• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian pengaruh aerasi dan konsentrasi sludge terhadap laju penurunan c/n pada proses co-composting blotong dan sludge industri gula

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian pengaruh aerasi dan konsentrasi sludge terhadap laju penurunan c/n pada proses co-composting blotong dan sludge industri gula"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PENGARUH AERASI DAN KONSENTRASI

SLUDGE

TERHADAP

LAJU PENURUNAN C/N PADA PROSES

CO-COMPOSTING

BLOTONG DAN

SLUDGE

INDUSTRI GULA

SKRIPSI

GHILDA AGASTIRANI

F34070113

2011

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

THE STUDY OF AERATION EFFECT AND SLUDGE CONCENTRATION

TO DECREASE RATE OF C/N VALUE FROM CO-COMPOSTING

PROCESS OF FILTER CAKE AND SLUDGE OF THE SUGAR INDUSTRY

Ghilda Agastirani

Departement of Agroindustrial Tecnology, Faculty of Agricultural Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus,

PO Box 220, Bogor, West Java, Indonesia E-mail : ghilda_agastysmile@yahoo.co.id

ABSTRACT

Filter cake and sludge are a solid waste of sugar industry which containing high organic material so that can be used as raw material for making organic fertilizer. Technology co-composting can reduce the content of organic material with the help of microorganisms decomposing. The purpose of this research is utilizing blotong and sludge of the sugar industry through co-composting technology and determine the influence of aeration and sludge concentration on the value of C / N in the co-composting and sludge blotong sugar industry. The research were done by the air stream both actively and passively on filter cake and sludge mixture. The active aeration treatment conducted during the first week so it can help the process of decompotition of organic material. Filter cake and sludge mixture consisting of three standard sludge concentration is 0%, 15, and 30%.

Co-composting technology can be used as an alternative solid waste handling of the sugar industry. Aeration treatment and variated concentration of sludge did not give a noticeable effect on the value of C / N. The aeration rate of 2 L / kg dry basis and time of aerating did not affect the process of decomposition of organic material.

(3)

Ghilda Agastirani. F34070113. Kajian Pengaruh Aerasi Dan Konsentrasi Sludge Terhadap Laju Penurunan C/N Pada Proses Co-composting Blotong Dan Sludge Industri Gula. Di bawah bimbingan Nastiti Siswi Indrasti. 2011

RINGKASAN

Industri gula menghasilkan sejumlah limbah padat selama proses produksi berlangsung. Limbah padat industri gula memiliki kandungan bahan organik tinggi yang dapat mengganggu kestabilan lingkungan. Salah satu limbah padat tersebut yaitu blotong. Blotong merupakan limbah yang dihasilkan dari proses pemurnian nira. Produksi rata-rata blotong mencapai 3% dari total tebu yang digiling per hari. Penanganan limbah padat yang dilakukan oleh industri gula yaitu membuang limbahpada lahan yang telah dipersiapkan (land filling). Namun, land filling mempunyai kekurangan terkait keterbatasan lahan yang semakin berkurang. Alternatif penanganan limbah padat industri gula yang dapat dilakukan yaitu proses co-composting. Co-composting merupakan proses pengomposan bahan organik dari hasil samping penanganan limbah cair secara biologis berupa lumpur yang mengandung sisa biomassa. Co-composting limbah blotong dikombinasikan dengan limbah sludge

yang berasal dari instalasi penanganan air limbah (IPAL).

Tujuan dari penelitian ini yaitu pemanfaatan blotong dan sludge melalui teknologi co-composting mengetahui pengaruh aerasi dan konsentrasi sludge terhadap laju penurunan C/N. Rancangan percobaan yang digunakan menggunakan Rancangan acak lengkap dua faktorial dengan dua kali ulangan. Karakterisasi awal bahan dalam penelitian pendahuluan menunjukan bahwa blotong mengandung kadar karbon 10,68%, kadar nitrogen 0,76%, dan kadar air 47,33%, sedangkan sludge

mengandung kadar karbon 6,42%, kadar nitrogen 0,26%, dan kadar air 34,07%. Penelitian utama dilakukan dengan perlakuan aerasi secara aktif dan pasif pada hasil pencampuran blotong dan sludge. Perlakuan aerasi aktif menggunakan suplai udara dengan laju 2 ℓ /menit/kg berat kering bahan sedangkan aerasi pasif hanya berupa aliran udara alami dari lingkungan sekitar. Pencampuran bahan baku mencakup tiga taraf konsentrasi sludge dengan dua kali ulangan. Taraf konsentrasi sludge

tersebut yaitu 0%, 15%, dan 30% terhadap total bahan sebanyak 5 kg (dry basis). Pengamatan dilakukan pada parameter suhu, kadar air, kadar C, kadar N, pH, dan C/N.

Baik untuk perlakuan aerasi aktif maupun pasif, hasil pengamatan suhu menunjukkan adanya peningkatan suhu pada 3 minggu pertama dengan suhu optimum masing-masing 31,42ºC dan 32,63 ºC. Pada minggu selanjutnya, suhu relatif konstan yaitu 28ºC untuk perlakuan aerasi aktif dan 27,5 ºC untuk perlakuan aerasi pasif. Peningkatan suhu hanya mencapai suhu mesofilik karena timbunan kompos yang dangkal. Peningkatan suhu menunjukan adanya aktivitas mikroorganisme yang mendegradasi bahan organik. Proses dekomposisi terjadi pada awal proses co-composting karena adanya peningkatan suhu. Peningkatan suhu pada awal co-composting menunjukan penguraian bahan organik terjadi pada awal proses co-composting.

Hal yang sama terjadi pada pengamatan pH, perubahan pH juga terjadi dalam kurun waktu 3 minggu pertama, baik untuk perlakuan aerasi aktif maupun pasif. Namun, untuk tiap konsentrasi

(4)

konsentrasi 15% juga mengalami peningkatan hingga 7,61 dan mencapai konstan pada 7,18. Namun, hanya pada konsentrasi sludge 30%, pH relatif konstan pada 7,03 – 7,34. Nilai pH pada perlakuan aerasi pasif dengan konsentrasi sludge 0% terjadi peningkatan pH yang signifikan yaitu dari pH berubah dari 5,80 hingga mencapai 8,31 kemudian pH bergerak netral pada kisaran pH 7,03. Pada aerasi pasif dengan konsentrasi sludge 15 % mengalami peningkatan hingga mencapai 7,61. Namun, untuk nilai pH dengan konsentrasi sludge 30%, pH relatif konstan dengan kisaran pH 7,02 – 7,32. Peningkatan nilai pH disebabkan adanya kondisi volatilitas nitrogen yang terjadi pada awal proses co-composting. Kecenderungan peningkatan ini menimbulkan suasana basa dalam reaktor. Hal ini menunjukkan adanya kehilangan unsur nitrogen sehingga aktifitas dekomposisi. Namun, pada pengamatan selanjutnya pH bahan relatif konstan dalam kisaran pH yang mendekati netral.

Kadar air cenderung mengalami penurunan baik pada perlakuan aerasi aktif maupun pasif. Pola yang sama terlihat pada grafik kandungan air baik untuk perlakuan aerasi aktif maupun pasif. Pola tersebut yakni terjadi peningkatan kadar air pada awal co-composting grafik konsentrasi sludge

0% namun penurunan yang terjadi pada grafik konsentrasi sludge 15% dan 30%. Pada konsentrasi

sludge 0%, peningkatan kadar air disebabkan adanya pembentukan air selama proses penguraian bahan organik kemudian kadar air menurun dan relatif stabil pada akhir proses. Kadar air yang cenderung menurun pada akhir pengamatan terjadi akibat evaporasi yang terjadi selama proses dekomposisi berlangsung.

Pada pengamatan nilai C/N secara keseluruhan relatif stabil karena nilai C/N awal bahan yang rendah. Bahan baku yang telah terdekomposisi secara alami pada landfilling menyebabkan nilai C/N menurun. Hasil analisa sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan aerasi dan variasi konsentrasi

sludge tidak berpengaruh terhadap nilai C/N. Nilai C/N awal untuk konsentrasi sludge 0%, 15% dan 30% pada aerasi aktif secara berurutan yaitu 13,56, 13,04, dan 13,75 sedangkan nilai C/N awal pada aerasi pasif yaitu 14,33, 14,21, dan 16,96 pada urutan konsentrasi sludge yang sama. Nilai C/N awal yang rendah menyebabkan penurunan nilai C/N yang rendah.

(5)

KAJIAN PENGARUH AERASI DAN KONSENTRASI

SLUDGE

TERHADAP

LAJU PENURUNAN C/N PADA PROSES

CO-COMPOSTING

BLOTONG DAN

SLUDGE

INDUSTRI GULA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

GHILDA AGASTIRANI

F34070113

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Kajian Pengaruh Aerasi dan Konsentrasi Sludge Terhadap Laju Penurunan C/N pada Proses Co-composting Blotong dan Sludge Industri Gula

Nama : Ghilda Agastirani NIM : F34070113

Menyetujui,

Pembimbing,

(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP 19621009 198903 2001

Mengetahui : Ketua Departemen,

(Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti) NIP 19621009 198903 2001

(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul “Kajian Pengaruh Aerasi Dan Konsentrasi Sludge Terhadap Laju Penurunan C/N Pada Proses Co-composting Blotong Dan Sludge Industri Gula” adalah karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011 Yang membuat pernyataan

(8)

© Hak cipta milik Ghilda Agastirani, tahun 2011 Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari

(9)

BIODATA PENULIS

Ghilda Agastirani. Lahir di Kebumen 14 Juni 1989 sebagai putri pertama pasangan Djoko Warisman dan Tasimi dan sebagai kakak dari Birendra Giovani dan Titan Yuri Mahaka. Pada tahun 2007, penulis menamatkan pendidikan SMA di SMA Negeri 89 Jakarta. Pada tahun yang sama, penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru 2007 (SPMB). Penulis memilih Mayor Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian.

(10)

iii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmaanirrahiim. Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam selalu tercurah kepada suri tauladan seluruh umat manusia Nabi Muhammad SAW. Bidang penelitian yang menjadi kajian penulis dalam penelitian ini adalah teknologi managemen lingkungan dengan judul Kajian Pengaruh Aerasi Dan Konsentrasi Sludge Terhadap Laju Penurunan C/N Pada Proses Co-Composting Blotong Dan Sludge Industri Gula.

Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada :

• Prof. Dr. Ir. Nastiti Siswi Indrasti selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama masa studi penulis hingga selesainya tugas akhir ini.

• Bapak, Ibu, dan kedua adikku yang selalu memberikan perhatian, didikan, doa, kasih sayang, dan semangat yang tak terhingga.

• Essiyana Dwiyanty dan Adi Setiawan selaku rekan kerja selama penelitian yang telah membantu dan memberikan dukungan.

• Seluruh laboran Laboratorium Teknologi Industri Pertanian atas informasi dan bantuannya dalam proses analisis

• Seluruh teknisi Laboratorium Peralatan Industri Leuwikopo atas bantuannya dalam pengerjaan proses co-composting

• Dosen-dosen Teknologi Industri Pertanian IPB, atas transfer ilmu pengetahuan dan teknologinya • Keluarga besar Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB khususnya rekan-rekan TIN 44.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh mendekati sempurna sehingga penulis menerima segala saran dan kritik dari pembaca. Terlepas dari semua itu, penulis mengharapkan bahwasanya skripsi ini dapat bermanfaat bagi seluruh pihak dan kemajuan industri di Indonesia.

(11)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR GAMBAR ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... viii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan Penelitian ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Limbah Industri Gula ... 4

2.2 Teknologi Pengomposan ... 5

2.3 Proses Pengomposan ... 9

2.4 Karakteristik Kompos ... 11

III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat Penelitian ... 14

3.2 Metode Penelitian ... 15

Penelitian Pendahuluan ... 15

Penelitian Utama ... 15

3.3 Tata Laksana Penelitian ... 18

3.4 Rancangan Percobaan ... 19

3.5 Waktu dan Tempat Penelitian ... 19

IV. HASIL dan PEMBAHASAN 4.1 Hasil Pengamatan Parameter Uji ... 21

(12)

v

4.1.2 Kadar Air ... 22

4.1.3 pH ... 23

4.1.4 Nilai C/N ... 24

4.2 Karakteristik Kandungan Kompos Akhir ... 25

4.2.1 Penampakan Fisik ... 25

4.2.2 Kadar Air ... 26

4.2.3 pH ... 26

4.2.4 Nilai C/N ... 27

4.2.5 Fosfor (P2O5) ... 27

4.2.6 Kalium (K2O) ... 28

V. KESIMPULAN DAN SARAN 4.1 Kesimpulan ... 29

4.2 Saran ... 29

DAFTAR PUSTAKA ... 30

(13)

vi

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Komposisi blotong ... 4

Tabel 2. Komposisi sludge industri gula ... 5

Tabel 3. Kondisi proses yang ideal untuk pengomposan ... 9

Tabel 4. Tahapan kematangan kompos ... 10

Tabel 5. Komponen bahan yang terdapat dalam kompos ... 12

Tabel 6. Indikator kematangan kompos ... 13

Tabel 7. Standar mutu kompos ... 13

Tabel 8. Kombinasi perlakuan bahan baku penelitian ... 16

Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan dalam co-composting ... 20

Tabel 10. Komposisi awal bahan pada perlakuan aerasi aktif ... 20

Tabel 11. Komposisi awal bahan pada perlakuan aerasi pasif ... 20

(14)

vii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Keuntungan sistem pengomposan relatif terhadap landfilling ... 6

Gambar 2. (a)Tempat pembuangan blotong ... 14

(b) Sludge drying bed ... 14

Gambar 3 (a) Kompresor... 16

(b) Pipa aerasi ... 16

(c) Reaktor pengomposan ... 16

Gambar 4. (a) Rangkaian reaktor pada perlakuan aerasi aktif ... 16

(b) Reaktor pada perlakuan aerasi pasif ... 16

Gambar 5. Skema proses aerasi co-composting ... 17

Gambar 6. Diagram alir pelaksanaan penelitian ... 18

Gambar 7. Pengukuran suhu pada perlakuan aerasi aktif ... 21

Gambar 8. Pengukuran suhu pada perlakuan aerasi pasif ... 22

Gambar 9. (a) Hasil pengamatan kadar air pada aerasi aktif ... 22

(b) Hasil pengamatan kadar air pada aerasi pasif ... 22

Gambar 10. (a) Hasil pengamtan pH pada aerasi aktif ... 23

(b) Hasil pengamatan pH pada aerasi pasif ... 23

Gambar 11.Hasil pengamatan nilai C/N pada aerasi aktif ... 24

Gambar 12.Hasil pengamatan nilai C/N pada aerasi pasif ... 25

Gambar 13. Kandungan air akhir pada kompos ... 26

Gambar 14. Karakteristik pH akhir pada kompos ... 27

Gambar 15. Nilai C/N akhir pada kompos ... 27

Gambar 16. Kandungan fosfor pada kompos ... 28

(15)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Prosedur Analisis Karakteristik Kompos ... 34

Lampiran 2. Data Pengamatan Suhu ... 36

Lampiran 3. Data pengamatan Kadar Air, Nilai C, Nilai N, dan Nilai C ... 37

Lampiran 4. Nilai C/N selama co-composting ... 38

Lampiran 5. Data pengamatan pH selama co-composting ... 38

Lampiran 6. Analisis Sidik Ragam Terhadap Laju Penurunan C/N ... 39

Lampiran 7. Hasil analisis sidik ragam terhadap kadar fosfor akhir kompos ... 40

Lampiran 8. Hasil analisis sidik ragam terhadap kadar kalium kompos akhir ... 41

(16)

I.

PENDAHULUAN

1.1.

Latar Belakang

Industri gula merupakan salah satu industri yang menyokong kebutuhan bahan pokok masyarakat Indonesia. Sebagian besar industri gula Indonesia menggunakan tanaman tebu sebagai bahan baku utama penghasil gula kristal. Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap kegiatan proses produksi pasti menghasilkan limbah sebagai hasil samping yang tidak diinginkan. Pada kegiatan produksi gula kristal, industri gula menghasilkan sejumlah limbah baik berupa limbah padat, cair maupun gas. Limbah padat yang dihasilkan selama proses produksi berlangsung antara lain ampas tebu, pucuk tebu, blotong, dan abu ketel.

Blotong (filter cake) merupakan salah satu limbah padat yang dihasilkan dari proses pemurnian nira. Nira mentah hasil perahan pada proses ekstraksi nira masih mengandung sejumlah zat pengotor (zat bukan nira). Zat pengotor ini terdiri dari air, dan kotoran. Proses pemurnian nira terdiri dari evaporasi, defekasi, sulfitasi, dan flokulasi. Pemurnian nira menghasilkan nira encer dan nira kotor. Nira encer akan masuk ke proses selanjutnya yaitu evaporasi sedangkan nira kotor akan masuk pada proses penapisan nira. Penapisan nira menggunakan Rotary Vacuum Filter (RVF) sehingga kandungan nira pada nira kotor dapat terpisah dari gumpalan kotoran. Nira tapis selanjutnya dikembalikan pada awal proses pemurnian nira sedangkan kotoran (blotong) akan terkumpul. Produksi blotong mencapai 3% dari total tebu yang digiling per harinya. PG Jatitujuh dengan kapasitas produksi 5.000 TCD menghasilkan blotong 150 ton per harinya. Selama masa giling berlangsung, total blotong yang dihasilkan dapat mencapai 22.500 ton per tahun. Blotong tersebut ditampung pada areal lahan terbuka yang telah dipersiapkan (land filling). Penimbunan blotong pada areal tersebut akan menjadi masalah karena kuantitas limbah akan terus bertambah setiap tahunnya.

Selain itu, selama proses produksi berlangsung, limbah cair polutan ditangani oleh Unit Penanganan Limbah Cair (UPLC) atau lebih umum dikenal sebagai Instalasi Penanganan Air Limbah (IPAL) industri gula. Limbah cair polutan dapat merusak kesetimbangan lingkungan terutama badan air sebagai tempat pembuangan terakhir limbah cair. Oleh karena itu, IPAL industri gula perlu mengolah limbah cair tersebut dengan mengurangi beban pencemar limbah. IPAL industri gula menggunakan penanganan biologis ‘activated sludge’ untuk menurunkan beban pencemar limbah. Sama seperti halnya proses produksi, proses penanganan limbah cair polutan ini juga menghasilkan limbah lainnya. Limbah yang dihasilkan dari penanganan limbah cair ini berupa lumpur yang masih mengandung biomasa. Lumpur ini dikenal dengan istilah sludge. Sludge muncul dari proses koagulasi, flokulasi dan sedimentasi yang terjadi selama pengolahan limbah cair. Kotoran yang telah terbentuk dan terpisahkan dari cairan akan terkumpul pada tempat penampung sludge yaitu sludge dying bed. Sludge memiliki potensi yang berbahaya bagi lingkungan bila langsung dibuang tanpa proses penanganan terlebih dahulu karena ketidakstabilan biomassa sludge dapat mengganggu ekosistem lingkungan. Selama ini, penanganan sludge industri gula belum tertangani secara optimal. Produksi rata-rata sludge mencapai 50 kg/hari. Sama seperti penanganan blotong, penanganan sludge

(17)

Land filling memiliki kekurangan terkait dengan kapasitas atau daya tampung tertentu sehingga kuantitas limbah padat yang dihasilkan terus menerus akan mengurangi kapasitas lahan. Pada periode waktu tertentu diperlukan areal baru untuk menampung sludge yang semakin bertambah. Selain itu, permasalahan ketersediaan lahan yang semakin berkurang akan menjadi penghambat dalam proses pembentukan lahan baru diwaktu yang akan datang. Walaupun secara alami, bahan organik akan terurai dengan sendirinya seperti yang terjadi pada land filling blotong. Namun, proses penguraian ini tidak terkendali seperti waktu dekomposisi yang relatif lebih lama, temperatur tidak stabil karena cuaca yang tidak menentu, air hujan yang cenderung asam, dan proses aerobik yang tidak merata pada timbunan blotong. Hal ini tentu saja dapat mengurangi efektifitas proses pemanfaatan limbah menjadi pupuk organik. Selain itu, tidak terkendalinya proses dekomposisi akan menurunkan kualitas pupuk organik yang dihasilkan.

Alternatif penanganan limbah padat yang dapat membantu permasalahan land filling yaitu proses co-composting. Co-composting blotong dan sludge berpotensi untuk mereduksi kuantitas limbah padat dengan mengkonversinya menjadi pupuk organik. Proses konversi ini melibatkan mikroorganisme pengurai yang merubah bahan organik menjadi unsur hara tanah. Blotong masih mengandung bahan organik, mineral, serat kasar, dan protein kasar. Bahan tersebut dapat dikombinasikan dengan sludge yang memiliki sumber nutrient bagi mikroorganisme pendekomposisi bahan organik. Sludge memiliki kandungan nitrogen yang tinggi, fosfor, dan karbon. Oleh karena itu,

co-composting blotong dengan sludge yang berasal dari instalasi penanganan air limbah (IPAL) dapat menjadi solusi penanganan limbah padat industri gula sekaligus menghasilkan produk fungsional seperti kompos.

Proses co-composting blotong dan sludge dapat menurunkan nilai C/N dari campuran bahan tersebut. Nilai C/N yang tinggi menunjukan bahwa bahan tersebut masih akan mengalami proses dekomposisi oleh mikroorganisme. Mikroorganisme membutuhkan unsur N untuk sintesis protein yang diperoleh dari tanah. Hal ini mengakibatkan unsur N dalam tanah yang seharusnya dapat diserap tanaman menjadi berkurang. Oleh karena itu, limbah industri yang masih memiliki kandungan bahan organik harus mengalami proses pengomposan terlebih dahulu hingga nilai C/N serupa dengan nilai C/N tanah yaitu 20 (Yusnaini dkk. 1996).

Kompos merupakan nutrien tanah pertanian yang dapat memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan unsur hara tanah. Penambahan kompos dapat juga meningkatkan aktivitas mikroba tanah yang memiliki peran penting sebagai penghasil senyawa perangsang pertumbuhan tanaman. Kompos akan meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat sehingga tanaman dapat menyerap nutrien tanah dengan baik. Tanaman yang menggunakan pupuk kompos cenderung lebih baik kualitasnya karena unsur hara yang tersedia berasal dari bahan alami.

Selama ini penanganan limbah padat industri gula yang mengandung bahan-bahan organik telah banyak digunakan sebagai bahan baku pembuatan kompos. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kombinasi pemanfaatan blotong dengan bahan organik lain seperti pucuk tebu, abu ketel, jerami, dan sekam padi dapat dijadikan sumber nutrien pemulih kesuburan tanah.

Pengomposan limbah industri gula memberikan nilai tambah berupa penyediaan pupuk organik bagi industri gula dengan memanfaatkan produk samping yang berlimpah. Tentu saja hal ini dapat memberikan profit bagi industri gula sendiri. Penanganan blotongdan sludge melalui teknologi co-composting memerlukan informasi yang terkait dengan faktor – faktor yang mempengaruhi kualitas kompos dan lamanya waktu pengomposan. Pada penelitian ini, faktor aerasi dan konsentrasi limbah

(18)

1.2.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Memanfaatkan blotong dan sludge industri gula melalui teknologi co-composting

2. Mengetahui pengaruh aerasi terhadap nilai C/N pada co-composting blotong dan sludge industri gula

(19)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1.

Limbah Industri Gula

Industri gula menghasilkan sejumlah limbah baik berupa limbah padat, cair maupun gas. Limbah industri gula mengandung bahan organik yang berpotensi mencemari lingkungan bila tidak tertangani dengan baik. Menurut Widiantoko (2010) limbah padat yang dihasilkan berupa ampas tebu (baggase), blotong, dan abu ketel. Ampas tebu merupakan residu dari penggilingan tebu yang mengandung serat dan selulosa (Kuo dan Lee 2009) sedangkan abu ketel merupakan hasil pembakaran ampas tebu sebagai bahan bakar boiler pada suhu 550-600 °C (Batubara 2009).

Blotong (filter cake) merupakan residu dari proses pemurnian nira berupa endapan semi basah. Komposisi blotong menurut Anonim (2009) adalah dari sabut, wax dan lemak kasar, protein kasar, gula, total abu, SiO2, CaO, P2O5 dan MgO. Perbedaan komposisi bahan tergantung dari pola produksi

dan tebu yang digunakan. Berdasarkan uji Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB unsur yang terkandung dalam blotong dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi blotong

Parameter Blotong

Bahan Organik 15,59 % Nitrogen 0,32 %

Karbon 8,39%

Fosfor 0,49 %

C/N ratio 26,22 Kalium (K2O) 0,19 %

Kalsium 1,81%

Besi 0,43%

Alumunium 0,52 %

Mangan 0,04 %

Magnesium 0,084 %

Sumber : Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB, 2011

(20)

Pada umumnya, industri di Indonesia menggunakan sistem penangan limbah cair secara biologis untuk mengurangi beban pencemar limbah cair. Pengolahan limbah cair secara biologis bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan kandungan organik yang terdapat di dalam limbah dengan bantuan mikroorganisme. Adapun tipe proses pengolahan biologis secara aerob yang sering digunakan antara lain Activated Slude Process (proses lumpur aktif), Stabilization Ponds (kolam stabilitas), Trickling Filter, dan Rotating Biological Contactors (RBCs) (Djajadiningrat, 1992). Sebagian besar industri gula yang beroperasi di Indonesia menerapkan sistem penangan limbah cair Activated Sludge Process.

Sama seperti proes utama pembuatan gula kristal, proses penangan limbah cair pun menghasilkan limbah lainnya yakni sludge. Menurut Suprayitno (2001) sludge merupakan kumpulan mikroorganisme yang bekerja mengurai bahan organik dalam sistem pengolahan limbah cair. Selama proses berlangsung, jumlah sludge akan terus meningkat sebagai hasil dari pertumbuhan mikroorganisme pengurai.

Sebagian besar komponen sludge terdiri dari mikroorganisme sehingga dapat diperkirakan bahwa komposisi dasar sludge adalah sel mikroba. Metcalf dan Eddy (1991) menyatakan bahwa komposisi dasar sel yatitu 90% material organik dan 10% material anorganik. Fraksi organik menunjukan bahwa terdapat 53% kandungan C dan memiliki kandungan ratio C/N empiris yaitu 4,3%. Fraksi anorganik terdiri dari 50% P2O5, 15% SO3, 11%Na2O, 9% CaO, 8 % MgO, 6 % K2O

dan 1% Fe2O5. Namun, tidak semua sludge mengandung komponen dasar yang sama. Menurut Arifudin (2001) karakteristik sludge industri berbeda-beda tergantung dari jens industri, tambahan bahan kimia, dan sistem dewatering dari sludge. Karakteristik sludge industri gula berdasarkan uji Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Komposisi sludge industri gula

Parameter Blotong

Bahan Organik 42.19 % Nitrogen 3.79 %

Karbon 23.18%

Fosfor 1.86 %

C/N ratio 6.12

Kalium (K2O) 1.74 %

Kalsium 1.83%

Besi 1.41%

Alumunium 1.02 %

Mangan 0.148 %

Magnesium 0.106 %

Sumber : Laboratorium Pengujian Departemen Teknologi Industri Pertanian IPB, 2011

2.2.

Teknologi Pengomposan

(21)

anorganik tertentu yang dapat membahayakan kesehatan manusia bila terakumulasi dalam udara. Sebagai contoh, emisi senyawa organik yang berbahaya yaitu dioxin sedangkan bahan anorganik berbahaya yaitu Cadmium dan campuran mercury. Pembakaran pada suhu 100-1200ºC dapat menghilangkan senyawa dioxin namun hal ini membutuhkan supplai energi yang besar sehingga biaya operasional sistem ini menjadi tinggi.

Landfilling merupakan salah satu cara penanganan limbah padat dengan cara mengumpulkan limbah padat pada suatu areal lahan tertentu. Sistem ini membutuhkan lahan yang luas untuk menampung limbah padat yang dihasilkan selama proses produksi berlangsung. Namun, ketersediaan lahan yang terbatas saat ini mengakibatkan pengelolaan sistem landfilling sangat mahal. Selain itu, penimbunan limbah tersebut dapat mengakibatkan timbulnya emisi gas yang berpeluang menimbulkan bahaya bagi manusia.

Sistem recycling merupakan sistem pendayagunaan limbah menjadi suatu produk lain yang memiliki nilai tambah dan manfaat tersendiri. Sistem recycling merupakan sistem yang paling efektif untuk mengatasi penimbunan limbah padat. Selama proses recycling berlangsung, limbah padat mengalami perubahan bentuk menjadi benda dengan fungsi yang berbeda. Pengomposan merupakan bagian dari kegiatan recycling karena proses ini mendayagunakan limbah padat organik melalui fermentasi. Proses pengomposan dapat mencegah terjadinya penimbunan limbah padat. Pengomposan berperan penting dalam bidang pertanian yang berkelanjutan melalui pertanian organik, pengurangan komponen kimia dalam pertanian dan kegiatan pertanian yang disesuaikan dengan standar operasi EPA.

Menurut Suprihatin et al (2008), sistem pengomposan memiliki beberapa keuntungan antara lain bisnis pengomposan yang ekstensif dapat menyerap tenaga kerja. Keuntungan pengomposan sampah yang lebih bersifat lokal adalah penurunan jumlah sampah yang harns diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sehingga timbunan sampah dapat mencemari saluran air atau air tanah, serta menjadi sarang penyakit. Jumlah kebutuhan lahan untuk pembuangan sampah juga akan berkurang jika lebih banyak sampah yang dikomposkan. Kualitas udara akan meningkat karena timbunan sampah yangmengandungbahan organic basah akanberkurangdan tidak lagi menumpuk. Secara umum perbandingan keuntungan pengomposan terhadap landfill dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Keuntungan sistem pengomposan relatif terhadap landfilling

Sampah

Kompos Pengomposan

(aerobik)

Landfill sites/Open Dumping

(anaerobik)

Perbakian struktur tanah

Pengaruh positif terhadap lingkungan dan sosial CH4, CO2, dan bau

H2O (leachate)

CO2

(22)

Pengomposan merupakan suatu proses biokimiawi yang mendekomposisi bahan organik menjadi zat-zat humus oleh berbagai macam mikroorganisme pengurai pada kondisi terkontrol. Biokonversi dilakukan oleh mikroorganisme heterotrofik yang berbeda-beda seperti bakteri, kapang, protozoa, dan actinomycetes (Gaur, 1983). Hasil akhir proses pengomposan berupa bahan yang bagus untuk digunakan tanah sebagai pemulih unsur hara (Indriani 1999). Proses pengomposan yang sempurna akan menghasilkan produk pupuk yang tidak berbau dan tidak bersifat patogen baik dalam aplikasi maupun penyimpanannya. Hal ini disebabkan selama proses biokonversi berlangsung, suhu bahan akan mencapai suhu pasteurization dari 50-70°C sehingga bakteri patogen dari sludge akan mati (Metcalf dan Eddy 1991) dan proses aerasi yang baik akan menekan kondisi anaerobik yang dapat menimbulkan bau busuk (Haug 1890). Pengomposan secara aerobik tidak menimbulkan bau busuk dan memiliki waktu pengomposan yang relatif singkat sehingga proses ini cocok untuk diaplikasikan pada pengomposan limbah industri gula.

Pada dasarnya proses pengomposan mengubah bahan-bahan organik pada limbah menjadi bahan yang memiliki unsur-unsur yang serupa dengan unsur hara tanah sehingga dapat memperkaya nutrien tanah bagi tanaman. Co-composting merupakan proses pengomposan bahan organik dari hasil samping penanganan limbah cair secara biologis berupa lumpur yang mengandung sisa biomassa. Prinsip co-composting tidak jauh berbeda dengan proses pengomposan pada umumya. Faktor utama yang dapat digunakan sebagai indikator pengomposan adalah ratio C/N. Hal ini sesuai dengan yang diungkapkan Indriani (1999) bahwa prinsip pengomposan adalah menurunkan ratio C/N bahan organik hingga sama dengan ratio C/N tanah (kurang dari 20). Ada proses perubahan yang terjadi selama pengomposan yaitu perubahan karbohidrat, selulosa, hemiselulosa, lemak dan lilin menjadi CO2 dan air, serta perubahan protein menjadi amonia, CO2 dan air. Hal ini dapat menurunkan kadar

karbohidrat dan meningkatkan senyawa N yang larut dalam bentuk amonia, sehingga ratio C/N menurun mendekati ratio C/N tanah. Hal yang sama dikemukakan oleh Dalzell et al (1987), selama proses pengomposan berlangsung, mikroorganisme menggunakan oksigen untuk mengurai bahan organik. Proses penguraian tersebut menghasilkan sejumlah energi yang digunakan mikroorganisme untuk pergerakan dan pertumbuhan mikroorganisme baru.

Adapun faktor yang mempengaruhi proses pengomposan antara lain ratio C/N, ukuran partikel, aerasi, kelembaban, suhu, dan pH.

1. Ratio C/N

Unsur karbon dan nitrogen merupakan sumber energi untuk pertumbuhan mikroorganisme. Ratio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 20 – 30 sebagai perbandingan yang paling ideal. Mikroorganisme menggunakan sumber karbon untuk memenuhi kebutuhan energi dan sumber nitrogen untuk mensintesis protein. Ratio C/N yang terlalu rendah ataupun terlalu tinggi akan menghambat proses dekomposisi.

Hal yang sama dikemukakan oleh Isroi (2008) bahwa rasio C/N yang efektif untuk proses pengomposan berkisar antara 30: 1 hingga 40:1. Mikroorganisme akan memecah senyawa C sebagai sumber energi dan menggunakan N untuk sintesis protein. Pada rasio C/N di antara 30 - 40 mikroba mendapatkan cukup C untuk energi dan N untuk sintesis protein.

2. Ukuran partikel

Aktivitas mikroba pengurai berada di permukaan area bahan dan udara. Ukuran partikel yang lebih kecil memiliki permukaan yang lebih luas sehingga akan meningkatkan kontak antara mikroba dengan bahan. Hal ini dapat mempercepat proses dekomposisi bahan organik.

3. Aerasi dan kelembaban

(23)

menyebabkan udara hangat keluar dan udara yang lebih dingin masuk ke dalam tumpukan kompos. Proses aerasi dapat dibantu dengan pembalikan atau mengalirkan udara ke dalam tumpukan kompos. Bila aerasi terhambat akan menimbulkan proses anaerob yang ditandai dengan bau busuk. Porositas dan kelembaban sangat mempengaruhi suplai oksigen. Mikroorganisme mendekomposisi bahan organik bila bahan tersebut larut dalam air. Kelembaban optimum untuk metabolisme mikroba berkisar antara 40-60%. Bila kelembaban kurang dari 40%, aktivitas mikroba menurun sedangkan bila kelembaban diatas 60%, volume udara berkurang sehingga aktivitas menurun dan timbul fermentasi anaerobik.

Menurut Yamada dan Kawase (2005), laju optimum pengomposan sludge dengan serbuk gergaji yaitu 2,0 L/min/kg (berdasarkan total massa bahan baku awal dalam basis kering). Bila melibihi laju aerasi tersebut bahan baku akan menjadi dingin dan kering sehingga efisiensi pengomposan rendah sedangkan bila laju aerasi lebih rendah maka akan terbentuk kondisi anaerobik sehingga tidak diperoleh kualitas kompos yang baik.

4. Suhu

Peningkatan suhu terjadi akibat aktivitas metabolisme yang dilakukan oleh mikroorganisme pengurai. Ada hubungan langsung antara peningkatan suhu dengan konsumsi oksigen. Semakin tinggi suhu maka konsumsi oksigen pun akan meningkat dan proses dekomposisi akan lebih cepat terjadi. Suhu 30-60°C merupakan suhu optimum selama proses pengomposan berlangsung. Suhu diatas 60°C akan membunuh sebagian mikroba, patogen, dan benih gulma namun hanya mikroba termofilik saja yang masih bertahan hidup.

5. Nilai pH

Nilai pH optimum untuk proses pengomposan berkisar antara 6,5-7,5. Pengomposan dapat menyebabkan perubahan bahan organik sehingga terjadi perubahan pH. Bahan organik yang terurai menghasilkan asam akan menurunkan pH sedangkan yang menghasilkan ammonia akan meningkatkan pH pada fase awal. Namun, kompos yang sudah matang memiliki pH yang mendekati netral.

Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk pengomposan limbah pertanian yaitu

passive composting, windrow, aerated pile, dan in-vessel composting. Setiap metode tersebut dapat merubah kondisi proses pengomposan dengan memanipulasi aerasi, suhu, pembalikan bahan, dan kebutuhan investasi baik dari segi waktu, peralatan maupun lahan yang akan digunakan (Koehler-Munro 2001).

Berikut ini metode pengomposan yang telah banyak dilakukan untuk menangani limbah pertanian yang dikemukakan oleh Koehler-Munro (2001):

a. Passive composting merupakan metode pengomposan dengan menimbun bahan baku kompos dan memiliki pemeliharaan yang sederhana. Metode ini sesuai dengan bahan – bahan organik yang memiliki porositas tinggi sehingga difusi oksigen dapat berlangsung secara pasif. Proses pengomposan memerlukan waktu yang relative lebih lama karena proses dekomposisi berjalan lambat.

b. Sistem windrow dapat dilakukan baik secara tradisional maupun modern. Secara tradisional, metode ini hampir serupa dengan passive composting. Sistem windrow secara modern menggunakan bantuan mesin untuk mencampur dan membalik bahan untuk meningkatkan porositas dan melepaskan panas, uap air dan gas yang terkandung bahan selam pengomposan. c. Sistem aerated pile merupakan metode pengomposan dengan bantuan aerasi buatan. Aerasi

(24)

aerasi yang dialirkan ke dalam pipa. Walaupun secara teoritis pembalikan tidak perlu dilakukan dalam metode ini namun pembalikan tersebut tetap dilakukan sekali untuk sirkulasi udara optimum, menyebarkan kadar air bahan, dan mengoptimalkan dekomposisi bahan segar oleh mikroorganisme. Aerasi yang diberikan secara aktif membutuhkan waktu pengomposan yang lebih singkat dibandingakan dengan aerasi secara pasif.

d. In-vessel composting merupakan metode pengomposan yang memiliki periode pengomposan singkat dan membutuhkan sedikit lahan. Namun, cenderung membutuhkan biaya tinggi dan pengontrolan proses yang lebih ketat. Proses pengomposan berlangsung pada sebuah reactor atau wadah dengan pemberian aerasi dan pembalikan (pengadukan) otomatis menggunakan mesin.

2.3.

Proses Pengomposan

Proses pengomposan merupakan proses dekomposisi bahan organik dalam lingkungan yang terkendali. Pada dasarnya, semua bahan organik yang mengandung unsur karbon dan nitrogen dapat dikomposkan. Proses pengomposan secara alami relatif membutuhkan waktu yang lama seperti yang dikemukakan oleh Indriani (1999) bahwa proses pembuatan kompos memerlukan waktu hingga mencapai 2 – 3 bulan bahkan ada yang mencapai 6 – 12 bulan. Lama proses pengomposan tergantung dari ratio C/N yang dimiliki oleh bahan. Ratio C/N yang jauh melebihi 30 memiliki waktu pengomposan yang relatif lama untuk menurunkan ratio C/N bahan tersebut.

Selain itu, bahan baku kompos memerlukan ratio C/N yang ideal sehingga dapat mengoptimalkan penguraian bahan organik. Bahan yang ideal untuk dikomposkan memiliki nisbah C/N sekitar 30, sedangkan kompos yang dihasilkan memiliki nisbah C/N kurang dari 20. Bahan organik yang memiliki nisbah C/N jauh lebih tinggi di atas 30 akan terdekomposisi dalam waktu yang lama. Selain itu, keadaan ini dapat menyebabkan mikroorganisme yang terlibat dalam proses pengomposan kekurangan nitrogen (N). Sebaliknya jika nisbah tersebut terlalu rendah akan terjadi kehilangan nitrogen dalam bentuk amonia, karena menguap (teroksidasi) selama proses perombakan berlangsung.

Selain ratio C/N, kondisi proses pengomposan seperti kelembaban, ketersediaan oksigen, ukuran partikel, bulk density, pH dan suhu juga harus diperhatikan untuk menghindari kegagalan dalam membuat kompos. Kondisi proses yang ideal menurut Rynk (1992) dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 3. Kondisi proses yang ideal untuk pengomposan Kondisi Kondisi Yang dapat diterima Kondisi Ideal

Ratio C/N 20 – 40 25 – 35

Kelembaban 40 – 65 % 45 – 62 %

Konsentrasi oksigen > 5% > 10%

Ukuran Partikel 1 inchi Bervariasi

Bulk density 1000 lbs/cu yd 1000 lbs/cu yd

pH 5,5 – 9,0 6,5 – 8,0

Suhu 43 – 66 oC 54 – 60 oC

(25)

CO2 dan air sedangkan dalam proses anaerobik produk samping yang terbentuk yaitu CH4, alkohol,

CO2 dan asam-asam organik (Indriani 1999). Pada proses pengomposan ini, dekomposisi secara

anaerobik tidak diinginkan karena dapat menghasilkan bau yang tidak sedap dan mempengaruhi kualitas kompos yang terbentuk. Bau tidak sedap tersebut berasal dari terbentuknya H2S dan sulfur

organik (Haug 1980).

Proses dekomposisi bahan organik menurut Setyorini (2006) terjadi secara biofisiko – kimia melibatkan kegiatan biologis mikroba dan mesofauna. Secara umum, proses dekomposisi biokimiawi secara aerobik dan anaerobik dapat dilihat pada reaksi sebagai berikut.

Secara aerobik :

Bahan organik + O2 H2O + CO2 + hara +humus + enersi

Secara anaerobik :

Bahan organik CH4 + hara +humus

Secara lebih rinci, proses dekomposisi tiap unsur organik yang terjadi selama pengomposan seperti reaksi di bawah ini.

Dekomposisi bahan spesifik pada pengomposan aerobik (Gaur 1983): (CH2O)x + xO2 xCO2 + xH2O + Energi

N-organik NH4+ NO2- NO3- + Energi

S-organik SO42- + Energi

P-organik H3PO4 Ca(H2PO4)2

Pada proses dekomposisi menurut Sutanto (2002) terjadi dalam tiga tahapan yang dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 4. Tahapan kematangan kompos

Tahapan Pematangan Bahan Produk

Dekomposisi dan sanitasi Dekomposisi intensif Kompos segar Konversi Pematangan utama Kompos segar Sintetik Pasca pematangan Kompos matang

Mikroba mendekomposisi secara intensif, selama proses ini berlangsung terjadi reaksi eksotermik sehingga timbul panas akibat pelepasan energi. Panas dapat membunuh sebagian bakteri patogen yang terdapat dalam bahan. Aktivitas mikroorganisme tersebut juga mengkonversi bahan organik secara biokimiawi menghasilkan produk berupa unsur hara (humus).

Secara rinci, Isroi (2008) menjelaskan bahwa proses pengomposan sederhana terbagi menjadi dua tahap, yaitu tahap aktif dan tahap pematangan. Pada awal proses, oksigen dan senyawa-senyawa yang mudah terdegradasi akan segera dimanfaatkan oleh mikroba mesofilik. Suhu tumpukan kompos akan meningkat dengan cepat. Hal yang sama terjadi pada perubahan pH kompos yang semakin meningkat. Suhu akan meningkat hingga di atas 50 - 70oC. Suhu akan tetap tinggi selama waktu tertentu dan mikroba yang aktif pada kondisi ini adalah mikroba termofilik, yaitu mikroba yang aktif

Mikroba aerob N, P, K

Mikroba anaerob N, P, K

Gula, selulosa, hemiselulosa

Protein dan senyawa N-organik

(26)

pada suhu tinggi. Setelah sebagian besar bahan organik terurai, suhu akan mengalami penurunan secara bertahap. Pada saat ini terjadi pematangan kompos tingkat lanjut, yaitu pembentukan komplek liat humus. Selama proses pengomposan akan terjadi penyusutan volume maupun biomassa bahan. Pengurangan ini dapat mencapai 30 – 40% dari volume/bobot awal bahan (Isroi 2008).

2.4.

Karakteristik Kompos

Kompos merupakan hasil dari proses pengomposan bahan organik. Menurut Murbandono (2000), kompos ibarat multi-vitamin untuk tanah pertanian dengan meningkatkan kandungan bahan organik pada tanah sehingga dapat memperbaiki kualitas tanah. Bila dibandingkan dngan pupuk kimia, unsur makroyanglebih tinggi daripada kompos. Menurut (Indrasti et al. 2005) walaupun pupuk kimia memiliki kandungan unsur yang lebih tinggi dan mudah dalam pengaplikasiannya, pupuk kimia memiliki efek samping yang merugikan. Pupuk kimia dapat mengurangi tingkat kesuburan tanah dan residu bahan kimia dapat membahayakan kesehatan manusia. Menurut Anonim (2010), fungsi pupuk organik belum bisa tergantikan oleh pupuk kimia. Fungsi tersebut antara lain:

a. pupuk organik mampu menyediakan unsur hara makro dan mikro meskipun dalam jumlah kecil, b. memperbaiki granulasi tanah berpasir dan tanah padat sehigga dapat meningkatkan kualitas aerasi,

memperbaiki drainase tanah, dan meningkatkan kemampuan tanah dalam menyimpan air c. mengandung asam humat (humus) yang mampu meningkatkan kapasitas tukar kation tanah d. meningkatkan aktivitas mikroorganisme tanah

e. meningkatkan pH tanah pada tanah yang cenderung asam f. tidak menyebabkan polusi tanah dan air

Menurut Anonim (2010), kompos sebagai pupuk organik memiliki kekurangan yaitu kandungan unsur hara dari bahan mineral yang rendah bila dibandingkan dengan pupuk anorganik. Menurut Lahuddin (2007), unsur hara esenial yang dibutuhkan tanaman terdiri dari unsur hara makro (N, P, K, Ca, Mg, dan S) dan unsur mikro (Zn, Cu, Mn, Mo, B, Fe, dan Cl). Kelebihan unsur yang tersedia ini dapat meracuni tanaman.

Kompos merupakan bahan yang terdiri dari material organik yang telah terdekomposisi menjadi unsur-unsur pembentuknya. Unsur ini merupakan zat-zat hara yang dapat memulihkan kesuburan tanah. Pernyataan ini ditegaskan oleh pernyataan Chaniago (1987) bahwa penambahan bahan organik dalam tanah dapat memperbaiki sifat kimia, fisik dan biologi tanah. Penggunaan kompos dapat memperbaiki sifat kimia tanah karena kompos merupakan sumber unsur hara makro dan mikro mineral meskipun dalam jumlah yang kecil seperti nitrogen, fosfor, kalium, kalsium, magnesium, seng, cuprum, boron, dan silikon. Selain itu, berdasarkan sifat fisik, kompos dapat menggemburkan struktur tanah yang padat seingga mempermudah proses pengolahan tanah dan memperlancar difusi oksigen. Sifat biologi tanah meningkat karena adanya mikroorganisme bermanfaat yang dapat menyuplai kebutuhan karbon dan nitrogen serta hormon pertumbuhan tanaman (Setyorini, 2003).

Kompos merupakan nutrien tanah pertanian yang dapat memperbaiki struktur tanah dengan meningkatkan unsur hara tanah. Penambahan kompos dapat juga meningkatkan aktivitas mikroba tanah yang memiliki peran penting sebagai penghasil senyawa perangsang pertumbuhan tanaman. Kompos akan meningkatkan kesuburan tanah dan merangsang perakaran yang sehat sehingga tanaman dapat menyerap nutrien tanah dengan baik. Tanaman yang menggunakan pupuk kompos cenderung lebih baik kualitasnya karena unsur hara yang tersedia berasal dari bahan alami.

(27)

Penyebab tanah yang menjadi gembur yaitu adanya senyawa polisakarida yang dihasilkan oleh mikroorganisme pengurai serta miselium dan hifa yang berfungsi sebagai perekat partikel tanah. Struktur tanah yang baik akan memperlancar difusi oksigen dan memperbaiki kondisi fisiologis akar. Kadar bahn organk yang tinggi memberikan warna tanah yang lebih gelap (warna humus cokelat kehitaman) sehingga penyerapan energi sinar matahari lebih banyak. Institut Pertanian Bogor melaporkan bahwa ukuran kompos sebanyak 5 ton/ha dapat meningkatkan kandungan air tanah pada tanah yang subur (CPIS 1991).

Sifat kimia tanah yang diperbaiki yaitu sumber makro dan mikro mineral yang lengkap walaupun dalam jumlah yang relatif kecil. Penggunaan kompos dalam jangka panjang dapat memperbaiki pH pada tanah yang masam. Pada tanah yang memiliki unsur fosfat rendah, kompos dapat menyediakan fosfat organik yang diperlukan oleh tanah. Selain itu, kompos mengandung misel humus yang mempunyai kapasitas tukar kation (KTK) yang lebih besar daripada misel lempung (3 – 10 kali) sehingga penyediaan unsur makro dan mikromineral lebih lama. Peranan bahan organik pada tanah yaitu bereaksi dengan ion logam untuk membentuk senyawa kompeks sehingga ion logam yang dapat meracuni tanaman seperti Al, Fe, dan Mn dapat diperkecil dengan khelat bahan organik.

Perbaikan sifat biologi tanah meliputi keberadaan mikroorganisme yang berperan secara tidak langsung dalam aktivitas pertumbuhan tanaman. Kompos mengandung fungi, bakteri, alga dan

actynomycetes yang dapat memaacu berkembangnya mikroorganisme tanah. Aktivitas berbagai mikroorganisme tanah dapat menghasilkan hormon pertumbuhan seperti auksin, giberelin, dan sitokinin yang memacu prtumbuhan dan perkembangan akar tanaman. Pernyataan tersebut ditegaskan kembali oleh Garcia et al (1994) dengan bahan organik pada kompos dapat memberikan efek positif pada aktivitas berbagai enzim hidrolase oleh peningkatan biomassa mikroba.

Bahan organik dan unsur hara menjadi kandungan utama kompos. Kandungan unsur hara pada setiap kompos dapat berbeda – beda tergantung dari bahan yang dikomposkan dan cara pengomposan (Tim Redaksi Trubus 1999). Komponen unsur hara kompos dapat dilihat pada tabel berikut ini.

Tabel 5. Komponen bahan yang terdapat dalam kompos

Komponen Kadar (%)

Kadar Air 41

Bahan Kering 59

Karbon (C) 8,2

Nitrogen (N) 0,09

Fosfor (P2O5) 0,36

Kalium (K2O) 0,81

Ratio C/N 23

Sumber : Mochtar di dalam Tim Redaksi Trubus (1999)

(28)

Kematangan kompos dapat diuji melalui parameter ratio C/N, stabilitas terhadap pemanasan, reduksi bahan organik dan humidifikasi (Setyorini 2006). Selain itu, indikator kematangan kompos juga dapat dilihat dari penampakan fisik, pH, KTK, dan laju respirasi seperti yang dikemukakan para peneliti terdahulu. Indikator tersebut dapat terlihat pada Tabel 6. Kualitas kompos yang akan dipasarkan harus memenuhi standar kualitas kompos meurut SNI 19-7030-2004 yang tertera pada Tabel 7.

Tabel 6. Indikator kematangan kompos

Parameter Indikator Pustaka

Suhu Stabil Stickelberger, 1975

pH Alkali Jaun et al 1959

Ratio C/N < 20 Juste 1980

Laju respirasi < 10 mg g- kompos Morel et al 1979 Warna Cokelat tua Sugahara et al 1982 Bau Earthy Chanyasak et al 1982 KTK > 60 me 100 g- abu Harada et al 1971

Sumber : Yang 1998

Tabel 7. Standar mutu kompos

No. Parameter Satuan Minimum Maksimum

1 Kadar air % - 50

2 Temperatur oC Suhu air tanah

3 Warna Kehitaman

4 Bau Berbau tanah

5 Ukuran Partikel Mm 0,55 25

6 Kemampuan ikat air % 58 -

7 pH 6,80 7,49

8 Bahan Asing % * 1,5

9 Bahan organic % 27 58

10 Nitrogen % 0,40 -

11 Karbon % 9,80 32

12 Fosfor (P2O5) % 0,10 -

13 C/N ratio 10 20

14 Kalium (K2O) % 0,20 *

15 Kalsium % * 25,50

16 Magnesium % * 0,60

17 Besi % * 2,00

18 Alumunium % * 2,20

(29)

III.

METODOLOGI PENELITIAN

3.1.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini yaitu blotong dan sludge industri gula yang berasal dari limbah padat Pabrik Gula PT. Rajawali II Unit Jatitujuh Majalengka. Sampel blotong diperoleh dari blotong yang telah lama tertimbun di areal pembuangan blotong sementara (landfilling) selama kurang lebih 5 bulan setelah masa giling tebu berakhir. Gambar 2 (a) merupakan contoh areal pembuangan blotong sementara.

(a) (b) Gambar 2. (a) Tempat pembuangan blotong

(b) Sludge drying bed

Sludge diperoleh dari tempat penampung sementara (sludge drying) unit Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) dari sludge drying bed. Gambar 2 (b) merupakan tempat penampung dan pengeringan sludge (sludge drying bed). Pengolahan limbah cair polutan pada IPAL PG Jatitujuh menggunakan sistem penanganan biologis lumpur aktif (activated sludge). Secara umum, proses pengolahan limbah cair ini terdiri dari separasi limbah dengan pasir dan minyak (oli), ekualisasi, pengolahan fisiko-kimia dengan koagulan dan flokulan, primary clarifier, biological treatment,

secondary clarifier, dan bak kontrol. Sejumlah bahan tambahan digunakan untuk mempersiapkan karakteristik limbah cair yang sesuai dengan kondisi metabolisme mikroorganisme pengurai pada proses biological treatment. Penambahan bahan tersebut pada penanganan limbah secara fisiko kimia antara lain caustic soda (untuk mengatur pH limbah), koagulan, dan flokulan. Penambahan koagulan bertujuan untuk membentuk flok-flok kotoran sedangkan flokulan digunakan untuk mengikat flok yang telah terbentuk menjadi gumpalan yang lebih besar sehingga mudah dipisahkan dari air limbah.

Sludge yang terbentuk berasal dari flok dan endapan dari proses pengolahan fisiko-kimia, primary clarifier, dan secondary clarifier. Sludge ini terkumpul dalam sludge drying bed.

Selain itu, bahan baku lainnya yaitu zat kimia untuk keperluan analisis contoh uji. Bahan tersebut antara lain aquades, katalis CuSO4.Na2SO4 , H2SO4 pekat, larutan NaOH 6 N, larutan asam

borat 2%, indikator Mengsel, larutan H2SO4 terstandarisasi, dan larutan buffer pH 7.

(30)

Peralalatan utama yang digunakan yaitu pipa aerasi, kompresor sebagai pensuplai udara, reaktor termodifikasi, termometer, flowmeter skala 50 ℓmenit dan peralatan analisis sampel. Peralatan analisis sampel yang digunakan antara lain cawan alumunium, timbangan analitik, sudip, label, cawan porselen, desikator, gegep, labu kjedahl, kjedahl aparatur, pipet mohr 1 ml, pipet mohr 10 ml, gelas piala 50 ml, gelas piala 500 ml, destilator nitrogen semi otomatis, tabung destilasi, labu Erlenmeyer, oven, tanur, buret, tabung ulir, rak tabung reaksi, bulp, stopwatch, kompor penangas, kuvet, spektrofotometer, plastik sampel, mortar dan pH-meter.

3.2.

Metode Penelitian

3.2.1.

Penelitian Pendahuluan

Penelitian ini diawali dengan karakterisasi bahan baku blotong dan sludge. Karakterisasi bahan baku awal meliputi kadar air, kadar nitrit, kadar nitrat, nilai C, nilai N dan nilai C/N. Prosedur karakterisasi dapat dilihat pada Lampiran 1. Karakterisasi awal ini digunakan untuk menentukan perbandingan konsentrasi sludge yang digunakan. Perbandingan konsentrasi sludge yang diperoleh berdasarkan perbandingan nilai C/N campuran dari total bahan campuran. Total bahan baku campuran yang digunakan yaitu 5 kg dry basis untuk tiap reaktor. Penentuan nilai C/N dari pencampuran blotong dan sludge dapat dihitung dengan menggunakan persamaan berikut.

Ratio C/N campuran % N Blotong Bobot% C Blotong Bobot % C % N Bobot Bobot

Bahan co-composting terdiri dari campuran blotong dan sludge dengan variasi konsentrasi

sludge yang digunakan yaitu 0%, 15%, dan 30% dari total campuran.

3.2.2.

Penelitian Utama

Kegiatan yang dilakukan pada penelitian utama yaitu co-composting campuran blotong dan

(31)
[image:31.595.110.510.58.781.2]

Tabel 8. Kombinasi perlakuan bahan baku penelitian

Aerasi Ulangan

Konsentrasi Sludge (B)

B1 B2 B3

A1

I A1 B1I A1 B2I A1 B3I

II A1 B1II A1 B2II A1 B3II

A2

I A2 B1I A2 B2I A2 B3I

II A2 B1II A2 B2II A2 B3II Keterangan :

Perlakuan Aerasi (A1) = aerasi secara aktif Konsentrasi Limbah Sludge (B1) = 0 % Perlakuan Aerasi (A2) = aerasi secara pasif Konsentrasi Limbah Sludge (B2) = 15 %

Konsentrasi Limbah Sludge (B3) = 30 %

Proses penguraian bahan organik terjadi pada awal co-composting sehingga aerasi secara aktif dilakukan untuk melihat pengaruhnya terhadap aktivitas mikroorganisme pengurai. Suplai udara tambahan (forced aeration) berasal dari kompresor dengan tekanan stabil 0,5 bar. Pemberian udara tambahan dilakukan selama 2 jam tiap harinya selama satu minggu pertama. Reaktor, pipa aerasi dan kompresor yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 3 (a), 3 (b) dan 3 (c). Rangkaian reaktor pada perlakuan aerasi secara menyeluruh dapat dilihat pada Gambar 4.

(a) (b) (c) Gambar 3. (a) Kompresor; (b) Pipa aerasi; (c) Reaktor pengomposan

(a) (b)

[image:31.595.109.510.363.723.2]
(32)

Gambar 5. Skema proses aerasi co-composting

Skema rangkaian reaktor pada perlakuan aerasi aktif dapat dilihat pada Gambar 5. Reaktor berbentuk tabung dengan kapasitas volume 30 L. Diameter reaktor dan tinggi reaktor yaitu 30 cm dan 75 cm. Reaktor tersebut termodifikasi dengan pipa aerasi reaktor yang terletak melintang pada badan reaktor. Pipa aerasi reaktor memiliki lubang aerasi yang berfungsi meneruskan udara ke dalam tumpukan bahan baku. Pipa aerasi memiliki kran yang berfungsi mengatur laju aerasi. Reaktor memiliki saluran lindi untuk mengeluarkan air yang terbentuk selama proses co-composting. Pengambilan sampel dilakukan pada tiga titik yaitu bagian bawah, tengah dan atas. Pengambilan sampel pada bagian bawah dan tengah dilakukan melalui lubang pengambilan sampel sedangkan pada bagian atas dilakukan melalui tutup reaktor. Secara berurutan, lubang pengambilan sampel bagian bawah dan tengah terletak pada ketinggian 5 cm dan 15 cm dari dasar reaktor. Selain itu, lubang ini juga digunakan untuk pengukuran suhu.

Selama periode waktu pengomposan dilakukan pengamatan terhadap suhu setiap harinya. Pengukuran pH, kadar air, kadar karbon dan kadar nitrogen dilakukan setiap satu minggu sekali. Setelah proses pengomposan selesai, karakterisasi dilakukan terhadap kandungan kompos akhir yang meliputi pengukuran suhu, pH, kadar air, nilai C/N, kadar fosfor, dan kadar kalium.

1

2

3 9

7

4

5

10

8 6

Keterangan : 1. Reaktor

2. Bahan Kompos

3. Tempat pengambilan sampel 4. Lubang aerasi

5. Pipa aerasi reaktor 6. Saluran leacheat

7. Kran pengatur laju aerasi 8. Pipa aerasi

(33)

3.3.

Tata Laksana Penelitian

Diagaram alir pelaksanaan penelitian pendahuluan dan penelitian utama dapat dilihat pada gambar dibawah ini.

Limbah sludge Blotong

Penelitian Pendahuluan

Karakterisasi Awal

Formulasi Komposisi Bahan Pada Tiga Taraf yang Berbeda

Penelitian Utama

Co-composting campuran blotong dan sludge

Aerasi secara pasif dengan dua kali ulangan

selama empat minggu

Kompos Kompos

[image:33.595.106.525.127.706.2]

Karakterisasi Akhir Kompos

Gambar 6. Diagram alir pelaksanaan penelitian

Pengukuran suhu setiap hari

Pengukuran pH, kadar air, kadar C, dan kadar N

setiap seminggu Aerasi secara aktif

dengan dua kali ulangan selama empat minggu

Pengukuran suhu setiap hari

Pengukuran pH, kadar air, kadar C, dan kadar N

setiap seminggu Formulasi bahan dengan

konsentrasi sludge 0 %

db

Formulasi bahan dengan

konsentrasi sludge 15 %

Formulasi bahan dengan

(34)

3.4.

Rancangan Percobaan

Bahan baku kompos dari campuran blotong dan sludge diamati nilai C/N tiap minggu selama proses co-composting. Campuran bahan tersebut mengalami dua perlakuan yaitu areasi dan perbedaan kosentrasi sludge. Perlakuan aerasi terdiri dari duataraf yaitu aktif dan pasif sedangkan perlakuan perbedaan konsentrasi sludge terdiri dari tiga taraf yaitu konsentrasi sludge 0%, konsentrasi

sludge 15% dan konsentrasi sludge 30%.

Rancangan percobaan yang digunakan pada penelitian utama adalah rancangan acak lengkap faktorial dengan dua faktor yaitu aerasi dan konsentrasi sludge. Model matematis dari rancangan percobaan untuk penelitian utama adalah sebagai berikut.

Yij= μ + Ai + Bj + ABij +

ε

ijk

Keterangan:

Yijk = Nilai pengamatan akibat pengaruh faktor A taraf ke-i, faktor B

taraf ke-j, pada ulangan ke-k = Nilai rata-rata

Ai = Pengaruh aerasi selama proses co-composting

Bj = Pengaruh perbedaan konsentrasi sludge selama proses co-composting

ABij = Pengaruh interaksi antara faktor A taraf ke-i, faktor B taraf ke-j,

εijk = Pengaruh kesalahan percobaan

Hipotesis awal: a) Pengaruh Aerasi

H0 : A1 = A2 = 0, aerasi tidak berpengaruh terhadap nilai C/N

H1 : Minimal ada satu i dimana Ai≠ 0

b) Pengaruh Konsentrasi Sludge

H0 : B1 = B2 = B3 = 0, konsentrasi sludge tidak berpengaruh terhadap nilai C/N

H1 : Minimal ada satu j dimana Aj≠ 0

c) Pengaruh Interaksi Antar Perlakuan Aerasi dan Konsentrasi Sludge

H0 : AB11 = AB12 = AB13 = AB21 = AB22 = AB23 = AB31 = AB32 = AB33 = 0, interaksi antar

aerasi dan konsentrasi sludge tidak berpengaruh terhadap nilai C/N H1 : Minimal ada satu ij dimana ABij≠ 0

Perhitungan analisis sidik ragam menggunakan tingkat kepercayaan 95%. Bila hasil analisis sidik ragam menunjukkan nilai F-Hitung lebih rendah dari F-Tabel maka kesimpulan yang diperoleh yaitu terima H0 dan sebaliknya bila nilai F-Hitung lebih besar dari F-Tabel maka kesimpulan yang

diperoleh yaitu tolak H0.

3.5.

Waktu dan Tempat Penelitian

Waktu penelitian dilakukan pada bulan Februari – Mei 2011. Penelitian ini akan dilakukan di Laboratorium Peralatan Industri Leuwikopo dan Laboratorium Dasar Ilmu Terapan (DIT) Departemen Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

(35)

IV.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakterisasi awal blotong dan sludge pada penelitian pendahuluan menghasilkan komponen yang dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9. Karakteristik blotong dan sludge yang digunakan dalam co-composting

Sampel Blotong Sludge

Kadar Air (%) 47,33 34,07 Nilai C (%) 10,68 6,42 N-NO3 (%) 0,0017 0,0011 N-NO2 (%) 0,00439 0,0000424 Total N (%) 0,76 0,26 Rasio C/N 14,13 24,33

[image:35.595.108.513.320.795.2]

Setelah proses pencampuran, nilai C/N awal tiap perlakuan baik pada aerasi secara aktif maupun pasif dapat dilihat pada Tabel 10 dan Tabel 11.

Tabel 10. Komposisi awal bahan pada perlakuan aerasi aktif

Konsentrasi Sludge Ulangan Aerasi Aktif Ratio C/N K. Air (%) Nilai C (%) Total N (%)

0% 1 49,52 10,75 0,78 13,84

2 43,19 10,59 0,80 13,27

15% 1 48,06 9,09 0,70 13,06

2 45,02 9,28 0,71 13,03

30% 1 47,66 7,97 0,74 10,73

2 45,65 8,65 0,52 16,77

Tabel 11. Komposisi awal bahan pada perlakuan aerasi pasif

Konsentrasi Sludge Ulangan Aerasi Pasif Ratio C/N K. Air (%) Nilai C (%) Total N (%)

0% 1 48,40 10,88 0,77 14,06

2 46,88 10,83 0,76 14,33

15% 1 48,68 9,81 0,62 15,78

2 50,26 8,85 0,70 12,65

30% 1 48,25 8,60 0,70 12,30

(36)

4.1.

Hasil Pengamatan Parameter Uji

4.1.1.

Suhu

Suhu dapat menjadi indikator adanya proses dekomposisi pada co-composting bahan organik. Adanya aktivitas mikroorganisme yang mendegradasi polimer bahan organik seperti polisakarida, N-organik, P-organik dan S-organik menjadi unsur humus dapat mempengaruhi suhu bahan organik. Hasil pengamatan suhu pada proses aerasi aktif dapat dilihat pada Gambar 7. Secara umum, penambahan suplai udara meningkatkan suhu pada ketiga taraf konsentrasi sludge. Pada ketiga taraf konsentrasi sludge, peningkatan suhu tertinggi terjadi pada pengamatan hari ke-16. Peningkatan suhu pada konsentrasi sludge 0% mencapai 31,25ºC sedangkan pada konsentrasi sludge 15% dan 30%, suhu tertinggi mencapai 31,42ºC. Setelah itu, suhu relatif mengalami penurunan hingga akhir pengamatan.

Gambar 7. Pengukuran suhu pada perlakuan aerasi aktif

Pola penurunan suhu juga terlihat pada grafik hasil pengamatan suhu pada proses aerasi pasif yang dapat dilihat pada Gambar 7. Peningkatan suhu lebih cepat terjadi bila dibandingkan dengan aerasi aktif yaitu terjadi pada hari ke-7. Pada perlakuan aerasi pasif, suhu tertinggi mencapai 32,67ºC pada taraf konsentrasi sludge 15%. Pada konsentrasi sludge 0% dan 30%, suhu tertinggi yang dicapai masing-masing taraf yaitu 31,67ºC dan 32,50ºC. Peningkatan suhu pada kedua perlakuan aerasi hanya mencapai tahap mesofilik yang berkisar 10 - 45ºC tanpa memasuki tahap termofilik. Setelah mencapai titik tertinggi pada kedua perlakuan aerasi, suhu relatif mengalami penurunan dan cenderung stabil. Adapun kehilangan panas ini terjadi karena rendahnya tumpukan kompos dalam reaktor. Tumpukan kompos dapat menjaga energi panas yang dikeluarkan oleh mikroorganisme sehingga panas tersebut terpusat dalam tumpukan kompos yang dapat membunuh mikroba patogen.

Pada kasus ini, kehilangan panas yang terjadi akibat dari ketinggian tumpukan kompos yang rendah. Selain itu, rendahnya nilai C/N awal menyebabkan proses perombakan bahan organik yang rendah. Ukuran tumpukan kompos dapat mempengaruhi proses pengomposn. Indrasti dan Elia (2004) menyatakan bahwa tumpukan kompos yang kurang besar tidak bisa mempertahankan panasnya sehingga kondisi termofilik tidak tercapai.

0 5 10 15 20 25 30 35

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

Suhu (

C)

Waktu (Hari)

(37)

Kondisi termofilik harus dicapai pada proses pengomposan yang berjalan dengan baik. Hal ini dapat membantu mematikan mikroorganisme pathogen. Data pengamatan suhu selama co-composting

berlangsung pada aerasi aktif dan pasif dapat dilihat pada Lampiran 2.

Gambar 8. Pengukuran suhu pada perlakuan aerasi pasif

4.1.2.

Kadar Air

Mikroorganisme membutuhkan kadar air tertentu untuk dapat melangsungkan metabolisme tubuhnya. Kelembaban optimum untuk metabolisme mikroba berkisar antara 40-60%. Bila kelembaban kurang dari 40% aktivitas mikroba akan menurun sedangkan bila kelembaban diatas 60% volume udara berkurang sehingga timbul fermentasi anaerobik yang berdampak turunnya aktivitas mikroorganisme aerobik.

Grafik kadar air pada aerasi aktif dapat dilihat pada Gambar 9 (a). Pada perlakuan aerasi aktif, ketiga taraf konsentrasi mengalami kecenderungan penurunan kadar air. Pada konsentrasi sludge 0%, terjadi peningkatan kadar air pada minggu pertama namun selanjutnya kadar air menurun secara bertahap. Pada konsentrasi sludge 15%, kadar air mengalami peningkatan pada minggu ke-2 namun terjadi penurunan kembali hingga pada akhir pengamatan. Pada konsentrasi sludge 30%, kadar air awal mengalami penurunan dari 46,65% hingga terjadi penurunan kadar air hingga pada minggu ke 2 yaitu 43,98%.

(a) (b)

Gambar 9. (a) Hasil pengamatan kadar air pada aerasi aktif (b) Hasil pengamatan kadar air pada aerasi pasif 0 10 20 30 40 50 60

0 1 2 3 4

Kadar Air

(%

)

Waktu (Minggu)

Sludge 0% Sludge 15% Sludge 30%

0 10 20 30 40 50 60

0 1 2 3 4

Kadar Air

(%

)

Waktu (Minggu)

Sludge 0% Sludge 15% Sludge 30% 0 5 10 15 20 25 30 35

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30

Suhu (

C)

Waktu (Hari)

(38)

Pada hasil pengukuran kadar air dengan aerasi pasif yang diperlihatkan Gambar 9(b) menunjukkan adanya penurunan kadar air yang rendah dan kecenderungan kadar air yang stabil. Sama halnya pada hasil pengukuran dengan aerasi aktif, kadar air pada konsentrasi sludge 0% mengalami peningkatan pada minggu pertama yaitu dari 47,64% hingga 48,97%. Pada minggu selanjutnya kadar air mengalami penurunan hingga akhir pengamatan. Kadar air pada konsentrasi

sludge 15% mengalami peningkatan dari minggu pertama hingga minggu ketiga yaitu dari 47,43% hingga 48,01%. Setelah itu, kadar air turun hingga 47,15% pada akhir pengamatan. Penurunan kadar air yang signifikan terjadi pada konsentrasi sludge 30% yaitu dari 47,64% hingga 44,36%.

Peningkatan kadar air pada grafik konsentrasi sludge 0% baik pada perlakuan aerasi aktif maupun pasif disebabkan terbentuknya air sebagai hasil samping proses penguraian bahan organik. Campuran bahan dengan konsentrasi sludge yang rendah memiliki kandungan bahan organik yang tinggi sehingga air yang terbentuk lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Penurunan kadar air terjadi karena adanya evaporasi air selama co-composting berlangsung. Data pengamatan kadar air selama co-composting berlangsung pada aerasi aktif dan pasif dapat dilihat pada Lampiran 3.

4.1.3.

pH

Perubahan nilai pH pada proses aerasi aktif dapat dilihat pada Gambar 10 (a). Pada kosentrasi

sludge 0% dan 15% pH mengalami perubahan. Grafik pada konsentrasi sludge 0% pH mengalami peningkatan hingga pada titik 8,21 selama dua minggu pertama. Pada minggu ketiga pH menurun hingga titik 7,11. Hal yang sama juga terjadi pada pada grafik konsentrasi sludge 15% yaitu adanya peningkatan pH hingga mencapai 7,61 kemudian pada minggu ketiga pH menurun hingga titik 7,18. Namun, pada grafik konsentrasi sludge 30%, nilai pH cenderung stabil pada kisaran 7,03 – 7,34.

[image:38.595.109.515.440.771.2]

(a) (b) Gambar 10. (a) Hasil pengamatan pH pada aerasi aktif

(b) Hasil pengamatan pH pada aerasi pasif

Perubahan nilai pH pada aerasi pasif dapat dilihat pada Gambar 10(b). Kecenderungan perubahan pH yang terjadi memiliki pola yang sama dengan grafik pengamatan pH pada aerasi pasif yaitu adanya peningkatan nilai pH pada minggu ke dua dengan peningkatan tertinggi pada grafik konsentrasi sludge 0%. Peningkatan pH tersebut mencapai 8,31. Peningkatan yang sama juga terjadi pada grafik konsentrasi sludge 15% mencapai 7,61. Nilai pH yang realtif stabil terjadi pada grafik konsentrasi sludge 30%. Data pengamatan pH dapat dilihat pada Lampiran 5.

0 2 4 6 8 10 12 14

0 1 2 3 4

pH

Waktu (Minggu)

Sludge 0% Sludge 15% Sludge 30%

0 2 4 6 8 10 12 14

0 1 2 3 4

pH

Waktu (Minggu)

(39)

Penurunan bahan organik menyebabkan terbatasya kandungan C sehingga NH4+ yang

terbentuk sebagai hasil penguraian N-organik terlepas dalam bentuk gas volatil. Kadar air bahan mempengaruhi pengikatan gas NH4+. Gas tersebut berikatan dengan air pada bahan organik

membentuk senyawa NH4OH yang bersifat basa. Senyawa NH4OH menyebabkan pH campuran

bahan meningkat. Berdasarkan grafik hasil pengamatan kadar air pada Gambar 9(a) dan 9(b) peningkatan kadar air tertinggi hingga terendah yang terjadi pada minggu ke-2 yaitu kadar air pada konsentrasi sludge 0%, konsentrasi sludge 15%, dan konsentrasi sludge 30%.

4.1.4.

Nilai C/N

Selama proses dekomposisi bahan organik, karbon akan terurai menjadi unit rantai yang lebih pendek untuk digunakan mikroorganisme mencukupi energinya sehingga total karbon organik akan berkurang. Gambar 11 dan 12 menunjukkan perubahan nilai C/N terhadap aerasi aktif dan pasif selama proses co-composting berlangsung.

Nilai C/N tiap perlakuan konsentrasi selama co-composting dapat dilihat pada Lampiran 4. Pada Gambar 11 terlihat bahwa grafik nilai C/N mengalami laju penurunan yang rendah pada tiap perlakuan konsentrasi sludge. Berdasarkan hasil analisis sidik ragam (perhitungan dapat dilihat pada Lampiran 6), perlakuan aerasi tidak berpengaruh terhadap nilai C/N pada taraf kepercayaan 95%. Hal ini berdasarkan perhitungan bahwa F-Hitung sebesar 1,74 lebih kecil dari F-Tabel sebesar 4,02. Pemberian areasi dengan laju 2,0 L/min/kg (berdasarkan total massa bahan baku awal dalam basis kering) selama satu minggu pertama tidak mencukupi untuk meningkatkan aktivitas mikroorganisme dalam mengurai bahan organik yang ada. Tahapan proses penguraian bahan organik hanya sampai pada tahap mesofilik. Nilai C/N awal yang relatif rendah menjadi salah satu faktor penyebab proses penguraian yang lambat.

Berdasarkan analisis sidik ragam menunjukkan pula bahwa perbedaan konsentrasi sludge tidak berpengaruh nyata terhadap nilai C/N pada taraf kepercayaan 0,05%. Hal ini berdasarkan perhitungan nilai F-Hitung yang lebih kecil dibandingkan F-Tabel (0,22<3,17). Perubahan nilai C/N yang tidak signifikan pada ketiga taraf konsentrasi sludge dikarenakan nilai C/N awal yang rendah. Nilai C/N yang rendah menunjukkan bahwa kompos sudah mencapai tahap kematangan. Sampel limbah blotong dan sludge yang digunakan merupakan sampel yang sudah dibiarkan selama berbulan-bulan sehingga proses dekomposisi alami pada tempat pembuangan blotong (land filling) sudah menurunkan nilai C/N bahan. Nilai C/N awal untuk konsentrasi sludge 0%, 15% dan 30% pad

Gambar

Gambar 3. (a) Kompresor; (b) Pipa aerasi; (c) Reaktor pengomposan
Gambar 6.  Diagram alir pelaksanaan penelitian
Tabel 10.  Komposisi awal bahan pada perlakuan aerasi aktif
Gambar 10.  (a) Hasil pengamatan pH pada aerasi aktif
+7

Referensi

Dokumen terkait

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pelaksanaan perjanjian kerjasama pengepul dengan perusahaan bulu mata palsu serta upaya pemerintah Kabupaten Purbalingga

Mengingat luasnya pembahasan mengenai kegiatan produksi dan operasi yang dilakukan oleh perusahaan dan untuk menjaga supaya penulisan laporan akhir ini terarah

Merupakan suatu fakta, konsep, dan prinsip yang sudah terbukti efektif dalam banyak kasus tapi sifatnya masih belum

Iman Soepomo membagi perlindungan pekerja menjadi tiga macam yaitu: 1). Perlindungan ekonomis, yaitu suatu jenis perlindungan yang berkaitan dengan usaha- usaha untuk memberikan

Perkebunan III, IV dan V telah dinyatakan bubar dan sejak tanggal tersebut di gabung kedalam perusahaan baru (PT. Perkebunan Nusantara III), walaupun substansinya masih

Her major research specializations are Latin language and literature; gender, sexuality, and the family in ancient Greek and Roman society; and the history of classical studies in

Hasil penelitian yang dilakukan di rencana bendungan Haekrit menunjukkan bahwa bahan yang digunakan menurut klasifikasi USCS termasuk jenis tanah CH (lempung berlanau) dan SC

adanya peningkatan nilai rata-rata pascates yang signifikan antara siswa kelas eksperimen yang menggunakan video keindahan alam dengan siswa kelas kontrol yang