• Tidak ada hasil yang ditemukan

“Perhitungan Evapotranspirasi Menggunakan Citra MODIS (Studi Kasus: Das Cimadur, Banten)”

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "“Perhitungan Evapotranspirasi Menggunakan Citra MODIS (Studi Kasus: Das Cimadur, Banten)”"

Copied!
142
0
0

Teks penuh

(1)

PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRASI MENGGUNAKAN CITRA MODIS (STUDI KASUS: DAS CIMADUR, BANTEN)

REYNA PRACHMAYANDINI A14070005

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

(2)

RINGKASAN

REYNA PRACHMAYANDINI. A14070005. “Perhitungan Evapotranspirasi Menggunakan Citra MODIS ( Studi Kasus: Das Cimadur, Banten )”. Dibimbing oleh SURIA DARMA TARIGAN dan BAMBANG H TRISASONGKO.

Evapotranspirasi (ET) merupakan komponen neraca air terpenting setelah curah hujan. Saat ini, pengukuran evapotranspirasi dapat dilakukan dengan menggunakan input data yang berbasis penginderaan jauh. Penelitian ini mengkaji persamaan empirik perhitungan evapotranspirasi, yaitu Blaney-Criddle, dengan memanfaatkan nilai Land Surface Temperature (LST) yang diekstrak melalui citra Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) sebagai masukan dalam komponen suhu dalam persamaan tersebut. Pada penelitian ini juga dilakukan validasi antara nilai LST MODIS (day dan night), dengan nilai T Stasiun Iklim Darmaga, pada berbagai ketinggian (5 cm, 100 cm, 120 cm) dan waktu (07.00, 07.10, 13.00, dan 13.50 WIB).

Pada LST day, temperatur yang diestimasi oleh MODIS, lebih mendekati pengukuran temperatur stasiun iklim pada ketinggian 5 cm, dengan nilai R2 sebesar 0,362. Sedangkan LST night, memiliki hubungan yang cukup kuat dengan T stasiun pada ketinggian 120 cm. Namun demikian, nilai R2 tertinggi didapatkan pada hubungan antara LST night dengan T stasiun pada ketinggian 100 cm, dengan nilai R2 sebesar 0,567.

Secara umum, nilai evapotranspirasi potensial yang berada pada DAS Cimadur berada pada rentang 4,45-5,65 mm/hari (mendekati kondisi sebenarnya). Dengan berbasis penginderaan jauh, nilai evapotranspirasi dapat disajikan secara spasial maupun temporal. Namun demikian, terdapat kendala terkait ketersediaan data yang menyebabkan nilai evapotranspirasi hanya tersedia pada bulan-bulan kering. Penelitian ini menunjukkan bahwa jika hal ini diperbaiki dengan mengkombinasikan ketersediaan data LST terbaik dalam 1 bulan, ketersediaan data dalam satu bulan dapat meningkat >50% dari kondisi awal 0%.

Hasil validasi antara nilai evapotranspirasi yang dihasilkan pada perhitungan (ETm) dengan nilai evaporasi panci A dan lysimeter, ternyata memberikan nilai ETm yang lebih mendekati nilai evaporasi panci A dengan perbedaan nilai antara keduanya, sebesar 0,82-1,32 mm (untuk 1x1 pixel) dan 0,62-1,34 mm (untuk 3x3 pixel).

(3)

SUMMARY

REYNA PRACHMAYANDINI. A14070005. “Evapotranspiration Calculation Using MODIS Image (Case Study: Cimadur Watershed)”. Supervised by SURIA DARMA TARIGAN and BAMBANG H TRISASONGKO.

Evapotranspiration (ET) is the most important component of water balance after precipitation. Currently, measurement of evapotranspiration can be conducted with the input data based on Remote Sensing data. This research analyzed empiric equation of evapotranspiration, the Blaney-Criddle, using Land Surface Temperature (LST) value, extracted from Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS), as an temperature input in this equation. In this research validation was made between LST MODIS (day and night) and temperature of climatology station of Darmaga, at various height (5 cm, 100 cm, 120 cm) and times (07.00, 07.10, 13.00, 13.50 WIB).

On LST day, temperature estimated by MODIS, closer to the temperature measurement on climatology station at a height 5 cm, with a R2 value 0,362. While the LST night have a fairly strong relationship with the T station at a height 120 cm. However, the highest R2 value obtained on the relationship between LST night with the T station at a height of 100 cm with a R2 value of 0,567.

Generally, the evapotranspiration potential value in Cimadur watershed ranged from 4,45-5,65 mm/day (close to actual condition). With remote sensing based, evapotranspiration value can be presented spatially and temporally. However, there are constraints related the availability of data that caused the evapotranspiration value is only available in the dry months. This study shows that if this condition is corrected by combining the best availability of LST within a month, the availability of data in one month can be increased more than 50% from the initial condition 0%.

The validation result between evapotranspiration value which is resulted by the Blaney-Criddle (ETm) and evapotranspiration value from evaporation pan A and Lysimeter, was giving the ETm value closer to the evapotranspiration value from pan A with a different value between ETm and pan A ranged from 0,82-1,32 mm (for 1x1 pixel) and 0,62-1,34 mm (for 3x3 pixel).

(4)

PERHITUNGAN EVAPOTRANSPIRASI MENGGUNAKAN CITRA MODIS (STUDI KASUS: DAS CIMADUR, BANTEN)

REYNA PRACHMAYANDINI A14070005

Skripsi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU TANAH DAN SUMBERDAYA LAHAN FAKULTAS PERTANIAN

(5)

Judul : “Perhitungan Evapotranspirasi Menggunakan Citra MODIS (Studi Kasus: Das Cimadur, Banten)”

Nama Mahasiswa : Reyna Prachmayandini Nomor Pokok : A14070005

Menyetujui,

Pembimbing I

Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, MSc. 19620305 198703 1 002

Pembimbing II

Ir. Bambang H Trisasongko, MSc. 19700903 200812 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor

Dr. Ir. Syaiful Anwar, MSc 19621113 198703 1 003

(6)

UCAPAN TERIMA KASIH

Alhamdulillahirobbil’alamin. Puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan hidayah yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Ucapan terima kasih dan penghargaan yang tinggi penulis ucapkan kepada :

1. Dr. Ir. Suria Darma Tarigan, MSc. dan Ir. Bambang H Trisasongko, MSc. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan motivasi, bantuan, arahan, dan saran dalam penelitian dan penyusunan skripsi.

2. Dr. Khursatul Munibah, MSc. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan saran dalam penyusunan skripsi.

3. Orang tua dan keluarga, atas doa, kasih sayang, dan dukungannya baik moril maupun materi selama penulis menjalani masa kuliah hingga selesainya skripsi ini.

4. Prof. Dr. Kukuh Murtilaksono, MSc., Dr. Boedi Tjahjono, dan Tovan atas kesempatannya kepada penulis untuk berpartisipasi dalam survei lapang di DAS Ciambulawung, Banten.

5. Keluarga besar kampung adat Lebak Picung, Banten yang telah membantu dalam proses pengambilan data lapang di DAS Ciambulawung, Banten. 6. Ika Puspita Sari, Deuis Nur Fadhilah, Herdian Priambodo, dan Rhoma

Purnanto atas kerjasama, dukungan, dan motivasi selama kegiatan survei lapang, penelitian maupun penulisan skripsi.

7. M. Nizar Khoerudin atas bantuannya selama pengambilan data sekunder, serta motivasi dan dukungan yang tak henti mengalir selama masa penelitian hingga terselesaikannya skripsi ini.

8. Keluarga kecilku Hanna Aditya Januarisky, Astria Hernisa, Juniska Muria, dan Setia Wahyu untuk motivasi, kebersamaan, kekeluargaan dan hari-hari yang telah dilalui selama menjalani masa kuliah, hingga selesainya skripsi ini.

(7)

10.Keluarga besar Soil Scaper 44 IPB atas motivasi, dukungan, pengalaman, kebersamaan, dan kekeluargaan yang telah dilalui selama penulis menjalani masa kuliah hingga selesainya penulisan skripsi.

11.Keluarga besar Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB atas segala pengalaman, kesempatan, dukungan, dan kebersamaan yang telah diberikan kepada penulis selama menjalani masa perkuliahan hingga selesainya penulisan skripsi.

(8)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Jakarta, 1 Juni 1989 sebagai anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Rochman Djaja dan Ibu Dian Gamajanti. Penulis menyelesaikan pendidikan formal di TK Chandra (1995), SD Mutiara Indonesia (2001), SMP Tunas Jakasampurna (2004), dan SMA Tunas Jakasampurna (2007). Pada tahun 2007 penulis diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Penulis mulai aktif belajar di Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, IPB pada tahun 2008.

Selama menjadi mahasiswa IPB, penulis memiliki pengalaman sebagai Teacher of EXPRESS (External and Exchange Program IAASers Smart Course) periode 2008-2009, dan juga aktif di beberapa organisasi yaitu Bina Desa BEM KM IPB sebagai staf divisi PSDM periode 2009-2010, dan Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) sebagai sekretaris periode 2010-2011. Selain itu, penulis pernah menjadi asisten praktikum mata kuliah Fisika Tanah (2010/2011), Geomorfologi dan Analisis Lansekap (2010/2011), Sistem Informasi Geografi dan Kartografi (2010/2011), dan Morfologi dan Klasifikasi Tanah (2011/2012).

Beberapa prestasi yang pernah diraih oleh penulis selama menjalani masa pendidikannya antara lain Juara II Soil Judging Contest dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Ilmu Tanah Nasional pada tahun 2009 di Yogyakarta, Juara I Theory Capability dalam Pekan Ilmiah Mahasiswa Ilmu Tanah Nasional Wilayah II pada tahun 2011 di Bandung, dan Juara IV Mahasiswa Berprestasi Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor 2011.

(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah S.W.T atas rahmat dan hidayah yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi yang berjudul “Perhitungan Evapotranspirasi Menggunakan Citra MODIS (Studi Kasus: DAS Cimadur, Banten)” merupakan salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Pertanian di Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Hasil penelitian ini diharapkan menjadi informasi yang berguna bagi berbagai pihak. Penulis juga menyadari bahwa skripsi ini masih kurang sempurna, oleh karena itu diharapkan kritik dan saran yang membangun. Semoga karya ilmiah ini bisa bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, Februari 2012

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ... DAFTAR TABEL ... DAFTAR GAMBAR ... BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang ... 1.2. Tujuan ... 1.3. Manfaat Penelitian ...

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Evapotranspirasi Potensial Standar (ETo) ... 2.2. Perhitungan Evapotranspirasi Potensial : Blaney-Criddle ... 2.3. Potensi Land Surface Temperature (LST) pada Moderate Imaging Spectroradiometer (MODIS) ...

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu ... 3.2. Alat dan Bahan ... 3.3. Jenis dan Teknik Pengambilan Data ... 3.3.1. Data Spasial ... 3.3.2. Data Atribut ... 3.4. Tahapan Penelitian ... 3.4.1. Pembuatan Peta Batas DAS Cimadur ... 3.4.2. Pembuatan Peta Penggunaan Lahan DAS Cimadur ... 3.4.3. Koreksi Geometrik, Ekstraksi Data LST dan Layer

Stacking... 3.4.4. Validasi data LST MODIS dan Suhu Stasiun Iklim ... 3.4.5. Perhitungan Tmean dan P ... 3.4.6. Perhitungan Evapotranspirasi dengan Metode Blaney-Criddle ... 3.4.7. Validasi Estimator Evapotranspirasi ... 3.4.8. Perbaikkan Data Evapotranspirasi pada Citra MODIS.... 3.5. Diagram Alir Penelitian ...

BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1. Batas Administrasi Kabupaten Lebak, Banten ... 4.2. Kondisi Topografi Wilayah ... 4.3. Kondisi Hidrologi Wilayah ... 4.4. Permasalahan Hidrologi Pada DAS Cimadur ...

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1. Karakteristik Data Land Surface Temperature (LST) MODIS pada Wilayah Penelitian ... 5.1.1. Gambaran Umum Data Land Surface Temperature (LST) MODIS ...

(11)

5.1.2. Kualitas dan Ketersediaan Data LST MODIS Tahun 2008-2010 Secara Spasial dan Temporal ... 5.2. Hasil Validasi Nilai LST MODIS dengan Nilai Suhu (T) pada

Stasiun Iklim ... 5.2.1. Pola Suhu Harian Darmaga Tahun 2008-2010 ... 5.2.2. Hasil Validasi Data LST MODIS Tahun 2011 dan Data

Suhu (T) Stasiun Klimatologi pada Berbagai Ketinggian dan Waktu ... 5.2.2.1. Hasil Validasi Data LST MODIS day Tahun

2011 dan Data Suhu (T) Stasiun Klimatologi pada Berbagai Ketinggian ... 5.2.2.2. Hasil Validasi Data LST MODIS night Tahun

2011 dan Data Stasiun Klimatologi pada Berbagai Ketinggian ... 5.3. Perhitungan Evapotranspirasi dengan Metode Blaney-Criddle. 5.3.1. Ketersediaan Data Evapotranspirasi Secara Spasial dan Temporal ... 5.3.2. Pola Evapotranspirasi secara Spasial dan Temporal ... 5.4. Validasi Nilai Estimator Evapotranspirasi ... 5.4.1. Validasi Data ETm dan Panci Evaporasi A ... 5.4.2. Validasi Data ETm dan Lysimeter ... 5.4.3. Perbandingan Nilai ETm dengan Panci Evaporasi A dan Lysimeter ... 5.5. Perbaikkan Data LST Mean MODIS ... 5.5.1.Pengaruh Perbaikan Data Tdan dan Tnight Terhadap Ketersediaan Data Evapotranspirasi Potensial Secara Spasial dan Temporal ... 5.5.2 Validasi Data Hasil Perbaikan ...

KESIMPULAN ... SARAN ... DAFTAR PUSTAKA ...

(12)

DAFTAR TABEL No.

1.

2.

3.

4.

Rata-rata persentase harian dari jam siang hari tahunan untuk berbagai lintang ... Indeks ONI (Oceanic Nino Index) sebagai Salah Satu Parameter Terjadinya El Nino dan La Nina ... Persentase Ketersediaan Data pada Hasil Perhitungan Evapotranspirasi Potensial ... Hasil Perbaikan Data Tmean MODIS ...

Halaman

7

28

(13)

DAFTAR GAMBAR No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. 21.

Peta DAS Cimadur, Banten dan Lokasi Pengamatan Lapang ... Hasil Pengamatan Lapang, Citra ALOS AVNIR-2, dan

Citra Google Earth ... Ilustrasi Kombinasi Data Sebelum Perbaikan ... Ilustrasi Kombinasi Data Setelah Perbaikan ... Diagram Alir Penelitian ... Kenampakan Visual LST MODIS day dan night ... Kualitas Data LST MODIS dibandingkan dengan data T Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor Tahun 2008-2010 ... Fluktuasi Suhu Harian Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor Tahun 2008-2010 ... Alat Ukur Suhu Pada Stasiun Klimatologi ... Grafik Perbandingan LST MODIS day dan Suhu Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor pada Berbagai Ketinggian .... Nilai R2 antara LST MODIS day dan T stasiun pada Berbagai Ketinggian ... Grafik Perbandingan LST MODIS night dan Suhu Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor pada Berbagai Ketinggian .... Nilai R2 antara LST MODIS night dan T stasiun pada Berbagai Ketinggian ... Distribusi Evapotranspirasi Potensial Secara Spasial dan Temporal pada Tahun 2008-2011 ... Peta Topografi dan Penggunaan Lahan pada DAS Cimadur, Hasil dari Interpretasi Citra Google Earth dan ALOS AVNIR-2 ... Hubungan antara Elevasi dan LSTmean pada Berbagai Penggunaan Lahan di DAS Cimadur ... Grafik Validasi Estimator Evapotranspirasi dengan panci evaporasi A ... Grafik Validasi Estimator Evapotranspirasi dengan Lysimeter ... Perbaikan Distribusi Spasial dan Temporal Evapotranspirasi Potensial di DAS Cimadur, Banten ... Nilai R2 pada perbaikan data ETo MODIS ...

(14)

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Dalam siklus hidrologi, evapotranspirasi merupakan komponen neraca air terpenting setelah curah hujan. Evapotranspirasi (ET) merupakan jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh adanya pengaruh faktor-faktor iklim dan fisiologis vegetasi (Asdak, 2010). Beberapa faktor iklim yang cukup dominan dalam mempengaruhi terjadinya evapotranspirasi antara lain suhu, radiasi matahari, kelembaban atmosfer, dan angin. Sementara faktor lainnya antara lain faktor vegetasi dan kelembaban tanah. Menurut Asdak (2010), evapotranspirasi potensial lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor iklim. Sedangkan evapotranspirasi aktual lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor fisiologi tanaman dan unsur tanah.

Pengetahuan mengenai evapotranspirasi penting dalam manajemen sumberdaya air, pendugaan hasil tanaman, dan dalam mempelajari hubungan antara perubahan penggunaan lahan dan iklim. Dalam bidang manajemen dan perencanaan irigasi, misalnya, pengetahuan mengenai evapotranspirasi sangat penting terkait kebutuhan konsumtif air oleh tanaman, sehingga berkaitan pula terhadap produksi.

Pada perkembangannya, terdapat beberapa cara pengukuran/perhitungan evapotranspirasi (potensial) secara sederhana, misalnya dengan menggunakan panci evaporasi, atau dengan menggunakan alat ukur Lysimeter. Selain itu, terdapat beberapa persamaan empiris yang sering digunakan dalam perhitungan evapotranspirasi (aktual dan potensial), antara lain metoda Thornthwaite, Blaney-Criddle, Penman, dan lain sebagainya.

(15)

Salah satu masukan data utama yang terdapat dalam metoda Blaney-Criddle adalah suhu udara. Data tersebut bisa didapatkan di stasiun meteorologi dan klimatologi terdekat dengan wilayah penelitian. Data kemudian dikumpulkan sebagai titik-titik contoh dengan distribusi yang jarang menjangkau wilayah dengan kondisi iklim yang bervariasi (Vancutsem et al., 2010), sehingga, informasi spasial tentang suhu udara seringkali menjadi terbatas. Metode interpolasi diantara wilayah-wilayah yang memiliki informasi suhu udara sering digunakan untuk mengisi kekurangan informasi tersebut (Anderson, 2002). Namun demikian, teknik interpolasi berbasis data stasiun dirasakan masih sulit dilakukan untuk kondisi stasiun iklim yang berjauhan dan sering mengalami kurangnya ketersediaan data (Lennon et al., 1995).

Saat ini, kebutuhan akan informasi suhu secara spasial dengan akses data yang mudah dapat dibangun dengan metode yang berbasis penginderaan jauh. Menurut Vancutsem et al. (2010), kemampuan untuk mendapatkan informasi suhu secara spasial dengan data temporal (harian) dan resolusi spasial (1 km) yang tinggi mulai muncul dengan diluncurkannya Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR) yang merupakan bagian dari satelit National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) pada tahun 1981, kemudian diluncurkan Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS) yang dibawa oleh satelit Aqua dan Terra.

Sensor MODIS (Justice et al., 2002) diluncurkan pada tahun 1999 dan 2002. MODIS memiliki sensor multispektral yang terdiri dari 36 kanal, dengan resolusi spasial, 250, 500, dan 1000 m. MODIS merupakan salah satu bagian dari program The United States National Aeronautics and Space Administration (NASA), yang memungkinkan untuk mengamati, meneliti, dan menganalisa daratan, lautan, dan atmosfer.

(16)

LST diperoleh dengan menggunakan sensor yang bisa menangkap kisaran panjang gelombang Thermal Infrared (TIR) pada band 31 (10,78-11,28 µm) dan 32 (11,77-12,27 µm) (Tomlinson et al., 2011).

Maeda et al. (2011) menggunakan data LST MODIS sebagai masukan utama dalam pengembangan model empirik untuk menghitung evapotranspirasi. Penggunaan data penginderaan jauh sebagai masukan data utama dalam pendugaan evapotranspirasi, dapat memberikan keuntungan tersendiri bagi wilayah-wilayah dengan ketersediaan data minim karena dapat memberikan tambahan informasi, seperti albedo, indeks area daun, dan suhu permukaan lahan (Wan, 2008). Suhu permukaan lahan sangat berkaitan dengan vegetasi atau tutupan lahan, albedo, dan kelembaban permukaan yang terdapat di suatu wilayah kajian.

Penelitian ini mencoba mengembangkan metode empirik dengan menggunakan data LST MODIS sebagai masukan utama, pada wilayah dengan ketersediaan data minim. Kajian mengenai evapotranspirasi di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cimadur dirasakan cukup penting karena banyaknya areal persawahan yang terdapat pada DAS Cimadur. Selain itu, terdapat beberapa permasalahan hidrologi pada DAS Cimadur yang diakibatkan oleh ketidak seimbangan neraca air yang terdapat dalam wilayah kajian. Misalnya, kondisi kekeringan yang terjadi di wilayah DAS Ciambulawung, yang merupakan sub DAS dari DAS Cimadur, yang mengakibatkan kekeringan pada sejumlah areal persawahan dan juga tidak berfungsinya mikrohidro pada wilayah tersebut.

1.2 Tujuan

Berdasarkan latar belakang tersebut, penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengkaji model empirik perhitungan evapotranspirasi dengan menggunakan LST MODIS sebagai masukan utama.

2. Mengetahui kapan dan dalam kondisi apa data MODIS dapat digunakan sebagai masukan dalam perhitungan evapotranspirasi.

(17)

1.3 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai hubungan keterkaitan antara data LST MODIS dengan T stasiun klimatologi pada berbagai ketinggian dan waktu pengukuran, serta dapat memberikan informasi terkait kapan dan dalam kondisi apa data penginderaan jauh dapat digunakan sebagai masukan utama perhitungan evapotranspirasi. Selain itu, dengan dikembangkannya model empirik pada perhitungan evapotranspirasi dengan data penginderaan jauh, diharapkan dapat melihat pola penyebaran evapotranspirasi secara spasial dan temporal di wilayah kajian.

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Evapotranspirasi Potensial Standard (ETo)

Evapotranspirasi adalah jumlah air total yang dikembalikan lagi ke atmosfer dari permukaan tanah, badan air, dan vegetasi oleh adanya pengaruh faktor-faktor iklim dan fisiologis vegetasi. Evapotranspirasi merupakan gabungan antara proses-proses evaporasi, intersepsi, dan transpirasi. Evapotranspirasi dibedakan menjadi evapotranspirasi potensial (PET) dan evapotranspirasi aktual (AET). PET umumnya lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor meteorologi, sedangkan AET dipengaruhi oleh faktor fisiologi tanaman dan unsur tanah (Asdak, 2010).

Beberapa faktor yang cukup dominan dalam mempengaruhi PET, antara lain radiasi matahari dan suhu, kelembaban atmosfer dan angin, dan secara umum PET akan meningkat ketika suhu, radiasi matahari, kelembaban, dan kecepatan angin bertambah besar. Menurut FAO, evapotranspirasi potensial dibagi menjadi tiga, yaitu evapotranspirasi standard (Eto), evapotranspirasi tanaman standard (Etc), dan evapotranspirasi tanaman dibawah kondisi yang tidak standard (Etc adj).

(19)

2.2 Perhitungan Evapotranspirasi Potensial : Blaney-Criddle

Pada perkembangannya, perhitungan evapotranspirasi potensial dapat dilakukan dengan cara sederhana, maupun dengan menggunakan persamaan empiris. Secara sederhana, perhitungan evapotranspirasi potensial dapat didekatkan dengan perhitungan nilai evaporasi yang berasal dari Panci evaporasi A, maupun Lysimeter. Pada pengukuran dengan menggunakan panci evaporasi A, diperlukan angka koefisien panci yang harus dievaluasi tingkat ketepatannya. Menurut Kantor Cuaca Nasional Amerika Serikat, standard panci yang umum digunakan adalah Panci Evaporasi Klas A dengan ukuran diameter 122 cm dan kedalaman 25 cm (Lee, 1980). Pada teknik pengukuran evapotranspirasi menggunakan lysimeter, profil tanah, perkembangan akar tanaman, dan kondisi kelembaban tanah harus diusahakan sama antara keadaan di dalam dan di luar lysimeter. Jika kelembaban tanah terus dijaga dalam keadaan basah, maka evapotranspirasi yang diperoleh adalah dalam laju potensial (PET), namun jika dikehendaki evapotranspirasi aktual (AET), maka kelembaban tanah harus dibiarkan berfluktuasi seperti yang terdapat dalam tanah sekelilingnya. Terdapat dua tipe lysimeter yang sering digunakan, yaitu tipe drainase dan tipe timbang (Asdak, 2010).

Menurut Rosenberg et al. (1983), metode persamaan empirik dapat dibagi menjadi tiga, berdasarkan faktor-faktor yang mempengaruhinya, yaitu berdasarkan suhu, berdasarkan suhu dan radiasi, serta berdasarkan kombinasi berbagai faktor. Metode empirik berdasarkan suhu, antara lain persamaan Blaney-Criddle, Thornthwaite, dan Samani-Hargreaves. Berdasarkan suhu dan radiasi, yaitu Jensen Haise. Sedangkan metode kombinasi, antara lain Penman, Priestley Taylor, dan Penman-Monteith. Berdasarkan standard FAO, metode evapotranspirasi standard yang dapat digunakan sebagai referensi, merupakan metode Penman-Monteith. Namun, apabila hanya terdapat masukan data yang minim pada suatu wilayah pengamatan (data suhu saja), maka Blaney-Criddle dapat digunakan untuk perhitungan evapotranspirasi.

Pada metode Blaney-Criddle, besarnya suhu dan persentase harian (lama penyinaran matahari) merupakan masukkan utama. Bentuk persamaan yang digunakan adalah, Doorenbos&Pruit (1977) :

(20)

Eto = p (0,46 Tmean + 8,13) (2.11)

p merupakan rata-rata persentase harian dari jam siang hari tahunan untuk berbagai lintang.

Pada persamaan tersebut, Perhitungan Tmean dilakukan dengan mencari rata-rata Tmax dan Tmin dalam satu bulan, kemudian merata-rata-rata-ratakan Tmax dan Tmin tersebut, untuk kemudian dinyatakan sebagai Tmean/hari dalam satu bulan.

Tmax =

Tmin =

Tmean =

Sementara, nilai p diperoleh berdasarkan tabel (%) persentase harian yang didapatkan dari FAO.

Tabel 2.2.a Rata-rata persentase harian dari jam siang hari tahunan untuk berbagai lintang.

(Sumber:http://www.fao.org/docrep/)

(21)

hasil pengukuran evapotranspirasi pada panci evaporasi A. Metode ini juga direkomendasikan sebagai metode pengukuran evapotranspirasi pada wilayah penelitiannya, khususnya pada metode yang berbasis suhu.

Sementara, Lee et al. (2004) menunjukkan adanya keterkaitan antara metode Blaney-Criddle dan Penman-Monteith sebagai validator. Pada penelitian Lee et al. (2004), kedua metode tersebut berkorelasi cukup kuat dengan nilai koefisien korelasi sebesar 0,55. Wang et al. (2007) juga menyebutkan bahwa, pada musim hujan, pendugaan nilai evapotranspirasi dengan data yang minim (suhu), dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu Blaney-Criddle dan Hagreaves. Keduanya menunjukkan korelasi yang dekat dengan metode Penman-Monteith. Namun, Castaneda et al. (2005) menunjukkan bahwa diantara keempat metode yang ditelitinya (Makkink, Turc, Thronthwaite, dan Criddle), Blaney-Criddle bukanlah metode terbaik yang berkorelasi dengan metode Penman Monteith.

2.3 Potensi Land Surface Temperature (LST) pada Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS)

Land Surface Temperature (LST) merupakan parameter kunci keseimbangan energi pada permukaan dan variabel klimatologis utama. Suhu permukaan lahan mengendalikan flux energi gelombang panjang yang melalui atmosfer. Besar suhu permukaan lahan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu albedo, kelembaban permukaan, dan tutupan/kondisi vegetasi. Data suhu permukaan merupakan input bagi evapotranspirasi, kelembaban udara, kelengasan tanah, neraca energi, dan sebagainya (Prasasti et al., 2007).

Pada perkembangannya, penginderaan jauh untuk mendeteksi suhu permukaan lahan, telah dikembangkan pada beberapa satelit dan sensor, antara lain Advanced Very High Resolution Radiometer (AVHRR), Landsat TM dan ETM+, Geostationary Operational Enviromental Satellite (GOES), Moderate Resolution Imaging Spectroradiometer (MODIS), dan Advanced Spaceborne Thermal Emission and Reflection Radiometer (ASTER) (Tomlinson et al., 2011).

(22)

pada semua kanal) dengan panjang gelombang 0,4 µm-14,4 µm. Selain itu, MODIS memiliki resolusi spasial 250 m untuk kanal 1 dan 2, 500 m untuk kanal 3-7, dan 1 km untuk kanal 8-36. MODIS merupakan sensor multispektral yang dapat menangkap panjang gelombang tampak, infra merah dekat, dan gelombang thermal. Dalam aplikasinya, MODIS dapat digunakan dalam kajian indeks tumbuhan, kelembaban tanah, kadar aerosol di udara, suhu permukaan laut, dan kandungan klorofil laut. MODIS merupakan bagian dari program jangka panjang National Aeronatics and Space Administration (NASA) untuk mengamati, meneliti, dan menganalisa lahan, lautan, atmosfer bumi, dan interaksi antara faktor-faktor tersebut.

Salah satu produk MODIS yang dapat mendeteksi suhu permukaan lahan/LST adalah MOD11A2 (dari satelit Terra untuk pengukuran data suhu 8 harian) dan MYD11A2 (dari satelit Aqua untuk pengukuran data suhu 8 harian) (modis.gsfc.nasa.gov). Dalam mendeteksi suhu permukaan lahan/LST, MODIS menggunakan thermal infrared yang terdapat pada kanal 31 (10,78-11,28 µm) dan 32 (11,77-12,27 µm). Pada penggunaannya, terdapat keterbatasan yang cukup serius dari satelit thermal infrared, yaitu pengambilan area bebas awan untuk menghasilkan hasil yang akurat, sehingga citra komposit dari berbagai lintasan sering digunakan untuk membangun citra tanpa keterbatasan tutupan awan, atau algoritma juga dapat digunakan untuk pendugaan pixel. Efek dari hal tersebut adalah perbedaan musim yang akan berpengaruh terhadap ketersediaan citra dan akurasi (meningkatnya tutupan awan dan hujan menyebabkan basahnya permukaan sehingga membuat pengukuran LST tidak masuk akal) (Tomlinson et al., 2011).

(23)

et al. (2010), terdapat beberapa hal yang menyebabkan terjadinya perbedaan antara nilai LST dengan nilai Tmin pada stasiun, yaitu kontaminasi awan, efek angular anistropi, dan perbedaan skala spasial (titik vs rataan areal).

(24)

3.1 Lokasi dan Wakt Penelitian ini Pengamatan lapang Ciambulawung, yan Pengamatan lapang, l salah satu unit analis Penginderaan Jauh Sumberdaya Lahan, I

a). Peta DAS Cim

Gambar 3.1.a Peta D

3.2 Alat dan Bahan Alat yang dig Positioning System ( software ArcGIS 9.3 s

BAB III

METODE PENELITIAN aktu

ini dilaksanakan sejak bulan Juli hingga g dilakukan pada tanggal 25-26 Juli ang merupakan sub DAS dari DAS Cim

, lebih difokuskan pada pengamatan penggunaa lisis. Setelah itu, dilakukan pengolahan data di uh dan Informasi Spasial, Departemen Ilm

n, Institut Pertanian Bogor.

imadur, Banten b). Lokasi Pengama

DAS Cimadur, Banten (a) dan Lokasi Pengama

digunakan selama penelitian adalah alat tulis, (GPS) dan seperangkat komputer yang dil 9.3 serta ENVI 4.5.

ga Januari 2012. 2011 di DAS imadur, Banten. aan lahan sebagai a di Laboratorium Ilmu Tanah dan

atan Lapang

matan Lapang (b).

(25)

Bahan yang digunakan berupa data-data spasial dan data atribut. Data spasial berupa peta batas wilayah DAS Cimadur, peta penggunaan lahan DAS Cimadur, peta digital RBI (Rupa Bumi Indonesia) skala 1:25.000, citra Google Earth, citra ALOS AVNIR-2, serta citra MODIS tahun 2008, 2009, 2010 dan 2011. Sedangkan data atribut yang digunakan adalah data suhu udara di Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor dalam berbagai ketinggian dan waktu pengukuran; data lysimeter tahun 2011 di Stasiun Klimatologi Darmaga; data panci evaporasi A di Stasiun Iklim Baranangsiang.

3.3 Jenis dan Teknik Pengambilan Data 3.3.1 Data Spasial

Data spasial yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra MODIS tahun 2008, 2009, 2010, dan 2011 yang didapatkan dari http://ladsweb.nascom.nasa.gov. Citra MODIS yang digunakan dalam penelitian ini merupakan citra MODIS dari satelit Terra MOD11A2 yang mengukur suhu permukaan lahan dengan resolusi spasial 1 km pada akuisisi 8 harian. MODIS dipilih sebagai masukan utama pengukuran suhu karena memiliki resolusi spasial, spektral dan temporal yang cukup baik dibandingkan sensor lainnya. Akuisisi data MODIS yang dilakukan dua kali sehari dapat memberikan masukan pengganti nilai Tmax dan Tmin untuk perhitungan Tmean, pada persamaan evapotranspirasi yang digunakan. Selain itu, penggunaan citra MODIS dilakukan sebagai optimalisasi dari tujuan diluncurkannnya satelit MODIS, yaitu penyedia data untuk proses pengkajian global tentang atmosfer, daratan, dan lautan.

Batas wilayah DAS Cimadur ditentukan berdasarkan aliran sungai utama dan batas-batas topografi yang diturunkan dari peta kontur digital RBI skala 1:25.000. Peta batas DAS Cimadur tersebut selanjutnya digunakan sebagai batas dalam pembuatan peta penggunaan lahan dan penyajian peta evapotranspirasi.

(26)

menjadi sawah, pemukiman, semak/tegalan, kebun campuran, hutan, dan tanah terbuka. Hasil pengamatan lapang, disesuaikan dengan penampakan pada citra, untuk memudahkan proses klasifikasi penggunaan lahan tersebut.

3.3.2 Data Atribut

Data atribut yang diambil dalam penelitian ini berupa data suhu udara yang didapatkan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor. Data suhu yang digunakan dalam penelitian ini adalah rataan suhu harian stasiun klimatologi Darmaga, Bogor pada berbagai tahun pengamatan (tahun 2008, 2009, 2010), suhu harian stasiun klimatologi Darmaga, Bogor tahun 2011 dengan waktu pengamatan pukul 07.00, 07.10, 13.00, dan 13.50 WIB; dan berbagai ketinggian (5 cm, 100 cm, dan 120 cm). Selain itu, sebagai validator, digunakan data lysimeter pada tahun 2009 yang didapatkan dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika Stasiun Klimatologi Darmaga Bogor, dan data panci evaporasi A yang didapatkan dari Stasiun Klimatologi Baranangsiang FMIPA IPB, sejak tahun 2008-2010.

3.4 Tahapan Penelitian

3.4.1 Pembuatan Peta Batas DAS Cimadur

Peta batas DAS Cimadur dibuat dengan menggunakan software ArcGIS 9.3 dengan mempertimbangkan sungai utama yang mengalir pada wilayah pengamatan lapang, yaitu DAS Ciambulawung. Selain itu, diperhatikan pula batas-batas topografi yang terdapat di sekitar sungai utama tersebut. Hal tersebut dilakukan sesuai dengan definisi DAS yang merupakan suatu hamparan wilayah/kawasan yang dibatasi oleh pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan, sedimen dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan keluar pada sungai utama ke laut atau danau.

(27)

3.4.2 Pembuatan Pet Peta pengguna dengan melakukan di yang berfungsi sebaga tertutup awan. Adapun lahan tersebut dibed campuran, hutan, da tersebut, kemudian di tingkat ketepatan yang

a). Pengamata

c). C

Gambar 3.4.2.a Hasi Citr

eta Penggunaan Lahan DAS Cimadur unaan lahan dibuat dengan menggunakan softw n digitasi terhadap citra google earth dan citra A bagai citra komposit apabila kenampakan pada c pun klasifikasi penggunaan lahan di dalam pe bedakan menjadi sawah, pemukiman, semak/

dan tanah terbuka. Proses klasifikasi dari pe n disesuaikan dengan hasil pengamatan lapang a

ang lebih baik terhadap peta penggunaan lahan

tan Lapang

b). Citra ALO

). Citra Google Earth

sil Pengamatan Lapang (a), Citra ALOS AV itra Google Earth (c).

oftware ArcGIS 9.3 ALOS AVNIR-2, citra google earth peta penggunaan ak/tegalan, kebun penampakan citra agar memberikan n yang dibuat.

OS AVNIR-2

(28)

3.4.3 Koreksi Geometrik, Ekstraksi Data LST dan Layer Stacking

Seluruh proses analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan software Envi 4.5, diawali dengan melakukan download data MODIS MOD11A2 yang didapatkan dari http://ladsweb.nascom.nasa.gov. MOD11A2 merupakan salah satu produk Land Surface Temperature (LST) yang dimiliki oleh MODIS. Produk tersebut merupakan periode komposit 8 harian, yang merupakaan rataan 8 hari dari produk MOD11A1 (produk harian LST MODIS). Pada penggunaannya, untuk periode analisis selama 1 tahun, membutuhkan sedikitnya 3 hingga 4 data LST MOD11A2.

Hasil download produk LST MODIS tersebut tersimpan dalam format data Hierarchical Data Format-Earth Observing System (HDF-EOS). Selanjutnya, dengan tool tambahan berupa MODIS Conversion Toolkit, format file tersebut kemudian diubah menjadi format (img), sekaligus dilakukan tahap koreksi geometrik sistematik. Koreksi geometrik sistematik merupakan proses proyeksi koordinat citra agar sesuai dengan koordinat peta dunia yang sesungguhnya. Pada tahap ini, koordinat citra diubah menjadi Geographic Lat/Lon WGS 84 dengan unit degree.

(29)

3.4.4 Validasi Data LST MODIS dan Suhu Stasiun Iklim

Validasi data LST MODIS dilakukan untuk mengetahui bagaimana hubungan antara suhu yang terukur pada LST MODIS dengan suhu udara yang terukur pada stasiun klimatologi, serta pada ketinggian berapa data LST MODIS dapat mengestimasi suhu udara stasiun iklim. Pada tahap awal validasi, dianalisis juga kualitas dan ketersediaan data LST MODIS pada tahun 2008-2010 (gambar 5.1.2.a). Pada tahap ini, dibandingkan nilai Tmean stasiun iklim pada ketinggian 120 cm dengan nilai LST mean (rataan LST day dan LST night). Selanjutnya, hasil analisis tersebut menjadi acuan bulan pada validasi data LST MODIS tahun 2011.

Validasi suhu dilakukan pada berbagai ketinggian sangkar meteo (5 cm, 100 cm, dan 120 cm) dan juga pada jam pengamatan tertentu (pukul 07.00, 07.10, 13.00 dan 13.50 WIB). Hasil validasi ditampilkan dalam grafik hubungan data LST MODIS dengan data stasiun klimatologi pada berbagai ketinggian dan waktu (sub bab 5.2.2.1).

3.4.5 Perhitungan Tmean dan P

Suhu rata-rata (Tmean) yang terdapat pada rumus Blaney Criddle merupakan suhu rata-rata maksimum dan minimum harian selama satu bulan. Perhitungan Tmean dilakukan dengan mencari rata-rata Tmax dan Tmin dalam satu bulan, kemudian merata-ratakan Tmax dan Tmin tersebut, untuk kemudian dinyatakan sebagai Tmean/hari dalam satu bulan.

Tmax =

Tmin =

Tmean =

(30)

mean/hari/bulan. Pada tahapan ini, proses kalkulasi setiap pixel dilakukan dengan fitur Band Math dalam software Envi 4.5.

P merupakan rata-rata persentase harian dari jam siang hari tahunan yang terdapat pada berbagai lintang. Nilai P didapatkan berdasarkan tabel yang didapatkan dari FAO (tabel 2.2.a).

3.4.6 Perhitungan Evapotranspirasi dengan metode Blaney Criddle

Setelah nilai Tmean dan nilai P didapatkan, selanjutnya, dilakukan perhitungan menurut persamaan Blaney-Criddle. Persamaan umum yang digunakan adalah Doorenbos&Pruit (1977) :

Eto = p (0,46 Tmean + 8,13) (3.3.3.4.a)

Persamaan tersebut diatas merupakan persamaan dalam perhitungan evapotranspirasi potensial standar (ETo), sehingga nilai evapotranspirasi yang dihasilkan adalah nilai evapotranspirasi dimana faktor iklim (suhu) mendominasi terhadap hasil perhitungan, dan dengan asumsi tanaman dalam kondisi standar (pertumbuhan seragam, sempurna dengan tinggi antara 8-15 cm, dan dalam kondisi air, tanah, lingkungan yang mendukung terhadap pertumbuhan tanaman tersebut).

Seperti pada tahapan sebelumnya, kalkulasi matematis dilakukan dengan menggunakan Band Math yang terdapat dalam fitur Basic Tools. Selanjutnya, dilakukan proses pemotongan citra dengan melakukan masking citra berdasar peta batas DAS Cimadur yang telah dikonversi dari format (shp) menjadi (evf), yaitu format yang dapat dibaca oleh Envi 4.5.

3.4.7 Validasi Estimator Evapotranspirasi

(31)

3.4.8 Perbaikan Data Evapotranspirasi pada citra MODIS

Perbaikan data evapotranspirasi yang dihasilkan berdasarkan perhitungan LST MODIS, dilakukan untuk memperbaiki kondisi pixel-pixel yang mengandung cukup banyak ‘missing data’. Perbaikan data evapotranspirasi dilakukan dengan menyeleksi data LST MODIS 8 harian yang memiliki ketersediaan data LST day dan LST night yang lebih baik dibandingkan data lainnya. Sehingga, kombinasi data-data tersebut dapat memberikan ketersediaan data untuk LST mean yang lebih baik. Apabila dilakukan seleksi terhadap data-data tersebut, maka kebutuhan untuk kombinasi data-data dengan ketersediaan terbaik, bisa terdiri dari 1-4 data (Gambar 3.4.8.a dan 3.4.8.b). Selanjutnya, nilai evapotranspirasi kembali dihitung dengan menggunakan rumus Blaney-Criddle. Validasi data evapotranspirasi (dengan perbaikan dan tanpa perbaikan), dilakukan untuk mengetahui nilai R2 dan hubungan kedua data tersebut.

(32)
(33)
[image:33.595.104.514.76.497.2]

Gambar 3.4.8.b. Ilustrasi Kombinasi Data Setelah Perbaikan.

(34)
[image:34.842.78.681.112.480.2]

3.5. Diagram Alir Penelitian

(35)
(36)

BAB IV

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1 Batas Administrasi Kabupaten Lebak, Banten

Kabupaten Lebak merupakan salah satu kabupaten yang terdapat di provinsi Banten dengan Ibukota Rangkasbitung. Kabupaten Lebak terletak antara 6018’-7000’LS dan 105025’-106030’BT dengan luas wilayah 304.472 Ha (3.044,72 Km2) yang terdiri dari 28 Kecamatan dengan 340 desa dan 5 kelurahan. Berikut merupakan batas administratif Kabupaten Lebak :

Sebelah utara : Kabupaten Serang dan Kabupaten Tangerang Sebelah Selatan : Samudra Hindia

Sebelah Barat : Kabupaten Pandeglang Sebelah Timur : Jawa Barat

(http://www.lebakkab.go.id).

4.2 Kondisi Topografi Wilayah

Kabupaten Lebak secara topografi memiliki 3 (tiga) karakteristik ketinggian dari permukaan laut, yaitu:

1. 0 - 200 Meter, untuk wilayah sepanjang Pantai Selatan. 2. 201 - 500 Meter, untuk wilayah Lebak Tengah.

3. 501 - 1000 Meter, untuk wilayah Lebak Timur dengan puncaknya yaitu Gn. Sanggabuana dan Gn. Halimun.

Ketinggian dari permukaan laut setiap Ibu Kota Kecamatan di Kabupaten Lebak sangat beragam, yang tertinggi adalah Kecamatan Muncang dan Sobang (260 meter), yang terendah Kecamatan Bayah dan Cihara (3 meter) (http://www.lebakkab.go.id).

4.3 Kondisi Hidrologi Wilayah

(37)

51

Sungai Ciberang, dan Sungai Cisimeut, (2) DAS Ciliman dan Cimadur yang meliputi Sungai Ciliman dengan anak sungainya, Sungai Cimadur, Sungai Cibareno, Sungai Cisiih, Sungai Cihara, Sungai Cipager, dan Sungai Cibaliung (http://www.lebakkab.go.id).

4.4 Permasalahan Hidrologi pada DAS Cimadur

Sebagai bagian dari Kabupaten Lebak, DAS Cimadur juga turut berkontribusi terhadap kejadian banjir yang berlangsung selama musim hujan dan kekeringan pada musim kemarau, yang terjadi di wilayah tersebut. Hal ini dibuktikan dengan kondisi kekeringan yang terjadi pada wilayah pengamatan lapang, yaitu DAS Ciambulawuung, yang merupakan sub DAS Cimadur, yang mengalami kekeringan sehingga menghambat pengairan pada areal persawahan serta tidak berfungsinya mikrohidro di wilayah tersebut. Selain permasalahan banjir dan kekeringan, di Sungai Cimadur (Kecamatan Bayah), ribuan ikan ditemukan mati akibat pencemaran sungai oleh limbah pengolahan lumpur emas yang terdapat pada wilayah tersebut.

(38)

BAB V

HASIL DAN PEMBAHASAN

5.1 Karakteristik Data Land Surface Temperature (LST) MODIS pada Wilayah Penelitian

5.1.1 Gambaran Umum Data Land Surface Temperature (LST) MODIS LST MODIS merupakan suatu rangkaian produk yang melewati berbagai proses yang meliputi transformasi secara spasial dan temporal, untuk kemudian menjadi suatu produk data global harian, 8 harian, serta bulanan. LST MODIS memiliki 7 produk data LST yang memiliki resolusi spasial sebesar 1 km arah nadir dan tutupan nominal 2030 atau 2040 garis (sepanjang track, sekitar 5 menit perekaman MODIS) dengan 1354 pixel tiap garisnya. Level data produk LST antara lain : Level 1B (L1B) merupakan scene data MODIS yang bergeolokasi di sekitar pusat lintang dan bujur dengan resolusi pixel 1 km; Produk level 2 (L2) yaitu produk geofisik dengan lintang dan bujur sebagai orientasi, dan tidak digunakan secara spasial dan temporal; dan produk level 3 (L3) yang merupakan produk geofisik yang digunakan secara spasial dan temporal, dan biasanya merupakan format jaringan proyeksi peta dalam bentuk ‘tiles’ (Wan, 2007).

Pada penelitian ini, MOD11A2 merupakan produk level 3 (L3) LST MODIS, dengan resolusi spasial 1 km, resolusi temporal 8 harian, dan proyeksi peta sinusoidal. MOD11A2 tersebut merupakan produk LST 8 harian yang didapat dengan merata-ratakan dua hingga delapan harian produk MOD11A1. Menurut Vancutsem et al. (2010), produk MOD11A2 lebih baik apabila digunakan sebagai parameter suhu permukaan daratan karena variabilitasnya yang lebih rendah terhadap data stasiun, jika dibandingkan dengan variabilitas pada MOD11A1. Sehingga, pada penelitian ini, parameter suhu permukaan daratan didapatkan dari data LST MOD11A2.

(39)

53

permukaan daratan yang diestimasi oleh MODIS. Sementara, warna hitam menunjukkan kondisi no data area. Kondisi no data area akan tercapai apabila suatu wilayah tertentu merupakan wilayah lautan, atau wilayah yang terkontaminasi oleh tutupan awan dan kondisi cuaca yang buruk.

a). LST day MODIS

[image:39.595.110.450.145.797.2]

b). LST night MODIS

Gambar 5.1.1.a Kenampakan Visual LST MODIS day (a) dan night (b).

5.1.2 Kualitas dan Ketersediaan Data LST MODIS tahun 2008-2010 Secara Spasial dan Temporal

(40)

dengan dilakukannya perbandingan pada stasiun klimatologi Darmaga, Bogor maka hasil perbandingan tersebut juga akan memberikan korelasi yang sama terhadap wilayah penelitian.

Nilai LST mean (rata-rata) didapatkan dengan merata-ratakan nilai LST day dan LST night delapan harian. Selanjutnya, nilai suhu (T) rataan delapan harian dari stasiun klimatologi (Staklim), dibandingkan dengan nilai LST rataan delapan harian MODIS dan disajikan dalam Gambar 5.1.2.a.

Berdasarkan Gambar 5.1.2.a, terlihat bahwa data LST MODIS umumnya tersedia cukup baik pada bulan-bulan tertentu, seperti bulan Mei hingga September. Ketersediaannya pada awal tahun dan akhir tahun umumnya semakin buruk. Diantara ketiga data tahun tersebut, terlihat bahwa tahun 2008 memberikan korelasi yang cukup baik antara data LST MODIS dan data suhu stasiun iklim. Namun, pada bulan dan hari tertentu, terdapat data LST MODIS yang menyimpang hingga hampir 20C dibandingkan data stasiun iklim. Perbedaan tersebut kemungkinan dipengaruhi oleh fluktuasi cuaca serta faktor perbedaan skala (titik vs areal).

Tahun 2009 memberikan pola data LST mean yang cenderung lebih rendah dari data suhu stasiun pada bulan Mei hingga Juli. Namun, pada bulan Agustus hingga Oktober, data LST mean menunjukkan kondisi sebaliknya, yaitu data LST menjadi lebih tinggi dibandingkan data suhu stasiun. Ketersediaan data yang terdapat pada tahun 2009 tergolong cukup baik dibandingkan ketersediaan data pada tahun 2008 dan 2010. Tahun 2010 merupakan tahun dengan ketersediaan dan kualitas data LST paling buruk dibandingkan ketiga tahun lainnya. Gambar 5.1.2.a menunjukkan bahwa hanya terdapat beberapa titik LST yang tersedia sepanjang tahun 2010.

(41)

55

[image:41.595.113.485.121.436.2]

kekuatan El Nino dan La Nina dibagi menjadi 3, yaitu lemah (antara 0,5 sampai 0,9), sedang (1-1,4), dan kuat (≥ 1,5).

Gambar 5.1.2.a Kualitas Data LST MODIS dibandingkan dengan data T Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor Tahun 2008-2010.

Pada tabel 5.1.2.b terlihat bahwa pada awal tahun 2009, kondisi iklim cenderung normal. Sementara menuju akhir tahun 2009, terdapat fenomena El Nino yang semakin menguat. Fenomena El Nino yang identik dengan kekeringan, akan berpengaruh terhadap estimasi data LST MODIS. Pengambilan data LST MODIS yang dilakukan pada siang hari (LSTday) umumnya memiliki akurasi yang lebih rendah dibandingkan pada malam hari (LSTnight). Sehingga, nilai LST yang diestimasi MODIS dapat menjadi lebih tinggi dibandingkan kondisi sebenarnya.

Puncak El Nino mengakibatkan akurasi LSTday menjadi lebih rendah. Hal ini kemungkinan dipengaruhi oleh kontribusi atmosfer lokal seperti iradiasi, dan lain-lain. Sementara, pada pengukuran LST night, hanya terdapat pancaran iradiasi dengan gangguan atmosfer yang minimum. Akibatnya, terdapat perbedaan nilai LSTday yang cukup besar dan akhirnya mempengaruhi nilai rata-rata LST.

(42)

Ketersediaan data yang minim pada tahun 2010, dapat pula dikaitkan dengan fenomena El Nino dan La Nina. Pada Tabel 5.1.2.b, terlihat bahwa sepanjang tahun 2010, terjadi fenomena El Nino pada awal tahun, yang kemudian diikuti dengan fenomena La Nina pada akhir tahun. Sehingga, hal tersebut memberikan kontribusi terhadap minimnya ketersediaan data LST yang diestimasi oleh MODIS.

Tabel 5.1.2.b. Indeks ONI (Oceanic Nino Index) sebagai Salah Satu Parameter Terjadinya El Nino dan La Nina.

Sumber : http://www.cpc.ncep.noaa.gov/products/analysis_monitoring/ensostuff/ensoyears.shtml

Namun secara umum, ketersediaan data yang minim pada awal tahun dan akhir tahun sepanjang 2008-2010, diduga terkait oleh perbedaan musim. Menurut Tomlinson et al. (2011) perbedaan musim akan berpengaruh terhadap ketersediaan citra (meningkatnya tutupan awan) dan akurasi (meningkatnya hujan akan menyebabkan basahnya permukaan sehingga membuat pengukuran LST menjadi bias).

5.2 Hasil Validasi Nilai LST MODIS dengan Nilai Suhu (T) pada Stasiun Iklim

5.2.1 Pola Suhu Harian Darmaga pada Tahun 2008-2010

(43)

57

Tahapan validasi data MODIS diawali dengan melihat pola suhu harian yang terdapat pada stasiun klimatologi Darmaga. Hal ini bertujuan untuk melihat pola suhu udara Bogor pada tahun 2008-2010 dan peristiwa iklim yang mungkin terjadi pada tahun-tahun tersebut. Berdasarkan grafik yang ditampilkan pada Gambar 5.2.1.a, terlihat bahwa suhu udara pada tahun 2008-2010 memiliki pola yang berbeda-beda setiap tahunnya.

Tahun 2008, misalnya, memiliki suhu udara yang tergolong cukup rendah dibandingkan suhu udara pada tahun 2009 dan 2010, khususnya pada bulan Februari hingga Maret. Tahun 2009, bulan-bulan dengan suhu tertinggi berada sekitar bulan Agustus hingga November. Sedangkan pada tahun 2010, suhu tertinggi terdapat pada bulan April hingga Mei.

Jika Gambar 5.2.1.a tersebut kemudian dibandingkan kembali dengan Tabel 5.1.2.a, terlihat bahwa penurunan suhu udara yang terjadi pada awal-awal tahun pada tahun 2008, terjadi akibat fenomena La Nina yang berlangsung dengan kekuatan sedang. Curah hujan tinggi yang berlangsung pada awal tahun 2008 menyebabkan suhu udara harian yang terukur menjadi lebih rendah dibandingkan bulan-bulan lainnya pada tahun tersebut.

Untuk tahun 2009, terlihat bahwa ketika fenomena El Nino berlangsung semakin menguat pada akhir-akhir tahun, maka suhu udara kemudian meningkat menjadi lebih tinggi pada akhir tahun tersebut. Hal ini juga ditunjukkan dengan pengaruh El Nino yang terjadi pada tahun 2010 (April-Mei). Tahun 2010 merupakan tahun yang cukup kompleks pada terjadinya fenomena El Nino dan La Nina. Terlihat bahwa suhu udara yang semakin menurun pada akhir tahun 2010, disebabkan oleh munculnya fenomena La Nina yang kemudian semakin menguat.

Secara umum, Gambar 5.2.1.a menunjukkan bahwa walaupun fluktuasi suhu udara yang terjadi pada setiap tahun pengamatan memiliki pola yang berbeda-beda, masih terdapat korelasi yang cukup stabil diantara ketiga tahun tersebut pada bulan-bulan tertentu. Grafik menunjukkan bahwa korelasi yang cukup stabil umumnya terjadi pada bulan Juni hingga Agustus. Sementara, pada bulan-bulan lainnya cenderung bervariasi akibat kemarau yang cukup tinggi ataupun puncak musim hujan.

(44)

Gambar 5.2.1.a. Fluktuasi Suhu Harian Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor Tahun 2008-2010.

5.2.2 Hasil Validasi Data LST MODIS Tahun 2011 dan Data Suhu (T) Stasiun Klimatologi pada Berbagai Ketinggian dan Waktu

Berdasarkan hasil analisis pola suhu harian Stasiun Darmaga, Bogor dan analisis ketersediaan serta kualitas data LST MODIS tahun 2008-2010, terlihat bahwa data LST MODIS tersedia cukup baik pada bulan-bulan kering (musim kemarau), yaitu sekitar bulan April hingga September. Sementara, pada bulan lainnya, terutama bulan-bulan basah, ketersediaan data MODIS cenderung minim dan bahkan tidak ada. Dengan demikian, validasi data LST MODIS hanya dilakukan pada bulan April hingga September.

Tahun 2011 dipilih sebagai tahun validasi karena belum tersedianya data suhu pada berbagai ketinggian pada tahun 2008-2010. Validasi yang dilakukan pada berbagai ketinggian bertujuan untuk mengkaji sensitivitas nilai LST yang MODIS terhadap nilai stasiun iklim, dan pada ketinggian berapa nilai LST tersebut bersesuaian dengan suhu permukaan lahan.

Validasi yang dilakukan pada berbagai waktu bertujuan untuk mencari hubungan antara LSTday dan LSTnight pada MODIS, dengan Tmax dan Tmin yang terukur pada stasiun klimatologi. Sebelumnya, penelitian Maeda et al. (2011) di Kenya dan Vancutsem et al. (2010) di Afrika, menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang cukup dekat antara LST night yang terukur pada MODIS dengan T min pada stasiun klimatologi, dan juga LST day pada MODIS dengan Tmax pada stasiun klimatologi.

Fluktuasi Suhu Harian

Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor Tahun 2008-2010 23.0 24.0 25.0 26.0 27.0 28.0 29.0 Bulan T e m p e ra tu re ( C ) TAHUN 2008 TAHUN 2009 TAHUN 2010

[image:44.595.98.516.83.511.2]
(45)

59

5.2.2.1 Hasil Validasi Data LST MODIS day Tahun 2011 dan Data Suhu (T) Stasiun Klimatologi pada Berbagai Ketinggian.

Stasiun klimatologi Darmaga, Bogor memiliki beberapa stasiun agroklimat yang digunakan untuk mengukur suhu dan kelembaban udara pada berbagai ketinggian. Stasiun AGM-1C tersebut terutama diperuntukkan untuk keperluan data terkait bidang pertanian. Beberapa ketinggian yang diukur pada stasiun AGM-1C antara lain adalah 5 cm, 10 cm, 15 cm, 30 cm, 50 cm, 150 cm, dan 200 cm. Pada stasiun ini, pengukuran suhu dilakukan dengan menggunakan termometer Physchrometer Assman. Pengukuran dilakukan dua kali dalam sehari, yaitu pada pukul 07.10 dan 13.50 WIB.

Sedangkan pengukuran suhu harian rata-rata yang umum digunakan dan diberikan kepada pengguna, merupakan pengukuran suhu rata-rata harian yang berasal dari sangkar meteo, dengan menggunakan termometer bola kering (sesuai dengan standar World Meteorology Organization). Suhu harian rata-rata tersebut diukur pada ketinggian sangkar meteo 120 cm dan pada rataan pengukuran waktu tertentu yaitu pukul 07.00 (dua kali), 13.00, dan 18.00 WIB.

Berdasarkan hal tersebut, maka suhu harian yang dibandingkan dengan data LST MODIS merupakan suhu yang berasal dari stasiun AGM-1C pada ketinggian 5 cm dan 100cm, serta suhu yang berasal dari sangkar meteo 120 cm (sebagai sumber data yang umum digunakan oleh pengguna). Sedangkan, waktu pengambilan data dilakukan pada Tmax (pukul 13.00 WIB untuk T pada sangkar meteo, dan pukul 13.50 WIB untuk T pada stasiun AGM 1-C), untuk kemudian dibandingkan dengan LST MODIS day yang diukur pada waktu lokal solar 10.30.

(46)

a). Sang

Gambar 5.2.2.1.a Ala

Gambar 5.2.2.1.b iklim, pengukuran suhu beda walaupun memb stasiun yang ditunjukka hanya pada Julian D dibandingkan dengan berhimpit pada bulan bulan terlihat masih m disebutkan pada sub stasiun, dapat terjadi anistropi yang bisa bayangan pada pengukur al., 2010).

ngkar Meteo b). Termometer Bola Bas

Sumber: www.jsec.com.sg c). Phsychrometer Assman lat Ukur Suhu Pada Stasiun Klimatologi.

5.2.2.1.b menunjukkan bahwa pada berbagai ke suhu pada siang hari ternyata memiliki fluktuas

bentuk pola yang cenderung mirip satu sama unjukkan pada gambar 5.2.2.1.b, cenderung s Days awal. Jika garis antar stasiun iklim ter an garis LST, terlihat bahwa garis LST, han bulan-bulan tertentu saja. Sedangkan fluktuasin h menyimpang cukup jauh ( 2 hingga 30C). Se ub bab sebelumnya, bahwa penyimpangan di akibat kondisi cuaca, faktor skala, dan ju a menyebabkan tingginya nilai pantulan, baur

gukuran di siang hari (Tomlinson et al., 2011;

asah-Kering

ketinggian stasiun uasi yang

(47)

61

[image:47.595.108.512.71.702.2]

Gambar 5.2.2.1.b Grafik Perbandingan LST MODIS day dan Suhu Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor pada Berbagai Ketinggian.

Gambar 5.2.2.1.c juga menunjukkan bahwa hubungan terdekat antara LST MODIS day dengan T stasiun, diperoleh T stasiun pada ketinggian 5 cm dengan nilai R2 sebesar 0,362. Sementara itu, R2 antara LST MODIS day dan T stasiun 100 cm adalah 0,304. Sedangkan nilai R2 terkecil didapatkan dari hubungan antara LST MODIS day dan T stasiun 120 cm, yaitu 0,277. Terlihat bahwa nilai LST day pada data MODIS lebih erat kaitannya pada T stasiun dengan ketinggian 5 cm, walaupun secara umum, perbedaan antara ketiga ketinggian tersebut tidak menghasilkan nilai R2 yang jauh berbeda.

a). LSTday-T5 b). LSTday-T100 c). LSTday-T120

Gambar 5.2.2.1.c Nilai R2 antara LST MODIS day dan T stasiun pada Berbagai Ketinggian.

5.2.2.2 Hasil Validasi Data LST MODIS night Tahun 2011 dan Data Stasiun Klimatologi pada Berbagai Ketinggian.

(48)

stasiun pada ketinggian 5, 100, dan 120 cm pada pukul 07.00 WIB (untuk pengukuran T sangkar meteo) dan 07.10 WIB (untuk pengukuran T pada stasiun AGM-1C), dengan LST MODIS night pada waktu akuisisi 22.30 waktu lokal solar.

Gambar 5.2.2.2.a Grafik Perbandingan LST MODIS night dan Suhu Stasiun Klimatologi Darmaga, Bogor pada Berbagai Ketinggian.

Gambar 5.2.2.2.a menunjukkan bahwa pada pengukuran suhu minimum, terdapat hubungan yang cukup dekat antara stasiun pada ketinggian 5 cm dan 100 cm. Sementara itu, pada stasiun dengan ketinggian 120 cm, terdapat perbedaan pengukuran suhu hingga mencapai 20C jika dibandingkan dengan kedua nilai suhu lainnya. Hal tersebut mengindikasikan adanya perbedaan nilai yang disebabkan oleh perbedaan alat ukur pengukuran suhu udara.

Jika dibandingkan antara nilai LST night dengan nilai T stasiun, terlihat bahwa garis LST night cenderung berhimpit pada pengukuran T stasiun 120 cm. Hal ini tentu berbeda dengan kondisi pada LST day, yang cenderung mendekati nilai Tstasiun pada ketinggian 5 cm. Terdapat dua asumsi terkait perbedaan nilai tersebut. Asumsi pertama, jika nilai LST MODIS berada pada ketinggian 5 cm, maka perbedaan ini disebabkan oleh perbedaan waktu akuisisi data dan pengambilan data T stasiun. Pada LST MODIS night, pengambilan data dilakukan pada pukul 22.30 waktu lokal solar. Sementara, pada T stasiun, pengambilan data dilakukan pada pukul 07.00 WIB. Dengan demikian, nilai Tmin yang dimaksud pada LST MODIS night, menjadi terlihat lebih setara dengan pengukuran T stasiun pada ketinggian 120 cm.

[image:48.595.110.495.86.510.2]
(49)

63

pada ketinggian 120 cm. Sementara, hubungan antara nilai LST day yang tidak terlalu erat dengan T stasiun pada ketinggian 120 cm, lebih disebabkan oleh besarnya bias yang terjadi pada pengukuran siang hari oleh sensor MODIS. Pada asumsi kedua ini, bias waktu kurang dipertimbangkan.

[image:49.595.108.523.177.392.2]

a). LSTnight-T5 b). LSTnight-T100 c). LSTnight-T120

Gambar 5.2.2.2.b Nilai R2 antara LST MODIS night dan T stasiun pada Berbagai Ketinggian.

Sementara, analisis regresi (Gambar 5.2.2.2.b) menunjukkan bahwa R2 terbesar ditunjukkan pada ketinggian 100 cm. Nilai R2 pada ketinggian tersebut adalah 0,567. Selanjutnya, nilai R2 terbesar kedua didapatkan dari ketinggian 5 cm, yaitu 0,442. Pada ketinggian 120 cm, yang justru terlihat lebih dekat dengan LST MODIS night, ternyata hanya memiliki nilai R2 sebesar 0,283. Hal ini disebabkan oleh fluktuasi nilai LST MODIS night yang pada beberapa titik cenderung lebih tinggi atau lebih rendah. Sehingga, walaupun garis LST MODIS night cenderung berhimpitan dengan T pada ketinggian 120 cm, nilai R2 yang dihasilkannya akan menjadi lebih kecil.

5.3 Perhitungan Evapotranspirasi dengan metode Blaney-Criddle 5.3.1 Ketersediaan Data Evapotranspirasi Secara Spasial dan Temporal

(50)

dan akhir tahun dari keempat tahun pengamatan, memiliki 0% ketersediaan data pada wilayah penelitian (tabel 5.3.1.a).

Pada tahun 2008, terdapat 0% ketersediaan data pada bulan Januari, Februari, Maret, April, Oktober, November, dan Desember. Ketersediaan data pada tahun 2008 dimulai pada bulan Mei dengan 24,2% ketersediaan data. Selanjutnya, menurun menjadi 22,6% pada bulan Juni dan meningkat menjadi 33,5% pada bulan Juli. Sementara, pada bulan Agustus dan September, ketersediaannya semakin menurun dari 8,9% menjadi 2,4%.

Tahun 2009 memiliki ketersediaan data yang jauh lebih baik jika dibandingkan dengan tahun 2008. Namun, ketersediaan data pada tahun 2009, baru tersedia sejak bulan Juni hingga Oktober. Pada bulan Juni 2009, ketersediaan data sebesar 18,5% dan meningkat pada bulan Juli menjadi 99,2%. Selanjutnya, ketersediaannya kembali menurun pada bulan Agustus menjadi 81% dan meningkat kembali menjadi 95,2% pada bulan September. Pada bulan Oktober, data tersedia hanya mencapai 0,4%.

Tabel 5.3.1.a Persentase Ketersediaan Data pada Hasil Perhitungan Evapotranspirasi Potensial.

Bulan Jumlah Data Tersedia % Data Tersedia 2008 2009 2010 2011 2008 2009 2010 2011

Januari 0 0 0 0 0% 0% 0% 0%

Februari 0 0 0 0 0% 0% 0% 0%

Maret 0 0 0 0 0% 0% 0% 0%

April 0 0 13 0 0% 0% 5,2% 0%

Mei 60 0 0 143 24,2% 0% 0% 57,7%

Juni 56 46 0 0 22,6% 18,5% 0% 0%

Juli 83 246 69 228 33,5% 99,2% 27,8% 91,9%

Agustus 22 201 31 207 8,9% 81% 12,5% 83,5%

September 6 236 0 210 2,4% 95,2% 0% 84,7%

Oktober 0 1 0 0 0% 0,4% 0% 0%

November 0 0 0 0 0% 0% 0% 0%

Desember 0 0 0 - 0% 0% 0% -

Total Data/Pixel 248

(51)

65

kembali menjadi 0% pada bulan Juni. Ketersediaan data tertinggi terdapat pada bulan Juli dengan ketersediaan sebesar 27,8% dan kembali menurun pada bulan Agustus menjadi 12,5%. Selanjutnya, pada bulan-bulan berikutnya, ketersediaannya menjadi 0%.

Tahun 2011, kualitas ketersediaan data hampir sama dengan ketersediaan data pada tahun 2009. Ketersediaan data pada tahun 2011 dimulai pada bulan Mei dengan 57,7% ketersediaan data. Selanjutnya, data kembali tersedia pada bulan Juli sebesar 97,9% dan menurun pada bulan Agustus menjadi 83,5% dan sedikit meningkat menjadi 84,7% pada bulan September.

Selain faktor anomali iklim, faktor error internal juga sangat berpengaruh terhadap minimnya ketersediaan data. Faktor error tersebut antara lain dipengaruhi oleh jumlah hari hujan dan hari kering pada satu bulan pengamatan. Dalam satu bulan pengamatan, dibutuhkan data LST MODIS 8 harian sebanyak 3-4 data. Diantara 3-3-4 data tersebut, tentunya ada beberapa data yang memiliki hari hujan, yang sangat berpotensi pada timbulnya ‘missing data’. Dalam kalkulasi Tmean pada penelitian, hasil akhir Tmean sangat ditentukan oleh 3-4 data tersebut. Prinsip perhitungan pada kalkulasi band adalah apabila available data dikalkukalsikan dengan not avilable data, maka hasil akhir proses tersebut akan menghasilkan not available data. Sehingga, walaupun hanya terdapat satu data ‘missing’ yang terdistribusi cukup merata pada wilayah penelitian, data ‘missing’ tersebut menjadi sangat potensial untuk memberikan hasil akhir data dengan 0% ketersediaan data. Sehingga, saat dilakukan perhitungan evapotranspirasi potensial, ketersediaan datanya menjadi sangat minim bahkan mencapai 0%.

(52)

Distribusi Evapotranspirasi Potensial (ETo) Tahun 2008-2011 di DAS Cimadur, Banten

2008 2009 2010 2011

(53)

67

Distribusi Evapotranspirasi Potensial (ETo) Tahun 2008-2011 di DAS Cimadur, Banten

2008 2009 2010 2011

Keterangan : Evapotranspirasi dalam satuan mm/hari

(54)

Distribusi Evapotranspirasi Potensial (ETo) Tahun 2008-2011 di DAS Cimadur, Banten

2008 2009 2010 2011

[image:54.595.105.550.85.640.2]

Keterangan : Evapotranspirasi dalam satuan mm/hari

(55)

69

5.3.2 Pola Evapotranspirasi Secara Spasial dan Temporal

Pola distribusi evapotranspirasi potensial standar (ETo) secara spasial dan temporal belum bisa dilakukan secara optimal, akibat tidak lengkapnya data dalam satu tahun pengamatan. Namun, jika dilihat secara umum pada setiap tahun pengamatan, wilayah bagian selatan pada DAS Cimadur umumnya memiliki nilai evapotranspirasi yang lebih tinggi dibandingkan wilayah tengah DAS Cimadur, dan berangsur-angsur kembali meningkat pada bagian utara. Pola tersebut nampak sangat jelas pada bulan September 2009.

Menurut kondisi topografi wilayah penelitian (Gambar 5.3.2.a), wilayah-wilayah pada bagian utara DAS Cimadur memang memiliki topografi dan elevasi yang lebih tinggi dan cenderung bergunung dibandingkan wilayah pada bagian selatan DAS Cimadur. Pada bagian tengah wilayah utara juga terlihat terdapat suatu cekungan. Kondisi ini diduga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan tingginya suhu permukaan pada bagian selatan (sehingga mempengaruhi nilai evapotranspirasi) dan semakin rendahnya suhu udara menuju ke utara wilayah DAS Cimadur.

a). Peta Topografi b). Peta Penggunaan Lahan

Gambar 5.3.2.a Peta Topografi (a) dan Penggunaan Lahan (b) pada DAS Cimadur, Hasil dari Interpretasi Citra Google Earth dan ALOS AVNIR-2.

[image:55.595.105.504.94.811.2]
(56)

Jika pola tersebut dikaitkan dengan penggunaan lahan yang terdapat pada DAS Cimadur (gambar 5.3.2.a), terlihat bahwa pada bagian selatan dari DAS Cimadur didominasi oleh sawah, semak/tegalan, dan kebun campuran. Kemudian, semakin menuju ke arah utara, hutan mulai mendominasi penggunaan lahan pada DAS Cimadur. Pada bagian utara DAS Cimadur, terlihat bahwa dibagian tengah wilayah tersebut, mulai didominasi kembali oleh sawah dan semak/tegalan. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa nilai evapotranspirasi potensial yang didapatkan pada penelitian ini, sangat terkait dengan masukan data suhu dari LST MODIS. Sehingga, jika terdapat pola evapotranspirasi potensial yang terdapat pada gambar 5.3.2.a, besar kemungkinan bahwa pola tersebut dipengaruhi oleh suhu udara.

Secara umum, suhu permukaan akan meningkat seiring dengan berkurangnya vegetasi yang menutupi permukaan tanah/lahan. Penelitian Hung et al. (2005) dan Sandholt et al. (2002) menunjukkan bahwa hubungan antara LST dan NDVI adalah negatif, yang berarti semakin tinggi suhu permukaan, maka indeks vegetasinya menurun. Sehingga, hal tersebut sesuai dengan apa yang ditampilkan pada Gambar 5.3.1.a, bahwa suhu permukaan jauh lebih tinggi pada bagian selatan DAS Cimadur (dengan menganalogikan bahwa nilai evapotranspirasi yang terdapat pada gambar tersebut, berbanding lurus dengan suhu permukaan), akibat pola penggunaan lahannya yang cenderung dipenuhi oleh sawah, semak/tegalan, dan pemukiman. Pada wilayah utara, vegetasi hutan cenderung memiliki suhu/suhu yang lebih rendah. Pada wilayah tengah di sebelah utara DAS Cimadur, kenaikan suhu disebabkan oleh terdapatnya pola penggunaan lahan berupa semak/tegalan dan persawahan pada wilayah tersebut (gambar 5.3.2.a).

(57)

71

dibandingkan hutan. Bahkan pada elevasi yang relatif sama, sawah masih memiliki nilai suhu yang lebih tinggi dibandingkan hutan.

Gambar 5.3.2.b juga menunjukkan bahwa, pada penggunaan lahan yang relatif sama, topografi juga berkontribusi terhadap perubahan suhu yang diestimasi oleh LST MODIS. Hal ini dapat diamati pada penggunaan lahan sawah dan hutan, yang memiliki nilai suhu yang semakin meningkat seiring dengan rendahnya elevasi pada wilayah penelitian.

Gambar 5.3.2.b Hubungan antara Elevasi dan LSTmean pada Berbagai Penggunaan Lahan di DAS Cimadur.

Kedua hal tersebut mengindikasikan bahwa suhu yang diestimasi oleh MODIS relatif sensitif terhadap perubahan penggunaan lahan dan juga topografi. Dengan demikian, nilai LST tersebut akan mempengaruhi nilai evapotranspirasi yang dihasilkan dalam penelitian. Seperti yang telah dibahas sebelumnya, bahwa persamaan Blaney-Criddle yang digunakan dalam penelitian ini merupakan persamaan evapotranspirasi potensial dalam keadaan standard. Asumsi yang digunakan adalah kondisi tanaman pendek/rumput, tinggi seragam, menutupi tanah sempurna, dan dalam kondisi cukup air. Dengan demikian, nilai evapotranspirasi yang didapat, tidak spesifik secara langsung untuk jenis penggunaan lahan tertentu. Namun, pola penggunaan lahan dan topografi tetap akan memberikan kontribusi terhadap nilai suhu permukaan lahan, yang merupakan data masukan utama dalam perhitungan nilai ETo.

5.4 Validasi Nilai Estimator Evapotranspirasi

[image:57.595.113.466.208.415.2]
(58)

Gambar

Gambar 3.4.8.b. Ilustrasi Kombinasi Data Setelah Perbaikan.
Gambar 3.5.a. Diagram Alir Penelitian.
Gambar 5.1.1.a Kenampakan Visual LST MODIS day (a) dan night (b).
Gambar 5.1.2.a  Kualitas Data LST MODIS dibandingkan dengan data T Stasiun
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian menunjukkan pola perilaku waria di Kelurahan Siabu pada siang hari berpenampilan laki-laki bekerja sebagai karyawan salon, beroperasi pada malam hari

Oleh karena itu, perlu dilakukan uji akurasi setiap model threshold dari citra Landsat -8 dan citra MODIS untuk mendapatkan hasil identifikasi daerah bekas

Nilai Ambang Batas ( Threshold ) Temperatur 300°K atau 27°C pada pengolahan citra NOAA-19/AVHRR dan Aqua MODIS dapat digunakan untuk mendeteksi sebaran Hotspot

Berdasarkan tabel V dan VI, pengambilan data pada siang hari memiliki hasil yang lebih baik dengan akurasi 90% berbanding 80%. Sehingga total akurasi sistem pada tahap

Oleh karena itu, perlu dilakukan uji akurasi setiap model threshold dari citra Landsat -8 dan citra MODIS untuk mendapatkan hasil identifikasi daerah bekas

Berdasarkan hasil penelitian diperoleh kesimpulan bahwa penentuan zonasi banjir pada lahan sawah dapat dilakukan dengan teknik penginderaan jauh satelit Terra MODIS dan

Tumbuhan CAM adalah tumbuhan yang stomatanya membuka pada malam hari dan menutup pada siang hari, memiliki laju fotosintesis yang rendah bila dibandingkan dengan tanaman C3 dan

Penempatan outlet pada lokasi tersebut dilakukan karena debit sungai yang dianalisis diharuskan berada pada lokasi pengambilan air, sehingga data debit sungai dapat dibandingkan