• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian Penyakit Parasit Darah pada Sapi Potong di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian Penyakit Parasit Darah pada Sapi Potong di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat"

Copied!
30
0
0

Teks penuh

(1)

KAJIAN PENYAKIT PARASIT DARAH PADA SAPI POTONG

DI KECAMATAN CIPATUJAH, KABUPATEN

TASIKMALAYA, JAWA BARAT

JESSICA RIZKINA WIBOWO

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kajian Penyakit Parasit Darah pada Sapi Potong di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

JESSICA RIZKINA WIBOWO. Kajian Penyakit Parasit Darah pada Sapi Potong di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Dibimbing oleh UMI CHAYANINGSIH.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi, faktor risiko, dan tingkat parasitemia parasit darah berdasarkan kategori umur dan jenis kelamin pada sapi potong di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Sampel darah dikoleksi pada bulan Juli tahun 2012 dari 142 sapi potong. Sampel dibuat di atas gelas objek, diwarnai dengan Giemsa 10% dan diamati menggunakan mikroskop dengan perbesaran 1000x dengan setetes minyak emersi. Jumlah parasit darah dihitung tiap 500 butir sel darah merah. Faktor risiko yang potensial terkait dengan umur, jenis kelamin, dan manajemen pakan yang didapatkan melalui wawancara dengan peternak. Hasil menunjukan bahwa prevalensi tertinggi disebabkan oleh Theileria sp. (57.04%), diikuti oleh Babesia sp. (50%), dan yang terendah Anaplasma sp. (29.57%). Prevalensi theileriosis dipengaruhi oleh umur dan jenis kelamin pada sapi potong (p<0.05), sementara babesiosis dan anaplasmosis tidak berbeda nyata. Di kecamatan Cipatujah, cara beternak tidak mempengaruhi prevalensi, demikian juga pengendalian vektor parasit seperti lalat penghisap darah dan caplak juga tidak mempengaruhi prevalensi. Umumnya, tingkat parasitemia dipengaruhi oleh umur dan perbedaan jenis kelamin, dimana sapi potong betina memiliki tingkat parasitemia lebih tinggi dibandingkan sapi potong jantan, dan sapi potong dewasa (>12 bulan) memiliki nilai parasitemia yang lebih tinggi dibandingkan anakan sapi potong (6-12 bulan) dan pedet (0-6 bulan).

Kata kunci: faktor risiko, parasit darah, parasitemia, prevalensi

ABSTRACT

JESSICA RIZKINA WIBOWO. Study of blood parasite infection on cattle in Cipatujah Sub-district, Tasikmalaya Regency, West Java. Supervised by UMI CHAYANINGSIH.

(5)

raise and vector control. In general, the level of parasitaemia was influenced by age and the differences of sex, wherein female cattle had highest level of parasitaemia compared to male cattle, and adult cattle (>12 months) had higher level of parasitaemia more than child cattle (6-12 months) and calf cattle (0-6 months).

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kedokteran Hewan

pada

Fakultas Kedokteran Hewan

KAJIAN PENYAKIT PARASIT DARAH PADA SAPI POTONG

DI KECAMATAN CIPATUJAH, KABUPATEN

TASIKMALAYA, JAWA BARAT

FAKULTAS KEDOKTERAN HEWAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)

Judul Skripsi : Kajian Penyakit Parasit Darah pada Sapi Potong di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat

Nama : Jessica Rizkina Wibowo NIM : B04090127

Disetujui oleh

Prof Dr drh Umi Cahyaningsih, MS Pembimbing

Diketahui oleh

drh Agus Setiyono, MS PhD APVet Wakil Dekan

(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Yang Maha Kuasa atas segala karunia-Nya sehingga skripsi dengan judul Kajian Penyakit Parasit Darah pada Sapi Potong di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat berhasil diselesaikan.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof Dr drh Umi Cahyaningsih, MS selaku dosen pembimbing skripsi atas segala bimbingan, dorongan, kritik, dan saran yang telah diberikan selama penelitian dan penulisan skripsi ini. Di samping itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Dr drh Savitri Novelina, MSi, PAVet selaku dosen pembimbing akademik yang telah membimbing penulis selama menjadi mahasiswa di Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah J.S. Wibowo, ibu Ria Nurhayati, serta seluruh keluarga terkasih atas segala dukungan dan doa yang diberikan. Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih untuk teman penelitian Ifan, Ardi, dan yang terutama untuk Hery yang selalu membantu dan mendukung penulis untuk bersemangat. Kepada para sahabat, Pucan, Bambang, Wulan, Hendro, dan Yuli penulis mengucapkan terima kasih atas dukungan dan kebersamaan selama ini. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada teman-teman seangkatan Geochelone 46 yang sama-sama berjuang dan bersemangat menempuh pendidikan di Institut Pertanian Bogor.

Penulis berharap semoga skrispsi ini bermanfaat baik bagi penulis maupun bagi pembaca.

(12)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 1

Manfaat Penelitian 1

TINJAUAN PUSTAKA 2

Parasit Darah 2

Babesia sp. 2

Anaplasma sp. 3

Theileria sp. 4

METODE 4

Waktu dan Tempat 4

Prosedur Penelitian 4

Prosedur Analisis Data 5

HASIL DAN PEMBAHASAN 6

Tingkat Prevalensi Infeksi Parasit Darah 6

Tingkat Parasitemia Parasit Darah 7

Faktor Resiko Kejadian Penyakit Parasit Darah 9

SIMPULAN DAN SARAN 11

Simpulan 11

Saran 11

DAFTAR PUSTAKA 12

(13)

DAFTAR TABEL

1 Tingkat prevalensi infeksi parasit darah 6

2 Rataan parasitemia berdasarkan jenis kelamin (t-test) 7

3 Rataan parasitemia berdasarkan kategori umur 8

(14)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Parasit protozoa dapat menginvasi sel darah merah yang dapat menyebabkan penyakit dan menjadi masalah dalam produksi peternakan di Indonesia. Parasit darah yang sering kali menyerang ternak adalah Babesia sp., Theileria sp., dan Anaplasma sp. Hewan yang terinfeksi parasit darah akan menimbulkan kerugian bagi peternak antara lain berupa penurunan bobot badan, pertumbuhan terhambat, biaya pengendalian yang harus dikeluarkan, dan terjadinya kematian (Nasution 2007).

Banyaknya kerugian yang diakibatkan oleh parasit tersebut dan cepatnya transmisi parasit ke ternak maka perlunya dilakukan identifikasi parasit secara berkelanjutan. Indonesia sebagai negara tropis merupakan lingkungan yang baik bagi perkembangan parasit, sehingga parasit pada ternak merupakan kendala biologis yang sulit diatasi, terutama pada peternakan tradisional (Partoutomo 2004).

Upaya pengendalian dan identifikasi parasit pada darah terutama pada sapi dapat dilakukan dengan efektif melalui pendekatan epidemiologi. Data-data dasar yang berkaitan dengan jenis parasit, tingkat kejadian, dan pengetahuan tentang berbagai faktor resiko yang berpengaruh pada kejadian infeksi parasit sangat diperlukan untuk merancang progam pengendalian parasit yang tepat dan efektif.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengindentifikasi jenis parasit darah yang menginfeksi sapi potong, dan mengetahui prevalensi, faktor resiko, dan tingkat parasitemia parasit darah berdasarkan kategori umur dan jenis kelamin pada sapi potong di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi landasan ilmiah untuk penyusunan program pengendalian infeksi parasit darah pada sapi potong di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat.

Manfaat Penelitian

(15)

2

TINJAUAN PUSTAKA

Parasit Darah

Parasit secara normal menimbulkan kerusakan bagi tubuh induk semangya (Ballweber 2001) sehingga dapat didefinisikan sebagai inang yang merugikan individu lain, namun parasit tidak akan menyebabkan kematian segera dari induk semangnya. Jumlah tertentu suatu parasit akan menyebabkan terjadinya penyakit (Begon et al. 2006). Parasit dibagi menjadi dua bagian berdasarkan habitatnya yaitu endoparasit dan ektoparasit. Ektoparasit merupakan parasit makroskopis dan berkembang di luar sel tubuh, sedangkan endoparasit merupakan parasit mikroskopis dan berkembang di dalam sel tubuh. Salah satu endoparasit adalah protozoa yang hidup di dalam sel darah merah (Penzhorn 2006). Protozoa berasal dari kata Proto yang berarti pertama dan zoon yang berarti hewan. Oleh karena itu, protozoa adalah hewan bersel satu yang hidup sendiri atau dalam bentuk koloni.

Protozoa dibagi menjadi tiga subfilum, yaitu Sarchomastigophora, Ciliophora, dan Apicomplexa (Ballweber 2001). Subfilum Apicomplexa merupakan parasit obligat intraseluler dengan tipe reproduksi aseksual dan seksual (Foreyt 2001). Apicomplexa yang memiliki peranan penting adalah Coccidians dan Hemosporidian (Amstrong et al. 2001). Kelompok Coccidians memiliki habitat di sel epitel usus yang dapat menyebabkan coccidiosis enteritis. Kelompok Hemosporidian memiliki habitat di dalam sel darah merah dan dapat menyebabkan anemia hemolitik (Ballweber 2001). Beberapa jenis protozoa yang penting adalah Babesia sp., Theileria sp., dan Anaplasma sp.

Babesia sp.

Babesia sp. merupakan parasit darah yang tersebar di seluruh dunia termasuk di Indonesia, dan ditemukan pertama kali oleh Babes tahun 1888. Babesia memiliki morfologi berbentuk bulat seperti buah pir, oval, piriform, dan berpasangan dengan ukuran sebesar 1.5-2.5 µm (De Sá et al. 2006).

Taksonomi Babesia menurut Bock et al. (2004) adalah sebagai berikut: Kingdom : Protozoa

(16)

3

Siklus reproduksi Babesia terdiri atas siklus seksual dan aseksual. Siklus seksual terjadi di dalam tubuh caplak. Caplak menghisap darah terinfeksi dan akan menghisap eritrosit yang mengandung fase gametosit. Fase ini akan menghasilkan mikrogamet dan makrogamet yang berfusi menjadi zigot kemudian berkembang menjadi ookinet (Uilenberg 2006). Ookinet bermigrasi ke epitel saluran pencernaan, hemolimfe, dan ovarium yang akan menyebabkan larva positif terinfeksi Babesia (transmisi transovarial) (Lubis 2006). Caplak juga mengalami transmisi transtadial, larva yang berkembang menjadi nimfa pada setiap stadium caplak akan terinfeksi (Homer et al. 2000), dan berpotensi sebagai inang antara (Uilenberg 2006). Fase sporogoni terjadi ketika ookinet masuk ke kelenjar ludah caplak, larva atau nimfa yang menyebabkan terjadinya hipertrofi sel kelenjar ludah dan perkembangan multinukleat sporoblast menjadi sporozoit kemudian akan masuk ke dalam tubuh sapi bersamaan dengan gigitan caplak. Siklus aseksual terjadi di dalam eritrosit tubuh sapi. Sporozoit (fase infektif) masuk ke eritrosit melalui saliva caplak yang menggigit sapi, kemudian sporozoit berubah menjadi trophozoit yang mengalami pembelahan biner dan bertunas dua atau empat membentuk merozoit. Pembelahan menyebabkan desakan mekanis sehingga terjadi ruptur eritrosit yang mengeluarkan merozoit dan mencari eritrosit baru kemudian memenetrasinya (Homer et al. 2000). Siklus ini akan terus berlanjut sampai infeksi yang terjadi tidak terkontrol sehingga sapi mati. Ketika caplak menghisap darah inang yang mengandung parasit, sebagian merozoit akan rusak di dalam saluran pencernaan dan sebagian merozoit lain mengalami perubahan menjadi fase gametosit. Fase inilah yang akan berperan dalam reproduksi seksual.

Anaplasma sp.

Anaplasma sp. merupakan parasit obligat intraseluler, bakteri Gram negatif dan hidup di dalam sel darah mamalia (Rymaszeska & Grenda 2008). Inang antara dalam penyebaran parasit Anaplasma sp. adalah caplak dari famili Ixodidae dan Amblyommmidae. Penyebaran Anaplasma sp. dapat terjadi di daerah tropis, sub tropis, Eropa Selatan, dan Amerika (Ashadi & Handayani 1992).

Taksonomi Anaplasma menurut Dumler et al. (2001) adalah sebagai berikut:

Filum : Protobacteri

Kelas : Alpha Protobacteria Ordo : Rickettsiales

Famili : Anaplasmataceae Genus : Anaplasma

Anaplasma sp. berukuran kecil 0.3-0.4 µm, berbentuk kokoid sampai elips dan menyebabkan anaplasmosis (Boone et al. 2001). A. marginale bersifat patogen dan A. central bersifat non-patogen. Vektor dari Anaplasma sp. adalah Boophilus, Rhipicephalus, Hyalomma, Dermacentor, dan Ixodes (Kocan et al. 2004).

(17)

4

perkembangan caplak memiliki potensi menyebarkan Anaplasma (Kocan et al. 2004). Transmisi Anaplasma dapat disebabkan oleh gigitan lalat seperti Tabanus, Stomoxys, nyamuk Psorophora, dan Aedes aegypti.

Theileria sp.

Theleria sp. merupakan penyebab penyakit theileriosis. Penyakit tersebut menyerang sapi dan domba dengan persebaran di daerah Afrika, Asia, Eropa, dan Australia (Taylor et al. 2007). Salah satu siklus hidupnya berada di dalam sel darah merah.

Taksonomi Theileria menurut Bishop et al. (2004) adalah sebagai berikut: Filum : Sporozoa (Apicomplexa)

Infeksi parasit diperantarai oleh Rhipichepalus, Hyalomma, Amblomma, dan Haemaphysalis (Urquhart et al. 2003). Theileria sp. yang menginfeksi sapi adalah T. annulata, T. parva, T. mutans, T.sergenti, T. taurotragi, dan T. velifera (Billiow 2005).

Perbedaan antara siklus hidup Babesia sp. dan Theileria sp. terletak pada tipe infeksinya. Sporozoit Babesia sp. menyerang eritrosit kemudian terjadi pembelahan, sedangkan pada Theileria sp. sporozoit menyerang limfosit dahulu, yang selanjutnya akan menuju eritrosit. Theileria sp. yang berada di dalam eritrosit tidak mengalami pembelahan. Theileria sp. akan hidup beberapa waktu sampai eritrosit mengalami kerusakan dan pergantian sel yang baru. Pada kasus theileriosis, anemia hemolitik jarang dilaporkan terjadi (Kaufmann 1996). Theileria sp. merupakan satu-satunya patogen eukariotik yang dapat menginvasi limfosit yang selanjutnya menginduksi limfoma (Roos 2005).

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli hingga September 2012 di Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Pewarnaan dan pemeriksaan sampel dilaksanakan di Laboratorium Protozoologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Prosedur Penelitian Pengumpulan Data

(18)

5

untuk mengumpulkan data tambahan berkaitan dengan faktor risiko berupa umur, jenis kelamin, cara beternak, dan pengendalian lalat dan caplak.

Penentuan Ukuran Sampel

Jumlah sampel ditentukan dengan asumsi dugaan bahwa tingkat kejadian penyakit parasit sebesar 50% dengan tingkat kepercayaan 90%. Besaran sampel dihitung menggunakan rumus sebagai berikut (Selvin 2004):

= � − �2

Keterangan:

n = besaran sampel darah sapi yang diambil.

P = asumsi dugaan tingkat kejadian sapi yang diambil. L = tingkat kesalahan 10% (0.1).

Berdasarkan rumus di atas didapatkan jumlah sampel minimal 100 sampel yang digunakan. Sampel darah diambil dari sapi potong dewasa (>12 bulan), anak (>6 bulan – 12 bulan) dan pedet (0 – 6 bulan) yang terdapat pada peternakan terpilih.

Pengambilan dan Pewarnaan Sampel Ulas Darah

Pengambilan sampel darah dilakukan melalui vena auricularis pada telinga menggunakan jarum. Pengambilan sampel darah dilakukan menjadi tiga preparat. Setetes darah diletakkan pada tepi gelas objek 1, dengan perlahan ujung gelas objek 2 ditempelkan di atas darah tersebut. Darah akan menyebar di antara sudut gelas objek 1 dan 2. Gelas objek 2 didorong membentuk sudut 450 sehingga terbentuk ulas darah tipis. Sediaan ulas darah dikeringkan dan difiksasi menggunakan metanol selama 3 – 5 menit. Setelah dibiarkan kering, preparat ulas darah diwarnai dengan larutan Giemsa 10% dan direndam selama 30 menit. Preparat ulas darah yang telah diwarnai dicuci dengan aquades, dikeringkan lalu diperiksa di bawah mikroskop (Mahmmod et al. 2011).

Pemeriksaan sampel ulas darah

Pemeriksaan ulas darah dilakukan untuk mengetahui infeksi parasit protozoa yang ada di darah yaitu Babesia sp., Theilleria sp., dan Anaplasma sp. Pemeriksaan ulas darah dilakukan secara acak pada lima lapang pandang dengan pembesaran 1000×. Jumlah parasit intraseluler darah dihitung untuk tiap 500 butir sel darah merah (Alamzan et al. 2008). Nilai parasitemia dihitung dengan rumus:

�ℎ �� � �� �ℎ �

Prosedur Analisis Data

(19)

6

parasitemia terhadap umur, serta uji T (t-test) untuk membandingkan tingkat parasitemia terhadap jenis kelamin. Analisa data menggunakan program SPSS 16.0 dan Microsoft Excel 2010.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah sampel darah sapi potong yang diperiksa sebanyak 142 sampel, ditemukan 71 sampel positif Babesia sp., 42 sampel positif Anaplasma sp., dan 81 sampel positif Theileria sp.. Tingkat prevalensi tertinggi disebabkan oleh Theileria sp. yaitu sebesar 57.04%, diikuti dengan Babesia sp. sebesar 50% dan yang terendah adalah Anaplasma sp. sebesar 29.57%. Tingkat prevalensi infeksi parasit darah pada sapi potong di Kecamatan Cipatujah disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Tingkat prevalensi infeksi parasit darah Jenis parasit darah Jumlah sampel Jumlah sampel

positif Prevalensi (%)

Babesia sp. 142 71 50.00%

Anaplasma sp. 142 42 29.57%

Theileria sp. 142 81 57.04%

Nilai prevalensi babesiosis, anaplasmosis, dan theileriosis dipengaruhi oleh kondisi iklim serta letak geografis yang sesuai untuk perkembangan caplak dan lalat penghisap darah yang merupakan vektor pembawa parasit darah. Kecamatan Cipatujah berada di pesisir Kabupaten Tasikmalaya, merupakan wilayah yang termasuk ke dalam iklim tropis, berdasarkan data dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) (2012) untuk Provinsi Jawa Barat wilayah ini memiliki temperatur rata-rata berkisar 20 0C sampai 34 0C dengan kelembapan udara 80%, sedangkan curah hujan rata-rata perbulan 185.135 mm dengan jumlah hari hujan rata-rata 31 hari/tahun. Pernyataan Djaidi (1988) yang didukung oleh Himawan (2009) menyatakan bahwa daur hidup caplak dipengaruhi oleh suhu, kelembapan, dan curah hujan, sehingga dengan kelembapan tinggi, caplak dapat berkembang biak secara terus-menerus sepanjang tahun. Laporan dari De Voss dan Potgreter (1991) juga menyatakan dengan tingkat kelembapan sekitar 87% yang merupakan kondisi optimum bagi perkembangan caplak, parasit darah akan banyak menginfeksi ternak. Kondisi iklim tropis ini juga mempengaruhi keberadaan lalat penghisap darah sesuai dengan pernyataan dari Arunkumar dan Nagarajan (2013). Waktu saat pengambilan sampel juga mendukung meningkatnya tingkat infeksi parasit pada ternak yaitu sekitar permulaan musim kemarau (bulan Juli) yang berarti pada saat kelembapan udara yang cukup tinggi akibat kemarau.

(20)

7

keduanya memiliki nilai yang berdekatan. Nilai prevalensi Theileria sp. yang mencapai 57.04% termasuk cukup tinggi yang berarti lebih dari setengah ternak di kawasan tersebut yang terinfeksi mengandung Theileria sp. Bishop (2004) menyatakan hal ini bisa terjadi karena beberapa spesies kutu atau caplak dapat menginfeksi sapi, dan lebih dari satu spesies Theileria sp. dapat ditularkan oleh kutu yang sama.

Tingkat Parasitemia Parasit Darah

Tingkat parasitemia berdasarkan jenis kelamin

Sapi jantan yang terinfeksi Theileria sp. menunjukan rataan parasitemia yang berbeda nyata (p<0.05) dengan betina, sedangkan sapi jantan yang terinfeksi Babesia sp. dan Anaplasma sp. tidak menunjukan rataan parasitemia yang berbeda nyata dengan betina. Persentase parasitemia terhadap jenis kelamin memiliki nilai <1% (Tabel 2).

Tabel 2 Rataan parasitemia berdasarkan jenis kelamin (t-test) Jenis kelamin Jumlah

Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji t-test).

(21)

8

Tingkat parasitemia berdasarkan umur

Pada sapi dewasa rataan parasitemia pada Babesia sp., Anaplasma sp., dan Theileria sp. lebih tinggi dibandingkan rataan pada anakan sapi dan pedet. Rataan parasitemia Theileria sp. tidak berbeda nyata antara pedet dan anakan, sedangkan pada sapi dewasa menunjukan perbedaan yang nyata lebih tinggi (p<0.05) dengan pedet dan anakan. Parasitemia Anaplasma sp. dan Babesia sp. tidak berbeda nyata antara pedet, anakan, maupun sapi dewasa. Persentase parasitemia pada berbagai tingkat umur memiliki nilai kurang dari 1% (Tabel 3).

Tabel 3 Rataan parasitemia berdasarkan kategori umur Klasifikasi

Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji lanjut Duncan).

Berdasarkan Tabel 3, hasil pemeriksaan sampel Theileria sp. menunjukkan bahwa umur ternak dapat mempengaruhi resistensi ternak terhadap infeksi Theileria. Hewan berusia muda (pedet dan anak) mendapatkan maternal antibodi dari induknya melalui kolostrum induk yang telah terinfeksi oleh parasit (Soulsby 1982), sehingga lebih resisten terhadap infeksi parasit dibandingkan sapi dewasa. Meningkatnya nilai parasitemia pada saat sapi berusia dewasa diduga berkaitan dengan antibodi terhadap parasit yang didapatkannya dari kolostrum induk sapi dan antibodi maternal yang mulai menghilang pada saat sapi berumur lebih dari satu tahun (Levine 1995).

(22)

9

Faktor Risiko Kejadian Penyakit Parasit Darah

Rataan parasitemia pada babesiosis, anaplasmosis, dan theileriosis berdasarkan faktor jenis kelamin menghasilkan nilai rataan pada sapi betina yang lebih tinggi dibandingkan sapi jantan, dan menunjukan hasil yang berbeda nyata pada kasus theileriosis. Rataan parasitemia pada babesiosis, anaplasmosis, dan theileriosis berdasarkan faktor umur juga menunjukan hasil yang meningkat mengikuti meningkatnya umur sapi, hal ini juga menunjukan perbedaan yang nyata pada theileriosis. Selain faktor umur dan jenis kelamin, faktor risiko yang menyebabkan terjadinya infeksi parasit adalah cara beternak, tindakan pengendalian lalat, tindakan pengendalian caplak, dan tempat penggembalaan. Faktor-faktor risiko tersebut didapatkan berdasarkan hasil dari kuesioner terhadap peternak yang disajikan pada Tabel 4.

Pada faktor cara beternak, terdapat dua hal yang dilakukan yaitu dikandangkan terus menerus atau dilepas pada pagi hari kemudian dikandangkan pada malam hari. Berdasarkan data yang didapat, kedua cara beternak yang terkena babesiosis, anaplasmosis, dan theileriosis didapatkan hasil tidak berbeda nyata. Lebih banyaknya nilai positif terinfeksi pada ternak yang dikandangkan terus-menerus dibandingkan dengan ternak yang dilepas pada pagi hari dan dikandangkan pada malam hari diduga berkaitan dengan adanya aktivitas vektor parasit yang menginfeksi inang secara terus-menerus di dalam kandang tersebut. Caplak yang jenuh darah akan menjatuhkan diri dari tubuh induk semangnya, umumnya terjadi pada pagi hari antara pukul enam sampai pukul sepuluh pagi (Harahap 2001) sehingga apabila dikandangkan terus-menerus infeksi parasit akan mudah terjadi. Sapi memiliki perilaku dan kebiasaan seperti menggigit-gigit, menjilat-jilat dan menggaruk-garuk sehingga dapat menjatuhkan sejumlah caplak yang terdapat pada tubuhnya. Adapun masih terdapatnya sapi yang terinfeksi dengan cara beternak dengan melepaskan pada pagi hari dan dikandangkan pada malam hari diduga banyaknya caplak di rerumputan tempat dilepaskannya ternak sehingga mudah menginfeksi sapi tersebut. Hal ini dipertegas oleh Himawan (2009) yang menyatakan bahwa caplak sedang aktif berburu pada puncak rerumputan saat pagi hari. Banyaknya hasil positif pada tempat penggembalaan di sawah diduga karena banyak rerumputan atau alang-alang disekitar sawah, dibuktikan dengan kondisi geografis Cipatujah yang banyak rerumputan.

(23)
(24)

Tabel 4 Hasil analisis chi square faktor risiko kejadian penyakit parasit darah

Faktor N Babesia sp. Anaplasma sp. Theileria sp.

n % P OR n % P OR n % P OR

Cara beternak

- Dikandangkan terus-menerus 48 40 83 0.106 Ref 31 65 0.702 Ref 43 90 0.178 Ref - Dilepas pagi hari,

dikandangkan malam hari 7 4 57 0.27 4 57 0.73 5 71 0.29

Tindakan pengendalian lalat

- Insektisida 14 10 71 Ref 9 64 Ref 12 86 Ref

- Diusir secara mekanis 37 31 84 0.321 2.07 24 65 0.969 1.03 33 89 0.731 1.38 - Tidak melakukan apa-apa 4 3 75 0.888 1.20 2 67 0.605 0.56 3 75 0.612 0.50 Tindakan pengendalian caplak

- Insektisida 6 3 50 0.082 Ref 3 50 0.202 Ref 5 83 0.658 Ref

- Diambil secara manual 29 24 83 4.80 22 79 3.14 26 90 1.73

Tempat penggembalaan

- Sawah 5 3 60 0.809 Ref 3 60 0.809 Ref 4 80 0.427 Ref

- Padang rumput 2 1 50 0.67 1 50 0.67 1 50 0.25

(25)
(26)

11

Tindakan pengambilan caplak dengan dikerok kulitnya dan dibiarkan tanpa diberi obat luka dapat mengundang lalat karena timbulnya borok. Oleh karena lalat penghisap darah merupakan vektor penting dalam penyebaran infeksi parasit (Arunkumar dan Nagarajan 2013) maka sebaiknya dilakukan tindakan seperti insektisida atau minimal dengan diusir secara mekanis. Tingginya nilai prevalensi infeksi parasit pada sapi dalam tindakan pengendalian lalat yang telah diberi insektisida diduga berkaitan dengan kurangnya pengetahuan peternak dalam penggunaan insektisida untuk lalat. Peternak diduga menggunakan jenis insektisida yang tidak tepat (spesifik lalat) dan melakukan pemberian yang tidak teratur, sehingga menyebabkan resisten pada pengendalian lalat. Tingginya nilai prevelansi dengan tindakan secara mekanis pada lalat diduga lingkungan di dalam atau sekitar kandang yang kotor sehingga pengusiran secara mekanis tidak mampu dan efektif dalam menangani banyaknya lalat.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Pada peternakan rakyat sapi potong di daerah Kecamatan Cipatujah, Kabupaten Tasikmalaya, hasil prevalensi tertinggi adalah theileriosis, diikuti oleh babesiosis dan yang terendah adalah anaplasmosis. Faktor umur dan jenis kelamin berpengaruh terhadap nilai prevalensi theileriosis, sedangkan babesiosis dan anaplasmosis tidak berbeda nyata. Secara umum, peningkatan jumlah parasit sejalan dengan peningkatan umur pada ternak. Adanya faktor risiko berupa manajemen, pakan ternak, dan pengendalian vektor parasit darah tidak mempengaruhi nilai prevalensi babesiosis, anaplasmosis, dan theileriosis.

Saran

Penanganan kasus infeksi parasit darah di Kecamatan Cipatujah Kabupaten Tasikmalaya dapat dilanjutkan secara berkesinambungan dengan memperbaiki manajemen serta dijalankannya program pengendaliaan dan pemberantasan vektor pembawa parasit.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad RZ. 2008. Beberapa penyakit parasitik dan mikotik pada sapi perah yang harus diwaspadai. Semiloka Nasional Prospek Industri Sapi Perah menuju Perdagangan Bebas 2020. 316-321.

Alamzan C, Medrano C, Ortiz M, Fuente JDL. 2008. Genetic diversity of Anaplasma marginale strains from outbreak of bovine anaplasmosis in an endemic area. Vet Parasitol. 158: 103-109.

(27)

12

Arifin C, Soedarmono. 1982. Parasit Ternak dan Cara Penanggulangannya. Jakarta (ID): Penebar Swadaya.

Arunkumar S and Nagarajan K. 2013. A study on prevalence status of Anaplasma marginale infection among cattle population of Kancheepuram and in and around Chennai district of Tamil Nadu. J Int of Food, Agricult, and Vet Sci. 3(1): 155-157.

Ashadi G, Handayani SU. 1992. Protozoologi Veteriner 1. Bogor (ID): IPB Pr. Atif FA, Muhammad SK, Hafiz JI, Ghulam MA, Ejaz A, Sami U. 2012.

Prevelence of Anaplasma marginale, Babesia bigemia and Theileria annulata infections among cattle in Sargodha District, Pakistan. African J. Agric Res. 7(22): 3302-3307.

Ballweber LR. 2001. The Practical Veterinarian. USA (US): Butterwoerth-Heinemann.

Begon M, Townsend CR, Harper JL. 2006. Ecology from Individuals to Ecosystems. United Kingdom (GB): Blackwell Publishing.

Beriajaya 1982. Pengaruh jenis induk semang terhadap aspek pertumbuhan caplak sapi Boophilus microplus [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Bilgic HB, Karagenc T, Simuunza M, Shiels B, Tait A, Eren H, Weir W. 2013. Development of a multiplex PCR assay for simultaneous detection of Theileria annulata, Babesia bovis, and Anaplasma marginale in cattle. Exp Parasitol. 133(2): 222-229.

Billiow M. 2005. The epidemiology of bovine theileriosis in the Eastern Province of Zambia. Laboratorium voor Parasitologie. Faculteit Diergeneeskunde. Universiteit Gent.

Bishop R, Musoke A, Morzaria S, Gardner M, Nene V. 2004. Theileria: intracellular protozoan parasites of wild and domestic ruminants transmitted by Ixodid ticks. Parasitol. 129: 271-283.

[BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2012. Prakiraan Cuaca Provinsi Jawa Barat [Internet]. [Diunduh 2014 Jan 8]. Tersedia pada: http://meteo.bmkg.go.id/prakiraan/propinsi/.

Bock R, Jackson L, De Vos A, Jorgensen W. 2004. Babesiosis of cattle. Parasitol. 129:247-269.

Boone DR, Richard WC, George MG. 2001. Bergey’s Manual of Systematic Bacteriology. New York (US): Springer.

Cantu A, Ortega JA, Mosqueda J, Zeferino GV, Scott EH, John EG. 2007. Immunologic and molecular identification of Babesia bovis and Babesia bigemina in free-ranging white-tailed deer in Northern Mexico. J Wildl Dis. molecular characterization of Babesia canis vogeli from naturally infected Brazilian dogs. Intern J Appl Res Vet Med. 4(2):163-168.

(28)

13

International Laboratory for Research on Animal Disease. Kenya (KE): Nairobi. hlm 3-12.

Dewi RT. 2009. Babesiosis pada sapi potong impor dari Australia melalui pelabuhan Tanjung Priok [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Dumler JS, Barbet AF, Bekker CPJ, Dasch GA, Palmer GH, Ray SC, Rikihisa Y, Rurangirwa FR. 2001. Reorganization of the genera in the families Rickettsiaceae and Anaplasmataceae in the order Rickettsiales: unification of some species of Ehrlichia with Anaplasma, Cowdria with Ehrlichia and Ehrlichia with Neorickettsia, descriptions of six new species combinations and designation of Ehrlichia equi and “HGE agent” as subjective synonims of Ehrlichia phagocytophila. Int J. Syst Evol Microbiol. 51:2145-2165.

Foley JE, Biberstein EL. 2004. Anaplasmataceae. Di dalam: Walker LR, editor. Veterinary Microbiology. California (US): Blackwell Pub.

Foreyt WJ. 2001. Veterinary Parasitology Reference Manual 5th Edition. Iowa

(US): Iowa State Press.

Harahap IS. 2001. Aspek biologis caplak sapi Boophilus microplus (Canestrini, 1887) Indonesia dalam kondisi laboratorium [skrispi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Himawan W. 2009. Identifikasi parasit darah pada Kerbau Belang (Tedong Bonga) dan Kerbau Rawa (Swamp Buffalo) di Kabupaten Toraja Utara, Sulawesi Selatan. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Homer MJ, Delfin IA, Telford III SR, Krause PJ, Persing DH. 2000. Babesiosis. Clin. Microbiol. Rev. 13(3):451

Hornok S, Foldva’ri G, Elek V, Naranjo V, Farkas R, Fuente J. 2008. Moleculer

identification of Anaplasma marginale and Rickettsial endosymbionts in blood-sucking flies and hard ticks. Vet Parasitol. 154: 354-359.

Kaufmann J. 1996. Parasitic Infections of Domestic Animals-A Diagnostic Manual. Berlin (DE): Birkhauser.

Kocan KM, Blounin EF, Barbet AF, 2000. Anaplasmosis control. Past, Present, and future. Ann. NY. Acad Sci. 916:501-509.

Kocan KM, Fuente J, Guglielmone AA, Mele’ndez RD. 2004. Antigens and alternative for control of Anaplasma marginale infection in cattle. J Clin Mcrobiol. Rev. 16:698-712.

Levine ND. 1995. Protozologi Veteriner. Soekardono S, penerjemah; Brotowidjojo D, editor. Yogyakarta (ID): Gadjah Mada University. Terjemahan dari: Veterinary Protozoology.

Lubis FY. 2006. Babesiosis (piroplasmosis). Cermin Dunia Kedokteran. 152:27-29

Nasution AYA. 2007. Parasit darah pada ternak sapi dan kambing di lima kecamatan, Kota Jambi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Manurung J. 2002. Studi prevalensi infeksi caplak pada sapi di Kecamatan Ciracap dan Kecamatan Surade Kabupaten Sukabumi Jawa Barat dan cara-cara peternak menanggulanginya. Bogor (ID) : Balai Penelitian Veteriner.

Partoutomo S. 1996. Patogenesis Trypanosoma evansi pada kerbau yang diberi ransum bermutu tinggi dan rendah. J Ilmu Ternak dan Veteriner. 2(2): 137-144. Partoutomo S. 2004. Pengendalian parasit dengan Genetic Host Resistance.

(29)

14

Penzhorn BL. 2006. Babesiosis of wild Carnivores and Ungulates. Veterinary Parasitology. 138: 11-21.

Price CJ, Reed JE. 1970. Practical Parasitology. Roma (IT): FAO and UNDP. Ristic M, Kreier JP. 1981. Babesiosis. New York (US): Academic Pr. Inc.

Roos DS. 2005. Themes and Variations in Apicomplexan Parasite Biology. Science. 309:72-73.

Rymaszewska A, Grenda S. 2008. Bacteria of the genus Anaplasma-characteristics of Anaplasma and their vector: a Review. Veterinarni Medicina. 53(11):573-584.

Sajid MS, Iqbal S, Khan MN, Muhammad G, Khan MK. 2009. Prevalence and associated risk factors for bovine tick infestation in two districts of lower Punjab, Pakistan. J Pre Vet Med. 92: 386-391.

Siegel S. Howert E, Leroy BR. 2006. East Coast Fever (Theileria parva)-A Review. Veterinary Clinical Pathology Clerkship Program. Athens (GR): Department of Pathology, College of Veterinary Medicine. University of Geo Athens.

Soulsby EJL. 1982. Helminth, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animal. New York (US): Academic Press.

Tampubolon MP. 2004. Protozoologi. Bogor (ID): Pusat Studi Ilmu Hayati, Institut Pertanian Bogor.

Taylor MA, Coop RL, Wall RL. 2007. Veterinary Parasitology. Oxford (GB). Blackwell Publishing.

Uilenberg G. 2006. Babesia—a Historical Overview. Veterinary Parasitology. 138:2-10.

(30)

15

RIWAYAT HIDUP

Penulis bernama lengkap Jessica Rizkina Wibowo. Penulis lahir di Bogor pada tanggal 23 Januari 1991 dari pasangan Bapak Johanes S. Wibowo dan Ibu Ria Nurhayati. Penulis merupakan anak tunggal di dalam keluarga tersebut.

Gambar

Tabel 4 Hasil analisis chi square faktor risiko kejadian penyakit parasit darah

Referensi

Dokumen terkait

Kapan lagi, Anda bisa mendapatkan fasilitas gratisan di facebook marketing beserta penunjang ilmunya. Berupa teknik facebook graph yang nantinya akan membantu Anda dalam membuka

Dikarenakan belum adanya aturan perundangan ( Hukum Positif ) yang mengatur transaksi perdagangan dengan model transaksi elektronik ( Electronic Commerce ) tersebut maka

Maka di lihat dari tuturan kutipan tersebut maka citra hotel bisnis yang ingin dibentuk melalui Restoran The Café menggunakan The wish image (citra yang diinginkan) karena

Materi pokok pengaturan selanjutnya ialah berkaitan instrumen hukum yang mengjadi dasar hubungan kerja antara calon advokat dengan advokat pendamping dan/ atau pemilik

- OTONOMI DAERAH, PEMERINTAHAN UMUM, ADMINISTRASI KEUANGAN DAERAH, PERANGKAT DAERAH, KEPEGAWAIAN DAN

Management) atau Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya (Sustainable Resource Management) KLHS diaplikasikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, dan a) dilaksanakan

infrastruktur Bidang Cipta Karya, di luar APBN dan APBD, antara lain melalui. KPS, CSR,

lii tamlik. Artinya bahwa kewajiban ayah memberi nafkah kepada anak adalah bersifat memberi manfaat dan untuk diambil manfaatnya oleh anak tersebut, bukan kemudian