• Tidak ada hasil yang ditemukan

Korelasi antara tingkat pendidikan, sumber informasi utama keamanan pangan, dan praktik penanganan pangan ibu rumah tangga

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Korelasi antara tingkat pendidikan, sumber informasi utama keamanan pangan, dan praktik penanganan pangan ibu rumah tangga"

Copied!
46
0
0

Teks penuh

(1)

KORELASI ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN, SUMBER INFORMASI

UTAMA KEAMANAN PANGAN, DAN PRAKTIK PENANGANAN

PANGAN IBU RUMAH TANGGA

ZACKUARY SWANDHARU

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul “Korelasi antara Tingkat Pendidikan, Sumber Informasi Utama Keamanan Pangan, dan Praktik Penanganan Pangan Ibu Rumah Tangga” adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, November 2014

Zackuary Swandharu

(4)

ABSTRAK

ZACKUARY SWANDHARU. Korelasi antara Tingkat Pendidikan, Sumber Informasi Utama Keamanan Pangan, dan Praktik Penanganan Pangan Ibu Rumah Tangga. Dibimbing oleh HARSI DEWANTARI KUSUMANINGRUM dan YANTI RATNASARI.

Keamanan pangan di tingkat rumah tangga sangat erat kaitannya dengan peran ibu rumah tangga sebagai penjaga gerbang (gate keeper) dalam keluarga. Salah satu peran tersebut adalah praktik penanganan pangan yang baik. Faktor yang diduga mempengaruhi kualitas praktik penanganan pangan (PPP) ibu rumah tangga antara lain ialah tingkat pendidikan dan sumber informasi utama keamanan pangan (SIUKP). Menindaklanjuti persoalan tersebut, maka dilakukan kajian/analisis korelasi antara PPP, tingkat pendidikan, dan SIUKP yang dimiliki oleh ibu rumah tangga di Indonesia menggunakan metode analisis crosstabs

dengan uji chi-square dan rangking spearman. Kajian tersebut menggunakan data

sekunder hasil survei “Kajian Awareness Keamanan Pangan Konsumen di Rumah

Tangga” tahun 2013 dengan jumlah responden sebanyak 3250 ibu rumah tangga yang dilakukan oleh Badan POM. Hasil survei menunjukkan bahwa 73 % responden memilih televisi sebagai SIUKP, skor rata-rata PPP ibu rumah tangga sebesar 3.78 (kategori baik) yang berarti sudah mempraktikkan lima kunci keamanan pangan dengan baik, dan persentase tingkat pendidikan ibu rumah tangga tertinggi adalah SMA (41.8 %) sedangkan yang terendah adalah ≤ SD (6.2 %). Uji korelasi antara variabel tingkat pendidikan dengan PPP menunjukkan tidak ada hubungan diantara variabel tersebut, yang berarti bahwa nilai praktik penanganan pangan ibu rumah tangga di Indonesia cenderung sama walau tingkat pendidikannya berbeda. Analisis korelasi antara variabel tingkat pendidikan dengan kesatuan korelasi SIUKP-PPP menunjukkan bahwa tingkat pendidikan diploma dan sarjana memiliki hubungan dengan kesatuan korelasi SIUKP-PPP. Hal tersebut berarti ibu rumah tangga dengan pendidikan diploma dan sarjana yang memilih SIUKP berbeda cenderung memiliki skor PPP yang berbeda.

(5)

ABSTRACT

ZACKUARY SWANDHARU. Correlation between the Level of Education, Key Resources for Food Safety, and Food Handling Practices Housewives. Supervised by HARSI DEWANTARI KUSUMANINGRUM and YANTI RATNASARI.

Food safety at household level is closely associated with the housewife roles as a gatekeeper in the family. One of these roles is a good food handling practices. The level of education and the main source of food safety information (SIUKP) are suspected to affect the quality of the food handling practices (PPP). The study/analysis of the correlation between PPP, level of education, and SIUKP that using analytical methods such as crosstabs, chi-square test and rank spearman are conducted to follow up these issues. The study uses secondary data survey from "Study of Consumer Food Safety Awareness in the Household" in 2013 by the number of respondents was 3250 housewives that conducted by Badan POM. The survey results showed that 73 % of respondents chose television as SIUKP, the average score for housewives PPP is 3.78 (good) which means the Indonesian housewives have done the five key of food safety practices well, and the highest percentage of mother's education level is high school (41.8 %) while the lowest is

≤ SD (6.2 %). The study resulted there is no correlation between the education level and PPP. It means the score of food handling practices in Indonesian housewives tend to be similar despite the different levels of education. Analysis of the correlation between education level and SIUKP-PPP indicates that the level of diploma and bachelor education have a relationship with a correlation of unity SIUKP-PPP. It means that Indonesian housewives (who have diploma and bachelor education level) will have different PPP score if they choose different SIUKP.

(6)
(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian

pada

Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan

KORELASI ANTARA TINGKAT PENDIDIKAN, SUMBER INFORMASI

UTAMA KEAMANAN PANGAN, DAN PRAKTIK PENANGANAN

PANGAN IBU RUMAH TANGGA

ZACKUARY SWANDHARU

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI PANGAN FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 hingga Juni 2014 ialah keamanan pangan ditingkat rumah tangga, dengan judul “Korelasi antara Tingkat Pendidikan, Sumber Infomasi Keamanan Pangan, dan Praktik Penanganan Pangan Ibu Rumah Tangga”.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Ir. Harsi D. Kusumaningrum dan Ibu Yanti Ratnasari, SP. MP. selaku pembimbing, serta Prof. Winiati P. Rahayu yang telah memberikan kesempatan mengerjakan topik skripsi ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh staf Direktorat Surveilan dan Penyuluhan Keamanan Pangan, teman-teman magang, keluarga pondok agathis, sahabat di ITP 47 (Muti, Rizki, Ayas, Jeni, Mala, Ritonga, Devi, dan Boti), dan Bang Fahmi Aceh yang telah membantu dan memberikan dorongan moral selama pengerjaan skripsi. Ungkapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada Papah, Mamah, Zahrie serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, November 2014

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

DAFTAR LAMPIRAN vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 1

Tujuan Penelitian 2

Manfaat Penelitian 2

METODE 2

Bahan 2

Prosedur Analisis Data 3

HASIL DAN PEMBAHASAN 5

Praktik Penanganan Pangan Ibu Rumah Tangga 5

Korelasi antara Tingkat Pendidikan, SIUKP, dan PPP 18

SIMPULAN DAN SARAN 21

Simpulan 21

Saran 22

DAFTAR PUSTAKA 23

LAMPIRAN 25

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Nilai tiap kunci keamanan pangan, nilai rata-rata, dan hasil

rangking 3

Tabel 2 Jumlah responden pada masing-masing kategori PPP 6 Tabel 3 Skor rata-rata PPP tiap kunci keamanan pangan 6 Tabel 4 Skor rata-rata kunci keamanan pangan pertama (menjaga

kebersihan) tiap provinsi 7

Tabel 5 Skor rata-rata kunci keamanan pangan kedua (memisahkan

pangan mentah dan matang) tiap provinsi 10

Tabel 6 Skor rata-rata kunci keamanan pangan ketiga (memasak

dengan benar) tiap provinsi 13

Tabel 7 Skor rata-rata kunci keamanan pangan keempat (menyimpan

pangan dengan benar) tiap provinsi 14

Tabel 8 Skor rata-rata kunci keamanan pangan kelima (menggunakan air dan bahan baku yang aman) tiap provinsi 15 Tabel 9 Skor rata-rata PPP berdasarkan tingkat pendidikan 16 Tabel 10 Uji lanjut scheffe pada skor rata-rata PPP berdasarkan tingkat

pendidikan 16

Tabel 11 Skor rata-rata PPP berdasarkan SIUKP 17

Tabel 12 Uji lanjut scheffe pada skor rata-rata PPP berdasarkan SIUKP 17 Tabel 13 Analisis chi-square variabel tingkat pendidikan, SIUKP, dan

PPPª 19

Tabel 14 Korelasi rangking spearman 19

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar pertanyaan yang dianalisis dari kuesioner “Kajian

Awareness Keamanan Pangan Konsumen di Rumah Tangga 25

Lampiran 2 Prosedur scoring blok 4a 27

Lampiran 3 Tabel Chi-square 28

Lampiran 4 Post hoc tests skor rata-rata PPP berdasarkan tingkat

pendidikanLampiran 4 28

Lampiran 5 Post hoc tests skor rata-rata PPP berdasarkan SIUKP 29 Lampiran 6 Tabel silang variabel tingkat pendidikan, SIUKP, dan PPP 31 Lampiran 7 Prosedur pengolahan data menggunakan analisis korelasi

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Secara umum, keamanan pangan adalah hal-hal yang membuat produk pangan aman untuk dimakan; bebas dari faktor-faktor yang bisa menyebabkan penyakit, misalnya sumber penular penyakit, mengandung bahan kimia beracun, dan mengandung benda asing. Keamanan pangan menurut UU nomor 18 tahun 2012 tentang pangan didefinisikan sebagai kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman untuk dikonsumsi.

Tingkat keamanan pangan suatu negara dapat dilihat dari banyaknya kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan di negara tersebut. Menurut Permenkes nomor 2 tahun 2013 tentang kejadian luar biasa (KLB) keracunan pangan, KLB keracunan pangan merupakan suatu kejadian dimana terdapat dua orang atau lebih yang menderita sakit dengan gejala yang sama atau hampir sama setelah mengonsumsi pangan, dan berdasarkan analisis epidemiologi, pangan tersebut terbukti sebagai sumber keracunan. Laporan tahunan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sejak tahun 2009 hingga 2013 menyebutkan bahwa penyebab KLB keracunan pangan terbesar di Indonesia berdasarkan lokasi kejadiannya adalah pangan olahan rumah tangga yaitu sebanyak 65, 76, 59, 23, dan 22 kejadian secara berurutan dari tahun 2009 s.d. 2013 (BPOM 2013). Data tersebut menunjukkan risiko keamanan pangan yang tinggi pada pangan hasil olahan rumah tangga sehingga praktik penanganan pangan dan profil ibu rumah tangga sebagai gate keeper dalam menjaga keamanan pangan keluarga perlu untuk dikaji.

Kajian mengenai praktik penanganan ibu rumah tangga dilakukan sebagai salah satu kajian lanjutan dari “Kajian Awareness Keamanan Pangan Konsumen

di Rumah Tangga” yang dilaporkan BPOM pada tahun 2013. Hasil rekapitulasi

data kajian tersebut dipilih variabel tingkat pendidikan, sumber informasi utama keamanan pangan (SIUKP), dan praktik penanganan pangan (PPP) sebagai obyek kajian lanjutan. Kajian lanjutan tersebut digunakan untuk mengetahui kualitas praktik penanganan pangan (PPP) ibu rumah tangga yang kemudian akan diketahui ada/tidaknya hubungan dengan variabel tingkat pendidikan dan sumber media informasi utama keamanan pangan (SIUKP) sehingga nantinya dapat dibuat strategi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) untuk ibu rumah tangga.

Perumusan Masalah

(14)

2

1. Bagaimana kondisi praktik penanganan pangan responden di setiap kunci keamanan pangan dan provinsi ?

2. Bagaimana hubungan antara tingkat pendidikan dengan PPP ? 3. Bagaimana hubungan antara tingkat pendidikan dengan SIUKP ? 4. Bagaimana hubungan antara SIUKP dengan PPP ?

5. Bagaimana hubungan antara tingkat pendidikan dengan kesatuan SIUKP-PPP ?

Tujuan Penelitian

Menganalisis korelasi antara tingkat pendidikan, sumber informasi utama keamanan pangan, dan praktik penanganan pangan dari hasil survei “Kajian

Awareness Keamanan Pangan Konsumen di Rumah Tangga” pada tahun 2013.

Hal ini guna memberikan gambaran seberapa kuat hubungan beserta arah korelasinya sehingga dapat disimpulkan bagaimana strategi terbaik dalam memberikan edukasi dan informasi tentang keamanan pangan melalui media infomasi yang paling baik.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah dihasilkannya gambaran secara nasional tentang praktik penanganan pangan ibu rumah tangga serta hubungannya dengan tingkat pendidikan dan media informasi, sehingga selanjutnya dapat disusun strategi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) yang baik dengan menggunakan media informasi yang paling baik.

METODE

Bahan

Data yang digunakan merupakan data sekunder dari hasil survei “Kajian

Awareness Keamanan Pangan Konsumen di Rumah Tangga” pada tahun 2013. Variabel yang dipilih adalah variabel praktik penanganan pangan (blok 4), sumber informasi utama keamanan pangan (blok 5 pertanyaan B5.1), dan tingkat pendidikan (blok 1 pertanyaan B1.3). Bentuk pertanyaan dan pilihan jawaban dapat dirujuk pada Lampiran 1.

(15)

3 mentah dan matang). Kunci ketiga yaitu memasak dengan benar terkandung dalam pertanyaan B4.8 (cara memastikan kematangan daging yang dimasak). Kunci keempat yaitu menyimpan pangan dengan benar terkandung dalam pertanyaan B4.10 (tempat menyimpan daging, telur, atau ikan segar sebelum dimasak), B4.11 (bagian kulkas untuk menyimpan daging mentah atau ikan segar), dan B4.12 (tempat menyimpan makanan untuk konsumsi esok hari). Kunci kelima yaitu menggunakan air dan bahan baku yang aman terkandung dalam pertanyaan B4.1 (penggunaan air bersih untuk menyiapkan makanan).

Prosedur Analisis Data

Variabel praktik penanganan pangan (PPP), tingkat pendidikan, dan sumber informasi utama keamanan pangan (SIUKP) dari hasil survei 3250 responden dianalisis lebih lanjut menggunakan aplikasi microsoft excel 2007 dan SPSS versi 20. Analisis tersebut diawali dengan skoring PPP ibu rumah tangga, kemudian korelasi antara tingkat pendidikan dengan PPP, korelasi antara SIUKP dengan PPP, korelasi antara tingkat pendidikan dengan SIUKP, dan diakhiri dengan korelasi antara tingkat pendidikan dengan kesatuan korelasi SIUKP-PPP.

Skoring Praktik Penanganan Pangan Ibu Rumah Tangga

Variabel praktik penanganan pangan (PPP) merupakan hasil skoring jawaban dari 12 buah pertanyaan yang termasuk dalam blok 4 pada kuesioner

“Kajian Awareness Keamanan Pangan Konsumen di Rumah Tangga”. Lampiran 2 menunjukkan prosedur pengolahan data kuesioner untuk blok 4 agar data-data tersebut dapat diubah menjadi bentuk data rangking. Penilaian dilakukan berdasarkan expert judgement dengan memberikan nilai 0.00 s.d. 5.00 kemudian diubah menjadi data skala ordinal, yaitu sangat tidak baik, tidak baik, sedang, baik, dan sangat baik. Expert judgement didasarkan pada pengetahuan dan pengalaman beberapa ahli sehingga dapat memberikan penilaian seobjektif mungkin terhadap suatu permasalahan (Maimun 2013). Hasil scoring tahap ini dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 Nilai tiap kunci keamanan pangan, nilai rata-rata, dan hasil rangking

No. K1 K2 K3 K4 K5 Rata-rata Rank blok 4

1 5.00 4.25 4.00 2.00 4.67 3.98 4.00

2 5.00 2.50 2.00 5.00 4 .67 3.83 4.00

3 5.00 4.00 2.00 4.33 4.67 4.00 5.00

4 5.00 5.00 2.00 5.00 4.67 3.98 5.00

5 5.00 4.50 2.00 5.00 3.00 3.90 4.00

6 5.00 4.50 2.00 5.00 4.67 4.23 5.00

... ... ... ... ... ... ... ...

Keterangan :

K1 = Menjaga kebersihan. Skor diambil dari rata-rata pertanyaan B4.2 (mencuci tangan

(16)

4

K2 = Memisahkan pangan mentah dan matang. Skor diambil dari rata-rata pertanyaan B4.5 (kebiasaan menggunakan talenan), B4.6 (kebiasaan menggunakan pisau), dan B4.9 (penggunaan piring untuk bahan mentah dan matang).

K3 = Memasak dengan benar. Skor diambil dari pertanyaan B4.8 (cara memastikan

kematangan daging yang dimasak).

K4 = Menyimpan pangan dengan benar. Skor diambil dari rata-rata pertanyaan B4.10 (tempat

menyimpan daging, telur, atau ikan segar sebelum dimasak), B.411 (bagian kulkas untuk menyimpan daging mentah atau ikan segar), dan B4.12 (tempat menyimpan makanan untuk konsumsi esok hari).

K5 = Menggunakan air dan bahan baku yang aman. Skor diambil dari pertanyaan B4.1

(penggunaan air bersih untuk menyiapkan makanan).

Keterangan untuk kolom “rank blok 4” :

1 = Sangat tidak baik atau nilai rata-rata 0-0.99. 2 = Tidak baik atau nilai rata-rata 1.00-1.99. 3 = Sedang atau nilai rata-rata 2.00-2.99. 4 = Baik atau nilai rata-rata 3.00-3.99. 5 = Sangat baik atau nilai rata-rata 4.00-5.00.

Analisis Korelasi Menggunakan Crosstabs dengan Metode Uji Chi-square dan Rangking Spearman

Tahap ini menjelaskan korelasi antara dua variabel berskala ordinal atau nominal menggunakan aplikasi SPSS. Metode analisis statistika yang digunakan adalah crosstabs dengan uji chi-square dan rank spearman. Pada dasarnya

crosstabs sama dengan menu tabel, namun perbedaannya terletak pada adanya metode-metode statistik untuk mengukur kekuatan asosiasi (hubungan) antara dua variabel yang berskala ordinal maupun nominal. Metode uji chi-square pada program SPSS merupakan bagian dari analisis crosstabs yang diterapkan untuk menguji apakah terdapat hubungan antara baris dan kolom pada sebuah tabel silang (Santoso 2009). Korelasi Rank Spearman merupakan pengukuran dua variabel berskala ordinal dengan hasil berupa kekuatan, arah, dan ada-tidaknya hubungan antara kedua variabel yang diuji (Sarwono 2010). Urutan analisis pada tahap ini adalah memilih analyze > descriptive statistics > crosstabs. Kemudian memasukkan salah satu variabel pada kotak row dan satu variabel lainnya pada kotak coloumn. Memilih menu statistics kemudian mengaktifkan menu chi-square

dan correlation. Memilih continue kemudian memilih OK untuk melihat hasil analisis. Urutan analisis ini digunakan pada korelasi antara tingkat pendidikan dengan PPP, korelasi antara SIUKP dengan PPP, dan korelasi antara tingkat pendidikan dengan SIUKP. Urutan analisis korelasi antara tingkat pendidikan dengan kesatuan korelasi SIUKP-PPP sama dengan urutan analisis korelasi antara SIUKP dengan PPP, hanya saja letak perbedaannya adalah penambahan variabel tingkat pendidikan pada kotak layer.

Hasil analisis yang perlu diperhatikan adalah tabel silang, nilai chi-square test (nilai pearson chi-square dan angka signifikansi), symmetric measures (nilai

(17)

5  Hipotesis

H0 : Tidak ada hubungan antara baris dan kolom. H1 : Ada hubungan antara baris dan kolom.

 Pengambilan keputusan berdasarkan nilai chi-square

Jika chi-square hitung < chi-square tabel maka H0 diterima. Jika chi-square hitung > chi-square tabel maka H0 ditolak.  Pengambilan keputusan berdasarkan nilai signifikansi

Jika signifikansi > α (0,05) maka H0 diterima.

Jika signifikansi < α (0,05) maka H0 ditolak.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Praktik Penanganan Pangan Ibu Rumah Tangga

(18)

6

Tabel 2 Jumlah responden pada masing-masing kategori PPP

No. Kategori PPP Jumlah Persentase

1. Sangat tidak baik 2 0.10 %

Tabel 3 Skor rata-rata PPP tiap kunci keamanan pangan

Kunci Keamanan

Pangan

Deskripsi Skor Rata-rata

1. Menjaga kebersihan 3.44

2. Memisahkan pangan mentah dan matang 3.99

3. Memasak dengan benar 2.46

4. Menyimpan pangan dengan benar 4.07

5. Menggunakan air dan bahan baku yang aman 4.94

Total 3.78

Perincian skor rata-rata PPP di tiap provinsi dan pertanyaan akan lebih detail memberi informasi tentang kondisi yang terdapat di lapangan. Informasi tersebut akan mempermudah pihak terkait (BPOM) dalam menyusun program edukasi terhadap praktik penanganan pangan yang masih dianggap kurang.

Menjaga Kebersihan

(19)

7

juga dimiliki oleh “mencuci menggunakan sabun”, namun responden yang memilih jawaban ini masih minim.

Tabel 4 Skor rata-rata kunci keamanan pangan pertama (menjaga kebersihan) tiap provinsi

No. Nama Provinsi Skor Rata-rataª

B4.2 B4.3 B4.4 B4.7

ªB4.2: mencuci tangan sebelum menyiapkan makanan, B4.3: kebiasaan setelah memecah telur, B4.4: kebiasaan setelah menangani ikan segar atau daging mentah, B4.7: cara membersihkan sayuran dan buah.

Keamanan pangan erat kaitannya dengan budaya praktik higiene perorangan, keluarga, dan masyarakat setempat, bahan mentah yang digunakan, polusi lingkungan, serta kemajuan teknologi dalam pertanian dan pengolahan pangan. Pangan yang aman dapat diproduksi menandakan kebersihan diri, lingkungan, peralatan, bahan, dan penanganan yang baik. Pangan yang baik dan aman adalah harapan seluruh manusia, maka dari itu sudah semestinya manusia mengupayakan terjaminnya kebersihan diri, lingkungan, peralatan, bahan baku, dan pangan yang hendak dikonsumsi.

Budaya praktik higiene perorangan sangat besar peranannya dalam menentukan tingkat pencemaran mikroba dalam makanan. Suatu contoh kebiasaan baik yang jarang dimiliki oleh anggota keluarga adalah kebiasaan sering mencuci tangan. Cuci tangan merupakan persyaratan penting untuk mencegah kontaminasi karena tangan merupakan organ tubuh manusia yang sangat aktif bersentuhan dengan aneka benda termasuk bersentuhan dengan produk pangan yang diolah. Kebersihan tangan yang dicuci dengan baik, menekan jumlah kontaminasi mikroba (Winarno 2004a). Cara mencuci tangan yang baik adalah sebagai berikut: mencuci dan menggosok tangan pada air bersih yang mengalir, menggunakan sabun yang cukup dan menggosok tangan sampai ke sela-sela jari dan kuku selama 20 detik, membilas tangan pada air bersih yang mengalir, kemudian mengeringkan tangan dengan lap bersih (Hariyadi dan Hariyadi 2011). Alangkah baiknya bila individu yang menangani pangan dapat mencuci tangan secara rutin saat sebelum mengolah pangan, sehabis menangani bahan baku, dan setelah mengolah pangan.

(20)

8

disease. Foodborne disease didefinisikan sebagai penyakit yang umumnya bersifat infeksi atau racun, yang disebabkan oleh agen yang masuk ke dalam tubuh melalui makanan yang dicerna.

Sebanyak 90 % foodborne disease yang terjadi pada manusia disebabkan oleh kontaminasi mikrobiologi. Anak berusia 5 tahun ke bawah (balita) rata-rata menderita diare 2-3 kali per-tahun. Sebanyak 70 % penyakit diare dianggap berawal dari makanan yang mengandung penyakit pada kasus di negara-negara berkembang. Masalah diare karena mengkonsumsi makanan yang mengandung penyakit tertentu terjadi di seluruh dunia, namun secara khusus telah menjadi akut di negara-negara sedang berkembang. Korban kematian anak-anak di seluruh dunia akibat penyakit diare adalah 4.6-6.0 juta anak/tahun khususnya berasal dari Asia, Afrika, dan Amerika Latin (Winarno 2004b). Sebagian kematian tersebut ada yang disebabkan oleh air minum yang terkontaminasi dan sebagian lainnya disebabkan oleh pemasakan dan penanganan yang tidak sempurna terhadap berbagai jenis komoditi pangan.

Beberapa penyakit diare dapat berpengaruh pada organ lain disamping pengaruhnya terhadap sistem alat pencernaan dan hati, seperti: pada alat pernapasan oleh Campylobacter jejuni, Salmonella sp., enteric virus; Ginjal oleh

Eschericia coli O157:H7, Salmonella sp., Shigella sp., Campylobacter sp.; Jantung oleh Yersinia; Kulit oleh Campylobacter sp., Salmonella, Yersinia enterocolitica. Penyakit-penyakit mengerikan seperti yang disebutkan di atas tentunya tidak diharapkan oleh semua manusia, maka sudah semestinya manusia menjaga kebersihan panganannya dimulai dari menjaga kebersihan diri sendiri (Winarno 2004b).

Ibu rumah tangga di Indonesia sudah memiliki kesadaran untuk mencuci tangan menggunakan sabun sebelum menyiapkan makanan. Hal tersebut dicerminkan dengan skor rata-rata pertanyaan B4.2 secara nasional maupun per-provinsi yang termasuk dalam kategori sangat baik.

Berbeda dengan skor pada pertanyaan B4.2, skor rata-rata pada pertanyaan B4.3 secara nasional masih dalam kategori sedang. Kebiasaan rata-rata ibu rumah tangga setelah memecah telur ialah hanya membasuh tangan dalam air atau melanjutkan memasak. Kebiasaan untuk mencuci tangan dengan sabun setelah memecah telur belum banyak dilakukan oleh ibu rumah tangga dikarenakan

anggapan bahwa “Tadi saya sudah mencuci tangan dengan sabun sebelum memulai memasak” (dicerminkan dengan skor pada pertanyaan B4.2 yang tinggi),

adapula anggapan secara visual bahwa permukaan cangkang telur yang bersih (tidak ada noda, sisa kotoran, atau sisa tanah yang menempel) sehingga dengan santainya ibu rumah tangga melanjutkan memasak. Apabila telur diberi perlakuan sanitasi dan higiene terlebih dahulu sebelum dipecahkan, ibu rumah tangga tidak perlu mencuci tangan setelah memecah telur. Karena melakukan sanitasi dan higiene terhadap telur utuh dirasa rumit, sebaiknya ibu rumah tangga mencuci tangannya menggunakan sabun setelah memecah telur.

(21)

9 prosesi masak memasak berakhir. Komunikasi, informasi, dan edukasi yang kurang juga menjadi sebab rendahnya skor ibu rumah tangga di Sulawesi Tengah.

Badan POM dapat merancang strategi KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) baik secara nasional maupun dikhususkan untuk provinsi yang masih memiliki skor sedang pada kunci keamanan pangan pertama, seperti Bengkulu, Gorontalo, NTT, Papua Barat, Sulawesi Tengah, dan Sumatera Utara. Konten KIE harus menjelaskan pentingnya menjaga kebersihan, dampak negatif dari kebersihan yang tidak dijaga, tata cara mencuci tangan yang baik dan benar, dan macam-macam foodborne diseases seperti yang sudah dijelaskan di atas. Ajakan untuk menjaga kebersihan diri dan membiasakan mencuci tangan, serta visualisasi individu yang mengalami foodborne disease dapat menjadi penguat pesan.

Kontaminasi pada pangan tidak hanya berasal dari mikroba, meskipun kontaminasi mikroba mendominasi sebab terjadinya foodborne disease. Kontaminasi kimia seperti residu pestisida pada sayuran dan buah juga harus diwaspadai. Pestisida dicurigai karena kemungkinannya sebagai penyebab leukimia, aplastic anemia, alergi, dan asma. Rathus (1973) berkesimpulan bahwa analisis yang telah dilakukan dengan hati-hati membuktikan adanya hubungan antara residu pestisida pada manusia dengan masalah-masalah epidemiologi.

Berbagai penelitian mengenai pengaruh pestisida terhadap timbulnya tumor telah banyak dilakukan. Walau masih banyak pertentangan, tidak ada salahnya bila kita berhati-hati dengan mengambil kesimpulan dari beberapa penelitian yang menyatakan pestisida dapat menimbulkan tumor pada manusia. Beberapa penelitian tersebut menggunakan binatang percobaan sebagai petunjuk bagi manusia. Tomatis et al. (1972) menerangkan lima laporan penelitian mengenai pengaruh DDT terhadap timbulnya tumor, yaitu: satu penelitian memberikan petunjuk meningkatnya kejadian tumor pada tikus (rat), tiga lainnya terjadi pada mencit (mice), dan satu lagi pada ikan traut. Tumor yang diamati pada umumnya tumor hati (hepatoma). Van Realte (1973) merangkum tiga penelitian yang menggunakan suatu pestisida bernama dieldrin. Beliau menyatakan bahwa

dieldrin dapat menyebabkan tumor hati pada mencit (mice).

Pencucian pada buah dan sayuran dapat menghilangkan residu carbamyl

sebanyak 66-87 %, sejumlah besar DDT (17-48 %), dan sebagian kecil (0-9 %) residu parathion. Kadar residu dapat turun sangat drastis dengan penambahan deterjen pada air yang digunakan untuk mencuci buah dan sayuran (Lamb et al.

1968). Dewasa ini, terdapat beberapa sabun pencuci piring yang dapat sekaligus mencuci buah dan sayuran mengklaim dapat menghilangkan sisa pestisida pada buah dan sayur, food grade, dan dapat membunuh 99 % kuman (Escherichia coli

dan Staphylococcus aureus). Bahan aktif yang terdapat pada sabun cuci piring tersebut diantaranya adalah natrium linier alkil sulfonat, natrium lauril sulfat,cocamido propil betain, dan natrium alkil benzena sulfonat. Senyawa-senyawa tersebut berperan sebagai surfaktan sehingga dapat menghilangkan kotoran bahkan residu pestisida pada permukaan sayur dan buah. Surfaktan adalah senyawa pembasah dan pembersih permukaan yang dapat menurunkan tegangan permukaan cairan. Penurunan tegangan permukaan cairan terjadi akibat peran bagian hidrofilik dan hidrofobik yang dimiliki oleh surfaktan (EPA 1993).

(22)

10

salahnya Badan POM memberikan KIE kepada masyarakat Indonesia akan tata cara mencuci yang benar dan pentingnya kebersihan pada buah dan sayuran agar kebiasaan baik ini tidak memudar dikemudian hari. Konten KIE tersebut dapat berupa penjelasan adanya residu pestisida pada buah dan sayuran, dampak negatif residu pestisida bagi kesehatan manusia, dan cara menghilangkan residu pestisida agar pangan menjadi aman, seperti yang dijabarkan di atas. Badan POM dapat bekerjasama dengan perusahaan sabun cuci yang menyatakan food grade untuk buah dan sayur dalam menjalankan program KIE tersebut. Harapan dari kerjasama tersebut adalah pesan yang ingin disampaikan BPOM kepada masyarakat dapat lebih mudah diterima, bantuan tenaga profesional yang lebih banyak, hingga dapat membuat iklan bersama agar masyarakat lebih memperhatikan praktik membersihkan sayuran dan buah yang baik.

Memisahkan Pangan Mentah dan Matang

Skor rata-rata kunci keamanan pangan kedua terinci pada Tabel 3. Skor terendah pada pertanyaan B4.5 dimiliki oleh provinsi Sulawesi Tengah sebesar 2.74 (sedang), sedangkan skor tertinggi dimiliki oleh provinsi Banten sebesar 4.26 (sangat baik). Hanya provinsi Sulawesi Tengah yang memiliki skor sedang yang berarti rata-rata ibu rumah tangga di Sulawesi Tengah membilas talenan yang sudah digunakan sebelum menggunakannya kembali untuk pangan yang siap dikonsumsi langsung, sedangkan responden provinsi lainnya mencuci talenan dengan air sabun kemudian mengeringkannya terlebih dahulu sebelum menggunakannya kembali. Skor terendah pada pertanyaan B4.6 dimiliki oleh provinsi Sulawesi Tengah sebesar 2.70 (sedang) yang berarti ibu rumah tangga di Sulawesi Tengah membilas pisau terlebih dahulu setelah menggunakannya pada bahan pangan mentah sebelum menggunakannya kembali untuk pangan yang siap konsumsi. Provinsi selain Sulawesi Tengah memiliki skor dengan kategori baik dan sangat baik. Skor rata-rata pada pertanyaan B4.6 adalah 3.89 (baik) yang berarti rata-rata ibu rumah tangga di Indonesia mencuci pisau yang sudah digunakan dengan sabun kemudian mengeringkannya sebelum menggunakannya kembali untuk pangan siap konsumsi. Skor terendah pada pertanyaan B4.9 dimiliki oleh provinsi Jawa Timur sebesar 2.98 (sedang), sedangkan skor provinsi lainnya masuk dalam kategori baik dan sangat baik. Skor rata-rata pada pertanyaan B4.9 adalah 4.26 (sangat baik) yang berarti rata-rata ibu rumah tangga di Indonesia tidak menggunakan piring yang sama untuk menaruh bahan pangan mentah dan makanan yang sudah masak.

Tabel 5 Skor rata-rata kunci keamanan pangan kedua (memisahkan pangan mentah dan matang) tiap provinsi

No. Nama Provinsi Skor Rata-rataª

(23)

11

No. Nama Provinsi Skor Rata-rataª

B4.5 B4.6 B4.9

Memisahkan pangan mentah dan matang sangat penting dalam menjaga makanan yang hendak dikonsumsi tetap aman. Hal tersebut dikarenakan makanan yang terkontaminasi silang dapat menimbulkan gejala penyakit, baik infeksi maupun keracunan. Kontaminasi silang ialah kontaminasi yang terjadi secara tidak langsung akibat ketidaktahuan dalam pengelolaan makanan sehingga bahan makanan mentah dan matang dapat bercampur, bersentuhan, atau bersinggungan melalui perantara. Bahan kontaminan dapat berada dalam makanan melalui berbagai pembawa, antara lain serangga, tikus, peralatan ataupun manusia yang menangani makanan tersebut. Jenis mikroorganisme yang umumnya mencemari makanan adalah bakteri (Clostridium perfringens, Streptococci fecal, dan

Salmonella sp.), kapang (Aspergillus, Penicillium, dan Fusarium), parasit (Entamoeba histolytica, Taenia saginata, dan Trichinella spiralis), dan virus (virus hepatitis A). Beberapa jenis bakteri patogen pun ikut andil dalam kasus gejala sakit maupun keracunan (KESMAS 2014). Bakteri patogen tersebut diantaranya adalah Escerichia coli, Salmonella typhi, dan Shigella dysentriae. Gejala penyakit yang timbul disebabkan oleh masuknya bakteri patogen ke dalam tubuh melalui makanan, kemudian berkembang biak di dalam saluran pencernaan dan menimbulkan gejala sakit perut, diare, muntah, dan gejala lainnya (KESMAS 2012). Memisahkan bahan mentah dan matang, tidak menggunakan alat memasak yang sama disaat yang bersamaan, dan mencuci dengan sabun lalu mengeringkannya sebelum menggunakannya kembali dapat mencegah terjadinya efek negatif dari kontaminasi silang.

Seluruh peralatan yang akan digunakan dan bersentuhan dengan bahan pangan harus dijaga agar dalam keadaan yang bersih. Peralatan-peralatan memasak yang terdiri dari alat-alat tradisional yang didesain rumit dan banyak lubang yang sulit dibersihkan, sehingga merupakan sarang persembunyian yang nyaman bagi bakteri, contohnya talenan, parutan, penyerut es, “irus”, dan lain sebagainya. Jadi, peralatan dapur merupakan sumber kontaminasi apabila tidak dicuci dengan baik. Idealnya, pencucian peralatan dapur harus dikukus agar bakteri-bakteri pembusuk dan patogen mati oleh panas (Winarno 2004a).

(24)

12

detik atau lebih (untuk peralatan yang tahan panas), setelah itu baru ditiriskan sampai kering (Winarno2004a).

Prosedur untuk melaksanakan sanitasi dan higiene sudah dibuat standar kerjanya yang terangkum dalam pedoman CPPOB (Cara Produksi Pangan Olahan Yang Baik). CPPOB didefinisikan sebagai sekumpulan tata cara khusus (specific codes) yang diperlukan bagi setiap rantai pangan, proses pengolahan, atau penanganan komoditi bahan pangan untuk mencegah terjadinya kesalahan dan meningkatkan prinsip pelaksanaan persyaratan higiene yang spesifik bagi masing-masing bidang. Winarno (2004a) menjelaskan tahap-tahap sanitasi dan higiene tersebut :

1. Pre rinse atau langkah awal. Tahap yang bertujuan menghilangkan tanah dan sisa makanan dengan cara mengerok, membilas dengan air, menyedot kotoran, dan sebagainya.

2. Pembersihan. Tahap ini bertujuan menghilangkan tanah dengan cara mekanis atau mencuci dengan lebih efektif.

3. Pembilasan. Tahap pembilasan dilakukan dengan cara membilas tanah menggunakan pembersih seperti sabun/deterjen pada permukaan peralatan. 4. Pengecekan visual. Tahap pengecekan visual bertujuan memastikan

dengan indera mata bahwa permukaan alat-alat bersih. 5. Penggunaan desinfektan untuk membunuh mikroba.

6. Pembersihan akhir. Tahap pembersihan akhir dilakukan bila diperlukan untuk membilas cairan desinfektan yang padat.

7. Drain dry atau pembilasan kering. Desinfektan dikeringkan dari alat-alat tanpa diseka/dilap. Air yang menggenang atau butiran air yang masih tersisa diusahakan tidak ada karena air tersebut dapat menjadi tempat yang baik bagi pertumbuhan mikroba.

Skor rata-rata nasional kunci keamanan pangan kedua di tiap pertanyaan masuk dalam kategori baik dan sangat baik, namun skor rata-rata provinsi Jawa Timur pada pertanyaan B4.9 dan Sulawesi Tengah pada pertanyaan B4.5 dan B4.6 masih dalam kategori sedang. Pemberian KIE mengenai sanitasi peralatan dan pencegahan kontaminasi silang sebaiknya dilakukan lebih gencar pada kedua provinsi tersebut. Konten KIE tersebut dapat berupa penjelasan definisi kontaminasi silang, dampak negatif dari kontaminasi silang, dampak negatif dari kurangnya sanitasi peralatan memasak, dan tata cara menjaga sanitasi peralatan memasak seperti yang disebutkan di atas.

Memasak dengan Benar

(25)

13 Tabel 6 Skor rata-rata kunci keamanan pangan ketiga (memasak dengan benar)

tiap provinsi

No. Nama Provinsi Skor Rata-rata (B4.8)ª

1. Bali 2.34

12. Kalimantan Tengah 2.37

13. Lampung 2.43

Rata-rata 2.46

ªB4.8: cara memastikan kematangan daging yang dimasak

Menurut Maimun (2013) dan Nesbitt et al. (2013), praktik paling baik dalam memastikan kematangan daging yang dimasak ialah menggunakan termometer. Praktik penggunaan termometer mendapatkan skor sangat baik (5 poin) pada kuesioner yang digunakan, kemudian disusul dengan memastikan kematangan daging dengan cara memotong daging menggunakan pisau (4 poin) yang termasuk kategori baik. Standar yang dipakai pada pembuatan kuesioner mengacu pada standar negara-negara maju seperti Amerika dan Kanada sehingga pilihan menggunakan termometer untuk menentukan kematangan daging yang dimasak menjadi pilihan dengan skor tertinggi. Penggunaan termometer makanan (food thermometer) di tingkat rumah tangga sudah menjadi hal umum bagi masyarakat Amerika dan Kanada. Menurut survei tentang keamanan pangan yang dilakukan FDA/USDA, sebanyak 70 % warga Amerika memiliki food thermometer (Lando dan Chen 2012). Hal tersebut dapat terjadi karena peran aktif badan pangan dan pertanian Amerika (FDA dan USDA) dalam mengedukasi warga Amerika akan pentingnya menggunakan termometer makanan dalam menentukan kematangan masakan (khususnya daging). Penggunaan termometer makanan sangat penting dikarenakan satu-satunya cara yang dapat diandalkan untuk memastikan keamanan dan kematangan makanan mengacu pada tercapainya suhu internal minimum hanya dengan menggunakan termometer makanan.

(26)

14

di tingkat rumah tangga di Indonesia mungkin masih menjadi hal yang tabu, namun tidak ada salahnya BPOM atau pihak terkait lainnya memulai memberikan KIE tentang pentingnya penggunaan termometer memasak dalam kehidupan sehari-hari.

Menyimpan Pangan dengan Benar

Skor rata-rata kunci keamanan pangan keempat terinci pada Tabel 5. Skor terendah pada pertanyaan B4.10 dimiliki oleh provinsi Bengkulu 3.90 (baik), sedangkan skor tertinggi dimiliki oleh provinsi Sulawesi Tengah sebesar 4.82 (sangat baik). Skor rata-rata pada pertanyaan B4.10 adalah 4.54 (sangat baik). Hal tersebut berarti rata-rata ibu rumah tangga di Indonesia menyimpan daging mentah, telur, dan ikan segar di dalam kulkas sebelum menggunakannya untuk memasak. Skor terendah pada pertanyaan B4.11 dimiliki oleh provinsi Bengkulu dan NTT sebesar 3.46 (baik), sedangkan skor tertinggi dimiliki oleh provinsi Jawa Timur sebesar 3.79 (baik). Skor rata-rata pada pertanyaan B4.11 adalah 3.61 (baik). Hal ini berarti rata-rata ibu rumah tangga di Indonesia menyimpan daging mentah atau ikan segar di freezer. Skor terendah pada pertanyaan B4.12 dimiliki oleh provinsi Papua Barat sebesar 3.23 (baik), sedangkan skor tertinggi dimiliki oleh provinsi Sulawesi Tengah dan Sumatera Utara sebesar 4.56 (sangat baik). Skor rata-rata pada pertanyaan B4.12 adalah 4.07 yang berarti rata-rata ibu rumah tangga di Indonesia menyimpan masakan dalam jumlah besar yang mengandung daging atau ikan di dalam kulkas dengan segera apabila hendak dikonsumsi untuk esok hari.

Kunci keamanan pangan keempat, yaitu menyimpan pangan dengan benar atau menjaga pangan pada suhu yang aman dijelaskan oleh WHO (2006) bahwa kunci keamanan pangan keempat tersebut memiliki 5 informasi inti. Lima informasi inti tersebut adalah larangan meninggalkan pangan matang pada suhu ruang lebih dari 2 jam, menyimpan pangan matang dan makanan mudah rusak dalam lemari es dengan segera (dianjurkan dibawah 5 °C, menjaga masakan tetap hangat (lebih baik diatas 60 °C) sebelum disajikan, larangan menyimpan makanan terlalu lama bahkan di dalam lemari es, dan larangan mencairkan makanan beku pada suhu ruang. Kelima informasi utama tersebut disebabkan mikroorganisme dapat memperbanyak diri (berlipat ganda) sangat cepat jika makanan disimpan pada suhu ruang. Menjaga makanan dibawah 5 °C atau diatas 60 °C dapat memperlambat atau bahkan menghentikan tumbuhnya mikroorganisme, maka dari itu akan sangat baik menyimpan makanan pada lemari es atau freezer sesuai dengan informasi yang telah ditetapkan WHO (WHO 2006).

(27)

15

ªB4.10: tempat menyimpan daging, telur, atau ikan segar sebelum dimasak, B4.11: bagian kulkas untuk menyimpan daging mentah atau ikan segar, B4.12: tempat menyimpan makanan untuk konsumsi esok hari

Menggunakan Air dan Bahan Baku yang Aman

Skor rata-rata kunci keamanan pangan kelima terinci pada Tabel 6. Skor terendah dimiliki oleh provinsi Bengkulu sebesar 4.54 (sangat baik), sedangkan skor tertinggi dimiliki oleh provinsi Bali, Gorontalo, Sulawesi Tengah, dan Banten dengan skor 5.00 (sangat baik). Skor rata-rata kunci keamanan pangan kelima ialah 4.94 (sangat baik) yang berarti rata-rata ibu rumah tangga di Indonesia menggunakan air bersih dalam menyiapkan makanan sehari-hari.

Menurut WHO (2006), informasi utama mengenai penggunaan air dan bahan baku yang aman adalah menggunakan air yang aman (sudah diolah sehingga aman dikonsumsi), memilih bahan baku yang segar dan utuh, memilih pangan olahan yang aman seperti susu pasteurisasi, sayur dan buah dicuci hingga bersih sebelum dikonsumsi dalam kondisi mentah, dan larangan mengkonsumsi pangan yang sudah masuk tanggal kadaluarsa. WHO mengeluarkan informasi-informasi utama tersebut dikarenakan bahan baku (termasuk air dan es) memiliki kemungkinan terkontaminasi oleh berbagai mikroorganisme dan bahan kimia yang berbahaya. Racun kimiawi mungkin saja terbentuk dari bahan makanan yang cacat dan berjamur. Memilih bahan baku secara selektif, mencuci, dan mengupas kulit dapat mengurangi resiko keracunan pangan (WHO 2006).

Tabel 8 Skor rata-rata kunci keamanan pangan kelima (menggunakan air dan bahan baku yang aman) tiap provinsi

No. Nama Provinsi Skor Rata-rata (B4.1.) ª

(28)

16

No. Nama Provinsi Skor Rata-rata (B4.1.) ª

13. Lampung 4.98

Rata-rata 4.94

ªB4.1: penggunaan air bersih untuk menyiapkan makanan

Skor PPP berdasarkan Tingkat Pendidikan dan SIUKP

Hasil skoring dapat digunakan untuk menggali informasi lebih banyak apabila diimprovisasi dengan variabel lain. Sebagai contoh improvisasi, Tabel 9 menampilkan skor rata-rata PPP untuk masing-masing tingkat pendidikan. Beberapa informasi yang dapat digali ialah skor rata-rata PPP tertinggi berdasarkan tingkat pendidikannya terdapat pada ibu rumah tangga dengan tingkat

pendidikan ≤SD dan SMP (3.89), sedangkan skor terendah dimiliki oleh responden dengan tingkat pendidikan diploma (3.83). Skor rata-rata PPP ibu rumah tangga dengan tingkat pendidikan terakhir ≤SD dan SMP menjadi yang tertinggi disebabkan oleh jumlah responden yang lebih sedikit dibandingkan dengan tingkat pendidikan lainnya.

Tabel 9 Skor rata-rata PPP berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah Responden Rata-rata skor PPP

≤SD 203 3.89

SMP 322 3.89

SMA 1360 3.87

Diploma 424 3.83

Sarjana 941 3.85

Apabila diperhatikan secara seksama, skor rata-rata PPP responden di tiap jenjang pendidikan tidak begitu terpaut jauh. Uji beda nyata menggunakan ANOVA dengan uji lanjut scheffe dilakukan untuk menguji apakah terdapat perbedaan yang nyata (signifikan) diantara skor rata-rata PPP kelima tingkat pendidikan tersebut. Uji lanjut scheffe dipakai pada kasus ini karena jumlah sampel tiap variabel tidak sama. Hasil post hoc tests pada Lampiran 4 menunjukkan tidak ada satupun nilai signifikansi dibawah α (0.05). Uji lanjut

scheffe seperti yang ditampilkan pada Tabel 10 memperkuat hasil dari post hoc tests dengan menampilkan kelima tingkat pendidikan pada satu subset yang sama. Hal ini berarti tidak ada satupun tingkat pendidikan yang memiliki skor rata-rata PPP yang berbeda nyata terhadap skor rata-rata PPP tingkat pendidikan lainnya. Hal ini menunjukkan tidak ada perbedaan kualitas praktik penanganan pangan ibu rumah tangga di Indonesia walau latar belakang pendidikan terakhir yang dimiliki berbeda-beda.

Tabel 10 Uji lanjut scheffe pada skor rata-rata PPP berdasarkan tingkat pendidikan

Tingkat Pendidikan Jumlah Responden Subset for Alpha = 0.05

(29)

17

Tingkat Pendidikan Jumlah Responden Subset for Alpha = 0.05

1

Sig. 0.48

Tabel 11 menampilkan rata-rata skor PPP untuk masing-masing tingkat pendidikan dan jenis SIUKP. Hasil yang didapat ialah responden dengan rata-rata skor PPP tertinggi adalah responden yang memilih jenis SIUKP teman/tetangga, sedangkan skor rata-rata terendah dimiliki oleh responden yang memilih SIUKP radio. Skor rata-rata PPP responden yang memilih SIUKP teman/tetangga menjadi yang tertinggi dikarenakan jumlah responden yang memilih lebih sedikit dibandingkan dengan jenis SIUKP lainnya. Skor rata-rata suatu perlakuan atau sampel yg diikuti oleh minimal satu huruf yang sama dengan huruf pada skor rata-rata perlakuan atau sampel lainnya menandakan bahwa kedua sampel atau perlakuan tersebut memiliki skor rata-rata yang tidak berbeda nyata.

Tabel 11 Skor rata-rata PPP berdasarkan SIUKP

SIUKP Jumlah Responden Skor rata-rata PPP

Televisi 2366 3.88b

Radio 93 3.66a

Media cetak 351 3.83ab

Teman/tetangga 57 3.91b

Keluarga 99 3.82ab

Internet 88 3.80ab

Penyuluhan 196 3.81ab

Uji beda nyata menggunakan ANOVA pada variabel PPP sebagai dependent variable dan variabel SIUKP sebagai factor ditunjukkan oleh Lampiran 5. Uji lanjut yang dilakukan adalah uji scheffe seperti yang ditampilkan pada Tabel 12. Hasil uji beda nyata tersebut adalah Skor rata-rata PPP responden yang memilih SIUKP radio tidak berbeda nyata dengan skor rata-rata PPP responden yang memilih SIUKP internet, penyuluhan, keluarga, dan media cetak, maka dari itu kelima variabel tersebut berada pada subset nomor 1 pada pengujian lanjut scheffe.

Subset nomor 2 terdiri dari responden yang milih SIUKP televisi, teman/tetangga, media cetak, keluarga, penyuluhan, dan internet. Jadi, hanya responden yang memilih SIUKP radio saja yang memiliki skor rata-rata PPP yang berbeda nyata dengan responden yang memilih SIUKP televisi dan teman/tetangga.

Tabel 12 Uji lanjut scheffe pada skor rata-rata PPP berdasarkan SIUKP

SIUKP Jumlah Responden

Subset for alpha = 0.05

1 2

Radio 93 3.66a

Internet 88 3.80ab 3.8ab

Penyuluhan 196 3.81ab 3.81ab

(30)

18

SIUKP Jumlah Responden

Subset for alpha = 0.05

1 2

Media Cetak 351 3.83ab 3.83ab

TV 2366 3.88b

Teman/Tetangga 57 3.91b

Sig. 0.21 0.73

Peran radio sebagai SIUKP kurang efektif. Skor PPP responden yang memilih radio sebagai SIUKP berbeda nyata dengan skor PPP responden yang memilih televisi maupun teman/tetangga sebagai SIUKP, walau skor rata-rata PPP responden yang memilih SIUKP radio pun masuk dalam kategori baik dan hanya lebih rendah sekitar 0.20 dari televisi maupun teman/tetangga.

SIUKP televisi menjadi pilihan tertinggi oleh responden dan rata-rata skor PPP tidak berbeda nyata dengan responden yang memilih SIUKP lainnya, kecuali radio. Hal tersebut menandakan BPOM memiliki banyak alternatif media KIE untuk masyarakat Indonesia karena kemampuan media-media tersebut (internet, penyuluhan, keluarga, televisi, teman/tetangga, media cetak) untuk menyalurkan infromasi agar masyarakat menjadi paham adalah setara. Badan POM dapat mempertimbangkan dari segi SDM, ekonomi, dan lainnya dalam hal pemilihan SIUKP yang tepat. Namun demikian, apabila BPOM hendak memilih jenis SIUKP yang paling efektif untuk menyampaikan informasi tentang praktik penanganan pangan maka SIUKP dengan pemilih terbanyak (televisi) adalah jawabannya.

Menurut Jahi (1988), televisi merupakan media komunikasi massa yang memiliki kemampuan yang besar untuk mengantarkan dan menyebarkan pesan-pesan. Pesan tersebut disampaikan kepada massa yang berada di tempat terpencar dan tersebar luas, secara serentak, dan dengan kecepatan tinggi. Televisi sebagai salah satu media komunikasi mempunyai potensi yang cukup besar untuk menghasilkan efek. Hal ini dimungkinkan oleh sifatnya yang audio visual. Penyampaian pesan yang disertai gambar yang bergerak mempunyai daya tarik yang kuat dan dapat memberikan kesan yang mendalam, sehingga memungkinkan untuk menghasilkan efek yang cukup besar. Efek dapat berupa bertambahnya pengetahuan, sikap, persepsi, dan bahkan sampai mengubah perilaku (Merril dan Lowenstein 1971).

Korelasi antara Tingkat Pendidikan, SIUKP, dan PPP

Analisis crosstabs chi-square adalah metode yang digunakan untuk analisis korelasi dan penyajian data kategorik (nominal dan ordinal) dalam bentuk tabulasi, terdiri dari row, coloumn, dan layer (Santoso 2009).

(31)

(non-19 parametrik) maka crosstabs digunakan untuk menganalisis hubungan antara ketiga variabel tersebut. Ringkasan hasil analisis korelasi ketiga variabel tersebut ditunjukkan pada Tabel 13.

Tabel 13 Analisis chi-square variabel tingkat pendidikan, SIUKP, dan PPPª

Variabel

Chi-ªTaraf signifikansi (α) yang digunakan sebesar 5 %.

Korelasi antara tingkat pendidikan dengan PPP menghasilkan nilai chi-square sebesar 16.29 dengan db (derajat bebas) 16, nilai signifikansi 0.43. Karena nilai chi-square hitung (16.29 ) < chi-square tabel (26.30) dan nilai signifikansi (0.43) > α (0.05) maka tidak ada hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan PPP. Korelasi rangking spearman seperti yang ditunjukkan pada Tabel 14 memperlihatkan nilai koefisien korelasi sebesar -0.0, artinya tidak ada korelasi diantara kedua variabel. Skor PPP yang tidak berbeda nyata diantara tingkat pendidikan yang berbeda menjadi penyebab sekaligus makna dari tidak adanya korelasi antara tingkat pendidikan dan praktik penanganan pangan. Hasil yang sama didapatkan oleh Fitriyanti (2011) yang menyatakan tidak ada korelasi antara tingkat pendidikan dengan praktik terkait gizi dan kemanan pangan.

Tabel 14 Korelasi rangking spearman

Tipe Skala Korelasi Value Asymp. Std.

Error

Approx. T Approx. Sig.

Ordinal by Ordinal Spearman Correlation -0.0 0.0 -1.2 0.23

(32)

20

tingkat pendidikan. Media cetak (10.8 %) menjadi pilihan tertinggi kedua untuk

semua tingkat pendidikan kecuali tingkat ≤SD. Media internet menjadi pilihan

terendah untuk tingkat pendidikan ≤SD, SMP, dan SMA. Sedangkan untuk tingkat

pendidikan diploma dan sarjana, media teman/tetangga menjadi pilihan terendah. Korelasi antara SIUKP dengan PPP menghasilkan nilai chi-square sebesar 53.10 dengan db (derajat bebas) 24, nilai signifikansi 0.00. Karena nilai chi-square hitung (53.10) > chi-square tabel (36.42) dan nilai signifikansi (0.00) < α (0.05) maka ada hubungan antara SIUKP dengan PPP. Media televisi berperan dominan bagi keseluruhan responden. Seperti yang ditunjukkan pada Lampiran 6, responden dengan kategori skor PPP sangat baik berjumlah 1477 orang, responden dengan kategori skor PPP sangat baik dan memilih SIUKP televisi berjumlah 1107 orang, responden dengan kategori skor PPP baik berjumlah 1614 orang, dan responden dengan kategori skor PPP baik dan memilih SIUKP televisi berjumlah 1164 orang. Hal tersebut berarti sebanyak 74.94 % responden dengan kategori skor PPP sangat baik memilih televisi sebagai SIUKP dan 72.12 % responden dengan kategori skor PPP baik memilih televisi sebagai SIUKP. Media televisi sangat efektif dalam penyebaran informasi karena sebagian besar masyarakat Indonesia memiliki televisi dan bentuk informasinya pun lebih menarik karena merangsang indera secara audio dan visual. Napitupulu (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa tayangan televisi berkorelasi dengan aspek kognitif (pengetahuan), afektif (memberikan rasa/emosi), dan konatif (menimbulkan pola tindakan) penonton. Efek konatif televisi dijelaskan oleh Dewi (2011) dalam penelitiannya tentang jajanan anak sekolah menyatakan bahwa media informasi utama mengenai jajanan adalah televisi. Informasi jajanan yang ada di televisi sangat erat hubungannya dengan frekuensi jajan siswa SD.

Korelasi antara tingkat pendidikan dengan kesatuan SIUKP-PPP menghasilkan tingkat pendidikan diploma dan sarjana memiliki nilai chi-square

hitung > chi-square tabel dan nilai signifikansi < α (0.05). Karena syarat terpenuhi maka dapat ditarik kesimpulan bahwa jenis SIUKP berhubungan dengan kualitas PPP hanya berlaku untuk ibu rumah tangga yang memiliki pendidikan diploma dan sarjana. Artinya, ibu rumah tangga dengan pendidikan diploma dan sarjana cenderung memiliki skor rata-rata PPP yang berbeda apabila memilih SIUKP yang berbeda, berbeda halnya dengan ibu rumah tangga dengan tingkat pendidikan ≤SD, SMP, dan SMA yang cenderung memiliki skor rata-rata PPP yang mirip meskipun pilihan SIUKP mereka berbeda. Hal tersebut dapat

dikarenakan nilai PPP dan pilihan SIUKP ibu rumah tangga berpendidikan ≤ SD,

(33)

21 baik dan memilih SIUKP media cetak, dan sisanya dalam kategori sedang hingga sangat baik.

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Skor rata-rata PPP ibu rumah tangga di Indonesia secara nasional masuk dalam kategori baik, namun ada beberapa provinsi yang masih masuk dalam kategori sedang di beberapa pertanyaan. Provinsi-provinsi yang masih memiliki skor PPP sedang di lebih dari satu pertanyaan adalah provinsi Sulawesi Tengah, Bengkulu, Gorontalo, NTT, Papua Barat, Sumatera Utara, dan Jawa Timur. Sebagian besar provinsi-provinsi tersebut berada di Indonesia bagian timur, sedangkan penyebaran KIE dan para ahli di bidang keamanan pangan disana kurang bila dibandingkan Indonesia bagian barat. Hal tersebut menjadi sebab kurangnya skor PPP ibu rumah tangga pada beberapa provinsi tersebut.

Praktik memasak yang benar adalah satu-satunya praktik penanganan pangan yang memiliki skor sedang di setiap provinsi. Hal ini terjadi karena kebanyakan ibu rumah tangga Indonesia tidak tahu dan tidak terbiasa menggunakan termometer makanan (food thermometer) untuk menentukan kematangan daging yang dimasak, sedangkan standar kuesioner yang digunakan dalam survei menetapkan bahwa penggunaan termometer untuk menentukan kematangan daging yang dimasak adalah praktik yang terbaik.

Tingkat pendidikan tidak berhubungan dengan praktik penanganan pangan. Hal ini terjadi karena skor PPP responden di semua jenjang pendidikan tidak berbeda nyata. Tidak adanya korelasi antara variabel tingkat pendidikan dan praktik penanganan pangan menyebabkan tidak terjawabnya arah korelasi dan kekuatan korelasi diantara kedua variabel tersebut.

Tingkat pendidikan berhubungan dengan SIUKP. Semua tingkat pendidikan responden didominasi oleh pilihan televisi sebagai SIUKP. Hal tersebut menandakan sebagian besar responden di setiap jenjang pendidikan terakhir menyatakan televisi adalah media informasi utama dalam memperoleh informasi mengenai keamanan pangan. Hal berbeda ditampilkan setelah variabel PPP masuk sebagai layer, tidak semua tingkat pendidikan berhubungan dengan SIUKP. Responden dengan tingkat pendidikan diploma dan sarjana saja yang berhubungan dengan SIUKP apabila variabel PPP dimasukkan. Hal ini berarti skor PPP ibu rumah tangga dengan tingkat pendidikan ≤SD, SMP, dan SMA yang begitu beragam tidak ada sangkut pautnya dengan media informasi. Dengan kata lain, respoden dengan tingkat pendidikan diploma dan sarjana yang memilih SIUKP berbeda cenderung menghasilkan PPP yang berbeda. Namun demikian, televisi tetap menjadi SIUKP yang mendominasi di semua kategori PPP.

(34)

22

Saran

Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai bahan pertimbangan perancangan program KIE (komunikasi, informasi, dan edukasi) keamanan pangan bagi ibu rumah tangga Indonesia, terutama pada provinsi-provinsi yang masih memiliki skor PPP dalam kategori sedang.

Skor PPP dengan kategori sedang pada beberapa provinsi kerap muncul pada pertanyaan yang berkaitan dengan kunci keamanan pangan pertama (menjaga kebersihan), kunci keamanan pangan kedua (mencegah kontaminasi silang dari peralatan memasak), dan kunci keamanan pangan ketiga (memasak dengan benar). Solusi dari masalah tersebut adalah memberikan KIE kepada penduduk provinsi yang masih memiliki skor sedang. Konten KIE dapat berupa penjelasan mengenai pentingnya menjaga kebersihan diri, lingkungan, dan pangan; dampak buruk pangan yang terkontaminasi; mikroba patogen yang umum mengkontaminasi pangan beserta penyakit yang dihasilkan; dampak buruk dari residu pestisida pada sayuran dan buah; cara mencuci tangan yang baik; cara membersihkan buah dan sayuran yang baik; cara membersihkan peralatan memasak yang baik; dan penggunaan termometer makanan (food thermometer) untuk menentukan kematangan daging yang dimasak. Penggunaan media televisi untuk menyebarkan KIE tersebut dapat membuat penyebaran lebih efektif dan efisien. Hal tersebut dikarenakan media televisi adalah media yang paling efektif dalam menyebarkan informasi mengenai keamanan pangan karena sifatnya yang dapat menyebarkan pesan audio-visual secara massive, cepat, dan menarik. Namun demikian, program penyuluhan tetap harus ditambahkan karena sifatnya yang bertatapan langsung (komunikasi dua arah) dapat memberikan peluang ibu rumah tangga untuk bertanya mengenai masalah yang dialaminya mengenai paraktik penanganan pangan. Media KIE lainnya seperti internet, media cetak, teman/tetangga, keluarga juga tak kalah dengan penyuluhan maupun televisi dalam hal memberikan pengaruh, maka dari itu media-media tersebut bisa dijadikan alternatif bagi BPOM dengan pertimbangan ekonomi, ketersediaan SDM, dan hal lainnya.

Skor praktik penanganan pangan yang tercantum pada penelitian ini berdasarkan data sekunder hasil survei “Kajian Awareness Keamanan Pangan

Konsumen di Rumah Tangga”. Pengambilan data pada survei tersebut dilakukan

(35)

23

DAFTAR PUSTAKA

[BPOM] Badan Pengawas Obat dan Makanan. 2013. Data Gabungan Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan Tahun 2009-2013. Jakarta (ID): BPOM.

Dewi LK. 2011. Peran media massa terhadap kebiasaan jajan siswa sekolah dasar di kota dan kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Engel JF, Blackwell RD, Miniard PW. 1994. Perilaku Konsumen. Ed Ke- 6. Jilid

1. Budiyanto FX. penerjemah. Jakarta (ID): Binarupa Aksara.

[EPA] Environmental Protection Agency. 1993. Lauryl Sulfate Salts. Washington (US): EPA.

Fitriyanti I. 2011. Perilaku guru sekolah dasar terkait gizi dan keamana pangan [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Hariyadi P, Hariyadi RD. 2011. Memproduksi Pangan Yang Aman. Jakarta (ID): Dian Rakyat.

KESMAS. 2012. Macam bakteri penyebab kontaminasi pada makanan [internet]. [diunduh 2014 Agu 25]. Tersedia pada: http://www.indonesian-publichealth.com/2012/12/bakteri-penyebab-kontaminasi-makanan.html. KESMAS. 2014. Kontaminan dan mekanisme pencemaran makanan [internet].

[diunduhh 2014 Agu 25]. Tersedia pada: http://www.indonesian-publichealth.com/2014/02/jenis-kontaminasi-makanan.html.

Lamb FG, Farrow RP, Elkins ER, Kimball JR, Cook RW. 1968. Removal of DDT, Parathion, and Carbaryl from spinach by commercial and house preparative methods. J Agric. Food Chem. (16): 957-973.

Lando AM, Chen CC. 2012. Trends in ownership and usage of food thermometers in the United States, 1998 through 2010. J Food Prot. (75): 556-562.

Maimun MS. 2013. Kajian kesadaran dan perilaku ibu rumah tangga terhadap keamanan pangan di kota dan kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Merril CJ, Lowenstein LR. 1971. Media, Message and Man: New Perspective In Communication. New York (US): David McKey Co.

Nadesul H. 2006. Cucilah Tangan dengan Sabun. Kalimantan Barat (ID): Pontianak Post.

Napitupulu DK. 2011. Efek tayangan sulanjana di Megaswara TV dalam pelestarian kebudayaan lokal [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nesbitt A, Thomas MK, Marshall B, Snedeker K, Meleta K, Watson B, Bienefeld

M. 2013. Baseline for consumer food safety knowledge and behaviour in Canada [ulasan]. Food Control. 38: 157-173.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2013 tentang Kejadian Luar Biasa Keracunan Pangan. 2013. Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2013 Nomor 127.

Rathus EM. 1973. The Effect of Pesticide Residues of Humans. Di dalam: Deichman WB, editor. Pesticides and Environments: A Continuing Controversy; 1973; New York, Amerika Serikat. New York (US): Intercontinental Medical Book Corp.

(36)

24

Sarwono J. 2010. Korelasi [internet]. [diunduh 2014 Agu 25]. Tersedia pada: http://www.jonathansarwono.info/korelasi/korelasi.htm/.

Tomatis L, Day N, Torosow V, Charle RT. 1972. The effect of long term exposure to DDT on CFL mice. Int. J Canser. (10): 489-506.

[USDA] United States Departement of Agriculture. 2011. Kitchen thermometer [internet]. [diunduh 2014 Agu 25]. Tersedia pada: http://www.fsis.usda.gov/PDF/Kitchen_Thermometers.pdf.

Van Realte HGS. 1973. Of Hematomas Mice and Man. Di dalam: Deichman WB, editor. Pesticides and Environments: A Continuing Controversy; 1973; New York, Amerika Serikat. New York (US): Intercontinental Medical Book Corp. [WHO] World Health Organization. 2006. Five keys to safer food manual.

Geneva (SW): World Health Organization.

(37)

25

LAMPIRAN

Lampiran 1 Daftar pertanyaan yang dianalisis dari kuesioner “Kajian Awareness

Keamanan Pangan Konsumen di Rumah Tangga”

Blok Nomor Pertanyaan

1 B1.3 Apakah tingkat pedidikan Anda ?

A. ≤SD

B. SMP

C. SMA

D. Diploma

E. Sarjana

4 B4.1 Apakah anda menggunakan air bersih dalam menyiapkan makanan

sehari-hari?

A. Ya

B. Tidak

B4.2 Sebelum Anda menyiapkan makanan, apakah Anda mencuci tangan

dengan sabun?

A. Ya

B. Kadang-kadang

C. Tidak

B4.3 Setelah memecah telur mentah, apakah yang biasanya Anda lakukan?

A. Melanjutkan memasak

B. Membasuh/merendam tangan dalam air

C. Mencuci tangan dengan sabun

D. Tidak pernah memecah telur mentah

E. Tidak tahu

B4.4 Setelah menangani ikan segar atau daging mentah, apakah yang biasanya

Anda lakukan ?

A. Melanjutkan memasak

B. Membasuh/merendam tangan dalam air

C. Mencuci tangan dengan sabun

D. Tidak pernah menangani ikan segar atau daging mentah

E. Tidak tahu

B4.5 Setelah menggunakan talenan apakah yang biasanya Anda lakukan

sebelum digunakan kembali untuk pangan yang dikonsumsi langsung?

A. Menggunakannya langsung untuk bahan lain

B. Membilas atau menyeka terlebih dahulu

C. Mencuci dengan air sabun kemudian mengeringkan

D. Tidak tahu

B4.6 Setelah menggunakan pisau apakah yang biasanya Anda lakukan sebelum

digunakan kembali untuk pangan yang dikonsumsi langsung?

A. Menggunakannya langsung

B. Membilas atau menyeka terlebih dahulu

C. Mencuci dengan air sabun kemudian mengeringkan

D. Menggunakan pisau yang berbeda

E. Tidak tahu

B4.7 Bagaimana cara Anda membersihkan sayuran dan buah-buahan?

A. Mengggosok dengan tangan, sikat atau kain dalam air mengalir

B. Menahan pada air yang mengalir tanpa menggosoknya

C. Merendam dalam air

D. Mencuci dengan sabun

E. Tidak tahu

B4.8 Jika Anda menggunakan daging dalam masakan Anda, bagaimana cara

(38)

26

Blok Nomor Pertanyaan

A. Dipotong dengan pisau

B. Ditusuk dengan alat masak (sodet atau garpu)

C. Dicicipi

D. Penampakan (warna atau tekstur)

E. Menggunakan termometer

F. Melihat waktu masak

B4.9 Apakah Anda menggunakan piring yang sama untuk meletakkan bahan

pangan mentah dengan makanan yang sudah masak?

A. Ya

B. Tidak

B4.10 Dimanakah Anda menyimpan daging mentah, telur atau ikan segar

sebelum Anda gunakan untuk memasak?

A. Meja/lemari dapur

B. Kulkas

C. Tempat lain

B4.11 Jika Anda menyimpan daging mentah atau ikan segar dalam kulkas, pada

bagian mana Anda menyimpan bahan-bahan tersebut? A. Freezer

B. Di bawah Freezer

C. Rak bagian atas/tengah

D. Rak bagian bawah

E. Laci bawah

F. Tidak menyimpan di kulkas

B4.12 Jika Anda memasak sup atau makanan lain yang mengandung daging atau

ikan dalam jumlah besar dan Anda ingin menyimpannya untuk esok hari apakah yang Anda lakukan?

A. Menyimpannya di suhu ruang

B. Menyimpannya di kulkas dengan segera

C. Menyimpannya di warmer

D. Tidak tahu

5 B5.1 Sumber informasi manakah yang paling berpengaruh terhadap kebiasaan

Anda terkait dengan keamanan pangan?

A. Televisi

B. Radio

C. Media cetak (koran, majalah, tabloid, pamflet, poster)

D. Teman/tetangga

E. Keluarga

F. Internet

(39)

27 Lampiran 2 Prosedur scoring blok 4a

Aspek No

1. Jawaban pada kuesioner yang telah dimasukkan dalam program SPSS

di-copy ke program Microsoft excel

2. Angka kode disesuaikan dengan skor yang telah ditentukan diatas

(40)

28

pada pertanyaan nomor 3 dan 4 adalah D maka hasil penjumlahan hanya dibagi dengan 2 bukan 4.

4. Hitung rata-rata nilai keseluruhan dengan menjumlah nilai rata-rata tiap aspek dibagi dengan banyak aspek.

(41)

29

Lampiran 5 Post hoc tests skor rata-rata PPP berdasarkan SIUKP

(42)

30

SIUKP SIUKP Mean

Difference Std. Error Sig.

95% Confidence Interval

Lower Bound

Upper Bound

MEDIA CETAK -0,17 0,05 0,12 -0,35 0,02

TEMAN/TETANGGA -0,25 0,08 0,09 -0,52 0,02

KELUARGA -0,16 0,07 0,38 -0,40 0,07

INTERNET -0,14 0,07 0,60 -0,38 0,10

PENYULUHAN -0,15 0,06 0,36 -0,35 0,06

MEDIA CETAK TV -0,05 0,03 0,65 -0,14 0,04

RADIO 0,17 0,05 0,12 -0,02 0,35

TEMAN/TETANGGA -0,08 0,06 0,94 -0,31 0,14

KELUARGA 0,00 0,05 1,00 -0,18 0,19

INTERNET 0,03 0,05 1,00 -0,17 0,22

PENYULUHAN 0,02 0,04 1,00 -0,12 0,16

TEMAN/TETANGGA TV 0,03 0,06 1,00 -0,18 0,25

RADIO 0,25 0,08 0,09 -0,02 0,52

MEDIA CETAK 0,08 0,06 0,94 -0,14 0,31

KELUARGA 0,09 0,07 0,97 -0,18 0,35

INTERNET 0,11 0,08 0,92 -0,16 0,38

PENYULUHAN 0,11 0,07 0,87 -0,13 0,35

KELUARGA TV -0,06 0,05 0,96 -0,22 0,11

RADIO 0,16 0,07 0,38 -0,07 0,40

MEDIA CETAK 0,00 0,05 1,00 -0,19 0,18

TEMAN/TETANGGA -0,09 0,07 0,97 -0,35 0,18

INTERNET 0,02 0,07 1,00 -0,21 0,26

PENYULUHAN 0,02 0,06 1,00 -0,18 0,22

INTERNET TV -0,08 0,05 0,86 -0,25 0,10

RADIO 0,14 0,07 0,60 -0,10 0,38

MEDIA CETAK -0,03 0,05 1,00 -0,22 0,17

TEMAN/TETANGGA -0,11 0,08 0,92 -0,38 0,16

Gambar

Tabel 1  Nilai tiap kunci keamanan pangan, nilai rata-rata, dan hasil rangking
Tabel 4  Skor rata-rata kunci keamanan pangan pertama (menjaga kebersihan) tiap provinsi
Tabel 5  Skor rata-rata kunci keamanan pangan kedua (memisahkan pangan
Tabel 6  Skor rata-rata kunci keamanan pangan ketiga (memasak dengan benar) tiap provinsi
+5

Referensi

Dokumen terkait

Konsentrasi optimal ekstrak daun kelor yang dapat diberikan untuk me- nurunkan infestasi pada ikan Maskoki selama 69 jam adalah 700 ppm dengan rata-rata persentase penurunan

Berbagai keuntungan yang dimilki oleh data penginderaan jauh sangat membantu proses pengumpulan dan revisi data geografis yang sangat diperlukan dalam pembangunan nasional

Sub-CP Mata kuliah (Sub-CPMK) adalah kemampuan yang dijabarkan secara spesifik dari CPMK yang dapat diukur atau diamati dan merupakan kemampuan akhir yang direncanakan pada tiap

Oleh karena itu jika pembaca masih menemukan adanya kesalahan dalam penulisan surat atau ayat yang tidak sesuai dengan makna yang dirujuk, mohon kiranya agar

Berdasarkan deskripsi dan pembahasan hasil penelitian sebelumnya mengenai pendidikan informal berbasis budaya Pasang ri Kajang pada masyarakat adat Kajang yang menunjukkan

Adanya unsur ketidakpastian, maka diperlukan suatu perencanaan untuk mengurangi akibat yang mungkin terjadi (BNPB, Panduan Perencanaan Kontinjensi, 2011). Perencanaan Kontinjensi

Metode yang digunakan dalam penelitian, selain melakukan pengamatan gerakan dan pergeseran jembatan dengan menggunakan GPS, maka pada saat yang bersamaan dari pengamatan