• Tidak ada hasil yang ditemukan

Model of policy on the restoration of conservation forest area

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Model of policy on the restoration of conservation forest area"

Copied!
513
0
0

Teks penuh

(1)

WAWAN GUNAWAN

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi yang berjudul Model Kebijakan Restorasi Kawasan Hutan Konservasi adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

(3)

WAWAN GUNAWAN. Model of Policy on the Restoration of Conservation Forest Area. Under the direction of SAMBAS BASUNI, ANDRY INDRAWAN, LILIK BUDI PRASETYO, and HERWASONO SOEDJITO.

Forest restoration is required to cope with the damages of conservation forest areas because the rate of forest destruction in Indonesia is still inclining. This study aims is creating a model of policy on the restoration of conservation forest areas, among others by (1) formulation of criteria of areas that urgently be restored, (2) formulation of criteria of sites or parts of conservation areas to be restored, (3) determination of reference for restoration, (4) determination of selected priority species, and (5) implemented the model. It employs some methods including survey by interview using questionnaire, field observation and literature study. The research reveals that there are eight criteria on the aspect of importance and seven criteria of urgency for a conservation area to be restored. There are ten criteria of sites or parts of conservation area that urgently need restoration. Each of these criteria includes the aspects of biology, social-economy, and culture. The dimensions of restoration references include the richness of endemic flora species and the parameter of vegetative horizontal structure taken from the ecosystems or bioregions that the same those to be restored. The species are selected in accordance with the reference species that are capable to live and grow in the sites urgently requiring restoration. According to the criteria of conservation forest area that needs urgent restoration, the area of Gunung Gede Pangrango National Park (GGPNP) is classified as Priority III. The top priority of sites or parts of area of GGPNP that need urgent restoration are commonly located in the outer parts/edges of GGPNP area that consist of submontaine ecosystem. There are 78 tree species in the natural forest vegetation types in the submontaine ecosystem of GGPNP that becomes the restoration reference. The number of selected priority species for restoration activity in GGPNP is 15 tree species. The highest priority of restoration activity/action for the GGPNP area is artificial restoration by enrichment planting with an involvement of community.

(4)

WAWAN GUNAWAN. Model Kebijakan Restorasi Kawasan Hutan Konservasi. Dibimbing oleh SAMBAS BASUNI, ANDRY INDRAWAN, LILIK BUDI PRASETYO, dan HERWASONO SOEDJITO.

Saat ini, hutan di Indonesia termasuk hutan di kawasan hutan konservasi mengalami kerusakan hutan yang cukup berat. Sampai tahun 2000 diperkirakan hutan yang rusak di Indonesia lebih dari 59 juta ha, termasuk 4,69 juta ha di dalam kawasan hutan konservasi. Untuk mengatasi kondisi tersebut, maka perlu dilakukan upaya restorasi kawasan hutan konservasi.

Tujuan umum penelitian ini adalah untuk membuat model kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi. Untuk mencapai tujuan umum penelitian tersebut ditetapkan beberapa tujuan antara, yaitu: (1) merumuskan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi, (2) merumuskan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi, (3) menentukan acuan restorasi, (4) menentukan prioritas jenis terpilih, dan (5) menerapkan/ menguji coba model.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survai, yaitu melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner, observasi lapangan, dan studi literatur. Data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua macam, yaitu data primer dan data sekunder. Kegiatan penelitian ini terdiri atas 2 tahap, yaitu: (1) tahap pembangunan model: perumusan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi, perumusan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi, penentuan acuan restorasi, dan penentuan prioritas jenis terpilih; (2) tahap uji coba model: lokasi uji coba model dilakukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP), Propinsi Jawa Barat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kepentingan terdapat 8 (delapan) kriteria, yaitu keberadaan jenis langka dan dilindungi, keanekaragaman tipe ekosistem, potensi keanekaragaman jenis, ekosistem penting sebagai penyedia air dan pengendalian banjir, pemanfaatan sumberdaya alam secara lestari, lansekap atau ciri geofisik sebagai obyek wisata alam, tempat peninggalan budaya, dan logistik bagi penelitian dan pendidikan dengan bobot masing-masing sebesar 0,310; 0,181; 0,142; 0,127; 0,122; 0,050; 0,035; dan 0,033.

Berdasarkan aspek tingkat kemendesakan ditemukan 7 (tujuh) kriteria, yaitu akibat yang ditimbulkan dari kerusakan hutan di suatu kawasan hutan

konservasi, besarnya kepedulian stakeholders sebagai penerima manfaat

kawasan hutan konservasi, bentuk dan sebaran kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi, persentase kerusakan hutan di suatu kawasan hutan konservasi, macam aktivitas masyarakat sekitar di suatu kawasan hutan konservasi, luasan suatu kawasan hutan konservasi, dan keberadaan hutan miskin jenis (hutan tanaman) di suatu kawasan hutan konservasi dengan bobot masing-masing sebesar 0,287; 0,182; 0,162; 0,132; 0,106; 0,069; dan 0,062.

(5)

Dimensi-dimensi acuan restorasi terdiri atas kekayaan jenis flora asli dan parameter struktur horizontal vegetasi yang didapat dari ekosistem atau bioregion yang sama dengan ekosistem yang akan direstorasi. Jenis terpilih didasarkan pada jenis-jenis yang termasuk jenis acuan yang mampu hidup dan berkembang pada lokasi-lokasi yang perlu segera direstorasi.

Hasil uji coba model menunjukkan bahwa kawasan TNGGP tergolong ke dalam Prioritas III kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi, lokasi/bagian kawasan TNGGP yang perlu segera direstorasi menunjukkan bahwa Prioritas I dan Prioritas II banyak terdapat di bagian terluar/tepi kawasan TNGGP yang termasuk ekosistem hutan pegunungan bawah (submontana) dan merupakan eks hutan produksi Perum Perhutani, sedangkan Prioritas III dan Prioritas IV banyak terdapat di bagian terdalam/tengah kawasan TNGGP. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jumlah jenis pohon pada tipe vegetasi hutan alam yang terdapat pada ekosistem hutan pegunungan bawah TNGGP yang menjadi acuan restorasi adalah sebanyak 78 jenis pohon. Prioritas jenis terpilih untuk kegiatan restorasi TNGGP adalah sebanyak 15 jenis pohon.

Prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP secara garis besar sesuai urutannya adalah sebagai berikut: enrichment planting

restorasi buatan, tebang pilih restorasi buatan, tebang pilih restorasi alami, tebang habis skala kecil restorasi buatan, restorasi alami, dan tebang habis skala besar restorasi buatan. Berkaitan dengan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi, alternatif kegiatan restorasi yang melibatkan masyarakat lebih mendapatkan prioritas apabila dibandingkan dengan alternatif kegiatan/tindakan restorasi yang tidak melibatkan masyarakat.

Simpulan dari penelitian ini adalah bahwa model kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi yang terbangun adalah sebagai berikut: (1) prioritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi ditentukan oleh 8 (delapan) kriteria kepentingan dan 7 (tujuh) kriteria kemendesakan; (2) prioritas lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi ditentukan oleh 10 kriteria; (3) acuan restorasi dapat dibangun berdasarkan dimensi kekayaan jenis flora asli dan parameter struktur horizontal vegetasi asli yang didapat dari ekosistem atau bioregion yang sama dengan ekosistem yang akan direstorasi; dan (4) jenis terpilih didasarkan pada jenis-jenis yang termasuk jenis acuan yang mampu hidup dan berkembang pada lokasi-lokasi yang perlu segera direstorasi.

(6)

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012

Hak cipta dilindungi undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah;

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. 2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau

(7)

WAWAN GUNAWAN

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S.

Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F.

Penguji pada Ujian Terbuka : Prof. Dr. M. Bismark, M.S.

(9)

Judul Disertasi : Model Kebijakan Restorasi Kawasan Hutan Konservasi

Nama Mahasiswa : Wawan Gunawan

NRP : P061060081

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui, Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S. Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S Ketua Anggota

Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc. Dr. Herwasono Soedjito, M.Sc., APU Anggota Anggota

Mengetahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana IPB Pengelolaan Sumberdaya Alam

dan Lingkungan

Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr.

(10)

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat, hidayah, dan karunia-Nya sehingga Disertasi ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang berjudul ”Model Kebijakan Restorasi Kawasan Hutan Konservasi” ini berlangsung sejak bulan Januari 2010 sampai Juli 2011.

Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Ir. Sambas Basuni, M.S., Prof. Dr. Ir. Andry Indrawan, M.S., Prof. Dr. Ir. Lilik Budi Prasetyo, M.Sc., dan Dr. Herwasono Soedjito, M.Sc., APU selaku komisi pembimbing.

2. Prof. Dr. Ir. Cecep Kusmana, M.S. dan Dr. Ir. Rinekso Soekmadi, M.Sc.F. selaku penguji pada ujian tertutup.

3. Prof. Dr. M. Bismark, M.S. dan Dr. Ir. Agus Hikmat, M.Sc.F. selaku penguji pada ujian terbuka.

4. Prof. Dr. Ir. Abdullah S. Mukhtar, M.S., Prof. Dr. M. Bismark, M.S., Prof. Dr. Ir. Y. Purwanto, Prof. Dr. Tukirin Partomihardjo, Kuswata Kartawinata, Ph.D., Ir. Sonny Partono, MM., Ir. Adi Susmianto, M.Sc., Ir. Jajat Jatnika Holil, MM., dan drh. Indra Exploitasia, DVM selaku nara sumber.

5. Kedua orang tua (H. Arim Karimudin Achmadibrata dan Hj. Ai Rasmini) tercinta atas segala do’a dan kasih sayangnya.

6. Istri (Febriany Iskandar, S.Pi., M.Si.) dan anak (Azkanaya Michelle Gunawan) tersayang atas segala dukungan dan kesabarannya.

7. Dr. Ir. Erly Sukrismanto, M.Sc., Indrawan Suryadi, S.Hut., Keni Sultan, S.Pt., M.Si., Wahyu Catur Adinugroho, S.Hut., M.Si., dan Rizqiah, S.Hut. yang banyak membantu selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan disertasi, serta rekan-rekan PSL 2006 dan IPK 2006 atas dukungan dan kebersamaannya selama ini.

Penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penulisan Disertasi ini, oleh karena itu segala saran dan masukan yang bersifat konstruktif akan sangat berharga bagi penyempurnaan lebih lanjut. Semoga karya ilmiah yang dituangkan dalam Disertasi ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan.

Bogor, Januari 2012

(11)

Penulis dilahirkan di Bandung pada tanggal 27 Mei 1976 sebagai anak kelima dari lima bersaudara keluarga Bapak H. Arim Karimudin Achmadibrata dan Ibu Hj. Ai Rasmini. Pendidikan sarjana ditempuh di Fakultas Kehutanan IPB, Jurusan Konservasi Sumberdaya Hutan, lulus pada tahun 2000. Pendidikan pascasarjana (S2) ditempuh di Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, lulus pada tahun 2004. Pada tahun 2006 penulis melanjutkan studi ke Program Doktor (S3) pada Sekolah Pascasarjana IPB, Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan melalui program tugas belajar dari Kementerian Kehutanan.

Penulis bekerja sebagai Pegawai Negeri Sipil pada Loka Penelitian dan Pengembangan Satwa Primata, Departemen Kehutanan sejak tahun 2002; kemudian pada tahun 2006 berubah menjadi Balai Penelitian Teknologi Perbenihan Samboja, Kementerian Kehutanan; dan sejak tahun 2011 berubah menjadi Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumberdaya Alam, Kementerian Kehutanan.

(12)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xv

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Kerangka Pemikiran ... 2

1.3. Perumusan Masalah ... 6

1.4. Tujuan Penelitian ... 6

1.5. Manfaat Penelitian ... 7

1.6. Kebaruan (Novelty) ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 9

2.1. Restorasi Ekologi ... 9

2.2. Jenis Eksotik (Exotic Species) dan Jenis Asli (Native Species) ... 14

2.3. Kawasan Konservasi ... 15

2.3.1. Kategorisasi Kawasan Konservasi ... 15

2.3.2. Fungsi dan Manfaat Kawasan Konservasi ... 16

2.3.3. Pengelolaan Kawasan Konservasi ... 17

2.3.4. Taman Nasional ... 18

2.4. Persepsi ... 21

2.5. Partisipasi ... 21

2.6. Model ... 23

2.7. Kriteria dan Indikator ... 24

III. METODE PENELITIAN ... 25

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian ... 25

3.2. Desain dan Tahapan Penelitian ... 25

3.3. Pembangunan Model ... 27

3.3.1. Perumusan Kriteria Kawasan Hutan Konservasi yang Perlu Segera direstorasi ... 27

3.3.2. Perumusan Kriteria Lokasi/Bagian Kawasan Hutan Konservasi Tertentu yang Perlu Segera Direstorasi ... 30

3.3.3. Penentuan Acuan Restorasi ... 32

3.3.4. Penentuan Prioritas Jenis Terpilih ... 32

3.4. Uji Coba Model ... 32

3.4.1. Lokasi Uji Coba Model ... 32

3.4.2. Penentuan Kategori Prioritas Restorasi TNGGP ... 34

3.4.3. Penentuan Lokasi TNGGP yang Perlu Segera Direstorasi .... 34

3.4.3.1. Penutupan Lahan di Kawasan TNGGP ... 34

3.4.3.2. Kondisi Kriteria Lainnya di Kawasan TNGGP ... 36

3.4.3.3. Lokasi/Bagian TNGGP yang Perlu Segera Direstorasi ... 37

3.4.4. Penentuan Acuan Restorasi TNGGP ... 37

3.4.5. Penentuan Prioritas Jenis Terpilih di TNGGP ... 39

3.4.6. Prioritas Kegiatan/Tindakan Restorasi TNGGP ... 40

3.4.6.1. Persepsi Masyarakat Sekitar terhadap Kegiatan Restorasi Kawasan TNGGP ... 42

(13)

3.5. Definisi Operasional ... 43

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 49

4.1. Pembangunan Model ... 49

4.1.1. Perumusan Kriteria Kawasan Hutan Konservasi yang Perlu Segera Direstorasi ... 49

4.1.2. Perumusan Kriteria Lokasi/Bagian Kawasan Hutan Konservasi Tertentu yang Perlu Segera Direstorasi ... 63

4.1.3. Penentuan Acuan Restorasi ... 70

4.1.4. Penentuan Prioritas Jenis Terpilih ... 71

4.2. Uji Coba Model ... 71

4.2.1. Lokasi Uji Coba Model di TNGGP ... 71

4.2.1.1. Letak dan Aksesibilitas ... 71

4.2.1.2. Kondisi Fisik ... 72

4.2.1.3. Kondisi Biotik ... 75

4.2.1.4. Kondisi Sosial ... 77

4.2.1.5. Kawasan Perluasan TNGGP ... 78

4.2.2. Kategori Prioritas Restorasi TNGGP ... 81

4.2.3. Penentuan Lokasi TNGGP yang Perlu Segera Direstorasi .... 83

4.2.3.1. Penutupan Lahan di Kawasan TNGGP ... 84

4.2.3.2. Kondisi Kriteria Lainnya di Kawasan TNGGP ... 87

4.2.3.3. Lokasi/Bagian TNGGP yang Perlu Segera Direstorasi ... 96

4.2.4. Penentuan Acuan Restorasi TNGGP ... 99

4.2.4.1. Vegetasi Tingkat Pohon di Hutan Alam TNGGP ... 100

4.2.4.2. Vegetasi Tingkat Permudaan Hutan Alam TNGGP .. 103

4.2.5. Penentuan Prioritas Jenis Terpilih di TNGGP ... 106

4.2.5.1. Vegetasi Tingkat Pohon di Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus ... 108

4.2.5.2. Vegetasi Tingkat Permudaan di Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus ... 110

4.2.5.3. Komposisi Jenis Tumbuhan pada Kelima Lokasi Anveg di Kawasan TNGGP ... 117

4.2.5.4. Ekologi 15 Jenis Tumbuhan yang Ditemukan pada Kelima Lokasi Anveg di Kawasan TNGGP ... 120

4.2.6. Prioritas Kegiatan/Tindakan Restorasi TNGGP ... 124

4.2.6.1. Persepsi Masyarakat Sekitar terhadap Kegiatan Restorasi Kawasan TNGGP ... 133

4.2.6.2. Partisipasi Masyarakat Sekitar terhadap Kegiatan Restorasi Kawasan TNGGP ... 136

4.2.7. Rekomendasi Kegiatan Restorasi Kawasan TNGGP ... 139

4.2.7.1. Upaya Restorasi Kondisi Hutan di TNGGP ... 140

4.2.7.2. Upaya Pemberdayaan/Peningkatan Kesejahteraan Masyarakat Sekitar Kawasan TNGGP ... 141

4.3. Implikasi Model ... 143

V. SIMPULAN DAN SARAN ... 144

5.1. Simpulan ... 144

5.2. Saran ... 145

DAFTAR PUSTAKA ... 146

(14)

DAFTAR TABEL

No. Uraian Hal.

1. Skala perbandingan nilai dan definisi pendapat kualitatif ... 41

2. Indeks acak (Random Index) ... 42

3. Kriteria dalam merumuskan kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi …... 57

4. Kriteria dalam merumuskan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi ... 64

5. Jalur, jarak, dan waktu tempuh untuk mencapai lokasi uji coba model ... 72

6. Penilaian kategori prioritas restorasi TNGGP ……….………... 82

7. Luas penutupan lahan kawasan TNGGP tahun 2010 ... 85

8. Luas prioritas lokasi restorasi di kawasan TNGGP ... 98

9. INP tertinggi vegetasi tingkat pohon pada tipe vegetasi Hutan Alam di kawasan TNGGP ... 100

10. Jumlah jenis, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kemerataan jenis tingkat pohon pada tipe vegetasi Hutan Alam di TNGGP ... 102

11. INP tertinggi vegetasi tingkat semai, pancang, dan tiang pada tipe vegetasi Hutan Alam di kawasan TNGGP ... 103

12. Jumlah jenis, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kemerataan jenis tingkat permudaan pada tipe vegetasi Hutan Alam TNGGP ... 106

13. INP tertinggi vegetasi tingkat pohon pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus ... 108

14. Jumlah jenis, indeks keanekaragaman jenis, dan indeks kemerataan jenis tingkat pohon pada Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus TNGGP ... 110

15. INP tertinggi vegetasi tingkat semai pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus ... 111

16. INP tertinggi vegetasi tingkat pancang pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus ... 113

17. INP tertinggi vegetasi tingkat tiang pada tipe vegetasi Hutan Rasamala Campuran, Hutan Puspa Campuran, Hutan Damar, dan Hutan Pinus ... 114

(15)

No. Uraian Hal.

dan Hutan Pinus ... 116

19. Matrik komposisi jenis hasil analisis vegetasi pada plot

pengamatan ... 117

20. Daftar jenis tumbuhan yang ditemukan pada kelima lokasi

analisis vegetasi di kawasan TNGGP ... 120

21. Pengetahuan beralih fungsinya kawasan hutan eks Perum Perhutani menjadi bagian dari

kawasan TNGGP (kawasan perluasan TNGGP) …………...…... 133

22. Alasan perbandingan kondisi hutan TNGGP 8 tahun yang lalu ….. 135

23. Manfaat restorasi (pemulihan) kawasan hutan TNGGP …... 135

24. Karakteristik vegetasi yang cocok dalam kegiatan restorasi …... 136

25. Keikutsertaan dalam upaya restorasi (pemulihan) kawasan

TNGGP ………... 136

26. Sistem pengelolaan dalam kegiatan restorasi kawasan hutan

TNGGP ………... 137

27. Kompensasi untuk tidak menggarap/memanfaatkan

(16)

DAFTAR GAMBAR

No. Uraian Hal.

1. Kerangka pemikiran penelitian ... 5

2. Reklamasi, rehabilitasi, dan restorasi ekologi (diadopsi dari Lamb et al., 2003) ... 11

3. Ilustrasi sederhana dari kegunaan restorasi dalam konservasi ekosistem hutan (diadopsi dari Kuuluvainen et al., 2002) ... 13

4. Tipe-tipe model (diadopsi dari Hartrisari, 2007) ... 24

5. Posisi kuadran prioritas suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi ... 29

6. Diagram matriks prioritas suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi ... 30

7. Proses pengolahan citra ... 36

8. Bentuk dan ukuran petak pengamatan analisis vegetasi dengan metode jalur berpetak ... 37

9. Struktur hierarki AHP ... 40

10. Bobot kriteria dalam menentukan proritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kepentingan suatu kawasan hutan konservasi ... 49

11. Bobot kriteria dalam menentukan proritas kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi berdasarkan aspek tingkat kemendesakan suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi ... 54

12. Bobot kriteria dalam menentukan prioritas lokasi restorasi di kawasan hutan konservasi ... 64

13. Peta elevasi/ketinggian di kawasan hutan TNGGP ... 73

14. Peta lereng (slope) di kawasan hutan TNGGP ... 73

15. Peta jenis tanah di kawasan hutan TNGGP ... 74

16. Peta intensitas hujan di kawasan hutan TNGGP ... 75

17. Peta kekayaan jenis tumbuhan di kawasan hutan TNGGP ... 76

18. Peta sebaran satwaliar langka atau dilindungi di kawasan hutan TNGGP ... 77

19. Peta kepadatan penduduk di desa-desa sekitar kawasan hutan TNGGP ... 78

20. Peta luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan hutan ... 79

21. Peta luas kerusakan hutan di kawasan hutan TNGGP ... 80

(17)

No. Uraian Hal.

23. Posisi kuadran kategori prioritas kawasan TNGGP untuk

direstorasi ... 83

24. Citra landsat kawasan TNGGP tahun 2010 ... 84

25. Penutupan lahan hasil interpretasi citra landsat di kawasan

hutan TNGGP tahun 2010 ... 85

26. Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria penutupan

lahan di kawasan TNGGP... 87

27. Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria kekayaan

jenis tumbuhan di kawasan TNGGP ... 89

28. Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria sebaran

satwaliar langka atau dilindungi di kawasan TNGGP ... 89

29. Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria

lereng (slope) di kawasan TNGGP ... 90 30. Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria

elevasi/ketinggian di kawasan TNGGP ... 91

31. Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria jenis tanah di kawasan TNGGP ... 92

32. Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria intensitas

hujan di kawasan TNGGP ... 93

33. Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria luas

kerusakan hutan di kawasan TNGGP ... 94

34. Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria kepadatan

penduduk di desa-desa sekitar kawasan TNGGP ... 94

35. Peta skala intensitas variabel penilaian pada kriteria luas pemilikan/penguasaan lahan rata-rata masyarakat di desa-desa sekitar kawasan TNGGP ...

95

36. Peta prioritas lokasi restorasi di kawasan TNGGP ... 97

37. Grafik hubungan kerapatan dengan tingkat pertumbuhan

pada hutan alam ... 99

38. Grafik hubungan kerapatan dengan tingkat pertumbuhan pada hutan rasamala campuran, hutan puspa campuran,

hutan damar, dan hutan pinus ... 107

39. Struktur AHP prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan

TNGGP ... 129

40. Bobot kriteria dan subkriteria dalam menentukan prioritas

kegiatan/tindakan restorasi di kawasan TNGGP ... 131

41. Prioritas kegiatan/tindakan restorasi di kawasan

TNGGP ... 132

42. Histogram perbandingan kondisi kawasan hutan TNGGP,

(18)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Uraian Hal.

1. Peta lokasi analisis vegetasidi kawasan TNGGP ... 154

2. Jumlah dan luas plot anveg di kawasan hutan TNGGP ... 155

3. Kondisi taman nasional yang memiliki tipe ekosistem

hutan dataran rendah di Indonesia ... 156

4. Kondisi taman nasional yang memiliki tipe ekosistem

hutan pegunungan di Indonesia ... 165

5. Perumusan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu

segera direstorasi ... 177

6. Perumusan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi

tertentu yang perlu segera direstorasi ... 181

7. Perumusan kriteria, subkriteria, dan alternatif kegiatan/

tindakan restorasi kawasan TNGGP ... 183

8. Daftar jenis tumbuhan di kawasan hutan TNGGP berdasarkan

tipe vegetasi hutan ... 187

9. Hasil analisis vegetasi pada hutan alam di kawasan hutan

TNGGP ... 194

10. Hasil analisis vegetasi pada hutan rasamala campuran

di kawasan hutan TNGGP ... 201

11. Hasil analisis vegetasi pada hutan puspa campuran

di kawasan hutan TNGGP ... 206

12. Hasil analisis vegetasi pada hutan damar di kawasan

hutan TNGGP ... 210

13. Hasil analisis vegetasi pada hutan pinus di kawasan hutan

TNGGP ... 215

14. Penilaian kategori prioritas restorasi kawasan TNGGP ... 217

15. Confusion matrix dalam uji akurasi klasifikasi dengan metode

overall accuracy ... 221 16. Luas prioritas lokasi restorasi di kawasan TNGGP menurut

resort dan penutupan lahan ... 222

17. Perhitungan perbandingan berpasangan kriteria kawasan

hutan konservasi yang perlu segera direstorasi ... 225

18. Perhitungan perbandingan berpasangan kriteria lokasi/ bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu

segera direstorasi ... 227

19. Prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi di kawasan

TNGGP per subkriteria ... 228

20. Prioritas alternatif kegiatan/tindakan restorasi

(19)

No. Uraian Hal.

21. Kuesioner perumusan kriteria, variabel penilaian, dan skala Intensitas dalam menentukan prioritas lokasi dan kegiatan

restorasi kawasan hutan konservasi ... 231

(20)

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki hutan tropis

terbesar di dunia. Luas kawasan hutan di Indonesia saat ini mencapai 120,35

juta ha. Tujuh belas persen dari luas kawasan hutan tersebut atau sebesar

20,50 juta ha merupakan kawasan hutan konservasi (Baplan, Dephut, 2006).

Kawasan hutan konservasi didefinisikan sebagai kawasan hutan dengan ciri khas

tertentu, yang mempunyai fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan

dan satwa serta ekosistemnya, yang terdiri atas: kawasan hutan suaka alam,

kawasan hutan pelestarian alam, taman buru (UU RI No. 41/1999, Pasal 1 dan

Pasal 7).

Kawasan hutan konservasi merupakan bagian dari kawasan konservasi

yang berada pada kawasan hutan. Kawasan konservasi di Indonesia sampai

akhir Desember 2007 berjumlah 530 buah dengan luas 28.007.753 ha, yang

terdiri atas cagar alam sebanyak 245 unit dengan luas 4,61 juta ha, suaka

margasatwa sebanyak 77 unit dengan luas 5,43 juta ha, taman nasional

sebanyak 50 unit dengan luas 16,38 juta ha, taman wisata alam sebanyak 123

unit dengan luas 1,03 juta ha, taman hutan raya sebanyak 21 unit dengan luas

332 ribu ha, dan taman buru sebanyak 14 unit dengan luas 225 ribu ha (Ditjen

PHKA, Dephut, 2008). Keberadaan kawasan hutan konservasi memiliki peranan

yang sangat penting dalam menjaga kelestarian keanekaragaman hayati dan

jasa lingkungan lainnya yang dihasilkan oleh kawasan tersebut.

Saat ini, kawasan hutan di Indonesia, termasuk kawasan hutan konservasi

mengalami kerusakan hutan yang cukup besar. Baplan, Dephut (2008)

menyatakan bahwa laju kerusakan hutan di Indonesia selama periode 1985-1997

tercatat sebesar 1,8 juta ha per tahun, selama periode 1997-2000 laju kerusakan

hutan di Indonesia mencapai 2,84 juta ha per tahun, dan selama periode

2000-2005 laju kerusakan hutan di Indonesia mencapai 1,08 juta ha per tahun. Lebih

lanjut, Baplan, Dephut (2006) menyebutkan bahwa sampai tahun 2000

diperkirakan hutan yang rusak di Indonesia lebih dari 59 juta ha, termasuk 4,69

juta ha kawasan hutan konservasi yang mengalami kerusakan.

Sementara itu, Ditjen PHKA, Dephut (2007) menyebutkan bahwa

kerusakan kawasan konservasi berdasarkan laporan yang masuk dari Unit

(21)

Balai Taman Nasional) sampai tahun 2005 mencapai 772.832,90 ha. Adapun

kerusakan kawasan konservasi untuk setiap kategori adalah sebagai berikut:

kerusakan kawasan cagar alam mencapai 15.033,5 ha, kerusakan kawasan

suaka margasatwa mencapai 78.314,34 ha, kerusakan kawasan taman buru

mencapai 14.612,82 ha, kerusakan kawasan taman wisata alam mencapai

150.797,15 ha, dan kerusakan kawasan taman nasional mencapai 514.075,09

ha. Terdapatnya perbedaan data kerusakan kawasan hutan konservasi tersebut,

yakni data kerusakan kawasan hutan konservasi yang dikeluarkan oleh Ditjen

PHKA lebih kecil apabila dibandingkan dengan data kerusakan kawasan hutan

konservasi yang dikeluarkan oleh Baplan disebabkan data kerusakan kawasan

yang dilaporkan oleh UPT di daerah belum seluruhnya masuk, mengingat jumlah

kawasan hutan konservasi yang cukup banyak dan tersebar.

Berdasarkan data tersebut dan fakta di lapangan dapat diketahui bahwa

sebagian besar kawasan hutan konservasi di Indonesia kini mengalami

kerusakan kawasan hutan yang disebabkan oleh berbagai permasalahan,

seperti: perambahan hutan, penebangan liar (illegal logging), penambangan liar (illegal mining), kebakaran hutan, pengambilan hasil hutan nonkayu, dan perburuan satwaliar. Selain itu, permasalahan lainnya yang terjadi di kawasan

hutan konservasi adalah terdapatnya jenis-jenis eksotik, terutama yang bersifat

invasif. Untuk mengatasi kondisi tersebut, maka perlu dilakukan upaya restorasi

(pemulihan) kawasan hutan konservasi agar kerusakan yang terjadi tidak

semakin meluas dan peranan kawasan hutan konservasi bagi kehidupan

makhluk hidup yang terdapat di sekitarnya dapat tetap terjaga. Namun demikian,

hingga saat ini belum ada peraturan perundangan/kebijakan yang secara khusus

menjelaskan/mengatur tentang restorasi kawasan hutan konservasi, sehingga

sangat diperlukan adanya suatu penelitian mengenai model kebijakan restorasi

kawasan hutan konservasi.

1.2. Kerangka Pemikiran

Kawasan hutan didefinisikan sebagai wilayah tertentu yang ditunjuk dan

atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai

hutan tetap. Kawasan hutan konservasi memiliki ciri utama berupa keaslian

kondisi kawasan hutan tersebut. Namun kini, keaslian kawasan hutan

(22)

kawasan hutan konservasi maupun karena terdapatnya jenis-jenis eksotik di

kawasan hutan konservasi tersebut.

Indrawan et al. (2007) mendefinisikan jenis eksotik (exotic species) sebagai jenis yang terdapat di luar distribusi alaminya. Keberadaan jenis eksotik tersebut

dikhawatirkan dapat menginvasi dan mendominasi suatu habitat karena jenis

eksotik seringkali dapat beradaptasi lebih cepat daripada jenis asli (native species) atau dengan kata lain jenis eksotik seringkali dapat berkembang biak dengan baik di luar distribusi alaminya dan menjadi jenis pengganggu (invasive species). Antonio et al. (2002) menyatakan bahwa jenis eksotik yang bersifat invasif juga berimplikasi dalam meningkatkan laju erosi tanah, sebagai contoh di

Afrika Selatan yang memiliki karakteristik penutupan tanah yang tipis, laju erosi

terjadi lebih besar di bawah tegakan Pinus spp. yang merupakan jenis eksotik. Kerusakan kawasan hutan konservasi tersebut perlu segera diatasi melalui

upaya restorasi (pemulihan) kawasan hutan konservasi agar kerusakan yang

terjadi tidak semakin meluas dan fungsi kawasan hutan konservasi dapat tetap

terjaga, yaitu berfungsi sebagai kawasan perlindungan sistem penyangga

kehidupan, kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta

kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan

ekosistemnya.

Restorasi ekologi didefinisikan sebagai suatu proses untuk membantu

pemulihan ekosistem yang telah terdegradasi, mengalami kerusakan atau

musnah. Restorasi ekologi harus dapat meningkatkan konservasi

keaneka-ragaman hayati, meningkatkan kesejahteraan masyarakat, memperkuat

masyarakat lokal, dan meningkatkan produktivitas ekosistem (SER– IUCN,

2004). Oleh karena itu, maka dalam restorasi ekologi harus memperhatikan

berbagai aspek yang meliputi aspek biologi (vegetasi, satwaliar, mikroba), aspek

fisik (penutupan lahan, tanah, iklim, elevasi, lereng), aspek sosial-budaya

(karakteristik rumahtangga, persepsi, partisipasi), dan aspek ekonomi

(peningkatan kesejahteraan).

Restorasi ekologi merupakan konsep yang tergolong baru dalam upaya

pemulihan kondisi ekosistem yang rusak. Berbeda dengan konsep rehabilitasi

hutan yang bertujuan hanya untuk memperbaiki fungsi dan produktivitas hutan

tanpa harus membandingkannya dengan kondisi awal (asli) ketika hutan tersebut

(23)

untuk memulihkan struktur, komposisi, fungsi, dan produktivitas hutan seperti

keadaan sebelum hutan mengalami kerusakan (ITTO, 2002; Lamb et al., 2003). Mengingat hingga saat ini belum ada peraturan perundangan/kebijakan

yang secara khusus mengatur tentang restorasi kawasan hutan konservasi dan

agar kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi dapat efektif (effective) dan dapat diterima (acceptable), maka diperlukan suatu model kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi yang meliputi: perumusan kriteria kawasan hutan

konservasi yang perlu segera direstorasi dengan memperhatikan aspek tingkat

kepentingan (importance) suatu kawasan hutan konservasi dan aspek tingkat kemendesakan (urgency) suatu kawasan hutan konservasi untuk direstorasi, perumusan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu

segera direstorasi, penentuan acuan restorasi, dan penentuan prioritas jenis

terpilih.

Dengan diperolehnya keempat model kebijakan dari hasil penelitian ini,

maka diharapkan restorasi kawasan hutan konservasi dapat diimplementasikan

untuk memulihkan kawasan hutan konservasi yang rusak seperti kondisi awal

yang diketahui (sesuai kondisi acuan), sehingga fungsi kawasan hutan

konservasi dapat tetap terjaga. Sebagai tempat untuk uji coba keempat model

kebijakan dipilih Taman Nasional Gunung Gede Pangrango (TNGGP). Adapun

(24)

Kondisi yang dapat tetap terjaga

Gambar 1 Kerangka pemikiran penelitian

Lereng

Biologi Fisik Sosial-Budaya Ekonomi Kawasan

Hutan Konservasi

Terganggunya Fungsi Kawasan Hutan Konservasi

• Kawasan Perlindungan Sistem Penyangga Kehidupan

• Kawasan Pengawetan Keragaman Jenis Tumbuhan dan Satwa • Kawasan Pemanfaatan

Secara Lestari Potensi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya Konservasi yang Perlu

Segera Direstorasi

Perumusan Kriteria Lokasi/Bagian Kawasan Hutan Konservasi Tertentu

(25)

1.3. Perumusan Masalah

Mengingat jumlah kawasan hutan konservasi yang cukup banyak dan

tersebar, pendanaan yang terbatas, dan sumberdaya manusia (SDM) yang

terbatas dalam kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi, maka perlu adanya

prioritas dalam pelaksanaan restorasi kawasan hutan konservasi, baik prioritas

kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi, prioritas lokasi/bagian

kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu segera direstorasi, penentuan

acuan restorasi, maupun penentuan prioritas jenis terpilih.

Berdasarkan uraian tersebut, maka rumusan masalah umum yang menjadi

fokus dalam penelitian ini adalah bagaimanakah model kebijakan restorasi

kawasan hutan konservasi, sehingga kegiatan restorasi kawasan hutan

konservasi dapat efektif (effective) dan dapat diterima (acceptable)? Untuk dapat memecahkan permasalahan umum tersebut, maka terlebih dahulu perlu dibuat

beberapa rumusan masalah khusus sebagai berikut:

1) Apa kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi?

2) Apa kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang perlu

segera direstorasi?

3) Bagaimana acuan restorasi?

4) Apa jenis terpilih yang menjadi prioritas dalam restorasi?

5) Bagaimana penerapan/uji coba model tersebut?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan umum yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk

membuat model kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi, sehingga

kegiatan restorasi kawasan hutan konservasi dapat efektif (effective) dan dapat diterima (acceptable).

Untuk dapat mencapai tujuan umum tersebut ditetapkan beberapa tujuan

antara, yaitu sebagai berikut:

1) Merumuskan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi

2) Merumuskan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi tertentu yang

perlu segera direstorasi

3) Menentukan acuan restorasi

4) Menentukan prioritas jenis terpilih

(26)

1.5. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi

pengembangan ilmu pengetahuan, manfaat bagi pemerintah, manfaat bagi

peneliti, dan manfaat bagi masyarakat lokal, yaitu sebagai berikut:

1) Manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan terhadap

pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya berkaitan dengan restorasi

(pemulihan) kawasan hutan konservasi.

2) Manfaat bagi pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan

pertimbangan/acuan bagi penentuan kebijakan restorasi kawasan hutan

konservasi di Indonesia.

3) Manfaat bagi peneliti

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai informasi dan

referensi untuk penelitian lebih lanjut mengenai restorasi kawasan hutan

konservasi lainnya.

4) Manfaat bagi masyarakat lokal

Hasil penelitian ini apabila telah diimplementasikan di lapangan diharapkan

dapat memulihkan kondisi kawasan hutan konservasi yang rusak, sehingga

peranan atau manfaat kawasan hutan konservasi dapat dirasakan oleh

masyarakat lokal, terutama sebagai perlindungan fungsi hidroorologis dan

keanekaragaman hayati. Selain itu, diimplementasikannya restorasi kawasan

hutan konservasi juga dapat meningkatkan pendapatan masyarakat lokal

melalui keikutsertaannya dalam kegiatan tersebut, yaitu dengan bekerja

sebagai tenaga penanaman dan pemeliharaan tanaman, serta penyedia bibit

tanaman.

1.6. Kebaruan (Novelty)

Restorasi merupakan kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari preservasi

(pengawetan). Restorasi ini sangat penting dalam memulihkan kawasan hutan

konservasi di Indonesia yang pada umumnya mengalami kerusakan. Namun

demikian, hingga saat ini belum ada peraturan perundangan/kebijakan yang

secara khusus mengatur tentang restorasi kawasan hutan konservasi, sehingga

(27)

Melalui penelitian ini diharapkan dapat ditemukan suatu pengetahuan dan

konsep-konsep dalam rangka memecahkan permasalahan tersebut.

Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini terletak pada hasil dan metode/ pendekatan (approach) yang digunakan untuk menghasilkan model kebijakan restorasi kawasan hutan konservasi, yang meliputi pendekatan untuk

merumuskan kriteria kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi,

pendekatan untuk merumuskan kriteria lokasi/bagian kawasan hutan konservasi

tertentu yang perlu segera direstorasi, pendekatan untuk menentukan acuan

(28)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Restorasi Ekologi

Basuni (2009) menyatakan bahwa berdasarkan pengertian konservasi

dalam pengertian luas, maka kegiatan restorasi tidak dapat dipisahkan dari

preservasi. Lebih lanjut, Basuni (2009) membedakan kedua istilah tersebut

sebagai berikut:

1) Restorasi, yaitu tindakan yang berusaha mengubah struktur obyek

konservasi untuk menggambarkan keadaan terdahulu yang diketahui;

contohnya, mengubah hutan tanaman Pinus (tumbuhan asing) di suatu

kawasan hutan konservasi menjadi hutan tanaman Rasamala yang

merupakan tumbuhan asli di kawasan hutan konservasi yang bersangkutan.

2) Preservasi, yaitu tindakan tertentu yang bertujuan untuk menjaga selama

mungkin fitur-fitur kawasan hutan konservasi yang terlihat jelas seperti

keadaannya semula (asli, utuh); suatu tujuan yang biasa dicapai dengan

memodifikasi beberapa fitur kawasan hutan konservasi yang semula tidak

terlihat. Preservasi ini dapat berupa:

a. Preservasi langsung, dilakukan dengan mengubah fitur kawasan hutan

konservasi; aktivitas dengan waktu terbatas (misal, menambah atau

mengurangi populasi untuk mencapai populasi minimum viable;

pengurangan atau penambahan populasi sampai tingkat daya dukung

kawasan hutan konservasi).

b. Preservasi lingkungan, dilakukan dengan mengubah lingkungan kawasan

hutan konservasi atau fitur-fiturnya; aktivitas yang tidak dibatasi oleh

waktu (membersihkan tumbuhan asli yang langka atau dilindungi dari

lilitan tumbuhan liana asing, pengendalian predator, mencegah timbulnya

wabah penyakit, pembinaan daerah penyangga).

c. Preservasi informasional, bekerja dengan merekam atau meniru/

mereproduksi kawasan hutan konservasi dan atau beberapa fiturnya:

foto, citra, data (atribut/spasial); membuat replika/tiruan (misalnya

membangun taman plasma nutfah Taman Nasional X), tujuannya adalah

untuk menyediakan informasi dan pengalaman bagi masyarakat tanpa

(29)

Restorasi ekologi berkaitan erat dengan kondisi kawasan hutan yang

terdegradasi. ITTO (2002) menyatakan bahwa terminologi degradasi hutan

mengacu pada penurunan kapasitas hutan untuk memproduksi barang dan jasa.

Hutan yang terdegradasi menyebabkan penurunan suplai barang dan jasa serta

keanekaragaman hayati yang terbatas. Hutan yang terdegradasi mengalami

kehilangan struktur, fungsi, komposisi spesies, dan produktivitas normal yang

diharapkan dari hutan tersebut.

Berkaitan dengan pemulihan/perbaikan ekologi hutan yang terdegradasi,

terdapat tiga istilah yang seringkali menimbulkan kebingungan dalam

penggunaannya, yaitu reklamasi, rehabilitasi, dan restorasi. Lamb et al. (2003) membedakan ketiga istilah tersebut sebagai berikut:

• Reklamasi adalah pemulihan produktivitas pada area terdegradasi yang sebagian besar menggunakan pohon jenis eksotik (exotic spesies). Jenis-jenis monokultur juga sering digunakan. Keanekaragaman hayati asli tidak

dipulihkan, tetapi fungsi perlindungan dan fungsi jasa-jasa ekologi dipulihkan

kembali.

• Rehabilitasi adalah pemulihan kembali produktivitas tetapi tidak keseluruhan jenis tumbuhan dan satwa asli ada. Untuk kepentingan/alasan ekologi dan

ekonomi hutan yang baru dapat terdiri atas jenis yang tidak asli. Pada

saatnya fungsi asli perlindungan hutan dan jasa ekologis akan kembali pulih.

• Restorasi ekologi adalah pemulihan kembali struktur, produktivitas, dan keanekaragaman jenis asli dari hutan yang ada. Pada saatnya proses dan

fungsi ekologi akan kembali sama seperti aslinya/kondisi hutan pada

awalnya.

Ketiga istilah tersebut (reklamasi, rehabilitasi, dan ekologi restorasi)

(30)

Gambar 2 Reklamasi, rehabilitasi, dan restorasi ekologi: A = kondisi hutan yang dicapai melalui restorasi ekologi, B1 = hutan yang terdegradasi, B2 = hutan yang terdegradasi lebih jauh apabila dibiarkan tanpa perlakuan, D = hutan yang kembali terdegradasi akibat adanya gangguan, E1 = kondisi hutan yang dicapai melalui reklamasi, E2 = kondisi hutan yang dicapai melalui reklamasi dengan adanya pengolahan tanah atau pemupukan, F = kondisi hutan yang dicapai melalui rehabilitasi (diadopsi dari Lamb et al., 2003)

Sejalan dengan hal tersebut, Indrawan et al. (2007) menyatakan bahwa terdapat empat macam pendekatan yang sering digunakan untuk menangani

ekosistem yang terdegradasi, yaitu:

1) Tanpa tindakan (no action), yaitu restorasi tidak dilakukan mengingat biaya pemulihan yang terlalu mahal, atau mungkin upaya restorasi sebelumnya

gagal, ataupun berdasarkan pengalaman diperkirakan ekosistem dapat pulih

kembali dengan sendirinya.

2) Rehabilitasi, yaitu ekosistem yang rusak diganti dengan ekosistem yang

produktif, baik dengan menggunakan beberapa spesies maupun banyak jenis

biota.

3) Restorasi parsial (sebagian), yaitu yang diperbaiki adalah sebagian fungsi

ekosistem dan beberapa spesies asli yang dominan mungkin dapat

dikembalikan.

4) Restorasi lengkap, yaitu restorasi suatu daerah hingga mencapai struktur dan

(31)

Restorasi ekologi didefinisikan oleh beberapa pihak sebagai berikut:

• Proses yang secara sengaja mengubah (keadaan lingkungan) suatu lokasi untuk membentuk kembali suatu ekosistem tertentu yang bersifat asli dan

bernilai sejarah (Indrawan et al., 2007).

• Suatu proses untuk membantu pemulihan suatu ekosistem yang telah

terdegradasi, mengalami kerusakan, atau mengalami kehancuran. Hal ini

merupakan suatu kegiatan yang disengaja untuk menginisiasi atau

mempercepat proses ekologi (SER – IUCN, 2004).

• Upaya untuk mengembalikan unsur biotik (flora dan fauna) serta unsur abiotik (tanah, iklim, dan topografi) pada kawasan hutan produksi, sehingga tercapai

keseimbangan hayati. Restorasi ekologi (ekosistem) ini dilakukan melalui

penanaman, pengayaan, permudaan alam, dan atau pengamanan ekosistem

(Dephut, 2004a).

Lebih lanjut, Indrawan et al. (2007) menyatakan bahwa tujuan restorasi ekologi adalah untuk mengembalikan struktur, fungsi, keanekaragaman, serta

dinamika dari ekosistem terkait. Pengetahuan tentang komposisi, struktur, dan

fungsi dari hutan alami, begitu juga nilai rata-rata dan variasi kisaran, sangat

diperlukan untuk menetapkan tujuan restorasi dan untuk mengevaluasi

keberhasilan suatu kegiatan restorasi (Kuuluvainen et al., 2002). Oleh karena itu, maka dalam kegiatan restorasi ekologi diperlukan adanya suatu ekosistem

acuan yang dapat digunakan untuk menetapkan tujuan yang ingin dicapai dari

kegiatan restorasi. Tujuan restorasi ekologi dapat ditentukan hanya melalui

penetapan kondisi-kondisi acuan (Kamada, 2005). SER – IUCN (2004)

men-definisikan ekosistem acuan sebagai ekosistem yang sesungguhnya atau model

konseptual dari suatu ekosistem yang digunakan untuk menetapkan tujuan dan

perencanaan dari suatu proyek restorasi, serta evaluasinya.

Kuuluvainen et al. (2002) menyatakan bahwa kegunaan restorasi ekologi dalam konservasi ekosistem hutan adalah sebagai berikut (Gambar 3):

1) Hutan konservasi seringkali jauh dari kondisi alaminya karena pengelolaan

sebelumnya. Restorasi dapat digunakan untuk meningkatkan kealamian dari

struktur hutan dalam rangka mempertinggi kuantitas dan kualitas bagi jenis

fokal (focal species).

2) Kawasan-kawasan konservasi saat ini seringkali berukuran kecil dan

(32)

kawasan-kawasan konservasi yang berukuran kecil dan terfragmentasi dalam

rangka menciptakan unit-unit yang terhubung agar lebih besar dan lebih baik.

3) Prinsip-prinsip restorasi dapat digunakan pada hutan yang dikelola (hutan

produksi) yang mengelilingi kawasan konservasi untuk menciptakan daerah

penyangga (bufferzone) antara hutan produksi dengan hutan konservasi dan untuk meningkatkan fungsi konservasi dari kawasan konservasi.

4) Prinsip-prinsip restorasi dapat diterapkan pada hutan produksi alam secara

keseluruhan untuk meningkatkan kualitas habitat dari matriks hutan.

Gambar 3 Ilustrasi sederhana dari kegunaan restorasi dalam konservasi ekosistem hutan (diadopsi dari Kuuluvainen et al., 2002)

SER – IUCN (2004) menyatakan bahwa restorasi ekologi berkontribusi

dalam meningkatkan keanekaragaman hayati pada lansekap yang terdegradasi,

meningkatkan populasi dan distribusi jenis yang langka dan terancam,

meningkatkan konektifitas lansekap, meningkatkan ketersediaan barang dan jasa

lingkungan, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Berkaitan dengan

kontribusi restorasi ekologi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat,

ITTO (2002) dan Kobayashi (2004) menyatakan bahwa keberhasilan kegiatan

restorasi ekologi dan rehabilitasi hutan yang terdegradasi hanya akan tercapai

apabila masyarakat lokal berperan serta dalam kegiatan tersebut dan

masyarakat pengguna hutan memperoleh keuntungan ekonomi jangka pendek,

serta manfaat lain di masa datang.

Keberhasilan restorasi menurut Walters (1997) antara lain ditandai dengan

indikator sebagai berikut:

Kawasan-kawasan konservasi terfragmentasi karena pengelolaan sebelumnya

b) Penetapan kawasan konservasi baru c) Hutan produksi mengelilingi kawasan konservasi baru

d) Hutan produksi alam

(33)

1) Restorasi dipandang oleh masyarakat lokal dapat memberikan keuntungan

ekonomi bagi mereka.

2) Restorasi disusun sesuai dengan pola pemanfaatan sumberdaya dan lahan

oleh masyarakat.

3) Pengetahuan lokal dan keahlian yang terkait dengan restorasi berhasil

didokumentasikan oleh proyek.

4) Kelompok masyarakat/organisasi lokal secara efektif dimobilisasi untuk

men-dukung dan mengimplementasikan kegiatan restorasi.

5) Kebijakan yang terkait dan faktor politik mendukung upaya restorasi.

2.2. Jenis Eksotik (Exotic Species) dan Jenis Asli (Native Species)

Indrawan et al. (2007) mendefinisikan jenis eksotik (exotic species) sebagai jenis yang terdapat di luar distribusi alaminya. Jenis eksotik tersebut seringkali

berkembang biak dengan pesat di luar distribusi alaminya dan mengganggu jenis

lainnya atau bersifat invasif (invasive species). Hal tersebut dikarenakan jenis eksotik seringkali dapat beradaptasi lebih cepat daripada jenis asli (native species) dan tidak adanya predator dan parasit alami mereka di habitat yang baru tersebut.

Keberadaan jenis eksotik di kawasan konservasi merupakan hal yang

sangat membahayakan keanekaragaman hayati di kawasan konservasi tersebut

karena apabila jenis eksotik telah masuk di kawasan konservasi, maka jenis

eksotik tersebut akan berkembang dalam jumlah besar, tersebar luas, dan

berbaur di dalam komunitas, sehingga untuk menghilangkannya menjadi sangat

sulit dan mahal. Upaya terbaik yang lebih efektif dan lebih murah agar jenis

eksotik tidak menyebar luas adalah dengan melakukan pemberantasan dan

pengendalian yang cepat pada saat pertama kali terlihat, agar jenis eksotik

tersebut tidak sempat berkembang (Indrawan, 2007).

Antonio et al. (2002) menyatakan bahwa jenis eksotik secara signifikan meningkatkan permasalahan pengelolaan di kawasan konservasi dan seringkali

mempersulit proyek restorasi. Lebih lanjut, Antonio et al. (2002) menyebutkan beragam teknik yang dapat digunakan untuk memindahkan jenis eksotik dari

suatu kawasan konservasi yang akan direstorasi, diantaranya yaitu: pemindahan

dengan tangan/manual, pemindahan dengan mesin, penggunaan herbisida,

(34)

digunakan pada lokasi yang akan direstorasi tergantung dari biologi jenis

tersebut, faktor sosial ekonomi, faktor politik, dan faktor budaya.

Pengetahuan terhadap jenis eksotik (exotic species) dan jenis asli (native species) tersebut sangat berguna dalam pemilihan jenis yang dapat digunakan dalam kegiatan restorasi ekologi. Penggunaan jenis asli (native species) sangat diharapkan dalam kegiatan restorasi ekologi, namun informasi mengenai jenis

asli (native species) ini seringkali terbatas (Burton, et al., 2006). Setiadi (2002) menyebutkan kriteria pemilihan jenis untuk kegiatan restorasi sebagai berikut:

1) Merupakan jenis asli (native species) yang mampu beradaptasi 2) Memiliki pertumbuhan yang cepat

3) Membutuhkan cahaya dan kebutuhan nutrisi yang rendah

4) Menghasilkan serasah yang berlimpah dan terdekomposisi

5) Jenis yang dapat berfungsi sebagai katalitik (catalytic) 6) Mudah untuk diperbanyak dan dipelihara

7) Biaya yang rendah dalam penanaman dan pemeliharaan

8) Mudah untuk dikelola

2.3. Kawasan Konservasi

2.3.1. Kategorisasi Kawasan Konservasi

Kawasan konservasi merupakan suatu kawasan yang ditetapkan sebagai

kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa), kawasan pelestarian

alam (taman nasional, taman wisata alam, dan taman hutan raya), dan taman

buru. Ciri khas masing-masing kategori kawasan konservasi tersebut beserta

jumlah dan luasannya dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Cagar alam (CA), merupakan kawasan suaka alam yang karena keadaan

alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau

ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung

secara alami. Jumlah cagar alam saat ini adalah sebanyak 245 unit dengan

luas 4.605.059,88 ha.

b. Suaka margasatwa (SM), merupakan kawasan suaka alam yang mempunyai

ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk

kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya.

Jumlah suaka margasatwa saat ini adalah sebanyak 77 unit dengan luas

(35)

c. Taman nasional (TN), merupakan kawasan pelestarian alam yang

mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan

untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya,

pariwisata, dan rekreasi. Jumlah taman nasional saat ini adalah sebanyak 50

unit dengan luas 16.383.993,34 ha.

d. Taman wisata alam (TWA), merupakan kawasan pelestarian alam yang

terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Jumlah taman

wisata alam saat ini adalah sebanyak 123 unit dengan luas 1.028.912,29 ha.

e. Taman hutan raya (THR), merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan

koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau

bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu

pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan

rekreasi. Jumlah taman hutan raya saat ini adalah sebanyak 21 unit dengan

luas 331.634,91 ha.

f. Taman buru (TB), merupakan kawasan hutan konservasi yang ditetapkan

sebagai tempat diselenggarakannya perburuan secara teratur. Jumlah taman

buru saat ini adalah sebanyak 14 unit dengan luas 224.816,04 ha.

(UU RI No. 41/1999 Pasal 7; UU RI No. 5/1990 Pasal 1; Ditjen PHPA,

Dephut, 1996; Ditjen PHKA, Dephut, 2008).

2.3.2. Fungsi dan Manfaat Kawasan Konservasi

Secara umum, kawasan konservasi memiliki fungsi sebagai: (1) kawasan

perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) kawasan pengawetan keragaman

jenis tumbuhan dan satwa, dan (3) kawasan pemanfaatan secara lestari potensi

sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Ditjen PHPA, Dephut, 1996).

MacKinnon et al. (1993) menyatakan bahwa kawasan konservasi dapat memberi manfaat yang berharga bagi masyarakat di wilayah tersebut melalui

cara:

1) Menstabilkan fungsi hidrologi

2) Melindungi tanah

3) Menjaga stabilitas iklim

4) Pelestarian sumberdaya pulih (renewable) yang dapat dipanen 5) Perlindungan sumberdaya plasma nutfah

6) Pengawetan untuk perkembangbiakan ternak, cadangan populasi, dan

(36)

7) Pengembangan kepariwisataan

8) Menyediakan fasilitas rekreasi

9) Menciptakan kesempatan kerja

10) Menyediakan fasilitas bagi penelitian dan pemantauan

11) Menyediakan fasilitas pendidikan

12) Memelihara kualitas lingkungan hidup

13) Keuntungan dari perlakuan khusus

14) Pelestarian nilai budaya dan tradisional

15) Keseimbangan alam lingkungan

16) Nilai warisan dan kebanggaan regional

Sejalan dengan hal tersebut, Wiratno et al. (2004) juga menyatakan bahwa banyak manfaat yang disediakan kawasan konservasi, antara lain: (1) manfaat

rekreasi; (2) perlindungan daerah aliran sungai, yang meliputi pengendalian

erosi, reduksi banjir setempat, pengaturan aliran sungai; (3) proses-proses

ekologis, yang meliputi fiksasi dan siklus nutrisi, formasi tanah, sirkulasi dan

pembersihan udara dan air, dukungan bagi kehidupan global; (4) keragaman

hayati, meliputi sumber genetik, perlindungan spesies, keragaman ekosistem,

proses-proses evolusioner; (5) pendidikan dan penelitian; (6) manfaat-manfaat

konsumtif; (7) manfaat-manfaat nonkonsumtif, yang meliputi estetika, spiritual,

kultural/sejarah, nilai keberadaan; dan (8) nilai masa depan, yang meliputi nilai

guna pilihan.

2.3.3. Pengelolaan Kawasan Konservasi

MacKinnon et al. (1993) menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya

hayati di kawasan alami yang dilindungi (kawasan konservasi) meliputi seluruh

proses yang berjalan dalam ekosistem. Ini memerlukan pemahaman

prinsip-prinsip ekologi, suatu apresiasi terhadap proses ekologi yang berjalan dalam

kawasan yang dilindungi, dan penerimaan konsep bahwa pengelolaan kawasan

yang dilindungi merupakan suatu bentuk khusus dari penggunaan tanah.

Pengelolaan yang diperlukan akan ditentukan oleh tujuan yang ditetapkan bagi

kawasan tertentu. Dalam banyak hal, suatu pengelolaan yang aktif diperlukan

untuk mencapai atau memelihara tujuan tersebut.

Didasarkan pada beragamnya fungsi kawasan dengan kekhasan dan

keunikannya masing-masing dan total cakupan areal yang relatif luas, dalam

(37)

jelas, bersifat komprehensif, dan dapat mengakomodasi setiap kemungkinan

pengembangannya. Pola pengelolaan ini diperlukan, baik oleh pengelola

maupun pihak lain yang berminat mengembangkan segala aspek yang

terkandung dalam kawasan konservasi (Ditjen PHPA, Dephut, 1996).

Dephut (2004b) menyatakan bahwa dalam perkembangannya telah terjadi

pergeseran cara pandang (paradigm shift) pada bidang pengelolaan kawasan yang dilindungi (kawasan konservasi), antara lain:

• Perubahan paradigma terhadap fungsi kawasan yang dilindungi di berbagai negara, dari yang semula semata-mata kawasan perlindungan

keanekaragaman hayati menjadi kawasan perlindungan keanekaragaman

hayati yang memiliki fungsi sosial ekonomi jangka panjang untuk mendukung

pembangunan yang berkesinambungan.

• Beban pembiayaan pengelolaan yang semula ditanggung pemerintah

menjadi beban bersama pemerintah dan penerima manfaat (beneficiary pays principle). Penentuan kebijakan dari top-down menjadi bottom-up

(participatory).

• Pengelolaan berbasis pemerintah (state-based management) menjadi

pengelolaan berbasis multi-pihak (multi-stakeholder based management/ collaborative management) atau berbasis masyarakat lokal (local community-based).

• Pelayanan pemerintah dari birokratis-normatif menjadi profesional-responsif-fleksibel-netral. Tata pemerintahan dari sentralistis menjadi desentralistis

serta peran pemerintah dari provider menjadi enabler dan facilitator.

2.3.4. Taman Nasional

Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai

ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan

penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan

rekreasi (Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990). Berdasarkan

Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 56/Menhut-II/2006, zonasi dalam kawasan

taman nasional terdiri atas:

a. Zona inti

Merupakan bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota

(38)

mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan

keanekaragaman hayati yang asli dan khas.

b. Zona rimba, zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan

Merupakan bagian taman nasional yang karena letak, kondisi, dan

potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan

zona pemanfaatan.

c. Zona pemanfaatan

Merupakan bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya,

yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan

kondisi/jasa lingkungan lainnya.

d. Zona lain, antara lain:

1) Zona tradisional

Merupakan bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk

kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena

kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam.

2) Zona rehabilitasi

Merupakan bagian dari taman nasional yang karena mengalami

kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas

hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.

3) Zona religi, budaya dan sejarah

Merupakan bagian dari taman nasional yang di dalamnya terdapat situs

religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan

untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah.

4) Zona khusus

Merupakan bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat

dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang

kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai

taman nasional, antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi,

dan listrik

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007,

dinyatakan bahwa organisasi pelaksana teknis pengelolaan taman nasional

dilaksanakan oleh unit pelaksana teknis taman nasional, yang diklasifikasikan

(39)

1) Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional Kelas I, yang disebut dengan Balai

Besar Taman Nasional, terdiri atas Balai Besar Taman Nasional Tipe A (5

Balai Besar) dan Balai Besar Taman Nasional Tipe B (3 Balai Besar).

2) Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional Kelas II, yang disebut dengan Balai

Taman Nasional, terdiri atas Balai Taman Nasional Tipe A (21 Balai) dan

Balai Taman Nasional Tipe B (21 Balai).

Adapun tujuan pengelolaan taman nasional adalah sebagai berikut:

1) Melindungi wilayah alami dan pemandangan indah yang memiliki nilai tinggi

secara nasional atau internasional untuk tujuan spiritual, ilmu pengetahuan,

pendidikan, rekreasi, dan pariwisata.

2) Melestarikan sealamiah mungkin perwakilan dari wilayah fisiografi, komunitas

biotik, sumberdaya genetik dan spesies, untuk memelihara keseimbangan

ekologi, dan keanekaragaman hayati.

3) Mengelola penggunaan oleh pengunjung untuk kepentingan inspiratif,

pendidikan, budaya, dan rekreasi dengan tetap mempertahankan areal

tersebut pada kondisi alamiah atau mendekati alamiah.

4) Menghilangkan dan mencegah eksploitasi atau okupansi yang bertentangan

dengan tujuan penunjukannya.

5) Memelihara rasa menghargai terhadap ciri ekologi, geomorfologi,

kekeramatan, atau estetika yang menjadi pertimbangan penunjukannya.

6) Memperdulikan kebutuhan masyarakat lokal, termasuk penggunaan

sumberdaya alam secara subsisten, sepanjang tidak menimbulkan pengaruh

negatif terhadap tujuan pengelolaan (Setyadi, et al., 2006).

Saat ini, dari 50 taman nasional yang terdapat di Indonesia, 3 taman

nasional diantaranya telah ditetapkan memiliki kawasan perluasan, yaitu: (1)

Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, (2) Taman Nasional Gunung

Halimun Salak, dan (3) Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Selain itu, 3

taman nasional lainnya merupakan taman nasional yang baru dibentuk, yaitu: (1)

Taman Nasional Gunung Ciremai, (2) Taman Nasional Gunung Merbabu, dan (3)

Taman Nasional Gunung Merapi. Kawasan perluasan ketiga taman nasional dan

kawasan ketiga taman nasional yang baru dibentuk tersebut sebelumnya berada

di bawah pengelolaan Perum Perhutani.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2003, Perum Perhutani

diberi kewenangan mengelola seluruh hutan negara yang berupa kawasan hutan

(40)

Jawa Barat, dan Banten, kecuali kawasan hutan konservasi. Dengan adanya

perluasan kawasan taman nasional dan kawasan taman nasional yang baru

dibentuk, maka kawasan hutan yang menjadi kawasan taman nasional tersebut

yang semula berfungsi sebagai kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap,

dan hutan produksi terbatas, kini beralih fungsi menjadi hutan konservasi. Selain

itu, terjadi pula perubahan kewenangan pengelolaan kawasan hutan dari Perum

Perhutani kepada Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam

(Ditjen PHKA), Departemen Kehutanan (Dephut). Secara resmi ketiga kawasan

perluasan taman nasional dan ketiga kawasan taman nasional yang baru

dibentuk tersebut telah diserahterimakan dari Perum Perhutani kepada Ditjen

PHKA, Dephut pada tanggal 29 Januari 2009 (PIK, Dephut, 2009).

2.4. Persepsi

Persepsi adalah pandangan dan pengamatan, pengertian dan interpretasi

seseorang atau individu terhadap suatu kesan obyek yang diinformasikan

kepada dirinya dan lingkungan tempat ia berada sehingga dapat menentukan

tindakannya (Kartini, 1984). Calhoun, et al. (1995) menyatakan bahwa persepsi memiliki tiga dimensi yang sama yang menandai konsep diri, yaitu:

a. Pengetahuan: Apa yang kita ketahui (atau kita anggap tahu) tentang pribadi

lain – wujud lahiriah, perilaku, masa lalu, perasaan, motif, dan sebagainya.

b. Pengharapan: Gagasan kita tentang orang itu menjadi apa dan mau

melakukan apa dipadukan dengan gagasan kita tentang seharusnya dia

menjadi apa dan melakukan apa.

c. Evaluasi: Kesimpulan kita tentang seseorang, didasarkan pada bagaimana

seseorang (menurut pengetahuan kita tentang mereka) memenuhi

pengharapan kita tentang dia.

2.5. Partisipasi

Partisipasi masyarakat dapat diklasifikasikan sebagai berikut :

1) Masyarakat secara sukarela memberikan kontribusi dalam program-program

masyarakat tanpa adanya keterlibatan di dalam pengambilan keputusan atau

pemberian isi pendapat.

2) Masyarakat secara aktif mempengaruhi tujuan dan implementasi proyek

(41)

pendapatan, kebutuhan pribadi, kepercayaan diri atau nilai lain yang

berharga.

3) Usaha pembangunan yang melibatkan masyarakat dalam pengambilan

keputusan dan pembagian keuntungan.

4) Usaha masyarakat yang teratur untuk meningkatkan pengawasan

sumberdaya dalam lingkungan (Widianto, 2000).

Hiwasaki (2005) menyatakan bahwa untuk menjamin partisipasi

masyarakat lokal dan stakeholders lainnya dalam pengelolaan kawasan

konservasi, pengelola kawasan harus bertindak sebagai koordinator dan

fasilitator dari pendekatan bottom-up untuk membuat keputusan. Adapun tahapan yang harus dijalankan untuk melakukan hal tersebut adalah sebagai

berikut:

1) Mengidentifikasi berbagai stakeholders yang terlibat dalam pengelolaan kawasan konservasi dan mendefinisikan masyarakat lokal.

2) Menjelaskan peran dan tanggung jawab masing-masing stakeholder.

3) Mendukung pembangunan kesepakatan diantara stakeholders mengenai

tujuan dan visi jangka panjang dari kawasan konservasi.

Terdapatnya kemitraan/partisipasi masyarakat mutlak diperlukan dalam

kegiatan pengelolaan sumberdaya alam di kawasan konservasi agar kegiatan

tersebut dapat berlangsung secara optimal sesuai dengan tujuan yang ingin

dicapai. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Sharp et al. (1999) bahwa dalam mengembangkan kegiatan pengelolaan hutan harus melibatkan

masyarakat lokal dalam proses pembuatan keputusan pengelolaan hutan,

meningkatkan tingkat pengetahuan masyarakat lokal mengenai dampak

kumulatif dari hilangnya hutan, dan memberikan kewenangan kapada

masyarakat lokal untuk mengatur akses terhadap hutan.

Hadad (2003) menyatakan bahwa pengelolaan kolaboratif (collaborative management) merupakan pengelolaan dengan pola kemitraan di antara berbagai

pihak yang berkepentingan (multistakeholders partnership) atas dasar

kesepakatan bersama untuk saling berbagi fungsi, wewenang, dan tanggung

jawab dalam mengelola kawasan konservasi dan sumberdayanya secara lestari.

Pengelolaan kolaboratif (collaborative management) sangat cocok untuk situasi yang sangat kompleks dimana kelompok-kelompok pengguna perlu untuk

berinteraksi dengan organisasi-organisasi pemerintah yang tujuannya diputuskan

Gambar

Gambar 2  Reklamasi, rehabilitasi, dan restorasi ekologi: A = kondisi hutan yang  dicapai melalui restorasi ekologi, B1 = hutan yang terdegradasi, B2 = hutan yang terdegradasi lebih jauh apabila dibiarkan tanpa perlakuan, D = hutan yang kembali terdegradasi akibat adanya gangguan, E1 = kondisi hutan yang dicapai melalui reklamasi, E2 = kondisi hutan yang dicapai melalui reklamasi dengan adanya pengolahan tanah atau pemupukan, F = kondisi hutan yang dicapai melalui rehabilitasi (diadopsi dari Lamb et al., 2003)
Gambar 7  Proses pengolahan citra
Tabel 3   Kriteria dalam merumuskan kawasan hutan konservasi yang perlu segera direstorasi
Gambar 12  Bobot kriteria dalam menentukan prioritas lokasi restorasi                  di kawasan hutan konservasi
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Desain Pengelolaan Ekosistem Terumbu Karang Secara Berkelanjutan di Kawasan Konservasi Laut Daerah Bintan Timur Kepulauan Riau,

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kondisi terumbu karang di Kawasan Konservasi Pulau Biawak dan sekitarnya pasca penetapan sebagai kawasan konservasi dan

Pengaturan kawasan konservasi dalam Marxan dapat dilakukan dengan sistem zonasi yang mengacu pada PP No 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan yang

Arahan kebijakan penataan pola ruang kawasan hutan produksi adalah dengan mengatur penggunaan lahan existing sesuai mekanisme pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan

Data yang dibutuhkan penelitian ini ialah data tentang karakteristik warga sembilan desa di kawasan pemangkuan hutan Parung Panjang, kabupaten Bogor termasuk

Konflik yang ditemukan pada wilayah penelitian berdasarkan penyebab tidak langsungnya yaitu adanya proses penunjukan kawasan hutan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan

kawasan wisata hutan mangrove secara umum masih terus perlu disosialisasi terutama masyarakat yang berdomisili disekitar lokasi kawasan wisata mangrove; (2)

Hutan mangrove masih alami, indah dan rimbun dengan kawasan hutan yang luas dan jenis magrove yang variatif 4 0.12 3 0.35 Satu satunya kawasan mangrove yang menjadi Pusat Restorasi