KAJIAN EVAPORASI PULAU JAWA DAN BALI
BERDASARKAN DATA PENGAMATAN 1975-2013
TRINAH WATI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa Tesis dengan berjudul:
“
Kajian
Evaporasi Pulau Jawa Dan Bali Berdasarkan Data Pengamatan 1975-2013
”
adalah
benar karya tulis saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum pernah
diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber
informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak
diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam
Daftar Pustaka di bagian akhir Tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis ini kepada Institut
Pertanian Bogor.
Bogor, 18 Agustus 2015
Trinah Wati
RINGKASAN
TRINAH WATI. Kajian Evaporasi Pulau Jawa dan Bali Berdasarkan Data
Pengamatan 1975-2013. Dibimbing oleh HIDAYAT PAWITAN sebagai Ketua
Komisi Pembimbing dan ARDHASENA SOPAHELUWAKAN sebagai anggota
Komisi Pembimbing.
Kajian evaporasi Pulau Jawa dan Bali menggunakan data pengamatan
Panci Klas A dari 31 stasiun di Pulau Jawa dan 5 stasiun di Pulau Bali. Evaluasi
perbandingan, analisis korelasi dan regresi antara evaporasi panci dengan
parameter cuaca/iklim lain dilakukan pada interval waktu harian, dasarian dan
bulanan untuk mempelajari ketergantungan evaporasi panci terhadap parameter
iklim dan untuk menduga evaporasi panci menggunakan parameter iklim.
Analisis neraca air dilakukan untuk membandingkan pasokan air dari curah hujan
dengan kebutuhan air klimatik dari evapotranspirasi potensial dan juga untuk
menduga indeks evaporasi. Evaporasi panci tahunan rata-rata di Pulau Jawa
sebesar 1483 mm dengan kisaran antara 972 mm di stasiun Andungsari, Jawa
Timur hingga 1827 mm di stasiun Djuanda, Jawa Timur. Sedangkan di Pulau Bali
sebesar 1656 mm dengan kisaran antara 1485 mm di stasiun Negara, Bali bagian
barat hingga1959 di stasiun Ngurah Rai, Denpasar.
Lima unsur iklim utama yang mengendalikan proses evaporasi adalah:
radiasi matahari (lama penyinaran), defisit tekanan uap air, kelembaban relatif,
kecepatan angin dan suhu udara telah dibandingkan dengan evaporasi panci pada
interval waktu harian, dasarian dan bulanan. Secara umum di Pulau Jawa dan
Bali, defisit tekanan uap air dan kelembaban udara memiliki korelasi terbaik
dengan evaporasi panci pada semua interval waktu, meskipun di beberapa stasiun
ada juga yang berkorelasi tinggi dengan suhu udara, radiasi matahari dan
kecepatan angin. Parameter iklim yang memiliki korelasi terbaik digunakan
sebagai penduga evaporasi panci di stasiun tersebut.
Indeks evaporasi merupakan rasio antara evapotranspirasi aktual terhadap
curah hujan, rata-rata indeks evaporasi di Pulau Jawa sebesar 0,53 dengan kisaran
0,19 di stasiun Baranangsiang, Jawa Barat hingga 0,82 di stasiun Banyuwangi,
Jawa Timur, sedangkan di Bali rata-rata 0,60 yang berkisar antara 0,52 di stasiun
Kahang, Bali bagian timur hingga 0,68 di stasiun Ngurah Rai, Denpasar, karena
evaporasi di Pulau Bali yang lebih tinggi dan curah hujan yang lebih rendah
dibandingkan dengan Pulau Jawa.
SUMMARY
TRINAH WATI. Study of Evaporation for Java and Bali based on 1975-2013
Observation Data, supervised by HIDAYAT PAWITAN as Chairman and
ARDHASENA SOPAHELUWAKAN as member of Advisory Committee.
Evaporation in Java and Bali was studied using observed data from Class
A Pan evaporation from 31 stations in Java and five stations in Bali. Comparative
evaluation, correlation and regression analysis of pan evaporation with other
meteorological variables at daily, 10-daily and monthly time-scales were
conducted to learn the dependence of pan evaporation to other meteorological
variables and to estimate pan evaporation using other meteorological variables.
Water balance analysis was used to compare water supply from precipitation and
climate water demand from potential evapotranspiration and also to estimate
evaporation index. Annual mean pan evaporation in Java was estimated at 1483
mm ranging from 972 mm at Andungsari station in East Java to 1827 mm at
Djuanda station in East Java, while in Bali was1656 mm that ranges from 1485
mm at Negara station in West Bali to 1959 mm at Ngurah Rai Denpasar station.
Five major factors that control evaporation were solar radiation (sunshine
duration), vapour pressure deficit, relative humidity, wind speed and air
temperature, that were compared at the different time-scales. In general, vapour
pressure deficit and relative humidity had higher correlation with pan evaporation
at all time-scales, although some stations had good correlation with air
temperature, sunshine duration and wind speed. The variable that has the best
correlation with pan evaporation in each station was chosen as predictor for pan
evaporation.
Evaporation index as ratio of actual evapotranspiration to precipitation was
0,53 in Java that ranged from 0,19 at Baranangsiang station, West Java to 0,82 at
Banyuwangi station, East Java, while in Bali the index was 0,60 that ranged from
0,52 at Kahang station, East Bali to 0,68 at Ngurah Rai Denpasar, because Bali
has higher evaporation and lower precipitation than Java.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan
atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,
penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau
tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan
IPB
KAJIAN EVAPORASI PULAU JAWA DAN BALI
BERDASARKAN DATA PENGAMATAN 1975-2013
TRINAH WATI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains
pada
Program Studi Klimatologi Terapan
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
Judul Penelitian
: Kajian Evaporasi Pulau Jawa dan Bali Berdasarkan Data
Pengamatan 1975-2013
Nama Mahasiswa
: Trinah Wati
NRP
: G251120051
Program Studi
: Klimatologi Terapan
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc
Ketua
Dr. Ardhasena Sopaheluwakan, S.Si, M.Sc
Anggota
Diketahui oleh,
Ketua Program Studi Klimatologi Terapan
Dr. Ir. Impron, M.Agr.Sc
Tanggal ujian : 22 Juni 2015
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala
karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam
penelitian yang dimulai dari Januari 2014 ini adalah Kajian evaporasi Pulau Jawa
dan Bali berdasarkan data pengamatan tahun 1975 sampai dengan 2013.
Penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih kepada Bapak Prof.
Dr. Ir. Hidayat Pawitan, M.Sc selaku Ketua Komisi Pembimbing dan Bapak Dr.
Ardhasena Sopaheluwakan, S.Si, M.Sc, selaku anggota komisi Pembimbing yang
telah membimbing dan mengarahkan sehingga penelitian ini dapat diselesaikan.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Perdinan, S.Si, M.NRE
selaku penguji pada Ujian Tesis ini dan Bapak Dr. Ir. Impron,M.Agr.Sc selaku
Ketua Program Studi Klimatologi Terapan.
Terima kasih penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Dr. Edvin Aldrian,
B.Eng, M.Sc yang telah memotivasi penulis sehingga berkeinginan untuk
meneruskan pendidikan ke jenjang S2 di IPB, para pejabat dan rekan
–
rekan di
lingkungan Pusat Perubahan Iklim dan Kualitas Udara BMKG atas dukungannya
selama ini.
Ungkapan terima kasih dan penghormatan penulis sampaikan pada bapak
(almarhum) dan ibu yang selalu mendukung dan kasih sayangnya hingga kini.
Penulis sampaikan terima kasih dan permohonan maaf atas banyaknya waktu
yang penulis curahkan untuk menjalani pendidikan dan penyelesaian tesis ini
kepada suami tercinta Bayu Iriantomo dan anak-anak tersayang Salwa, Salman
dan Salim.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, 18 Agustus 2015
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
DAFTAR LAMPIRAN
1 PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Luaran Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
2 TINJAUAN PUSTAKA
3
Evaporasi
3
Metode pengukuran Evaporasi dan Evapotranspirasi
4
Metode Pendugaan Evaporasi dan Evapotranspirasi
5
Penelitian Evaporasi yang Pernah dilakukan di Indonesia
8
Neraca Air
9
3 METODE PENELITIAN
11
Pengumpulan Data Penelitian
11
Uji Normalitas Data
12
Perbandingan Pola Evaporasi Panci dengan Suhu Udara, Kelembaban
Udara,Lama Penyinaran, Kecepatan Angin dan Defisit Tekanan Uap Air
menurut interval waktu
13
Analisis Korelasi dan Regresi antara Evaporasi Panci dengan Suhu
Udara, Kelembaban Udara, Lama Penyinaran, Kecepatan Angin dan
Defisit Tekanan Uap Air
14
Perhitungan Neraca Air
15
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
18
Pengumpulan dan
Quality Control
Data Evaporasi Panci
18
Evaporasi di Jawa dan Bali Berdasarkan Data Pengamatan
19
Evaporasi Berdasarkan Elevasi
24
Tren Evaporasi Bulanan
27
Hubungan Evaporasi dengan Suhu Udara, Kelembaban Udara, Lama
Penyinaran, Kecepatan Angin dan Defisit Tekanan Uap Air Menurut
Interval Waktu
28
Estimasi Evaporasi menggunakan Parameter Iklim
31
Ketersediaan Air dan Indeks Evaporasi Berdasarkan Perhitungan Neraca
Air di Pulau Jawa dan Bali
34
5 SIMPULAN DAN SARAN
39
DAFTAR PUSTAKA
41
DAFTAR TABEL
1
Daftar stasiun penelitian
13
2
Koefisien panci Klas A pada penempatan dan lingkungan yang berbeda
pada
beberapa
tingkatan
kelembaban
relatif
dan
kecepatan
angin (Allen
et.al
, 1998)
17
3
Deskripsi statistik data evaporasi harian
18
4
Evaporasi bulanan rata-rata periode antara tahun 1975
–
2013 di Jawa
Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dan rata-rata Pulau Jawa (dalam
mm/bulan)
23
5
Evaporasi bulanan rata-rata periode antara tahun 1960
–
1987 di Jawa
Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dan rata-rata Pulau Jawa hasil
penelitian Suharsono, 1989 (dalam mm/bulan)
23
6
Evaporasi Rata-rata Berdasarkan Elevasi Di Pulau Jawa
25
7
Evaporasi Rata-rata Berdasarkan Elevasi Di Pulau Bali
25
8
Tren evaporasi bulanan di Jawa dan Bali
27
9
Korelasi (r) dan Nilai Determinansi (R
2) Evaporasi dengan Suhu Udara,
Kelembaban Udara, Lama Penyinaran, Kecepatan Angin dan Defisit
Tekanan Uap Air
30
10 Persamaan Estimasi Evaporasi Menggunakan Parameter Iklim Lain
32
DAFTAR GAMBAR
1
Panci Klas A
4
2
Lokasi Stasiun Penelitian
12
3
Series data evaporasi di Sanglah Bali
19
4
Evaporasi Tahunan Rata-Rata
20
5
Pola Evaporasi Bulanan di Pulau Jawa dan Bali
20
6
Pola Evaporasi Dasarian di Pulau Jawa dan Bali
21
7
Pola Evaporasi Harian di Pulau Jawa dan Bali
21
8
Hubungan antara evaporasi tahunan dengan elevasi
24
9
Pola Evaporasi Bulanan Rata-Rata Berdasarkan Elevasi di Pulau Jawa
dan Bali
25
10
Pola Evaporasi Dasarian Rata-Rata Berdasarkan Elevasi di Pulau Jawa
dan Bali
26
11
Pola Evaporasi HarianRata-Rata Berdasarkan Elevasi di Pulau Jawa
dan Bali
26
12
Sebaran parameter iklim yang dominan mempengaruhi proses
evaporasi
17
Indeks Evaporasi Pulau Jawa dan Bali
37
18
Hubungan Indeks Evaporasi dengan Curah Hujan TahunanPulau Jawa
dan Bali
38
19
Hubungan Indeks Evaporasi dengan Elevasi Pulau Jawa dan Bali
38
DAFTAR LAMPIRAN
1
Distribusi data evaporasi harian dan uji normalitas
Kolmogorov-Smirnov
45
2
Sebaran Evaporasi Rata-Rata Bulanan di Pulau Jawa dan Bali
54
3
Tren evaporasi bulanan stasiun penelitian
58
4
Perbandingan pola evaporasi dengan parameter iklim interval waktu
harian, dasarian dan bulanan di stasiun Pondok Betung
63
5
Perhitungan neraca air lahan dasarian
66
6
Perhitungan neraca air bulanan
67
7
Suhu udara bulanan rata-rata (
oC) periode antara tahun1975-2013
68
8
Kelembaban relatif bulanan rata-rata (%) periode antara
tahun1975-2013
69
9
Lama penyinaran bulanan rata-rata (jam) periode antara
tahun1975-2013
70
10 Kecepatan angin bulanan rata-rata (knot) periode antara
tahun1975-2013
1 PENDAHULUAN
Latar Belakang
Evaporasi merupakan proses perubahan fase air dari bentuk cair ke bentuk gas. Dalam proses daur hidrologi, evaporasi merupakan perpindahan air dari permukaan lautan dan daratan ke atmosfir. Penguapan air laut merupakan tahapan pertama dalam daur hidrologi dan mempengaruhi masukan air ke dalam daratan dan simpanan air. Sekitar 85% evaporasi di bumi terjadi di lautan (Mehta et al., 2005), sedangkan di daratan besarnya fluks evaporasi lebih kecil dibandingkan lautan namun 60-70% volume curah hujan yang turun dievaporasikan di daratan (Lim dan Roderick, 2009; Miralles et al., 2011). Kontribusi dari proses evaporasi dalam sistem hidrologi yang
penting adalah ketersediaan air tawar (fresh water) di bumi akibat dari proses
pemurnian air laut yang asin ditransformasi menjadi air hujan yang tawar (fresh)
sehingga sumber-sumber air dan simpanan air di daratan memiliki banyak kandungan air tawar.
Pengukuran evaporasi di Indonesia dilakukan di stasiun-stasiun pengamatan iklim umumnya menggunakan panci terbuka yaitu panci klas A. Kajian evaporasi dari data pengamatan evaporasi panci klas A menjadi penting sebagai salah satu cara untuk mempelajari karakteristik evaporasi, berapa besaran evaporasi saat ini dan perencanaan pemanfaatan air terutama bagi ahli-ahli meteorologi, hidrologi, pertanian dan lingkungan. Informasi nilai evaporasi dari panci klas A sangat diperlukan karena nilai evapotranspirasi potensial merupakan salah satu masukan dalam penentuan kriteria awal
musim hujan dan awal musim kemarau (Giarno et.al, 2012). Nilai evapotranspirasi
potensial mempengaruhi batasan jumlah curah hujan sebagai batas suatu bulan musim hujan atau musim kemarau.
Penelitian tentang evaporasi yang pernah di lakukan di Jawa menunjukkan bahwa evaporasi panci klas A rata-rata di Pulau Jawa periode antara tahun 1960 sampai dengan
1987 sebesar 1472 mm per tahun yang berkisar antara 921 2648 mm (Suharsono,
1989). Penelitian tersebut menggunakan pemetaan dengan metode isopleth untuk mengetahui sebaran nilai evaporasi di pulau Jawa. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji evaporasi di Pulau Jawa dan Bali menggunakan data evaporasi panci klas A periode selanjutnya dari penelitian sebelumnya.
Evaporasi panci terbuka dapat digunakan sebagai indikator evaporasi di lingkungan sekitarnya. Studi mengenai pengamatan evaporasi panci menjadi sangat
menarik saat ini mengingat adanya fenomena The Evaporation Paradox yang
menunjukkan adanya penurunan tren evaporasi yang disebabkan oleh peningkatan keawanan. Menurut Brutsaert dan Parlange (1998) pemahaman tentang pengukuran evaporasi panci yang benar dapat dijadikan sebagai indikator perubahan iklim.
Perumusan Masalah
wilayah Indonesia. Studi mengenai evaporasi panci dilakukan di Pulau Jawa yang memiliki pos pengamatan iklim dengan jumlah yang paling banyak di Indonesia dan Pulau Bali sebagai pulau terdekat dari Pulau Jawa yang secara iklim memiliki tipe hujan yang sama dengan pulau Jawa (Aldrian dan Susanto, 2003) dengan luasan yang lebih kecil untuk dapat mengetahui karakteristik evaporasi di wilayah Indonesia dan ketergantungannya dengan parameter iklim lain.
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah
1. Mempelajari profil dan karakteristik evaporasi di Pulau Jawa dan Bali
menggunakan data observasi evaporasi panci Klas A
2. Mengetahui adanya kecenderungan/tren data evaporasi di Pulau Jawa dan
Bali
3. Mempelajari keterkaitan evaporasi dengan parameter iklim lain dan
mengetahui parameter yang paling dominan dalam proses evaporasi berdasarkan interval waktu
4. Menduga evaporasi menggunakan parameter iklim yang paling dominan
mempengaruhi prosesnya
5. Menghitung neraca air klimatologis untuk mempelajari perbandingan
pasokan air dari curah hujan dengan kebutuhan air klimatik dari evapotranspirasi potensial
Luaran Penelitian
Luaran dari penelitian ini adalah
1. Karakteristik evaporasi di Jawa dan Bali berdasarkan data pengamatan
evaporasi panci klas A
2. Keterkaitan evaporasi dengan parameter iklim lainnya sehingga diperoleh
parameter iklim yang paling dominan mempengaruhi nilai evaporasi
3. Estimasi evaporasi menggunakan parameter iklim yang paling dominan
mempengaruhi proses evaporasi.
4. Periode kekurangan air (defisit) dan kelebihan air (surplus) serta indeks
evaporasi di Pulau Jawa dan Bali
Manfaat Penelitian
2 TINJAUAN PUSTAKA
Evaporasi
Bentuk dari proses evaporasi ada dua, pertama evaporasi dari permukaan air terbuka dan kedua yaitu transpirasi dari vegetasi. Menurut WMO (1992) definisi evaporasi adalah jumlah air yang mengalami penguapan dari permukaan air terbuka atau dari permukaan tanah, sedangkan transpirasi didefinisikan sebagai proses perpindahan air dari vegetasi ke atmosfer dalam bentuk uap air. Evaporasi potensial merupakan jumlah uap air yang dapat menguap dari permukaan air per satuan luas dan satuan waktu pada kondisi atmosfer tertentu. Laju evaporasi adalah jumlah air yang menguap dari suatu luasan permukaan per satuan luas, diekspresikan sebagai massa atau volume cairan yang menguap per luas area dalam satuan waktu, biasanya sama dengan tinggi air yang terevaporasi dalam satuan millimeter (WMO, 2003). Akurasi
pengukuran evaporasi antara 0.1 0.01 mm per hari tergantung dari tipe alat
pengukuran.
Kedua proses evaporasi dan transpirasi disebut dengan istilah evapotranspirasi merupakan jumlah uap air yang berevaporasi/menguap dari tanah dan tanaman ketika permukaan tanah pada kandungan kelengasan yang alami. Menurut WMO, 1992 jumlah maksimum kemampuan air menguap pada kondisi iklim tertentu dari tutupan lahan bervegetasi yang mempunyai kelengasan yang memadai, proses ini termasuk evaporasi dari tanah dan transpirasi dari vegetasi di wilayah tertentu pada selang waktu tertentu yang diekspresikan dalam satuan tinggi air dikenal dengan konsep evapotranspirasi potensial (ETp). Meskipun demikian kelengasan sulit untuk selalu tersedia dalam jumlah yang cukup pada permukaan evaporasi sehingga evapotranspirasi yang terjadi nilainya dibawah evapotranspirasi potensial, disebut sebagai evapotranspirasi aktual (ETa).
Istilah evapotranspirasi telah secara luas digunakan dalam agrohidrologi; Savenije (2004) menyatakan bahwa istilah evapotranspirasi merupakan istilah lama untuk kombinasi proses evaporasi yang berbeda dimana sulit untuk memisahkan evaporasi dengan proses intersepsi, transpirasi, evaporasi oleh tanah dan evaporasi air terbuka (untuk tanaman padi dan vegetasi tergenang di rawa). Menurut savenije (2004) istilah evapotranspirasi sebaiknya dihilangkan dalam jargon hidrologi karena lebih sederhana dan lebih baik dengan istilah evaporasi saja. Savenije memperhitungkan proses intersepsi sebagai faktor penting untuk diperhitungkan dan berkontribusi besar dalam proses evaporasi, menurutnya transpirasi merupakan proses yang berbeda yang berkaitan dengan asimilasi CO2 tanaman yang berbeda secara skala waktu, lama
kejadian, sifat-sifat fisik,feedbackiklim dan komposisi isotop kelengasan (moisture).
Proses evaporasi tergantung pada ketersediaan energi bahang dan gradient/ defisit tekanan uap air yang tergantung pada faktor iklim seperti suhu udara, kecepatan angin, tekanan atmosfer, radiasi matahari, kualitas air dan bentuk serta sifat dari permukaan yang berevaporasi (Morton, 1968). Faktor-faktor yang mempengaruhi laju evaporasi dari badan atau permukaan air dibagi menjadi dua (WMO, 1992):
Faktor meteorologis yaitu energi dan aerodinamik. Energi dibutuhkan untuk
uap air yang mengalami evaporasi seperti kecepatan angin di permukaan dan perbedaan tekanan uap air antara permukaan dan lapisan udara di atasnya.
Faktor permukaan : faktor ini mempengaruhi proses perpindahan air ke udara
seperti jumlah dan status permukaan air, sifat/karakteristik permukaan dan hambatan permukaan yang tergantung pada kekasapan permukaan, termasuk wilayah arid atau semi arid, ukuran dan bentuk permukaan.
Kemampuan dalam memonitoring evaporasi di permukaan sangat penting untuk aplikasi yang membutuhkan estimasi ketersediaan kelengasan tanah secara spasial pada kawasan yang luas secara kontinu baik pada skala waktu mingguan atau bulanan. Aplikasi-aplikasi yang membutuhkan informasi evaporasi secara spasial misalnya dalam penjadwalan irigasi (Dodds et al., 2005), pengaturan karbon, sumber daya air dan lahan (Meyer, 1999; Raupach, 2001) dan analisis resiko untuk kebakaran lahan, badai debu dan banjir. Keakuratan dalam estimasi evaporasi akan menurunkan ketidak pastian dalam pemodelan neraca air secara global.
Metode Pengukuran Evaporasi dan Evapotranspirasi
Pengamatan evaporasi pada permukaan diukur dengan alat evaporimeter yang dikelompokkan dengan 2 tipe (WMO, 2008) yaitu:
Atmometer : mengukur kehilangan air dari permukaan basah dan berpori
evaporimeter panci atau tangki : mengukur laju evaporasi dengan
menghitung perubahan tinggi air terbuka pada panci atau tangki
Terdapat tiga tipe panci atau tangki yang digunakan untuk pengukuran evaporasi (WMO, 2008) antara lain :
1) Panci klas A
2) Panci GGI-3000
3) Tangki ukuran 20 m2
Tipe panci Klas A merupakan rekomendasi WMO (World Meteorology
Organization) dan IAHS (The International Association of Hydrological Sciences)
untuk pengukuran evaporasi panci sebagai instrument referensi karena kinerja alat tersebut telah diuji coba untuk berbagai kondisi iklim pada beragam lintang dan ketinggian.
Panci Klas A mengukur evaporasi secara langsung dengan satuan milimeter (mm). Alat ini dilengkapi dengan thermometer air Six Bellani (Thermometer Apung serta Cup Counter anemometer tinggi 0.5 meter). Alat ini terdiri dari :
a. Panci silinder, tinggi 25.4 cm dan diameter 120.7 cm, di bagian bawah di topang
oleh rangka kayu 3 5 cm di atas permukaan agar udara dapat bersirkulasi.
Ketebalan panci 0.8 mm terbuat dari besi dan biasanya tidak di cat. Panci diisi air 5 cm di bawah level referen.
b. Hook Gauge yaitu alat untuk mengukur perubahan tinggi permukaan air dalam panci. Hook Gauge jenis cassella, terdiri dari sebuah batang yang berskala, dan sebuah sekrup yang berada pada batang tersebut, digunakan untuk mengatur letak ujung jarum pada permukaan air dalam panci.
c. Still Well ialah bejana terbuat dari logam (kuningan) yang berbentuk silinder dan mempunyai 3 buah kaki. Pada tiap kaki terdapat skrup untuk menyetel/ mengatur kedudukan bejana agar letaknya horizontal.
d. Cup Counter Anemometer, alat ini dipasang sebelah selatan dekat pusat panci, dengan mangkok-mangkoknya sedikit lebih tinggi. Terutama sekali digunakan untuk mengukur banyaknya angin selama 24 jam.
Evaporasi harian di hitung berdasarkan selisih tinggi air pada panci hari demi hari dan dikoreksi pada saat hari hujan. Perubahan tinggi muka air di dalam panci menunjukkan jumlah air yang diuapkan, dihitung dengan rumus:
E = EL1 (+ R ) EL2 (1)
E = evaporasi
EL1 = tinggi muka air awal (20 cm)
EL2 = tinggi muka air saat diukur
R = tinggi curah hujan saat diukur
Kekurangan dari alat ini adalah perlunya penggunaan koefisien untuk mengkonversi pengukuran dari panci untuk menghitung evaporasi air terbuka di badan air yang lebih besar.
Alat untuk mengukur evapotranspirasi atau evapotranspirometer yaitu lysimeter berupa pipa atau bejana yang diletakkan di bawah permukaan tanah yang ditanami vegetasi. Perhitungan evapotranspirasi menggunakan lysimeter menggunakan prinsip neraca air yang komponennya terdiri dari curah hujan, perkolasi dan simpanan air dalam tanah.
Metode Pendugaan Evaporasi dan Evapotranspirasi
Pengukuran proses evaporasi cukup sulit untuk dilakukan secara langsung dan terdapat beberapa teknik untuk menduganya. Metode pendugaan laju evaporasi dapat dilakukan dengan beberapa pendekatan antara lain (Dingman, 1994):
- Pendekatan Neraca Air
E = W + Swin + Gwin Swout Gwout V (2)
W : curah hujan di badan air (sungai, danau, bendungan)
Swin dan Swout : air di permukaan yang masuk dan keluar
Gwin dan Gwout : air tanah yang masuk dan keluar
V : perubahan jumlah air di badan air selama waktu t
Semua unsur satuannya adalah volume per luas badan air.
- Pendekatan Perpindahan Massa
Pendekatan perpindahan massa menggunakan persamaan :
E = (b0+ b1 a) (es ea) (3)
Dengan b0 dan b1 merupakan konstanta empiris yang tergantung ketinggian
pengukuran kecepatan angin dan tekanan uap. Persamaan ini pertama kali di formulasikan oleh John Dalton pada tahun 1802 dikenal sebagai persamaan tipe Dalton.
- Pendekatan Neraca Energi
Laju evaporasi dengan pendekatan neraca energi menggunakan persamaan:
E =
∆ ∆
( ) (4)
Dengan menggunakan persamaan Bowen Ratio, maka nilai H:
H = B(LE) = B w vE (5)
Sehingga persamaannya menjadi:
E =
∆ / ∆( ) (6)
LE : bahang laten
K : radiasi gelombang pendek netto (input)
L : radiasi gelombang panjang netto (input)
G: konduksi permukaan tanah netto (output)
H: pertukaran bahang sensibel di atmosfir (output)
Aw: energi adveksi angin (output)
Q : perubahan bahang yang tersimpan dalam zat per satuan luasan dari
awal hingga akhir t
- Pendekatan Kombinasi Penman
pendekatan perpindahan massa (aerodinamik) dan keseimbangan energi. Formula Penman dalam mengestimasi evaporasi yaitu :
= ∆∆ (7)
: konstanta psychrometri
H : Radiasi Netto dalam unit evaporasi merupakan komponen keseimbangan
energi dengan rumus :
H = E (1+ )
= (1-r)Ra (0.18 + 0.55 n/N) T4 (0.56 0.092 ed)(0.10 +0.90n/N)
r : koefisien pemantulan permukaan (untuk nilai rata-rata tahunan, Penman
menggunakan 0.05 ntuk air terbuka, 0.10 untuk tanah gundul dan 0.20 untuk vegetasi hijau)
Ra : Radiasi Angot
n/N : nisbah antara lama penyinaran dan panjang hari
: konstanta Stefan Boltzman
: kemiringan (slope) kurva tekanan uap jenuh dengan suhu ( ≅ )
pada suhu udara tertentu T dalam mb/°C
ea : tekanan uap air jenuh pada suhu T dalam mm Hg
ed : tekanan uap air jenuh pada suhu titik embun dalam mm Hg
Ea : komponen aerodinamik (perpindahan massa uap air) dengan rumus:
= 0.35 ( 0.5 + )
U2 : kecepatan angin (miles/hari) untuk menghitung ketinggian 2 meter.
Pada tahun 1965 Monteith menyempurnakan estimasi perhitungan evaporasi metode penman dan menjadi metode gabungan yaitu metode estimasi evapotranspirasi Penman-Monteith. Monteith melakukan penelitian mengenai evaporasi dan transpirasi yang merupakan proses ke arah rekonsiliasi konsep paralel dalam ilmu meteorologi dan fisiologi. Jalur difusi uap air dari sel-sel daun menuju atmosfer bebas dibagi menjadi dua bagian, pertama ditentukan oleh ukuran dan sebaran stomata daun, dan kedua oleh faktor aerodinamik dan kecepatan angin dari permukaan tanaman.
Metode ini paling sering diaplikasikan karena memperhitungkan parameter cuaca dan fisiologi tanaman (Allen et al., 1998;). Untuk perhitungan Et harian , dari data harian menggunakan persamaan FAO Penman-Monteith :
ET = . ∆ ( ) ( )
∆ ( . ) (8)
Dengan ET adalah evapotranspirasi (mm), Rn : Radiasi netto (MJ m-2 d-1), : kemiringan (slope) kurva tekanan uap jenuh (kPa °C-1), es : tekanan uap jenuh rata-rata
ketinggian 2 m (m s-1), : konstanta psychrometri (kPa °C-1), dan G : bahang dari permukaan tanah (MJ m-2 d-1).
- Metode berdasarkan data parameter iklim
Thornthwaite (1948) mengembangkan formula empiris untuk menghitung ETp sebagai fungsi dari unsur iklim suhu rata-rata bulanan dan panjang hari.
ETp = 1.6 ( ) (9)
T : suhu udara bulanan rata-rata
I : indeks Bahang tahunan =∑
i : indeks bahang bulanan = (T/5)1.514
a = 0.675 x 10-6x I3-0.771 x 10-4x I2+ 0.01792 x I +0.49239
Pada tahun 1963, Hamon melakukan pengembangan dengan menduga laju evapotranspirasi potensial dengan persamaan :
ETp = 0.00138D[ vsat(T)] (10)
Dengan ETp Hamon dalam cm/hari, D adalah panjang hari dalam jam dan vsat(Ta)
adalah kelembaban absolut jenuh pada suhu rata-rata harian g/m3.
Hargreaves (1975) mengembangkan hubungan empiris untuk evapotranspirasi referen. Metode ini diusulkan oleh FAO ketika ketersediaan data tidak memadai atau tidak ada dan menggunakan hanya suhu udara saja. Metode ini sangat sederhana, praktis dan memberikan pendugaan yang dapat diterima. Persamaanya yaitu:
ET = 0.0023(Trata-rata + 17.8)(Tmax - Tmin) 0.5Ra (11)
Dengan Trata-rata, Tmax, Tmin : suhu rata-rata, maksimum dan minimum harian (oC), dan Ra: radiasi ekstraterrestrial (MJ m-2 d-1).
Metode FAO 24 Makkink dikembangkan oleh Makkink (1957) yang mengasumsikan bahwa evapotranspirasi sering terjadi akibat adanya perbedaan antara energi dari radiasi matahari dan suhu udara di atas permukaan dan di permukaan (Doorenbos and Pruitt, 1977). Kedua sumber energi itu berkaitan dan dinyatakan melalui radiasi matahari. Persamaannya yaitu:
Et = a + b ∆
∆ R (12)
: kemiringan (slope) kurva tekanan uap jenuh (kPa °C-1),a : koefisien (mm d-1), b :fungsi dari kelembaban relatif minimum (%) dan kecepatan angin m s-1), Rs : radiasi matahari dan : konstanta psychrometri.
Penelitian Evaporasi yang Pernah dilakukan di Indonesia
tempat yang lembab dan berawan pada elevasi di atas 1000 m. Oldeman (1977) menerangkan pola evaporasi musiman di Pulau Jawa bahwa pada musim hujan berkisar antara 75 mm/bulan di elevasi tinggi sampai 115 mm/bulan di permukaan laut. Pada bulan Januari evaporasi meningkat dengan lambat, namun meningkat dengan cepat memasuki musim kemarau. Pada bulan Agustus dan September, evaporasi bulanan mencapai 110 mm di elevasi tinggi sampai 150 mm di permukaan laut dan setinggi 180
mm di daerah yang jauh dari pantai (inland) yang lebih kering setelah bulan Oktober
evaporasi turun tajam ke nilai pada musim hujan.
Oldeman dan Irsal (1977) menghubungkan data radiasi yang diukur dengan integrator Gunn Bellani dengan data evaporasi panci Klas A pada 6 lokasi di Indonesia, diperoleh persamaan :
E = 0.012Rg + 0.26 (R2= 0.94) pada suhu maksimum > 31oC
E = 0.009Rg + 0.55 (R2= 0.90) pada suhu maksimum < 31oC
Penelitian pengukuran evaporasi di wilayah hutan tropis daratan rendah (Secondary lowland tropical rain forest) di Janlappa Jawa Barat oleh Calder et al.
(1986) menggunakan metode fisika tanah dan neraca air. Dalam penelitian tersebut diperoleh laju rata-rata transpirasi harian sebesar 2.6 mm/hari dengan konstanta hambatan permukaan sebesar 120 s/m. Pengukuran kehilangan air melalui intersepsi sebesar 21% dari curah hujan total sedangkan jumlah evaporasi total dari bulan Agustus 1980 sampai dengan Juli 1981 adalah 1481 mm (886 mm transpirasi dan 595 mm intersepsi).
Suharsono (1989) melakukan penelitian mengenai evaporasi di Pulau Jawa menggunakan data antara tahun 1960 sampai dengan 1987 di 100 stasiun klimatologi dengan melakukan pemetaan evaporasi dengan menggunakan metode isopleth dan menentukan hubungan antara evaporasi dengan radiasi matahari serta analisis neraca air. Evaporasi rata-rata tahunan di Pulau Jawa berdasarkan perhitungan isovap adalah 1472 mm dengan kisaran 921 2648 mm per tahun.
Suharsono (1989) menentukan hubungan antara evaporasi dengan radiasi matahari, diperoleh bahwa hubungan antara evaporasi (mm/hari) dengan radiasi
(cal/cm2/hari) dengan skala waktu bulanan di 6 stasiun (Muara, Cipanas, Margahayu,
Pusaka Negara dan Mojosari) dengan persamaan :
E = 0.443 + 0.0104 Ra (R2= 0.75) (13)
Neraca air
analisis fisik klimatologis yang menggambarkan interaksi evapotranpirasi dengan curah hujan yang saling berkaitan dalam daur hidrologi.
Neraca air klimatologis merupakan perbandingan pasokan air (curah hujan) bulanan, mingguan dan harian dengan kebutuhan air klimatik (evapotranspirasi potensial) untuk periode rata-rata jangka panjang. Thornthwaite dan Mather (1957) membuat suatu prosedur perhitungan (klimatologi) yang menggunakan sistem tata buku dengan menyiapkan berbagai tabel yang digunakan dalam perhitungan tersebut.
Neraca air menunjukkan suatu ungkapan kuantitatif daur hidrologi dan berbagai komponennya di suatu wilayah yang spesifik pada periode waktu tertentu (Ayoade, 1983). Menurut Mather (1978) istilah neraca air mempunyai beberapa arti yang agak berbeda tergantung dari skala ruang dan waktu, yaitu :
Skala makro : neraca air dapat digunakan dalam pengertian yang sama seperti daur
hidrologi, neraca global tahunan dari air di lautan, atmosfer dan bumi pada semua fase
Skala meso : neraca air dianggap dari suatu wilayah atau suatu drainase basin
utama
Skala mikro : neraca air dari lapangan bervegetasi, tegakan hutan atau kejadian
individu pohon
Manfaat analisis neraca air suatu tempat (Mather, 1878) yaitu dapat memperoleh informasi antara lain :
Pendugaan evapotranspirasi aktual
Defisit kandungan air tanah yaitu perbedaan antara kehilangan air aktual dan
potensial
Surplus air jika curah hujan yang tersedia melebihi kebutuhan air
Penggunaan simpan` an kelengasan tanah ketika kebutuhan air lebih besar dari
curah hujan, memungkinkan untuk menghitung jumlah simpanan air tanah menurut waktu
Hasil dari perhitungan neraca air lahan salah satunya adalah menghasilkan evapotranspirasi aktual. Untuk menduga prosentase besarnya air curah hujan yang dievaporasikan maka dalam penelitian ini digunakan perhitungan indeks evaporasi yaitu rasio evapotranspirasi actual tahunan berdasarkan neraca air lahan thornthwaite dan Mather terhadap curah hujan tahunan.
Evapotranspirasi aktual menurut Mc Donald (1961) tergantung oleh beberapa faktor yang mengendalikan kelengasan tanah dan tumbuhan yang menyebabkan kelengasan menguap ke atmosfer. Perhitungan rasio evaporasi terhadap curah hujan total di permukaan bumi menurut Mc Donald (1961) mendekati 0,65 dengan kisaran 0,6 di Amerika Utara hingga 0,87 di benua Australia, perhitungan dilakukan dengan pendekatan neraca air global. Rasio evaporasi di Amerika Serikat menunjukkan rata-rata 0,73 dengan kisaran mendekati 1 di padang pasir bagian barat daya hingga nol (0) di bagian pantai barat laut pasifik dan sebagian wilayah Maine. Nilai rasio antara evaporasi terhadap total presipitasi penting untuk studi-studi neraca air dan meteorologi
terapan yang memiliki fokus mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi nilai run off
3 METODE PENELITIAN
Pengumpulan Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder hasil pengukuran evaporasi panci klas A di Pulau Jawa dan Bali periode antara tahun 1975 sampai dengan 2013, untuk selanjutnya istilah yang digunakan adalan evaporasi. Data parameter iklim curah hujan, suhu udara rata-rata, kelembaban udara, lama penyinaran dan kecepatan angin menggunakan periode data yang sama. Daftar stasiun penelitian dan periode data dapat di lihat pada tabel 1 dan Gambar 2, urutan stasiun berdasarkan posisi bujur paling barat hingga paling timur. Data penelitian dan koordinat stasiun bersumber dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG), dan Peta Batas Adminitrasi pulau Jawa dan Bali bersumber dari Badan Informasi Geospasial.
Data evaporasi dan parameter iklim merupakan data harian, 10 harian dan bulanan. Satuan unit dari data evaporasi dan curah hujan adalah millimeter, sedangkan satuan unit suhu udara kelembaban udara, lama penyinaran dan kecepatan angin yaitu derajat celcius, persen, jam dan knot.
Data 10 harian atau dasarian untuk data evaporasi dan curah hujan merupakan akumulasi 10 hari dari data harian, jika terdapat 8 atau 9 hari pada dasarian ke 3 di bulan Februari maka dikonversi menjadi akumulasi 10 hari dengan mengalikan dengan 10/8 atau 10/9. Sedangkan pada dasarian ke 3 di bulan yang memiliki 31 hari, jumlah akumulasi dasarian tersebut dikonversikan menjadi akumulasi 10 hari dengan mengalikan dengan 10/11. Tujuan dilakukan konversi adalah untuk menyamakan satuan pada saat dibandingkan antara satu parameter dengan parameter lainnya.
Data bulanan untuk data evaporasi dan curah hujan merupakan akumulasi 30 hari, jika terdapat 28 atau 29 hari pada bulan Februari maka data akumulasi dikonversi menjadi akumulasi 30 hari dengan mengalikan dengan 30/28 atau 30/29. Sedangkan pada bulan dengan jumlah 31 hari maka konversi dilakukan dengan mengalikan nilai akumulasi menjadi dengan 30/31.
Data tahunan untuk data evaporasi dan curah hujan merupakan jumlah akumulasi data 365 hari. Sedangkan untuk perhitungan data parameter iklim suhu udara, kelembaban udara, lama penyinaran, defisit tekanan uap air dan kecepatan angin merupakan nilai rata-rata, baik rata-rata harian, rata-rata dasarian dan rata-rata bulanan.
Quality control atau Pengecekan data ulang evaporasi yang memiliki nilai yang
Gambar 2. Lokasi Stasiun Penelitian
Uji Normalitas Data
Uji normalitas data evaporasi dilakukan dengan metode Kolmogorov Smirnov yaitu dengan membandingkan distribusi data (yang akan diuji normalitasnya) dengan distribusi normal baku. Uji ini dilakukan untuk mengetahui sebaran data harian evaporasi panci klas A menyebar secara normal atau tidak. Distribusi normal baku
adalah data yang telah ditransformasikan ke dalam bentuk Z-Score dan diasumsikan
normal. Uji Kolmogorov Smirnov adalah uji beda antara data yang diuji normalitasnya dengan data normal baku dalam bentuk grafik.
Hipotesis : H0: Fn(x) = F(x)
H1: Fn(x) F(x)
Persamaan kumulatif distribusi data evaporasi harian :
( ) = ∑ (14)
Persamaan kumulatif Distribusi Normal :
( ) = ∫
√ (15)
Persamaan Kolmogorov :
= | ( ) − ( ) | (16)
Jika nilai P (peluang melakukan kesalahan untuk menolak H0) < 0,05 berarti data yang
Tabel 1. Daftar Stasiun Penelitian
Perbandingan pola evaporasi dengan Suhu Udara, Kelembaban Udara, Lama Penyinaran, Kecepatan Angin dan Defisit Tekanan Uap Air menurut interval
waktu
Untuk mengevaluasi ketergantungan antara evaporasi dengan parameter iklim suhu udara, kelembaban, lama penyinaran, kecepatan angin dan defisit tekanan uap air dilakukan standarisasi nilai masing-masing parameter menjadi nilai tanpa dimensi dengan rumus persamaan :
= ( ) (17)
No. No Stasiun Nama Stasiun Iklim lintang Bujur elevasi (m) Periode pengamatan
X = Parameter iklim
i = nilai ke i parameter iklim
µ = rata-rata parameter iklim
= standar deviasi parameter iklim
Standarisasi nilai masing-masing parameter iklim dilakukan dalam interval waktu harian, dasarian dan bulanan. Analisis demikian pernah dilakukan oleh Xu dan Singh (1998) dan Gundalia dan Dholakia (2013). Perhitungan defisit tekanan uap air menggunakan persamaan :
VPD = es(1− ) (18)
VPD = defisit tekanan uap air dalam mm Hg
es = tekanan uap air jenuh pada suhu titik embun dalam mm Hg
RH = Kelembaban relatif rata-rata (%)
es= 0.611 exp( . . ) (19)
T = suhu udara rata-rata (oC)
Pengaruh relatif dari faktor-faktor cuaca/ iklim sulit untuk dievaluasi dan beberapa simpulan harus dilihat berdasarkan interval waktu seperti jam-jaman, harian, 10-harian (dasarian), dan bulanan. Xu dan Singh (1998) melakukan evaluasi perbandingan antara evaporasi panci klas A dengan radiasi surya, defisit tekanan uap air, kelembaban relatif, kecepatan angin dan suhu udara pada interval waktu jam-jaman, harian, 10 harian dan bulanan di Changines, Swiss. Hasil penelitian menunjukkan bahwa peranan faktor pengendali evaporasi berbeda-beda berdasarkan interval waktu. Defisit tekanan uap air memiliki korelasi terbaik dengan evaporasi pada semua interval waktu, sedangkan kecepatan angin berkorelasi paling kecil pada interval waktu 10 harian dan bulanan.
Gundalia dan Dholakia (2013) melakukan perbandingan antara enam parameter cuaca/iklim yang mempengaruhi evaporasi pada interval waktu harian di Junugadh, Gujarat (India). Hasil yang diperoleh bahwa radiasi surya, suhu maksimum dan defisit tekanan uap air secara signifikan mempengaruhi besaran evaporasi panci dengan nilai
R2 = 0.86, 0.75 dan 0.66. Hubungan evaporasi dengan kelembaban udara memiliki
hubungan yang negatif, untuk parameter kecepatan angin dan lama penyinaran memiliki korelasi paling kecil dan tidak berpengaruh sebagai faktor pengendali proses evaporasi pada interval waktu harian.
Analisis korelasi dan regresi antara evaporasi dengan Suhu Udara, Kelembaban Udara, Lama Penyinaran, Kecepatan Angin dan Defisit Tekanan Uap Air
merupakan salah satu metode untuk mengetahui hubungan sebab akibat antara evaporasi menggunakan data parameter iklim lainnya dengan persamaan regresi linier sederhana sebagai berikut:
Y = aX + b (20)
Y = variabel tidak bebas yaitu evaporasi
X = variabel bebas yaitu parameter iklim
a dan b = konstanta kemiringan(slope) dan intersep
Untuk mengetahui nyatanya hubungan antara x dan y digunakan uji t terhadap koefisien b (kemiringan) pada taraf 5%.
Hipotesis : H0 : = 0
H1 : 0
= (21)
: kesalahan standar b
Keputusan : jika |thit | > | t tabel | tolak H0 berarti koefisien b berbeda nyata dengan 0
dan menunjukkan adanya hubungan antara x dan y.
Keeratan hubungan antara x dan y dinyatakan dengan koefisien korelasi (r) dari data contoh, dengan kisaran -1 < r < 1. Keragaman total dari model ditunjukkan oleh
besarnya koefisien determinansi (R2). Determinansi merupakan kuadrat koefisien
korelasi yang menyatakan proporsi keragaman total yang dijelaskan oleh peubah bebas.
Nilai R2 antara 0 1, semakin besar koefisien determinansi dan korelasi, model yang
dihasilkan semakin baik.
= ∑ ( ) ∑ ∑ /
[ ∑ (∑ ) ∑ (∑ ) ]
(22)
R = b∑∑ ∑ ∑ /( ∑ ) / (23)
Validasi hasil model persamaan regresi dilakukan dengan analisis sisaan menggunakan persamaan :
=∑ | | (24)
Persentase nilai rata-rata kesalahan antara evaporasi estimasi terhadap evaporasi observasi rata-rata menggunakan persamaan :
θ =
∑ x 100 % (25)
= rata-rataerror/kesalahan
= evaporasi panci klas A ke-i = evaporasi estimasi ke-i
n = jumlah data
Perhitungan Neraca Air
Analisis klimatologi evaporasi berkaitan dengan curah hujan dilakukan dengan perhitungan neraca air untuk menganalisis neraca masukan dan keluaran air di suatu tempat dengan menggunakan metode Thornthwaite dan Mather dengan interval waktu dasarian dan bulanan. Persamaan dasar neraca air klimatologis oleh Thornthwaite dan Mather, 1957 adalah :
P = Et + S + Ro (26)
P = Presipitasi (curah hujan)
Et = evapotranspirasi
S = Perubahan cadangan air tanah
Ro = limpasan / Run off (termasuk perkolasi)
Curah hujan yang digunakan untuk analisis neraca air adalah curah hujan efektif dengan peluang lebih dari 50% untuk neraca air dasarian dan peluang lebih dari 75% untuk neraca air bulanan. Penggunaan curah hujan peluang 50% merupakan curah hujan akumulasi dasarian curah hujan yang memiliki resiko penyimpangan hasil perhitungan 50%, sedangkan curah hujan peluang 75% untuk neraca air bulanan memiliki resiko penyimpangan hasil perhitungan 25%.
Perhitungan curah hujan peluang 75% menggunakan metode ranking, yaitu dengan mengurutkan data curah hujan bulanan menurut panjang data yang ada, kemudian diurutkan dari paling besar ke paling kecil. Peluang 0% untuk curah hujan terbesar dan 100% untuk yang terkecil. Interval % peluang dihitung dengan rumus :
Interval (%) peluang = 100/(n-1) ; n= jumlah tahun
Data curah hujan yang digunakan adalah yang memiliki peluang > 75%.
Thornthwaite dan Mather (1957) membuat suatu prosedur perhitungan (klimatologi) yang menggunakan sistem tata buku dengan menyiapkan berbagai tabel yang digunakan dalam perhitungan tersebut. Tahap perhitungan Neraca Air Metode Thornthwaite dan Mather (1957) :
1. Menyusun tabel isian neraca air bulanan dan dasarian pertitik stasiun penelitian 2. Mengisi kolom presipitasi (CH), CH > 50% atau curah hujan dasarian untuk
neraca air dasarian dan CH > 75% untuk neraca air bulanan.
3. Mengisi kolom ETP dengan mengalikan Evaporasi panci dengan koefisien panci dengan asumsi sebesar 0,8 (Tabel 2.)
4. Menghitung curah hujan dikurangi evapotranspirasi potensial (CH ETP) 5. Menggunakan data kadar air tanah kondisi kapasitas lapang (KL) dan titik layu
permanen (TLP) bersumber dari Pawitanet.al(1997).
6. Mengisi nilai kandungan air tanah (KAT) dengan persamaan :
KAT = KL x k|apwl| (27)
k = po + p1/KL
Apwl (accumulation of Water Loss): hasil negative pada langkah 4 yang
diakumulasikan dasarian demi dasarian atau bulan demi bulan. Nilai maksimum adalah nilai KAT pada kondisi KL.
7. Mengisi kolom DKAT yaitu selisih antara KAT dasarian/bulan saat ini dikurangi KAT dasarian/bulan sebelumnya.
8. Mengisi kolom ETA untuk nilai CH-ETP yang bernilai negatif dengan rumus : ETA = CH + |DKAT|, bila CH > ETP maka ETA = ETP
9. Mengisi kolom defisit (D) = ETP-ETA
10. Mengisi kolom surplus (S) = CH ETP DKAT
11. Mengisi kolon Run Off(RO) atau aliran permukaan. Thornthwaite dan Mather
(1957) membagi RO menjadi dua bagian :
50% dari Surplus bulan sekarang (Sn).
50% dari RO bulan sebelumnya (ROn -1).
Nilai 50% adalah koefisien run off studi di Amerika. Nilai ini dapat Berubahsesuai kondisi setempat. Sehingga,RO bulan sekarang (Rn) =
50% (Sn + ROn -1).Khusus RO bulan Januari, karena ROn -1 belum terisi maka ROn-1 diambil 50% dari surplus bulan Desember.
Tabel 2. Koefisien panci Klas A pada penempatan dan lingkungan yang berbeda pada beberapa tingkatan kelembaban relatif dan kecepatan
angin (Allen.et.al,1998)
Asumsi asumsi dalam perhitungan neraca air lahan yaitu: (1) lahan datar tertutup vegetasi rumput, (2) lahan berupa tanah dimana air yang masuk pada tanah tersebut hanya berasal dari curah hujan saja dan (3) keadaan profil tanah homogen sehingga KL dan TLP mewakili seluruh lapisan dan hamparan tanah.
Perhitungan indeks evaporasi menggunakan persamaan sebagai berikut :
= (28)
= indeks evaporasi
ETA = jumlah evapotranspirasi aktual tahunan
CH Total = jumlah curah hujan total tahunan
P a n c i K l a s A C a s e A : p e n e m p a t a n d i a t a s t a n a h
d e n g a n p e n u t u p t a n a m a n r u m p u t C a s e B : p e n e m p a t a n d i a t a s t a n a h t a n p at a n a m a n p e n u t u p R H m e a n ( % ) L o w
< 4 0 M e d i u m4 0 - 7 0 H i g h> 7 0 L o w< 4 0 M e d i u m4 0 - 7 0 H i g h> 7 0 K e c e p a t a n a n g i n
( m / s ) J a r a kz o n a p e n u t u p ( m )
J a r a k z o n a t a n a h k o s o n g ( m )
4 HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengumpulan dan Quality Control Data Evaporasi Panci Klas A
[image:30.612.100.514.264.656.2]Data evaporasi yang diperoleh bersumber dari BMKG baik stasiun klimatologi, meteorologi dan geofisika, ada juga yang diperoleh dari ekstraksi data synop yang di kirim menggunakan sandi ke jaringan synop meteorologi dunia secara harian. Data evaporasi SMPK (Stasiun Meteorologi Pertanan Khusus) kerjasama BMKG dan kementrian Pertanian diperoleh dari stasiun klimatologi BMKG dan terdapat 1 (satu) stasiun klimatologi yang dimiliki Institut Pertanian Bogor (IPB) yang berada di Kampus Baranangsiang Bogor.
Tabel 3. Deskripsi statistik data evaporasi harian
Data evaporasi harian yang diperoleh terdiri dari beberapa format sehingga dilakukan persiapan data dengan menyamakan format menjadi format yang sama. Tabel 3. merupakan deskripsi statistik data evaporasi harian, kisaran data evaporasi harian
antara 0 mm 18,7 mm, standar deviasi berkisar antara 1,3 2,5 mm dengan median
Nama Stasiun Iklim rata-rata (mm)
standar deviasi (mm)
varians (mm)
minimum (mm)
maksimum (mm)
quartil 1 (mm)
median (mm)
quartil 3 (mm)
Persentase data yang tidak dapat digunakan
(%)
Meteo Serang 4.2 1.5 2.3 0.0 9.9 3.3 4.2 5.1 0.2
Budiarto Curug 4.4 1.8 3.3 0.1 16.0 3.3 4.4 5.5 1.9
Soekarno Hatta Cengkareng 4.8 1.7 3.1 0.3 12.0 3.7 4.9 5.9 2.3
Dermaga Bogor 3.6 1.3 1.6 0.1 15.0 2.8 3.6 4.5 3.7
IPB baranangsiang 4.2 1.6 2.6 0.0 11.9 3.2 4.3 5.4 14.9
Kemayoran Jakarta 3.4 1.5 2.4 0.1 9.9 2.4 3.3 4.2 4.9
Pondok Betung Ciledug 3.6 1.5 2.3 0.0 11.0 2.8 3.6 4.5 0.5
Meteo Citeko 3.3 1.8 3.2 0.1 9.8 2.0 3.0 4.2 1.6
Tanjung Priok Jakarta 4.9 1.8 3.3 0.1 14.0 3.8 4.9 5.9 3.6
Geofisika Bandung 3.7 1.4 1.9 0.1 9.0 2.8 3.6 4.6 1.2
Lembang 3.0 1.6 2.5 0.0 7.8 1.7 3.0 4.2 14.8
Meteo Jatiwangi 3.3 1.8 3.3 0.0 9.8 2.0 2.9 4.5 0.7
Cilacap Meteo 4.2 1.6 2.5 0.1 9.9 3.3 4.2 5.1 1.0
Tegal Meteo 5.1 1.7 2.8 0.1 10.9 4.2 5.1 6.0 8.3
Ahmad yani Semarang 5.2 1.7 3.0 0.1 14.0 4.2 5.3 6.3 8.2
Semarang Klimat 4.5 1.4 1.9 0.2 10.1 3.6 4.6 5.4 6.3
Semarang Maritim 5.4 1.8 3.4 0.1 9.9 4.3 5.5 6.6 10.3
Sawahan Nganjuk 3.6 2.5 6.3 0.1 18.2 1.1 3.8 5.0 1.3
Tembelang 4.6 1.6 2.7 0.3 10.9 3.5 4.5 5.5 4.1
Geofisika Karangkates 3.9 1.3 1.8 0.0 9.0 3.1 4.0 4.8 8.6
PG Prajekan 3.9 1.9 3.5 0.4 9.4 2.5 4.2 5.6 25.8
Sangkapura Bawean 4.6 1.9 3.8 0.0 13.5 3.4 4.8 6.0 10.4
Perak I Surabaya 5.0 1.9 3.6 0.0 14.9 3.8 5.0 6.3 7.4
Meteo Maritim Perak II 4.7 1.7 3.0 0.0 9.8 3.7 4.7 5.9 0.9
Juanda Surabaya 5.5 2.1 4.4 0.0 18.1 4.3 5.6 6.9 9.8
Jatiroto 3.9 1.3 1.8 0.3 14.0 3.4 3.4 4.3 1.2
Karang Ploso Malang 4.2 1.6 2.6 0.1 13.0 3.2 4.2 5.3 0.9
andungsari 2.6 1.3 1.7 0.1 10.1 1.7 2.4 3.4 22.0
Kalianget Madura 4.6 1.8 3.3 0.0 13.1 3.4 4.6 5.8 8.5
Kaliwingin 3.4 1.3 1.8 0.0 11.9 2.5 3.4 4.3 18.1
Banyuwangi Meteo 4.6 1.8 3.1 0.0 18.1 3.4 4.6 5.7 5.5
Negara Bali 4.3 1.5 2.3 0.0 10.5 3.2 4.3 5.3 5.7
Ngurah Rai Meteo 5.4 1.7 2.8 0.0 14.7 4.4 5.6 6.5 1.1
Balai Besar Wilayah 3 4.5 1.8 3.1 0.1 12.3 3.2 4.5 3.0 0.4
Sanglah Denpasar 4.7 1.4 2.1 0.0 10.5 3.8 4.8 5.7 1.7
antara 2,4 5,6 mm. Quartil ke-1 data evaporasi harian berkisar antara 1,1 4,4 mm dan quartil ke-3 berkisar antara 3,0 - 6,9 mm. Data evaporasi di bawah quartil ke-1 dan
di atas quartil ke-3 cukup banyak sehingga pengecekan data atauquality controlsangat
diperlukan.
Gambar 3. Series data evaporasi di Sanglah Bali
Pengecekan data evaporasi dilakukan dengan membuat grafik data evaporasi harian seperti pada Gambar 3, kemudian dilakukan pengecekan data ekstrim atau outlier yang memiliki nilai > 10 mm dan < 0,5 mm dengan melihat data iklim suhu udara, kelembaban relatif dan curah hujan pada tanggal yang sama. Penentuan nilai ekstrim ini berdasarkan perhitungan :
Q3 + (1.5 x IQR) < outlier atas Q3 + (3 x IQR) Q1 (1.5 x IQR) > outlier bawah Q1 (3 x IQR)
Dengan Q1 : quartil ke-1, Q3 :quartil ke-3 dan IQR (Intra Quartil Range): Q3-Q1
Persentase data evaporasi panci klas A yang tidak dapat digunakan dalam penelitian ini berkisar antara 0.2% - 25.8% (Tabel 2) yang disebabkan antara lain oleh :
air dalam panci meluap, tidak ada data karena alat rusak, kesalahan pengetikan (entry)
data dan merupakan nilai ektrim (terlalu tinggi atau rendah) yang tidak relevan dengan parameter iklim lain.
Analisa distribusi atau sebaran data dilakukan dengan membuat grafik frekuensi histogram data evaporasi harian dan disertai dengan kurva normal, kemudian uji normalitas data dengan uji normal Kolmogorof-smirnov untuk mengetahui sebaran data evaporasi normal atau tidaknya dengan tingkat kepercayaan = 5 % seperti pada lampiran 1. Distribusi data evaporasi harian stasiun penelitian berdasarkan Lampiran 1. menunjukkan sebaran evaporasi memiliki pola mendekati normal namun tidak simetris, uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov menunjukkan nilai P hasil uji seluruh data evaporasi dari semua stasiun pengamatan < 0,05 artinya sebaran data evaporasi panci harian tidak menunjukkan sebaran yang normal.
Evaporasi di Jawa dan Bali Berdasarkan Data Pengamatan
Evaporasi tahunan rata-rata di Pulau Jawa sebesar 1483 mm dengan kisaran
antara 972 1827 mm, tertinggi sebesar 1827 mm di stasiun Djuanda Surabaya
sedangkan terendah sebesar 972 mm di Andungsari. Evaporasi tahunan rata-rata di Pulau Bali sebesar 1656 mm lebih tinggi dibandingkan Pulau Jawa, kisaran evaporasi
tahunan antara 1485 1959 mm. Evaporasi tahunan rata-rata di Pulau Bali tertinggi
sebesar 1959 mm di stasiun Ngurah Rai sedangkan terendah di stasiun Negara sebesar 1485 mm (Gambar 4). Berdasarkan Gambar 4. sebaran evaporasi tahunan lebih tinggi
0 2 4 6 8 10 12 14
14487
1 3 0 1 7 3 2 1 6 2 5 9 3 0 2 3 4 5 3 8 8 4 3 1 4 7 4 5 1 7 5 6 0 6 0 3 6 4 6 6 8 9 7 3 2 7 7 5 8 1 8 8 6 1 9 0 4 9 4 7 9 9 0 1 0 3 3 1 0 7 6 1 1 1 9 1 1 6 2 1 2 0 5 1 2 4 8 1 2 9 1 1 3 3 4 1 3 7 7 1 4 2 0 1 4 6 3 1 5 0 6 1 5 4 9 1 5 9 2 1 6 3 5 1 6 7 8 1 7 2 1 1 7 6 4 1 8 0 7 1 8 5 0 1 8 9 3 1 9 3 6 1 9 7 9 2 0 2 2 2 0 6 5 2 1 0 8 2 1 5 1 2 1 9 4 2 2 3 7 2 2 8 0 2 3 2 3 2 3 6 6 2 4 0 9 2 4 5 2 2 4 9 5 2 5 3 8 2 5 8 1 2 6 2 4 2 6 6 7 2 7 1 0 2 7 5 3 2 7 9 6 2 8 3 9 2 8 8 2 2 9 2 5 2 9 6 8 3 0 1 1 3 0 5 4 3 0 9 7 3 1 4 0 3 1 8 3 3 2 2 6 3 2 6 9 3 3 1 2 3 3 5 5 3 3 9 8 3 4 4 1 3 4 8 4 3 5 2 7 3 5 7 0 3 6 1 3 3 6 5 6 3 6 9 9 3 7 4 2 3 7 8 5 3 8 2 8 3 8 7 1 3 9 1 4 3 9 5 7 4 0 0 0 4 0 4 3 4 0 8 6 4 1 2 9 4 1 7 2 4 2 1 5 4 2 5 8 4 3 0 1 4 3 4 4 4 3 8 7 4 4 3 0 4 4 7 3 4 5 1 6 4 5 5 9 4 6 0 2 4 6 4 5 4 6 8 8 4 7 3 1 4 7 7 4 4 8 1 7 4 8 6 0 4 9 0 3 4 9 4 6 4 9 8 9 5 0 3 2 5 0 7 5 5 1 1 8 5 1 6 1 5 2 0 4 5 2 4 7 5 2 9 0 5 3 3 3 5 3 7 6 5 4 1 9 5 4 6 2 m m hari
pada stasiun stasiun pengamatan yang mendekati garis pantai, semakin menjauhi garis pantai evaporasi tahunannya semakin rendah.
Gambar 4. Evaporasi Tahunan Rata-Rata
Evaporasi bulanan rata-rata sepanjang tahun di Pulau Jawa adalah sebesar 125 mm dengan kisaran 83 156 mm. Sedangkan di Pulau Bali rata-rata bulanan sepanjang
tahun sebesar 141 mm dengan kisaran antara 127 167 mm. Evaporasi bulanan
rata-rata Januari hingga Desember terdapat pada Lampiran 2., sebaran menunjukkan evaporasi bulanan di stasiun mendekati garis pantai lebih tinggi dibandingkan yang menjauhi garis pantai.
Gambar 5. Pola Evaporasi Bulanan di Pulau Jawa dan Bali
Pola evaporasi di pulau Jawa pada Gambar 5a. menunjukkan nilai terendah pada bulan Februari yang kemudian mendatar dan mengalami peningkatan hingga mencapai puncak di bulan Oktober kemudian turun kembali pada bulan November.
0 50 100 150 200 250 Ja n Fe b M a r A p r M a y Ju n Ju l A u g Se p O ct N o v D e c E va p o ra si ( m m ) Bulan 0 50 100 150 200 250 Ja n Fe b M a r A p r M a y Ju n Ju l A u g Se p O ct N o v D e c E va p o ra si ( m m ) Bulan rata-rata maksimum minimum
[image:32.612.111.488.454.612.2]Gambar 6. Pola Evaporasi Dasarian di Pulau Jawa dan Bali
Gambar 7. Pola Evaporasi Harian di Pulau Jawa dan Bali
(a)Jawa
(b)Bali
Pola evaporasi bulanan di pulau Bali pada Gambar 5b. menunjukkan evaporasi terendah rata-rata terjadi di bulan Februari dan tertinggi di bulan Oktober. Di pulau Bali setelah bulan Februari evaporasi meningkat pada bulan Maret kemudian menurun kembali hingga bulan Juni, lalu meningkat kembali hingga mencapai puncak di bulau Oktober, sehingga terlihat pola evaporasi memiliki dua puncak pada bulan Oktober dan bulan Maret.
Evaporasi dasarian rata-rata di Pulau Jawa sebesar 40 mm dengan kisaran antara
12,9 71 mm. Pola evaporasi dasarian rata-rata di Pulau Jawa pada Gambar 6(a).
menunjukkan evaporasi rata-rata terendah terjadi pada dasarian ke-4 kemudian terjadi peningkatan hingga mencapai puncak pada dasarian ke-27. Evaporasi dasarian rata-rata di pulau Bali lebih tinggi dibandingkan pulau Jawa yaitu sebesar 43,6 mm dengan kisaran antara 19,3 - 58 mm, nilai maksimum evaporasi di Pulau Bali lebih rendah dibandingkan dengan pulau Jawa. Pola evaporasi dasarian rata-rata di Pulau Bali pada Gambar 6(b). menunjukkan evaporasi rata-rata terendah terjadi pada dasarian ke-4 kemudian meningkat hingga mencapai puncak pada dasarian ke-28. Gambar 7(a). menunjukkan pola evaporasi harian rata-rata di pulau Jawa, evaporasi harian rata-rata di Pulau Jawa sebesar 4,2 mm dengan kisaran antara 0,4 9,8 mm per hari. Sedangkan di
pulau Bali evaporasi rata-rata harian sebesar 4,7 mm dengan kisaran antara 2,1 6,8
mm per hari (Gambar 7b).
Besaran evaporasi Pulau Jawa per wilayah dalam penelitian ini dibandingkan dengan penelitian suharsono (1989) untuk melihat kecenderungan nilai evaporasi pada periode penelitian sebelumnya dengan sekarang. Wilayah pulau Jawa dibagi dalam 3 bagian yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur tanpa memperhatikan batas administrasi. Stasiun penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini berbeda dengan stasiun sebelumnya dan metode perhitungan rata-rata per wilayah juga berbeda, dimana dalam penelitian ini menggunakan rata-rata statistik sedangkan penelitian sebelumnya menggunakan metode isovap, disebabkan sebaran stasiun dalam penelitian ini tidak merata di Pulau Jawa sehingga tidak dilakukan interpolasi secara spasial.
Berdasarkan Tabel 4. dan Tabel 5., evaporasi tahunan rata-rata Pulau Jawa dibandingkan dengan penelitian sebelumnya lebih tinggi meskipun nilai maksimum lebih rendah dan nilai minimum lebih tinggi. Bila dibandingkan per bulannya maka yang mengalami penurunan dan peningkatan hampir sama, penurunan terjadi pada rata-rata bulan maret, april, juni, november dan desember, sedangkan bulan januari, februari, juli, agustus, september dan oktober mengalami peningkatan. Evaporasi rata-rata bulan Mei tidak mengalami perubahan.
Tabel 4. Evaporasi bulanan rata-rata periode antara tahun 1975 2013 di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dan rata-rata Pulau Jawa (dalam mm/bulan)
Tabel 5. Evaporasi bulanan rata-rata periode antara tahun 1960 1987di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur dan rata-rata Pulau Jawa hasil penelitian Suharsono, 1989 (dalam mm/bulan)
Bulan Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Rata-rata Pulau Jawa
Januari 110 108 117 110
(74 -135) (64 - 142) (69 - 173) (64 - 173)
Februari 109 105 109 105
(70-128) (60 -146) (67 -171) (60 - 171)
Maret 123 119 126 120
(76 - 163) (76 - 152) (87 - 202) (76 - 202)
April 118 116 122 116
(84 -145) (69 - 147) (80 -207) (69 - 207)
Mei 118 121 126 119
(76 - 159) (78 - 153) (82 - 233) (76 -233)
Juni 115 115 120 114
(78 - 159) (73 - 159) (79 - 220) (73 - 220)
Juli 120 123 133 123
(78 - 182) (80 - 183) (70 - 219) (70 - 219)
Agustus 130 137 146 134
(93 - 208) (89 - 222) (65 - 248) (65 - 248)
September 130 140 156 139
(86 - 230) (90 - 231) (68 - 259) (68 - 259)
Oktober 139 146 163 145
(81 - 212) (85 - 230) (63 - 294) (63 - 294)
Nopember 122 128 146 129
(72 - 172 ) (74 - 181) (69 - 257) (69 - 257)
Desember 116 117 128 118
(78 - 161) (62 - 153) (77 - 220) (62 - 220)
Tahunan 1450 1475 1592 1472
(984 - 2046 (921- 2010) (917 - 2648) (917 - 2648) Bulan Jawa Barat Jawa Tengah Jawa Timur Rata-rata Pulau Jawa
Januari 101 131 116 113
(67 -133) (121-145) (65-165) (65 - 165)
Februari 99 124 109 106
(66 - 137) (106-144) (71 - 133) (66 - 144)
Maret 111 135 117 117
(71 -140) (126 - 149) (73 - 144) (71 - 149)
April 109 133 116 115
(81 - 138) (123 - 149) (81-137) (81 - 149)
Mei 108 139 123 119
(86-134) (119-149) (86-149) (86 - 149)
Juni 105 134 114 113
(72 - 136) (116 - 144) (76 - 141) (72 - 144)
Juli 116 151 130 128
(77- 145) (120 - 166) (89 - 168) (77 -168)
Agustus 131 167 146 143
(103 -157) (129 - 191) (100 - 187) (100-191)
September 135 170 151 148
(89 - 157) (140 - 184) (88 - 198) (88 - 198)
Oktober 132 166 164 151
(101 - 161) (133 - 178) (103 - 213) (101- 213)
Nopember 113 137 134 126
(90 - 151) (124 - 155) (75 - 170) (75 - 170)
Desember 104 125 112 111
(77 - 131) (114 - 140) (67 - 152) (67 - 152)
Tahunan 1374 1674 1550 1483
Evaporasi Berdasarkan Elevasi
Berdasarkan elevasi atau ketinggian tempat maka evaporasi di Jawa dan Bali dibagi menjadi 4 wilayah :
- Wilayah dengan ketinggian < 100 meter
- Wilayah dengan ketinggian 100 300 meter
- Wilayah dengan ketinggian 301 700 meter
[image:36.612.71.481.56.364.2]- Wilayah dengan ketinggian > 700 meter
Gambar 8. Hubungan antara evaporasi tahunan dengan elevasi
Gambar 8. menunjukkan semakin meningkat elevasi lokasi pengamatan, evaporasi tahunan semakin rendah. Namun, berdasarkan Tabel 6. evaporasi rata-rata bulanan, dasarian dan harian di Pulau Jawa menunjukkan evaporasi pada elevasi 100 300 meter
lebih rendah dibandingkan dengan elevasi 301 700 meter. Pola evaporasi bulanan
rata-rata menurut elevasi di Pulau Jawa pada Gambar 9 a. menunjukkan evaporasi pada elevasi <100 m lebih rendah dibandingkan dengan elevasi lainnya. Evaporasi wilayah pada elevasi 301- 700 meter lebih tinggi dibandingkan dengan elevasi 100 300 meter, evaporasi pada elevasi > 700 meter paling rendah dibandingkan lainnya.
Evaporasi di Pulau Bali berdasarkan elevasi terdapat 2 wilayah yaitu wilayah
dengan elevasi < 100 meter dan elevasi 100 300 meter. Berdasarkan Gambar 9b,
menunjukkan bahwa pola evaporasi bulanan di Pulau Bali antara ketinggian < 100
meter dengan 100 300 meter sama pada bulan Mei, Juni, Juli, Agustus, Oktober dan
November, sedangkan bulan lainnya evaporasi pada elevasi 100 300 meter lebih
rendah dibandingkan pada elevasi < 100 meter. Berdasarkan tabel 7. menunjukkan evaporasi rata-rata harian, dasarian dan bulanan semakin rendah dengan semakin meningkatnya elevasi.
Pola evaporasi dasarian rata-rata di pulau Jawa (Gambar 10a) untuk wilayah elevasi < 100 meter paling tinggi dan wilayah elevasi > 700 meter lebih rendah daripada
wilayah lainnya. Pola evaporasi dasarian di wilayah elevasi 100 300 meter dan 301
700 meter memiliki pola dan kisaran yang hampir sama. Pola evaporasi dasarian rata-rata berdasarkan elevasi di pulau Bali pada Gambar 10b, menunjukkan rata-rata-rata-rata evaporasi dasarian wilayah elevasi < 100 meter lebih tinggi dibandingkan elevasi 100 300 meter kecuali pada dasarian ke-20 sampai dengan dasarian ke-29. Pola evaporasi dasarian wilayah elevasi 100- 300 meter lebih jelas peningkatan dan penurunannya dibandingkan wilayah elevasi < 100 meter. Pola evaporasi rata-rata harian berdasarkan elevasi di pulau Jawa dan Bali terdapat pada Gambar 11.
y = -0.4506x + 1601.8 R² = 0.4259
0 500 1000 1500 2000 2500
0 500 1000 1500
E
v
a
p
o
ra
si
T
a
h
u
n
a
n
(
m
m
)
\
Gambar 9. Pola Evaporasi Bulanan Rata-Rata Berdasarkan Elevasi di Pulau Jawa dan Bali
Tabel 6.Evaporasi Rata-rata Berdasarkan
Elevasi di Pulau Jawa Tabel 7. Evaporasi Rata-rata BerdasarkanElevasi di Pulau Bali
Wilayah Bulanan Dasarian Harian Ketinggian < 100 meter
rata-rata 134 mm 43.1 mm 4.6 mm maksimum 213 mm 71.0 mm 9.8 mm minimum 76 mm 22.9 mm 1.1 mm
Ketinggian 100 - 300 meter
rata-rata 117 mm 38.1 mm 4.0 mm maksimum 174 mm 58.0 mm 8.3 mm minimum 66 mm 19.5 mm 1.3 mm
Ketinggian 301 - 700 meter
rata-rata 123 mm 39.5 mm 3.9 mm maksimum 158 mm 62.5 mm 6.9 mm minimum 114 mm 12.9 mm 0.4 mm
Ketinggian > 700 meter
rata-rata 100 mm 29.2 mm 3.2 mm maksimum 131 mm 49.6 mm 5.8 mm minimum 72 mm 6.7 mm 0.3 mm
Wilayah Bulanan Dasarian Harian Ketinggian < 100 meter
rata-rata 144 mm 45.0 mm 4.7 mm maksimum167 mm 58.0 mm 6.7 mm minimum 126 mm 35.2 mm 2.7 mm
Ketinggian 100 - 300 meter
rata-rata 130 mm 38.2 mm 4.5 mm maksimum173 mm 54.2 mm 6.8 mm
minimum 82 mm 19.3 mm 2.1 mm
(a) Jawa (b)Bali
0 50 100 150 200
jan feb ma
r a pr m e i ju
n jul
a g t se p o kt n o v d e s E v a p o ra si ( m m ) Bulan
< 100 m 100-300 m
301-700 m > 700 m
0 50 100 150 200
jan feb mar apr me
i
ju
n jul
[image:37.612.83.495.92.711.2]Gambar 10. Pola Evaporasi Dasarian Rata-Rata Berdasarkan Elevasi di Pulau Jawa dan Bali
Gambar 11. Pola Evaporasi Harian Rata-Rata Berdasarkan Elevasi di Pulau Jawa dan Bali
(a)Jawa (b)Bali
Tren Evaporasi Bulanan
Tabel 8. Tren evaporasi bulanan di Jawa dan Bali
Analisis tren evaporasi bulanan dilakukan pada data stasiun penelitian yang memiliki data 10 tahun atau lebih. Analisis tren dilakukan untuk mendeteksi adanya kecenderungan evaporasi bulanan semakin menurun atau meningkat. Tabel 8. merupakan tren evaporasi bulanan di Jawa dan Bali, sedangkan grafik tren terdapat pada lampiran 3. Hasil analisis tren pada 26 stasiun penelitian yang memiliki data evaporasi 10 tahun atau lebih menunjukkan 14 stasiun mengalami kecenderungan peningkatan dan 12 stasiun cenderung turun.
Evaporasi yang mengalami kecenderungan penurunan berdasarkan urutan nilai
koefisien determinansi (R2) terbesar hingga terkecil di pulau Jawa terjadi di stasiun
1 Meteo Serang -6.11667 106.13333 100 -0.0014 0.007 0.38
2 Budiarto Curug -6.23333 106.65000 46 -0.0005 0.001 0.75
3 Soekarno Hatta Cengkareng -6.11667 106.65000 8 - -
-4 Dermaga Bogor*) -6.50000 106.75000 240 0.0026 0.232 0.00
5 IPB baranangsiang -6.60044 106.80540 300 -0.0002 0.000 0.91
6 Kemayoran Jakarta -6.18333 106.83333 4 0.0008 0.002 0.64
7 Pondok Betung Ciledug -6.18333 106.83620 26 - -
-8 Meteo Citeko -6.70000 106.85000 920 -0.0023 0.023 0.08
9 Tanjung Priok Jakarta -6.10000 106.86667 2 -0.0012 0.003 0.55
10 Geofisika Bandung -6.88333 107.60000 829 0.0019 0.013 0.21
11 Lembang -6.82656 107.61767 1241 - -
-12 Meteo Jatiwangi*) -6.75000 108.26667 123 0.0085 0.055 0.01
13 Cilacap Meteo*) -7.73333 109.01667 20 0.0035 0.061 0.01
14 Tegal Meteo*) -6.85000 109.15000 3 0.0058 0.101 0.00
15 Ahmad yani Semarang -6.98333 110.38333 3 0.0038 0.021 0.11
16 Semarang Klimat*) -6.98330 110.41660 227 -0.0020 0.027 0.01
17 Semarang *) -6.96667 110.41667 0 0.0058 0.050 0.01
18 Sawahan Nganjuk -7.73800 111.78900 675 - -
-19 Tembelang -7.49417 112.23278 34 - -
-20 Geofisika Karangkates -8.15218 112.45080 285 0.0011 0.004 0.49
21 PG Prajekan -7.95000 112.61667 505 - -
-22 Sangkapura Bawean -5.85000 112.63333 3 0.0014 0.002 0.63
23 Perak I Surabaya -7.21667 112.71667 0 -0.0041 0.022 0.11
24 Meteo Maritim Perak II -7.20600 112.73600 3 0.0026 0.012 0.24
25 Juanda Surabaya -7.36667 112.76667 3 0.0034 0.009 0.31
26 Jatiroto -8.13056 113.34306 29 - -
-27 Karang Ploso Malang*) -7.75000 113.38330 436 -0.0057 0.050 0.01
28 andungsari -7.86667 113.61667 887 - -
-29 Kalianget Madura -7.05000 113.96667 0 0.0025 0.007 0.36
30 Kaliwingin