• Tidak ada hasil yang ditemukan

Karakteristik Organoleptik dan Kimia Biskuit Berbahan Baku Tepung Whey untuk Penderita Autis

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Karakteristik Organoleptik dan Kimia Biskuit Berbahan Baku Tepung Whey untuk Penderita Autis"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK DAN KIMIA

BISKUIT BERBAHAN BAKU TEPUNG

WHEY

UNTUK PENDERITA AUTIS

FITRI M MANIHURUK

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Karakteristik Organoleptik dan Kimia Biskuit Berbahan Baku Tepung Whey untuk Penderita Autis adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

FITRI M MANIHURUK. Karakteristik Organoleptik dan Kimia Biskuit Berbahan Baku Tepung Whey untuk Penderita Autis. Dibimbing oleh ZAKIAH WULANDARI dan M SRIDURESTA SOENARNO.

Penderita autis memiliki reaksi alergi terhadap makanan yang mengandung gluten dan kasein sehingga inovasi dalam pengolahan pangan bagi penderita penting dilakukan. Tepung whey, suatu tepung dari hasil ikutan pembuatan keju, mengandung protein tinggi dan aman dikonsumsi bagi penderita autis. Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi karakteristik organoleptik dan kimia biskuit berbahan baku tepung whey yang berbeda sehingga diperoleh formulasi terbaik sebagai makanan khusus bagi penderita autis. Formulasi biskuit dengan perbedaan penambahan tepung whey 5%, 10%, 15%, dan 20% diamati karakteristik organoleptik dan kimia. Protein kasein dan gluten pada formulasi biskuit terbaik dianalisis dengan metode SDS-PAGE. Hasil analisis menunjukkan bahwa penambahan tepung whey berpengaruh terhadap karakteristik organoleptik, kadar abu, kadar protein, dan kadar asam lemak bebas. Analisis SDS-PAGE menunjukkan bahwa fraksi protein kasein dan gluten tidak terlihat nyata sejajar dengan pita standar pada biskuit dengan penambahan tepung whey 5%.

Kata kunci: autis, biskuit, SDS-PAGE,tepung whey

ABSTRACT

FITRI M MANIHURUK. Organoleptic and Chemical Characteristics of Whey Powder-Based Biscuits for People with Autism. Supervised by ZAKIAH WULANDARI and M SRIDURESTA SOENARNO.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan

pada

Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

KARAKTERISTIK ORGANOLEPTIK DAN KIMIA

BISKUIT BERBAHAN BAKU TEPUNG

WHEY

UNTUK PENDERITA AUTIS

FITRI M MANIHURUK

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN

FAKULTAS PETERNAKAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Karakteristik Organoleptik dan Kimia Biskuit Berbahan Baku Tepung Whey untuk Penderita Autis

Nama : Fitri M Manihuruk NIM : D14090005

Disetujui oleh

Zakiah Wulandari, STP MSi Pembimbing I

M Sriduresta Soenarno, SPt MSc Pembimbing II

Diketahui oleh

Prof Dr Ir Cece Sumantri, MAgrSc Ketua Departemen

(8)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Desember 2012 ini ialah pengolahan produk peternakan, dengan judul Karakteristik Organoleptik dan Kimia Biskuit Berbahan Baku Tepung Whey untuk Penderita Autis.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Zakiah Wulandari, STP MSi dan M Sriduresta Soenarno, SPt MSc selaku dosen pembimbing, Dr Tuti Suryati, SPt MSi, Ir K Budi Satoto, MS selaku dosen penguji, Bramada Winiar Putra, SPt MSi selaku panitia sidang, serta Ir Lucia Cyrilla ENSD, MSi selaku dosen pembimbing akademik. Penulis juga ucapkan terimakasih kepada Dr Ir Rarah RAM, DEA (Almh) yang telah menginspirasi untuk diadakannya penelitian ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada staf Laboratorium Teknologi Hasil Ternak, Laboratorium Genetika Molekuler dan Pemuliaan Ternak, serta Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor yang telah banyak membantu dalam penelitian ini.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada kedua orangtua Manindar Manihuruk dan Puriska Sihombing, kedua saudara Wanny Setia Manihuruk dan Roberd Mulyadi Manihuruk yang tiada henti memberikan semangat dan doa. Terakhir penulis ucapkan terimakasih kepada teman tim penelitian, teman-teman seperjuangan di Laboratorium Terpadu, dan IPTP 46. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi masyarakat.

(9)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL viii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Ruang Lingkup Penelitian 2

METODE 2

Waktu dan Tempat Penelitian 2

Bahan 2

Alat 2

Prosedur 2

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Karakteristik Organoleptik Biskuit 5

Karakteristik Kimia Biskuit 7

Penentuan Formulasi Terbaik Biskuit 8

Analisis Protein Kasein dan Gluten 9

SIMPULAN DAN SARAN 11

DAFTAR PUSTAKA 11

LAMPIRAN 12

(10)

DAFTAR TABEL

1 Perlakuan variasi formulasi biskuit 3

2 Karakteristik organoleptik biskuit berbahan baku tepung whey 6 3 Karakteristik kimia biskuit berbahan baku tepung whey 7 4 Peubah dan nilai dari uji biskuit untuk menentukan skoring dengan

formulasi terbaik 9

5 Hasil skoring biskuit berdasarkan karakteristik organoleptik dan kimia 9

DAFTAR GAMBAR

1 Diagram alir pembuatan biskuit 3

2 Profil SDS-PAGE protein biskuit 10

DAFTAR LAMPIRAN

1 Biskuit dengan penambahan tepung whey lebih 50% dari total tepung 12 2 Biskuit dengan perbedaan penambahan tepung whey 13 3 Contoh analisis ragam kadar protein biskuit dengan penambahan tepung

whey 13

(11)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Autisme merupakan gejala fisik yang kompleks akibat gangguan saluran pencernaan, alergi, daya tahan tubuh yang menurun, dan keracunan logam berat. Gangguan ini menyebabkan otak mengalami kelainan struktur dan disfungsi yang berpengaruh negatif terhadap fungsi tubuh (Budhiman et al. 2000). Gangguan saluran pencernaan timbul akibat tubuh penderita autis tidak mampu mencerna protein, khususnya kasein dan gluten. Enzim dipeptidylpeptidase IV (DPP-IV), sebagai pencerna kasein dan gluten, tidak bekerja aktif dan tidak terdapat pada saluran pencernaan pada sebagian besar penderita. Gangguan pada enzim ini menyebabkan penumpukan opioid pada otak sehingga penderita kehilangan kontrol pada dirinya (McCandless 2003).

Pangan yang mengandung kasein (protein susu) dan gluten (protein gandum) dapat menyebabkan alergi dan menurunkan kesehatan penderita autis (Winarno dan Widya 2008). Penerapan diet bebas gluten dan kasein secara bertahap yang diikuti dengan pemilihan makanan yang selektif dapat menjadi terapi awal untuk penderita autis. Salah satu tahap pemilihan makanan untuk penderita autis adalah menghindari konsumsi susu dan bahan pangan yang mengandung susu, tetapi bahan pangan yang memenuhi persyaratan tersebut masih jarang ditemukan. Hal ini dapat diatasi dengan upaya pemberian produk olahan susu bebas kasein yaitu whey.

Whey mengandung protein penting dan belum banyak dimanfaatkan secara optimal (Miller et al. 2007). Pemanfaatannya dapat ditingkatkan dengan cara mengolah whey menjadi tepung sehingga dapat digunakan sebagai bahan pembuatan produk pangan yang bebas kasein. Tepung jagung digunakan sebagai bahan substitusi tepung terigu pada produk pangan. Tepung jagung mengandung protein tinggi dan bebas gluten (Richana 2010). Tepung whey bebas kasein dan tepung jagung bebas gluten diformulasikan untuk memperoleh inovasi olahan pangan khusus bagi penderita autis, yaitu biskuit. Biskuit mempunyai formulasi yang mudah divariasikan dengan perubahan komposisi pada bahan penyusunnya dan sudah dikenal luas oleh masyarakat pada semua golongan umur dan tingkat sosial.

Formulasi jajanan sehat berupa biskuit yang berbahan dasar tepung whey dan tepung jagung dikembangkan dan diteliti untuk memenuhi kebutuhan gizi khusus bagi penderita autis. Penelitian ini mengenai karakteristik organoleptik dan kimia biskuit berbahan baku tepung whey sehingga diperoleh formulasi terbaik jajanan sehat bebas kasein dan gluten bagi penderita autis.

Tujuan Penelitian

(12)

2

Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup pembuatan biskuit berbahan baku tepung whey dan substitusi tepung jagung. Penggunaan tepung whey yaitu 5%, 10%, 15% dan 20% dari total tepung yang digunakan pada formulasi biskuit. Pengujian yang dilakukan meliputi uji karakteristik organoleptik dan kimia biskuit, sehingga diperoleh formulasi biskuit terbaik yang bebas kasein dan gluten.

METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada Februari sampai Juni 2013. Penelitian ini dilakukan di Laboratorium Terpadu dan Laboratorium Organoleptik, Bagian Teknologi Hasil Ternak, Laboratorium Pemuliaan dan Genetika Molekuler, Fakultas Peternakan, dan Pusat Penelitian dan Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Institut Pertanian Bogor.

Bahan

Bahan baku yang digunakan untuk pembuatan biskuit ini adalah tepung

whey “Tillamook” dan tepung jagung ”Maizenaku”. Bahan lain sebagai bahan

penunjang antara lain kuning telur, margarin, dan gula halus.

Bahan kimia yang digunakan untuk analisis protein kasein dan gluten adalah akrilamid, HCl, sodium dodecyl sulfate (SDS), tetrametiletilendiamin (TEMED), amonium persulfat (APS), akuades, tris base, glisin, coomassie brilliant blue R-250, methanol, asam asetat, dan standar protein Ladder.

Alat

Peralatan utama yang digunakan terdiri atas peralatan untuk pembuatan biskuit antara lain oven, mixer, cetakan biskuit, timbangan, baskom, loyang, dan sendok. Selain itu dibutuhkan peralatan untuk analisis protein kasein dan gluten terdiri atas perangkat alat elektroforesis, tabung Eppendorf, mikropipet, pipet, gelas piala, gelas ukur, waterbath, dan termometer.

Prosedur

(13)

3 formulasi terbaik selanjutnya dianalisis dengan metode sodium dodesyl sulfate-polycrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE) yang sebelumnya dilakukan pengendapan protein terlebih dahulu.

Pembuatan Biskuit dengan Persentase Penambahan Tepung Whey Berbeda

Biskuit dibuat dengan penambahan tepung whey dan tepung jagung dengan persentase berbeda dari jumlah tepung. Acuan formulasi biskuit yang digunakan berdasarkan formulasi dari FAO (1991) dapat dilihat pada Tabel 1. Diagram alir pembuatan biskuit disajikan pada Gambar 1.

Tabel 1 Perlakuan variasi formulasi biskuit

Sumber : Modifikasi FAO (1991)

Gambar 1 Diagram alir pembuatan biskuit

Sumber: Modifikasi Herminiati (2005)

Pengadukan dalam mixer berkecepatan tinggi (t=10 menit) Margarin dan gula halus

Kuning telur

Pengadukan dalam mixer berkecepatan rendah (t = 3 menit)

Tepung whey dan tepung jagung

(14)

4

Uji Karakteristik Organoleptik (Soekarto dan Hubeis 1992)

Uji organoleptik yang dilakukan adalah uji rangking dengan peubah uji adalah kehalusan dalam mulut, kemudahan ditelan, kerenyahan di mulut, dan kemudahan melarut dalam mulut. Uji ini dilakukan terhadap 10 orang panelis semi terlatih oleh mahasiswa S1 Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan.

Hasil uji karakteristik organoleptik selanjutnya dilakukan skoring untuk menentukan formulasi terbaiknya. Form uji rangking biskuit terdapat pada Lampiran 4.

Uji Karakteristik Kimia (BSN 1992 dan BSN 2011)

Uji karakteristik kimia yang dilakukan adalah analisis kadar air (BSN 2011), kadar abu (BSN 1992), kadar protein (BSN 2011), kadar lemak (BSN 1992), karbohidrat (BSN 1992), dan kadar asam lemak bebas (BSN 2011). Hasil uji karakteristik kimia selanjutnya dilakukan skoring untuk menentukan formulasi terbaiknya yang mengacu pada BSN (1992) dan BSN (2011).

Pengendapan Protein (Sanchez 2001)

Pengendapan protein dilakukan setelah memperoleh formulasi biskuit terbaik hasil uji karakteristik organoleptik dan kimia. Pengendapan protein dilakukan dengan menggunakan 100% trichloroacetic acid (TCA), 500 gram TCA dalam 350 mililiter H2O.

Sebanyak lima gram sampel dilarutkan dalam lima mililiter akuades. TCA 500 µL kemudian ditambahkan dalam satu mililiter sampel tersebut. Pengendapan ini dilakukan untuk memperoleh protein murni yang terbebas dari zat pengotor. Analisis Protein Kasein dan Gluten (Fahmi 2010)

Analisis protein kasein dan gluten dilakukan dengan teknik penentuan berat molekul protein melalui metode sodium dodesyl sulfate-polycrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). SDS-PAGE dilakukan dengan menggunakan gel akrilamid dengan konsentrasi separating gel 15% dan stacking gel 5%. Tahapan yang harus dilakukan adalah 1) pembuatan separating gel; 2) pembuatan stacking gel; 3) preparasi dan injeksi sampel; 4) running SDS-PAGE; 5) pewarnaan gel; 6) destaining gel; dan 7) penentuan berat molekul protein-protein yang terpisahkan.

Berat molekul standar protein kasein 25-35 kDa (Hurley 2010). Berat molekul standar protein gluten terdiri atas berat masa molekul kecil atau LMM (Low Molecular Mass) 36-38 kDa dan 42-44 kDa serta berat masa molekul besar atau HMM (High Molecular Mass) 64-70 kDa dan 95-136 kDa (Jakubauskiene dan Juodeikiene 2005).

Rancangan dan Prosedur Analisis Data

(15)

5 Yij = μ + Pi + εij

Keterangan :

Yij = Variabel respon akibat perlakuan penambahan tepung whey pada taraf ke-i (5%, 10%, 15%,

dan 20%) dan ulangan ke-j (1, 2, 3, dan 4)

Data hasil uji karakteristik kimia dianalisis dengan analysis of variance (ANOVA) (Steel dan Torrie 1995). Jika analisis menunjukkan perlakuan berbeda nyata terhadap peubah yang diamati maka dilakukan uji perbandingan berganda menggunakan uji Tukey.

Data hasil uji karakteristik organoleptik dianalisis dengan uji statistik nonparametrik, Kruskal-Wallis (Steel dan Torrie 1995). Jika analisis menunjukkan perlakuan berbeda nyata maka dilanjutkan dengan uji Multiple Comparison.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Formulasi biskuit menghasilkan perbandingan tepung whey dan tepung jagung pada pembuatan biskuit. Formulasi biskuit yang diperoleh adalah persentase penambahan tepung whey 5%, 10%, 15%, dan 20% dari total tepung (Tabel 1).

Penambahan tepung whey ini dilakukan sampai 20% dari total tepung karena pada taraf yang lebih tinggi akan menghasilkan biskuit dengan rasa asam yang tinggi dan warna coklat yang lebih gelap (Lampiran 1) sehingga mengurangi tingkat penerimaan biskuit tersebut. Walzem (1999) menyatakan bahwa tingkat penggunaan whey pada produk bakery yang umum sekitar 2%-4% dari berat tepung. Selain itu, bahan dasar whey dapat meningkatkan dan membantu pencoklatan lapisan luar pada produk biskuit.

Karakteristik Organoleptik Biskuit

Uji karakteristik organoleptik yang dilakukan adalah uji rangking dengan peubah kehalusan dalam mulut, kemudahan ditelan, kerenyahan di mulut, dan kemudahan melarut dalam mulut. Hasil uji rangking biskuit dengan perbedaan penambahan tepung whey disajikan pada Tabel 2.

(16)

6

ini didukung dengan kadar air pada biskuit dengan penambahan tepung whey 5% lebih tinggi dibanding dengan penambahan 10%, 15%, dan 20% (Tabel 3).

Tabel 2 Karakteristik organoleptik biskuit berbahan baku tepung whey

Peubah

Biskuit dengan penambahan tepung whey

dari total tepung

Keterangan: Angka dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) untuk (a, b) atau sangat nyata (P<0.01) untuk (A, B, C). Interprelasi ranking: 1: paling halus dalam mulut, mudah ditelan, renyah di mulut, mudah larut

dalam mulut; 2: tingkat kehalusan dalam mulut, kemudahan ditelan, kerenyahan di

mulut, kemudahan melarut dalam mulut kedua; 3: tingkat kehalusan dalam mulut,

kemudahan ditelan, kerenyahan di mulut, kemudahan melarut dalam mulut ketiga; dan 4: paling tidak halus dalam mulut, mudah ditelan, renyah di mulut, mudah larut dalam mulut.

Penambahan tepung whey yang diberikan berpengaruh terhadap karakteristik kemudahan ditelan (P<0.05). Biskuit yang ditambahkan tepung whey 5% lebih mudah ditelan dibanding pada penambahan tepung whey 10%, 15%, dan 20%. Hal ini disebabkan karena penambahan tepung whey dapat menggantikan fungsi telur pada produk bakery dan penyerapan air yang semakin tinggi (Walzem 1999). Kandungan air yang semakin tinggi dan protein yang semakin rendah menyebabkan biskuit lebih mudah ditelan karena air mengisi rongga-rongga adonan saat terjadi penangkapan udara pada biskuit (Manley 2000).

Perbedaan penambahan tepung whey pada formulasi biskuit berpengaruh sangat nyata pada kerenyahan biskuit di mulut (P<0.01). Penambahan tepung whey 10% lebih renyah di mulut dibanding penambahan tepung whey 5%; biskuit yang ditambahkan tepung whey 20% lebih renyah di mulut dibanding biskuit yang ditambahkan tepung whey 15%; dan kerenyahan biskuit di mulut yang ditambahkan tepung whey 10% sama dengan 15%. Tepung whey pada produk bakery khususnya cookies, berfungsi sebagai pengganti telur (Walzem 1999). Biskuit akan bertambah renyah dan lebih mengembang dengan adanya telur karena terjadi penangkapan udara selama pemanggangan (Manley 2000) sehingga adonan mengembang sempurna.

(17)

7 Karakteristik Kimia Biskuit

Karakteristik kimia yang dianalisis adalah kadar air, kadar abu, kadar protein, kadar lemak, karbohidrat, dan asam lemak bebas. Hasil uji karakteristik kimia biskuit dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3 Karakteristik kimia biskuit berbahan baku tepung whey

Peubah

Penambahan tepung whey dari jumlah tepung

Standar

Keterangan: Angka dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) untuk (a, b) atau sangat nyata (P<0.01) untuk (A, B, C).

Perlakuan penambahan tepung whey yang berbeda tidak berpengaruh terhadap kadar air biskuit (P>0.05). Hal ini disebabkan karena setiap biskuit mendapat perlakuan pemanggangan dengan pemanasan yang sama yaitu pada suhu 150 °C selama 20 menit. Kadar air yang dihasilkan sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh BSN 2973:2011 (maksimal 5%). Kadar air lebih dari 5% disebabkan proses pemanggangan dilakukan hanya satu kali, sedangkan biskuit yang baik menurut Edwards (2007) diperoleh dengan dua kali pemanggangan adonan sehingga diperoleh produk dengan kadar air yang lebih rendah.

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perbedaan penambahan tepung whey pada pembuatan biskuit berpengaruh nyata (P<0.05) pada nilai kadar abu. Penambahan tepung whey 20% dari jumlah tepung yang digunakan pada adonan menghasilkan kadar abu lebih tinggi dari persentase penambahan lainnya. Hal ini disebabkan karena kadar abu tepung whey cukup tinggi, 8.5% (Tamime 2007). Selain itu, kandungan mineral dalam tepung whey cukup tinggi, yang dapat mempengaruhi kadar abu suatu produk pangan (Speer 1998). Hasil kadar abu yang diperoleh memenuhi SNI Mutu dan Cara Uji Biskuit (1992) yang ditetapkan, maksimum 1.5%.

Penambahan persentase tepung whey yang berbeda pada formulasi biskuit menghasilkan kadar protein yang berbeda nyata (P<0.05). Kadar protein biskuit dengan penambahan tepung whey 5%, 15% dan 20% memenuhi standar ditetapkan SNI Biskuit (2011) untuk produk biskuit yang dicampur dengan pengisi dalam adonan yaitu minimum 4.5%. Kadar protein biskuit semakin meningkat dengan meningkatnya persentase tepung whey yang ditambahkan pada formulasi biskuit. Hal ini disebabkan tepung whey merupakan sumber protein yang baik dengan kadar proteinnya 14.2% (Spreer 1998). Selain tepung whey, sumber protein lain yang digunakan pada formulasi biskuit berasal dari tepung jagung 5.8% (Richana 2010) dan kuning telur 16% (Manley 2000).

(18)

8

Kadar lemak yang dihasilkan pada penelitian ini cukup tinggi bila dibandingkan dengan standar yang ditetapkan BSN 01-2973-1992, minimum 9.5%. Kadar lemak biskuit yang tinggi disebabkan persentase penggunaan margarin dan kuning telur cukup tinggi, sekitar 40% dari total adonan.

Kadar karbohidrat biskuit yang ditambahkan tepung whey dengan persentase berbeda tidak berpengaruh nyata (P>0.05) dan tidak memenuhi standar yang ditetapkan BSN (1992) yaitu minimum 70%. Peningkatan persentase tepung whey dalam formulasi biskuit berbanding terbalik dengan peningkatan kadar karbohidrat biskuit. Hal ini disebabkan karena persentase bahan sumber karbohidrat (gula halus, kuning telur, dan margarin) yang ditambahkan dalam biskuit hampir sama.

Persentase penambahan tepung whey yang berbeda pada formulasi biskuit menghasilkan kadar asam lemak bebas yang berpengaruh sangat nyata (P<0.01) dan tidak memenuhi standar BSN (2011) yaitu maksimum 1%. Penambahan tepung whey yang semakin meningkat berbanding lurus dengan kadar asam lemak bebas dalam biskuit. Hal ini disebabkan karena terdapat enzim lipase dalam tepung whey yang merupakan enzim dalam pembuatan keju (Winarno 2007). Enzim ini dapat mempercepat pelepasan asam lemak bebas dari gliserol yang bekerja pada suhu beragam (Kusnandar 2010). Kadar asam lemak biskuit yang tinggi juga disebabkan karena penambahan lemak dan proses pemanasan pada biskuit. Pemanasan yang berlebihan pada lemak menyebabkan terjadi oksidasi lemak yang dapat memecah struktur lemak menjadi gliserol dan asam lemak bebas pada biskuit (Kusnandar 2010).

Penentuan Formulasi Terbaik Biskuit

Penentuan formulasi terbaik dari keempat perlakuan biskuit diperoleh dengan skoring berdasarkan hasil uji karakteristik organoleptik dan kimia biskuit. Peubah yang dilihat untuk menentukan formulasi terbaik dan nilai dari hasil uji biskuit dapat dilihat pada Tabel 4.

(19)

9 Tabel 4 Peubah dan nilai dari uji biskuit untuk menentukan skoring dengan

formulasi terbaik

Peubah Penambahan tepung whey dari jumlah tepung

5% 10% 15% 20%

Keterangan: Angka dengan huruf yang berbeda pada baris yang sama menunjukkan berbeda nyata (P<0.05) untuk (a, b) atau sangat nyata (P<0.01) untuk (A, B, C).

Tabel 5 Hasil skoring biskuit berdasarkan karakteristik organoleptik dan kimia

Peubah Penambahan tepung whey dari jumlah tepung

5% 10% 15% 20%

Formulasi biskuit terbaik hasil uji karakteristik organoleptik dan kimia adalah biskuit dengan penambahan tepung whey 5%. Protein kasein dan gluten biskuit tersebut dianalisis dengan metode sodium dodesyl sulfate-polycrylamide gel electrophoresis (SDS-PAGE). Analisis dilakukan dengan menggunakan supernatan yang diperoleh dari pengendapan protein dengan menggunakan trichloroacetic acid (TCA). Profil SDS-PAGE untuk protein yang terendapkan dari sampel biskuit dengan penambahan tepung whey 5% dapat dilihat pada Gambar 2.

(20)

10

15 µL, maupun 20 µL. Gambar 2 menunjukkan bahwa pada fraksi protein biskuit tidak terdeteksi adanya pita protein gluten dengan berat molekul 36-38 kDa, 42-44 kDa, dan 64-70 kDa (Jakubauskiene dan Juodeikiene 2005), serta protein kasein 25-35 kDa (Hurley 2010). Hal ini menunjukkan bahwa biskuit dengan penambahan tepung whey 5% dari jumlah tepung tidak mengandung protein kasein dan gluten. Hal ini disebabkan karena bahan baku biskuit, tepung whey dan tepung jagung, tidak mengandung protein kasein dan gluten (Speer 1998; Richana 2010).

Gambar 2 Profil SDS-PAGE protein biskuit. M1: marker standar protein 15 µL, M2: marker

standar protein 20 µL, a: fraksi protein biskuit dengan konsentrasi 5 µL, b: fraksi protein biskuit dengan konsentrasi 10 µL, c: fraksi protein biskuit dengan konsentrasi 15 µL, dan d: fraksi protein biskuit dengan konsentrasi 20 µL.

Protein kasein dan gluten yang tidak terdeteksi dalam biskuit yang ditambahkan tepung whey menunjukkan bahwa biskuit yang diproduksi dapat menjadi inovasi olahan pangan khusus untuk penderita autis. Hal ini disebabkan karena olahan pangan bebas gluten dan kasein tidak menimbulkan alergi bagi penderita dan menjadi alternatif terapi diet bebas gluten dan kasein.

(21)

11

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Formulasi terbaik biskuit yang memenuhi persyaratan sebagai makanan untuk penderita autis adalah penambahan 5% tepung whey dari jumlah tepung yang digunakan berdasarkan karakteristik organoleptik dan kimia. Fraksi protein kasein dan gluten biskuit penambahan 5% tepung whey tidak terlihat nyata sejajar dengan pita standar dengan menggunakan metode SDS-PAGE.

Saran

Pengujian efektivitas produk biskuit dengan cara in vivo perlu dilakukan untuk mengetahui kualitas protein pada penambahan tepung whey dengan analisis daya cerna protein dan pengaruhnya pada mukosa usus.

DAFTAR PUSTAKA

[BSN] Badan Standar Nasional. 1992. Mutu dan Cara Uji Biskuit (SNI 01-2973-1992). Jakarta (ID): Badan Standar Nasional.

[BSN] Badan Standar Nasional. 2011. Biskuit (SNI 2973-1992) Jakarta (ID): Badan Standar Nasional.

Budhiman M, Shattock P, Ariani E. 2000. Langkah Awal Menanggulangi Autisme dengan Memperbaiki Metabolisme Tubuh (Pedoman untuk Orang Tua). Jakarta (ID): Nirmala.

Edwards WP. 2007. The Science of Bakery Products. New York (US): RSC Publishing.

Edwards R. 2011. Autism Spectrum Disorders: Non-Pharmaceutical Approaches. Madison (US): University of Wisconsin-Madison School of Medicine and Public Health.

Fahmi R. 2010. Mempelajari pengaruh jenis dan konsentrasi koagulan terhadap pola elektroforesis protein terkoagulasi serta korelasinya terhadap tekstur curd kedelai (Glycine max) yang dihasilkan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

[FAO] Food Agricultural Organization. 1991. Guidelines on Formulated Supplementary Foods for Older Infants and Yough Children. Rome (IT): CAC/GL 08-1991.

Herminiati A. 2005. Pengembangan biskuit dari campuran dekstrin garut dan tepung pisang untuk terapi gizi tikus penderita autis [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

(22)

12

Jakubauskiene L, Juodeikiene G. 2005. The relationship between protein fractiontions of wheat gluten and the quality of ring-shaped rolls evaluated by the echolocation method. JFTB. 43(3):247-253.

Kern JK, Grannemann BD, Gutman J, Trivedi MH. 2008. Oral tolerability of cysteine-rich whey protein isolate in autism-a pillot study. JANA. 11(1). Kusnandar F. 2010. Kimia Pangan: Komponen Makro. Jakarta (ID): Dian Rakyat. Manley D. 2000. Technology of Biscuits, Crackers and Cookies. Ed ke-3. USA

(US): CRC Pr.

McCandless J. 2003. Children with Starving Brains. Siregar F, penerjemah. Jakarta (ID): Gramedia Widiasarana Indonesia.

Miller GD, Judith KJ, Lois DM. 2007. Handbook of Dairy Foods and Nutrition. Ed ke-3. New York (US): CRC Pr.

Purwanti HS. 2004. Konsep Penerapan ASI Eksklusif. Jakarta (ID): EGC.

Richana N. 2010. Tepung jagung termodifikasi sebagai pengganti terigu. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 32(6):5-7.

Sanchez L. 2001. TCA protein precipitation protocol [Internet]. [diunduh 2013 Juni 12]. Tersedia pada: http://www.its.caltech.edu/~bjorker/Protocols/TCA _ppt_protocol.pdf.

Soekarto ST, Hubeis M. 1992. Metodologi Penelitian Organoleptik. Di dalam, Herminiati A. Pengembangan biskuit dari campuran dekstrin garut dan tepung pisang untuk terapi gizi tikus penderita autis. Tesis. Bogor (ID): PAU Pangan dan Gizi IPB.

Spreer E. 1998. Milk and Dairy Product Tecnology. New York (US): Marcel Dekker.

Steel RGD, Torrie. JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika. Sumantri B, penerjemah. Jakarta (ID): PT Gramedia Pustaka Utama.

Tamime AY. 2007. Structure of Dairy Products. UK (US): Blackwell Publishing. Walzem RL. 1999. Petunjuk Aplikasi untuk Laktosa dan Whey Amerika Serikat.

Bangkok (TH). US Dairy Export Council.

Winarno FG. 2007. Teknologi Pangan. Jakarta (ID): Mbrio Pr.

Winarno FG, Widya A. 2008. Pangan dan Autism [Internet]. [diunduh 2013 Januari 26]. Tersedia pada: http://www.autis.info.

LAMPIRAN

(23)

13 Lampiran 2 Biskuit dengan perbedaan penambahan tepung whey. Biskuit a:

dengan penambahan 5% tepung whey; b: dengan penambahan 10% tepung whey; c: dengan penambahan 15% tepung whey; dan d: dengan penambahan 20% tepung whey.

Lampiran 3 Contoh analisis ragam kadar protein biskuit dengan penambahan tepung whey

Sumber keragaman db JK KT F hit P-value

Perlakuan Galat Total

3 12 15

1.5049 9.0005 10.5054

0.5016 0.7500

0.67 0.587*

Keterangan: * berbeda nyata (P>0.05)

(24)

14

Lampiran 4 Form uji rangking biskuit

UJI RANGKING

Nama Panelis :

Tanggal : 12 April 2012 Jenis Produk : Biskuit

Instruksi 1 :

Ujilah kehalusan dalam mulut sampel berikut kemudian urutkan berdasarkan kehalusannya dalam mulut. Tuliskan nomor kode sampel pada kotak yang tersedia sesuai dengan tingkat kehalusan dalam mulut.

1. Sampel yang paling halus dalam mulut

2. Sampel yang memiliki tingkat kehalusan dalam mulut kedua 3. Sampel yang memiliki tingkat kehalusan dalam mulut ketiga 4. Sampel yang paling tidak halus dalam mulut

Urutan 1 2 3 4

Kode Sampel

Instruksi 2 :

Ujilah kemudahan ditelan sampel berikut kemudian urutkan berdasarkan kemudahannya ditelan. Tuliskan nomor kode sampel pada kotak yang tersedia sesuai dengan tingkat kemudahan ditelan.

1. Sampel yang paling mudah ditelan

2. Sampel yang memiliki tingkat kemudahan ditelan kedua 3. Sampel yang memiliki tingkat kemudahan ditelan ketiga 4. Sampel yang paling tidak mudah ditelan

Urutan 1 2 3 4

Kode Sampel

Instruksi 3 :

Ujilah kerenyahan di mulut sampel berikut kemudian urutkan berdasarkan kerenyahannya di mulut. Tuliskan nomor kode sampel pada kotak yang tersedia sesuai dengan tingkat kerenyahan di mulut.

1. Sampel yang paling renyah di mulut

2. Sampel yang memiliki tingkat kerenyahan di mulut kedua 3. Sampel yang memiliki tingkat kerenyahan di mulut ketiga 4. Sampel yang paling tidak renyah di mulut

Urutan 1 2 3 4

Kode Sampel

Instruksi 4 :

Ujilah kemudahan melarut dalam mulut sampel berikut kemudian urutkan berdasarkan kemudahannya melarut dalam mulut. Tuliskan nomor kode sampel pada kotak yang tersedia sesuai dengan tingkat kemudahan melarut dalam mulut.

1. Sampel yang paling mudah larut dalam mulut

2. Sampel yang memiliki tingkat kemudahan melarut dalam mulut kedua 3. Sampel yang memiliki tingkat kemudahan melarut dalam mulut ketiga 4. Sampel yang paling tidak mudah larut dalam mulut

Urutan 1 2 3 4

(25)

15

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 30 Maret 1991 di Kabanjahe, Sumatera Utara. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Manindar dan Ibu Puriska. Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1997 di Sekolah Dasar Negeri 040448 Kabanjahe dan diselesaikan pada tahun 2003. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah pertama pada tahun 2006 di SMP Negeri 2 Kabanjahe. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas pada tahun 2009 di SMA Negeri 1 Kabanjahe.

Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2009 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan. Penulis merupakan salah satu penerima beasiswa Peningkatan Prestasi Akademik (PPA) tahun 2013.

Gambar

Tabel 1  Perlakuan variasi formulasi biskuit
Tabel 3 Karakteristik kimia biskuit berbahan baku tepung whey
Tabel 4  Peubah dan nilai dari uji biskuit untuk menentukan skoring dengan formulasi terbaik
Gambar 2  Profil SDS-PAGE protein biskuit. M1: marker standar protein 15 µL, M2: marker

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat, hikmat dan kasih karunia-Nya sehingga dapat menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “ Upaya Meningkatkan

Pada penelitian ini mengadopsi teori gaya kepemimpinan situasional Hersey dan Blanchard yang menyatakan bahwa persepsi pegawai dalam dimensi perilaku hubungan, perilaku

selama manusia itu sendiri telah menguasai ilmu-ilmu islam sehingga bisa menjadi filter untuk dirinya sendiri. Sedangkan al-Attas lebih mengutamakan

Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor adalah pajak atas penyerahan hak milik kendaraan bermotor sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi

Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh dengan analisis data dan pengujian hipotesis, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa: “ada pengaruh yang signifikan

Omega Plastics memiliki latar belakang pendidikan yang rendah yaitu setara Sekolah Dasar (SD) hingga setara Sekolah Menengah Pertama (SMP) yang mempengaruhi

Penyandang cacat merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari bangsa Indonesia. Oleh karena itu permasalahan penyandang cacat merupakan permasalahan bangsa

Guru Menjawab;Nak caranya dengan mengsucikan alam dalam diri yang hakiki dengan menjaga segala macam makanan yang dapat merusak alam diri kita dengan makanan