• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Debit Rancangan Bendungan Karian di DAS Ciberang Kabupaten Lebak Provinsi Banten

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Debit Rancangan Bendungan Karian di DAS Ciberang Kabupaten Lebak Provinsi Banten"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN

UNTUK DEBIT RANCANGAN BENDUNGAN KARIAN

DI DAS CIBERANG KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN

DESSY ARIANTI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Debit Rancangan Bendungan Karian di DAS Ciberang Kabupaten Lebak Provinsi Banten adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

RINGKASAN

DESSY ARIANTI. Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Debit Rancangan Bendungan Karian di DAS Ciberang Kabupaten Lebak Provinsi Banten. Dibimbing oleh Kukuh Murtilaksono dan Baba Barus.

Pengaruh perubahan penggunaan lahan menyebabkan perubahan kondisi aliran debit. Perubahan penggunaan lahan menyebabkan curah hujan lebih berpotensi menjadi aliran permukaan dari pada terinfiltrasi. Tujuan penelitian ini adalah (1) mengkaji pola hujan di DAS Ciberang tahun 2000, 2005, 2010 dan 2014; (2) mengkaji perubahan penggunaan lahan di DAS Ciberang pada tahun 2000, 2005, 2010 dan 2014; (3) menganalisis debit rancangan DAS Ciberang pada prediksi penggunaan lahan tahun 2028 dan (4) menyusun arahan penggunaan lahan agar debit puncak skenario tidak melebihi debit rancangan bendungan.

Analisis perubahan penggunaan lahan di DAS Ciberang menggunakan model Cellular Automata-Markov. Penggunaan lahan tahun 2000 dan 2010 dipakai untuk analisis perubahan penggunaan lahan dengan validasi penggunaan lahan tahun 2014. Hasil analisis tersebut menghasilkan prediksi penggunaan lahan tahun 2028.

Analisis debit banjir rancangan menggunakan metode Rasional dengan empat skenario yakni penggunaan lahan aktual tahun 2014, prediksi penggunaan lahan tahun 2028, penggunaan lahan pada pola ruang RTRW dan modifikasi penggunaan lahan pada pola ruang RTRW di DAS Ciberang. Skenario pola penggunaan lahan terbaik dipilih apabila skenario debit rancangan kurang dari debit banjir Bendungan Karian. Pola penggunaan lahan terbaik yang memenuhi syarat dapat dijadikan arahan kebijakan penggunaan lahan bagi pola ruang RTRW.

Dalam kurun waktu 14 tahun (2000 - 2014), DAS Ciberang mengalami perubahan hutan menjadi lahan lainnya seluas 24.25 km2, perubahan pertanian lahan kering menjadi pemukiman seluas 2.2 km2, perubahan pertanian lahan kering menjadi perkebunan seluas 3.3 km2 dan pertanian lahan kering menjadi sawah seluas 10.1 km2. Perubahan tersebut mengakibatkan nilai koefisien limpasan menjadi besar sehingga hujan yang jatuh ke darah tersebut berpotensi besar menjadi aliran permukaan. Aliran permukaan semakin meningkat menyebabkan debit air hujan yang melimpas dipermukaan semakin cepat masuk ke Sungai Ciberang dan banjir akan lebih cepat terjadi.

Debit banjir rancangan pada periode ulang 50 tahun menunjukkan kapasitas debit banjir optimum pada Bendungan Karian. Skenario penggunaan lahan pada debit rancangan periode tersebut menunjukkan yakni debit banjir rancangan tahun 2028 skenario ke-2 tidak memenuhi syarat pola penggunaan lahan terbaik, sedangkan debit banjir aktual tahun 2014 skenario ke-1, Pola Ruang RTRW skenario ke-3 dan penyesuaian Pola Ruang RTRW skenario ke-4 memenuhi syarat pola penggunaan lahan terbaik. Skenario ke-4 digunakan sebagai arahan perencanaan penggunaan lahan di DAS Ciberang yang dianggap sebagai referensi penggunaan lahan di DAS Ciberang Kabupaten Lebak Tahun 2014-2034.

(5)

SUMMARY

DESSY ARIANTI. Land Use Planning for Discharge Plan of Karian Dam at Ciberang Watershed in Lebak Regency of Banten Province. Supervised by Kukuh Murtilaksono and Baba Barus.

The effects of changes in land use cause changes in the discharge flow conditions. Changes in land use set off rainfall to be more potential runoff than infiltrated. The aims of this study were to (1) examine the rainfall patterns at Ciberang watershed in 2000, 2005, 2010 and 2014; (2) assess the changes in land use at Ciberang watershed in 2000, 2005, 2010 and 2014; (3) analyze the discharge plan of Ciberang watershed to predict land use in 2028, and (4) establish directives on land use so that the scenario of discharge peak does not exceed the dam discharge plan.

The analysis of changes in land use at Ciberang watershed utilized Cellular Automata-Markov model. Land uses in 2000 and 2010 were used to analyze the changes in land use with the land use validation of the 2014. The analysis results produced the prediction on land use in 2028.

The discharge analysis of the flood plan used Rational method with four scenarios, namely the actual land use in 2014, the prediction on land use in 2028, land use in the spatial patterns in the spatial plan, and modifications of land use in the spatial patterns in the spatial plan at Ciberang watershed. The scenario of the best land use pattern was selected if the discharge pan scenario was less than the flood discharge of Karian Dam. The best land use pattern meeting the requirement can be applied for the policy directives for the land use in the spatial pattern in the spatial plan.

Within a period of 14 years (2000-2014), Ciberang watershed experienced changes of 24.25 km2 forest to other land area, 2.2 km2 agricultural dryland to

residential area, 3.3 km2 farming dryland to plantations, and 10.1 km2 dryland

into rice farming area. Such changes resulted in a large runoff coefficient so that the rain falling into those areas had a large potential to become runoff. The increasing surface water flow caused the rainwater discharge overflowing the surface went faster into the Ciberang River and flooding would occur more quickly.

The plan flood discharge in the 50-year return period showed the optimum flood discharge capacity in Karian Dam. Land use scenarios in the draft discharge plan in that period indicated that the second scenario of the 2028 flood discharge plan was ineligible for the best land-use pattern, whereas the 2014 first scenario of the actual flood discharge, the third scenario of the spatial pattern in the spatial plan, and the fourth scenario of the modified spatial pattern in the spatial plan met the criteria for the best land-use patterns. The 4th scenario is used as the directives for land use planning which is considered as the reference for land use at Ciberang watershed of Lebak Regency for 2014-2034.

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

PERENCANAAN PENGGUNAAN LAHAN

UNTUK DEBIT RANCANGAN BENDUNGAN KARIAN

DI DAS CIBERANG KABUPATEN LEBAK PROVINSI BANTEN

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2015

(8)
(9)

Judul Tesis : Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Debit Rancangan

Bendungan Karian di DAS Ciberang Kabupaten Lebak Provinsi Banten

Nama : Dessy Arianti NIM : A156130184

Disetujui oleh Komisi Pembimbing

Prof Dr Ir Kukuh Murtilaksono, MS Ketua

Dr Baba Barus, MSc Anggota

Diketahui oleh

Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah

Prof Dr Ir Santun RP Sitorus

Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr

(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2014 ini ialah penggunaan lahan untuk debit banjir rancangan, dengan judul Perencanaan Penggunaan Lahan untuk Debit Rancangan Bendungan Karian di DAS Ciberang Kabupaten Lebak Provinsi Banten.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof Dr Ir Kukuh Murtilaksono, MS dan Bapak Dr Baba Barus, MSc selaku pembimbing, serta Bapak Dr Ir Komarsa Gandasasmita, M.Sc (alm.) yang telah banyak memberi bimbingan dan saran. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Kepala Dinas Sumber Daya Air dan Permukiman Provinsi Banten, Pusbindiklatren Bappenas, Pimpinan Balai Hidrologi dan Tata Air Pusat Penelitian Bandung, Kepala Bappeda Kabupaten Lebak, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lebak, Ditjen Planologi Kehutanan Bogor, Kepala Seksi Hidrologi dan Kualitas Air Balai Besar Wilayah Sungai Ciujung Cidanau Cidurian, Ketua Program Studi Ilmu Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, ibu, serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

1 PENDAHULUAN 11

Latar Belakang 11

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 4

Manfaat Penelitian 5

Kerangka Pikir Penelitian 5

2 TINJAUAN PUSTAKA 6

Daerah Aliran Sungai 6

Fungsi Hidrologi di DAS 7

Curah Hujan Wilayah 8

Intensitas Hujan Rata-rata 9

Koefisien Limpasan 9

Debit Rancangan 10

Pengindraan Jauh 11

Interpretasi Citra 12

Penggunaan Lahan 12

Perubahan Penggunaan Lahan 13

Sistem Informasi Geografis (SIG) 14

Model Cellular Automata – Markov Chain 15

3 METODE 16

Lokasi Penelitian 16

Bahan dan Alat 17

Jenis dan Sumber Data 18

Metode Pengumpulan Data 19

Prosedur Analisis Data 19

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN 32

Kondisi Fisik Wilayah 32

Sosial dan Ekonomi 39

5 HASIL DAN PEMBAHASAN 41

Analisis Curah Hujan Wilayah 41

Analisis Distribusi Frekwensi 43

Analisis Penggunaan Lahan 44

Validasi Model Kappa 48

(12)

Peramalan Penggunaan Lahan 54 Analisis Perubahan Lahan terhadap Debit Rancangan 55 Skenario Pengendalian Perubahan Penggunaan Lahan 61

Arahan Penggunaan Lahan 62

6 SIMPULAN DAN SARAN 63

Simpulan 63

Saran 63

DAFTAR PUSTAKA 64

LAMPIRAN 67

(13)

DAFTAR TABEL

1. Tipe-tipe Informasi Hasil Ekstraksi dari Data Penginderaan Jauh 11 2. Matriks Data dan Metode Analisa yang Digunakan dalam Penelitian 18 3. Hubungan Reduksi Data Rata-rata (Yn), Deviasi Standar (Sn) dengan

Jumlah Data (n) 21

4. Nilai Faktor Frekuensi (k) sebagai Fungsi dari Nilai CV 21 5. Faktor Frekuensi untuk Distribusi Log Pearson Type III dengan

Koefisien Asimetri (Cs) Negatif 23

6. Nilai Variabel Reduksi Gumbel Tipe II 24

7. Syarat pemilihan distribusi frekuensi 25

8. Faktor Tutupan Lahan atau Koefisien Limpasan 27 9. Susunan Band untuk Analisis Penggunaan Lahan 28

10. Klasifikasi Tutupan Lahan 29

11. Matrik transformasi perubahan penggunaan lahan Tahun 2000-2010 30

12. Penyebaran Formasi Geologi DAS Ciberang 33

13. Sebaran Luas Kelas Elevasi di DAS Ciberang 34

14. Sebaran Luas Kemiringan Lereng di DAS Ciberang 36

15. Sebaran Luas Jenis Tanah di DAS Ciberang 37

16.Penggunaan Lahan Berdasarkan Pola Ruang RTRW DAS Ciberang

(Skenario 3) 38

17. Distribusi Penduduk di DAS Ciberang Tahun 2012 40 18. Mata Pencaharian Penduduk di DAS Ciberang Tahun 2013 40 19. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 1998 41 20. Curah Hujan Wilayah Harian Maksimum Tahunan di DAS Ciberang 42 21.Rekap Hujan Rancangan Maksimum Tahunan Tiap Metoda di DAS

Ciberang 43

22. Hasil Uji Kesesuaian Distribusi 44

23. Luas Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Tahun 2000-2014 47 24. Perubahan Luas Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Tahun

2000-2014 47

25.Tingkat Akurasi Klasifikasi Perubahan Penggunaan Lahan di DAS

Ciberang 48

26.Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Periode

Tahun 2000 dan 2005 49

27.Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Periode

Tahun 2005 dan 2010 50

28.Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Periode

Tahun 2010 dan 2014 51

29.Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Periode

Tahun 2005 dan 2014 51

30.Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Periode

Tahun 2000 dan 2010 52

31.Matriks Perubahan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Periode

Tahun 2000 dan 2014 53

32. Luas Prediksi Setiap Penggunaan Lahan Tahun 2028 di DAS

(14)

33.Koefisien Limpasan setiap Luasan Penggunaan Lahan di DAS Ciberang Berdasarkan Skenario ke-1 sampai ke-4 59 34.Rekap Hasil Analisa Debit Rancangan Metode Rasional 61

DAFTAR GAMBAR

1. Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian 6

2. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2013 8

3. Peta Lokasi Penelitian di DAS Ciberang Outlet Bendungan Karian 17

4. Diagram Alir Tahapan Penelitian 19

5. Analisis Intensitas Hujan Rancangan 26

6. Peta Penyebaran Formasi Geologi di DAS Ciberang 32 7. Peta Penyebaran Kelas Elevasi di DAS Ciberang 34 8. Peta Penyebaran Kelas Kemiringan Lereng di DAS Ciberang 35 9. Peta Penyebaran Jenis Tanah di DAS Ciberang 36

10. Peta Pola Ruang RTRW DAS Ciberang 38

11. Jumlah Penduduk di DAS Ciberang Tahun 2006-2012 39

12.Mata Pencaharian Penduduk di DAS Ciberang 41

13. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 1998 42

14. Analisa Perhitungan Curah Hujan Rancangan di DAS Ciberang 43 15.(a) Penggunaan Lahan Tahun 2000, (b) Penggunaan Lahan Tahun

2005, (c) Penggunaan Lahan Tahun 2010 dan (d) Penggunaan Lahan

Tahun 2014 di DAS Ciberang 46

16.Luas Penggunaan Lahan Tahun 2000, 2005, 2010 dan 2014 di DAS

Ciberang 47

17.Diagram Setiap Perubahan Penggunaan Lahan DAS Ciberang 54 18.Peta Prediksi Setiap Penggunaan Lahan Tahun 2028 55 19.(a) Skenario ke-1 Penggunaan Lahan Aktual DAS Ciberang Tahun

2014, (b) Skenario ke-2 Prediksi Penggunaan Lahan DAS Ciberang Tahun 2028, (c) Skenario ke-3 Penggunaan Lahan Pola Ruang RTRW dan (d) Skenario ke-4 Penggunaan Lahan pada Sinkronisasi

Pola Ruang RTRW di DAS Ciberang 57

20.Luas Penggunaan Lahan berdasarkan Skenario ke-1 sampai ke-4 di

DAS Ciberang 58

DAFTAR LAMPIRAN

1. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 1998 67

2. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 1998 67

3. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 1999 68

4. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 1999 68

5. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2000 69

6. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2000 69

(15)

8. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2001 70 9. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2002 71

10. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2002 71

11. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2003 72

12. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2003 72

13. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2004 73

14. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2004 73

15. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2005 74

16. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2005 74

17. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2006 75

18. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2006 75

19. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2007 76

20. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2007 76

21. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2008 77

22. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2008 77

23. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2009 78

24. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2009 78

25. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2010 79

26. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2010 79

27. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2011 80

28. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2011 80

29. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2012 81

30. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2012 81

31. Analisis Curah Hujan Harian Maksimal Tahunan pada Tahun 2013 82

32. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2013 82

33.Perhitungan Kurva Distribusi Gumbel Tipe I 83

34. Nilai Ekstrim Distribusi Gumbel Tipe I 83

35. Perhitungan Kurva Distribusi Log-Normal Dua Parameter 83 36. Nilai Ekstrim Distribusi Log-Normal Dua Parameter 84 37. Perhitungan Kurva Distribusi Log Pearson Tipe III 84 38. Nilai Ekstrim Distribusi Log Pearson Tipe III 85

39. Perhitungan Kurva Distribusi Frechet 85

40. Nilai Ekstrim Distribusi Frechet 86

41. Besar Peluang dan Nilai Batas Kelas untuk Distribusi Gumbel Tipe I 86 42. Perhitungan Uji Chi-Kuadrat Untuk Distribusi Gumbel Tipe I 86 43. Besar Peluang dan Nilai Batas Kelas untuk Distribusi Log Normal 87 44. Perhitungan Uji Chi-Kuadrat Untuk Distribusi Log Normal 87 45.Besar Peluang dan Nilai Batas Kelas untuk Distribusi Log-Pearson

Tipe III 88

(16)
(17)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama (Asdak 2007). Pengelolaan DAS dilaksanakan sesuai dengan rencana tata ruang dan pola pengelolaan sumber daya air sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang penataan ruang dan sumber daya air. Pengelolaan DAS diselenggarakan secara terkoordinasi dengan melibatkan Instansi terkait pada lintas wilayah administrasi serta peran serta masyarakat. Kegiatan Pengelolaan DAS dilaksanakan berdasarkan Rencana Pengelolaan DAS yang telah ditetapkan dan menjadi acuan rencana pembangunan sektor dan rencana pembangunan wilayah administrasi. Ukuran keberhasilan pengelolaan DAS adalah dapat dikembangkan dan didayagunakan secara optimal dan berkelanjutan melalui upaya Pengelolaan DAS bagi sebesar-besarnya kesejahteraan masyarakat.

Pemanfaatan sumber daya alam dalam wilayah DAS telah menunjukkan peningkatan yang sejalan dengan pertambahan penduduk. Pemanfaatan sumber daya alam secara kuantitas maupun kualitas akan menyebabkan terjadinya perubahan kondisi lingkungan. Akibat yang ditimbulkan oleh adanya perubahan tersebut terjadinya penurunan kualitas lingkungan, misalnya terjadi kerusakan lingkungan seperti adanya kejadian banjir dan kekeringan. Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) selayaknya disusun untuk mendukung perbaikan ataupun mempertahankan kondisi lingkungan yang ada.

Mahkluk hidup secara keseluruhan merupakan penyebab utama terjadinya berbagai perubahan kondisi lingkungan. Makluk hidup selain manusia menimbulkan perubahan alami, yang dicirikan oleh keseimbangan dan keselarasan, sedangkan manusia mempunyai potensi dan kemampuan untuk mengubah secara berbeda karena ilmu pengetahuan dan teknologi yang dimilikinya, bahkan seringkali perubahan tersebut merusak lingkungan.

Kondisi lingkungan dan pengelolaan sumberdaya air yang kurang baik dapat memperbesar masalah kekeringan termasuk juga adanya alih fungsi hutan. Kekeringan secara umum dapat terjadi karena kondisi hidrometeorologi, kondisi geologis, kondisi geografis, kondisi vegetasi dan penggunaan lahan, juga pengelolaan sumberdaya air. Berbagai dampak permasalahan akibat kekeringan dapat terjadi di berbagai sektor antara lain: pertanian, rumah tangga, industri, perkotaan, perubahan kondisi ekologi dan sebagainya.

Perubahan penggunaan lahan untuk keperluan pembangunan merupakan salah satu faktor yang paling berpengaruh pada perubahan lingkungan secara global. Tingkat perubahan penutupan lahan diperkirakan akan meningkat secara nyata dalam beberapa dekade mendatang sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk (Ojima et al. 1994 dalam Hutyra et al. 2011).

(18)

2

Perubahan penggunaan lahan yang paling besar pengaruhnya terhadap kelestarian sumberdaya air adalah perubahan dari kawasan hutan ke penggunaan lainnya (deforestasi), seperti pertanian, perumahan ataupun industri. Apabila gejala tersebut tidak segera dikelola dengan baik, maka debit puncak akan meningkat sehingga menyebabkan kelebihan air atau banjir pada saat musim hujan dan kekeringan pada saat musim kemarau . Hal ini disebabkan hujan yang jatuh sebagian besar menjadi aliran permukaan. Oleh karena itu, upaya-upaya pelestarian sumberdaya air sangat diperlukan melalui penataan penggunaan lahan di dalam suatu Daerah Aliran Sungai (DAS).

DAS Ciberang merupakan sub DAS di hulu sungai Ciujung sebagai kawasan resapan air dan daerah pengendali banjir. Eksploitasi di DAS yang tidak terkendali menyebabkan kondisi lingkungan DAS semakin menurun. Salah satu fenomena penurunan kondisi DAS adalah luas tutupan hutan semakin berkurang diantaranya disebabkan oleh alih fungsi kawasan hutan.

Alih fungsi kawasan hutan perlu dianalisis multitemporal sebagai bantuan untuk memahami proses dan pola perubahan penggunaan lahan selama periode historis tertentu. Hal ini penting untuk memahami bagaimana perubahan penggunaan lahan dari waktu ke waktu dan untuk mengenali sifat dinamis dari perubahan kawasan tersebut. Secara khusus, sangat penting untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang mengatur tingkat perubahan penggunaan lahan di suatu wilayah tertentu, dan bagaimana perubahan penggunaan fungsi kawasan hutan mungkin bervariasi dalam sub-wilayah (Mendoza et al. 2011).

Alih fungsi kawasan hutan menimbulkan masalah berkurangnya daya resap air ke dalam tanah sehingga sebagian besar air mengalir di permukaan. Hal tersebut berpengaruh terhadap besarnya debit puncak pada outlet Bendungan Karian. Apabila tidak dilakukan pengelolaan lebih lanjut akan menyebabkan peningkatan debit puncak setiap tahunnya, sehingga daerah di bagian hilir akan berpotensi terkena dampak banjir.

Hulu DAS Ciberang masuk dalam Kawasan Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) dengan luas 14,938 ha (14%) dari luas seluruhnya sekitar 113,357 ha. Berdasarkan data Ditjen Planologi (2012), tahun 1989-2008 luas hutan di kawasan TNGHS setiap tahun berkurang sekitar 18 hektar. Tahun 1989 luas hutan sebesar 870 km2 sedangkan tahun 2008 luas hutan hanya tinggal 639.5 km2. Hal tersebut mengindikasikan bahwa terjadi penurunan luas hutan satiap tahunnya di kawasan TNGHS dapat mempengaruhi kondisi hulu DAS sebagai kawasan resapan air. Selain itu menurut Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Lebak menyatakan bahwa luas lahan kritis di DAS Ciberang meningkat mencapai 36.3% (Dishutbun Lebak 2013).

(19)

3 Berdasarkan data Dinas Sumber Daya Air dan Permukiman dengan curah hujan yang relatif sama, debit di sungai pada tahun 1998-2011 rendah sedangkan pada Tahun 2001, 2006, 2009, 2012 hingga 2013 debit di sungai tinggi berakibat banjir di hilir Sungai Ciberang yang merendam beberapa desa di Kecamatan Rangkasbitung (DSDAP Banten 2013).

Perubahan luas tutupan hutan di hulu DAS berpengaruh pada debit puncak di outlet rencana Bendungan Karian dari tahun ke tahun bertambah besar. Hal tersebut terlihat pada hasil debit observasi di sungai Ciberang. Debit puncak yang mengakibatkan banjir sebelumnya terjadi 5 tahunan tetapi akhir-akhir ini menjadi banjir tahunan, sedangkan perubahan curah hujan dari tahun 1998-2013 relatif sama. Hal tersebut berakibat banjir di hilir Sungai Ciberang semakin sering terjadi yang mengakibatkan beberapa desa di Kecamatan Rangkasbitung terendam (DSDAP Banten 2013).

Kejadian banjir berulang setiap tahun berbanding lurus dengan penurunan luas kawasan hutan yang terjadi setiap tahunnya pada DAS Ciberang. Hal tersebut mengindikasikan bahwa pengurangan luas tutupan hutan di hulu DAS mempengaruhi debit limpasan permukaan yang menyebabkan air hujan melimpas ke sungai lebih cepat tanpa adanya penyerapan air yang maksimum di hulunya. Menurut Hamilton dan King (1983 dalam Narendra 2012) banjir terjadi akibat tingginya intensitas curah hujan, atau hujan berlangsung dalam waktu lama serta tutupan lahan tidak mampu lagi menginfiltrasi air hujan secara optimal, dan kapasitas penyimpanan tanah telah terlampaui sehingga kelebihan air melimpas ke aliran sungai. Dengan kata lain kejadian banjir tidak sematamata hanya dipengaruhi kondisi penggunaan lahan, tetapi juga tergantung faktor iklim dan geologi.

Berdasarkan uraian di atas, penggunaan lahan di DAS Ciberang dalam keadaan terganggu fungsi hidrologisnya, sehingga diperlukan perencanaan penggunaan lahan terbaik agar peluang debit puncak dapat ditampung oleh Bendungan Karian.

Berdasarkan uraian di atas, maka fungsi hidrologis di DAS Ciberang terganggu sehingga diperlukan perencanaan penggunaan lahan terbaik untuk debit rancangan Bendungan Karian agar peluang debit puncak dapat ditampung oleh Bendungan Karian. Perencanaan perubahan penggunaan lahan dalam penelitian ini digunakan pendekatan Model CA Markov yang dapat memprediksi alih fungsi lahan. Perencanaan penggunaan lahan tersebut perlu dibandingkan dengan RTRW yang dianggap sebagai referensi penggunaan lahan.

Perumusan Masalah

(20)

4

ini berkurang maka akan terjadi kekritisan sumber daya air, peningkatan debit banjir, dan sebaliknya, penurunan debit andalan.

Sebetulnya suatu lahan yang tidak mendapatkan gangguan / perubahan mempunyai kemampuan untuk mengasimilasi air hujan yang jatuh pada saat kondisi debit puncak. Namun dengan hilangnya tanaman menyebabkan kemampuan tanah untuk menyimpan air hujan berkurang dan sebaliknya presentase aliran permukaan meningkat. Hasilnya air yang turun ke bumi langsung mengalir ke sungai dan berakhir di laut.

Beberapa dampak yang ditimbulkan dengan meningkatnya lahan terbangun terhadap aliran permukaan beserta dampak selanjutnya yang mengakibatkan volume aliran permukaan meningkat yang menyebabkan penyerapan air ke dalam tanah berkurang sehingga cadangan air tanah berkurang, kecepatan aliran meningkat, terjadi erosi yang menimbulkan sedimentasi di sungai dan perubahan waktu debit puncak akibatnya berkurangnya aliran dasar (base flow) yaitu debit air yang ada pada saat musim kering, sebagai dampak tidak adanya cadangan air dalam tanah sedangkan pada musim hujan, banjir akan cepat terjadi karena volume aliran permukaan meningkat.

Kajian mengenai pengaruh alih fungsi lahan terhadap perubahan waktu debit puncak berakibat pada perbedaan debit maksimum-minimum yang tinggi sehingga perlu dilakukan perencanaan penggunaan lahan di DAS Ciberang mengingat alih fungsi lahan di DAS tersebut yang cenderung mengarah kepada terjadinya kerusakan DAS. Model CA Markov yang dapat memprediksi alih fungsi lahan dan pengaruh terhadap respon hidrologi yang dapat digunakan untuk ekstrapolasi berbagai skenario sistem penggunaan lahan yang akan datang. Sehingga skenario yang dihasilkan dapat digunakan untuk pengelolaan DAS Ciberang yang lebih baik.

Oleh karena itu informasi mengenai prediksi perubahan penggunaan lahan di masa yang akan datang sangat diperlukan untuk membuat arahan yang dapat mendukung implementasi RTRW Kabupaten Lebak ke depan khususnya di daerah aliran sungai. Berdasarkan hal tersebut, dirumuskan beberapa pertanyaan penelitian mengenai perencanaan penggunaan lahan untuk debit rencana Bendungan Karian di DAS Ciberang Kabupaten Lebak yang diharapkan akan didapatkan solusinya dari penelitian ini, diantaranya adalah:

1. Bagaimana pola curah hujan di DAS Ciberang tahun 2000, 2005, 2010 dan 2014 ?

2. Bagaimana pola perubahan penggunaan lahan di DAS Ciberang tahun 2000, 2005, 2010 dan 2014 ?

3. Bagaimana penggunaan lahan tahun 2028 ?

4. Bagaimana pola penggunaan lahan terbaik agar debit puncak skenario tidak melebihi debit rancangan Bendungan Karian ?

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah :

1. Mengkaji pola hujan di DAS Ciberang tahun 2000, 2005, 2010 dan 2014; 2. Mengkaji perubahan penggunaan lahan di DAS Ciberang tahun 2000, 2005,

(21)

5 3. Memprediksi penggunaan lahan tahun 2028 di DAS Ciberang;

4. Menyusun arahan penggunaan lahan agar debit puncak skenario tidak melebihi debit rancangan Bendungan Karian.

Manfaat Penelitian

Memberi gambaran penggunaan lahan dan perubahan di DAS Ciberang yang menjadi dasar dalam pendugaan debit puncak tepatnya di lokasi Bendungan Karian. Perubahan penggunaan lahan tersebut digunakan sebagai masukan untuk menyusun arahan dalam menentukan strategi penggunaan lahan ditinjau dari kondisi hidrologisnya.

Kerangka Pikir Penelitian

Defisit air yang tercermin dari penurunan debit minimum dan peningkatan debit maksimum Sungai Ciberang diduga disebabkan oleh perubahan penggunaan lahan khususnya perubahan luas hutan. Perubahan penggunaan lahan khususnya penggunaan lahan hutan menjadi non hutan akan meningkatkan aliran permukaan dan penurunan kapasitas infiltrasi tanah sehingga sebagian besar air hujan menjadi aliran permukaan dan terbuang ke laut. Pada saat yang sama maka jumlah air yang masuk dan tersimpan di dalam tanah juga berkurang akibat penurunan kapasitas infiltrasi tanah sehingga akan mengurangi jumlah aliran dasar.

Pada konteks hubungan antara perubahan penggunaan lahan dengan ketersediaan air, maka penataan penggunaan lahan diharapkan dapat menurunkan aliran permukaan dan meningkatkan jumlah air hujan yang masuk dan tersimpan di dalam tanah sehingga akan meningkatkan aliran dasar. Penurunan aliran permukaan ini akan menurunkan debit maksimum sungai karena sebagian air hujan tersimpan di dalam tanah dan menjadi aliran dasar atau aliran sungai. Sehingga diharapkan distribusi bulanan aliran sungai akan relatif lebih merata.

Perubahan penggunaan lahan di DAS Ciberang yang dikhawatirkan akan menyebabkan defisit air yang perlu dikendalikan dan diatur berdasarkan proporsi luas masing-masing jenis penggunaan lahan yang dapat menjamin ketersediaan air jangka panjang. Sehingga dalam penelitian ini, model spasial perubahan penggunaan lahan dirancang dengan pendekatan Cellular Automata (CA). Model ini akan memprediksi debit rancangan penggunaan lahan tahun 2028.

Koefisien aliran diambil dari prediksi penggunaan lahan. Kemudian dilakukan tahap analisis koefisien aliran dengan hubungannya terhadap perubahan penggunaan lahan yang terjadi di DAS Ciberang. Kemudian dilakukan analisis pengaruh perubahan lahan terhadap debit dan analisis hubungan antar jumlah penduduk, kemiringan lereng, ketinggian, geologi dengan pola penggunaan/penutupan lahannya dimana nilai debit puncak skenario kurang dari debit rancangan Bendungan Karian.

(22)

6

di wilayah rencana Bendungan Karian. Diagram alir kerangka pikir penelitian disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Diagram Alir Kerangka Pikir Penelitian

2

TINJAUAN PUSTAKA

Daerah Aliran Sungai

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang secara topografik dibatasi oleh punggung-punggung gunung yang menampung dan menyimpan air hujan untuk kemudian menyalurkannya ke laut melalui sungai utama. Wilayah daratan tersebut dinamakan daerah tangkapan air (DTA) yang merupakan suatu ekosistem dengan unsur utamanya terdiri atas sumberdaya alam (tanah, air, dan vegetasi) dan sumberdaya manusia sebagai pemanfaat sumberdaya alam (Asdak 2007).

Lee (1998) mengatakan bahwa daerah tangkapan air meliputi semua titik yang terletak di atas elevasi (ketinggian tempat) stasiun penakar dan di dalam batas topografi (topographic divide) yang memisahkan daerah-daerah tangkapan beragam cukup besar dengan komposisi dan struktur lapisan batuan di bawahnya.

Menurut Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004, disebutkan bahwa Daerah Aliran Sungai adalah suatu wilayah daratan sebagai satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungai yang berfungsi untuk menampung, menyimpan, dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami. Sedangkan batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas di laut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh oleh aktivitas daratan.

Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan kesatuan wilayah bersifat kompleks yang dipengaruhi oleh karakteristik fisik variabel meteorologinya. Karakteristik fisik yang berupa pola penggunaan lahan, bentuk jaringan sungai, kondisi tanah dan topografi yang merupakan karakteristik DAS yang sifatnya dapat dipengaruhi oleh kegiatan manusia. Sedangkan variabel meteorologi yang meliputi curah hujan, suhu, kelembaban, radiasi matahari, dan kecepatan angin

Perencanaan beberapa Penggunaan Lahan

Arahan penggunaan lahan agar skenario debit puncak dapat ditampung dan tidak melebihi debit rancangan Bendungan

Karian Pola penggunaan lahan ke depan semakin buruk sehingga rasio debit maksimum / debit minimum

menjadi bertambah besar.

Debit puncak ke depan semakin besar dari kapasitas daya tampung

Bendungan Karian

Perubahan Penggunaan Lahan dengan

Metode CA Markov

(23)

7 bersifat sangat berubah-ubah tergantung kondisi klimatnya (Dewan Riset Nasional 1994).

Penilaian mengenai keberhasilan pengelolaan DAS secara praktis dapat ditinjau dari segi tata airnya yaitu stabilitas debit air sungai pada musim kemarau dan musim penghujan seimbang dan fluktuasi debitnya setiap tahun semakin menurun. Menurut Sinukaban (1995) cara pengelolaan DAS akan mempengaruhi produktifitas dan fungsi DAS secara keseluruhan. Oleh karena itu yang menjadi target di dalam system pengelolaan DAS adalah mampu memberikan produktifitas lahan yang tinggi dan mampu menjamin kelestarian DAS.

Sheng (1968) mengemukakan tiga unsur pokok dalam pengelolaan DAS yaitu air, lahan dan pengelolaan. Unsur lahan meliputi semua komponen dari satu unit geografi dan atmosfir tertentu, air dan batuan, vegetasi dan hewan, manusia dan perkembangannya. Oleh karena itu pengelolaan DAS didefinisikan sebagai pengelolaan lahan untuk produksi air dengan kualitas yang optimum serta stabilitas tanah yang maksimum. Pengelolaan DAS harus diorientasikan kepada segi-segi konservasi tanah dan air dengan menitik beratkan kepada keseimbangan debit maksimum dan debit minimum.

Fungsi Hidrologi di DAS

DAS merupakan suatu ekosistem dimana di dalamnya terjadi proses interaksi antara faktor biotik, non biotik dan manusia. Sebagai suatu ekosistem, maka setiap ada masukan ke dalamnya, proses yang terjadi dan berlangsung di dalamnya dapat dievaluasi berdasarkan keluaran dari ekosistem tersebut. Komponen masukan dalam ekosistem DAS adalah curah hujan, sedangkan keluaran terdiri dari debit air minimum dan maksimum. Komponen-komponen DAS yang berupa vegetasi, tanah dan sungai mempengaruhi proses-proses yang terjadi di dalam DAS (Suripin 2002).

Ekosistem DAS merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap DAS. Aktifitas dalam DAS yang menyebabkan perubahan ekosistem, misalnya perubahan tata guna lahan, khususnya di daerah hulu, dapat memberikan dampak pada daerah hilirnya. Adapun kaitannya antara masukan dan keluaran pada suatu DAS ini dapat dijadikan sebagai dasar untuk menganalisis dampak suatu tindakan atau aktivitas pembangunan di dalam DAS terhadap lingkungan khususnya hidrologi (Suripin 2002).

Proses perubahan curah hujan menjadi aliran permukaan dapat dikelompokan menjadi dua bagian yaitu: a) fungsi produksi DAS yang perubahan dari hujan total menjadi hujan efektif dan b) fungsi transfer DAS yaitu perubahan hujan efektif menjadi aliran permukaan langsung (Robinson dan Sivapala 1995).

(24)

8

nilai koefisien aliran permukaan yang biasa diberi notasi C. Nilai ini merupakan bilangan yang menyatakan perbandingan antara besarnya aliran permukaan terhadap jumlah curah hujan. Nilai C yang kecil menunjukkan kondisi DAS yang masih baik, sebaliknya C yang besar menunjukkan kondisi DAS yang telah rusak. Nilai C berkisar 0-1 (Kodoatie dan Syarief 2005).

Curah Hujan Wilayah

Analisis data hujan dimaksudkan untuk mendapatkan besaran curah hujan. Perlunya menghitung curah hujan dalam suatu wilayah adalah untuk penyusunan suatu rancangan pemanfaatan air dan rancangan pengendalian banjir (Sosrodarsono dan Takeda 2006). Perhitungan curah hujan rencana digunakan untuk meramal besarnya hujan dengan periode ulang tertentu. Berdasarkan curah hujan rencana tersebut kemudian dicari intensitas hujan yang digunakan untuk mencari debit banjir rencana (Sosrodarsono dan Takeda 2006). Metode yang digunakan ArcGIS dalam perhitungan curah hujan rata-rata wilayah daerah aliran sungai (DAS) yaitu dengan metode interpolasi grid.

Metode ini memperhitungkan secara aktual pengaruh hujan tiap-tiap pos hujan dan elevasi di daerah tersebut. Metode ini cocok untuk daerah berbukit dan tidak teratur dengan luas lebih dari 5000 km2 (Suripin 2002). Penjelasan garis interpolasi dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Peta Hujan Wilayah DAS Ciberang Tahun 2013

165 mm

177.6 mm 168.3 mm

128 mm 191 mm

195 mm 180 mm

180 mm 195 mm

165 mm

150 mm

150 mm 180 mm

195 mm

245.7 mm

(25)

9 Intensitas Hujan Rata-rata

Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi pada suatu kurun waktu di mana air tersebut berkonsentrasi. Analisis intensitas curah hujan ini dapat diproses dari data curah hujan yang telah terjadi pada masa lampau (Loebis 1992). Untuk menentukan debit banjir rencana (design flood), perlu didapatkan harga suatu intensitas curah hujan.

Intensitas curah hujan merupakan fungsi dari besarnya curah hujan yang terjadi dan berbanding terbalik dengan waktu kejadiannya. Artinya besarnya curah hujan yang terjadi akan semakin tinggi intensitasnya bila terjadi pada periode waktu yang semakin singkat, demikian pula sebaliknya. Besarnya intensitas hujan berbeda-beda tergantung pada lamanya curah hujan dan frekuensi kejadiannya.

Untuk menghitung intensitas curah hujan, dapat digunakan dengan metode Mononobe. Metode ini digunakan untuk menghitung intensitas curah hujan apabila yang tersedia adalah data curah hujan harian (Loebis 1992).

Hasil analisis berupa intensitas hujan dengan waktu konsentrasi hujan dan periode ulang tertentu dihubungkan ke dalam kurva Intensity Duration Frequency (IDF). Kurva IDF menggambarkan hubungan antaran dua parameter penting hujan yaitu durasi dan intensitas hujan yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk menghitung debit puncak dengan metode rasional. Hal ini sesuai dengan pernyataan Sosrodarsono dan Takeda (2006), yang mengatakan bahwa lengkung IDF digunakan dalam menghitung debit puncak dengan metode rasional untuk menentukan intensitas curah hujan rata-rata dari waktu konsentrasi yang terpilih.

Koefisien Limpasan

Koefisien limpasan merupakan perbandingan antara jumlah air yang mengalir di suatu daerah akibat turunnya hujan, dengan jumlah hujan yang turun di daerah tersebut (Subarkah 1980). Koefisien limpasan pada suatu daerah dipengaruhi oleh kondisi karakteristik (Sosrodarsono dan Takeda 2006), yaitu : a) Kondisi hujan

b) Luas dan bentuk daerah pengaliran

c) Kemiringan daerah aliran dan kemiringan dasar sungai d) Daya infiltrasi dan perkolasi tanah

e) Kebebasan tanah

f) Suhu udara, angin dan evaporasi g) Tata guna lahan

(26)

10

Koefisien limpasan ini diperoleh dengan menghitung data luasan dari masing-masing penggunaan lahan yang ada. Nilai koefisien limpasan dapat juga digunakan untuk menentukan kondisi fisik DAS (Kodoatie dan Syarief 2005).

Perubahan tata guna lahan yang terjadi secara langsung mempengaruhi debit puncak yang terjadi pada suatu DAS. Kondisi fisik DAS harus dilestarikan melalui upaya peningkatan pelestarian lingkungan agar nilai koefisien limpasan tidak meningkat secara drastis (Kodoatie dan Syarief 2005).

Debit Rancangan

Debit aliran adalah laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu. Dalam sistem satuan Standar Internasional (SI) besarnya debit dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik (m3/detik).

Teknik peggukuran debit aliran langsung di lapangan pada dasarnya dapat dilakukan melalui empat kategori (Gordon et al. 1992 dalam Asdak 2007), yaitu: (1) pengukuran volume air sungai; (2) pegukuran dengan cara mengukur kecepatan aliran dan menentukan luas penampang melintang sungai; (3) pengukuran debit dengan menggunakan bahan kimia (pewarna) yang dialirkan dalam aliran sungai (substance tracing method); (4) pengukuran debit dengan membuat bangunan pengukur debit seperti weir (aliran air lambat) atau flume (aliran air cepat). Pengukuran debit pada kategori pertama, biasanya dilakukan untuk keadaan aliran (sungai) lambat. Pada kategori pengukuran debit yang kedua, yaitu pengukuran debit dengan bantuan alat ukur current meter atau sering dikenal sebagai pengukuran debit melalui pendekatan velocity-area method paling banyak dipraktekkan dan berlaku untuk kebanyakan aliran sungai. Pengukuran debit dengan menggunakan bahan-bahan kimia, pewarna, atau radioaktif sering digunakan untuk jenis sungai yang aliran airnya tidak beraturan (turbulent). Kategori pengukuran debit yang keempat, yaitu pembuatan bangunan pengukuran debit, biasanya untuk pengukuran debit jangka panjang di stasiun-stasiun pengamatan hidrologi. Pengukuran debit aliran yang paling sederhana dapat dilakukan dengan metode apung (floating method). Caranya dengan menempatkan benda yang tidak dapat tenggelam di permukaan aliran sungai untuk jarak tertentu dan mencatat waktu yang diperlukan oleh benda apung tersebut bergerak dari satu titik pengamatan ke titik pengamatan lain yang telah ditentukan.

Menurut Arsyad (2010) aliran sungai berasal dari hujan yang masuk ke dalam sungai dalam bentuk aliran permukaan, aliran air bawah permukaan, air bawah tanah, dan butir-butir hujan yang langsung jatuh di permukaan sungai. Debit aliran sungai akan naik setelah terjadi hujan yang cukup, kemudian akan turun kembali setelah hujan selesai.

(27)

11 bahwa periode ulang rata-rata kejadian debit banjir sama atau melampaui debit banjir rancangan adalah sekali setiap T tahun. (Nurrizqi dan Suyono 2012)

Pengindraan Jauh

Penginderaan jauh adalah ilmu, teknik dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu obyek, daerah atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu peralatan tanpa kontak langsung dengan obyek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer 1990).

Cara memperoleh obyek dalam penginderaan jauh adalah dengan mendeteksi gelombang elektromagnetik yang dipantulkan, diserap dan ditransmisikan atau dipancarkan oleh masing-masing obyek yang datang padanya, sehingga energi pantulan atau pancaran yang diterima oleh sensor dapat dipergunakan sebagai ciri pengenalan obyek, daerah atau fenomena yang sedang diteliti (Lillesand dan Kiefer 1990).

Sistem penginderaan jauh pasif (foto udara dan citra aster), yaitu sistem penginderaan jauh yang energinya dari matahari. Panjang gelombang yang digunakan oleh sistem pasif, tidak memiliki kemampuan menembus atmosfer yang dilaluinya, sehingga atmosfer ini dapat menyerab (absorp) dan menghamburkan (scatter) energi pantulan (reflektan) obyek yang akan diterima oleh sensor (Lillesand dan Kiefer 1990). Faktor inilah yang menyebabkan nilai reflektan obyek yang diterima sensor tidak sesuai dengan nilai reflektan obyek yang sebenarnya di bumi.

Data penginderaan jauh dapat berupa : (1) data analog, misalnya foto udara cetak atau data video, dan (2) data digital, misalnya citra satelit. Teknologi Penginderaan jauh berkembang pesat dewasa ini seiring peranannya yang semakin diperlukan dalam proses pengambilan dan pengumpulan informasi mengenai obyek yang diamati. Murai (1996) mengklasifikasikan tipe-tipe informasi yang bisa diekstrak melalui data penginderaan jauh menjadi 5 tipe dan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Tipe-tipe Informasi Hasil Ekstraksi dari Data Penginderaan Jauh

Tipe Contoh

Klasifikasi Penggunaan lahan, Vegetasi

Deteksi Perubahan Perubahan penggunaan lahan Ekstraksi Kualitas Fisik Temperatur, Komponen Atmosfer,

Elevasi

Ekstraksi Indeks Index Vegetasi, Index Kekeruhan Identifikasi Feature Spesifik Identifikasi Bencana Alam seperti

Kebakaran Hutan, atau Banjir, Ekstraksi of Linearment, Deteksi Feature

(28)

12

Interpretasi Citra

Interpretasi citra merupakan kegiatan mengkaji foto udara atau citra dengan maksud untuk mengidentifikasi obyek yang tergambar dalam citra dan menilai arti penting obyek tersebut (Estes dan Simonett 1975 dalam Sutanto 1987). Di dalam pengenalan obyek yang tergambar pada citra, ada rangkaian kegiatan yang diperlukan, yaitu : deteksi, identifikasi, dan analisis. Deteksi adalah pengamatan atas ada atau tidaknya suatu obyek pada citra. Identifikasi adalah upaya untuk mencirikan obyek yang dideteksi dengan menggunakan keterangan yang cukup yaitu menggunakan unsur interpretasi citra. Pada tahap analisis dikumpulkan keterangan lebih lanjut untuk membuat kesimpulan (Lint dan Simonett 1975 dalam Sutanto 1987).

Pengenalan obyek merupakan tahap yang sangat penting dalam interpretasi citra, bila obyek tidak dikenal maka analisis maupun pemecahan masalah tidak mungkin dilakukan. Tujuh unsur-unsur interpretasi citra yang dikemukakan oleh Lillesand dan Kiefer (1990) yaitu :

1. Bentuk; ialah konfigurasi atau kerangka suatu obyek. Bentuk beberapa obyek demikian mencirikan sehingga citranya dapat diidentifikasi langsung hanya berdasarkan kriteria ini.

2. Ukuran; obyek harus dipertimbangkan sehubungan dengan skala foto.

3. Pola; ialah hubungan susunan spasial obyek. Pengulangan bentuk umum tertentu atau hubungan merupakan karakteristik bagi banyak obyek alamiah maupun bangunan, dan akan memberikan suatu pola yang membantu penafsir untuk mengenali obyek tersebut.

4. Bayangan; penting bagi penafsir dalam dua hal yang bertentangan, yaitu:

 Bentuk atau kerangka bayangan dapat memberikan gambaran profil suatu obyek (dapat membantu interpretasi).

 Obyek di bawah bayangan hanya dapat memantulkan sedikit cahaya dan sukar diamati pada foto (menghalangi interpretasi).

5. Rona; ialah warna atau kecerahan relatif obyek pada foto.

6. Tekstur; adalah frekuensi perubahan rona pada citra fotografi. Tekstur dihasilkan oleh kumpulan unit kenampakan yang mungkin terlalu kecil apabila dibedakan secara individual, seperti daun tumbuhan dan bayangannya.

7. Situs atau lokasi obyek dalam hubungannya dengan obyek yang lain, dapat sangat berguna untuk membantu pengenalan suatu obyek.

Kemudian Avery (1992) memberikan penambahan karakteristik asosiasi yang menunjukkan keterkaitan suatu obyek tehadap lokasi dimana obyek tersebut ditemukan.

Penggunaan Lahan

(29)

13 penebangan hutan, dan akibat-akibat yang merugikan seperti erosi dan akumulasi garam (Hardjowigeno 1993).

Pengertian tentang penutupan dan penggunaan lahan penting untuk berbagai kegiatan perencanaan dan pengelolaan yang berhubungan dengan permukaan bumi. Penutupan lahan berkaitan dengan jenis kenampakan yang ada di permukaan bumi, sedangkan penggunaan lahan berkaitan dengan kegiatan manusia pada bidang lahan tertentu (Lillesand dan Kiefer 1990).

Sistem penggunaan lahan dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar yaitu penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan non pertanian. Penggunaan lahan pertanian antara lain sawah, pertanian lahan kering, perkebunan, padang rumput, hutan dan sebagainya. Penggunaan lahan non pertanian antara lain penggunaan lahan pemukiman, industri, rekreasi, pertambangan dan sebagainya (Arsyad 2010).

Perubahan Penggunaan Lahan

Perubahan penggunaan lahan adalah perubahan penggunaan atau aktivitas terhadap suatu lahan yang berbeda dari aktivitas sebelumnya, baik untuk tujuan komersial maupun industri (Kazaz dan Charles 2001 dalam Munibah 2008). Sementara menurut Muiz (2009), perubahan penggunaan lahan diartikan sebagai suatu proses perubahan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lain yang dapat bersifat permanen maupun sementara dan merupakan konsekuensi logis dari adanya pertumbuhan dan transformasi perubahan struktur sosial ekonomi masyarakat yang sedang berkembang baik untuk tujuan komersial maupun industri. Perubahan penggunaan lahan dan penutupan lahan pada umumnya dapat diamati dengan menggunakan data spasial dari peta penggunaan lahan dan penutupan lahan dari titik tahun yang berbeda. Data penginderaan jauh seperti citra satelit, radar, dan foto udara sangat berguna dalam pengamatan perubahan penggunaan lahan.

Barlowe (1978) menyatakan bahwa dalam menentukan penggunaan lahan terdapat empat faktor penting yang perlu dipertimbangkan yaitu : faktor fisik lahan, faktor ekonomi, dan faktor kelembagaan. Selain itu, faktor kondisi sosial dan budaya masyarakat setempat juga akan mempengaruhi pola penggunaan lahan. Pertambahan jumlah penduduk berarti pertambahan terhadap makanan dan kebutuhan lain yang dapat dihasilkan oleh sumberdaya lahan. Permintaan terhadap hasil-hasil pertanian meningkat dengan adanya pertambahan penduduk. Demikian pula permintaan terhadap hasil non pertanian seperti kebutuhan perumahan dan sarana prasarana wilayah. Peningkatan pertumbuhan penduduk dan peningkatan kebutuhan material ini cenderung menyebabkan persaingan dalam penggunaan lahan. Perubahan penggunaan lahan dalam pelaksanaan pembangunan tidak dapat dihindari. Perubahan tersebut terjadi karena dua hal, pertama adanya keperluan untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang makin meningkat jumlahnya dan kedua berkaitan dengan meningkatnya tuntutan akan mutu kehidupan yang lebih baik.

(30)

14

terhadap penggunaan lahan dibedakan berdasarkan unsur-unsurnya adalah elevasi dan kemiringan lereng. Peranan elevasi terkait dengan iklim, terutama suhu dan curah hujan. Elevasi juga berpengaruh terhadap peluang untuk pengairan. Peranan lereng terkait dengan kemudahan pengelolaan dan kelestarian lingkungan. Daerah yang berlereng curam mengalami erosi yang terus-menerus sehingga tanah-tanah ditempat ini bersolum dangkal, kandungan bahan organik rendah dan perkembangan horison lambat dibandingkan dengan tanah-tanah di daerah datar yang air tanahnya dalam. Perbedaan lereng juga menyebabkan perbedaan air tersedia bagi tumbuh-tumbuhan sehingga mempengaruhi pertumbuhan vegetasi di tempat tersebut dan seterusnya juga mempengaruhi pembentukan tanah (Hardjowigeno 1993).

Iklim merupakan faktor fisik yang sulit dimodifikasi dan paling menentukan keragaman penggunaan lahan. Unsur-unsur iklim seperti hujan, penyinaran matahari, suhu, angin, kelembaban dan evaporasi, menentukan ketersediaan air dan energi, sehingga secara langsung akan mempengaruhi ketersediaan hara bagi tanaman. Penyebaran dari unsur-unsur iklim ini bervariasi menurut ruang dan waktu, sehingga penggunaan lahan juga beragam sesuai dengan penyebaran iklimnya (Mather 1986 dalam Gandasasmita 2001).

Sistem Informasi Geografis (SIG)

Banyak ahli yang mendefnisikan mengenai SIG, namun jika hal tersebut dirangkum, maka pada intinya SIG merupakan sebuah sistem untuk memasukkan, mengelola, menyimpan, memproses, menganalisis dan menyajikan data yang terkait dengan permukaan bumi (Barus dan Wiradisastra 2000). Sebagai suatu sistem, SIG mempunyai banyak elemen penyusun, dan antar elemen tersebut saling berhubungan dan bekerjasama untuk melakukan suatu proses atau kegiatan. Sebagai Sistem informasi, SIG terbentuk dalam suatu jaringan antara perangkat keras dan lunak yang dapat menjalankan operasi-operasi mulai dari pemasukan, pengolahan, penyimpanan hingga ke penyajian hasilnya. Kegiatan-kegiatan tersebut dilakukan untuk mencapai tujuan tertentu atau untuk mendapatkan informasi dalam rangka pengambilan keputusan. Kata Geografi menunjukkan bahwa data yang digunakan serta hasil pengolahannya mempunyai referensi spasial dipermukaan bumi atau mempunyai koordinat geografi.

Dalam SIG, data spasial dapat direpresentasikan dalam dua format: yaitu data vektor dan data raster. Dalam data vektor, bumi direpresentasikan sebagai suatu mosaik dari garis (arc/line), polygon (daerah yang dibatasi garis yang berawal dan berakhir pada titik yang sama), titik/poin (node yang mempunyai label), dan nodes (titik perpotongan antara dua buah garis). Data raster merupakan data yang dihasilkan dari sistem penginderaan jarak jauh. Pada data raster, objek geografis direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut pixel (picture element). Pada data raster, resolusi (definisi visual) tergantung pada ukuran pixelnya.

(31)

15 lokasi, tetapi sangat sulit untuk digunakan dalam komposisi matematik. Sementara data raster biasanya membutuhkan ruang penyimpanan file yang lebih besar dan presisi lokasi yang lebih rendah, tetapi lebih mudah digunakan secara matematik (Puntodewo 2003).

Namun, untuk keperluan pemodelan dan analisis spasial tingkat lanjut, data raster lebih cocok digunakan daripada data vektor. Data raster memiliki struktur data yang sederhana (seperti bilangan matrik sederhana) sehingga mudah dimanipulasi dengan fungsi-fungsi matematis sederhana (Prahasta 2001).

Kemampuannya menganalisis spasial secara cepat menjadikan SIG sebagai sistem yang dapat digunakan untuk tujuan perencanaan, deteksi perubahan dan analisis, pemodelan keputusan dan analisis lainnya.

Kajian wilayah dengan penerapan metode SIG untuk satu atau beberapa tujuan tersebut telah banyak digunakan di Indonesia dewasa ini. Misalnya perubahan penggunaan lahan untuk memprediksi perubahan volume aliran permukaan yang dihasilkan oleh DAS menggunakan metode CA Markov. Hasilnya menunjukkan bahwa perubahan lahan yang terjadi berpengaruh terhadap peningkatan volume aliran permukaan. Metode SIG dan CA Markov tersebut kemudian digunakan untuk membantu simulasi guna mendapatkan arahan penggunaan lahan yang optimal dalam menurunkan debit puncak.

Model Cellular Automata Markov Chain

Menurut Huan et al. (2010) konsep Cellular Automata (CA) awalnya diperkenalkan oleh Ullam dan Neumann (1940-an) untuk menyediakan kerangka untuk menginvestigasi perilaku sistem yang kompleks. CA mensimulasikan kondisi lingkungan yang diwakili oleh struktur grid atau raster (piksel), dimana terdapat seperangkat fungsi transisi. Model yang berbasis pada CA umumnya berorientasi pada prediksi atau simulasi, dimana model statistika multivariat difokuskan pada hubungan antara transisi penggunaan lahan dengan faktor-faktor yang mempengaruhinya (Luo dan Wei 2009).

Salah satu kunci metode CA adalah bahwa pola spasial global yang kompleks bisa disederhanakan dengan menggunakan separangkat aturan lokal yang sederhana. CA banyak digunakan untuk mensimulasikan dan memprediksi fenomena perubahan yang kompleks dari bentuk-bentuk spasial temporal, misalnya dinamika perubahan penggunaan lahan (Huan et al. 2010).

Vliet et al. (2009) menyatakan bahwa model CA digunakan dalam beberapa model perubahan penggunaan lahan, dimana digunakan terutama untuk mensimulasikan dinamika perkotaan. Sekarang ini, model penggunaan lahan dengan menggunakan CA telah diterapkan sebagai alat untuk mendukung perencanaan penggunaan lahan dan analisis kebijakan serta mengeksplorasi skenario untuk pembangunan di masa depan.

(32)

16

Chain tidak mempresentasikan aspek spasial. Melalui pengintegrasian Cellular Automata dengan model Markov Chain, karakteristik berbasis rasternya dapat dikembangkan dan dimodelkan untuk model perubahan spasial sebagai sistem yang dinamis.

Metode Markov Chain adalah metode yang memproses perubahan penggunaan lahan dalam dua titik waktu yang hasilnya adalah matriks transition probability (Eastman 2003). Kombinasi Markov Chain dan Sistem Informasi Geografis melalui integrasi teknologi penginderaan jauh telah berhasil menganalisis trend, tingkat dan pola spasial dari perubahan penggunaan lahan (Weng 2002)

Metode Markov Chain ini memiliki batasan dalam menjelaskan tentang interaksi antara perubahan penggunaan lahan yang muncul. Metode ini juga tidak dapat menjawab kenapa perubahan tersebut terjadi. Yang dapat dijelaskan oleh model ini adalah kapan dan tipe penggunaan lahan yang mana yang akan berubah (Lambin 1994 dalam Wen 2008).

Model CA Markov Chain merupakan pengganti dari suatu sistem nyata yang digunakan untuk mempermudah pekerjaan yang secara aktual sulit dilakukan (Ford 1999). Secara umum model didefinisikan sebagai suatu perwakilan atau abstraksi dari suatu obyek atau situasi aktual. Model memperlihatkan hubungan timbal-balik baik langsung ataupun tidak langsung. Namun demikian, sebagai abstraksi model tetap memiliki kompleksitas yang kurang dibandingkan realitas sebenarnya.

3

METODE

Lokasi Penelitian

Daerah Aliran Sungai Ciberang secara geografis terletak pada 6º 23' 55.95" - 6º 43' 18.92" LS dan 106º 17' 13.29" - 106º 29' 4.81" BT, dan termasuk dalam zona 48S UTM. DAS Ciberang dengan Outlet Bendungan Karian memiliki luas sebesar 282.87 km². Keadaan topografi didominasi dengan pegunungan pada wilayah timur dan dataran rendah pada wilayah barat dengan puncaknya Gunung Halimun di ujung tenggara, yakni di perbatasan dengan Kabupaten Bogor dan Kabupaten Sukabumi.

Adapun batas-batas DAS Ciberang adalah Wilayah Utara meliputi Desa Rangkasbitung Timur, wilayah selatan meliputi Desa Kujangsari, Desa Situmulya, dan Desa Sirnagalih, wilayah barat meliputi Kecamatan Cimarga, dan Kecamatan Muncang, sedangkan wilayah timur meliputi Desa Jasinga dan Desa Cigudeg.

(33)

17 Pada penelitian ini, lokasi perencanaan Bendungan Karian digunakan sebagai outlet, yang berlokasi pada 6°24' 27.76" LS dan 106° 17' 14.77" BT. Penempatan outlet pada lokasi perencanaan bendungan menghasilkan luasan genangan 1,740 ha dengan elevasi puncak bendungan 72.5 meter, tinggi muka air maksimum (HWL) 70.85 meter, tinggi muka air normal (NWL) 67.5 meter, tinggi muka air minimum (LWL) 46.0 meter, debit puncak inflow 3.67 m3/dt, debit puncak outflow 3.19 m3/dt (BBWS C-3 Banten 2013).

Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari data spasial, data numerik data lapangan dan pendukung. Data spasial antara lain berupa peta rupa bumi dijital yang diproduksi oleh BIG; peta ikonos tahun 2010 dari Kementrian Pertanian; citra Landsat tahun 2000, 2005, 2010, dan 2014; peta Pola Ruang RTRW dikeluarkan Bappeda Kabupaten Lebak dan Kabupaten Bogor. Sedangkan data numerik meliputi data debit sungai Ciberang, kapasitas daya tampung Bendungan Karian dan data curah hujan di pos pencatat hujan Pasir Ona, Cimarga, Cisalak Baru, Ciminyak/Cilaki, Sajira, Banjar Irigasi, Cikasungka, dan Pasir Jaya pada periode tahun 1998-2013 yang diperoleh dari Dinas Sumber Daya Air dan Permukiman Provinsi Banten juga Balai Hidrologi dan Tata Air Puslitbang Sumber Daya Air.

Peralatan yang digunakan terdiri dari seperangkat computer yang dilengkapi dengan perangkat lunak ArcGIS 10.1, Idrisi Selva, dan Microsoft Office 2013, Global Positioning System (GPS), printer, kamera dan alat-alat tulis.

(34)

18

Jenis dan Sumber Data

Mengacu pada permasalahan, tujuan serta studi pustaka yang telah dikaji, selanjutnya menyusun rancangan penelitian yang mencakup langkah-langkah kegiatan yang perlu diambil dalam penelitian ini, secara garis besar adalah:

1. Survei lapangan, untuk mendalami dan mengetahui kondisi yang nyata di lapangan mengenai penggunaan lahan di beberapa lokasi penelitian yang tidak dapat dilihat oleh citra landsat dan google earth.

2. Studi literatur, mandalami dan mengkaji teori yang menyangkut permasalahan dalam penelitian yakni penggunaan lahan dan dampak penggunaan lahan terhadap debit serta langkah-langkah atau metode penelitian yang perlu diambil.

3. Pengumpulan data, menginventarisasi data yang diperlukan sesuai tujuan yang ingin dicapai termasuk menentukan cakupan wilayah, periode data dan sumber perolehan data.

4. Pengelolaan data, mengolah data yang dikumpulkan dengen beberapa metode pendekatan sebagai bahan kajian atau pembahasan.

5. Pembahasan hasil penelitian. 6. Penyusunan laporan.

Jenis data dan sumber data yang diperlukan berdasarkan tujuan penelitian disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Matriks Data dan Metode Analisa yang Digunakan dalam Penelitian

No Tujuan Data Sumber Metode Analisis Output

- Citra landsat 2000, 2005, 2010, 2014

- Peta penggunaan lahan

(35)

19 Metode Pengumpulan Data

Kegiatan pengumpulan data dalam penelitian ini meliputi :

1. Data primer titik-titik koordinat lokasi validasi tutupan lahan. 2. Data sekunder yang berupa :

a. Data spasial yang digunakan, yaitu:

 Citra tahun 2000, 2005, 2010 dan 2014.

 Peta batas administrasi dan peta RTRW.

b. Data keadaan umum lokasi penelitian, pustaka melalui studi literatur yang berasal dari instansi terkait, jurnal/karya ilmiah, dan internet. c. Data curah hujan pos Pasir Ona, Cimarga, Cisalak Baru,

Ciminyak/Cilaki, Sajira, Banjar Irigasi, Cikasungka, dan Pasir Jaya tahun 1998 – 2013

d. Data debit air pos duga air Sabagi tahun 1998 – 2013 e. Data BPS Kabupaten Lebak

Prosedur Analisis Data

Dalam rangka pengendalian debit puncak Bendungan Karian, maka perlu dilakukan perencanaan penggunaan lahan di DAS Ciberang sebagai arahan penggunaan lahan terbaik di tinjau dari skenario debit puncak rancangan kurang dari debit rancangan outlet Bendungan Karian. Secara keseluruhan tahap penelitian disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4. Diagram Alir Tahapan Penelitian

Skenario Pola Penggunaan Lahan Terbaik : 1. Penggunaan lahan aktual tahun 2014

2. Prediksi penggunaan lahan tahun 2028 3. Pola Ruang RTRW

4. Sinkronisasi pola ruang RTRW dengan skenario ke-1 dan skenario ke-3

(36)

20

Analisis Curah Hujan Wilayah

Hujan maksimum tahunan suatu wilayah (areal rainfall) menggunakan pendekatan metode interpolasi grid secara Inverse Distance Weighted (IDW). Metode ini memperhitungkan secara aktual pengaruh hujan tiap-tiap pos hujan dan elevasi di daerah tersebut. Metode ini mengasumsikan tinggi hujan pada suatu titik mempunyai pengaruh lokal terhadap titik lain sesuai jaraknya. Model ini dipandang lebih baik dimana besarnya luas daerah yang mempunyai tebal curah hujan yang sama sangat diperhitungkan sehingga hasil yang diperoleh lebih teliti. Nilai curah hujan maksimum tahunan pada stasiun penakar hujan akan menghasilkan peta zonasi hujan di DAS Ciberang (Gambar 2). Hasil analisis model ini mendekati kondisi elevasi DAS Ciberang sehingga dapat dijadikan landasan untuk analisis curah hujan wilayah.

Peta zonasi hujan adalah garis yang menghubungkan tempat-tempat yang mempunyai tinggi hujan yang sama. Metode ini menggunakan sebagai garis-garis yang membagi daerah aliran sungai menjadi daerah-daerah yang diwakili oleh stasiun-stasiun yang bersangkutan, yang luasnya dipakai sebagai faktor koreksi dalam perhitungan hujan rata-rata. Data yang digunakan adalah data curah hujan maksimum tahunan pada periode tahun 1998-2013. Curah hujan wilayah dihitung dengan menggunakan rumus:

P = curah hujan rata-rata wilayah maksimum tahunan (mm) Ai,i+1 = luas wilayah (km2)

Pi,i+1 = curah hujan masing-masing stasiun (mm)

Analisis Distribusi Frekwensi

Hujan rancangan merupakan kemungkinan tinggi hujan yang terjadi dalam kala ulang tertentu sebagai hasil dari rangkaian analisis hidrologi yang biasa disebut analisis frekwensi curah hujan. Analisis frekwensi sesungguhnya merupakan prakiraan dalam arti probabilitas untuk terjadinya suatu peristiwa hidrologi dalam bentuk hujan rancangan yang berfungsi sebagai dasar perhitungan perencanaan hidrologi untuk antisipasi setiap kemungkinan yang akan terjadi.

Analisis frekwensi ini dilakukan dengan menggunakan teori probability distribution. Dalam ilmu statistik dikenal beberapa macam distribusi frekuensi dan empat jenis distribusi yang banyak digunakan dalam bidang hidrologi, yaitu distribusi normal, distribusi Log-Normal, distribusi Log-Person III, dan distribusi Gumbel (Suripin 2002).

 Metode Gumbel

Rumus-rumus yang digunakan untuk menentukan curah hujan rencana menurut metode Gumbel adalah sebagai berikut :

(37)

21 dimana :

X = hujan rencana dengan periode ulang T tahun (mm). X = nilai rata-rata hitung data X

Sx = simpangan baku data X K = faktor frekuensi

YT = nilai reduksi data variabel diharapkan terjadi periode ulang tertentu Yn = nilai rata-rata dari reduksi data, nilainya tergantung dari jumlah data

(n) dan dapat dilihat pada Tabel 3

Sn = deviasi standar dari reduksi data, nilainya tergantung dari jumlah data (n) dan dapat dilihat pada Tabel 3

Tabel 3. Hubungan Reduksi Data Rata-rata (Yn), Deviasi Standar (Sn) dengan Jumlah Data (n)

n Yn Sn

10 0.4952 0.9496

11 0.4996 0.9676

12 0.5035 0.9833

13 0.507 0.9971

14 0.510 1.0095

15 0.5128 1.0206

16 0.5157 1.0316

17 0.5181 1.0411

18 0.5202 1.0493

19 0.522 1.0565

20 0.5236 1.0628

Tabel 4. Nilai Faktor Frekuensi (k) sebagai Fungsi dari Nilai CV

Koefisien Peluang Kumulatif P(%) : P(X<=X)

Variasi 50 80 90 95 98 99

(CV) Periode Ulang (Tahun)

2 5 10 20 50 100

0.05 -0.025 0.833 1.297 1.686 2.134 2.457

0.1 -0.050 0.822 1.308 1.725 2.213 2.549

0.15 -0.074 0.809 1.316 1.760 2.290 2.261

0.2 -0.097 0.793 1.320 1.791 2.364 2.772

0.25 -0.119 0.775 1.321 1.818 2.432 2.881

0.3 -0.141 0.765 1.318 1.841 2.502 2.987

0.35 -0.160 0.733 1.313 1.860 2.564 3.089

0.4 -0.179 0.710 1.304 1.875 2.621 3.187

0.45 -0.196 0.687 1.292 1.885 2.673 3.280

0.5 -0.211 0.663 1.278 1.891 2.720 3.367

0.55 -0.225 0.638 1.261 1.893 2.761 3.449

(38)

22

 Metode Log-Normal

Rumus yang digunakan dalam perhitungan dengan metode ini mempunyai persamaan transformasi:

Log X = logXk.SlogX dimana :

Log X = nilai logaritma data X yang diharapkan terjadi pada peluang atau periode ulang tertentu

LogX = rata-rata nilai logaritma data X hasil pengamatan X

Slog = deviasi standar logaritma nilai X hasil pengamatan

K = karakteristik distribusi log normal. Nilai k diperoleh dari tabel yang merupakan fungsi peluang kumulatif dan periode ulang, (Tabel 4) CS = koefisien kemencengan

= 3 CV + CV3 CK = koefisien kurtosis

= CV8 + 6CV6 + 15CV4 + 16CV2 + 3 CV = koefisien variasi

=

 

 = deviasi standar populasi ln X atau log X

 = rata-rata hitung populasi ln X atau log X

 Metode Log-Pearson III

Pada situasi tertentu, walaupun data yang diperkirakan mengikuti distribusi sudah dikonversi kedalam bentuk logaritmis, ternyata kedekatan antara data dan teori tidak cukup kuat untuk menyimpulkan pemakaian distribusi Log-Normal (Suripin 2002).

Person telah mengembangkan serangkaian fungsi probabilitas yang dapat dipakai untuk hampir semua distribusi probabilitas empiris. Tidak seperti konsep yang melatar belakangi pemakaian distribusi Log-Normal untuk banjir puncak, maka distribusi probabilitas ini hampir tidak berbasis teori. Distribusi ini masih tetap dipakai karena fleksibilitasnya (Suripin 2002).

Ada tiga parameter penting dalam Log-Person III, yaitu harga rata-rata, simpangan baku, dan koefisien kemencengan. Yang menarik, jika koefisien kemencengan sama dengan nol, distribusi kembali ke distribusi Log-Normal (Suripin 2002).

Berikut ini langkah-langkah penggunaan distribusi Log-Person III :

 Ubah data ke dalam bentuk logaritmis dari Xi menjadi Log Xi.

 Hitung harga rata-rata : n

Log

X n Xi

i rt 

log dimana :

Xi = titik tengah tiap interval kelas (mm). Xrt = rata-rata hitungan (mm).

Gambar

Gambar 3. Peta Lokasi Penelitian di DAS Ciberang Outlet Bendungan Karian
Tabel 2. Matriks Data dan Metode Analisa yang Digunakan dalam Penelitian
Gambar 4. Diagram Alir Tahapan Penelitian
Tabel 3. Hubungan Reduksi Data Rata-rata (Yn), Deviasi Standar (Sn)
+7

Referensi

Dokumen terkait

In developing a model of post-modern/self-actualization language learning, the writer considers major viewpoints of the nature of language and language learning

Selanjutnya dinyatakan pula oleh Agus Mahendra bahwa keberuntungan bila guru menempuh pendekatan Pola Gerak Dominan (PGD), yaitu: (1) Guru dapat berkonsentrasi pada pola gerak

LC-22 Tabel LC.12 Komposisi Bahan Masuk ke Centrifuge ………...LC-28 Tabel LD.1 Spesifikasi Pompa Utilitas...LD-4 Tabel LD.2 Perhitungan Tangki Pelarutan...LD-10 Tabel LD.3

Sementara itu dampak yang tidak diharapkan terhadap keberadaan pasar modern diantaranya adalah: dampak yang terjadi pada ritel kecil, terutama ritel kecil yang

Turner &amp; Helms (1995) mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan, antara lain jumlah interaksi yang efektif antara pasangan, kepribadian pasangan

Dari hasil praktikum yang kami lakukan dapat disimpulkan bahwa setiap spesies dalam Chlorophyta memiliki bentuk yang berbeda antara satu spesies dengan spesies lainnya. Hal ini

Berdasarkan hasil inventarisasi yang dilakukan langsung di kawasan hutan lindung Kecamatan Ulu Pungkut pada Desa Alahankae, Hutanagodang, dan Simpang Banyak,

Pada tahap ke-1 adalah persiapan, dengan melakukan survey lokasi penelitian dan ijin kepada pelaksana pembangunan proyek untuk dapat melakukan pengamatan secara langsung