• Tidak ada hasil yang ditemukan

Institutional model of conservation area biodiversity restoration by germplasm park concept

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Institutional model of conservation area biodiversity restoration by germplasm park concept"

Copied!
373
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL KELEMBAGAAN RESTORASI BIODIVERSITAS

KAWASAN KONSERVASI

DENGAN KONSEP TAMAN PLASMA NUTFAH

ARIEF SUDHARTONO

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Kelembagaan Restorasi Biodiversitas Kawasan Konservasi dengan Konsep Taman Plasma Nutfah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

(3)

ARIEF SUDHARTONO. Institutional Model of Conservation Area Biodiversity Restoration by Germplasm Park Concept. Under supervision of SAMBAS BASUNI, BAHRUNI, and DIDIK SUHARJITO.

Biophysical-ecological conditions and socio-economical characteristic are the main factors of success on restoration activity implementation of conservation area that interrelated with natural resources utilizing by the local people. The important problems on restoration of Mount Gede Pangrango National Park (MGP-NP) are ecological and institutional problems. This research had been conducted to formulate an institutional model of biodiversity restoration of conservation area that involved the local people by Germplasm Park (GP) concept approach. GP concept was formulated base on sustainable development principals. Research used pragmatism approach with combination design of descriptive-participative-explorative research methods. Primary data collecting used observation and survay methods. Samples determining used cluster sampling and purposive sampling methods. Data analysis used descriptive analysis (qualitative and quantitative), also scoring and categorizing methods by using Likert scale (1-5). Synthesis of institutional formulation of GP by social engineering used institutional economic concepts approach. It was found 3(three) physical design varians of GP (GP-Forest, GP-Forest Garden Balance, and GP-Dominanced Garden). Jurisdiction boundaries formulated on 6(six) restoration institutional models (Manipulation-Therapy, Information-Consultation, Placation, Partnership, Delegation of Authority, and Delegation of Authority-People Control) that can be reclassified into 4(four) participation types (Contractual, Consultative, Collaborative, and Collegiate). Property rights arrangement of GP poured as matrix table of GP building steps and rights levels. Representative rules guidance was arranged by MGP-NP authority, containing principals of decision making on each GP building step from planning up to monitoring of GP management.

(4)

RINGKASAN

ARIEF SUDHARTONO Model Kelembagaan Restorasi Biodiversitas Kawasan Konservasi dengan Konsep Taman Plasma Nutfah. Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI, BAHRUNI, dan DIDIK SUHARJITO,

Pemanfaatan SDA oleh masyarakat sekitar kawasan hutan merupakan bagian dari budaya bangsa Indonesia, terjadi di beberapa tempat, termasuk di kawasan TNGGP. Kondisi biofisik-ekologis dan karakteristik sosial-ekonomi merupakan faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kegiatan restorasi kawasan konservasi yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat. Masalah ekologi dan kelembagaan merupakan dampak utama kebijakan perubahan fungsi kawasan hutan dari hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan hutan konservasi untuk kasus di TNGGP. Masalah ekologi bersumber dari kondisi tutupan lahan dan ancaman vegetasi eksot antropogenik. Masalah kelembagaan berupa pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam kawasan konservasi oleh masyarakat dalam rangka pelaksanaan kegiatan restorasi. Masalah kelembagaan bersumber dari hilangnya hak akses masyarakat atas pemanfaatan SDH dan penggunaan SDL kawasan perluasan TNGGP.

Gangguan masyarakat petani sekitar kawasan taman nasional menjadi bukti bahwa bentuk pendekatan pelaksanaan kegiatan restorasi belum memberikan solusi yang memuaskan. Konsep Taman Plasma Nutfah (TPN) dapat diajukan sebagai pendekatan restorasi biodiversitas di kawasan perluasan TNGGP untuk penyelesaian masalah ekologi dan masalah kelembagaan yang ada. Konsep restorasi menekankan penggunaan jenis flora asli, digunakan sebagai basis konsep TPN yang dikembangkan dan bertitik tolak dari konsep preservasi informasional (Basuni, 2009). Inti dari konsep TPN adalah bahwa untuk menyelamatkan yang asli maka perlu dibuat tiruan (duplikat) yang mengusung sebanyak mungkin informasi terkait dengan karakteristik subjek aslinya sehingga gangguan dan akses terhadap subjek asli akan dapat jauh dikurangi untuk lebih menjamin preservasinya. Konsep TPN merupakan rumusan untuk mengatur pola ruang kawasan restorasi yang mempertimbangkan aspek ekologis (sustainable), aspek ekonomi (feasible), dan aspek sosial-budaya (acceptable dan capable). Masalah ekologi diselesaikan melalui perumusan-perumusan pola biofisik, pola penggunaan kawasan, dan pola ruang sesuai dengan potensi biofisik-ekologis kawasan perluasan dan konteks ekowisata dalam pemanfaatan kawasan konservasi, sedangkan masalah kelembagaan diselesaikan melalui perumusan desain fisik TPN dan desain kelembagaan TPN yang bertujuan untuk pengembalian hak akses masyarakat terhadap SDA.

(5)

TPN melalui rekayasa sosial menggunakan konsep ekonomi kelembagaan.

Karakteristik masyarakat penggarap lahan di kawasan perluasan TNGGP dicerminkan oleh tipologi masyarakat petani penggarap lahan yang mengelompok kedalam 3 (tiga) tipe berdasarkan tingkat ketergantungan petani penggarap terhadap lahan hutan dan sikap masyarakat terhadap isu konservasi. Keunikan nampak dari tingkat sikap masyarakat terhadap isu konservasi yang didominasi kategori tinggi tetapi sangat tergantung terhadap lahan hutan. Tingginya tingkat ketergantungan terhadap lahan hutan disebabkan luas penguasaan atau pemilikan lahan para petani penggarap yang sebagian besar sangat sempit bahkan tidak menguasai atau memiliki lahan, tingginya tingkat beban ketergantungan keluarga, dan ketergantungan sumber nafkah. Ditinjau dari skalanya, wujud konflik didominasi kategori latent dan setiap saat berpotensi muncul keluar (manifest) jika terprovokasi. Temuan tipologi petani penggarap lahan, wujud refleksi konflik, dan variasi pola usaha tani merupakan masukan penting untuk perumusan strategi pelaksanaan restorasi di kawasan perluasan TNGGP.

Berdasarkan tujuan akses masyarakat atas SDA kawasan perluasan TNGGP, terdapat 2 (dua) tujuan akses yaitu berupa penggarapan lahan untuk aktivitas pertanian dan pemanfaatan HHBK (getah pinus, getah damar, bambu, dan kopi liar). Penggarapan lahan dapat dipilah lebih lanjut kedalam tipe penggunaan lahan garapan berdasarkan jenis komoditas, jangka waktu produksi, dan base sistem agronomi. Terdapat 5 (lima) macam cara akses masyarakat untuk mendapatkan lahan garapan, yaitu: pembagian lahan, inisiatif masyarakat secara sepihak, pewarisan, pengalihan lahan garapan, dan gadai/sewa. Tujuan akses, cara akses dan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap lahan mempengaruhi tingkat tuntutan dan upaya masyarakat untuk mempertahankan keamanan aksesnya, di lain pihak menggambarkan tingkat beban atau tingkat gangguan bagi pihak BBTNGGP. BBTNGGP menyelenggarakan program-program pemberdayaan masyarakat melalui adopsi pohon dan alokasi zona pemanfaatan tradisional dan merintis program model kampung konservasi (MKK) sebagai upaya penyelesaian konflik, dan melakukan penegakan hukum secara bertahap mulai dari preventif, persuasip sampai dengan langkah penindakan secara represif.

Model konseptual kelembagaan restorasi biodiversitas dengan konsep TPN dirumuskan sebagai pendekatan restorasi biodiversitas dalam rangka penyelesaian dampak perubahan fungsi kawasan tersebut sekaligus sebagai usaha peningkatan kinerja keberhasilan pelaksanaan kegiatan restorasi. Tahapan penting dalam perumusan model konseptual TPN meliputi perumusan-perumusan pola biofisik, pola penggunaan kawasan, varian desain fisik TPN, dan kelembagaan TPN. Meskipun perumusan model tersebut untuk kasus TNGGP, namun pada prinsipnya bisa diterapkan untuk kawasan lain baik di dalam maupun di luar kawasan konservasi dengan penyesuaian pada variabel dan komponen yang mempengaruhi tiap tahapan perumusan modelnya sesuai dengan karakteristik biofisik, sosial-ekonomi, dan kelembagaan.

(6)

biofisik kawasan restorasi yaitu 1) Toleransi Biofisik Tinggi; 2) Toleransi Biofisik Sedang; dan 3) Toleransi Biofisik Rendah. Perumusan pola penggunaan kawasan restorasi mencerminkan kepentingan ekologi, sosial, dan ekonomi dengan memadukan konsep ekowisata sebagai basis penggunaan kawasan konservasi. Kepentingan ekologi mengarah pada pilihan jenis-jenis asli dan endemik untuk memenuhi tuntutan kebutuhan restorasi kawasan konservasi dan kepentingan sosial-ekonomi mengarah pada preferensi jenis-jenis tanaman untuk memenuhi tuntutan kebutuhan ekonomi masyarakat. Penentuan dan pengaturan komposisi tersebut dapat berbentuk graduasi komposisi jenis tanaman. Ke arah dalam semakin mendekati kawasan asli taman nasional maka komposisi jenis tanaman semakin mementingkan jenis-jenis tanaman asli atau endemik, dan sebaliknya ke arah luar mendekati batas terluar kawasan perluasan semakin menekankan pertimbangan preferensi jenis tanaman bagi kepentingan ekonomi masyarakat. Dihasilkan 8 (delapan) pola penggunaan kawasan yang selanjutnya direklasifikasi menjadi 3 kelompok kompatibilitas toleransi penggunaan. Diperoleh 6 (enam) varian desain fisik TPN yang selanjutnya direklasifikasi berdasarkan tingkat kompatibilitas pembangunan TPN ke dalam 3 (tiga) kelompok kompatibilitas pembangunan TPN yaitu: TPN Hutan, TPN Seimbang Kebun, dan TPN Dominan Kebun .

Penentuan Batas Yurisdiksi menyangkut pengaturan batasan hak dan kewajiban masyarakat dan atau pihak lain dalam akses pada SDA diatur oleh pemegang otoritas pengelolaan kawasan (BBTNGGP) dengan berpedoman pada aturan perundangan yang berlaku. Pengaturan hak dan kewajiban ini bervariasi menurut varian desain fisik TPN, juga bergantung pada kesepakatan yang dibuat pihak masyarakat petani penggarap dan atau pihak lain dengan BBTNGGP. Dihasilkan 6 (enam) model kelembagaan partisipatif yang menunjukkan 4 (empat) level partisipatif yaitu: 1) Manipulasi dan Terapi (non level partisipasi); 2) Tokenisme, meliputi Informasi, Konsultasi dan Placation; 3) Kemitraan; dan 4) Pendelegasian dan Kontrol Masyarakat. Pengaturan hak kepemilikan (Pengaturan property rights) atas hasil tanaman restorasi dan mekanisme pemanfaatan TPN-GGP harus dirancang sepenuhnya oleh pengelola kawasan dengan berpedoman pada aturan perundangan yang berlaku untuk selanjutnya diatur melalui mekanisme kesepakatan. Pengaturan hak kepemilikan ini berdasarkan tingkatan hak menurut Schlager and Ostrom (1992) dan kompatibilitas pembangunan TPN sesuai dengan tahapan pembangunan varian desain fisik TPN. Dalam perumusan aturan representasi pihak pengelola kawasan perlu menyusun pedoman yang mengatur batasan kewenangan yang jelas dan definitif jika diperlukan pertemuan untuk pengambilan keputusan atas masalah yang mungkin terjadi dalam proses pelaksanaan dan pengembangan varian model TPN. Prinsip yang harus dipenuhi dalam perumusan aturan representasi pada kelembagaan TPN adalah adanya kepastian aturan main dalam pengambilan keputusan yang menjadi keputusan mengikat dan ditaati bagi semua pihak yang terlibat dalam proses pembangunan TPN mulai dari perencanaan sampai dengan implementasi serta monitoring, dan juga meliputi pengelolaan TPN secara berkelanjutan.

(7)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(8)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Kelembagaan Restorasi Biodiversitas Kawasan Konservasi dengan Konsep Taman Plasma Nutfah adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

(9)

ARIEF SUDHARTONO. Institutional Model of Conservation Area Biodiversity Restoration by Germplasm Park Concept. Under supervision of SAMBAS BASUNI, BAHRUNI, and DIDIK SUHARJITO.

Biophysical-ecological conditions and socio-economical characteristic are the main factors of success on restoration activity implementation of conservation area that interrelated with natural resources utilizing by the local people. The important problems on restoration of Mount Gede Pangrango National Park (MGP-NP) are ecological and institutional problems. This research had been conducted to formulate an institutional model of biodiversity restoration of conservation area that involved the local people by Germplasm Park (GP) concept approach. GP concept was formulated base on sustainable development principals. Research used pragmatism approach with combination design of descriptive-participative-explorative research methods. Primary data collecting used observation and survay methods. Samples determining used cluster sampling and purposive sampling methods. Data analysis used descriptive analysis (qualitative and quantitative), also scoring and categorizing methods by using Likert scale (1-5). Synthesis of institutional formulation of GP by social engineering used institutional economic concepts approach. It was found 3(three) physical design varians of GP (GP-Forest, GP-Forest Garden Balance, and GP-Dominanced Garden). Jurisdiction boundaries formulated on 6(six) restoration institutional models (Manipulation-Therapy, Information-Consultation, Placation, Partnership, Delegation of Authority, and Delegation of Authority-People Control) that can be reclassified into 4(four) participation types (Contractual, Consultative, Collaborative, and Collegiate). Property rights arrangement of GP poured as matrix table of GP building steps and rights levels. Representative rules guidance was arranged by MGP-NP authority, containing principals of decision making on each GP building step from planning up to monitoring of GP management.

(10)

RINGKASAN

ARIEF SUDHARTONO Model Kelembagaan Restorasi Biodiversitas Kawasan Konservasi dengan Konsep Taman Plasma Nutfah. Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI, BAHRUNI, dan DIDIK SUHARJITO,

Pemanfaatan SDA oleh masyarakat sekitar kawasan hutan merupakan bagian dari budaya bangsa Indonesia, terjadi di beberapa tempat, termasuk di kawasan TNGGP. Kondisi biofisik-ekologis dan karakteristik sosial-ekonomi merupakan faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan kegiatan restorasi kawasan konservasi yang terkait dengan pemanfaatan sumberdaya alam oleh masyarakat. Masalah ekologi dan kelembagaan merupakan dampak utama kebijakan perubahan fungsi kawasan hutan dari hutan lindung dan hutan produksi menjadi kawasan hutan konservasi untuk kasus di TNGGP. Masalah ekologi bersumber dari kondisi tutupan lahan dan ancaman vegetasi eksot antropogenik. Masalah kelembagaan berupa pengaturan pemanfaatan sumberdaya alam kawasan konservasi oleh masyarakat dalam rangka pelaksanaan kegiatan restorasi. Masalah kelembagaan bersumber dari hilangnya hak akses masyarakat atas pemanfaatan SDH dan penggunaan SDL kawasan perluasan TNGGP.

Gangguan masyarakat petani sekitar kawasan taman nasional menjadi bukti bahwa bentuk pendekatan pelaksanaan kegiatan restorasi belum memberikan solusi yang memuaskan. Konsep Taman Plasma Nutfah (TPN) dapat diajukan sebagai pendekatan restorasi biodiversitas di kawasan perluasan TNGGP untuk penyelesaian masalah ekologi dan masalah kelembagaan yang ada. Konsep restorasi menekankan penggunaan jenis flora asli, digunakan sebagai basis konsep TPN yang dikembangkan dan bertitik tolak dari konsep preservasi informasional (Basuni, 2009). Inti dari konsep TPN adalah bahwa untuk menyelamatkan yang asli maka perlu dibuat tiruan (duplikat) yang mengusung sebanyak mungkin informasi terkait dengan karakteristik subjek aslinya sehingga gangguan dan akses terhadap subjek asli akan dapat jauh dikurangi untuk lebih menjamin preservasinya. Konsep TPN merupakan rumusan untuk mengatur pola ruang kawasan restorasi yang mempertimbangkan aspek ekologis (sustainable), aspek ekonomi (feasible), dan aspek sosial-budaya (acceptable dan capable). Masalah ekologi diselesaikan melalui perumusan-perumusan pola biofisik, pola penggunaan kawasan, dan pola ruang sesuai dengan potensi biofisik-ekologis kawasan perluasan dan konteks ekowisata dalam pemanfaatan kawasan konservasi, sedangkan masalah kelembagaan diselesaikan melalui perumusan desain fisik TPN dan desain kelembagaan TPN yang bertujuan untuk pengembalian hak akses masyarakat terhadap SDA.

(11)

TPN melalui rekayasa sosial menggunakan konsep ekonomi kelembagaan.

Karakteristik masyarakat penggarap lahan di kawasan perluasan TNGGP dicerminkan oleh tipologi masyarakat petani penggarap lahan yang mengelompok kedalam 3 (tiga) tipe berdasarkan tingkat ketergantungan petani penggarap terhadap lahan hutan dan sikap masyarakat terhadap isu konservasi. Keunikan nampak dari tingkat sikap masyarakat terhadap isu konservasi yang didominasi kategori tinggi tetapi sangat tergantung terhadap lahan hutan. Tingginya tingkat ketergantungan terhadap lahan hutan disebabkan luas penguasaan atau pemilikan lahan para petani penggarap yang sebagian besar sangat sempit bahkan tidak menguasai atau memiliki lahan, tingginya tingkat beban ketergantungan keluarga, dan ketergantungan sumber nafkah. Ditinjau dari skalanya, wujud konflik didominasi kategori latent dan setiap saat berpotensi muncul keluar (manifest) jika terprovokasi. Temuan tipologi petani penggarap lahan, wujud refleksi konflik, dan variasi pola usaha tani merupakan masukan penting untuk perumusan strategi pelaksanaan restorasi di kawasan perluasan TNGGP.

Berdasarkan tujuan akses masyarakat atas SDA kawasan perluasan TNGGP, terdapat 2 (dua) tujuan akses yaitu berupa penggarapan lahan untuk aktivitas pertanian dan pemanfaatan HHBK (getah pinus, getah damar, bambu, dan kopi liar). Penggarapan lahan dapat dipilah lebih lanjut kedalam tipe penggunaan lahan garapan berdasarkan jenis komoditas, jangka waktu produksi, dan base sistem agronomi. Terdapat 5 (lima) macam cara akses masyarakat untuk mendapatkan lahan garapan, yaitu: pembagian lahan, inisiatif masyarakat secara sepihak, pewarisan, pengalihan lahan garapan, dan gadai/sewa. Tujuan akses, cara akses dan tingkat ketergantungan masyarakat terhadap lahan mempengaruhi tingkat tuntutan dan upaya masyarakat untuk mempertahankan keamanan aksesnya, di lain pihak menggambarkan tingkat beban atau tingkat gangguan bagi pihak BBTNGGP. BBTNGGP menyelenggarakan program-program pemberdayaan masyarakat melalui adopsi pohon dan alokasi zona pemanfaatan tradisional dan merintis program model kampung konservasi (MKK) sebagai upaya penyelesaian konflik, dan melakukan penegakan hukum secara bertahap mulai dari preventif, persuasip sampai dengan langkah penindakan secara represif.

Model konseptual kelembagaan restorasi biodiversitas dengan konsep TPN dirumuskan sebagai pendekatan restorasi biodiversitas dalam rangka penyelesaian dampak perubahan fungsi kawasan tersebut sekaligus sebagai usaha peningkatan kinerja keberhasilan pelaksanaan kegiatan restorasi. Tahapan penting dalam perumusan model konseptual TPN meliputi perumusan-perumusan pola biofisik, pola penggunaan kawasan, varian desain fisik TPN, dan kelembagaan TPN. Meskipun perumusan model tersebut untuk kasus TNGGP, namun pada prinsipnya bisa diterapkan untuk kawasan lain baik di dalam maupun di luar kawasan konservasi dengan penyesuaian pada variabel dan komponen yang mempengaruhi tiap tahapan perumusan modelnya sesuai dengan karakteristik biofisik, sosial-ekonomi, dan kelembagaan.

(12)

biofisik kawasan restorasi yaitu 1) Toleransi Biofisik Tinggi; 2) Toleransi Biofisik Sedang; dan 3) Toleransi Biofisik Rendah. Perumusan pola penggunaan kawasan restorasi mencerminkan kepentingan ekologi, sosial, dan ekonomi dengan memadukan konsep ekowisata sebagai basis penggunaan kawasan konservasi. Kepentingan ekologi mengarah pada pilihan jenis-jenis asli dan endemik untuk memenuhi tuntutan kebutuhan restorasi kawasan konservasi dan kepentingan sosial-ekonomi mengarah pada preferensi jenis-jenis tanaman untuk memenuhi tuntutan kebutuhan ekonomi masyarakat. Penentuan dan pengaturan komposisi tersebut dapat berbentuk graduasi komposisi jenis tanaman. Ke arah dalam semakin mendekati kawasan asli taman nasional maka komposisi jenis tanaman semakin mementingkan jenis-jenis tanaman asli atau endemik, dan sebaliknya ke arah luar mendekati batas terluar kawasan perluasan semakin menekankan pertimbangan preferensi jenis tanaman bagi kepentingan ekonomi masyarakat. Dihasilkan 8 (delapan) pola penggunaan kawasan yang selanjutnya direklasifikasi menjadi 3 kelompok kompatibilitas toleransi penggunaan. Diperoleh 6 (enam) varian desain fisik TPN yang selanjutnya direklasifikasi berdasarkan tingkat kompatibilitas pembangunan TPN ke dalam 3 (tiga) kelompok kompatibilitas pembangunan TPN yaitu: TPN Hutan, TPN Seimbang Kebun, dan TPN Dominan Kebun .

Penentuan Batas Yurisdiksi menyangkut pengaturan batasan hak dan kewajiban masyarakat dan atau pihak lain dalam akses pada SDA diatur oleh pemegang otoritas pengelolaan kawasan (BBTNGGP) dengan berpedoman pada aturan perundangan yang berlaku. Pengaturan hak dan kewajiban ini bervariasi menurut varian desain fisik TPN, juga bergantung pada kesepakatan yang dibuat pihak masyarakat petani penggarap dan atau pihak lain dengan BBTNGGP. Dihasilkan 6 (enam) model kelembagaan partisipatif yang menunjukkan 4 (empat) level partisipatif yaitu: 1) Manipulasi dan Terapi (non level partisipasi); 2) Tokenisme, meliputi Informasi, Konsultasi dan Placation; 3) Kemitraan; dan 4) Pendelegasian dan Kontrol Masyarakat. Pengaturan hak kepemilikan (Pengaturan property rights) atas hasil tanaman restorasi dan mekanisme pemanfaatan TPN-GGP harus dirancang sepenuhnya oleh pengelola kawasan dengan berpedoman pada aturan perundangan yang berlaku untuk selanjutnya diatur melalui mekanisme kesepakatan. Pengaturan hak kepemilikan ini berdasarkan tingkatan hak menurut Schlager and Ostrom (1992) dan kompatibilitas pembangunan TPN sesuai dengan tahapan pembangunan varian desain fisik TPN. Dalam perumusan aturan representasi pihak pengelola kawasan perlu menyusun pedoman yang mengatur batasan kewenangan yang jelas dan definitif jika diperlukan pertemuan untuk pengambilan keputusan atas masalah yang mungkin terjadi dalam proses pelaksanaan dan pengembangan varian model TPN. Prinsip yang harus dipenuhi dalam perumusan aturan representasi pada kelembagaan TPN adalah adanya kepastian aturan main dalam pengambilan keputusan yang menjadi keputusan mengikat dan ditaati bagi semua pihak yang terlibat dalam proses pembangunan TPN mulai dari perencanaan sampai dengan implementasi serta monitoring, dan juga meliputi pengelolaan TPN secara berkelanjutan.

(13)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(14)

MODEL KELEMBAGAAN RESTORASI BIODIVERSITAS

KAWASAN KONSERVASI

DENGAN KONSEP TAMAN PLASMA NUTFAH

ARIEF SUDHARTONO

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(15)

Ujian Tertutup

Dilaksanakan pada : 26 Januari 2012 Penguji Luar Komisi:

(1) Dr.Ir. Soerjo Adiwibowo

(Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia – IPB)

(2) Prof.Dr.Ir. Andry Indrawan, MS.

(Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan – IPB)

Ujian Terbuka

Dilaksanakan pada : 31 Januari 2012 Penguji Luar Komisi:

(1) Dr.Ir. Agus Hikmat, MSc.F.Trop

(Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan – IPB)

(2) Dr.Ir. Bambang Supriyanto, MSc.

(16)

Judul Disertasi : Model Kelembagaan Restorasi Biodiversitas Kawasan Konservasi dengan Konsep Taman Plasma Nutfah

Nama : Arief Sudhartono

NRP : P062050101

Disetujui:

Komisi Pembimbing

Ketua

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS.

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS.

Anggota Anggota

Dr. Ir. Bahruni, MS.

Diketahui:

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB, Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, MS. Prof. Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr.

(17)
(18)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT atas segala karunia-Nya semata maka karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Shalawat dan salam pada arwahul muqoddasah Rasulullah SAW dan para ahli silsilah – al ulama’ warosatul ambiya’. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2010 dan 2011 ini ialah restorasi, dengan judul Model Kelembagaan Restorasi Biodiversitas Kawasan Konservasi dengan Konsep Taman Plasma Nutfah.

Penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada Rektor UNTAD, Dekan Faperta dan Dekan Fahutan UNTAD atas kesempatan tugas belajar di Sekolah Pascasarjana IPB. Terimakasih kepada Ditjen DIKTI atas beasiswa BPPS yang penulis terima. Penghargaan dan terimakasih yang amat dalam disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS., Dr. Ir. Bahruni, MS. dan Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. selaku komisi pembimbing, dan kepada ketua Program Studi PSL beserta seluruh staf, serta kepada ketua Departemen KSHE Fahutan IPB beserta staf yang telah memberikan dorongan dan dukungan dalam penyelesaian studi. Penghargaan dan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ir. Gatot Subiantoro, MSc., Ir. Ary Sri Lestari, MS., Ir. Wiratno, MSc., Ir. Sigit Kurniawan MSi., Dr. Ir. Danang Widjajanto, MS., Ir. Suharman, MM., Ir. Untung Lusianto, Nurman Hakim,S.Hut, dan teman-teman di lingkup Kementerian Kehutanan dan kepada Kepala BBTNGGP beserta seluruh jajaran staf Balai Besar TNGGP yang telah banyak membantu terlaksananya penelitian dan penyusunan disertasi. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada keluarga Prof. Zainal Mangitung, Ir. Tony Satya Mangitung, MBA., keluarga besar M.Subakrie-Marsiyah, keluarga besar Kasiadi-Supiatun, civitas akademika UNTAD dan rekan-rekan seperjuangan PSL-IPB angkatan tahun 2005 yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan dan penyelesaian studi.

Kupersembahkan hasil karyaku ini pada DIA yang selalu membimbingku dalam setiap gerak langkah hidupku, Yang Mulia Ayahanda GURU-ku yang tak pernah lepas dan tak pernah berkurang curahan kasihNYA pada anak muridNYA yang masih bodoh nan fana ini. Juga untuk pendampingku terkasih Diana Birawati SH. dan anak-anakku tersayang: Thia, Otin, Mel, Ino, Idho; disertai iringan doa untuk almarhum/almarhumah ayah-bundaku M.Soebakrie-Marsiyah dan Bandriani yang telah pergi mendahului. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2012

(19)
(20)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jombang pada tanggal 02 April 1962, anak ke dua dari delapan bersaudara dari pasangan M.Subakrie dan Marsiyah. Pernikahan pertama penulis pada tahun 1987 dengan Bandriani (almarhumah) dikaruniai empat orang anak (Jadda Muthiah, Azizah Baroroh, Silmi Melati, dan Guritno Abdil Muhammad Amien), dan pernikahan ke dua penulis tahun 2001 dengan Diana Birawati, SH. telah dikaruniai seorang anak (Muhammad Ali Ridha).

Pendidikan sarjana (S1) ditempuh di Fakultas Kehutanan UGM dan meraih gelar Insinyur (Ir) pada tahun 1987. Selanjutnya penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Kehutanan jurusan Ilmu-2 Pertanian Program Pascasarjana UGM pada tahun 1995 dan meraih gelar Magister Pertanian (MP) pada tahun 1999. Selama mengikuti pendidikan S2 penulis berkesempatan untuk mengikuti researchwork (sandwich program) di Austria selama 13 bulan. Kesempatan pendidikan pascasarjana jenjang Program Doktor (S3) penulis peroleh pada tahun 2005 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian UNTAD sejak tahun 1990 dan Fakultas Kehutanan Untad sejak tahun 2010, dan sebelumnya (mulai tahun 1986) penulis pernah bekerja sebagai freelance surveyor dan sebagai tenaga kerja bidang kehutanan di perusahaan swasta kehutanan (HPH).

(21)

Ujian Tertutup

Dilaksanakan pada : 26 Januari 2012 Penguji Luar Komisi:

(1) Dr.Ir. Soerjo Adiwibowo

(Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia – IPB)

(2) Prof.Dr.Ir. Andry Indrawan, MS.

(Departemen Silvikultur, Fakultas Kehutanan – IPB)

Ujian Terbuka

Dilaksanakan pada : 31 Januari 2012 Penguji Luar Komisi:

(1) Dr.Ir. Agus Hikmat, MSc.F.Trop

(Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan – IPB)

(2) Dr.Ir. Bambang Supriyanto, MSc.

(22)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadiran Allah SWT atas segala karunia-Nya semata maka karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Shalawat dan salam pada arwahul muqoddasah Rasulullah SAW dan para ahli silsilah – al ulama’ warosatul ambiya’. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan pada tahun 2010 dan 2011 ini ialah restorasi, dengan judul Model Kelembagaan Restorasi Biodiversitas Kawasan Konservasi dengan Konsep Taman Plasma Nutfah.

Penulis menyampaikan penghargaan dan terimakasih kepada Rektor UNTAD, Dekan Faperta dan Dekan Fahutan UNTAD atas kesempatan tugas belajar di Sekolah Pascasarjana IPB. Terimakasih kepada Ditjen DIKTI atas beasiswa BPPS yang penulis terima. Penghargaan dan terimakasih yang amat dalam disampaikan kepada Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, MS., Dr. Ir. Bahruni, MS. dan Dr. Ir. Didik Suharjito, MS. selaku komisi pembimbing, dan kepada ketua Program Studi PSL beserta seluruh staf, serta kepada ketua Departemen KSHE Fahutan IPB beserta staf yang telah memberikan dorongan dan dukungan dalam penyelesaian studi. Penghargaan dan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Ir. Gatot Subiantoro, MSc., Ir. Ary Sri Lestari, MS., Ir. Wiratno, MSc., Ir. Sigit Kurniawan MSi., Dr. Ir. Danang Widjajanto, MS., Ir. Suharman, MM., Ir. Untung Lusianto, Nurman Hakim,S.Hut, dan teman-teman di lingkup Kementerian Kehutanan dan kepada Kepala BBTNGGP beserta seluruh jajaran staf Balai Besar TNGGP yang telah banyak membantu terlaksananya penelitian dan penyusunan disertasi. Ungkapan terimakasih juga disampaikan kepada keluarga Prof. Zainal Mangitung, Ir. Tony Satya Mangitung, MBA., keluarga besar M.Subakrie-Marsiyah, keluarga besar Kasiadi-Supiatun, civitas akademika UNTAD dan rekan-rekan seperjuangan PSL-IPB angkatan tahun 2005 yang telah banyak membantu dalam pelaksanaan dan penyelesaian studi.

Kupersembahkan hasil karyaku ini pada DIA yang selalu membimbingku dalam setiap gerak langkah hidupku, Yang Mulia Ayahanda GURU-ku yang tak pernah lepas dan tak pernah berkurang curahan kasihNYA pada anak muridNYA yang masih bodoh nan fana ini. Juga untuk pendampingku terkasih Diana Birawati SH. dan anak-anakku tersayang: Thia, Otin, Mel, Ino, Idho; disertai iringan doa untuk almarhum/almarhumah ayah-bundaku M.Soebakrie-Marsiyah dan Bandriani yang telah pergi mendahului. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2012

(23)

Penulis dilahirkan di Jombang pada tanggal 02 April 1962, anak ke dua dari delapan bersaudara dari pasangan M.Subakrie dan Marsiyah. Pernikahan pertama penulis pada tahun 1987 dengan Bandriani (almarhumah) dikaruniai empat orang anak (Jadda Muthiah, Azizah Baroroh, Silmi Melati, dan Guritno Abdil Muhammad Amien), dan pernikahan ke dua penulis tahun 2001 dengan Diana Birawati, SH. telah dikaruniai seorang anak (Muhammad Ali Ridha).

Pendidikan sarjana (S1) ditempuh di Fakultas Kehutanan UGM dan meraih gelar Insinyur (Ir) pada tahun 1987. Selanjutnya penulis berkesempatan untuk melanjutkan pendidikan S2 pada Program Studi Ilmu Kehutanan jurusan Ilmu-2 Pertanian Program Pascasarjana UGM pada tahun 1995 dan meraih gelar Magister Pertanian (MP) pada tahun 1999. Selama mengikuti pendidikan S2 penulis berkesempatan untuk mengikuti researchwork (sandwich program) di Austria selama 13 bulan. Kesempatan pendidikan pascasarjana jenjang Program Doktor (S3) penulis peroleh pada tahun 2005 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan (PSL) Institut Pertanian Bogor.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Pertanian UNTAD sejak tahun 1990 dan Fakultas Kehutanan Untad sejak tahun 2010, dan sebelumnya (mulai tahun 1986) penulis pernah bekerja sebagai freelance surveyor dan sebagai tenaga kerja bidang kehutanan di perusahaan swasta kehutanan (HPH).

(24)

xii 1.1. Latar Belakang ... 1.2. Perumusan Masalah ... 1.3. Tujuan Penelitian ... 1.4. Sasaran Penelitian ... 1.5. Manfaat Penelitian ... 1.6. Novelty... 3.1. Preservasi vs Restorasi ... 3.2. Manajemen Kawasan Taman Nasional di Indonesia ... 3.3. Metodologi Rekayasa Sosial dan Teori Ekonomi Kelembagaan 3.4. Partisipasi ... 4.1. Lokasi Penelitian ... 4.2. Pendekatan Penelitian ... 4.3. Definisi Konsep ... 4.4. Definisi Operasional ... 4.5. Rancangan Penelitian ... 4.5.1. Variabel yang Diamati Jenis Data yang Diperlukan dan

Sumber Data ... 4.5.2. Metode Pengumpulan Data ... 4.5.3. Metode Analisis Data ... 4.5.4. Pelaksanaan Penelitian ...

31

V. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 5.1. Letak Geografis dan Wilayah Administrasi Kawasan

Perluasan TNGGP ... 5.2. Aspek Biofisik Kawasan Restorasi ... 5.2.1. Karakteristik Kondisi Lahan Kawasan Restorasi ... 5.2.2. Biodiversitas TNGGP ... 5.2.3. Sejarah Kawasan Perluasan (Kawasan Restorasi) ...

53 6.1. Aspek Biofisik Kawasan Perluasan TNGGP... 6.2. Aspek Sosial-Ekonomi Petani Penggarap Lahan Hutan ... 6.2.1. Karakteristik Kondisi Sosial-Ekonomi Masyarakat Sekitar TNGGP ... 6.2.2. Akses Terkait dengan Penguasaan Lahan ...

63 63 65

(25)

xiii

Lahan ... 6.2.4. Sumber Nafkah Petani Penggarap ... 6.2.5. Tingkat Ketergantungan Masyarakat Terhadap Lahan

Garapan ... 6.2.6. Sikap Masyarakat Terhadap Usaha Pelestarian Alam dan

Isu Konservasi ... 6.2.7. Tipologi Masyarakat Petani Penggarap Lahan... 6.2.8. Kelembagaan Masyarakat Sekitar Kawasan Perluasan ... 6.3. Konflik Pemanfaatan SDA Kawasan Perluasan TNGGP ... 6.4. Perumusan Model Konseptual TPN-GGP...

6.4.1. Pola Biofisik Kawasan Perluasan TNGGP ... 6.4.2. Preferensi Masyarakat Terhadap Jenis Tanaman Restorasi

Pola Pemanfaatan Kawasan Perluasan TNGGP ... 6.4.3. Desain Fisik TPN-GGP .. ... 6.4.4. Model Kelembagaaan TPN-GGP ... 6.5. Implikasi Hasil Penelitian ...

77 78

81

83 84 85 86 90 90

93 97 98 107

VII. SIMPULAN DAN SARAN ... 7.1. SIMPULAN ... 7.2. SARAN ...

109 109 111

DAFTAR PUSTAKA ...

DAFTAR SINGKATAN ...

LAMPIRAN ... 113

118

120-170

(26)

xii

DAFTAR TABEL

Halaman

1 Komponen rancangan penelitian pada aspek-aspek perumusan konsep TPN... 40

2 Variabel yang diamati, jenis dan sumber data... 43

3 Metode pengumpulan data... 45

4 Sebaran wilayah sampel, pertimbangan klasterisasi, dan jumlah responden petani penggarap...

46

5 Standar skoring dan kategori kecukupan penguasaan lahan di luar kawasan ... 48

6 Standar skoring dan kategori kecukupan penguasaan lahan garapan di dalam kawasan hutan... 49

7 Standar skoring dan kategori beban tanggungan keluarga... 49

8 Kategori dan Skor ketergantungan jenis pekerjaan sampingan terhadap lahan hutan... 50

9 Metode analisis data ... 51

10 Data Kelas Lereng Kawasan TNGGP... 57

11 Variasi jenis tutupan lahan kawasan TNGGP hasil interpretasi citra landsat tahun 2011... 60

12 Fisiografi lahan di kawasan perluasan TNGGP... 62

13 Variasi jenis penutupan lahan di kawasan perluasan TNGGP... 62

14 Hasil perhitungan faktor kesetaraan luas lahan garapan petani penggarap pada program restorasi dan rehabilitasi lahan hutan... 64

15 Jumlah petani penggarap lahan kawasan TNGGP... 65

16 Sebaran persentase responden menurut preferensi pada jenis tanaman per desa sampel... 67

(27)

xiii

18 Sebaran persentase responden berdasarkan kategori luas penguasaan lahan usaha tani di luar dan di dalam kawasan hutan per desa sampel ... 69

19 Sebaran persentase responden menurut skor tingkat beban ketergantungan keluarga per lokasi blok desa sampel... 70

20 Sebaran persentase responden menurut skor sumber nafkah keluarga per lokasi blok desa sampel... 72

21 Persentase tingkat ketergantungan petani penggarap terhadap lahan hutanper lokasi blok desa sampel... 74

22 Persentase responden menurut persepsi dan kesadaran terhadap isu konservasi per lokasi blok desa sampel ... 75

23 Matriks tipologi masyarakat petani penggarap di kawasan perluasan TNGGP... 76

24 Matriks perumusan pola biofisik kawasan restorasi... 91

25 Matriks tingkat toleransi biofisik terhadap tanaman budidaya... 92

26 Matriks perumusan pola pemanfaatan lahan kawasan restorasi... 95

27 Matriks perumusan varian model TPN... 97

28 Perumusan model kelembagaan partisipatif TPN... 101

29 Matriks pengaturan hak kepemilikan masyarakat dalam pembangunan TPN menurut kompatibilitas varian model TPN.... 103

(28)

xii

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1 Kerangka pikir perumusan model kelembagaan restorasi biodiversitas dengan pendekatan konsep TPN...

13

2 Lokasi Penelitian... 32

(29)

xii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1 Daftar Tumbuhan Obat di TNGGP... 120

2 Daftar Jenis Flora di TNGGP... 124

3 Data Jenis-Jenis Angrek di Kawasan TNGGP... 145

4 Jenis satwa yang dilindungi di Kawasan TNGGP... 150

5 Jenis Reptilia dan Amphibia dan Lokasi Penyebaranya di

Kawasan TNGGP………. 151

6 Jenis-jenis Alien species / Tumbuhan Eksotik di Kawasan Hutan TNGP... 152

7 Areal Zona Tradisional di TNGGP... 156

8 Skor luas penguasaan lahan responden di luar kawasan hutan 158

9 Skor luas penguasaan lahan responden di luar dan di dalam kawasan hutan... 160

10 Skor tingkat beban ketergantungan keluarga responden per lokasi blok desa sampel... 162

11 Skor sumber nafkah responden per lokasi blok desa sampel... 164

12 Skor tingkat ketergantungan petani penggarap terhadap lahan hutanper lokasi blok desa sampel ...………. 166

13 Daftar LSM dan Kelompok Profesi Bidang Konservasi Alam Sampai Dengan Tahun 2010... 168

(30)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Kawasan konservasi merupakan kawasan yang dilindungi dengan fungsi pokok konservasi biodiversitas dalam lingkungan alaminya, atau sebagai “konservasi in situ”, yaitu konservasi ekosistem dan habitat alami serta pemeliharaan dan pemulihan populasi spesies-spesies dalam lingkungan alaminya. Isu penting konservasi biodiversitas adalah mempertahankan integritas ekologis kawasan (UU No 5 / 1994). Basuni (2003) menyatakan bahwa penunjukan dan pengukuhan kawasan konservasi di Indonesia tidak dirancang secara khusus untuk konservasi biodiversitas mengingat konservasi biodiversitas sebagai motivasi konservasi alam, baru muncul pada sekitar tahun 1990-an; sedangkan unit-unit kawasan konservasi di Indonesia sebagian besar ditunjuk dan dikukuhkan sebelum tahun 1990-an dengan dimotivasi oleh kepentingan selain dari konservasi biodiversitas (yaitu: perlindungan daya tarik geologi, keindahan alam, atau perlindungan daerah hulu sungai). Penggunaan istilah biodiversitas dalam tulisan ini dimaksudkan sebagai pengganti kata biodiversity yang sinonim dengan kata keanekaragaman hayati.

Dalam dekade terakhir ini (sejak tahun 2000) Indonesia telah memperluas kawasan konservasi melalui penunjukan kawasan taman nasional baru sebanyak 15 buah dan perluasan kawasan taman nasional sebanyak tiga buah (Direktorat Konservasi Kawasan dan Bina Hutan Lindung, DITJEN PHKA, 2011). Pengelola taman nasional yang diperluas kawasannya, taman nasional baru, dan beberapa taman nasional lainnya yang mengalami kerusakan kawasan sedang aktif melakukan kegiatan restorasi. Dalam pelaksanaan kegiatan restorasi kawasan taman nasional diatas pengelola menghadapi permasalahan yang hampir sama yaitu variasi kondisi biofisik penutupan lahan dan timbulnya dampak sosial negatif akibat perubahan status fungsi kawasan.

(31)

Indonesia sebagai taman nasional pada tanggal 6 Maret 1980. TNGGP juga merupakan salah satu dari 6 (enam) taman nasional di Indonesia yang diakui oleh dunia sebagai cagar biosfer. Selama ini TNGGP merupakan salah satu contoh pengelolaan taman nasional yang baik di Indonesia. Berdasarkan Surat Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (DIRJEN PHKA) Nomor : SK.69/IV-Set/HO/2006 tanggal 3 Mei 2006 tentang Penunjukan 20 Taman Nasional sebagai Taman Nasional Model, maka TNGGP menjadi salah satu dari 20 taman nasional model yang ditetapkan oleh pemerintah tersebut. Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (BB TNGGP) tahun 2011 menyatakan bahwa tugas dan fungsi utama TNGGP adalah melindungi sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman hayati dan menyediakan sumber daya alam hayati untuk pemanfaatan secara berkelanjutan. Secara umum dapat dikatakan bahwa permasalahan keutuhan dan keaslian biodiversitas TNGGP kedepan akibat invasi jenis tumbuhan antropogenik sangat tergantung pada pola penggunaan lahan di luar dan berbatasan dengan kawasan TNGGP. Permasalahan ini jelas tidak dapat diselesaikan hanya dengan perlindungan kawasan dengan pendekatan pengamanan kawasan (Basuni, 2003).

Pada awalnya berdasarkan SK. Menteri Kehutanan No. 736/36/Menteri/X/82 luas kawasan TNGGP adalah 15.196 Ha. Dengan terbitnya SK Menteri Kehutanan No. 174/Kpts-II/2003 tanggal 10 Juni 2003 maka terdapat perluasan kawasan taman nasional seluas hampir 6.779 Ha yang kondisinya perlu direstorasi. BB TNGGP (1999) diacu dalam Basuni (2003) telah melaporkan adanya 42 jenis tumbuhan eksotik antropogenik di dalam kawasan TNGGP, dan bahkan hasil penelitian LIPI (2006) menemukan 75 jenis tumbuhan eksotik antropogenik. Mengingat tujuan penetapan dan fungsi kawasan konservasi yang ada maka jenis-jenis tumbuhan eksotik antropogenik ini menjadi masalah yang mendesak untuk diselesaikan oleh manajemen BB TNGGP dalam rangka preservasi ekosistem hutan tropis pegunungan.

(32)

3

termasuk SDH yang terdapat di dalam dan di sekitar kawasan TNGGP saat ini hanya berorientasi pada nilai ekonomis saja seperti dalam bentuk ppenggunaan lahan dan pemungutan hasil hutan untuk mendapatkan sumber pendapatan. Hal ini tidak terlepas dari sejarah pengelolaan kawasan perluasan sebelumnya. Perubahan status fungsi kawasan juga menyebabkan masyarakat (khususnya petani penggarap eks program PHBM - Perum Perhutani) kehilangan hak akses terhadap penggunaan sumberdaya lahan (SDL) di kawasan perluasan tersebut.

Perlindungan TNGGP adalah perlindungan terhadap keutuhan kawasan dan biodiversitas yang terkandung di dalamnya (Basuni, 2003). Restorasi biodiversitas merupakan salah satu kegiatan konservasi yang bertujuan untuk mengembalikan keaslian biodiversitas dalam rangka pemulihan fungsi dan peranan taman nasional dalam rangka pencapaian tujuan pembangunan kawasan konservasi. Restorasi biodiversitas di kawasan perluasan TNGGP merupakan kebutuhan mendesak bagi BB TNGGP dan hingga saat ini belum ditemukan model restorasi yang efektif. Pelibatan masyarakat sekitar taman nasional khususnya dan stakeholders

pada umumnya dalam kegiatan restorasi biodiversitas dimaksudkan untuk mengembalikan hak akses masyarakat yang tercabut dan peningkatan kesejahteraan sosial ekonomi mereka dalam konteks pencapaian tujuan restorasi kawasan perluasan TNGGP.

(33)

1.2. Perumusan Masalah

Masalah restorasi kawasan perluasan TNGGP bersumber pada karakteristik kondisi biofisik atau ekologis kawasan perluasan dan variasi kepentingan

stakeholders yaitu nilai keaslian jenis bagi BB TNGGP, kepentingan ekonomi bagi masyarakat, dan kepentingan stakeholder lain terhadap kawasan perluasan. Secara ringkas dapat dikemukakan bahwa terdapat dua masalah penting terkait dengan restorasi kawasan perluasan TNGGP ini yaitu masalah vegetasi eksotik antropogenik di kawasan perluasan TNGGP (masalah ekologi) dan masalah tercabutnya hak-hak masyarakat khususnya hak akses terhadap kawasan (masalah kelembagaan).

Ruang lingkup penelitian dan pembatasan permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah permasalahan restorasi biodiversitas kawasan perluasan TNGGP (khususnya vegetasi eksotik antropogenik) yang terkait dengan permasalahan akses masyarakat sekitar TNGGP terhadap lahan di dalam kawasan. Secara spesifik adalah perumusan model kelembagaan restorasi biodiversitas dengan konsep Taman Plasma Nutfah (TPN) sebagai pendekatan restorasi biodiversitas di kawasan perluasan TNGGP dengan melibatkan masyarakat sekitar TNGGP dalam melaksanakan kegiatan restorasi kawasan konservasi. Biodiversitas dibatasi pada sumberdaya alam hayati asli yang berasal dari kawasan TNGGP.

(34)

5

bertindak dalam pencapaian tujuan yang diinginkan dalam restorasi kawasan perluasan TNGGP khususnya dan tujuan pengelolan TNGGP pada umumnya yaitu kelestarian biodiversitas dan fungsi SDA dan atau SDH beserta ekosistemnya, serta kesejahteraan masyarakat sekitar taman nasional.

Pola biofisik kawasan mencerminkan karakteristik biofisik-ekologis kawasan dan tujuan restorasi biodiversitas sebagai landasan pemanfaatan kawasan perluasan. Varian desain fisik TPN dirumuskan berdasarkan hasil kajian dan perumusan pola biofisik, preferensi jenis tanaman dan pola penggunaan kawasan dengan mempertimbangkan tuntutan restorasi dan unsur pelibatan masyarakat petani penggarap lahan. Kondisi biofisik dan tipologi masyarakat dianalisis dan disintesis (direkayasa) untuk penyusunan kelembagaan restorasi biodiversitas. Rekayasa sosial bertujuan untuk membangun kelembagaan yang sesuai dengan karakteristik permasalahan restorasi.

Aspek-aspek yang terkait dengan masalah pelaksanaan restorasi dan tujuan perumusan kelembagaan restorasi dengan konsep TPN mencakup aspek biofisik-ekologis, aspek sosial ekonomi, dan aspek relasional pemanfaatan SDA. Komponen-komponen dari ketiga aspek tersebut saling berinteraksi dan memunculkan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana bentuk pelaksanaan kegiatan restorasi yang sesuai dengan karakteristik kondisi biofisik-ekologis sasaran kegiatan restorasi dan aspirasi masyarakat terkait akses penggunaan sumberdaya lahan di dalam kawasan perluasan TNGGP, yang merupakan keterpaduan pencapaian tujuan restorasi (ekologis) dan tujuan ekonomi masyarakat sesuai dengan potensi dan daya dukung kawasan.

2. Bagaimana bentuk pelaksanaan kegiatan restorasi yang mencerminkan kesesuaian karakteristik biofisik-ekologis kawasan dan kepentingan

stakeholder terkait dengan pelaksanaan kegiatan restorasi kawasan perluasan TNGGP dalam rangka pengelolaan kawasan konservasi dan menjamin pengembalian hak akses masyarakat

(35)

stakeholder lain dalam rangka untuk pencapaian tujuan konservasi dan pemulihan fungsi dan peran kawasan konservasi sesuai dengan tujuan penetapan taman nasional.

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan pokok penelitian adalah untuk merumuskan model kelembagaan restorasi biodiversitas kawasan konservasi dengan konsep TPN yang menjamin pengembalian hak akses masyarakat dan pemulihan fungsi dan peran taman nasional. Tujuan khusus penelitian merupakan penjabaran elemen-elemen yang terkait dengan tujuan pokok, antara lain mencakup:

1. Menentukan pola penggunaan kawasan perluasan berdasarkan unsur resiko lingkungan dari variasi pola biofisik dan variasi jenis tanaman yang akan digunakan dalam kegiatan restorasi.

2. Menentukan desain fisik TPN sebagai model restorasi biodiversitas berdasarkan kesesuaian pola penggunaan kawasan dengan unsur pelibatan masyarakat dalam rangka pelaksanaan kegiatan restorasi, yang merupakan wujud win-win solution dari kepentingan stakeholder.

3. Merumuskan model kelembagaan restorasi biodiversitas kawasan konservasi yang menjamin pelibatan masyarakat petani penggarap lahan hutan dalam pengelolaan SDH di kawasan konservasi khususnya dalam pengelolaan pelaksanaan kegiatan restorasi untuk pemulihan fungsi dan peran taman nasional.

1.4. Sasaran Penelitian

Sasaran penelitian mencakup: 1. Kawasan perluasan TNGGP, meliput i:

a) lahan budidaya pertanian (ex lahan PHBM, berbagai jenis tanaman pertanian),

b) lahan kosong (penutupan tajuk vegetasi <30% )

c) lahan-lahan bekas RKT Perum Perhutani (HP dan HPT),

(36)

7

2. Stakeholders terkait restorasi kawasan (khususnya masyarakat sekitar kawasan taman nasional TNGGP)

1.5. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang diharapkan dari output penelitian ini adalah :

1. Sebagai masukan kepada pemerintah Cq. BB TNGGP dan semua pihak terkait dengan pelaksanaan kegiatan konservasi biodiversitas dan restorasi kawasan konservasi khususnya kegiatan restorasi kawasan perluasan TNGGP;

2. Bagi pengembangan ilmu pengetahuan, maka konsep Taman Plasma Nutfah merupakan inovasi konsep pendekatan restorasi biodiversitas dan strategi manajemen restorasi biodiversitas kawasan konservasi yang merupakan :

a. Alternatif konsep restorasi biodiversitas kawasan konservasi dalam rangka pemulihan fungsi dan peran taman nasional.

b. Alternatif model restorasi biodiversitas kawasan konservasi yang bersumber pada dinamika perubahan status fungsi lahan dan ancaman vegetasi eksotik antropogenik;

c. Alternatif pengembalian hak akses masyarakat sekitar taman nasional pada SDH dan SDL yang telah lama menjadi bagian dari budaya dan kehidupan masyarakat;

1.6. Novelty

(37)

Konservasi dapat dipahami dalam pengertian sempit dan luas Dalam arti sempit konservasi adalah preservasi yaitu bahwa konservasi merupakan lawan restorasi, merupakan aktivitas ‘to keep it’. Dalam arti luas pengertian konservasi mencakup segala aktivitas konservasi termasuk preservasi, restorasi, dan aktivitas lain yg mungkin berhubungan (Basuni, 2009).

Preservasi adalah tindakan tertentu untuk menjaga selama mungkin fitur-fitur kawasan hutan konservasi yang terlihat jelas seperti keadaannya semula (asli,utuh) atau sebagai suatu tujuan yang biasa dicapai dengan memodifikasi beberapa fitur yang semula tidak terlihat (Basuni, 2009). Aktivitas preservasi dapat dibagi menjadi (Basuni, 2009):

a) Preservasi langsung, yaitu aktivitas pengubahan fitur kawasan hutan konservasi yang dilakukan dalam waktu terbatas.

b) Preservasi lingkungan, yaitu aktivitas pengubahan lingkungan atau fitur-fitur kawasan hutan konservasi yang dilakukan dengan tidak dibatasi oleh waktu. c) Preservasi informasional, yaitu aktivitas perekaman atau pembuatan replika

atau tiruan atau mereproduksi kawasan konservasi dan atau beberapa fiturnya dengan tujuan penyediaan informasi dan pengalaman bagi masyarakat tanpa resiko adanya gangguan pada kawasan hutan konservasi yang asli.

Restorasi adalah semua tindakan untuk mengubah struktur obyek konservasi untuk menggambarkan keadaan terdahulu yang diketahui (Basuni, 2009). Mengacu pada pengertian restorasi tersebut maka pengertian ‘Restorasi Biodiversitas Taman Nasional’ adalah pemulihan biodiversitas kawasan taman nasional dengan menggunakan jenis-jenis flora asli guna pemulihan fungsi kawasan konservasi untuk mencapai tujuan pengawetan biodiversitas taman nasional.

Taman1 dapat didefinisikan sebagai tempat yang menyenangkan atau kawasan yang ditanami berbagai macam tumbuhan sebagai tempat untuk bersenang-senang; atau tempat dengan penataan ruang yang berfungsi sebagai

___________________________

1 diturunkan dari definisi taman menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia

(38)

9

tempat penyegar di dalam dan di luar ruangan yang direncanakan dengan mempertimbangkan aspek estetika atau keindahan.

Plasma nutfah adalah substansi hidupan pembawa sifat keturunan yang dapat berupa organ tubuh atau bagian dari tumbuhan atau satwa serta jasad renik (PP 28/2011). Keanekaragaman plasma nutfah diartikan sebagai kumpulan berbagai macam gen yang terdapat dalam populasi spesies yang berkembang biak, atau seluruh spesies yang dijumpai di suatu kawasan tertentu (Mackinnon, 1990). Mengacu Mackinnon (1990) tersebut maka plasma nutfah dapat didefinisikan sebagai potensi sumberdaya hayati (flora dan fauna) yang masih membawa sifat sifat genetik asli, sebagai substansi pembawa sifat keturunan yang dapat berupa terkandung di dalam suatu ekosistem (hutan, savana, semak, padang rumput, semi padang pasir dan sebagainya).

Berdasarkan pengertian taman dan plasma nutfah tersebut di atas maka taman plasma nutfah adalah sesuatu yang dibangun diatas suatu tempat dengan berlandaskan konsep taman plasma nutfah, yaitu tempat yang memiliki penataan ruang untuk pengaturan materi utama SDA hayati yang merupakan bagian dari biodiversitas yang diketahui manfaat aktual dan potensialnya sehingga memiliki fungsi keindahan dan aspek-aspek ekowisata dalam rangka mencapai tujuan restorasi dan preserrvasi biodiversitas yang terkandung di dalam kawasan konservasi, yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, sosial budaya, dan ekowisata.

(39)

Secara umum pengelolaan taman nasional ataupun kawasan konservasi di Indonesia menghadapi tantangan yang hampir sama yang bahkan dapat memicu munculnya konflik akibat tidak sinerginya praktek manajemen taman nasional dengan kepentingan masyarakat sekitar taman nasional atau stakeholder terkait. Tantangan-tantangan tersebut merupakan sumber masalah degradasi kawasan sehingga terjadi kerusakan sumberdaya hutan baik hayati maupun non hayati, penurunan potensi dan fungsi sumberdaya, bahkan kepunahan flora dan fauna, serta tidak tercapainya peran dan fungsi taman nasional sebagai kawasan konservasi. Konflik kepentingan terhadap sumberdaya alam yang ada di dalam kawasan taman nasional (SDH dan SDL) sering diawali oleh persepsi, yang kemudian diikuti oleh pemanfaatan dan tekanan terhadap SDH dan SDL tersebut.

Biodiversitas kawasan konservasi dapat dipandang sebagai obyek yang melahirkan nilai bagi subyek. Nilai yang bersifat personal, sosial, maupun ilmu pengetahuan. Khusus bagi pengelola kawasan konservasi, ‘keaslian’ merupakan nilai yang paling penting dalam restorasi biodiversitas, sedangkan bagi masyarakat, ‘nilai ekonomis’ merupakan nilai yang paling penting. Dengan demikian memadukan persepsi dan kebutuhan (need) BBTNGGP dan masyarakat sekitar TNGGP, serta stakeholder lainnya merupakan hal penting dalam pelaksanaan restorasi dan sekaligus dalam rangka penyelesaian konflik kepentingan yang ada.

Dalam pelaksanaan kegiatan restorasi di kawasan perluasan TNGGP telah dilaksanakan beberapa bentuk pendekatan restorasi, antara lain RHL Swakelola, RHL Partisipatif, dan Adopsi Pohon. Namun pendekatan-pendekatan tersebut belum memberikan solusi yang memuaskan terbukti bahwa BBTNGGP masih menghadapi permasalahan yang belum terselesaikan dengan baik yaitu adanya gangguan pemanfaatan SDH dan penggunaan SDL oleh masyarakat petani sekitar kawasan taman nasional. BBTNGGP masih mencari alternatif model restorasi untuk mengatasi masalah vegetasi eksotik antropogenik dan penggunaan lahan hutan oleh masyarakat di kawasan perluasan tersebut.

(40)

11

penggunaan jenis flora asli digunakan sebagai basis konsep TPN yang dikembangkan dan bertitik tolak dari konsep preservasi informasional (Basuni, 2009). Inti dari konsep TPN adalah bahwa untuk menyelamatkan yang asli maka perlu dibuat tiruan (duplikat) yang mengusung sebanyak mungkin informasi terkait dengan ciri dan karakteristik subjek aslinya. Dengan adanya duplikat maka gangguan dan akses terhadap subjek asli akan dapat jauh dikurangi sehingga lebih dijamin konservasi dan preservasinya. Konsep TPN merupakan rumusan untuk mengatur pola ruang atau lanskap tanaman pada kawasan perluasan yang direstorasi yang mempertimbangkan aspek ekologis (sustainable), aspek ekonomi (feasible), dan aspek sosial-budaya (acceptable dan capable). Masalah ekologi diselesaikan melalui perumusan-perumusan pola biofisik, pola penggunaan kawasan, dan pola ruang atau lanskap tanaman sesuai dengan potensi biofisik atau kondisi ekologis kawasan perluasan dan konteks ekowisata dalam penggunaan kawasan konservasi, sedangkan masalah kelembagaan diselesaikan melalui perumusan-perumusan varian desain fisik TPN dan desain kelembagaan melalui rekayasa sosial yang bertujuan untuk melibatkan stakeholders lain khususnya masyarakat petani sekitar kawasan TNGGP sehingga kepentingan stakeholders

dapat diakomodir dan dalam rangka pengembalian hak akses masyarakat petani yang tercabut akibat perubahan fungsi kawasan.

(41)

desain fisik TPN mencerminkan karakteristik biofisik atau ekologis kawasan, tujuan restorasi biodiversitas, pelibatan masyarakat, dan disesuaikan dengan konteks ekowisata sebagai landasan penggunaan kawasan restorasi.

Konsep kelembagaan yang digunakan sebagai landasan perumusan aspek kelembagaan ini adalah konsep ekonomi kelembagaan. Perumusan kelembagaan melalui rekayasa sosial dapat dilakukan berdasarkan varian desain fisik TPN yang telah dirumuskan. Rekayasa sosial (Pakpahan, 1989) merupakan upaya melakukan perubahan struktur kelembagaan yang mengatur alokasi sumberdaya untuk mencapai performance yang dikehendaki. Bagian-bagian penting dari proses rekayasa sosial (Pakpahan, 1989) adalah: 1) Analisis tentang dampak batas yurisdiksi, 2) Kepemilikan, dan 3) Aturan representasi dalam pembuatan keputusan. Perumusan kelembagaan TPN-GGP meliputi perumusan struktur dan pengembangan aturan main dalam tiap tahapan pembangunan TPN-GGP sesuai dengan rumusan varian desain fisik TPN-GGP.

(42)

13 (SESUAI DENGAN POLA RUANG, TIPOLOGI, KEPENTINGAN, DAN KONSEP EKOWISATA)

TIPOLOGI MASYARAKAT

KAWASAN RESTORASI

(Ekonomis)

RESTORASI BIODIVERSITAS

MASALAH EKOLOGI MASALAH KELEMBAGAAN

(Kebutuhan/Need)

(Keaslian Jenis GGP )

KAWASAN PER LUASAN TNGGP GOVERNMENT / BBTNGGP

STAKEHOLDERS LAIN MASYARAKAT

PENENTUAN

Gambar 1 Kerangka pikir perumusan model kelembagaan restorasi biodiversitas dengan pendekatan konsep TPN

Model Kelembagaan Restorasi Biodiversitas Kawasan Konservasi dengan Pendekatan Konsep Taman Plasma Nutfah

(43)

3.1. Preservasi dan Restorasi

Mengacu Basuni (2009), pengertian konservasi adalah preservasi yang merupakan lawan restorasi (arti sempit), namun dalam arti luas pengertian konservasi mencakup segala aktivitas konservasi termasuk preservasi, restorasi, dan aktivitas lain yg mungkin berhubungan. Tindakan preservasi bertujuan untuk menjaga selama mungkin fitur-fitur kawasan hutan konservasi yang terlihat jelas seperti keadaannya semula (asli,utuh) yang biasa dicapai dengan memodifikasi beberapa fitur yang semula tidak terlihat, mencakup aktivitas preservasi langsung, preservasi lingkungan, dan preservasi informasional. Tujuan konservasi adalah untuk perlindungan, pengawetan, dan optimalisasi pemanfaatan sumberdaya hutan dan sumberdaya alam hayati secara lestari, selaras, seimbang dengan berpedoman pada asas manfaat dan kelestarian, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan, dan keterpaduan untuk kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia inter dan antar generasi (konsideran, pasal 2, dan pasal 3 UU no 41/1999; pasal 3 dan pasal 5 UU no 5 tahun 1990; dan pasal 33 UUD 1945). Aktivitas dalam bidang pengelolaaan kawasan hutan konservasi mencakup preservasi dan restorasi. Dalam praktik nyata, preservasi dan restorasi bisa merupakan dua akibat dari operasi teknis yang sama. Overlap antara hasil preservasi dan restorasi menjadi jauh lebih besar karena preservasi sering sangat tergantung pada restorasi untuk beberapa kualitas obyek yang dikonservasi (Vina 2005 dalam Basuni 2009).

(44)

15

3.2. Manajemen Kawasan Taman Nasional di Indonesia

Salah satu kategori kawasan konservasi adalah taman nasional. Pengelolaan taman nasional di Indonesia dilaksanakan melalui sistem zonasi, yakni: a) zona int;i b) zona rimba; dan c) zona pemanfaatan; dan atau d) zona lain sesuai dengan keperluan (PP 28/2011 pasal 18 ayat 1). Model pengelolaan taman nasional di Indonesia antara lain tertuang dalam UU No.5/1990 pasal 30 s/d pasal 33. Wiratno et al. (2004) mengatakan bahwa konsekuensi dan arahan pengelolaan taman nasional tersebut meliputi bahwa pengelolaan taman nasional harus dikelola dengan sistem zonasi dan menggunakan pendekatan konservasi ekosistem sebagai satu kesatuan wilayah yang utuh dalam skala bioregional sebagaimana penegasan Kongres Taman Nasional IV di Caracas Venezuela tahun 1992 dan tidak terbatas hanya pada konservasi spesies, dengan tujuan untuk membuat program-program kerjasama secara sadar, sukarela serta lintas wilayah, untuk melindungi kekayaan keanekaragaman hayati yang dapat mendukung kehidupan lokal dan peradabannya.

Issu sosial dalam manajemen kawasan hutan konservasi terkait dengan sosial ekonomi masyarakat adalah adanya konflik dengan penduduk setempat dan bahwa penduduk di sekitar kawasan hutan konservasi cenderung lebih miskin (Basuni 2009). Pemahaman tentang karakteristik konflik secara baik sangat diperlukan untuk menemukan resolusi konflik. Model ‘pengelolaan partisipatif dan atau kolaboratif’ dalam manajemen kegiatan restorasi dapat diajukan sebagai resolusi konflik yang terjadi di TNGGP dimana keinginan masyarakat lokal dilibatkan dalam pengambilan keputusan atas pengelolaan SDH (kawasan konservasi) yang ada di dekatnya. Kegiatan restorasi kawasan perluasan TNGGP yang disusun bersama masyarakat akan mempertemukan tujuan pengelolaan SDH yang ada di dalam kawasan taman nasional dengan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Hasil penelitian Karsodi (2007) di lokasi perluasan TNGGP menyimpulkan bahwa berdasarkan konflik yang teridentifikasi maka manajemen yang dijalankan sebaiknya adalah pengelolaan kolaboratif.

(45)

nyata bagi masyarakat sehingga masyarakat yang kehilangan peluang (opportunity) ataupun akses pada SDA dalam kawasan harus diberikan kompensasi. 2) Mengakomodaskan kepentingan lokal dan menjamin kepentingan konservasi secara simultan. 3) Perencanaan harus holistik dimana perencanaan tentang pengembangan partisipasi dan kemitraan sebaiknya dilakukan bersama-sama dengan perencanaan manajemen mengingat kawasan konservasi bukanlah sistem yang berdiri sendiri, melainkan saling berkait dengan sistem atau subsistem lainnya yang saling mempengaruhi membentuk sebuah ketergantungan ekonomi, sosial, ataupun budaya.

Ragam manfaat taman nasional berhubungan dengan tipe pengelolaannya yang sangat bergantung pada spesifikasi tujuan konservasi yang ditetapkan. Beberapa dari manfaat tersebut dapat dinilai dengan harga pasar, namun banyak manfaat yang disediakan taman nasional ataupun kawasan konservasi yang justru sulit dinilai dalam satuan moneter. Manfaat tersebut biasanya merupakan manfaat sosial yang sering justru menjadi justifikasi bagi perlindungan terhadap kawasan konservasi.

Mengacu pada Dixon dan Sherman (Wiratno et al. 2004) dapat diajukan kategori lain dari manfaat taman nasional, yaitu:

1) Manfaat rekreasi;

2) Perlindungan daerah aliran, mencakup: Pengendalian erosi, Reduksi banjir setempat, dan Pengaturan aliran sungai;

3) Proses-proses ekologi yang meliputi: Fiksasi dan siklus nutrisi, Formasi tanah, Sirkulasi dan pembersihan udara dan air, dan Dukungan bagi kehidupan global;

4) Keragaman hayati, meliputi: Sumber genetik, Perlindungan spesies, Keragaman ekosistem, dan Proses-proses evolusioner;

5) Pendidikan dan penelitian; 6) Manfaat-manfaat konsumtif;

7) Manfaat-manfaat nonkonsumtif; Estetika, Spiritual, Kultural/sejarah, dan Nilai keberadaan;

(46)

17

3.3. Metodologi Rekayasa Sosial dan Teori Ekonomi Kelembagaan

Pasar sebagai institusi penggerak kegiatan ekonomi yang menciptakan kesejahteraan namun juga menimbulkan polusi, sebab dalam pemikiran klasik dan neoklasik tersimpan cacat filosofis dalam wujud asumsi-asumsi yang melatarinya. Ekonomi kelembagaan mencoba mengkiritisinya. Kubu ekonomi kelembagaan lama (Old Institutional Economic) secara ekstrem menganggap bahwa seluruh asumsi ekonomi klasik dan neoklasik merupakan falsifikasi yang fatal sehingga harus dibatalkan. Kubu ekonomi kelembagaan baru (New Institutional Economic) menyatakan bahwa sebagian asumsi ekonomi klasik dan neoklasik layak dibuang namun sebagian lainnya tetap dapat diadopsi. Asumsi yang tidak realistis adalah bahwa tidak ada biaya transaksi (zero transaction costs) dan rasionalitas instrumental (instrumental rationality). Individu bekerja menurut insentif ekonomi dengan mengesampingkan dinamika perilaku yang dipengaruhi beragam aspek (misalnya sosial, politik, budaya, hukum, dsb (Yustika 2006). Dalam pandangan para ilmuwan sosial bahwa tidak semua manusia rasional, tetapi alternatif pilihan yang tersedia adalah terbatas (Cook 1987). Menurut Thibaut dan Kelly (1959); Homans (1961) dan Blau (1964), diacu dalam Howell

et al. (1987) menyatakan bahwa keterlibatan masyarakat dalam aktivitas tertentu adalah untuk mencari manfaat (benefit). Manfaat dapat berupa pendapatan, penghargaan dan kepercayaan.

Seperti penjelasan North bahwa ‘ekonomi kelembagaaan baru’ menempatkan diri sebagai pembangun teori kelembagaan non pasar dengan fondasi teori ekonomi neoklasik, sehingga masih memakai asumsi dasar teori neoklasik tentang ‘kelangkaan dan kompetisi’ tetapi menanggalkan asumsi rasionalitas instrumental. Oleh karena itu ‘ekonomi kelembagaaan baru’ mengeksplorasi gagasan kelembagaan non pasar (hak kepemilikan, kontrak, partai revolusioner, dll) sebagai jalan untuk mengompensasi kegagalan pasar (Yustika 2006). ). Untuk pemahaman lebih rinci, Hodgson (1998) dalam Yustika (2006) menegaskan bahwa:

(47)

3) Tidak ada sumber-sumber untuk menyusun model agen dan atau pelaku rasional yang memaksimalkan kemanfaatan.

4) Teknik matematis dan statistik dianggap sebaagai pelayan teori ekonomi daripada esensi teori ekonomi sendiri.

5) Analisis tidak diawali dengan membangun model-model matematis, namun diawali dari gaya fakta dan dugaan teoritis mengenai mekanisme sebab akibat.

6) Pemanfaatan harus dibuat dari bahan empiris historis dan komparatif mengenai kelembagaan sosio-ekonomi.

Pernyatan-pernyataan tersebut merupakan basis kerangka metodologis ekonomi kelembagaan. Dengan demikian struktur dan perilaku masyarakat (dalam perspektif ekonomi kelembagaan) harus mendapat ruang yang lebar dalam setiap analisis ekonomi (Yustika 2006).

(48)

19

Analisis ilmu ekonomi dibagi dalam empat cakupan (Miller 1988 dalam Yustika 2006): 1) Alokasi sumberdaya; 2) Pertumbuhan kesempatan kerja, pendapatan, produksi, dan harga; 3) Distribusi pendapatan; 4) Struktur kekuasaan. Pendekatan klasik dan neoklasik lebih banyak memakai tiga instrumen pertama. Pendekatan kelembagaan lebih menekankan instrumen terakhir untuk menganalisis fenomena ekonomi. Ekonomi kelembagaaan baru mempunyai beberapa cabang ilmu, yang dapat dibagi kedalam dua kategori: 1) Sejarah ekonomi baru dan aliran pilihan publik (fokus pada analisis makro); 2) Teori ekonomi biaya transaksi dan informasi ekonomi (fokus pada analisis mikro) dan bentuk-bentuk tata kelola aktivitas ekonomi (Yustika 2006).

Dua pendekatan penelitian ilmu sosial yaitu metode penelitian kuantitatif dan metode penelitian kualitatif. Konstruksi penelitian kuantitatif berdiri atas tiga premis: general, obyektif, dan terukur (prediktif); Sebaliknya penelitian kualitatif berdiri atas tiga premis: partikular, subyektif, dan non prediktif. Premis-premis ini sekaligus menjadi metode analisis ekonomi kelembagaan. Metode penelitian kuantitatif bertopang pada pendekatan positivistik (Meetoo and Temple 2003). Pendekatan kuantitatif yakin bahwa fenomena sosial berlaku universal, peneliti dan obyek tidak dibebani nilai, setiap tindakan individu merupakan derivasi dari perlakuan kumpulan individu. Menurut epistemologinya, metode penelitian kualitatif bersandar pada pendekatan interpretatif (Meetoo and Temple 2003). Jika pendekatan interpretatif dikaitkan dengan pelaku penelitian (atau peneliti) maka fokusnya adalah persoalan subyektivitas; jika dikaitkan dengan obyek penelitian (yang diteliti) maka fokusnya adalah masalah partikularitas. (Yustika 2006).

(49)

nilai ilmiah, adalah: 1) penelitian kualitatif dibuat secara bertingkat sehingga hal-hal yang subyektif mengalami obyektivikasi melalui pendalaman-pendalaman analisis; 2) mengurangi intervensi peneliti terhadap ungkapan responden dengan menyalin tuturan asli responden (Yustika 2006).

Pendekatan ekonomi kelembagaan berhubungan dengan metode penelitian kualitatif. Ekonomi kelembagaan dalam analisisnya sangat mementingkan struktur kekuasaan (ekonomi, sosial, politik, hukum, dll) yang hidup dalam masyarakat yang seterusnya mempengaruhi individu untuk mengambil keputusan dalam pertukaran atau transaksi. Penelitian kualitatif peduli dengan seluruh aspek yang melekat dalam fenomena sosial. Kompleksnya struktur sosial membutuhkan penjelasan dan interpretasi mendalam, dan analisis seperti itu hanya diperoleh jika metode yang digunakan berorientasi pada pengenalan situasi interaksi sosial. Nah pada titik ini ekonomi kelembagaan memberi jalan keluar bagaimana cara memahami sebuah proses sosial yang kompleks dan penelitian kualitatif menyediakan metode untuk mengorek secara mendalam sebab akibat dari proses sosial tersebut (Yustika 2006).

Landasan teori yang mementingkan peran institusi terletak pada masalah kerjasama kemanusiaan. Keberadaan institusi adalah untuk menurunkan ketidakpastian yang tercakup dalam interaksi manusia. Sumber ketidakpastian adalah kompleksitas masalah yang hendak diselesaikan dan software penyelesaian masalah yang dimiliki individu (North 1991). Kegiatan ekonomi merupakan interaksi manusia yang beroperassi pada dua level (Pejovich, 1995): 1) Pengembangan dan spesifikasi kelembagaan yang menyangkut aturan main (rules of the game). 2) Kegiatan ekonomi yang menyangkut interaksi manusia di dalam kelembagaan yang sudah tersedia, yang menyangkut permainan itu sendiri (game) (Yustika 2006).

Pakpahan (1989) menjelaskan bahwa jenis pengetahuan ada tiga yaitu pengetahuan tentang nilai, pengetahuan tentang bukan nilai (value-free positivistic knowledge), pengetahuan tentang preskripsi (fungsi dari jenis pengetahuan nilai dan bukan nilai) (Johnson, 1986). Keberhasilan suatu preskripsi merupakan fungsi pengetahuan nilai dan bukan nilai; dan uji keberhasilannya bersifat ex post

Gambar

Gambar 1  Kerangka  pikir perumusan  model kelembagaan restorasi
Gambar 2  Lokasi penelitian
Tabel 1  Komponen rancangan penelitian pada aspek-aspek perumusan konsep TPN
Tabel 2  Variabel yang diamati, jenis dan sumber data
+7

Referensi

Dokumen terkait