Laporan Penelitian
DISTRIBUSI PENDERITA TONSILITIS KRONIS YANG TELAH MENJALANI TONSILEKTOMI DI RSUP SANGLAH DENPASAR
PERIODE JANUARI 2014-SEPTEMBER 2015 Oleh:
Eka Arie Yuliyani, I Gde Ardika Nuaba, Luh Made Ratnawati, Eka Putra Setiawan
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan THT-KL
Fakultas Kedokteran Universitas Udayana/RSUP Sanglah Denpasar ABSTRAK
Latar Belakang dan Tujuan. Tonsilitis merupakan penyakit yang sering ditemukan baik pada anak maupun dewasa, akan tetapi lebih sering terjadi pada kelompok usia muda. Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang hingga kini masih menjadi masalah kesehatan utama di bidang THT-KL. Penyakit ini dapat menyebar dan menimbulkan komplikasi melalui perkontinuitatum, hematogen atau limfogen, sehingga tonsilektomi menjadi pilihan terbaik dalam penatalaksaannya dan harus disesuaikan dengan indikasinya baik absolut maupun relatif. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh data awal tentang distribusi penderita tonsilitis kronis yang telah menjalani tonsilektomi di RSUP Sanglah Denpasar dan sebagai acuan untuk pelaksanaan penelitian selanjutnya.
Subjek dan Metodologi. Penelitian ini dilaksanakan dengan desain penelitian deskriptif retrospektif, dimana sampelnya adalah semua penderita tonsilitis kronis yang telah menjalani tonsilektomi di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari 2014-September 2015. Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data dari catatan rekam medis pasien kemudian data di analisis dan disajikan dalam bentuk tabel dan narasi.
Hasil dan Kesimpulan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa distribusi pasien tonsilitis kronis yang telah menjalani tonsilektomi di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari 2014-September 2015 berdasarkan umur, jenis kelamin dan pekerjaan yang terbanyak berturut-turut yaitu umur 15-20 tahun sebanyak 6 orang (35%), jenis
kelamin terbanyak adalah perempuan sebanyak 13 orang (76%) dan dari segi pekerjaan sebagai pelajar adalah terbanyak yaitu 6 orang (35%). Berdasarkan keluhan utamanya, nyeri tenggorok atau sakit menelan menjadi distribusi terbanyak yaitu 17 orang (100%). Indikasi relatif dan indikasi absolut yang didapatkan pada penelitian ini yang terbanyak berturut-turut yaitu sebanyak 15 orang (88,24 %) dan 2 orang (11,76%). Ukuran tonsil terbanyak yaitu T3 : > 50% < 75% sebanyak 10 orang (59%).
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Tonsilitis merupakan penyakit yang sering ditemukan baik pada anak maupun dewasa, akan tetapi lebih sering terjadi pada kelompok usia muda. Penyakit ini juga merupakan salah satu penyebab ketidak hadiran anak di sekolah.Tonsilitis dibagi menjadi dua yaitu tonsilitis akut dan tonsilitis kronis.Tonsilitis akut merupakan peradangan akut pada tonsila palatina yang dapat disebabkan oleh infeksi bakteri maupun virus, sedangkan tonsilitis kronis merupakan peradangan pada tonsila palatina oleh karena kegagalan atau ketidaksesuaian pemberian antibiotik pada penderita tonsilitis akut. Pada anak tonsilitis kronis dapat disebabkan karena anak tersebut sering menderita ISPA atau tonsilitis akut yang tidak mendapatkan terapi adekuat. Angka kejadian tertinggi terutama pada anak-anak dalam kelompok usia antara 5-10 tahun. 1,2,3,5
Tonsilektomi merupakan suatu prosedur operasi yang dapat dilakukan dengan atau tanpa adenoidektomi dimana dilakukan pengangkatan tonsil secara keseluruhan meliputi kapsular tonsil dengan cara diseksi daerah peritonsilar antara kapsul tonsil dan dinding muskulus.Tonsilektomi sangat efektif untuk pengobatan tonsilitis kronis, tidak hanya untuk menghilangkan nyeri tenggorok atau sumbatan jalan napas atas, tapi juga membantu pasien untuk mendapatkan kualitas hidup yang lebih baik. Data nasional mengenai jumlah operasi tonsilektomi atau tonsiloadenoidektomi di Indonesia belum ada. RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta memperoleh data selama lima tahun terakhir (1999-2003) menunjukkan kecenderungan penurunan jumlah operasi tonsilektomi dimana terdapat kenaikan pada tahun ke dua yaitu sebesar 275 kasus dan terus menurun hingga tahun 2003 sebanyak 152 kasus.1,6,7
Tonsilitis kronis merupakan penyakit yang hingga kini masih menjadi masalah kesehatan utama di bidang THT-KL. Penyakit ini dapat menyebar dan menimbulkan komplikasi melalui perkontinuitatum, hematogen atau limfogen, sehingga
tonsilektomi menjadi pilihan terbaik dalam penatalaksaannya dan harus disesuaikan dengan indikasinya baik absolut maupun relatif.1,5
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai distribusi penderita tonsilitis kronis yang telah menjalani tonsilektomi di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari 2014-September 2015. 1.2 Rumusan Masalah
“Bagaimana distribusi penderita tonsilitis kronis yang telah menjalani tonsilektomi di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari 2014 – September 2015?” 1.3 Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum
Mengetahui distribusi penderita tonsilitis kronis yang telah menjalani tonsilektomi di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari 2014 – September 2015. 1.3.2Tujuan Khusus
a. Mengetahui distribusi penderita tonsilitis kronis yang telah menjalani tonsilektomi berdasarkan umur, jenis kelamin dan pekerjaan.
b. Mengetahui distribusi penderita tonsilitis kronis yang telah menjalani tonsilektomi berdasarkan keluhan utama.
c. Mengetahui distribusi penderita tonsilitis kronis yang telah menjalani tonsilektomi berdasarkan indikasinya.
d. Mengetahui distribusi penderita tonsilitis kronis yang telah menjalani tonsilektomi berdasarkan ukuran tonsil.
1.4Manfaat Penelitian
1. Memberikan informasi mengenai distribusi penderita tonsilitis kronis yang telah menjalani tonsilektomi di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari 2014–September 2015.
2. Memberikan informasi tambahan sebagai bahan acuan untuk penelitian selanjutnya mengenai penderita tonsilitis kronis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi
Tonsilitis merupakan peradangan pada tonsila palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer. Sebagai bagian dari sistem imun, tonsil membantu tubuh untuk melawan infeksi yang ikut masuk bersama makanan atau minuman dan udara pernapasan. Tapi walau bagaimanapun bakteri atau virus dapat menginfeksi tonsil yang akhirnya akan menyebabkan infeksi pada tonsil yang kita kenal dengan tonsilitis. Tonsilitis kronis secara umum dapat didefinisikan sebagai suatu proses infeksi dan peradangan yang bersifat menetap. Penyakit ini dapat terjadi akibat serangan ulang tonsilitis akut yang akhirnya dapat menyebabkan perubahan atau kerusakan permanen pada jaringan tonsil.3,5
2.2 Anatomi dan Fisiologi Tonsil 2.2.1 Anatomi tonsil
Pembentukan tonsil berasal dari proliferasi sel-sel epitel yang melapisi kantong faringeal kedua. Tonsil dan adenoid merupakan bagian terpenting dari cincin Waldeyer. Adenoid akan mengalami regresi pada usia pubertas. Tonsil palatina merupakan jaringan limfoid yang terletak pada fosa tonsil di sudut orofaring. Bagian anterior pilar tonsil dibentuk oleh otot palatoglosus dan pilar posterior tonsil dibentuk oleh otot palatopharingeus, bagian lateral dibatasi oleh otot konstriktor superior, bagian superior oleh palatum mole, bagian inferior oleh tonsil lingual, dan bagian medial oleh ruang orofaring. Pada permukaan bebas tonsil ditutupi oleh epitel yang meluas ke dalam tonsil membentuk kantong yang dikenal dengan kripte. Epitel kripte tonsil bersifat semipermiabel, sehingga epitel ini berfungsi sebagai akses antigen baik dari pernapasan maupun pencernaan untuk masuk ke dalam tonsil.2,8
Tonsil mendapatkan perdarahan yang baik dengan suplai darah yang berasal dari cabang-cabang arteri karoris eksterna. Arteri tonsilaris memberikan cabang untuk tonsil dan palatum mole serta arteri ini berjalan ke arah atas pada bagian luar otot konstriktor superior. Arteri faringeal asenden memberikan cabanganya ke tonsil
melalui bagian luar otot konstriktor faring superior. Arteri palatina asenden memberikan percabangannya melalui otot konstriktor faring posterior menuju tonsil. Arteri palatina desenden membentuk anastomosis dengan arteri palatina asenden memberikan perdarahan pada tonsil dan palatum mole. Arteri lingualis dorsal naik ke pangkal lidah dan mengirim cabangnya ke tonsil,plika anterior dan plika posterior.2,8
Gambar 1. Perdarahan Tonsil2
Persarafan pada tonsil berasal dari saraf kranialis ke IX (glosofaringeus) dan percabangan desenden dari nervus palatina dan percabangan pada timpani, sehingga dapat ditemukan nyeri alih pada telinga di beberapa kasus tonsillitis. Tonsil bagian atas mendapat sensasi dari serabut saraf ke V melalui ganglion sfenopalatina. Tonsil tidak memiliki pembuluh getah bening aferen, hanya memiliki pembuluh getah bening eferen. Aliran getah bening dari tonsil mengalir menuju rangkaian getah bening servikal profunda bagian superior di bawah otot sternokleidomastoideus.2,8,9 2.2.2 Fisiologi tonsil
Tonsila palatina merupakan jaringan limfoepitel yang berperan dalam mekanisme pertahanan tubuh. Mekanisme pertahanan tubuh dapat bersifat spesifik
dan non spesifik. Bila bakteri patogen masuk menembus lapisan epitel tonsil maka sel-sel fagositik mononuklear akan mengenal dan mengeliminasi antigen. Tonsil memiliki dua fungsi utama yaitu menangkap dan mengumpulkan benda asing dengan efektif dan tempat produksi antibodi yang dihasilkan oleh sel plasma yang berasal dari diferensiasi limfosit B. Limfosit yang paling banyak ditemukan pada tonsil adalah limfosit B. Tonsil berfungsi mematangkan sel limfosit B dan kemudian menyebarkannya ke sel limfosit terstimulus menuju mukosa dan kelanjar sekretori di seluruh tubuh. 2,9
Pada tonsil terdapat sistem imun kompleks yang terdiri atas sel M (sel membran), makrofag, sel dendrit dan APCs (Antigen presenting cells) yang berperan dalam proses transportasi antigen ke sel limfosit sehingga terjadi sintesis immunoglobulin spesifik. Juga terdapat sel limfosit B, limfosit T, sel plasma dan sel pembawa IgG. Aktivitas tonsil paling maksimal antara umur 4-10 tahun. Tonsil mulai mengalami involusi pada saat pubertas, sehingga produksi sel B menurun. Pada tonsilitis berulang terjadi perubahan epitel squamous stratified yang menyebabkan rusaknya afinitas sel imun dan menurunkan fungsi transport antigen yang pada akhirnya dapat menurunkan aktifitas lokal sistem sel B, serta menurunkan produksi antibodi.2,8
2.3 Epidemiologi
Berdasarkan data epidemiologi penyakit THT-KL di tujuh provinsi di Indonesia tahun 1994-1996, tonsilitis kronis memiliki prevalensi tertinggi setelah nasofaringitis akut (4,6%) yaitu sebesar 3,8%. Menurut Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) data morbiditas pada anak yang menderita tonsilitis kronis pada umur 5-14 tahun menempati urutan ke lima (10,5% laki-laki dan 13,7% perempuan). Pada penelitian yang dilakukan di Poli THT-KL Rumah Sakit Serawak, Malaysia selama 1 tahun dijumpai 8.118 pasien dan jumlah penderita tonsilitis kronis menempati urutan ke empat yakni sebanyak 657 (81%) penderita. 1,2,4,5
Data dari RSUD Raden Mattaher Jambi terdapat peningkatan jumlah pendeita tonsilitis kronis yang diindikasikan tonsilektomi pada tahun 2010-2011 yaitu sebanyak 44 orang di tahun 2010 dan 58 orang di tahun 2011. Di Rumah sakit
Fatmawati di dapatkan data bahwa dalam tiga tahun terakhir (2002-2004) menunjukkan kecenderungan kenaikan jumlah operasi tonsilektomi dan penurunan jumlah operasi tonsiloadenoidektomi.1
2.4 Etiologi dan Faktor Risiko Tonsilitis Kronis 2.4.1 Etiologi Tonsilitis Kronis
Peradangan pada tonsil ini dapat disebabkan oleh infeksi baik oleh virus maupun bakteri yaitu infeksi grup A Streptococcus βhemoliticus, Pneumococcus,
Stphylococcus dan Haemofilus influenza, biasanya menyerang anak-anak usia pra sekolah hingga dewasa. Bakteri menyebabkan sekitar 15-30 persen kasus faringotonsilitis dan group A Streptococcus β hemoliticus merupakan bakteri terbanyak. Pada umumnya sama dengan tonsilitis akut tetapi terkadang kuman berubah menjadi kuman golongan gram negatif. Tonsilitis kronis terjadi serangan berulang dari tonsilitis akut yang mengakibatkan kerusakan permanen pada jaringan tonsil atau kerusakan ini juga dapat disebabkan oleh resolusi yang tidak sempurna dari tonsilitis akut.4,5,10
2.4.2 Faktor Risiko Tonsilitis Kronis
Faktor risiko untuk terjadinya tonsilitis kronis antara lain disebabkan oleh iritasi yang bersifat kronis misalnya akibat paparan asap rokok menahun atau makanan, higiene mulut yang buruk, gizi atau daya tahan tubuh yang rendah dan pengaruh cuaca serta pengobatan tonsilitis akut yang tidak adekuat. Pada penelitian yang dilakukan oleh Tunjung Sari tahun 2014 di Klaten didapatkan data bahwa ada hubungan antara kebiasaan makan gorengan dan minum minuman dingin serta higiene mulut yang buruk dengan kejadian tonsilitis pada anak dengan kelompok usia 5-6 tahun.5,11
2.5 Patofisiologi Tonsilitis Kronis
Infeksi pada tonsil terjadi jika antigen baik inhalan ataupun ingestan dengan mudah masuk ke dalam tonsil dan terjadi perlawanan tubuh kemudian terbentuk fokus infeksi. Pada awalnya infeksi bersifat akut yang umumnya disebabkan oleh virus yang tumbuh di membran mukosa kemudian diikuti oleh infeksi bakteri. Jika daya tahan tubuh penderita menurun, maka peradangan tersebut akan bertambah
berat. Setelah terjadi peradangan akut ini, tonsil dapat benar-benar sembuh atau bahkan tidak dapat kembali seperti semula. Penyembuhan yang tidak sempurna ini akan mengakibatkan perdangan berulang pada tonsil. Bila hal ini terjadi maka bakteri patogen akan bersarang di dalam tonsil dan terjadi peradangan yang bersifat kronis.2
Akibat peradangan kronis tersebut, maka ukuran tonsil akan membesar akibat hiperplasia parenkim atau degenerasi fibrinoid dengan obstruksi kripte tonsil. Infeksi yang berulang dan sumbatan pada kripte tonsil akan menyebabkan peningkatan stasis debris maupun antigen di dalam kripte, sehingga memudahkan bakteri masuk dalam parenkim tonsil. Pada tonsilitis kronis akan dapat dijumpai bakteri yang berlipat ganda.2
2.6 Gejala Klinis
Adapun gejala klinis tonsilitis kronis antara lain, nyeri tenggorok berulang yang tidak hilang dengan sempurna. Dalam penelitian yang dilakukan Vivit, dkk tahun 2013 di RSUD Raden Mattaher Jambi, didapatkan keluhan utama pasien tonsilitis kronis adalah nyeri tenggorok 100%. Debris atau bercak keputihan pada yang terdapat pada permukaan tonsil. Halitosis (Bau mulut) yang disebabkan oleh debris yang tertahan di dalam kripte tonsil. Pada penelitian yang dilakukan oleh Khammas AH., dkk tahun 2010 di Poli THT Rumah Sakit Pendidikan Al-Yarmouk halitosis didapatkan sebanyak 56% pasien yang mengalami hipertrofi tonsil. Pada penelitian di Tokyo tahun 2000 juga didapatkan prevalensi halitosis sebanyak 27,5%. Sulit menelan, sleep apnea dan obstruksi saluran napas dapat disebabkan oleh karena pembesaran tonsil yang menutupi saluran napas. Pembesaran kelenjar getah bening pada servikal (jugulodigastric nodes).1,2,10,12
Gambar 2. Tonsilitis Kronis 2.7 Diagnosis Tonsilitis Kronis
Untuk menegakkan diagnosis tonsilitis kronis diperlukan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang. Anamnesis meliputi keluhan utama penderita saat berkunjung ke layanan kesehatan yaitu berupa nyeri tenggorok, lalu keluhan yang dirasakan tersebut bersifat berulang dan tidak menghilang dengan pengobatan yang adekuat. Selain itu pasien juga dapat merasa lemas (malaise), terkadang mengeluh sakit pada sendi.2
2.7.1 Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik akan didapatkan demam, dan pembesaran ukuran tonsil. Ukuran pembesaran tonsil pada tiap penderita dapat berbeda kadang tonsil dapat bertemu di tengah sehingga menimbulkan keluhan gangguan menelan dan kesulitan bernapas. Menurut Brodsky 2006 yang dikutip oleh N.Amalia, bahwa standar untuk pemeriksaan tonsil berdasarkan pemeriksaan fisik diagnostik diklasifikasikan berdasarkan ratio tonsil terhadap orofaring (dari medial ke lateral) yang diukur antara pilar anterior kanan dan kiri. T0: Tonsil terletak pada fosa tonsil, T1: <25%, T2: >25%<50%, T3:>50%<75%, T4: >75%.10,13
Gambar 3. Ukuran Pembesaran Tonsil13
Akan tampak tonsil mengalami peradangan berupa warna kemerahan dan kripte melebar. Selain itu akan dapat ditemukan bercak atau butir berwarna putih kekuningan di dalam kripte tonsil yang dikenal dengan detritus yaitu kumpulan bakteri yang sudah mati dan leukosit. Pembesaran kelenjar getah bening (jugulodigastric nodes) di daerah servikal, bau napas yang tidak sedap (halitosis), tidak nafsu makan. Jika keluhan dan ditemukan gejala klinis di atas maka diagnosis tonsilitis kronis dapat ditegakkan.13
2.7.2 Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan dengan pemeriksaan mikrobiologi yaitu melalui swab permukaan tonsil maupun jaringan inti tonsil. Pemeriksaan sedian swab dengan pewarnaan Ziehl-Nelson atau dengan pemeriksaan biakan dan uji kepekaan. Gold standard pemeriksaan tonsil adalah kultur dari dalam tonsil. Pemeriksaan kultur dari inti tonsil dapat memberikan gambaran penyebab tonsilitis yang lebih akurat karena bakteri yang menginfeksi tonsil adalah bakteri yang masuk ke dalan parenkim tonsil, sedangkan pada permukaan tonsil mengalami kontaminasi dengan flora normal di saluran napas atas sehingga bisa jadi bukan bakteri yang menginfeksi tonsil. Pemeriksaan permukaan tonsil dilakukan sesaat pasien telah dalam narkose dan diswab dengan lidi kapas steril. Pemeriksaan inti tonsil dilakukan dengan mengambil swab sesaat setelah tonsilektomi.2,4,13
Seperti yang dikutip oleh Novialdi, 2011 dari Gaffney bahwa pemeriksaan mikrobiologi inti tonsil dapat dilakukan dengan menggunakan aspirasi jarum halus pada tonsil. Pasien dewasa dilakukan dalam posisi duduk kemudian tonsil dianastesi lokal menggunakan silokain semprot. Pada anak-anak dilakukan dalam narkose umum setelah pengangkatan tonsil.2
Selain pemeriksaan mikrobiologi, pemeriksaan histopatologi juga dikatakan dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis tonsilitis kronis.Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ugras dan Kultuhan di Turkey tahun 2008, bahwa diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan pemeriksaan histopatologi. Menurut penelitan tersebut, terdapat tiga kriteria histopatologi yaitu ditemukan ringan-sedang infiltrasi limfosit, adanya Ugra’s abses dan infiltrasi limfosit yang difus. Kombinasi ketiga kriteria tersebut ditambah temuan histopatologi lainnya dapat dengan jelas menegakkan diagnosis tonsilitis kronis.14
2.8 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan tonsilitis kronis meliputi terapi medikamentosa dan operatif. Terapi ini ditujukan untuk mengatasi higiene mulut yang buruk dengan cara berkumur ataupun pemberian antibiotik. Antibiotik jenis penisilin masih merupakan pilihan pada sebagian besar kasus. Pada kasus yang berulang akan meningkatkan terjadinya perubahan bakteriologi sehingga perlu diberikan antibiotik alternatif selain jenis penisilin. Untuk bakteri penghasil β laktamase perlu antibiotik yang stabil terhadap enzim ini seperti amoksisilin klavulanat.2
Terapi pembedahan pada tonsilitis kronis dilakukan bila terapi konservatif gagal. Tindakan pembedahan ini dikenal dengan tonsilektomi. Indikasi tonsilektomi dahulu dan sekarang tidak berbeda, namun terdapat perbedaan prioritas relatif dalam menentukan indikasi tonsilektomi saat ini. Berdasarkan American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS) indikasi tonsilektomi dikelompokkan menjadi indikasi absolut dan relatif.
1. Indikasi Absolut
a. Pembengkakan tonsil yang menyebabkan ostruksi saluran napas, disfagia berat, gangguan tidur dan komplikasi kardiopulmoner
b. Abses peritonsil yang tidak membaik dengan pengobatan medis dan drainase
c. Tonsilitis yang menimbulkan kejang demam
d. Tonsilitis yang membutuhkan biopsi untuk menentukan patologi anatomi 2. Indikasi Relatif
a. Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil per tahun dengan terapi antibiotik adekuat
b. Halitosis akibat tonsilitis kronis yang tidak membaik dengan pemberian terapi medis
c. Tonsilitis kronis atau berulang pada karier streptokokus yang tidak membaik dengan pemberian antibiotik β-laktamase resisten
Pada keadaan tertentu seperti pada kasus abses peritonsilar, tonsilektomi dapat dilaksanakan bersamaan dengan insisi abses.2,9
Kontraindikasi dari tindakan tonsilektomi yaitu pada gangguan perdarahan, risiko anastesi yang besar atau penyakit berat, anemia, infeksi akut yang berat. Keadaan-keadaan tersebut disebutkan sebagai kontraindikasi tonsilektomi, namun bila sebelumnya dapat diatasi, operasi dapat dilakukan dengan tetap memperhitungkan manfaat dan risiko.9
Laporan operasi tonsilektomi pertama kali dilakukan oleh Celcus pada abad ke-1 Masehi di Roma. Di Indonesia teknik tonsilektomi yang terbanyak digunakan adalah teknik Guillotine dan Diseksi. Tosilektomi dengan cara Guillotine dikenal sebagai teknik yang cepat dan praktis untuk mengangkat tonsil. Hingga saat ini teknik tonsilektomi dengan cara ini masih aman digunakan dan merupakan teknik tonsilektomi tertua. Akan tetapi negara-negara maju sudah jarang yang melakukan cara ini. Teknik kedua yaitu diseksi dan teknik ini merupakan yang terbanyak dilakukan saat ini. Dilakukan dengan memposisikan mouth gag dengan benar, tonsil dijepit dengan forsep dan ditarik ke tengah, lalu dibuat insisi pada membran mukosa, mencari kapsul tonsil, mengangkat dasar tonsil dan mengangkatnya dari fosa hati-hati kemudian dilakukan hemostasis dengan ligasi.9,13
Selain kedua teknik tersebut terdapat beberapa teknik tonsilektomi yang lainnya yaitu: 9,13
1. Electrosurgery (Bedah Listrik)
Teknik bedah listrik yang paling umum adalah monopolar blade, monopolar suction, bipolar, dan prosedur dengan bantuan mikroskop. Bedah listrik merupakan satu-satunya teknik yang dapat melakukan tindakan memotong dan hemostase dalam satu prosedur.
2. Radiofrekuensi
Pada teknik ini, elektroda disisipkan langsung ke jaringan tonsil. Dengan alat ini, jaringan tonsil dapat dibuang seluruhnya, ablasi sebagian atau berkurang volumenya. Penggunaan teknik ini dapat menurunkan morbiditas tonsilektomi. Namun masih diperlukan studi lebih lanjut untuk mengevaluasi keuntungan dari teknik ini.
3. Skalpel harmonik
Menggunakan teknologi ultrasonik untuk memotong dan mengkoagulasikan jaringan dengan kerusakan jaringan minimal. Teknik ini menggunakan suhu yang lebih rendah daripada elektrokauter dan laser. Keuntungan teknik adalah jumlah perdarahan yang tidak banyak dan mengurangi nyeri pasca operasi. Teknik ini juga menguntungkan bagi pasien terutama yang tidak dapat mentoleransi kehilangan darah seperti pasien dengan anemia atau defisiensi faktor VII.
4. Coblation
Teknik ini menggunakan bipolar electrical probe untuk menghasilkan listrik radiofrekuansi baru melalui larutan natrium klorida. Keadaan ini menghasilkan aliran ion sodium yang dapat merusak jaringan sekitar. Teknik ini bermakna mengurangi rasa nyeri, tetapi komplikasi utama adalah perdarahan.
5. Intracapsular partial tonsillectomy
Merupakan tonsilektomi parsial yang dilakukan dengan menggunakan mikrodebrider endoskopi dimana dengan alat ini jaringan tonsil dapat dibersihkan tanpa melukai kapsulnya. Hal ini akan mencegah terjadinya perlukaan jaringn dan mencegah peradangan lokal yang menimbulkan nyeri, sehingga mengurangi nyeri pasca operasi dan mempercepat waktu pemulihan. 6. Laser (CO2-KTP)
Pada teknik ini menggunakan CO2 atau KTP (Potassium Titanyl Phospote) untuk menguapkan dan mengangkat jaringan tonsil.Teknik ini mengurangi volume tonsil dan menghilangkan ‘recesses’ pada tonsil yang menyebabkan infeksi kronik dan rekuren. Teknik ini direkomendasikan untuk tonsillitis kronis, sore throat kronik, halitosis berat atau obstruksi jalan napas yang disebabkan pembesaran tonsil.
2.9Komplikasi
Peradangan kronis pada tonsil ini dapat menimbulkan beberapa komplikasi antara lain:13
a. Abses peritonsilar. Abses ini terjadi karena adanya perluasan infeksi ke kapsul tonsil hingga mengenai jaringan sekitarnya. Pasien akan mengeluhkan demam, nyeri tenggorok, sulit menelan, pembesaran tonsil unilateral, kesulitan membuka mulut (trismus) dan membutuhkan penanganan berupa insisi dan drainase abses, pemberian antibiotik dan tonsilektomi.15Komplikasi ini paling sering terjadi pada kasus tonsilitis berulang.
b. Abses parafaring. Terjadi karena proses supurasi kelenjar getah bening leher bagian dalam, gigi, tonsil, faring, hidung, sinus paranasal dan mastoid.
c. Obstruksi jalan napas atas (Obstructive sleep apnea) biasanya terjadi pada anak-anak, tetapi tidak menutup kemungkinan dapat terjadi pada orang dewasa. Hal ini dapat terjadi jika terdapat pembesaran pada tonsil dan adenoid terutama pada anak-anak, sehingga tonsilektomi dan atau adenoidektomi harus segera dilakukan.15
d. Tonsilolith merupakan perwujudan dari debris epitelial dan dapat ditemukan pada tonsilitis kronis bila kripte diblokade oleh sisa-sisa dari debris. Garam inorganik kalsium dan magnesium tersimpan memicu terbentuknya batu. Batu tersebut lalu membesar secara bertahap, lalu terjadi ulserasi dari tonsil. Tonsilolith ini akan tampak seperti pasir, berwarna putih kekuningan dengan ukuran sekitar 1 cm atau lebih dan berbau tidak sedap.15 Lebih sering ditemukan pada dewasa sebagai rasa tidak nyaman bersifat lokal atau foreign body sensation.
e. Glomerulonefritis. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya infeksi kuman Streptokokus beta hemolitikus grup A pada tonsil dan faring. Seperti yang dikutip oleh N.Amalia, pada penelitian Xie dilaporkan bahwa anti-streptokokal antibodi meningkat pada 43% penderita glomerulonefritis dan 33% diantaranya mendapatkan kuman streptokokus beta hemolitikus grup A pada swab tonsil dan faring sebagai kuman terbanyak.
2.10 Prognosis
Tonsilitis merupakan penyakit yang sering dijumpai dan pada umumnya dapat sembuh dalam waktu beberapa hari dengan pemberian terapi yang tepat. Pemberian atau pemilihan terapi antibiotik dalam penatalaksanaan tonsilitis perlu memperhatikan bakteri penyebab sesuai dengan bukti empiris yang ada, sehingga akan dapat mengurangi resistensi bakteri terhadap antibiotik. Pada beberapa kasus, tonsillitis dapat menjadi sumber infeksi serius seperti glomerulonefritis atau demam rematik. Oleh karena itu diperlukan penanganan yang tepat pada penyakit ini.2,13
BAB III
METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian
Penelitian ini menggunakan rancangan penelitian deskriptif retrospektif dengan mengambil data sekunder dari catatan medis penderita dengan tonsilitis kronis yang telah menjalani tonsilektomi di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari 2014-September 2015.
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan di bagian THT-KL RSUP Sanglah Denpasar dengan rentang waktu penelitian adalah bulan Januari 2014 sampai dengan bulan September tahun 2015.
3.3 Subjek dan Sampel Penelitian 3.3.1 Populasi dan sampel penelitian
Populasi penelitian adalah semua penderita tonsilitis kronis yang telah menjalani tindakan tonsilektomi di RSUP Sanglah Denpasar dari bulan Januari 2014 hingga bulan September 2015.Sampel merupakan total populasi.
3.3.2 Teknik pemilihan sampel
Pengambilan sampel dilakukan dengan cara consecutive sampling yaitu setiap penderita yang memenuhi kriteria inklusi penelitian dimasukkan dalam sampel penelitian.
3.3.3 Kriteria sampel
3.3.3.1 Kriteria Inklusi : penderita yang didiagnosis dengan tonsilitis kronis berdasarkan hasil pemeriksaan klinis dan telah dilakukan tindakan tonsilektomi di RSUP Sanglah Denpasar mulai periode Januari 2014 sampai September 2015.
3.3.3.2 Kriteria Eksklusi : penderita dengan catatan medis tidak lengkap yang meliputi informasi tentang semua variabel yang diteliti.
3.4 Kerangka Konseptual
Umur
Jenis Kelamin
Tonsilitis Pemeriksaan Fisik:
Pekerjaan Kronis ukuran tonsil
Faktor Risiko Indikasi Tonsilektomi :
Keluhan - Relatif
Utama - Absolut
Nyeri Halitosis Malaise Nyeri pada sendi dan
Tenggorok/Nyeri kadang demam
Menelan
3.5 Kerangka Kerja
Distribusi penderita tonsilitis kronis yang telah menjalani tonsilektomi 1. Umur 2. Jenis kelamin Rekam Medis 3. Pekerjaan 4. Keluhan utama 5. Ukuran Tonsil 6. Indikasi tonsilektomi
3.6 Definisi Operasional Variabel
a. Tonsilitis adalah peradangan pada tonsil palatina yang merupakan bagian dari cincin Waldeyer dan dapat bersifat akut maupun kronis.
b. Umur adalah lama hidup yang dihitung dari tahun kelahiran.
c. Jenis kelamin adalah perbedaan bentuk, sifat dan fungsi biologi laki-laki dan perempuan yang menentukan perbedaan peran mereka dalam menyelenggarakan upaya meneruskan garis keturunan.
d. Pekerjaan adalah status pekerjaan pasien yang terdapat pada rekam medis pasien sesuai dengan yang dilakukan pada saat datang ke RS, dapat berupa pelajar, mahasiswa, pegawai negeri sipil (PNS), TNI/Polri, swasta, petani dan tidak bekerja.
e. Keluhan utama adalah keluhan yang membawa pasien datang memperoleh pelayanan medis ke pusat kesehatan. Pada tonsilitis kronis, keluhan utama dapat berupa nyeri tenggorok atau nyeri menelan, halitosis, malaise, sakit pada sendi dan kadang ada demam.
f. Ukuran tonsil adalah pembesaran tonsil akibat peradangan kronis pada tonsil palatina yang didapatkan dari pemeriksaan fisik dan diklasifikasikan berdasarkan ratio tonsil terhadap orofaring (dari medial ke lateral) yang diukur antara pilar anterior kanan dan kiri. T0: Tonsil terletak pada fosa tonsil, T1: <25%, T2: >25%<50%, T3:>50%<75%, T4: >75%.
g. Indikasi tonsilektomi adalah suatu kondisi yang mengakibatkan pasien harus menjalani tonsilektomi. Berdasarkan American Academy of Otolaryngology-Head and Neck Surgery (AAO-HNS) indikasi tonsilektomi dikelompokkan menjadi indikasi absolut dan relatif.
3.7 Cara Pengumpulan Data
Data diambil dari catatan medis penderita yang didiagnosis dengan tonsilitis kronis dan telah dilakukan tindakan tonsilektomi di RSUP Sanglah Denpasar periode Januari tahun 2014 hingga September tahun 2015. Hasil pemeriksaan dicatat dalam lembar pengumpulan data untuk selanjutnya akan dilakukan analisis data.
3.8 Pengolahan Data
Hasil penelitian dianalisis dan disajikan secara deskriptif dalam bentuk tabel dan narasi.
BAB IV
HASIL PENELITIAN 4.1 Hasil Penelitian
Sampel dalam penelitian ini adalah semua penderita tonsilitis kronis yang telah menjalani operasi tonsilektomi di RSUP Sanglah Denpasar pada periode Januari 2014 hingga September 2015 yang dipilih dengan metode Consecutive Sampling. Total sampel dalam penelitian ini berjumlah 17 orang.
4.1.1 Distribusi penderita tonsilitis kronis berdasarkan Umur dan jenis kelamin Berdasarkan tabel dibawah dapat diketahui bahwa penderita tonsilitis kronis yang telah menjalani tindakan tonsilektomi terbanyak adalah pada umur 15-20 tahun yaitu sebanyak 6 orang (35%).
Tabel 4.1 Distribusi penderita tonsilitis krinis berdasarkan Umur
Umur (Tahun) Jumlah (N) Persentase (%)
15-20 6 35 21-25 5 29 26-30 4 24 31-35 1 6 >35 1 6 Total 17 100
Jika dilihat berdasarkan jenis kelamin maka yang terbanyak menjalani tonsilektomi adalah perempuan yaitu sebanyak 13 orang (76%).
Tabel 4.2 Distribusi penderita tonsilitis kronis berdasarkan jenis kelamin
Jenis Kelamin Jumlah (N) Persentase (%) Perempuan 13 76 Laki-laki 4 24 Total 17 100
4.1.2 Distribusi penderita tonsilitis kronis berdasarkan Pekerjaan
Pada tabel di bawah ini dapat diketahui bahwa penderita tonsilitis kronis yang telah menjalani tonsilektomi paling banyak berprofesi sebagai pelajar yaitu sebanyak 6 orang (35%).
Tabel 4.3 Distribusi Penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan Pekerjaan
Pekerjaan Jumlah (N) Persentase (%)
Pelajar 6 35 Mahasiswa 4 23 PNS 3 18 Swasta 3 18 IRT 1 6 Total 17 100
4.1.3 Distribusi berdasarkan Keluhan Utama
Pada penelitian ini diketahui bahwa keluhan utama pasien dengan tonsilitis kronis yang telah dilakukan tonsilektomi adalah nyeri pada tenggorok atau sakit pada saat menelan yaitu sebanyak 17 orang (100 %)
Tabel 4.4 Distribusi Penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan Keluhan Utama
Keluhan Utama Jumlah (N) Persentase (%)
Nyeri tenggorok atau sakit saat menelan 17 100
Halitosis 0 0
Malaise 0 0
Sakit pada sendi dan kadang disertai 0 0
demam
Total 17 100
4.1.4 Distribusi penderita tonsilitis kronis berdasarkan indikasi tonsilektomi Indikasi tonsilektomi pada penerita tonsilitis kronis ada dua yaitu indikasi absolut dan indikasi relatif. Berikut adalah distribusinya yang diperoleh dari 17 sampel penelitian.
4.1.4.1 Distribusi penderita tonsilitis kronis berdasarkan indikasi absolut
Berdasarkan tabel di bawah ini diketahui bahwa penderita tonsilitis kronis yang telah menjalani tonsilektomi berdasarkan indikasi absolut yang terbanyak adalah pembesaran tonsil yang menyebabkan obstruksi saluran napas, disfagia berat, sleep apnea yaitu sebanyak 2 orang (11,76 %).
Tabel 4.5 Distribusi Penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan indikasi absolut
Indikasi absolut Jumlah (N) Persentase (%)
Pembesaran tonsil yang menyebabkan 2 11,76
obstruksi saluran napas, disfagia berat,
sleep apnea
Abses peritonsil yang tidak baik dengan 0 0
pengobatan medis dan drainase
Tonsilitis yang timbulkan kejang demam 0 0
Hipertrofi tonsil unilateral yang 0 0
membutuhkan biopsi
Total 2 11,76
4.1.4.2Distribusi penderita tonsilitis kronis berdasarkan indikasi relatif Berdasarkan tabel di bawah ini diketahui bahwa penderita tonsilitis kronis yang telah menjalani tonsilektomi berdasarkan indikasi relatif yang terbanyak adalah terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil pertahun dengan terapi antibiotik adekuat yaitu sebanyak 15 orang (88,24 %).
Tabel 4.6 Distribusi Penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan indikasi relatif
Indikasi relatif Jumlah (N) Persentase (%)
Terjadi 3 episode atau lebih infeksi tonsil 15 88,24 pertahun dengan terapi antibiotik adekuat
Halitosis 0 0
Tonsilitis kronis berulang pada karier 0 0
streptokokus yang tidak baik dengan terapi antibiotik
Total 15 88,24
4.1.5 Distribusi penderita tonsilitis kronis berdasarkan ukuran tonsil
Berdasarkan tabel di bawah ini diketahui bahwa penderita tonsilitis kronis yang telah menjalani tonsilektomi berdasarkan ukuran tonsil terbanyak adalah dengan ukuran tonsil T3: > 50% < 75% yaitu sebanyak 10 orang (59%).
Tabel 4.7 Distribusi Penderita Tonsilitis Kronis berdasarkan Ukuran tonsil
Ukuran tonsil Jumlah (N) Persentase (%)
T0: Tonsil terletak pada fosa tonsil 0 0
T1: < 25% 0 0 T2: >25%< 50% 5 29 T3: >50%< 75% 10 59 T4: > 75% 2 12 Total 17 100
BAB V PEMBAHASAN
Pada penelitian yang telah dilakukan, distribusi penderita tonsilitis kronis yang telah menjalani tosilektomi berdasarkan umur paling banyak yaitu pada umur antara 15-20 tahun sebanyak 6 orang (35%). Hasil penelitian ini berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Sapitri V. (2013) di RSUD Raden Mattaher Jambi yang mendapatkan distribusi terbanyak pada umur 5-14 tahun. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Palandeng ACT.,dkk (2012) di RSUP Prof. DR.R.D. Kandou Manado yang mendapatkan distribusi terbanyak berada pada kelompok umur 5-14 tahun (25,9%). Berdasarkan data ini, terdapat perbedaan kelompok umur distribusi pasien tonsilitis kronis yang telah menjalani tonsilektomi di RSUP Sanglah Denpasar. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh pola kunjungan pasien yang datang berobat ke RSUP Sanglah Denpasar berada pada kelompok umur tersebut.