• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penyelesaian Hukum Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh Anak Melalui Upaya Restorative Justice Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penyelesaian Hukum Terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh Anak Melalui Upaya Restorative Justice Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak"

Copied!
143
0
0

Teks penuh

(1)

PENYELESAIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK MELALUI UPAYA

RESTORATIVE JUSTICE BERDASARKAN KETENTUAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK

LEGAL RESOLUTION OVER CRIMES CONDUCTED BY CHILDREN THROUGH RESTORATIVE JUSTICE

BASED ON UNDANG-UNDANG NUMBER 11 YEAR 2012 ABOUT CHILD

CRIMINAL JUSTICE SYSTEM

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Ujian Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Program Studi Ilmu Hukum Fakultas Hukum

Universitas Komputer Indonesia

Oleh

Nama : Widia Magdewijaya NIM : 31610004

Program Kekhususan : Hukum Pidana

Dibawah Bimbingan: Dwi Iman Muthaqin, S.H., M.H

NIP: 41273300012

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS KOMPUTER INDONESIA BANDUNG

(2)

iv

DAFTAR ISI

Halaman LEMBAR PENGESAHAN

SURAT PERNYATAAN

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR GRAFIK... viii

ABSTRAK... ix

ABSTRACT... x

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1

B. Identifikasi Masalah... 7

C. Tujuan Penelitian... 7

D. Kegunaan Penelitian... 7

E. Kerangka Penelitian... 9

F. Metode Penelitian... 22

BAB II TINJAUAN TEORI TERHADAP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN OLEH ANAK DAN KONSEP RESTORATIVE JUSTICE A. Anak Berkonflik Dengan Hukum... 27

1. Pengertian Anak... 27

2. Hak dan Kewajiban Anak... 31

(3)

v

a. Pengertian dan Gejala Kenakalan Anak... 40

b. Sebab-Sebab Timbulnya Kenakalan Anak... 48

c. Tinggkah Laku yang Menjurus pada Juvenile Deliquency... 60

B. Perlindungan Hukum Terhadap Anak... 64

1. Prinsip-Prinsip Perlindungan Anak... 66

C. Teori-Teori Pemidanaan... 69

1. Teori Absolut... 69

2. Teori Relatif... 73

3. Teori Gabungan... 75

D. Teori Restorative Justice... 79

1. Pengertian Restorative Justice... 79

2. Prinsip-Prinsip Restorative Justice... 83

3. Program Restorative Justice... 86

E. Peradilan Pidana Anak... 90

1. Sistem Peradilan Pidana Anak... 90

2. Proses Peradilan Pidana Anak... 95

3. Peraturan-Peraturan Internasional sebagai Landasan Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia... 104

(4)

vi

B. Data Anak yang Menjalani Hukuman di Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas III Bandung... 107 1. Sejarah Pendirian Lembaga Pemasyarakatan Anak

Kelas III Bandung... 107 2. Lokasi, Tugas & Fungsi, Visi & Misi, Lembaga

Pemasyarakatan Anak Kelas III Bandung... 107 3. Tujuan Pembinaan Lembaga Pemasyarakatan Anak

Kelas III Bandung... 109 4. Data Lembaga Pemasyarakatan Anak Kelas III

Bandung... 111 C. Data Klien Pemasyarakatan Anak di Balai Pemasyarakatan

Klas I Bandung... 113 D. Pemahaman Masyarakat Terhadap Penerapan Restorative

Justice dalam Penanganan Kasus Tindak Pidana yang

Dilakukan oleh Anak di Kota

Bandung... 114 1. Kuisioner Efektifitas Penerapan Restorative Justice

Terhadap Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak... 114 2. Hasil Kuisioner Efektifitas Penerapan Restorative Justice

Terhadap Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak... 117 E. Putusan Perkara Anak Nomor 1169/ Pid.A/2013/PN.Bdg... 119

(5)

vii

2. Kasus Posisi Perkara Anak Nomor 1169/ Pid.A/2013/PN.Bdg... 120 3. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Anak

Nomor 1169/ Pid.A/2013/PN.Bdg... 121 4. Putusan Pengadilan Perkara Anak Nomor 1169/

Pid.A/2013/PN.Bdg... 122

BAB IV ANALISIS PENYELESAIAN HUKUM MELALUI UPAYA

RESTORATIVE JUSTICE TERHADAP TINDAK PIDANA YANG

DILAKUKAN OLEH ANAK

A. Efektivitas Penerapan Restorative Justice Terhadap Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak... 124 B. Pertanggungjawaban Pidana yang Dilakukan oleh Anak

yang Berkonflik dengan Hukum dalam Konsep Restorative Justice... 133

BAB V PENUTUP

A. Simpulan... 142 B. Saran... 143

DAFTAR PUSTAKA... 145

LAMPIRAN

(6)

i Assalamu’alaikum wr.wb.

Segala puji serta syukur Peneliti ucapkan kepada Allah S.W.T. yang telah memberikan rahmat dan karunian-Nya, shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Nabi besar Muhammad S.A.W., berkat taufik dan hidayah-Nya Peneliti dapat menyelesaikan tugas penulisan skripsi dengan judul

“PENYELESAIAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN

OLEH ANAK MELALUI UPAYA RESTORATIVE JUSTICE BERDASARKAN

KETENTUAN UNDANG-UNDANG NOMOR 11 TAHUN 2012 TENTANG

SISTEM PERADILAN PIDANA ANAK”.

Peneliti menyadari sepenuhnya bahwa dalam pembuatan penulisan skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan, baik dari segi substansi maupun sistematika pembahasan dan tata bahasa. Keterbatasan kemampuan serta pengalaman dari Peneliti sendiri merupakan salah satu faktor penyebab sehingga masih banyak yang perlu dipahami dan diperbaiki. Peneliti mengharapkan kritik dan saran untuk dapat memperbaiki kekurangan dikemudian hari.

(7)

ii

2. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Umi Narimawati, Dra. S.E., M.Si. selaku Wakil Rektor I Universitas Komputer Indonesia;

3. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Ria Ratna Ariawati, S.E., M.S., A.K. selaku Wakil Rektor II Universitas Komputer Indonesia;

4. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Aelina Surya, selaku Wakil Rektor III Universitas Komputer Indonesia;

5. Yth. Ibu Prof. Dr. Hj. Mien Rukmini, SH., M.S., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

6. Yth. Ibu Hetty Hassanah, S.H., M.H., selaku Ketua Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

7. Yth. Ibu Arinita Sandria, S.H., M.Hum., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

8. Yth. Ibu Febilita Wulan Sari, S.H., M.H., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

9. Yth. Bapak Dwi Iman Muthaqin, S.H., M.H., selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

10. Yth. Ibu Farida Yulianti, S.H., S.E., M.M. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

11. Yth. Ibu Yani Brilyani Tapivah, S.H., M.H. selaku Dosen Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia;

(8)

iii

14. Haryadi dan Magfirania, selaku adik-adik Peneliti yang Peneliti sayangi dan keluarga besar Peneliti dimanapun berada yang selalu memberikan doa dan semangat dalam menyelesaikan penulisan skripsi ini;

15. Arif Rahman yang selalu memberikan bantuan dan motivasi pada Peneliti agar dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini;

16. Teman-teman angkatan 2010 Fakultas Hukum Universitas Komputer Indonesia: Rhamdan Maulana, Wahyu Samsul Hidayat, Adek Wahyudin, Meiza Soraya Khaerunnisa, Farhan Aziz, Dian Pratama Sandi, Rizky Adiputra, Ricky Haryanto Nugroho, Arman Marlando, Fitria Yanuari, Jajang Supriatna, Endang Mukti Aristanti, Wiko Putra Dhiarta, dan Mochamad Baasith Awaludin serta teman-teman lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu namanya.

Akhir kata, semoga segala pengorbanan yang diberikan oleh orang-orang terkasih Peneliti, baik moril maupun materil mendapatkan imbalan yang berlipat ganda dari Allah S.W.T. Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang serta berada dalam Perlindungan-Nya. Semoga tugas penulisan skripsi ini bermanfaat bagi para pembaca dan Peneliti sendiri.

Wassalammualaikum wr.wb.

Bandung, Agustus 2014

(9)

1. Nama Lengkap : Widia Magdewijaya 2. Tempat, Tanggal Lahir : Padang, 13 Mai 1992

3. Alamat : Jl. Bangbayang Selatan No 35 A, RT 02/RW 09 Kelurahan Sekeloa Kecamatan Coblong, Bandung

4. Jenis Kelamin : Perempuan

5. Agama : Islam

6. Status : (belum menikah/menikah) 7. Telepon : 085274135357

8. e-mail : magdewijaya@gmail.com

Demikian Daftar Riwayat Hidup ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Hormat saya,

(10)

145 BUKU

A. Gumilang, Kriminalistik Pengetahuan Tentang Teknik Dan Taktik Penyidikan, Bandung, 1991

B.E. Morrison, The School System : Developing its capacity in the regulation of a civil society, in J. Braithwaite & H. Strang (Eds.), Restorative Justice and Civil Society, Cambridge University Press, 2001

Dwidja Priyatno, Sistem Pelaksanaan Pidana Penjara di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2009

Howard Zehr, Changing lenses : A New Focus for Crime and justice, Herald Press, Waterloo, 1990

Jan Remmelink, Hukum Pidana : Komentar atas Pasal-Pasal Terpenting Dari KUHP Belanda dan Padanannya Dalam KUHP Indonesia, Terjemahan T. P. Moeliono, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003

Kartini Kartono, Kenakalan Remaja, Rajawali Pers, Jakarta, 2005

, Patologi Sosial II: Kenakalan Remaja, Rajawali Pers, Jakarta, 2013

Kevin Minor and J.T. Morrison, A Theoritical Study and Critique of Restorative

Justice, in Burt Galaway and Joe Hudson, eds., Restorative Justice :

International Perspectives, Ceimical Justice-Press and Kugler Publications, Monsey New York 1996

Kuat Puji Prayitno, Aplikasi Konsep Restorative Justice dalam Peradilan Indonesia, Genta Publishing, Yogyakarta, 2012

Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,1997

M. Nasir Djamil, Anak Bukan Untuk Dihukum Catatan Pembahasan UU Sistem Peradilan Pidana Anak (UU-SPPA), Sinar Grafika, Jakarta, 2013

(11)

Maiding Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2010

Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, Refika Aditama, Bandung, 2012

, Hukum Penitensier, Refika Aditama, Bandung, 2011

Maulana Hasan Wadong, Pengentar Advokasi Dan Perlindungan Anak, PT Grasindo, Jakarta, 2000

Mc Cold and Wachtel, Restorative Practices, The International Institute for Restorative Practices (IIRP), Devon, UK: Willan Publishing, 2003

Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung, 2013

Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995

, Restorative Justice Dalam Sistem Peradilan Pidana Dan Implementasinya Dalam Penyelesaian Tindak Pidana Yang Dilakukan

Oleh Anak-Anak, Puslitbang SHN – BPHN, Jakarta, 2013

Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-Teori Dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 2010

Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat) ,Refika Aditama, Bandung 2009

Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011

Nigel Walker, Sentencing in a Rational Society, Basic Books, Inc., Publisher, New York 1971

Ohoitimur, Yong, Teori Etika Tentang Hukuman Legal, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997

(12)

, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), Refika Aditama, Bandung, 2012

Romli Atmasasmita, Problem Kenakalan Anak-anak Remaja, Armico, Bandung, 1983

Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Semarang 1998

Salim HS, Erlies Septiana Nurbani, Penerapan Teori Hukum Pada Penelitian Tesis dan Disertasi, Rajawali Pers, Jakarta, 2013

Sri Widoyanti, Anak dan Wanita dalam Hukum, Pradya Paramita, Jakarta, 1984

Tony Marshall, Restorative Justice : An Overview, Home Office Research Development and Statistic Directorate, London, 1999

Undang Mugopal, Hukum Untuk Manusia, Kado (Tak) Istimewa dari Fakultas Hukum UNISBA untuk Indonesia, Pilar Utama Mandiri, Jakarta,2012

W.A Gerungan, Psikologi Sosial Suatu Ringkasan, Eresco, Bandung, 1996

Wagiati Soetedjo, Melani, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2013

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Tahun 1945;

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025;

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;

(13)

Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak (Convention on The Right of the Child);

Surat Keputusan Bersama tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum: Ketua Mahkamah Agung Nomor: NO.166 A/KMA/SKB/XII/2009 , Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor: NO.148 A/A/JA/12/2009, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor: B/45/XII/2009, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia Nomor: M.HH-08 HM.03.02 TAHUN 2009, Menteri Sosial Republik Indonesia Nomor: 10/PRS-2/KPTS/2009, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor: 02/Men.PP dan PA/XII/2009.

Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor: 1/PUU-VII/2010, Tanggal 24 Februari 2011 terhadap Pengadilan Anak.

SUMBER LAIN

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1991

Ekspedisi Minutasi Pidana Biasa 2013, Panitera Muda Pidana, Pengadilan Negeri Bandung

Kejaksaan Republik Indonesia, Asas-Asas Hukum Pidana, Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Republik Indonesia, Jakarta, 2010

Laporan Evaluasi Pelaksanaan Tugas Seksi Bimbingan Klien Anak Bapas Klas I Bandung Tahun 2013

(14)

INTERNET

(15)

1 A. Latar Belakang

Anak merupakan tumpuan harapan masa depan bangsa, negara, masyarakat, ataupun keluarga, oleh karena kondisinya sebagai anak maka setiap anak memerlukan pembinaan dan perlindungan dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, rohani dan sosial secara utuh, serasi, selaras dan seimbang. Negara Indonesia memahami pentingnya dan arti anak sebagai suatu amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya.

Salah satu permasalahan yang sering terjadi dalam kehidupan masyarakat di Indonesia seiring dengan kemajuan jaman yang ditandai dengan adanya perkembangan teknologi dan budaya, membuat tidak hanya orang dewasa saja yang bisa melanggar nilai-nilai dan norma yang ada dimasyarakat terutama norma hukum, seseorang yang terkategori masih anak-anak juga bisa melakukan pelanggaran terhadap norma hukum baik secara sadar maupun tidak sadar.

(16)

Pelanggaran terhadap norma hukum yang membuat seorang anak harus berhadapan dengan sistem peradilan, menimbulkan tanggapan yang mengatakan bahwa adanya penegak hukum yang belum memberikan perhatian secara khusus terhadap tersangka anak, dan hal tersebut menunjukan bahwa hukum yang ada di Indonesia masih belum cukup berpihak pada anak-anak, sedangkan sebagai bagian dari subjek hukum anak-anak mestinya mendapatkan perlindungan. Perlindungan anak tersebut adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan dan pertumbuhan anak secar wajar baik fisik, mental dan sosial.1

Perbuatan pelanggaran norma, baik norma hukum maupun norma sosial yang dilakukan oleh anak-anak disebut dengan juvenile delinquency, hal tersebut cenderung untuk dikatakan sebagai kenakalan anak dari pada kejahatan anak, karena terlalu keras bila seorang anak yang melakukan tindak pidana dikatakan sebagai penjahat, sementara kejadiannya adalah proses alami yang tidak boleh tidak dilewati setiap manusia harus mengalami kegoncangan semasa menjelang kedewasaannya.2

Romli Atmasasmita mendifinisikan delinquency sebagai berikut3: “Suatu tindakan perbuatan yang dilakukan oleh seorang anak

yang dianggap bertentangan dengan ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku di suatu negara dan oleh masyarakat itu sendiri dirasakan serta ditafsirkan sebagai perbuatan tercela.”

1 Maiding Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, 2010, hlm 33

2 Wagiati Soetedjo, Melani, Hukum Pidana Anak, Refika Aditama, Bandung, 2013, hlm 11

(17)

Pengertian kejahatan, dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak diatur, namun dalam buku II KUHP terdapat rumusan yang mengatur mengenai perbuatan-perbuatan yang dapat dianggap sebagai kejahatan. Maka J.E. Sahetapy berpendapat bahwa kejahatan adalah4:

“Setiap perbuatan (termasuk kelalaian) yang dilarang oleh hukum

publik, untuk melindunngi masyarakat dan diberi sanksi berupa pidana oleh negara.”

Secara umum kebijakan kriminal yang berkembang dalam konsep pemikiran masyarakat saat ini dapat di kelompokkan menjadi dua ,yaitu5: 1. Kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana hukum pidana (penal

policy); dan

2. Kebijakan kriminal dengan menggunakan sarana diluar hukum pidana (non-penal policy).

Kedua sarana (penal dan non-penal) tersebut merupakan suatu pasangan yang satu sama lain tidak dapat dipisahkan, bahkan dapat dikatakan keduanya saling melengkapi dalam usaha penanggulangan kejahatan di masyarakat.6

Seorang anak yang melakukan tindak pidana maka proses yang diberlakukan terhadap anak hendaknya lebih menekankan pada sarana non-penal.7 Dengan diberlakukannya sarana non-penal maka kebutuhan dalam penganggulangan kenakalan anak diharapkan dapat berorientasi untuk mencapai kondisi yang kondusif dengan mengkaji mengenai penyebab

4 J.E. Sahetapy dikutip dalam A. Gumilang, Kriminalistik Pengetahuan Tentang Teknik Dan Taktik Penyidikan, Bandung, 1991, hlm 3- 4

5 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang, 1995, hlm vii

6 Ibid

(18)

timbulnya kenakalan anak, yang nantinya akan digunakan untuk menentukan penerapan kebijakan dalam menangani anak yang melakukan tindak pidana.

Sarana non-penal yang dapat ditempuh dalam proses mengadili suatu tindak pidana yang dilakukan oleh anak salah satunya adalah dengan penyelesaian restorative justice. Black`s Law Dictionary mendefinisikan

Restorative justice sebagai berikut8:

“An alternative delinquency sanction that focuses on repairing the harm done, meeting the victim’s needs, and holding the offender responsible for his or her actions. Restorative justice sanctions use a balanced approach, producing the least restrictive disposition while stressing the offender’s accountability and providing relief to the victim. The offender may be ordered to make restitution, to perform community service, or to make amends in some other way that the court orders.”

“Suatu sanksi alternatif atas kejahatan yang memfokuskan pada perbaikan atas perbuatan yang membahayakan, mempertemukan kebutuhan korban dan meminta pertanggungjawaban pelaku atas tindakannya. Keadilan restoratif ini menggunakan pendekatan keseimbangan, menghasilkan disposisi yang membatasi dengan memusatkan pada tanggung jawab pelaku dan memberikan bantuan pada korban. Pelaku mungkin diperintahkan untuk memberi ganti kerugian (restitusi), untuk melakukan pelayanan pada masyarakat, atau membuat perubahan dalam beberapa cara atas perintah (putusan) pengadilan.”

Restorative Justice merupakan suatu pendekatan untuk peradilan yang

berfokus pada kebutuhan para korban dan pelaku, serta masyarakat yang terlibat, bukan untuk menjalankan prinsip penghukuman terhadap pelaku.9

Kasus tindak pidana yang dilakukan oleh anak yang terjadi di Bandung terdiri dari berbagai macam tindak pidana, diantaranya yaitu; kasus pencurian, penganiayaan, kekerasan, pemerasan disertai dengan pengancaman,

8 Black`s Law Dictionary, Eight Edition, Thomson business, dikutip dalam Undang Mugopal, Hukum Untuk Manusia, Kado (Tak) Istimewa dari Fakultas Hukum UNISBA untuk Indonesia, Pilar Utama Mandiri, Jakarta, 2012, hlm 326

(19)

penggelapan, narkoba dan yang paling memprihatinkan adalah kasus dimana seorang anak dapat melakukan tindakan pencabulan dan pembunuhan. Semua anak yang berkonflik dengan hukum tersebut bernasib sama yaitu di penjara.

Kasus-kasus tersebut dapat memberikan gambaran masih banyaknya jumlah anak bermasalah dengan hukum yang harus menjalani proses peradilan pidana. Pada usia yang masih sangat muda, anak-anak tersebut harus mengalami proses hukum atas perkara pidana yang demikian panjang dan melelahkan, mulai dari tahap penyidikan oleh polisi, penuntutan oleh jaksa, persidangan yang dilakukan di pengadilan oleh hakim dan pelaksanaan putusan hakim. Mulai dari tahap penyidikan, aparat hukum telah diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan penahanan. Situasi penahanan memberikan beban mental, ditambah lagi tekanan psikologis yang harus dihadapi mereka yang duduk dipersidangan sebagai pesakitan. Proses penghukuman yang diberikan kepada anak lewat sistem peradilan pidana formal dengan memasukkan anak dalam penjara ternyata tidak berhasil menjadikan anak jera dan menjadi pribadi yang lebih baik untuk menunjang proses tumbuh kembang anak tersebut, penjara justru sering kali membuat anak semakin pintar dalam melakukan tindak kejahatan.

(20)

bersama dengan 4 (empat) orang temannnya di Jl. Laswi Kota Bandung, dekat kantor dishub.

Korban disalib oleh terdakwa bersama dengan teman-temanya dengan menggunakan sepeda motor pada saat berkendara dan kemudian dipukuli bersama-sama hingga terjatuh, dan para pelaku sempat mengambil beberapa barang-barang termasuk kunci sepeda motor korban sebelum ada orang yang lewat dan menolong korban, sehingga para pelaku pergi melarikan diri termasuk tersangka RAR, namun tersangka berhasil ditangkap oleh korban dan tidak lama kemudian datang polisi yang sedang berpatroli dan terdakwa diserahkan pada polisi.

Berdasarkan uraian latar belakang tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa masih banyaknya tindak pidana yang dilakukan oleh warga negara dengan usia yang masih terkategori sebagai anak-anak, maka untuk itu diperlukan adanya suatu sistem penanganan kasus yang sesuai dengan usia anak tersebut agar hukuman yang akan diberikan tidak membawa pengaruh buruk bagi perkembangan psikis, fisik, mental, dan sosial terhadap anak yang melakukan tindak pidana, maka dalam tugas akhir penulisan hukum peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul: Penyelesaian Hukum terhadap Tindak Pidana yang dilakukan oleh Anak Melalui Upaya

Restorative Justice Berdasarkan Ketentuan Undang-Undang Nomor 11

(21)

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan yang dapat dikaji adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana efektifitas penerapan restorative justice terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak?

2. Bagaimana pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh anak yang berkonflik dengan hukum dalam konsep restorative justice?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian hukum ini berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan pada identifikasi masalah adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui, memahami dan mengkaji mengenai efektifitas penerapan konsep restorative justice terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

2. Untuk mengetahui, memahami dan mengkaji mengenai upaya pertanggungjawaban pidana yang dilakukan oleh anak yang berkonflik dengan hukum dalam konsep restorative justice.

D. Kegunaan Penelitian

Penelitian hukum ini diharapkan dapat memberikan kontribusi baik secara teoritis maupun praktis bagi masyarakat pada umumnya, para akademisi maupun pemerintah, sebagai berikut:

1. Kegunaan Teoritis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan terhadap ilmu

(22)

penyelesaian hukum secara restorative justice terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak

2. Kegunaan Praktis a. Bagi Mahasiswa

1) Penelitian ini diharapkan dapat memperluas pengetahuan peneliti mengenai penerapan konsep restorative justice terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

2) Melatih peneliti dalam berpikir secara praktis dan logis untuk memecahkan masalah hukum, khususnya dalam bidang hukum pidana dan perkembangannya di masyarakat.

b. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman bagi masyarakat mengenai upaya penyelesaian hukum dengan kosep

restorative justice terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak,

sehingga hukuman yang akan diberikan tidak membawa pengaruh buruk bagi perkembangan psikis, fisik, mental, dan sosial terhadap anak yang berkonflik dengan hukum.

c. Bagi Lembaga

(23)

d. Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran sebagai bahan dan sumber penemuan hukum, sehingga pemerintah khususnya instansi terkait dapat mengembangkan upaya-upaya penyelesaian hukum dengan kosep restorative justice khususnya terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak, sehingga konsep penghukuman yang akan diberlakukan tidak memberikan dampak negatif bagi anak yang berkonflik dengan hukum.

E. Kerangka Pemikiran

Indonesia adalah negara hukum berdasarkan kepada Pancasila yang memiliki tujuan untuk menciptakan ketertiban umum dan masyarakat adil dan makmur secara spiritual serta material. Pancasila secara substansial merupakan konsep luhur dan murni. Luhur karena telah mencerminkan nilai-nilai bangsa, murni karena kedalaman substansial yang mencangkup beberapa pokok, baik agamis, ekonomis, ketuhanan, sosial, dan budaya.10 Pancasila yang terdiri dari lima sila tersirat pada alinea pembukaan Undang-Undang Dasar 1945.

Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 alinea keempat mengamanatkan tujuan dari negara Indonesia, yang menyatakan bahwa:

“Kemudian dari pada itu untuk membentuk suatu Pemerintah Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah

(24)

Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/ Perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”

Istilah negara hukum tidak ditulis dalam naskah asli Undang-Undang Dasar 1945, namun terdapat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 sebelum amandemen, kemudian penegasan bahwa Indonesia negara hukum baru dituliskan secara jelas pada Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 Amandemen ketiga yang menyebutkan, bahwa:

“NegaraIndonesia adalah Negara hukum”

Secara teoritis terdapat 3 (tiga) alasan berlakunya hukum, yaitu11: 1. Berlakunya secara yuridis

2. Berlaku secara sosiologis, yang berintikan kepada efektivitas hukum. Terdapat dua teori pokok yang menyatakan bahwa:

a. Teori kekuasaan yang menyatakan bahwa hukum berlaku secara sosiologis apabila dipaksa berlakunya oleh penguasa, dan hal itu adalah terlepas dari masalah masyarakat menerima atau bahkan menolak.

b. Teori pengakuan yang menyatakan bahwa berlakunya hukum didasarkan pada penerimaan atau pengakuan oleh masyarakat.

3. Berlakunya secara filosofis, artinya bahwa hukum tersebut sesuai dengan cita-cita hukum sebagai nilai positif tertinggi.

(25)

Pengertian hukum menurut Mochtar Kusumaatmadja adalah12: “Keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur kehidupan

manusia dalam masyarakat termasuk lembaga dan proses di dalam mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.”

Melalui pengertian tersebut dapat digambarkan bahwa diperlukannya suatu aturan-aturan normatif yang mengikuti kebutuhan dalam kehidupan masyarakat demi terciptanya nilai-nilai moral tertinggi yaitu keadilan.13 Menurut Aristoteles bahwa tujuan utama hukum adalah keadilan yang meliputi14:

1. Distributif, yang didasarkan pada prestasi (jasa-jasa) 2. Komutatif, yang tidak didasarkan pada jasa

3. Vindikatif, kejahatan harus setimpal dengan hukumannya

4. Kreatif, bahwa harus ada perlindungan kepada orang yang kreatif (cipta) 5. Protektif, yang melindungi

6. Legalis, yaitu keadilan yang ingin diciptakan oleh undang-undang.

Keadilan merupakan hak setiap warga negara, termasuk anak. Seorang anak yang melakukan tindak pidana memiliki hak untuk mendapatkan suatu perlindungan dan perlakuan tertentu dalam proses pertanggungjawaban atas tindakan yang telah dilakukan oleh anak tersebut tanpa memandang kenakalan yang telah diperbuat, hal ini diperlukan untuk mewujudkan prinsip persamaan kedudukan dihadapan hukum (equality before

12 Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum Dalam Pembangunan, PT. Alumni, Bandung, 2013, hlm vii

13 Ibid, hlm vi

(26)

the law) seperti yang dimaksud pada Pasal 27 ayat (1) Undang-Undang Dasar

1945,yaitu:

“Segala warga negara bersamaan kedudukannya didalam hukum

dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.”

Agar keadilan tersebut tidak mengganggu hak-hak orang lain maka diperlukan keikut sertaan lembaga pemerintah untuk menjamin dan mewujudkan fungsi hukum dalam penanganan anak yang berkonflik dengan hukum.

Fungsi hukum secara tradisional adalah untuk menjamin adanya ketertiban dan kepastian dan fungsi tambahan lainnya yaitu, hukum merupakan sarana pembaharuan masyarakat dan sebagai sarana pembangunan.15 Hukum yang baik adalah hukum yang sesuai dengan hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat yang tentunya sesuai pula atau merupakan pencerminan dari nila-nilai yang berlaku dalam masyarakat itu.16

Keadilan dalam hukum pidana dipengaruhi oleh dua hal, yang pertama yaitu keadilan yang berdasarkan pada pembalasan (restributive justice) dan yang kedua keadilan yang berdasarkan pada restorasi atau pemulihan (restorative justice).17

Restorative justice menempatkan nilai yang lebih tinggi dalam

keterlibatan yang langsung dari para pihak, korban mampu untuk mengembalikan unsur kontrol, sementara pelaku didorong untuk memikul tanggung jawab sebagai sebuah langkah dalam memperbaiki kesalahan yang

15 Mochtar Kusumaatmadja, Op.Cit, hlm 88 16 Ibid, hlm 10

(27)

disebabkan oleh tindak kejahatan dan dalam membangun sistem nilai sosialnya.18

Secara tradisional teori-teori pemidanaan (dasar-dasar pembenaran dan tujuan pemidanaan) pada umumnya dapat dibagi dalam dua kelompok teori, yaitu19:

1. Teori Absolut atau teori pembalasan (retributive/velvergelding theorieen) 2. Teori Relatif atau teori tujuan (utilitarian/doeltheorieen)

Menurut teori absolut pidana dijatuhkan semata-mata karena orang telah melakukan suatu kejahatan atau tindak pidana (quia peccatum est), setiap kejahatan harus diikuti dengan pidana, tidak boleh tidak, tanpa tawar menawar, tidak dilihat akibat apapun yang akan timbul dengan dijatuhkannya pidana.20

Teori relatif, menurut teori ini memidana bukanlah untuk memutuskan tuntutan absolut dari keadilan, pidana dijatuhkan bukan karena orang berbuat kejahatan melainkan agar orang jangan melakukan kejahatan (ne

peccatum).21

Selain pembagian teori pemidanaan secara tradisional, terdapat teori ketiga yang disebut dengan teori gabungan, teori ini menganggap pembalasan sebagai asas dari pidana dan bahwa beratnya pidana tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil, namun berpendirian bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general.22

(28)

Peraturan perundang-undangan merupakan hukum yang sifatnya mengikat, berlaku secara umum dan tugasnya adalah mengatur hal-hal yang bersifat umum. Indonesia memiliki Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025 (selanjutnya disebut Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional), yang merupakan kelanjutan dari pembangunan sebelumnya untuk mencapai tujuan nasional.

Rencana pembangunan jangka panjang nasional tahun 2005-2025 dijelaskan pada pasal 3 Undang-Undang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional, yaitu:

“Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional merupakan penjabaran dari tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesiayang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yaitu untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial dalam bentuk rumusan visi, misi dan arah Pembangunan Nasional.”

Strategi untuk melaksanakan visi dan misi serta arah Pembangunan Nasional dijabarkan secara bertahap dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). Perwujudan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dijelaskan dalam misi pembangunan 2010-2014 sebagai berikut :

1. Melanjutkan pembangunan menuju Indonesia yang sejahtera. 2. Memperkuat pilar-pilar demokrasi.

(29)

Perwujudan memperkuat dimensi keadilan dalam semua bidang dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional, dapat diartikan bahwa negara bertugas sebagai perencana pembangunan yang berkala mengenai keadilan bagi seluruh masyarakat Indonesia dan khususnya terhadap kasus pidana yang dilakukan oleh anak, negara merealisasikannya dengan dibentuknya:

1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; 2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1995 tentang Pemasyarakatan; 3. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; 4. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; 5. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak; 6. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana

Anak;

7. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak (Convention on The Right of the Child)

Definisi anak menurut perundang-undangan, diantaranya yaitu; Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak; “Anak adalah seseorang yang belum mencapai usia 21 tahun atau

belum kawin.”

Pengertian anak selanjutnya juga diatur dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;

(30)

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, pengertian anak yaitu;

“Anak yang berkonflik dengan hukum selanjutnya disebut anak adalah

anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”

Pembentuk undang-undang telah menggunakan istilah strafbaar feit untuk menyebutkan apa yang dikenal sebagai tindak pidana di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tanpa menjelaskan apa yang dimaksud dengan strafbaar feit itu sendiri.23

Tindak pidana atau strafbaar feit, feit dalam bahasa Belanda, yaitu kenyataan, sedangkan stafbaar berarti dapat dihukum, sehingga secara harfiah perkataan strafbaar feit dapat diterjemahkan sebagai sebagain dari suatu yang dapat dihukum.24

Simons telah merumuskan strafbaar feit sebagai berikut25:

“Tindakan melanggar hukum yang telah dilakukan dengan sengaja ataupun tidak sengaja oleh seseorang yang dapat dipertanggungjawabkan atas tindakannya dan yang oleh undang-undang telah dinyatakan sebagai suatu tindakan yang dapat dihukum.”

Terdapat 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat anak tersebut harus berhadapan dengan hukum, yaitu26:

1. Status Offence adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan

oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah;

23 Lamintang, Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1997, hlm 181

24 Lamintang, Loc.Cit

25 Simons dikutip dalam Ibid, hlm 185

(31)

2. Juvenile Deliquency adalah perilaku jahat (dursila) atau kejahatan/kenakalan anak-anak muda; merupakan gejala sakit (patologis) secara sosial pada anak-anak dan remaja yang disebabkan oleh satu bentuk pengabaian sosial, sehingga mereka itu mengembangkan bentuk tingkah laku yang menyimpang.

Secara Internasional pelaksanaan peradilan pidana anak berpedoman pada Standard Minimum Rules for the Aministration of Juvenile Justice (The

Beijing Rules), yang memuat prinsip-prinsip sebagai berikut27:

1. Kebijakan sosial memajukan kesejahteraan remaja secara maksimal memperkecil intervensi sistem peradilan pidana.

2. Non diskriminasi terhadap anak pelaku tindak pidana dalam proses peradilan pidana.

3. Penetuan batas usia pertanggungjawaban kriminal terhadap anak 4. Penjatuhan pidana penjara merupakan upaya akhir.

5. Tindakan diversi dilakukan dengan persetujuan anak atau orang tua/wali. 6. Pemenuhan hak-hak anak dalam proses perasilan pidana anak.

7. Perlindungan privasi pelaku tindak pidana.

8. Peraturan peradilan pidana anak tidak boleh bertentangan dengan peraturan ini.

Pengkhususan pengadilan anak berada di lingkungan Peradilan Umum hal tersebut dijelaskan pada penjelasan Pasal 27 ayat (1) Undang-Udang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan:

“Bahwa yang dimaksud dengan pengadilan khusus antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial, dan pengadilan perikanan yang berada di

(32)

lingkungan peradilan umum, serta pengadilan pajak yang berada di lingkunga peradilan tata usaha negara.”

Proses peradilan pidana umum dengan peradilan pidana anak memiliki perbedaan, yang beberapa diantaranya, yaitu:

1. Anak disidangkan dalam ruang sidang khusus anak;

2. Hakim, Penuntut Umum, Penyidik dan Penasihat Hukum, serta petugas lainnya tidak menggunakan toga atau pakaian dinas;

3. Hakim yang memeriksa adalah Hakim Anak yang ditetapkan berdasarkan Surat Keputusan Mahkamah Agung atas usul Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan melalui Pengadilan Negeri Tinggi;

4. Hakim memeriksa dan memutuskan perkara anak dalam tingkat pertama sebagai hakim tunggal;

5. Selama dalam persidangan, Terdakwa wajib didampingi oleh orang tua atau wali atau orang tua asuh, penasihat hukum dan pembimbing kemasyarakatan;

6. Pada waktu memeriksa saksi, Hakim dapat memerintahkan agar Terdakwa dibawa keluar ruang sidang, akan tetapi orang tua, wali atau orang tua asuh, Penasihat Hukum, dan Pembimbing Kemasyarakatan tetap hadir; 7. Dalam persidangan, Terdakwa Anak dan Saksi Korban Anak dapat juga

didampingi oleh Petugas Pendamping atas izin Hakim atau Majelis Hakim 8. Putusan Pengadilan diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum;

9. Identitas anak yang berhadapan dengan hukum wajib dirahasiakan dari media cetak maupun elektronik.

(33)

secara komprehensif memberikan pelindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum. Dengan demikian, pemerintah berpendapat bahwa perlu adanya perubahan paradigma dalam penanganan anak yang berhadapan dengan hukum, antara lain didasarkan pada peran dan tugas masyarakat, pemerintah, dan lembaga negara lainnya yang berkewajiban dan bertanggung jawab untuk meningkatkan kesejahteraan anak serta memberikan pelindungan khusus kepada anak yang berhadapan dengan hukum.

Substansi yang sangat berbeda dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah mengenai pengaturan secara tegas tentang keadilan restoratif dan diversi yang dimaksudkan untuk menghindari dan menjauhkan anak dari proses peradilan sehingga dapat menghindari penilaian atau anggapan buruk terhadap anak yang berhadapan dengan hukum dan diharapkan anak dapat kembali ke dalam lingkungan sosial secara wajar. Proses tersebut harus bertujuan pada terciptanya keadilan restoratif, baik bagi anak maupun bagi korban.

(34)

“Proses Diversi dilakukan melalui musyawarah dengan

melibatkan Anak dan orang tua/Walinya, korban dan/atau orang tua/Walinya, Pembimbing Kemasyarakatan, dan Pekerja Sosial Profesional berdasarkan pendekatan Keadilan Restoratif.”

Pengertian diversi menurut Pasal 1 angka 7 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, adalah:

“Diversi adalah pengalihan penyelesaian perkara anak dari proses

peradilan pidana ke proses diluar peradilan pidana.”

Definisi restorative justice menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, yaitu;

“Keadilan Restoratif adalah penyelesaian perkara tindak pidana dengan melibatkan pelaku, korban, keluarga pelaku/korban, dan pihak lain yang terkait untuk bersama-sama mencari penyelesaian yang adil dengan menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula, dan bukan pembalasan.”

Contoh kasus tindak pidana yang peneliti bahas dalam penulisan hukum ini yaitu, tindak pidana yang dilakukan oleh anak laki-laki, berumur 15 tahun, dengan inisial RAR, yang diputus oleh hakim terbukti melakukan tindak pidana pidana pencurian dengan kekerasan, Pasal 365 ayat (2) ke-2 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yaitu:

(35)

Hakim juga memutuskan hukuman pidana penjara selama 6 bulan terhadap RAR. Dan perbuatan tersebut dilakukan terdakwa bersama dengan 4 (empat) orang temannnya pada hari Jum`at, tanggal 23 Agustis 2013, di Jl. Laswi Kota Bandung, dekat kantor dishub, dengan cara menyalip motor korban dan memukulinya secara bersama-sama. RAR tidak berhasil melarikan diri dan diserahkan pada polisi yang sedang berpatroli melewati lokasi kejadian, sedangkan 4 (empat) orang lainnya berhasil melarikan diri.

(36)

F. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan peneliti dalam menyusun skripsi ini

adalah sebagai berikut:

1. Spesifikasi Penelitian

Spesifikasi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis, yaitu28:

“Menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku

dikaitkan dengan teori-teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan diatas.”

Pendekatan deskriptif dimaksudkan untuk memberikan data yang seteliti mungkin terhadap efektifitas dan pertanggungjawaban dari penerapan kosep restorative justice terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

2. Metode Pendekatan

Metode pendekatan yang digunakan dalam penulisan hukum ini yaitu secara yuridis normatif, yaitu29:

“Penelitian terhadap asas-asas hukum dilakukan dengan

norma-norma hukum yang merupakan patokan untuk bertingkah laku atau melakukan perbuatan yang pantas.”

Pada penulisan hukum ini, peneliti juga mencoba melakukan penafsiran hukum gramatikal yaitu penafsiran yang dilakukan dengan cara melihat arti kata pasal dalam undang-undang; penafsiran otentik yaitu penafsiran yang dilakukan berdasarkan bunyi undang-undang yang dibuat

28 Ronny Hanitjo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Semarang 1998, hlm 97-98

(37)

sendiri oleh pembuat undang-undang yang disesuaikan dengan arti kata-kata tersebut, dan penafsiran ekstensif yaitu penafsiran yang bersifat memperluas arti kata dalam undang-undang, selain itu penulis juga melakukan pendekatan terhadap bahan hukum lainnya.

3. Tahap Penelitian

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Penelitian kepustakaan dilakukan untuk memperoleh bahan hukum primer, sekunder dan tersier yang berhubungan dengan konsep restorative justice terhadap tindak pidana yang dilakukan oleh anak.

1) Data primer berupa peraturan perundang-undangan antara lain: a) Undang-Undang Dasar Tahun 1945;

b) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak;

c) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;

d) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak; e) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan

Anak;

f) Undang-Undang 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005-2025;

g) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman;

(38)

i) Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 tentang Pengesahan Konvensi Hak-hak Anak (Convention on The Right of the Child);

j) Surat Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung, Jaksa Agung Republik Indonesia, Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia, Menteri Sosial Republik Indonesia, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia, Nomor: NO.166 A/KMA/SKB/XII/2009, Nomor: NO.148 A/A/JA/12/2009, Nomor: B/45/XII/2009, Nomor: M.HH-08 HM.03.02 TAHUN 2009, Nomor: 10/PRS-2/KPTS/2009, Nomor: 02/Men.PP dan PA/XII/2009 tentang Penanganan Anak yang Berhadapan dengan Hukum:. k) Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor: 1/PUU-VII/2010, Tanggal

24 Februari 2011 terhadap Pengadilan Anak. 2) Data sekunder, yaitu30:

“Bahan-bahan yang erat hubungannya dengan hukum primer dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, meliputi referensi hukum dan non hukum berupa rancangan peraturan perundang-undangan, hasil penelitian karya ilmiah, doktrin atau pendapat para ahli hukum terkemuka.”

3) Data tertier, yaitu31:

“Bahan-bahan hukum yang memberikan informasi maupun

penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.”

30 Ibid, hlm 53

(39)

Seperti bahan yang merasal dari majalah, brosur, artikel-artikel, surat kabar dan internet.

b. Penelitian Lapangan (Field Research)

Penelitian lapangan dilakukan untuk menunjang dan melengkapi studi kepustakaan dengan wawancara.

4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah berupa studi literatur dan studi lapangan. Studi literatur digunakan untuk mengumpulkan dan menganalisis bahan-bahan primer, bahan sekunder, sedangkan studi lapangan digunakan untuk memperoleh data primer yang diperoleh dari instansi-instansi yang terkait dengan masalah penelitian

5. Alat Pengumpulan Data

Alat pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti adalah sebagai berikut:

a. Observasi digunakan dalam bentuk catatan lapangan atau catatan

berkala.

b. Interview menggunakan Directive Interview atau pedoman wawancara

terstruktur.

6. Analisis Data

(40)

hirarki peraturan perundang-undangan, sehingga ketentuan-ketentuan yang satu tidak bertentangan dengan ketentuan lainnya.

7. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian diambil untuk mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penyusunan skripsi ini, yaitu:

a. Perpustakaan

1) Perpustakaan Universitas Komputer Indonesia Jl. Dipati Ukur No.112 Bandung

2) Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Jl. Dipati Ukur No.35 Bandung

b. Instansi

1) Pengadilan Negeri Bandung Jl.Ll.Re Martadinata No. 74-80. 2) Bapas Kelas I Bandung, Jl. Kiara Condong 431 Bandung

3) Lapas Kelas III Anak Bandung, Jl. Pacuan Kuda No. 3a Arcamanik Bandung.

c. Situs

(41)

27

TINJAUAN TEORI TERHADAP TINDAK PIDANA YANG DILAKUKAN

OLEH ANAK DAN KONSEP

RESTORATIVE JUSTICE

A. Anak Berkonflik Dengan Hukum

1. Pengertian Anak

Definisi anak secara nasional didasarkan pada batasan usia anak menurut peraturan perundang-undangan, hukum adat, dan secara internasional definisi anak dijelaskan pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak (United Nation Convention on The Right of The Child) tahun 1989.

Berikut adalah pengertian anak yang diatur dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia:

a. Pengertian Anak dalam Hukum Perdata

Pasal 330 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa:

“Orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum

mencapai umur genap 21 tahun (dua puluh satu) tahun dan tidak terlebih dahulu kawin.”

b. Anak menurut Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

Pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, menjelaskan pengertian anak sebagai berikut:

(42)

c. Anak menurut Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak, menjelaskan anak sebagai berikut:

“Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah

mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin.”

d. Anak menurut Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Pengertian anak terdapat dalam Pasal 1 ayat (5) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yaitu:

“Anak adalah setiap manusia dibawah 18 (delapan belas)

tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi kepentingannya.”

e. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak menjelaskan pengertian anak sebagai berikut:

(43)

f. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak

Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak:

“Anak yang berkonflik dengan hukum selanjutnya disebut

anak adalah anak yang telah berumur 12 tahun, tetapi belum berumur 18 tahun yang diduga melakukan tindak pidana.”

g. Putusan Mahkamah Konstitusi, Nomor: 1/PUU-VII/2010, Tanggal 24 Februari 2011, Terhadap Pengadilan Anak Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa;

“frase ’8 tahun’ dalam pasal 1 angka 1, pasal 4 ayat 1 dan pasal 5 ayat 1 UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bertentangan dengan UUD 1945, sehingga Mahkamah Konstitusi memutuskan batas minimal usia anak yang bisa dimintai pertanggungjawaban hukum adalah 12 tahun.”

Secara internasional definisi anak dijelaskan dalam Pasal 1 Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa mengenai Hak Anak (United Nation Convention on The Right of The Child), yang menjadi acuan bagi

konvensi-konvensi lain dalam memahami pengertian dari anak, sebagai berikut: ”Anak berarti setiap manusia yang berusia di bawah 18 tahun

kecuali, berdasarkan undang-undang yang berlaku bagi anak-anak, kedewasaan dicapai lebih cepat.”

(44)

tidak lagi disebut anak dan telah dewasa beraneka ragam istilahnya, misalnya; telah kuat gawe, akil baliq, menek bajang dan lain sebagainya.32

Pengertian anak jika ditinjau dari aspek sosiologis yaitu memposisikan anak sebagai kelompok sosial yang berstatus lebih rendah dari masyarakat di lingkungan tempat berinteraksi. Status sosial yang dimaksud yaitu ditujukan pada kemampuan menerjemahkan ilmu dan teknologi sebagai ukuran interaksi yang dibentuk dari kemampuan berkomunikasi sosial yang berada pada skala paling rendah. Pengelompokan pengertian anak dalam makna sosial ini lebih mengarahkan pada perlindungan karena keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki oleh anak sebagai wujud untuk berekspresi sebagaimana orang dewasa.33

Pengertian anak menurut beberapa ahli yakni sebagai berikut: Menurut Sugiri mengatakan bahwa34:

“Selama di tubuhnya masih berjalan proses pertumbuhan dan perkembangan, anak itu masih menjadi anak dan baru menjadi dewasa bila proses perkembangan dan pertumbuhan itu selesai, jadi batas umur anak-anak adalah sama dengan permulaan menjadi dewasa, yaitu 18 (delapan belas) tahun untuk wanita dan 21 (dua puluh) tahun untuk laki-laki.”

Hilman Hadikusuma merumuskan pengertian anak sebagai berikut35:

“Menarik batas antara sudah dewasa dengan belum dewasa, tidak perlu dipermasalahkan karena pada kenyataannya walaupun orang belum dewasa namun ia telah dapat melakukan perbuatan hukum, misalnya anak yang belum

32 Nashriana, Perlindungan Hukum Pidana bagi Anak di Indonesia, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2011, hlm 7

33 Maulana Hasan Wadong, Pengentar Advokasi Dan Perlindungan Anak, PT Grasindo, Jakarta, 2000, hlm 10

(45)

dewasa telah melakukan jual beli, berdagang, dan sebagainya, walaupun ia belum berwenang kawin.”

Menurut Nicholas McBala, pengertian anak adalah36:

“Manusia yang belum mencapai usia 18 tahun termasuk anak

yang masih dalam kandungan dan belum menikah.”

2. Hak dan Kewajiban Anak

Konvensi Hak-Hak Anak (United Nation Convention on The Right of The Child) secara umum mengelompokan hak-hak anak dalam 4 kategori,

antara lain37:

a. Hak untuk kelangsungan hidup (The Right To Survival) yaitu hak-hak untuk melestarikan dan mempertahankan hidup ( The Right of Live) dan hak untuk memperoleh standar tertinggi dan perawatan yang sebaik-baiknya. Hak ini termuat dalam pasal-pasal berupa:

1) Hak anak untuk mendapatkan nama dan kewarganegaraan semenjak dilahirkan;

2) Hak anak untuk hidup bersama orang tuanya, kecuali jika hal tersebut dianggap tidak sesuai dengan kepentingan terbaiknya;

3) Kewajiban negara untuk melindungi anak-anak dari segala bentuk salah perlakuan (abuse);

4) Hak anak-anak penyandang cacat (disable) untuk memperoleh pengasuhan, pendidikan, dan latihan khusus;

36 Nicholas McBala dikutip dalam Marlina, Op.Cit, hlm 36

(46)

5) Hak anak untuk menikmati standar kehidupan yang memadai dan tanggung jawab utama orang tua, kewajiban negara untuk memenuhinya;

6) Hak anak atas pendidikan dan kewajiban negara untuk menjamin agar pendidikan dasar disediakan secara cuma-cuma dan berlaku wajib;

7) Hak anak atas perlindungan dari penyalahgunaan obat bius dan narkotika;

8) Hak anak atas perlindungan eksploitasi dan penganiayaan seksual, termasuk prostitusi dan keterlibatan dalam pornografi;

9) Kewajiban negara untuk menjajaki segala upaya guna mencegah penjualan, peyelundupan, dan penculikan anak.

b. Hak terhadap perlindungan (Protection Rights) yaitu hak-hak dalam konvensi hak anak yang meliputi perlindungan dari diskriminasi, tindakan kekerasan dan keterlantaran bagi anak yang tidak mempunyai keluarga bagi anak-anak pengungsi. Hak ini terdiri dari kategori berikut: 1) Adanya larangan diskriminasi anak, yaitu non-diskriminasi terhadap

hak-hak anak, hak mendapatkan nama dan kewarganegaraan, dan hak anak penyandang cacat;

(47)

perlakuan atau hukuman yang kejam, pidana mati, seumur hidup, penahanan semena-mena.

c. Hak untuk tumbuh kembang (Development Rights) yaitu hak-hak anak dalam Konvensi Hak-Hak Anak (United Nation Convention on The Right of The Child) yang meliputi segala bentuk pendidikan (formal dan

non-formal) dan hak untuk mencapai standar hidup yang layak bagi perkembangan fisik, mental, spiritual, moral, dan sosial anak (the right of standart living). Beberapa hak untuk tumbuh kembang yaitu:

1) Hak untuk memperoleh informasi (the rights to information); 2) Hak memperoleh pendidikan (the rights to education); 3) Hak bermain dan rekreasi (the rights to play and recreation);

4) Hak berpartisipasi dalam kegiatan budaya (the rights to participation in cultural activities);

5) Hak untuk kebebasan berpikir (conscience), dan beragama (the rights to thought and religion);

6) Hak untuk pengembangan kepribadian (the rights to personality development);

7) Hak untuk memperoleh identitas (the rights to identity);

8) Hak memperoleh kesehatan dan fisik (the rights to health and physical development);

9) Hak untuk didengar pendapatnya (the rights to be heard); 10) Hak untuk/atas keluarga (the rights to family)

(48)

in all matters affecting the child). Hak untuk berpartisipasi juga

merupakan hak anak mengenai identitas budaya mendasar bagi anak, masa kanak-kanak dan pengembangan keterlibatannya di dalam masyarakat luas. Hak ini memberi makna bahwa anak-anak ikut memberikan sumbangan peran, antara lain:

1) Hak anak untuk berpendapat dan memperoleh pertimbangan atas pendapatnya;

2) Hak anak untuk mendapatkan dan mengetahui informasi serta untuk berekspresi;

3) Hak anak untuk berserikat dan menjalin hubungan untuk bergabung; 4) Hak anak untuk memperoleh akses informasi yang layak dan

dilindungi dari informasi yang tidak sehat.

Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tanggal 20 November 1959 telah menyetujui Konvensi Hak-hak Anak (United Nation Convention on The Right of The Child), yang diratifikasi oleh Bangsa

Indonesia dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990 tentang Convention on The Right of The Child, dalam konvensi tersebut ditentukan

antara lain38:

a. Pasal 37 Konvensi Hak-hak Anak (United Nation Convention on The Right of The Child)

“1) Larangan penyiksaan, perlakuan atau hukuman yang kejam, hukuman mati, penjara seumur hidup, dan penahanan semena-mena atau perampasan kebebasan.

2) Hak anak yang didakwa ataupun diputuskan telah melakukan pelanggaran tetap dihargai hak asasinya dan khususnya untuk menerima manfaat dari segala proses hukum atau bantuan hukum lainnya dalam penyiapan dan pengajuan pembelaan anak tersbut.”

(49)

b. Pasal 40 Konvensi Hak-hak Anak (United Nation Convention on The Right of The Child)

“Menjelaskan bahwa prinsip demi hukum dan institusional

sedapat mungkin dihindari dalam penganan anak yang berkonflik dengan hukum.”

Pelaksanaan perlindungan hak-hak anak di Indonesia sebagaimana yang dimaksud dalam Deklarasi Hak-hak Anak dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, beberapa Pasal yang terkait dengan hak dan kewajiban anak, yaitu39:

a. Pasal 1 angka 1 huruf a dan b Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

“(1) Kesejahteraan anak adalah suatu tata kehidupan dan penghidupan anak yang dapat menjamin pertumbuhan dan perkembangan dengan wajar, baik secara rohani, jasmani maupun sosial.

(2) Usaha kesejahteraan anak adalah usaha kesejahteraan sosial yang ditujukan untuk menjamin terwujudnya kesejahteraan anak terutama terpenuhinya kebutuhan pokok anak.”

b. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

“(1) Anak berhak atas kesejahteraan, perawatan, asuhan dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang dengan wajar.

(2) Anak berhak atas pelayanan untuk mengembangkan kemampuan dan kehidupan sosialnya, sesuai dengan kebudayaan dan kepribadian bangsa, untuk menjadi warganegara yang baik dan berguna.

(3) Anak berhak atas pemeliharaan dan perlindungan, baik semasa dalam kandungan maupun sesudah dilahirkan.

(50)

(4) Anak berhak atas perlindungan terhadap lingkungan hidup yang dapat membahayakan atau menghambat pertumbuhan dan perkembangannya dengan wajar.”

c. Pasal 3 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

“Dalam keadaan yang membahayakan, anaklah yang

pertama-tama berhak mendapat pertolongan, bantuan, dan perlindungan.”

d. Pasal 6 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak

“(1) Anak yang mengalami masalah kelakuan diberi pelayanan dan asuhan yang bertujuan menolongnya guna mengatasi hambatan yang terjadi dalam masa pertumbuhan dan perkembangannya.

(2) Pelayanan dan asuhan, sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1), juga diberikan kepada anak yang telah dinyatakan bersalah melakukan pelanggaran hukum berdasarkan keputusan hakim.”

Pasal 66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menentukan:

“(1) Setiap anak berhak untuk tidak dijadikan sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi.

(2) Hukuman mati atau hukuman seumur hidup tidak dapat dijatuhkan untuk pelaku tindak pidana yang masih anak. (3) Setiap anak berhak untuk tidak dirampas kebebasannya

secara melawan hukum.

(4) Penangkapan, penahanan, atau pidana penjara anak hanya boleh dilakukan sesuai dengan hukum yang belaku dan hanya dapat dilaksanakan sebagai upaya terakhir.

(5) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan dengan memperhatikan kebutuhan pengembangan pribadi sesuai dengan usianya dan harus dipisahkan dari orang dewasa, kecuali demi kepentingannya.

(51)

(7) Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk membela diri dan memperoleh keadilan di depan Pengadilan Anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang yang tertutup untuk umum.”

Berkaitan dengan hak anak yang telah dijelaskan dalam Pasal 66 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tersebut maka implementasi negara untuk melindungi anak ditegaskan lagi dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Hak-hak yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, adalah40:

a. Setiap anak berhak untuk dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara wajar sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi;

b. Setiap anak berhak atas suatu nama sebagai identitas diri dan status kewarganegaraan;

c. Setiap anak berhak untuk beribadah menurut agamanya, berpikir, dan berekspresi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya, dalam bimbingan orang tua;

d. Setiap anak berhak untuk mengetahui orang tuanya, dibesarkan, dan diasuh oleh orang tuanya sendiri. Dalam hal karena suatu sebab orang tuanya tidak dapat menjamin tumbuh kembang anak, atau anak dalam keadaan terlantar maka anak tersebut berhak diasuh atau diangkat sebagai anak asuh atau anak angkat oleh orang lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

(52)

e. Setiap anak berhak memperoleh pelayanan kesehatan dan jaminan sosial sesuai dengan kebutuhan fisik, mental, spiritual, dan sosial; f. Berhak memperoleh pendidikan dan pengajaran dalam rangka

pengembangan pribadinya dan tingkat kecerdasannya sesuai dengan minat dan bakatnya, khusus bagi anak yang menyandang cacat juga berhak memperoleh pendidikan luar biasa, sedangkan bagi anak yang memiliki keunggulan juga berhak mendapatkan pendidikan khusus; g. Setiap anak berhak menyatakan dan didengar pendapatnya, menerima,

mencari, dan memberikan informasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan usianya demi pengembangan dirinya sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan dan kepatutan;

h. Setiap anak berhak untuk beristirahat dan memanfaatkan waktu luang, bergaul dengan anak yang sebaya, bermain, berekreasi, dan berkreasi sesuai dengan minat, bakat, dan tingkat kecerdasannya demi pengembangan diri;

i. Setiap anak yang menyandang cacat berhak memperoleh rehabilitasi, bantuan sosial, dan pemeliharaan taraf kesejahteraan sosial;

j. Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan, berhak mendapat perlindungan dari perlakuan: diskriminasi; eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual; penelantaran; kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan; ketidakadilan; dan perlakuan salah lainnya;

(53)

pemisahan itu adalah demi kepentingan terbaik bagi anak dan merupakan pertimbangan terakhir;

l. Berhak untuk memperoleh perlindungan dari: penyalahgunaan dalam kegiatan politik; pelibatan dalam sengketa bersenjata; pelibatan dalam kerusuhan sosial; pelibatan dalam peristiwa yang mengandung unsur kekerasan; dan pelibatan dalam peperangan;

m. Setiap anak berhak memperoleh perlindungan dari sasaran penganiayaan, penyiksaan, atau penjatuhan hukuman yang tidak manusiawi; memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum; penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir;

n. Setiap anak yang dirampas kebebasannya berhak untuk: mendapatkan perlakuan secara manusiawi dan penempatannya dipisahkan dari orang dewasa; memperoleh bantuan hukum atau bantuan lainnya secara efektif dalam setiap tahapan upaya hukum yang berlaku; dan membela diri dan memperoleh keadilan di depan pengadilan anak yang objektif dan tidak memihak dalam sidang tertutup untuk umum. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum berhak dirahasiakan;

o. Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku tindak pidana berhak mendapatkan bantuan hukum dan bantuan lainnya.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, mengatur lima hal kewajiban anak di Indonesia,yaitu41: Menghormati orang

(54)

tua, wali dan guru; Mencintai keluarga, masyarakat, dan menyayangi teman; Mencintai tanah air, bangsa dan negara; Menunaikan ibadah sesuai dengan ajaran agamanya; Melaksanakan etika dan akhlak yang mulia.

3. Kenakalan Anak

a. Pengertian Kenakalan Anak

Perlu diketahuinya proses pertumbuhan dan perkembangan anak untuk memudahkan dalam mengartikan istilah anak dan menghindari salahnya penerapan kadar penilaian orang dewasa terhadap anak sebagai berikut42:

Proses perkembangan anak terdiri dari beberapa fase pertumbuhan yang bisa digolongkan berdasarkan paralelitas perkembangan jasmani anak dengan perkembangan jiwa anak, yaitu43: 1. Fase pertama adalah dimulainya pada usia anak 0 tahun sampai

dengan 7 tahun yang bisa disebut sebagai masa anak kecil dan masa perkembangan kemampuna mental, pengembangan fungsi-fungsi tubuh, perkembangan kehidupan emosional, bahasa bayi dan arti bahasa bagi anak-anak, masa kristis (trozalter) pertama dan tumbuhnya seksualitas awal pada anak.

2. Fase kedua adalah dimulai pada usia 7 sampai 14 tahun disebut sebagai masa kanak-kanak, dimana dapat digolongkan kedalam 2 periode, yaitu;

a. Masa anak Sekolah Dasar mulai dari usia 7-12 tahun adalah periode intelektual.

Gambar

 Grafik 2.1

Referensi

Dokumen terkait

Bapak Pranawa, SH selaku Penasehat Hukum di Lembaga Perlindungan Anak Daerah Istimewa Yogyakarta (LPA-DIY) yang telah banyak membantu memberikan informasi

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian yang menggabungkan antara Penelitian Hukum Normatif dan Penelitian Hukum Empiris. Adapun sumber data penelitian ini

Solusi yang dilakukan yaitu dengan cara memanggil ulang para pihak supaya dapat dipertemukan atau bahkan sampai adanya penjemputan yang dilakukan oleh para penegak hukum

Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif sebagai pelaksanaan kewenangan untuk mengefektifkan proses penegakan hukum yang diberikan oleh undang- undang

Pengaturan diversi secara tegas telah diatur dalam Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak sebagai landasan hukum untuk bisa diterapkannya penyelesaian perkara

Dalam Pasal 1 butir (6) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak menyatakan, Keadilan restoratif adalah penyelesaian perkara tindak

Pada tabel 1 memperlihatkan, perkara jenis tindak pidana yang paling dominan dilakukan oleh anak dan sering kali diselesaikan secara restorative justice adalah

Pada prinsipnya UU SPPA mengedepankan pendekatan Keadilan Restoratif dan proses diversi sebagai upaya penyelesaian tindak pidana yang dilakukan oleh anak, sehingga penerapan Keadilan