ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP :
KASUS DI PANTAI UTARA JAWA TENGAH
SUSENO
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
SUSENO. Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap, Kasus Pantai Utara Jawa Tengah. Komisi Pembimbing : Daniel R. Monintja (Ketua), Budy Wiryawan (Anggota), Tommy Hendra P u m a k a (Anggota)
Pendekatan policy study dan analysis dari Hogwood and Gunn (1984) terhadap kebijakan pengelolaan Perikanan Tangkap (PT) lingkup intemasional, nasional dan daerah menunjukkan bahwa pada periode sentralistik dan desentralistik terdapat 27 aspek dari 30 aspek pengelolaan yang telah diatur. Memasuki periode desentralistik, terdapat lima dari 16 aspek yang secara konsisten diatur mulai dari produk hukum intemasional sarnpai daerah. Selanjutnya dari seluruh aspek yang berhasil dieksplorasi dan yang relevan dengan pengelolaan PT, terdapat satu aspek yang belum secara eksplisit diatur oleh hukum intemasional namun terdapat dalam produk hukum nasional, yaitu pembangunan prasarana perikanan. Dilihat dari seluruh aspek yang diatur oleh hukum internasional, nasional dan daerah, ditemukan bahwa belum terdapat satu aspek pun yang telah diatur melalui Perda KabupatenIKota.
Hasil content analysis mengindikasikan bahwa kebijakan pengelolaan PT cenderung mengarah pada pendekatan rasional. Hasil estimasi menggunakan Scheafer (1954), untuk kegiatan usaha penangkapan ika? demersal yang mengoperasikan alat tangkap arad baik di Kota Tegal dan Kabupaten Pekalongan menunjukkan terjadinya overfshing. Kondisi ini disebabkan jumlah nelayan yang menggunakan alat tangkap ini relatif banyak dan tingkat upaya penangkapan yang tinggi. Artinya, kebijakan pengelolaan PT dilaksanakan tanpa control yang memadai. Sehingga pelaksanaan kebijakan dengan paradigma rasional selama ini tidak efektif dalam mendukung terwujudnya pengelolaan PT yang berkelanjutan. Kondisi overfishing dan tingkat upaya yang tinggi berpotensi memicu konflik antar nelayan (internal allocation). Alternatif strategi perencanaan yang diolah dengan A'WOT, menunjukkan bahwa kebijakan pengelolaan PT terdesentralistik (P2T2)menjadi prioritas pertama.
Berdasarkan temuan penelitian bahwa partisipasi masyarakat dan pelayanan publik cenderung membaik pada periode desentralistik, maka pendekatan co-management yang dimulai pada tahap Consultative (Pomeroy, 1997) dapat dipertimbangkan. Pelayanan publik melalui Dinas setempat masih diharapkan untuk mengumpulkan dan menyediakan informasi tentang sumber daya, serta memfasilitasi perencanaan dan penyusunan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap demersal setempat. Selain itu, Dinas diharapkan dapat berperan untuk menyeimbangkan paradigma konservasi, rasional dan sosial dan berbagai tahapan termasuk proses resolusi konflik guna mencapai solusi konflik
ABSTRACT
SUSENO. Policy Analysis on Capture Fisheries Management, Case of Northern Coast of Central Java. Under the direction of Daniel R. Monintja (Chairperson), Budy Wiryawan (Members), Tommy Hendra Purwaka (Members)
Pursuant to the policy study and analysis of Hogwood and Gunn (1984) to all policies on Capture Fisheries Resource Management or Perikanan Tangkap (PT), showed that during centralistic and decentralist period from 30 management aspects there are 27 aspects which have been arranged and three aspects which not yet been arranged. While entering decentralist period, there are 16 aspects of national law product arranging, but only five aspects which was consistently arranged starts from international to regional product.
Hereinafter from entire aspects were explored and relevant to the management of PT, there is one aspect which is not explicitly set by the international law but there are in national law product, which is development of fishery infrastructure. On the contrary there are four aspects which explicitly set by international policy but not been arranged yet by national policy. Seen from entire aspect set by international
,
regional and national policy, in fact there is no aspect has been arranged yet Lkough Perda Kabupaten I Kota. Based on content analysis it is found that fisheries management is tend to apply rational paradigm.The result of estimation based on Scheafer (1954), both in Kota Tegal and Kabupaten Pekalongan indicated that capture business activity of demersal fish by using Arad fishing gear is not profit able anymore due to overfishing. This indicate that the management of PT during the time was not effective in supporting the sustainable of management of PT, and also can trigger conflict (internal allocation). The alternatives decentralized strategic planning analyzed by A'WOT, indicate that decentralized PT management policy (P2T2) should be given as the fisrt priority.
Based on the findings that people participation and public service are tend to improve in the period of decentralistic, co-management can be considered as an approach through "consultative" lader (Pomeroy, 1997). Role of District1 Municipal office of Marine Affairs and Fisheries is still expected to gathering and provide information concerning the resource, exercing the management planning and policy and initiate concepts for local PT management for the arad fisheries. In addition, the Office is also expected to balance the conservations, social and rational paradigm and various steps including conflict resolution process.
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya "Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap: Kasus di Pantai Utara Jawa Tengah"
adalah karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun pada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.
Suseno
ANALISIS KEBIJAKAN PENGELOLAAN PERIKANAN TANGKAP :
KASUS DI PANTAI UTARA JAWA TENGAH
SUSENO
Disertasi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada
Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Disertasi : Analisis Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap
: Kasus di Pantai Utara Jawa Tengah Nama Mahasiswa : Suseno
NRP : C5260140414
Program Studi : Teknologi Kelautan
Disetujui,
Prof. Dr. Daniel R. Monintia Ketua
Anggota
Dr. Tommy H. Purwaka. SH.LLM Anggota
Diketahui,
Dekan Sekolah Pascasarjana
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Malang pada tanggal 10 Desember 1959 sebagai anak pertama dari Bapak Ukak Sukoyono dan Ibu Endang Sarwilis. Penulis menyelesaikan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri I Malang pada tahun 1978 dan melanjutkan pendidikan di Fakultas Perikanan Universitas Brawijaya Malang, ldus tahun 1984. Tahun 1996 Penulis melanjutkan pendidikan Strata 2 pada Program Pascasarjana Universitas Trisakti Jakarta dan selesai pada tahun 1998. Selanjutnya tahun 2001 Pendis mengikuti Program Strata 3/Teknologi Kelautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Pada tahun 1984 setelah Penulis menyelesaikan studi Studi S1, Penulis beke rja pada Direktorat Bina Program, Direktorat Jenderal Perikanan Departemen Pertanian. Pada tahun 1990 Penulis memperoleh kesempatan bekerja pada Planning Division, United Nations Food and Agriculture Organization, Roma, Italia. Selanjutnya pada tahun 2000 Penulis bekerja pada Inspektorat Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan hingga sekarang.
PRAKATA
Puji syukur Penulis panjatkan kepada Allah SWT atas perkenanNya sehingga desertasi ini dapat diselesaikan. Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Departemen Pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.
Pada kesempatan ini Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada Komisi Pembimbing yaitu Prof Dr Daniel R Monintja MSc sebagai Ketua Komisi yang telah sangat tulus ikhlas mengorbankan waktunya yang sangat berharga baik siang maupun malam dalarn membangkitkan motivasi dan membimbing Penulis dalarn persiapan, pelaksanaan dan penyelesaian disertasi. Kepada Dr.Ir.Budy Wiryawan M.Sc sebagai anggota Komisi Pembimbing, yang telah merelakan seluruh pustaka di rumah beliau dipinjarnkan dan secara proaktif memperjuangkan waktu luang untuk terbang dari Kalimantan Timur ke Jakarta guna membimbing dan membantu persiapan, pelaksanaan dan penyelesaian disertasi
.
Kepada Dr Tommy H.Purwaka SH,LLM sebagai anggota Komisi Pembimbing, yang telah memberikan inspirasi, dan bimbingan selama persiapan, pelaksanaan dan penyelesaian disertasi. Terima kasih yang tak terhingga Penulis sampaikan kepada Dr. Purwito M MSc,
Prof Dr. Ir. S.Budi Prayitno MSc, dan Dr Ir. Subhat Nurhakim MSc yang telah mengorbankan waktunya yang sangat berharga untuk membantu Penulis menyelesaikan disertasi. Kepada Drs Nuroto, Sdr Turhadi, Ir Ari Sulaksono, dan pam sahabat yang telah mengupayakan begitu banyak dukungandi
lapangan selarna Penulis melakukan penelitian. Kepada kedua orangtua ,me- Penulis, dan Anita Karmelia ( isteri), Shinta Meirina Hapsari (anak) dan Gendis Asri Mailundi (anak) yang mendoakan dan telah berkorban sedemikian besarnya demi selesainya studi Penulis.Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih menyimpan banyak kekurangannya,untuk itu kritik maupun saran sangat diperlukan untuk penyempumaan dimasa mendatang.
DAFTAR
IS1
Halaman ABSTRAK
...
I. .
...
ABSTRACT
...
11...
SURAT PERNYATAAN 111
...
RZWAYAT HIDUP vi
PRAKATA
...
vii DAFTAR IS1...
viii DAFTAR TABEL...
xi...
DAFTAR GAMBAR...
xlll...
DAFTAR LAMPIRAN xv
...
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang
...
1...
Identifikasi dan Perumusan Masalah 1
Tujuan Penelitian
...
.
.
...
4 Hipotesis Penelitian.
.
...
4Manfaat Penelit~an 4
2 LANDASAN TEORI
...
. .
2.1. Teori Keb~jakan
...
...
2.2. Kebijakan Desentralistik
...
2.3. Evaluasi Efektivitas Kebijakan
...
2.4. Pelayanan Publik...
2.5. Partisipasi Masyarakat...
2.6. Pengelolaan Perikanan Tangkap2.6.1. Paradigma konservasi
...
...
2.6.2. Paradigma rasional...
2.6.3. Paradigma sosial/komunitas...
2.7. Maximum Sustainable Yield/MSY2.8. Pendekatan bio-ekonomi dalam Analisis Perikanan Tangkap
..
...
2.9. Pembangunan Berkelanjutan...
3 METODOLOGI. .
...
3.1. Rancangan Penelltian...
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian3.3. Pengumpulan Data
...
...
3.4. Analisis Data...
3.4.1. A'WOT...
3.4.2. Analisis AHP (Analysis Hierarchy Procces)3.4.3. Analysis SWOT
...
3.4.4. Estimasi hasil tangkapan maksimum lestari dengan...
menggunakan Model Produksi Surplus...
4 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN4.1. Kota Tegal
...
...
4.1.1. Letak geografis...
. 4.1.2. Penduduk dan mata pencaharian
...
4.1.3. Dinas Pertanian dan Perikanan
...
4.2. Kabupaten Pekalongan
4.2.1. Letak Geografis
...
...
4.2.2. Penduduk dan mata pencaharian...
4.2.3. Dinas Kelautan dan Perikanan
4.3. Perkembangan Produksi
...
...
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
...
5.1. Pengelolaan Perikanan Tangkap
...
. . .
5 1 l Kebijakan intemasional
...
5.1.2. Produk hukum nasional
...
5.1.3. Produk hukum daerah
5.2. Kondisi Sumberdaya clan Status PT Optimal
...
5.2.1. Kondisi sumberdaya perikanan saat ini...
5.2.2. Effort optimal dan status sumberdaya ikan optimal...
...
5.2.2.1. Estimasi dan perhitungan effort dun CPUE5.3.Evaluasi Kebijakan Pengelolaan Perikanan Tangkap
...
5.4. Analisis A'WOT Terhadap Pengelolaan PT...
...
5.4. Strategi pengelolaan PT5.5.Pelayanan Publik dan Partisipasi Nelayan dalam Pengelolaan PT
...
5.5.1. Pelayanan Publik
...
5.5.1.1. Periode sentralistik...
...
5.5.1.2. Periode desentralistik...
5.5.2. Pelayanan masyarakat5.5.2.1. Perode sentralistik
...
...
5.5.2.2. Perode desentralistik...
5.6. Pola Perencanaan Perikanan Tangkap...
6 KESIMPULAN DAN SARAN...
6.1. Kesirnpulan6.2. Saran
...
...
...
DAFTAR TABEL
Halaman
...
.
1 Policy Analysis berdasarkan perspektif 7
2
.
Perbandingan karakteristik analisis dan penelitian kebijakan...
8...
.
3 Kriteria evaluasi kebijakan 12
...
.
4 Tipologi partisipasi masyarakat 14
...
.
5 Indikator pembangunan berkelanjutan perikanan tangkap 29
...
.
6 Skala angka perbandingan Saaty 41
...
.
7 Nilai acak konsistensi 43
8
.
Kerangka analisis yang dipakai dalam Analisis SWOT...
45 9.
Pengelompokan kebijakan pengelolaan PT berdasarkan periodepenerbitan
...
59...
10
.
Aspek pengelolaan berdasarkan periode kebijakan 66 11.
Pengelompokan kebijakan pengelolaan PT berdasarkan cakupan...
wilayah dan paradigma pengelolaan 67
12
.
Perkembangan produksi perikanan laut di lokasi penelitian tahun1997.2001
...
69 13.
Perkembangan nilai produksi perikanan laut di lokasi penelitian...
...
...
t a h ~ 1997-2001 : 70
14
.
Perkembangan jumlahRTF'
di lokasi studi tahun 1997-2001...
70 15.
Perkembangan jenis alat tangkap di Kabupaten Pekalongan tahun...
1998-2002 71
16
.
Perkembangan jenis alat tangkap di Kota Tegal tahun 1998-2002..
72 17.
S p e s i f h i jaring berkantong yang diperbolehkan dan jaring arad.
76 18.
Pennasalahan konflik antar alat tangkap dan alternatifpemecahannya
...
80 19.
Produksi aktual. upaya aktual. upaya optimal dan MSY di KotaTegal
...
82 20.
Produksi Aktual. upaya aktual. upaya optimal dan MSY diKabupaten Pekalongan
...
84...
21
.
Hasil identifikasi unsur-unsur SWOT 88 22.
Distribusi persepsi responden terhadap pelayanan publik pada periode...
23
.
Distribusi persepsi responden terhadap pelayanan publik pada...
periode desentralistik di lokasi penelitian 95 24
.
Pelayanan publik pada periode sentralistik dan desentralistik di. .
...
lokasi penelltian 96
...
25
.
Distribusi tingkat partisipasi nelayan periode sentralistik 97 26.
Distribusi tingkat partisipasi nelayan pada era desentralistik...
98 27.
Partisipasi nelayan pada periode setralistik dan desentralistikDAFTAR GAMBAR
Halaman
. .
...
.
1 Strata kebijakan publik 6
2
.
Bentuk-bentuk penyllsunan kebijakan publik(Hogwood and Gunn. 1984)
...
9...
3
.
Pengaturan use rights dalam pengelolaan perikanan tangkap 16...
.
4 Klasifikasi property right 16
...
5
.
Paradigma pengelolaan sumberdaya perikanan 17 6.
Tangga co-manajemen (ladder of co management)...
20 7.
Hubungan produksi lestari dan upaya...
23...
8
.
Hubungan manfaat dan biaya dengan upaya 24 9.
Hubungan upaya penangkapan ikan terhadap populasi ikan...
27...
10
.
Kerangka pemikiran penelitian 33...
11
.
Bagana h
proses penelitian 34...
12
.
Diagram Analisis SWOT 4413
.
Ilustrasi dari beberapa asumsi yang berbeda yang mendasari ModelScheafer dan Fox
...
48. .
14
.
Peta lokasi penel~tlan...
50 15.
Peta sedimen permukaan Laut Utara Jawa (Pusat Pengembangan...
Geologi Kelautan. 199 1) 73
...
16
.
Peta bathimetxi Laut Jawa 7417
.
Lokasi konflik jaring arad dengan alat tangkap lainnya di PerairanKota Tegal
...
77 18.
Lokasi konflik jaring arad dengan alat tangkap lainnya di perairanKabupaten Pekalongan
...
78 19.
Peta konflik antar alat tangkap di lokasi penelitian...
79 20.
Grafik hubungan antara CPUE dan effort Kota Tegal...
81...
21
.
Grafik hubungan catch dan effort Kota Teg al 82...
22
.
G d i k hubungan antara CPUE dan effort Kabupaten Pekalong an 83...
24. Struktur hirarki pengelolaan perikanan tangkap di Kota Tegal
dan Kabupaten Pekalongan
...
9 125. Pola perencanaan pengelolaan perikanan tangkap terdesentralistik
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1
.
Tingkat pelayanan publik Tegal periode sentralistik...
114...
2
.
Tingkat pelayanan publik Tegal periode sentralistik 115...
3
.
Tingkat pelayanan publik Tegal periode desentralistik 117...
4
.
Tingkat pelayanan publik Tegal periode desentmlistik 118...
5
.
Tingkat pelayanan publik Pekalongan, periode sentralistik 119...
6
.
Tingkat pelayanan publik Pekalongan periode sentralistik 120...
7
.
Tingkat pelayanan publik Pekalongan periode desentralistik 122 8.
Tingkat pelayanan publik Pekalongan periode desentralistik...
123 9.
Tingkat pelayanan publik Tegal dan Pekalongan periode sentralistik 124 10.
Tingkat pelayanan publik Tegal dan Pekalongan periode sentralistik 125 1 1.
Tingkat pelayanan publik Tegal dan Pekalongan periode desentralistik 127 12.
Tingkat pelayanan pubiik Tegal dan Pekalongan periode desentralistik 128...
13
.
Partisipasi masyarakat Tegal periode sentralistik 130...
14
.
Partisipasi masyarakat Tegal periode sentralistik 132...
15
.
Partisipasi masyarakat Tegal periode desentralistik 134...
16
.
Partisipasi masyarakat Tegal periode desentralistik 136...
17
.
Partisipasi masyarakat Pekalongan periode desentralistik 139...
18
.
Partisipasi masyarakat Pekalongan periode sentmlistik 141...
19
.
Partisipasi masyarakat Pekalongan periode desentralistik 143...
20
.
Partisipasi masyarakat Pekalongan periode desentralistik 145 21.
Partisipasi masyarakat Tegal dan Pekalongan periode sentralistik.
147 22.
Partisipasi masyarakat Tegal dan Pekalongan periode sentralistik.
149 23.
Partisipasi masyarakat Tegal dan Pekalongan periode desentralistik 15 1 24.
Partisipasi masyarakat Tegal dan Pekalongan periode desentralistik 153...
25
.
Hasil uji beda rata-rata antara Tegal dan Pekalongan 155 26.
Hasil uji beda rata-rata antara kondisi periode sentralistik dan. .
desentral~stlk
...
155...
28
.
Pelayanan Publik Pekalongan periode desentralistik...
...
.
29 Pelayanan Publik Tegal periode sentralistik
...
.
30 Pelayanan Publik Tegal periode desentralistik
...
.
31 Partisipasi masyarakat Tegal periode sentralistik
32
.
Partisipasi masyarakat Tegal periode desentralistik...
...
33
.
Partisipasi masyarakat Pekalongan periode sentralistik...
.
34 Partisipasi masyarakat Pekalongan periode desentralistik
35
.
Pelayanan Publik Tegal dan Pekalongan periode sentralistik...
36
.
Pelayanan Publik Tegal dan Pekalongan periode desentralistik...
37
.
Partisipasi masyarakat Tegal dan Pekalongan periode sentralistik...
38
.
Partisipasi masyarakat Tegal dan Pekalongan periode desentralistik...
39
.
Uji Normalitas Data Pelayanan Publik periode sentralistik...
40
.
Uji Normalitas Data Pelayanan Publik periode sentralistik41
.
Uji Normalitas Data Partisipasi masyarakat periode desentralistik....
42
.
Uji Normalitas Data Partisipasi masyarakat periode desentralistik.
43
.
Hasil Uji Corespondence Analysis (CA) variabel partisipasi...
masyarakat sebelum dan periode desentralistik
44
.
Hasil Uji Corespondence Analysis (CA) variabel pelayanan...
publik sebelum dan periode desentralistik45
.
Hasil Uji Corespondence Analysis (CA) variabel partisipasi...
masyarakat antara Tegal dan Pekalongan
46
.
Hasil Uji Corespondence Analysis (CA) variabel pelayanan...
Publik Tegal dan Pekalongan
...
.
47 Hasil Analysis SWOT Kota Tegal
...
48
.
Hasil Analysis SWOT Kabupaten Teg al...
49
.
Hasil AHP Kota Tegal pengelolaan PT yang berkelanjutan50
.
Hasil AHP Kabupaten Pekalongan pengelolaan PT yang berkelanjutan...
5 1 . Struktur kebijakan pengelolaan PT berdasarkan periode
...
...
52
.
Peraturan pengelolaan PT53 . Hasil estimasi perhitungan sumberdaya ikan di Kota Tegal
...
1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Meskipun sumberdaya ikan merupakan sumberdaya yang bersifat
renewable namun bukannya tanpa batas. Apabila dieksploitasi terus menerus, maka sumberdaya ikan dapat berkurang bahkan punah sehingga generasi mendatang tidak dapat menikmati sumberdaya ikan seperti halnya kita sekarang. Dewasa ini, dilaporkan bahwa produksi ikan di dunia cenderung menurun. Untuk itu telah diupayakan oleh banyak pihak melakukan tindakan pengelolaan melalui berbagai kebijakan pengelolaan perikanan. Kebijakan tersebut diupayakan baik di tingkat intemasional, nasional maupun daerah.
United Nations Convention Law of the Sea (UNCLOS ) mengatur ketentuan mengenai eksploitasi dan konsewasi sumberdaya hayati laut dalam ha1 ini sumberdaya perikanan. Agenda 21 yang terdiri atas empat bagian, salah satunya mengatur pelestarian dan pengelolaan perikanan, khususnya mengenai pemanfaatan yang berkelanjutan dan konsewasi sumberdaya kelautan. Selanjutnya Code of Conduct for Responsible Fisheries (CCRF), juga mengamanatkan bahwa generasi yang akan datang hendaknya dapat ikut menikmati dan memperoleh manfaat dari sumberdaya perikanan tersebut.
Pengelolaan sektor perikanan tercantum dalam berbagai peraturan perundangan mulai dari tingkat nasional hingga provinsi clan kabupatenlkota. Pada tingkat nasional sebagian besar telah ditampung dalam UU No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, dan pada tingkat Provinsi, KabupatenKota tercantum dalam Peraturan Daerah. Selain itu guna memberi batas yang jelas kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, pemerintah telah menerapkan UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahm Daerah. Semua peraturan perundangan itu menjadi acuan yang penting dalam rangka pengelolaan Perikanan Tangkap (PT).
1.2 Identifikasi dan Perumusan Masalah
dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang. Hasil pengkajian terakhir Komite Nasional Stock Assessment (1998) yang telah dilakukan terhadap sumberdaya ikan Indonesia, menunjukkan bahwa jumlah potensi lestarinya adalah sebesar 6,409 juta ton ikdtahun, dengan tingkat pemanfaatan pada tahun 1998 mencapai 4,069 juta ton ikanltahun (63,49%). Hal ini menunjukan bahwa masih terdapat peluang untuk meningkatkan produksi perikanan nasional. Namun demikian, seyogyanya perlu diperhatikan bahwa terdapat beberapa daerah penangkapan yang kondisi sumberdaya ikannya telah melampaui potensi lestarinya (over fishing), yaitu di Perairan Selat Malaka dan Perairan Laut Jawa.
Menurut Departemen Kelautan dan Perikanan (2003), sebagian besar (60%) produksi PT di Indonesia diasilkan oleh perikanan skala kecil, yang banyak menyerap tenaga kerja. Berkaitan dengan ha1 ini terdapat beberapa ha1 yang harus diperhatikan didalam pengelolaan PT, yaitu: (a) Jumlah stakeholder perikanan adalah banyak, (b) Kebijakan pengelolaan harus dapat diterima oleh semua stakeholders, (c) Hormati sebanyak mungkin nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, dan (d) Kebijakan hams mempertimbangkan aspek sosial, politik dan ekonomi.
Undang-undang No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah secara jelas mengatur jurisdiksi pemerintah pusat, provinsi dan kebupatenkota dalam pengelolaan sumberdaya laut. Namun kewenangan Daerah sesuai dengan undang-undang tersebut masih terbatas pada wilayah pengelolaan dan bukan sumberdaya di bawah laut. Pemberlakuan undang-undang tersebut membawa konsekuensi terhadap perubahan : pelayanan publik dan partisipasi masyarakat.
Uraian tersebut diatas, memunculkan pennasalahan yang perlu dijawab dalam penelitian sebagai berikut :
(1) Bagaimana efektivitas kebijakan pengelolaan PT dewasa ini ?
Pemerintah selama ini telah berupaya untuk merumuskan dan melaksanakan berbagai kebijakan pengelolaan guna memanfaatkan PT yang berkelanjutan dan mensejahterakan nelayan. Namun sejauh mana upaya tersebut bermanfaat bagi nelayan masih perlu untuk dikaji. Seiring dengiui kewenangan daerah dalam pengelolaan PT sesuai undang-undang No. 22 yang memberi ruang lebih luas bagi pelayanan publik dan partisipasi masyarakat yang lebih baik, maka pennasalahan ke dua yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah :
(2) Bagaimana tingkat pelayanan publik dalam rangka mewujudkan pengelolaan PT yang berkelanjutan?
Dalam kaitannya dengan partisipasi masyarakat, Dutton (2003) menyatakan bahwa stakeholder memiliki perbedaan-perbedaan yang mencakup perbedaan keinginan, kebutuhan, tatanan ~ l a i , tingkat pengetahuan, motivasi dan aspirasi. Perbedaan-perbedaan tersebut jika tidak dikelola dengan baik akan memicu tejadinya konflik, sehingga dikhawatirkan rnenurunkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan PT. Berdasarkan uraian tersebut, maka pennasalahan selanjutnya yang hendak dicari jawabannya dalam penelitian ini adalah:
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan khusus penelitian ini adalah sebagai berikut :
(1) Menganalisis efektivitas kebijakan pengelolaan PT pada masa transformasi dari sentralistik ke desentralistik ditinjau dari perspektif pembangunan perikanan yang berkelanjutan.
(2) Menganalisis tingkat pelayanan publik dan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan PT yang berkelanjutan.
(3) Menyusun altematif kebijakan dan pola pengelolaan PT terdesentralistik yang berkelanjutan.
1.4 Hipotesis
Sesuai dengan tujuan penelitian di atas maka hipotesis yang hendak diuji adalah: -
(1) Pelaksanaan kebijakan pengelolaan PT dewasa ini efektif dalarn mewujudkan pembangunan PT yang berkelanjutan.
(2) Kebijakan desentralistik berdampak positif terhadap tingkat pelayanan
publik dan partisipasi masyarakat.
1.5 Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan bahan masukan berbagai
pihak yang berkompeten dalam pelaksanaan kebijakan desentralisasi pengelolaan PT, khususnya berupa:
(1) Alat penunjang keputusan bagi Pemerintah pusat (Departemen Kelautan dan Perikanan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Kehutanan dan Kementerian Negara Lingkungan Hidup) dan daerah (BAPPEDA, Dinas Kelautan dan Perikanan, Provinsi/Kabupaten/Kota) untuk menetapkan kebijakan dalam perencanaan pembangunan PT yang berkelanjutan.
2
LANDASAN
TEORI
2.1 Teori Kebijakan
Kebijakan pengelolaan (policy management) merujuk pada upaya atau tindakan yang sedemikian rupa (deliberate way) untuk menangani isu kebijakan dari awal hingga akhir. Analisis kebijakan merupakan bagian yang ti& terpisahkan dari kebijakan pengelolaan (De Coning, 2004). Selanjutnya Abidin
(2004) menyatakan bahwa kebijakan yang dianggap resmi adalah kebijakan pemerintah yang mempunyai kewenangan dan dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya dimana dibuat sesuai dengan aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Partisipasi masyarakat dapat mempengaruhi keseluruhan proses kebijakan dimulai dari perurnusan, pelaksanaan sampai pada penilaian kebijakan. Lebih lanjut Thomas Dye dalam Abidii (2004) menyatakan bahwa kebijakan merupakan-pilihan pemerintah untuk melakukan atau ti& melakukan sesuatu
(whatever government chooses to do or not to do). Menurut Weimer et.al. (1998)
produk dari analisis kebijakan adalah berupa saran (advice). Kebijakan secara umum dapat dibedakan dalam tiga tingkatan, yaitu kebijakan
mum,
kebijakan pelaksanaandan
kebijakan teknis.Kebijakan umum antara lain mengambil bentuk Undang-undang atau Keputusan Presiden. Kebijakan p e l h a a n adalah kebijakan yang menjabarkan kebijakan
umum
antara lain berupa Peraturan Pemerintah atau Peraturan Daerah. Sedangkan kebijakan teknis adalah kebijakan operasional yang berada di bawah kebijakan pelaksanaan tersebut. Secaram u m
dapat disebutkan bahwa kebijakanumum
adalah kebijakan tingkat pertama, kebijakan pelaksanaan adalah kebijakantingkat kedua dan kebijakan teknis adalah kebijakan tingkat ketiga atau yang terbawah.
Selain dari perbedaan cakupan, juga terdapat perbedaan isi atau tekanan masing-masing kebijakan. Kebijakan umum lebii banyak berkenaan dengan isu- isu strategis dan sedikit unsur teknis. Kebijakan pelaksanaan memiliki unsur strategis dan teknis yang berimbang. Kebijakan teknis, yang dominan adalah unsur teknis dan sedikit isu strategis. Strata kebijakan publik menurut Abidin
Garnbar 1. Strata kebijakan publik (Weimer and Vining, 1998)
Weimer and Vining (1998) menyatakan bahwa analisis kebijakan menghasilkan saran yang berorientasi pada pengguna berkaitan dengan
keputusan-keputusan publik bedasarkan nilai-nilai sosid. Lebih Ianjut dinyatakan b&wa analisis k e b i j h dapat didekati dengan lima perspektif yang berbeda:
Academic social science research, Policy research, Classical planning, The
Tabel 1. Policy Analysis berdasarkan perspektif
Major Objraive
A d m i c S0ci.l
S c h a R a a r t b
Berdasarkan Tabel 1 tersebut di atas, Weimer and Vining (1998) mendefinisikan analisis kebijakan sebagai proses atau kegiatan mensintesa informasi, termasuk hasil-hasil penelitian, untuk menghasilkan rekomendasi opsi disain kebijakan publik. Menurut Weimer and Vining (1998), analisis kebijakan (policy analysis) berbeda dengan penelitian kebijakan (policy research). Perbedaan utama terletak pada obyek tujuan, klien, metode, penyajian dan jadwal
I C o n s m thmriw I Truth" m defined I Rigorous mefhodli I Rarely extcmal I OAcn inclevant to
"Clial"
Poliq R a a m b
Cluaial P h m b g
TLe "OW h b l k
Admtaktntiw
Jaortulirm
Pollcyhlysir
Sumber : Weimer
for "&astanding society
Common Slyk
Prrdia impacB of changes in variables that can
be almed by public palicy
Dcfining and achieving k i n b k f u t u n smteofsocisty
Efficient sxaution of pmgrana caablirhcd by
political pacssa
Focusing public atfention on
~ ~ p o b l a n r
System&
com@onmd
~ a l & of
allmmthw
aVILil.Mc m public ~ f a r o i v i n g social p o b h
and Vining
by the disciplines; other d o I a n
Thne Conrminb
Aeton in Ur policy amw the related dirciplina
"public i n h a " aspmfusiaully
ddvKd
'public i n m a r
m anbodied in
OaKI.l public
Spsific p e m or inni(ufions, decision maker
(1998)
Geaenl
W U h a ,
for consrmcfi ng and t&ng thwria: usually r e m p s t i v c Application of formal memodolw to policy- rcl-t qucstiom: prediction of conscquenca Establ'bhed rules andpmfasianal
n m ;
rpsifiution of gmls and o b j d v c
Managerial and . legal
Dcscripcrika~n tangkapive
Synthesis of cxidngraearch and theory to pndict mnscquenca of alternative polieia
time comtnintr information nad
todkirionmalc
Sometima deadline p a s u n , perhaps mitigated
by i n w rceurrcncc
Little immsdilte fimeprpsun kauscdea* with long-tmn fume
Time pressure tied
m mutine dceiiim making such as
budgst cycles
Sbong dcadlinc
pressure-mikc
whik iuue is topical S k n g deadline
pprm
mpletion of
@is usually
lid to specific dabion
Difficulty in m l a t i n g findrngr into govmurmt &o
Wishful thinking in p l m whcn
political p c e s e
iwnd
Exclusion of almativcs
memal to pogram
Lack oflnalylical d e p r i k m tan&ph and
bahlcc
perbedaan ini terutama terletak pada klien, yang mana klien analisis kebijakan adalah pengambil keputusan spesifik perorangan dan organisasi (spesijic client oriented), sedangkan klien penelitian kebijakan tidak bersifat spesifik, yaitu semua pihak yang berkepentingan baik pengambil keputusan, ilmuwan, maupun masyarakat umum.
Tabel 2. Perbandingan karakteristik penelitian dan analisis kebijakan
Dengan menggunakan dikotomi Laswell (1970) dalam Abidin (2004),
penelitian kebijakan berorientasi kepada pengetahuan mengenai perumusan kebijakan (knowledge of policy making), sedangkan analisis kebijakan lebih berorientasi pada pengetahuan dalarn perumusan kebijakan (knowledge in policy making). Selanjutnya menurut klasifikasi Johnson (1986) dalam Abidin (2004),
iterjemahkan kedalam "bahasa" engambil kebijakan, hasilnya sesuai
ourput penelitian kebijakan adalah pengetahuan deskriperikanan tangkapif
(descripfive knowledge) yang bersifat obyektif, sedangkan output analisis kebijakan adalah pengetahuan preskriptif (prescriptive knowledge) yang bersifat
pengambil kebijakan dan tidak ada
hubungan langsung peneliti pengguna
normatif mengenai kebijakan publik, gabungan dari ilmu pengetahuan "tentang" dan "dalam" perumusan kebijakan ini disebut ilmu kebijakan (policy science).
Hogwood clan Gunn (1984) membagi dua proses perumusan suatu kebijakan, yaitu: studi kebijakan (policy sfudies) dan analisis kebijakan (policy analysis). Studi kebijakan dipergunakan untuk menggambarkan proses pengetahuan tentang suatu kebijakan atau proses kebijakan itu sendiri. Didalam studi kebijakan terdapat beberapa aktivitas yaitu: studi isi kebijakan (policy content), studi proses kebijakan (policy process), studi output kebijakan (policy output), dan studi evaluasi kebijakan
I Information for policy making
Advocacy Advocacy
content process output
- I
Analyst as I
political actor Political ;
I actor as ;
I analyst ;
Policy studies (knowledge of policy and the policy Policy Analysis (knowledge in policy process) process)
Gambar 2. Bentuk-bentuk penyusunan kebijakan publik (Hogwood and Gunn,
1984)
Content analysis mempakan teknik penelitian guna memperoleh pemahaman secara sistimatik dan obyektif dalam melakutan identifikasi karakter tertentu dalam suatu kebijakan (Content analysis is any research technique for making inferences by systematically and objectively identzfLing speczped
reduction) kedalam beberapa kategorikelompok yang terdiri dari kata, sekumpulan kata-kata atau h e dimana peneliti &pat mendalami. Kata-kata spesifik atau pola dikaitkan dengan pertanyaan penelitian dan menentukan tingkat analisis serta kesimpulan umum (Palmquist, 2004).
2.2 Kebijakan Desentralistik
Ditinjau dari etimologi, kata desentralistik berasal dari bahasa latin, yaitu "dew dan "cenhum". "De" artinya "Lepas" dan "centrum" artinya "pusat". Dengan demikian arti kata desentralistik adalah melepaskan dari pusat. World Bank (2001) memberi batasan desentralistik adalah p e n g a l i i kewenangan dan tanggung jawab fungsi publik dari pemerintah pusat ke pemerintah lokal atau organisasi pemerintah independen semua. Sedangkan berdasarkan pada ketentuan
urnum UU No. 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, desentralistik adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah kepada daerah otonom daiam rangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Selanjutnya yang dimaksud daerah otonom dalam ketentuan umum tersebut adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas daerah tertentu berwenang mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut pmkarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Kebijakan desentralistik setidaknya membawa berbagai implikasi penting diantaranya adalah terhadap kelembagaan, pengelolaan sumberdaya perikanan serta partisipasi masyarakat. Melalui otonomi diharapkan lembaga pemerintah mampu merumuskan tugas, h g s i dan kewenangannya dengan baik sehingga mampu melayani masyarakat dengan baik. Selain itu, melalui desentralistik diharapkan juga terjadi pengelolaan perikanan tangkap secara berkelanjutan. World
Bank
(2001) melihat bahwa desentralistik dapat memberikan manfaat dalam bentuk peningkatan partisipasi masyarakat dan kualitas pelayanan publik. Partisipasi masyarakat akan te jadi apabila masyarakat nelayan dapat memainkan W y a (role) secara jelas, memperoleh k e a d i h (equityl, akses dan kontrol terhadap sumberdaya.lembaga tersebut dapat memberi respon dengan cepat terhadap lingkungan dan kebutuhan pelanggan yang berbeda, (2) Lembaga yang terdesentralistik jauh lebih efektif dari pada tersentralisasi. Artinya pegawai atau organisasi yang terdesentralistik paling dekat masalah dan peluang publik yang dapat mencirikan perikanan tangkap dengan solusi terbaik, (3) Lembaga yang terdesentralistik jauh lebih inovatif dari pada lembaga yang tersentralisasi, dan (4) Lembaga yang terdesentralistik menghasilkan semangat kerja yang lebih tinggi.
World Bank (2001) melihat manfaat desentralistik dari segi paiisipasi masyarakat dan kualitas pelayanan publik, seperti : (1) Partisipasi luas masyarakat dalam aktivitas sosial, ekonorni dan politik, (2) Memotong prosedur birokrasi yang kompleks dan meningkatkan sensitivitas aparatur pemerintah terhadap kondisi lokal, (3) Melibatkan partisipasi yang luas berbagai pemakilan masyarakat dari berbagai kelompok etnis, agama dan budaya dalam proses pengambilan keputmap publik, (4) menghasilkan program pelayanan publik yang lebih kreatif, inovatif
dm
responsif karena melibatkan partisipasi masyarakat, (5) memberi peluang pa& masyarakat dalam mengawasi program publik dan (6) pelayanan p u b l i yang lebih efisien, merata dan efektif.2 3 Evaluasi Efektivitas Kebijakan
Efektivitas menduduki posisi sentral dalam evaluasi kebijakan. Pertanyaan pokok yang sering muncul dalam evaluasi kebijakan adalah "Apakah kebijakan ini atau itu bejalan dengan
baik?".
Gysen (2002) mengelompokkan pertanyaan- pertanyaan yang terkait dengan efektivitas suatu kebijakan kedalam tiga kategori, yaitu:-
Pertama, pertanyaan dapat berbentuk desbiperikanan tangkqiif. P m y a a n ini berkenaan atau berhubungan dengan apa yang terjadi.-
Kedua, m y a a n yang terkait dengan asal muasal. Pada kategori ini, pertanyaannya tidak hanya terkait dengan apa yang terjadi, tetapi jugaberusaha
untuk memahami latar belakang terjadinya, pe~bahan-pembahan-
Ketiga, pertanyaan dapat berbentuk normatij: Pertanyaan dalam kategori ini berkutat disekitar kepuasan terhadap suatu kebijakan, seperti apakah implementasi kebijakan memberikan hasil yang memuaskan?Sedangkan menurut Sprinz dalam Joos et al. (2004), efektivitas dapat dinilai dengan membandingkan pencapaian saat ini dengan pencapaian kondisi idealnya. Secara umurn kriteria-kriteria evaluasi kebijakan publik digambarkan pada Tabel 3 berikut ini.
Tabel 3. Kriteria evaluasi kebijakan Tipe Kriteria
Efektivitas
Efisiensi
Kecukupan
diinginkan memecahkan masalah Perataan
I
Apakah biaya manfaat didistribusikanI
kebutuhan, preferensi, atau nilaiI
warga negara1
PertanyaanApakah hasil yang diinginkan telah dicapai
Seberapa banyak usaha diperlukan untuk mencapai basil yang diinginkan Seberapa jauh pe~capaian basil yang
tetap
Kriteria Pareto, Kriteria
Responsivitas
Ilustrasi
Unit pelayanan
Unit biaya, Manfaat bersih, Rasio cost-benefir
Biaya tetap Efekivitas
2.4 Pelayanan Publii
dengan merata kepada kelompok- kelompok yang berbeda.
Apakah hasil kebijakan memuaskan
Ketepatan
Menurut World Bank (2001) terdapat tiga prinsip utama yang melandasi good governance, yaitu ( 1 ) Akuntabilitas, (2) Transparami,
dan
(3) Partisipasi Masyarakat. Akuntabilitas merupakan prinsip yang menjamin bahwa setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara terbuka oleh pelaku kepada pihak-pihak yang terkena dampak penerapan kebijakan karena pengambilan keputusan di dalam organisasi-organisasi publik melibatkan banyak pihak. Oleh sebab itu, wajar apabila rumusan kebijakan Kaldor-Hicks, Kriteria RawlsKonsistensi dengan survei
Sumber : Durn, 1994
kelompok-kelompok tertentu
Apakah hasil (tujuan) yang diinginkan benar-benar berguna atau bernilai
merupakan hasil kesepakatan antara warga pemilih (constituency), para pemimpin politik, teknokrat, birokrat atau administrator, serta para pelaksana di lapangan. Selanjutnya untuk menilai akuntabilitas, maka alat ukur yang digunakan meliputi: Job description (acuan pelayanan), informasi tingkat pelayanan, mekanismelstandar pelayanan, produk-produk kebijakan daerah (proses pembuatan keputusan), Renstra-Repetada, sistem dan mekanisme perencanaan, serta pengendalian pembangunan daerah.
Transparansi adalah prinsip yang menjamin akses atau kebebasan bagi setiap orang untuk memperoleh informasi mengenai penyelenggaraan pemerintahan, yakni informasi tentang kebijakan, proses pembuatan dan pelaksanaannya, serta hasil-hasil yang dicapai. Keterbukaan pemerintah atas berbagai aspek pelayanan publik, pada akhimya akan membuat pemerintah menjadi bertanggung jawab kepada semua stakeholder yang berkepentingan dengan proses maupun kegiatan &lam sektor publik. Alat -ukur untuk menilai transparansi adalah melalui laporan tahunan. Sedangkan partisipasi adalah prinsip bahwa setiap orang memiliki hak untuk terlibat dalam proses pengambilan keputusan di setiap kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. Keterlibatan dalam pengambilan keputusan dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak langsung. Indikator partisipasi melalui adanya forum untuk menampung partisipasi masyarakat yang representatif. Dimana, alat ukur yang digunakan untuk menilai partisipasi masyarakat adalah melalui pertemuan kelompok masyarakat (stakeholder meeting).
2.5 Partisipasi Masyarakat
consultation, participation for material incentives, finctional participation,
interactive participation dan self-mobilization. Tipe partisipasi dan karakteristik dari masing-masing tipe dijelaskan pada Tabel 4 berikut:
Tabel 4. Tipologi partisipasi m a s y a r a k a t Tipologi
1. Partisipasi pura-pura
(manipulative
participation)
2. Partisipasi pasif (passive participation)
3. Partisipasi dalam bentuk konsultasi (participation
by consultation)
4. Partisipasi karena adanya iming-iming material
(participation for
material incentives)
5. Partisipasi fungsional
finctional
participation)
Karakteristik
Partisipasi hanya diwujudkan dalam bentuk pura-pura, dimana keberadaan suatu kelompok dalam oraganisasi hanya diwakili oleh orang yang tidak memiliki kekuatan dan tidak mewakili kelompok yang harus diwakilinya
Bentuk partisipasi dimana masyarakat hanya diberitahu mengenai apa yang sudah diputuskan atau apa yang telah terjadi. Respons masyarakat tidak ditindaklanjuti dengan baik
Pihak luar mindefiniskkan problem dan proses peng~mpulan informasi, sementara masyarakat
berpartisipasi dalam bentuk menjawab pertanyaan yang diajukan. Dalam bentuk partisipasi ini tidak ada sharing dalam pengambilan keputusan
Masyarakat berpartisipasi dengan cara memberikan kontribusi, misalnya tenaga, sebagai imbal baik atas pemberian uang tunai atau material lain sebagai insentif. Pengalaman menunjukkan bahwa tidak ada jaminan bahwa masyarakat akan menerapkan teknologi arau pendekaatan yang diperkenalkan jika insentif yang diberikan telah berakhir.
Partisipasi dipandang oleh pihak eksternal sebagai media agar tujuan proyek dapat dicapai khususnya dalam bentuk pengurangan biaya. Masyarakat berpartispasi melalui pembentukan kelompok untuk mencapai tujuan proyek yang telah ditetapkan sebelumnya. Keterlibatan bisa dalam bentuk sharing pada saat pengambilan keputusan, tetapi peran pihak ekternal dalam pengambilan keputusan ini lebih kuat.
I
(interactiveI
membuat rencana kerja serta membentuk atau menguatkan(
6. Partisipasi interaktifparticipation)
Masyarakat terlibat dalam proses analisis secara bersama,
I
7.Partisipasi mandiri (SeF
mobilization)
/
lembaga lokal. Partisipasi tidak hanya dilihat sebagai alat1
mencapai tujuan. Proses melibatkan berbagai metode untuk menangkap perbedaan pandangan, serta menggunakan cara1 yang tersruktur dan sistematis dalam proses pembelajaraan.
Masyarakat berpartisipasi dengan jalan mengambil inisiatiatif secara independen untuk merubah sistem:Mereka menjalin kontak dengan pihak luar untuk mendapatkan sumberdaya atau nasihat teknis yang dibutuhkan, tetapi mereka tetap mengontrol penggunaan sumberdaya tersebut. Sumber : Pretty (1995)
2.6 Pengelolaan Perikanan Tangkap
Use tight
Harvest right
a
1
'
7i7"
.~o"i
:y-~-
7
.r .?.,'.>->Lb . <"+ " - A .
Z ~ m t e d enw': JnputleZort Outputlcatch
WS)
. . - A.
AK&S right rightI
Annual quotas
1-
Garnbar 3. Pengaturan use rights daIam pengelalaan perikanan tangkap
..< A , +
Common property-
W
Alienation right
b
Exclusion rightP=='
Management right
6
Use Right
SeFanjutnya Charles (200 1) mengemukakan tiga paradigma dalam pemanfaatan PT yang operikanan tangkapimal, yaitu konservasi, rasionalisasi dan sosiall komunitas. Hubungan ketiga paradigma tersebut sebagaimana Gambar 5 berikut :
&
Instrumen:TAC. TechnicalMwsure.
Instrumen:
Insrrhi(iunnJ agreemenfs, co-
mmagement
Insirurnen.
l m p s ~ n g properp rtght.~. economic muns
io r e h c e capacrly
Gambar 5. Paradigma pengelolaan sumberdaya perilanan
2.6.1 Paradigma konservasi
Paradigma ini didasarkan pada pengelolaan biologis sumberdaya perjkanan yang mampu mernberikan hasil ikan yang berkelanjutan dalam jangka panjang. Dalam konsep ini distorsi dalarn pengelolaan diukur dari seberapa besar penyimpangan jurnllah yang dieksploitasi dibandinglcan dengan MSY-nya. Berdasarkan pendekatan ini, jumlah ikan yang ditangkap saat ini hams dikurangi dengan tujuan untuk memperoleh hasil yang rnaksimum pada rnasa yang akan
datang. Jumlah yang bisa dieksploitasi didasarkan pada hasil evaluasi ilmiah dan
tidak ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sosial atau ekonomi. Dalam ha1 ini
Allowable Catches (TACs), ukuran minimum ikan yang boleh ditangkap dan ukuran mata jaring.
2.6.2 Paradigma rasional
Paradigma ini didasarkan pada model bio-economic dalam eksploitasi sumberdaya perikanan yang tujuannya adalah memaksimumkan kesejahteraan ekonomi. Besarnya kemgian akibat kegagalan pasar diukur dari kerugian ekonomi yang muncul dibandingkan dengan economic-rent mmimum dalam jangka panjang. Paradigma ini dikembangkan berdasarkan premis bahwa tujuan masyarakat adalah memaksimumkan economic rent dalarn jangka panjang. Instrument yang digunakan
dalam
pendekatan paradigma rasional adalah: (1) Mengurangi tingkat eksploitasi sampai ke tingkat fishing effort yang operikanan tangkapimal, dan (2) Mentransformasikan penkanan dari kondisi dimana tidak seorangpun memiliki hak atas sumberdaya perikanan menjadi private property, dengan demikian kompetisi dalam pemanfaatan sumberdaya yang tidak menguntungkan dapat dihilangkan (Charles, 2001).Ditinjau dari perspektif antar wilayah, paradigma rasionalisasi membutuhkan kerja sama clan k o o r d i i i antar wilayah. Alasannya, sumberdaya perikanan merupakan sumberdaya yang bergerak (mobile) yang dapat melewati batas-batas antar wilayah. Sehingga manfaat ekonomi tambahan dapat diperoleh apabila masing-masing daerah telah sepakat untuk mengkesploitasi sumberdaya
ikan sampai batas usia tettentu sehingga nilainya menjadi lebih tinggi.
2.63 Paradigma sosiaVkomunitas
Paradigma ini dibangun berdasarkan spektrum pengelolaan perikanan yang lebih luas. Paradigma ini melihat bahwa paradigma konservasi dan
berlangsung dalam masyarakat harus juga dipertimbangkan (Ostrom, 1990 dalam Charles ,2001).
Aspek lain yang kurang diperhitungkan dalam paradigma konsewasi dan rasional adalah masyarakat perikanan sangat tergantung pada industri yang berbasis perikanan. Oleh karenanya konsekuensi pemerataan (distribusi) seperti unemployment yang disebabkan karena instrumen biologis maupun ekonomi sebagai akibat digunakannya paradigma konsewasi atau rasionalisasi tidak mampu dijawab oleh kedua paradigma ini (Charles, 2001). Karena kelemahan tersebut maka direkomendasikan untuk menggunakan instnunen yang mampu mewadahi kepentingan sosial dan masyarakat. Dengan demikian paradigma sosial/komunitas dinilai mampu menjamin tercapainya pengelolaan perikanan yang berkelanjutan dengan tidak mengesampingkan kepentingan sosial dan masyarakat.
Jensen (1999) menyatakan bahwa apapun paradigma pengelolaan perikanan yang dianut oleh suatu negara atau wilayah perlu diikuti dengan kebijakan struktural dan kebijakan pengawasan (kontrol). Kebijakan struktural terkait dengan kelembagaan dan mekanisme koordinasi antar lembaga yang mampu memfasilitasi aktivitas pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan. Sementara kebijakan pengawasan lebih menekankan pada upaya monitoring dan evaluasi yang harus dilakukan dalam menjamin tidak terjadinya penyimpangan dalam pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan.
Gambar 6. Tangga comanagement (ladder of co management)
Pengeloran sumberdaya ikan adalah suatu proses yang terintegrasi mulai dari pengumpulan infonnasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumber dan implementasinya, dalam rangka menjamin kelangsungan produktivitas serta pencapaian tujuan pengelolaan (FAO, 1995).
2.7. Maximum Sustainable E e I M S Y
Pengelolaan sumberdaya perilcanan umumnya didasarkan pada konsep "hasil maksimum yang lestari" (Maximum Sustainable Yield) atau juga disebut dengan "MSI"'. Konsep MSY herangkat dari model pertumbuhan biologis yang dikembangkan oleh seorang ahli Biologi bernama Schaefer pada tahun 1954. Inti dari konsep ini adalah menjaga keseimbangan biologi dari sumberdaya ikan, agar dapat dimanfaatkan secara maksimum dalam waktu yang panjang. Pendekatan konsep ini berangkat dari dinamika suatu stok ikan yang dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu recruitment, pertumbuhan, mortalitas dan hasil tangkapan.
Model yang diperkenalkan Schaefer untuk menentukan MSY adalah metode produksi surplus, yang mana model ini merupakan hasil pengembangan model dari Graham (1935). Pada dasamya model Schaefer ini memberikan
cfx
gambaran bahwa ti ngkat biomas antar waktu (-) sangat dipengaruhi oleh tingkat dt
maksirnurn liigkungan (K). Dimana tingkat biomas antar waktu ini sebanding dengan fungsi pertumbuhan sumberdaya (f (x)). Secara m u m hubungan antara tingkat biomas antar waktu dan tingkat pertumbuhan dapat dinotasikan sebagai berikut:
"
--
-
f (x)...
dt (1)
salah satu fungsi m b u h a n sumberdaya yang biasa digunakan adalah fungsi pertumbuhan logistik yang dinotasikan sebagai berikut:
Adapun laju pertumbuhan sumberdaya dapat ditentukan dengan mengintroduksi penangkapan (h) ke dalam model dan apabila diasumsikan bahwa penangkapan (h) berkolerasi linear terhadap biomas
(x)
dan input produksi atau upaya (E) atau h =qEx (q adalah koefisien daya tangkap). Laju pertumbuhan tersebut dapat d i n o t a s h sebagai berikut:Kemudian dengan mengsubstitusi persarnaan (4) ke dalam fungsi penangkapan, maka dapat diperoleh persamaan berikut:
Selanjutnya, dengan menyederhanakan persamaan
(9,
yaitu membagi kedua sisi persamaan dengan upaya Q, maka MSY Schaefer dapat diestimasi dengan menggunakan teknis regreasi linear sederhana:q2K
dimana a = qK dan
P
= -,
sehingga tingkat upaya dan MSY dari model rSchaefer dapat ditentukan dengan menggunakan formula sebagai berikut:
Hubungan Produksi Lestaridan Upaya
Gambar 7. Hubungan produksi lestari dan upaya
sedangkan untuk mengestimasi tingkat upaya Q
dan
tingkat produksi lestari(MSY) ditentukan dengan menggunakan kerangka estimasi Clark (1985), yaitu:
rK
h
=4
...'MY (9b)
ekonomi seperti harga dari output (p) per satuan berat dan biaya dari input (c) ke dalam model Schaefer untuk menghasilkan keseimbangan bio-ekonomi. Keseimbangan bio-ekonomi ini dikenal dengan keseimbangan statik Gordon- Schaefer.
-
Gambar 8. Hubungan manfaat dan biaya dengan upaya
Pada dasarnya keseimbangan bio-ekonomi terjadi pada saat ZR = TC , yaitu pada saat tingkat upaya beradii pada level upaya open access. Pada saat
ZR = TC, maka keuntungan sama dengan no1 (x=O). Bilamana ZR = phdan h= qEk, maka ZR = pqEk, sedangkan bilamana TC = cE, maka hngsi keuntungan adalah:
MEY akan terjadi pada tingkat keuntungan yang maksimal, artinya bahwa
ax
keuntungan maksimal akan terjadi bilamana - = 0 atau dengan kata lain
aE
dengan nilai biaya ekstraksi per unit upaya (c) dibagi dengan harga ikan per satuan berat (p) dan koefisien daya tangkap (q) atau dapat dinotasikan sebagai:
Sehingga untuk kondisi open access dengan mengsubstitusi persamaan (1 1) ke dalam persamaan (2), maka dapat tingkat produksi akses terbuka dapat diketahui sebagai berikut:
sedangkan tingkat upaya pada kondisi akses terbuka dapat diietahui bilamana persamaan (1 1) disubstitusikan ke dalam persamaan (4), sehingga menghasilkan persamaan sebagai berikut:
Adapun estimasi untuk MEY dan upaya pada kondisi MEY dapat diketahui dengan beberapa penyederhanaan matematis sebagai berikut:
bilamana h(x) = f ( x )
,
makasehingga dapat disederhanakan menjadi :
atau juga dapat dinotasikan sebagai
8P(x)
dan untuk mendapatkan x perikanan tangkap optimal, maka
-
= 0, sehinggaax
dan secara matematis persamaan tersebut akan menghasilkan:
dengan mensubstitusi persamaan (13e) ke dalam persamaan (2), maka dapat dihasillcan tingkat produksi lestari secara ekonomi sebagai berikut:
sedangkan jika persamaan (13e) disubstitusikan ke persamaan (4), maka dapat diperoleh tingkat upaya pada kondisi
MEY
adalah sebagai berikutNamun demikian, hal lain yang perlu diperhatikan pengkajian potensi lestari sumberdaya ikan adalah keberadaan beberapa zone penangkapan yang kondisi sumberdaya ikannya cukup memprihatinkan dan sudah melampaui potensi lestarinya (over fishing), termasuk perairan Laut J a m Lebii lanjut dinyatakan bahwa pada perairan tersebut, terdapat kelompok ikan ikan demersal di Laut Jawa yang masih mungkin untuk dikembangkan eksploitasinya. Oleh karena itu, pada
perairan yang kondisi pemanfaatan sumberdaya ikannya telah mendekati dan atau melampaui potensi lestarinya, maka perlu kiranya mendapatkan perlakuan khusus agar sumberdaya ikan yang ada tidak "collapse".
2.8 Pendekatan Bio-Ekonomi dalam Analisis Perikanan Tangkap
ikan yang tersedia, nelayan berusaha meningkatkan waktu penangkapannya dan lebih mengefisienkan teknologi penangkapannya. Peningkatan teknologi, dengan tujuan untuk efisiensi usaha penangkapan, antara lain dilakukan nelayan dengan cara: mengganti alat tangkapnya dengan yang lebih efisien, memperbesar ukuran kapal, menggunakan alat bantu untuk mendeteksi tingkat kelimpahan sediaan ikan ataupun alat bantu untuk mengumpulkan gerombolan ikan, dan lain-lainnya. Secara m u m , dari sisi teknis produksi, pe~ngkatan teknologi penangkapan &an diiarapkan akan meningkatkan efisiensi teknis penangkapan, sedangkan dari sisi ekonomi, peningkatan teknologi dapat menurunkan biaya penangkapan. Mengingat peningkatan teknologi penangkapan ikan akan berkaitan dengan masalah kelimpahan sumberdaya perikanan, produksi dan karateristik ekonominya, maka untuk penelitian ini digunakan pendekatan bio-ekonomi.
Sebagaimana dimaklumi, h a i l tangkapan nelayan (harvest) akan tergantung pada tingkat upaya penangkapm (elfort) dan besarnya popnlasi atau sediaan ikan fish stock), namun demikian meningkatnya upaya penangkapan tidak selalu meningkatkan hasil tangkapan nelayan. Karena semakin banyak nelayan yang meningkatkan upaya penangkapannya, berdampak pada semakin sedikit populasi ikan yang tersedia. Hal ini ditunjukkan dengan ilustrasi pada Gambar 7. Pada tingkat upaya penangkapan yang tinggi
(Y(E4)),
&an yang ditangkap secara lestari diperkirakan sama rendahnya dengan tingkat upaya penangkapan yang rendah pada populasi ikan yang banyak(Y(E0)).
2.9 Pembangunan Berkelanjutan
Pembangunan berkelanjutan didefinisikan sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan generasi yang akan datang untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Lebih lanjut dapat dikatakan bahwa pembangunan berkelanjutan pada dasarnya merupakan suatu strategi pembangunan yang memberikan semacam ambang batas (limit) terhadap laju pemanfaatan ekosistem alamiah serta surnberdaya d a m yang terdapat didalamnya.pada tingkat yang minimum, pembangunan berkelanjutan tidak boleh membahayakan sistem dam yang mendukung semua kehidupan di muka bumi.
Tabel
5.
Indikator pembangunan berkelanjutan sumberdaya perikanan tangkap ( Dahuri, 2003)DIMENSI
1. Ekonomi
2. Sosial
3. Ekologi
4. Governance
INDIKATOR
volume dan nilai produksi
.
volume dan nilai ekspor (dibandingkan dengan nilai total ekspor nasional)kontribusi sektor perikanan terhadap PDB pendapatan nelayan
nilai investasi dalam bentuk kapal ikan dan pabrik pengolahan
penyerapan tenaga kerja
budaya kerja
tingkat pendidikan
.
tingkat kesehatandistribusi jender dalam proses pengamhilan keputusan (gender
distribution in decision-making)
kependudukan (demography)
komposisi hasil tangkap
basil tangkap per satuan upaya (CPUE)
kelimpahan relatif spesies target
dampak langsung alat tangkap terhadap spesies non target
dampak tidak langsung penangkapan seperti sbuktur trofik
dampak langsung alat tangkap terhadap habitat
perubahan luas area d m kualitas habitat penting perikanan
hak kepemilikan @rope@ rights)
ketaatan terhadap peraturan perundangan (ompliance regime)
3
METODOLOGI
3.1 Rancangan Penelitian
Proses penelitian dimulai dengan melakukan studi kebijakan (policy study) memjuk pada konsep Hogwood dan Gunn (1984). Prosedur yang ditempuh dimulai dengan mengidentifikasi dan menginventarisir berbagai produk kebijakan yang berlaku dalam pengelolaan perikanan tangkap, meliputi produk kebijakan (konvensi) internasional, nasional dan daerah. Hasil identifikasi disusun dalam bentuk daftar kebijakan sesuai hierarki hukumnya. Proses selanjutnya adalah mempelajari berbagai dokumen tersebut, khususnya menyangkut substansi, aspek yang diatur serta pasal dan ayat yang mengatumya. Selanjutnya, hasil tersebut disajikan dalam bentuk matrik yang berisi deskripsi kebijakan. Deskripsi kebijakan tersebut berfungsi sebagai masukan (input) untuk melakukan analisis isi kebijakan (content analysis). Tahap analisis isi kebijakan dimulai dengan mengklasifikasikan kebijakan tersebut berdasarkan periode penerbitan, strata dan paradigma.
Analisis isi kebijakan diarahkan untuk mengetahui tujuan yang ingin dicapai oleh kebijakan tersebut, instrumen yang seharusnya ada, serta konsistensi dan relevansi isi kebijakan. Paradigma pengelolaan perikanan yang dikemukakan oleh Charles (2001) digunakan sebagai pendekatan analisisnya. Melalui prosedur ini, berbagai kebijakan yang terkait dengan pengelolaan perikanan tangkap, dikelompokkan kedalam paradigma konsewasi, paradigma rasionalisasi atau paradigma sosialkomunitas.
Sebagai penunjang, penelitian ini diarahkan pada ikan demersal dengan alat tangkap jaring arad. Dengan mempelajari kondisi sumberdaya saat ini kemudian diestimasi pemanfaatan maksimum lestarinya dengan menggunakan metoda Schaeffer (1954). Metoda ini dapat mengetahui jumlah sumberdaya perikanan optimum yang dapat dimanfaatkan.
untuk diteliti. Pelayanan publik diukur dari perspektif akuntabilitas dan transparansi aparat pemerintah. Sementara partisipasi masyarakat diukur dengan menggunakan level partisipasi menurut Pretty (1995).
Penilaian pelayanan publik dilakukan dengan menggunakan indikator
good governance, yaitu transparansi, akuntabilitas, dan partisipasi, sebagaimana tertuang dalam Keputusan Menpan No.63KepM.PAN12003 tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik. Ketiga indikator tersebut selanjutnya dielaborasi ke dalam sembilan belas item pernyataan.
Selanjutnya responden diminta untuk menilai setiap item pemyataan dengan menyatakan kesetujuannya terhadap pemyataan yang disajikan. Skala penilaian yang digunakan adalah skala Likert 7 point, dimana nilai 1 menunjukkan responden sangat tidak setuju terhadap pemyataan yang diajukan, dan semakin tinggi nilainya menunjukkan tingkat kesetujuan yang semakin besar.
Sedangkan penilaian tingkat partisipasi masyarakat menggunakan konsep Pretty (1995) sebagai rujukan utama. Sesuai dengan konsep tersebut maka tingkatan partisipasi dibagi kedalam tujuh tipe yaitu mulai manipulative participation, passive participation, participation by consultation, participation
for material incentives, functional participation, intperiodective participation
sampai self-mobilization.
Partisipasi masyarakat dinilai dalam h g k u p perurnusan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan, monitoring dan evaluasi pengelolaan perikanan tangkap. Selanjutnya lingkup pengelolaan tersebut dielaborasi kedalam 35 item pernyataan. Responden diminta menilai tiap item pemyataan dengan menyatakan persepsinya terhadap pemyataan yang disajikan. Skala penilaian yang digunakan adalah skala Likert 7 point. Nilai 0 berarti responden tidak berpartisipasi sama sekali, nilai 1 menunjukkan responden berpartisipasi secara manipulatif
(manipulative participation) dan semakin tinggi nilainya menunjukkan tingkat partisipasi yang semakin baik. Nilai 7 menunjukkan responden berpartisipasi atas inisiatif sendiri (selfmobilization).
Analisis selanjutnya dilakukan dengan metode analisis A'WOT. A'WOT adalah gabungan antara analisis SWOT (Strength, Weaknesses, Opportunities,
ini diaplikasikan menggunakan program MAHP (Multi Analitycal Hierarchy Process). Metode analisis ini dipergunakan untuk memilih strategi dan kebijakan pengelolaan perikanan tangkap yang oleh responden kunci (key person) dinilai lebih efektif untuk masa mendatang.
f[
~ ~ ~ - p u I k a n bntagai dokuma kcbijaksnr
wood
and Gun& 1984)1
'
Kebijakan yang dikelompoksn sspek pcngelolaan F'Tcmm section. &Ia:
sosio, ekonomi biologi berkaifan dg
alat tangkap and.
Wawancara untuk
mengetahui tiagkat pelayanan publik dan
partisipasi masyarakat.
I
Workshop di lokasi penelitianDcshipsi Pcngelolm PT
dilokasi penelitian :
demersal saat ini
Partisipmi masyarakat
dan pelayanan publik KebijaLan Pagelolaan F'T terpiri
3.2 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kota Tegal dan Kabupaten Pekalongan, Provinsi Jawa Tengah seperti disajikan pada Gambar 14. Kedua lokasi penelitian ini dipilih dengan pertimbangan memiliki jumlah nela