• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis tataniaga salak pondoh di desa Wonokerto, kecamatan Turi, kabupaten Sleman

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analisis tataniaga salak pondoh di desa Wonokerto, kecamatan Turi, kabupaten Sleman"

Copied!
89
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TATANIAGA SALAK PONDOH DI DESA

WONOKERTO, KECAMATAN TURI, KABUPATEN SLEMAN

ATIKA DEWI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Tataniaga Salak Pondoh di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

(4)
(5)

ABSTRAK

ATIKA DEWI. Analisis Tataniaga Salak Pondoh di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman. Dibimbing olehADI HADIANTO.

Salak Pondoh adalah salah satu buah yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Harga Salak Pondoh yang fluktuatif dan terdapat perbedaan harga yang tinggi antara petani dengan konsumen menyebabkan rendahnya perolehan yang diterima petani. Tujuan dari penelitian ini adalah: 1) menganalisis lembaga, fungsi dan saluran tataniaga dan 2) menganalisis efisiensi sistem tataniaga Salak Pondoh melalui pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Observasi dan wawancara dilakukan kepada 35 petani dan 12 lembaga tataniaga dengan metode snowball sampling. Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu analisis kualitatif dan kuantitatif.Analisis kualitatif digunakan untuk mengetahui lembaga, fungsi dan saluran tataniaga Salak Pondoh di Desa Wonokerto, sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk menghitung marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya. Hasil penelitian menunjukkan terdapat 5 saluran tataniaga Salak Pondoh yang ada di Desa Wonokerto yang menjalankan fungsi yang berbeda-beda. Saluran III relatif efisien dibandingkan saluran lainnya. Saluran ini merupakan saluran terpendek yang hanya melibatkan pedagang pengecer sebagai lembaga tataniaga dengan harga jual di tingkat petani sebesar Rp 5750 per kg, marjin tataniaga sebesar Rp 3500 per kg, farmer’s share tertinggi sebesar 76.67% dan rasio keuntungan terhadap biaya sebesar 1.40.

(6)

ABSTRACT

ATIKA DEWI. Marketing Analysis of Pondoh Snakefruit in Wonokerto Village, Subdistrict Turi, Sleman Regency. Supervised by ADI HADIANTO.

Pondoh snakefruit is one of the fruit products that has a great economic value. The fluctuating price of Pondoh snakefruit and the high price difference at the farmers and end consumers cause low price that farmer’s receive. The purposes of the research are : 1) to analyse the institution, function and marketing distribution, and 2) to analyse the efficiency of Pondoh snakefruit with the approach of marketing margin, farmer’s share and benefit cost ratio. The interview and observation were conducted with 35 farmers and 12 institutions with snowball sampling methods. Data analyse method used in the research are qualitative and quantitative analysis. Qualitative analysis is used to know the institution, function and marketing distribution of Pondoh snakefruit in Wonokerto Village, while quantitative analysis is used to measure marketing margin, farmer’s share and benefit cost ratio. Result of the research shows that there are five channels of Pondoh snakefruit marketing distribution at Wonokerto Village that run different functions. Third channel is relatively more efficient than other channels. This channel is the shortest channel that involves only retailer as a marketing distribution with selling price on farmer’s level at Rp 5 750 per kg, marketing margin at Rp 3 500 per kg, highest farmer’s share at 76.67% and benefit to cost ratio at 1.40.

(7)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi

pada

Departemen Ekonomi Sumberdaya dan Lingkungan

ANALISIS TATANIAGA SALAK PONDOH DI DESA

WONOKERTO, KECAMATAN TURI, KABUPATEN SLEMAN

ATIKA DEWI

DEPARTEMEN EKONOMI SUMBERDAYA DAN LINGKUNGAN FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(8)
(9)
(10)
(11)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas segala limpahan nikmat dan karunia-Nya skripsi ini dapat diselesaikan. Judul yang dipilih dalam penelitian ini adalah Analisis Tataniaga Salak Pondoh di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman.

Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Adi Hadianto, SP, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membimbing penulis dalam menyusun skripsi ini. Penghargaan juga penulis sampaikan kepada Bapak Karsidi selaku Kepala Desa Wonokerto, Bapak Sugimin selaku penyuluh pertanian Desa Wonokerto serta warga di Desa Wonokerto, Bapak Surya beserta istri selaku pimpinan dari PT.Surya Alam Sejahtera (SAS) Indomerapi, Bapak Sari selaku ketua paguyuban Mitra Turindo yang telah membantu memberikan informasi terkait dengan penyusunan karya ilmiah ini. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada bapak, ibu, kakak, adik dan seluruh keluarga atas doa, kasih sayang dan dukungannya. Terakhir penulis ucapkan terima kasih atas semangat dan dukungannya kepada Muhammad Rifqy Arya Marendra, Liana Dwi Ariyani, Eva Farichatul Aeni, Rizki, IGTF Desa Pecakaran-Pekalongan 2012, rekan satu bimbingan, kost Jaika 3, sahabat terdekat dan rekan-rekan ESL 47.

Semoga skripsi ini bermanfaat.

Bogor, Agustus 2014

(12)
(13)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... x

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Perumusan Masalah ... 6

1.3. Tujuan Penelitian ... 7

1.4. Manfaat Penelitian ... 7

1.5. Ruang Lingkup Penelitian ... 7

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Karakteristik Tanaman Salak Pondoh ... 8

2.2. Teori Tataniaga Pertanian ... 10

2.3. Penelitian Terdahulu ... 12

III.KERANGKA PEMIKIRAN ... 18

3.1. Kerangka Pemikiran Teoritis ... 18

3.2. Kerangka Pemikiran Operasional ... 25

IV. METODE PENELITIAN ... 28

4.1. Waktu dan Tempat Penelitian... 28

4.2. Jenis dan Sumber Data ... 28

4.3. Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel ... 28

4.4. Metode Analisis Data ... 29

4.4.1.Analisis Lembaga, Fungsi dan Saluran Tataniaga ... 29

4.4.2.Analisis Efisiensi Tataniaga ... 29

4.4.2.1 Analisis Marjin Tataniaga ... 30

4.4.2.2 Analisis Farmer’s Share ... 30

4.4.2.3 Analisis Rasio Keuntungan terhadap Biaya ... 31

(14)

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN ... 33

5.1 Karakteristik Wilayah ... 33

5.2 Karakteristik Petani Responden ... 35

5.3 Karakteristik Lembaga Tataniaga ... 38

5.4 Gambaran Umum Usahatani Salak Pondoh di DesaWonokerto ... 39

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 41

6.1 Identifikasi Lembaga, Fungsi dan Saluran Tataniaga ... 41

6.1.1 Lembaga Tataniaga ... 41

6.1.2 Fungsi Tataniaga ... 42

6.1.3 Saluran Tataniaga Salak Pondoh ... 48

6.2 Identifikasi Marjin Tataniaga, Farmer’s Share dan Rasio Keuntungan terhadap Biaya ... 55

6.2.1 Marjin Tataniaga ... 55

6.2.2 Farmer’s Share ... 58

6.2.3 Rasio Keuntungan terhadap Biaya ... 59

6.2.4 Efisiensi Tataniaga ... 60

VII. SIMPULAN DAN SARAN 7.1 Simpulan ... 62

7.2 Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

LAMPIRAN ... 66

(15)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

1. Kontribusi PDB atas harga berlaku menurut lapangan usaha tahun

2008-2012 (persen) ... 1

2. Produksi salak di Indonesia menurut provinsi tahun 2012 ... 2

3. Populasi salak di Kabupaten Sleman tahun 2008-2012 ... 3

4. Tanaman produktif, produksi dan rata-rata produksi Salak Pondoh per kecamatan di Kabupaten Sleman tahun 2010-2012 ... 3

5. Produksi Salak Pondoh per Desa di Kecamatan Turi tahun 2012 ... 4

6. Ekspor produksi buah-buahan tahunan di Indonesia tahun 2012 ... 5

7. Penelitian terdahulu ... 15

8. Luas wilayah dan kepadatan penduduk per desa di Kecamatan Turi tahun 2011 ... 33

9. Jumlah penduduk di Desa Wonokerto berdasarkan mata pencaharian tahun 2014 ... 35

10. Karakteristik petani responden berdasarkan usia di DesaWonokerto tahun 2014 ... 36

11. Karakteristik petani responden berdarkan tingkat pendidikan di Desa Wonokerto tahun 2014 ... 36

12. Karakteristik petani responden berdasarkan luas lahan di Desa Wonokerto tahun 2014 ... 37

13. Karakteristik petani responden berdasarkan pengalaman bertani di Desa Wonokerto tahun 2014 ... 37

14. Karakteristik lembaga tataniaga responden berdasarkan usia, tingkat pendidikan dan pengalaman berdagang Salak Pondoh ... 38

15. Fungsi-fungsi yang dilakukan setiap lembaga tataniaga Salak Pondoh di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman ... 42

16. Produksi dan jumlah responden setiap saluran tataniaga Salak Pondoh di Desa Wonokerto ... 49

17. Marjin setiap saluran tataniaga Salak Pondoh di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman ... 55

18. Farmer’s share setiap saluran dari semua grade pada tataniaga Salak Pondoh di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman ... 58

19. Rasio keuntungan terhadap biaya pada setiap lembaga tataniaga Salak Pondoh di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman ... 59

(16)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1. Fluktuasi harga rata-rata di tingkat eceran tahun 2012-2013 ... 4 2. Rantai tataniaga buah-buahan di Indonesia ... 21 3. Kerangka operasional analisis tataniaga Salak Pondoh di Desa

Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman ... 27 4. Peta Desa Wonokerto ... 34 5. Alur tataniaga Salak Pondoh di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi,

Kabupaten Sleman ... 48

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman

1. Produksi salak menurut provinsi tahun 2012 ... 67 2. Data petani responden penelitian analisis tataniaga Salak Pondohdi

Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman tahun 2014 ... 68 3. Data lembaga responden penelitian analisis tataniaga Salak Pondoh di

Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman tahun 2014 ... 69 4. Rincian biaya tataniaga Salak Pondoh di Desa Wonokerto,

Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman tahun 2014 ... 70 5. Dokumentasi penelitian tataniaga Salak Pondoh di

(17)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pertumbuhan penduduk di Indonesia dari tahun ke tahun mengalami peningkatan yang signifikan. Menurut Badan Pusat Statistik (2013), jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2012 mencapai 246.86 juta jiwa. Sejalan dengan hal itu maka sektor pertanian memegang peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan pangan, penyedia lapangan pekerjaan, penyumbang devisa negara dan peningkatan pertumbuhan ekonomi nasional. Badan Pusat Statistik (2013) menyebutkan bahwa sektor pertanian memberikan kontribusi kepada Produk Domestik Bruto (PDB) terbesar kedua setelah sektor industri pengolahan pada tahun 2008 hingga 2012 dengan rata-rata sebesar 14.84% (Tabel 1).

Tabel 1 Kontribusi PDB atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2012 (persen)

Lapangan usaha Distribusi Rata-rata

2008 2009 2010 2011 2012

Sumber : Badan Pusat Statistik (2013)

(18)

segar maupun olahan dengan tujuan untuk menjaga kesehatan dan kebugaran tubuh seseorang.

Berbagai jenis tanaman buah tumbuh subur di Indonesia. Pertumbuhan ini harus disesuaikan dengan sifat tanaman buah yang memerlukan lingkungan spesifik yang sesuai untuk dapat tumbuh dan berkembang. Kondisi inilah yang menjadi faktor berkembangnya sentra produksi buah-buahan sesuai dengan iklimnya masing-masing, termasuk buah salak. Salah satu sentra penghasil salak adalah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa Daerah Istimewa Yogyakarta menempati peringkat kelima dalam memproduksi salak yakni sebesar 40 262 ton setelah Jawa Tengah (443 840 ton), Sumatera Utara (350 010 ton), Jawa Timur (76 356 ton), Jawa Barat (40 816 ton) (Tabel 2). Data lengkap mengenai produksi salak menurut provinsi dapat dilihat pada Lampiran 1.

Tabel 2 Produksi Salak di Indonesia menurut Provinsi Tahun 2012 Provinsi

Sumber : Badan Pusat Statistik (2013)

(19)

Tabel 3 Populasi Salak di Kabupaten Sleman Tahun 2008-2012 (rumpun)

Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Sleman (2013)

Sejalan dengan peningkatan populasi Salak Pondoh, produksi komoditas tersebut juga bertambah. Hal ini didukung oleh lokasi Kabupaten Sleman yang berada di bagian selatan lereng Gunung Merapi dengan kondisi tanah, ketinggian dan agroklimat yang sesuai untuk proses pertumbuhan tanaman Salak Pondoh. Pada tahun 2009, Dinas Pertanian daerah setempat menetapkan tiga kecamatan sebagai daerah pengembangan intensif Salak Pondoh yakni Kecamatan Turi,Tempel danPakem. Penetapan daerah tersebut karena ketiga wilayah memiliki produksi Salak Pondoh tertinggi dibandingkan wilayah lain(Tabel 4). Tabel 4 Tanaman Produktif, Produksi dan Rata-rata Produksi Salak Pondoh per

Kecamatan di Kabupaten Sleman Tahun 2010-2012 Kecamatan

Salak Pondoh (Salacca zalacca Gaertner Voss)

Tanaman produktif Produksi Rata-rata produksi

(rumpun) (kw) (kg/rumpun)

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman (2013)

(20)

dan dipasarkan baik dalam bentuk buah segar maupun produk olahan seperti keripik, wajik, bakpia, dodol dan sebagainya (Tabel 5).

Tabel 5 Produksi Salak Pondoh per Desa di Kecamatan Turi Tahun 2012

Desa Salak Pondoh (kw)

Bangunkerto 688

Donokerto 495

Wonokerto 1 588

Girikerto 63

Sumber : Badan Pusat Statistik Kabupaten Sleman (2013)

Kondisi ini sayangnya tidak diimbangi dengan harga jual yang sewajarnya. Menurut data dari Dinas Pertanian Kabupaten Sleman (2013), harga rata-rata Salak Pondoh di tingkat eceran dari bulan Januari hingga Desember mengalami fluktuasi. Hal ini terjadi karena Salak Pondoh merupakan komoditas musiman yang akan mengalami panen raya hanya pada bulan Desember hingga Februari. Oleh karena itu, pada periode tersebut terdapat banyak penawaran Salak Pondoh sehingga harga jual dari komoditas ini menurun mencapai harga terendah sebesar Rp 3200 di bulan Januari 2012. Data lengkap mengenai fluktuasi harga rata-rata di tingkat eceran pada tahun 2012-2013 dapat dilihat pada Gambar 1.

Sumber : Dinas Pertanian Kabupaten Sleman (2012)

Gambar 1 Fluktuasi Harga Rata-rata di Tingkat Eceran Tahun 2012-2013

Saat ini, pemasaran buah salak tidak hanya di dalam negeri namun sudah menjangkau pasar luar negeri.Tabel 6 memperlihatkan bahwa dalam ekspor buah-buahan Indonesia, peringkat pertama, kedua, ketiga berturut-turut ditempati oleh buah manggis dengan jumlah berat bersih sebesar 20.16 ton dengan nilai

(21)

US$ 17.4 juta, diikuti oleh buah mangga dan buah pisang raja sedangkan buah salak menempati posisi keempat.

Tabel 6 Ekspor Produksi Buah-buahan Tahunan Indonesia Tahun 2012

Komoditi Berat bersih (kg) Nilai FOB (US$)

Manggis 20 168 660 17 426 034

Mangga 1 515 152 2 191 742

Pisang raja 1 442 895 816 539

Salak 1 037 813 1 246 991

Lemon 706 999 17 426 034

Sumber : Badan Pusat Statistik (2013)

Melihat potensi di atas, maka sudah selayaknya kegiatan distribusi produk pertanian diperhatikan sesuai dengan Undang-undang tentang hortikultura Bab VI Pasal 80 yang menjelaskan bahwa:

1. Pemerintah dan/atau pemerintah daerah berkewajiban memfasilitasi distribusi produk hortikultura agar terlaksana secara efektif dan efisien.

2. Fasilitas distribusi produk hortikultura sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa: (a) kemudahan perizinan tempat penampungan; (b) penyediaan informasi mengenai produk, harga, pasar dan sebaran lokasi produksi; (c) penyediaan lapangan dan bangunan penampungan dan/atau gudang yang memadai, baik di pelabuhan, bandar udara maupun terminal; (d) penertiban berbagai pungutan yang tidak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; (e) kemudahan tersedianya sarana angkutan dari sentra produksi sampai ke konsumen.

(22)

1.2 Perumusan Masalah

Salak pondoh mulai dibudidayakan pertama kali di Kabupaten Sleman hingga saat ini dan menjadi produk pertanian unggulan daerah tersebut. Sentra penghasil Salak Pondoh terbesar terdapat di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi dengan luas lahan tanaman penghasil Salak Pondoh seluas 794 hektar dan produksi mencapai 23 829 ton per hektar pada tahun 2011 (BPS Kabupaten Sleman 2014). Potensi tersebutharus diimbangi dengan kesejahteraan pelaku utama usahatani tersebut, yaitu petani produsen Salak Pondoh. Namun pada kenyataannya petani Salak Pondoh di wilayah tersebut justru menerima harga yang rendah ketika musim panen raya sebesar Rp 2 000– 2 176 per kg. Hal ini disebabkan oleh produksi yang melimpah ketika panen raya dan karena sifat produk pertanian yang bersifat cepat busuk maka kebanyakan dari mereka menjual Salak Pondoh kepada pedagang pengumpul terdekat. Petani hanya berperan sebagai price taker yang mempunyai posisi tawar lemah sehingga tingkat kesejahteraan petani pun juga rendah.

Menurut Balai Penyuluh Pertanian Kecamatan Turi (2014),Salak Pondoh Sleman telah memperluas jaringannya melalui pasar modern Carrefour dan pasar luar negeri yakni China. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup petani produsen Salak Pondoh, namun pasar tersebut hanya menerima Salak Pondoh dengan kualitas terbaik sehingga hanya sebagian kecil produk petani yang memenuhi syarat. Berbagai upaya dilakukan Dinas Pertanian Kabupaten Sleman agar petani dapat meningkatkan produksinya, namun hal ini dirasa masih belum cukup membantu.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat permasalahan dalam proses tataniaga Salak Pondoh di Desa Wonokerto sehingga diperlukan analisis efisiensi tataniaga dengan menghitung marjin tataniaga, farmer’s share, dan rasio keuntungan terhadap biaya. Hasil yang diperoleh akan bermanfaat bagi para pelaku untuk menentukan saluran tataniaga yang paling menguntungkan.

(23)

1. Bagaimana lembaga, fungsi dan saluran tataniaga salak pondoh di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman?

2. Bagaimana efisiensi sistem tataniaga Salak Pondoh di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman?

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Menganalisis lembaga, fungsi dan saluran tataniaga Salak Pondoh di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman.

2. Menganalisis efisiensi sistem tataniaga Salak Pondoh di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman melalui pendekatan marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi:

1. Pemerintah Kabupaten Sleman, sebagai bahan pertimbangan dalam membantu pengembangan sentra produksi Salak Pondoh.

2. Peneliti, sebagai sarana untuk menerapkan ilmu yang telah didapatkan selama perkuliahan.

3. Lembaga terkait, sebagai bahan informasi agar dapat melakukan tindakan demi peningkatan kesejahteraan petani Salak Pondoh di Desa Wonokerto. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian

(24)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Karakteristik Tanaman Salak Pondoh

Tanaman salak (Salacca zalacca) merupakan salah satu tanaman buah asli Indonesia, tepatnya Pulau Jawa. Pada masa penjajahan, biji-biji salak dibawa oleh para saudagar hingga menyebar ke seluruh Indonesia, bahkan sampai ke Filipina, Malaysia, Brunei dan Muangthai. Terdapat banyak varietas salak namun hanya ada beberapa yang mempunyai nilai ekonomis, salah satunya adalah Salak Pondoh. Semula, tanaman Salak Pondoh berkembang di Dusun Soka, Desa Merdikareja dan Dusun Candi, Desa Mengunkerto. Keduanya berada di Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Seiring berjalannya waktu, Salak Pondoh mulai merambah ke daerah-daerah terdekat yakni di Kecamatan Tempel dan Kecamatan Pakem yang terletak di Kabupaten Sleman, serta Kecamatan Mungkid yang berada di Magelang (Santoso 1992).

Salak Pondoh termasuk dalam suku Palmae (Araracaceae)yang mulai dikembangkan di sekitar kaki Gunung Merapi dengan ciri-ciri diantaranya tumbuh berumpun, berakar serabut menjalar yang mendatar di permukaan tanah, memiliki batang yang pendek dan ketika tua akan menjulur ke samping menjadi tunas baru, pelepah bersirip terputus-putus dengan panjang 2.5-7 meter, tergolong tanaman berumah dua yang memiliki bunga jantan dan bunga betina secara terpisah. Buah Salak Pondoh umumnya berukuran lebih kecil dibandingkan jenis salak lainnya dan memiliki variasi warna kulit mulai dari coklat kehitaman, coklat kemerahan, coklat kekuningan, kuning kemerahan dan merah gelap kehitaman. Walaupun terdapat perbedaan warna, namun semua buah Salak Pondoh memiliki rasa yang manis (Nazaruddin dan Kristiawati 1992).

Tanaman Salak Pondoh akan tumbuh dan berkembang dengan baik jika ditanam di lingkungan yang tepat. Menurut Nazaruddin dan Kristiawati (1992) ada tiga faktor penentu syarat tumbuhnya tanaman Salak Pondoh, diantaranya: 1. Faktor iklim meliputi curah hujan, jumlah penyinaran dan suhu rata-rata

(25)

2. Faktor tanah meliputi tanah liat berpasir, banyak mengandung bahan organik, gembur, mampu menyimpan air tetapi tidak mudah tergenang serta memiliki kadar keasamaan tanah (ph) 6-7.

3. Faktor topografi meliputi ketinggian tanah yang berkisar 0-700 meter di atas permukaan laut dan umumnya memiliki jarak tanam 2x2 meter. Jika ditanam di tanah yang berada di kemiringan, maka akarnya berfungsi untuk mencegah erosi.

Nazaruddin dan Kristiawati (1992) mengemukakan bahwa Salak Pondoh mulai berbuah pada umur 2-3 tahun sejak masa tanam dan mulai dapat dipanen pada saat umur buah mencapai 6-7 bulan sejak terjadinya penyerbukan. Dalam satu tahun tanaman salak mengalami tiga kali masa panen, yaitu panen raya (November-Januari), panen kecil (Februari-April) dan panen sedang (Mei-Juli). Waktu pemetikan buah salak yang paling tepat adalah sore hari antara pukul 15.00-18.00 karena pada saat itu kandungan vitaminnya yang paling tinggi.

(26)

2.2Teori Tataniaga Pertanian

2.2.1 Efisiensi Tataniaga

Tataniaga merupakan salah satu bagian yang penting dari sistem agribisnis sedangkan aktivitas tataniaga adalah kegiatan yang dilakukan dalam mengalirkan barang dan jasa dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan konsumen dan memberi keuntungan bagi produsen (Limbong dan Sitorus 1995 dalam Agustian dan Anugrah 2008).

Sistem tataniaga dikatakan efisien jika memenuhi dua syarat, yaitu mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen ke konsumen dengan biaya semurah-murahnya dan mampu membagi secara adil keseluruhan harga yang dibayar konsumen kepada beberapa pihak yang berperan dalam kegiatan produksi dan pemasaran barang tersebut (Mubyarto dalam Sihombing 2005).

Sistem tataniaga yang efektif diperlukan dalam memasarkan hasil pertanian mengingat sifatnya yang mudah busuk, mudah rusak, bersifat bulky serta mudah terserang hama dan penyakit. Hal ini bertujuan untuk menghindari risiko kerugian akibat keterlambatan dalam proses penyalurannya yang menyebabkan harga produk menjadi rendah bahkan tidak laku dijual (Husinsyah 2003).

2.2.2 Lembaga, Fungsi dan Saluran Tataniaga

(27)

Menurut Husinsyah (2003) beberapa fungsi dari lembaga tataniaga diantaranya fungsi pembelian, penjualan, pengangkutan, penyimpanan, pengelolaan dan informasi pasar. Mereka merupakan pihak ketiga yang melakukan aktivitas penjualan dan pembelian dari produsen ke konsumen dengan tujuan agar memperoleh keuntungan atas kegiatan yang telah dijalankannya. Lembaga tersebut nantinya akan membentuk saluran tataniaga sesuai dengan polanya masing-masing.

2.2.3 Marjin Tataniaga

Marjin Tataniaga merupakan perbedaan harga yang diterima petani dengan harga yang dibayarkan konsumen. Pada setiap lembaga tataniaga, marjin dapat diperoleh dengan cara menghitung selisih harga jual dengan harga beli atau menjumlahkan biaya dan keuntungan di setiap tingkat lembaga tataniaga (Agustian dan Mayrowani 2005). Biaya tataniaga dikeluarkan oleh setiap lembaga yang terlibat untuk memindahkan hak milik dan fisik atas produk dari produsen ke konsumen. Kegiatan pemindahan barang ini dilakukan dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan (Aziz 2013). Menurut Husinsyah (2003) panjang pendeknya saluran tataniaga akan menyebabkan perbedaan nilai dari marjin. Semakin panjang saluran tataniaga yang terbentuk maka marjin yang dihasilkanjuga semakin besar begitupun sebaliknya.

2.2.3 Farmer’s Share

(28)

2.2.4 Rasio Keuntungan terhadap Biaya

Rasio keuntungan terhadap biaya digunakan sebagai salah satu indikator efisiensi suatu saluran tataniaga yang dapat diperoleh dengan cara membandingkan besarnya keuntungan yang didapatkan dengan biaya-biaya yang dikeluarkan dalam proses tataniaga. Semakin merata nilai dari rasio keuntungan terhadap biaya, maka sistem tataniaga akan semakin efisien (Riswandy 2013). Aeni (2013) menyatakan bahwa keuntungan tataniaga merupakan balas jasa dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya.

2.3 Penelitian Terdahulu

Penelitian ini mengacu pada penelitian tataniaga produk hortikultura yang telah dilakukan sebelumnya oleh Sihombing (2005), Husinsyah (2003), Agustian dan Mayrowani (2005), Agustian dan Anugrah (2008), Riswandy (2013), Aziz (2013) serta Aeni (2013). Penelitian yang dilakukan memiliki perbedaan dengan penelitian sebelumnya.

Pertama, penelitian Sihombing (2005) perbedaannya terletak pada salah satu tujuan dan metode dari penelitian tersebut yaitu untuk mengetahui struktur pasar yang terdapat pada sentra produksi kentang di Kabupaten Tanah Karo, Dairi, Simalungun dan Tapanuli Utara dan penggunaan metode analisis statistik yang meliputi analisis korelasi harga dan transmisi harga. Hasil analisis menunjukkan bahwa terjadi eksploitasi harga yang dilakukan pedagang pengumpul sehingga produsen dan konsumen barada pada struktur pasar yang tidak bersaing sempurna dan kurang efisien.

(29)

harga di tingkat konsumen. Berdasarkan hasil analisis elastisitas transmisi harga, diketahui bahwa struktur pasar yang terjadi adalah persaingan tidak sempurna.

Ketiga, penelitian Agustian dan Mayrowani (2005) memiliki tujuan dan menggunakan metode yang sama dengan penelitian yang tengah dilakukan, namun perbedaannya terletak pada analisis struktur pasar yang terbentuk dari pola distribusi komoditas tersebut. Dua jenis varietas kentang yang dibudidayakan petani di lokasi tersebut adalah kentang Granola dan Atlantik. Kentang Granola adalah kentang yang diusahakan petani secara mandiri mengadapi pasar yang kompetitif, sedangkan kentang Atlantik yang merupakan hasil dari kemitraan dengan PT.Indofood FM cenderung mengarah pada pasar monopsoni.

Keempat, Agustian dan Anugrah (2008) memiliki perbedaan pada tujuan penelitian yaitu menganalisis perkembangan harga cabai merah di Propinsi Jawa Barat yang relatif berfluktuasi setiap bulannya dan mencapai harga terendah ketika musim panen pada bulan April-Mei yang disebabkan oleh panen yang serentak. Penelitian ini membandingkan harga di sentra Cikajang, Garut dengan Pasar Induk Caringin, Bandung. Hasil menunjukkan bahwa harga cabai merah di Pasar Induk Caringin relatif lebih tinggi.

Kelima,Riswandy (2013) memiliki perbedaan pada salah satu tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui struktur pasar yang terbentuk pada tataniaga komoditas tomat dan kentang di lokasi penelitian. Struktur pasar dapat diketahui berdasarkan karakteristik pasar, meliputi: 1) jumlah dan ukuran perusahaan; 2) sifat produk dari sudut pandang pembeli; 3) hambatan keluar dan masuk pasar; 4) pengetahuan tentang biaya, harga dan kondisi pasar diantara partisipan tataniaga (Hammond and Dahl 1977). Hasilnya menunjukkan bahwa petani, pedagang pengumpul dan koperasi pada tataniaga tomat di Desa Gekbrong menghadapi struktur pasar oligopsoni murni, pedagang besar cenderung mengarah pada pasar oligopoli murni dan pedagang pengecer mengarah pada pasar persaingan murni.

(30)

pedagang besar dan pedagang pengecer cenderung mengarah pada pasar oligopoli murni.

Ketujuh, struktur pasar juga dianalisis pada penelitian Aziz (2013) menggunakan metode pendekatan kualitataif melaui SCP (Structure, Conduct and Performance). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa tataniaga manggis di Desa Karacak menghadapi struktur pasar persaingan tidak sempurnadengan ciri-ciri: 1) jumlah penjual (petani) lebih banyak daripada pembeli (lembaga tataniaga); 2) komoditas yang diperdagangkan bersifat homogen; 3) lembaga tataniaga lebih menguasai informasi pasar dan 4) hambatan keluar masuk pasar tinggi. Hambatan tersebut dipengaruhi oleh kekuatan modal serta akses kerjasama antar lembaga tataniaga. Perilaku pasar (market conduct) dapat dilihat dari fungsi-fungsi yang dijalankan setiap lembaga tataniaga untuk mengidentifikasi praktek penjualan dan pembelian, pembentukan harga dan kerjasama antar pelaku tataniaga. Proses penjualan dan pembelian tataniaga manggis sesuai kesepakatan antar pelaku tataniaga, pembentukan harga berdasarkan tawar menawar sedangkan bentuk kerjasama yang dilakukan cenderung karena adanya ikatan kekeluargaan, terikat kontrak atau pemberian modal.Keragaan pasar (market performance) digunakan untuk menentukan saluran tataniaga yang efisien berdasarkan marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya.

(31)

Tabel 7 Penelitian Terdahulu

No. Peneliti/Judul Penelitian Tujuan Metode Hasil

1. Peneliti : Sihombing (2005) Judul : Analisis Tataniaga

1. Tiga saluran tataniaga dan semuanya menunjukkan hasil yang belum efisien.

2. Hubungan antara pasar produsen dengan pasar konsumsi kurang terintegrasi secara 2. Peneliti : Husinsyah (2003)

Judul : Sistem Tataniaga

1. Sistem tataniaga pisang kepok di daerah tersebut relatif panjang yang ditunjukkan oleh nilai marjin yang besar namun share

terhadap petani rendah.

2. Saluran pendek cenderung lebih efisien, untuk itu diperlukan upaya melakukan integrasi lembaga tataniaga baik secara vertikal maupun horizontal.

3. Perlu adanya sistem dan lembaga yang mampu menjamin terjualnya produk dengan harga yang layak di tingkat petani. 4. Perlu adanya informasi pasar yang cepat

dan tepat kepada petani produsen dan konsumen sehingga harga yang

(32)

diinformasikan sesuai realita yang ada.

1. Ada dua varietas yang diusahakan oleh petani di Kabupaten Bandung yakni cabai merah pada tahun 2007 di sentra produksi Cikajang, Kabupaten Garutrelatif berfluktuasi.

2. Terjadi ketimpangan perolehan net marjin pemasaran yang disebabkan oleh rantai yang panjang sehingga pemasaran cabai merah dianggap masih belum efisien. 5. Peneliti: Wiggo Windi pasar pada tataniaga tomat di Desa Gekbrong, Kecamatan

1. Empat saluran tataniaga tomat yang ada di Desa Gekbrong melibatkanpedagang pengumpul desa, Koperasi Mitra Tani Parahyangan, pedagang besar non lokal, pedagang pengecer lokal dannon lokal. 2.Saluran tataniaga yang relatif lebih efisien

adalah saluran IV dengan melihat hasil dari marjin tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap biaya.

16

(33)

6. Peneliti : Eva Farichatul Aeni

1. Metode deskriptif 1. Lembaga tataniaga yang terlibat meliputi petani, pedagang pengumpul, pedagang besar (lokal dan non lokal) dan pedagang pengecer (lokal dan non lokal).

2. Saluran tataniaga yang terbentuk ada lima dan yang relatif efisien adalah saluran tataniaga I. tataniaga, farmer’s share dan rasio keuntungan terhadap

1. Struktur pasar pada sistem tataniaga manggis Desa Karacak adalah pasar bersaing tidak sempurna yang dicirikan dari jumlah penjual lebih banyak daripada pembeli, jenis komoditas yang

diperdagangkan homogen, hambatan keluar masuk pasar tinggi serta penentuan harga dan informasi pasar dikuasai oleh lembaga tataniaga.

2. Saluran tataniaga yang terbentuk ada lima. Saluran 1,2,3 dengan tujuan ekspor sedangkansaluran 4,5 dengan tujuan

Saluran yang efisien dengan tujuan ekspor adalah saluran tiga, sedangkan tujuan dalam negeri adalah saluran lima.

(34)

III. KERANGKA PEMIKIRAN

3.1 Kerangka Pemikiran Teoritis

3.1.1 Konsep Tataniaga

Menurut American Marketing Associationdalam Limbong dan Sitorus (1985) mendefinisikan tataniaga sebagai suatu pelaksanaan aktivitas dunia usaha yang mengarahkan arus benda-benda serta jasa-jasa dari para produsen ke konsumen. Sedangkan menurut Backman dalam Limbong dan Sitorus (1985) mendefinisikan bahwa tataniaga mencakup segala aktivitas yang diperlukan dalam mengerjakan pemindahan hak milik dan menyelenggarakan saluran fisik daripadanya. Lain halnya dengan Kotler dalam Limbong dan Sitorus (1985) yang menjelaskan bahwa tataniaga adalah kegiatan yang diarahkan untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan manusia melalui proses pertukaran. Berdasarkan definisi di atas, maka tataniaga pertanian mencakup segala kegiatan dan usaha yang berhubungan dengan perpindahan hak milik dan fisik dari barang-barang hasil pertanian dan barang-barang kebutuhan usaha pertanian dari tangan produsen ke tangan konsumen, termasuk di dalamnya kegiatan-kegiatan tertentu yang menghasilkan perubahan bentuk dari barang yang ditujukan untuk lebih mempermudah penyalurannya dan memberikan kepuasan yang lebih tinggi kepada konsumennya (Limbong dan Sitorus 1985).

(35)

1. Aspek ilmu ekonomi

Tataniaga merupakan suatu sistem yang terdiri dari beberapa fungsi, yaitu fungsi pertukaran, fungsi fisik dan fungsi fasilitas. Rangkaian fungsi tersebut merupakan aktivitas bisnis yang bertujuan untuk meningkatkan atau menciptakan nilai (value added process)meliputi nilai guna bentuk, tempat, waktu dan kepemilikan.

2. Aspek ilmu manajemen

Tataniaga adalah suatu proses sosial dan manajerial yang di dalamnya terdapat individu atau kelompok untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan dan inginkan dengan menciptakan, menawarkan dan mempertukarkan produk yang bernilai dengan pihak lain.

Kotler dalam Rahim dan Hastuti (2008) tataniaga komoditas pertanian merupakan kegiatan atau proses pengaliran komoditas pertanian dari produsen (petani, peternak dan nelayan) sampai ke konsumen atau pedagang perantara (tengkulak, pengumpul, pedagang besar dan pengecer) berdasarkan sistem pemasaran, kegunaan pemasaran dan fungsi-fungsi pemasaran.

3.1.2 Konsep Lembaga, Fungsi dan Saluran Tataniaga

Soekartawi (1993) menyebutkan ciri-ciri produk pertanian diantaranya: 1. Bersifat musiman, produk pertanian tidak tersedia setiap saat jika tidak

diimbangi dengan manajemen stok yang baik.

2. Bersifat segar dan mudah rusak, produk pertanian diperoleh dalam keadaan segar sehingga tidak dapat disimpan dalam waktu yang relatif lama. Namun jika akan disimpan dalam jangka panjang maka diperlukan perlakuan pasca panen tambahan.

3. Bersifat bulky, memiliki volume yang besar tetapi nilainya relatif kecil sehingga dibutuhkan tempat yang luas dan menyebabkan biaya penyimpanan atau perawatan meningkat.

4. Lebih mudah terserang hama dan penyakit sehingga tingkat kerusakannya besar.

(36)

6. Bersifat lokal atau kondisional, tidak semua produk pertanian dapat dihasilkan dari satu lokasi melainkan berasal dari berbagai tempat.

7. Produk pertanian mempunyai kegunaan yang beragam.

8. Produk pertanian memerlukan keterampilan khusus yang ahlinya sulit disediakan.

9. Dapat dikonsumsi langsung maupun diolah menjadi produk lain. 10. Produk pertanian tertentu dapat berfungsi sebagai produk sosial.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka diperlukan beberapa pihak untuk memperlancar proses penyaluran barang yang disebut dengan lembaga tataniaga. Menurut Asmarantaka (2012) lembaga tataniaga adalah berbagai organisasi bisnis atau kelompok bisnis yang melaksanakan atau mengembangkan aktivitas bisnis (fungsi-fungsi pemasaran).Limbong dan Sitorus (1985) mengatakan bahwabadan atau lembaga yang bertugas menggerakkan barang dari produsen sampai konsumen melalui penjualan dikenal sebagai perantara (middlemanatau intermediary). Selain melakukan pengangkutan, lembaga ini juga berfungsi sebagai penghubung informasi mengenai suatu barang atau jasa. Badan-badan ini bisa dalam bentuk perseorangan, perserikatan atau perseroan yang akan melakukan fungsi tataniaga.

Asmarantaka (2012) menjelaskan bahwa fungsi tataniaga ada tiga yaitu:

1. Fungsi pertukaran (exchange functions) merupakan aktivitas dalam perpindahan hak milik barang atau jasa yang terdiri dari fungsi pembelian, penjualan dan fungsi pengumpulan.

2. Fungsi fisik (physical functions) merupakan aktivitas penanganan, pergerakan dan perubahan fisik dari produk atau jasa serta turunannya. Fungsi ini terdiri dari fungsi penyimpanan, pengangkutan dan pengolahan, pabrikan, dan pengemasan.

(37)

Aktivitas dari lembaga tataniaga akan menghasilkan beberapa saluran. Limbong dan Sitorus (1985) mendefinisikan saluran tataniaga sebagai rangkaian lembaga-lembaga tataniaga yang dilalui barang dalam penyalurannya dari produsen ke konsumen. Setiap komoditas pertanian akan menghasilkan saluran yang berbeda-beda. Faktor-faktor penentu panjang pendeknya saluran tataniaga yang dilalui oleh suatu hasil komoditas pertanian adalah sebagai berikut: (1) jarak antara produsen dan konsumen. Semakin jauh jarak antara produsen dan konsumen, maka semakin panjang saluran yang ditempuh oleh produk; (2) jangka waktu produk rusak. Produk yang cepat rusak harus segera diterima konsumen sehingga membutuhkan saluran yang pendek dan cepat; (3) skala produksi. Jika produksi yang dihasilkan sedikit maka jumlah yang dihasilkan juga sedikit sehingga tidak akan menguntungkan jika langsung dijual ke pasar; (4) posisi keuangan perusahaan. Produsen yang memiliki posisi keuangan kuat cenderung memperpendek saluran tataniaga (Hanafiah dan Saefuddin 1986 dalam Rahim dan Hastuti 2008).

MenurutRahardi et al (1998) pada umumnya, rantai tataniaga buah-buahan di Indonesia ada enam seperti yang tersaji pada Gambar 2.

1. Tipe I

2. Tipe II

3. Tipe III Petani

Produsen Pengecer

Pedagang

Besar Konsumen

Petani Produsen

Pedagang Pengumpul

Pedagang

Besar Pengecer Konsumen

Konsumen

(38)

4. Tipe IV

5. Tipe V

6. Tipe VI

Masing-masing pola tataniaga di atas memiliki beberapa kelebihan dan kekurangan. Pola tataniaga Tipe I memiliki rantai terpendek. Buah dapat segera dijual sehingga modal dapat cepat kembali namun kekurangan dari pola ini yaitu hanya dapat menjangkau pasar lokal. Berbeda dengan pola pemasaran Tipe II, III dan IV yang memiliki daerah pemasaran lebih luas sehingga produsen dapat mematok harga jual lebih tinggi. Kekurangannya adalah buah lebih berisiko terjadi kerusakan karena proses pengangkutan yang lama.

Petani Produsen

Pedagang Pengumpul

Pabrik

Pengolahan Pengecer Konsumen

Petani Produsen

Pedagang Pengumpul

Eksportir

Konsumen Luar Negeri Petani

Produsen

Cabang Supermarket

Pedagang Pengumpul

(39)

Pola tataniaga Tipe V merupakan rantai untuk komoditas yang ingin dibuat menjadi produk olahan. Produk dari petani bisa langsung disalurkan ke pabrik pengolahan atau melalui pedagang pengumpul. Terakhir adalah pola tataniaga Tipe VI yang bertujuan untuk diekspor. Ada dua alternatif dalam pola ini yaitu hasil panen dari petani diberikan kepada pedagang pengumpul lalu disetorkan ke eksportir yang selanjutya dikirim ke luar negeri atau petani langsung mengirimkan produknya kepada pedagang besar atau eksportir sehingga memperoleh keuntungan yang lebih tinggi. Analisis ini digunakan untuk menjawab tujuan pertama dari penelitian ini yaitu untuk mengetahui lembaga, fungsi dan saluran tataniaga Salak Pondoh di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman. 3.1.3 Konsep Efisiensi Tataniaga

Limbong dan Sitorus (1985) tataniaga disebut efisien adalah bila tercipta keadaan dimana pihak produsen, lembaga tataniaga dan konsumen memperoleh kepuasan dengan adanya aktivitas tataniaga tersebut. Sedangkan menurut Mubyarto dalam Limbong dan Sitorus (1985) sistem tataniaga dianggap efisien apabila memenuhi dua syarat: (1) mampu menyampaikan hasil-hasil dari petani produsen kepada konsumen dengan biaya semurah-murahnya, dan (2) mampu mengadakan pembagian yang adil daripada keseluruhan harga yang dibayar konsumen akhir kepada semua pihak yang ikut serta di dalam kegiatan produksi dan tataniaga barang itu.

Efisiensi tataniaga dapat terjadi jika biaya pemasaran dapat ditekan sehingga keuntungan tataniaga dapat lebih tinggi, persentase perbedaan harga yang dibayarkan konsumen dan produsen tidak terlalu tinggi, tersedianya fasilitas fisik tataniaga serta adanya kompetisi pasar yang sehat. Pasar yang bersaing sempurna dapat menciptakan sistem tataniaga yang efisien karena pasar tersebut memberikan intensif bagi partisipan pasar yaitu produsen, lembaga-lembaga tataniaga dan konsumen (Rahim dan Hastuti 2008). Ada empat elemen dalam efisiensi tataniaga yaitu:

(40)

2. Efisiensi distribusi dinyatakan sebagai produk dari produsen menuju ke pasar sasaran melalui saluran distribusi yang pendek untuk menghemat biaya dan waktu.

3. Efisiensi harga yang menguntungkan pihak produsen dan konsumen diikuti dengan keuntungan yang layak diambil oleh setiap mata rantai tataniaga sehingga harga di tingkat petani tidak berbeda juah dengan harga yang terjadi di tingkat konsumen akhir.

4. Efisiensi promosi adalah penghematan biaya dalam melaksanakan pemberitahuan di pasar sasaran mengenai produk yang tepat meliputi penjualan perorangan atau massal dan promosi penjualan.

3.1.4 Konsep Marjin Tataniaga

Rahim dan Hastuti (2008) mengemukakan bahwa marjin pemasaran atau tataniaga komoditas pertanian adalah selisih harga dari dua tingkat rantai pemasaran atau selisih harga yang dibayarkan di tingkat pengecer (konsumen) dengan harga yang diterima oleh produsen (petani, nelayan atau peternak). Hal ini dikarenakan dalam menyampaikan komoditas hasil pertanian dari produsen ke konsumen terdapat biaya tataniaga sehingga terdapat perbedaan antara harga yang dibayarkan konsumen (Pr) dengan harga yang diterima oleh produsen (Pf).

Asmarantaka (2012) memperluas definisi dari marjin tataniaga yaitu harga dari kumpulan jasa-jasa tataniaga sebagai akibat adanya aktivitas produktif atau konsep nilai tambah (value added). Dalam penelitian ini dipilih analisis marjin tataniaga untuk mengetahui besarnya penerimaan yang diperoleh setiap lembaga tataniaga, sehingga tujuan penelitian kedua yaitu mengetahui efisiensi sistem tataniaga Salak Pondoh di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman terjawab.Secara matematis, besarnya marjin tataniaga dapat dirumuskan sebagai:

r f

3.1.5 Konsep Farmer’s Share

(41)

Hal ini berakibat semakin banyaknya marjin tataniaga sehingga harga yang diterima petani (farmer’s share) semakin kecil. Farmer’s share juga digunakan untuk menjawab tujuan penelitian yang kedua yaitu untuk mengetahui tingkat efisiensi dari sistem tataniaga Salak Pondoh di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman berdasarkan besarnya perolehan (share) yang didapatkan petani. Secara umum, rumus farmer’s share adalah sebagai berikut:

ST r fx 00%

3.1.6 Konsep Rasio Keuntungan terhadap Biaya

Rasio keuntungan terhadap biaya merupakan keuntungan yang diperoleh atas biaya-biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan tataniaga. Semakin meratanya penyebaran rasio keuntungan terhadap biaya maka dari segi operasional sistem tataniaga akan semakin efisien. Analisis rasio keuntungan terhadap biaya merupakan indikator terakhir untuk mengetahui efisiensi dari usahatani Salak Pondoh di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman sehingga tujuan penelitian kedua sepenuhnya dapat terjawab.

3.2 Kerangka Pemikiran Operasional

(42)

yang diterima konsumen. Petani hanya berperan sebagai price taker yang tidak memiliki andil dalam penentuan harga komoditas tersebut. Kondisi ini menyebabkan rendahnya kesejahteraan petani Salak Pondoh di Desa Wonokerto.

(43)

Gambar 3 Kerangka Operasional Analisis Tataniaga Salak Pondoh di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman

Sentra produksi Salak Pondoh DIYberada di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman

1. Harga Salak Pondoh ketika panen murah 2. Petani hanya sebagai price taker

3. Terdapat perbedaan harga yang tinggi antara petani produsen dengan konsumen

1. Menganalisis lembaga, fungsi dan saluran tataniaga Salak Pondoh

Analisis Kualitatif

1. Analisis lembaga, fungsidan saluran tataniaga Salak Pondoh

Analisis Kuantitatif 1. Analisis marjin tataniaga 2. Analisis farmer’s share 3. Analisis rasio keuntungan

terhadap biaya

Saluran tataniaga Salak Pondoh yang efisien

(44)

IV. METODE PENELITIAN

4.1 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Pemilihan lokasi diambil secara purposive berdasarkan pertimbangan bahwa Desa Wonokerto merupakan salah satu sentra produksi salak pondoh di Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman. Waktu pengambilan data primer penelitian dilakukan pada bulan Januari-Februari 2014. 4.2 Jenis dan Sumber Data

Penelitian ini menggunakan data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari wawancara menggunakan kuesioner dengan pihak terkait, diantaranya petani produsen Salak Pondoh, pedagang pengumpul, pedagang besar, pedagang pengecer, supplier swalayan (Carrefour) dan Mitra Turindo yaitu kelompok tani pengekspor Salak Pondoh ke China.

Data sekunder diperoleh dari Badan Pusat Statistik (BPS) Nasional, Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Sleman, Dinas Pertanian Kabupaten Sleman, kantor Kecamatan Turi, Balai Desa Wonokerto serta penyuluh pertanian. Sebagai pelengkap dalam memperoleh informasi digunakan pula bahan pustaka seperti jurnal, skripsi, buku dan internet.

4.3 Metode Pengumpulan Data dan Penentuan Sampel

(45)

4.4 Metode Analisis Data

Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dan kuantitatif. Analisis kualitatif digunakan untuk mendeskripsikan lembaga, fungsi, saluran serta struktur pasar dan perilaku dari sistem tataniaga Salak Pondoh. Sedangkan analisis kuantitatif digunakan untuk mengetahui marjin tataniaga, farmer’s share, rasio keuntungan terhadap biaya.

4.4.1 Analisis Lembaga, Fungsi dan Saluran Tataniaga

Analisis lembaga tataniaga digunakan untuk mengetahui siapa saja pelaku yang terlibat dalam proses penyaluran produk pertanian dari produsen hingga konsumen akhir. Setiap lembaga melakukan aktivitas yang berbeda-beda sesuai dengan fungsinya masing-masing, baik itu fungsi pertukaran (penjualan dan pembelian), fungsi fisik (penyimpanan, pengangkutan dan pengolahan), fungsi fasilitas (standardisasi dan grading, penanggungan risiko, pembiayaan dan informasi pasar). Selain bertugas sebagai penyalur produk pertanian, lembaga tataniaga juga berfungsi sebagai penghubung informasi dan peningkatan nilai guna dari suatu barang atau jasa yang terdiri dari nilai guna bentuk, tempat, waktu dan pemilikan. Adanya lembaga-lembaga yang menjalankan sistem tataniaga nantinya akan menghasilkan beberapa saluran tataniaga Salak Pondoh di Desa Wonokerto. Saluran tataniaga didefinisikan sebagai rangkaian dari berbagai lembaga yang dilalui barang dalam penyalurannya dari produsen ke konsumen. Panjang pendeknya saluran tataniaga ditentukan oleh banyaknya lembaga tataniaga yang terlibat.

4.4.2 Analisis Efisiensi Tataniaga

(46)

4.4.2.1 Analisis Marjin Tataniaga

Analisis marjin tataniaga digunakan untuk mengetahui perbedaan harga di tingkat petani produsen dengan harga di tingkat konsumen atau selisih harga jual dengan harga beli. Asmarantaka (2012) menjelaskan bahwa marjin tataniaga digunakan apabila komoditas tersebut memiliki satuan yang setara (equivalent). Rumus untuk menghitung marjin tataniaga sebagai berikut:

T r f iaya biaya embaga i

Sumber: Asmarantaka (2012)

Keterangan:

MT = Marjin total

Pr = Harga di tingkat retail (konsumen akhir) Pf = Harga di tingkat petani produsen Salak Pondoh

lembaga = Profit lembaga tataniaga akibat adanya sistem tataniaga Salak Pondoh

Mi = Marjin di tingkat tataniaga Salak Pondoh ke-i, dimana i = 1,2,...,n

Mi = Pji - Pbi

Pji = Harga penjualan untuk lembaga tataniaga Salak Pondoh ke-i Pbi = Harga pembelian untuk lembaga tataniaga Salak Pondoh ke-i 4.4.2.2 Analisis Farmer’s Share

Farmer’s share adalah metode untuk menghitung bagian yang diterima petani dalam bentuk peresentase (%). Besaran farmer’s share berbeda-beda antar komoditi karena tergantung pada biaya relatif tataniaga yang dikeluarkan sehubungan dengan nilai tambah (the value-added utilities) waktu, bentuk dan tempat. Semakin panjang rantai tataniaga, biaya pemasaran akan semakin besar. Hal ini berakibat semakin banyaknya margin tataniaga sehingga harga yang diterima petani (farmer’s share) semakin kecil. Secara matematis, rumus yang digunakan adalah:

Fs r fx 00 %

(47)

Keterangan:

Fs = Persentase bagian yang diterima petani Salak Pondoh (farmer’s share) Pf = Harga di tingkat petani Salak Pondoh (Rp/Kg)

Pr = Harga di tingkat konsumen akhir (Rp/Kg)

4.4.2.3 Analisis Rasio Keuntungan Terhadap Biaya

Rasio keuntungan terhadap biaya merupakan keuntungan yang diperoleh atas biaya-biaya yang dikelurkan dalam kegiatan tataniaga. Asmarantaka (2012) menyatakan bahwa rasio keuntungan terhadap biaya ( / c) dipergunakan sebagai salah satu indikator efisiensi relatif. Secara matematis rasio keuntungan terhadap biaya pada setiap lembaga dapat dirumuskan sebagai berikut:

Rasio ( c) ici

Sumber: Asmarantaka (2012)

Keterangan:

i = Keuntungan lembaga tataniaga Salak Pondoh tingkat ke- i (Rp/Kg) ci = Biaya lembaga tataniaga Salak Pondoh tingkat ke- i (Rp/Kg) 4.5 Definisi Operasional Penelitian

Definisi operasional penelitian bertujuan untuk membatasi ruang lingkup penelitian yang dilakukan dan menjelaskan setiap variabel yang akan diidentifikasi.

1. Salak (Salacca zalacca) merupakan tanaman asli Indonesia dan tersebar di beberapa daerah di Indonesia. Salah satu varietas salak yang sangat populer yaitu Salak Pondoh berasal dari Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Salak pondoh dijual dalam bentuk fresh product dan produk olahan seperti keripik, jenang, wajik dan bakpia.

(48)

3. Lembaga tataniaga adalah penghubung antara petani di sentra produksi dan sentra konsumsi untuk memberikan nilai guna bagi produk dalam suatu sistem pemasaran, diantaranya petani, pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer. Lembaga tataniaga meliputi petani produsen, pedagang pengumpul, pedagang besar, supplier swalayan dan eksportir. 4. Marjin tataniaga komoditas pertanian adalah selisih harga dari dua tingkat

rantai pemasaran atau selisih harga yang dibayarkan di tingkat pengecer (konsumen) dengan harga yang diterima oleh produsen.

5. Biaya tataniaga adalah biaya rata-rata yang dikeluarkan setiap lembaga tataniaga yang menjalankan fungsi tataniaga Salak Pondoh.

6. Keuntungan adalah nilai balas jasa yang diperoleh setiap pelaku usaha tataniaga yang telah melaksanakan aktivitas tataniaga Salak Pondoh.

7. Farmer’s share adalah metode untuk menghitung bagian yang diterima petani dalam bentuk persentase (%).

8. Rasio keuntungan terhadap biaya merupakan keuntungan yang diperoleh atas biaya-biaya yang dikeluarkan dalam kegiatan tataniaga.

(49)

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

5.1 Karakteristik Wilayah

Kecamatan Turi adalah salah satu dari empat kecamatan yang berada di kawasan puncak Gunung Merapi selain Kecamatan Tempel, Pakem dan Cangkringan. Wilayah ini kaya akan sumber daya air dan ekowisata yang berorientasi pada kegiatan Gunung Merapi dan ekosistemnya. Secara administratif, wilayah Kecamatan Turi berbatasan dengan:

Sebelah utara : Hutan Merapi Sebelah timur : Kecamatan Pakem Sebelah selatan : Kecamatan Sleman Sebelah barat : Kecamatan Tempel

Akses jalan menuju Kecamatan Turi sudah memadai didukung dengan jalan beraspal. Jarak antara Kecamatan Turi menuju Kabupaten Sleman adalah 8 km dengan waktu tempuh 45 menit sedangkan dari Kecamatan Turi menuju kota Yogyakarta adalah 23 km dengan waktu tempuh selama satu jam.

Kecamatan Turi menempati luas sebesar 4 309 hektar dengan ketinggian 418 m di atas permukaan laut dan berada pada suhu 21.800 C – 240 C. Wilayah ini terdiri dari datar-berombak (40%), berombak-berbukit (30%) dan berbukit-bergunung (30%). Wilayah ini memiliki empat desa dengan luas wilayah yang berbeda-beda dan Desa Wonokerto menduduki peringkat pertama dengan luas wilayah sebesar 15.58 km2 (Tabel 8).

Tabel 8 Luas Wilayah dan Kepadatan Penduduk per Desa di Kecamatan Turi Tahun 2011

Desa Luas (km2) Kepadatan per km2

Bangunkerto 7.03 1 350

Donokerto 7.41 1 304

Wonokerto 15.58 615

Girikerto 13.07 612

Total 43.09 853

(50)

Sumber :Desa Wonokerto (2013) Gambar 4 Peta Desa Wonokerto

Desa Wonokerto secara administratif merupakan salah satu empat desa yang berada di Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Desa Wonokerto memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut: Sebelah utara : Desa Girikerto Kecamatan Turi

Sebelah timur : Desa Girikerto Kecamatan Turi Sebelah selatan : Desa Wonokerto Kecamatan Turi

Sebelah barat : Desa Srumbung Kabupaten Magelang, Jawa Tengah Luas wilayah Desa Wonokerto sebesar 1 002.9 ha yang terdiri 13 padukuhan yang terdiri 63 RT dan 39 RW. Kawasan Desa Wonokerto terbagi menjadi beberapa jenis, diantaranya kawasan pertanian, ladang, perkebunan, pemukiman, industri, perdagangan dan jasa, hutan rakyat dan lain-lain. Terletak pada ketinggian 400-900 mdpl, memiliki curah hujan rata-rata 3,908 mm per tahun dengan suhu udara 24oC - 28o C dan merupakan daerah pegunungan subur yang memiliki struktur tanah berpasir dan berbatu cadas.

(51)

pencaharian, petani menempati urutan kedua terbesar dengan jumlah 3 141 jiwa, sisanya berprofesi sebagai buruh, pedagang, pegawai swasta, pegawai negeri, perkebunan dan industri rumah tangga. Data lebih lengkap dapat dilihat pada Tabel 9.

Tabel 9 Jumlah Penduduk di Desa Wonokerto Berdasarkan Mata Pencaharian Tahun 2011

Mata Pencaharian Jumlah Penduduk (jiwa) Persentase (%)

Petani 3141 32.44

Buruh 605 6.25

Perkebunan 120 1.24

Pedagang 504 5.21

Pegawai Negeri 279 2.88

Pegawai Swasta 444 4.59

Industri RT 94 0.97

Lain-lain 4495 46.43

Jumlah 9682 100.00

Sumber : Desa Wonokerto 2012

Berdasarkan penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa sektor pertanian menjadi tumpuan utama penduduk Desa Wonokerto. Sektor pertanian termasuk di dalamnya adalah perkebunan salak, perikanan dan peternakan. Hampir semua masyarakat di wilayah ini berprofesi menanam dan melakukan aktivitas yang berhubungan dengan Salak Pondoh, baik itu menjadi pedagang pengumpul, penyedia bibit, pengrajin keranjang bambu, penyedia angkutan, pembersih lahan Salak Pondoh, dan lain-lain.

5.2 Karakteristik Petani Responden

(52)

Tabel 10 Karakteristik Petani Responden berdasarkan Usia di Desa Wonokerto Tahun 2014

Kelompok umur (tahun) Jumlah responden (orang) Persentase (%)

40 8 22.86

41 – 50 12 34.29

51 – 60 5 14.29

61 10 28.57

Total 35 100.00

Sumber : Data primer (diolah)

Tabel 10 menunjukkan bahwa responden petani didominasi oleh penduduk yang berusia 41-50 tahun sebanyak 12 orang (34.29%)dan paling sedikit adalah petani berusia 51-60 tahun yaitu sebanyak 5 orang (14.29%). Hal ini disebabkan oleh masyarakat yang berumur 41-50 tahun masih memiliki tingkat kesehatan yang cukup bagus sebagai petani sedangkan masyarakat berumur 51-60 tahun cenderung memilih untuk bekerja di bidang lain.

Tabel 11 Karakteristik Petani Responden berdasarkan Tingkat Pendidikan di Desa Wonokerto Tahun 2014

Tingkat pendidikan Jumlah responden (orang) Presentase (%)

SD 15 42.86

SMP/sederajat 8 22.86

SMA/sederajat 10 28.57

Perguruan Tinggi 2 5.71

Total 35 100.00

Sumber : Data primer (diolah)

(53)

Tabel 12 Karakteristik Petani Responden berdasarkan Luas Lahan di Desa Wonokerto Tahun 2014

Luas lahan (m) Jumlah responden (orang) Presentase (%)

500 7 20.00

501– 1500 15 42.86

1501– 2500 8 22.86

2500 5 14.29

Total 35 100.00

Sumber : Data primer (diolah)

Tabel 12 memperlihatkan bahwa petani responden mayoritas memiliki lahan seluas 501-1500 m sebanyak 15 orang (42.86%) dan hanya 5 orang petani (14.29%) yang memiliki lahan lebih dari 2500 m. Lahan tersebut sebagian besar berupa lahan warisan dan sudah sejak lama kendala utama petani adalah modal sehingga mereka tidak bisa memiliki lahan yang cukup luas.

Tabel 13Karakteristik Petani Responden berdasarkan Pengalaman Bertani di Desa Wonokerto Tahun 2014

Lama bertani salak (tahun) Jumlah responden (orang) Presentase (%)

15 10 28.57

16 – 25 11 31.43

26 – 35 7 20.00

36 7 20.00

Total 35 100.00

Sumber : Data primer (diolah)

(54)

5.3 Karakteristik Lembaga Tataniaga

Data primer selanjutnya diperoleh melalui wawancara menggunakan kuesioner dengan lembaga tataniaga. Wawancara tersebut dilakukan dengan metode bola salju (snowball sampling)dan menghasilkan 12 lembaga tataniaga yang terlibat dalam saluran tataniaga Salak Pondoh di Desa Wonokerto. Lembaga tataniaga tersebut meliputi empat orang pedagang pengecer dari Pasar Sunmor, Pasar Turi, Pasar Tempel dan Pasar Giwangan, lima orang pedagang pengumpul yang memasarkan ke Pasar Turi, Pasar Tempel dan Pasar Pakem, satu orang pedagang besar dari Pasar Giwangan, satu orang supplier swalayan Carrefour dan satu orang supplierdari Mitra Turindo. Karakteristik lembaga tataniaga dibagi menjadi tiga yang meliputi usia, tingkat pendidikan dan pengalaman berdagang (Tabel 14).

Tabel 14 Karakteristik Lembaga Tataniaga Responden berdasarkan Usia, Tingkat Pendidikan dan Pengalaman Berdagang Salak Pondoh

Karakteristik Jumlah responden (orang) Persentase (%)

Kelompok umur (tahun)

30 2 16.67

31 – 40 4 33.33

41 – 50 3 25.00

51 3 25.00

Tingkat pendidikan

SD 4 33.33

SMP/sederajat 2 16.67

SMA/sederajat 5 41.67

Perguruan Tinggi 1 8.33

Lama berdagang (tahun)

15 2 16.67

16 – 25 4 33.33

26 – 35 2 16.67

36 4 33.33

Sumber : Data primer (diolah)

(55)

SMA/sederajat sebanyak 5 orang (41.67%)dan 1 orang (8.33%) yang menuntut ilmu sampai ke perguruan tinggi. Hal ini berbeda dengan petani yang mayoritas menuntut ilmu hanya mampu sampai sekolah dasar (SD).

Karakteristik terakhir ditentukan oleh lama berdagang Salak Pondoh. Dari penelitian yang telah dilakukan, diperoleh hasil bahwa pedagang responden paling banyak memiliki pengalaman selama 16-25 tahun dan lebih dari 36 tahun dengan masing-masing sebanyak 4 orang (33.33%). Hal ini mengindikasikan bahwa responden yang telah lama berdagang cenderung lebih menguasai pasar. Data lengkap responden lembaga tataniaga dapat dilihat di Lampiran 3.

5.4 Gambaran Umum Usahatani Salak Pondoh di Desa Wonokerto

Salak Pondoh termasuk dalam tanaman yang dapat diperbanyak dengan biji (generatif) atau melalui tunas anakan (vegetatif), namun mayoritas penduduk Desa Wonokerto mengembangbiakkan Salak Pondoh secara vegetatif dengan cara dicangkok. Keuntungan mencangkok yaitu: (1) tanaman yang diperoleh bersifat sama dengan pohon induknya; (2) kelamin tanaman dapat dipastikan terlebih dahulu; (3) jangka waktu berbunga dan berbuah lebih cepat dan (4) buah yang diperoleh lebih seragam.

Penanaman Salak Pondoh dimulai dengan proses pengolahan tanah agar tanah menjadi l gembur, lalu pembersihan tanaman dari gulma serta pencangkulan sedalam ±30 cm. Proses ini dilakukan 3-4 minggu sebelum waktu tanam. Selanjutnya yaitu pembuatan bedengan yang berukuran lebar 200-250 cm, tinggi 30 cm, panjangya menyesuaikan kondisi lapang dan jarak antar bedengan 60-80 cm. Masukkan pupuk kandang di dalam tanah dan ditunggu selama dua minggu, kemudian pembuatan lubang tanam dengan panjang 30 cm, lebar 30 cm, kedalaman 30 cm dan jarak tanam 2x2 meter atau 2.5x2.5 meter.

Proses selanjutnya yaitu memasukkan bibit cangkokan ke dalam lubang tanam dengan perlahan agar tidak roboh. Perbandingan jumlah tanaman jantan dan betina dalam satu kebun adalah 1:10. Waktu penanaman Salak Pondoh yang baik adalah sore hari di bulan November–Desember. Hal ini dilakukan untuk mengurangi proses penguapan dan agar tanaman tidak kekurangan air.

(56)

dan penyakit. Penyulaman bertujuan untuk mengetahui jumlah tanaman yang sesungguhnya, penyiangan yaitu pemangkasan gulma agar pertumbuhan Salak Pondoh tidak terhambat, pembumbunan ialah proses pencangkulan tanah di sekeliling rumpun untuk mencegah air menggenang, pemupukan dilakukan dengan menggunakan organik dan anorganik. Pupuk organik berasal dari kotoran ternak masyarakat setempat sedangkan pupuk anorganik yang biasa dipakai adalah pupuk urea dan phonska. Menurut informasi dari petani setempat, pupuk phonska digunakan dua kali dalam setahun bersamaan dengan pupuk kandang sedangkan pupuk urea digunakan satu kali dalam setahun. Mayoritas petani Desa Wonokerto memilih untuk menggunakan pupuk kandang karena buah yang dihasilkan akan tahan lama dan rasanya lebih manis. Hama yang biasa mengganggu adalah ulat penggulung daun (Hidari sp) yang memakan daun-daun salak, namun hal ini bisa diatasi dengan memberi obat Diasona, Kolatel serta menanam pohon manding di dekat tanaman Salak Pondoh.

Tanaman Salak Pondoh mulai berbuah ketika berumur tiga tahun dihitung dari awal masa tanam dan sudah siap panen setelah 6-7 bulan sejak penyerbukan. Upah tenaga kerja untuk merawat kebun salak sebesar Rp 25 000-30 000 dengan waktu bekerja lima jam per hari. Petani hanya mengeluarkan modal untuk membeli bibit dan pupuk sedangkan lahan mereka dapatkan dari warisan. Harga bibit cangkokan adalah Rp 3 000-3 500 per batang dan harga pupuk kandang sebesar Rp 250 000 per truck. Proses pengairan dilakukan petani dengan cara membuat pipa pengairan yang bersumber dari mata air. Modal pembelian bibit dan pupuk berasal dari uang pribadi petani sedangkan pembangunan pipa diperoleh dengan cara swadaya.

(57)

VI. HASIL DAN PEMBAHASAN

6.1 Identifikasi Lembaga, Fungsi dan Saluran Tataniaga

6.1.1 Lembaga Tataniaga

Pihak-pihak yang terlibat dalam tataniaga komoditas Salak Pondoh di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman meliputi petani produsen, pedagang pengumpul, pedagang besar dan pedagang pengecer. Penjelasan selengkapnya adalah sebagai berikut:

1. Petani adalah penduduk Desa Wonokerto yang menggarap kebunnya dan menghasilkan Salak Pondoh untuk dijual ke lembaga tataniaga selanjutnya. Petani yang menjadi responden adalah mereka yang melakukan aktivitas pemanenan pada bulan Januari-Februari 2014.

2. Pedagang pengumpul yaitu lembaga tataniaga yang bertempat tinggal di Kecamatan Turi dan membeli Salak Pondoh dari petani produsen dalam jumlah tertentu kemudian menjualnya ke pedagang besar atau pengecer. Pedagang pengumpul menguasai informasi pasar sehingga mempunyai kekuatan dalam menentukan harga Salak Pondoh.

3. Pedagang besar yakni seseorang yang melakukan aktivitas pembelian komoditas Salak Pondoh dari pedagang pengumpul atau langsung melalui Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan). Terdapat tiga pedagang besar dalam tataniaga komoditas ini diantaranya pedagang besar di Pasar Giwangan, pedagang besar yang menjadi supplier swalayan Carrefour dan pedagang besar yang mengumpulkan produk dari Gapoktan kemudian diserahkan kepada eksportir dan selanjutnya dikirim ke China.

(58)

6.1.2 Fungsi Tataniaga

Fungsi tataniaga dilakukan untuk memperlancar proses penyaluran barang dari produsen ke konsumen. Masing-masing lembaga tataniaga menjalankan fungsi yang berbeda-beda, diantaranya: (1) fungsi pertukaran adalah aktivitas pertukaran barang atau jasa dari produsen ke konsumen, meliputi fungsi penjualan dan pembelian; (2)fungsi fisik adalah aktivitas yang berhubungan langsung dengan barang dan jasa sehingga menimbulkan kegunaan tempat, bentuk dan waktu yang terdiri dari fungsi penyimpanan, pengemasan, pengangkutan dan pengolahan; (3) fungsi fasilitas ialah tindakan yang dilakukan untuk memperlancar proses pertukaran dari produsen kepada konsumen, diantaranya fungsi sortasi dan grading, pembiayaan, penanggungan risiko dan informasi pasar. Penjelasan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 15.

Tabel 15 Fungsi-fungsi yang Dilakukan setiap Lembaga Tataniaga Salak Pondoh di Desa Wonokerto, Kecamatan Turi, Kabupaten Sleman

Lembaga Tataniaga Fungsi Tataniaga Aktivitas

Petani Pertukaran

Sortasi dan grading, pembiayaan, penanggungan risiko dan

Sortasi dan grading, pembiayaan, penanggungan risiko dan

Sortasi dan grading, pembiayaan, penanggungan risiko dan informasi pasar

Gambar

Tabel 1 Kontribusi PDB atas Dasar Harga Berlaku menurut Lapangan Usaha Tahun 2008-2012 (persen)
Tabel 2 Produksi Salak di Indonesia menurut Provinsi Tahun 2012
Tabel 3 Populasi Salak di Kabupaten Sleman Tahun 2008-2012 (rumpun)
Gambar 1 Fluktuasi Harga Rata-rata di Tingkat Eceran Tahun 2012-2013
+7

Referensi

Dokumen terkait

Analisis Kelayakan Usahatani Salak Pondoh (Salacca Zalacca) (Studi Kasus pada Petani Salak Pondoh Anggota Kelompok Salak Kencana Desa Cimara, Kecamatan Pasawahan, Kabupaten

Kegiatan pengolahan Salak Pondoh menjadi wajik Salak Pondoh dalam industri rumah tangga di Desa Donokerto sangat dipengaruhi oleh latar belakang pengrajin itu

Pesan yang disampaikan dalam perancangan ini adalah agar masyarakat lebih mengenal Agrowisata Salak Pondoh yang ada di Desa Bangunkerto Turi Sleman Yogyakarta sebagai tempat

Para petani salak pondoh di Desa Padang Pengrapat Kecamatan Tanah Grogot Kabupaten Paser sebaiknya melakukan inovasi produk dari buah salak pondoh dengan memanfaatkan

Sebagian warga desa tersebut menggantungkan hidup dari salak pondoh ( Pemetaan Swadaya TIP Desa Wonokerto, 2011 ). Kegiatan yang telah dilakukan pada pengabdian masyarakat ini

Bagian yang diterima petani farmer share dari tataniga salak di desa sigeblog yaitu, yang paling besar yaitu pada pola tataniaga 1 sebesar 76,7 %, dan yang paling kecil yaitu

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji besarnya biaya, penerimaan, pendapatan dan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat pendapatan pedagang perantara salak pondoh

Penataan kebun salak pondoh memiliki fungsi sebagai salah satu daya tarik agrowisata salak pondoh Bangunkerto yang memberikan kesan menarik terhadap wisatawan