1
DI KEPULAUAN TOGEAN, SULAWESI TENGAH
Oleh :
BONANG DIPO JAKTI C64104057
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
ii
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
ANALISIS POTENSI WISATA
SNORKELING
DAN
DIVING
MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI
KEPULAUAN TOGEAN, SULAWESI TENGAH
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dilakukan
sebelumnya oleh pihak lain baik di perguruan tinggi IPB maupun perguruan tinggi yang lain. Data yang digunakan dalam penyusunan Skripsi ini merupakan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan pengamatan yang telah dilakukan. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, September 2009
iii
Snorkeling
Diving Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Kepulauan
Togean, Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh SETYO BUDI SUSILO dan RISTI ENDRIANI ARHATIN.
Kepulauan Togean memiliki kekayaan dan keaneka-ragaman sumber daya alam yang baik, salah satunya adalah terumbu karang. Potensi ini
memberikan kesempatan besar dalam bidang kepariwisataan, khususnya wisata bahari. Sehubungan belum ada pemetaan zona-zona potensial wisata baharí khususnya wisata snorkeling dan diving di Kepulauan Togean, maka perlu dilakukan pengkajian analisis potensi wisata tersebut. Didukung oleh data-data survei yang pernah dilakukan serta perkembangan teknologi penginderaan jauh dan SIG maka akan lebih mudah untuk mendapatkan informasi dalam waktu singkat.
Penelitian ini dilakukan mulai dari Juni - Desember 2008. Data yang digunakan merupakan data hasil survei Allen dan McKenna (2001), Prasetyati (2004), CII (2008) dan Livson (2008). Tahapan image processing yang dilakukan pada penelitian ini meliputi mosaik citra, pemulihan citra, penajaman citra dan klasifikasi citra. Metode klasifikasi citra yang digunakan adalah dengan metode
unsupervised classification sedangkan metode analisis data menggunakan cell based modeling.
Nilai spektral substrat dasar perairan pada citra ALOS berkisar antara 7,81 - 8,45. Terumbu karang hidup memiliki kisaran 7,814 - 7,902, terumbu karang mati memiliki kisaran 7,964 - 8,034, lamun memiliki kisaran 8,017 - 8,216, pasir memiliki kisaran 8,266 - 8,457. Berdasarkan interpretasi dari kenampakan citra ALOS, terumbu karang terbanyak terdapat di sebelah baratdaya Pulau Batudaka. Menurut pola terumbu karang Tomascik et al. (1997), maka dapat disimpulkan bahwa di daerah tersebut terdapat 3 tipe terumbu karang
diantaranya adalah fringing reef, barrier reef dan atoll.
Secara umum pesisir Kepulauan Togean sangat potensial untuk dijadikan andalan wisata bahari di Sulawesi Tengah, khususnya wisata snorkeling dan
diving. Lokasi-lokasi dengan kategori sangat sesuai (S1) untuk snorkeling dan
iv
©Hak cipta milik Bonang Dipo Jakti, tahun 2009
Hak cipta dilindungi
5
DI KEPULAUAN TOGEAN, SULAWESI TENGAH
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
BONANG DIPO JAKTI C64104057
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
6 TENGAH
Nama : Bonang Dipo Jakti
NRP : C64104057
Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui :
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc Risti Endriani Arhatin, S.Pi., M.Si. NIP. 19580909 198303 1 003 NIP. 19750309 200701 2 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 19610410 198601 1 002
vii
Bismillah hirrohmannirrohim,
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena senantiasa dilimpahkan segala Rahmat dan Karunia-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”ANALISIS POTENSI WISATA SNORKELING DAN DIVING MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KEPULAUAN TOGEAN, SULAWESI TENGAH” dapat terselesaikan dengan baik. Semoga skripsi ini dapat menjadi sebuah tulisan yang dapat membuka hati kita bahwasanya semua yang ada di bumi ini adalah suatu karunia yang luar biasa yang telah diberikan oleh Allah SWT dan
sepatutnya kita jaga dan mensyukurinya.
Penulis berterima kasih kepada Allah SWT atas segala kemudahan yang telah diberikan-Nya dan kepada kedua orang tua serta keluarga yang telah banyak mendukung dan memotivasi kepada penulis. Penulis pun tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc dan, Risti Endriani Arhatin, S.Pi., M.Si selaku Komisi Pembimbing atas arahan serta pengetahuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Dewayani Sutrisno, M.App.Sc dan staff PSSDAL-BAKOSURTANAL atas izin penggunaan data citra AVNIR-2 ALOS dan ASTER.
3. Dr. Ir. Henry Munandar Manik, M.T selaku Ketua Komisi Pendidikan Sarjana.
4. Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si selaku Penguji Tamu. 5. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc atas ilmu dan bimbingannya.
6. Heron Surbakti, S.Pi atas masukan serta ilmu selama proses penelitian. 7. Neisya Solaita, STP dan Listhya Ayu I., STP atas dukungan dan doanya. 8. Teman-teman seperjuangan Lab. Penginderaan Jauh dan SIG Kelautan
(L.A.F. Hakim, S.Pi., Husnayean, S.Pi., A. Afif Muzaki, S.Pi., Diki Z., S.Pi), teman-teman ITK 41 dan seluruh warga ITK-IPB atas dukungan dan kebersamaan selama penulis menempuh masa pendidikan
Bogor, September 2009
viii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1 Kondisi Umum Wilayah Kepulauan Togean ... 3
2.2 Wilayah Pesisir ... 3
2.2.1 Definisi wilayah pesisir ... 3
2.2.2 Ekosistem penting di wilayah pesisir ... 4
2.3 Pariwisata Bahari ... 7
2.4 Penginderaan Jauh ... 7
2.4.1 Pengertian penginderaan jauh ... 7
2.4.2 Karakteristik satelit Advanced Land Observing Satellite (ALOS) ... 9
2.5 Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 10
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 15
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 15
3.2 Alat dan Bahan ... 15
3.2.1 Alat ... 15
3.2.2 Bahan ... 16
3.3 Metode Penelitian ... 17
3.3.1 Pengumpulan data ... 17
3.3.2 Pengolahan data penginderaan jauh ... 18
3.3.3 Penyusunan basis data ... 24
3.3.4 Analisis SIG ... 24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
4.1 Penajaman Citra ... 31
4.1.1 Penajaman citra untuk pemetaan substrat dasar perairan dangkal ... 31
4.1.2 Penajaman citra untuk pemetaan kecerahan perairan ... 38
4.2 Tutupan Terumbu Karang... 41
4.3 Jenis Life Form ... 42
4.4 Jenis Ikan Karang ... 43
4.5 Kecepatan Arus ... 45
4.6 Pemetaan Kedalaman Perairan (bathymetri) ... 46
4.6.1 Bathymetri untuk kesesuaian wisata snorkeling ... 47
4.6.2 Bathymetri untuk kesesuaian wisata diving ... 48
4.7 Analisis Kesesuaian ... 49
4.7.1 Analisis kesesuaian wilayah potensial wisata snorkeling ... 49
ix
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 55
5.1 Kesimpulan ... 55
5.2 Saran ... 55
DAFTAR PUSTAKA ... 56
LAMPIRAN ... 60
x
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Wilayah panjang gelombang spektrum elektromagnetik ... 8 2. Sistem penilaian kelayakan fisik wisata bahari pada jenis wisata
snorkeling ... 26 3. Sistem penilaian kelayakan fisik wisata bahari pada jenis
wisata diving ... 27 4. Luasan masing-masing jenis substrat dasar perairan dangkal ... 34 5. Matriks analisis ancaman terhadap terumbu karang
1
DI KEPULAUAN TOGEAN, SULAWESI TENGAH
Oleh :
BONANG DIPO JAKTI C64104057
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
ii
Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:
ANALISIS POTENSI WISATA
SNORKELING
DAN
DIVING
MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI
KEPULAUAN TOGEAN, SULAWESI TENGAH
adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum pernah dilakukan
sebelumnya oleh pihak lain baik di perguruan tinggi IPB maupun perguruan tinggi yang lain. Data yang digunakan dalam penyusunan Skripsi ini merupakan data yang diperoleh dari hasil penelitian dan pengamatan yang telah dilakukan. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, September 2009
iii
Snorkeling
Diving Menggunakan Sistem Informasi Geografis di Kepulauan
Togean, Sulawesi Tengah. Dibimbing oleh SETYO BUDI SUSILO dan RISTI ENDRIANI ARHATIN.
Kepulauan Togean memiliki kekayaan dan keaneka-ragaman sumber daya alam yang baik, salah satunya adalah terumbu karang. Potensi ini
memberikan kesempatan besar dalam bidang kepariwisataan, khususnya wisata bahari. Sehubungan belum ada pemetaan zona-zona potensial wisata baharí khususnya wisata snorkeling dan diving di Kepulauan Togean, maka perlu dilakukan pengkajian analisis potensi wisata tersebut. Didukung oleh data-data survei yang pernah dilakukan serta perkembangan teknologi penginderaan jauh dan SIG maka akan lebih mudah untuk mendapatkan informasi dalam waktu singkat.
Penelitian ini dilakukan mulai dari Juni - Desember 2008. Data yang digunakan merupakan data hasil survei Allen dan McKenna (2001), Prasetyati (2004), CII (2008) dan Livson (2008). Tahapan image processing yang dilakukan pada penelitian ini meliputi mosaik citra, pemulihan citra, penajaman citra dan klasifikasi citra. Metode klasifikasi citra yang digunakan adalah dengan metode
unsupervised classification sedangkan metode analisis data menggunakan cell based modeling.
Nilai spektral substrat dasar perairan pada citra ALOS berkisar antara 7,81 - 8,45. Terumbu karang hidup memiliki kisaran 7,814 - 7,902, terumbu karang mati memiliki kisaran 7,964 - 8,034, lamun memiliki kisaran 8,017 - 8,216, pasir memiliki kisaran 8,266 - 8,457. Berdasarkan interpretasi dari kenampakan citra ALOS, terumbu karang terbanyak terdapat di sebelah baratdaya Pulau Batudaka. Menurut pola terumbu karang Tomascik et al. (1997), maka dapat disimpulkan bahwa di daerah tersebut terdapat 3 tipe terumbu karang
diantaranya adalah fringing reef, barrier reef dan atoll.
Secara umum pesisir Kepulauan Togean sangat potensial untuk dijadikan andalan wisata bahari di Sulawesi Tengah, khususnya wisata snorkeling dan
diving. Lokasi-lokasi dengan kategori sangat sesuai (S1) untuk snorkeling dan
iv
©Hak cipta milik Bonang Dipo Jakti, tahun 2009
Hak cipta dilindungi
5
DI KEPULAUAN TOGEAN, SULAWESI TENGAH
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Institut Pertanian Bogor
Oleh :
BONANG DIPO JAKTI C64104057
PROGRAM STUDI ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
6 TENGAH
Nama : Bonang Dipo Jakti
NRP : C64104057
Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan
Menyetujui :
Pembimbing I Pembimbing II
Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc Risti Endriani Arhatin, S.Pi., M.Si. NIP. 19580909 198303 1 003 NIP. 19750309 200701 2 001
Mengetahui,
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
Prof. Dr. Ir. Indra Jaya, M.Sc NIP. 19610410 198601 1 002
vii
Bismillah hirrohmannirrohim,
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena senantiasa dilimpahkan segala Rahmat dan Karunia-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul ”ANALISIS POTENSI WISATA SNORKELING DAN DIVING MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS DI KEPULAUAN TOGEAN, SULAWESI TENGAH” dapat terselesaikan dengan baik. Semoga skripsi ini dapat menjadi sebuah tulisan yang dapat membuka hati kita bahwasanya semua yang ada di bumi ini adalah suatu karunia yang luar biasa yang telah diberikan oleh Allah SWT dan
sepatutnya kita jaga dan mensyukurinya.
Penulis berterima kasih kepada Allah SWT atas segala kemudahan yang telah diberikan-Nya dan kepada kedua orang tua serta keluarga yang telah banyak mendukung dan memotivasi kepada penulis. Penulis pun tidak lupa mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Sc dan, Risti Endriani Arhatin, S.Pi., M.Si selaku Komisi Pembimbing atas arahan serta pengetahuan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
2. Dr. Dewayani Sutrisno, M.App.Sc dan staff PSSDAL-BAKOSURTANAL atas izin penggunaan data citra AVNIR-2 ALOS dan ASTER.
3. Dr. Ir. Henry Munandar Manik, M.T selaku Ketua Komisi Pendidikan Sarjana.
4. Dr. Ir. Jonson Lumban Gaol, M.Si selaku Penguji Tamu. 5. Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc atas ilmu dan bimbingannya.
6. Heron Surbakti, S.Pi atas masukan serta ilmu selama proses penelitian. 7. Neisya Solaita, STP dan Listhya Ayu I., STP atas dukungan dan doanya. 8. Teman-teman seperjuangan Lab. Penginderaan Jauh dan SIG Kelautan
(L.A.F. Hakim, S.Pi., Husnayean, S.Pi., A. Afif Muzaki, S.Pi., Diki Z., S.Pi), teman-teman ITK 41 dan seluruh warga ITK-IPB atas dukungan dan kebersamaan selama penulis menempuh masa pendidikan
Bogor, September 2009
viii
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... x
DAFTAR GAMBAR ... xi
DAFTAR LAMPIRAN ... xii
I. PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Tujuan ... 2
II. TINJAUAN PUSTAKA ... 3
2.1 Kondisi Umum Wilayah Kepulauan Togean ... 3
2.2 Wilayah Pesisir ... 3
2.2.1 Definisi wilayah pesisir ... 3
2.2.2 Ekosistem penting di wilayah pesisir ... 4
2.3 Pariwisata Bahari ... 7
2.4 Penginderaan Jauh ... 7
2.4.1 Pengertian penginderaan jauh ... 7
2.4.2 Karakteristik satelit Advanced Land Observing Satellite (ALOS) ... 9
2.5 Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 10
III. METODOLOGI PENELITIAN ... 15
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian ... 15
3.2 Alat dan Bahan ... 15
3.2.1 Alat ... 15
3.2.2 Bahan ... 16
3.3 Metode Penelitian ... 17
3.3.1 Pengumpulan data ... 17
3.3.2 Pengolahan data penginderaan jauh ... 18
3.3.3 Penyusunan basis data ... 24
3.3.4 Analisis SIG ... 24
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31
4.1 Penajaman Citra ... 31
4.1.1 Penajaman citra untuk pemetaan substrat dasar perairan dangkal ... 31
4.1.2 Penajaman citra untuk pemetaan kecerahan perairan ... 38
4.2 Tutupan Terumbu Karang... 41
4.3 Jenis Life Form ... 42
4.4 Jenis Ikan Karang ... 43
4.5 Kecepatan Arus ... 45
4.6 Pemetaan Kedalaman Perairan (bathymetri) ... 46
4.6.1 Bathymetri untuk kesesuaian wisata snorkeling ... 47
4.6.2 Bathymetri untuk kesesuaian wisata diving ... 48
4.7 Analisis Kesesuaian ... 49
4.7.1 Analisis kesesuaian wilayah potensial wisata snorkeling ... 49
ix
V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 55
5.1 Kesimpulan ... 55
5.2 Saran ... 55
DAFTAR PUSTAKA ... 56
LAMPIRAN ... 60
x
DAFTAR TABEL
Halaman 1. Wilayah panjang gelombang spektrum elektromagnetik ... 8 2. Sistem penilaian kelayakan fisik wisata bahari pada jenis wisata
snorkeling ... 26 3. Sistem penilaian kelayakan fisik wisata bahari pada jenis
wisata diving ... 27 4. Luasan masing-masing jenis substrat dasar perairan dangkal ... 34 5. Matriks analisis ancaman terhadap terumbu karang
xi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Teori pembentukan tipe terumbu karang: terumbu tepi (fringing reef), terumbu penghalang (barrier reef),
terumbu cincin (atoll)... 7
2. Konfigurasi satelit ALOS ... 9
3. Lebar jangkauan sapuan AVNIR-2 ... 10
4. Ilustrasi operasi piksel pada cell based modeling ... 11
5. Ilustrasi data vektor dan data raster ... 12
6. Cakupan peta LPI Kepulauan Togean ... 16
7. Tahapan image processing pemetaan substrat dasar perairan dangkal ... 22
8. Tahapan image processing pemetaan sebaran kecerahan Perairan ... 23
9. Diagram alir penelitian ... 30
10. Citra komposit RGB 421 ... 31
11. (a)Citra ALOS hasil transformasi lyzenga (b) Histogram hasil lyzenga ... 32
12. Peta substrat perairan dangkal di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah ... 35
13. Peta kesesuaian untuk wisata snorkeling di Kepulauan Togean Sulawesi Tengah ... 50
xii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Peta stasiun pengamatan di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah .. 60 2. Nama, koordinat stasiun, data biologi dan oseanografi survei
Allen dan McKenna (2001), Prasetyati (2004) dan Livson (2008) ... 61 3. Habitat dasar ekosistem terumbu karang ... 62 4. Spesies karang dan genus karang ... 65 5. Jenis ikan karang ... 69 6. Peta kecerahan perairan di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah ... 73 7. Peta tutupan karang di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah... 74 8. Peta kelas kesesuaian substrat perairan dangkal untuk
wisata snorkeling dan diving ... 75 9. Peta jumlah jenis life form di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah .. 76 10. Peta jumlah jenis ikan karang di Kepulauan Togean,
Sulawesi Tengah ... 77 11. Peta kecepatan arus untuk wisata snorkeling dan diving di
Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah ... 78 12. Peta kedalaman perairan di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah ... 79 13. Peta hasil klasifikasi kedalaman perairan untuk wisata snorkeling di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah ... 80 14. Peta hasil klasifikasi kedalaman perairan untuk wisata diving
di Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah ... 81 15. Luasan setiap kategori kesesuaian wisata snorkeling dan diving
1 1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara tropis terbesar di Asia dengan beragam tipe lanskap dan keindahan alam tropisnya serta keragaman budaya yang menjadi modal utama dalam pengembangan kepariwisataan. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia yang terletak pada garis khatulistiwa seperti Kepulauan Togean memiliki kekayaan dan keanekaragaman sumber daya alam yang baik, salah satunya adalah terumbu karang yang tentunya memberikan daya tarik tersendiri bagi para wisatawan mancanegara..
Letak geografi Indonesia yaitu pada persilangan dua benua (Asia dan Australia) dan dua samudera (samudera Hindia dan samudera Pasifik) membuat Indonesia berada pada posisi yang menguntungkan. Hal ini tentu memberikan peluang besar bagi pemasukan devisa negara Indonesia melalui pengembangan wilayah pesisir laut yang berbasis konservasi untuk kawasan wisata.
2 1.2 Tujuan
3
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Wilayah Kepulauan Togean
Secara administrasi Kepulauan Togean masuk kedalam propinsi Sulawesi Tengah. Wilayah Sulawesi Tengah beriklim tropis, yang secara tetap
dipengaruhi oleh dua musim (musim barat dan musim timur). Wilayah ini
mengalami kekeringan/kemarau pada musim barat sedangkan pada musim timur merupakan musim hujan dengan curah hujan berkisar antara 800 - 3000
mm/tahun. Suhu udara rata-rata sebesar 26,80C dengan penurunan sebesar 0,60C setiap kenaikan 100 meter dari atas permukaan laut. Kelembaban udara berkisar 72 - 79% dan kecepatan angin sebesar 3 – 5 knot/jam (Soemargono et al., 1992)
Wilayah Kepulauan Togean terletak di perairan Teluk Tomini.
Berdasarkan BRPBAP (2006), bahwa hamparan perairan Teluk Tomini dikelilingi oleh gugusan terumbu karang yang menggambarkan bahwa lokasi tersebut terlindung dari hempasan angin yang kencang dan ombak yang besar. Kecepatan arus di daerah Teluk Tomini secara umum berkisar antara 0,036 - 0,184 m/dtk atau 3,6 - 18,4 cm/dtk.
2.2 Wilayah Pesisir
2.2.1 Definisi wilayah pesisir
Wilayah pesisir merupakan wilayah dengan keunikan ekosistem, dimana sangat rentan terhadap perubahan, baik diakibatkan oleh aktifitas daerah hulu maupun karena aktifitas yang terjadi di wilayah pesisir itu sendiri (Dartoyo, 2004). Menurut Undang-Undang Nomor 27 (2007), wilayah pesisir adalah daerah
Indonesia dikenal sebagai negara dengan kekayaan keanekaragaman hayati (biodiversity) laut terbesar di dunia, karena memiliki ekosistem pesisir seperti hutan mangrove, terumbu karang (coral reefs), padang lamun (sea grass beds) yang sangat luas dan beragam. Wilayah pesisir dan lautan Indonesia selain berfungsi sebagai penyedia sumberdaya alam seperti ikan-ikan konsumsi yang merupakan sumber protein hewani, juga berfungsi sebagai pelabuhan dan transportasi, kawasan industri, agribisnis dan agroindustri, rekreasi dan
pariwisata, serta kawasan pemukiman dan tempat pembuangan limbah (Dahuri
et al., 1996).
2.2.2 Ekosistem penting di wilayah pesisir
Dahuri et al. (1996) mengatakan bahwa dalam suatu wilayah pesisir terdapat satu atau lebih sistem lingkungan (ekosistem) pesisir. Ekosistem pesisir ada yang terus menerus tergenangi air dan ada pula yang hanya sesaat.
Ekosistem pesisir yang secara permanen atau berkala tergenang air diantaranya adalah padang lamun (sea grass beds) dan terumbu karang (coral reefs). Berikut ini akan dipaparkan secara lebih jelas beberapa ekosistem pesisir tersebut :
dipengaruhi oleh kondisi kecerahan air laut, temperatur air laut, salinitas, substrat dan kecepatan arus (Dartoyo, 2004).
(2) Terumbu karang (coral reefs) adalah endapan-endapan masif yang penting dari kalsium karbonat yang terutama dihasilkan oleh karang (filum Cnidaria, klas Anthozoa, ordo Madreporaria = Scleractinia) dengan sedikit tambahan dari alga berkapur dan organisme-organisme lain yang mengeluarkan kalsium karbonat. Faktor-faktor pembatas yang menentukan perkembangan terumbu karang adalah :
1) Suhu : perkembangan optimal terjadi di perairan dengan suhu rata-rata tahunannya 23 - 25 oC, akan tetapi terumbu dapat mentolerir suhu pada kisaran 20 oC sampai dengan 36 - 40 oC.
2) Kedalaman : umumnya hidup pada kedalaman 25 m sedangkan pada 50 - 70 m atau lebih, terumbu karang sudah sulit untuk berkembang. 3) Cahaya : cahaya yang cukup harus tersedia agar fotosintesis oleh
zooxanthellae dalam jaringan karang dapat terlaksana.
4) Salinitas : hidup normal pada kisaran salinitas antara 32 - 35 o/oo. 5) Pengendapan : umumnya karang hermatipik tidak dapat bertahan
dengan endapan berat yang menutupi sistem masuknya makanan. Endapan dalam air juga mengurangi cahaya yang dibutuhkan untuk fotosintesis oleh zooxanthellae dalam jaringan karang.
6) Gelombang besar : umumnya terumbu karang lebih berkembang pada perairan bergelombang besar, selain membawa plankton sebagai sumber makanan juga memberikan pasokan oksigen dalam air laut dan menghalangi pengendapan pada koloni (Nybakken, 1992).
1) Terumbu tepi (fringing reef), berupa pembentukan terumbu yang mengitari pulau/susuran dari daratan. Perkembangannya berawal dari suatu pulau samudera/oseanik yang perlahan-lahan mengalami
penurunan. Contoh : pada pulau-pulau yang masih bersifat muda, atau di sepanjang daratan besar, seperti pada sisi barat Sulawesi bagian selatan.
2) Terumbu penghalang (barrier reef), berupa lanjutan pertumbuhan karang yang semakin melebar, tubir yang semakin menonjol. Penenggelaman massa pulau juga berlanjut sehingga secara perlahan tonjolan tubir dan massa darat pulau kelihatan seperti terpisah. Contoh : Great Barrier Reef (GBR) di sisi Australia bagian utara.
3) Terumbu cincin (atoll), merupakan akhir dari proses penenggelaman massa pulau, yang kemudian disuksesi oleh pertumbuhan terumbu karang. Bagian tubir yang menonjol ini semakin nampak sejak awal tumbuh mengelilingi pulau, sehingga terlihat seperti cincin yang melingkar. Contoh : Atol Taka Bonerate (sebelah tenggara Pulau Selayar).
Pada dasarnya tipe-tipe terumbu karang tersebut merupakan satu kesatuan proses atau peristiwa. Gambar 1 merupakan ilustrasi teori pembentukan tipe terumbu karang.
Sumber : Tomascik et al. (1997)
Gambar 1. Teori pembentukan tipe terumbu karang : terumbu tepi (fringing reef), terumbu penghalang (barrier reef), terumbu cincin (atoll)
2.3 Pariwisata Bahari
Pariwisata berasal dari dua kata, yakni pari dan wisata. Pari dapat diartikan sebagai banyak, berkali-kali, berputar-putar atau lengkap, sedangkan wisata dapat diartikan sebagai perjalanan atau bepergian yang dalam hal ini sinonim dengan kata travel dalam bahasa Inggris. Maka pariwisata dapat diartikan sebagai perjalanan yang dilakukan berkali-kali atau berputar-putar dari suatu tempat ke tempat yang lain, yang dalam bahasa inggris disebut dengan
tour . Wisata Bahari adalah wisata dengan obyek kawasan laut misalnya menyelam, berselancar, berlayar, memancing dan lain-lain (Hata, 2007).
Pembangunan pariwisata bahari pada hakikatnya adalah upaya mengembangkan dan memanfaatkan objek serta daya tarik wisata bahari di kawasan pesisir dan lautan Indonesia, berupa kekayaan alam yang indah, keragaman flora dan fauna seperti terumbu karang dan berbagai jenis ikan hias (Syah, 2003).
2.4 Penginderaan Jauh
2.4.1 Pengertian penginderaan jauh
dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan obyek/daerah/fenomena daerah yang dikaji atau merupakan suatu teknik untuk mengumpulkan informasi mengenai objek dan lingkungannya dari jarak jauh tanpa sentuhan fisik.
[image:30.612.131.499.428.662.2]Aplikasi dalam penginderaan jauh dapat digunakan untuk mendapatkan informasi-informasi yang terkandung di permukaan bumi (daratan) dan juga dapat digunakan untuk pendeteksian objek-objek di dasar perairan dengan menggunakan sistem akustik. Gelombang elektromagnetik dalam penginderaan jauh memegang peranan yang penting. Ada beberapa macam gelombang elektromagnetik dimana masing-masing memiliki kegunaan tersendiri dalam tujuan interpretasi. Menurut Puntodewo et al. (2003), spektrum elektromagnetik adalah susunan semua bentuk gelombang elektromagnetik berdasarkan panjang gelombang dan frekuensinya. Spektrum elektromagnetik dapat dibagi ke dalam beberapa (sub) wilayah panjang gelombang yang ditampilkan pada Tabel 1.
Tabel 1. Wilayah panjang gelombang spektrum elektromagnetik
Spektrum Elektromagnetik Panjang gelombang
Sinar Gamma 0,03 nm
Sinar-x 0,03-30 nm
Ultraviolet 0,03-0,4 µm
Sinar tampak : 400–700 nm
violet 400–430 nm
indigo 430–450 nm
biru 450–500 nm
hijau 500-570 nm
kuning 570–590 nm
orange 590–610 nm
merah 610–700 nm
Infrared : 0,7-300 µm
Near Infrared (NIR) 0,7–1,5 µm
Short Wavelength Infrared (SWIR) 1,5–3 µm Mid Wavelength Infrared (MWIR) 3-8 µm Long Wavelength Infrared (LWIR) 8–15 µm Far Wavelength Infrared (FIR) >15 µm
Microwave 1 mm–1 m
Radio 10 cm–10 km
2.4.2 Karakteristik satelit Advanced Land Observing Satellite (ALOS) ALOS diluncurkan di Tanegashima Space Center pada tanggal 24 Januari 2006 dengan roket H-IIA. Waktu operasional ALOS selama 3 - 5 tahun dengan orbitSun-Synchronous Sub-Recurrent, resolusi temporal 46 hari pada ketinggian 691,65 km (pada Ekuator) dengan sudut inklinasi 98,160. Gambar 2 merupakan ilustrasi konfigurasi satelit ALOS (JAXA, 2007).
[image:31.612.198.421.234.347.2]Sumber : EORC dan JAXA (2007)
Gambar 2. Konfigurasi satelit ALOS
ALOS memiliki tiga alat sensor, diantaranya adalah : Panchromatic Remote-sensing Instrument for Stereo Mapping (PRISM) yang digunakan untuk pemetaan elevasi, Advanced Visible and Near Infrared Radiometer type 2
(AVNIR-2) yang digunakan untuk observasi penutupan lahan, dan the Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar (PALSAR) untuk observasi lahan yang dapat dioperasikan pada siang maupun malam hari, bahkan dapat dioperasikan pada semua musim. Pada penelitian ini, data citra satelit yang digunakan merupakan citra hasil perekaman sensor AVNIR-2 (EORC dan JAXA, 2007).
melihat penetrasi tubuh air, band 2 (0,52-0,60 µm) yang digunakan untuk menekankan pembedaan vegetasi dan penilaian kesuburan, band 3 (0,61-0,69 µm) yang digunakan untuk melihat daerah yang menyerap klorofil, band 4 (0,76-0,89 µm) yang digunakan untuk membedakan tanah, tanaman, lahan dan air. Jumlah detektor sebanyak 7000/band. Resolusi radiometrik 8 bit dan resolusi spasial sebesar 10x10 m (di Nadir) dengan lebar sapuan 70 km (di Nadir) (JAXA, 2007). Gambar 3 ditampilkan sapuan (swath) AVNIR-2.
[image:32.612.213.430.262.397.2]
Sumber : EORC dan JAXA (2007)
Gambar 3. Lebar jangkauan sapuan AVNIR-2
2.5 Sistem Informasi Geografis (SIG)
Sistem Informasi Geografis dirancang untuk secara efisien memasukkan, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisa dan menyajikan semua jenis informasi yang berorientasi geografis (Prahasta, 2005). Aplikasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu mengintegrasikan SIG dengan penginderaan jauh.
ke dalam format SIG, atau langsung menggunakan perangkat lunak SIG setelah citra digeoreferensi dalam bentuk datum dan proyeksi peta dengan standar baku yang menjadi acuannya. Hasilnya dapat berupa data vektor maupun data raster.
Analisis spasial pada penelitian ini menggunakan analisis cell based modeling. Menurut ESRI (2002), cell based modeling merupakan analisis spasial pada data raster yang bekerja berdasarkan sel atau piksel. Operasi piksel pada cell based modeling dibagi menjadi lima kelompok, yakni meliputi : 1) Local function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan satu sel dimana
nilai piksel output ditentukan oleh satu piksel input.
2) Focal function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan beberapa sel terdekat.
3) Zonal function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan suatu kelompok sel yang memiliki nilai atau keterangan yang sama.
4) Global function yang melibatkan keseluruhan sel dalam data raster dan gabungan antara keempat kelompok tersebut.
5) Application function adalah gabungan dari keempat operasi diatas yang meliputi local function, focal function, zonal function, dan global function Ilustrasi dari local function, focal function, zonal function, global function
ditampilkan pada Gambar 4.
Local function Focal function
[image:33.612.193.427.534.676.2]Zonal function Global function Sumber : ESRI (2002)
Data spasial dalam SIG terdiri dari dua format, yaitu data vektor dan raster. Data vektor merupakan bentuk bumi yang direpresentasikan ke dalam kumpulan garis, area (daerah yang dibatasi oleh garis yang berawal dan berakhir pada titik yang sama), titik dan nodes (titik perpotongan antara dua garis). Data raster adalah data yang dihasilkan dari sistem penginderaan jauh. Pada data raster, objek geografis direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut dengan piksel (GIS Konsorsium Aceh Nias, 2007). Ilustrasi dari data vektor dan data raster ditampilkan pada Gambar 5.
Data vektor Data raster
[image:34.612.187.451.282.407.2]Sumber : GIS Konsorsium Aceh Nias (2007)
Gambar 5. Ilustrasi data vektor dan data raster
Penggunaan SIG pada pengelolaan sumberdaya alam sangat dianjurkan dan telah dikembangkan di beberapa Negara untuk berbagai tipe sumberdaya alam yang ada. Keuntungan penggunaan SIG pada perencanaan dan
pengelolaan sumberdaya alam antara lain adalah (Kam et al., 1992 dalam Wahyuningrum, 2001) :
1) Mampu mengintegrasikan data dari berbagai format data (grafik, teks, dijital dan analog) dari berbagai sumber.
2) Memiliki kemampuan yang baik dalam pertukaran data di antara berbagai macam displin ilmu dan lembaga terkait.
3) Mampu memproses dan menganalisis data lebih efisien dan efektif daripada dikerjakan secara manual.
4) Mampu melakukan pemodelan, pengujian dan perbandingan beberapa alternatif kegiatan sebelum dilakukan aplikasi.
5) Memiliki kemampuan pembaharuan data yang efisien, terutama dalam bentuk gambar dan grafik.
6) Mampu menampung data dalam volume besar.
3. METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Lokasi penelitian berada di wilayah Kepulauan Togean, Sulawesi Tengah. Secara administrasi, Kepulauan Togean termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Tojo Una Una, Sulawesi Tengah. Kepulauan Togean terdiri dari 4 wilayah kecamatan, yaitu Una-Una, Togean, Walea Besar dan Walea Kepulauan. Secara geografis Kepulauan Togean berada antara 121031’37’’ - 122026’28’’ BT dan 0006’08’’ - 0036’32’’ LS, sedangkan lokasi penelitian terletak antara
121031’37’’ - 122003’33’’ BT dan 0006’08’’ - 0036’32’’ LS yang mencakup Kecamatan Una-una, Kecamatan Togean, dan Kecamatan Walea Besar.
Penelitian ini secara umum mencakup 4 tahapan yaitu pengolahan citra satelit ALOS, pengumpulan data survei lapangan dan data pendukung,
penyusunan basis data (spasial dan atribut) serta analisis data. Keempat tahapan tersebut dilakukan pada bulan Juni sampai Desember 2008. Titik-titik stasiun hasil survei pengamatan Allen dan McKenna (2001), Prasetyati (2004), CII (2008) dan Livson (2008) ditampilkan pada Lampiran 1.
3.2 Alat dan Bahan 3.2.1 Alat
Peralatan yang digunakan terdiri atas hardware dan software. Hardware
yang digunakan meliputi personal komputer/notebook, flashdisk, DVD-R, printer,
scanner. Software yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari :
• Er Mapper 7.0, digunakan untuk image processing (penggabungan band,
mosaik citra, pemulihan data citra, penajaman citra, dan klasifikasi citra).
• Arc View 3.3, digunakan untuk proses digitasi peta Lingkungan Pantai
Indonesia (LPI) dan peta kedalaman perairan.
• ArcGIS 9.2, digunakan untuk proses analisis SIG dengan metode cell based modeling.
3.2.2 Bahan
Bahan yang digunakan pada penelitian ini terdiri dari :
1) Data mentah ALOS hasil perekaman tanggal 3 November 2007 dan citra ASTER terkoreksi hasil perekaman tanggal 6 Maret 2007 dari
BAKOSURTANAL.
[image:38.612.211.425.387.535.2]2) Peta LPI skala 1 : 50.000 hasil scan dengan nomor lembar peta : 2215-13, 2215-14, 2215-41, 2215-42, 2215-43, 2215-51, 2215-52, 2215-53, 2215-54 dari Laboratorium Penginderaan Jauh dan SIG Kelautan, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Lembar peta LPI tersebut ditampilkan pada Gambar 6.
Gambar 6. Cakupan peta LPI Kepulauan Togean.
3) Peta Bathymetri Sulawesi-Pantai Timur, Teluk Tomini, Lembar IV, Tojo hingga Selat Walea, skala 1 : 200.000 dari DISHIDROS TNI-AL
4) Data sekunder yang meliputi data biologi (tutupan terumbu karang, jumlah jenis life form karang, jumlah jenis ikan karang) dan data oseanografi (kecerahan perairan, kecepatan arus permukaan, dan kedalaman perairan)
2215-13 2215-41 2215-43
2215-42
2215-14
2215-53
2215-51
2215-54
yang bersumber dari Allen dan McKenna (2001), Prasetyati (2004), CII (2008) dan Livson (2008). Pada Lampiran 2, 3, 4, dan 5 ditampilkan secara detail data hasil survei tersebut. Lampiran 2 ditampilkan nama, koordinat stasiun, data biologi dan oseanografi. Lampiran 3 ditampilkan habitat dasar ekosistem terumbu karang. Lampiran 4 ditampilkan spesies karang dan genus karang. Lampiran 5 ditampilkan jenis ikan karang.
3.3 Metode Penelitian
Metode yang digunakan untuk menghasilkan peta kesesuaian kawasan wisata bahari adalah dengan metode integrasi antara penginderaan jarak jauh dan SIG. Proses untuk menghasilkan peta kesesuaian kawasan wisata bahari ini meliputi 3 tahapan yaitu : 1) pengumpulan data. 2) pengolahan data
penginderaan jauh. 3) penyusunan basis data dan analisis SIG.
3.3.1 Pengumpulan data
Pada tahap ini data yang dikumpulkan meliputi data tutupan terumbu karang, jumlah jenis life form karang, jumlah jenis ikan karang, kecerahan perairan, kecepatan arus permukaan, dan kedalaman perairan. Metode yang digunakan untuk pengambilan data habitat dasar terumbu karang, ikan serta biota laut dijelaskan sebagai berikut :
A) Pengamatan habitat dasar ekosistem terumbu karang yang dilakukan dalam survei Allen dan McKenna (2001), CII (2008) dan Livson (2008)
menggunakan metode transek garis menyinggung (Line Intercept Transect Method). Transek garis dibuat dengan cara membentangkan roll meter
terumbu karang dengan tipe datar (reef flat) dan miring (reef slope) maka transek diletakkan di daerah reef slope dengan kedalaman ± 3 meter dan ± 9 - 10 meter. Pengamatan dilakukan dengan mencatat bentuk-bentuk
pertumbuhan karang (life form) dan kelompok abiotik yang menyinggung transek sesuai dengan nilai yang tercantum pada roll meter.
B) Allen dan McKenna (2001), CII (2008) dan Livson (2008) menggunakan metode pencacahan visual (underwater visual census) untuk memperoleh data ikan karang. Transek yang digunakan merupakan transek garis yang sama seperti pada pengamatan habitat dasar. Pencatat data ikan karang mengambil data ikan karang berupa spesies dan kelimpahannya dengan melihat sejauh 2,5 meter ke kiri dan 2,5 meter ke kanan dari atas transek garis. Allen dan McKenna (2001), melakukan pengambilan data ikan karang dengan waktu berkisar antara 60 - 80 menit, sedangkan CII (2008) dan Livson (2008) melakukan pengambilan data kurang dari 30 menit.
3.3.2 Pengolahan data penginderaan jauh
Pengolahan data penginderaan jauh bertujuan untuk mendapatkan infomasi tentang penutupan substrat dasar perairan dan sebaran kecerahan perairan. Berikut merupakan tahapan pengolahan citra dalam memetakan substrat dasar maupun kecerahan perairan :
1) Mosaik citra : tahap ini dilakukan untuk menggabungkan 2 citra yang bersebelahan. Tahap dilakukan karena lokasi penelitian terdiri dari 2 scene
citra yang terdiri dari citra ALOS scene ALAV2A062873600 dan
2) Pemulihan data citra : tahap ini bertujuan untuk mengembalikan citra sesuai dengan kenampakan aslinya dipermukaan bumi dengan menghilangkan pengaruh distorsi sehingga dihasilkan citra dengan kualitas yang lebih baik. Proses ini terdiri dari dua tahap yaitu :
a ) Koreksi radiometrik
Koreksi radiometrik dilakukan untuk memperbaiki kualitas visual dan sekaligus memperbaiki nilai-nilai piksel yang tidak sesuai dengan nilai pantulan atau pancaran spektral objek yang sebenarnya. Citra yang digunakan ini sudah terkoreksi geometrik sehingga tahap ini tidak perlu dilakukan kembali.
b) Koreksi geometrik
Koreksi geometrik dilakukan untuk melakukan pemulihan citra agar
koordinatnya sesuai dengan koordinat geografi. Citra ALOS yang digunakan ini sudah terkoreksi geometrik, namun koreksi tersebut masih bersifat
sistematis sehingga perlu dilakukan koreksi dengan menggunakan Ground Control Point (GCP). Proses ini dilakukan dengan merujuk kepada citra yang sudah terkoreksi (citra ke citra). Jumlah GCP yang dilakukan adalah sebanyak 30 dengan RMS error 0,232.
3) Penajaman citra (image enhancement) : tahap ini dilakukan untuk mendapatkan tampakan yang kontras pada citra sehingga memudahkan dalam proses interpretasi.
a) Pembentukan citra komposit
b) Transformasi khusus
Pada penelitian ini menggunakan 2 macam transformasi, yaitu transformasi Lyzenga untuk melihat sebaran substrat dasar perairan dan transformasi kecerahan untuk menduga kecerahan perairan pada lokasi penelitian. (1) Transformasi Lyzenga
Proses penajaman ini merupakan proses penggabungan informasi dari dua citra secara spektral melalui band rasioning (menghitung perbandingan nilai dijital piksel setiap saluran). Teknik ini untuk mendapatkan penampakan substrat dasar yang maksimal. Algoritma yang digunakan adalah algoritma Lyzenga yang dikembangkan oleh Susilo dan Gaol (2008) dengan bentuk perumusan sebagai berikut :
)
2
ln(
)
1
ln(
kanal
K
kanal
Y
=
+
×
... (1)2
1
cov
2
2
var
1
var
kanal
kanal
ar
kanal
kanal
a
×
−
=
... (2)) 1 ( 2+
+
=a a
K ... (3) dimana :
Y
= nilai dijital baru/citra hasil ekstraksi dasar perairan1
kanal
= nilai dijital band 1 ALOSvar
= fungsi statistik ragam2
kanal
= nilai dijital band 2 ALOScov
ar
= fungsi statistik peragama
= koefisien untuk penentuan nilai K K = proporsi koefisien atenuasiuntuk menghitung nilai varian dan covarian dari band 1 dan band 2 sehingga diperoleh nilai a serta nilai K.
(2) Transformasi kecerahan
Informasi mengenai tingkat kecerahan perairan diduga dengan formula hasil penelitian Mujito et al. (1997) in LAPAN (2004). Formula yang digunakan adalah sebagai berikut :
Kecerahan (m)
=
17
,
51427
−
0
,
10925
×
kanal
1
... (4) dimana : kanal1 = nilai dijital band 1 ALOS3
[image:44.792.114.681.100.487.2]garis terputus : acuan/hubungan tak langsung
Gambar 7. Tahapan image processing pemetaan substrat dasar perairan dangkal
2 2 Referensi : Mosaik citra Aster terkoreksi Scene ID ALAV2A062873600 Scene ID ALAV2A062873610 Mosaik Koreksi geometrik Cropping
1. Hitung var band 1 & 2 2. Hitung covar band 1 & 2 3. Hitung nilai a
4. Hitung nilai K
Penajaman citra : algoritma Lyzenga ) 2 ln( ) 1
ln(kanal K kanal
Y = + ×
Citra hasil penerapan algoritma Lyzenga
Klasifikasi tak terselia (unsupervised classification)
Peta tematik substrat dasar perairan dangkal
berbasis raster
Komposit band RGB 421
garis terputus : acuan/hubungan tak langsung
2
[image:45.792.126.698.113.484.2]3
Gambar 8. Tahapan image processing pemetaan sebaran kecerahan perairan Referensi :
Mosaik citra Aster terkoreksi
Scene ID
ALAV2A062873600
Scene ID
ALAV2A062873610
Mosaik
Koreksi geometrik
Cropping
Penajaman citra :
Kecerahan (m) =17,51427−0,10925×kanal1
Citra hasil penerapan algoritma kecerahan
Klasifikasi tak terselia (unsupervised classification)
Peta tematik kecerahan perairan
berbasis raster
3.3.3 Penyusunan basis data
(1) Penyusunan basis data dijital (spasial dan non-spasial)
Tahap penyusunan basis data digital meliputi penyusunan basis data spasial dan penyusunan basis data non-spasial.
A. Basis data spasial
Langkah-langkah penyusunan basis data spasial, meliputi :
1) Konversi data raster citra hasil klasifikasi dari format (.ers) ke format bil image (.hdr). Proses ini dilakukan pada softwareER-Mapper.
2) Digitasi peta LPI untuk mendapatkan garis pantai.
3) Digitasi peta bathymetri untuk mendapatkan data kedalaman.
4) Peta tematik dari berbagai parameter yang digunakan untuk kesesuaian wisata snorkeling dan diving. Beberapa peta tematik tersebut diantaranya adalah peta kecerahan perairan, peta tutupan komunitas terumbu karang, peta jenis life form, peta jenis ikan karang, dan peta kecepatan arus. B. Basis data non-spasial (atribut)
Penyusunan basis data non-spasial (atributing) dilakukan dengan menggunakan sotfwareArc View 3.3. Data tersebut meliputi : 1) Data sebaran penutupan karang yang memuat stasiun dan persen
tutupan komunitas karang.
2) Data lifeform karang yang memuat stasiun, jumlah jenis life form. 3) Data ikan karang yang memuat stasiun, jumlah jenis ikan.
4) Data oseanografi yang meliputi : kecerahan perairan, kecepatan arus permukaan, dan kedalaman perairan.
3.3.4 Analisis SIG
layer atau coverage yang menghasilkan basis data spasial. Data-data yang akan dijadikan layer adalah : 1) peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI). 2) peta
bathymetri. 3) peta kontur kecepatan arus. 4) peta substrat dasar perairan. 5) peta kecerahan perairan. 6) peta jenis life form dan 7) peta jenis ikan karang.
Matriks kesesuaian diperlukan untuk melakukan analisis keruangan sesuai tujuan yang ingin dicapai. Analisis spasial/keruangan dibagi atas dua tahap, yaitu : 1) penyusunan matriks kesesuaian lahan. 2) kegiatan overlay
berbasis raster.
Penyusunan matriks kesesuaian merupakan dasar untuk analisis
keruangan. Matriks kesesuaian yang digunakan adalah matriks kesesuaian yang mengandung kriteria-kriteria untuk menentukan kesesuaian lahan untuk
pariwisata. Matriks kesesuaian dan analisis keruangan tersebut yang akan menentukan sesuai atau tidak sesuainya suatu wilayah. Matriks ini diperoleh melalui studi pustaka sehingga dapat diketahui parameter-parameter yang diperlukan untuk berbagai kegiatan wisata, dalam hal ini kegiatan wisata bahari, seperti wisata snorkeling dan wisata diving. Parameter - parameter yang ada pada matriks kesesuaian tersebut tidaklah mutlak melainkan dapat dimodifikasi sesuai potensi dan kondisi biofisik wilayah setempat.
Teknik tumpang susun (overlay) merupakan kemampuan analisis keruangan yang dapat dilakukan secara efektif dalam SIG. Hasil dari analisis keruangan adalah berupa peta kesesuaian wilayah perairan untuk wisata bahari. Teknik overlay yang digunakan pada penelitian ini adalah cell based modeling. Maeden dan Chi (1996) dalam Sengaji (2008), metode cell based modeling
spasial yang tinggi dalam merepresentasikan suatu kondisi di alam. ESRI (2002), kelemahan dari metode ini diantaranya adalah semakin detail resolusi spasial yang digunakan maka akan semakin besar space memori komputer yang akan digunakan dan juga mempengaruhi kecepatan dalam pemrosesan.
Setiap parameter, baik yang berasal dari data spasial maupun data non spasial memiliki kontribusi yang berbeda terhadap tingkat kesesuaian wisata
snorkeling dan diving. Oleh karena itu dalam penentuan bobot dan skor untuk setiap parameter disesuaikan dengan besarnya pengaruh parameter tersebut terhadap nilai kesesuaian. Nilai kesesuaian pada setiap lokasi dihitung berdasarkan : =
=
n i i ij
B
x
S
N
1
... (5) dimana : Nj = total nilai bobot di lokasi-j
i
B = bobot pada setiap parameter-i i
S = skor pada setiap parameter-i
[image:48.612.136.506.575.703.2]Matriks kesesuaian wisata bahari pada jenis wisata snorkeling terdiri dari 6 parameter yang ditampilkan pada Tabel 2, sedangkan matriks kesesuaian wisata bahari pada jenis wisata diving ditampilkan pada Tabel 3.
Tabel 2. Sistem penilaian kelayakan fisik wisata bahari pada jenis wisata snorkeling
Parameter Bobot Bobot (%) S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor
Kecerahan
perairan (%) 5 20,84 100 4 80-<100 3 20-<50% 2 <20 1
Tutupan komunitas
karang (%) 5 20,84 >75 4 >50-75 3 25-50 2 <25 1
Jenis life form 4 16,66 >12 4 <7–12 3 4-7 2 <4 1
Jenis ikan karang 4 16,66 >50 4 30–50 3 10-<30 2 <10 1
Kecepatan arus
(cm/dtk) 3 12,50 0-15 4 >15-30 3 >30-50 2 >50 1
Kedalaman terumbu karang (m)
3 1-3 4 >3–6 3 >6–10 2
>10 1
12,50 <1
TOTAL
(bobotxskor) 24 100 4 3 2 1
100 4
Tabel 3. Sistem penilaian kelayakan fisik wisata bahari pada jenis wisata diving
Parameter Bobot Bobot
(%) S1 Skor S2 Skor S3 Skor N Skor
Kecerahan perairan
(%) 5 20,84 >80 4 50–80 3 20-<50 2 <20 1
Tutupan komunitas
karang (%) 5 20,84 >75 4 >50-75 3 25-50 2 <25 1
Jenis life form 4 16,66 > 12 4 <7–12 3 4-7 2 <4 1
Jenis ikan karang 4 16,66 >100 4 50–100 3 20-<50 2 <20 1
Kecepatan arus
(cm/dtk) 3 12,50 0-15 4 >15–30 3 >30-50 2 >50 1
Kedalaman terumbu
karang (m) 3 6-15 4
>15-20
3 >20–30 2 >30 1
12,50 3-< 6 <3
TOTAL (bobotxskor) 24 3 2 1
Sumber : Yulianda (2007)
Teknik analisis overlay yang digunakan adalah dengan menggunakan langkah operasi kallkulasi data raster (raster calculation) dengan tools raster calculator pada menu spatial analyst pada perangkat lunak Arc GIS 9.2. Secara matematis, proses overlay penentuan kesesuaian wilayah potensial wisata
snorkeling dan diving menggunakan persamaan sebagai berikut :
[([kecerahan] x 20,84) + ([tutupan terumbu karang] x 20,84) + ([jumlah jenis life form] x 16,66) + ([jumlah jenis ikan karang] x 16,66) + ([kecepatan arus] x 12,50) + ([kedalaman perairan] x 12,50)] x 1% ... (6)
kelas Jumlah N N kelas Jumlah S B S B kelas
Selang j j
n i n i i i i i min max 1 1
max ( )
) (
− =
−
= = = ... (7)
dimana : Bi = bobot pada setiap parameter-i i
S = skor pada setiap parameter-i max
j
N = total nilai bobot maksimum di lokasi-j
min j
N = total nilai bobot minimum di lokasi-j
Berdasarkan perhitungan selang kelas sebagaimana telah dirumuskan dalam persamaan (7), klasifikasi kesesuaian fisik wisata bahari pada jenis wisata
snorkeling dan selam (diving) dibagi kedalam empat kategori, meliputi :
S1 = sangat sesuai, dengan selang 3,25 < S1 4
S2 = cukup sesuai, dengan selang 2,5 < S2 3,25
S3 = sesuai bersyarat, dengan selang 1,75 < S3 2,5
N = tidak sesuai, dengan selang 0 < N 1,75
Penjelasan dari masing-masing kelas kesesuaian diuraikan sebagai berikut :
1) Kelas S1 : sangat sesuai (highly suitable)
Daerah ini tidak mempunyai pembatas yang serius untuk menerapkan perlakuan yang diberikan atau hanya mempunyai pembatas yang tidak berarti atau tidak berpengaruh secara nyata terhadap penggunaannya dan tidak akan menaikan masukan/tingkatan perlakuan yang diberikan.
2) Kelas S2 : sesuai (moderately suitable)
3) Kelas S3 : sesuai bersyarat (marginally suitable)
Daerah ini mempunyai pembatas-pembatas yang serius untuk
mempertahankan tingkat perlakuan yang harus diterapkan. Pembatas akan lebih meningkatkan masukan/tingkatan perlakuan yang diperlukan.
4) Kelas N : tidak sesuai (not suitable)
Daerah ini mempunyai pembatas permanen sehingga mencegah segala kemungkinan perlakuan pada daerah tersebut.
Gambar 9. Diagram alir penelitian 3 0 Peta tematik substrat dasar perairan dangkal
Peta bathymetri
DISHIDROS Koreksi geometrik - Digitasi - Editing - Labeling Interpolasi 2D Peta LPI Koreksi geometrik - Digitasi - Editing - Labeling Pengumpulan data Kecerahan perairan Tutupan komunitas karang Jenis life form Jenis ikan karang Kecepatan arus Kedalaman terumbu
karang
Basis data (spasial & atribut)
Pemodelan spasial berbasis sel
Zona potensial wisata
snorkeling dan diving
Peta tematik
31
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Penajaman Citra
4.1.1 Penajaman citra untuk pemetaan substrat dasar perairan dangkal Substrat dasar perairan dangkal dapat dilihat dengan penggunaan
kombinasi band yang terdiri dari 3 filter warna, yaitu dengan kombinasi RGB 421. Proses ini merupakan langkah awal dalam pendugaan substrat dasar perairan dangkal. Melalui proses ini, maka dugaan mengenai sebaran substrat dasar perairan dapat tergambarkan secara spasial. Citra ALOS dengan menggunakan kombinasi RGB 421 ditampilkan pada Gambar 10.
[image:53.612.128.505.330.597.2]
Gambar 10. Citra komposit RGB 421
cyan. Setelah diketahui nilai varian band 1 sebesar 343,57; varian band 2 sebesar 1030,32; covarian band 1 dan band 2 sebesar 531,50 maka diperoleh nilai koefisien atenuasi (K) untuk algoritma Lyzenga sebesar 0,54.
Hasil identifikasi batas darat dan laut melalui band 4 adalah 32 yang berarti proses pengkelasan substrat dasar perairan tidak akan dilakukan pada wilayah-wilayah yang memiliki nilai piksel lebih besar dari 32. Hasil transformasi Lyzenga serta gambar histogram dari citra ALOS ditampilkan pada Gambar 11.
.
[image:54.612.132.501.262.491.2](a) (b)
Gambar 11. (a) Citra ALOS hasil transformasi Lyzenga (b) Histogram hasil Lyzenga
menggunakan citra Landsat 7-ETM+, menunjukkan bahwa terumbu karang hidup memiliki kisaran 10,786 - 10,933, terumbu karang mati memiliki kisaran 10,933 - 11,057, lamun memiliki kisaran 11,057 - 11,200, pasir memiliki kisaran > 11,200. Citra hasil proses transformasi Lyzengabersamaan dengan citra hasil komposit 421 (RGB) tersebut dijadikan sebagai acuan dalam pemberian label pada klasifikasi awal pemetaan substrat dasar perairan
Tabel 4. Luasan masing-masing jenis substrat dasar perairan dangkal
Substrat dasar Km2
Terumbu karang hidup 24,97
Terumbu karang mati 2,20
Pasir 0,52
Lamun 1,27
Tabel 4 memperlihatkan bahwa terumbu karang hidup memiliki luas sebesar 24,97 km2 yang merupakan luasan tertinggi dibandingkan penutupan substrat dasar yang lain, yaitu terumbu karang mati, pasir dan lamun. Terumbu karang mati memiliki luas sebesar 2,20 km2, lamun memiliki luas 1,27 km2, sedangkan substrat dasar pasir memiliki luas 0,52 km2. Genus karang yang selalu ditemukan pada setiap stasiun survei CII (2008) dan Livson (2008) diantaranya adalah Pocillopora dari famili Pocilloporidae dan Porites dari famili
Poritidae. Pada survei Allen dan McKenna (2001) tidak ditemukan genus karang yang yang selalu muncul pada setiap stasiun survei. Sebaran substrat dasar perairan dangkal di Kepulauan Togean ditampilkan pada Gambar 12.
31
pusat keanekaragaman hayati laut dunia dan juga sebagai area yang kaya akan habitat terumbu karangnya, seperti terumbu karang tepi (fringing reef), karang penghalang (barrier reef) dan karang cincin (atoll).
Kepulauan Togean masih cukup kaya akan terumbu karangnya, hal ini terlihat dari sebaran spasial terumbu karang hidup yang menyebar hampir di setiap pesisir pulau. Namun sangat disayangkan, karena masih cukup banyak terdapat terumbu karang mati pada beberapa lokasi tertentu. Terumbu karang mati terdapat di daerah pesisir yang padat penduduk atau dekat pedesaan, seperti desa Kulingkinari, Desa Siatu, Desa Lindo di Pulau Batudaka, Desa Katupat, Desa Melam, Desa Panabali, Desa PulauEnam di Pulau Togean, Desa Tanjung di Pulau Malenge. Terumbu karang yang berada dekat dengan daerah pemukiman penduduk memang merupakan daerah yang sangat rentan terhadap segala aktivitas manusia seperti injakan manusia diatas karang, pelemparan jangkar oleh para nelayan di wilayah karang hidup, perahu kandas/menabrak karang, pencemaran perairan oleh limbah bahan kimiawi maupun limbah domestik (sampah), dan penambangan batu karang (coral mining).
Pada muara Selat Batudaka daerah Teluk Lebiti juga menunjukkan keberadaan terumbu karang mati yang kemungkinan besar disebabkan pula oleh salinitas yang rendah karena masukan air tawar dari daratan seperti yang terjadi pada daerah Teluk Kilat. Selain itu, hampir di setiap lokasi terumbu karang di Kepulauan Togean mengalami kerusakan. Hal ini diduga akibat penggunaan bahan peledak dan pembiusan ikan seperti yang disebutkan dalam Zamani et al.
(2007) bahwa hampir sebagian besar di kawasan Taman Nasional Kepulauan Togean (TNKT) pernah terjadi pemboman dan pembiusan ikan dengan
menggunakan potassium sianida untuk menangkap ikan hidup yang mempunyai nilai ekonomis yang tinggi seperti jenis ikan kerapu.
Informasi pendukung tentang penyebab kerusakan terumbu karang di Kepulauan Togean ditampilkan matrix analisis ancaman terhadap terumbu karang (Tabel 5). Matrix analisis ancaman terhadap terumbu karang
memperlihatkan bahwa ancaman yang paling mempengaruhi kerusakan terumbu karang di P. Kadidi, utara P. Malenge, P. Batudaka, Pasir Tengah Atoll, dan Batumandi Teluk Kilat adalah penggunaan bahan peledak dan potassium sianida
yang digunakan oleh para nelayan untuk menangkap ikan.
Tabel 5. Matriks analisis ancaman terhadap terumbu karang di Kepulauan Togean
Ancaman P.Kadidi P.Malenge Utara P.Batudaka Pasir Tengah
Atoll
Batumandi
Teluk Kilat Indikator
Bahan
Peledak ++ ++ ++ ++ ++
Kerusakan
karang/patahan karang (rubble) dalam jumlah besar dan meliputi area relative luas
Potasium sianida (Potas/bius)
++ ++ ++ ++ ++
Karang pucat (memutih) yang lambat laun ditutupi alga
Sedimentasi - - - - +
Ditunjukkan oleh polip karang yang banyak ditutupi oleh lapisan jelly/lendir Penambangan
karang - - - - +
Tercabutnya badan karang dari substratnya
Lipan laut (Acanthaster
plancii)
+ ++ - + +
Adanya “jalur putih” yang merupakan karang mati akibat pemangsaan oleh lipan laut
Perubahan
lingkungan - - - - +
Kematian secara perlahan yang diakibatkan stress. Catatan: asumsi mengacu pada kematian akibat El Nino ataupun turunnya salinitas akibatpemasukan air tawar Aktivitas manusia di terumbu karang
+ + + + - Patahan khususnya di daerah ujung karang
Sumber : CII (2008).
4.1.2 Penajaman citra untuk pemetaan kecerahan perairan
Kecerahan perairan merupakan parameter yang sangat penting dalam penentuan zona wisata snorkeling dan diving. Parameter ini menjadi prioritas utama dengan nilai bobot 20,84% dalam penentuan zona potensi wisata bahari, khususnya wisata snorkeling dan diving. Perairan yang jernih tentunya akan menarik minat para wisatawan untuk mengunjungi tempat tersebut. Selain akan memudahkan para wisatawan untuk menikmati dan mengagumi semua
keindahan panorama yang ada di bawah laut seperti keindahan terumbu karang, ikan karang dan biota-biota laut lainnya. Kecerahan perairan dapat juga
tersuspensi di perairan tersebut sangat minim, sehingga partikel-partikel yang menempel di terumbu karang pun sangat minim. Keadaan ini membuat karang dengan leluasa melakukan proses fotosintesis untuk menunjang
keberlangsungan hidupnya.
Pada prosesnya untuk menentukan kelas kecerahan perairan, digunakan formula hasil penelitian Mujito et al., (1997) in LAPAN (2004). Formula tersebut memasukkan panjang gelombang biru yang dapat digunakan untuk melihat penetrasi pada tubuh air. Peta tingkat kecerahan perairan hasil algoritma Mujito
et al., (1997) tersebut ditampilkan pada Lampiran 6.
Kecerahan 80% - 99% berarti bahwa cahaya mampu menembus kolom perairan hingga 80% - 99% kedalaman perairan. Lokasi dengan tingkat kecerahan tersebut terlihat di : P. Batudaka (Tg. Copatanah, Ds. Kulingkinari, Tg. Kulingkinari, Ds. Bomba, Tg. Dowo, Ds. Siatu, Tg. Kubur, Tg. Kanao, Tk. Tangkubi, Tg. Keilomba, Tg. Kajonor, Ds. Taningkola, Tg. Batutiga, Tg. Kalemo, Tg. Leo, Tk. Lindo), sebelah utara Pulau Batudaka (Pasir Tengah Atoll, Pulau Pinumota), Pulau Togean (Tg. Timpoon, Ds. Katupat, Tg. Karanji, Ds. Melam, Tg. Tingaul, Ds. Panabali, Tg. Batulunioto), sebelah utara Pulau Togean (sekitar Pulau Pangempa dan Ds. Tongkabo), sekitar Pulau Taupan, sekitar pulau Malenge dan di sebelah utara Pulau Kadidi.
Kecerahan 50% - 79% berarti bahwa cahaya mampu menembus kolom perairan hingga 50% - 79% kedalaman perairan. Lokasi dengan tingkat kecerahan tersebut terlihat di : P. Batudaka (Tg. Copatanah, Tg. Kulingkinari, Ds. Bomba, Tg. Dowo, Tk. Potaro, Ds. Siatu, Tg. Kubur, Tg. Kanao, Tg. Kayome, Tg. Keilomba, Tk. Lindo), sebelah utara Pulau Batudaka yaitu di Pasir Tengah Atoll, Pulau Togean (Tg. Timpoon, Ds. Katupat, Tg. Karanji, Tg. Batulunioto), sebelah utara Pulau Togean (sekitar Pulau Pangempa dan Ds. Tongkabo), sekitar Pulau Taupan, sekitar pulau Malenge dan di sebelah utara Pulau Kadidi.
Kecerahan 20% - 49% berarti bahwa cahaya mampu menembus kolom perairan hingga 20% - 49% kedalaman perairan. Lokasi dengan tingkat
Batulunioto), sebelah utara Pulau Togean (sekitar Pulau Pangempa dan Ds. Tongkabo), sekitar pulau Malenge dan sebelah utara Pulau Kadidi.
4.2 Tutupan Terumbu Karang
Selain kecerahan perairan, nilai tutupan komunitas karang juga
merupakan parameter utama dengan nilai bobot 20,84% dalam penentuan zona wisata snorkeling dan diving. Nilai tutupan komunitas karang ini dinyatakan dalam persen (%) yang dilihat dari salah satu komponen penyusun habitat dasar yaitu nilai persen tutupan dari Hard Coral (HC) yang terdiri dari jenis Acropora
dan nonAcropora.
Menurut data hasil survei lapangan dalam Allen dan McKenna (2001), CII (2008) dan Livson (2008) menunjukkan bahwa nilai tutupan terumbu karang di Kepulauan Togean, khususnya Pulau Una-una, Pulau Batudaka dan Pulau Togean menunjukkan tidak adanya lokasi yang memiliki tutupan karang lebih dari 75%, hal ini berarti tidak ada lokasi dengan kategori sangat sesuai (S1) untuk kegiatan snorkeling dan diving (apabila ditinjau dari nilai tutupan karangnya). Lokasi yang memiliki nilai tutupan karang antara 50% - 75% merupakan lokasi pengamatan dengan kategori sesuai (S2) yang berada pada stasiun 1, 5, 7, 8, 10, 12, 36 - 40, 42, dan 43. Lokasi dengan tutupan karang 25% - 50% merupakan lokasi dengan kategori sesuai bersyarat (S3) yang berada pada stasiun 2 - 4, 6, 9, 13 - 15, 35, dan 41. Lokasi yang memiliki nilai tutupan karang kurang dari 20%, merupakan lokasi dengan kategori tidak sesuai (N), namun pada hasil survei Allen dan McKenna (2001), CII (2008) dan Livson (2008) tidak terdapat titik stasiun yang memilliki tutupan karang yang kurang dari 20%. Peta tutupan karang tersebut ditampilkan pada Lampiran 7.
penurunan jumlah terumbu karang. Pada beberapa titik survei yang sama telah terjadi penurunan tutupan karang hidup (hard coral cover) rata-rata sebesar 12,58%. Hal ini menandakan laju kematian karang setiap tahun (1998 - 2004) mencapai 2,1%. Hal ini juga didukung oleh Anwar dan Sundjaya (2008), yang menyebutkan telah terjadi peningkatan tutupan karang mati sebesar 8,38%. Peta kelas kesesuaian berdasarkan penutupan substrat perairan dangkal untuk wisata snorkeling dan diving ditampilkan pada Lampiran 8.
4.3 Jenis Life Form
Jumlah jenis life form merupakan parameter kedua dengan nilai bobot 16,66% untuk penentuan kesesuaian zona wisata snorkeling dan diving. Beragam life form dengan bentuk dan ragam warna yang memiliki nilai eksotis tinggi ini akan menjadi daya tarik tersendiri bagi para penikmat keindahan alam bawah laut. Semakin beranekaragam jenis life form pada suatu lokasi
penyelaman maka akan semakin memikat hati para penyelam atau para
penikmat keindahan bawah laut untuk melakukan kegiatan snorkeling atau diving
di lokasi tersebut.
Berdasarkan pengamatan terumbu karang yang dilakukan oleh Rapid Assesment Program dalam Allen dan McKenna (2001), CII (2008) dan Livson (2008), hampir pada semua stasiun pengamatan memiliki jumlah jenis life form
lebih dari 12 jenis, diantaranya adalah pada stasiun 1 - 15, 35 - 37, 39, dan 40. Peta jumlah jenis life form ditampilkan pada Lampiran 9.
terdapat jenis-jenis karang endemik. Hasil survei MRAP dalam Allen dan McKenna (2001) menunjukkan bahwa Kepulauan Togean memiliki 262 jenis karang, salah satunya adalah jenis endemik, yaitu Acropora togeanensis. Karang jenis Acropora togeanensis ditemukan di stasiun 2, 11, 14, dan 15. Berdasarkan hasil penelitian Wallace et al. dalam CII (2008), dari total 91 jenis
Acropora yang ditemukan di Indonesia (yang juga merupakan tertinggi di dunia), 78 diantaranya terdapat di Kepulauan Togean.
Daerah dengan substrat dasar terumbu karang hidup dikelaskan sebagai daerah yang sangat sesuai (S1) untuk wisata snorkeling dan diving. Daerah dengan substrat dasar terumbu karang mati dikelaskan sebagai daerah yang sesuai (S2) karena masih memiliki jumlah jenis life form yang cukup banyak. Daerah dengan substrat dasar pasir dikelaskan sebagai daerah sesuai bersyarat (S3). Lamun dikelaskan sebagai daerah yang tidak sesuai (N).
4.4 Jenis Ikan Karang
Selain jenis life form, ikan karang juga merupakan parameter kedua dengan nilai bobot 16,66% untuk penentuan kesesuaian zona wisata snorkeling
sesuai (S2), lokasi ini berada pada stasiun 41. Jumlah jenis ikan antara 10 - 30 jenis ikan merupakan lokasi pengamatan dengan kategori sesuai bersyarat (S3), sedangkan jumlah jenis ikan kurang dari 10 jenis ikan yang merupakan lokasi pengamatan dengan kategori tidak sesuai (N). Lokasi dengan kategori sesuai bersyarat dan tidak sesuai tidak ditemukan pada hasil survei Allen dan McKenna (2001), CII (2008) maupun Livson (2008). Peta jumlah jenis ikan karang
ditampilkan pada Lampiran 10.
Menurut data hasil survei lapangan yang dilakukan oleh Allen dan McKenna (2001), CII (2008) dan Livson (2008), jumlah jenis ikan karang paling banyak ditemukan di stasiun 6 yang terletak di sebelah utara Pulau Una-una sebanyak 230 spesies ikan karang, sedangkan jumlah jenis ikan karang paling sedikit terdapat pada stasiun 41 (Katupat di sebelah utara Pulau Togean) yaitu sebanyak 49 spesies ikan karang.
Jenis-jenis ikan yang selalu ditemukan pada setiap stasiun pengamatan survei dalam Allen dan McKenna (2001) d