduli dengan semua itu.”3
Semaraknya tokoh idola masyarakat saat ini juga berpengaruh pada kemajuan perkembangan akhlakul karimah seseorang. Ketika dia mengidolakan sesuatu maka ia menjadi sesuatu tersebut, terdapat dalam sebuah hadits Rasulullah SAW yang berbunyi “Barang siapa yang menyukai suatu hal maka ia merupakan bagian dari sesuatu itu”. Maka dalam hal ini haruslah tepat memilih tokoh idola. Misalnya Rasulullah SAW yang teladannya patut diikuti oleh semua lapisan masyarakat. Begitu pula tokoh Indonesia yang saat ini melakukan dakwah Islam dan penyebaran pendidikan Islam melalui beberapa hal. Emha Ainun Nadjib
2 Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, 2005), h. 32.
merupakah salah satu tokoh yang perlu kita teladani di dalam menjalani hidup ini.
Beliau merupakan tokoh Islam yang sangat berpengaruh karena kedalaman ilmu, kesufiannya, dan juga akhlaknya. Bukti dari kesufiannya tertulis dalam puisinya Aku Mabuk Allah, sebagai berikut:
Aku Mabuk Allah
aku mabuk Allah semata-mata Allah segala-galanya Allah tak bisa lain lagi aku mabuk Allah
lainnya tak berhak dimabuki lainnya palsu, lainnya tiada nyamuk tak nyamuk
kalau tak mengabarkan Allah langit tak langit
kalau tak menandakan Allah debu tak debu
badai tak badai
kalau tak membuktikan Allah kembang yang mekar
api tak membakar kalau tak Allah
mabuklah aku mabuk Allah tak bisa lihat tak bisa dengar cuma Allah cuma Allah kalau matahari memancar siapa sebenarnya yang menyinar kalau malam legam
siapa hadir di kegelapan kalau punggung ditikam siapa merasa kesakitan mabuklah aku mabuk Allah kalau jantung berdegup siapa yang hidup kalau menetes puisi siapa yang abadi Allah semata Allah semata
lainnya dusta (1986)
melalui kesenian, menulis buku-buku, menulis puisi, sastra dan lain sebagainya. Maka tidak heran kalau beliau banyak julukannya, bisa dijuluki budayawan, guru, kyai, tokoh masyarakat, maupun tokoh kesenian, dll.
Emha Ainun Nadjib sudah banyak memberikan kontribusi moral, baik dari segi berpikir, berbuat dan memberi nasehat antar sesama masyarakat khususnya Islam dan umumnya masyarakat non Islam. Dalam keseniannya disisipkan nasehat yang mendalam untuk masyarakat Islam maupun non Islam, dan kalau ditelusuri lebih mendalam lagi keseniannya mengandung sisi tasawuf yang sangat kental.
Selain tokoh budayawan, beliau juga memiliki jiwa tasawuf yang kental, hal ini terlihat dari beberapa kegiatan beliau dalam menyebarkan pendidikan Islam melalui acara-acara rutin yang beliau asuh, “diantaranya Padhang Mbulan di Jombang Jawa Timur, Obor Ilahi di Malang, Bang-Bang Wetan di Surabaya, Mocopat Syafaat di Yogyakarta, Gambang Syafaat di Semarang, Kenduri Cinta di Jakarta.”4 Menurut Zainal Ali, “dalam forum inilah terjadi dekonstruksi pemahaman atas nilai-nilai, pola-pola komunikasi, metode hubungan kultural, pendidikan cara berpikir, serta pengupayaan solusi-solusi masalah masyarakat.”5 Permasalahan yang diangkat mulai dari masalah hukum, sosial, moral, tauhid, politik dan lain sebagainya.
Sebagai umat Rasulullah SAW kita dianjurkan untuk mencintainya, karena dengan mencintai Rasulullah SAW manusia akan memiliki sebuah gairah untuk melaksankan perintah-perintah Allah SWT. Dengan mencintai Rasulullah SAW, kita juga dapat diantar Rasulullah SAW untuk berjumpa dengan Allah SWT dan alasan yang paling utama kita harus cinta kepada Rasulullah SAW ialah ketika menjelang wafat kalimat yang diucapkan ialah ummati ummati ummati, itu menandakan bahwa Rasulullah SAW sangat mencintai ummatnya (kaum muslim/Islam).
4 Emha Ainun Nadjib, Jejak Tinju Pak Kiai, (Jakarta: Kompas, 2008), h. 239.
Secara logika, jika Rasulullah SAW selaku hamba yang paling dicintai Allah SWT mencintai ummatnya, sudah pasti kita juga harus mencintainya. Kalau kita tidak mencintai Rasulullah SAW kita termasuk manusia yang rugi. Begitulah Cak Nun mengajari kita supaya terus mencintai Rasulullah dimanapun berada. Rasa cinta inilah yang mulai memudar di hati kaum muslim, khususnya orang Indonesia. Maka dari itu, menurut Prayogi, “Cak Nun mengajak jama’ahnya agar selalu bershalawat kepada Rasulullah SAW supaya timbul benih-benih cinta kepada Rasulullah SAW di dalam hati dan membangun dialektika dunia, akhirat, langit dan bumi.”6
Menurut Prayogi, “shalawat merupakan bentuk jamak dari kata shalat yang berarti doa atau seruan kepada Allah SWT. Shalawat bukan ibadah mahdhoh dan tidak menjadi bagian dari kewajiban manusia kepada Allah SWT. Shalawat “hanya” semacam cara untuk mengungkapkan cinta yang dalam kepada Rasulullah Muhammad SAW.”7
Dengan demikian pemikiran pendidikan Islam Emha Ainun Nadjib yang tertuang, tersebar dalam pengajian umum, nasehat, pesan dan tulisan-tulisannya adalah sebuah sisi menarik yang harus mampu dikemukakan dalam skripsi ini. Oleh sebab itu saya sangat termotivasi dan merasa tertantang melakukan sebuah penelitian tentang “ Pemikiran Emha Ainun Nadjib Tentang Pendidikan Islam”.
B. Identifikasi Masalah
1. Pendidikan yang bersifat bathiniah masih sering diabaikan di dalam dunia pendidikan Islam, karena masih sibuk dengan persoalan lahiriah. 2. Masyarakat yang memiliki moral atau akhlakul karimah sangat
menurun, karena kurangnya ilmu agama dan kurangnya mempraktikkan ilmu itu.
6 Prayogi R. Saputra, Spiritual Journey Pemikiran & Permenungan EMHA Ainun Nadjib
3. Pengaruh kualitas tokoh dalam perkembangan atau kemajuan suatu masyarakat.
4. Banyaknya tayangan di televisi mampu mengalihkan persepsi masyarakat untuk mengidolakan sosok artis atau aktor yang penuh dengan keglamoran.
5. Sudah jarang sekali masyarakat yang menjunjung tinggi aturan-aturan Islam, karena mereka lebih mementingkan persoalan lahiriah katimbang bathiniah.
C. Pembatasan Masalah
Penelitian ini akan dibatasi dengan meneliti tentang pemikiran Emha Ainun Nadjib tentang pendidikan Islam.
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana pemikiran Emha Ainun Nadjib tentang pendidikan Islam?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pemikiran Emha Ainun Nadjib tentang pendidikan Islam.
F. Kegunaan Penelitian
Kegunaan diadakannya penelitian ini ialah agar masyarakat umum, jama’ah kenduri cinta dan mahasiswa/i memperoleh ilmu dari penelitian ini, antara lain:
1. Masyarakat Umum
a) Masyarakat umum dapat mengenal Islam lebih baik. b) Masyarakat umum juga mendapatkan ketenangan batin.
a) Jama’ah Kenduri Cinta memperoleh ilmu mengenai pendidikan Islam.
b) Jama’ah Kenduri Cinta lebih mengetahui proses pendidikan Islam yang terjadi di Indonesia.
c) Jama’ah Kenduri Cinta tidak lagi taklid mengenai pendidikan Islam.
3. Mahasiswa/i
a) Mahasiswa/i mengerti akan pentingnya pendidikan Islam.
b) Mahasiswa/i mendapatkan wawasan tentang realita pendidikan Islam di Indonesia.
c) Mahasiswa/i terjalin hubungan yang harmonis tanpa adanya pertengkaran.
d) Mahasiswa/i menjunjung tinggi nilai-nilai agama.
8
BAB II
KAJIAN TEORI
A. Konsep Pemikiran
Konsep adalah pemilihan dari sekumpul kegiatan dan pemutusan selanjutnya terhadap apa yang harus dilakukan, kapan dan oleh siapa. Konsep yang baik dapat dicapai dengan mempertimbangkan kondisi masa yang akan datang. Dalam konsep yang hasil keputusannya akan dilaksanakan. Kebutuhan akan adanya konsep pada kenyataan meningkat, dimana tingkatan tersebut memiliki dampak potensial terhadap pelaksanaannya suatu kegiatan ataupun acara. Konsep pemikiran dapat dipahami sebagai yang dimaksud
dengan kalimat “apa yang ada didalam diri mereka”.1
Pemikiran merupakan hasil dari metode berpikir. Oleh karena itu pemikiran menyangkut suatu wujud batin (ada dalam diri manusia) yang sangat eksistensial seperti kejayaan, keruntuhan atau yang akan terjadi di masa depan.
Pemikiran mempengaruhi kehidupan, itu merupakan dalil yang diterima secara umum, jika tidak tentu hancurlah semua pertikaian ideology, termasuk pertikaian agama. Manusia bertikai semuanya dan terlibat dalam peperangan, antara lain karena pandangan mereka tentang ideology atau agama mereka begitu penting. Sehingga harus diterima orang lain dengan keyakinan bahwa hal itu akan membawa perubahan menuju kehidupan yang lebih baik, dan jika pertikaian itu dapat berlangsung dalam kerangka pandangan kemutlakan
seperti yang tercermin dalam “mati syahid dalam membela agama”. Maka gambaran tentang betapa pentingnya “apa yang ada dalam diri mereka”.
Termasuk pemikiran menjadi sangat jelas dan tegas. Manusia lahir dengan kemampuan yang sama untuk meraih pengetahuan. Hanya dengan pemupukan kemampuan inilah manusia berbeda-beda, ada yang
menggunakannya untuk spekulasi-spekulasi dan belajar, dan ada pula yang mengarahkannya hanya untuk meraih suatu kehidupan yang praktis.2
Problem utama dalam pemikiran Islam di dunia modern saat ini, adalah kesulitan dalam merespon tuntutan realitas zaman ketika berhadapan dengan dunia modernitas. Dalam hal ini pemikiran Islam haruslah berwatak ganda, satu sisi pemikiran Islam sebagai perwujudan hukum Tuhan, pemikiran Islam harus bersifat akomodatif terhadap tuntutan perkembangan. Watak yang pertama menuntutnya untuk menjadikan tata dalam kehidupan masyarakat, sedangkan watak yang kedua menuntutnya untuk dapat mempengaruhi masyarakat untuk tidak ketinggalan zaman. Apabila kedua watak ganda ini tidak dijalankan secara tepat dalam pemikiran Islam ini, maka akan jatuh pada dua kondisi. Pertama, akan menjadi hukum pemikiran yang dianggap kuno, kaku, dan akan ditinggalkan masyarakatnya. Ini terjadi apabila pemikiran Islam terlalu memegang sifat kekokohannya dan juga anti dalam segala perubahan. Kedua, akan kehilangan jati dirinya sebagai hukum Tuhan, ini terjadi apabila pemikiran Islam yang berkaitan dengan hukum Tuhan yang dilakukan masyarakat terlalu bersemangat dalam menerima segala perubahan disegala bidang.3
Al-Qur’an adalah sumber pemikiran, al-Qur’an merupakan sumber inspirasi yang tak habis-habisnya dalam pertumbuhan ilmu-ilmu akal. Corak penafsiran al-Qur’an telah mempengaruhi berbagai corak penafsiran al
-Qur’an. Untuk memahami serta mengetahui al-Qur’an secara benar, ulama dan para pemikir berhasil dalam membangun dan mengembangkan sebuah ilmu khusus yang disebut “Ulum al-Qur’an”.
B. Pendidikan Islam
Istilah pendidikan dalam konteks Islam pada umumnya mengacu kepada term al-tarbiyah, al-ta’dib, dan al-ta’lim. Dari ketiga istilah tersebut term yang populer digunakam dalam praktek pendidikan Islam ialah term
2 Mulyadi Kartanegara, Pemikiran Islam Kontemporer, (Yogyakarta: Jendela, 2003), h. 7-8. 3 Taufiq Abdullah, et al., Ensiklopedi Tematis Dunia Islam, Pemikiran dan Peradaban,
tarbiyah. Sedangkan term al-ta’dib dan al-ta’lim jarang sekali digunakan. Padahal kedua istilah tersebut telah digunakan sejak awal pertumbuhan pendidikan Islam.4
Kendatipun demikian, dalam hal-hal tertentu, ketiga term tersebut memiliki kesamaan makna. Namun secara esensial, setiap term memiliki perbedaan, baik secara tekstual maupun kontekstual. Untuk itu, perlu dikemukakan uraian dan analisis terhadap ketiga term pendidikan Islam tersebut dengan beberapa argumentasi tersendiri dari beberapa pendapat para ahli pendidikan Islam.
1. Al-Tarbiyah
Konsep “tarbiyah” merupakan salah satu konsep pendidikan Islam
yang penting. Perkataan “tarbiyah” berasal dari bahasa Arab yang dipetik
dari fi’il (kata kerja) seperti berikut :
1) Rabba- yarbu, yang berarti tumbuh bertambah, berkembang
2) Rabbi- yarba, yang berarti menjadi lebih besar, menjadi lebih dewasa 3) Rabba- yarubbu, yang berarti memperbaiki, mengatur, mengurus dan mendidik, menguasai dan memimpin, menjaga dan memilihara.5
Melalui pengertian tersebut, konsep tarbiyah merupakan proses mendidik manusia dengan tujuan untuk memperbaiki kehidupan manusia ke arah yang lebih sempurna. Ia bukan saja dilihat proses mendidik saja tetapi merangkumi proses mengurus dan mengatur supaya perjalanan kehidupan berjalan dengan lancar. Penggunaan kata tarbiyah, secara bahasa juga banyak digunakan oleh masyarakat Arab untuk makhluk hidup selain manusia (hewan dan tumbuhan) yang membawa maksud memelihara, dan menernak.
Al Jauhari mengatakan bahwa tarbiyah dan beberapa bentuk lainnya secara makna memiliki arti memberi makan, memelihara; yakni dari akar kata ghadza atau ghadzaw yang mengacu kepada segala sesuatu yang
4 Ahmad Syalabi, Tarikh al-Tarbiyat al-Islamiyat, (Kairo: al-Kasyaf, 1954), h. 213.
tumbuh seperti anak-anak, tanaman dan sebagainya. Tentu saja dari makna tersebut dan didasarkan pada penjelasan lainnya memberikan pengertian bahwa istilah tersebut mencakup pada segala hal yang bisa ditumbuhkan, dipelihara dan dikembangkan tidak hanya terbatas pada manusia, padahal seperti yang telah ditunjukkan al-Attas bahwa pendidikan dalam arti Islam adalah sesuatu yang khusus untuk manusia. Menurut Muhammad Jamaludin al-Qisimi bahwa al-tarbiyah adalah proses penyampaian sesuatu batas kesempurnaan yang dilakukan secara tahap demi tahap. Menurut Al-Asfahani, al-tarbiyah adalah proses menumbuhkan sesuatu tarhadap yang dilakukan sedikit sesuai batas kesempurnaan.
Berdasarkan pengertian diatas, kata tarbiyah diperuntukan khusus bagi manusia yang mempunyai potensi rohani, sedangkan pengertian tarbiyah yang dikaitkan dengan alam raya mempunyai arti pemeliharaan dan memenuhi segala yang dibutuhkan serta menjaga sebab-sebab eksistensinya. Pada tarbiyah, titik tekannya adalah difokuskan pada bimbingan anak supaya berdaya (punya potensi) dan tumbuh kelengkapan dasarnya serta dapat berkembang secara sempurna. Yaitu pengembangan ilmu dalam diri manusia dan pemupukan akhlak yakni pengamalan ilmu yang benar dalam mendidik pribadi
2. Al-Ta’lim
Secara bahasa, ta’lim merupakan bentuk masdar dari kata ‘allama
yu’allimu-ta’liman, yang berarti pengajaran. Sedangkan menurut istilah
kata ta’lim adalah merujuk kepada pengajaran yang bersifat pemberian atau penyampaian pengertian, pengetahuan dan keterampilan. Istilah
al-ta’lim menurut para ahli, kata ini lebih bersifat universal di banding
dengan al-tarbiyah maupun al-ta’dib, misalnya mengartikan al-ta’lim sebagai proses transmisi berbagai ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa adanya batasan dan ketentuan tertentu.6
Abdul Fattah Jalal, mendifinisikan ta’lim sebagai proses pemberian pengetahuan, pemahaman, pengertian, tanggung jawab, penanaman amanah, sehingga diri manusia itu menjadi suci atau bersih dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia itu berada dalam suatu kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmah serta mempelajari segala apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya.7 Jadi, menurut definisi Abdul Fattah Jalal, ta’lim mencakup aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidupnya serta pedoman perilaku yang baik. Selain itu menurut definisi ini juga, ta’lim merupakan suatu proses yang terus menerus diusahakan manusia semenjak dilahirkan. Sebab manusia dilahirkan tidak mengetahui sesuatu apapun.
Dalam ta’lim, titik tekannya adalah pada penyampaian ilmu pengetahuan yang benar, pemahaman, pengertian, tanggungjawab dan
penanaman amanah kepada anak. Oleh karena itu ta’lim disini mencakup
aspek-aspek pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan seseorang dalam hidupnya dan pedoman perilaku yang baik
3. Al-Ta’dib
Secara bahasa, ta’dib merupakan bentuk masdar dari kata addaba-yuaddibu-ta’diban yang berarti mengajrakan sopan santun. Sedangkan
menurut istilah ta’dib dapat diartikan sebagai proses mendidik yang
memfokuskan kepada pembinaan dan penyempurnaan akhlak atau budi pekerti pelajar. Menurut Sayed Muhammad An-Naquib Al-Attas, kata
ta’dib adalah penegenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur
ditanamkan kepada menusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu dalam tatanan penciptaan sedemikian rupa. Sehingga membimbing kearah pengenalan dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Tuhan dalam tatanan wujud dan keberadaannya. Dalam definisi ini, ta’dib mencakup unsur-unsur pengetahuan (ilmu), pengajaran (al-ta’lim) dan pengasuhan anak yang baik ( al-tarbiyah). Oleh sebab itu, menurut Sayed Muhammad
An-Naquib Al-Attas, tidak perlu mengacu pada konsep pendidikan dalam Islam sebagai tarbiyah, ta’lim, dan ta’dib sekaligus. Karena ta’dib adalah istilah yang paling tepat dan cermat untuk menunjukkan dalam arti Islam. Titik tekannya ta’dib adalah pada penguasaan ilmu yang benar dalam diri seseorang agar menghasilkan kemantapan amal dan tingkah laku yang baik. Dengan demikian pendidikan dengan seluruh totalitasnya dalam konteks Islam inheren dalam konotasi tarbiyah, ta’lim dan ta’dib yang harus diketahui secara bersama-sama. Ketiga istilah itu mengandung makna yang amat dalam menyangkut manusia dan masyarakat serta lingkungan yang dalam hubungan dengan Tuhan saling berkaitan satu sama lain. Istilah-istilah itu pula sekaligus menjelaskan ruang lingkup pendidikan Islam; formal, informal dan nonformal.
Dengan pemaparan ketiga konsep di atas, maka terlihatlah bahwa konsep Ta’lim, Tarbiyah dan Ta’dib dapat digunakan secara bersama-sama untuk pendidikan Islam. Dan dari ketiga istilah itu, istilah yang populer dipakai orang adalah tarbiyah, karena menurut Athiyah Al-Abrasyi kata at-tarbiyah (ةيبرتلا) adalah term yang mencakup keseluruhan kegiatan pendidikan, yakni upaya yang mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna etika, sistimatis dalam berpikir, memiliki ketajaman intuisi, giat dalam berkreasi, memiliki toleransi pada yang lain, berkompetensi dalam mengungkap bahasa lisan dan tulisan, serta memiliki beberapa keterampilan Sedangkan istilah yang lain merupakan bagian kegiatan tarbiyah. Dengan demikian maka istilah pendidikan Islam disebut Tarbiyah Islamiyah.
C. Landasan Pendidikan Islam
dengan jihad bagi orang-orang yang berilmu dan yang mencari ilmu.8 Dalam konteks ini Allah SWT. Berfirman:
...
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.(QS. Al-Mujadilah: 11)
Bahkan, dalam konsepsi Islam mencari ilmu (belajar) adalah keharusan bagi setiap Muslim tanpa terkecuali. Hal ini tidak lepas dari tujuan Allah SWT. Menciptakan manusia, yaitu pendidikan penyerahan diri secara ikhlas kepada Sang Khalik yang mengarah pada tercapainya kebahagiaan hidup di dunia maupun di akhirat. Seperti dalam firman-Nya:
Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.(QS. Al-Dzariyat: 56)
Atas dasar itu, pandangan hidup yang mendasari seluruh kegiatan pendidikan dalam Islam haruslah sejalan dengan pandangan hidup Muslim, yaitu al-Qur’an yang merupakan nilai-nilai luhur yang bersifat universal dan sunnah sebagai penjabaran al-Qur’an. Dalam hal ini, Ahmad D. Marimba mengatakan bahwa yang menjadi landasan atau dasar pendidikan diibaratkan sebagai sebuah bangunan sehingga isi al-Qur’an dan hadis menjadi fondasinya. Sebab, keduannya menjadi sumber kekuatan dan keteguhan tetap berdirinya pendidikan. Sejalan dengan yang dikemukakan Ahmad D. Marimba, Abdurrahman an Nahlawi menegaskan bahwa keberadaan sumber dan landasan pendidikan Islam haruslah sama dengan sumber Islam, yaitu
al-Qur’an, Sunnah,9
dan juga pendapat para sahabat dan ulama’ (ijtihad).
8 Haryanto Al-Fandi, Desain Pembelajaran Yang Demokratis & Humanis, (Jakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), Cet. I, h. 130.
1. Al-Qur’an
Secara etimologis, al-Qur’an berarti bacaan dan secara terminologis al-Qur’an adalah firman-firman Allah SWT yang telah diwahyukan kepada nabi Muhammad SAW, dengan perantara malaikat Jibril a.s. dalam konsepsi Islam, al-Qur’an merupakan sumber ajaran (hukum) yang pertama dan yang paling utama. Kedudukan al-Qur’an sebagai sumber ajaran dalam Islam diantaranya dapat dilihat dari kandungan firman Allah dalam QS. Ali Imran: 138, yang berbunyi:
(Al Quran) ini adalah penerangan bagi seluruh manusia, dan petunjuk serta pelajaran bagi orang-orang yang bertakwa.(QS. Ali Imran: 138)
Al-Qur’an adalah kitab suci umat Islam yang diturunkan Allah SWT kepada Nabi Muhammad saw untuk seluruh umat manusia. Al-Qur’an merupakan firman Allah yang selanjutnya dijadikan pedoman hidup (way of life) kaum Muslim. Didalamnya memuat panduan-panduan hidup terlengkap yang dijelaskan secara ilmiah. Lahirnya ilmu pengetahuan dalam Islam diyakini tidak terlepas dari kandungan yang ada dalam pengetahuan ilmiah dalam Islam bersumber dari struktur keilmuan yang terdapat dalam al-Qur’an.
Al-Qur’an adalah kitab petunjuk (huda) yang bila dipelajari akan membantu menemukan nilai-nilai yang dapat dijadikan pedoman berbagai problem hidup. Apabila dihayati dan diamalkan akan menjadikan pikiran, rasa, dan ketentraman hidup pribadi dan masyarakat.10 Sebagai kitab petunjuk yang berkaitan dengan segala aspek kehidupan manusia termasuk aspek pendidikan, tidak sulit untuk menemukan prinsip dasar pendidikan dalam ajarannya. Sebab, sejatinya al-Qur’an merupakan asas dari teori pendidikan. Semua ayat yang ada
didalamnya merupakan ayat-ayat pedidikan, tidak hanya terbatas pada ayat-ayat yang diasumsikan sebagai ayat pendidiakn saja. Dengan demikian jelaslah bahwa al-Qur’an merupakan fondasi atau dasar pendidikan Islam karena di dalamnya memuat sejumlah penjelasan yang mempunyai nilai penting dalam pengembangan pendidikan Islam.
Dalam konteks ini, Delier Noer mengatakan bahwa al-Qur’an dan Hadis bukan saja sebagai sumber pemikiran agama, melainkan juga pemikiran tentang pendidikan, sosial, politik, ekonomi, dan sebagainya.11 Al-Qur’an merupakan sumber pendidikan yang terlengkap, baik itu pendidikan kemasyarakatan (sosial), moral (akhlak), spiritual (keruhanian), material (kejasmanian), dan alam semesta. Ia merupakan pedoman normatif-teoritis bagi pelaksanaan pendidikan Islam. Zakiah Daradjat menegaskan bahwa di dalam al-Qur’an terdapat ajaran yang berisikan prinsip-prinsip yang berkenaan dengan kegiatan atau usaha pendidikan.12
Di antara prinsip yang berkenaan dengan kegiatan pendidikan dalam al-Qur’an dapat dilihat bagaimana Luqman al-Hakim dalam memberikan pendidikan yang mendasar kepada putranya. Kemudian, memberikan contoh dan menunjukkan perbuatannya lewat pengamalan dan sikap mental yang dilakukannya sehari-hari dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.13 Di antara wasiat pendidikan monumental yang dicontohkan Luqman al-Hakim lewat materi bil lisan dan dilakukannya lewat bil amal terlebih dahulu adalah sebagai berikut:
a. Jangan sekali-kali menyekutukan Allah SWT b. Berbuat baiklah kepada orangtua
c. Jangan menikuti seruan syirik, ingatlah bahwa manusia itu pasti mati d. Hendaklah kita tetap merasa diawasi oleh Allah SWT
e. Hendaklah selalu mendirikan sholat
11 Delier Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, Cakrawala Pemikiran
Pendidikan Islam, (Bandung: Mimbar Pustaka, 2004), h. 53.
f. Kerjakan selalu yang baik dan tingalkan perbuatan keji g. Jangan suka menyombongkan diri
h. Sederhanalah dalam berpergian, dan i. Rendahkanlah suaramu
Hal ini jelas tersirat dalam firman Allah SWT QS. Lukman (31) :13-19 sebagai berikut:
Maka Kuberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan(15). (Luqman berkata): "Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui(16). Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu. Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)(17). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri(18). Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara keledai(19). (QS. Luqman: 13-19)
Al-Qur’an sebagai kerangka dasar pemikiran Islam, telah memberikan banyak ispirasi pendidikan yang perlu dikembangkan baik secara filosofis maupun konseptual keilmuan. Ia adalah sumber nilai kehidupan manusia dalam berbagai aspeknya yang telah memperkanalkan dan mengajarkan manusia untuk selelu berfikir sehingga ia harus dijadikan sebagai fondasi ideal pendidikan Islam.14 Atas dasar itu, pendidikan yang baik menurut Islam adalah pendidikan yang sesuai dan sejalan dengan nilai yang terkandng pada la-Qur’an. Sebab, sistem pendidikan yang disusun berdasarkan nilai-nilai al-Qur’an merupakan suatu sistem transformasi nilai-nilai al-Qur’an itu sendiri. Selain itu, dengan berpedang kepada nilai-nilai yang terjkandung dalan al-Qur’an maka akan dapat dirumuskan pendidikan yang sesuai sengan jiwa al-Qur’an. Jadi, pendidikan tidak hanya sekedar proses transfer pengetahuan dari satu orang ke orang lain saja, tetapi juga sebagai proses
transformasi nilai Qur’ani dan pembentukan karakter Islami dalam segal
aspek.
2. Sunnah
14 Tedi Priatna, Pondasi dan Fungsi Pendidikan Islam, dalam Cakrawala Pendidikan Islam,
Setelah al-Qur’an, pendidikan Islam juga menjadikan sunnah sebagi dasar dan sumber kurikulumnya. Secara harfiah, sunnah berarti jalan, metode, dan program. Sementara, secara istilah sunnah adalah perkara yang dijelaskan melalui sanad yang shahih baik itu berupa perkataan, perbuatan, atau sifat Nabi Muhammad SAW.15 Umat Islam menyepakati bahwa sunnah merupakan sumber ajaran Islam kedua setelah al-Qur’an. Bahkan, sunnah (hadis) bisa berdiri sebagai sumber ajaran. Hal ini didasarkan kepada perintah normative untuk menaati nabi SAW di dalam al-Qur’an. Untuk itulah sifat otoritatif pribadi Nabi SAW tidak terlepas dari keyakinan bahwa pribadi nabi merupakan representasi dari wahyu Allah SWT. Nabi juga menyebutkan bahwa al-Qur’an dan sunnah adalah warisannya yang paling agung. Dengan demikian, bagi manusia yang bersedia memegang teguh keduanya tidak mungkin tersesat selamanya. Rasulullah SAW bersabda,
هي ب ن ةن س ه ت ك:م بمت ك س م ت ماول ض تن لن يرمأمك ي فت كر ت “Telah kutinggalkan dua perkara bagi kamu yang kamu tidak mungkin tersesat selamanya apabila kamu berpegang teguh kepada keduanya. Dua perkara itu adalah al-Kitab (Al-Qur’an) dan sunnah rasulullah…” (HR. Imam Malik)
Sunnah yang merupakan perwujudan perkataan dan ketetapan Rasulullah SAW merupakan kerangka acuan bagi pengembangan kehidupan umat Islam, termasuk dalam bidang pendidikan. Dalam pandangan Muhaimin, konsep dasar pendidikan Islam yang dicetuskan Nabi SAW secara garis besarnya memiliki corak sebagai berikut:
a. Disampaikan sebagai rahmatallil’alamin yang ruang lingkupnya tidak hanya sebatas manusia, tetapi juga kepada makhluk biotik dan abiotik lainya (QS. Al-Anbiya’: 107)
b. Disampaikan secara universal, mencakup kehidupan apapun yang berguna untuk kegembiraan dan peringatan bagi umat manusia (QS.
Saba’: 28)
c. Apa yang disampaikan merupakan kebenaran mutlak (QS. Al-Baqarah: 119) dan keontetikan kebenaran itu terjadi (QS. Al-Hijr: 9) d. Kehadiran nabi sebagai evaluator yang mampu mengawasi dan terus
bertanggung jawab terhadap aktivitas pendidikan (QS. Al-Syura’: 48, QS. Al-Ahzab: 45, dan QS. Shad:8)
e. Perilaku nabi SAW tercermin sebagai uswatun khasanah, yaitu sebagai seorang figur yang semua tindak tanduknya menjadi teladan (QS. Al-Ahzab: 22) karena perilakunya terkontrol oleh Allah (QS. Al-Najm: 3-4) sehingga hampir tidak pernah melakukan kesalahan. f. Masalah teknis praktis dalam masalah pendidikan Islam diserahkan
pebuh kepada umatnya diantaranya adalah mengutus Mushab bin Umar dan Umi Maktum untuk mengajar beberapa orang pengikutnya.16
Bagi dunia pendidikan, sunnah memeliki dua faedah yang sangat besar. Peratama, menjelaskan sistem pendidikan Islam yang terdapat dalam al-Qur’an atau menerangkan hal-hal yang tidak terdapat di dalamnya. Kedua, menyimpulkan metode pendidikan dari kehidupan Rasulullah SAW bersama anak-anaknya dan penanaman keimanan kedalam jiwa yang dilakukannya.17
3. Ijtihad
Selain al-Qur’an dan sunnah, ijtihad juga dapat dijadikan sebagai landasan pendidikan Islam. Kata ijtihad berasal dari kata jahada, yang arti devinisinya berarti pencurahan segala kemampuan untuk memperoleh suatu dari berbagai urusan. Menurut Abu Hamid Hakim, ijtihad adalah upaya yang sungguh-sungguh dalam memperoleh hokum
16 Muhaimin, Pemikiran Pendidikan Islam, Kajian Teoritis dan Kerangka Dasar Oprasi
onalnya, (Bandung: Trigenda Karya, 1993), h. 147.
syara’ berupa konsep yang operasional melalui metode istimbath dari
al-Qur’an dan sunnah.18 Menurut syara’, ijtihad berarti berpikir dengan sungguh-sungguh dan semaksimal mungkin untuk mengetahui syara’ dengan jalan dzanni.19 Ijtihad bagi umat Islam adalah sebuah kebutuhan dasar, tidak saja ketika nabi sudah tiada, bahkan ketika nabi masih hidup. Pendidikan adalah masalah duniawi yang dalam ajaran Islam diberikan dasar pokok-pokoknya saja, yaitu berupa petunjuk-petunjuk dalam wahyu yang masih perlu dijabarkan secara detail. Dengan demikian, arahan detailnya diserahkan kepada akal sehat dalam melakukan pemikiran-pemikiran secara mendalam. Dengan kata lain, persoalan pendidikan sebenarnya merupakan persoalan ijtihadiyah sehingga umat Islam diperintahkan untuk mencermati, mengkritisi, dan mengkonstribusi formula baru sehingga menjadi lebih baik.
Dalam bidang pendidikan, ijtihad dilakukan sejalan dengan perkembangan zaman serta tuntutan manusia. penggunaan dalil-dalil ijtihad dalam lapangan pendidikan ini pada dasarnya merupakan pantulan dan cerminan flesibilitas hokum Islam dalam semua bidang. Karena, dengan menggunakan dalil-dalil ijtihad inilah persoalan-persoalan pelik yang dihadapi dunia pendidikan saat ini dan masa depan, akan memiliki tempat yang sesungguhnya dan damai.20 Selian itu, penggunaan ijtihad juga akan menjadikan pendidikan Islam tetap eksis dan sesuai dengan perkembangan zaman (adaptif).
D. Prinsip-prinsip Pendidikan Islam
Pendidikan dalam Islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju kedewasaan. Kedewasaan dalam bentuk akal, mental, maupun moral dalam rangka menjalankan fungsi kemanusiaan
18 Muhaimin, op. cit., h. 150.
19 Abdurrahman Mas’ud, Antologi Study Agama dan Pendidikan, (Semarang: Aneka Ilmu, 2004), h. 148.
20 Baharuddin dan M. Makin, Pendidikan Humanistik: Teori, Konsep dan Aplikasi Praktis
sebagai seorang hamba dihadapan Sang Khalik (Abdullah) dan sebagai duta Allah pada alam semesta (khalifah fil ardh). Sebagai sebuah usaha dan cara kerja maka pendidikan Islam haruslah memiliki tiga karakter. Pertama, penekanan pada pencarian ilmu pengetahuan, penguasaan, dan pengembangan atas dasar ibadah kepada Allah SWT. Kedua, pengakuan akan potensi dan kemampuan seseorang untuk berkembang dalam suatu kepribadian. Ketiga, merupakan sebuah pengalaman ilmu atas dasar tanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa.21 Selain itu, pendidikan Islam juga mengemban misi Islam dalam tiga dimensi sebagai berikut:
1. Dimensi kehidupan duniawi. Dimensi ini mendorong manusia sebagai hamba Allah SWT untuk mengembangkan dirinya dalam ilmu pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang mendasari kehidupan, yaitu nilai-nilai Islam.
2. Dimensi kehidupan ukhrawi, mendorong manusia untuk mengembangkan dirinya dalam pola hubungan yang serasi dan seimbang dengan Tuhannya. Dimensi inilah yang melahirkan berbagai usaha agar kegiatan ubudiyah manusia senantiasa berada dalam nilai-nilai Islami. 3. Dimensi hubungan antarkehidupan duniawi dan ukhrawi. Dimensi ini
akan mendorong manusia untuk berusaha menjadikan dirinya sebagai hamba Allah yang utuh dan paripurna dalam ilmu pengetahuan dan keterampilan dan menjadi pendukung serta pelaksana nilai-nilai Islam.22 Pendidikan Islam juga harus selalu mengemban misi yang memihak kepada nilai-nilai kemanusiaan. Sebab, corak yang diinginkan pendidikan Islam ialah pendidikan yang mampu membentuk manusia unggul secara intelekyual dan kaya dalam amal serta anggun dalam moral dan kebijakan.23 Ketiga keunggulan tersebut memiliki fungsi sendiri-sendiri secara bertingkat. Pertama, keunggulan intelektual yang berfungsi umtuk mempertajam pemikiran sehingga mampu menghasilkan ide-ide segar orisinal,
21 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam, (Ciputat: Logos, 2000), h. 10. 22 Tedi Priatna, op. cit., h. 281.
mempercepat tumbuhnya kreativitas, dan mengejar kemajuan. Kedua, keunggulan amal yang berfungsi untuk mentransfer pengetahuan yang bermanfaat kepada orang lain agar kemanfaatan itu bisa berkembang terus menerus, menumbuhkan kesadaran untuk memberikan kontribusi yang terbaik bagi umat, dan berusaha keras untuk mengangkat derajat dan martabat mereka. Ketiga, keunggulan moral yang berfungsi sebagai penjagaan dari tindakan-tindakan yang merugikan, tindakan yang merusak, dan tindakan yang menyesatkan.24
Ketiga keunggulan di atas haruslah bertumpu pada keimanan kepada Allah SWT. Dengan demikian, akan terselamatkan dari segala pengaruh yang menyesatkan dan tidak menyimpang dari prinsip-prinsip yang menjadi dasar dan landasan bagi pelaksanaan pendidikan Islam. Prinsip-prinsip yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Prinsip Tauhid
Prinsip ini merupakan prinsip paling utama dalam pendidikan Islam. Dalam konsepsi pendidikan Islam, tauhid dikonstruksikan sebagai paradigm kebebasan manusia baik secara lahiriah maupun ruhania, kecuali hanya kepada Allah SWT. Hal ini mengisyaratkan sebuah ajaran bahwasanya praktik pendidikan Islam tidak mengenal diskriminasi terhadap siapapun.25 Pendidikan dalam tauhid adalah pendidika yang berdasarkan nilai-nilai Ilahiah (teologis) sebagai landasan etis dan normatis dan nilai-nilai insaniyah secara alamiah (kosmologi dan antropolo-sosiologis) sebagai nilai-nilai oprasional.26
2. Prinsip Integrasi
Prinsip integrasi adalah suatu prinsip yang seharusnya dianut adalah bahwa dunia ini merupakan jembatan menuju kampung akhirat. Oleh karena itu, mempersiapkan diri secara utuh merupakan hal yang tidak
24 Mujamil Qomar, Epistimologi Pendidikan Islam, (Jakarta: Erlangga, 2005), h. 246.
25 M. Rusli Karim, Pendidikan Islam Sebagai Upaya Pembebasan dalam Pendidikan Islam
antara Cita dan Fakta, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1991), h. 31.
26 Ngainun Naim dan Akhmad Sauki, Pendidikan Multikultural: Konsep dan Aplikasi,
dapat dielakkan agar masa kehidupan di dunia ini benar-benar bermanfaat untuk bekal yang akan dibawa ke akhirat. Prilaku yang terdidik dan nikmat Tuhan apapun yang didapat dalam kehidupan harus diabdikan untuk mencapai kelayakan-kelayakan itu terutama dengan mematuhi keinginan Tuhan. Hal tersebut tercantum dalam firman Allah SWT dalam QS. Al-Qashash: 77.
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.(Al-Qashash: 77)
Ayat ini menujukkan prinsip integritas bahwa diri dan segala yang ada padanya dikembangkan pada satu arah, yaitu kebijakan dalam rangka pengabdian kepada Tuhan.
3. Prinsip Keseimbangan
Prinsip ini merupakan kesembangan hingga dalam pengembangan dan pembinaan manusia tidak ada kepincangan dan kesenjangan.27 Prinsip keseimbangan dalam pendidikan Islam ini meliputi kesembangan antara kehidupan dunia dan akhirat; keseimbangan antara kebutuhan jasmani dan rohani; keseimbangan antara kepentingan individu dan sosial; keseimbangan ilmu pengetahuan dan amal.
4. Prinsip Persamaan
Prinsip ini berakar dari konsep dasar tentang manusia yang mempunyai kesatuan asal yang tidak membedakan drajat, baik antara jenis kelamin, kedudukan sosial, suku, ras, atau warna kulit. Oleh karena itu, budak sekalipun mendapatkan hak yang sama dalam pendidikan.
Nabi Muhammad SAW bersabda , “Siapa pun di antara seorang laki-laki yang mempunyai budak perempuan, lalu diajar dan dididiknya dengan ilmu dan pendidikan yang baik kemudian dimerdekakannya lalu dikawininya, maka (laki-laki) itu mendapat dua pahala”. (HR. Bukhari). Prinsip persamaan juga mengandung arti bahwa pendidikan Islami tidak mengenal perbedaan dan tidak membeda-bedakan latar belakang seseorang jika dia mau menuntut ilmu. Semua mempunyai potensi yang semua untuk dididik. Semua orang mempunyai kesempatan yang sama untuk memproses dirinya dalam pendidikan.
5. Prinsip Pendidikan Seumur Hidup
Prinsip ini bersumber dari pandangan mengenai kebutuhan dasar manusia dalam kaitan keterbatasan manusia ketika dihadapkan pada berbagai tantangan dan godaan di sepanjang hidupnya yang dapat menjerumuskan dirinya ke jurang kehinaan. Dalam hal ini, dituntut kedewasaan manusia berupa kemampuan untuk mengakui dan menyesali kesalahan dan kejahatan yang dilakukan, di samping selalu memperbaiki kualitas dirinya. Hal ini sebagaimana terdapat dalam firman Allah SWT sebagai berikut:
Maka Barangsiapa bertaubat (di antara pencuri-pencuri itu) sesudah melakukan kejahatan itu dan memperbaiki diri, Maka Sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Ma’idah: 39)
dilahirkan sampai ajalnya tiba (mulai dari lahir sampai ke liang lahat).28
6. Prinsip Keutamaan
Prinsip ini merupakan inti dari segala pendidikan. Prinsip ini menegaskan bahwa pendidikan bukanlah sekedar proses mekanik, melainkan proses yang mempunyai ruh di mana segala kegiatannya diwarnai dan ditujukan kepada keutamaan-keutamaan. Keutamaan-keutamaan tersebut terdari dari nilai-nilai moral. Nilai moral yang paling tinggi adalah tauhid. Sedangkan, nilai moral yang paling buruk dan rendah adalah syirik. Dengan prinsip keutamaan ini, pendidikan bukan hanya bertugas menyediakan kondisi belajar bagi sujek didik, melainkan lebih dari itu, turut membentuk kepribadiannya dengan perlakuan dan keteladanan yang ditunjukkan oleh pendidik tersebut.29 Nabi Muhammad SAW bersabda, “Hargailah anak-anakmu dan baikkanlah budi pekerti
mereka” (HR. An-Nasa’i)
E. Metode Pendidikan Islam
Pendidikan Islam dalam pelaksanaannya memerlukan metode yang tepat untuk mengantarkan proses pendidikan menuju tujuan yang telah dicitakan. Bagaimanapun baik dan sempurnanya sebuah kurikulum pendidikan Islam, tidak akan berarti apa-apa jika tidak memiliki metode atau cara yang tepat untuk mentransformasikannya kepada peserta didik. Ketidaktepatan dalam penerapan metode secara praktis akan menghambat proses belajar mengajar, yang pada gilirannya berakibat pada terbuangnya waktu dan tenaga secara percuma. Oleh karena itu, metode merupakan komponen pendidikan Islam yang dapat menciptakan aktifitas pendidikan menjadi lebih efektif dan efisien. Metode merupakan persoalan esensial pendidikan Islam,hal mana tujuan pendidikan dapat tercapai secara tepat guna, manakah jalan yang ditempuh menuju cita-cita itu betul-betul tepat.
Kata metode berasal dari istilah Yunani meta yang berarti melalui, dan hodos yang berarti jalan yang dilalui. Jadi, metode berarti jalan yang dilalui. Dalam Bahasa Arab, metode diungkapkan dengan istilah tariqah atau uslub, yang menurut al-Jurjani berarti sesuatu yang memungkinkan untuk sampai dengan benar kepada tujuan yang diharapkan. Dari pengertian inilah Noeng Muhadjir mensyaratkan bahwa untuk mencapai tujuan baik, perlu ditempuh dengan cara atau jalan yang baik pula. Tujuan baik yang ditempuh dengan jalan atau cara yang tidak baik bukanlah aktivitas pendidikan, karena tujuan mengahalalkan cara atau jalan bukanlah semboyan yang bersemangatkan pendidikan.30 Sementara itu, Abu al-‘Ainain menyatakan bahwa metode, materi, dan tujuan merupakan hal yang integral (takamul), yang tidak dapat dipisahkan satu sama lain, artinya untuk menentukan sebuah metode, tergantung kepada materi dan tujuan yang diharapkannya.
Metode pendidikan yang berfungsi sebagai pengantar untuk sampai kepada tujuan dapat dikatakan baik menurut filsafat pendidikan Islam apabila memenuhi beberapa ciri sebagai berikut.
1. Metode pendidikan Islam harus bersumber dan diambil dari jiwa ajaran dan akhlak Islam yang mulia. Ia merupakan hal yang integral dengan materi dan tujuan pendidikan Islam.
2. Metode pendidikan Islam bersifat luwes, dan dapat menerima perubahan dan menyesuaikan dengan keadaan dan suasana proses pendidikan.
3. Metode pendidikan Islam senantiasa berusaha menghubungkan antara teori dan praktik, antara proses belajar dan amal, antara hafalan dan pemahaman secara terpadu.
4. Metode pendidikan Islam menghindari dari cara-cara mengajar yang bersifat meringkas, karena ringkasan itu merupakan sebab rusaknya kemampuan-kemampuan ilmiah yang berguna.
30 Noeng Muhadjir, Ilmu Pendidikan dan Perubahan Sosial: Teori Pendidikan Pelaku Sosial
5. Metode pendidikan Islam menekankan kebebasan peserta didik untuk berdiskusi, berdebat, dan berdialok dengan cara yang sopan dan saling menghormati.
6. Metode pendidikan Islam juga menghormati hak dan kebebasan pendidik untuk memilih metode yang dipandangnya sesuai dengan watak pelajaran dan peserta didik itu sendiri.31
Dalam literatur kependidikan, menurut Abudinnata, paling tidak ditemukan tiga bentuk metode pembelajaran, yaitu metode pembelajaran yang berpusat pada pendidik (teacher centered), metode pembelajaran yang berpusat pada peserta didik (student centered), dan metode pembelajaran yang berpusat pada pendidik dan peserta didik sekaligus (teacher and student centered).32 Metode pembelajaran model pertama adalah cara pembelajaran yang menempatkan pendidik sebagai pemberi informasi, pembina, dan pengarah satu-satunya dalam aktifitas pendidikan. Konsekuensi dari model ini adalah seorang pendidik mencukupkan dirinya pada penguasaan bahan pelajaran semata, tanpa harus mengetahui nilai-nilai yang terkandung dalam bahan pelajaran yang dapat disampaikan kepada peserta didik. Dalam pandangan Mochtar Buchori, seorang guru dalam posisi ini adalah seorang pengajar, bukan pendidik. Ia lebih terpaku pada aspek pengajaran dari pada pendidikan. Ia dengan kemampuannya bermaksud pamer pengetahuan. Kalau ini yang terjadi, hasil yang diperoleh adalah peserta-peserta didik yang cukup luas pengetahuannya, tetapi tidak cukup mantap kepribadiannya.33
Model metode pembelajaran kedua yaitu yang berpusat pada peserta didik merupakan metode yang berupaya memberikan rangsangan, bimbingan, pengarahan, dan dorongan kepada peserta didik agar terjadi proses belajar. Yang terpenting dalam metode model ini adalah bukan hanya pendidik
31 Toto Suharto, Filsafat Pendidikan Islam, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), Cet. I, h.
134-135.
32 Abudin Nata, Paradigma Pendidikan Islam: Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Jakarta: Grasindo, 2001), Cet. I, h. 202.
menyampaikan bahan pelajaran, melainkan juga bagaimana peserta didik mempelajari bahan pelajaran sesuai dengan tujuan. Menurut Noeng Muhadjir, di dalam model ini, peserta didik diberi kesempatan seluas mungkin untuk menyerap informasi, mengahayati sendiri peristiwa yang terjadi dan melakukan langsung aktifitas operasional belajarnya. Dengan pemberian kesempatan yang luas ini, yang terjadi adalah kontrak belajar dari peserta didik kepada pendidiknya. Pendidik harus melaksanakan kontrak ini.
Sedangkan metode pembelajaran model ketiga berupaya memadukan dua model di atas. Di dalam metode model ini, yang terjadi adalah interaksi antara pendidik dan peserta didik. Proses pendidikan tidak selalu didominasi oleh pendidik atau peserta didik semata, tetapi keduanya memiliki peran dan andil yang sama. Oleh karena mendapat kedudukan yang sama, baik pendidik maupun peserta didik disebut subjek pendidikan, keduanya berada dalam satu konteks interaktif, yaitu bagaimana guru mengajar dan siswa belajar dengan aksentuasi pada proses belajar peserta didik.
Dari ketiga model pembelajaran di atas, filsafat pendidikan Islam pada hakikatnya menghendaki model ketiga. Dengan melihat enam ciri metode yang baik dalam pendidikan Islam, pendidik dan peserta didik mendapat kedudukan yang terhormat. Di satu sisi metode pendidikan Islam menekankan kebebasan peserta didik untuk berdiskusi, berdebat, dan berdialok dengan cara yang sopan dan saling menghormati, tetapi pada sisi yang lain metode pendidikan Islam juga menghormati hak dan kebebasan pendidik untuk memilih metode yang dipandangnya sesuai dengan watak pelajaran dan peserta didik itu sendiri. Filsafat pendidikan Islam menghendaki metode pendidikan yang memadukan antara pertimbangan pendidik dan peserta didik sekaligus.
Dalam kaitan itu, Abdur Rahman al-Nahlawi menyebutkan sejumlah metode pendidikan yang dapat diterapkan dalam pelaksanaan pendidikan Islam, yaitu sebagai berikut.
2. Metode pendidikan dengan kisah qur’ani dan nabawi. 3. Metode pendidikan melalu perumpamaan (amsal).
4. Metode pendidikan dengan teladan yang baik (uswah hasanah). 5. Metode pendidikan dengan latihan dan pengamalan.
6. Metode pendidikan pelajaran (‘ibrah) dan peringatan (mau’izah).
7. Metode pendidikan dengan membuat senang (targhib) dan membuat takut (tarhib).34
Sementara itu, al-Syaibani menyebutkan beberapa metode umum pendidikan Islam yang secara historis telah dipraktikkan kaum muslim, yaitu metode deduktif, metode perbandingan, metode kuliah, metode dialok dan perbincangan, serta beberapa metode khusus seperti metode lingkaran (halaqoh), metode riwayat, metode mendengar, metode membaca, metode imla, metode hafalan, metode pemahaman dan metode lawatan (rihlah ilmiyah).35 Pada kesempatan lain, Abu al-‘Ainain menyebutkan sebelas metode pendidikan dalam al-Qur’an, yaitu metode pengamalan dan pengalaman, metode penggunaan akal, metode teladan yang baik, metode
amal ma’ruf nahi munkar, metode nasihat dan peringatan, metode
perumpamaan dan persamaan, metode membuat senang (targhib), membuat takut (tarhib), ganjaran (sawab) dan hukuman (‘iqab), metode menanamkan kebiasaan, metode mengeluarkan segala kesanggupan, dan metode peristiwa yang terjadi.
Dari beberapa metode yang dikemukakan para pakar pendidikan Islam di atas, yang perlu diperhatikan adalah tidak ada satu metode pun yang dapat dipandang ideal untuk semua tujuan pendidikan, semua mata pelajaran dan semua suasana dan aktifitas pendidikan. Oleh karena itu, tidak dapat dihindari untuk melakukan penggabungan berbagai metode dalam praktiknya di lapangan. Hal penting lainnya yang perlu diperhatikan adalah: pertama,
34 Abdurrahman al-Nahlawi, Prinsip-Prinsip dan Metode Pendidikan Islam Dalam Keluarga,
di Sekolah dan di Masyarakat, (Bandung: Diponegoro, 1989), Cet. I, h. 283-284.
metode itu dapat membentuk manusia didik menjadi hamba Allah yang mengabdi kepada-Nya semata; kedua, metode itu mengandung nilai edukatif yang mengacu kepada petunjuk al-Qur’an dan sunnah; dan ketiga, metode itu berkaitan dengan motifasi dan kedisiplinan yang sesuai dengan ajaran Islam. Inilah beberapa pemikiran filosofis pensisikan Islam mengenai metode yang dapat digunakan dalam aktifitas pendidikan.
F. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan merupakan masalah sentral dalam pendidikan. Tanpa tujuan, semua usaha pendidikan yang dilakukan akan berakhir dengan kegagalan atau mungkin tersesat dan salah langkah. Oleh karena itu, perumusan tujuan pendidikan yang tegas dan jelas merupakan inti dari seluruh pemikiran pedagogis dan perenungan filosofis.36 Sebelum merumuskan pendidikan Islam, perlu dipahami terlebih dahulu hakikat pendidikan Islam. Sebab, pemahaman terhadap hakikat pendidikan Islam akan memberikan dasar filosofis untuk merumuskan tujuannya.
Dalam konsepsi Islam, pendidikan merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju kedewasaan. Kedewasaan dalam bentuk akal, mental, maupun moral dalam rangka menjalankan fungsi kemanusiaan sebagai seorang hamba dan duta Allah di alam semesta. Pendidikan Islam bukan hanya sekedar transfer of knowledge ataupun transfer of training, melainkan lebih merupakan suatu sistem yang ditata di atas fondasi keimanan dan kesalehan. Konsepsi pendidikan Islam juga tidak hanya melihat pendidikan sebagai upaya mencerdaskan semata (pendidikan intelek), tetapi sejalan dengan konsep Islam tentang manusia dan hakikat eksistensinya. Berangkat dari uraian diatas, pendidikan Islam haruslah berorientasi pada hakikat pendidikan yang meliputi beberapa aspek sebagai berikut:
1. Tujuan dan tugas hidup manusia
Manusia hidup bukan kerena kebetulan, melainkan ia diciptakan dengan membawa tujuan dan tugas hidup tertentu. Tujuan diciptakan
manusia hanya untuk mengabdi kepada Allah SWT. Indikasi tugasnya berupa ibadah (‘abda Allah) dan tugas sebagai wakil-Nya di muka bumi (khalifah Allah).37 Sebagaimana firman Allah SWT, “Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanya untuk Allah Tuhan sekalian
alam”. QS. Al-An’am:162.
2. Memerhatikan sifat-sifat dasar (nature) manusia
Yaitu, konsep tentang manusia sebagai makhluk unik yang mempunyai berbagia potensi bawaan, seperti fitrah, bakat, minat, sifat, dan karakter yang berkecenderungan pada al-hanief (rindu akan kebenaran dari Tuhan) berupa agama Islam (QS.al-Kahfi:29) sebatas kemampuan, kapasitas, dan ukuran yang ada.38
3. Tuntutan masyarakat
Tuntutan ini berupa pelestarian nilai-nilai budaya yang telah melembaga dalam kehidupan suatu masyarakat. Selain itu, pemenuhan terhadap tuntutan kebutuhan hidupnya dalam mengantisipasi perkembangan dunia modern.
4. Dimensi-dimensi kehidupan ideal Islam
Kehidupan ideal Islam mengandung nilai yang dapat meningkatkan kesejahteraan hidup manusia di dinia untuk mengelola dan memanfaatkan dunia sebagai bekal kehidupan di akhirat. Selain itu, mengandung nilai yang mendorong manusia berusaha keras untuk meraih kehidupan di akhirat yang lebih membahagiakan sehingga manusia dituntut agar tidak tarbelenggu oleh rantai kekayaan diniawi atau materi yang dimiliki. Namun demikian, kemelaratan dan kemiskinan dunia harus diberantas sebab kemelaratan dunia bisa menjerumuskan manusia pada kekufuran.
Adapun arah dari pendidikan Islam adalah menuju terbentuknya peserta didik yang cerdas. Dengan kecerdasannya, manusia dapat melakukan sesuatu yang baik menurut Islam untuk kemaslahatan hidup bersama. Dalam kaitan
37 Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: Putra Grafika, 2008), h. 71-72.
ini, al-Attas mengatakan bahwa tujuan pensisikan yang penting harus diambil dari pandangan hidup. Jika pandangan hidup itu Islam, tujuannya adalah membentuk manusia yang sempurna (insan kamil) menurut Islam.39 Sejalan dengan pernyataan al-Attas, al-Ghazali mengatakan bahwa tujuan pendidikan harus sesuai dengan pandangan hidup dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, yaitu sesuai dengan filsafatnya untuk memberi petunjuk akhlak dan pembersihan jiwa dengan maksud membentuk individu-individu yang tertandai dengan sifat-sifat utama dan takwa. Dan pendidikan mestinya menjadi kebudayaan masyarakat (Indonesia khususnya) yang membina dan mengembangkan secara intensif, keterampilan (khusus) hidup, nilai-nilai hidup, dan pandangan hidup seseorang untuk mengembangkan peradaban, disamping memenuhi kebutuhan pembangunan dan profesionalisme.
Dengan demikian, konsep dasar dan tujuan pendidikan dalam Islam harus dilandaskan kepada pola pikir, atau sudut pandang yang Islami, yaitu sudut pandang yang berprinsip pada al-Qur’an dengan pola menurut yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Sebab, tujuan pendidikan Islam tidak terlepas dari tujuan hidup manusia dalam Islam, yaitu untuk menciptakan hamba Allah yang selalu bertakwa kepada-Nya. Juga, hamba yang dapat mencapai kehidupan bahagia di dunia dan akhirat. Hal ini sebagaimana firman Allah swt dalam QS. Ali Imaran: