• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.3. Kawasan Konservasi

2.3.1. Kategorisasi Kawasan Konservasi

Kawasan konservasi merupakan suatu kawasan yang ditetapkan sebagai kawasan suaka alam (cagar alam dan suaka margasatwa), kawasan pelestarian alam (taman nasional, taman wisata alam, dan taman hutan raya), dan taman buru. Ciri khas masing-masing kategori kawasan konservasi tersebut beserta jumlah dan luasannya dapat diuraikan sebagai berikut:

a. Cagar alam (CA), merupakan kawasan suaka alam yang karena keadaan alamnya mempunyai kekhasan tumbuhan, satwa, dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami. Jumlah cagar alam saat ini adalah sebanyak 245 unit dengan luas 4.605.059,88 ha.

b. Suaka margasatwa (SM), merupakan kawasan suaka alam yang mempunyai ciri khas berupa keanekaragaman dan/atau keunikan jenis satwa yang untuk kelangsungan hidupnya dapat dilakukan pembinaan terhadap habitatnya. Jumlah suaka margasatwa saat ini adalah sebanyak 77 unit dengan luas 5.433.337,09 ha.

c. Taman nasional (TN), merupakan kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Jumlah taman nasional saat ini adalah sebanyak 50 unit dengan luas 16.383.993,34 ha.

d. Taman wisata alam (TWA), merupakan kawasan pelestarian alam yang terutama dimanfaatkan untuk pariwisata dan rekreasi alam. Jumlah taman wisata alam saat ini adalah sebanyak 123 unit dengan luas 1.028.912,29 ha. e. Taman hutan raya (THR), merupakan kawasan pelestarian alam untuk tujuan

koleksi tumbuhan dan/atau satwa yang alami atau buatan, jenis asli dan atau bukan asli, yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Jumlah taman hutan raya saat ini adalah sebanyak 21 unit dengan luas 331.634,91 ha.

f. Taman buru (TB), merupakan kawasan hutan konservasi yang ditetapkan sebagai tempat diselenggarakannya perburuan secara teratur. Jumlah taman buru saat ini adalah sebanyak 14 unit dengan luas 224.816,04 ha.

(UU RI No. 41/1999 Pasal 7; UU RI No. 5/1990 Pasal 1; Ditjen PHPA, Dephut, 1996; Ditjen PHKA, Dephut, 2008).

2.3.2. Fungsi dan Manfaat Kawasan Konservasi

Secara umum, kawasan konservasi memiliki fungsi sebagai: (1) kawasan perlindungan sistem penyangga kehidupan, (2) kawasan pengawetan keragaman jenis tumbuhan dan satwa, dan (3) kawasan pemanfaatan secara lestari potensi sumberdaya alam hayati dan ekosistemnya (Ditjen PHPA, Dephut, 1996).

MacKinnon et al. (1993) menyatakan bahwa kawasan konservasi dapat memberi manfaat yang berharga bagi masyarakat di wilayah tersebut melalui cara:

1) Menstabilkan fungsi hidrologi 2) Melindungi tanah

3) Menjaga stabilitas iklim

4) Pelestarian sumberdaya pulih (renewable) yang dapat dipanen 5) Perlindungan sumberdaya plasma nutfah

6) Pengawetan untuk perkembangbiakan ternak, cadangan populasi, dan keanekaragaman biologis

7) Pengembangan kepariwisataan 8) Menyediakan fasilitas rekreasi 9) Menciptakan kesempatan kerja

10) Menyediakan fasilitas bagi penelitian dan pemantauan 11) Menyediakan fasilitas pendidikan

12) Memelihara kualitas lingkungan hidup 13) Keuntungan dari perlakuan khusus 14) Pelestarian nilai budaya dan tradisional 15) Keseimbangan alam lingkungan

16) Nilai warisan dan kebanggaan regional

Sejalan dengan hal tersebut, Wiratno et al. (2004) juga menyatakan bahwa banyak manfaat yang disediakan kawasan konservasi, antara lain: (1) manfaat rekreasi; (2) perlindungan daerah aliran sungai, yang meliputi pengendalian erosi, reduksi banjir setempat, pengaturan aliran sungai; (3) proses-proses ekologis, yang meliputi fiksasi dan siklus nutrisi, formasi tanah, sirkulasi dan pembersihan udara dan air, dukungan bagi kehidupan global; (4) keragaman hayati, meliputi sumber genetik, perlindungan spesies, keragaman ekosistem, proses-proses evolusioner; (5) pendidikan dan penelitian; (6) manfaat-manfaat konsumtif; (7) manfaat-manfaat nonkonsumtif, yang meliputi estetika, spiritual, kultural/sejarah, nilai keberadaan; dan (8) nilai masa depan, yang meliputi nilai guna pilihan.

2.3.3. Pengelolaan Kawasan Konservasi

MacKinnon et al. (1993) menyatakan bahwa pengelolaan sumberdaya hayati di kawasan alami yang dilindungi (kawasan konservasi) meliputi seluruh proses yang berjalan dalam ekosistem. Ini memerlukan pemahaman prinsip- prinsip ekologi, suatu apresiasi terhadap proses ekologi yang berjalan dalam kawasan yang dilindungi, dan penerimaan konsep bahwa pengelolaan kawasan yang dilindungi merupakan suatu bentuk khusus dari penggunaan tanah. Pengelolaan yang diperlukan akan ditentukan oleh tujuan yang ditetapkan bagi kawasan tertentu. Dalam banyak hal, suatu pengelolaan yang aktif diperlukan untuk mencapai atau memelihara tujuan tersebut.

Didasarkan pada beragamnya fungsi kawasan dengan kekhasan dan keunikannya masing-masing dan total cakupan areal yang relatif luas, dalam mengelola kawasan konservasi diperlukan adanya suatu pola pengelolaan yang

jelas, bersifat komprehensif, dan dapat mengakomodasi setiap kemungkinan pengembangannya. Pola pengelolaan ini diperlukan, baik oleh pengelola maupun pihak lain yang berminat mengembangkan segala aspek yang terkandung dalam kawasan konservasi (Ditjen PHPA, Dephut, 1996).

Dephut (2004b) menyatakan bahwa dalam perkembangannya telah terjadi pergeseran cara pandang (paradigm shift) pada bidang pengelolaan kawasan yang dilindungi (kawasan konservasi), antara lain:

• Perubahan paradigma terhadap fungsi kawasan yang dilindungi di berbagai negara, dari yang semula semata-mata kawasan perlindungan keanekaragaman hayati menjadi kawasan perlindungan keanekaragaman hayati yang memiliki fungsi sosial ekonomi jangka panjang untuk mendukung pembangunan yang berkesinambungan.

• Beban pembiayaan pengelolaan yang semula ditanggung pemerintah menjadi beban bersama pemerintah dan penerima manfaat (beneficiary pays principle). Penentuan kebijakan dari top-down menjadi bottom-up

(participatory).

• Pengelolaan berbasis pemerintah (state-based management) menjadi pengelolaan berbasis multi-pihak (multi-stakeholder based management/ collaborative management) atau berbasis masyarakat lokal (local community- based).

• Pelayanan pemerintah dari birokratis-normatif menjadi profesional-responsif- fleksibel-netral. Tata pemerintahan dari sentralistis menjadi desentralistis serta peran pemerintah dari provider menjadi enabler dan facilitator.

2.3.4. Taman Nasional

Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi (Undang-undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1990). Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P. 56/Menhut-II/2006, zonasi dalam kawasan taman nasional terdiri atas:

a. Zona inti

Merupakan bagian taman nasional yang mempunyai kondisi alam baik biota atau fisiknya masih asli dan tidak atau belum diganggu oleh manusia yang

mutlak dilindungi, berfungsi untuk perlindungan keterwakilan keanekaragaman hayati yang asli dan khas.

b. Zona rimba, zona perlindungan bahari untuk wilayah perairan

Merupakan bagian taman nasional yang karena letak, kondisi, dan potensinya mampu mendukung kepentingan pelestarian pada zona inti dan zona pemanfaatan.

c. Zona pemanfaatan

Merupakan bagian taman nasional yang letak, kondisi dan potensi alamnya, yang terutama dimanfaatkan untuk kepentingan pariwisata alam dan kondisi/jasa lingkungan lainnya.

d. Zona lain, antara lain: 1) Zona tradisional

Merupakan bagian dari taman nasional yang ditetapkan untuk kepentingan pemanfaatan tradisional oleh masyarakat yang karena kesejarahan mempunyai ketergantungan dengan sumberdaya alam. 2) Zona rehabilitasi

Merupakan bagian dari taman nasional yang karena mengalami kerusakan, sehingga perlu dilakukan kegiatan pemulihan komunitas hayati dan ekosistemnya yang mengalami kerusakan.

3) Zona religi, budaya dan sejarah

Merupakan bagian dari taman nasional yang di dalamnya terdapat situs religi, peninggalan warisan budaya dan atau sejarah yang dimanfaatkan untuk kegiatan keagamaan, perlindungan nilai-nilai budaya atau sejarah. 4) Zona khusus

Merupakan bagian dari taman nasional karena kondisi yang tidak dapat dihindarkan telah terdapat kelompok masyarakat dan sarana penunjang kehidupannya yang tinggal sebelum wilayah tersebut ditetapkan sebagai taman nasional, antara lain sarana telekomunikasi, fasilitas transportasi, dan listrik

Berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan No. P.03/Menhut-II/2007, dinyatakan bahwa organisasi pelaksana teknis pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh unit pelaksana teknis taman nasional, yang diklasifikasikan sebagai berikut:

1) Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional Kelas I, yang disebut dengan Balai Besar Taman Nasional, terdiri atas Balai Besar Taman Nasional Tipe A (5 Balai Besar) dan Balai Besar Taman Nasional Tipe B (3 Balai Besar).

2) Unit Pelaksana Teknis Taman Nasional Kelas II, yang disebut dengan Balai Taman Nasional, terdiri atas Balai Taman Nasional Tipe A (21 Balai) dan Balai Taman Nasional Tipe B (21 Balai).

Adapun tujuan pengelolaan taman nasional adalah sebagai berikut:

1) Melindungi wilayah alami dan pemandangan indah yang memiliki nilai tinggi secara nasional atau internasional untuk tujuan spiritual, ilmu pengetahuan, pendidikan, rekreasi, dan pariwisata.

2) Melestarikan sealamiah mungkin perwakilan dari wilayah fisiografi, komunitas biotik, sumberdaya genetik dan spesies, untuk memelihara keseimbangan ekologi, dan keanekaragaman hayati.

3) Mengelola penggunaan oleh pengunjung untuk kepentingan inspiratif, pendidikan, budaya, dan rekreasi dengan tetap mempertahankan areal tersebut pada kondisi alamiah atau mendekati alamiah.

4) Menghilangkan dan mencegah eksploitasi atau okupansi yang bertentangan dengan tujuan penunjukannya.

5) Memelihara rasa menghargai terhadap ciri ekologi, geomorfologi, kekeramatan, atau estetika yang menjadi pertimbangan penunjukannya.

6) Memperdulikan kebutuhan masyarakat lokal, termasuk penggunaan sumberdaya alam secara subsisten, sepanjang tidak menimbulkan pengaruh negatif terhadap tujuan pengelolaan (Setyadi, et al., 2006).

Saat ini, dari 50 taman nasional yang terdapat di Indonesia, 3 taman nasional diantaranya telah ditetapkan memiliki kawasan perluasan, yaitu: (1) Taman Nasional Gunung Gede Pangrango, (2) Taman Nasional Gunung Halimun Salak, dan (3) Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Selain itu, 3 taman nasional lainnya merupakan taman nasional yang baru dibentuk, yaitu: (1) Taman Nasional Gunung Ciremai, (2) Taman Nasional Gunung Merbabu, dan (3) Taman Nasional Gunung Merapi. Kawasan perluasan ketiga taman nasional dan kawasan ketiga taman nasional yang baru dibentuk tersebut sebelumnya berada di bawah pengelolaan Perum Perhutani.

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 30 Tahun 2003, Perum Perhutani diberi kewenangan mengelola seluruh hutan negara yang berupa kawasan hutan produksi dan hutan lindung yang terdapat di Propinsi Jawa Tengah, Jawa Timur,

Jawa Barat, dan Banten, kecuali kawasan hutan konservasi. Dengan adanya perluasan kawasan taman nasional dan kawasan taman nasional yang baru dibentuk, maka kawasan hutan yang menjadi kawasan taman nasional tersebut yang semula berfungsi sebagai kawasan hutan lindung, hutan produksi tetap, dan hutan produksi terbatas, kini beralih fungsi menjadi hutan konservasi. Selain itu, terjadi pula perubahan kewenangan pengelolaan kawasan hutan dari Perum Perhutani kepada Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (Ditjen PHKA), Departemen Kehutanan (Dephut). Secara resmi ketiga kawasan perluasan taman nasional dan ketiga kawasan taman nasional yang baru dibentuk tersebut telah diserahterimakan dari Perum Perhutani kepada Ditjen PHKA, Dephut pada tanggal 29 Januari 2009 (PIK, Dephut, 2009).

Dokumen terkait