• Tidak ada hasil yang ditemukan

DAFTAR PUSTAKA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.2. Budidaya Perikanan Laut

2.2.2. Pemilihan Lokasi Budidaya Perikanan Laut

Pemilihan lokasi untuk budidaya memegang peranan yang sangat penting. Pemilihan lokasi yang tepat akan mendukung kesinambungan usaha dan target produksi. Faktor-faktor yang mempengaruhi dalam penentuan kesesuaian perairan untuk budidaya ikan khususnya pada keramba dapat digolongkan menjadi dua bagian. Pertama adalah faktor kesesuaian fisik/teknis wilayah perairan dan kedua adalah faktor kesesuaian sosial ekonomi (sosek) masyarakat (LAPAN, 2004). Menurut Murdjani (2003), faktor teknis adalah persyaratan yang harus dipenuhi dalam kegiatan budidaya yang meliputi diantaranya pemilihan lokasi budidaya, struktur kerangka keramba yang digunakan,

ketersediaan atau kemudahan transportasi, serta hal-hal lainnya yang berkaitan secara langsung terhadap proses kegiatan budidaya. Beberapa parameter fisik yang perlu diperhatikan itu diantaranya yaitu keadaan angin, gelombang, kedalaman perairan, keterlindungan, substrat dasar, serta kualitas air. Beberapa parameter kualitas air yang menjadi perioritas, diantaranya yaitu:

a. Kecerahan

Perairan yang jernih secara visual menandakan adanya kualitas air yang baik, karena dalam air yang jernih umumnya kandungan partikel terlarut yang rendah. Pada air yang mempunyai tingkat kecerahan tinggi, beberapa parameter kualitas air yang terkait erat dengan bahan organik seperti NO2, H2S, dan NH3 cenderung rendah.

Kekeruhan suatu perairan pada umumnya disebabkan oleh dua faktor, yaitu blooming plankton dan tersuspensinya partikel- partikel dasar perairan. Partikel penyebab kekeruhan menyebabkan gangguan penetrasi cahaya yang

masuk dalam media air, sehingga dapat menyebabkan terhambatnya pertumbuhan fitoplankton. Disamping itu keadaan blooming plankton juga dapat menyebabkan kematian (Murdjani, 2003).

b. Salinitas

Pada umumnya perairan terumbu karang memiliki salinitas 30-35 ppt. Oleh karena itu lokasi hendaknya tidak dekat dengan muara sungai, karena pada wilayah muara sungai salinitas cenderung fluktuatif. Salinitas yang tidak sesuai dengan kebutuhan budidaya dapat menyebabkan gangguan kesehatan,

pertumbuhan, serta nafsu makan terhadap biota yang dibudidaya (Tiskiantoro, 2006). Hal ini disebabkan secara fisiologis salinitas akan mempengaruhi fungsi organ osmoregulator ikan. Perbedaan salinitas air media pada tubuh ikan akan menyebabkan gangguan keseimbangan.

c. Derajat Keasaman (pH)

Reaksi asam basa sangat penting bagi lingkungan, karena semua proses biologi terjadi dalam kisaran pH optimum. Derajat keasaman umumnya yaitu berkisar antara 7-9, hal ini disebabkan didalam massa air laut terdapat sistem penyangga (buffer). Menurut Boyd (1982) dekomposisi bahan organik dan respirasi akan menurunkan kandungan oksigen terlarut, sekaligus menaikkan kandungan CO2 yang berdampak menurunnya pH air laut. Dalam pemilihan lokasi budidaya yang tepat salah satunya dengan melihat keberadaan padang lamun, koral, maupun hutan mangrove yang pada umumnya memiliki pH yang optimum. Sebagian besar biota akuatik sensitif terhadap perubahan pH dan menyukai nilai pH pada kisaran 7,0 – 8,5. Proses biokimiawi perairan seperti nitrifikasi sangat dipengaruhi oleh nilai pH.

d. Suhu

Suhu secara langsung berpengaruh terhadap metabolisme ikan. Pada suhu tinggi metabolisme dipacu, sedangkan pada suhu rendah proses metabolisme diperlambat. Bila terjadi hal seperti ini dan berlangsung lama maka akan menggangu proses metabolisme dari ikan, sehingga untuk pemilihan lahan budidaya hendaknya memilih lokasi yang memiliki kisaran suhu yang stabil. Peningkatan 10 °C suhu perairan meningkatan konsumsi oksigen oleh organisme akuatik sekitar 2 - 3 kali lipat (LAPAN, 2004). Peningkatan suhu mengakibatkan peningkatan viskositas, reaksi kimia, evaporasi dan volatilisasi. Selain itu

peningkatan suhu juga menyebabkan penurunan kelarutan gas dalam air seperti gas-gas O2, CO2, N2, CH4 dan sebagainya. Kecepatan metabolisme dan respirasi organisme air juga memperlihatkan peningkatan dengan naiknya suhu yang selanjutnya mengakibatkan peningkatan konsumsi oksigen.

Suhu dapat berpengaruh terhadap perkembangan hama dan penyakit pada ikan. Suhu perairan pada umumnya tidak berubah antara lokasi satu dengan yang lainnya kecuali suatu daerah terdapat kegiatan-kegiatan yang menyebabkan naik atau turunnya suhu di suatu perairan seperti, kawasan perindustrian yang

membuang limbanya langsung ke perairan. Dalam menentukan lokasi budidaya hendaknya jauh dari kawasan industri yang menghasilkan banyak limbah. e. Amoniak

Amoniak (NH3) yang terkandung dalam suatu perairan merupakan salah satu hasil dari proses penguraian bahan organik. Amoniak terdapat dalam dua bentuk yaitu amoniak tak berion (NH3) dan amoniak berion (NH4). Amoniak berion sifatnya tidak beracun, sedangkan amoniak tak berion sifatnya beracun.

Menurut Boyd (1982) tingkat keracunan NH3 berbeda- beda untuk tiap spesies, tetapi pada kadar 0.5 mg/l dapat berbahaya bagi organisme. Kadar amoniak yang ideal untuk suatu perairan yaitu berkisar antara 0.25-0.45 mg/l.

f. Oksigen Terlarut

Konsentrasi dan ketersediaan oksigen terlarut merupakan salah satu faktor pembatas bagi ikan yang dibudidayakan. Oksigen terlarut sangat dibutuhkan bagi kehidupan ikan dan organisme air lainnya. Konsentrasi oksigen dalam air dapat mempengaruhi pertumbuhan, konversi pakan, dan mengurangi daya dukung perairan. Selain itu Oksigen terlarut di perairan sangat dibutuhkan sumua organisme yang ada di dalamnya untuk proses respirasi dalam rangka

melangsungkan metabolisme dalam tubuh. Ikan akan hidup dengan baik pada kandungan oksigen 5–8 ppm (BBL Lampung, 2001).

g. Bahan Organik

Bahan organik merupakan berbagai bentuk ikatan kimia karbon dan hidrogen dengan unsur-unsur lain yang terikat pada atom karbon. Bahan organik dalam perairan biasanya berasal dari sisa-sisa organisme yang telah mati maupun yang berasal dari daratan yang dibawa oleh sungai. Pengaruh bahan organik secara langsung terhadap organisme yang dipelihara yaitu dapat mengakibatkan gangguan sistem pernapasan.

h. Sumber Polutan

Sumber polutan pada lingkungan perairan secara garis besar dibagi menjadi dua, yaitu sumber polutan tetap dan sumber polutan tersebar. Sumber polutan tetap berasal dari industri, sedangkan sumber polutan tersebar berasal dari rumah tangga, peternakan, tempat akhir pembuangan sampah, limpasan daerah

pertanian. Selain itu sumber polutan dapat berasal dari pakan ikan yang dibudidayakan itu sendiri, pakan ikan yang tidak termakan akan jatuh ke dasar perairan jika jumlahnya berlebih maka akan menimbulkan yang signifikan terhadap perubahan lingkungan perairan (Prihadi et al, 2008). Hendaknya untuk memilih lokasi yang akan digunakan dalam kegiatan budidaya jauh dari sumber-sumber polutan.

2.3. Sistem Informasi Geografis (SIG)

Sistem Informasi Geografis adalah alat untuk mengumpulkan,

menyimpan, menayangkan kembali data spasial dari dunia nyata (real world) untuk kepentingan-kepentingan tertentu (Prahasta, 2001). Sistem informasi geografis sering juga diartikan sebagai suatu integrasi dari perangkat keras dan lunak beserta manusianya yang dapat membantu dalam mempresentasikan dan menganalisis data berbasis geografi. Sistem ini mereferensi koordinat dunia nyata. SIG dapat juga menyimpan data atribut yang mengandung informasi yang menjelaskan fitur peta. Informasi ini biasanya diletakan terpisah dari data grafis, dalam suatu file database, tetapi tetap terkait dengan data grafis yang ada.

Secara umum terdapat dua jenis data yang dapat digunakan untuk merepresentasikan atau memodelkan fenomena-fenomena yang ada di dunia nyata. Pertama yaitu data spasial, jenis data ini merepresentasikan aspek-aspek keruangan dan fenomena yang bersangkutan. Sedangkan yang kedua merupakan jenis data yang merepresentasikan aspek-aspek deskriptif dari fenomena yang dimodelkan. Aspek deskriptif ini mencakup items atau properties dari fenomena

yang bersangkutan hingga dimensi waktu, data ini sering disebut juga data non spasial.

Data spasial dapat direpresentasikan dalam dua format yaitu data vektor dan data raster (GIS Konsorsium Aceh Nias, 2007). Data vektor merupakan bentuk bumi yang direpresentasikan dalam bentuk garis, area, titik dan nodes (titik perpotongan antar dua garis). Sementara data raster atau data grid yaitu data yang dihasilkan dari sistem penginderaan jarak jauh. Pada data raster, objek

direpresentasikan sebagai struktur sel grid yang disebut dengan piksel. Resolusi tergantung pada ukuran piksel, dengan kata lain resolusi piksel menggambarkan ukuran sebenarnya di permukaan bumi yang diwakili oleh setiap pikselnya. Contoh dari data vektor dan data raster seperti yang terdapat pada Gambar 1 dan Gambar 2.

Sumber: ESRI (2002)

Sumber: ESRI (2002)

Gambar 2. Data Raster

Analisis dalam SIG dikenal suatu metode yang disebut cell based modelling. Menurut ESRI (2002), cell based modelling merupakan analisis spasial pada data raster yang bekerja berdasarkan sel atau piksel. Operasi piksel pada cell based modelling dibagi menjadi lima kelompok (Gambar 3), yakni meliputi :

1) Local function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan satu sel dimana nilai piksel output ditentukan oleh satu piksel input.

2) Focal function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan beberapa sel terdekat.

3) Zonal function adalah operasi piksel yang hanya melibatkan suatu kelompok sel yang memiliki nilai atau keterangan yang sama.

4) Global function yang melibatkan keseluruhan sel dalam data raster dan gabungan antara keempat kelompok tersebut.

5) Application function adalah gabungan dari keempat operasi diatas yang meliputi local function, focal function, zonal function, dan global function.

Local Function

Focal Function

Zonal Function Global Function Sumber: ESRI (2002)

Gambar 3. Ilustrasi Operasi Piksel pada Cell Based Modelling

Keunggulan menggunakan metode cell based modelling dibandingkan analisis lainnya adalah struktur data raster yang lebih sederhana sehingga lebih mudah dalam pemodelan dan analisis serta kompatibel dengan data citra satelit serta memiliki variabilitas spasial yang tinggi dalam merepresentasikan suatu kondisi lapangan (Muzaki, 2008). Dasar cell based modeling dapat diperoleh melalui data penginderaan jarak jauh, setiap piksel dari citra satelit memiliki informasi cakupan area yang dapat diidentifikasi. Integrasi SIG dengan data penginderaan jarak jauh dapat membantu dalam suatu kegiatan perencanaan (Mainassy, 2005) , seperti informasi mengenai peluang pengembangan berbagai berbagai jenis budidaya yang didasarkan pada jenis dan kuantitas lahan serta dapat memperoleh keuntungan dalam hal perlakuan-perlakuan secara komprehensif dan

terintegrasi terhadap kriteria pengembangan budidaya perikanan laut dibandingkan dengan metode lain yang menggunakan teknik analitik dan pembuatan peta secara manual.

2.4. Penginderaan Jarak Jauh

Penginderaan jarak jauh adalah ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang suatu objek, daerah, atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tanpa kontak langsung dengan objek, daerah, atau fenomena yang dikaji (Lillesand dan Kiefer, 1990). Perolehan data penginderaan jarak jauh dapat dilakukan baik dengan sensor aktif maupun pasif. Sensor pasif merekam radiasi elektromagnetik alami yang dipantulkan atau dipancarkan oleh bumi. Sensor aktif seperti radar dan sonar dimana mencari permukaan bumi dengan radiasi elektromagnetik buatan dan kemudian merekam sejumlah fluks radian yang dikembalikan kepada sensor (Jensen, 1996 dalam Faisal, 2009).

Proses penginderaan jarak jauh dengan energi elektromagnetik untuk sumber daya alam meliputi dua hal yaitu pengumpulan data dan analisis data. Menurut Lillesand dan Kiefer (1990) elemen pengumpulan data meliputi sumber energi, perjalanan energi menuju atmosfer, interaksi antara energi dengan

kenampakan di muka bumi, sensor, dan hasil pembentukan data dalam bentuk piktorial atau bentuk numerik. Sedangkan proses analisis data meliputi pengujian data menggunakan alat interpretasi, informasi yang didapat biasanya disajikan dalam bentuk peta dan tabel, selanjutnya digunakan dalam pengambilan keputusan. Sistem penginderaan jarak jauh secara skematik ditampilkan pada Gambar 6.

Sumber : Canada Center for Remote Sensing (2003)

Gambar 4. Sistem Penginderaan Jarak Jauh

Keterangan: A = Sumber Energi; B = Radiasi Elektromagnetik dan Atmosfer; C = Interaksi dengan objek; D = Perekaman energi oleh sensor; E = Transmisi, penerimaan, serta pemrosesan; F = Analisis data penginderaan jarak jauh; G = Aplikasi data penginderaan jarak jauh

Aplikasi dalam penginderaan jarak jauh dapat digunakan untuk

mendapatkan informasi-informasi yang terkandung di permukaan bumi (daratan) dan juga dapat digunakan untuk mendeteksi objek-objek di dasar perairan dengan menggunakan sistem akustik contohnya dalam pemetaan batimetri. Informasi dapat diperoleh melalui penginderaan jarak jauh antaranya mengetahui luas penutupan lahan (mangrove, terumbu karang, sawah, perkebunan), estimasi atau pengukuran suhu permukaan, klorofil, dan TSS. Selain itu penginderaan jarak jauh dapat pula diaplikasikan dalam pembuatan potensi wisata (Jakti, 2009).

Pemanfatan sistem penginderaan jarak jauh sangat menguntungkan, karena wilayah cakupan area yang cukup luas serta wilayah yang sulit dijangkau dan berbahaya (wilayah kebakaran hutan) dapat diliput dengan menggunakan sistem ini. Keuntungan ini dapat dimanfaatkan dalam perekaman data-data di negara Indonesia yang areanya sangat luas. Perekaman data penginderaan jarak jauh

dapat dilakukan secara berulang-ulang dengan periode tertentu tergantung dari resolusi temporal satelit (Faisal, 2009).

2.5. Advanced Land Observing Satellite (ALOS)

ALOS merupakan satelite milik Japan Aerospace Exploration Agency (JAXA ) yang diluncurkan pada tanggal 24 Januari 2006, dari komplek

peluncuran Yoshinobu, Tanegashima Space Center Jepang. Satelite ALOS merupakan generasi setelah satelit japanese Earth Resources Satellite (JERS-1) yang digunakan untuk melakukan observasi terhadap permukaan bumi. Instrumen Satelit ALOS disajikan pada Gambar 7.

Sumber: JAXA (2010)

Gambar 5. Skema Satelit ALOS (Advanced Land Observing Satellite)

Satelit ALOS membawa tiga sensor remote sensing (Faisal, 2009), yaitu Panchromatic Remote Sensing Instrumen for Stereo Mapping (PRISM) yang digunakan untuk memetakan topografi permukaan bumi, Advance Visible and Near Infrared Radiometer 2 (AVNIR-2 ) untuk observasi permukaan bumi dengan akurasi tinggi dan Phased Array type L-band Synthetic Aperture Radar

(PALSAR ) untuk observasi permukaan bumi pada setiap waktu (malam-siang) dan pada kondisi cuaca apa pun.

AVNIR-2 adalah radiometer cahaya tampak dan infra merah dekat untuk observasi daratan dan wilayah pesisir. AVNIR-2 merupakan pengembangan dari AVNIR yang dibawa oleh satelit ADEOS. Adapun karakteristik dari citra ALOS yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Karakteristik Citra ALOS International

Designation Code 2006-002A

Waktu Peluncuran 24 Januari 2006 pukul 10:33 Kendaraan Peluncur H-IIA Launch Vehicle No.8 Lokasi Peluncuran Tanegashima Space Center

Perlengkapan

Box shape with a solar array paddle, phased array type L-band synthetic aperture radar (PALSAR),

and data relay satellite communication antenna Main body: about 6.2m x 3.5m x4 .0m

Solar Array Paddle: Approx. 3.1m x 22.2m PALSAR Antenna: Approx. 8.9m x 3.1m

Berat 4.000 kg

Orbit Sun-Synchronous Subrecurrent/ Recurrent Perid:Approx. 46day

Ketinggian 700 km Injklinasi 98 degrees

periode 99 menit

Kontrol Ketinggian Three-axis stabilization (High accuracy attitude control orbit determination function)

Band AVNIR Band 1 : 0.42 to 0.50 micrometers Band 2 : 0.52 to 0.60 micrometers Band 3 : 0.61 to 0.69 micrometers Band 4 : 0.76 to 0.89 micrometers Sumber: JAXA, 2010

AVNIR-2 mempunyai 4 band (Jakti, 2009) : band 1 (0,42-0,50 µm) yang digunakan untuk melihat penetrasi tubuh air, band 2 (0,52-0,60 µm) yang

digunakan untuk menekankan pembedaan vegetasi dan penelitian kesuburan, band 3 (0,61-0,69 µm) digunakan untuk melihat daerah yang menyerap klorofil, dan band 4 (0,76-0,89 µm) yang digunakan untuk membedakan tanah, tanaman, lahan, dan air. ALOS memiliki karakteristik citra diantaranya resolusi spasial sebesar 10 x 10 meter, dengan lebar sapuan 70 km.

Dokumen terkait