• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Lokasi Lahan Garapan Terhadap Moda Produksi Petani Tembakau di Kabupaten Temanggung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Lokasi Lahan Garapan Terhadap Moda Produksi Petani Tembakau di Kabupaten Temanggung"

Copied!
82
0
0

Teks penuh

(1)

PENGARUH LOKASI LAHAN GARAPAN TERHADAP

MODA PRODUKSI PETANI TEMBAKAU

DI KABUPATEN TEMANGGUNG

DESLAKNYO WISNU HANJAGI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Pengaruh Lokasi Lahan Garapan Terhadap Moda Produksi Petani Tembakau di Kabupaten Temanggung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)

ABSTRAK

DESLAKNYO WISNU HANJAGI. Pengaruh Lokasi Lahan Garapan Terhadap Moda Produksi Petani Tembakau di Kabupaten Temanggung). Dibimbing oleh FREDIAN TONNY NASDIAN.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh lokasi lahan garapan di dataran tinggi dan dataran rendah terhadap moda produksi yang berkembang pada masyarakat petani tembakau. Penelitian ini dilakukan menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif, yaitu penggunaan instrumen berupa kuisioner, dan pendekatan penelitian kualitatif dengan metode studi kasus. Hasil penelitian ini memaparkan bahwa terjadi dominasi moda produksi kapitalis di daerah dataran rendah, sedangkan dataran tinggi dominasi terjadi pada penggunaan moda produksi komersil. Di dataran tinggi, moda produksi kapitalis juga sudah digunakan oleh sebagian petani. Informasi yang diperoleh dari hasil studi kasus menyatakan bahwa penggunaan moda produksi kapitalis semakin banyak digunakan. Fakta ini menyimpulkan bahwa masyarakat petani tembakau di dataran tinggi menggunakan moda produksi komersil dengan kecenderungan kapitalis atau dapat disebut sebagai moda produksi prakapitalis. Perbedaan moda produksi yang berkembang di dua daerah ini disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya adalah pola pertanian dan orientasi produksi, tingkat pendidikan, kebutuhan tenaga kerja, dan aksesibilitas pasar.

Kata kunci: lokasi lahan, moda produksi, tembakau.

ABSTRACT

DESLAKNYO WISNU HANJAGI. The Effect of Arable Land Locations to The Tobacco Farmers Mode of Production in Temanggung Regency. Supervised by FREDIAN TONNY NASDIAN.

This research aims to determine the effect of the arable land locations in the highlands and lowlands to the mode of production that develops on tobacco farming communities. This research was conducted using quantitative research approach, namely the use of instruments such as questionnaires, and qualitative research approach using case study method. These results explained that there are dominations of the capitalist mode of production in the lowlands, while in the highlands, the dominations occurred in the use of commercial mode of production. In the highlands, the capitalist mode of production has also been used by some farmers. Information obtained from the results of the case study states that the use of the capitalist mode of production in highlands is being increasingly used. This fact concludes that tobacco farming communities in the highlands using commercial mode of production with capitalist tendencies or can be referred to pre-capitalist mode of production. The differences between the mode of productions that develops in the two locations is caused by several factors, including the cultivation pattern and orientation of production, education level, labor requirements, and market accessibility.

(5)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

pada

Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

PENGARUH LOKASI LAHAN GARAPAN TERHADAP

MODA PRODUKSI PETANI TEMBAKAU

DI KABUPATEN TEMANGGUNG

DESLAKNYO WISNU HANJAGI

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(6)
(7)

Judul Skripsi : Pengaruh Lokasi Lahan Garapan Terhadap Moda Produksi Petani Tembakau di Kabupaten Temanggung

Nama : Deslaknyo Wisnu Hanjagi

NIM : I34100067

Disetujui oleh

Ir Fredian Tonny Nasdian, MS Pembimbing

Diketahui oleh

Dr Ir Siti Amanah, MSc Ketua Departemen

(8)
(9)

PRAKATA

Puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Semesta Alam, yang masih memberikan nikmat waktu yang bermanfaat bagi penulis sehingga skripsi dengan judul “Pengaruh Lokasi Lahan Garapan Terhadap Moda Produksi Petani Tembakau di Kabupaten Temanggung“ dapat diselesaikan tanpa hambatan dan masalah yang berarti. Penulis menyadari bahwa skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik karena dukungan dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan rasa teruma kasih kepada:

1. Bapak, Ibunda, dan Adik tercinta, sumber motivasi utama yang mendukung segala sesuatu pilihan penulis, hingga dapat menjadi mahasiswa program akselerasi Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat. 2. Ir. Fredian Tonny Nasdian, MS, dosen pembimbing yang telah banyak

mencurahkan waktu untuk membimbing penulis di sela-sela kesibukan beliau. 3. Dikti danKemendikbud yang telah memberikan beasiswa penuh selama kuliah serta Direktorat Kemahasiswaan IPB yang telah membantu kelancaran kuliah serta atas semangat dan motivasi untuk berprestasi.

4. Trio Macan (Mbak Maria, Mbak Icha, dan Mbak Dhini) serta Bu Lusi yang selalu membantu penulis dalam urusan akademik selama menjadi mahasiswa. 5. BPH Forsia 1434 H, tim Ribath, dan seluruh pengurus yang selalu

memberikan semangat, motivasi, dan pengertian dalam kerja-kerja organisasi dakwah di Fakultas Ekologi Manusia.

6. Sahabat AQSHO dan SABIL, teman bergerak dalam dakwah yang selalu mendukung dan memberikan perhatian serta pengertian kepada penulis. 7. Rifqie, Hafizh, dan Ajron sahabat dan saudara tercinta dalam dekapan

ukhuwah yang selalu memberikan semangat dan motivasi untuk berkembang. 8. Hermin, Saefihim, Mila, dan seluruh keluarga SKPM 47, sahabat berbagi rasa

pahit dan manis selama belajar di IPB dan memberikan semangat untuk memotivasi diri.

9. Ustadz Dr. Alfan Gunawan, M.Si, Ustadz Ery Kurnia W, A.Md, Ustadz Angga Sutawijaya, S.Pi, Ustadz Dedi Mulyono, SP, Ustadz Dr. Ir. Rudi Hartono, M.Si, dan Ustadz Dr. Ir. Abdul Munif, M.Sc beserta semua teman satu halaqoh yang memberikan banyak semangat untuk segera menyelesaikan dan mendahulukan tujuan akademik.

10. Penghuni kosan Badut, Andalusia 11, dan basecamp Bidik Misi, yang telah memberikan semangat ruhiyah dan tempat menulis yang nyaman.

11. Praktikan Sosiologi Umum, Ilmu Penyuluhan, Pengantar Ilmu Kependudukan, dan PAI yang memberikan kebersamaan mencerdaskan kehidupan bangsa.

12. Semua pihak yang telah memberikan dukungan, doa, semangat, bantuan, dan kerja sama selama ini.

Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat memberikan manfaat bagi penulis dan pembaca.

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 11 

Latar Belakang 11 

Rumusan Masalah 2 

Tujuan Penelitian 3 

Kegunaan Penelitian 4 

PENDEKATAN TEORITIS 5 

Tinjauan Pustaka 5 

Hipotesis Penelitian 11 

Definisi Operasional 11 

PENDEKATAN LAPANGAN 13 

Lokasi dan Waktu Penelitian 13 

Metode Penelitian 13 

Teknik Pengambilan Informan 14 

Teknik Pengumpulan Data 15 

Teknik Pengolahan dan Analisis Data 16 

PROFIL DESA 17 

Kondisi Geografis 17 

Kondisi Ekonomi 19 

Kondisi Pendidikan 20 

Struktur Sosial Masyarakat 21 

Pola Kebudayaan Masyarakat 23 

Pola-pola Adaptasi Ekologi Masyarakat 24 

Ikhtisar 25 

MODA PRODUKSI PETANI TEMBAKAU 26 

Kekuatan Produksi 27 

Hubungan Sosial Produksi 36 

Moda Produksi 40 

Ikhtisar 41 

FAKTOR-FAKTOR PEMBEDA MODA PRODUKSI 44 

Dataran Rendah 45 

Dataran Tinggi 49 

Ikhtisar 51 

SIMPULAN DAN SARAN 53 

Simpulan 53 

Saran 53 

(11)

LAMPIRAN 57

(12)

DAFTAR TABEL

Perbandingan artikulasi moda produksi subsisten, komersial, dan kapitalis

Jadwal pelaksanaan penelitian skripsi tahun 2013

Jumlah dan persentase penduduk Desa Bansari, Kecamatan Bulu berdasarkan pekerjaan

Jumlah dan persentase penduduk angkatan kerja Kelurahan Jampirejo, Kecamatan Temanggung berdasarkan pekerjaan Jumlah dan persentase penduduk Desa Bansari berdasarkan tingkat pendidikan 2013

Jumlah dan persentase penduduk Kelurahan Jampirejo berdasarkan tingkat pendidikan 2013

Jumlah dan persentase penduduk Desa Bansari berdasarkan agama 2013

Jumlah dan persentase penduduk Kelurahan Jampirejo berdasarkan agama 2013

Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan luas lahan garapan

Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan status penguasaan lahan

Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan status penguasaan alat produksi non-lahan

Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan unit produksi

Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan penggunaan hasil produksi

Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan kekuatan produksi

Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan hubungan sosial produksi

Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan moda produksi

Perbandingan dataran rendah dan dataran tinggi berdasarkan faktor-faktor pembeda moda produksi

Gambar 3 Lokasi Kelurahan Jampirejo 18

Gambar 4 Grafik persentase luas penguasaan lahan garapan berdasarkan

lokasi lahan garapan 28

Gambar 5 Grafik persentase status penguasaan lahan garapan berdasarkan

lokasi lahan garapan 30

Gambar 6 Grafik persentase status penguasaan alat produksi non-lahan

(13)

Gambar 7 Grafik persentase unit produksi petani tembakau menurut lokasi

lahan garapan 34

Gambar 8 Grafik persentase penggunaan hasil produksi tembakau menurut

lokasi lahan garapan 35

Gambar 9 Grafik persentase penggunaan kekuatan produksi tembakau

menurut lokasi lahan garapan 36

Gambar 10 Grafik persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan

hubungan sosial produksi 38

Gambar 11 Grafik persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan

moda produksi 41

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Kerangka sampling

Lampiran 2 Tabel Anova hasill pengolahan data statistik Lampiran 3 Kuisioner penelitian

(14)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Transformasi sosial dan ekonomi di tengah perkembangan masyarakat Indonesia terjadi sangat pesat. Pemerintah berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat melalui proses rekayasa sosial seperti menggalakkan transmigrasi pada periode setelah proklamasi. Program revolusi hijau yang diwadahi dalam program BIMAS dimulai pada tahun 1967 dengan tahap pertama meliputi penanaman bibit unggul di daerah Jawa juga dilakukan pada periode pemerintahan orde baru. Selain itu, intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian juga digalakkan untuk meningkatkan produksi pertanian, terutama beras, dengan sistem ekonomi pasar yang mulai dikenalkan kepada masyarakat petani di pedesaan. Proses pengenalan ini selanjutnya mendorong masyarakat petani di pedesaan yang sebelumnya subsisten, kemudian berusaha bertransformasi menjadi kapitalis dengan mengumpulkan sebanyak-banyaknya keuntungan dari hasil pertaniannya (Munthe 2007).

Pengarusutamaan perubahan sosial di masyarakat pedesaan semakin jelas terlihat. Proses perubahan ini menghasilkan kemajuan fisik dan pertumbuhan ekonomi yang sangat hebat, namun pada saat yang hampir bersamaan melahirkan polarisasi yang tajam, yaitu orang kaya berjumlah sedikit di satu sisi, dan orang yang melarat berjumlah banyak di sisi lain. Kesenjangan sosial mulai tampak jelas dalam kehidupan masyarakat pedesaan. Beberapa tradisi di masyarakat semakin tergerus, seperti tradisi patron-client dan gotong royong. Permasalahan ini menempatkan uang atau bentuk keuntungan lainnya sebagai tujuan utama. Jika masuknya kapitalisme ke pedesaan dan transformasi yang terjadi hanya diserahkan pada penetrasi pasar, maka diperkirakan akan memberikan gambaran yang suram bagi masyarakat pedesaan (Pranadji dan Hastuti 2004).

Perubahan yang terjadi membuat perubahan pula pada jenis moda produksi yang berkembang di masyarakat. Moda produksi dijelaskan oleh Shanin (Fadjar et al. 2008a) adalah sebuah cara bagaimana masyarakat melakukan proses produksi, sehingga moda produksi terdiri yang dari: (1) kekuatan produksi atau daya produksi dan (2) hubungan sosial produksi akan membentuk posisi struktur sosial dalam penguasaan kekuatan produksi. Kekuatan moda produksi di dalamnya terdapat berbagai faktor seperti lahan, tenaga kerja, dan modal (jika dilihat dalam kacamata kapitalis), sedangkan hubungan sosial mencakup faktor struktur sosial dan pembagian peran dalam kegiatan produksi (seperti buruh dan majikan dalam sistem kapitalis). Kahn (1999) mengelompokkan moda produksi yang berkembang dalam masyarakat dalam tiga tipe, yaitu moda produksi subsisten, komersil, dan kapitalis. Tiga tipe moda produksi ini kemudian saling memberikan ciri khusus yang berbeda satu sama lain.

(15)

2

Tahun-tahun awal hingga pertengahan orde baru seperti yang telah dijelaskan pada awal pendahuluan, pemerintah memberikan program khusus BIMAS hanya kepada petani yang menanam padi. Padahal jika dilihat dari lokasi penanaman padi, program ini kemudian terkonsentrasi pada lahan di daerah dataran rendah hingga menengah. Lahan pertanian bukan padi di daerah dataran tinggi sama sekali tidak tersentuh program pengembangan pangan nasional ini. Hal ini diduga menjadi faktor penyebab perubahan moda produksi petani di daerah dataran rendah sehingga terjadi perbedaan dengan moda produksi petani yang berada di daerah dataran tinggi.

Sistem pertanian tembakau di Kabupaten Temanggung menggunakan sistem satu musim tanam selama satu tahun. Di luar musim tanam tembakau, petani menanam komoditas lain untuk menopang kehidupan mereka. Petani tembakau di daerah dataran rendah menanam padi atau cabai, sedangkan petani tembakau di daerah dataran tinggi menanam jagung atau palawija. Perbedaan jenis komoditas lain yang ditanam ini disebabkan oleh ketersediaan fasilitas irigasi yang berbeda. Jika ditinjau dari segi kultural, perbedaan mendasar dari sistem pertanian tembakau antara dua daerah tersebut adalah pada penggunaan tenaga produksi dan hubungan sosial produksi yang berkembang. Di daerah dataran tinggi, petani tembakau masih menggunakan keluarga sebagai tenaga kerja. Berbeda jauh dari masyarakat di dataran rendah, petani cenderung membayar buruh upah harian sebagai tenaga kerja. Hubungan sosial kekeluargaan yang masih bertahan di dataran tinggi di Kabupaten Temanggung membuat saling tergantungnya antara petani pemilik lahan pertanian tembakau dengan petani pekerja yang membantu menggarap lahan. Masih ada rasa guyub antara dua kelompok petani ini. Lain halnya dengan petani tembakau di dataran rendah, bahkan mereka dapat tidak mengenal siapa yang bekerja di lahan yang mereka punya. Perbedaan pengelolaan juga terdapat pada mekanisme pengelolaan hasil tembakau. Mekanisasi pengolahan yang mulai dikenal oleh petani membuat perbedaan kembali pada jenis moda produksi yang berkembang di masyarakat dua dataran ini.

Banyak penelitian telah meneliti jenis moda produksi yang berkembang di daerah dataran tinggi maupun dataran rendah. Purnomo (2005) telah memetakan perkembangan dan perubahan jenis moda produksi dalam masyarakat perkebunan teh di daerah dataran tinggi di Kota Malang. Penelitian lain pula banyak membahas tentang moda produksi yang berkembang dalam masyarakat petani padi sawah di daerah dataran rendah, namun ada penelitian mengenai moda produksi yang berkembang dalam masyarakat petani tembakau dan perbedaannya antara daerah dataran rendah dengan dataran tinggi belum ditemukan, padahal sejak zaman kolonial tembakau telah dikenal sebagai komoditas bernilai tinggi. Oleh karena itu, penting untuk diteliti jenis-jenis moda produksi, perbedaan, dan faktor yang mempengaruhinya pada komunitas petani tembakau di dua lokasi lahan yang berbeda.

Rumusan Masalah

(16)

3 petani di daerah dataran rendah maupun dataran tinggi di sekitar lereng Gunung Sumbing dan Sindoro. Di luar musim tanam tembakau, petani memilih untuk mengusahakan tanaman lainnya tergantung pada wilayah dan ketersediaan fasilitas irigasi. Di daerah dataran rendah dengan fasilitas irigasi yang memadai, petani memilih untuk menanam padi, sedangkan petani di daerah dataran tinggi lebih memilih untuk menanam palawija dan jagung. Sama halnya dengan masyarakat di daerah lain, semestinya masyarakat petani tembakau ini memiliki kekhasan kenis moda produksi yang berkembang. Namun hingga saat ini, penulis belum menemukan hasil penelitian yang memetakan jenis-jenis moda produksi petani tembakau di dua dataran ini. Oleh karena itu, menarik bagi penulis untuk menganalisis dan mengidentifikasi jenis-jenis moda produksi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat petani tembakau antara daerah dataran rendah dengan daerah dataran tinggi di Kabupaten Temanggung.

Terdapat perbedaan hubungan sosial produksi dalam kehidupan masyarakat petani tembakau di daerah dataran rendah dan dataran tinggi. Perbedaan ini memicu munculnya perbedaan jenis moda produksi yang berkembang. Hubungan sosial produksi yang lebih menekankan kekeluargaan di daerah dataran tinggi sangat berbeda dengan hubungan sosial produksi di daerah dataran rendah yang menghubungkan antara petani pemilik lahan dengan buruh upah harian. Oleh karena itu, penting bagi penulis untuk menganalisis dan mengidentifikasi perbedaan antara jenis-jenis moda produksi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat petani tembakau antara daerah dataran rendah dengan daerah dataran tinggi di Kabupaten Temanggung.

Perbedaan yang terjadi sangat kontras jika dibandingkan, padahal jarak tempuh daerah dataran rendah dan dataran tinggi di kabupaten ini tidak membutuhkan waktu yang lama. Padahal, jika dipikirkan secara logika, seharunya jenis moda produksi yang berkembang di dua daerah ini sama. Perbedaan ini dipicu oleh beberapa faktor yang belum diidentifikasi hingga saat ini. Oleh karena itu, penting bagi penulis untuk mengidentifiaksi faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan jenis-jenis moda produksi antara petani tembakau di daerah dataran rendah dan dataran tinggi di Kabupaten Temanggung.

Tujuan Penelitian

1. Menganalisis dan mengidentifikasi jenis-jenis moda produksi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat petani tembakau antara daerah dataran rendah dengan daerah dataran tinggi di Kabupaten Temanggung. 2. Menganalisis dan mengidentifikasi perbedaan antara jenis-jenis moda

produksi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat petani tembakau antara daerah dataran rendah dengan daerah dataran tinggi di Kabupaten Temanggung.

(17)

4

Kegunaan Penelitian

1. Bagi akademisi, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk menambah khasanah keilmuan mengenai perkembangan jenis moda produksi yang berkembang di masyarakat petani tembakau, perbedaan antara masyarakat petani tembakau di daerah dataran tinggi dan dataran rendah, serta faktor-faktor yang mempengaruhi perbedaan tersebut.

2. Bagi pemerintah, hasil penelitian ini dapat digunakan untuk membuat regulasi mengenai pola pengembangan masyarakat disesuaikan dengan moda produksi masyarakat.

(18)

5

PENDEKATAN TEORITIS

Tinjauan Pustaka

Perubahan Sosial

Kehidupan manusia sebagai anggota masyarakat bukan merupakan kehidupan yang statis, berjalan di tempat tanpa dinamika sosial dalam kegiatannya berhubungan dengan orang lain sebagai fungsi dari status makhluk sosial yang disandangnya (Soemardjan dan Soelaeman 1964). Kehidupan manusia yang terus berubah akan memberikan perbedaan antara kehidupan di masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang. Perubahan sosial yang terjadi akan mempengaruhi kehidupan masyarakat secara langsung, baik dalam kerangka analisis mikro maupun makro.

Secara sederhana, perubahan sosial dapat diartikan sebagai proses yang menyebabkan perbedaan dalam suatu sistem sosial yang dapat diukur dan terjadi dalam kurun waktu tertentu (Mashud 2011). Pengertian ini juga disampaikan oleh Sztompka (2011) yang mendefinisikan bahwa perubahan sosial dapat dibayangkan sebagai perubahan yang terjadi dalam atau mencakup sistem sosial, lebih tepatnya terdapat perbedaan antara keadaan sistem tertentu dalam jangka waktu berlainan. Sistem sosial yang dimaksud adalah seluruh kegiatan antara beberapa orang yang berhubungan timbal balik (Mashud 2011). Sistem sosial selalu ada dalam sistem kehidupan masyarakat, sehingga perubahan sosial selalu terjadi di dalam kehidupan masyarakat. Definisi mengenai perubahan sosial yang telah disampaikan mengerucutkan pada konsep dasar perubahan sosial yang mencakup tiga gagasan, yaitu: (1) perbedaan, (2) pada waktu yang berbeda, dan (3) di antara keadaan sistem sosial yang sama (Sztompka 2011). Perubahan sosial sebagai sebuah peristiwa dapat dianalisis di berbagai tingkat kehidupan manusia sebagai subjek perubahan, mulai dari level individu hingga level dunia.

Perubahan sosial dalam masyarakat dapat bergerak maju maupun mundur. Secara lebih khusus, Sztompka (2011) memperlihatkan bahwa perubahan sosial adalah modifikasi atau transformasi dalam pengorganisasian masyarakat. Masyarakat pada hasil akhir perubahan sosial akan terlihat semakin kompleks dan dinamis. Penyebab dari gerak perubahan ini berasal dari faktor internal dan eksternal. Rahardjo (2004) mendefinisikan faktor internal dan eksternal dalam sebuah konsep. Faktor internal terdiri dari pertambahan dan penyusutan penduduk, penemuan-penemuan baru, dan konflik atau pemberontakan yang terjadi dalam masyarakat itu sendiri, sedangkan faktor eksternal terdiri dari peristiwa fisik (bencana-bencana alam yang besar), peperangan, dan kontak dengan atau pengaruh dari kebudayaan lain.

(19)

6

ekonominya (Lauer dalam Mashud 2011). Preposisi ini menempatkan teknologi dan ekonomi sebagai sumber perubahan yang mempengaruhi perilaku masyarakat. Pengaruh yang kuat dari teknologi dan ekonomi disebabkan oleh nilai yang dibawa dua sumber perubahan ini. Teknologi yang terus berkembang mengubah masyarakat sama sekali baru, sangat berbeda dengan masyarakat pada waktu lampau. Teknologi mempengaruhi perubahan melalui dua cara, yaitu meningkatkan alternatif-alternatif baru bagi masyarakat, mengubah pola interaksi, dan menimbulkan konflik yang membawa permasalahan baru (Lauer dalam Mashud 2011). Dalam perspektif ini kemudia dikenal istilah cultural lag atau ketertinggalan budaya, yaitu ketika masyarakat tidak dapat mengikuti perubahan teknologi yang terjadi.

Perspektif ideologi merupakan lawan dari perspektif material. Perspektif ideologi menjelaskan bahwa perubahan sosial justru bermula dari ide (Mashud 2011). Ide yang muncul dalam masyarakat akan mengubah interaksi sosial antarmasyarakat di dalamnya. Sebagai contoh adalah agama sebagai ide secara umum. Konsep etika protestan yang diangkat oleh Weber menjelaskan bahwa kehidupan beragama kaum protestanis mendorong mereka mencari sebanyak-banyaknya modal kapital untuk kehidupannya (Sudrajat 1994). Kapitalisme mulai berkembang dengan adanya ide dalam norma yang ada pada masyarakat protestan. Perspektif ketiga, yaitu perspektif mekanisme interaksional menjelaskan bahwa perubahan sosial adalah hasil dari dinamisasi proses sosial dalam masyarakat (Mashud 2011). Proses sosial di dalam masyarakat terdiri dari proses sosial yang asosiatif dan disosiatif. Proses asosiatif akan mendekatkan antaranggota masyarakat dalam proses berinteraksi, sedangkan proses disosiatif sebaliknya. Proses asosiatif setidaknya ditunjukkan dengan kerjasama hingga terjadinya asimilasi dan akomodasi antarmasyarakat, sedangkan proses disosiatif mensyaratkan adanya konflik dan kompetisi.

Dalam menganalisis permasalahan perubahan sosial di masyarakat desa, perubahan terjadi dalam dua dimensi besar, yaitu dimensi kultural dan dimensi struktural (Raharjo 2004). Secara garis besar, perubahan masyarakat desa pada dua dimensi ini merujuk pada akibat sistem ekonomi uang dan modernisasi, sehingga terjadi pergeseran sektor pekerjaan masyarakat desa. Penjelasan dari dua dimensi tersebut adalah sebagai berikut:

a. Dimensi Kultural

(20)

7 Semakin masuknya sistem ekonomi uang (kapitalisme modern) membuat orientasi produksi petani berubah, dari yang awalnya subsisten kini menjadi komersil. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian yang disampaikan oleh Pranadji (2004) yang menjelaskan tentang transformasi ekonomi pertanian yang berciri budaya agribisnis tradisional atau subsisten ke agribisnis modern atau komersial disebabkan oleh respon dan antisipasi terhadap tuntutan kemajuan untuk hidup lebih baik dalam globalisasi pasar atau sistem ekonomi uang. Tidak sebatas pada perubahan orientasi produksi petani, namun masyarakat akan menganggap bahwa sektor pertanian kemudian tidak dapat diandalkan untuk memenuhi kebutuhan mereka. Masyarakat dituntut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dengan mekanisme uang secara terus menerus, sedangkan hasil pertanian hanya didapatkan dalam jangka waktu tertentu. Hal ini menyebabkan masyarakat desa cenderung beralih kepada sektor lain yang dapat memberikan hasil setiap hari. Masuknya sistem ekonomi uang juga memacu tingkat adopsi teknologi. Derasnya arus informasi melalui teknologi membuat perubahan secara kultural masyarakat desa yang kemudian beralih menganut mazhab kehidupan kota.

b. Dimensi Struktural

Perubahan pada dimensi struktural sangat erat kaitannya dengan mekanisme penguasaan lahan sebagai salah satu moda produksi pertanian di desa. Perubahan sistem penguasaan lahan di desa menjadi corong bagi polarisasi struktur kehidupan masyarakat semakin kuat. Fadjar et al. (2008b) dalam hasil penelitiannya menjelaskan bahwa polarisasi terjadi dan melahirkan bentuk stratifikasi masyarakat baru, yaitu status tunggal (pemilik, penggarap, dan buruh tani) dan status kombinasi (petani pemilik + penggarap, pemilik + penggarap + buruh tani, pemilik + buruh tani, dan penggarap + buruh tani). Masyarakat desa pada awalnya merupakan kelompok yang berdiam secara komunal dan cenderung egaliter kemudian berubah menjadi masyarakat dengan pengelasan sosial yang nyata. Struktur masyarakat desa yang berubah menjadi semakin kompleks merupakan akibat dari sistem ekonomi uang yang berkembang.

Raharjo (2004) berpendapat bahwa gejala pecahnya desa sebagai suatu unit kesatuan komunitas kecil seiring dengan perkembangan yang terjadi perlu mendapatkan perhatian lebih. Masyarakat desa semakin lama akan berubah menjadi masyarakat yang individualis, menyesuaikan dengan perkembangan modernisasi yang melanda desa. Kajian penting yang harus dilakukan saat ini adalah bagaimana memurnikan kembali struktur sosial di masyarakat pedesaan seperti semula, namun bukan hanya tertuju pada sektor pertanian, akan tetapi pada sektor lain seperti industri dan jasa.

Moda Produksi

(21)

8

produksi yang akan membentuk posisi superior atau subordinat sehingga hubungan sosial yang berjalan akan membentuk struktur sosial dalam penguasaan kekuatan produksi. Dua hal ini saling bergantung satu sama lain. Hingga saat ini menurut pengalaman empiris dan dari berbagai sumber pustaka, moda produksi di wilayah pedesaan telah, sedang, atau bahkan akan bertransformasi dari moda produksi nonkapitalis menjadi moda produksi kapitalis karena pengaruh sistem ekonomi uang. Sebagai contoh penelitian di suku Bajo (Wianti et al. 2012) menunjukkan masyarakat yang pada awalnya menggunakan sistem ekonomi subsisten yang dilakukan dengan cara berburu, dan berpindah-pindah, penangkapan ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan pangan diri dan keluarganya, kemudian berubah menjadi masyarakat yang cenderung kapitalis akibat masuknya modernisasi yang membawa sistem ekonomi uang atau pasar.

Sjaf (2006) menyarikan hasil penelitian Kahn dalam Sitorus (1999) mengenai artikulasi tiga moda produksi yaitu subsisten, komersial, dan kapitalis dalam sebuah matriks sebagai berikut:

Tabel 1 Perbandingan artikulasi moda produksi subsisten, komersial, dan kapitalis

Moda Produksi Artikulasi Moda Produksi Orientasi

(22)

9 Tiga tipe moda produksi yang ada dalam mayarakat ini kemudian dapat saling bertransformasi menjadi moda produksi yang lainnya secara linear maupun siklikal.

Transformasi moda produksi ini menyebabkan perubahan sosial pada dimensi kultural maupun struktural. Transformasi moda produksi menjadi lebih modern dengan sistem pembagian kerja yang spesifik dan beraneka ragam memungkinkan terjadinya penumpukan surplus produksi, sehingga dapat menimbulkan pola hubungan memeras terhadap para massa pemproduksi oleh pemilik modal (Giddens 1986). Istilah yang lazim digunakan adalah kekuasaan kelas. Munculnya kelas sosial yang dominan terhadap kelas sosial lain yang lebih besar berakibat pada ketimpangan terhadap akses sumber daya. Hal ini dapat memicu terjadinya konflik antarkelas. Ini terjadi pada tipe moda produksi komersil dan kapitalis. Penelitian yang dilakukan oleh Abdul (1992) memberikan contoh nyata tentang kondisi ini. Penelitian itu mengungkapkan bahwa transformasi moda produksi yaitu pembangunan perkebunan di daerah penelitian, seperti yang difasilitasi oleh kebijakan negara dan kekuatan internal, telah mengakibatkan konsentrasi penguasaan tanah di tangan beberapa kapitalis, perampasan tanah antara Maguidanaons, dan munculnya persewaan dan sistem upah. Hal ini disertai dengan perubahan pada organisasi sosial desa dan munculnya bentuk baru dari bentuk kelas sehingga menimbulkan konflik.

Penelitian lain yang dilakukan oleh Purnomo (2005) menyimpulkan bahwa moda-moda produksi yang hadir pada formasi sosial lokal sejak masa kolonial hingga reformasi terdiri dari moda produksi asli dan moda produksi kapitalis yang berasal dari luar sistem sosial. Moda produksi asli secara perlahan terpengaruh oleh moda produksi kapitalis sehingga menjadi moda produksi yang mengadaptasi moda produksi kapitalis. Perubahan moda produksi lokal dari masa ke masa banyak disebabkan oleh faktor-faktor eksternal daripada internal sistem sosial. Dengan demikian, formasi sosial lokal dari masa ke masa didominasi oleh moda produksi kapitalis yang berasal dari sistem sosial desa sehingga moda produksi lokal berangsur-angsur memudar pengaruhnya hingga akhirnya hilang sama sekali. Penelitian ini dilakukan pada masyarakat pegunungan di Jawa dengan komoditas utama tanaman teh dalam sektor perkebunan yang telah diusahakan sejak zaman kolonial. Kemiripan lokasi dan komoditas yang diusahakan oleh subjek penelitian ini dapat menjadi acuan untuk menentukan moda produksi yang berkembang pada petani tembakau di daerah pegunungan di Kabupaten Temanggung, dilihat dari dua sisi lokasi yaitu dataran rendah dan dataran tinggi.

(23)

10

X. LOKASI

Moda Produksi Kapitalis Dari Luar

Program Intensifikasi Pertanian

Dataran Tinggi Dataran Rendah

Usaha Produksi Pertanian

Y. MODA PRODUKSI

Kekuatan Produksi

Hubungan Sosial Produksi

Kerangka Pemikiran

: Saling berhubungan : Berpengaruh pada

Gambar 1 Kerangka pemikiran

(24)

11 komoditas padi. Komoditas pangan ini ditanam sebagai selingan dari komoditas tembakau karena fasilitas irigasi yang memadai. Ditanamnya komoditas padi di lahan sawah dataran rendah menyebabkan program intensifikasi pertanian juga dirasakan oleh masyarakat di daerah dataran rendah. Berbeda dengan dataran tinggi yang setiap musim tanam selain tembakau masyarakat petani menanam tanaman pangan yang tidak banyak membutuhkan banyak air sebab kondisi fasilitas irigasi yang tidak memadai. Perbedaan cara pengelolaan lahan ini, ditambah fenomena masyarakat daerah dataran rendah dengan program intensifikasi pertanian dalam jangkauan BIMAS, membuat perbedaan dalam jenis moda produksi yang berkembang di masyarakat. Sentuhan moda produksi dari luar juga mewarnai jenis-jenis moda produksi yang berkembang di masyarakat. Penelitian ini akan memetakan jenis-jenis moda produksi petani tembakau di dua lokasi, yaitu dataran rendah dan dataran tinggi. Peneliti akan melihat perbedaan jenis moda produksi di antara dua masyarakat petani tembakau ini dan faktor menyebabkan terjadinya perbedaan.

Hipotesis Penelitian

1. Moda produksi yang berkembang di daerah dataran tinggi akan berbeda dengan moda produksi yang berkembang di daerah dataran rendah.

2. Bersentuhannya moda produksi lokal di dua lokasi penelitian dengan moda produksi dari luar akan menimbulkan dominasi penggunaan moda produksi dari luar yang dikenalkan kepada masyarakat.

Definisi Operasional

X. Lokasi lahan didefinisikan sebagai lokasi lahan garapan petani tembakau ditentukan dari ketinggian di atas permukaan laut. Lokasi lahan dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu dataran tinggi dan dataran rendah. Kategori dataran tinggi didefinisikan sebagai lokasi lahan pertanian tembakau yang tidak dapat ditanami komoditas padi sebagai komoditas sampingan sebelum musim kemarau tiba untuk kembali menanam tembakau. Sedangkan dataran rendah adalah lokasi lahan pertanian tembakau yang dapat ditanami komoditas tanaman padi sebagai komoditas sampingan sebelum musim kemarau tiba untuk kembali menanam tembakau. Dalam analisis data, lokasi lahan di dataran rendah diberikan skor 1, sedangkan lokasi lahan di dataran tinggi diberikan skor 2.

Y. Moda produksi merupakan sebuah cara bagaimana masyarakat melakukan proses produksi yang akan dikelompokkan menjadi moda produksi subsisten, komersial, atau kapitalis. Jenis moda produksi dapat ditentukan menggunakan dua variabel, yaitu kekuatan produksi dan hubungan sosial produksi.

(25)

12

masing-masing jawaban mengacu pada setiap jenis moda produksi, yaitu subsisten, komersial, dan kapitalis.

1. Luas lahan garapan ditentukan dengan kategori sempit (0-0,5 ha), sedang (0,5-1 ha), dan luas (>1 ha).

2. Status penguasaan lahan ditentukan dengan pertanyaan langsung dengan kategori keluarga besar (skor 1), keluarga kecil (skor 2), dan penggarap (skor 3).

3. Penguasaan alat produksi non-lahan ditentukan dengan pertanyaam langsung dengan kategori keluarga besar (skor 3-4), keluarga kecil (skor 5-7), dan juragan (skor 8-9).

4. Unit produksi ditentukan dengan pertanyaan langsung dengan kategori keluarga sendiri (skor 7-10), tetangga dekat (skor 11-17), dan buruh harian (skor 18-21).

5. Penggunaan hasil produksi ditentukan dengan pertanyaan langsung dengan kategori konsumsi sendiri (skor 1), konsumsi pengusaha lokal (skor 2), dan konsumsi perusahaan (skor 3). Masing-masing kategori kemudian diberikan skor 1-3 untuk menentukan jenis kekuatan produksi yang digunakan. Skor 1 diberikan untuk kategori sempit, keluarga besar, keluarga sendiri, dan konsumsi sendiri. Skor 2 diberikan untuk kategori sedang, keluarga kecil, tetangga dekat, dan konsumsi pengusaha lokal. skor 3 diberikan untuk kategori luas, penggarap, juragan, buruh harian, dan konsumsi perusahaan. Untuk menentukan jenis kekuatan produksi yang digunakan maka dibuah kategori dari kumulatif skor masing-masing variabel, yaitu kategori subsisten (skor 12-19), kategori komersil (skor 20-28), dan kategori kapitalis (skor 29-36).

(26)

13

PENDEKATAN LAPANGAN

Lokasi dan Waktu Penelitian

 

Penelitian mengenai moda produksi masyarakat petani tembakau di Kabupaten Temanggung dilakukan di dua tempat yang berbeda, yaitu Desa Bansari, Kecamatan Bulu sebagai desa contoh dari daerah dataran tinggi dan Kelurahan Jampirejo, Kecamatan Temanggung sebagai desa contoh dari daerah dataran rendah. Pemilihan tempat di dua desa ini dilakukan secara sengaja oleh penulis dengan pertimbangan akses dan kedekatan penulis dengan masyarakat. Penulis berasumsi akan mendapatkan kemudahan dalam menggali informasi mengenai moda produksi yang berkembang di masyarakat karena penulis telah menjadi bagian dari komunitas petani tembakau di dua desa tersebut.

Kegiatan penelitian ini berlangsung dari bulan Juni hingga Januari 2013 yang meliputi kegiatan penyusunan proposal penelitian, kolokium untuk memaparkan proposal penelitian, studi lapangan, penyusunan dan penulisan laporan, ujian skripsi, dan perbaikan laporan penelitian. Kegiatan dan waktu penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2 Jadwal pelaksanaan penelitian skripsi tahun 2013

Kegiatan Juni September Oktober November Desember Januari

Penyusunan

(27)

14

karena pertanyaan penelitian ini dibangun secara jelas dari rumusan masalah mengenai moda produksi yang berkembang di masyarakat petani tembakau pada dua daerah dataran yang berbeda untuk menganalisis fakta-fakta sosial, maka penelitian ini dapat dikategorikan dalam strategi studi kasus instrumental. Pada pendekatan kuantitatif, peneliti menggunakan metode penelitian survai dengan mengambil contoh dari populasi masyarakat. Instrumen yang digunakan dalam metode ini adalah kuisioner yang telah disesuaikan dengan tujuan penelitian dan studi data sekunder dokumen terkait. Penelitian ini bertujuan menjelaskan hubungan antarvariabel yang ada di dalamnya melalui uji hipotesa. Variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah lokasi lahan dan jenis moda produksi yang berkembang di masyarakat petani tembakau tersebut.

 

Teknik Pengambilan Informan

Sumber data pada penelitian ini menggunakan informasi yang berasal dari informan (subjek kasus) sebagai subjek penelitian. Informan merupakan pihak yang dianggap penting karena dapat memberikan keterangan mengenai dirinya sendiri, keluarga, pihak lain, atau lingkungannya. Informan yang dipilih pada penelitian ini adalah disesuaikan dengan poin-poin kasus yang diangkat. Informan-informan tersebut dianggap mengetahui dengan jelas mengenai kehidupan sosial masyarakat dan perubahan yang telah terjadi dalam kaitannya dengan moda produksi masyarakat petani tembakau dari masa ke masa. Informan ditentukan menggunakan metode snowballsampling untuk mengetahui informasi yang banyak dan akurat.

Pada penelitian yang dilakukan di Desa Bansari sebagai representasi dari dataran tinggi, sebanyak lima orang informan kunci didapatkan untuk mencari informasi mengenai praktik moda produksi di daerah ini. Penentuan informan pertama kali dilakukan ketika pelaksanaan wawancara menggunakan instrumen kuisioner untuk melengkapi data kuantitatif dengan cara menanyakan kepada responden terpilih secara acak mengenai informasi orang yang dapat memberikan informasi secara akurat. Informan pertama yang didapatkan adalan Bapak EKO, Kepala Dusun Dari, Desa Bansari. Dari informan pertama kemudian diperoleh informasi mengenai informan selanjutnya yang dapat memberikan informasi lebih banyak, yaitu Bapak PNS, petani tembakau dan mantan anggota BPD Bansari yang merupakan tetua desa dan menjadi rujukan setiap ada kegiatan masyarakat di desa tersebut. Informasi banyak didapatkan dari informan kedua ini. Informan kedua mengusulkan untuk menggali informasi mengenai pendidikan dari Bapak SYM, petani tembakau yang juga menjadi guru dan ketua beberapa LSM.

(28)

15 Pada penelitian yang dilakukan di Kelurahan Jampirejo sebagai representasi dari dataran rendah, informan juga didapatkan setelah melakukan wawancara kepada responden terpilih secara acak untuk melengkapi data kuantitatif. Dari hasil wawancara tersebut, didapatkan informasi bahwa informan yang pertama kali dapat dihubungi adalah Ibu MSN, istri Ketua Gabungan Kelompok Tani. Ibu MSN dipilih karena dianggap memiliki informasi sama seperti suaminya, Ketua Gabungan Kelompok Tani, mengenai kehidupan masyarakat petani tembakau di daerah ini. Selain itu informan yang juga ditemui adalah Bapak BBS, ketua Gabungan Kelompok Tani. Dari informan pertama dan kedua, diketahui bahwa informasi secara lengkap dapat diperoleh dari Bapak SKN, petani tembakau dan pensiunan PNS. Bapak SKN adalah tetua desa dan ketua salah satu kelompok tani di desa ini. Informasi secara lengkap diperoleh dari hasil wawancara terhadap Bapak SKN. Informan terakhir yang diperoleh adalah Ibu NKI, istri juragan tembakau, untuk mengetahui kekuatan produksi dan hubungan sosial produksi secara lebih rinci pada petani besar atau juragan. Pemilihan Ibu NKI ini didasarkan pada usulan yang diberikan oleh Bapak SKN.

Teknik Pengumpulan Data

Sumber data pada penelitian ini menggunakan informasi yang berasal dari informan dan responden sebagai subyek penelitian. Informan merupakan pihak yang dianggap penting karena dapat memberikan keterangan mengenai dirinya sendiri, keluarga, pihak lain, atau lingkungannya. Informan yang dipilih pada penelitian ini adalah aparatur desa, juragan tembakau, dan tokoh masyarakat setempat. Informan-informan tersebut dianggap mengetahui dengan jelas mengenai moda produksi yang berkembang di masyarakat. Sedangkan responden adalah orang yang dipilih dalam populasi untuk mewakili data dari seluruh populasi. Dalam penelitian ini, informan akan difokuskan untuk melengkapi data pada pendekatan kualitatif dan responden akan difokuskan untuk melengkapi data pada pendekatan kuantitatif.

Pendekatan metode kuantitatif dilakukan menggunakan unit analisa adalah individu petani tembakau. Unit observasi adalah individu petani tembakau dengan asumsi dia mengetahui keadaannya dan keluarganya. Sebanyak 30 responden diambil dari seluruh populasi (2.370 jiwa) di Desa Bansari sebagai representasi dataran tinggi, dan sebanyak 15 responden diambil dari seluruh populasi (199 jiwa) di Kelurahan Jampirejo. Penelitian yang dilakukan di Kelurahan Jampirejo difokuskan pada kawasan Dusun Nglarangan karena petani tembakau terkonsentrasi di daerah ini. Keterangan mengenai kerangka sampling dapat dilihat pada Lampiran 1.

(29)

16

Teknik Pengolahan dan Analisis Data

Terdapat dua data yang akan diolah dan dianalisis, yaitu data kualitatif dan data kuantitatif. Analisis data secara kualitatif dilakukan secara tiga tahap, yaitu reduksi data, penyajian data, dan verifikasi. Proses reduksi data dimulai dari proses pemilihan, penyederhanaan, abstraksi, hingga transformasi data hasil wawancara mendalam, observasi, dan studi dokumen terkait. Pereduksian data bertujuan untuk mempertajam, menggolongkan, mengarahkan, dan membuang data yang tidak perlu. Penyajian data merupakan tahap setelah reduksi yang berupa menyusun segala informasi dan data yang diperoleh menjadi serangkaian kata-kata yang mudah dibaca ke dalam sebuah laporan. Terakhir adalah tahap verifikasi yang merupakan penarikan kesimpulan dari hasil yang telah diolah pada tahap reduksi.

(30)

17

PROFIL DESA

Penelitian ini membandingkan moda produksi yang berkembang dalam komunitas petani tembakau dari dua daerah yang berbeda, yaitu daerah dataran tinggi yang direpresentasikan oleh Desa Bansari, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung, dibandingkan dengan moda produksi yang berkembang dalam komunitas petani tembakau di dataran rendah yang direpresentasikan oleh Kelurahan Jampirejo, Kecamatan Temanggung, Kabupaten Temanggung.

Kondisi Geografis

Desa Bansari, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung terletak di ketinggian 1.150 m dari permukaan laut. Desa ini berjarak 7 km atau dapat ditempuh dalam waktu 30 menit menggunakan kendaraan bermotor dari ibu kota kecamatan dan 9,3 km atau dapat ditempuh dalam waktu 45 menit menggunakan kendaraan bermotor dari ibu kota kabupaten. Desa Bansari dapat ditempuh menggunakan segala jenis alat transportasi dengan kondisi jalan yang belum di aspal atau disebut sebagai jalan trasahan. Alat transportasi umum dari dan menuju desa ini hanya sebuah angkutan pedesaan yang berangkat menuju ibu kota kabupaten pada pukul 06.30 WIB dan pulang pada pukul 10.00 WIB. Masyarakat desa dalam kehidupan sehari-hari biasanya menggunakan alat transportasi pribadi untuk bepergian.

Gambar 2 Lokasi penelitian dataran tinggi di Desa Bansari

(31)

18

Desa Bansari memiliki luas wilayah sebesar 371,99 ha yang berbatasan langsung dengan:

1. Sebelah utara : Desa Wonosari, Kecamatan Bulu 2. Sebelah selatan : Desa Pagersari, Kecamatan Tlogo 3. Sebelah timur : Desa Malangsari, Kecamatan Bulu 4. Sebelah barat : Gunung Sumbing

Secara administratif, Desa Bansari terbagi atas empat dusun yang terdiri dari empat rukun warga (RW) dan 20 rukun tetangga (RT), serta terdapat 873 rumah tangga. Jumlah penduduk desa ini mencapai 2.964 jiwa, terdiri dari 1.516 jiwa penduduk Laki-laki dan 1.448 jiwa penduduk perempuan.

Kelurahan Jampirejo sebagai desa contoh di daerah dataran rendah terletak di ketinggian 570 m dari permukaan laut. Desa ini berjarak 0 km dari ibu kota Kecamatan Temanggung dan tiga km dari ibu kota kabupaten yang dapat ditempuh selama lima belas menit menggunakan alat transportasi umum atau pribadi. Kondisi jalan telah diaspal dan beberapa titik menggunakan paving block. Dengan luas 208 ha, Kelurahan Jampirejo dibagi dalam 8 dusun yang terdiri dari enam rukun warga (RW) dan 33 rukun tetangga (RT), serta terdapat 1.733 kepala keluarga. Jumlah penduduk desa ini adalah 606 jiwa, terdiri dari 125 jiwa penduduk laki-laki dan 2.281 jiwa penduduk perempuan. Desa ini berbatasan langsung dengan

1. Sebelah utara : Kelurahan Jampiroso, Kecamatan Temanggung 2. Sebelah selatan : Kelurahan Madureso, Kecamatan Temanggung 3. Sebelah timur : Kelurahan Kertosari, Kecamatan Temanggung 4. Sebelah barat : Kelurahan Jampiroso, Kecamatan Temanggung

Gambar 3 Lokasi penelitian dataran rendah di kelurahan Jampirejo

(32)

19

Kondisi Ekonomi

Mayoritas penduduk di Desa Bansari bermatapencaharian sebagai petani seperti yang terlihat pada Tabel 3, yaitu 54,1 persen dengan buruh tani 18,1 persen. Setiap tahunya, masyarakat petani di desa ini menanam komoditas tanaman tembakau pada musim kemarau sebagai komoditas unggulan yang dapat dihasilkan di desa ini. Masyarakat Desa Bansari banyak memanfaatkan kelebihan alam sebagai sumber daya yang dapat mereka gunakan. Air misalnya, mereka menggunakan air langsung dari mata air pegunungan Sumbing yang terletak tidak jauh dari ladang tempat mereka bercocok tanam. Sebagian besar wilayah desa ini adalah lahan pertanian kering atau sering disebut tegalan dengan komoditas utama tembakau yang dibudidayakan setiap tahunya, dengan beberapa tanaman sela seperti jagung, singkong, dan cabai di luar musim tanam tembakau untuk memenuhi kebutuhan keluarga.

Menurut data monografi Desa Bansari tahun 2013, disebutkan bahwa dari hasil pemahaman pedesaan secara partisipatif tentang kajian kemiskinan diperoleh gambaran bahwa dari 873 KK yang termasuk dalam kategori miskin 264 KK yang tersebar pada 4 pedukuhan yaitu Dukuh Dari terdiri dari 87 KK miskin dari 302 KK; Dukuh Gedangan terdiri dari 52 KK miskin dari 227 KK; Dukuh Prangkokan terdiri dari 56 KK miskin dari 236 KK; dan Dukuh Balong terdiri dari 69 KK miskin dari 108 KK. Kondisi kemiskinan sebagian masyarakat desa ini diperparah dengan harga jual komoditas tembakau sebagai komoditas utama pertanian desa mengalami penurunan dari tahun ke tahun.

Tabel 3 Jumlah dan persentase penduduk Desa Bansari, Kecamatan Bulu

Sumber: Data Monografi Desa Bansari 2013 (diolah)

(33)

20

hortikultura. Dari data monografi Kelurahan Jampirejo tahun 2013 diketahui bahwa 14,33 % atau 248 keluarga berada pada status keluarga prasejahtera.

Tabel 4 Jumlah dan persentase penduduk angkatan kerja Kelurahan Jampirejo, Kecamatan Temanggung berdasarkan pekerjaan

Pegawai Negeri dan Pensiunan 228 8,1

TNI dan Polri 17 0,6 tahun yang tamat perguruan tinggi sebanyak 3 orang, tamat akademi sebanyak 6 orang, tamat SLTA sebanyak 75 orang, tamat SLTP sebanyak 214 orang, tamat SD sebanyak 1.359 orang, belum atau tidak tamat SD sebanyak 930 orang dan belum atau tidak sekolah sebanyak 413 orang. Jumlah dan persentase tertinggi terdapat pada jenjang pendidikan tamatan SD dengan persentase 45,3 persen seperti diperlihatkan pada Tabel 5. Tingkat pendidikan di desa ini cukup rendah karena akses yang cukup jauh dari sekolah dan faktor orang tua.

Tabel 5 Jumlah dan persentase penduduk Desa Bansari berdasarkan tingkat pendidikan 2013

Jenjang Pendidikan Jumlah %

Belum atau tidak sekolah 413 13,8

Tidak tamat SD 930 31,0

(34)

21 atau tidak sekolah sebanyak 211 orang. Jumlah dan eprsentase tertinggi terdapat pada jenjang pendidikan tamanan SLTA dengan persentase 27,6 persen seperti diperlihatkan pada Tabel 6. Hal ini dipengaruhi oleh dekatnya jarak termpat tinggal dengan sekolah di berbagai jenjang.

Tabel 6 Jumlah dan persentase penduduk Kelurahan Jampirejo berdasarkan tingkat pendidikan 2013

Jenjang Pendidikan Jumlah %

Belum atau tidak sekolah 211 5,2

Desa Bansari memiliki 99,9 persen penduduk beragama Islam seperti yang ditunjukkan dalam Tabel 7 dan seluruhnya bersuku Jawa, sehingga masyarakat hidup dalam suasana mono-religi dan mono-etnik. Tokoh agama dan tokoh adat merupakan pemimpin informal yang menjadi cermin bagi masyarakat dalam menyelesaikan persoalan-persoalan sehari-hari. Tokoh agama yang dimaksud dalam kehidupan masyarakat Desa Bansari adalah guru mengaji dan imam masjid yang disegani oleh masyarakat, sedangkan tokoh adat adalah para tetua desa yang sering mengadakan upacara-upacara adat jawa serta menjadi juru kunci makam keramat di desa ini.

(35)

22

Tabel 7 Jumlah dan persentase penduduk Desa Bansari berdasarkan agama 2013

Agama Jumlah %

Struktur sosial masyarakat serupa juga ditemukan di Kelurahan Jampirejo. Di kelurahan ini penduduk bergama Islam menduduki persentase terbesar yaitu 85,8 persen dibandingkan dengan penganut agama lainnya. Sebagian masyarakat juga berasal dari suku Jawa dan sebagian kecil berasal dari suku Sunda, Betawi, dan Cina. Beberapa pemimpin informal ditemukan di wilayah ini, diantaranya adalah tokoh agama dan tokoh adat. Tokoh agama yang diakui sebagai pemimpin informal oleh masyarakat adalah kaum (sebutan bagi imam masjid) dan kyai yang memimpin pondok pesantren di Kelurahan Jampirejo, sedangkan tokoh adat adalah orang yang diakui mengetahui seluk beluk wilayah Kelurahan Jampirejo secara magis. Tokoh adat yang diakui oleh masyarakat misalnya juru kunci makam dan pemimpin upacara-upacara adat jawa seperti upacara menjelang masa panen (disebut upacara wiwit).

Pelapisan sosial dalam masyarakat Kelurahan Jampirejo digolongkan pula menjadi tiga tingkat, yaitu masyarakat golongan atas, menengah, dan bawah. Penggolongan ini berdasarkan pada kekayaan, pekerjaan, dan tingkat pendidikan. Kekayaan pada masyarakat Kelurahan Jampirejo dapat dilihat dari luas penguasaan lahan, kendaraan, dan tempat tinggal, serta pendapatan bagi masyarakat bukan petani. Pekerjaan juga menjadi dasar pelapisan sosial. Biasanya orang yang bekerja di sektor publik dan menjadi juragan atau pengusaha sukses menempati pelapisan sosial golongan atas. Selain itu, pendidikan juga menjadi acuan pelapisan sosial. Orang yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi akan dianggap mempunyai status sosial yang lebih tinggi.

(36)

23

Pola Kebudayaan Masyarakat

Mayoritas masyarakat Desa bansari yang berasal dari suku Jawa mempengaruhi pola kebudayaan masyarakat. Meski kebudayaan modern sudah mulai terintroduksikan dalam kehidupan masyarakat, seperti penggunaan telepon seluler dan maraknya televisi kabel, namun kehidupan masyarakat adat jawa masih kental dipegang oleh masyarakat. Berbagai upacara adat yang sudah terinjeksi oleh budaya Islam sering dilakukan oleh masyarakat desa. desa ini setidaknya memiliki tujuh kelompok kesenian kuda lumping, empat kelompok kesenian tari lengger, dan empat kelompok kesenian tari sandhul, serta satu kelompok kesenian kethoprak. Pementasan kesenian-kesenian ini selalu dilakukan setiap tahunya pada musim-musim panen atau saat hajatan besar. Selain dipentaskan untuk kalangan desa sendiri, kelompok-kelompok kesenian ini juga sering mendapatkan undangan untuk mengisi acara kesenian serupa di desa lain.

Bahasa Jawa menjadi bahasa utama yang digunakan dalam berinteraksi. Bahasa Indonesia di desa ini belum banyak digunakan, bahkan banyak orang tua yang tidak dapat berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Aksen bahasa Jawa yang digunakan berbeda dengan aksen yang digunakan di wilayah dataran rendah, misalnya penggunaan kata enyong untuk menyebut aku di wilayah dataran rendah atau saya dalam bahasa Indonesia. Dalam interaksi sosial, masyarakat masih memiliki romantisme pedesaan dengan jiwa gotong royong, meski semakin terdegradasi dengan aliran kapitalis. dalam satu wilayah desa, masyarakat dapat merasa bahwa tetangga-tetangga mereka adalah keluarga. Saling berbagi makanan adalah salah satu ciri romantisme pedesaan yang tetap dijaga oleh masyarakat. Di bidang pertanian pula masyarakat memperlihatkan interaksi yang sangat dekat dengan sistem sambatan. Kekerabatan masyarakat yang sangat tinggi dibuktikan dengan banyaknya tetangga yang saling menikah atau ketika ada tetangga dari beda dusun menikah, masyarakat dusun lain akan berduyun-duyun ikut merayakannya karena mereka telah mengenal satu sama lain dalam satu desa.

Hal yang sama juga terjadi di Kelurahan Jampirejo. Budaya jawa yang begitu kental membuat masyarakat berpegang teguh pada adat budaya jawa meski arus modernisasi juga mendominasi. Beberapa upacara dilakukan sebagai adat kebiasaan masyarakat Islam-jawa, misal nyadran dan acara selametan lainnya. Budaya jawa yang lebih komples sangat terlihat di sektor pertanian dengan berbagai upacara adat untuk memulai menanam (disebut labuh) dan memulai memanen (disebut wiwit). Perhitungan tanggal dalam menanam dan memanen juga masih digunakan dengan tarikh saka (kemudian dikenal dengan tibo jowo atau bleg). Hal serupa terjadi juga di Desa Bansari. Di Kelurahan Jampirejo, kehidupan masyarakat sudah lebih modern karena dekat dengan pusat kota. Bahasa Jawa dan bahasa Indonesia digunakan secara bersama dalam kehidupan masyarakat. Bahasa Jawa biasanya digunakan lebih dominan, sedangkan bahasa Indonesia digunakan khusus dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah.

(37)

24

Nglarangan hanya mengenal dekat dengan masyarakat di sekitarnya dan mengenal sedikit orang di luar wilayahnya. Begitu pula dengan masyarakat di wilayah lain, sehingga dalam beberapa acara seperti hajatan, masyarakat di wilayah lain dalam atu desa tidak akan datang jika tidak diundang. Dalam mekanisme gotong royong, masyarakat Kelurahan Jampirejo lebih menekankan pada solidaritas organik dengan sistem pembagian kerja yang jelas.

Pola-pola Adaptasi Ekologi Masyarakat

Masyarakat Desa Bansari yang bermatapencaharian sebagai petani di lahan kering atau tegalan mempunyai pola-pola pengelolaan sendiri terhadap budidaya tanaman yang mereka usahakan. Pertanian yang mereka usahakan adalah pertanian tanpa irigasi, yang berarti mereka hanya mengandalkan air hujan saja untuk memenuhi kebutuhan air tanaman. Hal ini meyebabkan masyarakat memilih tanaman yang dapat hidup tanpa suplai air yang tinggi. Tanaman dengan ciri tersebut misalnya tembakau yang diusahakan sebagai komoditas utama yang menguntungkan. Tembakau biasanya ditanam di musim kemarau, karena tembakau adalah tanaman yang akan rusak (lomot dalam bahasa masyarakat setempat) jika terkena banyak air. Pengusahaan tanaman lain seperti cabai dan jagung juga dilakukan. Daerah ini memang memiliki ketinggian yang hampir sama dengan kawasan Dieng, namun lereng gunung Sumbing termasuk Desa Bansari tidak dapat membudidayakan tanaman seperti kentang dan kol karena ketidakadaan air.

Jika diamati secara sekilas, daerah Desa Bansari yang berbatasan langusng dengan gunung Sumbing akan tampak seperti padang pasir dari kejauhan. Hal ini dilatarbelakangi karena intensitas menanam tembakau oleh masyarkat terlalu sering. Gunung yang tampak gundul ternyata adalah lahan masyarakat. Meski tampaknya merusak lingkungan, namun masyarakat Desa bansari tetap mengusahakan budidaya tembakau dengan alasan mereka dapat memperoleh keuntungan yang banyak. Hasil tembakau dari daerah lereng gunung Sumbing, khususnya Desa Bansari merupakan jenis tembakau srinthil, tembakau dengan kadar nikotin yang sangat tinggi dan digunakan sebagai campuran rokok serta cerutu. Harga tembakau jenis ini sangat mahal di pasaran dan konon menjadi primadona di dunia. Tekstur tembakau yang basah dan berat. Salah satu upaya masyarakat untuk meminimalkan dampak buruk tersebut, masyarakat sudah memulai menggunakan pupuk organik yang dapat mengembalikan performa tanah.

(38)

25 tanah dengan air irigasi atau disebut leb oleh masyarakat setempat. Penggunaan pupuk anorganik dan pestisida banyak dilakukan masyarakat karena akses yang dekat dengan pusat kota membuat hasil tanaman akan menurun saat masyarakat ingin beralih cara budidaya secara organik. Hal ini menyebabkan unsur hara tanah alami menurun dan bergantung pada input dari luar yang tinggi (dalam istilah pertanian disebut sebagai high external input agriculture atau HEIA).

Ikhtisar

Penelitian ini dilakukan untuk membandingkan penggunaan jenis moda produksi pada komunitas petani tembakau di dataran tinggi dan dataran rendah. Desa Bansari, Kecamatan Bulu, Kabupaten Temanggung merupakan representasi dari daerah dataran tinggi. Desa ini berbatasan langsung dengan lereng Gunung Sumbing. Desa Bansari memiliki penduduk dengan persentase jumlah penduduk yang bekerja di sektor pertanian sebesar 72,2 persen. Tenaga kerja di sektor ini adalah yang terbanyak. Dalam segi tingkat pendidikan, desa ini memiliki penduduk dengan rataan pendidikan setingkat SD. Masyarakat Desa Bansari masih menganut tradisi jawa karena 100 persen penduduknya bersuku Jawa. Desa ini juga menunjukkan nilai-nilai Islam yang kuat karena 99,9 persen masyarakat memeluk agama Islam. Masyarakat desa ini masih memegang teguh budaya, telebih dalam penyelenggaraan sektor pertanian, misalnya kegiatan sedekah bumi. Dalam pola adaptasi ekologi, masyarakat Desa Bansari yang bermatapencaharian sebagai petani menggunakan tegalan yang tidak mempunyai irigasi dan menanam tanaman yang tidak membutuhkan banyak air, seperti cabai, jagung, ketela, bawang, dan tembakau. Air memang susah didapatkan di daerah ini untuk mengairi lahan pertanian mereka. Air yang mereka gunakan setiap hari untuk kebutuhan rumah tangga adalah ait gunung yang langsung dialirkan dari mata air. Salah satu tanaman yang dibudidayakan masyarakat yang tidak membutuhkan banyak air adalah tembakau. Masyarakat di desa ini dapat menghasilkan tembakau kretek berkualitas nomor satu di dunia, yaitu tembakau srinthil yang dihargai sepuluh hingga lima belas kali lipat harga tembakau biasa kualitas terbaik.

(39)
(40)

27

MODA PRODUKSI PETANI TEMBAKAU

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis-jenis moda produksi yang berkembang di antara petani tembakau di dua wilayah yang berbeda, yaitu dataran tinggi dan dataran rendah. Pengukuran mengenai moda produksi dilakukan menurut ciri-ciri tiga jenis moda produksi di masyarakat yang disampaikan oleh Kahn (1974), yaitu moda produksi subsisten, komersial, dan kapitalis yang ditentukan menurut kekuatan produksi dan hubungan sosial produksi.

Kekuatan Produksi

Kekuatan produksi dapat ditentukan dengan mengetahui terlebih dahulu luas lahan garapan, status penguasaan lahan, status penguasaan alat produksi non-lahan, unit produksi, dan penggunaan hasil produksi. Pada subbab ini akan dipaparkan hasil penelitian pada variabel-variabel tersebut dan menyimpulkan jenis kekuatan produksi yang berkembang di Desa Bansari dan Kelurahan Jampirejo.

Hasil penelitian memberikan data pengenai jumlah penguasaan lahan oleh masyarakat dua wilayah dataran ini. Masyarakat Desa Bansari, representasi dari dataran tinggi, memiliki rataan luas penguasaan lahan seluas satu hektar. Namun pada kenyataannya, 43 persen masyarakat berada pada golongan pemilik lahan sempit (menduduki persentase terbanyak) karena terdapat satu orang pencilan yang memiliki luas lahan garapan hingga dua puluh hektar. Data sebaliknya ditunjukkan pada hasil penelitian pada dataran rendah, yaitu di Kelurahan Jampirejo. Banyak masyarakat mengusahakan budidaya pertanian dengan lahan sedang dengan persentase empat puluh persen dari jumlah responden seperti diperlihatkan pada Tabel 9. Sebaran luasan lahan garapan ini dapat menentukan jenis moda produksi yang digunakan dalam budidaya tembakau.

Tabel 9 Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan luas lahan garapan

Luas Lahan Garapan

Lokasi Lahan Garapan Dataran Tinggi Dataran Rendah

n % n %

Sempit 13 43 4 27

Sedang 8 27 6 40

Luas 9 30 5 33

Total 30 100 15 100

(41)

28

luas sehingga data masyarakat yang memiliki luas penguasaan lahan lebih kecil akan tertutupi.

Gambar 4 Grafik persentase luas penguasaan lahan garapan berdasarkan lokasi lahan garapan

Luas penguasaan lahan tersebut kemudian dilihat kembali menggunakan variabel status penguasaan lahan garapan di Desa Bansari dan Kelurahan Jampirejo. Masyarakat Desa Bansari sebagian besar memiliki lahan garapan dalam lingkup keluarga kecil atau individu meski luasan lahan yang dimiliki lebih kecil. Hal berbeda terjadi di masyarakat Kelurahan Jampirejo, sebagian besar lahan garapan yang mereka miliki adalah menyewa, dengan kata lain mereka hanya petani penggarap. Hal ini disebabkan oleh semakin sedikitnya penguasaan lahan di daerah dekat dengan perkotaan. Sebagain besar lahan yang dulu masyarakat miliki dijual atau digunakan sebagai lahan pemukiman. Salah seorang informan dari Kelurahan Jampirejo, Bapak SKN, menyebutkan bahwa masyarakat yang tidak mempunyai lahan kemudian menyewa tanah bengkok milik kelurahan yang dilelang setiap tahun.

”Wong kene mbiyen duwe sawah akeh, ning pada didol, dituku wong njaba. Biasane sawah sing dituku dienggo mbangun omah apa tetep dienggo tandur. Akeh-akehe wong kene saben tahun melu lelang sawah bengkok nang kelurahan. Sawah bengkoke ono nang mburi omah kae, karo nang cedhak klapa siji.” (Orang sini dulu banyak memiliki sawah, tapi banyak yang dijual, dibeli oleh orang luar. Biasanya sawah yang dibeli digunakan untuk membangun rumah atau tetap digunakan untuk menanam. Kebanyakan orang sini setiap tahun mengikuti lelang sawah bengkok di kelurahan. Sawah bengkoknya ada di belakang rumah dan di dekat Klapa Siji.) – Bapak SKN (petani tembakau dan pensiunan PNS).

(42)

29 Bansari, Bapak PNS, petani tembakau dan mantan BPD Bansari menyebutkan bahwa masyarakat memiliki lahan tersebut secara turun temurun dan beberapa mendapatkan lahan dengan cara membeli. Selanjutnya, meski masyarakat memiliki lahan pribadi, beberapa masyarakat juga masih memiliki lahan keluarga besar yang digarap bersama. Pada tahun-tahun sebelumnya Perhutani menyewakan lahan dekat dengan hutan konservasi di Gunung Sumbing atau sering disebut ndeles oleh masyarakat, namun mulai tahun 2013, pihak Perhutani menghentikan kerjasama tersebut. kekeluargaan sudah menjadi kebiasaan. Tahun ini ndeles sudah tidak disewakan lagi oleh perhutani.) – Bapak PNS (petani tembakau dan mantan BPD Bansari).

(43)

30

Gambar 5 Grafik persentase status penguasaan lahan garapan berdasarkan lokasi lahan garapan

Variabel lain yang harus diteliti untuk menentukan jenis kekuatan produksi yang berkembang di masyarakat petani tembakau selanjutnya adalah status penguasaan alat produksi non-lahan. Dalam menentukan jenis status penguasaan kemudian ditentukan dengan kriteria keluarga besar, keluarga kecil, dan juragan. Hasil penelitian kuantitatif memaparkan bahwa masyarakat di dataran tinggi hampir semua memiliki alat produksi non-lahan dalam aras keluarga kecil atau individu, yaitu sebanyak 97 persen. Sebanyak 3 persen sisanya memiliki alat produksi non-lahan dalam aras keluarga besar. Di dataran rendah hal yang sama terjadi, bahkan semua responden menyatakan bahwa mereka mempunyai alat produksi non-lahan dalam aras keluarga kecil atau individu.

Tabel 11 Jumlah dan persentase responden menurut lokasi lahan garapan dan status penguasaan alat produksi non-lahan

Status Penguasaan Alat Produksi Non-lahan

Lokasi Lahan Garapan Dataran Tinggi Dataran Rendah

n % n %

Keluarga Besar 1 3 0 0

Keluarga Kecil 29 97 15 100

Juragan 0 0 0 0

Total 30 100 15 100

Perhitungan secara kuantitatif tatu penguasaan alat produksi non-lahan yang pada akhirnya mengerucutkan pada status penguasaan keluarga kecil atau individu bukan berarti tidak ada sama sekali masyarakat yang berurusan dengan juragan atau aktor-aktor kapitalis lain.

(44)

31 lajeng mbako ingkang ampun dimot disade ting gudang garam.” (Saya sendiri ketika akan menanam tembakau meminjam uang kesana-kemari. Kadang di bank, kadang di di juragan. Lha nanti hasil tembakau saya lalu dirajang sendiri atau dirajang bersama juragan di desa ini. juragan saya di sini ya Pak Lurah itu. Nanti ketika sudah terkumpul di gudang kemudian tembakau yang sudah disusun dijual kepada gudang garam.) – Bapak EKO (kepala Dusun Dari)

Gambar 6 Grafik persentase status penguasaan alat produksi non-lahan berdasarkan lokasi non-lahan garapan

Hal serupa mengenai kedekatan aktor-aktor kapitalis dalam budidaya tanaman tembakau disampaikan pula oleh informan di Kelurahan Jampirejo. Meski seratus persen responden memiliki alat produksi non-lahan dalam aras keluarga kecil atau individu melalui kategorisasi data kuantitatif, namun beberapa di antara mereka bersentuhan langsung dengan aktor-aktor kapitalis dari luar dalam memperoleh alat produksi non-lahan. Hal ini disampaikan oleh Ibu NKI, istri seorang petani tembakau yang mengaku bahwa keluarganya menggunakan sistem kemitraan dengan perusahaan rokok untuk mendapatkan alat produksi non-lahan. Sistem kemitraan adalah sistem kerjasama perusahaan langsung bersama petani, yaitu perusahaan akan menyediakan alat dan bahan produksi dengan catatan hasil olahan tembakau harus dijual kepada perusahaan tersebut dengan potongan harga di akhir sesuai besar biaya yang dikeluarkan oleh perusahaan kepada petani.

Gambar

Gambar 7  Grafik persentase unit produksi petani tembakau menurut lokasi
Tabel 1  Perbandingan artikulasi moda produksi subsisten, komersial, dan
Gambar 1  Kerangka pemikiran
Tabel 4 Jumlah dan persentase penduduk angkatan kerja Kelurahan Jampirejo, Kecamatan Temanggung berdasarkan pekerjaan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Komitmen untuk menjadi parlemen terbuka yang dicanangkan oleh DPRD Jawa Tengah menjadi momentum bagi anggota dewan untuk menjadi lebih terbuka dan komunikatif pada

kot ke pelaku pasar (Identifikasi Persoalan) Pembentukan lembaga khusus Penataan Terpadu Kawasan Arjuna sbd perwakilan stakeholder Persiapan Penilaian (Tahap Perencanaan)

Astrosit merupakan sel glial utama pada sistem saraf pusat yang mengisi 50% dari volume otak manusia dan berperan penting dalam fungsi fisiologis otak.. Astrosit berperan

Dari sisi konten yang mengandung unsur nasionalisme, beberapa tayangan berupa berita, talkshow , tayangan wisata dan olah raga menunjukkan kualitas yang lebih baik dibandingkan

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa pada siklus pertama ini ada aktivitas guru yang belum dikuasai sepenuhnya karena guru masih baru dalam menggunakan model

Nilai profesional Keperawatan yang dijelaskan oleh Foundasion of Nursing Care Values (2011), nilai-nilai tersebut merupakan fondasi seorang Perawat saat bertindak dan

Sistem yang digunakan memiliki kesamaan yaitu melacak suatu objek menggunakan GPS, namun yang menjadi perbedaan adalah GPS yang dipasang didalam kendaraan dan

api, yang berkaitan dengan sistem operasional kereta api dan arus sirkulasi di dalam dan di luar bangunan stasiun berdasarkan data statistic penumpang sampai tahun 2005 serta