• Tidak ada hasil yang ditemukan

Metode dakwah Ali Bin Thalib

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Metode dakwah Ali Bin Thalib"

Copied!
77
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh:

Samsuri

NIM: 104051001802

JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

(2)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Dakwah dan Komunikasi

Untuk memenuhi Persyaratan memperoleh

Gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Sos.I)

Oleh:

Samsuri

NIM: 104051001802

Pembimbing

Prof. Dr. Murodi, MA

NIP : 119640705 199203 1 003

JURUSAN KOMUNIKASI PENYIARAN ISLAM

FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(3)

satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Program Strata I (S1) pada jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam.

Jakarta, 16 Desember 2009

Sidang Munaqasyah

Ketua Merangkap Anggota

Dr. Arief Subhan, MA NIP. 199600110 199703 1 004

Sekretaris Merangkap Anggota

Umi Musyarofah, MA NIP. 1971618 197703 2 002

Anggota:

Penguji I

Drs. Jumroni, M. Si NIP. 19630515 199203 1 006

Penguji I

Drs. Wahidin Saputra, MA NIP. 19700903 199603 1 001

Pembimbing

(4)

salah satu persyaratan memperoleh gelar strata satu (S-1) di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, Januari 2010

(5)

dengan wajah menarik supaya umat lain mempunyai pandangan bahwa kehadiran islam bukan sebagai ancaman bagi eksistensi mereka melainkan pembawa kedamaian dan ketentraman dalam kehiduoan mereka sekaligus sebagai pengantar menu kebahagiaan dunia dan akhirat. Oleh sebab itu, diperlukanpara pelaku dakwah aktif yang mampu meng-ejawantah-kan misi tersebut serta mempunyai pemahaman yag mendalam seperti memiliki kemampuan mencari materi yang cocok, mengetahui psikologis objek dakwah secara tepat, memilih metode yang representative. Oleh karena itu, maka dalam skripsi ini penulis akan membahas tentang metode yang digunakan khalifah Ali bin Abi Thalib dalam dakwah beliau.

Alasan penelitian ini dilakukan adalah untuk mengetahui apakah metode dakwah yang di gunakan khalifah Ali bin Abi Thalib.

Mengenai rumusan masalah yang dipakai dalam skripsi ini adalah apa metode dakwah yang digunakan Ali bin Abi Thalib dalam membangun dakwah.

Sebab khalifah telah wafat, maka penelitian yang dilakukan adalah penelitian kepustakaan (library reseach) dan menggunakan pendekatan kualitatif. Artinya penullissmencari buku-buku yag berkaitan dengan khalifah Ali bin Abi Thalib atau yang berhubungan dengan judul yang diteliti diperpustakaan, kemudian data-dta yang ditemukan dianalisis dengan metode histories. Dalam hal ini penulis mencoba memaparkan atau menggambarkan tentang bagaimana metode dakwah khalifah Ali bin Abi Thalib dan pesan yang beliau sampaikan bagi pengembangan dakwah.

Untuk menganalisis hasil temuan dari buku, penulis menggunakan teori-teori terutama tentang metode dakwah yang terdiri dari metode al-hikmah, al-mauidzhotil

hasanah, dan al-mujadalah. Pada ketiga macam metode dakwah inilah yang lebih

ditekankan penulis untu menganalisis metode dakwah Ali bin Abi Thalib.

Riset penulis, Khalifah Ali bin Abi Thalib dalam dakwah nya menggunakan ketiga metode dakwah yakni bil hikmah, al-mauidzotil hasanah, dan al-mujadalah.

Meski sedari kecil hingga dewasa Ali selalu dihadapkan pada peperangan, kemuliaan sifat Ali membuat ia harus bernegosiasi pada saat berhadapan dengan musuh, serta kecerdasan yang beliau miliki mengharuskan beliau dlam meliahat setiap permasalahan selalu dengan sikap bijaksana, tidak jarang Ali terlebih dahulu mengajak musuhnya mengikuti ajaran Allah dan Rasulnya, jika tidak berhasil maka dengan terpaksa Ali harus menggunakan apa yang seharusnya dilakukan.

Inti dari penelitian ini adalah sebuah harapan agar para da’I dan da’iyah memiliki tambahan referensi serta senantiasa menciptakan sebuah metode terkini sehingga

(6)

Segala puji dan syukur hanya bagi Allah SWT yang telah memberikan kemudahan dalam proses pembuatan skripsi.

Shalawat dan salam sejahtera semoga terlimpah curahkan kepada baginda nabi Muhammad SAW, yang te;lah membawa risalah dinul islam sebagai jalan hidup bagi seluruh umat manusia. Selama dalam perkuliahan dan penulisna skripsi in penulis mendapat banyak bimbingan dari berbagai pihak. Dengan segala kerndahan hati, penulis menghaturkan rasa terimakasih yang setulus-tulusnya kepada:

1. Ayahanda tercinta Bpk. Dani, dna Ibunda tercinta Ibu Roiyah yang selama hidup telah banyak memberikan seluruh kasih sayang dan doanya, serta membantu penulis baik moril maupun materil yang tak henti hingga kini. 2. Bpk. Dr. Arief Subhan, M.A. Selaku Dekan Fakultas Dakwah &

Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Bpk. Drs. Wahidin Saputra, M.A., dan Ibu Hj. Umi Musyarofah, M.A. Selaku Ketua dan sekretaris Jurusan Komunikasi Penyiaran Islam.

(7)

6. Seluruh dosen dan karyawan Faultas Dakwah dan Komunikasi yang telah memberikan banyak ilmu, mudah-mudahan menajdi ilmu yang bermanfaat.

7. Para shabat terbaikku, teman-teman KPI B angkatan 2004/2005 dan semua pihak yag tidak tersebutkan namanya yang telah banyak membantu peneliti dan memberikan semangat sehingga skripsi ini dpat terselesaikan. 8. Adik-adikku tersayang dan “permata” yang selalu setia memberikan

motifasi tak henti selama penulisan skripsi.

Akhirnya, hanya kepada Allah SWT peneliti serahkan semua ini, semoga bantuan dari semua pihak dapat diadikan amal shaleh disisi Allah, dan harapan peneliti mudah-mudahan karya ilmiah yang sederhana ini dapat menjadi ilmu yang bermanfaat untuk mengembangkan ilmu pengetahuan terutama Dakwah dan Komunikasi.

Jakarta, 11 November 2009

(8)

DAFTAR ISI……….. ABSTRAK………..

BAB I PENDAHULUAN………1

A. Latar Belakang Masalah………1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah………4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian………..4

D. Metodologi Penelitian………5

E. Tinjauan Pustaka………8

F. Sistematikan Penelitian………..8

BAB II TINJAUAN TEORI TENTANG METODE DAKWAH……11

A. PengertianMetode………11

1. Etimologi dan Terminologi………...11

B. Pengertian Dakwah………...12

1. Etimologi dan Terminologi Dakwah………12

(9)

BAB IV DAKWAH ALI BI ABI THALIB………44

A. Metode Dakwah Ali bin Abi Thalib………44

B. Analisis Metode dakwah Ali bin Abi Thalib………...48

BAB V PENUTUP………...63

A. Kesimpulan………..63

B. Saran-saran………..64

(10)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Islam adalah agama yang abadi yang terangkum dalam teks-teks al-Quran dan sunah Rasulullah saw, sosok yang tak pernah mengucapkan satu kata pun dari mulutnya kecuali wahyu Tuhan semesta Alam. Allah swt dan Rasul-Nya telah mengetahui bahwa umatnya akan berbeda pendapat setelah kepergian beliau. Sehingga atas dasar inilah, al-Quran telah menurunkan obor penerang kepada umat yang dapat digunakan selepas Rasulullah saw, pelita yang dapat menuntun manusia sehingga mengikuti jejak yang pernah ditinggalkan oleh beliau, dan dapat membantu mereka dalam memahami dan menafsirkan arahan-arahannya, obor itu tak lain adalah ahlulbait a.s yakni para sahabat sepeninggalnya.1

Tak dapat dipungkiri bahwa kepergian Rasulullah SAW telah membawa angin lain dalam kehidupan para sahabat. Terjadinya pertemuan tsaqifah yang menghasilkan pemilihan khalifah pertama meski Rasulullah SAW belum dimakamkan. Pada tahun ke-13 H, khalifah pertama, Abu Bakar as-Shiddiq, meninggal dunia dan menunjuk khalifah Ustman bin Affan. Pada tahun 35 H, khalifah Ustman terbunuh dan kaum muslimin secara demokrasi memilih serta menunjuk Imam Ali sebagai khalifah dan pengganti Rasulullah SAW dan sejak saat itulah beliau memimpin negara Islam.

Selama masa kekhalifahannya yang hampir 4 tahun 9 bulan, Ali mengikuti cara yang digunakan Nabi dan mulai menyusun sistem yang islami dengan

1

Tim The Ahl-Ul Bayt Word Assembly, Teladan Abadi Ali bin Abi Thalib, (Jakarta: al-Huda, 2008), cet-1. h.23

(11)

membentuk gerakan spiritual dan pembaharuan. Hapir sebagian besar hari-hari pemerintahan Imam Ali bin Abi Thalib r.a digunakan untuk peperangan intern melawan pihak-pihak oposisi yang sangat merugikan Negara Islam seperti perang jamal, perang Siffin serta perang Nahrawan.

Imam Ali adalah sosok manusia perkasa dengan segala karakteristik yang khas dan sifat-sifatnya yang istimewa, sosok manusia yang paling mengagumkan dan paling sempurna disepanjang sejarah keberadaan manusia. Beliau adalah sosok pahlawan yang menghunus pedang demi membela risalah Allah dan wahyu langit. Perang-perang yang pernah diterjuninya seperti Badar, Uhud, Khaibar serta Ahzab bercerita sendiri tentang bagaimana keberanian, pembelaan, keteguhan, serta ketinggian daya juang beliau.

Apabila menceritakan tentangnya dari sudut pandang ilmu dan pengetahuan kita akan tertawan oleh pemikiran-pemikirannya yang cemerlang, yang dipenuhi muatan balaghah dan kefasihan bicara. Beliau merupakan pintu untuk memasuki kota pengetahuan Rasulullah saw. Kunci-kunci syariat berada dalam genggamannya, betapa banyak Syubhat yang telah beliau robohkan dan banyak hal-hal samar yang telah beliau kuak. Betapa banyak persoalan-persoalan rumit dan teka-teki membingungkan yang sudah beliau pecahkan.

(12)

Jika mencermati kezuhudan beliau, maka beliaulah yang paling zuhud dan kuat beribadah. Pada dirinya, akan ditemukan sosok seorang sufi yang meninggalkan dunia ini secara keseluruhan sehingga yang ada dibenaknya hanyalah tujuan akhirat semata2.

Sifat-sifat mulia yang dimiliki Ali tersebut di atas tentunya menjadi modal utama yang harus dimiliki da’I dalam setiap pelaksanaan dakwah. Karena dakwah merupakan kewajiban setiap individu muslim kapanpun dan dimanapun berada. Berdakwah tidak dapat dilaksanakan dengan asal-asalan, melainkan harus dengan metode, karena yang diseru adalah manusia yang mempunyai pikiran dan pendirian. Jika dakwah salah dalam pendekatan maka dapat dipastikan dakwah tidak akan memenuhi sasaran, bahkan mungkin saja muncul efek yang sebaliknya.3

Memilih cara dan metode yang tepat, agar dakwah menjadi aktual, faktual dan kontekstual, menjadi bagian strategis dari kegiatan dakwah itu sendiri. Tanpa ketepatan metode dan keakuratan cara, kegiatan dakwah akan terjerumus kedalam upaya sia-sia. Aktivitas dakwah akan berputar dalam pemecahan problema tanpa solusi dan tidak jelas ujung pangkal penyelesaiannya.4

Oleh sebab itu, perlu kiranya jika dilakukan penelitian tentang metode-metode apa saja yang dilakukan Ali bin Abi Thalib terkait dengan eksistensinya sebagai Khalifah keempat.

Sehingga peneliti akan meneliti dengan judul “METODE DAKWAH ALI BIN ABI THALIB

2

Abbas Ali al-Musawi, Ali bin Abi Thalib Manusia Sempurna, (Jakarta: Cahaya, 2008) cet 1, h. 10

3

Nana Rukmana D.W. Masjid dan Dakwah, (Jakarta: al-Mawardi Prima, 2002) cet 1, h.164

4

(13)

B. Pembatasan Masalah dan Perumusan Masalah

1. Pembatasan Masalah

Dalam penelitian ini, penulis membatasi masalah hanya pada metode dakwah yang dilakukan oleh Ali bin Abi Thalib sesudah menjadi khalifah keempat yaitu selama 4 tahun 9 bulan.

2. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dalam pembahasan skripsi ini adalah:

a. Apa metode dakwah yang dilakukan Ali bin Abi Thalib selama menjadi khalifah dalam mengembangkan?

b. Apa saja pesan yang beliau sampaikan bagi pengembangan dakwah?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui:

a. Metode dakwah yang digunakan oleh Ali bin Abi Thalib selama menjadi khalifah dalam mengembangkan dakwah.

b. Apa saja pesan yang beliau sampaikan bagi pengembangan dakwah. 2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Teoritis

(14)

2) Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama tentang dakwah.

3) Memberikan wawasan dan pengetahuan dalam upaya mengembangkan studi komunikasi dan dakwah, sehingga pesan-pesan dakwah dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan tujuan dakwah.

b. Manfaat praktis

1) Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menambah sumbangan pemikiran tentang metode dakwah.

2) Sebagai penambahan pustaka yang nantinya diharapkan menambah pemahaman secara mendalam mengenai metode dakwah.

3) Untuk menambah wawasan akademisi dan praktisi dakwah agar mengembangkan metode dakwahnya dilapangan serta dakwah yang disampaikannya mudah dimengerti dan diterima.

D. Metodologi Penelitian

1. Metode Penelitian

(15)

Metode histories adalah studi tentang masa lalu dengan menggunakan kerangka berbagai tahap generalisasi untuk memaparkan, menafsirkan dan menjelaskan data. Metode Histories bertujuan merekonstruksi masa lalu secara sistematis dan objektif dengan mengumpulkan, menilai, memverifikasi dan menyintesiskan bukti untuk menetapkan fakta dan mencapai konklusi yang dapat dipertahankan. Dengan metode histories, penulis mencoba menjawab masalah-masalah yang dihadapinya.

Penulis mengambil sumber data dari hasil penelitian kepustakaan (Library Research). Penelitian kepustakaan (library Research) adalah cara pengumpulan data dengan berusaha mencari dan mengumpulkan data yang diperlukan, dipakai, digunakan dan diperhitungkan dalam penelitian.

Data sepenuhnya diambil dari penelitian kepustakaan dengan mengandalkan pada bacaan baik buku maupun tulisan yang mempunyai relevansi dengan judul penelitian ini, dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif.

2. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek dari penelitian ini adalah Khalifah Ali bin Abi Thalib, sedangkan yang menjadi objek dari penelitian ini adalah metode dakwah yang digunakan Ali bin Abi Thalib selama menjadi khalifah keempat.

3. Tekhnik pengumpulan sumber data.

Dengan cara mengumpulkan karya-karya yang berkaitan dengan dakwah Ali bin Abi Thalib.

(16)

Sumber primer adalah buku yang berjudul:

Imamul muhtadin sayidina Ali bin Abi Thalib, Ali bin Abi Thalib sang

putera ka’bah, Ali bin Abi Thalib manusia sempurna, keagungan Ali bin

Abi Thalib, Kumpulan Khutbah Ali bin Abi Thalib, Posisi Ali bin Abi

Thalib di pentas sejarah Islam, Teladan Ali bin Abi Thalib.

b. Data sekunder

Sumber sekunder yang digunakan adalah buku-buku yang berhubungan dengan konsep dakwah Ali bin Abi Thalib diantaranya:

Metode Dakwah, Metodologi dakwah kontemporer, Dakwah bil Hikmah,

Hukum Dakwah, metode penelitian ilmu dakwah, 1001 cara berdakwah.

4. Tekhnik Analisis Data

Dari data yang dikumpulkan dengan penelusuran melalui literatur kepustakaan kemudian penulis menganalisis, menerangkan, membandingkan, dan selanjutnya menginterpretasikan data yang terkumpul secara apa adanya kemudian disajikan dalam skripsi ini.

Adapun tekhnik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku

pedoman Penulisan Skripsi, Tesis dan Disertasi Cet Ke-2 yang diterbitkan UIN

(17)

E. TINJAUAN PUSTAKA

Dari sekian banyak skripsi yang membahas metode dakwah seorang tokoh, namun tidak satupun penulis menemukan skripsi yang membahas tentang metode dakwah Ali bin Abi Thalib.

Walaupun ada beberapa skripsi yang membahas tentang metode dakwah, tetapi tidak ada satu skripsi yang membahas tentang metode dakwah khalifah Ali bin Abi Thalib.

Skripsi itu diantaranya yang berjudul; “Metode dakwah Habiburrahman Al Shirazy dalam novel islam” yang membahas tentang dakwah bil qalam Habiburrahman yaitu melalui tulisan, atas nama Siti Shobariyatul Irfani, “Metode dakwah Yusuf Mansur” yang membahas tentang dakwah bil lisan Yusuf Mansur yaitu melalui ceramah, atas nama Agus Salim Wahid, “Metode Dakwah dalam surat an-Nahl menurut pandangan DR. Yusuf Qardhawi” yang membahas tentang Metode Dakwah dalam surat an-Nahl ayat 125, atas nama Fitri Siti Nurmaya Sopa. “Metode dakwah Umar bin Khattab” yang membahas tentang Metode Dakwah Umar bin Khattab, atas nama Budi santoso.

Oleh karena itu, penulis berusaha membandingkan karya tulis terdahulu dengan skripsi yang penulis kerjakan ini, dalam hal ini tentang metode dakwah.

F. Sistematika Penulisan

(18)

Agar pembahasan dapat dilakukan secara terarah dan sistematis, maka sistematika penulisan dalam peelitian adalah sbb:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab I, penulis menguraikan beberapa hal yang berkaitan dengan penelitian ini. Pada bagian awal, diuraikan tentang latar belakang masalah, pembahasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjauan pustaka dan diakhiri dengan uraian tentang sistematika penulisan.

BAB II TINJAUAN TEORITIS

Pada Bab ini dibahas tentang metode dakwah. Agar pembahasan ini jelas, maka akan dikemukakan tentang definisi kedua istilah tersebut, baik definisi etimologis maupun terminologisnya. Selain itu, penulis juga akan mengemukakan macam-macam metode dakwah.

BAB III BIOGRAFI ALI BIN ABI THALIB

Bab ini berisikan riwayat hidup Ali bin Abi Thalib sesudah menjadi khalifah serta prestasi-prestasi yang dicapai Ali bin Abi Thalib.

BAB IV DAKWAH ALI BIN ABI THALIB

(19)

BAB V PENUTUP

(20)

BAB II

TINJAUAN TEORI TENTANG METODE DAKWAH

A. Pengertian Metode

1. Etimologi dan Terminologi

Al-uslub (metode) adalah kata yang berasal dari fi’il (kata kerja) salaba

yang artinya menang atau membunuh. Sedangkan al-istilab adalah al-ikhtilas atau

al-salb yang artinya adalah berjalan pelan namun cepat. Sedangkan al-uslub

(metode) adalah cara atau seni1.

Dari segi bahasa metode berasal dari dua perkataan yaitu meta (melalui)

dan hodos (jalan, cara). Sumber lain menyebutkan bahwa metode berasal dari

bahasa jerman methodica artinya ajaran tentang metode. Dalam bahasa Yunani

metode berasal dari kata methodos artinya jalan, yang dalam bahasa Arab disebut

thariq.2 Dalam bahasa latin metode berasal dari kata methodus yang berarti cara

atau jalan. Sedangkan dalam bahasa inggris methode dijelaskan dengan methode

atau cara.3

Kata metode telah menjadi bahasa Indonesia yang memiliki pengertian

“Suatu cara yang bisa ditempuh atau cara yang ditentukan secara jelas untuk

mencapai dan menjelaskan suatu tujuan, rencana sistem, tata pikir manusia”.

Dalam menyampaikan suatu pesan, metode sangat penting peranannya, suatu

1

Abdullah Ahmad al-‘Allaf, 1001 cara berdakwah, (Solo: Ziyad Visi Media, 2008), h. 21

2

Hasanuddin, Hukum Dakwah, (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), h. 35

3

Soejono Soemargono, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Yogyakarta: nur Cahaya, 1983), h. 17

(21)

pesan walaupun baik, namun disampaikan dengan metode yang tidak benar, pesan

itu bisa saja ditolak oleh si penerima pesan4.

Metode adalah cara teratur yang digunakan untuk melaksanakan suatu

pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki, cara kerja yang

bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan

yang ditentukan5.

Dari beberapa definisi tentang metode yang telah dipaparkan diatas,

penulis menyimpulkan bahwa metode adalah cara yang telah diatur dan melalui

proses pemikiran untuk mencapai suatu maksud.

B. Pengertian Dakwah

1. Etimologi dan Terminologi

Kata dakwah secara bahasa (etimologi) adalah bentuk masdar dari kata

yad’u (fi’il mudhari) dan da’a (fi’il madhi) yang artinya adalah memanggil (to

call), mengundang (to invite), mengajak (to summer), menyeru (to propo),

mendorong (to urge) dan memohon (to pray).6

Makna lain kata dakwah secara bahasa adalah : “do’a”, “seruan”,,

“panggilan”, “ajakan”, “undangan”, “dorongan” dan “permintaan”, berakar dari

kata kerja “da’a”, yang berarti “berdoa”, “memanggil”, “menyeru”,

“mengundang”, “mendorong”, dan “mengadu”.7

4

Nurul Badruttamam, Dakwah Kolaboratif Tarmizi Taher, (Jakarta: Grafindo Khazanah Ilmu, 2005 ), cet 1, h. 52

5

Wardi Bachtiarr, Metodologi Penelitian Ilmu Dakwah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), h.59

6

Narson Munawr, Kamus Al Munawir, (Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1994), h. 439

7

(22)

Maka secara terminologi (lughah) pengertian dakwah merupakan suatu

proses penyampaian pesan-pesan tertentu yang berupa ajakan dan seruan dengan

tujuan agar orang lain memenuhi ajakan tersebut8.

Secara terminologi pengertian dakwah dimaknai dari aspek positif ajakan

tersebut, yaitu ajakan kepada kebaikan dan keselamatan dunia dan akhirat.9

Dakwah pada hakikatnya tidak hanya menyeru atau mengajak manusia,

tetapi lebih dari itu adalah mengubah manusia baik individu maupun kelompok,

menuju ajaran dan nilai-nilai Islam. Maka konsep dakwah Islam memuat juga

konsep perubahan individu dan transformasi sosial, perubahan individu dan

transformasi sosial yang dimaksud adalah perubahan dan transformasi dari kondisi

kurang baik atau tidak baik menuju kepada kondisi yang lebih baik.10

Para ahli mendefinisikan dakwah dengan pengertian yang beraneka ragam

sebagai berikut:

1. Syaikh Ali Mahfuz mengemukakan bahwa dakwah adalah: “Menolong

manusia agar berbuat kebaikan dan menurut petunjuk, menyeru mereka

berbuat kebajikan dan melarang mereka dari perbuatan munkar, agar

mereka mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat.”11

2. S.M. Nasarudin Latif mengemukakan bahwa dakwah adalah “Usaha atau

aktifitas dengan lisan atau tulisan dan lainnya untuk beriman dan mentaati

Allah SWT sesuai dengan garis-garis syariat serta akhlak islamiyah.”12

8

Siti Muriah, Metodologi Dakwah Kontemporer, (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2000), h.2-3

9

Moh. Ali Azis, Dakwah bil Hikmah (Jakarta: Mitra Kencana, 2004), h.4

10

Irfan Hielmy, Dakwah bin Hikmah (Yogyakarta: Mitra Pustaka, 2002) h. 9-10

11

Syeik Ali Makhfuz, Hidayat al Murtasyidin, Terjemahan Hodijah Nasution, (Yogyakarta: Tiga A, 1970), h. 17

12

(23)

3. Prof. Dr. Abu Bakar Aceh menulis: dakwah ialah perintah mengadakan

seruan kepada manusia untuk kembali dan hidup sepanjang ajaran Allah

yang benar, dilakukan dengan penuh kebijaksanaan dan nasihat baik.13

4. Toha Yahya Oemar mengatakan bahwa dakwah adalah mengajak manusia

dengan cara bijaksana kepada jalan yang benar sesuai dengan perintah

Tuhan untuk kemaslahatan dan kebahagiaan mereka di dunia dan

akhirat.14

5. Ki Moesa A. Machfoeld, dalam bukunya mengatakan: Dakwah berarti

pangggilan, tujuannya membangkitkan kesadaran manusia untuk kembali

ke jalan Allah SWT, upaya ini bersifat ekspansif yaitu memperbanyak

jumlah manusia yang berada di jalan-Nya, sedangkan yang menjadi objek

panggilan adalah: Manusia yang berada diluar jalan Allah atau yang

meninggalkan jalan-Nya. Hakikat dakwah adalah memanggil atau

mengajak manusia kembali kepada agama. Hal ini karena pada hakekatnya

semua manusia dilahirkan dalam keadaan bertuhan atau beragama

situasi dan kondisi para penerima pesan

dakwah (Khalayak dakwah)”16

(makhluk religius).15

6. Ahmad Ghalwusy mendefinisikan dakwah adalah: “Menyampaikan pesan

Islam kepada manusia disetiap waktu dan tempat dengan berbagai metode

dan media yang sesuai dengan

13

Toto Jumantoro, Psikologi Dakwah dengan Aspek-asspek kejiwaan yang Qurani (Jakarta: Amzah, 2001), Cet Ke-1. h.18

14

Toha Yahya Oemar, Ilmu Dakwah, (Jakarta: Widjaya, 1983), h.41

15

Ki Moesa A. Machfoed, Filsafat Ilmu Dakwah dan penerapannya, (Jakarta: Bulan BIntang, 2004), h.15-16

16

(24)

Dari beberapa definisi di atas, maka dakwah dapat diartikan sebagai suatu

usaha, kegiatan, aktivitas dalam menyampaikan, menyeru, mengajak, mendorong

manusia untuk melakukan amal kebaikan sesuai perintah Allah SWT dan tidak

melakukan perbuatan mungkar (amar ma’ruf nahi munkar) dilakukan dalam

bentuk lisan, tulisan, perbuatan dan sebagainya dengan sadar dan terencana yang

disampaikan secara hikmah kebijaksanaan dengan tujuan memperoleh

kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akhirat.

2. Metode-metode dakwah

Metode dakwah adalah cara-cara tertentu yang dilakukan oleh seorang da’I

(komunikator) kepada mad’u (objek dakwah) untuk mencapai suatu tujuan atas

dasar hikmah dan kasih sayang.17

Metode dakwah mencakup seluruh aktifitas kehidupan, karena kaum

muslimin dengan kemampuan yang ada pada dirinya bisa menjadikan setiap amal

yang diperbuat dan setiap aktivitas yang dilaksanakan sebagai jalan untuk

berdakwah menunjukkan manusia ke jalan yang lurus.18

Banyak metode dakwah yang disebutkan dalam al-Quran dan hadits akan

tetapi pedoman pokok dari keseluruhan metode tersebut adalah merujuk pada

Firman Allah Surat an-Nahl QS. 16:125:

ْدا

Toto tasmara, Komunikasi Dakwah, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1997), h.43

18

(25)

Artinya: Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya

Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.19

Dari ayat tersebut secara garis besar ada tiga pokok metode dakwah, yaitu:

1. Bi al Hikmah

Dalam beberapa kamus, kata al-Hikmah diartikan; al-adl (keadilan), al hilm

(kesabaran dan ketabahan), al nubuwwah (kenabian), al ilm (ilmu pengetahuan),

al-Quran, Faslasah, kebijakan, pemikiran atau pendapat yang baik. Al-Haq

(kebenaran) meletakkan sesuatu pada tempatnya, kebenaran sesuatu, mengetahui

sesuatu yang paling utama dengan ilmu yang paling utama.20

Dalam bahasa komunikasi hikmah menyangkut apa yang disebut sebagai

frame of reference, field of reference dan field of experience, yaitu situasi total

yang mempengaruhi sikap terhadap pihak komunikan (objek dakwah).21

Beberapa Ilmiuan Islam memberi makna bi al hhikmah sebagai berikut:

a. Al-Maraghi memberi maknma bi al hikmah dengan lebih luas, yakni

dengan wahyu Allah yang telah diberikan epada manusia.22

b. M. Abduh berpendapat bahwa hikmah adalah mengetahui rahasia dan

faedah di dalam tiap-tiap hal. Hikmah juga digunakan dalam arti ucapan

yang sedikit lafadzh akan tetapi banyak makna. Ataupun diartikan

meletakkan sesuatu pada tempatnya.

19

Yayasan Penyelenggaraan Penerjemah/Penafsir al-Quran, al-Quran dan terjemahnya, Lembaga percetakan Raja Fahd, tt, h.93.

20

Asep Muhiddin, Agus Ahmad Syafe’I, Metode Pengembangan Dakwah (Bandung, CV. Pustaka Setia, 2002), h. 78

21

Toto Tasmono, Komunikasi Dakwah (Jakarta: Gaya Media Pratama, 1987), h. 37

22

(26)

c. Al- Zamakhsari memberikan makna bi al hikmah sebagai perkataan yang

pasti benar, yakn dalil yang menjelaskan kebenaran dan menghhilangkan

keraguan atau kesamaran. Kemudian ia uga mengartikan dengan

Al-Quran, yakni “Serulah mereka mengikuti kitab yang memuat

al-Hikmah.”23

d. Wahbah Al-Juhali memberikan makna bi al hikmah sebagai perkataan

yang jelas dengan dalil yang terang, yang dapat mengantarkan pada

kebenaran dan menyingkap keraguan.24

Dari pemaknaan al-hikmah tersebut, penulis menyimpulkan bahwa

dakwah bi al hikmah dakwah yang dilakukan dengan penuh kebijaksanaan,

kesabaran, keadilan, ketabahan, argumentative, dan filosofis, yang sesuai dengan

risalah kenbian (an-nubuwwah) dan ketentuan-ketentauan di dalam al-Quran

(Wahyu Allah), dalam rangka mengungkapkan al-haq (kebenaran0,

menghilangkan keraguan, dan memposisikan sesuatu pada tempatnya secara

proporsional berdasarkan ilmu yang paling utama dan ma’rifat.

Dakwah bi al hikmah yang berarti dakwah bijak, mempunyai makna selalu

memperhatikan suasana, situasi, dan kondisi mad’u (muqtadha al-hal). Hal ini

berarti menggunakan metode yang relevan dan realistis sebagaimana tantangan

dan kebutuhan, dengan selalu memperhatikan kadar pemikiran dan intelektual,

suasana psikologis, dan situasi social cultural mad’u.25

23

Asep Muhiddin, Dakwah dalam perspektif Al-Quran: Studi Kritis atas Visi, Misi dan Wawasan,

(Bandung: CV. Pustaka Setia, 2002), h.163

24

Wahbah Al-Juhali, At-Tafsir Al-Munir, Juz. 13-14, h.267.

25

Asep Muhiddin, Dakwah dalam Perspektif Al-Quran: Studi Kritis ata Visi, Misi dan WAwasan,

(27)

Dengan demikian dakwah bi al hikmah yang merupakan metode dakwah

bijak, akan selalu memperhatikan kondisi mad’u dalam hal:

a. Kadar pemikiran, tingkat pendidikan dan intelektualitas mad’u.

b. Keadaan psikologis mad’u yag menjadi obek dakwah, dan

c. Suasana serta situasi social cultural mad’u.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Sayyid Quthub. Ia menyatakan bahwa

untuk mewujudkan metode dakwah bi al hikmah harus memperhatikan tiga factor,

yaitu:

a. Keadaan dan situasi orang yang didakwahi.

b. Kadar atau ukuran materi dakwah yang disampaikan agar mereka tidak

merasakan keberatan dengan beban materi tersebut.

c. Meode penyampaian materi dakwah dengan membuat variasi sedemikian

rupa yang sesuai dengan kondisi pada saat itu.26

Prinsip-prinsip metode dakwah bi al hikmah ini ditujukan terhadap mad’u

yang kapasitas intelektual pemikirannya terkategorikan khawas, cendekiawan atau

ilmuan.27

2. Mauidzatil Hasanah (Nasehat yang Baik)

Secara bahasa, mauidzhah hasanah berasal dari kata

wa’adza-ya’idzu-wa’dzan-I’dzatan yang bersifat nasihat, bimbingan, pendidikan, dan peringatan.

Sementara hasanah artinya kebaikan.28

26

Sayyid Quthub, Fi Dzila Qal-Quran Jilid VII, Beirut, Ihya’ At-Turas Al-arabi, tt

27

Asep Muhiddin, ibid

28

(28)

Dakwah dengan metode ini ditunjukkan pada manusia jenis kedua, yaitu

mereka yang memiliki fitrah terhadap kebenaran, tetapi ragu untuk memilih

mengikuti kebenaran yang disampain kepada mereka atau justeru mengikuti

kebatilan yang tumbuh disekelilingnya.

Adapun pengertian secara istilah ada beberapa pendapat antara lain:

a. Ali Mustafa Ya’qub menyatakan bahwa Mauidzah al Hasanah adalah

ucapan yang berisi nasihat-nasihat yang baik dimana ia dapat bermanfaat

bagi orang yang mendengarkannya, atau argumen-argumen yang

memuaskan sehingga pihak audience dapat membenarkan apa yang

disampaikan oleh subyek dakwah.29

b. Menurut Imam Abdullah bin Ahmad an-Nasafi, Mauidzatil hasanah adalah

perkataan-perkataan yang tidak tersembunyi bagi mereka, bahwa engkau

memberikan nasihat dan menghendaki manfaat kepada mereka atau denan

al-Quran.30

Dari uraian di atas dapatlah diambil kesimpulan dari Mauizhatil hasanah

mengandung arti kata-kata yang masuk ke dalam kalbu dengan penuh kasih

saying dank e dlam perasaan dengan penuh kelembutan, tidak membongkar atau

membeberkan kesalahan ornag lain sebab kelemah-lembutan dlam menasihati

seringkali dapat melulukan hati yang keras dan menjinakkan kalbu yang liar, ia

lebih mudah melahirkan kebaikan daripada larangan dan ancaman.

29

Ali Mustafa Yaqub, Sejarah dan Metode Dakwah Nabi (Jakarta: Pustaka Firdaus,1997),h.121

30

(29)

3. Mujadalah

Dari segi etimologi (bahasa) lafadzh mujadalah terambil dari kata “jadala

yang bermakna memintal, melilit. Apabila ditambahkan alif pada huruf jim yang

mengikuti wazan faala, “Jaadala” dapat bermakna berdebat, dan “Mujadalah

Perdebatan.31

Metode dakwah yang ketiga ini juga disebutkan dalam al-Quran surat

an-Nahl ayat 125, yakni wa jaadilhum bi al-lati hiya ahsan. Metode ini merupakan

upaya dakwah melalui jalan bantahan, diskusi, atau berdebat dengan cara yang

terbaik, sopan santun, saling menghargai, dan tidka arogan.32

Dalam hal ini, Syaikh Yusuf al-Qardawi menuturkan bahwa dalam diskusi

ada dua metode, yaitu metode yang baik (hasan) dan metode yang lebih baik

(ahsan). Al-Quran menggariskan bahwa salah satu pendekatan adalah dengan

menggunakan diskusi yang lebih baik. Diskusi dengna metode ahsan ini adalah

dengan menyebutkan segi-segi persamaan antara pihak-pihak yang berdiskusi,

kemudian dari situ dibahas masalah-masalah perbedaaan dari kedua belah pihak,

sehingga diharapkan mereka akan mencapai segi-segi persamaan pula.33

Dari segi istilah (terminologi) terdapat beberapa pengertian mujadalah (

al-Hiwar) antara lain berarti upaya tukar pendapat yang dilakukan oleh dua pihak

31

Ahmad Warson al-Munawwir, h.175

32

Asep Muhiddin, ibid h.163

33

(30)

secara sinergis, tanpa adanya suasana yang mengharuskan lahirnya permusuhan

diantara keduanya.34

Menurut Dr. Sayyid Muhammad Thantawi, al-Mujadalah ialah suatu

upaya yang bertujuan untuk mengalahkan pendapat lawan dengan cara

mengajukan argumentasi dan bukti yang kuat.35

Dalam aplikasi metode ini, ada watak dan suasana yang khas, yakni

bersifat terbuka atau transfaran, konfrontatif dan kadang-kadang reaksioner.

Namun, juru dakwah harus tetap memegang teguh pada prinsip-prinsip umum dari

watak dan karakteristik dakwah yang berinti pikiran dan penyejukan jiwa.36

Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa:

a. Al-Hikmah, yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya baik berupa

ucapan maupun perbuatan selama tidak melanggar hokum islam.

b. Mauidzatil Hasanah, Yaitu memberi nasihat yang dapat diterima orang

lain dalam mengajak manusia untuk melaksanakan ajaran Islam.

c. Al-Mujadalah bi al-Lati Hiya Ahsan, Yaitu bertukar fikiran dengna

menggunakan dalil atau alsan yang sesuai dengan kemampuan berfikirnya

yang tidak melahirkan permusuhan dengan tujuan agar lawan dapat

menerima pendapat yang diajukan dengan memberikan argumentasi dan

bukti yang kuat.

34

World Assembly of Muslim Yaouth (WAMY), Fil Ushulil Hiwar, Maktabah WAhbah Cairo, Mesir, diterjemahkan oleh Abdus Salam M dan Muhil Dhafir, dengan judul terjemahan “Etika Diskusi”, (Jakarta: Era Inter Media, 2001), h.21

35

Sayyid Muhammad Thantawi, Adab al-Khiwar Fil Islam, Dar al-Nahdhah, Mesir diterjemahkan oleh Zaenuri Misrawi dan Zumroni Kamal, (Jakarta: Azan, 2001), h.4

36

(31)

BAB III

BIOGRAFI ALI BIN ABI THALIB

A. Riwayat Hidup Ali bin Abi Thalib

Ali bin Abi Thalib adalah putera dari Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdi Manaf bin Qushay bin Kilab bin Murroh bin Ka’b bin Luay bin Ghalib bin Fihr bin Malik bin Nadhar bin Khuzaimah bin Mudrikah bin Iyah bin Mudhar bin Nizar bin Ma’d bin Adnan. Sedangkan Ibunya Fathimah binti Asad bin Hasyim bin Abdi Manaf. Ali dilahirkan di Mekkah, 13 Rajab (berarti 10 tahun sebelum Rasul menerima wahyu).

Saat Abu Thalib mengalami krisis ekonomi karena kekeringan yang melanda, seperti yang dialami oleh orang-orang Quraisy, Rasulullah saw menyarankan kepada kedua pamannya, Hamzah dan Abbas untuk turut membantu meringnkan beban hidup Abu Thalib, dengan menanggung biaya hidup anaknya. Maka keduanya pun memenuhi permintaaan tersebut. Maka Abbas mengambil Thalib, Hamzah mengambil ja’far, dan Rasulullah saw mengambil Ali.1

Ai bin Abi Thalib telah tumbuh sebagai seorang pemuda di tengah-tengah kelaurga Nabi, dan hidup dibawah asuhan beliau. Sayyidina Ali banyak mengambil tabi’at Nabi Saw dan beliau adalah orang terdekat hubungannya dengan Nabi, dan yang paling dicintai oleh Rasulullah Saw. Beliau hidup dengan budi yang luhur dan dengan jiwa yang takwa serta hidup dalam kesederhanaan.

1

Sayyid Ahmad Asy-Syulaimi, kumpulan Khotbah Ali bin Abi Thalib, (jakarta: Gema Insani Press, 2001), h.15

(32)

Beliau hampir tidak pernah terpisah sejengkal pun dari Rasulullah Saw baik di waktu suka maupun duka.2

Ali tergolong pada keturunan keluarga Hasyimiyah, sama dengan garis keturunan Nabi Muhammad. Garis keturunan inilah yang menduduki kekuasaan tertinggi atas ka’bah dan sekitarnya sebelum Nabi lahir. Nabi menikahkannya dengan Fatimah, putri Nabi, pada tahun ke 2 Hijrah, Ali tergolong generasi pertama yang mempercayai dan mengikuti seruan Muhammad, dalam usia 9 tahun beliau sudah masuk Islam.3

Ali dikenal sangat sederhana dan zahid dalam kehidupan sehari-hari. Tidak tampak perbedaan dalam kehidupan rumah tangganya antara sebelum dan sesudah diangkat sebagai khalifah. Kehidupan sederhana ini bukan hanya diterapkan kepada diirnya, melainkan kepada putra-putrinya.

Beliau tinggal dalam rumah yang amat sederhana dan tidak berbeda dari rumah kaum miskin di kalangan umatnya, makan gandum yang beliau tumbuk sendiri atau ditumbuk oleh isterinya, baik sebelum maupun sesudah menjadi khalifah. Sebab beliau menyerahkan seluruh kekayaan negara yang diperoleh dari barat dan timur kepada Baitul Mal yang terbentuk pada masa pemerintahan beliau.4

Telah berkali-kali Fatimah binti Nabi, Isteri Ali menekan dada kaena kesusahan, dan menuntut untuk lebih memperhatikan walaupun tidak berlebihan. Namun ia selalu saja berhadapan dengan Rasulullah Saw, dan Ali R.a, suaminya,

2

Haji Sjech Marhaban, Tokoh-tokohIslam di Zaman Nabi, (Singapura: Pustaka Nasional, 2004), h.3

3

K. Ali, Sejarah Islam / Tarikh Pramodern, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2008), h.135

4

(33)

yang selalu menyebut-nyebut kebahagiaan di dunia akhirat, yakni kehidupan yang lebih baik dan lebih kekal. Untuk itu bersabarlah jiwa Fatimah.5

Salah satu contoh kezuhudan beliau yakni ketika saudaranya, Aqil bin Abi Thalib, meminta kepadanya sesuatu dari baitul maal, ia menolak dan berkata kepadanya: “Adakah engkau menghendaki Allah membakar diriku di neraka

jahannm karena memberimu sesuatu dari harta milik kaum muslimin ”.

Kezuhudan beliau juga dapat dilihat ketika Imam Ali R.A terbunuh, ia hanya meninggalkan sebanyak enam ratus dirham, jumlah yang tidak berarti apa-apa bagi seorang khalifah.6

Ali r.a juga memperoleh gaji sama dengan yang diperoleh Abu bkar dan Umar r.a. Ia mengenakan pakaian yang hanya sampai separuh kakinya atau batang kakinya, dna seringkali bajunya itu penuh dengan tambalan. Belum pernah, sepanjang hidupnya, ia menyimpan sesuatu harta. Beliau juga tidak pernah mau membeli sesuatu dari seseorang yang mengenalnya, agar orang tersebut tidak mengurangi harga untuknya disebabkan Ali adalah Amirul Mukminin.7

Ketika Hasan dan Husein ditimpa sakit, maka kedua orang tuanya merasa susah, dan kemudian bernazar bila keduanya sembuh akan berpuasa tiga hari karena Allah. Maka ketika Allah telah menyembuhkan kedua anaknya, mereka menepati nazarnya. Pada hai pertama, kedua dan ketiga puasa, beliau didatangi orang miskin, mereka pun memberikan makanan kepada orang miskin tersebut,

5

Abdul Halim ‘Uweis & Mushafa ‘Asyur, Sayyidina Ali Khalifah keempat yang dideskriditkan,

(Jakarta: Yayasan Alumni Timur Tengah Indonesia), h.102

6

Abdul Halim ‘Uweis & Mushafa ‘Asyur, Sayyidina Ali Khalifah keempat yang dideskriditkan,

(Jakarta: Yayasan Alumni Timur Tengah Indonesia), h.106

7

(34)

ssehingga tatkala berbuka puasa selama tiga hari, Ia hanya minum air, karena mendahulukan orang-orang yang mempunyai hajat daripada dirinya.8

Ali bin Abi Thalib telah menunjukkan selama hidupnya sebagai orang yang zuhud. Yang lebih penting lagi adalah ia jujur dalam kezuhudannya. Hal sama ketika ia ujur dalam semua apa yang dilakukan atau yang terlintas dalam hatinya, bahkan yang diucapkannya. Ali mempraktekkan hidup zuhud dari dunia, gemerlapan kekayaan khas Negara dan kekuatan seorang penguasa serta hal-hal apa saja yang menurut orang lani dapat mengangkat derajat mereka. Sesuatu yang dilihat leh mereka sebagai tolok ukur derajat seseorang.

Ali bin Abi Thalib berkata di akhir hayatnya kepada Hasan dan Al-Husein, “Tahanlah tawanan ini. Berilah dia makan, minum, dan perlakukan dengan baik. Kalau aku bias sembuh, mka akulah orang yang paling berhak melakukan sesuatu yang berkaitan dengan apa yang dilakukannya terhadap diriku. Kalau aku mau, aku bias membalasnya, tapi bias pula aku berbuat baik terhadapnya. Sedangkan bila aku mati, maka yang demikian itu menadi urusan kalian. Kalaupun menurut pendapat kalia lebih baik dibunuh, maka kupesankan agar tidak kalian potong-potong tubuhnya (jangan disiksa).”9

Adapun sifat fisik Ali, berperawakan sedang, antara tinggi dan pendek. Perutnya agak menonjol, pundaknya lebar, kedua lengannya berotot seakan edang mengendarai singa. Lehernya berisi, bulu jenggotnya lebat, kepalanya botak dan bermbut di pinggir kepala. Matanya besar, wajahnya tampan, kulitnya gelap. Postur tubuhnya tegap dan proporsional. Bangun tubuhnya kokoh, seakan-akan dari baja, berisi. Jika berjalan, seakan-akan sedang turun dari ketinggian, seperti berjalannya Rasulullah Saw.10

8

Muhammad Ali al-Quthub, Sepuluh sahabat dijaminn Ahli Surga, (Semarang: CV. Toha Putera, 2005), h.100

9

Ahsin Muhammad dan Afif Muhammad, Para pemuka Ahlu Bayt nabi, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2000), h. 73

10

(35)

Pada saat Nabi sedang hebat-hebatnya pada hari-hari pertama memanggil orang untuk masuk Islam di kota Mekkah, dan penduduk Mekkah masih segan untuk mendukungnya, maka Ali kecil berteriak di tengah-tengah para hadirin, dan mengatakan: “Akulah wahai nabi, selain aku menerima panggilan suci itu, aku

bersedia menjadi pembantu utama bagi tuan.” Demikian Sayyidina Ali menjadi

seornag laki-laki yang pertama memeluk Agama Islam sesudah Siti Khodijah Ummul Mu’minin.11

Pada malam menjelang Hijrah ketika kafir Quraisy berkumpul di Darun nadwah dan bersepakat untuk membunuh Nabi, Nabi membuat siasat dengan menyuruh Ali menggantikan tidur di tempat beliau. Ali seara ikhlas dan berani menerima perintah yang pebuh resiko tersebut. Sehingga pada saat subuh tiba, yag pasukan kafir dapati bukan Nabi melainkan Ali.12

Itulah Ali, ia menyerahkan nyawanya untuk orang yang dicintainya, ini merupakan salah satu bentuk kecintaan sejati, Ia siap dengan resiko apa pun, termasuk kemungkinan dibunuh, Ali bersedia menanggung akibatnya. Dengan cara itu, Rasulullah dan Abu Bakar aman bersembunyi di Gua Tsur selama beberapa hari, dan selanjutnya meneruskan hijrah ke Madinah.

Ali mengikuti seluruh peperangan, kecuali perang Tabuk. Setiap kali terjadi peperangan besar yang diikuti Nabi, Ali selalu terlibat didalamnya. Terkadang ia membawa bendera, memorak porandakan musuh, atau menaklukkan benteng pertahanan musuh.

11

Hadji Sjech Marhaban, Tokoh-tokoh Islam di Zaman Nabi, (Singapura: Pustaka Nasional, 2000), h.4

12

(36)

Ketika umat Islam menghadapi kafir Quraisy dalam perng badar, tiba-tiba tiga orang dari pihak musyrikin (Syaibah bin Rabiah, Atabah bin rabiah, dan Walid bin Atabah) maju ke medan menantang orang-orang Islam untuk berperang tanding. Kemudian Nabi menyuruh Ubaidah bin Harits, Hamzah dan Ali bin Abi Thalib. Lalu terjadilah perang tanding Ubaidah melawan Atabah, Hamzah melawan Syaibah, Ali melawan Walid bin Atabah. Pasukan muslimin mengakhirinya dengan kemenangan.

Sedangkan di perang Uhud, dimana Musuh Islam dipimpin oleh Abu Sufyan dari keluarga Umayah yang sangat memusuhi Nabi, Imam Ali as kembali memerankan peran yang sangat penting, yaitu ketika sebagian sahabat tidak lagi mendengarkan wasiat Rasulullah saw agar tidak turun dari gunung, namun mereka justru turun sehingga orang kafir Quraisy mengambil posisi mereka. Dalam keadaan kritis tersebut, Imam Ali bin Abi Thalib as segera dating untuk menyelamatkan Nabi saw dan sekaligus menghalau serangan itu.13

Pada waktu perang Khandaq, keluarlah Amru bin Wuud dari barisan kaum musyrikin dan mengucapkan tantangan : “Siapakah yang mau melawan?” maka keluarlah Ali. Selanjutnya Amru berkata pada imam Ali : “Pulanglah engkau

wahai putera saudaraku! Saya tidak berkehendak membunuh engkau” Maka Ali

berkata “Namun saya, demi Allah, berkehendak membunuh engkau”.14

Tantangan Ali membangkkitka semangat jahiliah Amru bin Wuud. Ia menikam kudanya dengan pedangnya dan menyerang Ali dengan bengis. Tapi Ali

13

Syeikh Abdul Husain Al-Amini, Ali bin Abi Thalib sang putera ka’bah, (Jakarta: Penerbit Al-Huda, 2003), h. 23

14

(37)

menagkis dengan sekuat tenaga dan menikamkan pedangnya ke tubuh Amru. Tak lama kemudian tubuh AMru roboh bermandikan darah. Kemudian, Ali ra kembali kepada barisan muslimin. Maka tidak mengherankan bila Ali dikenal sebagai orang yang tidak dapat dikalahkan.15

Pada perang khaibar, Ali bin Abi Thalib maju ke medan perang sambil membawa bendera. Dari pihak musuh, muncul marhab dan berkata, “Penduduk Khaibar sudah tahu bahwa aku Marhab, pejuang gagah berani yang selalu siap

bertarung.” Ali menimpalinya “Aku diberi nama oleh Ibuku “Singa Hutan” yang

menakutkan. Aku selalu siap menghilangkan nyawa musuh-musuh Allah.”16

Pada perang Hunain yakni peperangan yang menghancurkan pasukan Malik bin Auf yang terdiri dari Qabilah Hawazin dan Tsaqif. Rasulullah memimpin pasukan terdiri dari 12.000 orang. Berkat keberanian Ali dan para sahabat lainnya dalam memukul tiap serangan yang ditujukan terhadap asulullah saw, akhirnya kaum muslimin dapat dikendalikan dan diarahkan untuk melancarkan serangan balasan.17

Ketika Rasulullah wafat, Ali menunggui jenazahnya dan mengurus pemakamannya. Sementara sahabat-sahabat lainnya sibuk memikirkan soal pengganti NAbi saw. Setelah Abu Bakar terpilih menjadi khalifah, Ali tidak segera membaiatnya. Ia baru membaiatnya beberapa bulan kemudian.

Ali adalah tolak ukur dalam masalah-masalah peradilan dan fatwa da;am kehidupan masyarakat Islam, mulai dari peradilan, social dna manajemen,

15

Abdullatif Ahmad ‘Aasyur, 10 Orang Dijamin Ke Surga, (Jakarta: Gema Insani Press, 1994), h.87

16

Said bin Ali bin Wahif Al-Qahthani, Dakwah Islam Dakwah bijak, (Jakarta: Penerbit Gema Insani Press,1994), h.182

17

(38)

dizaman Abu Bakar, Umar dan Ustman. Pada masa kekhalifahan Abu Bakar, Umar dan Ustman, ia terus menyertai tiga khalifah itu meneruskan dakwah Rasulullah.

Kesederhanaan, kerendah hatian, ketenangan dan kecerdasan dari kehidupan Ali yang bersumber dari Al-Quran dan wawasan yang luas, membuatnya menempati posisi istimewa diantara para sahabat Rasulullah yang lain.

Abu Bakar ash-Shiddiq, khalifha pertama, mencintai Ali bin Abi Thalib, dan ia telah menugaskan Ali untuk menjaga Madinah saat terjadi peperangan melawan gerakan murtad. Demikian juga Umar bin Khattab mencintai Ali. Setiap ada masalah hokum, pasti Umar akan meminta pendapat Ali bin Abi Thalib, sehingga ia pernah berkata, “Setiap ada masalah hokum, Abul Hasan (Ali bin Abi Thalib) harus dimintakan pendapatnya”18

Sebagi sal;ah satu contoh yakni pada masa Ustman pernah terjadi perzinahan antara shafiyah dengan seorang lelaki tawanan. Kemudian, dia melahirkan seorang anak yang diperebutkan oleh lelaki pezina itu dengan Yohanes, keduanya mengadu kepada Ustman, maka Ustman mengalihkan masalah ini kepada Ali bin Abi Thalib hingga dapat terselesaikan.19

Semasa hidupnya setelah Fatimah Az-Zahra binti Muhammad wafat, Ali memiliki beberapa Istri diantaranya: Amamh binti Abul’Ash, Ummul Banin binti Haram bin Darin Al-Kilabiyyah, Laila binti Mas’ud bin Khalid bin An-Nahsyaliyyah At-Tamimiyah Ad-Daramiyah, Asma binti ‘Umais

18

Sayyid Ahmad Asy-Syulaimi, Kumpulan Khotbah bin Abi Thalib, (Jakarta: Gema Insani Press,2001), h.28

19

(39)

Khats’amiyyah, Ummum sa’id binti ‘Urwah bin Mas’ud Ats-Tsaqafiyyah, Makhba’ah binti Umru’ul Qais bin ‘Adiy Al-Kalbiyyah.20

Anak-anaknya bernama Hasan, Husein, Zainab, Ummu Kultsum, Muhsin, Muhammad al-Akbar, Abdullah al-Akbar, Abu Bakar, Abbas, Ustman, Ja’far, Abdullah al-Ashsgar, Yahya, Aun, Umar, Muhammad al-Ausath, Ummu Hani, Maimunah, Ramlah As-Sugra, Zainab as-Shugra, Ummu Salmah, Ummu Ja’far, Jumamah dan Taqiyyah.21

Setelah Ustman bin Affan wafat, kaum muslimin melihat bahwa masalah pengangkatan khalifah baru sulit dipecahkan. Banyak sahabat nabi, seperi Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Umar, Sa’ad bin Abi Waqqash, dna Zubai bin Awwam, menolak menjadi khalifah. Oleh Krena itu, orang-orang berkumpul di Madinah untuk mendiskusikan siapa yang pantas menjadi khalifah. Namun, mereka tidak menemukan oran gyang lebih pantas daripada Ali bin Abi Thalib.22

Penduduk Madinah, didukung oleh ketiga pasukan yang dating dari Mesir, Basrah dan Kufah, memilih Ali bin Abi Thalib untuk menjabat khalifah. Konon pada mulanya Ali menolak, akan tetapi atas desakan itu, ia pun menerima jabatan tersebut. Baiat berlangsung di Mesid Nabawi. Zubair bin Awwam dan Thahah bin Ubaidillah konon menangkat baiat dengan terpaksa, dan justeru keduanya mengajukan syarat di dalam baiat itu, bahwa khalifah Ali akan menegakkan keadilan terhadap para pembunuh Khalifah ustman.23

20

M.H Al Hamid Al Husaini, Imamul Muhtadin Sayidina Ali bin Abi Thalib, (Bogor: Yayasan Al-Hamidi, 2009,) h.30

21

Sayyid Ahmad Asy-Syulaimi, Kumpulan Khotbah Ali bin Abi Thalib, (Jakarta: Gema Insai Press, 2001), h. 14

22

‘Abdul Hakim al-‘Afifi, 1000 Peristiwa Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Hidayah,2002), h.93

23

(40)

Dalam pidato pertamanya seusai pengukuhan terhadapnya sebagai khalifah, antara lain menekankan bahwa Allah telah menurunkan Al-Quan yang menjelaskan hal-hal yang baik dan buruk, dan dia mengajak rakyat untuk mengambil mana yang baik dan meninggalkan mna yang buruk. Dia juga mengemukakan bahwa diantara banyak macam perlindungan yang dijamin oleh Allah, yang paling utama adalah perlindungan atas umat Islam, dan haram hukumnya melukai atau merugikan sesame Islam tanpa alas an yang dibenarkan oleh hukum.24

Diriwayatkan oleh Thabari bahwa Ali berkata: “Baiatku tidak akan terjadi secara rahasia dan tidak akan berlangsung kecuai aqtas dasar kerelaan kaum

muslimin”25

Wahai manusia, kamu telah membaiat saya sebagaimana yang telah

kamu lakukan kepada khalifah-khalifah yang dulu daripadaku. Saya hanya boleh menolak sebelum jatuh pilihan, apabila ppilihan telah jatuh, menolak tidak boleh lagi. Imam harus teguh dan rakyat harus patuh menurut. Baiat kepada diriku ini adalah baiat yang rata, yang umum. Barang siapa yang mungkir daripadanya terpisahlah dia daripada agama islam ”.26

Sesudah beliau di baiaat menjadi khalifah, Ali mengeluarkan dua kebijakan. Pertama, Memecat Gubernur-gubernur yang diangkat Ustman. Kedua,

Mengambil kembali tanah-tanah yang dibagi-bagikan Ustman kepada famili-famili dan kaum kerabatnya tanpa jalan yang syah. Demikian juga hibah atau pemberian Ustman kepada siapapun yang tidak beralasan, diambil Ali kembali.27

24

Munawir Sadzali, Islam dan tata Negara: ajaran, sejarah dan pemikiran, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1993), h.29

25

Abul ‘Ala al-Maududi, Khalifah dan Kerajaan, (Bandung: Mizan Anggota Ikapi, 2000), h.114

26

Hamka, Sejarah Umat Islam, (Singapura, Kerjaya Printing Isdustries Pte Ltd, 1994), h.237

27

Ahmad Shalaby, Sebuah Buku Kajian Mengenai Sejarah Islam Sejarah dan Kebudayaan Islam,

(41)

Menghadapi kebijakan yang pertama, ada beberapa sahabat yang dengan

legowo mengundurkan diri dari pentas politik, seperti Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdullah bin Umar. Namun, ada juga di antara mereka yang tetap bersiukuh meminta Ali untuk mendahulukan penuntasan kasus pembunuh Ustman. Suatu keharusan yang saat itu sangat sulit dilakukan oleh Ali lantaran di antara para pembunuh itu justru masih bercokol di kota Madinah.28

Kepemimpinannya sebagai khalifah menempati posisi yang rumit, bukan saja pemberontakan belum reda seluruhnya, tetapi juga Muawiyah yang memperoleh kekuasaan semakin kuat di Utara dan Timur Laut Madinah, dan tidak berkenan menjadi sub ordinat atau pemerintah Daerah dari pemerintahan Islam Madinah tetapi seakan-akan menjadikan daerahnya sebagai suatu state yang merdeka dan berdiri sendiri.29

Baru saja Ali menjadi khalifah keadaan menunjukkan semakin parah karena Aisyah (Istri Rasulullah Saw) bersama Thalhah dan Zubair meminta Ali agar menuntut balas atas kematian Khalifah Ustman bin Affan. Tuntutan Aisyah itu disertai ancaman, jika Ali tidak bertindak, maka akan mendapat perlawanan dari Aisyah dan kawan-kawannya.

Akhirnya Ali memutuskan untukmeninggalkan Madinah dan berangkat bersama pasukan untuk mematahkan perlawanan Aisyah, Zubeir dan Thalhah. Akan tetapi, yang dijaga benar oleh ali, kendati perang saudara seagama itu betul terjadi, ia harus tetap menjaga keselamatan Aisyah, Ummul mukminin.

28

Hepi Andi Bustomi, Sejarah Para Khalifah, (Bandung: Pustaka al-Kautsar, 2008), h.23

29

(42)

Bagaimanapun dia tetap isteri Rasulullah Saw. Dan ibu kaum muslimin. Ali dan pasukannya tetap memandang Aisyah sebagai ibu yang layak dihormati.30

Maka, terjadilah sebuah tragedy kelam, Perang Jamal (Perang Onta). Dinamakan demikian karena Aisyah mengendarai Onta. Peperangan berakhir dengan kemenangan di pihak Ali. Thalhah bin Ubaidillah yang berada di pihak Aisyah berhasil meloloskan diri ke Basrah, tetapi akibat luka parah yang dideritanya, ia pun meninggal. Zubair bin Awwam yang juga berada di pihak Aisyah gugur. Sedangkan Aisyah tertawan, dan hanya satu hari kemudian ia dibebaskan dna dikembalikan ke Mekkah dengan diantar langsung oleh saudaranya, Muhammad bin Abu Bakar.31

Sebetulnya, sikap Ali sangat hormat kepada Aisyah mendapat kecaman keras dari kelompok ekstrem yang ada dalam pasukannya. Mereka menuntut agar Ali memperlakukan Aisyah sepeti layaknya tawanan perang. Namun, untunglah Ali pemimpin yArif sanggup meyakinkan bahwa Aisyah wajib diperlakukan dengan hormat.

Untuk mencari ketenangan dalam menjalankan pemerintahan, Ali memindahkan pusat pemerintahan ke Kufah. KEmudian memecat semua gubernur yang telah diangkat oleh Khalifah Ustman diantaranya Mu’awiyah bin Abi Sufyan, gubernur damaskus. Muawiyah tidka menerima pemberhentian itu. Pertentangan antara Ali dan Muawiyah makin lama berlanjut hingga menjadi

30

Anshori Fachmi, kisah-Kisah di zaman khalifah, (Surabaya: Sinar Baru Alcensindo,1993), h.82

31

(43)

pertentangan antara Bani hasyim dengan Bani Umaiyah dan puncaknya pecahlah perang Siffin.32

Pasukan Ali yang berjumlah 95.000 orang melawan 85.000 orang pasukan Muawiyah. Ketika peperangan hamper berakhir, pasukan Ali berhasil mendesak lawannya. Namun, sebelum peperangan dimenangkan, muncul Amr bin Ash mengangkat mushaf menyatakan damai. “Mari kita bertahkim dengan kitab Allah”. Seru Amr Lantang.33

Khalifah Ali tidak bias berkutik, dan terpaksa menghentikan peperangan, Ali bin Abi Thalib memang seorang militer sejati. Ia berhasil menenangkan perang jamal, Ia juga berhasil mengatasi pasukan Muawiyah dalam perang Shiffin. Tetapi, ia bukanlah seorang negarawan seperti Rasulullah dan para khalifah pendahulunya. Kemampuannya dalam berdiplomasi, kadang kala tak sebanding dengan apa yang dimiliki Amr bin Ash, kedigdayaan Muawiyah dalam berpolitik kadang juga tak sanggup ia taklukan.

Pertempuran menyisakan luka yang dalam pada diri kau muslim yang mulai saling berperang di antara sesame mereka, teutama bagi penduduk Basrah dan Kufah. Akibatnya, banyak orang dari pasukan Ali r.a kembali ke desa-desa mereka di Irak dan menolak berperang melawan Muawiyah. Sikap itulah yang membuat Ali marah besar, lalu ia membatalkan peperangan ke Syam untuk menundukkan Muawiyah dan balatentaranya untuk m,enundukkan Mesir. Lalu, ia membentuk sebuah pasukan yang terdiri dari 6.000 prajurit yang dipimpin Amr bin Ash. Ia membawa mereka masuk ke Fusthah pada bula Rabiul Awal 38 H.

32

M. Yusran Asmuni, Pengantar Sejarah Kebudayaan Islam dan Pemikiran (Dirasah Islamiyah II), (Jakasrta: Pustaka al-Kautsar,2008), h.24

33

(44)

Sejak saat itu, Amr menjadi gubernur Mesir dibawah pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan.

Masuknya seluruh wilayah Mesir ke dalam kekuasaan Muawiyah memperbesar posisi tawarnya di hadapan Ali di Irak yang mulai dilanda fitnah dan berabagai pemberontakan disebabkan ulah Khawarij. Itulah yang menyebabkan lemahnya kekhalifahan Ali dan mendekati saat kehancuran.34

Tidaklah Aneh jika ada kelompok menentang arbitrase(damai) itu, bahkan menolaknya secara prinsipil. Bukan hanya demikian, tapi kelompok ini berlebih-lebihan mempertahankan pendapatnya dan mengkafirkan kedua utusan itu. Mereka keluar dari ijma ummat dan tidak lagi taat kepada Ali. Mereka disebut dengan “Kaum Khawarij” artinya orang-orang yang keluar.35

Akibat tindakn Ali menghentikan serangan pada preng Siffin, pasukannya pecah menjadi tiga bagian. Yaitu, kelompok Syiah, Murjiah dan Khawarij. Kelompok ketiga inilah yang menyatakan ketidak setujuannya dengan Ali bin Abi Thalib, Muawiyah bin Abi Sufyan dan Amr bin Ash. Kelompok Khawarij berencana membunuh ketiga pemimpin itu dalam waktu bersamaan, yaitu 17 Ramadhan 40 H. Muawiyah dan Amr bin Ash selamat namun AAli bin Abi Thalib meninggal pada 19 Ramadhan 40 H dalam usia 63 tahun ditikan oleh Abdurrahman bin Muljam.36

Ali adalah khalifah terakhir dari para khalifah yang saleh pengganti Nabi Saw, yang mengantarkan umat pada suasana Islam sebagai kekuatan hidup sejati.

34

Abdul Hakim al-Afifi, 1000 Peristiwa dalam Islam, (Bandung: Pustaka HIdayah), Cet-1, h.98

35

Abdul Halim Uweis & Mustafa Asyur, Sayyidina Ali khalifah yang dideskriditkan, (Jakarta: Yayasan Alumni Timur Tengah Indonesia, 2008), h.88

36

(45)

Di dalam sebuah sunatullah, Ali melengkapi kebenaran sebuah hokum sejarah tetnang siklus peradaban muslim abad silam: Abu baker dengan naiknya peradaban. Umar dengan puncak peradaban, Ustman dengan menurunnya peradaban, dan Ali dengan berakhirnya sebuah siklus peradaban.37

Khalifah Ali benar-benar dihadapkan pada permasalahan besar. Yang ia hadapi saat itu bukan musuh kuat yang bisa dikalahkan dengan tajamnya pedang. Bukan juga pasukan besar yang bisa ditaklukkan dengan strategi jitu. Tetapi, benar-benar permasalahan pelik. Di tengah segala permasalahan itu, akhirnya Ali memutuskan untuk memulai penataan pemerintahan baru yang bermasa depan cerah. Namun, usahanya membuat penyegaran di pemerintahan malzah memicu konflik baru.

Selama lima tahun dari usianya tersebut, ia isi dengan menjabat sebagai khalifah bagi kaum muslimin, dan menghabiskan sekitar masa setengah abad sebagai mujahid Islam. Menanggung beban yang sangat berat dan mempertaruhkan nyawanya untuk membela agama Islam. Alangkah agungnya apa yang ia lakukan, maka pantaslah jika surga Allah diberikan kepadanya.

C. Prestasi yang dicapai Ali bin Abi Thalib 1. Penafsir al-Quran

Ibnu Sa’ad meriwayatkan dari Ali dia berkata, “Demi Allah tidak ada satu ayat pun yang turun kecuali saya tahu tentang apa dia turun, dimana dia turun

37

(46)

dan mengenai siapa dia turun. Sesungguhnya tuhanku mengaruniai saya hati

yang terang benderang dan lidah yang mampu berbicara dengan baik.”

Ibnu Sa’ad dan yang lainnya meriwayatkan dari Abu ath-Thufail, dia berkata, Ali pernah berkata, “Tanyakanlah kepada saya tentang kitab Allah. Sebab tidak ada satu ayat pun yang turun kecuali saya tahu apakah dia turun di

siang hari atau di malam hari. Apakah dia turun di lembah atau di gunung”.38

2. Pengumpul al-Quran

Setelah melakukan prosesi penguburan jasad Nabi Muhammad saw, Ali menyibukkan dirinya mengumpulkan ayat-ayat al-Quran dan menertibkannya sesuai waktu turunnya. Ali juga menjelaskan mana ayat yang umum dan khusus, mutlak dan muqayyad, muhkam dan mutasyabih, nasikh dan mansukh, surat-surat yang wajib sujud dan tidak, dna sunah-sunah dan adab-adab yang berkaitan dengan al-Quran. Begitu juga Ali bin Abi Thalib menjelaskan sebab-sebab turunnya ayat (AsbabunNuzul).39

3. Ksatria di medan Perang

Ketiak perang Badar akan meletus, Lai bin Abi Thalib berhasil membunuh Walid bin Utbah. Pada perang Uhud, saat pasukan kafir berhadapan dengan kaum Mukminin, dan kemenangan nyaris diraih oleh musuh, Imam Ali melawan Bani Abd Al-Dar, dan membuat mereka terjungkal satu per satu. Pada perang khandaq, Amr bin Abd al-Wuud al-Amiri, terbunuh ditangan Ali sehingga pasukan khandaq

38

Ibid h. 125

39

(47)

hancur. Pad perang Khaibar, Ali bin Abi Thalib maju ke medan peang sambil membawa bendera. Dari pihak musuh, muncul Marhab. Ali pun membunuhnya. Pada perang Hunain yakni peperangan yang menghancurkan pasukan Malik bin Auf yang terdiri dari Qabilah Hawazin dan Tsaqif. Berkat keberanian Ali dalam memukul tiap serangan yang ditujukan terhadap Rasulullah saw, akhirnya kaum muslimin dapat dikendalikan dan diarahkan untuk emlancarkan serangan balasan.40

4. Pemilik Pedang Dzulfikar

Ali terkenal sebagai panglima perang gagah perkasa. Kebneraniannya ,menggetarkan hati lawan-lawannya. Ia mempunyai sebilah pedang warisan nabi saw bernama Dzulfikar, sebagaimana yang disabdakan Rasulullah saw: “Tiada

pedang yang sehebat Dzulfikar dan tiada pemuda semulia Ali.” (Riwayat ini

disebutkan dalam kitab Fara’idus Simthain, Karya Al-Hammuyi, bab 49).41

5. Anak-anak yang pertama masuk Islam.

Yang pertama masuk Islam dari kalangan anak-anak adalah Ali bin Abi Thalib. Rasulullah saw, jika telah tiba waktu shalat maka beliau keluar menuju lembah-lembah di kota Mekkah dan Ali keluar menyertainya (padahal dia maih berumur 10 tahun) secara sembunyi-sembunyi agar tidak diketahui oleh ayah dan

40

H. Roeslan Abdulgani, Sejarah Kehidupan Rasulullah, (Jakarta: Pustaka Hidayah,1997), h.277

41

(48)

kaumnya. Lalu mereka melakukan shalat bersama, dan jika waktu sore tiba mereka berdua kemudian pulang.42

6. Memandikan Jenazah Nabi

Setelah Nabi Wafat Ali mendapatkan tugas yang diwasiatkan oleh rasulullah saw untuk memandikan beliau. Diriwayatkan pula bahwa di masa hidupnya tubuh Rasullullah saw belum pernah dilihat oleh siapapun jua. Maka beliau mewasiatkan agar Ali memandikan jenazah beliau. Besar kemungkinan Sayidina Ali pun tidak melihat tubuh Rasulullah di saat memandikan beliau, sebab Sayidina Ali pun adalah seorang yang tidak pernah mau melihat auratnya sendiri.43

7. Abu Thurab (Debu)

Suatu hari, Ali menemui Fathimah ra kemudian keluar dan berbaring di masjid. Nabi datang dan bertanya: “Dimanakah anak pamanmu (suamimu)?”

Fatimah berkata “Di masjid”. Maka beliau keluar menemuinya dan mendapati mantel milik Ali jatuh dari punggungnya, sehingga punggung Ali kotor terkena tanah, lalu beliau membersihkan tanah itu dari punggungnya, sehingga punggung Ali kotor terkena tanah, lalu beliau membersihkan tanah itu dari punggungnya seraya berucap dua kali: “Duduklah engkau wahai Abu Thurab”.44

42

Abdurrahman bin Abdullah, Kisah-kisah manusia pilihan, (Bogor: Pustaka thariqul Izzah, 2005), h.12

43

Fuad Mohd Fachruddin, Posisi Ali di Pentas Sejarah Islam, (Jakarta: Gema Insani Press, 1988), h.35

44

(49)

8. Ali pada masa ketiga khallifah

Semasa pemerintah Abu baker dan Umar, Alli menduduki tempat terhormat, yakni sebagai anggota Dewan Penasehat Khalifah. Pada masa khalifah Ustman pun ia menjadi penasihat, tetapi peranannya tidak menonjol, karena khalifah Ustman lebih condong pada pertimbangan-pertimbangan sekretarisnya, Marwan.45

9. Predikat Imam

Tentang predikat yang diberikan kepada Ali ra yang masyhur salah satunya adalah pemakaian gelar “Imam”, karena hanya Ali-lah yang memakai gelar ini diantara para khulafa. Memang, khalifah-khalifah sebelumnya memakai sebutan itu. Tetapi bukan dalam pengertian sebagaimana yang ada pada Ali ra. Memang “Imam” lah julukan paling tepat untuknya. Lebih berhak, lebih layak dari imam lain yang menggunakan julukan itu.46

10. Penyair Hebat

Beliau terkenal seorang penyair terhebat diantara empat sahabat Nabi, beliau seorang Imam Besar. Dari seluruh penjuru dunia Islam dating menuju ke Madinah, untuk sekedar memetik beberapa Hadist langsung dari beliau sendiri.47

45

Moh. Shobirienur Rasyid, Sebuah Prisma Seribu Cahaya, (Jakarta: Humaniora Utama, 2000), h.73

46

Abbas Mahmud Aqqad, Keagungan Ali, (Jakarta: Pustaka Mantiq,1992), h.147

47

(50)

11. Penyedia Kebutuhan Nabi

Ali sering mendatangi Gua Hira, saat Rasulullah saw sedang dan berkhusyu kehadirat Allah dalam kesendirian untuk membawakan dan menyediakan kebutuhan rasulullah.48

12. Ali bagi nabi laksana Harun dan Musa

Pada saat perang tabuk, Ai tidak ikut serta karena ditinggalkan untuk menjaga kota Madinah, dia kelihatan kecewa, lalu Nabi berkata kepadanya

“Tidaklah engkau rela hai Ali, supaya kedudukanmu disisiku sebagaimana

kedudukan Harus disisi Musa.”49

13. Pengembang Amanat Nabi

Rasulullah menyerahkan kepada beliau amanat-amanat untuk dikembalikan kepada empunya. Inipun soal agama dan keujuran dan Ali memang orangnya.50

14. Rasulullah mempersaudarakan Ali

Setelah Hijrah, Rasulullah mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan Anshar, ketika Rasulullah mempersaudarakan para sahabatnya, beliau berkata kepada Ali: “Engkaulah saudaraku”.51

48

Sayyid Ahmad Asy-Syulaimi, Kumpulan khotbah Ali bin Abi Thalib, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), h.22

49

Hamka, Sejarah Uamt Islam, (Singapura: Kerjaya Printing Industries Pte Ltd, 1994), h.237

50

(51)

15. Penyerahan Panji Perang Khaibar

Pada pertempuran perang khaibar dimana saat ibukota kaum Yahudi yang terbina dari beton, sehingga menyulitkan bagi tentara Islam untuk melakukan penyerbuan guna menghancurkan kekuatan yang ada di dalamnya. Oeh karena itu terpaksa tentara Islam melakukan pengepungan beberapa hari lamanya. Tetapi usaha ini pun tidak membawa hasil seperti yang diharapkan. Berhubungan dengan itu, maka pada detik-detik yang sangat sulit Rasulullah saw bersabda: “Saya akan menyerahkan panji-panji pertempuran esok pada seseorang laki-laki yang

mencintai Allah dan Rasulnya, dan dicintai oleh Allah dan RasulNya.”52

16. Memiliki pengikut setia

Pada zaman khalifah Ustman, Abdullah membentuk Syiah yakni gerakan yang mengokohkan Ali bin Abi Thalib sebagai orang yang berhak menjadi khalifah sesudah Rasulullah, pendapat ini didasarkan atas wasiat Nabi di Ghadir Khum yaitu suatu tempat antara Mekkah dan Madinah, ketika beliau kembali dari hai wada’.53

17. Jihad dijalan Allah

Seluruh kehidupan Ali adalah jihad di jalan Allah, baik ketika berada pada fase dakwah maupun sesudah berdirinya Negara Islam, ini terbukti saat beliau

51

Abdurrahman bin Abdullah, Kisah-kisah manusia pilihan, (Bogor: Pustaka thariqul Izzah, 2005), h.127

52

Haji Sjech Marhaban, Tokoh-tokoh Islam di Zaman Nabi, (Singapura: Pustaka Nasional, 2004), h.30

53

(52)

menyediakan dirinya menggantikan Nabi di tempat tidurnya pada malam hijrah. Sesudah hijrah di Madinah al-Munawaroh, untuk memasuki seluruh rnagkaian jenis jihad yang lebih besar. Ali-lah pembawa bendera Rasululah saw, sekaligus panglima para mujahidin.54

18. Gerbang Ilmu Nabi

Dalam bidang keilmuwan, rasul menyebut Ali sebagai pintu ilmu. Bila ingin berbicara tentang kesalehan dan kesetiannya, maka simaklah Sabda Rasulullah saw: “Jika kalian ingin mengetahui Adam, pemahaman Nuh, akhlak ibrahim, Munajat Musa, Sunah Isa dan kesempurnaan Muhammad, maka lihatlah

kecermelangan Ali”.55

19. Pemilik Kekuatan Sejati

Pada saat pembebasan Khaibar, pahlawan muslim dari Bani Hasyim ini (Ali bin Abi Thalib), kembali mempertunjukkan kepahlawanannya dan keberaniannya. Ketika itu, ia membawa bendera perang kaum muslimin. Saat seorang prajurit Yahudi dengan kelicikannya dapat menjatuhkan perisai Ali bin Abi Thalib, ia dengan segera mencabut pintu benteng Khaibar yang amat berat, untuk kemudian ia jadikan perisai.56 Lalu ketika pintu tersebu diangkat oleh prajurit, mereka tidak kuat meski beramai-ramai.

54

Ahsin Muhammad dan Afif Muhammad, para pemuka ahlu Bayt Nabi, (Jakarta: Pustaka Hidayah, 2004),h.43

55

Syaikh Abdul Husein al-Amini, Ali bbin Abi Thalib: Sang putera ka’bah, (Jakarta: al-Huda, 2002), h.22

56

Referensi

Dokumen terkait

This study aims to identify vocal errors in the use of pauses in Arabic by semester I students majoring in Arabic language education Islamic University Ali bin Abi Thalib Surabaya. And the method used is a qualitative one, namely descriptive analysis, which explains the data and summarizes it in words. Data collection tool uses a test by reading the text. The process was carried out with free listening-speaking techniques, writing techniques and recording techniques using a voice recorder. The results of this study indicate that there are three mistakes that are often made by students when using pauses in Arabic, namely that first, students read texts with pauses but do not read in a high tone before pauses (52.4%). Second, students read the text with pauses but not at the proper pauses (33.3%). Third, there was no pause at all in students' pronunciation while reading the text (14.3%). The results of this study provide an overview of phonological errors in the use of pauses in Arabic so that they can be used as a reference for evaluation in learning