• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PENGARUH SERUAKAN DINGIN ASIA (COLD SURGE) TERHADAP CURAH HUJAN DI PULAU JAWA

PADA BULAN DESEMBER 2015 - FEBRUARI 2016

Fitria Melinda1, Penulis kedua2

1

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta

2

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta

Email : fitriamelinda52@yahoo.com

Abstrak

Di sebagian besar wilayah Benua Maritim Indonesia, musim penghujan dan cuaca buruk yang menyertai amat berkaitan dengan aktifnya monsoon dingin Asia. Monsoon ini, umumnya terjadi Bulan Desember hingga Februari setiap tahunnya. Massa udara dingin ini mengalir melalui Laut Cina Selatan, Selat Karimata dan masuk ke Laut Jawa sehingga seringkali menimbulkan cuaca buruk di sekitar Laut Jawa. Oleh karena itu perlu dikaji dan dianalisis seberapa besar pengaruh cold surge terhadap curah hujan di masing-masing stasiun pengamatan yang terletak di 13 titik Pulau Jawa.

Penelitian ini menggunakan data tekanan permukaan dari Stasiun Meteorologi Gushi (mewakili daerah 300 LU, 1150 BT) dan Stasiun Meteorologi Hongkong (mewakili daerah 200 LU, 1150 BT) jam 00.00 UTC, data angin dan suhu udara permukaan Hongkong jam 00.00 UTC, data curah hujan jam 00.00 UTC pada periode Desember, Januari dan Februari (DJF) 2015-2016 di 13 Stasiun BMKG di Pulau Jawa, dan data reanalisis Era Interim ECMWF.

Hasil penelitian ini menunjukkan dalam periode Desember, Januari dan Februari (DJF) 2015-2016 terdapat 19 kejadian seruakan dingin yang aktif. Dari hasil penelitian ini penulis dapat menarik kesimpulan bahwa, pada umumnya curah hujan di Pulau Jawa banyak dipengaruhi oleh faktor yang mempengaruhi penjalaran cold surge ke selatan Indonesia. Tidak selamanya curah hujan yang tinggi di Pulau Jawa dipengaruhi oleh fenomena cold surge.

Kata Kunci: Cold Surge, seruakan dingin, indeks surge, korelasi, time lag Abstract

In most areas of Indonesian Maritime Continent, the rainy season and bad weather that accompanies strongly connected with active cold monsoon Asia. This monsoon, generally occur in December and February each year. This cold air mass flows through the South China Sea, Strait Karimata and into the Java Sea that often lead to bad weather around the Java Sea. Therefore, it needs to be studied and analyzed how big the influence of cold surges to rainfall at each observation stations located in 13 points Java.

This study uses data surface pressure of Meteorological Station Gushi (representing the

area 300 LU, 1150 BT) and the Meteorological Station Hongkong (representing the area 200 LU,

1150 BT) 00.00 UTC, the wind data and surface air temperature Hongkong 00.00 UTC, rainfall data 00.00 UTC in the period of December, January and February (DJF) from 2015 to 2016 in 13 BMKG station in Java, and data ECMWF Interim reanalysis Era.

The results of this study indicate the period of December, January and February (DJF) from 2015 to 2016 there were 19 events seruakan active cold. From this research, the writer can draw the conclusion that, in general, rainfall on the island of Java is heavily influenced by factors that affect the propagation of cold surges to the south of Indonesia. Not always a high rainfall on the island of Java affected by the phenomenon of cold surge.

(2)

1. PENDAHULUAN

Di sebagian besar wilayah Benua

Maritim Indonesia, musim penghujan dan

cuaca

buruk

yang

menyertai

amat

berkaitan dengan aktifnya monsoon dingin

Asia. Monsoon ini, yang lebih dikenal

dengan monsoon Asia umumnya terjadi

Bulan Desember hingga Februari setiap

tahunnya.

Semakin

kuat

aktivitas

monsoon Asia seringkali diikuti oleh

mengalirnya massa udara dingin dari

daratan Asia bagian timur menuju ke arah

selatan yang dikenal dengan istilah Cold

Surge atau Monsoon Surge. Massa udara

dingin ini mengalir melalui Laut Cina

Selatan, Selat Karimata dan masuk ke

Laut

Jawa

sehingga

seringkali

menimbulkan cuaca buruk di sekitar Laut

Jawa (Supari dan Hariadi, 2006).

Pramuwardani

dan

Setiawan

(2010) menjelaskan aktifnya Cold Surge

ditandai dengan perbedaan tekanan udara

antara dua wilayah di daratan Asia, yaitu

Gushi

(32.17

o

LU,

115.62

o

BT)

dan

Hongkong

(22.33

o

LU,

114.18

o

BT).

Perbedaan tekanan udara antara dua

wilayah tersebut dapat dijadikan indikator

aktifnya Cold Surge penjalaran massa

udara dari Asia yang melewati Indonesia.

Besarnya perbedaan tekanan ini disebut

dengan indeks surge. Jika indeks surge

memiliki nilai lebih besar dari 10mb

menandakan aktifnya penjalaran massa

udara dari daratan Asia. Sebaliknya jika

indeks surge memiliki nilai lebih kecil

dari 10mb menandakan kurang aktifnya

bahkan tidak terjadinya Cold Surge.

Dengan melakukan perhitungan surge

indeks dari waktu ke waktu, dapat

diketahui kecenderungan Cold Surge.

Teknik identifikasi cold surge

diringkas

oleh

Pramuwardani

dan

Setiawan (2010) dengan menjelaskan

aktifnya cold surge ditandai dengan

perbedaan tekanan udara antara dua

wilayah di daratan Asia, yaitu Gushi

(32.17

0

LU,115.62

0

BT) dan Hongkong

(22.33

0

LU,114.18

0

BT).Perbedaan tekanan

udara antara dua wilayah tersebut dapat

dijadikan indikator aktifnya cold surge

penjalaran massa udara dari Asia yang

melewati Indonesia. Besarnya perbedaan

tekanan ini disebut dengan indeks surge.

Jika indeks surge memiliki nilai lebih

besar dari 10 mb menandakan aktifnya

penjalaran massa udara dari daratan Asia.

Sebaliknya jika indeks surge memiliki

nilai lebih kecil dari 10 mb menandakan

kurang aktifnya bahkan tidak terjadinya

cold surge.

Menurut

press

release

(Prabowo,2016)

Kepala

Pusat

Meteorologi Publik BMKG pada akhir

Januari

2016,

terpantau

beberapa

fenomena atmosfer yang mempengaruhi

cuaca di Indonesia menunjukkan indikasi

mendukung untuk terjadinya potensi

peningkatan

curah

hujan.

Kondisi

Monsoon dingin Asia diperkirakan akan

semakin menguat dalam beberapa hari

kedepan. Angin baratan kembali telah

terbentuk, indeks desakan udara dingin

dari Asia (Cold Surge) mengindikasikan

adanya kecenderungan meningkat dalam

beberapa hari teraksir, terakhir tercatat

mencapai

17,6,

mengindikasikan

peningkatan potensi pertumbuhan awan

hujan

yang

signifikan

di

wilayah

Indonesia bagian barat. Diperkirakan

potensi hujan akan meningkat dalam

beberapa hari kedepan, khususnya di

wilayah pantai barat Sumatera, Sumatera

bagian utara dan Sumatera bagian selatan,

Jawa, Bali, NTB, Sulawesi bagian tengah

dan selatan, Maluku bagian tengah, dan

Papua bagian tengah.

Mengingat

bahwa

cuaca

di

Indonesia dipengaruhi oleh Moonsoon

Dingin Asia, maka penulis tertarik untuk

mempelajari keadaan cuaca di Indonesia

dalam hal ini yang menjadi objek adalah

wilayah Pulau Jawa pada saat terjadi

monsoon dingin Asia, yang biasanya

bersesuaian dengan terjadinya musim

hujan di Pulau Jawa.

(3)

Tujuan dari penelitian ini adalah Menganalisis pengaruh seruakan dingin terhadap peningkatan curah hujan di wilayah Pulau Jawa pada bulan Desember 2015 hingga Februari 2016. Menganalisis waktu selang (time lag) antara cold surge aktif dengan peningkatan curah hujan. Serta memahami dinamika-dinamika yang ditunjukkan atmosfer lapisan sekitar permukaan sejak waktu seruakan dingin (cold surge) aktif sampai waktu terjadinya peningkatan curah hujan.

2. DATA DAN METODE

Data yang digunakan pada penelitian ini adalah sebagai berikut :

1.Data tekanan permukaan dari Stasiun Meteorologi Gushi (mewakili daerah 300 LU, 1150 BT) dan Stasiun Meteorologi Hongkong (mewakili daerah 200 LU, 1150 BT) jam 00.00 UTC yang digunakan untuk menghitung nilai indeks surge.

2.Data angin dan suhu udara permukaan Hongkong jam 00.00 UTCyang diperoleh dari data pengamatan di titik pengamatan tersebut. 3.Data curah hujan jam 00.00 UTC di 13 Stasiun BMKG di Pulau Jawa yang digunakan untuk melihat peningkatan curah hujan saat terjadinya cold surge.

4.Data reanalisis Era Interim European Center for Medium range Weather Forecasting (ECMWF) dalam format netcdf file (*.nc) tiap enam jam pada bulan Desember 2015 sampai dengan Februari 2016 berupa data kelembapan udara (RH) dan komponen angin meridional lapisan 925 hPa dan 850 hPa, serta data Moisture Transport.

Dalam penelitian ini, pengolahan

data

menggunakan

perangkat

lunak

(software) Grid Analysis and Display

System (GrADS) yang dapat diunduh

secara

bebas

melalui

situs

http://www.iges.org/grads/

downloads.html. GrADS digunakan untuk

mengolah dan menampilkan data satelit

MT-SAT kanal IR1 dalam format netcdf

file (*.nc) serta data yang diunduh dari

Era Interim ECMWF berupa data netcdf

file (*.nc) dengan parameter meteorologi

berupa

“relative

humidity,

specific

humidity, U component of wind, V

component of wind dan surface pressure”.

Data netcdf file (*.nc) tersebut kemudian

diolah melalui perintah-perintah berupa

script yang ada dalam software GrADS

dan akan menghasilkan tampilan berupa

gambar, peta maupun grafik. Sedangkan

softwareMicrosoft Excel digunakan untuk

mengolah dan menampilkan data hujan,

indeks surge, parameter meteorologi

seperti kecepatan angin dan suhu serta

untuk menghitung nilai korelasi antar

variable yang berbeda. Sementara untuk

mengolah data observasi jumlah curah

hujan saat terjadinya kenaikan indeks

surge dari data observasi di 13 titik Pulau

Jawa digunakan software ArcGIS. ArcGIS

adalah

salah

satu

software

sistem

informasi geografi yang dikembangkan

oleh ESRI (Environment Science &

Research Institue). Software ArcGIS

dapat

diunduh

melalui

situs

https://www.arcgis.com/features/

.

Berikut adalah urutan langkah-langkah yang penulis lakukan dalam proses penelitian ini : a.Deteksi kejadian seruakan dingin dengan melakukan pengolahan data-data dengan menggunakan alat atau software untuk menghitung indeks seruakan dingin (cold surge). Analisis tersebut digunakan untuk mengetahui aktif atau tidaknya seruakan dingin. Indeks surge dilengkapi dengan data perubahan suhu dan kecepatan angin di Hongkong.

b.Analisis Data Curah Hujan, Untuk mengetahui kejadian hujan lebat, maka dilakukan analisis data curah hujan pada Stamet Hang Nadim Batam dan dicocokkan dengan kriteria dalam Peraturan Kepala BMKG nomor : KEP.009 tahun 2010 tentang Prosedur Standar Operasional Peringatan Dini, Pelaporan, dan Diseminasi Informasi Cuaca Ekstrem: “Hujan Lebat adalah hujan dengan intensitas paling rendah 50 (lima puluh) milimeter (mm)/24 (dua puluh empat) jam dan/atau 20 (dua puluh) milimeter (mm)/jam”.

c.Analisis pola dinamika atmosfer dilakukan melalui analisis berbagai parameter meteorologi dari data reanalisis Era Interim ECMWF. Dari analisa ini diharapkan dapat diketahui pola dinamika atmosfer seperti apa yang terjadi sebelum dan saat kejadian hujan

(4)

lebat terjadi. Parameter meteorologi yang digunakan diantaranya:

•Surface Pressure berguna untuk mengetahui daerah-daerah bertekanan tinggi atau rendah • Wind Streamline untuk melihat pola angin saat kejadian

•Moisture Transport (Transpor Kelembapan) berguna untuk mengetahui sumber pasokan uap air yang mempengaruhi kejadian hujan lebat

•Kelembapan udara yang berguna mengetahui kadar uap air di atmosfer saat kejadian

d.Menentukan keterkaitan kejadian seruakan dingin terhadap pembentukan hujan di Pulau Jawa dengan korelasi liniear serta menganalisis waktu penjalaran (time lag) seruakan dingin mencapai Pulau Jawa.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Deteksi Seruakan Dingin

Berdasarkan perhitungan dan analisis parameter seruakan dingin di mana parameter utama yang digunakan adalah beda tekanan antara Gushi dan Hongkong (indeks surge) dapat diketahui selama periode DJF (Desember, Januari dan Februari) tahun 2009-2014 kejadian seruakan dingin berdasarkan intensitasnya sebagai berikut:

Tabel 3.1 Kejadian Seruakan Dingin Desember 2015- Februari 2016

3.2 Kasus Tanggal 14 Februari 2016

a. Analisa Moisture Transport

Pada Saat terjadinya kenaikan indeks Surge tanggal 14 Februari 2016 dengan nilai 18.4mb terlihat cukup banyak terdapat uap air di sekitar Laut Cina Selatan. Hal ini terlihat dari nilai kandungan uap air 800 hingga mencapai 1400 Kg/ms-1. Akan tetapi terdapat transport uap air yang lebih banyak terdapat di wilayah

Samudera Hindia dengan nilai mencapai 1600 Kg/ms-1. Pada Periode DJF tahun 2015-2016 tercatat indeks surge paling besar terjadi pada tanggal ini yang berada dalam kateogi kuat, namun transport uap air yang mengalir dari wilayah Laut Cina Selatan terlihat berkurang dibandingkan dengan tanggal 16 Desember 2015. Uap air ini pun terlihat mengarah ke wilayah Malaysia, sehingga sangat dimungkinkan transport uap air tidak akan mencapai Pulau Jawa. Pada gambar juga dapat terlihat bahwa Lautan sekitar Pulau Jawa cukup kering, banyaknya uap air ini berpotensi tidak membentuk awan-awan di sekitar Pulau Jawa yang dapat menyebabkan hujan.

Gambar 3.1. Moisture Transport tanggal 14 Februari 2016

b. Analisa Streamline

Contoh Kasus seruakan dingin tanggal 14 Februari 2016 (gambar 4.8) menunjukkan angin meridional yang lemah dari Laut Cina Selatan, terlihat juga wilayah Indonesia. Kecepatan angin yang berasal dari Wilayah Laut Cina Selatan terlihat cukup lemah dibandingkan dengan tanggal 16 Desember 2015. Arah angin lebih melambat ketika sampai di wilayah Pulau Jawa, terlihat arah angin dari Laut Cina Selatan tidak menuju ke Wilayah Pulau melainkan menuju ke wilayah Lautan Sumatera Bagian Selatan yang mana terjadi konvergensi di daerah tersebut.

Komponen meridional angin lapsan 925 hPa dan 850 hPa pada saat kejadian seruakan dingin yang berpengaruh terhadap curah hujan Pulau Jawa di atas Laut Cina Selatan menunjukkan komponen angin dari utara dengan nilai ≥ 10 m/s dan kemudian melemah di atas wilayah Pulau Jawa. Pola angin seperti ini dan kecepaan yang tidak menuju wilayah Pulau Jawa tidak mendukung untuk terjadinya

Lemah Sedang Kuat

1 4 Desember 2015 10.2 -2.1 0 2 5 Desember 2015 10.3 1.5 -4 3 16 Desember 2015 11.5 -3.5 -1 4 28 Desember 2015 10.5 0.7 1 5 11 Januari 2016 11.6 -1.8 0 6 12 Januari 2016 11.9 -0.8 0 7 17 Januari 2016 10.3 0.3 2 8 19 Januari 2016 10 -1.9 -1 9 20 Januari 2016 10.1 -0.1 -1 10 21 Januari 2016 12.9 0.4 4 11 22 Januari 2016 14.3 -2 1 12 23 Januari 2016 17.6 -6 -4 13 24 Januari 2016 11.6 -4.7 3 14 29 Januari 2016 10.3 2.9 -1 15 31 Januari 2016 13.7 0.5 -5 16 1 Februari 2016 16.3 -5 -7 17 6 Februari 2016 10.3 -0.1 -1 18 14 Februari 2016 18.4 -2 3 19 23 Februari 2016 11.4 -1.9 4 ∆T ∆ff No Tanggal ∆P

(5)

pengangkatan massa udara atau arus udara naik. Sehingga dengan adanya peningkatan indeks surge di Laut Cina Selatan tidak memberikan respon terhadap kenaikan curah Hujan di Wilayah Pulau Jawa. Komponen angin meridional juga terlihat lebih besar di lapisan bawah.

Gambar 3.2 Arah Angin dan Angin Meridional 925 hPa dan 850 hPa c. Analisa Isohyet

Pengaruh peningkatan indeks Surge tanggal 1Februari 2016 terhadap curah hujan di Pulau Jawa salah satunya dapat dilihat melalui peta sebaran curah hujan yang disajikan pada gambar 4.20 di atas. Peta spasial tersebut diolah dengan menginterpolasi data hujan akumulasi 24 jam di 13 titik Stasiun Meteorologi dan klimatologi di wilayah Pulau Jawa. Tanggal 1 Februari 2016 saat lag ke-0 terjadinya peningkatan indeks surge dalam kategori kuat dengan nilai 16.3mb terlihat sebaran curah hujan di Pulau Jawa cukup merata berada dalam ketegori curah hujan sangat ringan hingga ringan. Kecuali pada Stasiun Meteorologi Klimatologi Pondok Betung di Pulau Jawa Bagian Barat dan Stasiun Meteorologi Cilacap di Pulau Jawa Bagian tengah terlihat curah hujan berada dalam kategori hujan sedang.

Tanggal 2 Februari 2016 saat lag ke-1 terlihat sebaran curah hujan di Pulau Jawa Bagian Barat cukup bervariasi berada dalam ketegori curah hujan sangat ringan hingga lebat. Pulau Jawa Bagian tengah terlihat sebaran curah

hujan berada dalam kategori hujan sangat ringan hingga lebat, terlihat juga semakin ke barat Pulau Jawa maka curah hujan akan semakin meningkat. Sementara pada Pulau Jawa Bagian Timur, sebaran curah hujan cukup merata yang berada dalam kategori hujan sangat ringan dan ringan. Tanggal 2 Februari 2016 saat lag ke-2 terlihat sebaran curah hujan di Pulau Jawa Bagian Barat berada dalam ketegori curah hujan sangat ringan hingga lebat, hujan lebat dapat dilihat terjadi di Stasiun Meteorologi Citeko. Pulau Jawa Bagian tengah terlihat sebaran curah hujan cukup merata yang mana sebagian besar berada pada kategori hujan sangat ringan. Sementara pada Pulau Jawa Bagian Timur, sebaran curah hujan juga cukup merata yang berada dalam kategori hujan ringan, kecuali pada Stasiun Meteorologi Banyuwangi berada dalam kategori hujan sedang.

Tanggal 4 Februari 2016 saat lag ke-3 terlihat sebaran curah hujan di Pulau Jawa cukup merata yaitu berada dalam ketegori curah hujan sangat ringan hingga ringan kecuali pada Stasiun Meteorologi Jatiwangi dan Stasiun Meteorologi Cilacap terlihat curah hujan berkategori hujan sedang dengan nilai 20-50mm/hari. Tanggal 5 Februari 2016 saat lag ke-4 terlihat sebaran curah hujan di Pulau Jawa Bagian Barat dan Pulau Jawa Bagian Tengah cukup merata dan tidak memberikan respon kenaikan hujan yang cukup signifikan yaitu berada dalam ketegori curah hujan sangat ringan hingga ringan, namun pada wilayah Pulau Jawa Bagian Timur memberikan respon kenaikan curah hujan yang cukup signifikan yaitu berada dalam kategori hujan sedang hingga lebat. Tanggal 6 Februari 2016 saat lag ke-5 terlihat sebaran curah hujan di Pulau Jawa Bagian Barat, Bagian Tengah hingga Bagian Timur cukup merata dan tidak memberikan respon kenaikan hujan yang cukup signifikan yaitu berada dalam ketegori curah hujan sangat ringan hingga ringan, namun pada wilayah Stasiun Meteorologi Tanjung Priok dan Stasiun Meteorologi Jatiwangi memberikan respon kenaikan curah hujan berada dalam kategori hujan sedang.

(6)

Gambar 3.3 Peta Spasial Sebaran Hujan Tanggal 14 - 19 Februari 2016

3.3 Analisa RH (Kelembaban Udara) Studi Kasus Seruakan Dingin Asia (Cold Surge)

Analisa RH (Kelembaban Udara) secara vertikal perlapisan merupakan hasil pengolahan dari data reanalisis Era Interim ECMWF. Analisa RH(Kelembaban Udara dilihat pada 13 Stasiun pengamatan BMKG di Pulau Jawa untuk melihat kondisi aliran massa udara di masing-masing daerah. Penulis mencoba membandingkan kondisi kelembaban udara (RH) yang terjadi pada indeks Surge kategori lemah dan kategori kuat. Studi kasus pada kategori lemah dipilih pada tanggal 12 Januari 2016 dengan nilai indeks surge 11.9mb dan kasus kategori kuat dipilih pada tanggal 14 Februari 2016 dengan nilai indeks surge 18.4mb. Analisa RH (Kelembaban Udara) secara vertikal pada masing-masing kasus dilihat dari semenjak terjadinya peningkatan indeks surge hingga lag ke-5 setelah peningkatan indeks surge.

a. Stasiun Meteorologi Serang

Berdasarkan gambar 3.4(a) dapat dilihat pada tanggal 12 hingga 17 Januari 2016 didapatkan informasi mengenai kondisi kelembapan udara di Stasiun Meteorologi Serang mulai saat terjadinya peningkatan indeks surge berkategori lemah hingga 5 hari

setelah peningkatan indeks surge (Lag ke-5). Terlihat tanggal 12 Januari 2016 hingga 15 Januari 2016 di lapisan permukaan hingga 800mb kelembapan udara sangat lembab dengan nilai mencapai 80–95%, akan tetapi semakin ke lapisan 200mb terlihat kelembaban udara semakin kering. Pada tanggal 16 Januari 2016 hingga 17 Januari 2016 di lapisan permukaan hingga ke lapisan atas (200mb) terlihat lapisan udara semakin kering, bahkan pada lapisan 600mb hingga 300mb kelembaban udara mencapai 20-30%. Hal ini menyiratkan bahwa kenaikan indeks surge tanggal 12 Januari 2016 tidak cukup mempengaruhi massa udara di Stasiun Meteorologi Serang.

Berdasarkan gambar 3.4(b) dapat dilihat pada tanggal 14 Februari 2016 hingga 19 Februari 2016 didapatkan informasi mengenai kondisi kelembapan udara di Stasiun Meteorologi Serang mulai saat terjadinya peningkatan indeks surge berkategori kuat hingga 5 hari setelah peningkatan indeks surge (Lag ke-5).Tanggal 14 Februari 2016 hingga 19 Februari 2016 di lapisan permukaan hingga 850mb kelembapan udara cukup lembab dengan nilai 70–95%. Pada tanggal 16 Februari 2016 hingga 18 Februari 2016 di lapisan atas (200mb) terlihat lapisan udara cukup lembab, bahkan pada lapisan 600mb hingga 200mb kelembaban udara mencapai 80-100%. Kondisi ini menyiratkan bahwa kondisi udara di Stasiun Meteorologi Serang pada tanggal tersebut sangatlah jenuh dan berpeluang menyebabkan hujan.

Gambar 3.4 Penampang Vertikal Kelembeban Udara (RH) di Stasiun Meteorologi Serang (a)Tanggal 12 Januari

(7)

b. Stasiun Meteorologi Citeko

Gambar 3.5 Peta Penampang

Vertikal Kelembeban Udara (RH) di

Stasiun Meteorologi Curug (a)Tanggal 12

Januari 2016 (b) Tanggal 14Februari 2016

Gambar 3.5(a) tanggal 12 hingga 17 Januari 2016 didapatkan informasi mengenai kondisi kelembapan udara di Stasiun Meteorologi Citeko mulai saat terjadinya peningkatan indeks surge berkategori lemah hingga 5 hari setelah peningkatan indeks surge (Lag ke-5). Terlihat di lapisan permukaan hingga 850mb kelembapan udara pada tanggal 12 hingga 17 Januari 2016 sangat lembab dengan nilai mencapai 85 – 100%. Pada lapisan menengah 700 – 500 mb kelembapan sedikit kering pada kisaran 70 – 90%, pada tanggal 16 Januari 2016 terlihat kelembaban sangat kering bahkan mencapai 20%. Sedangkan pada lapisan atas pada tanggal 14 Januari 2016, kelembapan kembali jenuh sebesar 85 – 100%. Kondisi ini menyiratkan bahwa kondisi udara di Stasiun Meteorologi Citeko pada tanggal 14 Januari 2016 mengalami peningkatan curah hujan. Dimana indeks Surge diindikasikan berpengaruh pada lag ke-2. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan uap air yang banyak dan kenaikan parsel udara yang tidak stabil dimana densitas parsel lebih rendah sehingga massa udara terus bergerak naik membawa uap air. Ketinggian lapisan basah yang dicapai berkaitan dengan pembentukan awan-awan konvektif yang menjulang tinggi dan berpeluang menyebabkan hujan dengan intesitas yang deras.

Berdasarkan gambar 3.5(b) terlihat mulai tanggal 14 Februari 2016 hingga 19 Februari 2016 didapatkan informasi mengenai kondisi kelembapan udara di Stasiun Meteorologi Citeko mulai saat terjadinya peningkatan indeks surge berkategori kuat hingga 5 hari setelah peningkatan indeks surge (Lag ke-5). Terlihat di lapisan

permukaan hingga 850mb kelembapan udara pada tanggal 14 hingga 18 Februari 2016 sangat lembab dengan nilai mencapai 85 – 100%. Pada lapisan menengah 700 – 500 mb kelembapan sedikit kering pada kisaran 60 – 90%, pada tanggal 19 Februari 2016 terlihat kelembaban sangat kering bahkan mencapai 30%. Sedangkan pada lapisan atas pada tanggal 14 hingga 18 Februari 2016, kelembapan kembali jenuh sebesar 85 – 100%. Kondisi ini menyiratkan bahwa kondisi udara di Stasiun Meteorologi Citeko pada tanggal tersebut mengalami peningkatan curah hujan.

c. Stasiun Meteorologi Curug

Gambar 3.6 Peta Penampang Vertikal

Kelembeban Udara (RH) di Stasiun

Meteorologi Curug (a)Tanggal 12 Januari

2016 (b) Tanggal 14Februari 2016

Gambar 3.6 (a) analisa kelembaban udara (RH) mulai tanggal 12 hingga 17 Januari 2016 didapatkan informasi mengenai kondisi kelembapan udara di Stasiun Meteorologi Curug mulai saat terjadinya peningkatan indeks surge berkategori lemah hingga 5 hari setelah peningkatan indeks surge (Lag ke-5). Kondisi kelembaban udara (RH) bila dilihat secara umum, maka tidak terlalu signifikan mengakibatkan peningkatan curah hujan. Namun pada tanggal 14 Januari terlihat pada permukaan terdapat kelembaban yang cukup lembab berkisar antara 80-95%. Pada lapisan menengah 700 – 500 mb kelembapan agak sedikit kering pada kisaran 60 – 90%. Sedangkan pada lapisan atas pada tanggal kelembapan kembali jenuh sebesar 85 – 100%. Kondisi ini menyiratkan bahwa kondisi udara di Stasiun Meteorologi Curug pada tanggal 14 Januari 2016 mengalami peningkatan curah hujan.

Berdasarkan gambar 3.6(b) tanggal 14 Februari 2016 hingga 19 Februari 2016 didapatkan informasi mengenai kondisi kelembapan udara di Stasiun Meteorologi

(8)

Curug mulai saat terjadinya peningkatan indeks surge berkategori kuat hingga 5 hari setelah peningkatan indeks surge (Lag ke-5). Terlihat di lapisan permukaan hingga 850mb kelembapan udara pada tanggal 16 hingga 18 Februari 2016 sangat lembab dengan nilai mencapai 85 – 100%. Pada lapisan menengah 700 – 500 mb kelembapan agak sedikit kering pada kisaran 60 – 90%, pada tanggal 19 Februari 2016 terlihat kelembaban sangat kering bahkan mencapai 40%. Sedangkan pada lapisan atas pada tanggal 16 hingga 18 Februari 2016, kelembapan kembali jenuh sebesar 85 – 100%. Kondisi ini menyiratkan bahwa kondisi udara di Stasiun Meteorologi Curug pada tanggal tersebut mengalami peningkatan curah hujan. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan uap air yang banyak dan kenaikan parsel udara yang tidak stabil dimana densitas parsel lebih rendah sehingga massa udara terus bergerak naik membawa uap air. Ketinggian lapisan basah yang dicapai berkaitan dengan pembentukan awan-awan konvektif yang menjulang tinggi dan berpeluang menyebabkan hujan dengan intesitas yang deras.

d. Stasiun Meteorologi Ahmad Yani Semarang

Gambar 3.7 Peta Penampang Vertikal Kelembeban Udara (RH) di Stasiun Meteorologi Semarang (a)Tanggal 12 Januari

2016 (b) Tanggal 14Februari 2016 Gambar 3.7(a) mulai tanggal 12 hingga 17 Januari 2016 didapatkan informasi mengenai kondisi kelembapan udara di Stasiun Meteorologi Semarang mulai saat terjadinya peningkatan indeks surge berkategori lemah hingga 5 hari setelah peningkatan indeks surge. Kondisi kelembaban udara (RH) bila dilihat secara umum, maka tidak terlalu mempengaruhi peningkatan curah hujan. Terlihat pada permukaan terdapat kelembaban yang cukup lembab berkisar antara 80-95%. Pada lapisan

menengah 800 – 500 mb kelembaban pada kisaran 60 – 90%, namun pada tanggal 18 Februari 2016 kelembaban udara (RH) cukup kering mencapai kisaran 0-30%. Pada lapisan atas kelembapan kembali berkisar 80 – 90%. Dimana kondisi kelembaban udara secara umum yang diakibatkan oleh peningkatan indeks surge pada tanggal 12 Januari 2016 tidak terlalu memperngaruhi curah hujan di Stasiun Meteorologi Semarang.

Berdasarkan gambar 3.7(b) mulai tanggal 14 Februari 2016 hingga 19 Februari 2016 didapatkan informasi mengenai kondisi kelembapan udara di Stasiun Meteorologi Semarang mulai saat terjadinya peningkatan indeks surge berkategori kuat hingga 5 hari setelah peningkatan indeks surge (Lag ke-5). Terlihat di lapisan permukaan hingga 850mb kelembapan udara pada tanggal 15 Februari 2016 sangat lembab dengan nilai mencapai 85 – 100%. Pada lapisan menengah 700 – 500 mb kelembapan agak sedikit kering pada kisaran 60 – 90%, pada tanggal 19 Februari 2016 terlihat kelembaban cukup kering bahkan mencapai 40%. Sedangkan pada lapisan atas pada tanggal 15 Februari 2016, kelembapan kembali jenuh sebesar 85 – 100%. Kondisi ini menyiratkan bahwa kondisi udara di Stasiun Meteorologi Semarang pada tanggal tersebut mengalami peningkatan curah hujan.

e. Stasiun Meteorologi Tegal

Gambar 3.8 Peta Penampang Vertikal Kelembeban Udara (RH) di Stasiun Meteorologi Tegal (a) Tanggal 12 Januari

2016 (b) Tanggal 14Februari 2016 Gambar 3.8 (a) mulai tanggal 12 hingga 17 Januari 2016 didapatkan informasi mengenai kondisi kelembapan udara di Stasiun Meteorologi Tegal mulai saat terjadinya peningkatan indeks surge berkategori lemah hingga 5 hari setelah peningkatan indeks surge. Berdasarkan gambar 3.8(b) mulai tanggal 14 Februari 2016

(9)

hingga 19 Februari 2016 didapatkan informasi mengenai kondisi kelembapan udara di Stasiun Meteorologi Tegal mulai saat terjadinya peningkatan indeks surge berkategori kuat hingga 5 hari setelah peningkatan indeks surge (Lag ke-5). Jika dilihat perbandingan kondisi kelembaban udara (RH) secara umum, maka pada saat nilai indeks surge berada pada kategori lemah (12 hingga 17 Januari 2016) tidak terlalu mempengaruhi peningkatan curah hujan. Terlihat pada permukaan terdapat kelembaban yang cukup lembab berkisar antara 80-95%. Pada lapisan menengah 800 – 500 mb kelembapan pada kisaran 60 – 90%, sedangkan pada lapisan atas pada tanggal kelembapan kembali berkisar 80 – 90%. Semantara saat terjadinya peningkatan indeks surge berkategori kuat (14 hingga 19 Februari 2016) terlihat kelembaban udara cukup basah dari lapisan permukaan hingga lapisan atas. Sehingga dapat disimpulkan pada studi kasus di Stasiun Meteorologi Tegal, saat indeks surge meningkat kuat maka kenikan respon curah hujan juga ikut meningkat.

f. Stasiun Meteorologi Cilacap

Gambar 3.9 Peta Penampang Vertikal Kelembeban Udara (RH) di Stasiun Meteorologi Cilacap (a) Tanggal 12 Januari

2016 (b) Tanggal 14 Februari 2016 Gambar 3.9(a) mulai tanggal 12 hingga 17 Januari 2016 didapatkan informasi mengenai kondisi kelembapan udara di Stasiun Meteorologi Cilacap mulai saat terjadinya peningkatan indeks surge berkategori lemah hingga 5 hari setelah peningkatan indeks surge. Berdasarkan gambar 3.9(b) mulai tanggal 14 Februari 2016 hingga 19 Februari 2016 didapatkan informasi mengenai kondisi kelembapan udara di Stasiun Meteorologi Cilacap mulai saat terjadinya peningkatan indeks surge berkategori kuat hingga 5 hari setelah peningkatan indeks surge (Lag ke-5). Jika dilihat perbandingan kondisi kelembaban

udara (RH) secara umum, maka pada saat nilai indeks surge berada pada kategori lemah (12 hingga 17 Januari 2016) tidak terlalu mempengaruhi peningkatan curah hujan. Terlihat pada permukaan terdapat kelembaban yang cukup lembab berkisar antara 80-95%. Pada lapisan menengah 800 – 500 mb kelembapan pada kisaran 40 – 90%, sedangkan pada lapisan atas pada tanggal kelembapan kembali berkisar 80 – 90%. Semantara saat terjadinya peningkatan indeks surge berkategori kuat (14 hingga 19 Februari 2016) terlihat kelembaban udara cukup basah dari lapisan permukaan hingga lapisan atas. Sehingga dapat disimpulkan pada studi kasus di Stasiun Meteorologi Tegal, saat indeks surge meningkat kuat maka kenikan respon curah hujan juga ikut meningkat.

g. Stasiun Meteorologi Banyuwangi

Gambar 3.10 Peta Penampang Vertikal Kelembeban Udara (RH) di Stasiun Meteorologi Banyuwangi (a) Tanggal 12 Januari 2016 (b) Tanggal 14 Februari 2016

Gambar 3.10(a) mulai tanggal 12 hingga 17 Januari 2016 didapatkan informasi mengenai kondisi kelembapan udara di Stasiun Meteorologi Banyuwangi mulai saat terjadinya peningkatan indeks surge berkategori lemah hingga 5 hari setelah peningkatan indeks surge. Berdasarkan gambar 3.10(b) mulai tanggal 14 Februari 2016 hingga 19 Februari 2016 didapatkan informasi mengenai kondisi kelembapan udara di Stasiun Meteorologi Banyuwangi mulai saat terjadinya peningkatan indeks surge berkategori kuat hingga 5 hari setelah peningkatan indeks surge (Lag ke-5). Jika dilihat perbandingan kondisi kelembaban udara (RH) secara umum, maka saat nilai indeks surge berada pada kategori lemah maupun kuat tidak memberikan respon kenaikan curah hujan di Stasiun Meteorologi Banyuwangi. Terlihat pada lapisan permukaan hingga lapisan atas (1000mb-200mb) terdapat

(10)

kelembaban yang cukup kering berkisar antara 0-50%. Sehingga dapat disimpulkan pada studi kasus di Stasiun Meteorologi Banyuwangi, saat indeks surge meningkat kuat maka kenikan respon curah hujan tidak selalu ikut meningkat.

h. Stasiun Meteorologi Bawean

Gambar 3.11 Peta Penampang Vertikal Kelembeban Udara (RH) di Stasiun Meteorologi Bawean (a) Tanggal 12 Januari

2016 (b) Tanggal 14 Februari 2016 Gambar 3.11(a) tanggal 12 hingga 17 Januari 2016 didapatkan informasi mengenai kondisi kelembapan udara di Stasiun Meteorologi Bawean mulai saat terjadinya peningkatan indeks surge berkategori lemah hingga 5 hari setelah peningkatan indeks surge. Terlihat saat indeks surge berkategori lemah, maka di Stasiun Meteorologi Bawean tidak memberikan respon kenaikan curah hujan. Berdasarkan gambar 3.11(b) mendefinisikan kejadian indeks surge kategori kuat mulai tanggal 14 Februari 2016 hingga 19 Februari 2016 di Stasiun Meteorologi Bawean. Terlihat pada tanggal 15 hingga 16 Februari 2016 kelembapan udara dari lapisan permukaan hingga lapisan atas cukup lembab dengan nilai mencapai 70 – 95%. Namun pada tanggal 17 hingga 18 Februari 2016 kelembaban udara cukup kering dengan nilai berkisar antara 0-40%.

Jika dilihat perbandingan saat indeks surge berada pada kategori lemah (12 hingga 17 Januari 2016) dengan kategori kuat (14 hingga 19 Februari 2016), maka dapat disimpulkan indeks surge pada kategori kuat lebih berpengaruh dibandingkan kategori lemah.

i. Stasiun Meteorologi Surabaya

Gambar 3.12(a) tanggal 12 hingga 17 Januari 2016 didapatkan informasi mengenai kondisi kelembapan udara di Stasiun Meteorologi Surabaya. Terlihat di lapisan permukaan hingga 850mb kelembapan udara

pada tanggal 12 hingga 17 Januari 2016 sangat lembab dengan nilai mencapai 85 – 100%, namun pada lapisan menengah hingga lapisan atas 700 – 200 mb kelembapan agak sedikit kering pada kisaran 0-60%. Kondisi ini menyiratkan bahwa kondisi udara di Stasiun Meteorologi Surabaya pada saat indeks surge berkategori lemah tidak mengalami peningkatan curah hujan. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan uap air yang sedikit dan kenaikan parsel udara yang stabil dimana densitas parsel lebih tinggi sehingga massa udara melebur dan tidak terbentuknya awan-awan konvektif.

Berdasarkan gambar 3.12(b) mendefinisikan kejadian indeks surge kategori kuat mulai tanggal 14 Februari 2016 hingga 19 Februari 2016 di Stasiun Meteorologi Surabaya. Terlihat di lapisan permukaan hingga 850mb kelembapan udara pada tanggal 14 hingga 16 Februari 2016 sangat lembab dengan nilai mencapai 85 – 100%. Pada lapisan menengah 700 – 500 mb kelembapan agak sedikit kering pada kisaran 70 – 90%, pada tanggal 18 Februari 2016 terlihat kelembaban cukup kering bahkan mencapai 20%. Sedangkan pada lapisan atas pada tanggal 14 hingga 16 Februari 2016, kelembapan kembali jenuh sebesar 85 – 90%. Kondisi ini menyiratkan bahwa kondisi udara di Stasiun Meteorologi Surabaya mengalami peningkatan curah hujan saat terjadinya peningkatan indeks surge sampai lag ke-2. Jika dilihat perbandingan saat indeks surge berada pada kategori lemah (12 hingga 17 Januari 2016) dengan kategori kuat (14 hingga 19 Februari 2016), maka dapat disimpulkan indeks surge pada kategori kuat lebih berpengaruh dibandingkan kategori lemah.

Gambar 3.12 Peta Penampang Vertikal

Kelembeban Udara (RH) di Stasiun

Meteorologi Surabaya (a) Tanggal 12

Januari 2016 (b) Tanggal 14 Februari

(11)

3.4 Pengaruh dan Hubungan Seruakan Dingin Asia terhadap Curah Hujan di Pulau Jawa

Untuk melihat kekuatan hubungan antara indeks seruakan dingin Asia (Cold Surge) dengan curah hujan di Pulau Jawa dilakukan analisis korelasi. Hasil dari analisis korelasi Pearson dapat dijelaskan pada Tabel 4.2 Untuk melihat tingkat keterkaitannya, maka penulis menggunakan metode statistik dengan melihat nilai korelasi dan lag di masing-masing wilayah penelitian.

Tabel 3.2 Kejadian Seruakan Dingin Desember 2015- Februari 2016

Berdasarkan Tabel 3.2 di atas, dapat dijelaskan bahwa koefisien korelasi antara Indeks seruakan dingin Asia (Cold Surge) dengan curah hujan di Pulau Jawa mempunyai hubungan yang tidak cukup signifikan. Dimana korelasi maksimum terjadi di Stasiun Meteorologi Tegal yaitu 0.718 dengan kategori korelasi kuat dan korelasi minimum terjadi di Stasiun Meteorologi Cilacap dengan kategori korealsi sangat rendah. Rentang korelasi yang terdapat di Pulau Jawa Bagian Barat terlihat cukup rendah dibandingkan di Bagian Tengah dan Timur Pulau Jawa. Terlihat Semakin ke Pulau Jawa Bagian Timur, maka nilai korelasi akan semakin signifikan, meskipun di beberapa titik masih rendah nilai korelasinya.

Pada Pulau Jawa Bagian Barat dapat kita lihat nilai korelasi cukup homogen yaitu berada pada kategori rendah hingga sedang. Di Stasiun Meteorologi Serang terlihat nilai korelasi 0.369 dengan tingkat hubungan rendah dan nilai time lag 1. Stasiun Meteorologi Citeko terlihat nilai korelasi yaitu 0.225, dimana pada stasiun ini kenaikan curah hujan akibat peningkatan indeks surge terjadi pada lag ke-2. Stasiun Metorologi Curug nilai korelasi berada pada 0.475 dengan kategori

keterpangaruhan sedang yang terjadi pada lag ke-1. Serta Stasiun Klimatologi Pondok Betung dan Stasiun Meteorologi Jatiwangi nilai korelasi berada pada kategori rendah dengan nilai 0.344 dan 0.356 yang terpengaruh pada lag ke-1 dan ke-7.

Pada Pulau Jawa Bagian Tengah dapat kita lihat nilai korelasi yang bervariasi yaitu berada pada kategori sangat rendah hingga kuat. Di Stasiun Meteorologi Semarang terlihat nilai korelasi 0.543 dengan tingkat hubungan sedang dan nilai time lag 2. Stasiun Meteorologi Tegal terlihat nilai korelasi yaitu 0.718 kategori kuat, dimana pada wilayah ini kenaikan curah hujan akibat peningkatan indeks surge terjadi pada lag ke-0. Serta Stasiun Metorologi Cilacap nilai korelasi berada pada 0.032 dengan kategori keterpangaruhan sangat rendah yang terjadi pada lag ke-1.

Pada Pulau Jawa Bagian Timur dapat kita lihat nilai korelasi cukup signifikan yaitu berada pada kategori rendah hingga sedang. Di Stasiun Meteorologi Banyuwangi terlihat nilai korelasi 0.599 dengan tingkat hubungan sedang dan nilai time lag 2. Stasiun Meteorologi Bawean terlihat nilai korelasi yaitu 0.266, dimana pada stasiun ini kenaikan curah hujan akibat peningkatan indeks surge terjadi pada lag ke-2. Serta Stasiun Meteorologi Surabaya dan Stasiun Meteorologi Kalianget Madura nilai korelasi berada pada kategori sedang dan rendah dengan nilai 0.443 dan 0.253 yang terpengaruh pada lag ke-4.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian hasil dan pembahasan pada bab sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Jika dilihat dari nilai korelasi indeks surge dan curah hujan di masing-masing titik Pulau Jawa, maka dapat dilihat tingkat hubungan yang bervariasi antara sangat rendah hingga kuat, namun lebih didominasi oleh tingkat hubungan rendah. Selisih indeks surge yang besar tidak menjamin masuknya cold surge ke Pulau Jawa. Pada umumnya penjalaran cold surge ke selatan Benua Maritim (Indonesia) tergantung pada eksistensi gangguan tropis di BBU, yakni adanya angin timuran yang kencang, sehingga dapat menimbulkan daerah belokan angin (shearline) di wilayah Kalimantan. Lintang Bujur Nilai korelasi Time Lag

1 Stasiun Meteorologi Serang -6.08000 106.09000 0.369 Lag 1 Rendah 2 Stasiun Meteorologi Citeko -6.70000 106.93333 0.225 Lag 2 Rendah 3 Stasiun Meteorologi Curug -6.27000 106.56000 0.475 Lag 1 Sedang 4 Stasiun Meteorologi Tanjung Priok -6.12000 106.88000 0.341 Lag 0 Rendah 5 Stasiun Klimatologi Pondok Betung -6.25000 106.76000 0.344 Lag 1 Rendah 6 Stasiun Meteorologi Jati wangi -6.75000 108.26667 0.356 Lag 5 Rendah 7 Stasiun Meteorologi Semarang -6.98333 110.38333 0.543 Lag 2 Sedang 8 Stasiun Meteorologi Tegal -6.85000 109.15000 0.718 Lag 0 Kuat 9 Stasiun Meteorologi Cilacap -7.73333 109.01667 0.032 Lag 1 Sangat Rendah 10 Stasiun Meteorologi Banyuwangi -8.21667 114.38333 0.599 Lag 2 Sedang 11 Stasiun Meteorologi Bawean -5.85000 112.63333 0.266 Lag 2 Rendah 12 Stasiun Meteorologi Surabaya -7.36667 112.76667 0.443 Lag 4 Sedang 13 Stasiun Meteorologi Kalianget Madura -7.05000 113.96667 0.253 Lag 4 Rendah

Jawa Bagian Barat

Jawa Bagian Tengah

Jawa Bagian Timur

Tingkat Hubungan No. Wilayah Lokasi Penelitian LETAK TEMPAT Korelasi Terbesar

(12)

Perambatan cold surge yang kuat ke selatan dan bertahan lama jika ada gangguan tekanan rendah di selatan perairan Indonesia. Adanya shearline di wilayah Kalimantan ini dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap cuaca karena mengakibatkan pertumbuhan awan-awan konvektif yang tidak memasuki wilayah Pulau Jawa.

2. Kondisi Pola Angin (streamline) harus didukung dari transport uap air yang tinggi di wilayah Laut Cina Selatan. Jika transport uap air yang berasal dari Laut Cina Selatan rendah dan kondisi pola angin mengalami shear, maka hal ini dapat mengakibatkan RH perlapisan di 13 titik Pulau Jawa tidak cukup signifikan mengalami peningkatan curah hujan.

3. Tidak selamanya curah hujan yang tinggi di Pulau Jawa dipengaruhi oleh fenomena cold surge.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian, Edvin dan Gilang S.A. 2007.Identifikasi dan Karakteristik Seruakan dingin (Cold Surge) Tahun 1995-2003.Jurnal Sains Dirgantara, vol. 4 no. 2 (Jun. 2007), halaman 107-127.

Andarini, D.F., 2012, Analisis Cold Surge dan

Borneo Vortex Menggunakan

Vortisitas Potensial, Institut

Teknologi Bandung, Bandung. BMKG. 2013. Prakiraan Musim Hujan 2013

di Indonesia. Badan Meteorologi

Klimatologi dan Geofisika. Jakarta. COMET Program. 2013. Principle of

Convection II : Ussing hodographs.

URL

http://www.meted.ucar.edu/mesoprim

/hodograf/ diakses tanggal 21

Desember 2015.

Gunawan, Dodo. 2008. Perbandingan Curah Hujan Bulanan Dari Data Pengamatan Permukaan, Satelit Trmm Dan Model Permukaan Noah.Jurnal Meteorologi

Dan Geofisika, Vol. 9 No.1 Juli 2008

: 65 – 77.

Pramuwardani, I. dan Setiawan, B., 2010, Ketika Banjir Kembali Menyapa Jakarta (Analisis Kasus Banjir Jakarta 7 Januari 2010), Jurnal Megasains, Vol. 1.

No. 1. Maret 2010 Hal. 45 – 55.

Prawirowardoyo, S. 1996. Meteorologi. Penerbit ITB. Bandung.

Ramage,C.S. 1971. Monsoon Meteorology. Academic Press, Newyork and London. Setyawan, P.A, 2014, Kajian Pengaruh

Seruakan Dingin Asia (Cold Surge) Terhadap Curah Hujan Di Wilayah Kepulauan Riau (Periode 2009-2014),

Skripsi, Meteorologi, STMKG,

Tangerang.

Soepono, Bambang. 1997. Statistik Terapan. Rineka Cipta, Jakarta.

Sugiyono. 2005.Metode Penelitian Administrasi, Alfa Beta, Jakarta.

Supari dan Hariadi. 2006. Analisis Skala Makro dan Skala Meso terhadap Aktivitas Asian Cold Surge. Jurnal Meteorologi dan Geofisika Vol.627 No.2 Juni 2006. URL : http://dl.pusdiklat.bmg.go.id/files/disk 1/2/jkpkbmkg-gdl-suparihari-51-1-analisis-e.pdf

Tangang, F.T., Liew, J., Salimun, E., Vinayachandran, P.N., Seng, Y.K., Reason, C. J. C., Behera, S. K., dan Yasunari, T, 2008, On the roles of the northeast cold surge, the Borneo Vortex, the Madden-Julian Oscillation, and the Indian Ocean Dipole during the extreme 2006/2007 flood in southern. Peninsular Malaysia, Geophysical Research Letters, Volume 35, Issue 14, July

2008, American Geophysical Union. Tjasyono, H.K, B., dan Harijono, S. W. B., 2006, Meteorologi Indonesia 2: Awan

& Hujan Monsoon, Badan

Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.

Wirjohamidjojo, S., 2012, Tips Melacak Seruakan Dingin (Cold Surge), [daring],

http://pustakacuaca.blogspot.com/201 2/10/tips-melacak-seruak-dingincold-

surge.html, diakses tanggal 3 Januari

2016.

Wirjohamidjojo, S. dan Swarinoto, Y. S., 2010, Iklim Kawasan Indonesia, Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta.

Zakir, A., Sulistya, W., dan Khotimah, M. K., 2010, Perspektif Operasional Cuaca

Tropis, Badan Meteorologi

(13)

Gambar

Tabel 3.1 Kejadian Seruakan Dingin  Desember 2015- Februari 2016
Gambar 3.2 Arah Angin dan Angin  Meridional 925 hPa dan 850 hPa  c.  Analisa Isohyet
Gambar 3.3 Peta Spasial Sebaran Hujan  Tanggal 14 - 19 Februari 2016
Gambar  3.5  Peta  Penampang  Vertikal  Kelembeban  Udara  (RH)  di  Stasiun  Meteorologi  Curug (a)Tanggal  12  Januari 2016 (b) Tanggal 14Februari 2016
+3

Referensi

Dokumen terkait

Garam yang digunakan dalam proses pemasakan ikan teri nasi tujuan ekspor (chirimen) adalah 10 kg. Hal tersebut dikarenakan permintaan dari negara tujuan yang menginginkan

Oleh itu, objektif kajian ini adalah untuk mengenalpasti tahap penglibatan para pelajar Kolej Komuniti Kota Marudu (KKKMS) terhadap aktiviti kesukarelawanan, mengenalpasti

Kemudian fasa yang terbentuk dari hasil komparasi data penelitian stasiun I dan stasiun II cangkang kerang dengan data standar ICDD (96-901-3802) adalah fasa

Zeolit berpengaruh nyata terhadap parameter total luas daun disebabkan penggunan zeolit dapat meningkatkan kadar unsur hara yang terdapat didalam tanah, sehingga

Berdasarkan arsitektur jaringan tersebut dilakukan proses pelatihan dengan menggunakan data pelatihan yang tersedia, jika disain JST menunjukkan akurasi yang tinggi atau

Dengan metode yang kedua ini, sebagaimana dikatakan Adnan Zurzur yang dikutip oleh al-Khalidi bahwa Sayyid Qutb dalam menggunakan rujukan sekunder, tidak terpengaruh

Untuk membuat jembatan dengan bentang yang pendek, kayu lebih mudah dibentuk, karena dapat dipotong-potong, sehingga pengerjaanya lebih mudah dibangdingkan dengan

Penelitian ini dilakukan untuk ikut memecahkan salah satu permasalahan yang dihadapi dalam pembangunan hutan tanaman di Indonesia, khususnya dari aspek lingkungan