ADAPTASI TRENGGILING JAWA (
Manis javanica
)
TERHADAP PEMBERIAN FORMULA PAKAN PENGGANTI
SEFI MAULIDA
DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Adaptasi Trenggiling Jawa (Manis javanica) terhadap Pemberian Formula Pakan Pengganti adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
ABSTRAK
SEFI MAULIDA. Adaptasi Trenggiling Jawa (Manis Javanica) terhadap Pemberian Formula Pakan Pengganti. Dibimbing oleh CHAIRUN NISA’ dan
DEWI APRI ASTUTI.
Trenggiling Jawa (Manis javanica) merupakan salah satu mamalia yang unik dan menarik. Satwa ini termasuk dalam golongan hampir punah dan dilindungi, sehingga perlu mendapatkan perhatian untuk kelestariannya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu adaptasi trenggiling terhadap pemberian formula pakan pengganti, jumlah konsumsi nutrien, tingkat kecernaan pakan serta pengaruhnya terhadap pertambahan bobot badan trenggiling. Penelitian ini menggunakan empat ekor trenggiling Jawa yang terdiri dari dua ekor betina dan dua ekor jantan. Formula pakan untuk empat ekor trenggiling terdiri dari 237 g kroto, 218 g (± 4 butir) telur ayam rebus, 89 g daging ayam mentah, 56 g ulat hongkong, 185 g pelet ikan koi, 2 g tepung jangkrik, 440 ml air dan suplemen yang terdiri atas 0.2 g kalsium, 0.025 g vitamin B kompleks, dan 0.006 g vitamin K. Semua bahan diblender kecuali kroto dan ulat hongkong yang ditambahkan utuh. Pakan diberikan dalam keadaan segar, sebanyak 4% dari bobot badan. Hasil penelitian menunjukan proses adaptasi terhadap pemberian formula pakan pengganti berlangsung rata-rata selama tujuh hari. Pakan dapat diadaptasi dengan baik karena sesuai dengan palatabilitas dan pencernaan trenggiling. Pemberian pakan sejumlah 4% BB dapat memenuhi kebutuhan energi hidup pokok trenggiling dan berpengaruh terhadap kenaikan bobot badan rata-rata sebesar 7.04 g perhari.
ABSTRACT
SEFI MAULIDA. The Adaptation of Javan Pangolin (Manis javanica)to a Given Substitute Feed Formula. Supervised by CHAIRUN NISA’ and DEWI APRI ASTUTI.
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan
pada
Fakultas Kedokteran Hewan
ADAPTASI TRENGGILING JAWA (
Manis javanica
)
TERHADAP PEMBERIAN FORMULA PAKAN PENGGANTI
SEFI MAULIDA
DEPARTEMEN ANATOMI, FISIOLOGI DAN FARMAKOLOGI FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah melimpahkan segala rahmat, karunia dan nikmat-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik. Judul penelitian yang dipilih adalah Adaptasi Trenggiling Jawa (Manis javanica) terhadap Pemberian Formula Pakan Pengganti. Skripsi ini ditulis sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr Drh Chairun Nisa’, MSi, PAVet dan Prof Dr Ir Dewi Apri Astuti, MS selaku dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, dorongan, nasehat serta segala kemudahan yang diperoleh penulis mulai dari penelitian sampai penulisan skripsi ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada dosen pembimbing akademik yaitu Drh Titiek Sunartatie, MSi. Ungkapan terima kasih sebesar-besarnya juga disampaikan kepada keluarga terutama ibu, bapak, kakak dan adik serta seluruh keluarga besar atas segala doa, kasih sayang, dan dorongan moral tanpa keluhan. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada teman penelitian Fitria Novita Andesip, teman-teman seperjuangan Acromion 47, Ganglion 48 serta sahabat setia Harlyn, Anna, Fitri, Mayah, Alfonsa, Dwi, Sinta, Nadia, Raja, Firman, Abel, Gerard serta Danu atas segala kebersamaan dan dukungannya.
Penulis menyadari adanya kekurangan dan keterbatasan dalam skripsi ini. Oleh karena itu, segala kritik dan saran terhadap skripsi ini sangat diharapkan. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat untuk pembaca dan yang berkepentingan.
DAFTAR ISI
Trenggiling Jawa (Manis javanica) 2
Sistem Pencernaan Trenggiling 3
Pakan Trenggiling 4
Konsumsi dan Koefisien Cerna Bahan Pakan 5
METODE 5
2. Kecernaan nutrien (protein kasar, lemak kasar, serat kasar
dan bahan ekstrak tanpa nitrogen) 7
Pengukuran Bobot Badan 8
Feed Convertion Rasio (FCR) 8 Koleksi Feses dan Preparasi Sampel untuk Analisis Proksimat 8
Parameter yang Diamati 8
Analisis Data 8
HASIL DAN PEMBAHASAN 9
Adaptasi Trenggiling Jawa (Manis javanica) terhadap Pakan Pengganti 9
Konsumsi Pakan dan Kecernaan Zat Nutrien 10
Pertambahan Bobot Badan Trenggiling Jawa (Manis javanica) 13
SIMPULAN DAN SARAN 15
Simpulan 15
Saran 15
DAFTAR PUSTAKA 16
DAFTAR TABEL
1. Hasil analisis proksimat kroto dan rayap (% BK) 4
2. Susunan formula pakan pengganti (% BK) 6
3. Kandungan zat nutrien formula pakan alami dan pakan pengganti 6 4. Jumlah pakan dan tingkat konsumsi pakan pengganti selama masa
adaptasi 9
5. Kandungan bahan pakan pengganti yang dikonsumsi dan tingkat
kecernaan pakan trenggiling Jawa (Manis javanica) 11 6. Pertambahan bobot badan trenggiling Jawa (Manis javanica) 13
DAFTAR GAMBAR
1. Karakteristik morfologi trenggiling Jawa (Manis javanica) 3 2. Tampilan formula pakan pengganti dengan tekstur yang lunak 6 3. Cara pemberian pakan pengganti pada trenggiling Jawa (Manis javanica) 9 4. Grafik pertambahan bobot badan trenggiling Jawa (Manis javanica)
setiap minggu 13
5. Grafik pertambahan bobot badan trenggiling Jawa (Manis javanica)
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Trenggiling Jawa (Manis javanica) merupakan mamalia yang unik karena morfologi tubuhnya yang ditutupi oleh sisik-sisik keras mirip reptil, tidak memiliki gigi (toothless) seperti unggas dan menggulung tubuhnya pada saat tidur atau terancam (Breen 2003). Selain itu trenggiling memiliki daya penciuman lebih baik dibandingkan dengan penglihatannya (Robinson 2005). Hal tersebut sangat berhubungan dengan aktivitasnya yang lebih banyak terjadi pada malam hari (nokturnal) serta aktif menemukan sarang semut dan rayap untuk mendapatkan nutrien menggunakan daya penciumannya.
Trenggiling Jawa merupakan salah satu kekayaan fauna Indonesia yang unik dan menarik. Satwa ini termasuk langka dan dilindungi berdasarkan UU No. 5/1990 dan PP No. 17/1999 dan termasuk ke dalam daftar red list sebagai critically endangered species menurut International Union for Conservation of Nature (IUCN) (Challender et al. 2015). Namun, Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) masih memasukkan trenggiling dalam kategori Appendix II yang berarti masih boleh diperdagangkan dengan kuota sejak 7 Januari 1975 (Inskip dan Gillett 2005). Pemerintah Indonesia telah memberlakukan aturan zero quota untuk perdagangan trenggiling sejak tahun 2000. Akan tetapi perburuan dan perdagangan liar semakin marak. Hal ini disebabkan oleh tingginya permintaan pasar karena adanya kepercayaan sebagian masyarakat, khususnya masyarakat Cina, mengenai khasiat sisik dan daging trenggiling. Sisik trenggiling dipercaya berkhasiat untuk menyembuhkan keracunan, inflamasi, skabies, dan reumatik (Nowak 1999).
2
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui waktu adaptasi trenggiling terhadap pemberian formula pakan pengganti, jumlah konsumsi nutrien, serta tingkat kecernaan dan pengaruhnya terhadap pertambahan bobot badan trenggiling.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai formula pakan pengganti yang dapat diadaptasi oleh trenggiling pada pemeliharaan di kandang sebagai upaya untuk mendukung program konservasi ex situ.
TINJAUAN PUSTAKA
Trenggiling Jawa (Manis javanica)
Trenggiling Jawa merupakan salah satu jenis mamalia langka yang menjadi kekayaan alam hayati Indonesia. Nama trenggiling berasal dari bahasa melayu yakni pengguling atau guling yang artinya menggulung atau melingkar seperti bola. Trenggiling Jawa di Indonesia tersebar di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan dan beberapa pulau kecil di Kepulauan Riau, Pulau Lingga, Bangka, Belitung, Nias, Pagai, Pulau Natuna, Karimata, Bali dan Lombok. Selain itu trenggiling juga terdapat di Malaysia, Brunei Darussalam, Kamboja, Laos, Myanmar, Thailand, dan Vietnam (Corbet dan Hill 1992).
Trenggiling termasuk kedalam ordo Pholidota yang hanya memiliki satu famili yaitu Manidae dengan satu genus Manis. Terdapat delapan spesies trenggiling yang terdistribusi di hutan-hutan tropis Asia dan Afrika. Tiga spesies trenggiling Asia yaitu Manis javanica, M. crassicaudata, dan M. pentadactyla, sedangkan empat spesies trenggiling Afrika yaitu M. gigantea, M. temminckii, M. tricuspis, dan M. tetradactyla (Robinson 2005), serta satu spesies baru dari trenggiling Asia yaitu M. culionensis (Gaubert dan Antunes 2005).
3
Gambar 1 Karakteristik morfologi trenggiling Jawa (Manis javanica) Sistem Pencernaan Trenggiling
Trenggiling merupakan hewan insektivora, sehingga memiliki saluran pencernaan sederhana. Trenggiling mempunyai beberapa keunikan yaitu memiliki lidah yang dapat menjulur panjang, mempunyai bentuk seperti cacing (vermiform) dan tidak memiliki frenulum yang mengikat lidah ke dasar mulut. Permukaan dorsalnya memiliki sulcus medianus dan terdapat tiga tipe papilla yaitu papilla filliformis, papilla fungiformis, dan papilla sirkumvallata yang terdapat putik pengecap di bagian lateral intraepitel serta memiliki lyssa di ventral lidah seperti halnya lidah anjing. Mukosa lidah tersusun oleh epitel pipih banyak lapis dengan lapisan keratin yang tebal melapisi permukaan dorsal dan lebih tipis pada ventral (Sari 2007).
4
Pakan Trenggiling
Trenggiling termasuk mamalia pemakan semut sehingga sering disebut anteater (Feldhamer et al. 1999). Pakan utama dari trenggiling adalah semut (Ordo Hymenoptera) dan rayap (Ordo Isoptera). Diantara keduanya semut merah tanah (Myrmicaria sp.) merupakan pakan yang lebih disukai trenggiling (Heryatin 1983). Pada pemeliharaan trenggiling di kandang, pakan yang biasa diberikan adalah kroto. Kroto merupakan campuran pupa dan larva semut rang-rang yang dijual atau dimanfaatkan sebagai pakan burung berkicau dan umpan memancing (Sari 2005). Dari hasil analisis proksimat, menunjukkan bahwa kroto dan rayap memiliki kandungan protein, lemak dan energi total yang tinggi (Tabel 1). Tabel 1 Hasil analisis proksimat kroto dan rayap (% BK)
Zat-zat Nutrien Kroto Rayap
Pemberian kroto sebagai pakan lebih banyak bergantung kepada hasil perbururan alam. Namun, ketersediaan kroto di alam tidak kontinyu dan dipengaruhi oleh musim. Saat musim hujan, mortalitas semut rang-rang tinggi karena tidak ada ketersediaan pakan di sekitar sarang, aktivitas mencari makan rendah, dan kelembaban tinggi (Wojtusiak dan Godznska 1993).
5 Konsumsi dan Koefisien Cerna Bahan Pakan
Konsumsi adalah jumlah pakan yang dimakan oleh hewan dan zat nutrien yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok maupun produktivitas dari suatu hewan (Tillman et al. 1991). Faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat konsumsi adalah umur, status fisiologi hewan (tumbuh, bunting atau laktasi), kualitas pakan, palatabilitas jenis dan jumlah pakan serta lingkungan (McDonald et al. 2002).
Salah satu faktor yang harus dipenuhi oleh bahan pakan ialah tingkat kecernaan dari bahan pakan tersebut. Tingkat kecernaan pada dasarnya adalah suatu upaya untuk mengetahui banyaknya zat nutrien yang diserap oleh saluran pencernaan. Menurut McDonald et al. (2002), kecernaan pakan didefinisikan sebagai bagian dalam pakan yang tercerna dan tidak dieksresikan melalui feses. Pakan yang tercerna tersebut diasumsikan diserap oleh tubuh hewan. Biasanya dinyatakan dalam dasar bahan kering dan apabila dinyatakan dalam persentase maka disebut koefisien cerna. Peterson (2005) menyatakan bahwa tinggi rendahnya daya cerna dipengaruhi oleh jenis hewan, umur hewan, jenis bahan pakan dan susunan kimianya.
METODE
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilaksanakan di kandang pemeliharaan trenggiling yang berlokasi pada Laboratorium Konservasi Ex situ Satwa Liar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan IPB. Analisis proksimat dilakukan di Laboraturium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat IPB. Pengambilan data lapangan yang dilakukan mulai bulan Desember 2014 sampai Juni 2015.
Bahan dan Alat
6
Metode Penelitian
Formula Pakan Pengganti
Bahan pakan diformulasi untuk empat ekor trenggiling, terdiri dari: 237 g kroto, 218 g (± 4 butir) telur ayam rebus, 89 g daging ayam mentah, 56 g ulat hongkong, 185 g pelet ikan koi, 2 g tepung jangkrik, 440 ml air dan suplemen yang terdiri atas 0.2 g kalsium, 0.025 g vitamin B kompleks, dan 0.006 g vitamin K. Semua bahan terlebih dahulu diblender dengan penambahan air yang dilakukam secara bertahap sampai diperoleh konsistensi tertentu, kecuali kroto dan ulat hongkong yang ditambahkan utuh sesaat sebelum diberikan (Gambar 2). Hal ini dilakukan agar aroma asam formiat yang terkandung dalam kroto tidak hilang. Asam formiat tersebut berfungsi sebagai aroma khas untuk trenggiling dalam mencari pakannya. Beberapa bahan yang ditambahkan seperti telur dan daging ayam sebagai sumber protein menggantikan kroto dan rayap, serta penambahan tepung jangkrik sebagai sumber kitin. Komposisi pakan pengganti disajikan dalam Tabel 2 dan komposisi zat nutrien pakan disajikan pada Tabel 3.
Gambar 2 Tampilan formula pakan pengganti dengan tekstur yang lunak Tabel 2 Susunan formula pakan pengganti (% BK)
Bahan Formula Pakan Pengganti (%)
Tabel 3 Kandungan zat nutrien formula pakan alami dan pakan pengganti
Zat-zat Nutrien Pakan Alami* Pakan Pengganti
Segar % BK Segar % BK
Laboratorium Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi, Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat, Institut Pertanian Bogor (2015)
7 Pemberian Pakan
Pemberian pakan dilakukan setiap sore hari, saat trenggiling mulai melakukan aktivitas. Pakan yang diberikan dalam keadaan segar dihitung berdasarkan 4% dari bobot badan trenggiling. Pada individu A (BB = 5 470 g) diberikan sebanyak 352 g, B (BB = 4 305 g) sebanyak 270 g, C (BB = 4 495 g) sebanyak 289 g dan D (BB = 2 950 g) sebanyak 190 g. Pemberian sebanyak 4% dari bobot badan dengan asumsi dapat memenuhi kebutuhan energi trenggiling. Adaptasi Pakan Pengganti
Sebelum pemberian pakan pengganti trenggiling diberikan pakan alami berupa 125 g kroto dengan campuran 10 g ulat hongkong dan 15 g pelet ikan koi (Andesip 2015). Adaptasi pemberian formula pakan pengganti dilakukan sampai pakan dikonsumsi habis sebelum dilakukannya pengambilan data. Pakan diberikan setiap sore hari dan keesokan harinya pakan yang tersisa ditimbang untuk mengetahui jumlah pakan yang dikonsumsi. Pengamatan dilakukan terhadap waktu (hari) yang diperlukan oleh masing-masing trenggiling untuk beradaptasi dengan formula pakan pengganti.
Konsumsi pakan
Konsumsi pakan (g/ekor/hari) diperoleh dengan cara mengurangi jumlah pakan yang diberikan dengan pakan sisa setiap hari. Konsumsi BK pakan diperoleh dengan mengalikan konsumsi pakan (g/ekor/hari) dengan presentase BK pakan.
Konsumsi Zat Nutrien
Konsumsi zat nutrien (g/ekor/hari) diperoleh dengan cara mengalikan konsumsi BK pakan (g/ekor/hari) dengan persentase kandungan zat nutrien. Kecernaan Pakan
1. Kecernaan bahan kering
Kecernaaan bahan kering didapatkan dengan cara mengurangi bahan kering konsumsi dengan bahan kering feses lalu dibagi dengan bahan kering yang dikonsumsi kemudian dikalikan seratus persen. Koefisien cerna bahan kering dihitung dengan menggunakan rumus :
2. Kecernaan nutrien (protein kasar, lemak kasar, serat kasar dan bahan ekstrak tanpa nitrogen)
8
Pengukuran Bobot Badan
Pengukuran dilakukan dengan cara menimbang bobot badan trenggiling yang dilakukan setiap minggu untuk melihat perkembangannya. Penimbangan pertama dilakukan sebelum perlakuan sebagai data bobot badan awal. Pertambahan bobot badan diperoleh dengan menghitung selisih bobot badan akhir dengan bobot badan awal, sedangkan rata-rata pertambahan bobot badan perhari diperoleh dengan menghitung selisih bobot badan akhir dengan bobot badan awal dibagi dengan lama waktu penelitian.
Feed Convertion Ratio (FCR)
Rasio konversi pakan atau FCR adalah jumlah pakan yang dikonsumsi untuk mendapatkan bobot badan tertentu. FCR diperoleh dari perbandingan jumlah pakan yang dikonsumsi dengan penambahan bobot badan trenggiling. Koleksi Feses dan Preparasi Sampel untuk Analisis Proksimat
Koleksi feses dilakukan dengan metode pengumpulan feses total. Feses dikoleksi setiap hari dari masing-masing individu kemudian ditimbang. Preparasi sampel untuk analisis proksimat meliputi pencampuran seluruh feses dari masing-masing individu, kemudian diambil sebanyak 20 g dari keseluruhan feses yang sudah tercampur merata. Feses selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 60 oC selama 24 jam, kemudian dihaluskan dengan menggunakan blender dan siap untuk dianalisis proksimat.
Parameter yang Diamati
Parameter yang diamati pada penelitian ini diantaranya adalah; waktu adaptasi trenggiling terhadap pemberian formula pakan pengganti, jumlah konsumsi nutrien, tingkat kecernaan pakan serta pengaruhnya terhadap pertambahan bobot badan trenggiling.
Analisis Data
9
HASIL DAN PEMBAHASAN
Adaptasi Trenggiling Jawa (Manis javanica) terhadap Pakan Pengganti
Sebelum dilakukan pengamatan terhadap tingkat konsumsi pakan dengan pemberian formula pakan pengganti, dilakukan proses adaptasi sampai pakan dikonsumsi habis. Tingkat konsumsi pada masa adaptasi diperlihatkan pada Tabel 4.
Tabel 4 Jumlah pakan dan tingkat konsumsi pakan pengganti selama masa adaptasi
Individu/BB Parameter Hari ke- (g/ekor/hari) Rataan
1 2 3 4 5 6 7 8
Jantan
A (5 470 g)
Jumlah pakan 352 352 352 352 352 352 352 352 352 Jumlah konsumsi 250 352 237 319 239 352 268 352 296.13±52.84 Jumlah tersisa 102 0 115 33 113 0 84 0 55.88±52.84
B (4 305 g)
Jumlah pakan 270 270 270 270 270 270 270 270 270 Jumlah konsumsi 270 20 270 270 270 270 270 270 238.75±88.39
Jumlah tersisa 0 250 0 0 0 0 0 0 31.25±88.39
Betina
C (4 495 g)
Jumlah pakan 289 289 289 289 289 289 289 289 289 Jumlah konsumsi 228 289 205 136 289 198 289 289 240.38±58
Jumlah tersisa 61 0 84 153 0 91 0 0 48.63±58
D (2 950 g)
Jumlah pakan 190 190 190 190 190 190 190 190 190 Jumlah konsumsi 190 190 190 190 190 190 190 190 190
Jumlah tersisa 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Secara umum seluruh trenggiling yang mendapatkan perlakuan pakan pengganti tidak menunjukan perubahan tingkah laku. Trenggiling mempunyai kebiasaan sebelum makan dan minum seperti mengendus dan membaui pakan lalu menjulurkan lidahnya secara cepat dan kadang-kadang kedua kaki depan dimasukkan ke dalam tempat makan (Sawitri et al. 2012) (Gambar 3).
10
Proses adaptasi terhadap pemberian formula pakan pengganti rata-rata berlangsung selama tujuh hari, karena pada hari ke delapan semua pakan dikonsumsi habis, kecuali trenggiling B dan D yang sudah habis sejak hari pertama pemberian. Hal ini diduga karena kedua trenggiling tersebut masih berumur muda sehingga dalam masa pertumbuhan dibutuhkan jumlah pakan yang lebih besar, berbeda dari trenggiling lainnya yang berumur lebih dewasa. Pada hari kedua trenggiling B tidak mau makan dengan menunjukan aktivitas yang berlebih dari biasanya, selain itu trenggiling A pada hari ke-3, 4 dan 5 berturut-turut tidak mengkonsumsi pakan dengan habis sama halnya dengan betina C pada hari ke-3 dan ke-4. Hal tersebut diduga karena betina C mengalami estrus sehingga mengakibatkan penurunan nafsu makan. Menurut Yang et al. 2007, masa perkawinan trenggiling terjadi pada bulan Mei sampai Juni. Dimana penelitian ini berlangsung pada awal bulan Mei.
Selama proses adaptasi, rata-rata jumlah pakan tersisa paling banyak pada trenggiling A, yaitu sebesar 55.88 g dari rata-rata total jumlah pakan yang diberikan. Adanya pakan yang tersisa pada saat pemberian formula pakan pengganti diduga disebabkan penambahan bahan pakan pengganti seperti telur ayam rebus dan daging ayam mentah sebagai sumber protein pengganti kroto masih memiliki palatabilitas rendah.
Trenggiling memberikan respon waktu yang berbeda-beda terhadap tingkat konsumsi pakan pengganti. Proses adaptasi yang cepat pada trenggiling D diduga disebabkan karena pemberian pakan dengan jumlah 190 g masih belum optimal untuk pertumbuhannya, selain itu jumlah tersebut tidak berbeda jauh dengan jumlah pemberian pakan sebelumnya yaitu sebanyak 150 g. Adapun pada individu lainnya, pemberian pakan berdasarkan bahan segar 4% dari bobot badan memiliki jumlah sekitar dua kali lipat dari pakan sebelumnya, sehingga membutuhkan waktu adaptasi yang lebih lama untuk menghabiskan pakan yang diberikan. Secara umum konsumsi dapat meningkat dengan semakin meningkatnya berat badan, karena pada umumnya kapasitas saluran pencernaan meningkat dengan semakin meningkatnya berat badan sehingga mampu menampung pakan dalam jumlah lebih banyak.
Konsumsi Pakan dan Kecernaan Zat Nutrien
11 Tabel 5 Kandungan bahan pakan pengganti yang dikonsumsi dan tingkat
kecernaan pakan trenggiling Jawa (Manis javanica)
Trenggiling Peubah Konsumsi (g) Feses (g) Tercerna (g) Koef. Cerna (%)
Konsumsi bahan kering pakan trenggiling dalam penelitian ini rata-rata 73.09 g atau 1.54% dari bobot badan. Hal ini sesuai dengan konsumsi bahan adalah umur, status fisiologi hewan (tumbuh, bunting atau laktasi), kualitas pakan, palatabilitas jenis dan jumlah pakan serta lingkungan (McDonald et al. 2002).
12
Nilai kecernaan bahan kering pakan rata-rata sebesar 69.20%. Nilai koefisien cerna bahan kering pakan menunjukan tingkat kecernaan pakan pada alat pencernaan dan besarnya nutrien suatu pakan bagi hewan, disamping merupakan indikator kesanggupan hewan untuk memanfaatkan suatu jenis pakan tertentu.
Hasil tingkat kecernaan pakan pada trenggiling terhadap formula pakan pengganti menunjukkan kemampuan hewan ini dalam mencerna zat nutrien cukup tinggi pada lemak dan protein, hal ini terlihat dari koefisien cerna lemak rata-rata sebesar 94.59%. Tingginya nilai kecernaan lemak menunjukan bahwa hampir seluruh lemak yang terdapat dalam pakan mampu diserap oleh trenggiling. Pencernaan lemak terutama terjadi di dalam usus, karena di dalam mulut dan lambung tidak terdapat enzim lipase yang dapat menghidrolisis lemak, sehingga membutuhkan bantuan empedu yang dihasilkan oleh hati dan enzim lipase yang dihasilkan oleh pankreas (Guyton dan Hall 2006).
Sama halnya dengan lemak, protein untuk dapat diserap oleh tubuh maka protein harus dipecah terlebih dahulu menjadi struktur yang lebih sederhana yaitu asam amino. Asam amino dari protein yang secara terus menerus diperlukan bagi pertumbuhan sel dan pembentukan jaringan tubuh. Melalui sistem peredaran darah, asam amino tersebut kemudian diserap oleh seluruh jaringan tubuh yang memerlukannya (Devi 2010). Dari Tabel 5 rataan nilai koefisien cerna protein sebesar 79.14%. Nilai koefisien cerna protein lebih rendah dibandingkan dengan lemak, hal tersebut diduga akibat adanya zat anti tripsin pada kacang kedelai yang terkandung dalam pelet ikan koi. Anti tripsin yaitu suatu senyawa yang dapat menghambat kerja enzim tripsin atau enzim pemecah protein dalam sistem pencernaan. Zat anti tripsin akan mengikat enzim tripsin dalam usus halus sehingga proses pencernaan protein terganggu. Dengan demikian enzim tripsin yang telah berikatan dengan anti tripsin akan kehilangan fungsi sebagai enzim pencerna protein sehingga proses hidrolisis protein menjadi asam amino akan terganggu (Soetrisno dan Suryana 1991). Selain itu kehadiran kitin yang berasal dari tepung jangkrik akan menurunkan kecernaan nutrien.
Menurut Linder (1992), serat kasar adalah bagian dari makanan yang tidak dapat tercerna secara enzimatis oleh enzim yang dproduksi oleh saluran pencernaan manusia dan hewan sehingga bukan sebagai sumber zat nutrien. Dari hasil analisis proksimat, serat kasar formula pakan pengganti sebesar 2.9 % yang diduga terdiri dari kitin dan hemiselulosa. Kitin berasal dari eksoskeleton kroto, ulat hongkong dan tepung jangkrik sedangkan hemiselulosa berasal dari pelet ikan koi dengan komposisi kedelai dan jagung di dalamnya. Kitin sendiri hanya bisa dipecah oleh enzim kitinase. Sel-sel penghasil enzim kitinase di temukan pada daerah kelenjar oxcyntic, meskipun hasilnya perlu dipelajari lebih lanjut (Nisa’ 2005).
13 Hemiselulosa memiliki struktur kimia yang lebih sederhana dibandingkan dengan kitin, sehingga relatif lebih mudah untuk dihidrolisis dibandingkan dengan kitin yang terkandung dalam kroto, ulat hongkong dan tepung jangkrik. Pada daerah kelenjar oxcyntic lambung trenggiling terdapat sel-sel parietal yang berfungsi menghasilkan asam klorida (HCl) dalam jumlah banyak (Nisa’ et al. 2010). Keberadaan HCl ini diduga berperan penting dalam memecah hemiselulosa. Menurut Suparjo (2008), hemiselulosa relatif lebih mudah dihidrolisis dengan asam menjadi monomer yang mengandung glukosa, mannosa, galaktosa, xilosa dan arabinosa. Tillman et al. (1998), menyatakan bahwa dalam saluran pencernaan hewan golongan non ruminansia, fungsi hemiselulosa dan selulosa tidak spesifik, tetapi penting dalam meningkatkan gerak peristaltik pada pencernaan, sebagai sumber energi bagi mikroorganisme dalam lambung dan sebagai bahan pengisi lambung.
Pertambahan Bobot Badan Trenggiling Jawa (Manis javanica)
Salah satu kriteria yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan hewan adalah dengan mengukur pertambahan bobot badan dalam periode waktu tertentu. Besarnya tingkat pertumbuhan hewan merupakan manifestasi dari pemanfaatan pakan oleh tubuh hewan yang sangat bergantung pada kualitas pakannya. Pertambahan bobot badan setiap trenggiling selama penelitian dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Pertambahan bobot badan trenggiling Jawa (Manis javanica)
Trenggiling Peubah Keterangan: BB: bobot badan, PBB: pertambahan bobot badan, FCR: feed convertion ratio
Secara umum, pertambahan bobot badan trenggiling bervariasi setiap minggunya, dari minggu pertama sampai akhir penelitian (Gambar 4). Rataan pertambahan bobot badan trenggiling A, B, C dan D selama penelitian masing-masing 8.70, 11.51, 5.48, dan 3.02 g/ekor/hari.
14
Pemberian pakan pada trenggiling D tidak dapat meningkatkan pertambahan bobot badan trenggiling yang lebih besar dibandingkan dengan lainnya. Hal ini diduga karena trenggiling D masih berumur muda sehingga pakan yang dikonsumsi trenggiling D belum optimal untuk pertumbuhannya, selain itu selama penelitian berlangsung trenggiling D teramati lebih aktif dibandingkan dengan individu lainnya. Hal ini sesuai dengan Krisna (2006), yang mengatakan bahwa pertambahan bobot badan dapat dipengaruhi olek aktivitas hewan. Pertambahan bobot badan yang rendah dapat karena pakan yang dikonsumsi oleh hewan tidak semua diserap oleh tubuh dan dijadikan timbunan lemak melainkan sebagian terbuang dalam feses.
Pertambahan bobot badan harian tertinggi dicapai oleh trenggiling B yaitu 11.51 g/ekor/hari. Laju pertumbuhan yang tinggi dengan pakan yang baik akan berpengaruh terhadap nilai konversi pakan, semakin rendah nilai konversi pakan maka pakan semakin dapat dimanfaatkan oleh trenggiling dengan efisien. Konversi pakan merupakan jumlah pakan yang dikonsumsi untuk mendapatkan bobot badan tertentu. Rasio konversi pakan pada trenggiling B (2.05) memiliki konversi yang relatif lebih rendah dibandingkan trenggiling lain. Hasil rataan konversi pakan pada penelitian ini masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan pakan alami yang menghasilkan nilai rata-rata sebesar 1.44 (Andesip 2015). Hal ini disebabkan karena kandungan protein pada formula pakan pengganti lebih redah dibandingkan pakan alami. Protein pada pakan pengganti sebesar 32.57% sedangkan pakan alami 36.44% (Andesip 2015). Menurut Bintang et al. (1999), konversi pakan dapat dipengaruhi oleh kandungan nutrien pakan (protein dan energi) yang lebih tinggi akan lebih efisien dalam pengolahan bahan pakan sehingga konversi pakan yang dihasilkan cenderung lebih rendah (lebih efisien).
15
Gambar 5 Grafik pertambahan bobot badan trenggiling Jawa (Manis javanica) selama penelitian
SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Proses adaptasi berlangsung rata-rata selama tujuh hari dengan pemberian formula pakan pengganti yang terdiri dari pakan alami yaitu kroto dan subtitusinya berupa ulat hongkong, telur ayam rebus, daging ayam mentah, tepung jangkrik, dan suplemen (kalsium, vitamin B kompleks & vitamin K) dapat diadaptasi dengan baik karena sesuai dengan palatabilitas dan pencernaan trenggiling. Pemberian pakan sejumlah 4% BB dapat memenuhi kebutuhan energi hidup pokok trenggiling dan berpengaruh terhadap kenaikan bobot badan rata-rata 7.04 g perhari.
Saran
16
DAFTAR PUSTAKA
Andesip FN. 2015. Status nutrisi, tingkat kecernaan dan performa trenggiling Jawa (Manis javanica) yang diberi campuran pakan alami. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Bintang IAK, Sinurat AP, Murtisari T, Pasaribu T, Purwadaria T, Haryati T. 1999. Penggunaan bungkil inti sawit dan produk fermentasinya dalam ransum itik sedang bertumbuh. J Ilmu Ternak Vet. 4 (3) : 179 -185.
Breen K. 2003. Manis javanica [Internet]. [diunduh pada tanggal 22 Agustus 2015]. Tersedia pada:http://animaldiversity.org/accounts/Manis-javanica/. Campion DR, Hausman GJ, Martin RJ. 1989. Animal Growth Regulation. New
York (US): Plenum Pr.
Challender D, Nguyen VT, Shepherd C, Krishnasamy K,Wang A, Lee B, Panjang E, Fletcher L, Heng S, Seah Han Ming J, Olsson A, Nguyen TTA, Nguyen VQ, Chung Y. 2015. Manis javanica. The IUCN Red List of Threatened Species 2014: e.T12763A45222303. http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK. 20142.RLTS.T12763A45222303.en.
Church DC, Pond WG. 1988. Basic Animal Nutrition and Feeding. 3th Ed. New York (US): John Wiley and Sons.
Corbet GB, Hill JE. 1992. The Mammal of Indomalayan Region: A systematic Review. Natural History Museum Publikations, London (GB): Oxford Univerty Pr.
Devi N. 2010. Nutrition and Food. Jakarta (ID): PT Kompas Media Nusantara. Feldhamer GA, Drickamer CL, Vessey SH, Merritt JF. 1999. Adaptation,
Diversity, and Ecology Mamalogy. Boston (US): The McGrawHill Companies. 85 (252).
Gaubert P, Antunes A. 2005. Assessing the taxonomic status of the Palawan pangolin Manis culionensis (Pholidota) using discrete morphological characters. J Mammal. 86 (6).
Grzimek B. 1975. Animal Life Encyclopedia. Vol II. Mammals II. New York (US): Van Nostrand Reinhold Company.
Guyton AC, Hall EJ. 2006. Medical Physiology. 11th Ed. Philadelphia (US): Elsivier.
Heryatin T. 1983. Beberapa aspek trenggiling di suaka alam gunung honje timur dan perkebunan teh cigombong, cisadea cianjur selatan [skripsi]. Bandung (ID): Universitas Negeri Padjajaran Bandung.
Inskip T, Gillett HJ. 2005. Checklist of CITES species and annoted CITES Appendices and reservations. CITES Secretariat and UNEP-WCMC, Geneva and Cambridge.
Krisna R. 2006. Kandungan nutrisi pakan trenggiling (Manis javanica) dan kaitan terhadap pertumbuhannya. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Lin MF, Chang CY, Yang CW, Dierenfeld ES. 2015. Aspects of digestive
17 Linder CM. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme. Aminuddin Parakkasi,
penerjemah; Jakarta (ID): UI Pr.Terjemahan dari: Nutritional Biochemistry and Metabolism.
Liushuai H, Shiping G, Fumin W, Weiye L, Yan G, Xiaonan L, Fanghui H. 2015. Captive breeding of pangolins: current status, problems and future prospects. Zoo Keys. 507-99-114. Doi: 10.3897/zookeys.507.6970.
McDonald P, Edwards RA, Greenhalgh JED, Morgan CA. 2002. Animal Nutrition. 6thEd. Gosport (UK): Ashford Colour Pr. Ltd.
[NRC] National Research Council. 1985. Nutrient Requirements of Sheep. 11th Ed. Philadelphia (US): Lea and Febiger. p: 235-239.
Nisa’ C. 2005. Morphological studies of the stomach of Malayan Pangolin Manis javanica. [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Nisa’ C, Agungpriyono S, Katimura N, Sasaki M, Yamada J, Sigit K. 2010. Morphological features of the stomach of Malayan Pangolin, Manis javanica. J Anat. Histol. Embryol. 39 (2010): 432 – 439.
Nowak R. 1999. Walker’s Mammals of the World. 6th Ed. Baltimore (US): The Jhe Jhons Hopkins University Pr.
Parakkasi A. 1986. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Monogastrik. Jakarta (ID): Universitas Indonesia Pr.
Peterson PR. 2005. Forage for goat Production. Blacksburg (US): Dept. Virginia Tech University.
Ranjhan SK, Pathak NN. 1979. Management and Feeding of Buffaloes. New Delhi (IN): Vikas Publishing House Pvt. Ltd. p: 133-135.
Robinson PT. 2005. Pholidota (Pangolins) in Fowler ME and Miller RE. Zoo and Wild Animal Medicine. 5th Ed.Misoury (US): Saunders.
Roth MY, Page ST. 2011. A Role For Dihydrotestosterone Treatment In Older Men. Asian J of Andrology. 13:199–200.
Sari GK. 2005. Tingkat kesukaan semut rangrang (Oecophylla smaragdina) pada berbagi ransum pakan yang berbeda. [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sari RM. 2007. Kajian morfologi lidah trenggiling (Manis javanica). [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Sawitri R, Bismark M, Takandjandji M. 2012. Perilaku trenggiling (Manis javanica desmarest, 1822) di penangkaran Purwodadi, Deli Serdang, Sumatera Utara (Pangolin behaviour in captive breeding at Purwodadi, Deli Serdang, North Sumatra). J Penel Hut Konserv Alam. 9 (3): 285 – 297. Soetrisno USS dan Suryana P. 1991. Pengembangan prosedur analisis zat
antitripsin (Tripsin in-hibitor) pada sumber protein nabati. J Penel Gizi Makanan. 14: 153-158.
Suparjo. 2008. Degradasi Komponen Lignoselulosa Oleh Kapang Pelapuk Putih. [Internet]. [diunduh pada tanggal 22 Agustus 2015]. Tersedia pada: http://jajo66. Wordpress.com.
18
Vijayan M, Yeong C, Ling D. 2008. Captive management of Malayan pangolins Manis javanica in the Night Safari. In: Pantel S, Chin SY (Eds) Proceedings of the Workshop on Trade and Conservation of Pangolins Native to South and Southeast Asia. TRAFFIC Southeast Asia, Singapore Zoo, Singapore. 119–129.
Wojtusiak J, Godznska EZ. 1993. Factors influencing the responses to nest damage in the Africa weaver ant, Oecophylla longinoda (Latrille). Acta Neurobiola Exp.53 (2): 401-408.
19