• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sanksi pidana pelaku pasif tindak pidana Pencucian uang menurut hukum pidana islam dan undang-undang nomor 8 Tahun 2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Sanksi pidana pelaku pasif tindak pidana Pencucian uang menurut hukum pidana islam dan undang-undang nomor 8 Tahun 2010"

Copied!
135
0
0

Teks penuh

(1)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)

Oleh: ALFIAH 107043203719

KONSENTRASI PERBANDINGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARI’AH DAN HUKUM

UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

(2)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Hukum Islam (Sltr)

Oleh:

ALFIAH NIM. 107043203719

Pembimbing:

/\

Dr. Fuad Thohari. MA

NIP. 19700323200003 1001

KONSENTRASI PERBANI}INGAN HUKUM

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZ}IAB DAN HUKUM

FAKULTAS SYARI'AH DAN HUKUM UIN SYARIF HIDAYATULLAH

(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama NIM Konsentrasi Prodi Fakultas

Judul Skripsi

:Alfiah

:TA7A$203719

:Perbandingan Hukum

:Perbandingan Madzhab Dan Hukum

:Syariah Dan Hukum

:",94if/{,S/

PIDANA PELAKA

PASIF

TINDAK

PIDANA PENCACIAN UANG MENARAT IIT]KAM PIDANA ISLAM DAN A(/ NOMOR 8 TAHUN 2O1O

Dengan ini saya menyatakan bahwa:

1.

Skripsi ini merupakankarya asli saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi

saiah satu persyaratan memperoieh gelar strata satu (S-1) di Fakuitas Syariah

dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2.

Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan skripsi

ini

telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku

di

Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3.

Jika dikemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli saya, maka

saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di Fakultas Syariah dan Hukum

UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Jakarta, 10 November 2014

Alfiah

(4)

TAHUN

2010

telah diajukan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan

Hukum

Program

Studi

Perbandingan Madzhab

dan

Hukum

Konsentrasi Perbandingan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 6 November 2014. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh

gelar Sarjana Program Strata

Satu

(S-l)

pada Program Studi Perbandingan Hukum.

Jakarta, l0 November 2014

Mengesahkan Dekan,

I

/_

/

nr. ftritt. J.M. Muslimin, M. A. NIP. l 9680 812t99903 l0r 4

Ketua

Sekretaris

Pembimbing I

Penguji I

Penguji II

PANITIA UJIAN MUNAQASYAH

Dr. H. Muhammad Taufiki, M.Ag. NIP. 19651119 199803

|

002

Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag., M.Si.

NIP. 19742113 200312 1 002

Dr. Fuad Thohari, MA.

NrP. 19700323 200003

I

001

Dr. Asmawi, M.Ag

NrP. 19721010 199703 1 008 Ismail Hasani, SH.,MFI. NrP. 19771217 2007t0 1002

7)

(5)

iv

PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN UNDANG-UNDANG NOMER 8 TAHUN 2010. Program Studi Perbandingan Madzhab dan Hukum. Konsentrasi Perbandingan Hukum. Fakultas Syariah dan Hukum. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. 1435 H- 2014 M , Halaman ...

Perbuatan pencucian uang sangat merugikan masyarakat dan negara, karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional atau keuangan negara dengan meningkatnya berbagai kejahatan. Hal ini sangat bertentangan dengan tujuan tasyri itu sendiri yaitu mencegah mafsadah dan menciptakan maslahah, artinya perbuatan yang justru menimbulkan kerusakan, kerugian, kemudaratan dan sekaligus menjauhkan kemaslahatan kehidupan manusia adalah perbuatan tercela dan terlarang dan perbuatan tersebut dapat disebut sebagai tindak pidana. Berangkat dari fenomena tersebut penyusun tertarik untuk mengkaji lebih dalam tentang identifikasi, kriteria serta sanksi pidana terhadap pelaku pasif tindak pidana pencucian uang dengan menggunakan pendekatan yuridis-normatif dalam komparasi dua sistem hukum, yaitu hukum Islam dan hukum positif (Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang).

Penelitian ini merupakan penelitian pustaka, yaitu menggunakan data berupa buku dan karya tulis lain yang berhubungan dengan pembahasan mengenai masalah yang di teliti dan sifatnya persepektif dan terapan. Sedangkan teknik dan pengumpulan data adalah mereduksi berbagai ide, teori, dan konsep dari berbagai literatur yang relevan serta menitikberatkan pada pencarian kata kunci yang diambil dari al-Qur’an, as-Sunnah, dan pendapat para ulama. Data-data yang dikumpulkan dalam penelitian ini ada dua, yaitu data primer dan sekunder. Teknik pengumpulan data, dan data display.

(6)

v

Bismillahirahmanirrahim

Allhamdulillahirabbil‟alamin, puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah

SWT yang telah melimpahkan rahmat, inayah dan taufiknya sehingga saya dapat menyelesaikan tugas akhir dalam menempuh studi di Jurusan Perbandingan Mazhab

dan Hukum, Fakultas Syari’ah dan Hukum, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif

Hidayatullah Jakarta.

Salawat dan salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa risalah kebenaran untuk umat Islam khususnya.

Selanjutnya dalam proses penyusunan skripsi ini, saya menghaturkan banyak terima kasih kepada yang telah berjasa dan yang terhormat:

1. Dr. Phill. J. M. Muslimin. MA selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pembantu Dekan (Pudek) I, II, dan III yang telah membimbing penulis.

2. Dr. H. Muhammad Taufiki, M. Ag selaku Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH/PH) Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bimbingan, petunjuk, dan nasehat yang berguna bagi penulis selama perkuliahaan.

(7)

vi

menggapai studi strata 1 dengan sebaik-baiknya.

4. Dr. Fuad Thohari, MA selaku Dosen pembimbing dalam penyusunan skripsi ini, yang telah memberikan banyak masukan dan arahan serta meluangkan waktunya dengan penuh keikhlasan kepada penulis.

5. Seluruh Dosen dan Civitas Akademik Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN) syarif Hidayatullah Jakarta.

6. Kepada kedua orang tua, Ibunda Supriyati dan Ayahanda Wiyono saya

haturkan banyak terima kasih atas do’a, dukungan dan motivasi yang telah

banyak diberikan secara moril maupun materiil kepada penulis.

7. Terima kasih kepada Mbak Ayun Nurul Djanah, Mas Nurcholis, Mbak Sri Wahyu Ningsih dan keponakan ku Nilna Ameera Ramadhan, yang telah banyak memberikan motivasi selama ini kepada penulis.

8. Untuk sahabat ku Cyntia Nurulita, Opie Saptariani, Eviana Wanandi, Yani Suryani, yang selalu ada saat penulis merasa gundah gulana dalam menyelesaikan skripsi ini.

9. Keluarga besar PH 07 terima kasih semuanya atas kebersamaan selama ini di kelas dan di luar kelas. Kak Septian, Kak Fariz, Rani, Rudi, Hari Budi, dan Kak domain terima kasih atas bantuannya.

(8)

vii

Penulis juga mengucapkan terima kasih atas segala partisipasi dan motivasi dari semua pihak dalam menyelesaikan skripsi ini, semoga skripsi ini berguna bagi diri penulis dan pembaca sekalian serta menjadi amal baik di sisi Allah SWT.

Semoga setiap do’a dan bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan

balasan dari Allah SWT.

Wassalamualaikum Warohmatullahi Wabarokatuh

Jakarta, September 2014

(9)

viii

LEMBAR PENGESAHAN DOSEN PEMBIMBING ... i

LEMBAR PERNYATAAN ... ii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ... iii

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... v

DAFTAR ISI ... viii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ... 1

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah... 6

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 7

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu ... 8

E. Metode Penelitian... 9

F. Sistematika Penulisan ... 11

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG A. Pengertian Hukum Pidana ... 13

(10)

ix PIDANA ISLAM

A. Pencucian Uang Pasif menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. ... 38 B. Pencucian Uang Pasif menurut Hukum Pidana Islam... 40 C. Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Pasif ... 41

BAB IV ANALISA SANKSI PIDANA PELAKU PENCUCIAN UANG PASIF

A. Analisa Sanksi Tindak Pidana Pencucian Uang Pasif menurut Pidana Islam ... 45 B. Sanksi Pidana Pencucian Uang Pasif dalam Undang-Undang

Nomor 8 Tahun 2010. ... 48

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 54 B. Saran ... 57

(11)

1 A. Latar Belakang Masalah

Hukum diartikan sebagai suatu aturan yang derivasi (diturunkan) dari norma-norma yang berkembang di masyarakat, pada dasarnya merupakan seperangkat kesepakatan-kesepakatan yang telah dinegosiasikan antara anggota komunitas,1 digunakan pelindung bagi para individu agar tidak diperlakukan semena-mena di satu pihak, dan di pihak lain hukum merupakan pelindung bagi masyarakat dan negara agar tidak seorangpun melanggar ketentuan-ketentuan yang telah disepakati bersama

Dengan demikian hukum bukan saja merupakan salah satu jaminan perlindungan terhadap individu agar tidak diperlakukan semena-mena, tetapi juga merupakan alat pengatur antara hak dan kewajiban serta antara kewajiban dan ketertiban.2

Bicara penerapan hukum tidak bisa lepas dari alat penegak hukum yang menjalankan fungsi pengawasan dan penegakan hukum. Dalam menjalankan tugasnya, penegak hukum tidak semata-mata bertolak pada kekuasaan dan kewenangan yang ada padanya sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku,

1

Hasanuddin AF, dkk. Pengantar Ilmu Hukum, (Jakarta: Kerja sama antara Pustaka al-Husna dengan UIN Press, 2003), h.1

2

(12)

tetapi juga wajib melayani kebutuhan hukum individu dan kebutuhan masyarakat atau negara sebagai salah satu kesatuan secara serasi dan seimbang. Aparat hukum harus berani mengambil langkah-langkah secara tegas kepada setiap pelanggar hukum dan melindungi setiap orang dari tindakan pelanggaran hukum.

Penegakan hukum dalam perkara pidana dalam suatu negara dapat dikatakan berhasil, tidak hanya semata-mata hakim yang menangani perkara pidana tersebut telah menjatuhkan sanksi pidana yang adil, baik bagi si korban ataupun si pelaku itu sendiri. Namun perlu juga diperhatikan bahwa putusan yang menyangkut penjatuhan sanksi pidana tersebut, seharusnya dapat diterapkan sebagai tindakan untuk merubah perilaku salah (menyimpang) yang di lakukan oleh pelaku tersebut.

Dalam membahas hukum pidana, maka tidak bisa di pisahkan dari pembahasan mengenai sanksi pidana yang di kenakan bagi para pelaku tindak pidana. Tujuan hukum pidana itu sendiri adalah; pertama, untuk menakut-nakuti orang agar jangan sampai melakukan kejahatan (prepentive). Kedua, untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik tabiatnya (represif).3

Penjatuhan pidana dijatuhkan bukan sekedar berat ringannya pidana akan tetapi juga pidana itu efektif atau tidak dan pidana itu sesuai dengan nilai-nilai dan struktural yang hidup dan berkembang di masyarakat.

3

(13)

Proses pemidanaan harus sesuai dengan apa yang diperbuat si pelaku dan dapat membuat pelaku jera serta menjadikan pelaku berubah kearah yang lebih baik, hal tersebut merupakan suatu bagian penting dalam mewujudkan penegakan hukum.

Terwujudnya suatu tindak pidana tidak selalu dijatuhkan pidana terhadap pembuatnya. Undang-Undang telah memberikan dasar-dasar yang meniadakan pidana. Adanya aturan ini membuktikan bahwa Undang-Undang memisahkan antara tindak pidana dengan si pembuatnya.

Pembentuk Undang-Undang membuat aturan ini bertujuan mencapai derajat keadilan yang setinggi-tingginya. Ada banyak hal, baik yang bersifat objektif maupun subjektif, yang mendorong dan mempengaruhi seseorang mewujudkan suatu tingkah laku yang pada kenyataannya dilarang oleh undang-undang. Pemikiran yang semacam inilah yang mendasari dibentuknya ketentuan umum perihal faktor-faktor yang menyebabkan tidak dipidananya si pembuat.4

Dalam praktek penyelenggaraan hukum pidana melalui bekerjanya

criminal justice system, seringkali berhadapan dengan kasus yang tergolong unik

dan spesifik. Keunikan dan kekhususan kasus tersebut bisa saja karena pelakunya, cara melakukannya maupun jenis perbuatan pidananya. Dilihat dari profil pelaku, mungkin tidak pernah tergambarkan sebelumnya bahwa pelaku akan melakukan perbuatan pidana. Terkadang pelakunya adalah orang-orang terdekat korban seperti pasien, teman kerja, teman dalam hubungan bisnis, pacar, bahkan mungkin

4

(14)

masih memiliki hubungan keluarga, meskipun tidak menutup kemungkinan juga orang yang belum dikenal sebelumnya.

Fenomena yang sekarang timbul adalah bukan masyarakat umum yang acuh tehadap peraturan-peraturan yang dibuat, tetapi para pejabat yang

seharusnya menjadi contoh justru menjadi “Suri Tauladan” yang tidak baik.

Pelanggaran-pelanggaran hukum terjadi di masyarakat akhir-akhir ini mengenai masalah perbuatan pidana. Dari data yang ada bahwa pelanggaran pidana yang banyak dilakukan oleh masyarakat mengalami persentasi yang cukup mengejutkan kasus seperti pencurian, penculikan, pembunuhan, pemerkosaan, dan tindak pidana lainnya. Dari pelanggaran pidana tersebut, tentunya pemerintah tidak bisa tinggal diam saja, karena hal ini menyangkut masalah keamanan dan ketentraman masyarakat. Hal ini adalah salah satu tugas dan kewajiban negara dalam melindungi setiap individu yang ingin mendapatkan keamanan dan kenyamanan dalam kehidupan ini. Negara perlu memfasilitasi warganya untuk mendapatkan sebuah kenyamanan yang layak.

(15)

Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) merumuskan bahwa money laundering adalah proses menyembunyikan atau menyamarkan asal usul hasil kejahatan. Proses tersebut untuk kepentingan penghilang jejak sehingga memungkinkan pelakunya menikmati keuntungan-keuntungan itu dengan tanpa mengungkap sumber perolehan. Penjualan senjata secara ilegal, penyeludupan, dan kegiatan kejahatan terorganisasi, contohnya perdagangan obat dan prostitusi, dapat menghasilkan jumlah uang yang banyak. Penggelapan, perdagangan orang dalam (insider trading), penyuapan, dan bentuk penyalahgunaan komputer dapat juga menghasilkan keuntungan yang besar dan menimbulkan dorongan untuk menghalalkan (legitimize) hasil yang diperoleh melalui money laundering.5

Diakui atau tidak bahwa dalam pemberantasan tindak pidana selama ini menghadapi kendala baik teknis maupun non teknis. Pendekatan dalam pemberantasan tindak pidana-tindak pidana selama ini lebih menitikberatkan bagaimana menjerat pelaku tindak pidana dengan mengidentifikasi perbuatan pidana yang dilakukan.

Sejak April 2002 telah diperkenalkan sistem penegakkan hukum yang relatif baru sebagai salah satu alternatif dalam memecahkan persoalan diatas bukan hanya karena metode yag digunakan berbeda dengan penegakan hukum secara konvensional tetapi juga memberikan kemudahan dalam penanganan perkaranya. Sistem yang dimaksud adalah rezim anti pencucian uang, di mana

5

(16)

pengungkapan tindak pidana dan pelaku tindak pidana lebih difokuskan pada penelusuran aliran dana/uang haram (follow the money trial) atau transaksi keuangan.

Pendekatan ini tidak terlepas dari suatu pendapat bahwa hasil kejahatan

(proceeds of crime) merupakan “life blood of the crime”. Artinya merupakan

darah yang menghidupi tindak kejahatan sekaligus titik lemah dari rantai kejahatan yang paling mudah dideteksi. Upaya memotong rantai kejahatan ini selain relatif mudah dilakukan juga akan meghilangkan motivasi pelaku untuk melakukan kejahatan karena tujuan pelaku kejahatan untuk menikmati hasil kejahatannya terhalangi atau sulit dilakukan.

Dari uraian diatas penulis sangat tertarik untuk membahas masalah tindak pidana pencucian uang, yaitu dengan mengadakan pengkajian dalam bentuk skripsi yang berjudul: “SANKSI PIDANA PELAKU PASIF TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG MENURUT HUKUM PIDANA ISLAM DAN UU

NOMOR 8 TAHUN 2010”

B. Pembatasan dan Perumusan Masalah

(17)

1. Bagaimana pandangan hukum pidana Islam mengenai pencucian uang?

2. Bagaimana proses hukum bagi pelaku pasif tindak pidana pencucian uang menurut hukum pidana Islam dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010? 3. Apa sanksi pidana bagi seorang pelaku pasif tindak pidana pencucian uang?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian

Pada setiap penelitian yang dilakukan pada dasarnya memiliki tujuan dan fungsi tertentu yang ingin dicapai baik yang berkaitan langsung dengan penulisan atau dengan pihak lain yang memanfaatkan hasil penelitian tersebut.

Adapun tujuan dari penelitian yang dilakukan oleh penulis:

a. Memberikan penjelasan tindak pidana pencucian uang menurut hukum pidana Islam.

b. Menjelaskan proses pemidanaan pelaku pasif pencucian uang menurut hukum pidana Islam dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

c. Menjelaskan sanksi pidana apa yang akan diterima seorang pelaku pasif tindak pidana pencucian uang.

2. Manfaat Penelitian

Sedangkan manfaat yang diharapkan setelah penelitian ini dilakukan oleh penulis adalah:

(18)

uang yang sedang ramai dibicarakan.

b. Dengan penelitian ini kiranya bisa memberikan informasi tentang masalah-masalah kriminal dalam perkembangan ilmu hukum.

c. Menginformasikan kepada masyarakat khususnya penulis mengenai pelaku pasif tindak pidana pencucian uang.

D. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Saat ini kasus atau tindak pidana pencucian uang sedang ramai dibicarakan. Mulai dari golongan ahli hukum sampai dengan masyarakat. Tidak jarang juga sudah beberapa orang mulai untuk meneliti tindak pidana pencucian uang, baik dari cara pembuktiannya ataupun yang lainnya. Seperti skripsi yang sebelumnya yang ditulis oleh

- Tarmizi Tohir yang berjudul Pembuktian Terbalik dalam Perkara Tindak

Pidana Pencucian Uang (Perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif) pada

tahun 2012. Dimana pada skripsi ini menjelaskan bagaimana proses pembuktian pada tindak pidana pencucian uang tersebut. Skripsi tersebut hanya membahas permasalahan pembuktiannya saja.

- Aili sahril yang berjudul Sanksi Tindak Pidana Korupsi Pasif dalam Hukum

Islam dan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 pada tahun 2008. Pembahasan

(19)

Jika dilihat dari kedua studi terdahulu diatas, jelas berbeda objek serta

masalah yang dikaji oleh penulis nantinya, karena yang akan penulis angkat adalah tentang sanksi pidana yang diterima pelaku pasif tindak pidana pencucian uang.

Akan tetapi secara umum, kesamaa dengan dua skripsi diatas adalah pembahasan tentang tindak pidananya dan pelaku pasifnya. Oleh karena itu

penulis juga akan menjadikan pegangan dan pembelajaran dalam penyusunan skripsi nantinya dari kedua skripsi diatas.

E. Metode Penelitian. 1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah jenis penelitian yang berbentuk Deskriptif Analisis, sedangkan pendekatan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif, yang berusaha mengkombinasikan pendekatan normative dan empiris. Normative yang berdasarkan nilai-nilai yang umum dan disepakati oleh masyarakat, sedangkan

empiris adalah pendekatan berdasarkan uji coba, fakta dilapangan dan

pengalaman-pengalaman yang ada.6 Dan pendekatan yang digunakan didalam penelitian hukum ini adalah pendekatan kasus (case approach), pendekatan kasus yang dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus

6

(20)

yang berkaitan dengan isu yang dihadapi. Kasus ini dapat berupa kasus yang terjadi di Indonesia.7

Adapun sumber data yang dipergunakan oleh penulis adalah:

a. Sumber data primer, yaitu bahan-bahan utama yang bersifat mengikat berupa ayat-ayat al-Qur‟an, KUHP, dan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 2010.

b. Sumber data sekunder, yaitu bahan-bahan yang memberi penjelasan dalam mengkaji data primer, yaitu data yang diperoleh dari buku-buku, dan data-data yang masih relevan dan dapat menunjang penelitian ini.

2. Teknik Pengumpulan Data

Studi Pustaka, alat ini dipergunakan untuk melengkapi data yang

penulis butuhkan, yaitu dengan cara melihat dokumen dan arsip-arsip yang ada di perpustakaan, selain itu penulis juga menggunakan salinan Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 2010 beserta penjelasannya yang hasilnya berupa kutipan atau catatan.

3. Teknik Analisis Data

Penelitian ini menggunakan analisis data secara kualitatif, yaitu pendekatan isi yang menekankan pada pengambilan kesimpulan dan analisa yang bersifat deduktif, yaitu penalaran berawal dari hal yang umum untuk menentukan hal yang khusus sehingga mencapai suatu kesimpulan.8

7

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2007), cet ke 3, h. 94. 8

(21)

Sedangkan teknik penulisannya mengacu pada buku Pedoman

Penulisan Skripsi (Fakultas Syari‟ah dan Hukum Syarif Hidayatullah Jakarta 2012).

F. Sistematika Penulisan

Untuk mempermudah pembahasan, penulis membagi penyusunan ke dalam BAB, dan masing-masing BAB dibagi menjadi sub-sub yang lengkap ialah

sebagai berikut:

Bab I: Pendahuluan, dalam BAB ini diuraikan tentang, latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metode

penelitian, serta sistematika penulisan.

Bab II: Dalam BAB II ini penulis membahas tentang tinjauan umum tindak pidana pencucian uang, yang terdiri dari: pengertian pidana, tindak pidana pencucian uang menurut Undang-Undang Nomor. 8 Tahun 2010 dan hukum

pidana Islam.

Bab III: Dalam BAB III penulis menjelaskan mengenai tindak pidana pencucian uang pasif menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan hukum Islam, yang terdiri dari: pengertian pencucian uang pasif menurut Undang-Undang

Nomor. 8 Tahun 2010 dan hukum pidana Islam, dan pembuktian tindak pidana pencucian uang pasif.

(22)

pencucian uang pasif menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 dan hukum

pidana Islam.

(23)

13 A. Pengertian Hukum Pidana

Ada kesukaran untuk memberikan suatu batasan yang dapat mencakup seluruh isi atau aspek dari pengertian hukum pidana karena isi hukum pidana itu sangatlah luas dan mencakup banyak segi, yang tidak mungkin untuk dimuat dalam suatu batasan dengan suatu kalimat tertentu. Dalam memberikan batasan tentang pengertian hukum pidana, biasanya hanya melihat dari satu atau beberapa sisi saja, sehingga selalu ada sisi atau aspek tertentu dari hukum pidana yang tidak masuk, dan berada diluarnya.

Walaupun dalam memberikan batasan tentang hukum pidana selalu ada aspek hukum pidana yang berada di luarnya, namun demikian tetap berguna untuk terlebih dulu memberikan batasan tersebut. Faedah itu adalah dari batasan itu setidaknya dapat memberikan gambaran awal tentang arti hukum pidana sebelum memahaminya lebih jauh dan dengan lebih mendalam.9

Yang dimaksud dengan hukum pidana pada dasarnya adalah hukum yang mengatur tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang beserta sanksi hukum yang dapat dijatuhkan apabila larangan tersebut dilanggar. Perbuatan-perbuatan yang dilarang tersebut dikenal dengan sebutan tindak pidana atau delik, sedangkan sanksi hukumnya dikenal dengan istilah pidana (straaf). Pidana sendiri

9

(24)

didefinisikan sebagai hukuman berupa derita atau nestapa yang sengaja ditimpakan oleh negara kepada pelaku tindak pidana.

Secara sosiologis, hukum merupakan salah satu norma perilaku

(behavioral norms) yang ada dalam suatu masyarakat terdapat norma-norma

perilaku yang lain seperti norma kesopanan, norma kesusilaan dan norma agama. Kelebihan yang dimiliki oleh hukum sebagai norma perilaku jika dibandingkan dengan norma-norma perilaku lainnya adalah bahwa norma hukum dapat dipaksakan berlakunya oleh negara. Norma-norma hukum tersebut dipaksakan berlakunya oleh negara dengan cara memberikan ancaman hukuman kepada setiap warga negara atau anggota masyarakat yang ingin melanggarnya. Melalui ancaman hukuman tersebut anggota masyarakat dipaksa untuk tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dilarang. Paksaan semacam ini bersifat psikologis

(psycologische dwang). Untuk menegakkan norma hukum tersebut, negara

memiliki aparat khusus yang dikenal dengan nama aparat penegak hukum (legal

enforcement officier). Dalam konteks hukum pidana, penegak hukumnya

dilakukan oleh Polisi, Jaksa Penuntut Umum, Hakim.10

Sedangkan menurut wikipedia, hukum pidana termasuk pada ranah hukum publik. Hukum pidana adalah hukum yang mengatur hubungan antar subjek hukum dalam hal perbuatan - perbuatan yang diharuskan dan dilarang oleh peraturan perundang - undangan dan berakibat diterapkannya sanksi berupa pemidanaan dan/atau denda bagi para pelanggarnya.

10

(25)

Dalam hukum pidana dikenal 2 jenis perbuatan yaitu kejahatan dan pelanggaran.

1. Kejahatan ialah perbuatan yang tidak hanya bertentangan dengan peraturan

perundang - undangan tetapi juga bertentangan dengan nilai moral, nilai agama dan rasa keadilan masyarakat. Pelaku pelanggaran berupa kejahatan mendapatkan sanksi berupa pemidanaan, contohnya mencuri, membunuh, berzina, memperkosa dan sebagainya.

2. Sedangkan Pelanggaran ialah perbuatan yang hanya dilarang oleh peraturan perundangan namun tidak memberikan efek yang tidak berpengaruh secara langsung kepada orang lain, seperti tidak menggunakan helm, tidak menggunakan sabuk pengaman dalam berkendaraan, dan sebagainya.

Di Indonesia, hukum pidana diatur secara umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yang merupakan peninggalan dari zaman penjajahan Belanda, sebelumnya bernama Wetboek van Straafrecht (WvS). KUHP merupakan lex generalis bagi pengaturan hukum pidana di Indonesia dimana asas-asas umum termuat dan menjadi dasar bagi semua ketentuan pidana yang diatur di luar KUHP (lex specialis). 11

Sedangkan dalam Islam hukum pidana mempunyai pengertian sendiri, dimana hukum pidana tersebut berisi ketentuan-ketentuan tentang perbuatan yang tidak boleh dilakukan serta ancaman sanksinya apabila perbuatan itu dilanggar. Jadi pada prinsipnya hukum pidana itu mengatur tentang tindak pidana dan

11

(26)

pidana. Berdasarkan prinsip ini, maka hukum pidana Islam dapat didefinisikan sebagai hukum yang mengatur persoalan tindak pidana (jarimah) dan sanksi pidana („uqubah).

Jarimah berasal dari kata ( رج) yang sinonimnya (عطقو سك) artinya: berusaha dan bekerja. Hanya saja pengertian usaha di sini khusus untuk usaha yang tidak baik atau usaha yang dibenci oleh manusia.12

Dari pengertian tersebut dapatlah ditarik suatu definisi yang jelas, bahwa jarimah itu adalah ( ْيقتْس ْا ّْيرَط او ْدعْاو ِّحْ ٌف خ وه ِ ك تْرا)

Melakukan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, keadilan,

dan jalan yang lurus (agama).

Dari keterangan ini jelaslah bahwa jarimah menurut arti bahasa adalah melakukan perbuatan-perbuatan atau hal-hal yang dipandang tidak baik, dibenci oleh manusia karena bertentangan dengan keadilan, kebenaran, dan jalan yang lurus (agama).13

Perbuatan yang dilarang (ٌ ارْوطْخ ) adakalanya berupa mengerjakan perbutan yang dilarang dan adakalanya meninggalkan perbuatan yang

diperintahkan. Sedangkan lafaz syar‟iyah (ٌ َيعْرش) dalam definisi tersebut

mengandung pengertian, bahwa suatu perbuatan baru dianggap sebagai jarimah

apabila perbuatan itu dilarang oleh syara‟ dan diancam dengan hukuman. Dengan

12

Muhammad Abu Zahra, Al Jarimah wa Al „Uqubah fi Al Fiqh Al Islamy, (Maktabah Al Angelo Al Mishriyah: Kairo) h.22

13

(27)

demikian apabila perbuatan itu tidak ada larangannya dalam syara‟ maka

perbuatan tersebut hukumnya mubah, sesuai dengan kaidah yang berbunyi:

Pada dasarnya semua perkara dibolehkan, sehingga ada dalil yang menunjukkan

keharamannya.14

Jika pengelompokan hukum-hukum Islam sebagaimana dikemukakan di atas diamati, nyatalah bahwa hukum pidana itu termasuk bagian dari hukum Islam (syariat Islam) yang dipelajari dalam ilmu fiqih (Fiqih Jinayah). Jadi dengan demikian bisa dikatakan di sini bahwa hukum pidana Islam itu adalah hukum Islam yang berkaitan dengan masalah pidana, atau dengan kata lain hukum pidana Islam adalah hukum yang berkaitan dengan tindak pidana dan sanksinya menurut syariat Islam.

Membicarakan tujuan hukum pidana Islam tidak dapat dilepaskan dari membicarakan tujuan syariah Islam secara umum, karena hukum pidana Islam merupakan bagian dari syariat Islam. Syariat Islam ketika menetapkan hukum-hukum dalam masalah kepidanaan mempunyai tujuan umum, yaitu mendatangkan maslahat kepada umat dan menghindarkan mereka dari mara bahaya.

Syariah Islam secara umum bertujuan untuk mengamankan lima hal-hal mendasar dalam kehidupan umat manusia. Lima hal itu adalah aspek agama, aspek akal, aspek jiwa, aspek harta benda, dan keturunan. Lima hal ini merupakan perkara yang sangat fundamental dalam pandangan Islam bagi umat manusia.

14

(28)

Kelima hal ini dikenal dengan istilah lima perkara pokok (dharuriyah al-khamsah). Kepentingan terhadap lima hal inilah yang ingin dilindungi oleh syariah Islam.15

Adapun mengenai karakteristik hukum pidana Islam, pada dasarnya sama dengan karakteristik syariat Islam itu sendiri. Hal ini disebabkan karena ia merupakan bagian dari syariat Islam seperti telah disebutkan di atas. Berikut ini dijelaskan beberapa karakteristik hukum pidana Islam yang merupakan keunggulan jika dibandingkan dengan hukum pidana buatan manusia.

1. Buatan Tuhan (God made law as opposed to man made law).

Maksudnya, hukum pidana Islam itu ciptaan Allah, sedang hukum pidana lainnya itu adalah buatan manusia. Karena diciptakan oleh Allah, maka hukum Islam bersifat sempurna dari segi pengaturannya.16

2. Berakar pada keimanan seseorang (rooted in one‟s belief).

Hukum pidana Islam itu berakar pada iman atau keyakinan seseorang. Artinya, orang yang beriman itu meyakini hukum pidana Islam sebagai bagian dari syariat Islam yang diturunkan oleh Allah. Hal ini membuat mereka patuh dan tunduk terhadapnya. Kepatuhan tersebut lahir dari kesadaran imani. Dengan demikian kesadaran hukum yang terbangun dalam diri anggota masyarakat adalah kesadaran sejati, bukan kesadaran artifisial.17

15

H. Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila. Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: LabHukum FHUMY, 2008) , h. 19

16

H. Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila. Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: LabHukum FHUMY, 2008) , h. 24

17

(29)

3. Menyediakan sanksi dunia dan akhirat (provides sanction both here and

hereafter).

Hukum pidana Islam itu, karena berdasarkan syariat Islam, maka hukuman yang dikenakan kepada pelaku kejahatan adalah di dunia dan akhirat. Jika seseorang itu mencuri, lalu dijatuhi hukuman di dunia ini sesuai dengan syariat Islam, maka ia tetap akan mendapatkan balasannya di akhirat selagi ia tidak bertaubat. Sedangkan dalam hukum positif tidak ada pembahasan mengenai hukuman di akhirat, karena ia hanya mengatur masalah pidana dan sanksinya di dunia saja.18

4. Antisipasi (anticipative as opposed to responsive).

Maksudnya, hukum pidana Islam itu telah mengantisipasi segala perbuatan mukallaf (orang Islam yang dibebani dengan beban agama) terutama yang berkenaan dengan tindak pidana. Dengan perkataan lain, hukum Islam telah menyediakan norma-norma terkait dengan masalah tindak pidana yang dapat memenuhi kebutuhan hukum masa mendatang. Oleh karena itu tidak heran jika segala bentuk jarimah(tindak pidana) yang ada pada saat turunnya wahyu hingga hari kiamat itu dapat ditentukan hukumannya serta ditetapkan hukumannya, yakni melalui apa yang dikenal dengan ijtihad. Jika dibandingkan dengan hukum positif, maka hukum positif hanya menetapkan sesuatu itu sebagai perbuatan tindak pidana setelah peristiwa kejahatan terjadi,

18

(30)

dengan kata lain hukum tersebut dibuat dalam rangka merespon fenomena sosial yang terjadi di dalam masyarakat.19

5. Mengatur perbuatan jasmani dan perbuatan hati (governs both physical and

heart act).

Hukum pidana Islam mengatur baik perbuatan fisik maupun perbuatan hati, perbuatan lahir maupun perbuatan batin. Islam melarang sikap-sikap batin tertentu yang dianggap buruk dan membahayakan seperti iri, dengki, dendam, dan takabur. Pelarangan ini merupakan langkah perventif terjadinya kejahatan.20

6. Memperhatikan aspek moral (concern with ethics).

Hukum pidana Islam sangat memperhatikan dan memelihara akhlak masyarakat. Ini karena ia berdiri tegak di atas landasan agama. Zina diharamkan meskipun dilakukan atas dasar suka sama suka. Arak dilarang walaupun tidak membuat mabuk. Pornografi dan pornoaksi diharamkan karena merusak akhlak masyarakat, meskipun sebagian orang berdalih mengatas-namakannya dengan HAM dan seni.21

7. Komprehensif (comprehensive as opposed to partial).

Hukum pidana Islam memiliki keunggulan karena ia bersifat komprehensif, dan bukan parsial. Artinya, pengaturan hukum pidana Islam itu mencakup

19

H. Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila. Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: LabHukum FHUMY, 2008) , h. 27

20

H. Muchammad Ichsan dan M. Endrio Susila. Hukum Pidana Islam Sebuah Alternatif, (Yogyakarta: LabHukum FHUMY, 2008) , h. 28

21

(31)

seluruh aktivitas kehidupan manusia. Segala aktivitas yang melanggar hukum telah ditetapkan beserta sanksinya di dunia maupun di Akhirat. Sedangkan dalam hukum positif, hukum pidana yang berlaku hanya menghukumi sebagian aktivitas, dan itupun berubah-ubah, hari ini suatu perbuatan dianggap tindak pidana, esok hal itu sudah dianggap bukan.22

Dari penjelasan diatas penulis mendapat penjelasan bahwa ada perbedaan dan persamaan antara hukum pidana positif dan hukum pidana Islam. Dimana menurut penulis hukum pidana Islam lebih berkekuatan dan lebih banyak memberikan efek jera kepada para pelaku kejahatan agar tidak kembali melakukan kejahatan. Karena hukum pidana Islam tidak hanya memberikan hukuman kepada manusia dengan negara, manusia dengan manusia tetapi juga manusia dengan Tuhannya. Penulis berpendapat demikian karena melihat penjelasan diatas. Bukan berarti hukum pidana positif tidak memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan. Tetapi menurut penulis efek jera yang diberikan oleh hukum pidana Islam lebih kuat di banding hukum pidana positif.

B. Pengertian Tindak Pidana Pencucian Uang dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Sebelum mengemukakan pengertian money laundering atau pencucian uang, terlebih dahulu, dikemukakan perkembangan kejahatan dan kaitannya dengan kejahatan pencucian uang sebagai salah satu jenis kejahatan yang

22

(32)

mendunia. Dewasa ini kejahatan meningkat dalam berbagai bidang, baik dari segi intensitas maupun kecanggihannya. Demikian juga dengan ancamannya terhadap keamanan dunia. Akibatnya, kejahatan tersebut dapat menghambat kemajuan suatu negara, baik dari aspek sosial, ekonomi, maupun budaya. Mengingat, kejahatan itu berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat, wajar ada satu ungkapan: kejahatan itu tua dalam usia, tapi muda dalam berita. Artinya, sejak dulu hingga kini, orang selalu membicarakan kejahatan, mulai dari yang sederhana (kejahatan biasa) sampai yang sulit pembuktiannya. Bahkan, dalam sejarahnya, kejahatan sudah ada sejak Nabi Adam AS.

Kejahatan merupakan sebuah istilah yang sudah lazim dan populer dikalangan masyarakat Indonesia atau crime bagi orang Inggris. Tetapi, jika ditanyakan; apakah sebenarnya yang dimaksud kejahatan? Orang mulai berpikir dan atau bahkan balik bertanya. Menurut Hoefnagels (1972: 72), kejahatan merupakan suatu pengertian yang relatif. Banyak pengertian yang digunakan dalam ilmu-ilmu sosial yang berasal dari bahasa sehari-hari tidak memberikan gambaran yang jelas tentang kejahatan, tetapi hanya merupakan suatu ekspresi dalam melihat perbuatan tertentu.23

Sampai saat ini, tidak atau belum ada definisi yang universal dan komprehensif mengenai apa yang di maksud dengan tindak pidana pencucian uang atau money laundering. Prof. Dr. Sutan Remy Sjahdeini menggarisbawahi,

23

(33)

dewasa ini istilah money laundering sudah lazim digunakan untuk menggambarkan usaha-usaha yang dilakukan oleh seseorang atau badan hukum

untung melegalisasi uang “kotor”, yang di peroleh dari hasil tindak pidana

(Sjahdeini: 2004).24

Ada beberapa pengertian dari money laundering dari berbagai sumber.

Money laundering, menurut Sarah N. Welling (1992):

Money laundering is the process by wich one conceals the existence,

illegal source, or illegal application of income, and then disguises that

income to make it appear lagitimate”.

(Pencucian uang adalah proses di mana seseorang menyembunyikan keberadaan sumber (pendapatan) ilegal atau aplikasi pendapatan ilegal dan kemudian menyamarkan sumber (pendapatan) tersebut agar terlihat seperti sesuai dengan aturan atau hukum yang berlaku).

Dalam definisi David Fraser (1992):

“Money laundering is quite simply the process through which “dirty”

money (proceeds of crime), is whased through “clean” or legitimate

sources and enterprises so that the “bad guys” may more safely enjoy

their ill‟gotten gains”.

(Pencucian uang kurang lebih adalah proses dimana uang “kotor” (hasil

tindak pidana) dicuci menjadi “bersih” atau uang kotor yang dibersihkan

24

(34)

melalui suatu sumber hukum dan perusahaan yang legal sehingga „para

penjahat‟ dapat dengan aman menikmati hasil jerih payah tindak pidana

mereka).25

Apapun definisinya, pada hakikatnya pencucian uang menunjukan pada

upaya pelaku untuk mengurangi ataupun menghilangkan risiko ditangkap ataupun uang yang dimilikinya disita sehingga tujuan akhir dari kegiatan ilegal itu yakni

memperoleh keuntungan, mengeluarkan serta mengkonsumsi uang tersebut dapat terlaksana, tanpa terjerat oleh aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian

menyimpan uang hasil kegiatan ilegal adalah sama dengan mencuci uang tersebut, walaupun si pelaku tindak pidana sendiri hanya menyimpan uang tersebut dan

tidak mengeluarkan uang tersebut karena belum “dicuci”. 26

Secara sederhana aktivitas pencucian uang dapat dilakukan melalui

perbuatan memindahkan, menggunakan, atau melakukan perbuatan lainnya terhadap hasil dari suatu tindak pidana, baik itu pelakunya organized crime

maupun individu yang melakukan tindak pidana korupsi, perdagangan obat narkotika dan tindak pidana lainnya dengan maksud menyembunyikan atau

menaburkan asal-usul uang tersebut sehingga dapat digunakan seolah-olah sebagai uang yang halal.

25

Aziz Syamsuddin, Tindak Pidana Khusus, (Jakarta: Sinar Grafika, November 2011), cetakan kedua, h. 18

26

(35)

Instrumen yang paling dominan dalam tindak pidana pencucian uang biasanya menggunakan sistem keuangan. Perbankan merupakan alat utama yang paling menarik digunakan dalam pencucian uang mengingat perbankan merupakan lembaga keuangan yang paling banyak menawarkan instrumen keuangan.

Pemanfaatan bank dalam pencucian uang dapat berupa : 1. Menyimpan uang hasil tindak pidana dengan nama palsu;

2. Menyimpan uang di bank dalam bentuk deposito/tabungan/rekening/giro; 3. Menukar pecahan uang hasil kejahatan dengan pecahan lainnya yang lebih

besar atau lebih kecil;

4. Menggunakan fasilitas transfer;

5. Melakukan transaksi ekspor-impor fiktif dengan menggunakan L/C (Letter of

Credit) dengan memalsukan dokumen bekerja sama dengan oknum terkait;

6. Pendirian/pemanfaatan bank gelap.27

Proses money laundering (The Money Laundering Process) biasanya dilakukan melalui tiga tahap, yaitu Placement, Layering, dan Integration.

Placement adalah perbuatan kriminal penempatan untuk pertama kalinya

atau tahap awal dari siklus pencucian uang haram. Uang/aset ditempatkan pada sistem finansial atau diselundupkan ke luar negeri, tujuannya untuk memindahkan uang/aset tersebut dari sumber asalnya. Untuk menghindari pengawasan pihak

27

(36)

berwajib dan kemudian mengkonversinya ke dalam bentuk aset yang berbeda atau modus operandinya adalah dana ditempatkan jauh dari lokasi kejahatan. Umumnya dalam bentuk tunai, traveler cheque, giro pos, dan lain-lain. Biasanya dibawa ke luar negeri dan disetor ke bank dengan berbagai cara untuk mengelabui pelacakan. Atau kini dapat dilakukan dengan memasukkan dana langsung ke

e-purse kalau perlu memecahnya ke dalam sejumlah transaksi di beberapa bank

yang mempunyai layanan/product e-cash.

Placement merupakan fase menempatkan uang yang dihasilkan dari

aktivitas kejahatan misalnya memecah uang tersebut dalam pecahan besar atau kecil untuk ditempatkan dalam sistem perbankan, atau placement dapat pula dilakukan dengan pergerakan fisik dari uang tunai, baik melalui penyelundupan uang tunai dari suatu negara ke negara lain, dan menggabungkan uang tunai yang berasal dari kejahatan dengan uang yang diperoleh dari hasil kegiatan yang sah. Proses placement ini merupakan titik yang paling lemah dalam pencucian uang.

Layering adalah pengalihan dari suatu bentuk investasi ke bentuk

investasi lainnya yang dilakukan untuk memperpanjang jalur pelacakan atas suatu tindakan untuk menutupi sunber sebenarnya dari uang/aset dengan melakukan transaksi finansial yang berlapis-lapis yang dirancang untuk menghilangkan jejak dan menciptakan anonim.

(37)

pencucian uang sudah dilakukan dengan melapis dana tidak sah dengan dana lain yang sah.

Dengan demikian layering dapat disimpulkan sebagai proses memisahkan hasil kejahatan dari sumbernya melalui beberapa tahapan transaksi keuangan.

Layering dapat pula dilakukan melalui pembukaan sebanyak mungkin

rekening-rekening perusahaan fiktif dengan memanfaatkan ketentuan rahasia bank.28

Integration adalah perbuatan kriminal yang sudah melalui tahap

placement dan layering untuk menjadi investasi yang terlihat benar-benar legal.

Pada tahap ini uang/aset diintegrasikan ke dalam sistem finansial yang legal dan diasimilasikan dengan semua aset yang ada dalam sistem finansial. Jadi pelaku berusaha menetapkan landasan sebagai suatu legitimate explanation bagi hasil kejahatan.29

Modus operandinya adalah dilakukan transaksi yang bersih. Dana yang telah terlapis tadi digunakan untuk pembayaran, kemudian transaksi itu dapat dilakukan melalui lembaga keuangan biasa sebagai bagian dari transaksi yang sahih. Misalnya pembayaran hutang atau tagihan lainnya.

Dari tahapan proses ini maka ada empat faktor yang dilakukan dalam proses money laundering, pertama merahasiakan siapa pemilik uang hasil kejahatan tersebut, kedua bentuk sehingga mudah dibawa kemana-mana, ketiga

28

M. Arief, Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering, (Malang: Bayumedia Publishing), Cet-kedua, h. 6

29

(38)

merahasiakan proses pemutihan sehingga menyulitkan pelacakan, dan keempat mudah diawasi oleh pemilik sebenarnya dari uang hasil kejahatan ini.

Perlu diketahui bahwa kegiatan money laundering berbeda dengan kegiatan pemalsuan uang. Tujuan pemalsuan uang adalah bagaimana memasukkan uang palsu ke dalam sirkulasi sistem pembayaran yang sah, sebaliknya pihak yang memutihkan uang haram menggunakan sistem pembayaran yang sah untuk merubah status uangnya dari ilegal menjadi legal.

Money laundering makin mudah dilakukan di Indonesia antara lain karena

Traveller Cheque pun dapat dijual tanpa memerlukan tanda tangan maupun

identitas pembeli maupun penjualnya dan pelaku money laundering ini bisa institusi keuangan dan kalangan profesional. Institusi keuangan bisa berupa Fund Manager, Reksadana, Banker dan Asuransi, sedangkan kalangan profesional bisa meliputi akuntan, lawyer, dan bankir.

Menurut pemerintah Kanada yang dikeluarkan oleh Department of Justice

yang berjudul Electronic Money Laundering: An Environmental Scan, Oktober 1988, mengemukakan beberapa dampak negatif terhadap masyarakat yang ditimbulkan oleh money laundering :

1. Money laundering memungkinkan para penjahat memperluas operasinya

sehingga meningkatkan biaya penegakan hukum dalam pemberantasannya dan biaya perawatan bagi korban.

2. Money laundering merongrong masyarakat keuangan. Potensi korupsi

(39)

3. Pencucian mengurangi pendapatan pemerintah dari sektor pajak dan secara tidak langsung merugikan pembayar pajak yang jujur dan mengurangi kesempatan kerja yang sah.

4. Mengganggu keamanan dalam negeri suatu negara.30

Pencucian uang menurut para pelakunya, hal itu wajar dan tidak ada yang menyimpang karena semuanya dilakukan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan oleh perbankan (sebagai salah satu lembaga keuangan). Di samping itu, perbuatan tersebut hanya merupakan hubungan keperdataan antara nasabah (penyimpan dana) dengan pihak bank. Tetapi, menurut pandangan para pemerhati, perbuatan menyimpan uang di bank itu tidak lagi dapat dilihat atau berlindung dibalik hubungan keperdataan, sebagaimana lazimnya dalam dunia perbankan. Hal itu disebabkan apa yang dilakukan oleh si penyimpan dana merupakan upaya untuk mengaburkan asal-usul uang yang disimpan. Oleh sebab itu, perbuatan tersebut merupakan kejahatan yang perlu ditindak dan diberantas.

Apabila hendak dilihat dari sudut yuridis, maka pertanyaan, “apakah

kejahatan berupa pencucian uang tersebut merupakan kejahatan menurut hukum

pidana positif?” Jika demikian halnya, tentu tidak ada pilihan lain, kecuali

membuka Undang-Undang. Sebaliknya, apabila hendak melihat dari sudut kriminologis, jawabannya pun tergantung pada siapa yang melihatnya. Selain itu, juga tergantung pada subjektivitas dan yang terancam kepentingannya.

30

(40)

Berdasarkan uraian di atas, timbul pertanyaan: “apakah yang dimaksud

dengan money laundering tersebut?” Terdapat bermacam-macam pengertian tentang money laundering, namun semua tetap dalam satu tujuan untuk menyatakan bahwa money laundering merupakan salah satu jenis kejahatan yang

potensial dalam mengancam berbagai kepentingan baik dalam skala nasional maupun internasional.31Pencucian uang (Money Laundering) adalah suatu upaya

perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang atau dana atau harta kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar

uang atau harta kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah atau legal.32

Di dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, yang dimaksud dengan pencucian uang ada pada Pasal 1 ayat 1 yaitu:

“Pencucian uang adalah segala perbuatan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana sesuai dengan ketentuan dalam Undang-Undang ini”.

Dari pasal diatas sudh sangat jelas bahwa pencucian uang itu sendiri masuk kedalam kategori tindak pidana, dimana tindak pidana pencucian uang itu memiliki beberapa unsur yang dijelaskan didalam undang-undang tersebut.

Unsur-unsur tindak pidana pencucian uang.

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal 3,4,5,6,7,8,9, dan 10 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, yang termasuk ke dalam unsur-unsur tindak pidana

31

M. Arief, Tindak Pidana Pencucian Uang Money Laundering, (Malang: Bayumedia Publishing), cetakan kedua, h. 8-9.

32

(41)

pencucian uang adalah: pertama, setiap orang baik orang perseorangan maupun

korporatif dan personil pengendali korporasi.

Kedua, menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan,

membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah

bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil

tindak-tindak pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.

Ketiga, menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,

pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran atau menggunakan harta

kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak-tindak pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8

Tahun 2010.

Keempat, bertujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul

sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya

merupakan hasil tindak-tindak pidana sebagaimana ditentukan dalam Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010.33

33

(42)

C. Tindak Pidana Pencucian Uang menurut Hukum Pidana Islam

Menurut Ulama, pencucian uang merupakan salah satu kejahatan yang sangat merugikan masyarakat, juga negara, karena dapat mempengaruhi atau merusak stabilitas perekonomian nasional khususnya keuangan negara. Hal ini sangat bertentangan dengan tujuan tasyri' yaitu mencegah mafsadah dan menciptakan mashlahah.

Selain itu, pencucian uang menimbulkan kerusakan, kerugian, mudharat, sekaligus menjauhkan kemaslahatan dari kehidupan manusia, tercela, dan terlarang sehingga dapat disebut sebagai tindak pidana dan dalam konteks hukum Islam, dapat dikenai hukuman ta'zir bagi pelakunya.

Dalam kajian fiqih jinayah (hukum pidana Islam) klasik belum dikenal secara jelas mengenai tindak pidana pencucian uang. Secara umum, ajaran Islam mengharamkan mencari rejeki dengan cara-cara yang bathil dan penguasaan yang bukan hak miliknya, seperti perampokan, pencurian, atau pembunuhan yang ada korbannya dan menimbulkan kerugian bagi orang lain atau korban itu sendiri.

Hukum pidana Islam secara eksplisit tidak menyebutkan mengenai pencucian uang. Secara umum, ajaran Islam mengharamkan mencari rejeki dengan cara-cara yang batil, seperti merampok, mencuri, atau membunuh.

Pencucian uang merupakan perbuatan tercela dan dapat merugikan kepentingan umum. Hal ini sangatlah bertentangan dengan hukum Islam. Money

(43)

disebutkan dalam al-Qur‟an dan hadis, namun jelas sangat merugikan umat manusia dan beberapa efek negatif lain, yaitu

a. Membahayakan kehidupan manusia. b. Menghambat terwujudnya kemaslahatan. c. Merugikan kepentingan umum.

d. Mengganggu ketertiban umum. e. Merupakan maksiat.

f. Mengganggu kehidupan sekaligus harta orang lain.

Di samping itu, money laundering juga mengakibatkan hilangnya kendali pemerintah terhadap kebijakan ekonomi, menimbulkan distorsi dan ketidakstabilan ekonomi, hilangnya pendapatan negara, menimbulkan rusaknya reputasi negara, dan menimbulkan biaya sosial yang tinggi.34

Namun, melihat dari kompleksitas masalah terkait dengan modus operasi tindak pidana kejahatan yang kemudian disembunyikan seolah-olah menjadi aktivitas yang legal, yang dampaknya bisa meresahkan, membahayakan, dan merusak tatananan masyarakat, maka hukum pidana Islam perlu membahasnya, bahwa kejahatan ini bisa dikategorikan sebagai jarimah ta‟zir.

Dijelaskan dalam Ijitima Ulama Komisis Fatwa di Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, pencucian uang merupakan jarimah (tindak pidana), karena merupakan bentuk penggelapan (ghulul) dengan tujuan menyembunyikan dan menyamarkan aset yang diperoleh secara tidak sah.

34

(44)

Pengertian Ta‟zir ialah memberi pengajaran (at-ta‟dib). Tetapi untuk

hukum pidana Islam istilah tersebut mempunyai pengertian tersendiri. Syara‟

tidak menentukan macam-macamnya hukuman untuk tiap-tiap jarimah ta‟zir, tetapi hanya menyebutkan sekumpulan hukuman, dari yang seringan-ringannya

sampai kepada yang seberat-beratnya. Dalam hal ini hakim di beri kebebasan untuk memilih hukuman-hukuman mana yang sesuai dengan macam jarimah

ta‟zir serta keadaan si pembuatnya juga. Jadi hukuman-hukuman jarimah ta‟zir

tidak mempunyai batas tertentu.

Menurut Abu Bakr Jabir Al Jazairi, ta‟zir adalah sanksi disiplin dengan

pemukulan, atau penghinaan, atau embargo, atau pengasingan.35 Maka tindak

pidana ta‟zir adalah tindak pidana yang apabila dilakukan diancam dengan sanksi

disiplin berupa pemukulan, penghinaan, embargo, atau pengasingan. Hanya saja,

sebagian ulama memasukkan hukuman mati bagi kasus tertentu dalam tindak

pidana ta‟zir. Semua yang belum ditetapkan kadar sanksinya oleh syar‟i, maka

sanksinya diserahkan kepada penguasa untuk menetapkan jenis sanksinya.36

Dengan kata lain, ta‟zir adalah pengajaran atas dosa-dosa yang tidak

disyariatkan hukuman hudud atasnya, atau hukuman atas jarimah-jarimah yang belum ditentukan oleh syariat hukumannya.

35

Abu Bakr Jabir Al- Jazairi. Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, (Jakarata: Daarul Falah, 2003), cetakan ke-empat, h. 708

36

(45)

Tindak pidana ta‟zir ini tidak ditentukan oleh syariat sebagaimana dalam

hudud dan qisas wa diyat. Syariat hanya menetapkan sebagian saja, yaitu seperti riba, mengkhianati amanah, mencel orang lain dan korupsi. Ini karena jarimah-jarimah tersebut mempunyai sifat berbahaya yang terus menerus bagi masyarakat dan tata tertib umum.

Sedang sebagian besar lainnya diserahkan kepada yang berwenang untuk menetapkannya sendiri dengan syarat harus diperlukan oleh masyarakat, demi memelihara kemaslahatan dan peraturan umumnya dan dengan syarat tidak menyalahi nash-nash syariat dan prinsip-prinsipnya. Perbedaannya adalah, yang ditetapkan oleh syariat itu keharamannya terus menerus, sedangkan yang ditetapkan oleh pemerintah itu tidak demikian.

Menurut hukum Islam hukuman ta‟zir adalah hukuman yang tidak

tercantum nash atau ketentuannya dalam Al Qur‟an dan As-Sunnah, dengan

ketentuan yang pasti dan terperinci. Sedangkan menurut hukum positif dalam pengertian di atas, hukuman itu harus tercantum dalam Undang-Undang. Akan tetapi, apabila dipelajari dengan teliti maka dapat juga kita temui persesuaiannya

terutama pada garis besarnya. Hukuman ta‟zir dimaksudkan untuk mencegah

kerusakan dan menolak timbulnya bahaya. Apabila tujuan diadakannya ta‟zir itu

(46)

































































Artinya: dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat

kerusakan. (QS. Al-Qashash: 77)

Juga dalam sebuah hadis Rasulullah SAW, bersabda:

Dari Abi Sa‟id Sa‟ad ibn Malik ibn Sinan ra. Bahwa Rasulullah SAW bersabda: Janganlah membahayakan orang lain dan jangan membahayakan diri sendiri.

(HR. Ibnu Majah dan Ad-Duruquthni)37

Abdul Qadir Audah membagi hukam ta‟zir kepada tiga bagian:

- Hukuman ta‟zir atas perbuatan maksiat.

- Hukuman ta‟zir dalam rangka mewujudkan kemaslahatan umum.

- Hukuman ta‟zir atas perbuatan-perbuatan pelanggaran (mukhalafah).38

37

Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam, (Sinar Grafika: Jakarta, September 2004), cetakan pertama, h. 11.

38

(47)

Perbedaan mendasar antara macam-macam ta‟zir diatas adalah bahwa suatu perbuatan itu, dalam kategori pertama hukumnya adalah haram selama-lamanya dan merupakan maksiat. Jadi zatnya itu haram. Sedangkan perbuatan itu pada kategori kedua tidak dianggap haram melainkan memenuhi kriteria tertentu. Dengan demikian yang haram bukan zatnya, tapi sifatnya. Adapun perbuatan pada kategori ketiga itu memang diperintahkan atau dilarang akan tetapi melakukannya dianggap sebagai pelanggaran, bukan maksiat. Jadi yang ketiga ini merupakan perbuatan yang diharamkan syariat zatnya, namun jika dilakukan dianggap sebagai pelanggaran, bukan sebagai maksiat.

Dengan melihat penjelasan diatas maka seorang pelaku tindak pidana pencucian uang dapat dihukum dengan hukuman ta‟zir (sanksi pidana yang ditetapkan oleh negara).39

39

(48)

38

UNDANG NOMOR 8 TAHUN 2010 DAN HUKUM PIDANA ISLAM

A. Pencucian Uang Pasif menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010. Pasal yang mendukung tentang pencucian uang pasif dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 terdapat di Pasal 5 ayat 1 yaitu:

“Setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,

pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam pasal 2 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu

miliar rupiah)”.

Penulis memiliki pandangan yang sama dengan apa yang di maksud dalam Pasal 5 ayat 1 ini, bahwa seseorang yang menerima aatau memanfaatkan uang yang patut diduganya merupakan hasil dari tindak pidana pencucian uang, maka orang tersebut bisa diberikan sanksi sesuai dengan isi pasal 5 ayat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tersebut.

Yang dimaksud dengan “patut diduganya” adalah suatu kondisi yang

memenuhi setidak-tidaknya pengetahuan, keinginan, atau tujuan pada saat terjadinya transaksi yang diketahuinya yang mengisyaratkan adanya pelanggaran hukum.

Ketika ada pencucian aktif pasti ada pencucian pasifnya, yang jelas di

(49)

adalah penanganan pencucian uang yang dilakukan Badan Narkotika Nasional

(BNN) dengan tersangka Kalapas Narkotika Nusakambangan Marwan Adli. Dalam kasus tersebut, Marwan memanfaatkan nama dua anak dan seorang cucunya untuk membuka rekening dan menampung uang hasil transaksi

narkotika. Mereka yang dimanfaatkan, memang tidak mengetahui dari mana dan untuk apa uang yang ditransfer ke rekening mereka. Anak dan cucu Marwan pun

diketahui tidak pernah menikmati uang tersebut, karena pengelolaan sepenuhnya di tangan Marwan.

Artinya harus mulai dimunculkan kesadaran untuk bertanya uang tersebut berasal dari mana. Langkah itu untuk menghindari praktik-praktik korupsi dari

awal. Dalam upaya penyidikan kasus pencucian uang yang dilakukan Fathanah, KPK dapat menerapkan pola demikian. Penyidikan dapat dilakukan sekaligus

baik aktor pencucian uang yang berperan aktif atau pun pasif (penerima). "Kalau berlama-lama tidak dijerat maka pelaku akan memiliki cara sendiri untuk

menghilangkan hasil dari pencucian uang". Vitalia Shesya, Ayu Azhari, dan beberapa perempuan lainnya menerima aliran dana dari Fathanah. Mereka ada

yang sudah mengembalikan dan ada juga yang hartanya disita KPK. "Sejauh ini, hasil pemeriksaan mereka tidak ada kesengajaan untuk melindungi. Mereka tidak

tahu asal usul uang itu," kata juru bicara KPK Johan Budi saat dikonfirmasi detikcom, Jumat (10/5/2013). Johan menjelaskan, pengakuan Fathanah,

(50)

untuk hubungan bisnis, manggung, dan sebagai teman. "Mereka juga tidak

menanyakan dari mana uang itu," tuturnya.40

B. Pencucian Uang Pasif Menurut Hukum Pidana Islam.

Penjelasan mengenai pencucian uang pasif antara hukum Islam dan hukum konvensional adalah sama, dimana apabila kita menerima hadiah ataupun hibah dari seseorang alangkah lebih baik kalau kita menyelidiki asal usulnya pemberian tersebut.

Mencari asal usul harta yang diberikan kepada kita di perbolehkan apalagi di zaman seperti sekarang ini, segala sesuatunya harus lebih berhati-hati. Karena semakin berkembangnya jaman semakin berkembang pula kejahatannya.

Dimana menerima dan memanfaatkan uang yang berasal dari pencucian uang haram hukumnya. Hal ini diatur dalam al-Quran Surat al-Baqarah 188.























































Artinya: dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebahagian daripada harta

benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, Padahal kamu mengetahui.

(QS. Al-Baqarah: 188)

Hal sama juga ditegaskan dalam al-Quran Surat al-Nisa: 29.

40

(51)































































Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh

dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. (QS. Al-Nisa:

29)

Penerima uang yang berasal dari tindak pidana pencucian uang wajib mengembalikannya kepada negara. Uang tersebut kemudian dimanfaatkan untuk kemaslahatan umum. Penerima hasil pencucian uang tidak perlu dihukum jika sudah mengembalikan hasil itu kepada negara. Hal ini dinilai wajar, karena penerima belum tentu berperan sebagai pelaku kejahatan asal yang kemudian hasilnya diputar dalam proses pencucian uang.

C. Pembuktian Tindak Pidana Pencucian Uang Pasif

Pada ranah hukum pidana Islam, permasalahan kejahatan Money

Laundering ini dapat dikategorikan ke dalam Fiqih Jinayat. Jinayat dalam istilah

(52)

harta benda, atau lainnya.41 Dalam Islam sangatlah dikenal perkataan Umar

tentang pembuktian “Pembuktian itu diwajibkan bagi yang penggugat, dan sumpah diwajibkan bagi (pihak) yang meolak (pengakuan)” sedangkan yang

dimaksud dengan pembuktian didalam al Qur‟an, Sunnah dan perkataan para sahabat adalah sebutan bagi segala sesuatu yang dapat menjelaskan kebenaran. 42

Sedangkan menurut kalangan Hanafiyah penetapan pada jarimah ta‟zir menurut mereka yaitu: Pengakuan, bukti, pengetahuan hakim, saksi-saksi baik laki-laki maupun perempuan, saksi ahli, ketetapan-ketetapan hakim

(Yurisprudensi).43

Sedangkan yang menarik dalam sejarah Islam tentang pembuktian yang terjadi pada masa Rasullulah S.A.W dimana ada dua orang yang berpekara menghadap nabi dan salah satunya menguasai perbantahan dan yang lain tidak menguasai, maka nabi memenangkan yang pandai itu. Dan berkatalah yang kalah

“ Ya Rasullulah, demi dia yang tidak ada Tuhan selain dia, sayalah yang

sebenarnya berhak.” Dan lalu Rasullulah mengulangi lagi pemeriksaan, dan

kembali memenangkan si pandai. Tapi orang itu mengulangi kembali kalimat

tadi, dan karena itu Rasullulah mengulangi sekali lagi, lalu beliau berkata “Barang

siapa mengambil bagian harta seorang muslim dengan (kepandaian)

perbantahannya, ia mengambil satu potongan api.” Tiba-tiba berkatalah si pandai

“ Ya Rasullulah barang ini hak dia.” Maka sahut Rasullulah “Barang siapa

Gambar

Grafika. 2004.

Referensi

Dokumen terkait

Ukuran dalam, lebar dan tempat galian untuk pemasangan pipa dan peralatannya, serta bangunan yang termasuk di dalam pekerjaan ini harus dibuat sesuai gambar rencana.. Patokan

Dari ketiga contoh di atas, tampak bahwa dalam jaringan Hebbian, bisa tidaknya suatu jaringan mengenali pola tidak hanya ditentukan oleh algoritma untuk merevisi bobot, tapi juga

PT Kusumahadi Santosa adalah sebuah perusahaan manufaktur yang bergerak di bidang pertekstilan. Salah satu kegiatan yang paling pokok adalah pengadaan, baik

Perbuatan Gagasan.. Ary Ginanjar dalam bukunya ESQ mengatakan bahwa pembentukan karakter tidak hanya sebatas menetapkan visi dan misi saja akan tetap aktualisasi dari

Setelah mengalami proses pembelajaran dengan metode HOTS peserta didik diharapkan dapat memahami pengetahuan tentang prinsip perancangan, pembuatan, penyajian, dan pengemasan hasil

antara lain: (1) memberikan tanggung jawab secara penuh kepada guru yang diimbangi dengan kewenangan dalam melaksanakan tugas sesuai dengan tugas pokok sebagai

terdapat hubungan yang signifikan antara stres dan gangguan insomnia pada peserta didik terhadap hasil belajar Mata Pelajaran Fisika MTs Negeri Model Makassar, sehingga dapat

Dalam inversi Magnetotelurik satu dimensi, AG kode real digunakan untuk menentukan parameter model (resistivitas dan ketebalan lapisan) dengan cara meminimumkan fungsi objektif