• Tidak ada hasil yang ditemukan

POLITIK HUKUM PASAL 7 AYAT 2 UU NOMOR 39

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "POLITIK HUKUM PASAL 7 AYAT 2 UU NOMOR 39"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Judul: Politik Hukum Pasal 7 Ayat 2 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia

Pemakalah: Dr. Wisnu Aryo Dewanto, S.H., LL.M., LL.M.

Institusi: Fakultas Hukum Universitas Surabaya Panel: Politik, Hukum dan HAM

Abstrak

Politik hukum menurut Bellefroid adalah perubahan ius constitutum menjadi ius constituendum karena adanya perubahan masyarakat. Paradigma deduktif yang selama ini diajarkan di tingkat Strata 1 diubah menjadi paradigma induktif sehingga hukum tidak lagi dipandang sebagai komponen utama dalam penelitian tetapi situasi dan kondisi masyarakat yang menjadi variabel utama untuk menentukan apakah hukum masih sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat saat ini atau tidak. Pasal 7 Ayat 2 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa “Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara RI yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional.” Keberadaan pasal ini sebenarnya tidak sesuai situasi dan kondisi sistem hukum di Indonesia yang tidak pernah menerapkan hukum internasional secara langsung di pengadilan nasional karena hukum internasional tidak pernah berlaku di Indonesia, melainkan berlaku bagi Indonesia sebagai negara yang menerima perjanjian internasional tersebut. Lebih lanjut, Pasal 7 Ayat 2 ini secara filosofis tidak sesuai dengan UUDNRI 1945 karena dapat atau tidaknya hukum internasional diterapkan di wilayah hukum Indonesia (baca: pengadilan) menjadi kewenangan Konstitusi untuk mengaturnya, bukan pada undang-undang. Ketiadaan pengaturan di dalam Konstitusi sebenarnya tidak perlu dirisaukan oleh kalangan akademis karena ini menunjukkan sikap Indonesia bahwa keutamaan hukum di Indonesia adalah bukan pada hukum internasional tetapi pada hukum nasional.

Kata kunci: Politik, Hukum, Hukum Internasional, Sistem Hukum Indonesia, Integrasi dan Implementasi

Pendahuluan

Hukum diciptakan untuk menciptakan ketertiban dalam masyarakat karena keberadaan hukum untuk mengatur perilaku masyarakat.1 Profesor

Satjipto Rahardjo menjelaskan bahwa hukum dilahirkan karena adanya

Doktor di bidang hukum perjanjian internasional dan dosen di Fakultas Hukum Universitas

Surabaya (UBAYA) di Surabaya. Lulus S1 dari Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Yogyakarta, Lulus S2 dari Faculty of Law Macquarie University, Sydney-Australia dan dari University of Washington Law School, Seattle-USA. Lulus S3 dari Program Doktor di Sekolah Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Makalah ini dipresentasikan dalam Konferensi Politik, Hukum dan Kekuasaan di Fakultas Hukum dan Komunikasi UNIKA SOEGIJAPRANATA, Semarang pada tanggal 15 September 2016.

1 Sudikno Mertokusumo, Teori Hukum, Diktat, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,

(2)

kehendak manusia atau masyarakat untuk menciptakan keadilan.2

Selanjutnya, Utrecht menyatakan bahwa hukum adalah alat bagi penguasa untuk dapat memberikan sanksi bagi pelanggar hukum.3 Oleh karena itu,

hukum bisa saja dijadikan alat bagi penguasa untuk menekan kelompok tertentu demi kepentingannya. Untuk menghindari terbentuknya hukum yang hanya melindungi kepentingan kelompok tertentu maka setiap aturan hukum yang dibuat harus berpedoman pada asas hukum, yang menurut Profesor Sudikno Mertokusumo adalah pikiran dasar yang terdapat di dalam peraturan hukum yang konkrit.4 Untuk memahami asas hukum tersebut

maka pembentuk hukum harus mendasarkan pada landasaan riil, yaitu asas hukum yang berakar dalam kenyataan masyarakat dan landasan ideal yang merupakan nilai-nilai yang dipilih sebagai pedoman hidup bersama.5

Dalam proses pembentukan hukum, pembuat hukum harus memahami mengenai sistem hukum yang diterapkan dalam sistem hukum dan ketatanegaraan dalam suatu negara sehingga aturan hukum yang diciptakan sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat agar tidak terjadi konflik. Dalam sebuah sistem dimungkinkan terjadinya konflik, antara lain konflik antara undang-undang dengan undang-undang, undang-undang dengan kebiasaan, undang-undang dengan putusan pengadilan dan keputusan pengadilan dengan kebiasaan. Untuk mengatasi terjadinya konflik ini, maka perlunya asas-asas hukum untuk menengahi, seperti jika konfliknya antara undang-undang dengan undang-undang maka dapat melihat asas lex posterior derogat legi priori atau asas lex specialis derogat legi generali atau asas superior derogat legi inferiori; jika konflik antara undang-undang dengan kebiasaan maka kita harus memahami substansi dalam undang-undang tersebut, apakah imperatif (memaksa) atau fakultatif (pelengkap); sedangkan jika konfliknya antara undang-undang dengan putusan pengadilan atau putusan pengadilan dengan kebiasaan, maka asas yang digunakan adalah asas res judicata proverita habetur.6

Dalam ilmu politik hukum, Bellefroid menjelaskan bahwa politik hukum adalah perubahan ius constitutum menjadi ius constituendum karena adanya perubahan kehidupan masyarakat7, dengan kata lain, kondisi masyarakat

mempengaruhi hukum yang ada saat ini.8 Pembentukan hukum nasional

banyak dipengaruhi oleh hukum kebiasaan yang di-positif-kan oleh negara untuk memberikan kepastian hukum, namun di era globalisasi saat ini, pembentukan hukum nasional banyak dipengaruhi oleh aspek-aspek dari luar, yaitu hukum internasional, seperti perjanjian-perjanjian internasional tentang hak asasi manusia. Pemerintah Indonesia banyak meratifikasi

2 Ibid.

3 Ibid.

4 Ibid.

5 Ibid.

6 Ibid.

7 F. Sugeng Istanto, Politik Hukum, Diktat, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada,

Yogyakarta.

8 C.F.G. Sunaryati hartono, 1991, Politik Hukum Menuju suatu Sistem Hukum Nasional,

(3)

perjanjian internasional tentang hak asasi manusia, seperti ICCPR, ICESCR, Konvensi Genosida, Konvensi Anti Penyiksaan, Konvensi Anti Diskriminasi Rasial, Konvensi Anti Diskriminasi terhadap Perempuan dan Konvensi Hak Anak. Perjanjian-perjanjian internasional tentang hak asasi manusia ini telah disahkan melalui undang-undang, kecuali Konvensi Hak Anak yang disahkan melalui keputusan presiden.9

Pada tahun 1999, Pemerintah Indonesia mengesahkan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, di mana Pasal 7 Ayat 2 UU ini menyatakan “Ketentuan hukum internasional yang telah diterima negara Republik Indonesia yang menyangkut hak asasi manusia menjadi hukum nasional. Selanjutnya, pasal ini telah membuat “gaduh” kondisi sistem hukum di Indonesia karena secara eksplisit mengijinkan masyarakat dan pengadilan untuk menggunakan substansi dari tujuh (7) perjanjian internasional di persidangan. Hal ini disebabkan karena masyarakat dan pengadilan tidak pernah menggunakan perjanjian internasional secara langsung dalam persidangan, melainkan menggunakan peraturan perundang-undangan nasional. Tentunya, permasalahan di atas memunculkan pertanyaan untuk apa dan oleh siapa perjanjian internasional dibuat, apakah konsekuensi dari ratifikasi perjanjian internasional, apakah undang-undang pengesahan perjanjian internasional membuat perjanjian internasional berlaku di Indonesia, apakah perjanjian internasional dapat diterapkan secara langsung di pengadilan nasional kita, apakah hakim terikat oleh perjanjian internasional yang dibuat oleh Eksekutif, bagaimana penerapan sistem pemisahan kekuasaan berdasarkan fungsi di Indonesia dan lainnya. Oleh karena itu, tulisan ini mengkritisi ketidakpahaman pembentuk undang-undang atas keberadaan hukum internasional di Indonesia.

Pengaruh dari Miskonsepsi Ajaran Monisme di Indonesia

Pasal 7 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia merupakan ketidakpahaman para pembentuk undang-undang pada saat itu untuk memahami bagaimana hukum internasional berevolusi dalam sistem hukum di Indonesia. Sejak masa Profesor Mochtar Kusumaatmadja kita digiring ke arah pemahaman monisme karena beliau berkiblat pada sistem ketatanegaraan Amerika Serikat dalam menjalankan roda pemerintahan melalui sistem checks and balances. Dalam sistem ini terdapat pemisahan yang tegas di Amerika Serikat bagi lembaga-lembaga negara dalam menjalankan tugas dan fungsinya, di mana ini bertujuan agar tiap-tiap lembaga negara tidak memiliki kekuasaan yang berlebihan.10 Demikian pula

ketika Presiden akan meratifikasi sebuah perjanjian internasional, Presiden harus mendapat persetujuan dari Senat Amerika Serikat. Selain itu, ketika Presiden akan membuat sebuah executive agreement dengan negara lain, Presiden harus mendapatkan persetujuan dari Kongres yang terdiri dari

9 Lihat: Pasal 9 Ayat 2 UU Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional.

10 Aalt Willem dan Philipp Kiiver, 2007, Constitution Compared: An Introduction to

(4)

Senat dan House of Representatives.11 Tujuan dari setiap persetujuan

tersebut adalah untuk membatasi kewenangan Presiden dalam melaksanakan hubungan luar negeri agar Amerika Serikat tidak terbebani oleh kewajiban-kewajiban internasional yang ada dalam perjanjian internasional atau executive agreement tersebut.

Lebih lanjut, meskipun Amerika Serikat adalah negara penganut faham monisme, sebagaimana yang ditunjukkan Pasal 6 Konstitusi Amerika Serikat, tidak berarti bahwa setiap perjanjian internasional yang diratifikasi oleh Presiden dan disetujui oleh Senat dapat diterapkan secara langsung di pengadilan nasional Amerika Serikat. Bahkan semua perjanjian internasional yang berkaitan dengan hak asasi manusia tidak dapat diterapkan secara langsung di pengadilan domestik karena Senat memiliki kewenangan untuk menetapkan kondisi dari perjanjian internasional yang akan diratifikasi oleh Presiden, apakah dapat diterapkan secara langsung atau tidak, melalui RUDs (reservations, understandings & declarations).12 Apakah Amerika Serikat

melanggar hukum internasional? Jika ditinjau dari sistem hukum internasional, tujuan dibuatnya perjanjian internasional adalah untuk menjembatani hubungan antar negara yang mana tiap-tiap negara memiliki hukum nasional yang berbeda-beda. Namun jika ditinjau dari sistem hukum nasional, negara-negara pihak dari suatu perjanjian internasional memiliki kewenangan mutlak untuk menentukan bagaimana penyikapan mereka terhadap perjanjian internasional di level domestik. Adalah kewenangan dari Pemerintah Amerika Serikat untuk mengajukan persyaratan keberlakuan suatu perjanjian internasional dalam hubungannya dengan negara-negara lain dan di level domestiknya.

Implementasi hukum internasional di pengadilan nasional adalah pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh negara di level nasional. Bagaimana mereka memperlakukan hukum internasional ke dalam sistem hukum nasional mereka? Pembelajaran hukum internasional kita berhadapan dengan dua teori besar yaitu monisme dan dualisme, meskipun kemudian muncul teori baru yang diungkap oleh J.G. Starke yaitu teori delegasi, yang ingin memperjelas kapan suatu negara menganut faham monisme dan dualisme.13

Starke, dalam teori delegasinya, menjelaskan bahwa keberlakuan perjanjian internasional dalam sistem hukum nasional suatu negara bergantung pada kebiasaan yang berlaku yang kemudian dituangkan ke dalam konstitusi negara masing-masing. Starke pada intinya ingin mengatakan bahwa faham yang dianut suatu negara apakah monisme atau dualisme dapat dicermati dalam konstitusi mereka.14 Ada negara yang

mengatur secara tegas hubungan antara hukum internasional dan hukum

11 Ibid., h. 56.

12 Curtis A. Bradley, 2003, International Delegation, the Structural Constitution and

Non-Self-Execution, 55 Stan. L. Rev. 1557, Standford Law Review, h. 1587.

13 J.G. Starke, 1984, Introduction to International Law, Butterworth, London, h.73-74.

(5)

nasional, tetapi juga ada negara yang tidak mengatur. Amerika Serikat15,

Perancis16, Rusia17, Belanda18 dan Timor Leste19 adalah negara yang

mengatur secara tegas hubungan keduanya. Hal ini dapat dilihat dalam konstitusi mereka. Berbeda dengan negara-negara seperti Australia, Kanada, Malaysia dan Indonesia yang tidak mengatur hubungan tersebut. Menyimpulkan dari teori delegasinya Starke, maka negara-negara yang mengatur hubungan tersebut biasanya adalah negara penganut monisme, dan sebaliknya. Ini karena di negara-negara dualisme mereka memberikan keutamaan pada hukum nasional.

Bagaimana dengan Indonesia? Jika dilihat dari teori delegasi, Indonesia adalah negara yang tidak mengatur hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional dalam konstitusinya. Oleh karena itu, Indonesia adalah negara yang memberikan keutamaan pada hukum nasional sehingga hukum internasional tidak mungkin diterapkan secara langsung di pengadilan nasional kita. Keberadaan Pasal 7 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia secara substansial adalah keliru karena pembentuk undang-undang tidak memahami secara utuh bagaimana sistem hukum nasional kita mengadopsi hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia.

Kewajiban Internasional Berbeda dengan Konsep Monisme

Banyak orang baik akademisi maupun praktisi memahami konsep monisme secara keliru. Ketika Pemerintah Indonesia melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional yang diemban atas konsekuensi dari peratifikasian perjanjian internasional, hal tersebut adalah bukti bahwa Indonesia adalah negara monisme. Mereka tidak memahami filosofi hukum internasional secara utuh, namun hanya sebagian saja. Dalam memahami secara utuh filosofi perjanjian internasional maka kita harus membedakan antara proses integrasi dan proses implementasi yang di dalamnya ada konsep signature, ratification, reservation, entry into force dan lainnya.

Dalam proses integrasi suatu perjanjian internasional, ada proses yang disebut ratifikasi yang diatur dalam Pasal 2 Konvensi Wina 1969 di mana ratifikasi tersebut adalah tindakan negara untuk terikat pada suatu perjanjian internasional di level internasional. Tujuan ratifikasi ini adalah untuk membuat perjanjian internasional yang telah disepakati berlaku di antara negara-negara sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Ayat 1(b) Konvensi Wina 1969 tanpa memberikan konsekuensi hukum pada negara di level nasional. Dalam sistem ketatanegaraan suatu negara, ada negara yang menganut sistem pemisahan kekuasaan secara murni, tetapi juga ada negara yang menggunakan sistem checks and balances. Dalam sistem yang pertama, Eksekutif memiliki kewenangan yang sangat besar dalam

15 Pasal 6 Konstitusi Amerika Serikat

16 Pasal 55 Konstitusi Perancis 1958

17 Pasal 15 Ayat 4 Konstitusi Rusia

18 Pasal 94 Grundwet

(6)

mengikatkan diri pada perjanjian internasional tanpa perlu melibatkan lembaga Legislatif/Parlemen. Namun demikian, pengikatan diri ini hanya mengikat negara di level internasional dan tujuan utamanya adalah untuk membuat perjanjian internasional tersebut berlaku sebagaimana yang selalu disyaratkan dalam setiap perjanjian internasional. Negara pihak dari perjanjian internasional memiliki kewajiban internasional yang harus diemban dalam hubungannya dengan negara lain sebagaimana yang diatur dalam Pasal 26 dan 27 Konvensi Wina 1969. Selanjutnya, dalam sistem yang kedua, lembaga Eksekutif memiliki kewenangan terbatas pada proses negosiasi dan penandatanganan saja. Selanjutnya, untuk proses ratifikasi Presiden akan menunggu persetujuan dari lembaga Legislatif. Ada dua negara yang menggunakan sistem ini, yaitu Amerika Serikat dan Indonesia.

Dalam Konstitusi Amerika Serikat, khususnya Pasal 6, menyatakan tentang status perjanjian internasional di level nasional yaitu “the supreme law of the Land”, artinya perjanjian internasional akan mengalahkan hukum federal dan hukum negara bagian jika substansinya bertentangan. Hal perlu dipahami juga di Amerika Serikat adalah perjanjian internasional disederajatkan dengan hukum federal sehingga berlaku asas “later-in-time doctrine” di mana jika ada hukum federal yang diterbitkan oleh Kongres dan ternyata substansinya bertentangan dengan perjanjian internasional maka hukum federal yang baru yang akan dimenangkan di pengadilan nasional.20

Dari keberadaan Pasal 6 tersebut dapat disimpulkan jika Amerika Serikat adalah negara monisme, di mana perjanjian internasional dapat diterapkan secara langsungdi pengadilan, kecuali ditentukan lain.

Di Indonesia muncul kebingungan pemahaman secara akademik terkait dengan kewajiban internasional dengan konsep monisme. Melaksanakan kewajiban internasional yang ada di dalam perjanjian internasional dianggap sebagai bentuk dari konsep monisme sehingga jika Indonesia meratifikasi perjanjian internasional dan melaksanakan kewajiban internasional yang diatur dalam perjanjian tersebut maka Indonesia adalah negara monisme. Pemahaman ini disebabkan oleh tidak dipisahnya pemahaman dan penjelasan tentang konsekuensi hukum meratifikasi perjanjian internasional bagi negara di level internasional dan di level nasional. Ketika negara meratifikasi perjanjian internasional maka perjanjian internasional tersebut memiliki konsekuensi hukum bagi negara tersebut dengan negara-negara lain di level internasional. Konsekuensi hukum peratifikasian perjanjian internasional di level nasional bergantung pada tradisi hukum yang berlaku di masing-masing negara, apakah mereka mengijinkan perjanjian internasional diterapkan secara langsung atau tidak. Contoh dari pelaksanaan kewajiban internasional dapat dilihat dari UNCLOS 1982, di mana Pasal 17 mengijinkan kapal negara bendera asing untuk melakukan “hak lintas damai” di laut teritorial negara lain. Contoh lain adalah tidak dapat diganggugugatnya pejabat diplomatik asing di negara penerima yang merupakan kewajiban yang harus dipatuhi oleh negara penerima berdasarkan Konvensi Wina 1961 dan 1963. Dalam hal

(7)

konsekuensi hukum di level nasional, setiap negara memiliki jawaban yang berbeda-beda bergantung pada konstitusi negaranya, apakah mengatur hubungan antara hukum internasional dengan hukum nasional.

Indonesia mengutamakan Hukum Nasional daripada Hukum Internasional

Dalam UUDNRI 1945 hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional memang tidak diatur, namun hanya mengatur prosedur ketika Presiden akan meratifikasi perjanjian internasional dengan negara lain harus mendapat persetujuan DPR, sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 11. Tidak adanya pengaturan bukan menandakan ketidaklengkapan atau ketidakjelasan Konstitusi kita, sebaliknya hal tersebut menandakan bahwa keutamaan hukum yang ada di Indonesia adalah hukum nasional, bukan hukum internasional. Selain itu, sistem hukum di Indonesia menghormati sistem pemisahan kekuasaan dalam fungsi kelembagaan negara. Ada komentar bahwa Konstitusi kita harus diamandemen karena tidak mengatur hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional sehingga menimbulkan kebingungan apakah Indonesia menganut monisme atau dualisme. Jika kita melihat beberapa negara, seperti Malaysia, Australia dan Kanada, ketiga negara ini tidak mengatur hubungan antara hukum internasional dan hukum nasional dalam Konstitusi mereka, dan bukan berarti Konstitusi mereka tidak lengkap dan tidak jelas tetapi hal ini menggambarkan bagaimana negara memandang keberadaan hukum internasional dalam sistem hukum mereka. Di Malaysia dalam kasus P.P. v. Wah Ah Jee, pengadilan Malaysia memberikan keutamaan pada hukum nasional daripada hukum internasional dengan pertimbangan bahwa “The Court here must take the law as they find it expressed in the Enactment. It is not the duty of a judge or magistrate to consider whether the law so set forth is contrary to international law or not.”21 Di Australia juga demikian

bahwa tidak ada pengaturan secara khusus karena keutamaan ada pada hukum nasional, sebagaimana yang diungkap oleh hakim Dixon dalam kasus Chow Hung Ching bahwa “International law is not part of our law but is one of the source of our law.”22 Lebih lanjut, Hakim Mason menjelaskan “It is a

well settled principle of the common law that a treaty has no legal effect upon the rights and duties of Australian citizens and is not incorporated into Australian law on its ratification by Australia.”23 Hal yang sama juga terjadi di

Kanada bahwa hukum internasional hanyalah mengatur hubungan antara Pemerintah Kanada dengan pemerintah negara-negara lain tetapi tidak

21 Abdul Ghafur dan Khim Maung Sein, Judicial Application of International Law in Malaysia: A

Critical Analysis, the 2nd Asian Law Institute (ASLI) Conference, Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand, 26-27 Mei 2005, h. 8.

22 Rosaline Balkin, International Law and Domestic Law, dalam Sam Blay, Ryszard Piotrowicz

& Martin Tsamenvi (Ed.), 2005, Public International Law: An Australian Perspective, Second Edition, Oxford University Press, Huntington, N.Y., h. 117-118.

23 Michael Kirby, 1997, Domestic Implementation of International Human Rights Norms, A

(8)

memiliki efek hukum apapun di level nasional sebelum mendapatkan persetujuan dari Parlemen Kanada, bahkan Parlemen di level provinsi. Lord Atkin mengatakan “Where the subject matter of a treaty comes within provincial legislative competence, only province may enact implementing legislation.”24

Dengan demikian sebenarnya alasan dari Konstitusi kita tidak mengatur hubungan kedua hukum tersebut adalah jelas bahwa keutamaan diberikan pada hukum nasional. Hakim di pengadilan terikat oleh hukum nasional yang dibuat oleh DPR sedangkan hukum internasional mengikat Indonesia sebagai negara dalam menjalankan hubungan luar negeri. Kewajiban internasional yang diemban oleh negara dapat digejahwantahkan ke dalam undang-undang melalui proses legislasi yang dilakukan oleh DPR sebagai penguatan hukum internasional di level nasional.

Hukum internasional sebenarnya merupakan “payung” atau sebagai pedoman bagi negara-negara untuk membuat aturan-aturan hukum di level nasional. Oleh karena itu, kata yang sering ada dalam pasal-pasal perjanjian internasional adalah kata “shall” yang artinya akan atau diminta untuk. Hukum internasional tidak pernah memaksa negara-negara yang telah meratifikasi untuk menerapkan secara langsung di pengadilan karena hukum internasional paham bahwa tiap-tiap negara memiliki tradisi hukum yang berbeda-beda. Hukum internasional hanya menginginkan bahwa kewajiban internasional yang telah disepakati dapat dilaksanakan dengan itikad baik, sesuai dengan Pasal 26 Konvensi Wina 1969.

Keberadaan Pasal 7 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Tidak Sesuai dengan Tradisi Hukum di Indonesia

Dari uraian di atas menunjukkan betapa lemahnya pemahaman para ahli hukum di DPR terhadap keberadaan hukum internasional di Indonesia. Kita secara tidak langsung oleh para ahli hukum di DPR dipaksa untuk menjadi sebuah negara monisme yang mana pengadilan akan menerapkan langsung perjanjian-perjanjian internasional tentang hak asasi manusia di persidangan. Selain hakim-hakim di seluruh Indonesia akan kesulitan memahami makna dalam setiap pasal di perjanjian internasional tersebut, juga mereka akan bingung dengan tradisi hukum yang selama ini berlaku di Indonesia. Hakim adalah corong dari undang-undang yang dibuat oleh DPR, bukan perjanjian internasional yang dibuat Presiden karena level kompetensinya berbeda, di mana yang satu di level nasional dan yang lain di level internasional.

Negara-negara yang menganut monisme saja tidak berani untuk menerapkan perjanjian internasional secara langsung sehingga mereka untuk mencegah agar perjanjian internasional tidak merusak tradisi hukum mereka, maka mereka memberikan kriteria self-executing treaty dan non-self-executing treaty. Tentunya ini menjadi pertanyaan besar bagi mereka yang membuat Pasal 7 tersebut terkait dengan filosofi apa yang mereka

24 George Slyz, 1997, International Law in National Courts, 28 N.Y.U. J, Int’l. & Pol. 65, New

(9)

gunakan untuk meloloskan pasal tersebut dalam UU Nomor 39 Tahun 1999. Pasal 7 ini secara jelas menyalahi tradisi hukum yang berlaku di Indonesia selama ini karena hakim memang tidak wajib menerapkan secara langsung perjanjian internasional tetapi hakim bisa melakukan interpretasi hukum terkait dengan hukum nasional yang sekiranya tidak sesuai dengan kewajiban internasional yang harus diemban Indonesia sebagai negara pihak dari perjanjian-perjanjian internasional tentang hak asasi manusia.

Ada ketidakmengertian para ahli hukum di DPR ketika membahas UU ini adalah penerapan perjanjian internasional di negara kita adalah melalui interpretasi hukum, bukan penerapan secara langsung yang biasa dilakukan oleh negara-negara monisme. Dan hal yang perlu diingat bahwa di negara monisme seperti Amerika Serikat, perjanjian internasional disederajatkan dengan hukum federal atau “federal common law”25 sehingga perjanjian ini

bisa dianulir atau dikesampingkan jika Kongres membuat undang-undang federal baru yang isinya mengatur hal yang sama tetapi bertentangan, maka yang dimenangkan bukan perjanjian internasionalnya tetapi undang-undang federalnya. Ini biasa disebut dengan doktrin later-in-time atau asas lex posterior derogat legi priori.

Pada akhirnya, Pasal 7 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia tidak sesuai dengan situasi dan kondisi masyarakat kita atau tradisi hukum kita karena kita tidak pernah menerapkan secara langsung perjanjian internasional di pengadilan tetapi perjanjian internasional hanya sebagai sumber hukum. Dan selain itu, perjanjian internasional adalah kesepakatan antar negara dan hanya mengikat negara di level internasional. Pasal 7 ini merupakan produk hukum yang cacat secara filosofi sehingga tidak memungkinkan untuk diterapkan.

Kesimpulan

Dari hasil uraian di atas tentang keberadaan Pasal 7 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, maka dapat disimpulkan beberapa hal, antara lain:

1. Tradisi hukum di Indonesia tidak mengijinkan perjanjian internasional diterapkan secara langsung di pengadilan nasional sehingga tidak ada kewajiban apapun bagi hakim untuk menerapkan perjanjian internasional yang disepakati oleh negara.

2. Perjanjian internasional hanya mengikat negara di level internasional dalam hubungannya dengan negara lain tanpa memiliki konsekuensi di level nasional.

3. Munculnya Pasal 7 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia adalah kesalahan dari para ahli hukum di DPR akibat pengaruh dari miskonsepsi ajaran monisme di Indonesia.

4. Hukum internasional merupakan “payung” atau pedoman bagi negara-negara dalam menjalankan hubungan luar negeri.

25 Louis Henkin, 1984, International Law as Law in the US, 82 Mich. L. Rev. 1555, Michigan

(10)

Penerapan hukum internasional di level nasional menjadi kewenangan tiap-tiap negara dan merupakan pertanyaan yang hanya bisa dijawab oleh negara yang bersangkutan sesuai dengan situasi dan kondisi dalam negara tersebut.

Saran

(11)

Daftar Pustaka

 Aalt Willem dan Philipp Kiiver, 2007, Constitution Compared: An Introduction to Comparative Constitutional Law, Intersentia, Antwerpen.

 Abdul Ghafur dan Khim Maung Sein, Judicial Application of International

Law in Malaysia: A Critical Analysis, the 2nd Asian Law Institute (ASLI)

Conference, Chulalongkorn University, Bangkok, Thailand, 26-27 Mei 2005.

 C.F.G. Sunaryati hartono, 1991, Politik Hukum Menuju suatu Sistem Hukum Nasional, Alumni, Bandung.

 Curtis A. Bradley, 2003, International Delegation, the Structural Constitution and Non-Self-Execution, Stan. L. Rev. 1557, Standford Law Review.

 F. Sugeng Istanto, Politik Hukum, Diktat, Fakultas Hukum Universitas

Gadjah Mada, Yogyakarta.

 George Slyz, 1997, International Law in National Courts, 28 N.Y.U. J, Int’l. & Pol. 65, New York University Journal of International Law and Politics.

 J.G. Starke, 1984, Introduction to International Law, Butterworth, London.

 Louis Henkin, 1984, International Law as Law in the US, 82 Mich. L. Rev. 1555, Michigan Law Review.

 Michael Kirby, 1997, Domestic Implementation of International Human Rights Norms, A Speech, ANU Faculty of Law, Conference on Implementing International Law Human Rights, dalam

http://www.hcourt.gov.au/speeches/kirbyj/kirbyj_inhrts.htm

 Rosaline Balkin, International Law and Domestic Law, dalam Sam Blay,

Ryszard Piotrowicz & Martin Tsamenvi (Ed.), 2005, Public International Law: An Australian Perspective, Second Edition, Oxford University Press, Huntington, N.Y.

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian variabel kualitas produk menunjukkan bahwa kualitas produk berpengaruh terhadap keputusan pembelian, dapat dilihat dari hasil kuesioner bahwa

Peningkatan produksi kacang tanah dilakukan dengan berbagai cara seperti perluasan penanaman kacang tanah sehingga memiliki produksi yang baik dan lain-lain tetapi kendala

Hasil uji t untuk sampel berpasangan H-0 dan H-14 sebagaimana tertera di Tabe l 2 , nilai p=0,300 (>0,05) sehingga dapat disimpulkan perbedaan yang tidak bermakna rata- rata

Lebih dari setengah pelaku rawat informal meng- gunakan koping adaptif selama melakukan perawatan kepada klien dengan diabetes dan sebagian pelaku rawat informal

masyarakat Mandar di Kecamatan Sendana Kabupaten Majene ialah diantaranya: (1) penentuan calon dilihat dari akhlaknya yang baik (agama); (2) penjajakan dengan maksud

Analisa data dalam penelitian ini yaitu menganalisis data hasil angket penelitian yang berkaitan dengan perkembangan sosial peserta didik Kelas X di SMK Negeri 1

Dari hasil analisis data yang telah dilakukan maka disimpulkan bahwa penerapan model problem based learning memiliki pengaruh yang positif dan signifikan terhadap

Penelitian ini menggunakan pendekatan Penelitian Tindakan Kelas (PTK) dengan subyek penelitian adalah siswa kelas XII TPHP SMK Putra Wilis Kecamatan Sendang