• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Kesesuaian Iklan Produk Pangan di Media Cetak Terhadap Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku: Studi Kasus pada Tabloid NOVA, Majalah Kartini, dan Majalah Ayahbunda Periode Penerbitan April – September 2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Kesesuaian Iklan Produk Pangan di Media Cetak Terhadap Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku: Studi Kasus pada Tabloid NOVA, Majalah Kartini, dan Majalah Ayahbunda Periode Penerbitan April – September 2012"

Copied!
389
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN KESESUAIAN IKLAN PRODUK PANGAN DI MEDIA CETAK

TERHADAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG BERLAKU

Studi Kasus pada Tabloid NOVA, Majalah Kartini, dan Majalah Ayahbunda

Periode Penerbitan April – September 2012

SKRIPSI

NADEA ENDAR KESUMA

F 24070018

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)

CONFORMITY ASSESSMENT OF FOOD PRODUCTS ADVERTISEMENTS

IN PRINT MEDIA AGAINST LEGISLATION

Case Studies on Tabloid NOVA, Kartini Magazine and Ayahbunda Magazine

In The Period April - September 2012

Nadea Endar Kesuma

Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Technology,

Bogor Agricultural University, IPB Darmaga, PO BOX 220, Bogor, West Java,

Indonesia

Phone : +62 85210076697, e-mail : nadea.endar@gmail.com

ABSTRACT

Advertising is a form of marketing strategy done by company so that the product can be quickly recognized and accepted by society. Oversight of food advertising is necessary because the delivery of products information is often done incomplete or redundant, violating the ethics of advertising, consumer misleading, biased, or even mislead consumers with claims that are not scientifically proven. This study aims to build decision tree as evaluation tool based on several advertising regulations, to evaluate the suitability of food advertising in media using decision tree that has been built, and to evaluate the variety of violations occur on food advertising in print media selected. The research was done through post-market evaluation of food advertisements contained on three types of media selected, namely Tabloid NOVA, Magazines Kartini, and Ayahbunda Magazine during the period April to September 2012.

The study produced decision tree for nine categories of general violations and five categories for specific violations based on eight food regulations. Evaluation on 457 food ads shows 139 ads (30,42%) 100% comply the legislations and the rest 318 (69,58%) do not 100% comply the legislations. The most dominating food category is category of dairy products and analogues (32,60% of the total ads evaluated) and the most dominating violation category is first category of violations for specific categories of food products (28,88% of the total ads evaluated are not 100% complied for the violation category). The high level of violation ads published in the print media, especially the tabloids and magazines evaluated due to the number of laws and regulations of food advertising which has not been supported by good socialization, lack of awareness of industry and advertising agencies on the importance of law enforcement, and the weak monitoring of compliance with the legislations.

(3)

NADEA ENDAR KESUMA. F24070018. Kajian Kesesuaian Iklan Produk Pangan di Media Cetak Terhadap Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku: Studi Kasus pada Tabloid NOVA, Majalah Kartini, dan Majalah Ayahbunda Periode Penerbitan April – September 2012.

Di bawah bimbingan Purwiyatno Hariyadi. 2012.

RINGKASAN

Pangan merupakan hak asasi manusia yang harus tersedia, aman, bermutu, bergizi, beragam, dan terjangkau. Seiring pertumbuhan jumlah penduduk, kebutuhan akan produk pangan semakin besar. Hal tersebut menjadi tantangan bagi industri pangan untuk menghasilkan produk pangan yang beraneka ragam dalam rangka memenuhi kebutuhan konsumen. Semakin ketatnya persaingan produk di industri pangan memicu para produsen pangan untuk berkompetisi meningkatkan brand awareness

produknya melalui iklan. Iklan adalah salah satu bentuk strategi pemasaran setiap perusahaan agar produk dapat cepat dikenal dan diterima oleh masyarakat. Pengawasan terhadap iklan pangan perlu dilakukan mengingat seringkali dalam penyampaian informasi produk dilakukan secara tidak utuh ataupun berlebihan, melanggar etika periklanan, menyesatkan konsumen, bias, atau bahkan mengelabui konsumen dengan klaim yang tidak terbukti secara ilmiah. Hal tersebut terkait dengan hak konsumen untuk memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Iklan produk pangan dituntut untuk memberikan informasi secara benar dan tidak menyesatkan.

Penelitian ini bertujuan membangun decision tree sebagai alat evaluasi iklan berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan tentang iklan, mengevaluasi kesesuaian iklan pangan pada media cetak dengan peraturan pangan yang berlaku menggunakan decision tree yang telah dibangun, dan mengevaluasi variasi jenis pelanggaran pada iklan di media cetak yang dievaluasi. Penelitian ini dilakukan dengan cara mengevaluasi secara post-market iklan-iklan pangan yang terdapat pada tiga jenis media massa yang dipilih.

Penelitian ini menghasilkan alat evaluasi iklan pangan berupa decision tree yang terdiri atas

(4)

Berdasarkan penggelompokan iklan menjadi 16 kategori pangan, iklan dari kategori pangan produk-produk susu dan olahannya memiliki prosentase tertinggi, yaitu 32,60% dari keseluruhan iklan yang dievaluasi dan selanjutnya yaitu produk garam, rempah, sup, saus, salad, produk protein (20,57%). Tinggi rendahnya prosentase kemunculan iklan kategori pangan tersebut terkait dengan segmentasi segmentasi pembaca media yang dievaluasi, yaitu wanita khususnya ibu rumah tangga yang cenderung konsumtif terhadap kategori pangan tertentu.

(5)

KAJIAN KESESUAIAN IKLAN PRODUK PANGAN DI MEDIA CETAK

TERHADAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG

BERLAKU

Studi Kasus pada Tabloid NOVA, Majalah Kartini, dan Majalah Ayahbunda

Periode Penerbitan April – September 2012

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN

pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan,

Fakultas Teknologi Pertanian,

Institut Pertanian Bogor

Oleh

NADEA ENDAR KESUMA

F 24070018

FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)

Judul Skripsi : Kajian Kesesuaian Iklan Produk Pangan di Media Cetak Terhadap

Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku: Studi Kasus pada

Tabloid NOVA, Majalah Kartini, dan Majalah Ayahbunda Periode

Penerbitan April – September 2012

Nama

: Nadea Endar Kesuma

NIM :

F2470018

Menyetujui,

Dosen Pembimbing,

Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc.

NIP. 19620309 198703 1 003

Mengetahui,

Ketua Departemen,

Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.

NIP. 19680526 199303 1 004

(7)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI

Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Kajian Kesesuaian Iklan Produk Pangan di Media Cetak Terhadap Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku: Studi Kasus pada Tabloid NOVA, Majalah Kartini, dan Majalah Ayahbunda Periode Penerbitan April – September 2012 adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Dosen Pembimbing Akademik, dan belum diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir laporan magang ini.

Bogor, Desember 2012 Yang membuat pernyataan

(8)

© Hak cipta milik Nadea Endar Kesuma, tahun 2012

Hak cipta dilindungi

Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian

Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi,

(9)

BIODATA PENULIS

(10)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dipanjatkan kepada Allah SWT atas karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Penelitian dengan judul Kajian Kesesuaian Iklan Produk Pangan di Media Cetak Terhadap Peraturan Perundang-undangan yang Berlaku: Studi Kasus pada Tabloid NOVA, Majalah Kartini, dan Majalah Ayahbunda Periode Penerbitan April – September 2012 ini dilaksanakan pada bulan September – November 2012.

Dengan telah selesainya penelitian hingga tersusunnya skripsi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. Ir. Purwiyatno Hariyadi, M.Sc. sebagai dosen pembimbing utama atas ilmu, bimbingan, dan kesabarannya selama proses penyusunan skripsi ini hingga selesai.

2. Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc. dan Puspo Edi Giriwono, Phd. sebagai dosen penguji.

3. Segenap dosen dan staf Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas ilmu dan bantuan yang telah diberikan.

4. Keluarga tercinta: Mama, Mas Erwin Endarto, Adikku Anissa Endar Puspita, dan Kenrico Erdhiant Garnabiy yang selalu memberikan dukungan, semangat, dan kasih sayang.

5. Sahabatku Wahyu Sudrajat, Chintia Faradina, Rini Hapsari, dan M. Edi Setiawan yang selalu memberikan dukungan, semangat, motivasi, dan bantuan dalam menyelesaikan tugas akhir ini. 6. Keluarga besar ITP 44 atas dukungan dan semangat untuk menyelesaikan tugas akhir ini.

7. Keluarga besar TeTriS (T3S): Wahyu, Nina, Puput, Arizal, Trijaya, Adi, Ikhwan, Andini, dan Vivi atas segala dukungan, semangat, dan bantuannya dalam menyelesaikan tugas akhir ini. 8. Teman-teman dan semua pihak yang telah membantu penyusunan karya ilmiah ini, baik secara

moril maupun materil.

Akhirnya penulis berharap semoga tulisan ini bermanfaat dan memberikan kontribusi yang nyata terhadap perkembangan ilmu dan pengetahuan di bidang industri pangan.

Bogor, Desember 2012

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Tujuan ... 2

1.3 Manfaat ... 2

1.4 Ruang Lingkup dan Batasan ... 3

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Peranan Iklan ... 4

2.2 Sasaran, Tujuan, dan Jenis Iklan ... 5

2.3 Media Iklan ... 6

2.4 Klaim Iklan ... 7

2.4.1 Klaim Gizi ... 9

2.4.2 Klaim Kesehatan ... 9

2.5 Pangan Fungsional ... 10

2.6 Diagram Pohon Keputusan (Decision Tree) ... 12

2.7 Peraturan-Peraturan yang Terkait dengan Pelanggaran Iklan ... 12

2.7.1 Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Penggunaan Kata-Kata atau Ilustrasi yang Berlebihan ... 13

2.7.2 Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Norma Kesusilaan dan Penggunaan Model Iklan Anak-Anak Berusia di Bawah Lima Tahun ... 14

2.7.3 Larangan Iklan Pangan Yang Mendiskreditkan atau Merendahkan Pangan Lain Baik Secara Langsung Maupun Tidak Langsung ... 14

2.7.4 Larangan Iklan Pangan yang Mengarah Bahwa Pangan Seolah-Olah Sebagai Obat . 15 2.7.5 Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Pencantuman Logo, Tulisan, dan Referensi ... 16

2.7.6 Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Klaim Gizi, Manfaat Kesehatan, dan Keamanan Pangan ... 16

2.7.7 Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Proses, Asal, dan Sifat Bahan Pangan ... 19

2.7.8 Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Penyertaan Undian, Sayembara, dan Hadiah ... 20

2.7.9 Larangan Iklan Pangan yang Mengandung Bahan Tertentu atau Untuk Orang Tertentu ... 21

2.7.10Larangan Pada Iklan Produk Pangan Khusus ... 22

A. Kategori Hasil Olah Susu (Jenis Susu Krim Penuh, Susu Kental Manis, Susu Skim dan “Filled Milk”) ... 22

B. Kategori Pengganti Air Susu Ibu (PASI) atau Susu Bayi (Infant Formula) ... 23

(12)

D. Kategori Makanan Pelengkap (Food Suplement) dan Mineral ... 24

E. Kategori Makanan Diet ... 24

F. Kategori Minuman Keras (Minuman Beralkohol) ... 24

2.8 Etika Pariwara Indonesia ... 25

III. METODE PENELITIAN 3.1 Bahan dan Alat Penelitian ... 27

3.2 Metode Penelitian ... 27

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pembangunan Decision Tree ... 29

4.2 Sebaran Iklan Pada Nama Media Cetak ... 33

4.3 Sebaran Iklan Berdasarkan Kategori Pangan ... 35

4.4 Sebaran Iklan Berdasarkan Kesesuaian terhadap Peraturan Perundang-undangan ... 37

4.5 Sebaran Iklan Pangan yang Tidak Memenuhi Ketentuan yang Berlaku ... 40

4.6 Sebaran Iklan Berdasarkan Kategori Pelanggaran Iklan ... 41

4.6.1 Kategori Pelanggaran A: Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Penggunaan Kata-Kata atau Ilustrasi yang Berlebihan ... 42

4.6.2 Kategori Pelanggaran B: Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Norma Kesusilaan dan Penggunaan Model Iklan Anak-Anak Berusia di Bawah Lima Tahun ... 49

4.6.3 Kategori Pelanggaran C: Larangan Iklan Pangan yang Mendiskreditkan atau Merendahkan Baik Secara Langsung Maupun Tidak Langsung Pangan Lain ... 50

4.6.4 Kategori Pelanggaran D: Larangan Iklan Pangan yang Mengarah Bahwa Pangan Seolah-Olah Sebagai Obat ... 52

4.6.5 Kategori Pelanggaran E: Larangan Iklan Pangan Berkaitan Pencantuman Logo, Tulisan, atau Referensi... 53

4.6.6 Kategori Pelanggaran F: Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Klaim Gizi, Manfaat Kesehatan dan Keamanan Pangan ... 56

4.6.7 Kategori Pelanggaran G: Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Proses dan Asal Serta Sifat Bahan Pangan ... 78

4.6.8 Kategori Pelanggaran H: Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Penyertaan Undian, Sayembara, dan Hadiah ... 86

4.6.9 Kategori Pelanggaran I: Larangan Iklan Pangan yang Mengandung Bahan Tertentu atau Untuk Kelompok Orang Tertentu ... 89

4.6.10Kategori Pelanggaran Produk Pangan Kategori Khusus ... 96

A. Kategori Hasil Olah Susu (Jenis Susu Krim Penuh, Susu Kental Manis, Susu Skim dan “Filled Milk”) ... 96

B. Kategori Pengganti Air Susu Ibu (PASI) atau Susu Bayi (Infant Formula) ... 97

C. Kategori Vitamin ... 97

D. Kategori Makanan Pelengkap (Food Suplement) dan Mineral ... 100

E. Kategori Makanan Diet ... 101

F. Kategori Minuman Keras (Minuman Beralkohol) ... 102

4.7 Tinjauan Peraturan dengan Tingkat Pelanggaran Tinggi ... 102

4.8 Sebaran Kategori Pelanggaran Pada Setiap Kategori Pangan ... 104

4.8.1 Kategori pangan Produk-Produk Susu dan Analognya ... 104

4.8.2 Kategori pangan Lemak, Minyak, dan Emulsi Minyak ... 106

(13)

4.8.4 Kategori pangan Buah dan Sayur (Termasuk Jamur, Umbi, Kacang Termasuk Kacang

Kedelai, dan Lidah Buaya), Rumput Laut, dan Biji-Bijian ... 108

4.8.5 Kategori pangan Serealia dan Produk Serealia ... 109

4.8.6 Kategori pangan Produk Bakeri ... 110

4.8.7 Kategori pangan Daging dan Produk Daging ... 112

4.8.8 Kategori pangan Ikan dan Produk Perikanan ... 113

4.8.9 Kategori pangan Garam, Rempah, Sup, Saus, Salad, dan Produk Protein ... 113

4.8.10 Kategori pangan Produk Pangan Untuk Keperluan Gizi Khusus ... 115

4.8.11 Kategori pangan Minuman, Tidak Termasuk Produk Susu ... 117

4.8.12 Kategori pangan Makanan Ringan Siap Santap ... 118

V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 119

5.2 Saran ... 120

DAFTAR PUSTAKA ... 121

(14)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Poin peraturan yang digunakan untuk mengevaluasi iklan pangan ... 30 Tabel 2. Sebaran pelanggaran iklan pangan terkait penggunaan kata-kata atau ilustrasi yang berlebihan

... 43 Tabel 3. Contoh pelanggaran sub kategori (1) kategori pelanggaran A: iklan pangan yang dievaluasi

menggunakan kata-kata seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan ... 44 Tabel 4. Contoh pelanggaran sub kategori (2) kategori pelanggaran A: iklan pangan yang dievaluasi

memuat keterangan atau pernyataan bahwa pangan tersebut adalah sumber energi yang unggul dan segera memberikan kekuatan ... 45 Tabel 5. Contoh pelanggaran sub kategori (3) kategori pelanggaran A: iklan pangan yang dievaluasi

dimuat dengan ilustrasi peragaan maupun kata-kata yang berlebihan sehingga dapat menyesatkan konsumen ... 46 Tabel 6. Contoh pelanggaran sub kategori (5) kategori pelanggaran A: iklan pangan yang dievaluasi

menggunakan pernyataan bahwa produk pangan tersebut dapat meningkatkan kecerdasan atau meningkatkan IQ ... 48 Tabel 7. Contoh pelanggaran sub kategori (1) kategori pelanggaran C: iklan pangan yang dievaluasi

secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain atau dengan kata lain mendiskreditkan produk pangan lainnya ... 50 Tabel 8. Contoh pelanggaran kategori pelanggaran D: iklan pangan yang dievaluasi memuat

pernyataan atau keterangan dalam bentuk apapun bahwa pangan yang bersangkutan seolah-olah dapat berfungsi sebagai obat ... 52 Tabel 9. Sebaran pelanggaran iklan pangan terkait pencantuman logo, tulisan, atau referensi ...

... 53 Tabel 10. Contoh pelanggaran sub kategori (1) kategori pelanggaran E: iklan pangan yang dievaluasi

mencantumkan kata “halal” atau logo halal ... 54 Tabel 11. Contoh pelanggaran sub kategori (3) kategori pelanggaran E: iklan pangan yang dievaluasi

memuat pernyataan dan/atau menampilkan nama, logo, atau identitas lembaga yang melakukan analisis dan mengeluarkan sertifikat terhadap pangan ... 55 Tabel 12. Sebaran pelanggaran iklan pangan terkait klaim gizi, manfaat kesehatan, dan keamanan

pangan ... 57 Tabel 13. Contoh pelanggaran sub kategori (1) kategori pelanggaran F: iklan pangan yang dievaluasi

memuat pernyataan memuat pernyataan atau keterangan bahwa pangan telah diperkaya dengan vitamin, mineral, atau zat penambah gizi lainnya ... 59 Tabel 14. Contoh iklan yang mengandung pernyataan bahwa makanan seolah-olah merupakan sumber

protein ... 61 Tabel 15. Contoh pelanggaran sub kategori (5) kategori pelanggaran F: iklan pangan yang dievaluasi

mencantumkan klaim kandungan zat gizi ... 62 Tabel 16. Contoh pelanggaran sub kategori (6) kategori pelanggaran F: iklan pangan yang dievaluasi

(15)

Tabel 17. Contoh pelanggaran sub kategori (7) kategori pelanggaran F: iklan pangan yang dievaluasi memuat klaim perbandingan zat gizi ... 67 Tabel 18. Contoh pelanggaran sub kategori (10) kategori pelanggaran F: iklan pangan yang dievaluasi

mencantumkan klaim fungsi lain atau klaim penurunan risiko penyakit ... 70 Tabel 19. Contoh pelanggaran sub kategori (11) kategori pelanggaran F: iklan pangan yang dievaluasi

mencantumkan klaim yang memuat pernyataan bahwa konsumsi pangan tersebut dapat memenuhi kebutuhan semua zat gizi esensial ... 71 Tabel 20. Contoh pelanggaran sub kategori (13) kategori pelanggaran F: iklan pangan yang dievaluasi

mencantumkan klaim yang menyebabkan konsumen mengkonsumsi suatu jenis pangan olahan secara tidak benar ... 72 Tabel 21. Contoh pelanggaran sub kategori (15) kategori pelanggaran F: iklan pangan yang dievaluasi

mencantumkan informasi bebas bahan tambahan pangan berupa pernyataan dan atau tulisan dengan menggunakan kata “bebas”, “tanpa”, “tidak mengandung” atau kata semakna lainnya ... 74 Tabel 22. Contoh pelanggaran sub kategori (16) kategori pelanggaran F: iklan pangan yang dievaluasi

mencantumkan adanya vitamin dan mineral ... 75 Tabel 23. Contoh pelanggaran sub kategori (17) kategori pelanggaran F: iklan pangan yang dievaluasi

mencantumkan mengandung lebih dari satu vitamin atau mineral ... 76 Tabel 24. Sebaran pelanggaran iklan pangan terkait proses dan asal serta sifat bahan pangan ...

... 79 Tabel 25. Contoh pelanggaran sub kategori (6) kategori pelanggaran G: iklan pangan yang dievaluasi

memuat kata-kata “alami” ... 82 Tabel 26. Contoh pelanggaran sub kategori (8) kategori pelanggaran G: iklan pangan yang dievaluasi

memuat kata-kata “dibuat dari” ... 83 Tabel 27. Contoh pelanggaran sub kategori (9) kategori pelanggaran G: iklan pangan yang dievaluasi

memuat kalimat, kata-kata, pernyataan yang menyesatkan, dan atau menimbulkan penafsiran yang salah berkaitan dengan asal dan sifat bahan pangan ... 85 Tabel 28. Contoh pelanggaran kategori pelanggaran H berkaitan dengan penyertaan undian,

sayembara, dan hadiah ... 87 Tabel 29. Sebaran pelanggaran iklan pangan terkait proses dan asal serta sifat bahan pangan ... 89 Tabel 30. Contoh pelanggaran sub kategori (1) kategori pelanggaran I: iklan tentang pangan olahan

tertentu yang mengandung bahan-bahan yang berkadar tinggi yang dapat membahayakan dan atau mengganggu pertumbuhan dan atau perkembangan anak-anak ... 91 Tabel 31. Contoh pelanggaran sub kategori (4) kategori pelanggaran I: iklan tentang pangan yang

diperuntukkan bagi bayi dan atau anak berumur dibawah lima tahun ... 95 Tabel 32. Sebaran pelanggaran iklan pangan kategori khusus produk vitamin ... 98 Tabel 33. Contoh pelanggaran sub kategori (2) kategori khusus produk vitamin: iklan terkesan

(16)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1. Pengelompokan klaim pada iklan (CAC 2004) ... 8 Gambar 2. Prosentase rataan iklan pangan per edisi media yang dievaluasi ... 34 Gambar 3. Prosentase banyaknya iklan berdasarkan kategori pangan ... 36 Gambar 4. Kesesuaian iklan pangan dalam tiga media cetak (tabloid dan majalah) terhadap

ketentuan peraturan perundang-undangan ... 37 Gambar 5. Sebaran kategori pangan berdasarkan kesesuaian terhadap peraturan

perundang-undangan ... 39 Gambar 6. Prosentase jumlah iklan dengan level kesesuaian tertentu terhadap peraturan

perundang-undangan berdasarkan decision tree ... 39 Gambar 7. Sebaran iklan berdasarkan golongan level kesesuaian terhadap keseluruhan peraturan ... 40 Gambar 8. Sebaran kategori pangan yang tidak 100% memenuhi ketentuan ... 41 Gambar 9. Sebaran pelanggaran iklan berdasarkan kategori pelanggaran ... 42 Gambar 10. Sebaran prosentase pelanggaran pada iklan kategori pangan produk-produk susu dan

analognya ... 105 Gambar 11. Sebaran prosentase pelanggaran pada iklan kategori pangan lemak, minyak, dan

emulsi minyak ... 106 Gambar 12. Sebaran prosentase pelanggaran pada iklan kategori pangan buah dan sayur (termasuk

jamur, umbi, kacang termasuk kacang kedelai, dan lidah buaya), rumput laut, dan biji-bijian ... 108 Gambar 13. Sebaran prosentase pelanggaran pada iklan kategori pangan serealia dan produk

serealia ... 109 Gambar 14. Sebaran prosentase pelanggaran pada iklan kategori pangan produk bakeri ... 111 Gambar 15. Sebaran prosentase pelanggaran pada iklan kategori pangan daging dan produk

daging ... 112 Gambar 16. Sebaran prosentase pelanggaran pada iklan kategori pangan garam, rempah, sup,

saus, salad, dan produk protein ... 114 Gambar 17. Sebaran prosentase pelanggaran pada iklan kategori produk pangan untuk keperlua1n

khusus ... 115 Gambar 18. Sebaran prosentase pelanggaran pada iklan kategori pangan minuman, tidak termasuk

(17)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1. Decision tree kelompok pelanggaran umum ... 124

Lampiran 2. Decision tree produk pangan kelompok pelanggaran kategori pangan khusus ... 141

Lampiran 3. Form penilaian iklan pangan ... 148

Lampiran 4. Tabel angka kecukupan gizi 2004 bagi orang Indonesia ... 149

Lampiran 5. Acuan label gizi produk pangan ... 150

Lampiran 6. Contoh iklan pangan yang tidak memenuhi peraturan perundang-undangan ... 151

(18)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang

Pangan adalah segala sesuatu yang berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun yang tidak diolah, yang diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman (Peraturan Pemerintah No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan). Pangan merupakan hak asasi manusia yang harus tersedia, aman, bermutu, bergizi, beragam, dan terjangkau. Oleh karena itu, diperlukan suatu sistem pangan berupa aturan normatif untuk memberikan perlindungan terhadap kesehatan masyarakat dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Landasan hukum bagi pengaturan, pembinaan, dan pengawasan terhadap kegiatan produksi, peredaran, dan perdagangan pangan disebut peraturan pangan.

Landasan hukum dalam bentuk peraturan perundang-undangan juga berlaku untuk iklan pangan. Iklan merupakan bentuk promosi produk yang ditujukan untuk merangsang perhatian, persepsi, sikap, dan perilaku konsumen sedemikian rupa sehingga konsumen tertarik untuk membeli dan mengonsumsi produk yang diiklankan. Iklan adalah salah satu bentuk strategi pemasaran setiap perusahaan agar produk dapat cepat dikenal dan diterima oleh masyarakat. Iklan seringkali menentukan keberhasilan suatu produk pangan di pasaran, baik itu produk baru atau produk yang sudah lama eksis. Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa iklan cukup efektif dalam mempengaruhi perilaku konsumen (Supriadi 2006, Emalia et.al. 2009, Hidayat et.al. 2009). Semakin ketatnya persaingan produk di industri pangan memicu para produsen pangan untuk berkompetisi meningkatkan brand awareness produknya melalui iklan.

Pengawasan terhadap iklan pangan perlu dilakukan mengingat seringkali dalam penyampaian informasi produk dilakukan secara tidak utuh ataupun berlebihan, melanggar etika periklanan, menyesatkan konsumen, bias, atau bahkan mengelabui konsumen dengan klaim yang tidak terbukti secara ilmiah. Hal tersebut didukung dengan adanya UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang di dalamnya tertulis salah satu hak konsumen adalah memperoleh informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa. Pengawasan terhadap iklan pangan perlu dilakukan baik secara legal oleh instansi pemerintah yang berwenang dalam penegakan hukum, kredibel, dan profesional dalam hal ini Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) serta instansi terkait, maupun secara swadaya oleh kelompok masyarakat seperti Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) atau individu sebagai salah satu bentuk pencerdasan konsumen.

(19)

2011 Tentang Pengawasan Klaim dalam Label dan Iklan Pangan Olahan, (7) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.00.06.1.52.6635 Tentang Larangan Pencantuman Informasi Bebas Bahan Tambahan Pangan Pada Label dan Iklan Pangan, dan (8) Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.03.1.23.11.11.09657 tahun 2011 Tentang Persyaratan Penambahan Zat Gizi dan Zat Non Gizi dalam Pangan Olahan.

Kesesuaian iklan produk pangan yang beredar di media massa, khususnya di media cetak, terhadap peraturan pangan diantaranya telah dikaji dalam penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan (2008) dan Gardenia (2009). Dari Kurniawan (2008) diketahui bahwa 83,6% dari 373 iklan yang dikaji di beberapa jenis surat kabar ternyata melanggar peraturan perundang-undangan dan hanya 16,4% yang benar-benar sesuai dengan peraturan pangan. Berdasarkan hasil analisis Gardenia (2009) 54,30% dari 505 iklan yang dikaji dari beberapa jenis majalah dan tabloid telah memenuhi peraturan pangan, dan 45,70% belum memenuhi peraturan pangan. Kedua kajian tersebut telah mengelompokkan jenis-jenis pelanggaran yang terjadi. Gardenia (2009) juga telah mengelompokkan iklan yang dievaluasi pada 16 jenis kategori pangan dan jenis pangannya. Akan tetapi, belum ada suatu alat evaluasi yang dibangun pada penelitian tersebut yang dikelompokkan berdasarkan kategori pelanggaran.

Menurut Tetty Helfery Sihombing selaku Direktur standarisasi produk pangan BPOM dalam Lestari (2012), klaim dalam iklan, baik di TV, web, media cetak seringkali berlebihan dan membuat konsumen dirugikan. Disebutkan pula bahwa BPOM telah melakukan pengawasan dan mencabut iklan-iklan yang tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku, hanya saja beberapa iklan masih sulit dicabut karena tersangkut masalah kontrak. Oleh karena itu, seiring perkembangan waktu dan tren iklan pangan, perlu dilakukan evaluasi kembali kesesuaian iklan pangan di media cetak terhadap peraturan pangan yang berlaku, menganalisis penyebab pelanggaran yang terjadi, dan solusi terhadap hal tersebut.

1.2

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk:

1. Membangun decision tree sebagai alat evaluasi iklan berdasarkan beberapa peraturan perundang-undangan tentang iklan.

2. Mengevaluasi kesesuaian iklan pangan pada media cetak dengan peraturan pangan yang berlaku menggunakan decision tree yang telah dibangun.

3. Mengevaluasi variasi jenis pelanggaran pada iklan di media cetak yang dievaluasi.

1.3

Manfaat

(20)

1.4

Ruang Lingkup dan Batasan

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1

Definisi dan Peranan Iklan

Iklan atau advertising dapat didefinisikan sebagai setiap bentuk komunikasi nonpersonal mengenai suatu organisasi, produk, servis, atau ide yang dibayar oleh satu sponsor yang diketahui (Morrisan 2010). Adapun maksud ‘dibayar’ pada definisi tersebut menunjukkan fakta bahwa ruang dan waktu bagi suatu pesan iklan pada umumnya dibeli. Maksud kata ‘nonpersonal’ berarti suatu iklan melibatkan media massa (TV, radio, majalah, koran, atau tabloid) yang dapat mengirimkan pesan kepada sejumlah besar kelompok individu pada saat bersamaan. Dengan demikian, sifat nonpersonal iklan berarti pada umumnya tidak tersedia kesempatan untuk mendapatkan umpan balik yang segera dari penerima pesan (kecuali dalam hal direct response advertising). Karena itu, sebelum pesan iklan dikirimkan, pemasang iklan harus betul-betul mempertimbangkan bagaimana audiens akan menginterpretasikan dan memberikan respon terhadap pesan iklan yang dimaksud.

Iklan merupakan salah satu bentuk promosi yang paling dikenal dan paling banyak dibahas orang. Hal tersebut kemungkinan karena daya jangkaunya paling luas. Iklan juga menjadi instrumen promosi yang paling penting, khususnya bagi perusahaan yang memproduksi barang atau jasa yang ditujukan kepada masyarakat luas (Morrisan 2010). Belanja iklan di Indonesia pada semester I 2012 (hingga bulan Juni 2012) telah mencapai 40 triliun rupiah, yaitu 25% lebih tinggi dibanding periode yang sama tahun lalu. Iklan televisi berkontribusi sebesar 68 persen dari total belanja iklan, 30 persen oleh iklan koran dan media cetak, dan sisanya radio (Siregar 2012).

Menurut Undang-Undang Pangan No. 7 tahun 1996 dan Peraturan Pemerintah No. 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, iklan pangan adalah setiap keterangan atau pernyataan mengenai pangan dalam bentuk gambar, tulisan, atau bentuk lain yang dilakukan dengan berbagai cara untuk pemasaran atau perdagangan pangan. Sidang Committee on Food Labelling (CCFL) ke 34 bulan Mei 2006 menyimpulkan bahwa iklan pangan adalah segala bentuk komunikasi atau representasi (visual atau oral) kepada masyarakat atau sekelompok masyarakat, tidak termasuk label pangan, dalam rangka mempengaruhi pilihan, kesan, pendapat atau perilaku konsumen terhadap suatu produk pangan, untuk secara langsung atau tidak langsung meningkatkan penjualan produk tersebut. Meskipun definisi tersebut bersifat umum, penggunaan klaim gizi atau klaim kesehatan yang sesuai diperbolehkan.

(22)

Dari perspektif perlindungan konsumen, iklan merupakan sumber informasi tentang produk yang harus dapat dibuktikan kebenarannya. Informasi yang salah atau tidak sesuai dengan kenyataan dalam iklan yang disebarkan dapat dituntut (Sukmaningsih 1997 diacu dalam Gardenia 2010).

2.2

Sasaran, Tujuan, dan Jenis Iklan

Periklanan merupakan salah satu bentuk khusus untuk memenuhi fungsi pemasaran. Untuk dapat menjalankan fungsi pemasaran, maka apa yang harus dilakukan dalam kegiatan periklanan tentu saja harus mampu meraih simpatik masyarakat agar berperilaku sedemikian rupa sehingga sesuai dengan maksud strategi pemasaran perusahaan untuk mencapai omset penjualan yang optimal serta pada akhirnya mencapai keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Periklanan harus mampu mengarahkan konsumen untuk membeli produk-produk yang ditawarkan tersebut sehingga diyakini dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan pembeli (Endrawati 2006). Singkatnya iklan harus dapat memengaruhi pemilihan serta keputusan untuk membeli apa yang diiklankan itu.

Sifat dan tujuan iklan berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya dan satu situasi dengan situasi lainnya. Demikian juga, konsumen yang menjadi target suatu iklan juga berbeda antara satu jenis produk dengan produk lainnya. Suatu perusahaan beriklan dengan tujuan untuk mendapatkan respon atau aksi segera melalui iklan media massa. Perusahaan lain mungkin bertujuan untuk lebih mengembangkan kesadaran atau ingin membentuk citra positif dalam jangka panjang bagi barang atau jasa yang dihasilkannya (Morrisan 2010).

Menurut Kristianto (2007), iklan berfungsi menciptakan kesadaran dalam bentuk bujukan atau rayuan dan memelihara keinginan untuk membeli dari konsumen. Iklan digunakan untuk menciptakan kesadaran terhadap nama suatu merek atau produk, baik produk baru maupun yang lama. Kesadaran yang dibangun diimbangi dengan penyajian informasi dengan cara meyakinkan akan kegunaan atau keuntungan dari penggunaan suatu produk sehingga dapat mempengaruhi persepsi konsumen. Selain itu, iklan menjadi media untuk menjaga atau mempertahankan daya tarik dari produk supaya konsumen tidak bermaksud menggantikan produk yang lama dengan produk baru dari kompetitor.

Disebutkan pada Brody dan Lord (2000), untuk iklan produk baru harus mampu menimbulkan

product atau brand awareness, mengomunikasikan keunggulan produk dengan jelas dan perbedaannya dengan produk kompetitor, serta bukti bahwa produk mampu memberikan keuntungan yang dijanjikan. Iklan setidaknya harus memenuhi tiga kualitas spesifik, yaitu relevan, original, dan memberikan dampak. Industri biasanya mengalokasikan pengeluaran untuk iklan dalam tiga cara, yaitu berdasarkan jenis media, waktu, dan wilayah cakupan iklan. Selain itu perlu dipertimbangkan pula fragmentasi audiens, yang pada prinsipnya adalah pesan pada iklan harus sampai ke konsumen target produk yang diiklankan. Meskipun, pada pelaksanaannya sulit karena banyaknya pilihan yang tersedia. Iklan pada media adalah cara terbaik untuk membangun awareness pada konsumen dengan cepat, dan membangun loyalitas konsumen terhadap brand produk melalui informasi konsisten mengenai keunggulan produk yang disampaikan.

(23)

tertentu atau menggunakan jasa lokal untuk mengunjungi suatu tempat atau institusi tertentu. Jenis ketiga yaitu iklan primer bertujuan mendorong permintaan terhadap suatu jenis produk tertentu atau keseluruhan industri, sedangkan iklan selektif memusatkan perhatian untuk menciptakan permintaan terhadap suatu merek tertentu.

Engel et.al. (1995) membagi iklan berdasarkan keberpihakan pesan, yaitu: (1) iklan informasional, yaitu iklan yang pesannya memberikan informasi, (2) iklan komparatif, yaitu iklan yang pesannya berusaha untuk merebut bisnis dari produk yang sudah ada; (3) iklan transformasional, yaitu iklan yang pesannya berusaha membuat pengalaman produk lebih kaya dan lebih hangat daripada yang diperoleh semata-mata dari uraian obyektif dari merek yang diiklankan.

2.3

Media Iklan

Penyampaian berita dan informasi dalam iklan memerlukan media-media yang secara langsung dapat diterima oleh individual. Media yang digunakan dalam periklanan secara umum dapat dikelompokkan dalam dua jenis, yaitu media lini atas (above the line) dan media lini bawah (below the line) berdasarkan Rangkuti (2009). Media lini atas terdiri dari media surat kabar, majalah, radio, televisi, dan film. Media lini atas memiliki karakteristik yang khas, yaitu informasi yang disebarkan bersifat serempak, atau informasi yang sama dapat disebarluaskan dalam waktu yang sama sehingga mampu menjangkau khalayak secara luas. Sementara yang termasuk kategori media lini bawah misalnya poster, leaflet, folder, spanduk, baliho, balon udara, direct mail, Points of Purchase (POP),

bus stop, bus panel, flyers, dan sebagainya. Karakteristik khas dari media lini bawah yaitu komunikan yang dijangkau terbatas baik dalam jumlah maupun luas wilayah, mampu menjangkau khalayak yang tidak terjangkau oleh media lini atas, dan cenderung tidak serempak.

Menurut Wells et.al. (2006), media dalam pengiklanan terbagi menjadi tiga, yaitu: (1) media cetak, diantaranya surat kabar, tabloid, dan majalah; (2) media broadcast, atau media yang bersifat disiarkan dan menggunakan indra yang lebih dari sekedar penglihatan, contohnya iklan radio dan televisi; dan (3) media interaktif alternatif, yaitu media yang langsung terhubung dengan personalnya, contohnya iklan melalui internet, email, dan video game.

Media cetak telah menjadi media untuk beriklan selama lebih dari dua abad. Selama bertahun-tahun, pada awal kelahirannya, media cetak menjadi satu-satunya media massa yang tersedia bagi para pemasang iklan. Seiring dengan pertumbuhan media penyiaran, khususnya televisi, kebiasaan membaca media cetak menurun. Walaupun dewasa ini televisi memegang peranan dominan dalam dunia periklanan, media cetak tetap memiliki peranan penting bagi pembaca dan pemasang iklan. Media cetak memungkinkan pemasang iklan untuk menyajikan informasi secara lebih detail dan dapat diolah menurut tingkat kecepatan pemahaman pembacanya. Media cetak tidak memiliki sifat yang terlalu intrusif, dalam arti terlalu masuk dalam kehidupan audiensinya sebagaimana televisi. Media cetak membutuhkan upaya dari pihak pembaca agar iklan yang disajikan mampu memberikan efek. Untuk alasan inilah media cetak disebut juga ‘media dengan keterlibatan tinggi’ (high- involvement media) (Morissan 2010).

(24)

(farm magazine), dan majalah bisnis (business publications). Majalah konsumen dapat diklasifikasikan lagi ke dalam sejumlah kategori antara lain majalah umum (contoh: Tempo, Gatra), majalah wanita (contoh: Kartini, Femina), majalah pria (contoh: Matra, ME), majalah kesehatan (contoh: Higina), majalah wisata (contoh: Travel Club, Tamasya), dan sebagainya. Majalah juga dapat diklasifikasikan berdasarkan frekuensi penerbitannya: mingguan, bulanan, dua bulanan, dan sebagainya. Majalah konsumen pada umumnya mendominasi industri majalah di Indonesia. Majalah konsumen sangat cocok digunakan sebagai media iklan bagi pemasar yang membidik konsumen umum dan juga khusus. Kategori kedua adalah majalah pertanian yang dirancang untuk memenuhi minat pembaca di bidang pertanian dan peternakan, sedangkan kategori majalah bisnis adalah majalah yang diterbitkan untuk para pebisnis, masyarakat yang bekerja pada sektor industri tertentu atau mereka yang memiliki profesi tertentu.

Jenis media cetak kedua adalah surat kabar atau koran yang juga memiliki peran penting bagi pemasang iklan. Kebanyakan surat kabar terbit setiap hari sehingga disebut juga dengan surat kabar harian yang melayani kebutuhan masyarakat skala nasional atau lokal. Ada pula media cetak jenis tabloid, yang berbentuk seperti surat kabar namun berukuran lebih kecil dan terbit dalam jangka waktu mingguan (tiap satu atau dua minggu). Isi berita tabloid dapat dikonsumsi dalam jangka waktu yang lebih lama. Seperti majalah, tabloid memiliki segmentasi pembaca tertentu.

Penelitian ini menggunakan media cetak karena media tersebut saat ini masih menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat, bagi pembaca yang ingin memperoleh informasi, dan juga bagi para pemasang iklan. Selain itu, dalam pemantauannya media cetak lebih mudah daripada media elektronik. Media cetak yang digunakan sebagai sumber adalah dari jenis majalah dan tabloid, khususnya yang memiliki segmentasi pembaca wanita khususnya yang sudah berkeluarga.

2.4

Klaim Iklan

Klaim adalah setiap pesan atau representasi, termasuk dalam bentuk gambar, grafik atau simbol yang menyatakan, memberi kesan atau secara tidak langsung menyatakan bahwa suatu pangan memiliki karakteristik tertentu (Anonim 2007). Dalam Codex Alimentarius Guidelines for Use Nutrition and Health Claims, CAC/GL 23-1997 diuraikan definisi klaim adalah segala bentuk uraian yang menyatakan, menyarankan atau secara tidak langsung menyatakan perihal karakteristik tertentu suatu pangan yang berkenaan dengan asal usul, kandungan gizi, sifat, produksi, pengolahan, komposisi atau faktor mutu lainnya. Klaim gizi atau klaim kesehatan banyak dijumpai pada berbagai label dan iklan pangan. Perkembangan pengetahuan tentang zat gizi dan non gizi serta peranannya dalam kesehatan manusia merupakan salah satu faktor pendorong pertumbuhan klaim gizi dan kesehatan. Klaim gizi dan kesehatan yang tercantum pada label maupun iklan pangan memberikan gambaran tentang keberadaan dan manfaat suatu zat yang terdapat dalam pangan. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 69 Tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, pernyataan (klaim) manfaat kesehatan adalah pernyataan bahwa produk pangan tertentu mengandung zat gizi atau non gizi tertentu yang bermanfaat jika dikonsumsi atau tidak boleh bagi kelompok tertentu, misalnya untuk anak-anak berusia di bawah lima tahun, kelompok usia lanjut, ibu hamil dan menyusui, dan sebagainya.

(25)

di beberapa negara tidak selalu sama, namun pada tingkat internasional kesepakatan klaim gizi dan kesehatan yang dituangkan dalam standar atau pedoman Codex Alimentarius Commission (CAC) digunakan sebagai acuan. Pada prinsipnya semua negara mengatur beberapa hal yang sama tentang klaim antara lain tidak boleh menyesatkan konsumen dan tidak memuat klaim yang dikaitkan dengan peranan sebagai obat; pengobatan (treatment), pencegahan (preventive) atau penyembuhan (cure) penyakit. Pengertian menyesatkan, sering kali mengundang diskusi panjang terutama antara produsen dan instansi pemerintah terkait.

Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 69 tahun 1999 tentang Label dan Iklan Pangan, pencantuman pernyataan yang menyesatkan masih mungkin terjadi pada pangan yang benar telah ditambah, diperkaya atau difortifikasi dengan vitamin, mineral, atau zat penambah gizi lain. Hal tersebut terjadi jika karena pola pengonsumsian pangan yang bersangkutan, maka penambahan, pengayaan atau fortifikasi tidak memberi manfaat apapun bagi konsumen kecuali manfaat komersial yang diperoleh produsen. Dengan semakin ketatnya persaingan antar produsen, berbagai cara dilakukan termasuk pencantuman klaim yang dapat mengelabui konsumen. Empat jenis klaim yang digunakan untuk mengelabui konsumen diantaranya: (1) klaim yang tampak objektif, seperti klaim tentang kandungan gizi tertentu dalam suatu produk pangan yang harus dibuktikan melalui pengujian atau dibandingkan dengan standar yang telah ada, (2) klaim yang subjektif, seperti klaim yang menampilkan persepsi individu (kesukaan, pilihan, kepercayaan) yang mungkin menghasilkan tafsiran berbeda antar individu, klaim seperti ini sulit dibuktikan, (3) klaim dengan dua arti, yaitu klaim yang menampilkan dua sisi pesan yang bersifat pro dan kontra (sebagian benar dan sebagian salah), dan (4) klaim yang tidak mempunyai dasar, yaitu tidak didukung logika sehingga klaim yang dibuat hanya ditujukan untuk kepentingan promosi yang lebih mengutamakan segi persuasi dibanding segi informasinya (Sumarwan 2002).

Klaim sebagai salah satu komponen yang dapat dicantumkan pada label dan iklan, terlebih dahulu harus melalui pengkajian oleh para ahli yang relevan dan tidak memihak serta didasarkan atas bukti ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan sehingga memenuhi kriteria berikut: (1) sejalan dengan kebijakan gizi dan kesehatan nasional, (2) tidak dihubungkan dengan pengobatan dan pencegahan penyakit pada individu, (3) tidak mendorong kepada pola konsumsi yang salah, (4) berdasarkan diet total khusus untuk klaim kesehatan, (5) benar dan tidak menyesatkan (Restiani 2008).

Codex Alimentarius Commission (CAC 2004), mengelompokan klaim gizi dan kesehatan sebagaimana tercantum dalam gambar 1 berikut.

Gambar 1. Pengelompokan klaim pada iklan (CAC 2004) Klaim pada

iklan

Klaim gizi

Klaim kandungan zat gizi

Klaim perbandingan zat gizi

Klaim kesehatan

Klaim fungsi zat gizi

Klaim fungsi lain

(26)

2.4.1

Klaim Gizi

Menurut Pedoman Codex klaim gizi adalah adalah setiap representasi yang menyatakan, memberi kesan atau secara tidak langsung menyatakan bahwa suatu pangan mempunyai sifat (properties) tertentu yang tidak terbatas pada nilai energi, kandungan protein, lemak dan karbohidrat serta vitamin dan mineral (CAC 2004). Berikut adalah yang tidak termasuk dalam klaim gizi yaitu: daftar ingredien, pernyataan zat gizi yang wajib dicantumkan, pernyataan jumlah dan mutu zat gizi atau ingredien tertentu pada label sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Seperti yang ditunjukkan dalam Gambar 1, dalam Pedoman Codex tersebut diuraikan bahwa klaim gizi terdiri dari klaim kandungan zat gizi (nutrient content claim) dan klaim perbandingan (comparative claim). Klaim kandungan zat gizi menguraikan tentang level suatu zat gizi yang terkandung dalam suatu pangan dan klaim perbandingan adalah suatu klaim yang membandingkan level zat gizi dan/atau energi pada dua atau lebih pangan. Bentuk pernyataan yang dikaitkan dengan klaim kandungan gizi antara lain “sumber”, “tinggi”, “rendah” dan untuk klaim perbandingan zat gizi antara lain “dikurangi”, “lebih dari” (CAC 2004). Penggunaan klaim gizi tersebut harus memenuhi persyaratan spesifik untuk masing-masing zat gizi.

Indonesia mengatur klaim kandungan zat gizi dalam dua kelompok berdasarkan pada level zat gizi di dalam pangan yang dibandingkan dengan Angka Kecukupan Gizi (AKG), yaitu 10–19% AKG dan kelompok lainnya sama dengan atau lebih dari 20% AKG (BPOM RI 2005). Dibandingkan dengan ketentuan Codex, persyaratan yang diberlakukan di Indonesia lebih sederhana dan bersifat umum. Klaim kandungan zat gizi di Indonesia berlaku untuk 38 jenis zat gizi dan non gizi; yaitu vitamin A, karotenoid, vitamin B1, vitamin B2, vitamin B3, vitamin B5, vitamin B6, vitamin B12, asam folat, vitamin C, vitamin D, vitamin E, kalium, kalsium, zat besi, seng, tembaga, iodium, magnesium, mangan, selenium, kromium, boron, vanadium, gula alkohol, asam lemak tidak jenuh,

whey protein, laktoferin, protein kedelai, lisin, serat pangan, prebiotik, probiotik, kolin, isoflavon, fitosterol dan fitostanol dan polifenol. Khusus untuk natrium, pernyataan dan persyaratan kandungannya dikaitkan dengan pengurangan penggunaan natrium. Bentuk pernyataan klaim gizi untuk natrium adalah: “bebas”, “sangat rendah”, “rendah”, “kurang”, “sedikit mengandung” dan “tidak digarami”. (BPOM RI 2005).

2.4.2

Klaim Kesehatan

Klaim kesehatan adalah setiap representasi yang menyatakan, memberi kesan atau secara tidak langsung menyatakan terdapat hubungan antara suatu pangan atau unsur pokok dari pangan tersebut dengan kesehatan (CAC 2004). Klaim kesehatan meliputi: 1) klaim fungsi zat gizi (nutrient function claims) yang menguraikan peranan fisiologis zat gizi dalam pertumbuhan, perkembangan dan fungsi normal tubuh, 2) klaim fungsi lain (other function claims) yang berkenaan dengan efek menguntungkan spesifik dari mengkonsumsi pangan atau unsur pokok pangan tersebut dalam konteks total diet terhadap fungsi normal atau aktivitas biologis tubuh yang dihubungkan dengan kontribusi terhadap kesehatan atau terhadap peningkatan suatu fungsi atau untuk memodifikasi atau mempertahankan kesehatan, dan 3) klaim penurunan risiko penyakit (reduction of disease risk claim) yang terkait dengan konsumsi suatu pangan atau unsur pokok pangan dalam konteks total diet, terhadap penurunan risiko terjadinya suatu penyakit/atau kondisi kesehatan (CAC 2004).

(27)

Health Claims made on Foods tanggal 20 December 2006 (Anonim 2007). Peraturan yang diberlakukan sejak Juli 2007 tersebut memuat persyaratan umum pencantuman klaim gizi dan kesehatan, antara lain: (1) terbukti secara ilmiah mempunyai manfaat gizi atau fisiologis, (2) zat gizi atau non gizi yang diklaim terdapat dalam produk akhir sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan, (3) jika dimungkinkan terdapat dalam bentuk yang dapat digunakan tubuh, (4) jumlah pangan yang wajar dikonsumsi memberikan sejumlah zat gizi atau non gizi sebagaimana klaim yang dicantumkan, (5) secara rata-rata konsumen dapat mengerti manfaat kesehatan yang dimaksudkan klaim dan klaim dikaitkan dengan pangan dalam bentuk yang siap dikonsumsi sesuai petunjuk perusahaan. Dalam ketentuan tersebut juga ditetapkan bahwa penggunaan klaim gizi dan kesehatan hanya diizinkan jika produk memenuhi profil zat gizi (nutrient profile) yang akan ditetapkan. Profil zat gizi tersebut dimaksudkan untuk menjamin bahwa pangan yang memuat klaim tentang kesehatan tidak mengandung sejumlah zat gizi yang terkait dengan penyakit kronis jika dikonsumsi secara berlebihan (Anonim 2007).

Jepang merupakan salah satu negara yang memelopori pembuatan peraturan tentang klaim kesehatan. Di Jepang pangan yang diizinkan memuat klaim tentang manfaat kesehatan dikenal dengan istilah FOSHU (Food for Specified Health Use) dan pangan dimaksudkan untuk memperbaiki masalah kesehatan yang serius seperti meningkatkan kondisi pencernaan, menurunkan kadar yang tinggi dari kolesterol, tekanan darah dan glukosa, meningkatkan penyerapan mineral, dan mencegah kerusakan gigi (Hawkes 2004). Banyak negara tidak atau belum mengatur klaim kesehatan dan menurut Hawkes (2004) pengaturan klaim kesehatan tidak mudah dilakukan bahkan telah menimbulkan kontroversi. Dalam pengaturan klaim kesehatan, pemerintah harus memperhatikan keseimbangan antara potensi pencapaian sasaran kesehatan masyarakat dengan kenyataan bahwa klaim kesehatan dapat mengelabui atau menyesatkan konsumen jika tidak didasarkan pada bukti-bukti ilmiah yang menunjukkan hubungan manfaat tersebut (Hawkes 2004).

2.5

Pangan Fungsional

Istilah pangan fungsional pertama kali di gunakan tahun 1980 di Jepang dengan istilah Foods for Spesified of Health Use (FOSHU). Saat ini pangan fungsional masih terus berkembang baik di negara maju maupun negara berkembang termasuk di Indonesia. Selain fungsinya semakin beragam, bentuk produknya sendiri juga semakin bervariasi. Di samping itu, produsen untuk satu jenis pangan fungsional pun semakin banyak. Pada tahun-tahun mendatang, pangan fungsional tampaknya masih akan terus berkembang. Kesadaran masyarakat semakin tinggi akan pentingnya mencegah daripada mengobati. Karena itu, masyarakat akan semakin memilih makanan yang menawarkan fungsi kesehatan tertentu. Diperkirakan, harapan hidup seseorang juga semakin baik, menandakan perlunya produk untuk mereka yang lanjut usia, yaitu mereka yang umumnya lebih perhatian terhadap manfaat kesehatan dari suatu pangan. Selain itu, di tahun 2000, Indonesia menduduki tempat ke-empat sebagai negara dengan jumlah penderita diabetes terbesar. Diperkirakan, Indonesia akan tetap menduduki posisi ke-empat di tahun 2030 dengan 21,3 milyar penderita diabetes. Ada juga studi yang disebutkan oleh World Health Organization, yang menunjukkan bahwa prevalensi orang dengan berat badan berlebih (Indeks Massa Tubuh = IMT = 25) di Indonesia mencapai 38% untuk pria dan 49% untuk wanita. Hal-hal ini akan menjadi penunjang perkembangan pangan fungsional di Indonesia (Susana 2008).

(28)

diuraikan mengenai definisi pangan fungsional yaitu pangan olahan yang mengandung satu atau lebih komponen fungsional yang berdasarkan kajian ilmiah mempunyai fungsi mempunyai fungsi fisiologis tertentu, terbukti tidak membahayakan dan bermanfaat bagi kesehatan. Beberapa komponen fungsional yang telah diizinkan antara lain vitamin, mineral, gula alkohol, serat pangan, fitosterol dan fitostanol, prebiotik serta probiotik. Komponen pangan fungsional tidak boleh memberikan interaksi yang tidak diinginkan dengan komponen lain (Restiani 2008).

Pangan fungsional didefinisikan oleh Shaver dan Weinrib (2006) sebagai komponen makanan atau makanan yang telah terbukti memberikan manfaat kesehatan khusus di luar gizi dasar. Manfaat kesehatan sering berasal dari komponen makanan yang tidak dianggap nutrisi di bawah definisi tradisional, misalnya, lycopene dari tomat atau β-glukan dari gandum. Komponen-komponen sehat dapat berasal dari sumber makanan konvensional seperti antioksidan dan serat dalam buah-buahan dan sayuran, serat larut dalam sarapan sereal gandum, atau isoflavon yang berasal dari kedelai. Sumber-sumber lain dari komponen makanan sehat mungkin dari makanan tidak umum dalam diet Amerika seperti biji rami, sumber asam lemak esensial, atau yogurt, sumber nutrisi yang memberi makan bakteri menguntungkan dalam perut. Dalam kasus lain, komponen pangan fungsional ditambahkan ke produk makanan tradisional, seperti kalsium untuk jus jeruk atau vitamin untuk tepung terigu. Bioteknologi pangan akan terus menyediakan sarana baru untuk pengembangan pangan fungsional.

Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM), pangan fungsional adalah pangan yang secara alami maupun melalui proses mengandung satu atau lebih senyawa yang berdasarkan hasil kajian ilmiah dianggap mempunyai fungsi-fungsi fisiologis tertentu yang bermanfaat bagi kesehatan. Pangan fungsional dikonsumsi layaknya makanan atau minuman, mempunyai karakteristik sensori berupa penampakan, warna, tekstur dan cita rasa yang dapat diterima oleh konsumen, serta tidak memberikan kontraindikasi dan tidak memberikan efek samping terhadap metabolisme zat gizi lainnya jika digunakan pada jumlah penggunaan yang dianjurkan. Meskipun mengandung senyawa yang bermanfaat bagi kesehatan, pangan fungsional tidak berbentuk kapsul, tablet atau bubuk yang berasal dari senyawa alami (Badan Pengawasan Obat dan Makanan 2001).

Agriculture and Agri-Food Canada (2007) menyebutkan bahwa makanan fungsional diciptakan melalui berbagai cara, diantaranya: (1) fortifikasi dengan vitamin dan/atau mineral untuk memberikan manfaat kesehatan tambahan (misalnya minuman kedelai fortifikasi dan jus buah dengan kalsium), (2) penambahan bahan bioaktif (misalnya, muffin dengan beta glucan, yogurts dengan probiotik dan minuman dengan ramuan campuran), dan (3) peningkatan komponen bioaktif melalui pemuliaan tanaman, pengolahan, atau khusus teknik pakan ternak (misalnya, telur, susu dan daging dengan omega-3, minyak canola tinggi karotenoid, dan gandum dengan tingkat lutein tinggi).

(29)

2.6

Diagram Pohon Keputusan (

Decision Tree

)

Keputusan merupakan pilihan alternatif, jadi mengambil keputusan atau melakukan tindakan artinya memilih dari alternatif yang tersedia. Untuk memudahkan penggambaran keadaan keputusan dengan jalan memilih alternatif secara sistematis dan komprehensif atau menyeluruh, perlu digunakan suatu diagram yang pada dasarnya merupakan suatu rangkaian kronologis tentang kejadian apa yang mungkin terjadi sebagai akibat dari alternatif tindakan atau keputusan. Diagram ini disebut diagram pohon keputusan (decision tree) karena gambarnya menyerupai pohon yang bercabang-cabang (Supranto 2005).

Decision tree merupakan salah satu metode klasifikasi yang paling populer karena mudah untuk diinterpretasi oleh manusia. Decision tree adalah model prediksi menggunakan struktur pohon atau struktur berhirarki. Konsep dari pohon keputusan adalah mengubah data menjadi pohon keputusan dan aturan-aturan keputusan. Manfaat utama dari penggunaan decision tree adalah kemampuannya untuk mem-break down proses pengambilan keputusan yang kompleks menjadi lebih simpel sehingga pengambil keputusan akan lebih menginterpretasikan solusi dari permasalahan (Dermawan 2009).

Sistem yang dibangun dalam penelitian ini mengambil konsep decision tree, yaitu struktur hirarki alternatif yang ada untuk mengambil sebuah keputusan. Pada diagram tersebut disusun pertanyaan-pertanyaan dan alternatif jawaban berdasarkan poin-poin peraturan tentang iklan pangan yang telah dikelompokkan menjadi beberapa kategori pelanggaran umum dan khusus produk tertentu.

Decision tree tersebut menghasilkan sebuah keputusan atau kesimpulan bahwa suatu iklan memenuhi ketentuan (MK) atau tidak memenuhi ketentuan (TMK) untuk tiap poin atau subkategori pelanggaran. Di akhir akan diketahui level kesesuaian (compliance) iklan tersebut secara keseluruhan dan untuk tiap kategori pelanggaran. Penyusunan tiap poin pelanggaran dalam hirarki tersebut diatur menurut Undang-Undang (UU) No. 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Menurut UU tersebut, yang dimaksud dengan Peraturan Perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam Peraturan Perundang-undangan. Pasal 7 UU tersebut menyebutkan jenis dan hirarki Peraturan Perundang-undangan terdiri atas: (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, (2) Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat, (3) Undang-Undang / Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, (4) Peraturan Pemerintah, (5) Peraturan Presiden, (6) Peraturan Daerah Provinsi, dan (7) Peraturan Daerah Kabupaten / Kota.

2.7

Peraturan-Peraturan yang Terkait dengan Pelanggaran Iklan Pangan

(30)

tersebut bertentangan dengan kenyataan sebenarnya atau tidak memuat keterangan yang diperlukan agar keterangan tersebut dapat memberikan gambaran atau kesan yang sebenarnya tentang pangan. Yang dimaksud dengan "keterangan yang menyesatkan" adalah pernyataan yang berkaitan dengan hal-hal seperti sifat, harga, bahan, mutu, komposisi, manfaat, atau keamanan pangan yang meskipun benar, dapat menimbulkan gambaran yang menyesatkan pemahaman mengenai pangan yang bersangkutan. Penjelasan mengenai keterangan tidak benar dan keterangan yang menyesatkan juga disebutkan dalam Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan. Keterangan tentang pangan yang dimaksud baik dalam bentuk gambar dan atau suara, pernyataan, dan atau bentuk apapun lainnya (dalam Pasal 44).

Menurut UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan dapat mengenai: (1) harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa, (2) kegunaan suatu barang dan/atau jasa, (3) kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa, (4) tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan, maupun (5) bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.

Tinjauan pustaka terhadap Peraturan Perundang-undangan berikut dibagi berdasarkan kategori pelanggaran, yaitu (1) iklan pangan yang menggunakan kata-kata atau ilustrasi yang berlebihan, (2) iklan pangan yang melanggar norma kesusilaan atau menggunakan model iklan anak-anak berusia di bawah lima tahun, (3) iklan pangan yang mendiskreditkan atau merendahkan pangan lain baik secara langsung maupun tidak langsung, (4) iklan pangan yang mengarah bahwa pangan seolah-olah sebagai obat, (5) iklan pangan yang mencantumkan logo, tulisan, atau referensi, (6) iklan pangan yang mencantumkan klaim gizi, manfaat kesehatan, dan keamanan pangan, (7) iklan pangan yang mengandung pernyataan berkaitan dengan proses, asal, dan sifat bahan pangan, (8) iklan pangan yang menyertakan undian, sayembara, dan hadiah, (9) iklan pangan yang mengandung bahan tertentu atau untuk kelompok orang tertentu, (10) iklan produk pangan khusus (hasil olah susu jenis susu krim penuh, susu kental manis, susu skim dan “filled milk”, pengganti air susu ibu (PASI) atau susu bayi atau infant formula, vitamin, makanan pelengkap (food suplement) dan mineral, makanan diet, atau minuman beralkohol

2.7.1

Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Penggunaan Kata-Kata atau

Ilustrasi yang Berlebihan

Kategori pelanggaran A yaitu sekelompok peraturan berkaitan dengan penggunaan kata-kata atau ilustrasi yang berlebihan. Peraturan pertama yang menjadi sub kategori (1) kategori pelanggaran tersebut yaitu Pasal 9 ayat 1 poin j UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah menggunakan kata-kata yang berlebihan, seperti aman, tidak berbahaya, tidak mengandung risiko atau efek sampingan tanpa keterangan yang lengkap. Selanjutnya, sub kategori (2) bersumber pada Pasal 50 PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan, Bab IX Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.52.1831 Tentang Pedoman Periklanan Pangan yang menyebutkan bahwa iklan dilarang memuat keterangan atau pernyataan bahwa pangan tersebut adalah sumber energi yang unggul dan segera memberikan kekuatan.

(31)

Tangga dan Makanan dan Minuman, serta Bab IX Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.52.1831 Tentang Pedoman Periklanan Pangan yang menyebutkan bahwa iklan makanan tidak boleh dimuat dengan ilustrasi peragaan maupun kata-kata yang berlebihan sehingga dapat menyesatkan konsumen. Tidak dirinci lebih lanjut dalam peraturan tersebut mengenai contoh kata-kata berlebihan yang dimaksud. Subkategori (4) untuk kategori pelanggaran tersebut bersumber dari Bab IX Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.52.1831 Tentang Pedoman Periklanan Pangan yang menyebutkan bahwa iklan-iklan produk pangan dilarang menyalahgunakan istilah-istilah ilmiah, statistik, dan grafik untuk menyesatkan khalayak atau menciptakan kesan yang berlebihan dan tak bermakna.

Bab IX Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.52.1831 Tentang Pedoman Periklanan Pangan juga menyebutkan iklan produk pangan dilarang menggunakan pernyataan bahwa produk pangan tersebut dapat meningkatkan kecerdasan atau meningkatkan IQ. Peraturan tersebut menjadi dasar subkategori (5) kategori pelanggaran A. Iklan dapat melanggar satu atau lebih ketentuan untuk subkategori pelanggaran tersebut. Iklan yang MK untuk semua subkategori pada kategori pelanggaran A berarti memiliki compliance 100% terhadap peraturan mengenai penggunaan kata-kata atau ilustrasi yang berlebihan.

2.7.2

Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Norma Kesusilaan dan

Penggunaan Model Iklan Anak-Anak Berusia di Bawah Lima Tahun

Kategori pelanggaran B yaitu sekelompok peraturan berkaitan dengan norma kesusilaan dan penggunaan model iklan anak-anak berusia di bawah lima tahun. Peraturan pertama yang menjadi dasar subkategori (1) kategori pelanggaran tersebut yaitu Pasal 44 ayat 2 PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan yang menyebutkan bahwa setiap iklan tentang pangan tidak boleh bertentangan dengan norma-norma kesusilaan dan ketertiban umum. Selanjutnya, dalam Pasal 47 ayat 2 PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan disebutkan bahwa iklan dilarang semata-mata menampilkan anak-anak berusia dibawah 5 (lima) tahun dalam bentuk apapun, kecuali apabila pangan tersebut diperuntukkan bagi anak-anak yang berusia dibawah 5 (lima) tahun. Pada penjelasan pasal tersebut dijelaskan bahwa ketentuan ini dimaksudkan untuk menghindari adanya pengeksploitasian anak dalam iklan pangan, khususnya yang semata-mata menampilkan anak-anak dibawah lima tahun namun bukan untuk pangan yang khusus anak-anak kelompok usia tersebut. Dalam konteks iklan pangan tersebut, dapat saja menampilkan anak-anak berusia dibawah lima tahun, namun ditampilkan dalam suatu konteks yang lebih luas, misalnya bersama keluarga. Iklan dapat melanggar satu atau lebih ketentuan untuk subkategori pelanggaran tersebut. Iklan yang MK untuk semua subkategori pada kategori pelanggaran B berarti memiliki compliance 100% terhadap peraturan mengenai dengan norma kesusilaan dan penggunaan model iklan anak-anak berusia di bawah lima tahun.

2.7.3

Larangan Iklan Pangan yang Mendiskreditkan atau Merendahkan

Pangan Lain Baik Secara Langsung Maupun Tidak Langsung

(32)

Peraturan pertama yang menjadi dasar subkategori (1) kategori pelanggaran tersebut yaitu Pasal 9 ayat 1 poin i UU No. 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen yang menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah secara langsung atau tidak langsung merendahkan barang dan/atau jasa lain. Dalam Pasal 47 ayat 1 PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan juga disebutkan bahwa iklan dilarang dibuat dalam bentuk apapun untuk diedarkan dan atau disebarluaskan dalam masyarakat dengan cara mendiskreditkan produk pangan lainnya. Larangan mendiskreditkan produk lain bertujuan agar konsumen mempunyai kebebasan memilih berdasarkan pengetahuannya sendiri terhadap suatu produk pangan tanpa dipengaruhi oleh iklan yang bersifat mendiskreditkan produk lain sejenis.

Selanjutnya, subkategori (2) untuk kategori pelanggaran tersebut diatur dalam Petunjuk Teknis Umum poin ke-13 Peraturan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan dan Minuman. Poin dalam peraturan tersebut menyebutkan bahwa iklan makanan tidak boleh dengan sengaja menyatakan seolah-olah makanan yang berlabel gizi mempunyai kelebihan dari makanan yang tidak berlabel gizi. Iklan dapat melanggar satu atau lebih ketentuan untuk subkategori pelanggaran tersebut. Iklan yang MK untuk semua subkategori pada kategori pelanggaran C berarti memiliki compliance 100% terhadap peraturan mengenai iklan pangan yang mendiskreditkan atau merendahkan pangan lain baik secara langsung maupun tidak langsung.

2.7.4

Larangan Iklan Pangan yang Mengarah Bahwa Pangan Seolah-Olah

Sebagai Obat

Kategori pelanggaran D yaitu sekelompok peraturan berkaitan dengan iklan pangan yang mengarah bahwa pangan seolah-olah sebagai obat. Kategori pelanggaran tersebut diatur dalam beberapa peraturan, yaitu Pasal 53 PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan yang menyebutkan bahwa iklan dilarang memuat pernyataan atau keterangan bahwa pangan yang bersangkutan dapat berfungsi sebagai obat, Petunjuk Teknis Umum poin ke-10 dan Petunjuk Teknis Khusus poin ke-6 (h) Peraturan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan dan Minuman yang menyebutkan bahwa iklan makanan dilarang mencantumkan bahwa suatu makanan dapat menyehatkan dan dapat memulihkan kesehatan, dan Bab IX Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.52.1831 Tentang Pedoman Periklanan Pangan yang menyebutkan bahwa dilarang mengiklankan pangan yang mengarah ke pendapat bahwa pangan seolah-olah sebagai obat.

Penjelasan Pasal 53 PP No. 69 Tahun 1999 Tentang Label dan Iklan Pangan menjelaskan lebih lanjut bahwa pangan berbeda dengan obat dan masing-masing mempunyai karakter yang spesifik, yaitu pangan tidak menyembuhkan sedangkan obat untuk penyembuhan. Pangan tidak dapat berfungsi sebagai obat, sehingga mengiklankan pangan sebagai obat merupakan perbuatan yang menipu konsumen. Iklan yang MK untuk kategori pelanggaran D berarti memiliki compliance 100% terhadap peraturan mengenai iklan pangan yang mengarah bahwa pangan seolah-olah sebagai obat.

(33)

2.7.5

Larangan Iklan Pangan Berkaitan Pencantuman Logo, Tulisan, atau

Referensi

Kategori pelanggaran E yaitu sekelompok peraturan berkaitan dengan pencantuman logo, tulisan, dan referensi. Peraturan pertama yang menjadi dasar subkategori (1) kategori pelanggaran tersebut yaitu Petunjuk Teknis Khusus poin ke-7 Peraturan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan dan Minuman yang menyebutkan bahwa kata “halal” tidak boleh diiklankan. Dalam Bab VI Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.52.1831 Tentang Pedoman Periklanan Pangan juga dijelaskan bahwa pada prinsipnya kehalalan produk pangan tidak untuk diiklankan, baik berupa tulisan maupun ucapan pada media massa. Penggunaan tulisan halal atau logo halal dalam iklan produk pangan hanya boleh untuk pangan yang sudah memperoleh sertifikat resmi dari Majelis Ulama Indonesa (MUI) atau lembaga yang berwenang dan telah mendapat persetujuan pencantuman dan/atau logo halal pada label dari Badan PM RI. Oleh karena itu, subkategori (1) kategori pelanggaran E mengatur larangan pencantuman kata “halal” atau logo halal pada iklan pangan.

Selanjutnya, sub kategori (2) yang diatur dalam Bab II Ketentuan Umum Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.52.1831 Tentang Pedoman Periklanan Pangan berisi larangan mengenai iklan pangan yang mencantumkan logo yang menyinggung perasaan etnis atau kelompok sosial tertentu. Pada Bab IX peraturan tersebut juga mengatur larangan iklan pangan yang memuat pernyataan dan/atau menampilkan nama, logo, atau identitas lembaga yang melakukan analisis dan mengeluarkan sertifikat terhadap pangan. Peraturan tersebut menjadi dasar subkategori (3) kategori pelanggaran E. Subkategori terakhir untuk kategori pelanggaran tersebut yaitu melarang iklan pangan yang memuat referensi, nasehat, peringatan, atau pernyataan dari tenaga kesehatan (antara lain dokter, ahli farmasi, perawat, bidan), tenaga profesi lain (antara lain psikolog, ahli gizi, tenaga analisis laboratorium), organisasi profesi, atau orang dengan profesi keagamaan, seperti yang diatur dalam Bab IX Surat Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.52.1831 Tentang Pedoman Periklanan Pangan. Iklan dapat melanggar satu atau lebih ketentuan untuk subkategori pelanggaran tersebut. Iklan yang MK untuk semua subkategori pada kategori pelanggaran E berarti memiliki compliance

100% terhadap peraturan mengenai pencantuman logo, tulisan, dan referensi.

2.7.6

Larangan Iklan Pangan Berkaitan dengan Klaim Gizi, Manfaat

Kesehatan, dan Keamanan Pangan

(34)

“kaya” sumber vitamin dan mineral bila pada sejumlah makanan yang biasa dikonsumsi satu hari terdapat paling sedikit ½ dari jumlah yang dianjurkan (RDA/AKG).

Selanjutnya, subkategori (2) berdasar pada Petunjuk Teknis Umum poin ke-6 Peraturan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan dan Minuman yang menyebutkan bahwa pernyataan makanan berkalori dapat diiklankan bila makanan tersebut dapat memberikan minimun 300 Kcal per hari. Subkategori (3) bersumber pada Petunjuk Teknis Umum poin ke-14 Peraturan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan dan Minuman yang menyebutkan bahwa iklan makanan tidak boleh memuat pernyataan nilai khusus pada makanan apabila nilai tersebut tidak seluruhnya berasal dari makanan tersebut, tetapi sebagian diberikan oleh makanan lain yang dapat dikonsumsi bersama-sama (seperti nilai kalori pada makanan serealia untuk sarapan yang biasanya dimakan dengan susu dan gula).

Subkategori selanjutnya untuk kategori pelanggaran F didasarkan oleh Petunjuk Teknis Umum poin ke-15 Peraturan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, Obat Tradisional, Alat Kesehatan, Kosmetika, Perbekalan Kesehatan Rumah Tangga dan Makanan dan Minuman yang menyebutkan bahwa iklan makanan tidak boleh menyatakan bahwa makanan seolah-olah merupakan sumber protein, kecuali 20% kandungan kalorinya berasal dari protein dan atau kecuali jumlah yang wajar dikonsumsi per hari mengandung tidak kurang dari 10 gram protein. Kemudian, subkategori (5) diatur dalam Pasal 9 ayat 1 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.03.1.23.11.11.09909 tahun 2011 Tentang Pengawasan Klaim dalam Label dan Iklan Pangan Olahan yang menyebutkan bahwa klaim kandungan zat gizi yang diizinkan tercantum dalam Lampiran I yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam peraturan tersebut. Dalam peraturan tersebut dijelaskan klaim kandungan zat gizi adalah klaim yang menggambarkan kandungan zat gizi dalam pangan.

Pasal 9 ayat 2 dan 3 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.03.1.23.11.11.09909 tahun 2011 Tentang Pengawasan Klaim dalam Label dan Iklan Pangan Olahan mengatur bahwa klaim “rendah ... (nama komponen pangan)” atau “bebas ... (nama komponen pangan)” hanya boleh digunakan pada pangan olahan yang telah mengalami proses tertentu sehingga kandungan zat gizi atau komponen pangan tersebut menjadi rendah atau bebas dan harus sesuai dengan persyaratan sebagaimana diatur dalam peraturan ini. Pangan olahan yang secara alami rendah atau bebas mengandung komponen tertentu, dilarang memuat klaim kandungan zat gizi rendah atau bebas yang terkait dengan komponen tersebut. Pencantuman klaim tersebut ditulis “rendah ... (nama komponen pangan)” atau “bebas ... (nama komponen pangan)”. Peraturan tersebut menjadi dasar subkategori pelanggaran (6).

(35)

kandungan zat gizi dan/atau kandungan energi antara dua atau lebih pangan. Nilai ALG yang berlaku tercantum pada Lampiran.

Selanjutnya, untuk subkategori (8) diatur dalam Pasal 11 Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia No. HK.03.1.23.11.11.09909 tahun 2011 Tentang Pengawasan Klaim dalam Label dan Iklan Pangan Olahan yang menyebutkan bahwa klaim fungsi zat gizi yang diizinkan sebagaimana tercantum dalam Lampiran III yang merupakan bagian tidak terpisahkan dalam peraturan ini. Pangan olahan yang mencantumkan klaim fungsi zat gizi sekurang-kurangnya harus memenuhi persyaratan “sumber”. Pengertian klaim fungsi zat gizi menurut peraturan tersebut yaitu klaim gizi yang meng

Gambar

Tabel 1. Lanjutan
Tabel 1. Lanjutan
Gambar 2. Prosentase raataan iklan pan
Gambar 3.  Prosentase banyaknya iklan berdasarkan kategori pangan
+7

Referensi

Dokumen terkait