INDEKS KERENTANAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG
TERHADAP TUMPAHAN MINYAK
(Studi Kasus: Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Seribu)
NOVELDESRA SUHERY
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Indeks Kerentanan Ekosistem Terumbu Karang Terhadap Tumpahan Minyak (Studi Kasus: Ekosistem Terumbu Karang Kepulauan Seribu) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Agustus 2016
Noveldesra Suhery
RINGKASAN
NOVELDESRA SUHERY. Indeks Kerentanan Ekosistem Terumbu Karang Terhadap Tumpahan Minyak. Studi Kasus: Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Seribu. Dibimbing oleh ARIO DAMAR dan HEFNI EFFENDI.
Salah satu metode untuk menentukan pengelolaan yang efektif bagi sumberdaya pesisir dan lautan adalah analisis kerentanan. Tumpahan minyak merupakan salah satu ancaman bagi terumbu karang, kejadiannya tidak dapat diprediksi dan berdampak sangat merusak. Kepulauan Seribu berpotensi terdampak akibat tumpahan minyak. Kejadian tumpahan minyak di wilayah ini bersumber dari kecelakaan kapal yang keluar masuk Pelabuhan Tanjung Priok dan jalur ALKI I, dan kecelakaan pada operasi eksplorasi-eksploitasi minyak bumi. Setidaknya telah tercatat kejadian tumpahan minyak memasuki kawasan Kepulauan Seribu sejak 2003, 2004, 2006, 2007 dan 2008. Penelitian ini bertujuan merumuskan parameter dalam menentukan indeks kerentanan ekosistem terumbu karang terhadap tumpahan minyak dan menghitung indeks kerentanan di Kepulauan Seribu. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan teori kerentanan, dimana kerentanan merupakan fungsi dari keterpaparan (exposure/E),
kepekaan (sensitivity/S), dan kapasitas adaptif (adaptive capacity/AC). Tahapan
penelitian ini yaitu: 1) tahap studi pustaka untuk menyusun parameter; 2) tahap survei pakar untuk menentukan signifikansi masing-masing parameter; 3) tahap survei lapang untuk mengumpulkan data-data per parameter; dan 4) tahap analisis data. Parameter dalam kategori exposure antara lain: tipe pasang surut, tunggang
pasang, tinggi gelombang, tipe substrat dan kedalaman habitat. Parameter dalam kategori sensitivity yaitu: tipe pertumbuhan terumbu karang, kelandaian, status
perlindungan, persentase tutupan, kerapatan, spesies dilindungi, dan kelimpahan ikan. Parameter dalam kategori adaptive capacity yaitu: perangkat pengananan tumpahan minyak, kelembagaan konservasi, respon masyarakat dan ketergantungan ekonomi. Stasiun penelitian adalah Pulau Pramuka, Panggang, Harapan, Kelapa, Belanda dan Sebira. Survei pakar dilakukan dengan wawancara kuisioner menggunakan metode perbandingan berpasangan. Hasil perbandingan berpasangan dianalisis menggunakan software Expert Choice versi 11. Data per
parameter untuk masing-masing lokasi ditransformasi menjadi nilai skor yang berkisar antara 1 hingga 5. Formula indeks kerentanan yang digunakan adalah model penjumlahan dan pengurangan dimana V= E + S – AC. Hasil survei pakar
menunjukkan signifikansi utama untuk parameter kedalaman habitat dan tunggang pasang untuk kategori exposure, parameter spesies dilindungi dan kerapatan untuk kategori sensitivity, parameter perangkat penanganan tumpahan minyak untuk kategori adaptive capacity. Hasil perhitungan indeks kerentanan di Kepulauan
Seribu mengindikasikan status kerentanan rendah hingga sedang dengan nilai antara 3,64 hingga 6,39. Indeks kerentanan Pulau Pramuka, Panggang, Harapan, Kelapa, Belanda dan Sebira secara berturut-turut adalah 3,64; 5,06; 4,08; 4,66; 6,39; dan 5,16. Pulau Panggang, Belanda dan Sebira termasuk dalam kerentanan sedang, sedangkan pulau Pramuka, Harapan dan Kelapa termasuk dalam kategori kerentanan rendah.
SUMMARY
NOVELDESRA SUHERY. Vulnerability Index of Coral Reef Ecosystem to Oil Spill. Case study: Coral Reef Ecosystem in Seribu Islands. Supervised by ARIO DAMAR and HEFNI EFFENDI.
Vulnerability analysis is one of the methods for determining efective management of coastal and marine resources. Oil spill is a threat to coral reefs ecosystem, unpredicatable occurance and very damaging impact. Seribu islands potentially affected due to oil spills. The oil spill incident in this area caused by shipwreck from traffic on Tanjung Priok port and ALKI 1, and accident of petroleum exploration and exploitation. At least, oil spills in Seribu Islands have recorded since 2003, 2004, 2006, 2007 and 2008. This study aims to formulate the parameters in determining the vulnerability index of coral reef ecosystem to oil spill and calculate that vulnerability index in the Seribu Islands. This research was conducted by using a theoretical approach of vulnerability (V), which is a function of exposure (E), sensitivity (S) and adaptive capacity (AC). Stages of this research were 1) The literature study stage to draw up the parameters, 2) experts opinion survey to determine significance of each parameters, 3) field survey stage to collect data for each parameters,and 4) the data analysis stage. The parameters in exposure category are tidal type, tidal range, wave height, substrat type, and water depth. Parameters in sensitivity category are growth type of reef, slope, protected ecosystem, coverage percentage, coral density, protected species, and fish abundance. Parameters in adaptive capacity are oil spill contigency system, conservation institution, community response, and economic dependence. The research stations are Pramuka island, Panggang island, Harapan island, Kelapa island, Belanda island and Sebira island. The experts opinion survey was conducted by interview with questionaire using pairwise comparison method. The results of pairwise comparisons were analyzed using Expert Choice software version 11. Data per parameter for each location were transformed into a score ranging from 1 to 5. The formula of vulnerability index using addition and subtraction model where; V = E + S – AC. The result of experts opinion survey showed major significance for exposure category were water depth and tidal range; the existance of protected species and coral density were the most significant parameters in sensitivity category; and oil spill contigency system as main parameter in adaptive capacity. The results indicate that Seribu Islands have vulnerability status from low to moderate, ranging from 3.64 to 6.39. Vulnerability index of Pramuka island, Panggang island, Harapan island, Kelapa island, Belanda island and Sebira island respectively were 3.64; 5.06; 4.08; 4.66; 6.39; dan 5.16. Panggang island, Belanda island and Sebira island were classified as moderate vulnerable, meanwhile Pramuka island, Harapan island and Kelapa island were classified into low vulnerable.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
pada
Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
INDEKS KERENTANAN EKOSISTEM TERUMBU KARANG
TERHADAP TUMPAHAN MINYAK
(Studi Kasus: Ekosistem Terumbu Karang di Kepulauan Seribu)
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2016
PRAKATA
Puji syukur kepada Allah SWT atas segala nikmat dan karunia-Nya sehingga penelitian dan tesis ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah kerentanan ekosistem terumbu karang terhadap tumpahan minyak dengan mengangkat studi kasus di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Ario Damar, MSi dan Bapak Dr. Ir. Hefni Effendi, MPhil selaku komisi pembimbing serta Bapak Dr. Syamsul Bahri Agus, SPi. MSi sebagai penguji luar komisi yang telah memberikan saran dan masukan dalam menyempurnakan karya ilmiah ini. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ir. Ahmad Fachrudin, MSi selaku Ketua Program Studi SPL dan seluruh staf program studi atas bantuan dan dukungannya. Di samping itu, penulis juga menyampaikan penghargaan kepada PT. EOS Consultants beserta pimpinan dan seluruh staf atas kesempatan dan dukungan beasiswa pasca sarjana yang diberikan kepada penulis. Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penelitian ini, kepada responden pakar yang namanya tercantum di bagian lampiran tesis ini dan kepada saudara Eko Sulkhani Yulianto, SPi. MSi atas bantuannya dalam pengumpulan data di lapangan. Ucapan terima kasih juga disampaikan untuk seluruh keluarga besar H. Suhasril, BA (papa), Hj. Erliati (mama), Febriyanti Suhery, ST (kakak) dan Wira Noviana Suhery, M.Farm, Apt. (kakak) serta istri tercinta Siti Anindita Farhani, SPi. MSi atas segala doa dan kasih sayang yang senantiasa diberikan kepada penulis.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2016
DAFTAR ISI
Parameter Penyusun Indeks Kerentanan Ekosistem Terumbu Karang 6
Waktu dan Tempat Penelitian 11
Jenis Data 11
Metode Pengumpulan Data 13
Analisis Data 14
3 HASIL DAN PEMBAHASAN 20
Kondisi Umum Lokasi Penelitian 20
Kejadian Tumpahan Minyak di Kepulauan Seribu – DKI Jakarta 21 Pembobotan Parameter Penyusun Indeks Kerentanan Ekosistem
Terumbu Karang 23
Penilaian Indeks Kerentanan Ekosistem Terumbu Karang Kepulauan
Seribu Terhadap Tumpahan Minyak 27
Pengelolaan Kerentanan Ekosistem Terumbu Karang terhadap Ancaman
Tumpahan Minyak 45
Kelebihan dan Kelemahan Metode Indeks Kerentanan Ekosistem
Terumbu Karang terhadap Tumpahan Minyak 49
4 SIMPULAN DAN SARAN 50
Simpulan 50
Saran 50
DAFTAR PUSTAKA 51
LAMPIRAN 56
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Metode pengumpulan data 13
Tabel 2 Parameter penyusun formula indeks kerentanan ekosistem terumbu karang terhadap tumpahan minyak 15 Tabel 3 Bentuk matriks perbandingan berpasangan 16
Tabel 4 Skala perbandingan berpasangan 17
Tabel 5 Kriteria skoring masing-masing parameter penyusun indeks kerentanan ekosistem terumbu karang yang
digunakan dalam penelitian ini 17
Tabel 6 Kategori indeks kerentanan ekosistem terumbu karang
terhadap tumpahan minyak 19
Tabel 7 Histori kejadian tumpahan minyak di Indonesia 21
Tabel 8 Sejarah tumpahan minyak di Area IV 23
Tabel 9 Bobot parameter yang digunakan 24
Tabel 10 Hasil skoring masing-masing parameter penyusun indeks
kerentanan 42
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Sumber potensi tumpahan minyak di kawasan Kepulauan
Seribu dari aktivitas migas 2
Gambar 2 Proses pelapukan minyak di laut 3
Gambar 3 Bagan kerangka pemikiran 6
Gambar 4 Tipe pertumbuhan terumbu karang 9
Gambar 5 Peta lokasi penelitian di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta 12 Gambar 6 Bobot signifikansi parameter dalam ketegori keterpaparan
(exposure) berdasarkan hasil survei pakar 25
Gambar 7 Bobot signifikansi paramater dalam kategori kepekaan (sensitivity) berdasarkan hasil survei pakar 25 Gambar 8 Bobot signifikansi parameter dalam kategori kapasitas
adaptif (adaptive capacity) berdasarkan hasil survei pakar 26
Gambar 9 Grafik pasang surut stasiun Tanjung Priok 28 Gambar 10 Skor pasang surut di lokasi penelitian (a) tipe pasang surut
(b) tunggang pasang 29
Gambar 11 Kondisi parameter kedalaman habitat di lokasi penelitian 29 Gambar 12 Kondisi parameter tinggi gelombang di lokasi penelitian 30 Gambar 13 Skor tipe substrat dasar di lokasi penelitian 30 Gambar 14 Skor kondisi tipe pertumbuhan terumbu karang di lokasi
penelitian 31
Gambar 15 Bentuk pertumbuhan terumbu karang Pulau Pramuka dan
Pulau Panggang 32
Gambar 16 Bentuk pertumbuhan terumbu karang Pulau Harapan dan
Pulau Kelapa 32
Gambar 20 Kondisi parameter tutupan karang keras di lokasi
penelitian 34
Gambar 21 Kondisi parameter kerapatan karang di lokasi penelitian 35 Gambar 22 Status spesies dilindungi di lokasi penelitian 36 Gambar 23 Kondisi parameter kelimpahan ikan di lokasi penelitian 36 Gambar 24 Kapasitas penanggulangan tumpahan minyak Tier II area
IV yang termasuk wilayah Kepulauan Seribu. 37 Gambar 25 Sertifikat pelatihan penanganan tumpahan minyak kepada
masyarakat di Kepulauan Seribu. 38
Gambar 26 Status perangkat penanganan tumpahan minyak di lokasi
penelitian 39
Gambar 27 Status kelembagaan konservasi di lokasi penelitian 40 Gambar 28 Status respon masyarakat di lokasi penelitian 41 Gambar 29 Status ketergantungan ekonomi di lokasi penelitian 42 Gambar 30 Indeks kerentanan ekosistem terumbu karang terhadap
tumpahan minyak di lokasi penelitian 43
Gambar 31 Bubble plot indeks kerentanan ekosistem terumbu karang
di lokasi penelitian 44
Gambar 32 Peta kerentanan ekosistem terumbu karang terhadap
tumpahan minyak di lokasi penelitian 46
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Hasil analisis tutupan karang, kerapatan dan kelimpahan
ikan 56
Lampiran 2 Kuisioner survei pakar 64
Lampiran 3 Data responden pakar 73
Lampiran 4 Perhitungan nilai maksimum dan minimum indeks
kerentanan 74
Lampiran 5 Perhitungan perbandingan berpasangan dengan software
Expert Choice version 11 75
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat penting di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil. Ancaman terhadap ekosistem ini berasal dari aktivitas manusia dan faktor alamiah. Ancaman dari aktivitas manusia disebabkan oleh pencemaran minyak, sedimentasi, pencemaran panas, sampah dan pencemaran nutrien, penangkapan ikan yang merusak, pemanfaatan berlebihan, dan kerusakan dari aktivitas wisata (IPIECA/IMO 1994; Moberg and Folke 1999; Dahuri et al. 2008,). Ancaman dari faktor alamiah diantaranya: tsunami, gempa bumi, pemanasan global, serta ledakan populasi bintang laut berduri (Acanthaster plancii) (Dahuri etal. 2008).
Peningkatan aktivitas pembangunan pertambangan dan industri migas (minyak dan gas bumi) dalam rangka memenuhi permintaan sumber energi, secara tidak langsung meningkatkan ancaman terhadap kelestarian sumberdaya alam. Eksplorasi dan eksploitasi minyak bumi di lepas pantai beserta aktivitas pendukungnya berpotensi menyebabkan tumpahan minyak di perairan. Kejadian tumpahan minyak dapat bersumber dari kecelakaan kapal, kecelakaan pada tahap eksplorasi dan produksi minyak bumi, serta kecelakaan pada operasi pengolahan minyak bumi (IPIECA 1992). Pencemaran akibat tumpahan minyak berdampak besar terhadap fungsi ekologi terumbu karang yang kemudian juga berpengaruh terhadap sosial ekonomi masyarakat yang bergantung pada ekosistem terumbu karang tersebut.
Pengukuran kondisi suatu ekosistem merupakan tahapan yang sangat penting dalam pengelolaan. Mengenali karakteristik dari suatu ekosistem merupakan langkah awal dalam membuat rencana pengelolaan yang efektif. Mengetahui kerentanan suatu ekosistem merupakan salah satu upaya untuk melakukan strategi pengelolaannya. Pengelolaan kerentanan merupakan bagian kritikal dari setiap strategi pembangunan berkelanjutan (SOPAC 2005). Kerentanan merupakan kecenderungan suatu entitas mengalami kerusakan (SOPAC 2005). Kerentanan ekosistem terumbu karang terhadap tumpahan minyak merupakan tingkat kecenderungan rusaknya ekosistem terumbu karang terhadap tumpahan minyak. Ekosistem terumbu karang merupakan bagian penting bagi sistem sosial-ekologi di pesisir. Kerusakan ekosistem terumbu karang akan berdampak terhadap kehidupan manusia (Hughes et al. 2005).
Indeks kerentanan mencerminkan tingkat kerentanan suatu sistem secara numerik. Semakin tinggi nilai indeks kerentanan maka semakin tinggi tingkat potensi kerusakan entitas tersebut.
2
tercatat kembali kejadian tumpahan minyak Februari 2006, Juni 2007 dan Oktober 2008 (Estradivari et al. 2009). Oleh karena itu, perlu diketahui tingkat kerentanan ekosistem terumbu karang di wilayah ini terhadap tumpahan minyak. Informasi tentang kerentanan ini menjadi bagian penting dalam pengelolaan kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil.
Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1) Merumuskan parameter dalam menentukan indeks kerentanan ekosistem terumbu karang terhadap tumpahan minyak.
2) Menghitung indeks kerentanan ekosistem terumbu karang terhadap tumpahan minyak di Kepulauan Seribu.
3
2
METODE
Kerangka Pendekatan Studi
Pembangunan pertambangan dan industri migas selayaknya dilakukan dengan mengutamakan prinsip perlindungan lingkungan hidup. Tumpahan minyak merupakan salah satu potensi ancaman terhadap lingkungan akibat kecelakaan dalam proses usaha migas maupun kegiatan transportasi laut. Ekosistem terumbu karang merupakan salah satu komponen ekosistem yang berpotensi terancam akibat adanya kejadian tumpahan minyak. Ekosistem ini memiliki banyak fungsi yang bermanfaat bagi kelangsungan hidup manusia. Indeks kerentanan dapat digunakan untuk menilai seberapa besar potensi kerusakan dan gangguan yang akan muncul terhadap ekosistem terumbu karang akibat kejadian tumpahan minyak.
Minyak yang tumpah ke laut akan mengalami berbagai proses (Gambar 2). Diantaranya adalah menyebar dan adveksi (spreading and advection), larut
(dissolution), menguap (evaporation), tersebar (dispersion) polymerase
(polymerization), bercampur (emulsification), fotooksidasi (photooxidation), biodegradasi mikroba (microbial biodegradation), sedimentasi (sedimentation).
Semua proses tersebut secara kolektif disebut dengan weathering of oil (IMO
1988; Sloan 1993; API 1999; ITOPF 2002; Mukhtasor 2007). Faktor utama yang mempengaruhi pelapukan (weathering of oil) adalah karakteristik fisik minyak seperti gaya gravitasi, viskositas, dan volatilitas, komposisi dan karakteristik kimia minyak, kondisi meteorologi (kondisi laut, sinar matahari dan suhu udara), dan karakteristik air laut (gaya gravitasi, arus, suhu, bakteri, nutrien, oksigen terlarut, dan bahan terlarut lainnya) (IMO 1988).
Menurut IPIECA (1992) dampak tumpahan minyak di laut dapat dibagi menjadi dua tipe, yaitu: minyak yang larut akan mengapung pada permukaan air
Sumber: API (1999)
4
dan minyak yang tenggelam akan terakumulasi di dalam sedimen sebagai deposit pada pasir dan bebatuan di pantai. Minyak yang larut akan mengapung pada permukaan air dan akan menggangu organisme yang hidup pada permukaan perairan. Minyak yang mengapung di atas permukaan laut akan menghalangi masuknya sinar matahari ke dalam perairan dan akan mengurangi intensitas cahaya matahari yang digunakan untuk berfotosintesis. Selain itu, genangan minyak juga akan menghalangi pertukaran gas dari atmosfer sehingga dapat mengurangi kelarutan oksigen. Kekurangan oksigen akan mempengaruhi bentuk kehidupan laut yang aerob.
Sementara itu, minyak yang tenggelam akan terakumulasi di dalam sedimen, pasir dan bebatuan di pantai akan mengganggu organisme interstitial maupun organime intertidal. Ketika minyak tersebut sampai pada bibir pantai, maka organisme yang rentan terhadap minyak akan mengalami hambatan pertumbuhan, bahkan dapat mengalami kematian. Minyak-minyak tersebut akan terakumulasi dan terendap dasar perairan seperti pasir dan bebatuan sehingga akan mempengaruhi tingkah laku, reproduksi, dan pertumbuhan perkembangan hewan yang mendiami daerah ini.
Menurut Sloan (1993) kondisi yang mempengaruhi dampak tumpahan minyak yaitu: tipe dari habitat yang ditutupi oleh minyak, tipe dan kuantitas dari minyak (olahan, jenis bahan bakar minyak, minyak mentah), spesies atau organisme yang ditutupi oleh minyak, waktu pelapukan minyak di laut sebelum mencapai pantai, waktu tumpahan (musim dan fase dalam siklusnya) fokusnya pada kerentanan organisme, hidrologi (pasang surut dan arus), kondisi meteorologi (badai akan membuat minyak tersebar lebih cepat) dan kondisi iklim (minyak menjadi lebih beracun dan cuaca lebih cepat berubah di perairan tropis), frekuensi dan durasi paparan minyak, serta efektivitas dari upaya lokalisasi dan pembersihan.
Penelitian ini menggunakan pendekatan teori kerentanan. Kerentanan suatu entitas A akibat gangguan X akan berbeda dengan kerentanan entitas A dengan gangguan Y begitu juga kerentanan entitas B akibat gangguan X akan berbeda pula. Kerentanan ekosistem terumbu karang terhadap tumpahan minyak merupakan kecenderungan rusaknya ekosistem terumbu karang akibat gangguan dari tumpahan minyak. Indeks merupakan suatu penunjuk yang berupa angka atau bilangan yang menunjukkan tingkat kerentanan. Indeks kerentanan ekosistem terumbu karang terhadap tumpahan minyak dapat diartikan sebagai angka yang menunjukkan tingkat kecenderungan rusaknya ekosistem terumbu karang akibat gangguan yang dihasilkan oleh kejadian tumpahan minyak.
Dalam teori kerentanan (vulnerability), kerentanan secara umum merupakan fungsi dari keterpaparan (exposure), kepekaan (sensitivity) dan kapasitas adaptif
(adaptive capacity) (Turner et al. 2003; Schröter et al. 2005; Adger 2006; De
5 diri dalam merespons tekanan-tekanan dalam ruang dan waktu, dimana potensi ini ditentukan oleh karakteristik dari ekosistem yang termasuk didalamnya berbagai level organisasi makhluk hidup. Kerentanan ekosistem merupakan estimasi dari ketidakmampuan sebuah ekosistem untuk mentoleransi berbagai tekanan dalam ruang dan waktu (De Lange et al. 2010).
Kapasitas adaptif adalah potensi karakteristik yang merefleksikan kemampuan manusia untuk mengantisipasi dan merespon perubahan dan meminimalisasi, menanggulangi dan memulihkan dari konsekuensi perubahan tersebut (Adger et al. 2005). Lebih lanjut Folke et al. (2003), Walker et al. (2004),
Adger et al. (2005) menyatakan kapasitas adaptif (kemampuan beradaptasi)
adalah kapasitas dari aktor, baik secara individu maupun kelompok, untuk merespon, menciptakan dan membentuk variabilitas dan perubahan keadaan dari sistem.
Terumbu karang sebagai ekosistem utama di pesisir dan lautan merupakan sumberdaya yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk kebutuhan sosial dan ekonomi. Ekosistem terumbu karang dan komunitas masyarakat yang bergantung secara ekonomi pada terumbu karang ini membentuk suatu sistem sosial-ekologi terumbu karang. Penilaian kerentanan sistem sosial-sosial-ekologi terumbu karang ditentukan berdasarkan keterpaparan, kepekaan dan kemampuan adaptasi dari sistem sosial-ekologi terumbu karang secara utuh.
Faktor keterpaparan (exposure) merupakan faktor yang memberikan atau meningkatkan keterpaparan tumpahan minyak terhadap ekosistem terumbu karang. Faktor kepekaan (sensitivity) merupakan faktor intrinsik ekosistem
terumbu karang yang menerima dampak dari tumpahan minyak dan faktor kapasitas adaptif (adaptive capacity) merupakan faktor kemampuan adaptasi sistem sosial-ekologi terumbu karang terhadap tumpahan minyak. Menurut Folke
et al. (2003), Walker et al. (2004), Adger et al. (2005); dalam Chapin et al. (2009) kapasitas adaptif menunjuk pada kemampuan aktor (manusia) dalam merespon perubahan dan gangguan. Terdapat 4 perangkat yang menentukan kapasitas adaptif yaitu: perangkat teknik, kelembagaan, sosial, dan finansial.
Indeks kerentanan dalam penelitian ini dibangun berdasarkan kerangka
exposure, sensitivity dan adaptive capacity. Masing-masing kategori penyusun
indeks kerentanan baik exposure, sensitivity maupun adaptivecapacity dijabarkan
menjadi parameter-parameter. Parameter ini disusun berdasarkan pendekatan pustaka/literatur. Setiap parameter memiliki signifikansi yang berbeda-beda dalam mempengaruhi kerentanan, sehingga perlu dilakukan analisis untuk mendapatkan nilai signifikansi masing-masing parameter tersebut. Selain memiliki signifikansi yang berbeda, masing-masing parameter juga memiliki karakteristik yang berbeda. Oleh karena itu, perlu dikembangkan metode dan kriteria skoring untuk memudahkan penghitungan indeks kerentanan.
6
Gambar 3 Bagan kerangka pemikiran
Parameter Penyusun Indeks Kerentanan Ekosistem Terumbu Karang
Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahapan untuk mendapatkan formulasi penyusunan indeks kerentanan ekosistem terumbu karang. Tahapan-tahapan tersebut yaitu: 1) Tahap studi pustaka untuk melakukan penentuan parameter untuk menyusun indeks kerentanan ekosistem terumbu karang, dan 2) Pembobotan parameter.
Tumpahan minyak dapat mempengaruhi ekosistem terumbu karang dengan berbagai cara. Menurut IPIECA (1992), minyak yang memiliki massa jenis lebih
SISTEM SOSIAL EKOLOGI TERUMBU KARANG
Nilai Exposure Nilai Sensitivity Nilai Adaptive Capacity
Indeks Kerentanan Ekosistem Terumbu Karang Terhadap Tumpahan Minyak Faktor
eksternal (Oseanografi)
Faktor
instrinsik secara teknis, kelembagaan, Faktor daya adaptasi sistem sosial & finansial
Parameter Parameter Parameter
7 ringan daripada air akan menutupi permukaan perairan, pada saat surut atau pada area yang terekspos, minyak dapat langsung menutupi permukaan terumbu karang. Selain itu, gelombang pecah akan menyebabkan tumpahan minyak pecah menjadi butiran-butiran kecil yang tersebar di kolom air dan kemudian terjadi kontak dengan terumbu karang. Sebagai biota yang mengeluarkan lendir, apalagi disaat stress, butiran-butiran minyak tersebut dapat menempel dengan mudah di terumbu karang. Di beberapa daerah yang memiliki partikel padat terlarut (TSS/Total Supended Solid) atau debu yang tinggi di kolom air, butiran-butiran minyak dapat bergabung dengan partikel mineral dan kemudian tenggelam di dasar laut, dan partikel yang berasosiasi dengan minyak ini akan mengganggu terumbu karang. Pada keseluruhan proses pelapukan minyak (termasuk evaporasi dan pemanasan matahari) dapat menyebabkan minyak tenggelam dan kontak dengan terumbu karang di perairan yang lebih dalam. Minyak mentah dari beberapa area dapat mengalir hingga ke pantai dan tenggelam di bawah air, hal ini akan mengganggu pernafasan terumbu karang.
Komponen minyak dapat larut di dalam air sampai batas tertentu, yang mengekspos terumbu karang dengan senyawa berbahaya. Secara umum, konsentrasi dari oksigen terlarut berkurang secara cepat dari permukaan hingga dasar perairan.
Menurut Fuick et al. (1984) dalam Sloan (1993) kerusakan terumbu karang
oleh pencemaran minyak tergantung pada tipe terumbu, zonasi dan aktivitas pasang surut. Terumbu karang di zona intertidal secara umum dipertimbangkan sebagai habitat terumbu karang yang sangat rentan terhadap pencemaran minyak (Pollunin 1983; Fuick et al. 1984; Garrity and Levings 1990; Thorhaug 1992 dalam Sloan 1993). Selain itu, Sloan (1993) menyatakan bahwa indeks kerentanan terumbu karang ditentukan oleh persentase penutupan karang, kerapatan karang, kelandaian karang, dan keberadaan spesies yang dilindungi.
Parameter dalam Kategori Keterpaparan (Exposure)
Parameter dalam kategori keterpaparan (exposure) digunakan untuk menilai
derajat keterpaparan terumbu karang terhadap tumpahan minyak. Dampak tumpahan minyak terhadap terumbu karang sulit diprediksi karena masing-masing tumpahan minyak memiliki kondisi fisika, kimia dan biologi yang unik dan berbeda-beda. Parameter keterpaparan (exposure) menjelaskan bagaimana terumbu karang terpapar oleh minyak. Terdapat tiga modus utama paparan terumbu karang saat tumpahan minyak (NOAA 2010):
Pertama, kontak langsung dengan minyak mungkin terjadi ketika lapisan minyak terdeposit di area terumbu karang pasang surut yang hidup dekat dengan permukaan laut dan akan terpapar secara langsung pada saat surut. Parameter yang digunakan untuk mencerminkan hal ini adalah: 1) kedalaman habitat terumbu karang, 2) tunggang pasang, dan 3) tipe pasang surut.
Kedua, permukaan laut dan cahaya, soluble oil dapat tercampur dengan air
dibawah permukaan yang mana akan kontak dengan terumbu karang. Terumbu karang menjadi terpapar oleh minyak yang terlarut (tercampur) dibawah permukaan. Parameter yang digunakan untuk mencerminkan hal ini adalah tinggi gelombang yang merupakan faktor dalam pengadukan minyak di perairan.
Ketiga, ketika terjadi pelapukan minyak berat (heavy oil), minyak akan
8
meningkatkan densitas minyak yang akan menyelimuti polip terumbu karang. Parameter yang digunakan untuk mencerminkan hal ini adalah tipe substrat perairan (tipe sedimen). Penjelasan masing-masing parameter dalam kategori
keterpapan (exposure) dijabarkan sebagai berikut:
a. Tipe pasang surut
Tipe pasang surut mempengaruhi frekuensi paparan tumpahan minyak pada ekosistem terumbu karang. Berdasarkan karakteristiknya tipe pasang surut “harian ganda” akan memberikan paparan 2 kali dalam sehari, sedangkan tipe pasut "harian tunggal" memberikan hanya memberikan paparan 1 kali dalam sehari.
b. Tunggang pasang
Tunggang pasang menggambarkan berapa tinggi (meter) perbedaan permukaan air laut saat pasang tertinggi dan surut terendah. Semakin besar nilai tunggang pasang maka akan meningkatkan paparan ekosistem terumbu karang oleh tumpahan minyak.
c. Tinggi gelombang
Tinggi gelombang menjadi salah satu faktor yang menentukan tingkat pengadukan minyak di laut. Semakin tinggi gelombang, maka pengadukan minyak di laut semakin besar yang kemudian meningkatkan keterpaparan terumbu karang terhadap minyak.
d. Tipe substrat perairan
Tipe substrat dasar yang kasar umumnya cenderung dapat melepaskan minyak lebih mudah dibanding substrat yang halus. Semakin halus tipe substrat di ekosistem terumbu karang, maka semakin tinggi tingkat keterpaparannya.
e. Arus
Parameter arus dalam menentukan keterpaparan dari tumpahan minyak memiliki dua sudut pandang yang kontradiktif. Pertama, kecepatan arus yang tinggi (besar) menyebabkan peluang keterpaparan ekosistem terumbu karang dari sumber tumpahan minyak semakin besar (skor tinggi), Namun disisi lain (kedua), kecepatan arus yang tinggi di satu sisi juga mempercepat proses flushing yang
membawa tumpahan minyak menjauh dari area terumbu karang (skor rendah). Begitu juga dengan arus yang lambat (rendah) akan membuat transportasi tumpahan minyak dari sumber ke ekosistem menjadi lama (skor rendah), namun di sisi lain, kecepatan arus yang rendah (lambat) membuat paparan minyak yang ada di terumbu karang semakin lama menutupi permukaan ekosistem terumbu karang (skor tinggi). Sehingga, peneliti dalam hal ini menghilangkan parameter arus dalam menghitung nilai keterpaparan ekositem terumbu karang oleh tumpahan minyak.
f. Kedalaman habitat (terumbu karang)
Faktor kedalaman posisi habitat terumbu karang berpengaruh terhadap besarnya paparan kontaminasi minyak secara langsung. Semakin dangkal habitat, maka semakin tinggi paparan kontaminasi minyak terhadap terumbu karang, begitu juga sebaliknya, semakin dalam posisi habitat terumbu karang, paparan kontaminasi langsung oleh minyak menjadi semakin kecil.
Parameter dalam Kategori Kepekaan (Sensitivity)
9 kepekaan dari fungsi dari internal ekosistem. Sensitivitas dalam konteks perubahan lingkungan adalah seberapan mudah suatu ekosistem untuk rusak, yang didefinisikan dari komponen sistem tersebut yang merupakan hasil dari keterpaparan atau tekanan (Adger 2006). Parameter yang digunakan untuk menilai kepekaan ekosistem terumbu karang dari tumpahan minyak dijabarkan sebagai berikut:
a. Tipe pertumbuhan terumbu karang
Parameter tipe pertumbuhan terumbu karang ini mengacu pada terminologi yang digunakan oleh Tomascik et al. (1997) yang mencerminkan tipe geologi
terumbu karang. Darwin (1842) mengungkapkan teori pertumbuhan karang dan penenggelaman pulau. Terdapat tiga tipe dan sebaran terumbu karang (Gambar 4), yaitu: fringing reef, barrier reef, dan atoll. Fringing reef (terumbu karang tepi) tumbuh di perairan dangkal (<40 meter) dekat dengan pantai. Barrier reef
(terumbu karang penghalang) dipisahkan oleh laguna dengan daratan. Umumnya tumbuh memanjang dengan bentangan sejajar pantai. Atoll berbentuk melingkar seperti cincin yang tumbuh dekat dengan permukaan laut di pulau yang berada dibawah laut. Selain tiga tipe diatas terdapat juga pengelompokkan tipe sebaran terumbu karang yang disebut dengan patch reef, yaitu terumbu karang yang hidup tersebar per masing-masing koloni.
Gambar 4 Tipe pertumbuhan terumbu karang
Tipe pertumbuhan terumbu karang ini akan berpengaruh terhadap ekosistem terumbu karang secara keseluruhan jika terjadi tumpahan minyak. Terumbu karang tipe atoll cenderung akan lebih sensitif terhadap tumpahan minyak jika dibandingkan dengan terumbu karang yang tersebar. Karena tumpahan minyak yang memasuki kawasan atoll akan terakumulasi di tengah pada saat pasang surut.
b. Kelandaian
Kelandaian topografi dasar perairan dimana ekosistem terumbu karang tumbuh mempengaruhi tingkat sensitivitasnya terhadap tumpahan minyak. Ekosistem yang tumbuh di perairan yang landai akan memiliki nilai sensitivitas yang lebih tinggi daripada ekosistem yang terjal akibat tumpahan minyak.
c. Status perlindungan
Ekosistem terumbu karang yang dilindungi akan memiliki tingkat sensitivitas yang lebih tinggi daripada kawasan ekosistem yang tidak dilindungi.
d. Persentase tutupan
Persentase tutupan merupakan proporsi antara luas tempat yang ditutupi terumbu karang hidup dengan luas total habitat. Semakin tinggi persentase tutupan, maka semakin sensitif terhadap paparan tumpahan minyak.
Fringing reef Barrier reef
10
e. Kerapatan terumbu karang
Kerapatan karang adalah posisi dan letak antara karang satu dengan yang karang yang lainnya, baik satu spesies ataupun spesies yang berbeda (Rogers et. al. 1994). Kerapatan dihitung dengan jumlah total koloni dibagi dengan luas area unit sampel, dengan satuan: koloni/m2. Parameter persentase tutupan dan kerapatan terumbu karang perlu untuk dinilai bersamaan. Hal ini diperlukan untuk memberikan penilaian sensitivitas terumbu karang secara utuh, yaitu dari sisi tutupan area perairan oleh karang hidup, dan jumlah koloni karang hidup dalam luasan area perairan (kerapatan).
f. Spesies yang dilindungi
Keberadaan spesies yang dilindungi di suatu ekosistem terumbu karang akan memberikan nilai sensitivitas yang tinggi pada ekosistem tersebut terhadap tumpahan minyak.
g. Kelimpahan ikan
Ekosistem terumbu karang tidak hanya terdiri dari karang, namun juga terdapat biota asosiasi seperti ikan karang. Semakin tinggi kelimpahan ikan maka semakin tinggi nilai sensitivitas ekosistem tersebut.
Parameter dalam Kategori Kapasitas Adaptif (Adaptive Capacity)
Adaptasi dalam konteks ini tidak sama dengan adaptasi biologi yang merupakan kemampuan organisme secara biologis beradaptasi terhadap lingkungan (evolusi) (Fabricius et al. 2007). Kapasitas adaptif dalam kasus tumpahan minyak dinilai berbeda dengan kapasitas adaptif dari ekosistem terumbu karang akibat perubahan iklim. Dalam kasus tumpahan minyak yang merupakan kasus kecelakaan, dimana kejadian terjadi seketika, tidak dapat diprediksi dan memberikan efek terburuk terhadap terumbu karang, maka adaptasi tidak dapat dinilai dari parameter biologi dan ekologi, melainkan dinilai dari faktor luar yang masih terkait dengan ekosistem terumbu karang.
Menurut (Folke et al. 2003, Walker et al. 2004, Adger et al. 2005; dalam
Chapin et al. 2009;) adaptive capacity menunjuk pada kemampuan aktor
(manusia) dalam merespon perubahan dan gangguan. Terdapat 4 perangkat yang menentukan adaptive capacity yaitu: perangkat teknik, kelembagaan, sosial, dan
finansial.
Kemampuan adaptasi menunjuk pada perangkat kelembagaan, perangkat teknikal, perangkat sosial, dan perangkat finansial yang dimiliki oleh aktor (komunitas yang bergantung pada terumbu karang) untuk merespon atau menyesuaikan diri terhadap gangguan tumpahan minyak.
a. Perangkat penanganan tumpahan minyak (oil spill contigency system)
Keberadaan sistem penanggulangan tumpahan minyak di suatu area perairan menentukan seberapa cepat dan efektif suatu kejadian tumpahan minyak dapat ditanggulangi. Semakin siap dan efektif sistem penanggulangan minyak di suatu kawasan maka dampak tumpahan minyak terhadap terumbu karang khususnya dapat lebih cepat ditangani.
b. Institusi konservasi terumbu karang
11 Nasional, sedangkan lembaga non-pemerintah umumnya berbentuk LSM/NGO yang memiliki fokus dalam konservasi sumberdaya terumbu karang.
c. Respon masyarakat
Parameter respon masyarakat mencerminkan kemampuan adaptasi komunitas yang bergantung pada terumbu karang terhadap gangguan yang terjadi pada terumbu karang akibat tumpahan minyak. Respon masyarakat ini diukur dari pengalaman menghadapi dan pulih dari kasus tumpahan minyak sebelumnya. Respon ini juga diukur dari bagaimana masyarakat bereaksi dan bersikap ketika mereka menemukan di daerah mereka terdapat tumpahan minyak. Semakin cepat dan terstruktur proses respon masyarakat dalam melaporkan kejadian tumpahan minyak untuk mendapatkan bantuan penanganan, maka semakin tinggi daya adaptasi untuk mengurangi kerentanan ekosistem terumbu karang.
d. Ketergantungan ekonomi
Faktor ketergantung ekonomi dinilai berpengaruh dalam menentukan daya pulih ekosistem terumbu karang pasca kejadian tumpahan minyak. Semakin rendah ketergantungan secara ekonomi terhadap ekosistem terumbu karang, maka upaya pemanfaatan terumbu karang secara langsung dan kegiatan ekstraksi lainnya bersifat rendah, sehingga tekanan terumbu karang dalam masa pemulihan semakin berkurang. Ketergantungan ekonomi ini dilihat dari kepemilikan aset finansial, sumber penghasilan alternatif dan keterampilan individu untuk mendapatkan sumber penghasilan lain selain dari ekstraksi terumbu karang.
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli - November 2015. Wilayah penelitian ini mencakup wilayah Kepulauan Seribu, DKI Jakarta (Gambar 5). Wilayah ekosistem terumbu karang yang menjadi stasiun sampling yaitu: stasiun Pulau Pramuka, stasiun Pulau Panggang, stasiun Pulau Kelapa, stasiun Pulau Harapan, stasiun Pulau Sebira dan stasiun Pulau Belanda. Lima stasiun pertama merupakan pulau-pulau yang memiliki pemukiman penduduk untuk mendukung aspek sosial-ekonomi, sedangkan stasiun Pulau Belanda merupakan zona inti (aspek perlindungan) kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu.
Jenis Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini terbagi atas data primer dan data sekunder. Data primer berupa hasil survei pakar dan kondisi sosial-ekologi di wilayah penelitian diantaranya: persentase penutupan terumbu karang, kerapatan, spesies dilindungi, pola sebaran, kelimpahan ikan, serta data sosial ekonomi yang terkait dengan pemanfaatan ekosistem terumbu karang.
Pengumpulan data primer untuk mengetahui persen penutupan karang, dan kerapatan terumbu karang di wilayah penelitian dilakukan dengan metode foto transek 50x50 cm2 dengan panjang transek 50 meter. Pengolahan data menggunakan software CPCe (Coral Point Count with Excel extension) (Kohler
12
13 Adapun data sekunder dalam penelitian ini berupa data yang diperoleh dari lembaga atau instansi baik pemerintah maupun non-pemerintah yang terkait dengan topik penelitian. Ringkasan metode pengumpulan data disampaikan pada Tabel 1.
Tabel 1 Metode pengumpulan data
No Jenis Data Metode
Pengumpulan Data
Sumber Data Metode Analisis
1 Ekologi dan biofisik
Tipe dan tunggang
Kelimpahan ikan Underwater visual census
Respon masyarakat Data sekunder
Wawancara
Pengumpulan data dalam penelitian ini dibagi dalam beberapa tahap, yaitu: 1) Tahap studi pustaka
14
tentang studi-studi kerentanan, dampak tumpahan minyak, dan literatur terkait lainnya.
2) Tahap survei pakar (expert judgement/opinion)
Survei pakar (expert judgement/opinion) dilakukan untuk memberikan bobot pada setiap parameter yang digunakan untuk menyusun masing-masing indeks dalam penelitian ini. Pelaksanaan survei pakar dilakukan dengan kuisioner (Lampiran 2) yang dilakukan dengan wawancara dan diskusi langsung. Penilaian pakar digunakan untuk memberi bobot, hasilnya berupa rangking pada masing-masing parameter dalam menyusun kategori penyusun kerentanan ekosistem terumbu karang.
Metode survei pakar dalam penelitian ini menggunakan analisis metode AHP (Analysis Hierarchy Process) yang menggunakan perbandingan berpasangan dari setiap parameter dalam satu kelompok kategori. Metode ini digunakan untuk menentukan siginifikansi masing-masing parameter dalam menyusun indeks kerentanan ekosistem terumbu karang terhadap tumpahan minyak.
Pemilihan responden pakar disesuaikan dengan pemahaman terhadap permasalahan yang diteliti. Penentuan responden dilakukan atas dasar bahwa responden pakar dipilih secara sengaja (purposive sampling) dengan kriteria memiliki kepakaran tentang terumbu karang, ekologi pesisir atau kerentanan. Beberapa pertimbangan dalam menentukan pakar yang akan dijadikan responden adalah:
a. Mempunyai pengalaman yang kompoten sesuai bidang yang dikaji. b. Memiliki reputasi, kedudukan/jabatan dalam kompotensinya dengan
bidang yang dikaji.
c. Bersedia untuk menjadi responden dalam penelitian ini. 3) Tahap survei lapang
Tahap ini adalah proses pengumpulan data primer dan data sekunder yang dibutuhkan sebagai input dalam penelitian ini. Pengumpulan data di lapangan terutama dilakukan untuk melakukan sampling pengamatan ekosistem terumbu karang, dan aspek sosial ekonomi masyarakat setempat yang berhubungan dengan pemanfaatan terumbu karang.
4) Tahap analisis data
Pada tahap ini dilakukan tabulasi data dan analisis data dengan metode analisis yang disampaikan pada subbab berikutnya.
Analisis Data
Formulasi Indeks Kerentanan Ekosistem Terumbu Karang Terhadap Tumpahan Minyak
15 dengan parameter-parameter yang dikelompokkan menjadi kategori keterpaparan (exposure), kepekaan (sensitivity) dan kapasitas adaptif (adaptive capacity).
Formulasi ini bertujuan untuk menyusun formula untuk menentukan kerentanan ekosistem terumbu karang terhadap tumpahan minyak dengan mengidentifikasi parameter-parameter (indikator) dalam kombinasi exposure,
sensitivity dan adaptive capacity. Berdasarkan hasil identifikasi dari studi
pustaka, maka didapatkan parameter (indikator) yang digunakan dalam menyusun kerentanan ekosistem terumbu karang terhadap tumpahan minyak seperti disampaikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Parameter penyusun formula indeks kerentanan ekosistem terumbu karang terhadap tumpahan minyak.
Tipe pertumbuhan terumbu karang (GT)
Perangkat penanganan tumpahan minyak (Oil spill contigency system) (CS)
Tunggang pasang (TR)
Kelandaian (SL) Institusi konservasi
terumbu karang (CI) Tinggi gelombang
(WH)
Status perlindungan ekosistem (PE)
Respon masyarakat (CR)
Tipe substrat perairan (ST)
Persentase tutupan ekosistem terumbu karang (PC)
Kerapatan terumbu karang (CD)
Spesies yang dilindungi (PS)
Kelimpahan ikan (FA)
Konsep kerentanan mengacu pada kerentanan yang dikemukakan oleh Turner et al. (2003), dimana kerentanan (V) merupakan fungsi dari exposure (E),
sensitivity (S), dan adaptive capacity (AC). Dalam formula umum berbentuk: � = � �, �, �� ... (1) Fungsi ini diekspresikan lebih lanjut dalam bentuk persamaan matematika: � = � + � − �� ... (2)
Dengan menjabarkan parameter penyusun indeks ke dalam masing-masing kategori kerentanan, maka berbentuk persamaan berikut:
E = aTT + bTR + cWH + dST + eWD ... (3) S = x1GT + x2SL + x3PE + x4PC + x5CD + x6PS + x7FA ... (4)
16
Keterangan:
V = vulnerability index (indeks kerentanan) E = exposure (kategori keterpaparan)
S = sensitivity (kategori kepekaan)
AC = adaptive capacity (kategori kapasitas adaptif)
a, b, c, d, e, x1, x2, x3, x4, x5, x6, x7, z1, z2, z3, z4 = bobot masing-masing
parameter
Analisis Penentuan Bobot Parameter
Dalam menentukan formula untuk menghitung masing-masing komponen dari beberapa parameter penyusunnya diberikan bobot pada setiap parameter yang didapatkan dari survei pakar. Bobot pada masing-masing parameter menunjukkan tingkat pengaruhnya dalam kesatuan indeks kerentanan. Pakar yang berhasil diwawancarai dalam penelitian ini untuk mendapatkan pendapatnya adalah 10 orang (Lampiran 3). Hasil dari survei pakar dianalisis dengan menggunakan metode AHP (Analysis Hierarchy Process) dengan menggunakan software Expert Choice versi 11.
Metode AHP (Analysis Hierarchy Process) merupakan suatu model yang diperkenalkan oleh Thomas L. Saaty pada tahun 1971. AHP adalah salah satu metode dalam sistem pengambilan keputusan yang menggunakan beberapa variabel dengan proses analisis bertingkat. Analisis dilakukan dengan memberi nilai prioritas dari tiap-tiap parameter, kemudian melakukan perbandingan berpasangan dari parameter-parameter yang ada. Metode ini digunakan untuk membangun suatu model dari gagasan dan membuat asumsi untuk mendefinisikan persoalan dan memperoleh pemecahan yang diinginkan, serta memungkinkan menguji kepekaan hasilnya (Saaty 1993).
Setiap parameter dalam kategori yang sama (keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif) dibandingkan secara berpasangan. Bentuk perbandingan berpasangan dalam matriks dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3 Bentuk matriks perbandingan berpasangan
C A1 A2 A3 A4
17 Tabel 4 Skala perbandingan berpasangan
Nilai 1 Kedua parameter sama penting
Nilai 3 Parameter yang satu sedikit lebih penting daripada parameter yang lainnya
Nilai 5 Parameter satu esensial atau lebih penting daripada parameter lainnya Nilai 7 Satu parameter jelas lebih penting dari parameter lainnya
Nilai 9 Satu parameter mutlak lebih penting dari daripada parameter lainnya Nilai 2,
4, 6, 8
Nilai-nilai antara, diantara dua nilai pertimbangan yang berdekatan
Sumber: Saaty (1993)
Hasil yang diperoleh kemudian diolah menggunakan Expert Choice versi 11.0 untuk mengukur nilai inkonsistensi serta vektor prioritas dari elemen-elemen hirarki. Nilai inkonsistensi lebih dari 0,1 menandakan jawaban responden tersebut tidak konsisten, namun jika nilai tersebut kurang dari 0,1 menandakan jawaban responden tersebut dikatakan konsisten. Perhitungan nilai prioritas (nilai konsekuensi) dihasilkan dengan menggunakan rata-rata geometrik. Dari hasil tersebut juga dapat diketahui kriteria dan alternatif yang diprioritaskan.
Seluruh proses analisis perbandingan berpasangan ini, baik analisis konsistensi dan penentuan nilai konsekuensi dilakukan dengan bantuan software Expert Choice versi 11.0. Jika terdapat inkonsistensi (nilai inkonsistensi >0,1) dari
salah satu responden, maka peneliti dalam hal ini melakukan wawancara ulang sehingga nilai konsitensi dari responden <0,1. Secara teoritis, penentuan prioritas dalam AHP dilakukan dengan menghitung eigenvector dan eigenvalue melalui
operasi matrik. Eigenvector menentukan ranking dari alternatif yang dipilih.
Sedangkan eigenvalue memberikan ukuran konsistensi dari proses perbandingan konsistensi. Setelah dilakukan perbandingan berpasangan untuk setiap kriteria, maka nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat prioritas (bobot).
Penilaian (skoring) parameter
Hasil data lapangan mengenai kondisi masing-masing parameter diberikan nilai skor sesuai dengan kriteria skoring (Tabel 5). Kriteria skoring ini disadur dari berbagai sumber pustaka dan dikelompokkan berdasarkan kaitan kondisi parameter tersebut terhadap keterpaparan, kepekaan atau kapasitas adaptif ekosistem terumbu karang terhadap tumpahan minyak.
Tabel 5 Kriteria skoring masing-masing parameter penyusun indeks kerentanan ekosistem terumbu karang yang digunakan dalam penelitian ini
Parameter Skor dan Kriteria Referensi
18
Parameter Skor dan Kriteria Referensi
1 2 3 4 5
Internasional Nasional Regional Lokal BPMIGAS (2010)
Nilai indeks yang dihasilkan dari perhitungan perlu diklasifikasikan untuk menentukan tingkat kerentanan. Klasifikasi indeks kerentanan didapatkan dengan cara menentukan nilai indeks minimum dan nilai indeks maksimum. Untuk mendapatkan nilai indeks minimum dan nilai indeks maksimum dari persamaan (2), dilakukan dengan mensubsitusi nilai setiap parameter dengan mensubsitusi formula (2) dengan formula (3), (4), dan (5) yang bernilai dari 1 sampai 5. Indeks kerentanan akan maksimum jika E dan S bernilai masing-masing 5 dan AC bernilai 1. Nilai indeks kerentanan minimum jika E dan S masing-masing bernilai 1 dan AC bernilai 5. Melalui simulasi ini didapatkan nilai minumum indeks kerentanan (V)sebesar -3 dan nilai maksimum sebesar 9. Hasil perhitungan nilai indeks minimum dan indeks maksimum tersebut disajikan dalam Lampiran 4.
19 kondisi ini tidak ideal digunakan sebagai sebuah indeks. Untuk itu diperlukan sebuah faktor koreksi (CF) untuk membuat nilai minumum indeks menjadi 0. Faktor koreksi yang digunakan adalah +3 sehingga nilai minumum indeks menjadi 0 dan nilai maksimum indeks menjadi 12. Dengan menggunakan nilai minimum dan maksimum tersebut, skala penilaian tingkat kerentanan ekosistem terumbu karang dibagi menjadi 5 kategori kerentanan sebagaimana disampaikan pada Tabel 6.
Tabel 6 Kategori indeks kerentanan ekosistem terumbu karang terhadap tumpahan minyak
Kategori Kerentanan Interval Kelas
Kerentanan sangat rendah (very low vulnerability) 0 – 2,4
Kerentanan rendah (low vulnerability) >2,4 – 4,8
Kerentanan sedang (moderate vulnerability) >4,8 – 7,2
Kerentanan tinggi (high vulnerability) >7,2 – 9,6
20
3
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kondisi Umum Lokasi Penelitian
Kepulauan Seribu merupakan gugusan pulau-pulau kecil di utara Provinsi DKI Jakarta. Ekosistem terumbu karang merupakan komponen utama bagi masyarakat di Kepulauan Seribu sebagai sumberdaya utama yang menggerakkan kegiatan perekonomian. Secara tradisional ekosistem terumbu karang merupakan sumber mata pencaharian utama. Daerah gosong karang, maupun ekosistem terumbu karang di sekitar pulau merupakan daerah penangkapan ikan utama bagi masyarakat nelayan di Kepulauan Seribu.
Secara geografis, Kepulauan Seribu berbatasan di sebelah utara dengan Laut Jawa/Selat Sunda; sebelah timur dengan Laut Jawa; sebelah selatan dengan Pulau Jawa; dan sebelah barat dengan Laut Jawa/Selat Sunda. Terdapat beberapa potensi utama yang dapat menyebabkan terjadinya tumpahan minyak di Kepulauan Seribu, diantaranya:
- Aktivitas migas: Pertamina Hulu Energi Blok ONWJ, Pertamina EP Lapisan Parigi dan CNOOC.
- Aktivitas pelabuhan: Pelabuhan Tanjung Priok
- Lalu lintas laut internasional: ALKI I yang melintasi Selat Sunda, sebelah barat Kepulauan Seribu.
Dalam wilayah Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu terdapat kawasan Taman Nasional. Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) ditetapkan oleh Menteri Kehutanan dengan SK No. 6310/Kpts-II/2002 dengan luas 107.489 ha. Pengelolaan di wilayah taman nasional ini ditetapkan berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam Departemen Kehutanan Nomor SK.05/IV-KK/2004 tentang Zonasi Pengelolaan Taman Nasional Laut Kepulauan Seribu. Wilayah Taman Nasional Kepulauan Seribu dibagi menjadi beberapa zonasi yaitu: Zona Inti (4.449 Ha), Zona Perlindungan (26.284, 50 Ha), Zona Pemanfaatan Wisata (59.634,50 Ha) dan Zona Pemukiman Taman Nasional (17.121 Ha). Zona inti terbagi menjadi tiga yaitu Zona Inti I yang meliputi perairan sekitar Pulau Gosong Rengat dan Karang Rengat; Zona Inti II yang meliputi perairan sekitar Pulau Penjaliran Barat, Penjaliran Timur, Pulau Peteloran Timur, Peteloran Barat, Buton, dan Gosong Penjaliran; serta Zona Inti III yang meliputi perairan sekitar Pulau Kayu Angin Bira, Belanda dan bagian utara Pulau Bira Besar. Kawasan zona inti ini memiliki fungsi perlindungan Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), ekosistem terumbu karang dan ekosistem
hutan mangrove (BTNKpS 2011).
21 Sepa, Melinjo, Melintang Besar, Melintang Kecil, Perak, Kayu Angin Melintang, Kayu Angin Genteng, Panjang, Kayu Angin Putri, Tongkeng, Petondan Timur, Petondan Barat/Pelangi, Putri Kecil/Timur, Putri Barat/Besar, Putri Gundul, Macan Kecil, Macan Besar/Matahari, Genteng Besar, Genteng Kecil, Bira Besar, Bira Kecil, Kuburan Cina, Bulat, Karang Pilang, Karang Ketamba, Gosong Munggu, Kotok Besar, dan Kotok Kecil. Zona pemukiman adalah bagian kawasan taman nasional yang dijadikan sebagai pusat pemerintahan dan perumahan penduduk masyarakat yang terdapat di Pulau Pemagaran, Panjang Kecil, Panjang, Rakit Tiang, Kelapa, Harapan, Kaliage Besar, Kaliage Kecil, Semut, Opak Kecil, Opak Besar, Karang Bongkok, Karang Congkak, Karang Pandan, Semak Daun, Layar, Sempit, Karya, Panggang, dan Pramuka (BTNKpS 2011).
Kejadian Tumpahan Minyak di Kepulauan Seribu – DKI Jakarta
Indonesia sebagai salah satu penghasil minyak dan sebagai negara kepulauan yang dilintasi oleh pelayaran internasional sangat berpotensi terdampak oleh kejadian tumpahan minyak di perairan. Dalam catatan sejarah tumpahan minyak yang dikumpulkan oleh Mukhtasor (2007); Mauludiyah dan Mukhtasor (2009) tercatat setidaknya 26 kejadian tumpahan minyak di perairan Indonesia (Tabel 7). Kejadian tumpahan minyak yang tercatat tersebut terutama bersumber dari kecelakaan kapal, khususnya kapal tanker dan kecelakaan pada proses eksplorasi dan produksi minyak bumi.
Tabel 7 Histori kejadian tumpahan minyak di Indonesia
Tahun Lokasi Kejadian
1975 Selat Malaka Kandasnya Tanker Showa Maru dan menumpahkan 1 juta ton minyak mentah
1975 Selat Malaka Tabrakan kapal tanker Isugawa Maru dengan kapal Silver Palace
1979 Buleleng, Bali Tanker Choya Maru karam dan menumpahkan 300 ton bensin
Semburan liar pengeboran minyak milik Total Indonesia
1992 Selat Malaka Tabrakan kapal MT. Ocean Blessing dengan MT. Nagasaki Spirit yang menumpahkan 5000 barel minyak tanah
1993 Selat Malaka Karamnya Tanker Maersk Navigator yang memuat minyak mentah
1994 Cilacap Tabrakan antara Tanker MV. Bandar Ayu dengan kapal ikan
1996 Natuna Tenggelamnya KM. Batamas II yang memuat MFO 1997 Kepulauan
Riau
Tabrakan antara Tanker Orapin Global dengan Evoikos menumpahkan 25.000 ton minyak mentah 1997 Kepualau Riau Kebocoran pipa transfer minyak CALTEX
22
Tahun Lokasi Kejadian
1997 Selat Makassar Kandasnya platform E-20 UNOCAL
1997 Selat Madura Tenggelamnya tanker SETDCO
1998 Tanjung
Priok
Kandasnya kapal Pertamina Supply No. 27 dengan muatan solar
1999 Cilacap Robeknya Tanker MT. King Fisher dengan menumpahkan 640.000 liter minyak dan mencemari teluk Cilacap sepanjang 38 km
2000 Cilacap Tenggelamnya KM. HHC yang memuat 9000 aspal
Tenggelamnya Tanker Steadfast yang mengangkut 1200 ton minyak
2002 Perairan Singapura
Tabrakan tanker Singapura Agate dan Kapal Petikemas Tian Yu, mencemari pulau Bintan dan 4 kecamatan di pulau Batam
2003 Sungai Musi Tabrakan kapal Beras milik PT. Toba Pulp Lestari Angiang Shipping dengan Tongkang PLTU 1 mengakibatkan tumpahnya 250 ton minyak bahan bakar diesel milik PLTU Keramasan
2004 Riau Tenggelamnya Tanker Vista Marine yang menumpahkan 200 ton minyak mentah
2008 Indramayu Tanker Arendal mengalami kebocoran pipa dan
menumpahkan 150 ribu DWT minyak
2008 Selat Malaka Tanker Aegis Leader kandas dan menumpahkan 550 ton minyak mentah
2009 Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya
Terbaliknya tanker MT. Kharisma Selatan yang menumpahkan 500 kiloliter MFO (marine fuel oil) 2009 Laut Timor Ladang minyak Montara meledak dan menumpahkan
sekitar 500 ribu liter minyak mentah ke laut setiap hari Sumber: Mukhtasor (2007); Mauludiyah dan Mukhtasor (2009)
Sumber terdekat tumpahan minyak yang dapat mengancam ekosistem terumbu karang di Kepulauan Seribu adalah aktivitas migas, pelabuhan Tanjung Priok dan pelayaran di ALKI 1. Kasus tumpahan minyak yang memasuki kawasan Kepulauan Seribu yang dilaporkan DEPHUT (2004) yaitu pada 28 Desember 2003 dimana tumpahan minyak mencemari 78 dari 87 pulau yang masuk kawasan TNKpS. Setelah itu, pada 24 April 2004 tumpahan minyak mencemari 37 pulau. Selang beberapa minggu tercatat kembali pada 2 Mei 2004 ditemukan tumpahan minyak di sebelah timur laut Pulau Pramuka sampai Pulau Peniki. Kasus keempat pada 5 Mei 2004 tumpahan minyak ditemukan di Pulau Kelapa dan Pramuka dan kasus kelima pada 1 Oktober 2004 gumpalan tar ball setebal 4-5 cm membentuk
hamparan 1-2 kilometer di sekitar Pulau Kotok.
23 menggenang di sekitar empat pulau yang ada di Kepulauan Seribu Selatan, yakni Pulau Pari, Pulau Tikus, Pulau Burung, dan Pulau Payung.
Catatan tentang kejadian tumpahan minyak di Kepulauan Seribu juga disampaikan dalam Estradivari et al. (2009) yang menyebutkan catatan terakhir menurut Tempo, 12 Juni 2007 tumpahan minyak yang terjadi pada bulan Juni 2007, mencemari perairan beberapa pulau meliputi Pulau Kotok Besar, 20 mil di utara Ancol, Jakarta Utara, sampai ke Pulau Harapan, 10 mil di timur laut Pulau Kotok. Gumpalan minyak mengotori pantai-pantai kawasan wisata maupun permukiman di 20 pulau di kawasan tersebut.
Dalam catatan BPMigas (2010) kejadian tumpahan minyak di Area IV yang termasuk di dalamnya kawasan Kepulauan Seribu tercatat setidaknya tiga kali kejadian dengan tiga sumber yang berbeda, seperti disampaikan dalam Tabel 8. Tabel 8 Sejarah tumpahan minyak di Area IV
Nama Perusahaan Jenis Kejadian Volume (Barrels) Tahun
CNOOC SES Ltd. Loading/Offloading 200 2007
PT. PHE ONWJ Loading/Offloading 75 2003
PT. PEP Region Jawa Blow out (Babelan) ? 2004
Sumber: BPMigas (2010)
Pembobotan Parameter Penyusun Indeks Kerentanan Ekosistem Terumbu Karang
Parameter kerentanan pada masing-masing kategori memiliki peran atau signifikasi yang berbeda terhadap besar kecilnya nilai indeks kerentanan ekosistem terumbu karang terhadap tumpahan minyak. Dalam kaitannya dengan signifikansi suatu parameter pada masing-masing kategori penyusun kerentanan (keterpaparan, kepekaan dan kapasitas adaptif), Rao et al. (2008) dan Doukakis (2005) memberikan bobot yang lebih tinggi terhadap parameter yang memiliki signifikansi yang lebih tinggi dibandingkan lainnya. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk memberikan besaran bobot atau signifikansi dari setiap parameter, seperti pemberian nilai signifikansi secara langsung, penggunaan persamaan linear dan penggunaan matriks perbandingan berpasangan sebagaimana yang dijabarkan oleh Saaty (1993). Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah metode perbandingan berpasangan dan menggunakan
software Expert Choice versi 11 untuk pengolahan data.
Penilaian signifikansi masing-masing parameter dalam penelitian ini menggunakan pendapat pakar dengan menggunakan kuisioner. Pakar yang dipilih dalam melakukan penilaian perbandingan berpasangan ini yaitu para dosen, peneliti dan praktisi yang memahami ekosistem terumbu karang dan interaksinya terhadap tumpahan minyak.
Penilaian semua pakar dikombinasikan dengan menggunakan Expert Choice 11 dan hasil yang dikeluarkan merupakan nilai rataan geometrik dari setiap
24
Tabel 9 Bobot parameter yang digunakan
Kategori Parameter Bobot
E
xposu
re Tipe pasang surut (TT) Tunggang pasang (TR) 0,192 0,249
Tinggi gelombang (WH) 0,158
Tipe substrat (ST) 0,148
Kedalaman habitat (WD) 0,253
S
en
sit
ivity
Tipe pertumbuhan terumbu karang (GT) 0,080
Kelandaian (SL) 0,087
Status perlindungan (PE) 0,164
Persen tutupan (PC) 0,152
Kerapatan (CD) 0,183
Spesies dilindungi (PS) 0,222
Kelimpahan ikan (FA) 0,113
A
y Perangkat penanganan tumpahan minyak (CS) 0,300
Institusi konservasi terumbu karang (CI) 0,228
Respon masyarakat (CR) 0,222
Ketergantungan ekonomi (ED) 0,250
Berdasarkan hasil pembobotan yang disampaikan dalam Tabel 9 tersebut dapat diketahui untuk kategori keterpaparan, parameter kedalaman habitat terumbu karang (WD) dan tunggang pasang (TR) merupakan dua parameter yang mendapatkan bobot signifikansi yang paling besar berdasarkan kombinasi penilaian para pakar. Parameter kedalaman habitat terumbu karang (WD) dengan bobot 0,253 dan parameter tunggang pasang dengan bobot 0,249. Dua parameter ini dinilai memiliki pengaruh yang lebih dominan dalam menyebabkan paparan tumpahan minyak terhadap ekosistem terumbu karang semakin besar. Beberapa area terumbu karang dapat terpapar langsung oleh tumpahan minyak pada saat surut terendah (IPIECA 1992) hal ini dipengaruhi oleh parameter tunggang pasang. Semakin besar tunggang pasang maka semakin besar peluang paparan langsung minyak terhadap terumbu karang terutama karang pada perairan dangkal.
Untuk parameter lainnya, yaitu: tipe pasang surut, tinggi gelombang dan tipe substrat perairan memiliki bobot signifikansi secara berturut-turut 0,192; 0,158 dan 0,148. Parameter tipe pasang surut mempengaruhi frekuensi paparan minyak terutama pada saat surut. Parameter tinggi gelombang mempengaruhi tingkat pengadukan minyak dan parameter tipe substrat mempengaruhi berapa lama minyak mengendap di substrat. NOAA (2010) menyebutkan paparan terhadap terumbu karang ditentukan oleh kedalaman dan paparan gelombang. Terumbu karang yang hidup di bagian reef cest dengan kedalaman 0 – 2 meter
25
Untuk kategori kepekaan (sensitivity) parameter keberadaan spesies yang dilindungi (PS), kerapatan koloni karang (CD) dan status perlindungan (PE) merupakan parameter yang memiliki bobot signifikansi yang besar. Bobot untuk parameter tersebut secara berturut-turut adalah 0,222; 0,183 dan 0,164. Gambaran signifikansi masing-masing parameter kepekaan disampaikan pada Gambar 7.
Parameter status perlindungan (PE) dan keberadaan spesies dilindungi (PS) berkaitan dengan status legal yang melekat pada suatu kawasan dan spesies tertentu. Sloan (1993) menyarankan kawasan konservasi dan area perlindungan satwa langka sebagai area kritis yang paling sensitif terhadap tumpahan minyak. Kawasan konservasi seperti Marine Protected Area (MPA) merupakan kawasan yang dinilai perlu dilindungi karea merupakan salah satu pusat keanekaragaman hayati (IPIECA/IMO/OGP, 2012). Oleh karena itu, status perlindungan baik bagi
Gambar 6 Bobot signifikansi parameter dalam ketegori keterpaparan (exposure) berdasarkan hasil survei pakar
0
Gambar 7 Bobot signifikansi paramater dalam kategori kepekaan (sensitivity)
26
kawasan maupun bagi spesies tertentu menjadikannya pertimbangan utama nilai kepekaannya.
Parameter kerapatan karang mencerminkan banyaknya jumlah koloni terumbu karang dalam satuan luas area. Semakin tinggi nilai kerapatan menunjukkan semakin banyak koloni karang dalam satu area, dan hal ini juga mengindikasikan bahwa di area tersebut terdapat banyak karang berukuran kecil (karang muda).
Parameter tipe pertumbuhan terumbu karang memiliki bobot signifikansi 0,080. Parameter kelandaian memiliki bobot signifikansi 0,087. Parameter persentase tutupan memiliki bobot signifikansi 0,152. Parameter kerapatan memiliki bobot signifikansi 0,183. Parameter kelimpahan ikan memiliki bobot signifikansi 0,113.
Kelimpahan ikan merupakan salah satu faktor penting, terutama dalam kaitannya dengan ketergantungan masyarakat pesisir dengan sumberdaya ikan karang. Ikan karang (asociate reef fishes) dapat terdampak oleh tumpahan minyak melalui dua cara, pertama terdampak langsung oleh tumpahan minyak. Minyak yang tumpah di laut akan mengkontaminasi perairan yang kemudian mencemari ikan melalui kulit dan insangnya. Selain itu, pengaruh minyak juga mengkontaminasi telur dan larva ikan. Kedua, ikan karang terpengaruh secara tidak langsung akibat rusaknya habitat terumbu karang sebagai sumber makanan dan terganggunya rantai makanan.
Untuk kategori kapasitas adaptif (adaptive capacity) parameter perangkat penanganan tumpahan minyak merupakan parameter yang memiliki bobot signifikansi yang paling besar yaitu 0,300 (Gambar 8). Parameter ini merupakan parameter kunci dalam upaya mengeliminir, dan memperkecil paparan (exposure) tumpahan minyak terhadap ekosistem terumbu karang. Semakin cepat dan efektif sistem penanganan tumpahan minyak bekerja maka semakin kecil juga risiko paparan tumpahan minyak terhadap ekosistem terumbu karang. Sloan (1993) menyimpulkan oil spill preparedness, perlindungan ekosistem, penanganan pasca
tumpahan minyak dan rehabilitasi menjadi bagian penting dalam memperhitungkan tumpahan minyak. Kesimpulan Sloan (1993) ini sejalan dengan bobot signifikansi parameter dalam kategori kapasitas adaptif di penelitian ini yaitu parameter perangkat penanganan tumpahan minyak dan keberadaan lembaga konservasi.
Gambar 8 Bobot signifikansi parameter dalam kategori kapasitas adaptif (adaptive capacity) berdasarkan hasil survei pakar