• Tidak ada hasil yang ditemukan

Potensi kawasan budidaya keramba perikanan laut menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) di wilayah Kepulauan Seribu, DKI Jakarta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Potensi kawasan budidaya keramba perikanan laut menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) di wilayah Kepulauan Seribu, DKI Jakarta"

Copied!
182
0
0

Teks penuh

(1)

Oleh:

Githa Prima Putra C54061123

SKRIPSI

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(2)

DAN SYAMSUL BAHRI AGUS .

Indonesia memiliki potensi lahan budidaya laut sekitar 12.14 juta ha dengan total panjang garis pantai 81.000 km, lahan yang telah termanfaatkan baru mencapai sekitar 42.676 km2 (Ditjen Perikanan Budidaya, 2009). Hal tersebut menggambarkan bahwa masih banyak lahan yang berpotensi untuk budidaya laut yang masih belum termanfaatkan. Jenis dan keanekaragaman hayati wilayah laut merupakan bekal dan tolak ukur usaha budidaya yang prosfektif, komoditas yang dikembangkan merupakan komoditas yang bernilai ekonomis penting seperti ikan bandeng, ikan kerapu, ikan kakap, rajungan dan masih banyak lagi komoditas budidaya laut yang memiliki nilai ekonomis penting lainnya.

Penelitian dilakukan pada bulan November 2010 sampai dengan Februari 2011 di Labolarorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis,

Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan,Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pengambilan data dilakukan pada tanggal 11-12

November 2010, lokasi pengambilan data berada diwilayah Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Secara geografis Lokasi dan objek penelitian terletak antara 5°37′47′′- 5°46′8′′ LS dan 106°31′20′′- 106°38′36′′ BT yang meliputi Pulau Air, Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Karang Lebar, Karang Congkak, Pulau Semak Daun, Pulau Harapan, Pulau Kelapa, hingga Pulau Panjang yang berada pada Kecamatan Kepulauan Seribu Utara.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode cell base modelling, baik yang dilakukan pada analisis spasial dari setiap parameter maupun untuk overlay dari keseluruhan parameter dalam bentuk spasial. Terdapat beberapa tahapan yang dilakukan dalam melakukan analisis data spasial pada penelitian ini, tahapan tersebut terdiri dari pengumpulan data, pengolahan citra satelit, dan penyusunan basis data serta analisis data.

Luas dari wilayah kajian dalam penelitian ini yaitu sekitar 14723.76 ha dimulai dari Pulau Air di Sebelah Selatan hingga Pulau Kelapa Dua di sebelah Utara. Dari kajian ini diperoleh daerah potensial untuk pengembangan lokasi budidaya keramba jaring apung dan jaring tancap yang luasnya mencapai sekitar 2305.46 ha. Luas keseluruhan kawasan potensial tersebut terdiri dari lokasi yang dikategorikan sangat sesuai memiliki luas sekitar 351.89 ha, serta wilayah yang termasuk kedalam kategori sesuai memiliki luas sekitar 1953.57 ha.

(3)

Oleh :

GITHA PRIMA PUTRA

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan Pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan

Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU DAN TEKNOLOGI KELAUTAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

(4)

Dengan ini saya menyatakan bahwa Skripsi yang berjudul:

POTENSI KAWASAN BUDIDAYA KERAMBA PERIKANAN LAUT MENGGUNAKAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI WILAYAH KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

adalah benar merupakan hasil karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Skripsi ini.

Bogor, Agustus 2011

(5)

©

Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

(6)

INFORMASI GEOGRAFIS (SIG) DI WILAYAH KEPULAUAN SERIBU, DKI JAKARTA

Nama Mahasiswa : Githa Prima Putra Nomor Pokok : C54061123

Departemen : Ilmu dan Teknologi Kelautan

Menyetujui,

Dosen Pembimbing Utama Dosen Pembimbing Anggota

Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Si Syamsul Bahri Agus S.Pi, M.Si NIP. 19580909 198303 1 003 NIP. 19720726 200501 1 002

Mengetahui,

Tanggal lulus : 18 Juli 2011

Ketua Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan

(7)

i

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala limpahan rahmat, hidayah, serta inayah yang diberikan, sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi yang berjudul Potensi Kawasan Budidaya Keramba Perikanan Laut Menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG) Di Wilayah Kepulauan Seribu, DKI

Jakarta diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ilmu Kelautan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Mama dan Papa , Siti Lailani dan Suparlin besarta seluruh keluarga besar atas dukungan dan motivasinya.

2. Prof. Dr. Ir. Setyo Budi Susilo, M.Si dan Syamsul Bahri Agus S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing yang telah membantu penulis dalam proses penyelesaian tugas akhir.

3. Syamsul Bahri Agus S.Pi, M.Si selaku dosen pembimbing sekaligus guru bagi penulis yang telah banyak memberikan ilmunya.

4. Dr. Ir. Henry M Manik, M.T selaku Ketua Komisi Pendidikan Sarjana.

5. Bapak/Ibu dosen dan staf penunjang Departemen ITK atas bantuannya selama penulis menjalankan studinya di IPB.

6. Muhammad Iqbal dan Anggi Afif Muzaki atas bantuan ilmu yang diberikan kepada penulis.

(8)

ii

Iskandarsyah, Achmad Rifai, Herbeth Taruli marpaung, Fajar Ahmad Gumilar dan La Ode Ahmad Mustari atas bantuan, semangat, dan masukan yang diberikan selama penelitian.

8. Bapak Asmadin dan Cristiadi Triyatna teman satu perjuangan pada saat pengerjaan skripsi.

9. Teman-teman seperjuangan ITK 43 dan seluruh warga ITK yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu.

10. Seluruh anggota Klub MIT (Marine Insrument and Telemetry) yang tidak henti-hentinya memberi dukungan.

11. Utet Hildaliyani atas bantuan, motivasi, serta nasehat serta kasih sayang yang diberikan selama penulis menjalani studi.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu saran dan kritik sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata penulis berharap agar skripsi ini berguna bagi diri sendiri maupun orang lain.

Bogor, Agustus 2011

(9)

iii

2.2.2. Pemilihan Lokasi Budidaya Perikanan Laut ... 7

2.3. Sistem Informasi Geografis (SIG) ... 11

3.5.1. Pemrosesan Data Citra Satelit untuk Karakteristik Dasar Perairan ... 25

3.5.2. Pemrosesan Data Citra Satelit untuk Keterlindungan Perairan ... 26

3.6. Penentuan Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Perikanan Keramba Jaring Apung dan Keramba Jaring Tancap ... 27

4 HASIL DAN PEMBAHASAN ... 31

4.1. Pendugaan Parameter Zona Potensial Budidaya dengan Satelit 31 4.1.1. Pengolahan Awal Citra Satelit ... 31

4.1.2. Substrat Dasar Perairan Dangkal ... 32

4.1.3. Keterlindungan Lokasi ... 38

4.2. Analisis Spasial Parameter Kualitas Air ... 42

4.2.1. Suhu Perairan ... 42

(10)

iv

4.2.3. Oksigen Terlarut ... 48

4.2.4. Potential of Hydrogen (pH) ... 51

4.2.5. Total Dissolved Solid (TDS)... 54

4.3. Kedalaman Perairan ... 57

4.4. Kecepatan Arus ... 60

4.4. Analisis Lokasi Kesesuaian Budidaya Perikanan Laut ... 65

5 KESIMPULAN DAN SARAN ... 70

5.1 Kesimpulan ... 70

5.1 Saran ... 71

DAFTAR PUSTAKA ... 72

(11)

v

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Data Vektor ... 12

2. Data Raster ... 13

3. Ilustrasi Operasi Piksel pada Cell Based Modelling ... 14

4. Sistem Pengideraan Jarak Jauh ... 16

5. Skema Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite) ... 17

6. Lokasi Penelitian ... 20

7. Diagram Alir Penelitian ... 23

8. Peta Stasiun Sampel Kualitas Air ... 24

9. Titik Ground Control Point (GCP) ... 32

10. Komposit Citra ALOS RGB 321 ... 34

11. Klasifikasi Substrat Dasar Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ... 35

12. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Substrat Dasar Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ... 36

13. Keterlindungan Lokasi Perairan Kepulauan Seribu,DKI Jakarta ... 40

14. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Keterlindungan Lokasi Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ... 41

15. Sebaran Suhu Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ... 43

16. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Suhu Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ... 44

17. Sebaran Salinitas Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ... 46

18. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Salinitas Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ... 47

19. Sebaran DO Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ... 49

20. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan DO Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ... 50

21. Sebaran pH Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ... 52

22. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan pH Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ... 53

23. Sebaran TDS Terlarut Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ... 55

24. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan TDS Terlarut Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ... 56

25. Kedalaman Perairan Kepulauan Seribu ... 58

26. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Kedalaman Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ... 59

27. Grafik Pasang Surut Perairan Kepulauan Seribu ... 61

28. Sebaran Kecepatan Arus Permukaan Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ... 63

29. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Kecepatan Arus Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta ... 64

(12)

vi

DAFTAR TABEL

(13)

vii

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Spesifikasi Alat ... 76

2. Data Ground control Point (GCP) dan RMS report ... 79

3. Kalkulasi Koefisien Attenuasi Perairan (ki/kj) ... 82

(14)

1

1.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia memiliki potensi lahan budidaya laut sekitar 12.14 juta ha dengan total panjang garis pantai 81.000 km, lahan yang telah termanfaatkan baru mencapai sekitar 42.676 km2 (Ditjen Perikanan Budidaya, 2009). Hal tersebut menggambarkan bahwa masih banyak lahan yang berpotensi untuk budidaya laut yang masih belum termanfaatkan. Selain itu permintaan pasar terhadap produk perikanan semakin meningkat, untuk itu dalam memenuhi permintaan tersebut tidak dapat hanya mengandalkan dari sektor penangkapan. Salah satu cara untuk mengatasi permasalahan ini yaitu melalui kegiatan budidaya ikan dengan

menggunakan keramba jaring apung dan keramba jaring tancap.

Pemilihan lokasi pengembangan usaha budidaya merupakan syarat utama yang secara teknis harus dipenuhi. Pemilihan dan penentuan lokasi lahan

budidaya perikanan laut harus didasarkan pertimbangan ekologis, teknis, higienis, sosio-ekonomis, dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pemilihan lokasi seharusnya dilakukan dengan mempertimbangkan gabungan beberapa faktor yang dikaji secara menyeluruh. Usaha komoditas ini perlu

disesuaikan dengan daya dukung lahan dan tata ruang potensi dari suatu hamparan atau kawasan, yang pada akhirnya dapat menjadikan kegiatan usaha yang

berkesinambungan.

(15)

kawasan budidaya memerlukan banyak parameter penyusunnya, hal tersebut memerlukan analisis yang kompleks dan tidak mudah dilakukan. Melalui penggunaan metode Sistem Informasi Geografis (SIG) serta penerapan metode analisis spasial akan sangat membantu dalam menganalisa perencanaan kawasan budidaya perikanan laut. Penelitian terdahulu yang mengkaji mengenai

kesesuaian kawasan budidaya dengan menggunakan sistem informasi geografis diantaranya dilakukan oleh Sulma et al (2005), Mainassy et al (2005) dan Nurdin et al (2008).

1.2. Tujuan

(16)

3

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Keadaan Wilayah Umum Kepulauan Seribu

Kepulauan Seribu terletak pada 106o20′00′′ BT hingga 106o57′00′′ BT dan 5o10′00′′ LS hingga 5o57′00′′ LS yang terbentang dari Teluk Jakarta di Selatan hingga Pulau Sebira di Utara yang merupakan pulau terjauh dengan jarak kurang lebih 150 km dari pantai Jakarta Utara (Muzaki, 2008). Lokasi Kepulauan Seribu mempunyai batas-batas wilayah secara umum adalah sebagai berikut : sebelah Utara adalah Laut Jawa dan Selat Sunda, sebelah Timur berbatasan dengan Laut Jawa, sebelah Barat berbatasan dengan Laut Jawa dan Selat Sunda, serta sebelah Selatan berbatasan dengan Teluk Jakarta dan Tanggerang Banten (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007).

Luas wilayah Kepulauan Seribu ± 8,7 km2 terdiri dari perairan dan daratan pulau-pulau. Terdapat 103 buah pulau yang tersebar didalam beberapa gugus pulau, dengan jumlah penduduk ± 21.071 jiwa yang bermukim di 11 pulau yang penyebarannya lebih terkonsentrasi di Kecamatan Kepulauan Seribu Utara yaitu berjumlah ± 12.742 jiwa, sedangkan jumlah penduduk di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan berjumlah 8.329 jiwa (BPS, 2010).

2.1.1. Topografi

(17)

Kawasan ini terdiri dari gugus pulau-pulau yang sangat kecil, 86 gosong pulau dan hamparan laut dangkal pasir karang pulau sekitar 2.136 hektar (reef flat seluas 1.994 ha, laguna seluas 119 ha, selat seluas 18 ha dan teluk seluas 5 ha), terumbu karang dengan tipe karang fringing reef, mangrove dan lamun bermedia tumbuh sangat miskin hara/ lumpur, dan kedalaman dangkal sekitar 0-40 m (Kementrian Negara Lingkungan Hidup, 2007).

2.1.2. Hidro-oseanografi

Kondisi perairan gugus Kepulauan Seribu pada umumnya memiliki

karakteristik yang relatif beragam pada setiap pulaunya. Tipe pasang surut (pasut) tahunan di Kepulauan Seribu adalah pasang surut harian tunggal (diurnal), dimana dalam satu hari terdapat satu kali pasang dan satu kali surut dengan periode pasut selama 24 jam 50 menit (Ali et al, 1994). Kedudukan air tertinggi sebesar 6 dm diatas duduk tengah,dan kedudukan air terendah sebesar 5 dm di bawah duduk tengah. Rata-rata tunggang air pada pasang perbani (masa pertengahan bulan) adalah 9 dm, dan rata-rata tunggang air pada pasang mati (masa seperempat bulan akhir) adalah 2 dm (Miharja dan Pranowo, 2001). Suhu permukaan di Kepulauan Seribu pada musim barat berkisar antara 28.5°C-30.0°C. Pada musim timur suhu permukaan berkisar antara 28.5°C-31.0°C, Salinitas permukaan berkisar antara 30%-34% pada musim barat maupun pada musim timur.

(18)

dari 0.5 meter (Dishidros dalam Miharja dan Pranowo, 2001). Kecepatan arus permukaan pada musim timur berkisar antara 0.10-0.17 m/detik, kecepatan reletif lebih besar terjadi pada musim barat yaitu sekitar 0.43 m/detik.

2.1.3. Iklim

Cuaca di Kepulauan Seribu dipengaruhi oleh musim hujan, musim kemarau, diantara kedua musim tersebut terdapat musim peralihan. Kondisi laut pada saat itu biasanya berubah-ubah, tetapi relatif tenang (LAPI-ITB, 2001). Musim hujan terjadi bulan November – April dengan banyaknya hari hujan antara 10 – 20 hari per bulan, dan curah hujan terbesar terjadi pada sekitar bulan Januari. Musim kemarau terjadi bulan Mei – Oktober dengan banyaknya hari hujan antara 4 – 10 hari per bulan, dan curah hujan terkecil terjadi pada sekitar bulan Agustus (Kementerian Negara Lingkungan Hidup, 2007). Sedangkan musim peralihan terjadi pada bulan April – Mei dan Oktober – November. Dalam hal ini cuaca buruk sering terjadi dalam bulan Desember – November, dan cuaca baik umumnya terjadi pada bulan Juni – Oktober (Dishidros dalam Miharja dan Pranowo, 2001).

Keadaan angin di Kepulauan Seribu sangat dipengaruhi oleh angin monsoon yang secara garis besar dapat dibagi menjadi angin musim barat (Desember-Maret) dan angin musim timur (Juni-September). Musim peralihan terjadi antara bulan April-Mei dan Oktober-Nopember. Kecepatan angin pada musim barat bervariasi antara 7-20 knot per jam, yang umumnya bertiup dari barat daya sampai barat laut. Angin kencang dengan kecepatan 20 knot per jam

(19)

angin berkisar antara 7-15 knot per jam yang bertiup dari arah timur sampai tenggara.

2.2. Budidaya Perikanan Laut

2.2.1. Definisi Budidaya Perikanan Laut

Budidaya perikanan laut merupakan budidaya yang dilakukan di perairan laut yang kadar garam berkisar antara 30-35 ppt (Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, 2010). Budidaya laut dilakukan untuk meningkatkan produksi perikanan laut dengan memanipulasi laju pertumbuhan, mortalitas dan reproduksi. Kegiatan budidaya telah dilakukan sejak dulu yaitu pemeliharaan pada media air dengan pemberian makanan untuk biota yang dipelihara.

Kegiatan budidaya ikan laut pada umumnya dilakukan menggunakan keramba jaring apung dan keramba jaring tancap. Budidaya ikan dengan menggunakan karamba merupakan alternatif wadah budidaya ikan yang sangat potensial untuk dikembangkan karena seperti yang telah diketahui bahwa wilayah Indonesia ini terdiri dari 70% perairan baik air tawar maupun air laut. Dengan menggunakan wadah budidaya karamba dapat diterapkan beberapa sistem budidaya ikan yaitu secara ekstensif, semi intensif maupun intensif disesuaikan dengan kemampuan para pembudidaya ikan. Teknologi yang digunakan dalam membudidayakan ikan dengan karamba ini relatif tidak mahal dan sederhana, tidak memerlukan lahan daratan menjadi badan air yang baru serta dapat meningkatkan produksi perikanan budidaya.

(20)

2.2.2. Pemilihan Lokasi Budidaya Perikanan Laut

Pemilihan lokasi untuk budidaya memegang peranan yang sangat penting. Pemilihan lokasi yang tepat akan mendukung kesinambungan usaha dan target produksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penentuan kesesuaian perairan untuk budidaya ikan khususnya pada keramba dapat digolongkan menjadi dua bagian. Pertama adalah faktor kesesuaian fisik/teknis wilayah perairan dan kedua adalah faktor kesesuaian sosial ekonomi (sosek) masyarakat (LAPAN, 2004). Menurut Murdjani (2003), faktor teknis adalah persyaratan yang harus dipenuhi dalam kegiatan budidaya yang meliputi diantaranya pemilihan lokasi budidaya, struktur kerangka keramba yang digunakan,

ketersediaan atau kemudahan transportasi, serta hal-hal lainnya yang berkaitan secara langsung terhadap proses kegiatan budidaya. Beberapa parameter fisik yang perlu diperhatikan itu diantaranya yaitu keadaan angin, gelombang, kedalaman perairan, keterlindungan, substrat dasar, serta kualitas air. Beberapa parameter kualitas air yang menjadi perioritas, diantaranya yaitu:

a. Kecerahan

Perairan yang jernih secara visual menandakan adanya kualitas air yang baik, karena dalam air yang jernih umumnya kandungan partikel terlarut yang rendah. Pada air yang mempunyai tingkat kecerahan tinggi, beberapa parameter kualitas air yang terkait erat dengan bahan organik seperti NO2, H2S, dan NH3 cenderung rendah.

(21)

masuk dalam media air, sehingga dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan fitoplankton. Disamping itu keadaan blooming plankton juga dapat menyebabkan kematian (Murdjani, 2003).

b. Salinitas

Pada umumnya perairan terumbu karang memiliki salinitas 30-35 ppt. Oleh karena itu lokasi hendaknya tidak dekat dengan muara sungai, karena pada wilayah muara sungai salinitas cenderung fluktuatif. Salinitas yang tidak sesuai dengan kebutuhan budidaya dapat menyebabkan gangguan kesehatan,

pertumbuhan, serta nafsu makan terhadap biota yang dibudidaya (Tiskiantoro, 2006). Hal ini disebabkan secara fisiologis salinitas akan mempengaruhi fungsi organ osmoregulator ikan. Perbedaan salinitas air media pada tubuh ikan akan menyebabkan gangguan keseimbangan.

c. Derajat Keasaman (pH)

(22)

d. Suhu

Suhu secara langsung berpengaruh terhadap metabolisme ikan. Pada suhu tinggi metabolisme dipacu, sedangkan pada suhu rendah proses metabolisme diperlambat. Bila terjadi hal seperti ini dan berlangsung lama maka akan menggangu proses metabolisme dari ikan, sehingga untuk pemilihan lahan budidaya hendaknya memilih lokasi yang memiliki kisaran suhu yang stabil. Peningkatan 10 °C suhu perairan meningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2 - 3 kali lipat (LAPAN, 2004). Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu

peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti gas-gas O2, CO2, N2, CH4 dan sebagainya. Kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air juga memperlihatkan peningkatan dengan naiknya suhu yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen.

Suhu dapat berpengaruh terhadap perkembangan hama dan penyakit pada ikan. Suhu perairan pada umumnya tidak berubah antara lokasi satu dengan yang lainnya kecuali suatu daerah terdapat kegiatan-kegiatan yang menyebabkan naik atau turunnya suhu di suatu perairan seperti, kawasan perindustrian yang

membuang limbanya langsung ke perairan. Dalam menentukan lokasi budidaya hendaknya jauh dari kawasan industri yang menghasilkan banyak limbah. e. Amoniak

(23)

Menurut Boyd (1982) tingkat keracunan NH3 berbeda- beda untuk tiap spesies, tetapi pada kadar 0.5 mg/l dapat berbahaya bagi organisme. Kadar amoniak yang ideal untuk suatu perairan yaitu berkisar antara 0.25-0.45 mg/l.

f. Oksigen Terlarut

Konsentrasi dan ketersediaan oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi ikan yang dibudidayakan. Oksigen terlarut sangat dibutuhkan bagi kehidupan ikan dan organisme air lainnya. Konsentrasi oksigen dalam air dapat mempengaruhi pertumbuhan, konversi pakan, dan mengurangi daya dukung perairan. Selain itu Oksigen terlarut di perairan sangat dibutuhkan sumua organisme yang ada di dalamnya untuk proses respirasi dalam rangka

melangsungkan metabolisme dalam tubuh. Ikan akan hidup dengan baik pada kandungan oksigen 5–8 ppm (BBL Lampung, 2001).

g. Bahan Organik

Bahan organik merupakan berbagai bentuk ikatan kimia karbon dan hidrogen dengan unsur-unsur lain yang terikat pada atom karbon. Bahan organik dalam perairan biasanya berasal dari sisa-sisa organisme yang telah mati maupun yang berasal dari daratan yang dibawa oleh sungai. Pengaruh bahan organik secara langsung terhadap organisme yang dipelihara yaitu dapat mengakibatkan gangguan sistem pernapasan.

h. Sumber Polutan

(24)

pertanian. Selain itu sumber polutan dapat berasal dari pakan ikan yang dibudidayakan itu sendiri, pakan ikan yang tidak termakan akan jatuh ke dasar perairan jika jumlahnya berlebih maka akan menimbulkan yang signifikan terhadap perubahan lingkungan perairan (Prihadi et al, 2008). Hendaknya untuk memilih lokasi yang akan digunakan dalam kegiatan budidaya jauh dari sumber-sumber polutan.

2.3. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis adalah alat untuk mengumpulkan,

menyimpan, menayangkan kembali data spasial dari dunia nyata (real world) untuk kepentingan-kepentingan tertentu (Prahasta, 2001). Sistem informasi geografis sering juga diartikan sebagai suatu integrasi dari perangkat keras dan lunak beserta manusianya yang dapat membantu dalam mempresentasikan dan menganalisis data berbasis geografi. Sistem ini mereferensi koordinat dunia nyata. SIG dapat juga menyimpan data atribut yang mengandung informasi yang menjelaskan fitur peta. Informasi ini biasanya diletakan terpisah dari data grafis, dalam suatu file database, tetapi tetap terkait dengan data grafis yang ada.

(25)

yang bersangkutan hingga dimensi waktu, data ini sering disebut juga data non spasial.

Data spasial dapat direpresentasikan dalam dua format yaitu data vektor dan data raster (GIS Konsorsium Aceh Nias, 2007). Data vektor merupakan bentuk bumi yang direpresentasikan dalam bentuk garis, area, titik dan nodes (titik perpotongan antar dua garis). Sementara data raster atau data grid yaitu data yang dihasilkan dari sistem penginderaan jarak jauh. Pada data raster, objek

direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut dengan piksel. Resolusi tergantung pada ukuran piksel, dengan kata lain resolusi piksel menggambarkan ukuran sebenarnya di permukaan bumi yang diwakili oleh setiap pikselnya. Contoh dari data vektor dan data raster seperti yang terdapat pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Sumber: ESRI (2002)

(26)

Sumber: ESRI (2002)

Gambar 2. Data Raster

Analisis dalam SIG dikenal suatu metode yang disebut cell based modelling. Menurut ESRI (2002), cell based modelling merupakan analisis

spasial pada data raster yang bekerja berdasarkan sel atau piksel. Operasi piksel pada cell based modelling dibagi menjadi lima kelompok (Gambar 3), yakni meliputi :

1) Local function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan satu sel dimana nilai piksel output ditentukan oleh satu piksel input.

2) Focal function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan beberapa sel terdekat.

3) Zonal function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan suatu kelompok sel yang memiliki nilai atau keterangan yang sama.

4) Global function yang melibatkan keseluruhan sel dalam data raster dan gabungan antara keempat kelompok tersebut.

(27)

Local Function

Focal Function

Zonal Function Global Function

Sumber: ESRI (2002)

Gambar 3. Ilustrasi Operasi Piksel pada Cell Based Modelling

(28)

terintegrasi terhadap kriteria pengembangan budidaya perikanan laut dibandingkan dengan metode lain yang menggunakan teknik analitik dan pembuatan peta secara manual.

2.4. Penginderaan Jarak Jauh

Penginderaan jarak jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Perolehan data penginderaan jarak jauh dapat dilakukan baik dengan sensor aktif maupun pasif. Sensor pasif merekam radiasi elektromagnetik alami yang dipantulkan atau dipancarkan oleh bumi. Sensor aktif seperti radar dan sonar dimana mencari permukaan bumi dengan radiasi elektromagnetik buatan dan kemudian merekam sejumlah fluks radian yang dikembalikan kepada sensor (Jensen, 1996 dalam Faisal, 2009).

Proses penginderaan jarak jauh dengan energi elektromagnetik untuk sumber daya alam meliputi dua hal yaitu pengumpulan data dan analisis data. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990) elemen pengumpulan data meliputi sumber energi, perjalanan energi menuju atmosfer, interaksi antara energi dengan

(29)

Sumber : Canada Center for Remote Sensing (2003)

Gambar 4. Sistem Penginderaan Jarak Jauh

Keterangan: A = Sumber Energi; B = Radiasi Elektromagnetik dan Atmosfer; C = Interaksi dengan objek; D = Perekaman energi oleh sensor; E = Transmisi, penerimaan, serta pemrosesan; F = Analisis data penginderaan jarak jauh; G = Aplikasi data penginderaan jarak jauh

Aplikasi dalam penginderaan jarak jauh dapat digunakan untuk

mendapatkan informasi-informasi yang terkandung di permukaan bumi (daratan) dan juga dapat digunakan untuk mendeteksi objek-objek di dasar perairan dengan menggunakan sistem akustik contohnya dalam pemetaan batimetri. Informasi dapat diperoleh melalui penginderaan jarak jauh antaranya mengetahui luas penutupan lahan (mangrove, terumbu karang, sawah, perkebunan), estimasi atau pengukuran suhu permukaan, klorofil, dan TSS. Selain itu penginderaan jarak jauh dapat pula diaplikasikan dalam pembuatan potensi wisata (Jakti, 2009).

(30)

dapat dilakukan secara berulang-ulang dengan periode tertentu tergantung dari resolusi temporal satelit (Faisal, 2009).

2.5. Advanced Land Observing Satellite (ALOS)

ALOS merupakan satelite milik Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA ) yang diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006, dari komplek

peluncuran Yoshinobu, Tanegashima Space Center Jepang. Satelite ALOS merupakan generasi setelah satelit japanese Earth Resources Satellite (JERS-1) yang digunakan untuk melakukan observasi terhadap permukaan bumi. Instrumen Satelit ALOS disajikan pada Gambar 7.

Sumber: JAXA (2010)

Gambar 5. Skema Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite)

Satelit ALOS membawa tiga sensor remote sensing (Faisal, 2009), yaitu Panchromatic Remote Sensing Instrumen for Stereo Mapping (PRISM) yang

digunakan untuk memetakan topografi permukaan bumi, Advance Visible and Near Infrared Radiometer 2 (AVNIR-2 ) untuk observasi permukaan bumi

(31)

(PALSAR ) untuk observasi permukaan bumi pada setiap waktu (malam-siang) dan pada kondisi cuaca apa pun.

AVNIR-2 adalah radiometer cahaya tampak dan infra merah dekat untuk observasi daratan dan wilayah pesisir. AVNIR-2 merupakan pengembangan dari AVNIR yang dibawa oleh satelit ADEOS. Adapun karakteristik dari citra ALOS yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Citra ALOS International

Designation Code 2006-002A

Waktu Peluncuran 24 Januari 2006 pukul 10:33 Kendaraan Peluncur H-IIA Launch Vehicle No.8 Lokasi Peluncuran Tanegashima Space Center

Perlengkapan

Box shape with a solar array paddle, phased array type L-band synthetic aperture radar (PALSAR),

and data relay satellite communication antenna Main body: about 6.2m x 3.5m x4 .0m

Solar Array Paddle: Approx. 3.1m x 22.2m PALSAR Antenna: Approx. 8.9m x 3.1m

Berat 4.000 kg

Orbit Sun-Synchronous Subrecurrent/ Recurrent Perid:Approx. 46day

Ketinggian 700 km Injklinasi 98 degrees

periode 99 menit

Kontrol Ketinggian Three-axis stabilization (High accuracy attitude control orbit determination function)

Band AVNIR

Band 1 : 0.42 to 0.50 micrometers Band 2 : 0.52 to 0.60 micrometers Band 3 : 0.61 to 0.69 micrometers Band 4 : 0.76 to 0.89 micrometers Sumber: JAXA, 2010

(32)
(33)

3. BAHAN DAN METODE

3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian berada diwilayah Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Kepulauan Seribu terdiri dari dua wilayah Kecamatan, yaitu Kecamatan

Kepulauan Seribu Utara dan Kecamatan Pulau Seribu Selatan. Secara geografis Lokasi dan objek penelitian terletak antara 5°37′47′′- 5°46′8′′ LS dan 106°31′20′′- 106°38′36′′ BT yang meliputi Pulau Air, Pulau Pramuka, Pulau Panggang, Karang Lebar, Karang Congkak, Pulau Semak Daun, Pulau Harapan, Pulau Kelapa, hingga Pulau Panjang yang berada pada Kecamatan Kepulauan Seribu Utara seperti yang terdapat pada Gambar 6.

(34)

Penelitian ini secara umum mencakup 3 tahapan pengerjaan yaitu survei lapang dan pengambilan data kualitas air pada tanggal 11-12 November 2010, pengolahan citra satelit ALOS, dan tahapan yang terakhir yaitu penyusunan basis data serta analisis data yang dilaksanakan di Laboratorium Penginderaan Jauh dan Sistem Informasi Geografis, Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

3.2. Alat dan Bahan 3.2.1. Alat

Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini yaitu: 1. GPS (Global Possitioning System)

2. Water Quality Checker

3. Perangkat Lunak Image Processing 4. Seperangkat Komputer

3.2.2. Bahan

Bahan dan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Citra satelit ALOS AVNIR-2

(35)

3.3. Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode cell base modelling, baik yang dilakukan pada analisis spasial dari setiap parameter maupun untuk overlay dari keseluruhan parameter dalam bentuk spasial. Analisis data spasial

merupakan bagian dalam pengolahan data dengan menggunakan SIG. Terdapat beberapa tahapan yang dilakukan dalam melakukan analisis data spasial pada penelitian ini, tahapan tersebut terdiri dari pengumpulan data, pengolahan citra satelit, dan penyusunan basis data serta analisis data. Tahapan-tahapan penentuan kesesuaian perairan budidaya perikanan laut dapat dilihat pada Gambar 7 .

3.4. Pengumpulan Data

Penentuan kesesuaian lahan budidaya ikan pada keramba jaring apung dan keramba jaring tancap dilakukan melalui integrasi antara penginderaan jauh dengan sistem informasi geografis, untuk itu diperlukan data yang menunjang dalam pengolahan. Data yang diperlukan diperoleh melaui survei lapang serta pengumpulan data sekunder. Data yang diperoleh dari hasil survei lapang yaitu data kualitas air (salinitas, suhu, DO, pH, TDS) dan titik lokasi keramba. Peta lokasi pengambilan sampel kualitas air terdapat pada Gambar 8.

Data sekunder yang dipakai pada penelitian ini yaitu data pasang surut, angin, dan batimetri, sementara itu data substrat dasar perairan dan keterlindungan wilayah diperoleh melalui pengolahan citra satelit. Dalam pengolahan

(36)

23 Gambar 7. Diagram Alir Penelitian

Citra Satelit

Data Sekunder Survei Lapang

(37)
(38)

3.5. Pengolahan Data Penginderaan Jauh

Pengolahan data penginderaan jauh dilakukan untuk mendapatkan informasi mengenai karakteristik substrat dasar perairan dan keterlindungan perairan. Pengolahan citra dimulai dengan penajaman citra (image enhancement) dengan melakukan penajaman spektral, pemulihan citra (image restoration) yang terdiri atas koreksi radiometrik yang digunakan untuk mendapatkan nilai emisi yang bebas dari kesalahan sensor serta koreksi geometrik dengan menggunakan acuan peta rupa bumi serta pemotongan citra (image cropping).

3.5.1. Pemrosesan Data Citra Satelit untuk Karakteristik Dasar Perairan Citra satelit yang digunakan dalam penelitian ini yaitu citra satelit ALOS. Citra ALOS dipilih dalam penentuan zona budidaya perikanan laut, karena satelit ini merupakan satelit observasi bumi yang memiliki resolusi spasial cukup tinggi yaitu sebesar 10 x 10 m sehingga satuan piksel tersebut cukup merepresentasikan spot - spot zona kawasan budidaya keramba perikanan laut. Penggambaran karakteristik perairan dangkal menggunakan model algoritma dan teknik klasifikasi. Teknik pengklasifikasian yang digunakan untuk mendapatkan karakteristik dasar perairan dalam penelitian ini yaitu supervised classification.

(39)

Y = ln (K1) - ki/kj*ln (K2) ... (1) ki/kj = ...(2) a = va kanal 1 – va kanal

x cova kanal 1 kanal ...(3) dimana:

Y = nilai digital baru/ nilai hasil ekstraksi K1 = nilai digital band 1 citra satelit ALOS K2 = nilai digital band 2 citra satelit ALOS ki/kj = rasio koefisien band 1 dan band 2 a = koefisien untuk menentukan nila ki/kj

3.5.2. Pemrosesan Data Citra Satelit untuk Keterlindungan Perairan Keterlindungan merupakan parameter yang cukup berpengaruh dalam penentuan kawasan budidaya khususnya budidaya keramba jaring apung dan keramba jaring tancap, karena pada kegiatan tersebut berlangsung hampir

sepanjang tahun. Oleh karena itu kawasan budidaya perikanan laut harus berada pada daerah terlindung dari kondisi ekstrim yang dapat merusak seperti arus dan gelombang pada musim tertentu.

(40)

3.6. Penentuan Kesesuaian Perairan untuk Budidaya Keramba Perikanan Laut

Analisis untuk penentuan kawasan budidaya dilakukan dengan metode cell based modelling. Parameter-parameter baik dari hasil survei, data sekunder

maupun pengolahan citra yang berpengaruh terhadap kegiatan budidaya

dikelompokan untuk membuat sebuah basis data serta dilakukan proses editing untuk menghilangkan data yang tidak sesuai (error). Dalam pembuatan peta tematik setiap parameternya dilakukan interpolasi dari data yang diperoleh, adapun metode interpolasi yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode inverse distance weighted (IDW). Sebelum dilakukan proses interpolasi terlebih

dahulu dilakukan pengisian data pada wilayah terluar area kajian dengan

memberikan nilai yang sama pada setiap parameternya, hal ini dimaksudkan agar pada saat dilakukan interpolasi pada wilayah terluar tersebut dapat memberikan nilai pada setiap parameternya

(41)

Tabel 2. Sistem penilaian kesesuaian kawasan Budidaya Perikanan Laut Keramba Jaring Apung dan Keramba Jaring Tancap.

No Parameter Bobot

9 Keterlindungan 17.5 Sangat

Terlindung 4 Terlindung 3

Tidak

Terlindung 1 Sumber: Dinas Kelautan dan Pertanian, DKI Jakarta (2010)

Pembobotan setiap parameter berdasarkan pada dominasi pengaruh parameter tersebut dalam zona budidaya. Pembobotan parameter dalam kajian ini diberikan kisaran antara 1-4. Pemberian scoring dimaksudkan untuk menilai faktor pembatas pada setiap parameter. Proses overlay dilakukan setelah semua parameter diberikan bobot serta scoring, proses tersebut dilakukan melalui software yang digunakan dan akan dihasilkan klasifikasi kawasan budidaya

perikanan laut berdasarkan dari parameter yang dianggap paling penting dalam penentuan kesesuaian perairan. Nilai tiap kelas didasarkan pada perhitungan dengan rumus sebagai berikut:

N =ΣBi x Si ...(4)

(42)

Selang kelas diperlukan untuk membagi kelas kedalam jumlah kategori yang ditentukan. Interval kesesuaian budidaya dilakukan dengan metode equal interval. Selang tiap-tiap kelas diperoleh dari jumlah perkalian nilai maksimum tiap bobot dan skor dikurangi jumlah perkalian nilai minimumnya yang dapat di tuliskan pada persamaan berikut:

Selang tiap kelas = Σ B – Σ B ...(5)

Nilai selang kelas dari proses perhitungan diperoleh sebesar 0.51667, dari nilai ini dapat diperoleh nilai kelas tidak sesuai (S3) didapat dari skor total kelas S3 (2.25) ditambah dengan 0.51667. Nilai kelas sesuai (S2) didapat dari selang maksimum S2 (2.7666) ditambah dengan 0.51667. Nilai kelas sangat sesuai (S1) didapat dari hasil penambahan anatara selang kelas maksimum S1 (3.2833) dengan 0.51667. Oleh karena itu masing-masing kelas tersebut adalah:

 Sangat sesuai (S1) dengan selang 3. 833 < S1 ≤ 3.799

 Sesuai (S ) dengan selang .7666 < S ≤ 3. 83

 Tidak Sesuai dengan selang . 5 < S1 ≤ .7665

Berdasarkan perhitungan selang kelas klasifikasi kesesuaian budidaya keramba dibagi kedalam 3 kelas yaitu sangat sesuai, sesuai, dan tidak sesuai. Masing-masing kelas tersebut didefinisikan sebagai berikut (Bakosurtanal dalam Muzaki, 2008):

(43)
(44)

31

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pendugaan Parameter Zona Potensial Budidaya dengan Citra Satelit 4.1.1. Pengolahan Awal Citra Satelit

Citra yang digunakan dalam penelitian ini adalah citra satelit ALOS akusisi 21 November 2008. Citra satelit ALOS dipilih untuk memodelkan lokasi budidaya karena memiliki resolusi yang cukup tinggi yaitu 10 x 10 m. Satuan piksel tersebut cukup merepresentasikan lokasi-lokasi zona potensial budidaya sebagai dasar dari Cell Based Modelling.

Citra satelit ALOS yang digunakan dalam penelitian ini telah terkoreksi radiometrik. Koreksi radiometrik dilakukan untuk menghilangkan faktor-faktor yang dapat menurunkan kualitas dari citra satelit yang disebabkan oleh kondisi atmosfer dimana terjadi penyerapan atau hamburan dari radiasi sinar matahari, untuk itu nilai-nilai digital setiap piksel band akan direkonstruksi dan

mendapatkan masukan [raw] data perekaman sensor yang terkalibrasi secara fisik (Prahasta, 2008). Metode koreksi radiometrik yang digunakan yaitu penyesuaian histogram (histogram adjustment), dimana nilai digital dari citra satelit terendah pada setiap kanalnya adalah nol. Oleh karena itu dilakukan pengurangan nilai digital setiap piksel pada semua kanal sehingga nilai minimumnya nol.

Koreksi geometrik dilakukan untuk memberikan informasi geografis pada citra satelit. Koreksi geometrik yang dilakukan yaitu dengan menggunakan metode image to map registration berdasarkan titik-titik kontrol bumi (Ground Control Point) yang mudah diidentifikasi pada peta maupun citra yang akan

(45)

perangkat lunak image processing dengan acuan dari Peta Lingkungan Pantai Indonesia (LPI) BAKOSURTANAL yang telah terkoreksi geometrik dimana diambil sebanyak 30 titik yang tempatnya berbeda menyebar pada citra satelit Gambar 9. Kualitas koreksi geometrik ditentukan berdasarkan nilai RMSerror nilai

idealnya, yaitu lebih kecil dari 1 karena pergeseran tidak akan melebihi satu piksel (Lampiran 1). Tahapan selanjutnya setelah melakukan koreksi geometrik yaitu pemotongan citra (cropping) yang dilakukan untuk membatasi citra satelit sesuai dengan daerah kajian penelitian.

Gambar 9. Titik Ground Control Point (GCP)

4.1.2. Substrat Dasar Perairan Dangkal

(46)

memiiki tipe substrat dasar berkarang dan pasir, sebab pada wilayah berkarang kondisi kualitas air pada wilayah tersebut terjaga, disamping itu pada wilayah atau kawasan berkarang pada umumnya terlindung dari faktor oseanografi seperti gelombang dan arus. Substrat berlumpur sangat tidak cocok dijadikan kawasan budidaya, hal ini disebabkan karena tingkat turbulensi pada wilayah ini sangat tinggi. Substrat lumpur yang naik ke permukaan tidak baik bagi pertumbuhan ikan yang dibudidaya serta dapat mengganggu proses metabolisme dari biota yang dibudidayakan.

Informasi substrat dasar perairan Kepulauan Seribu diperoleh dari hasil transformasi citra satelit. Pendugaan awal substrat dasar perairan dangkal dapat dilihat dengan menggunakan komposit RGB 321. Hasil dari komposit citra tersebut setelah dilakukan penajaman histogram (histogram enhancement) maka akan terlihat dengan jelas penyebaran terumbu karang pada wilayah Kepulauan Seribu. Gambaran umum terumbu karang dari hasil komposit citra akan terlihat berwarna biru muda (cyan). Komposit citra RGB 321 dapat dilihat pada Gambar 10.

Algo itma penu unan “Depht Invariant Index” digunakan dalam

pemrosesan citra satelit untuk mendapatkan penampakan substrat dasar perairan dangkal yang maksimal. Pada algoritma ini mengkombinasikan kanal 1 dan kanal 2 dari citra satelit ALOS yang selanjutnya didapat nilai koefisien attenuasi

(47)

Gambar10. Komposit Citra ALOS RGB 321

Sesuai dengan sebaran nilai digital hasil iterasi, maka terdapat beberapa komponen domain pada citra hasil algoritma. Rentang perbedaan warna pada citra hasil transformasi menunjukkan banyaknya kelas yang ada pada substrat dasar perairan. Kelas – kelas tersebut terlihat pada histogram yang diwakili oleh puncak-puncak nilai piksel yang dominan yaitu dengan sebaran nilai antara 7. 462137 sampai 9.290035.

Hasil penajaman citra satelit menghasilkan gambaran substrat dasar perairan dimana warna kuning menggambarkan objek pasir, objek karang mati digambarkan dengan warna merah, terumbu karang atau karang hidup

digambarkan dengan warna cyan, sedangkan lamun digambarkan dengan warna orange. Dari hasil tersebut kemudian dilakukan pengklasifkasian dengan

(48)
(49)
(50)

Berdasarkan peta hasil klasifikasi dapat dilihat bahwa substrat perairan Kepulauan Seribu dibagi menjadi empat kelas yaitu karang hidup yang digambarkan dengan warna hijau, karang mati yang digambarkan dengan warna merah, lamun

berwarna orange, serta pasir digambarkan dengan warna kuning.

Pada perairan ini substrat karang mati dan pasir mendominasi seluruh pulau- pulau yang menjadi wilayah kajian, sebaran karang hidup banyak berada pada wilayah goba serta tubir. Sedangkan pasir dan lamun tersebar di seluruh pulau yang menjadi wilayah kajian pada umumnya terdapat pada wilayah goba yang terlidung. Luasan substrat dasar perairan masing-masing pulau dapat dilihat pada Tabel 3.

Tabel 3. Luas Penutupan Substrat Dasar Perairan.

No Nama Pulau Luas (Ha)

Karang Hidup Karang Mati Lamun Pasir

(51)

Berdasarkan tabel hasil perhitungan penutupan substrat dasar (Tabel 3), kategori penutupan substrat dasar yang mendominasi perairan ini yaitu lamun dan pasir dengan luasan berturut-turut yaitu 914.8 ha dan 908.1 ha. Sedangkan karang hidup pada perairan ini memiliki luasan sebesar 419.94 ha, karang hidup tersebar pada hampir setiap pulau. Terumbu karang paling banyak ditemukan pada sekitar Pulau Semak Daun dan Gosong Karang Lebar yang memiliki luasan sebesar 419.94 ha. Luasan karang mati yang diperoleh dari hasil transformasi citra yaitu sebesar 260.69 ha yang tersebar diseluruh pulau yang menjadi daerah kajian.

Substrat dasar karang hidup dan karang mati merupakan substrat dasar yang paling sesuai untuk lokasi budidaya keramba perikanan laut. Karang hidup merupakan salah satu daya dukung kehidupan sehingga digolongkan ke dalam kelas sangat sesuai, sedangkan pasir dan lamun merupakan substrat dasar yang sesuai dan substrat lumpur merupakan kelas yang paling tidak sesuai. Wilayah atau zona budidaya yang sangat sesuai berdasarkan substrat dasar perairan berada pada goba serta perairan sekitar tubir

4.1.3. Keterlindungan Lokasi

(52)

menyebabkan kerusakan pada konstruksi keramba serta kondisi biota yang dibudidayakan akan mengalami gangguan.

Kecepatan arus yang disarankan dalam penentuan lokasi budidaya yaitu berkisar antara 0.15 sampai 0.3 m/detik (Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta, 2010), sedangkan tinggi gelombang yang disarankan yaitu berkisar 0.11 sampai 0.18 m (Tiskiantoro, 2006). Pada wilayah Kepulauan Seribu tinggi gelombang saat musim Barat yaitu antara 0.15 – 1.5 m, bahkan saat angin kencang ketinggian bisa mencapai lebih besar dari 1.5 m sedangkan kecepatan arus pada musim barat yaitu sekitar 0.43 m/detik. Jika dilihat kondisi angin dan gelombang yang tinggi pada musim barat pada lokasi penelitian maka diperlukan lokasi yang terlindung pada musim timur maupun musim barat.

Penentuan keterlindungan lokasi dilakukan melalui interpretasi secara visual dari citra satelit kemudian dilakukan klasifikasi. Keterlindungan lokasi dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga kategori yaitu wilayah sangat terlindung, terlindung, serta tidak terlindung. Hasil klasifikasi keterlindungan lokasi dapat dilihat pada Gambar 13.

(53)

kelas tidak terlindung tidak cocok untuk dijadikan kawasan budidaya karena letaknya berada pada laut lepas tanpa penghalang apapun.

(54)

Gambar 14. Klasifikasi Kesesuaian Berdasarkan Keterlindungan Lokasi Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta

(55)

4.2. Analisis Spasial Parameter Kualitas Air 4.2.1. Suhu Perairan

Suhu merupakan salah satu parameter yang memegang peranan penting dalam penentuan lokasi budidaya. Suhu perairan yang tidak sesuai akan mengakibatkan terganggunya biota yang dibudidaya seperti gangguan

metabolisme, pertumbuhan biota menjadi terhambat, serta meningkatkan jumlah karbondioksida diperairan. Toleransi suhu untuk budidaya yaitu berkisar antara 28 sampai 30 oC. Sebaran nilai suhu perairan di wilayah Kepulauan Seribu diperoleh melalui hasil interpolasi dari data hasil pengukuran lapang. Hasil interpolasi suhu perairan dapat dilihat pada Gambar 15.

Sebaran suhu perairan di Kepulauan seribu pada wilayah penelitian berkisar antara 28 sampai 31 oC. Jika dilihat dari suhu perairan pada wilayah ini sebagian besar dapat dikategorikan sangat sesuai untuk dijadikan kawasan budidaya keramba perikanan laut. Suhu pada kisaran 31 sampai 32 oC

dikategorikan sesuai, sedangkan kisaran suhu pada < 28 dan > 32 oC tidak cocok untuk kegiatan budidaya.

(56)
(57)
(58)

4.2.2. Salinitas

Salinitas perairan merupakan kadar garam yang terkandung dalam satu kilogram air laut. Toleransi kisaran salinitas untuk budidaya yaitu antara 30 -35 ppt, salinitas yang tidak sesuai akan mengakibatkan tidak maksimalnya tingkat produksi dari kegiatan budidaya tersebut. Hal ini dikarenakan pertumbuhan ikan akan terganggu serta menyebabkan gangguan keseimbangan dari biota yang dibudidayakan, maka dari itu dalam penentuan kawasan budidaya keramba perikanan laut tidak disarankan pada wilayah yang dekat dengan daratan sebab pada wilayah tersebut banyak terdapat masukan air tawar yang dapat

menyebabkan salinitas pada wilayah tersebut tidak sesuai

(59)
(60)
(61)

4.2.3. Oksigen Terlarut

Oksigen terlarut merupakan jumlah oksigen yang terlarut dalam air, yang diukur dalam unit satuan miligram per liter (mg/l). Kadar oksigen dapat

menggambarkan tingkat produktivitas primer dari suatu perairan, semakin tinggi kadar oksigen terlarut disuatu perairan maka semakin tinggi juga tingkat

produktivitas primer perairan tersebut. Jumlah kadar oksigen diperairan menjadi faktor pembatas bagi kehidupan organisme atau biota yang dibudidayakan, jika jumlah oksigen terlarut kadarnya berlebihan juga akan menyebabkan kematian pada biota yang dibudidayakan.

(62)
(63)
(64)

4.2.4. Potential of Hydrogen (pH)

Potential of Hydrogen (pH) merupakan konsentrasi ion hidrogen di dalam

air, Kadar pH perairan merujuk kepada aktivitas ion hydrogen didalamnya. Pada saat pH bernilai 0 sampai 7, hal ini merupakan suatu larutan pada kisaran asam, sedangkan pada kisaran 7 sampai 14 menunjukan kisaran basa. Nilai pH perairan pada umumnya berkisar antara 6.5 sampai 9. Kondisi perairan dengan pH netral sampai sedikit basa sangat ideal untuk kehidupan ikan air laut.

pH optimum perairan bagi pertumbuhan biota yaitu antara 7 – 8.5. Secara umum nilai pH pada perairan Kepulauan Seribu yaitu berkisar antara 7 – 8.9, pola persebaran nilai pH pada lokasi penenlitian didapat dari hasil interpolasi titik-titik oengukuran, adapun sebaran spasial hasil pengukuran pH dapat dilihat pada Gambar 21. Nilai pH 7.5 – 8 dikategorikan wilayah sangat sesuai, nilai pH pada kisaran 7 – 7.5 dan 8 – 8.5 termasuk kedalam kategori sesuai, sedangkan perairan yang memiliki nilai pH < 7 dan > 8.5 tidak sesuai untuk dijadikan kawasan budidaya sehingga perairan ini dimasukkan kedalam kategori tidak sesuai, dari hasil pengukuran pada perairan kepulauan seribu tidak ada yang termasuk kategori yang tidak sesuai.

(65)
(66)
(67)

4.2.5. Total Dissolved Solid (TDS)

TDS adalah ukuran dari gabungan dari semua bahan organik dan anorganik yang terkandung dalam cairan. Konsetrasi TDS mengambarkan kualitas perairan yang ada. Sumber primer TDS di perairan Kepulauan Seribu banyak didapat dari limbah rumah tangga. Konsentrasi TDS sangat

mempengaruhi tingkat kecerahan dari suatu perairan, perairan yang tingkat kecerahannya tinggi mengindikasikan perairan tersebut cukup jernih dan layak untuk lokasi budidaya. Sebaliknya perairan dengan tingkat kecerahan yang rendah mengindikasikan tingginya bahan organik terlarut, selain itu nilai TDS berbanding lurus dengan nilai konduktivitas serta salinitas perairan. Semakin tinggi nilai TDS maka semakin tinggi pula nila dari konduktivitas serta salinitas perairan.

Nilai kandungan TDS pada lokasi penelitian berkisar antara 32 – 33 g/liter (Gambar 23), menandakan bahwa perairan di lokasi penelitian cukup sesuai untuk kegiatan budidaya. Umumnya nilai TDS cenderung tinggi di dekat daratan

berkurang seiring menjauhi daratan. Nilai TDS yang paling sesuai untuk kegiatan budidaya yaitu < 25 yang dikategorikan wilayah sangat sesuai, sedangkan kisaran antara 25 – 80 g/liter dikategorikan kelas sesuai. Suatu wilayah perairain

(68)
(69)
(70)

4.3. Kedalaman Perairan

Kedalaman merupakan merupakan faktor yang turut serta berperan dalam penentuan budidaya laut karena dengan adanya stratifikasi kedalaman

berpengaruh terhadap jumlah nutrient. Selain itu kedalaman perairan berperan dalam penentuan desain konstruksi keramba baik jaring apung maupun keramba jarring tancap. Dalam penentuan lokasi budidaya keramba perikanan laut

kedalaman perairan sebaiknya tidak terlalu dalam dan tidak terlalu dangkal, sebab jika perairan terlalu dangkal maka akan menyebabkan kegiatan budidaya tidak akan optimal. Pada perairan yang dangkal proses pengadukan akan menyebabkan material sedimen akan terangkat ke permukaan dan menyebabkan gangguan pada biota yang dibudidayakan, selain itu pada kegiatan budidaya di laut berbeda dengan budidaya yang dilakukan pada air tawar. Pada perairan laut dipengaruhi oleh pasang surut maka untuk itu perlu dipertimbangkan pasang surut pada lokasi.

(71)
(72)
(73)

Berdasarkan kedalaman perairan wilayah yang sesuai untuk dijadikan lokasi budidaya keramba perikanan laut yaitu pada sekitar gosong karang dan goba yang memiliki kedalaman 1 - 20 m, selain itu pada wilayah tersebut terlindung dari arus serta gelombang yang besar. Kedalaman perairan yang dikategorikan sangat sesuai dalam kegiatan budidaya keramba jaring apung dan jaring tancap yaitu berkisar antara 10 - 30 m. sedangkan pada wilayah yang memiliki kedalaman antara 4 - 10 m dikategorikan sesuai. Perairan yang memiliki kedalaman < 4 m dan > 30 m tidak cocok dijadikan wilayah budidaya, sehingga dikategorikan tidak sesuai

Pada Gambar 26 merupakan peta kesesuaian lokasi budidaya keramba perikanan laut, dapat dilihat bahwa warna hijau menandakan wilayah tersebut termasuk kedalam kelas sangat sesuai, warna kuning menandakan kelas sesuai, sedangkan warna biru merupakan wilayah yang tidak sesuai untuk kegiatan budidaya. Zona atau wilayah yang sangat sesuai tersebar diseluruh pulau pada wilayah kajian, wilayah ini berada di sekitar gosong karang dan goba yang

kedalamannya tidak terlalu dalam yaitu sekitar 10-30 m. Wilayah sesuai berada di dalam gosong karang sebelum tubir. Pada wilayah ini kedalamannya relatif lebih dangkal dari kelas sangat sesuai. Sedangkan wilayah yang termasuk tidak sesuai berada di laut lepas yang mempunyai kedalaman lebih dari 30 m.

4.4. Kecepatan Arus

(74)

stabil (Aslianti, 2010). Oleh karena itu arus berfungsi dalam transfortasi masa air sekaligus membersihkan kotoran, mengurangi organisme menempel pada

keramba yang digunakan, mengurangi dekomposisi pakan-pakan yang tidak termakan dari biota yang dibudidayakan serta menjaga kestabilan distribusi kandungan oksigen terlarut dalam air.

Pada umumnya kecepatan arus dipengaruhi oleh pasang surut dan angin. Pada penelitian ini kecepatan arus diperoleh dari hasil pengolahan data pasang surut, angin, serta kedalaman perairan. Tipe pasang surut di Perairan Kepulauan Seribu adalah harian tunggal (diurnal) dimana terjadi satu kali pasang dan satu kali surut. grafik pasang surut dapat dilihat pada Gambar 27.

Sumber: Data Ramalan Pasang Surut DISHIDROS Tahun 2010

Gambar 27. Grafik Pasang Surut Perairan Kepulauan Seribu

Data pasang surut tersebut digunakan dalam meramalkan atau

memodelkan pola arah dan kecepatan arus pada lokasi penelitian. Dimana arah dan kecepatan arus tersebut dibangkitkan melalui data pasang surut serta data

(75)

angin. Wilayah Kepulauan Seribu memilki kecapatan arus perairan tinggi pada saat musim Barat yang dapat mencapai 0.43 m/s. Kecepatan Arus yang diperoleh dari hasil model yaitu berkisar antara 0.1-0.26 m/detik. Berdasarkan hasil

simulasi niali kecepatan arus terbesar berada pada wilayah bagian timur daerah kajian, dimana pada wilayah ini langsung berhadapan dengan laut lepasatau dalam berada pada wilayah yang tidak terlindung sehingga pada perairan wilayah ini sebagian besar arus dipengaruhi oleh angin yang bertiup. Peta sebaran kecepatan arus seperti yang terdapat pada Gambar 28.

(76)
(77)
(78)

4.5. Analisis Lokasi Kesesuaian Budidaya Keramba Perikanan Laut Pemodelan kawasan budidaya keramba perikanan laut (KJA dan KJT), dilakukan dengan menspasialkan data setiap parameter yang didapat baik dari hasil interpolasi maupun dari hasil penurunan citra setelah itu dilakukan

klasifikasi ulang untuk memudahkan dalam pengkodean. Pengkodean dari setiap sel atau piksel dilakukan secara otomatis berdasarkan nilai setiap selang kelas. Overlay dilakukan untuk menggabungkan semua parameter baik kimia maupun

fisika yang telah dikelaskan. Metode overlay yang digunakan dalam penelitian ini yaitu weight overlay.

Berdasarkan hasil overlay zona kesesuaian budidaya keramba perikanan laut dibagi kedalam tiga kelas yaitu sangat sesuai (S1), dimana pada lokasi ini tidak terdapat faktor pembatas sehingga dapat memenuhi persyaratan minimal dalam melakukan kegiatan budidaya keramba secara optimal. Kelas yang kedua yaitu sesuai (S2), pada kawasan ini cukup berbermanfaat untuk dikembangkan untuk kegiatan budidaya, namun wilayah ini mempunyai faktor pembatas yang berpengaruh terhadap kegiatan budidaya. Faktor pembatas tersebut dapat

meningkatkan biaya yang diperlukan untuk melakukan kegiatan budidaya. Kelas Tidak Sesuai (S3), dimana pada kawasan ini tidak dapat diusahakan untuk

kegiatan budidaya meskipun dilakukan penambahan perlakuan sekalipun.

Peta kawasan budidaya keramba perikanan laut wilayah Kepulauan Seribu dapat dilihat pada Gambar 30. Pada gambar terlihat dengan metode berbasis sel dapat dibentuk spot-spot zona potensial yang direpresentasikan dengan warna hijau dan kuning, sedangkan untuk zona tidak potensial atau tidak sesuai

(79)

merah melambangkan kegiatan budidaya keramba perikanan laut yang sudah ada pada wilayah Kepulauan Seribu.

Hasil survey lapang diambil titik lokasi budidaya keramba yang telah ada sebelumnya, ini berguna sebagai perbandingan lokasi budidaya yang sudah ada dengan wilayah yang akan dikembangkan berikutnya. Seperti yang terdapat pada Gambar 30 terdapat point atau titik berwarna merah yang melambangkan keramba yang sudah ada, jika dilihat pada umumnya lokasi keramba yang sudah ada berada pada wilayah potensial. Jumlah pembudidaya keramba baik jaring apung dan keramba jaring tancap pada wilayah kajian masih terpusat pada sekitar wilayah Pulau Panggang dan Gosong Karang Lebar.

Hasil pemodelan kawasan budidaya perikanan diperoleh bahwa pada umumnya lokasi potensial untuk budidaya banyak terdapat pada wilayah sekitar gosong karang dan goba seperti yang terdapat pada goba karang lebar dan goba Pulau panggang. Sedangkan kawasan yang tidak sesuai terdapat pada perairan yang relatif dangkal dan wilayah laut lepas, karena pada wilayah laut lepas sangatlah tidak terlindung dari pengaruh faktor oseanografis seperti arus dan gelombang besar yang dapat merusak, serta mengganggu dalam kegiatan budidaya.

Zona yang sangat sesuai berada pada goba atau sekitar gosong karang, hal ini memungkinkan bahwa pada wilayah tersebut faktor pendukung dalam

(80)
(81)

Luas dari wilayah kajian dalam penelitian ini yaitu sekitar 14723.76 ha dimulai dari Pulau Air di Sebelah Selatan hingga Pulau Kelapa Dua di sebelah Utara. Dari kajian ini diperoleh daerah potensial untuk pengembangan lokasi budidaya perikanan laut yang luasnya mencapai sekitar 2305.46 ha. Luas keseluruhan kawasan potensial tersebut terdiri dari lokasi yang dikategorikan sangat sesuai memiliki luas sekitar 351.89 ha, serta wilayah yang termasuk kedalam kategori sesuai memiliki luas sekitar 1953.57 ha seperti yang tercantum pada Tabel 4.

Tabel 4. Luas Wilayah Potensial Budidaya Keramba Perikanan Laut

(82)

Tabel 4 menjelaskan mengenai luasan zona potensial dari setiap pulau pada wilayah kajian, berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat hampir disetiap pulau pada wilayah kajian dapat dilakukan kegiatan budidaya. Pulau yang memiliki area terluas dalam pengembangan kegiatan budidaya yaitu pada sekitar Pulau Semak Daun yang memiliki luasan potensial sekitar 109.71 ha untuk zona sangat sesuai serta 462.84 ha untuk zona sesuai. Luasan wilayah potensial budidaya perikanan laut yang didapat dari hasil pemodelan secara spasial ini belum merupakan luasan yang dapat dijadikan wilayah budidaya, dikarenakan pada penelitian ini belum dimasukan faktor-faktor pendukung lainnya seperti dari aspek sosial.

Pengembangan budidaya keramba jaring apung dan keramba jaring tancap berpeluang cukup besar sebab area yang belum termanfaatkan masih cukup luas. Namun dalam proses pengembangan usaha budidaya perlu diperhatikan prinsip kelestarian dan berkelanjutan. Untuk itu, potensi yang ada sebaiknya tidak

dimanfaatkan seluruhnya , tetapi disediakan untuk penyangga yang berguna dalam mengurangi efek penurunan kualitas lingkungan. Untuk itu diperlukan penataan dalam mendirikan keramba-keramba agar pada lokasi tersebut tidak terlalu padat.

(83)

70

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan

Perairan Kepulauan Seribu merupakan wilayah yang berpotensi untuk dijadikan kegiatan budidaya perikanan air laut (keramba jaring apung dan tancap), hal ini terlihat dari jumlah luasan wilayah potensial yang mencapai 15% dari luas wilayah kajian. Berdasarkan hasil penelitian ini didapat luasan zona potensial budidaya perikanan laut sebesar 351.89 ha untuk kategori sangat sesuai sedangkan kategori sesuai sebesar 1953.57 ha. Zona potensial berada pada sekitar goba dan gosong karang, pada wilayah ini faktor pendukung dalam melakukan kegiatan budidaya sangat besar seperti banyak didapati terumbu karanng pada wilayah tersebut serta terlindung dari pengaruh faktor oseanografis.

(84)

5.2. Saran

Pada penelitian ini hanya dilakukan analisis data pada satu waktu saja yaitu pada bulan saat pengambilan data, maka untuk itu dalam penentuan kawasan potensial budidaya perikanan laut hendaknya dilakukan data pengamatan secara time series untuk mengetahui perubahan kualitas air pada musim yang berbeda

yaitu musim barat dan musim timur. Selain itu perlu dipertimbangkan pula faktor lain seperti sosial ekonomi masyarakat sekitar, ketersediaan bibit, jalur

(85)

72

DAFTAR PUSTAKA

Ali, M., D. K. Miharja, dan S. Hadi. 1994. Kursus Intensif Oseanografi Bagi Para Perwira TNI-AL. Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat dan Jurusan Geofisika dan Meteorologi Institut Teknologi Bandung. Bandung. Aslianti, T. 2010. Pemeliharaan Gelondongan Kerapu Sunu (Plectropomus

leopardus) dengan Persentase Pergantian Air. Jurnal Ilmu dan Teknologi Kelautan Tropis. 2(2): 26-33.

Balai Budidaya Laut Lampung (BBL). 2001. Petunjuk Teknis Pembesaran Kerapu Macandan Kerapu Tikus. Direktorat Jendral Perikanan Budidaya

Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.

BPS. 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010. Badan Pusat Statistik. Jakarta

Boyd, C.E. 1982. Water Qualitymanagement for Fond Fish Culture Development in Aquaculture and Fish Scine, vol 9. Elsevier Pub. Comp. Amsterdam. Canada Center for Remote Sensing (CCRS). 2003. Fundamental of Remote

Sensing. Natural Resourses Canada. Ottawa.

Dinas Kelautan dan Pertanian DKI Jakarta. 2010. Studi Pengelolaan Sumberdaya Perikanan di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Dinas Perikanan DKI Jakarta. Jakarta.

Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya. 2009. Luas Lahan Perikanan Budidaya 2009. Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia.

http://www.perikanan-budidaya.kkp.go.id/ ( 20 Januari 2011). ESRI. 2002. Using ArcGIS Spatial Analyst. Environmental System Research

Institute, Inc. New York.

Faisal, K. M. 2009. Pengaruh Relief Terhadap Akurasi Digital Elevation Model yang dibentuk dari Pasangan Stereo Citra Aster dengan Menggunakan Teknik Fotogrametri Digital. Skripsi. Fakultas Geografi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

GIS Konsorsium Aceh Nias. 2007. Modul pelatihan arcgis tingkat dasar. Pemerintah Kota Banda Aceh. Banda Aceh.

Green, E.P., P.J. Mumby, dan A.J. Edwards. 2000. Mapping bathymetry In A.J. Edwards (Ed.), Remote Sensing Handbook for Tropical Coastal

Management. Coastal Management Sourcebook 3. UNESCO, Paris. Jakti, B. D. 2009. Analisis Potensi Wisata Snorkeling dan Diving Menggunakan

(86)

Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

JAXA. 2010. Advanced Land Observing Satellite "DAICHI".

http://www.jaxa.jp/projects/sat/alos/index_e.html. (5 Juli 2010). Kementrian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Laporan Akhir Studi Valuasi

Ekonomi Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Kawasan Lindung (Konservasi). Kementrian Negara Lingkungan Hidup. Jakarta.

LAPAN. 2004. Implementasi dan Pembinaan Pemanfaatan Penginderaan Jarak Jauh Untuk Budidaya Laut (Studi Kasus Perairan Budidaya Ikan Kerapu dengan Menggunakan Keramba Jaring Apung di Kabupaten Situbondo). Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan Teknologi Penginderaan Jauh, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional. Jakarta.

LAPI-ITB. 2001. Laporan Akhir Pengelolaan Laut Lestari : Pendataan dan Pemetaan Potensi Sumberdaya Alam Kepulauan Seribu dan Pesisir Teluk Jakarta. LAPI-ITB. Bandung

Lillesand, M. T. dan W. R. Kiefer. 1990. Penginderaan jauh dan Interpretasi Citra. Fakultas Geografi. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.

Mainassy, B., N. V. Huliselan., S. F. Tuhumury, dan J.J. Wattimury. 2005.

Penentuan Lokasi Pengembangan Budidaya Keramba Jaring Apung (KJA) di Perairan Teluk Ambon Dalam (TAD) Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Jurnal Ichthyos. 4(2): 69-80.

Miharja, D. K dan W. S. Pranowo. 2001. Kondisi Perairan Pulau Seribu. Laporan Pelengkap Dalam Rangka Penyusunan Laporan Akhir Penyusunan Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kep. Seribu. Pusat Penelitian Kelautan (PPK) Bekerjasama dengan Pusat Penelitian Kepariwisataan (P2PAR). Institut Teknologi Bandung. Bandung.

Murdjani, M. 2003. Diktat Kuliah Pembenihan Ikan Kerapu. Akademi Perikanan. Sidoarjo. Sidoarjo

Muzaki, A. A. 2008. Analisis Spasial kualitas Ekosistem Terumbu Karang Sebagai Dasar Penentuan Kawasan Konservasi Laut dengan Metode Cell Based Modelling di Karang Lebar dan Karang Congkak Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Skripsi. Departemen Ilmu dan Teknologi Kelautan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

(87)

Prahasta, E. 2001. Konsep-konsep Dasar Sistem Informasi Geografis. Penerbit Informatika Bandung. Bandung.

Prahasta, E. 2008. Remote Sensing. Penerbit Informatika Bandung. Bandung. Prihadi, T. H., Eriania, dan I. R. Astiti. 2008. Kajian Dampak Lingkungan dari

Kegiatan Keramba Jaring Apung Melalui Life Cycle Assessment (LCA). Jurnal Riset Akuakultur. 3(2): 263-273.

Sulma, S., B. Hasyim., A. Susanto, dan A. Budiono. 2005. Pemanfaatan

(88)

75

(89)

Lampiran 1. Spesifikasi Alat 1. YSI Water Quality Checker Specifications

Dissolved Oxygen (mg/L)/%

Sensor Type Steady state polarographic

Range 0 to 50 mg/L / 0 to 500% air saturation

whichever is greater; 200 to 500% air saturation, ± 6% of the reading

Resolution 0.01 mg/L / 0.1% air saturation

Temperature

Sensor Type YSI Temperature P ecision™ the misto Range -5 to 45°C

Accuracy ± 0.15°C Resolution 0.1°C

Conductivity

Sensor Type 4-electrode cell with autoranging

Accuracy ± 0.5% of reading or ± 0.001 mS/cm; whichever is greater (4-meter cable)

Range 0 to 200 mS/cm

Resolution 0.001 mS/cm to 0.1 mS/cm (range-dependent)

Salinity

Sensor Type Calculated from conductivity and temperature Range 0 to 70 ppt

Accuracy ± 1.0% of reading or ±0.1 ppt, whichever is greater Resolution 0.01 ppt

pH

Sensor Type Glass combination electrode Range 0 to 14 units

Accuracy ±0.2 units Resolution 0.01 units

ORP

Sensor Type Platinum button Range -999 to +999 mV Accuracy ± 20 mV

Resolution 0.1 mV Total Dissolved

Solids(TDS)

Sensor Type Calculated from conductivity (variable constant, default 0.65)

(90)

Gambar YSI Water Quality Checker 2. Global Positioning System (GPS)

Gambar

Gambar 7. Diagram Alir Penelitian
Gambar 8.  Stasiun Sampel Kualitas Air
Gambar 9.  Kualitas koreksi geometrik ditentukan berdasarkan nilai RMSerror nilai
Gambar 11. Klasifikasi Substrat Dasar Perairan Kepulauan Seribu, DKI Jakarta
+7

Referensi

Dokumen terkait

Gigi pada anak-anak disebut gigi susu karena warnanya seperti air susu atau gigi sementara karena dapat tanggal dan diganti gigi baru. Gigi susu mulai tumbug pada umur kira-kira

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan tugas akhir yang berjudul “Aplikasi Data

3.1.1 Komponen Lingkungan Geofisik Kimia Dampak geofisik kimia yang ditimbulkan dari penambangan batugamping adalah suhu udara, peningkatan partikel debu,

Bagi banyak pihak metode objektif bisa memberikan hasil yang tidak begitu akurat atau mengandung bias karena bisa saja seorang karyawan memiliki kesempatan yang

Judul skripsi : “Peranan Metode Bermain Sambil Belajar dalam Meningkatkan Hasil Belajar Matematika pada Anak Tunagrahita Sedang (Penelitian Tindakan Bersama Keluarga Anak

«Aydınlanmaya engel teşkil eden, bu geçici bedenin içindeki Atman'ın ihtişamını gören kişi; Atman'ın her şeyin yaratıcısı ve sahibi olan Tanrı ile bir ve

PPDS I Anestesiologi FK UGM dengan jumlah staf 5 orang (lima) orang yaitu dr.Ismail Sujud,SpAn (alm), dr.Bambang Suryono S,SpAn, dr.Muhdar Abubakar,SpAn, dr.Pandit Sarosa H,SpAn