• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENJALARAN ITCZ DI WILAYAH INDONESIA BERDASARKAN DATA SATELIT TRMM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENJALARAN ITCZ DI WILAYAH INDONESIA BERDASARKAN DATA SATELIT TRMM"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PENJALARAN ITCZ DI WILAYAH INDONESIA BERDASARKAN

DATA SATELIT TRMM

Pamungkas Irjayanti, Widada Sulistya, Amsari M. Setiawan

Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (STMKG), Tangerang Selatan E-mail : irjayanti.pamungkas@gmail.com

Abstrak

ITCZ memiliki peran penting bagi kondisi dinamis di wilayah tropis, termasuk Indonesia. Kondisi yang sering dikaitkan dengan ITCZ adalah curah hujan yang memiliki dampak langsung bagi kepentingan manusia. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kriteria curah hujan untuk mengidentifikasi ITCZ dan penjalarannya di wilayah Indonesia. Data yang digunakan adalah data curah hujan satelit TRMM harian tipe 3B42 V7 derived selama 15 tahun dari 1 Januari 1999 sampai 31 Desember 2013. Metode yang digunakan adalah analisis spasial deskriptif wilayah yang memiliki curah hujan maksimum memanjang dari barat sampai timur. Hasil penelitian menunjukkan bahwa didapatkan kriteria curah hujan yang paling baik untuk mengidentifikasi ITCZ adalah 50 mm/dasarian. Bentangan ITCZ paling lebar terjadi pada dasarian Juli III dan paling sempit terjadi pada bulan April III. ITCZ di Indonesia memiliki pola penjalaran mengikuti siklus pergerakan semu matahari. Pada wilayah kajian Indonesia bagian barat menunjukkan penjalaran ITCZ paling jauh berada di daratan BBU (Cina Selatan) sedangkan pada wilayah kajian Indonesia bagian timur menunjukkan penjalaran ITCZ paling jauh berada di daratan BBS (Australia).

Kata Kunci : Penjalaran ITCZ, data satelit TRMM, curah hujan

Abstract

ITCZ has an important role for dynamic conditions in the tropics, including Indonesia. Conditions which are often associated with the ITCZ is rainfall which has a direct impact for the benefit of human. Therefore, this study aims to determine the criteria for identifying ITCZ rainfall and its propagation in Indonesia. This research use daily TRMM 3B42-type V7 derived satellite data, during 15 years periode from January 1st, 1999 until December 31st, 2013. This research use descriptive spatial analysis area method that has a maximum rainfall extends eastward. The result shows that the best criteria of rainfall for identifying ITCZ is 50 mm/ten days. The largest band of ITCZ occurred on July III and the narrowest occurred on April III. ITCZ propagation pattern in Indonesia follow the cyclical artificial movement of the Sun. The furthest ITCZ propagation in the Western Indonesia is in the mainland Northern Hemisphere (South China), while the furthest propagation in the Eastern Indonesia is in the mainland of Southern Hemisphere (Australia).

(2)

I. PENDAHULUAN

Intertropical Convergence Zone (ITCZ) memiliki peran penting dalam proses dinamika atmosfer, khususnya bagi wilayah tropis. Wilayah Indonesia juga tidak luput dari faktor penentu dalam skala regional yaitu pergerakan ITCZ (Wirjohamidjojo dan Swarinoto, 2010). Informasi mengenai penjalaran ITCZ diperlukan oleh masing-masing wilayah tropis karena pengaruhya tidak selalu sama terhadap kondisi dinamis. Kondisi cuaca yang sering dikaitkan dengan ITCZ adalah pertumbuhan awan-awan konvektif, curah hujan tropis dan badai yang memiliki dampak langsung bagi kesehatan dan kesejahteraan manusia di seluruh dunia (Scoot, 2013).

Di wilayah Indonesia, kajian klimatologi ITCZ masih jarang dilakukan. Dalam penelitian ini penulis akan membahas mengenai penjalaran ITCZ berdasarkan curah hujan dengan menggunakan data satelit Tropical Rainfall Measuring Mission (TRMM) di Indonesia. Hal ini dilakukan karena data satelit TRMM dapat lebih memberikan informasi mengenai curah hujan mengingat bahwa ITCZ berkaitan dengan terjadinya hujan lebat.

Masalah yang dibahas adalah tentang berapa batasan nilai intensitas curah hujan berdasarkan data satelit TRMM dan bagaimana penjalaran ITCZ di Indonesia. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui batasan nilai intensitas curah hujan data satelit TRMM dan mengetahui pola penjalaran ITCZ.

Definisi umum ITCZ menurut Mc Gregor dan Nieuwolt (1998) yaitu sabuk lebar yang memiliki sifat tekanan rendah, pergerakan udara yang naik, dan massa udara yang bertemu. Selain itu, definisi tentang ITCZ berdasarkan tekanan udara yaitu garis atau zona yang berkaitan dengan pusat siklonal yang memiliki tekanan udara sangat rendah dari daerah sekitarnya (NOAA).

Berdasarkan awan, ITCZ ditunjukkan dengan pita awan dan hujan yang mengelilingi Bumi dan memanjang dari barat ke timur (Holton et.al, 1971).

Data hujan yang dihasilkan oleh TRMM memiliki tipe dan bentuk yang cukup beragam . Level 1 merupakan data yang masih dalam bentuk raw (mentah), telah dikalibrasi dan dikoreksi geometric. Level 2 merupakan data yang telah memiliki gambaran parameter geofisik hujan pada resolusi spasial yang sama akan tetapi masih dalam kondisi asli keadaan hujan saat satelit tersebut melewati daerah yang direkam. Level 3 merupakan data yang telah memiliki nilai-nilai hujan, khususnya kondisi hujan bulanan yang merupakan penggabungan dari kondisi hujan dari level 2. Data hujan dalam bentuk millimeter sebaiknya menggunakan level 3 (Feidas dalam Andarino 2014). Tujuan dari algoritma data 3B42 adalah untuk menghasilkan data TRMM yang berkualitas tinggi, yaitu dengan menggabungkan antara nilai pengamatan presipitasi dengan gelombang inframerah (IR) dan estimasi Root Mean Square Error (RMSE). TRMM derived mempunyai 2 jenis produk berdasarkan skala temporalnya, yakni data tiap tiga jam dan data bulanan. data harian diturunkan dari data tiap tiga jam. TRMM 3B42 dan 3B43 derived didapat dua bulan setelah bulan yang bersangkutan berakhir. hal ini terjadi karena data TRMM derived didapat dengan membandingkan hasil pendugaan TRMM dengan data GPCC level 3. Data GPCC pada dasarnya merupakan data pendugaan yang didapat dengan mengolah data observasi di lapangan

(Huffman dan Bolvin, 2014).

Identifikasi ITCZ dilakukan dengan asumsi bahwa wilayah ITCZ merupakan wilayah yang salah satunya dicirikan dengan curah hujan sangat besar yang dihasilkan oleh awan-awan konvektif. Sehingga curah hujan yang

(3)

terukur dalam data satelit TRMM merupakan curah hujan yang terjadi akibat awan-awan konvektif. Selain itu, identifikasi ITCZ juga berdasarkan deretan curah hujan maksimum dari data satelit TRMM yang memanjang dari barat ke timur (Yulihastin dan Trismidianto, 2012).

II. DATA DAN METODE

Data yang digunakan adalah data curah hujan harian tipe 3B42 V7 derived selama 15 tahun dari 1 Januari 1999 sampai 31 Desember 2013 dengan satuan millimeter (mm). Wilayah penelitian terletak pada koordinat 40o LU - 40o LS dan 80o BT - 160o BT.

Gambar 2.1 Wilayah Penelitian Dalam penelitian ini menggunakan data yang terdiri dari 2 bentuk, yaitu format *.txt dan netCDF (*.nc). Software yang digunakan adalah software Microsoft Excel 2010 untuk pengolahan data, software ArcView 3.3 untuk analisis spasial, MATLAB R2014a untuk mengubah eksistensi data *.txt menjadi *.nc, dan GrADS untuk pemetaan penjalaran ITCZ. Diagram alir langkah kerja penelitian ini dalam mengolah dan menganalisis data ditunjukkan pada gambar di bawah ini :

Data TRMM Harian

Start

Data TRMM Dasarian

Rata-Rata TRMM Tiap Dasarian

Analisa Spasial Data TRMM

Penentuan Posisi ITCZ Dasarian 1 sampai Dasarian 36

Penentuan Penjalaran ITCZ

END

Analisa Spasial ITCZ Ya

Grafik Hovmoller Penjalaran ITCZ Peta Posisi ITCZ

Batasan Nilai Intensitas Curah Hujan Data Satelit TRMM

Menunjukkan Identifikasi ITCZ

Paling Jelas

Modifikasi Nilai Batasan Jumlah Curah Hujan perdasarian (25 mm, 50 mm, 75 mm, 100 mm dan 125 mm)

Tidak

Gambar 2.2 : Diagram alir III. HASIL DAN PEMBAHASAN a. Distribusi Bulanan ITCZ

Berdasarkan metode pengolahan data yang telah dilakukan maka diperoleh hasil berupa distribusi sebaran curah hujan dasarian 1 hingga 36. Distribusi curah hujan merupakan distribusi bulanan ITCZ yang diwakili oleh satu dasarian dari tiga dasarian tiap bulannya. Dalam pembahasan ini, penulis akan membahas 4 bulan distribusi bulanan ITCZ yaitu saat berada paling selatan ekuator, yaitu bulan Januari, saat berada di ekuator yaitu bulan April dan Oktober dan saat berada paling utara ekuator yaitu bulan Juli. Pada distribusi ITCZ bulanan akan didapatkan peta posisi ITCZ.

(4)

Gambar 3.1 : Peta Posisi ITCZ bulan Januari (Dasarian ke 3)

Gambar 3.1 menunjukkan distribusi intensitas curah hujan yang tersebar dan tidak semua wilayah memiliki intensitas curah hujan yang sama pada dasarian ke 3 (Januari III). Wilayah-wilayah yang memiliki curah hujan dasarian di atas 50 mm berada di antara 16oLU hingga 24oLS meliputi Malaysia, Singapura, Samudra Pasifik bagian barat hingga Filiphina bagian timur, Papua New Guinea, Australia bagian utara dan hampir seluruh wilayah Indonesia kecuali Sulawesi Tengah bagian selatan, Maluku bagian selatan dan Nusa Tenggara Timur bagian timur.

Wilayah yang memiliki curah hujan dasarian di atas 75 mm berada di antara 12oLU hingga 22oLS meliputi Singapura, Malaysia, Brunei Darussalam, Samudra Pasifik bagian barat hingga Filiphina bagian Selatan, Papua New Guinea bagian tengah, Australia bagian utara, Samudra Hindia bagian timur hingga Pulau Sumatra kecuali bagian utara, Kalimantan kecuali bagian timur, Jawa, Sulawesi kecuali bagian tengah dan selatan, Bali, Nusa Tenggara kecuali bagian timur, Maluku, Maluku Utara dan Papua.

Wilayah yang memiliki curah hujan dasarian di atas 100 mm berada di antara 10oLU hingga 21oLS meliputi Samudra Hindia bagian barat, Singapura bagian selatan, Malaysia bagian

Serawak, Brunei Darussalam bagian selatan, Filiphina bagian selatan, Papua New Guinea bagian timur, Autralia bagian utara. dan beberapa wilayah di Indonesia antara lain Pesisir barat Pulau Sumatra hingga selatan, Jawa, Kalimantan bagian barat hingga Sulawesi Tengah, Bali, Nusa Tenggara bagian barat, Maluku dan Papua bagian selatan.

Wilayah yang memiliki curah hujan dasarian di atas 125 mm berada di antara 9oLU hingga 21oLS yang terlihat mulai terpecah. Wilayah-wilayah ini meliputi Malaysia bagian Serawak, Filiphina bagian Selatan, Papua New Guinea bagian tengah, sebagian kecil Australia bagian utara dan beberapa wilayah Indonesia yaitu Sumatra bagian Selatan, Jawa, Kalimantan bagian barat, Selat Makassar, Sulawesi Tengah, dan Papua bagian Tengah.

Gambar 3.2 : Peta Posisi ITCZ bulan April (Dasarian ke 12)

Berdasarkan pada Gambar 3.2 di atas terlihat curah hujan yang menyebar dan tidak semua wilayah memiliki intensitas curah hujan yang sama. Wilayah-wilayah yang memiliki curah hujan dasarian di atas 50 mm berada di antara 18oLU hingga 17oLS meliputi Samudra Hindia bagian timur, Malaysia bagian Sabah dan Serawak, Singapura, Brunei Darussalam, Thailand bagian barat, Brunei Darussalam, Samudra Pasifik bagian barat hingga Filiphina

(5)

bagian timur, Papua New Guinea dan hampir seluruh wilayah Indonesia kecuali Jawa Timur, Bali, sebagian kecil Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara, Maluku bagian selatan.

Wilayah yang memiliki curah hujan dasarian di atas 75 mm berada di antara 11oLU hingga 12oLS meliputi Sri Lanka bagian selatan, Samudra Hindia bagian timur, Malaysia bagian Sabah dan Serawak, Singapura, Thailand bagian barat, Brunei Darussalam, Samudra Pasifik bagian barat hingga utara Papua, Filiphina bagian barat, Papua New Guinea bagian tengah dan beberapa wilayah Indonesia yaitu Pulau Sumatra kecuali bagian utara dan selatan, Jawa bagian barat, Kalimantan, Sulawesi kecuali bagian tengah, Maluku Utara dan Papua.

Wilayah yang memiliki curah hujan dasarian di atas 100 mm berada di antara 9oLU hingga 12oLS dan terlihat curah hujannya hanya di wilayah yang lebih kecil. Wilayah tersebut meliputi Malaysia bagian Serawak, Brunei Darussalam bagian barat, Filiphina bagian timur, Papua New Guinea bagian tengah, dan beberapa wilayah di Indonesia antara lain Pesisir barat Pulau Sumatra, Kalimantan bagian barat, Sulawesi Selatan hingga Tenggara, Papua kecuali bagian utara.

Wilayah yang memiliki curah hujan dasarian di atas 125 mm berada di antara 6oLU hingga 11oLS yang terlihat luasan wilayahnya semakin kecil. Wilayah-wilayah ini antara lain Malaysia bagian Serawak dan Papua New Guinea bagian tengah. Wilayah Indonesia terjadi pada Aceh bagian barat, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Papua bagian tengah.

Gambar 3.3 : Peta Posisi ITCZ bulan Juli (Dasarian ke 21)

Distribusi intensitas curah hujan pada Gambar 3.3 terkonsentrasi pada utara ekuator. Wilayah-wilayah yang memiliki curah hujan dasarian di atas 50 mm berada di antara 32oLU hingga 13oLS meliputi Nepal hingga Malaysia, Samudra Pasifik bagian barat hingga Cina bagian selatan, Laos hingga Vietnam kecuali bagian timur, Singapura, Brunei Darussalam, Papua New Guinea kecuali bagian selatan. Terdapat juga di wilayah Indonesia kecuali Sumatra bagian utara dan selatan, Jawa, Kalimantan bagian timur, Sulawesi bagian utara dan selatan, Bali, Nusa Tenggara, Maluku bagian tengah dan Papua bagian selatan.

Wilayah yang memiliki curah hujan dasarian di atas 75 mm berada di antara 31oLU hingga 12oLS meliputi Thailand hingga Nepal, Laos hingga Vietnam, Samudra Pasifik hingga Cina bagian selatan, Malaysia, Papua New Guinea kecuali bagian utara dan beberapa wilayah Indonesia yaitu Sumatra Utara, Kalimantan bagian barat, Selatan Makassa bagian Barat, Sulawesi Tengah, Maluku dan Papua kecuali bagian selatan.

Wilayah yang memiliki curah hujan dasarian di atas 100 mm berada di antara 30oLU hingga 10oLS meliputi Myanmar hingga Nepal, Laos hingga Vietnam bagian barat, Samudra Pasifik hingga Filiphina kecuali bagian tengah,

(6)

Papua New Guinea bagian tengah. Pada wilayah Indonesia hanya terdapat pada beberapa wilayah yaitu Pesisir Barat Sumatra, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, Maluku bagian selatan dan Papua bagian tengah.

Wilayah dengan curah hujan dasarian di atas 125 mm berada di antara 28oLU hingga 8oLS tidak jauh berbeda dengan curah hujan sebelumnya. Namun pada intensitas ini wilayahnya semakin sempit khususnya wilayah di Indonesia. Wilayahnya antara lain Sulawesi Tengah, Papua Barat dan Papua bagian tengah.

Gambar 3.4 : Peta Posisi ITCZ bulan Oktober (Dasarian ke 30)

Berdasarkan Gambar 3.4 menggambarkan distribusi sebaran curah hujan dominan terletak di sekitar ekuator dan terdapat beberapa intensitas curah hujan yang tersebar. Wilayah-wilayah yang memiliki curah hujan dasarian di atas 50 mm berada di antara 22oLU hingga 14oLS meliputi Teluk Benggala hingga Myanmar bagian barat, Thailand bagian selatan, Kamboja hingga Vietnam bagian timur, Samudra Hindia bagian barat, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Samudra Pasifik hingga Filiphina dan Papua New Guinea. Wilayah Indonesia yang tidak termasuk kategori ini antara lain Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi Selatan, Maluku dan Papua bagian selatan.

Wilayah dengan curah hujan di atas 75 mm perdasarian berada di antara 20oLU hingga 12oLS meliputi Teluk Benggala bagian timur hingga Thailand bagian selatan, Vietnam bagian timur sampai Filiphina, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Samudra Pasifik bagian selatan dan Papua New Guinea bagian tengah. Wilayah Indonesia yaitu Sumatra kecuali Aceh bagian utara, Jawa Timur, Selat Malaka, Kalimantan kecuali bagian timur, Selat Makassar, Sulawesi kecuali bagian tengah dan Papua kecuali bagian utara.

Wilayah yang memiliki curah hujan dasarian di atas 100 mm berada di antara 18oLU hingga 9oLS meliputi Samudra Hindia bagian barat, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Vietnam bagian timur, Filiphina bagian timur, Papua New Guinea bagian tengah. Wilayah Indonesia di dominasi pada bagian barat Indonesia kecuali Aceh bagian utara, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi, Maluku, Bali, Nusa Tenggara dan Papua bagian utara.

Wilayah curah hujan dasarian di atas 125 mm berada di antara 18oLU hingga 8oLS memiliki wilayah yang semakin kecil di banding intensitas lainnya. Wilayah-wilayah ini antara lain Teluk Benggala bagian barat, Laut Cina Selatan, Selat Malaka, Malaysia bagian Serawak, Brunei Darussalam bagian utara dan Papua New Guinea bagian barat. Di wilayah Indonesia di dominasi pada bagian barat Indonesia antara lain Sumatra kecuali bagian tengah, Jawa bagian selatan, Kalimantan Barat, Papua bagian tengah dan selatan.

Mencermati hasil distribusi bulanan ITCZ secara spasial pada empat bulan di atas, maka dapat disampaikan bahwa intensitas curah hujan 50 mm/dasarian menghasilkan distribusi curah hujan yang secara umum memanjang dari barat ke timur dan terlihat lebih jelas. Sementara itu, intensitas curah hujan di atas 75

(7)

mm/dasarian menunjukkan hasil wilayah distribusi curah hujan yang lebih sempit daripada intensitas sebelumnya dan terputus-putus pada beberapa wilayah. Intensitas curah hujan di atas 100 mm/dasarian menghasilkan daerah-daerah pada intensitas ini yang lebih tersebar. Demikian juga yang terjadi pada intensitas curah hujan di atas 125 mm/dasarian menghasilkan wilayah-wilayah memiliki sebaran ini lebih mengelompok dan semakin kecil.

Berdasarkan uraian di atas dapat dijelaskan kriteria intensitas curah hujan yang paling baik untuk mengidentifikasi ITCZ di wilayah Indonesia yang diwakili oleh bulan Januari, April, Juli dan Oktober adalah curah hujan yaitu 50 mm/dasarian. Intensitas lain kurang tepat untuk mengidentifikasi ITCZ karena curah hujan yang terjadi cenderung tidak memanjang dari barat ke timur dan terputus-putus pada beberapa wilayah.

Posisi ITCZ saat berada di utara, ekuator, maupun selatan ekuator mempengaruhi curah hujan di wilayah Indonesia. Posisi ITCZ berada paling selatan ekuator saat Januari III. Pada bulan ini, wilayah Indonesia umumnya mengalami puncak musim hujan. Beberapa daerah memiliki intensitas curah hujan yang tinggi. Wilayah Indonesia bagian barat saat ITCZ berada paling selatan ekuator, cenderung mendapatkan intensitas curah hujan tertinggi selama periode musim hujan. Begitupula pada wilayah Indonesia bagian tengah secara umum memiliki curah hujan tinggi. Namun, wilayah Indonesia bagian timur terdapat beberapa wilayah yang berkebalikan dengan kondisi wilayah barat dan tengah Indonesia yaitu curah hujan yang terjadi cenderung lebih rendah selama periode tersebut. Berdasarkan analisis ketiga wilayah Indonesia tersebut, intensitas curah hujan tertinggi saat ITCZ berada paling selatan ekuator terjadi pada

Indonesia bagian barat dan Indonesia bagian tengah.

ITCZ melewati wilayah ekuator sebanyak dua kali. Pada April III merupakan waktu ITCZ berada di bagian ekuator yang bergerak dari BBS menuju BBU. Curah hujan di wilayah Indonesia bagian barat mulai berkurang mengingat dasarian April III adalah periode transisi musim hujan ke musim kemarau. Intensitas curah hujan di Indonesia bagian tengah juga berkurang dibandingkan dengan dasarian berikutnya.

Posisi ITCZ paling utara terjadi pada Juli III. Pada curah hujan ini lebih banyak terjadi pada wilayah-wilayah bumi bagian utara. Secara umum, dasarian Juli III adalah periode musim kemarau di Indonesia. Intensitas curah hujan bagian barat Indonesia semakin berkurang jika dibandingkan ketika ITCZ berada di utara. Pada daerah Indonesia bagian tengah intensitas curah hujan berkurang namun luas wilayah berkurangnya curah hujan tidak seluas Indonesia bagian barat. Sebaliknya, Indonesia bagian timur memiliki intensitas curah hujan lebih tinggi pada saat ITCZ di wilayah ini.

Ekuator kembali dilewati oleh ITCZ pada Oktober III saat ITCZ bergerak dari BBU menuju ke BBS. Secara garis besar, saat Oktober III Indonesia masuk periode musim hujan. Peningkatan curah hujan umumnya terjadi di wilayah Indonesia bagian barat. Pada bagian tengah Indonesia intensitas curah hujan meningkat dibanding ketika ITCZ berada di utara ekuator meskipun peningkatan curah hujan yang terjadi tidak sebanyak wilayah Indonesia bagian barat. Intensitas curah hujan bagian timur Indonesia menurun ketika ITCZ berada di ekuator dibanding ketika posisi ITCZ berada di utara ekuator.

(8)

b. Penjalaran ITCZ Indonesia

Penjalaran ITCZ di wilayah Indonesia ditampilkan dalam grafik Hovmoller dengan menggunakan wilayah bujur 80oBT – 160oBT. Penjalaran ITCZ dilihat berdasarkan curah hujan pada intensitas 50 mm/dasarian ditandai dengan warna orange. Hasil penjalarannya adalah sebagai berikut :

Gambar 3.5 : Grafik Hovmoller Penjalaran ITCZ Indonesia

Pada Gambar 3.5 di atas nampak bahwa ITCZ menjalar dari utara ke selatan. Penjalaran ITCZ selama 36 dasarian berada di sekitar 30oLU - 18oLS. ITCZ berada diposisi sekitar ekuator pada Oktober III. kemudian menjalar ke selatan ekuator. Selanjutnya, ITCZ berada paling jauh di Belahan Bumi Selatan (BBS) pada dasarian Januari III hingga mencapai 18o LS. ITCZ bertahan pada wilayah tersebut selama periode Januari III sampai Maret II. Kemudian Maret III ITCZ mulai bergerak ke arah utara dan berada di atas ekuator pada April III. Selanjutnya, ITCZ terus bergerak ke arah utara ekuator. ITCZ berada paling jauh di Belahan Bumi Utara (BBU) pada Juli III hingga mencapai 30oLU. ITCZ kembali bergerak ke selatan pada lintang 29oLU saat Agustus I. Kondisi ini bertahan hingga Agustus III. ITCZ menjalar kembali ke selatan menuju ekuator pada periode September I hingga Oktober III.

Di dalam penjalaran ITCZ di atas, dapat juga dlihat beberapa penjalaran intensitas curah hujan lainnya. Penjalaran pada intensitas curah hujan di atas 75 mm/dasarian terjadi di cakupan wilayah 24oLU - 14oLS dan menjalar selama 36 dasarian. Namun, ada beberapa wilayah yang tidak mengalami penjalaran intensitas tersebut pada periode tertentu. Penjalaran dari utara pada lintang 19oLU ke selatan ekuator hingga 14oLS periode Oktober I sampai dengan Februari III. Kemudian menjalar ke utara hingga mencapai 24oLU pada periode Mei III sampai Agustus II. Selanjutnya menjalar kembali 4o ke selatan mulai Agustus III hingga September III.

Penjalaran pada intensitas curah hujan di atas 100 mm/dasarian berada di selatan ekuator 5oLU – 10oLS dan bertahan pada wilayah ini mulai Desember III hingga Februari I. Penjalaran juga terjadi di utara ekuator pada lintang 22oLU menjalar ke selatan hingga 10oLU pada periode Juli I hingga September III. Curah hujan di atas 125 mm/dasarian bertahan di selatan ekuator 5oLS – 6oLS selama Desember II hingga Januari I.

Berdasarkan proses pemanasan bumi oleh matahari, daratan cenderung lebih cepat panas dari lautan di siang hari. Ketika terjadi perbedaan panas tersebut angin akan masuk ke daratan dari lautan. Proses pemanasan menyebabkan menguapnya air laut ke atmosfer. Karena angin cenderung bergerak ke daratan maka uap air dipindahkan dari atmosfer laut menuju atmosfer daratan. Inilah yang menyebabkan curah hujan banyak terjadi di wilayah BBU dibandingkan BBS karena daratan di BBU lebih banyak dibandingkan BBS.

(9)

IV. KESIMPULAN

Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Batasan nilai intensitas curah hujan 50 mm/dasarian menunjukkan hasil yang paling baik dalam mengidentifikasi ITCZ di wilayah Indonesia.

2. Bentangan ITCZ paling lebar terjadi pada dasarian Juli III dan paling sempit terjadi pada dasarian April III.

3. ITCZ di Indonesia memiliki pola penjalaran mengikuti siklus pergerakan semu matahari

V. DAFTAR PUSTAKA

Andarino, Bastian. 2014. Penentuan Metode Pendugaan Data Satelit TRMM Di Nusa Tenggara Barat. Skripsi Program Diploma IV. Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. Jakarta

Gregor, Mc and Nieuwolt. 1998. Tropical Climatologi. John Wiley & Sons. USA

Holton, J R, Wallace, J M, Young, J A. 1971. On Boundary Layer Dynamics and The ITCZ. University oh Washington. USA

Huffman, G.J., Bolvin, D.T. 2014. Mesoscale Atmospheric Processes Laboratory, NASA Goddard Space Flight Center. Science Systems and Applications, Inc

Scott, Anna Ailene. 2013. The Intertropical Convergence Zone Over The Middle East And North Africa : Detection and Trends. King Abdullah University of Science and

Technology, Thuwal. Kingdom of Saudi Arabia Wirjohamidjojo, Soerjadi dan Yunus

Swarinoto. 2010. Iklim Kawasan Indonesia (Dari Aspek Dinamik-Sinoptik). BMKG. Jakarta

Yulihastin, Erma dan Trismidianto. 2012. ITCZ Ganda Dan Pengaruhnya Terhadap Presipitasi Di Benua Maritim Indonesia. LAPAN. Bandung

http://gdata1.sci.gsfc.nasa.gov di akses tanggal 31 Maret 2015

Gambar

Gambar 2.1 Wilayah Penelitian  Dalam  penelitian  ini    menggunakan  data  yang  terdiri  dari  2  bentuk,  yaitu  format  *.txt  dan  netCDF  (*.nc)
Gambar  3.1  :  Peta  Posisi  ITCZ  bulan  Januari (Dasarian ke 3)
Gambar 3.3 : Peta Posisi ITCZ bulan Juli  (Dasarian ke 21)
Gambar  3.4  :  Peta  Posisi  ITCZ  bulan  Oktober (Dasarian ke 30)
+2

Referensi

Dokumen terkait

8in+al meru,akan organ yang memiliki ,eran uku, besar dalam mengatur  kebutuhan airan dan elektrolit. Hal ini terlibat ,ada 5ungsi gin+al4 yaitu sebagai  ,engatur air4 ,engatur

Profil pasien psoriasis vulgaris di poliklinik kulit dan kelamin.

Gambar 7 menunjukan kondisi pasang perbani pada saat angin timur yang masing-masing terjadi pada tanggal 12 Juli 2006 dengan beberapa kondisi yaitu surut menuju pasang yang terjadi

1. Metode Penulisan Sejarah kitab Mukhtasar al-Mufid fi Ilmi al-Tarikh Penulisan naskah kitab Muktasar al-Mufid fi Ilmi al-Tarikh terdiri dari 3 bagian, 70 yaitu berupa

Penelitian dilatarbelakangi oleh kurangnya disiplin belajar pada pembelajaran mata kuliah praktik Program Studi Pendidikan Kesejahteraan Keluarga Keahlian Tata Busana

Capaian Pembelajaran : Mahasiswa mampu mempresentasikan karya produksi siaran televisi yang berorientasi pada pengembangan sumberdaya perdesaan dan kearfian lokal ;.

Dengan metode yang kedua ini, sebagaimana dikatakan Adnan Zurzur yang dikutip oleh al-Khalidi bahwa Sayyid Qutb dalam menggunakan rujukan sekunder, tidak terpengaruh

struktured query language (SQL) retreival database dengan perbandingan database management system (DBMS) oracle dan MySQL, agar dapat mempercepat proses