DAN AKIBAT HUKUMNYA
T E S I S
Oleh
LINDA RAHMITA PANJAITAN
087011009/ MKn
MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
DAN AKIBAT HUKUMNYA
T E S I S
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Kenotariatan dalam Program Studi Kenotariatan pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara
Oleh
LINDA RAHMITA PANJAITAN
087011009/ MKn
MAGISTER KENOTARIATAN
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
Nama Mahasiswa : LINDA RAHMITA PANJAITAN
Nomor Pokok : 087011009
Program Studi : Kenotariatan
Menyetujui
Komisi Pembimbing :
( Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH, MS, CN ) Ketua
( Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum ) Anggota
( Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum ) Anggota
Ketua Program
( Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH, MS, CN )
Dekan
( Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum )
Tanggal : 20 Januari 2010
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Muhammad Yamin Lubis, SH, MS, CN
Anggota : 1. Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum
2. Dr. T. Keizerina Devi Azwar, SH, CN, M.Hum
3. Hj. Chairani Bustami Jusuf, SH, SpN, MKn
Penelitian ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai perkawinan anak dibawah umur menurut sistem hukum di Indonesia, untuk mengetahui bagaimana pengaturannya, akibat hukum yang ditimbulkannya serta sanksi yang dikenakan atas pelanggaran yang dilakukan.
Penelitian ini termasuk penelitian hukum yuridis normatif. Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara berkas perkara pengadilan berupa akta penetapan. Sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara dengan hakim pengadilan agama. Sumber data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari akta penetapan dengan Nomor 63/ Pdt.P/2009 PA-Mdn dan Akta Penetapan Nomor 2/ Pdt.P/2009 PA-Mdn.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan hakim dan panitera pengadilan agama tentang aturan-aturan hukum serta melakukan studi pustaka dengan analisa isi terhadap sumber pustaka yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Teknik analisis yang digunakan bersifat kualitatif, penelitian ini dimulai dengan reduksi data lalu menyajikan data kemudian penarikan kesimpulan.
Kesimpulan, bahwa tidak ada pengaturan hukum yang khusus menyangkut perkawinan anak dibawah umur. Anak dibawah umur menurut sistem hukum di Indonesia yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1974 adalah anak yang berusia 19 (sembilan belas) tahun untuk pria dan 16 (enam belas) tahun untuk wanita.
Walaupun telah ditegaskan mengenai batas usia minimum diperbolehkan menikah oleh Undang-Undang, namun disisi lain diberikan pengecualian untuk itu. Pengecualian itu disebut dengan pemberian dispensasi kawin untuk anak dibawah umur. Anak dibawah umur yang mendapat dispensasi kawin boleh melaksanakan perkawinan walaupun masih dibawah umur. Anak dibawah umur yang mendapat dispensasi kawin setelah melaksanakan perkawinan, dianggap dewasa dan dianggap cakap dalam melakukan suatu perbuatan hukum, atau ia nya tidak berada dibawah pengampuan orangtuanya lagi.
Sedangkan anak yang hendak kawin, tetapi tidak mendapat dispensasi kawin dari pengadilan, maka perkawinannya hanya dapat dilangsungkan secara agama saja. Perkawinan yang dilangsungkan secara agama, hanya sah dimata agama, akan tetapi tidak sah dimata hukum. Salah satu akibat perkawinan anak dibawah umur ini adalah, karena perkawinannya tidak dicatatkan secara resmi, maka jika terjadi konflik dalam rumah tangganya dan berakibat pada perceraian, maka pihak istri tidak dapat menggugat suami, harta gono-gini, gaji dan status anak hasil dari perkawinannya. Oleh karena itu dihimbau kepada semua untuk mencegah terjadinya perkawinan pada anak dibawah umur. Sanksi terhadap pelanggaran ini telah diatur didalam Undang-Undang.
ABSTRACT
This research was analyzed and answering the dillema of the marriage of adolescent according to the law system in Indonesia, in order to identify how its management, the law impact of its occuring and also the sanction which allowed for the interruption which performed.
This research was belonged to Normative Juridical. The kinds of data in this research were both primary and secondary data. The primary data in this research was interview result of the court case document; that is establishment act. The source of primary data in this research was obtained from interview with the judge of religion court. The source of secondary data in this researchwas obtained from establishment act with Number 63/Pdt.P/2009 PA-Mdn and the establishment act Number 2/Pdt.P/2009 PA-Mdn.
The data collecting technique was carried out by interview with judge and the lawyer of religion court about law regulation and performing the literature study with contents analysis to the source of literature with related to the problems in this research. The analysis technique which used was qualitative characteristic, this research was initiated with data reduction then providing data and then taking conclusion.
The conclusion, that there is no spesific law management about the marriage of adolescents. The adolescent according to the law system in Indonesia was Regulation No.1 of 1974; that is the childrenof 19 years old for man and 16 years old for woman. Even though, that has been confirmed about the limit of the minimum age the permitted to be married by the regulation, but on the other side, the exception for its has allowed. That exception was called married dispensation giving for adolescents. Those children who get married dispensation were permitted to perform the marriage even still adolescent. Those children that have been married, then they were regarded as adult person and capable in performing of law action, or he/she was not under his/her parents’ forgiveness.
While for children who are going to be married but do not get married dispensation from the court, then his/her marriage was allowed to be performed in religious ceremony only. The marriage that performed in religious ceremony was just valid in the eyes of the religion, but not in law. One of impact of the marriage of adolescents was not documented legally, then if there is conflicts emerge in his/her household, and occuring the divorce, the wife-party disable to claim the husband-party, the properties, salaries and children status as the result of their marriage. Therefore, it is recommended to all party to avoid the marriage of adolescents. The sanction of this interruption has been managed in the law.
I. IDENTITAS PRIBADI
Nama : LINDA RAHMITA PANJAITAN SH
Tempat/ Tanggal lahir : Medan, 23 Oktober 1979
II. ORANG TUA
Nama Ayah : Alm. H. SUPARMAN PANJAITAN, SH
Nama Ibu : Dra. Hj. ZURAIDA PURBA
III. PEKERJAAN
Mahasiswi Pascasarjana Kenotariatan
IV. PENDIDIKAN
1. SD : Swasta Angkasa I Cabang Medan
2. SMP : SMP Negeri 1 Medan
3. SMA : SMA Negeri 1 Medan
4. S-1 : Fakultas Hukum Universitas Islam Sumatera Utara
5. S-2 : Sekolah Pasca Sarjana Universitas Sumatera Utara
Bismillahirrahmanirrahim....
Puji dan Syukur Penulis panjatkan setinggi-tingginya kepada Allah,SWT
karena berkat rahmat serta pertolongan-Nya Penulis bisa meneyelesaikan tesis yang
berjudul “PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR DAN AKIBAT
HUKUMNYA” ini.
Penulisan tesis ini merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam
menyelesaikan Program Studi Magister Kenotariatan pada Program Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara.
Tentunya dalam penulisan tesis ini, Penulis tidak sendiri, Penulis banyak
mendapat masukan, bimbingan dan bantuan dari para pihak. Oleh karena itu Penulis
ingin mengucapkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada mereka.
Terima kasih yang tak terhingga Penulis sampaikan kepada Bapak
Prof.Dr.Muhammad Yamin Lubis, SH,MS,CN selaku Ketua Komisi Pembimbing,
Bapak Prof.Dr.Runtung,SH,M.Hum dan Ibu DR.T.Keizerina Devi Azwar,
SH,CN,M.Hum masing-masing selaku anggota Komisi Pembimbing yang selama ini
dengan sangat sabar dan sangat perhatian telah memberikan pengarahan, nasehat
serta bimbingan kepada Penulis, dalam pembuatan tesis ini.
Penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih secara khusus kepada Ibunda
Penulis, yang pada kesempatan ini dipercayakan menjadi Penguji dalam tesis ini.
Selanjutnya Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar besarnya kepada :
1. Bapak - bapak dan Ibu – Ibu Staf Pengajar serta para Pegawai di Program
Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
2. Rekan-rekan serta teman-teman tercinta di Sekolah Pasca Sarjana Universitas
Sumatera Utara di Program Magister Kenotariatan yang selalu memberikan
Penulis semangat dan memberikan dorongan agar cepat menyelesaikan studi.
Secara khusus Penulis menghaturkan sembah dan sujud serta ucapan terima
kasih yang tak terhingga kepada :
1. Ayahanda Alm.H.S.Panjaitan,SH dan Ibunda Dra.Hj.Z.Purba yang telah
bersusah payah membesarkan dengan penuh pengorbanan, kesabaran,
ketulusan dan kasih sayang serta selalu mendoakan Penulis sehingga dapat
menjadi seperti sekarang, melanjutkan dan menyelesaikan pendidikan sampai
jenjang S2 di Program Studi Magister Kenotariatan Sekolah Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara. “ Pa, akhirnya apa yang pernah Papa sampaikan
dulu, sekarang telah terwujud... makasih Pa atas doa’nya...”
2. Suami ku yang sangat tercinta, dr.H.M.Isa Ansari Harahap,SpPD
Tesis ini Penulis hadiahkan sebagai kado hari jadi perkawinan kami yang ke –
DESVITHANIA HARAHAP”, atas kesabaran, pengertian dan senyum tulus
nya untuk ku ... Kamu adalah semangat Mami, Separuh Jiwa Mami...
4. Adik - adik ku yang tersayang : Yunita Sari Panjaitan, S.Sos, Dicky Anugerah
Panjaitan,S.Sos, dan dr. Tetty Wahyuni Panjaitan atas dukungan dan
perhatiannya.
Akhirnya Penulis berharap semoga tesis ini dapat memberikan manfaat kepada
semua pihak, terutama kepada Penulis dan kalangan yang mengembangkan ilmu
hukum, khususnya dalam bidang Ilmu Kenotariatan.
Wassalam,
Medan, 11 Januari 2010
Penulis
Halaman
INTISARI... i
ABSTRACT ... ii
RIWAYAT HIDUP ... iii
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR ISI... vii
BAB I : PENDAHULUAN ... 1
A. Latar Belakang ... 1
B. Perumusan Masalah ... 8
C. Tujuan Penelitian ... 8
D. Manfaat Penelitian... 8
E. Keaslian Penelitian ... 9
F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 10
1. Kerangka Teori ... 10
2. Kerangka Konsepsi ... 14
G. Metode Penelitian ... 15
1. Spesifikasi Penelitian ... 15
2. Sumber data ... 15
3. Alat Pengumpulan Data ... 16
UMUR DALAM SISTEM HUKUM DI INDONESIA ... 18
A. Pengaturan Perkawinan di Indonesia... 18
1. Hukum Perkawinan Sebelum Lahirnya UU No.1 Tahun 1974... 18
2. Pengertian Perkawinan... 21
3. Syarat-Syarat Sahnya Perkawinan... 27
4. Tujuan Perkawinan... 34
5. Pencegahan Perkawinan... 37
6. Pembatalan Perkawinan... 38
B. Perkawinan di Bawah Umur... 40
1. Perkawinan Dibawah Umur Menurut Konsep Perdata... 42
2. Perkawinan Dibawah Umur Menurut Konsep Pidana... 44
3. Perkawinan Dibawah Umur Menurut Konsep Hukum Adat.. 45
4. Perkawinan Dibawah Umur Menurut Konsep Atheis... 46
DIBAWAH UMUR ... 59
A. Akibat Hukum Perkawinan Anak Dibawah Umur Menurut
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ... 59
B. Akibat Hukum Perkawinan Anak Dibawah Umur
Menurut Undang-Undang Perdata... 89
C. Akibat Hukum Perkawinan Anak Dibawah Umur
Menurut Undang-Undang Perlindungan Anak... 94
D. Dampak Perkawinan Anak di Bawah Umur... 96
BAB IV : SANKSI TERHADAP PELANGGARAN
PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR... 100
A. Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974
( PP No.9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan)... 101
B. Menurut Undang-Undang No.23 Tahun 2002 tentang
A. Kesimpulan... 111
B. Saran ... 112
DAFTAR PUSTAKA
Penelitian ini mengkaji dan menjawab permasalahan mengenai perkawinan anak dibawah umur menurut sistem hukum di Indonesia, untuk mengetahui bagaimana pengaturannya, akibat hukum yang ditimbulkannya serta sanksi yang dikenakan atas pelanggaran yang dilakukan.
Penelitian ini termasuk penelitian hukum yuridis normatif. Jenis data dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini adalah hasil wawancara berkas perkara pengadilan berupa akta penetapan. Sumber data primer dalam penelitian ini diperoleh melalui wawancara dengan hakim pengadilan agama. Sumber data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari akta penetapan dengan Nomor 63/ Pdt.P/2009 PA-Mdn dan Akta Penetapan Nomor 2/ Pdt.P/2009 PA-Mdn.
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara dengan hakim dan panitera pengadilan agama tentang aturan-aturan hukum serta melakukan studi pustaka dengan analisa isi terhadap sumber pustaka yang relevan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Teknik analisis yang digunakan bersifat kualitatif, penelitian ini dimulai dengan reduksi data lalu menyajikan data kemudian penarikan kesimpulan.
Kesimpulan, bahwa tidak ada pengaturan hukum yang khusus menyangkut perkawinan anak dibawah umur. Anak dibawah umur menurut sistem hukum di Indonesia yaitu Undang-Undang No.1 Tahun 1974 adalah anak yang berusia 19 (sembilan belas) tahun untuk pria dan 16 (enam belas) tahun untuk wanita.
Walaupun telah ditegaskan mengenai batas usia minimum diperbolehkan menikah oleh Undang-Undang, namun disisi lain diberikan pengecualian untuk itu. Pengecualian itu disebut dengan pemberian dispensasi kawin untuk anak dibawah umur. Anak dibawah umur yang mendapat dispensasi kawin boleh melaksanakan perkawinan walaupun masih dibawah umur. Anak dibawah umur yang mendapat dispensasi kawin setelah melaksanakan perkawinan, dianggap dewasa dan dianggap cakap dalam melakukan suatu perbuatan hukum, atau ia nya tidak berada dibawah pengampuan orangtuanya lagi.
Sedangkan anak yang hendak kawin, tetapi tidak mendapat dispensasi kawin dari pengadilan, maka perkawinannya hanya dapat dilangsungkan secara agama saja. Perkawinan yang dilangsungkan secara agama, hanya sah dimata agama, akan tetapi tidak sah dimata hukum. Salah satu akibat perkawinan anak dibawah umur ini adalah, karena perkawinannya tidak dicatatkan secara resmi, maka jika terjadi konflik dalam rumah tangganya dan berakibat pada perceraian, maka pihak istri tidak dapat menggugat suami, harta gono-gini, gaji dan status anak hasil dari perkawinannya. Oleh karena itu dihimbau kepada semua untuk mencegah terjadinya perkawinan pada anak dibawah umur. Sanksi terhadap pelanggaran ini telah diatur didalam Undang-Undang.
ABSTRACT
This research was analyzed and answering the dillema of the marriage of adolescent according to the law system in Indonesia, in order to identify how its management, the law impact of its occuring and also the sanction which allowed for the interruption which performed.
This research was belonged to Normative Juridical. The kinds of data in this research were both primary and secondary data. The primary data in this research was interview result of the court case document; that is establishment act. The source of primary data in this research was obtained from interview with the judge of religion court. The source of secondary data in this researchwas obtained from establishment act with Number 63/Pdt.P/2009 PA-Mdn and the establishment act Number 2/Pdt.P/2009 PA-Mdn.
The data collecting technique was carried out by interview with judge and the lawyer of religion court about law regulation and performing the literature study with contents analysis to the source of literature with related to the problems in this research. The analysis technique which used was qualitative characteristic, this research was initiated with data reduction then providing data and then taking conclusion.
The conclusion, that there is no spesific law management about the marriage of adolescents. The adolescent according to the law system in Indonesia was Regulation No.1 of 1974; that is the childrenof 19 years old for man and 16 years old for woman. Even though, that has been confirmed about the limit of the minimum age the permitted to be married by the regulation, but on the other side, the exception for its has allowed. That exception was called married dispensation giving for adolescents. Those children who get married dispensation were permitted to perform the marriage even still adolescent. Those children that have been married, then they were regarded as adult person and capable in performing of law action, or he/she was not under his/her parents’ forgiveness.
While for children who are going to be married but do not get married dispensation from the court, then his/her marriage was allowed to be performed in religious ceremony only. The marriage that performed in religious ceremony was just valid in the eyes of the religion, but not in law. One of impact of the marriage of adolescents was not documented legally, then if there is conflicts emerge in his/her household, and occuring the divorce, the wife-party disable to claim the husband-party, the properties, salaries and children status as the result of their marriage. Therefore, it is recommended to all party to avoid the marriage of adolescents. The sanction of this interruption has been managed in the law.
A. Latar Belakang.
Sudah menjadi kodrat alam, bahwa dua orang manusia dengan jenis kelamin
yang berlainan, seorang perempuan dan seorang laki-laki, ada daya saling menarik
satu sama lain untuk hidup bersama. 1
Hidup bersama ini berakibat sangat penting didalam masyarakat. Akibat paling
dekat adalah bahwa dengan hidup bersama antara dua orang manusia ini sekedar
menyendirikan diri dari anggota-anggota lain dari masyarakat. Akibat yang lebih jauh
adalah bahwa kalau kemudian ada anak-anak keturunan mereka, dengan anak
anaknya itu mereka merupakan suatu keluarga tersendiri. 2
Keluarga merupakan unsur terkecil dari masyarakat. Kesejahteraan,
ketentraman dan keserasian keluarga besar atau bangsa sangat bergantung pada
kesejahteraan, ketentraman dan keserasian keluarga. 3
Keluarga terbentuk melalui perkawinan. Perkawinan adalah ikatan antara dua
orang berlainan jenis dengan tujuan membentuk keluarga. 4
Hukum keluarga mempunyai peranan yang sangat penting dalam menentukan
hukum nasional dalam bidang hukum keluarga, oleh karena itu kita harus melakukan
unifikasi hukum yang berkembang dalam masyarakat.5 Dalam era globalisasi,
1
R.Wirjono Prodjodikoro,Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur Bandung, 1984, hal.7
2
Ibid, hal.7
3
Mohammad Zaid, Dua Puluh Lima Tahun Pelaksanaan Undang-Undang Perkawinan, Departemen Agama RI, Badan Litbang Agama dan Diklat Keagamaan, 2002, hal.1
4
Ibid, hal.1
5
kehidupan masyarakat cenderung materialistis dan individualistis. Kontrol sosial pun
semakin lemah, hubungan suami istri semakin renggang, hubungan orangtua dan
anak semakin bergeser dan kesaklaran keluarga semakin menipis. 6
Dalam kehidupan rumah tangga suami istri tumbuh pada keluarga yang
berbeda, yang masing-masing keluarga memiliki tradisi, perilaku dan cara sikap yang
berbeda 7, sehingga dalam mengarungi bahtera rumah tangga banyak menimbulkan
akibat hukum.
Salah satu yang menjadi konflik yang terjadi dalam perkawinan anak dibawah
umur yang dapat menimbulkan akibat hukum adalah kekerasan yang dilakukan oleh
suami terhadap istri didalam rumah tangga seperti penyiksaan terhadap istri atau
tepatnya penyiksaan terhadap perempuan dalam relasi hubungan intim dan mengarah
pada sistematika, kekuasaan dan kontrol. 8
Dalam hal ini pelaku kekerasan berupaya untuk menerapkannya terhadap istri
atau pasangan intimnya melalui penyiksaan secara fisik, emosi sosial, seksual dan
ekonomi. Kenyataan menunjukkan bahwa perlakuan diskriminasi terhadap wanita
diberbagai bidang masih banyak dijumpai, walaupun berbagai aturan dalam
Undang-Undang telah dibuat. 9
Dalam perkawinan anak dibawah umur, dampak yang ditimbulkan akibat
perkawinan ini, akibat-akibat yang muncul serta kasus kekerasan dalam rumah tangga
6
Soedjito, Transformasi Sosial Menuju Masyarakat Industri, Tiara Wacana, Yogyakarta, 1986, hal.113-114
7
Shalih bin Ahmad Al Ghazali, Romantika Rumah Tangga, Cendekia Sentra Muslim, Jakarta, 2004, hal.71
8
Ibid, hal.71
9
merupakan persoalan yang sangat penting untuk dibicarakan masyarakat luas, karena
membicarakan ini berarti membedah persoalan kemanusiaan. 10
Tujuan perkawinan pada dasarnya memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan
rohani manusia juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta
meneruskan keturunan dalam menjalani hidupnya didunia ini, selain itu untuk
mencegah perzinahan agar tercipta ketenangan keluarga dan masyarakat. 11
Perkawinan ditujukan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia
dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 12
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 yang mengatur hal-hal yang berkaitan
dengan perkawinan menentukan beberapa prinsip, diantaranya perkawinan dianggap
sah jika dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Disamping itu, tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan
yang berlaku. 13
Walaupun dalam Undang-Undang No.1 Tahun 1974 telah ditentukan peraturan
dan asas atau prinsip mengenai perkawinan dan segala sesuatu dengan perkawinan,
kenyataannya dalam masyarakat sering terjadi penyimpangan terhadap ketentuan
peraturan perundang-undangan, misalnya dengan melakukan perkawinan dibawah
umur ini.
10
Ibid, hal.72
11
M.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam (suatu analisis dari UU No.1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam), Bumi Aksara, Jakarta, 1996, hal.26
12
UU Perkawinan dan Pelaksanaan Pengangkatan Anak, Fokusmedia, Bandung, 2007, hal.1
13
Hal ini kerap terjadi, karena pandangan masyarakat yang keliru dalam
memaknai masalah perkawinan, misalnya : 14
1. Pandangan tentang “kedewasaan” seseorang dilihat dari perspektif ekonomi.
Ketika seseorang telah mampu menghasilkan uang atau telah terjun ke sektor
pekerjaan produktif telah dipandang dewasa dan dapat melangsungkan
perkawinan, meskipun secara usia masih anak-anak.
2. Kedewasaan seseorang yang dilihat dari perubahan-perubahan secara fisik,
misalnya menstruasi bagi anak perempuan dan mimpi basah bagi anak laki-laki,
diikuti dengan perubahan terhadap organ-organ reproduksi.
3. Terjadinya kehamilan di luar nikah, menikah adalah solusi yang sering diambil
oleh keluarga dan masyarakat untuk menutupi aib dan menyelamatkan status anak
pasca kelahiran.
4. Korban perkawinan dibawah umur lebih banyak anak perempuan karena
kemandirian secara ekonomi, status pendidikan dan kapasitas perempuan bukan
hal penting bagi keluarga. Karena perempuan sebagai istri segala kebutuhan dan
hak-hak individualnya akan menjadi tanggung jawab suami.
5. Tidak adanya sanksi pidana terhadap pelanggaran Undang-Undang Perkawinan,
menyebabkan pihak-pihak yang memaksa perkawinan dibawah umur tidak dapat
ditangani secara pidana.
14
Padahal kebijakan pemerintah dalam menetapkan batas minimal usia
perkawinan ini tentunya melalui proses dan berbagai pertimbangan. Hal ini
dimaksudkan agar kedua belah pihak benar-benar siap dan matang dari sisi fisik,
psikis dan mental.
Yang dimaksud dengan perkawinan dibawah umur adalah perkawinan yang
dilangsungkan oleh anak usia 19 (sembilan belas) tahun untuk laki-laki dan 16 (enam
belas) tahun untuk wanita. 15 Karenanya perkawinan tersebut telah melanggar
ketentuan Undang-Undang, dan oleh karena itu perkawinan tersebut hanya dilakukan
berdasarkan aturan agama atau adat istiadat serta perkawinannya tidak dicatatkan di
Kantor Urusan Agama (KUA) bagi yang beragama Islam dan di Kantor Catatan Sipil
bagi yang beragama Non Muslim. 16
Perkawinan pada anak di bawah umur bukanlah sesuatu yang baru di Indonesia.
Praktek ini sudah lama terjadi dengan begitu banyak pelaku. Tidak di kota besar tidak
di pedalaman. Sebabnya pun bervariasi, karena masalah ekonomi, rendahnya
pendidikan, pemahaman budaya dan nilai-nilai agama tertentu, juga karena hamil
terlebih dahulu (kecelakaan atau populer dengan istilah married by accident), dan
lain-lain. 17
Bukannya melahirkan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga, perkawinan
anak di bawah umur justru banyak berujung pada perceraian. Di samping itu, ada
15
UU No.1 Tahun 1974, Op.Cit, hal.4
16
Anggun, No.7 Vol.1 Desember, 2005, hal.25
17
dampak lain yang lebih luas, seperti meningkatnya angka kematian ibu saat hamil
atau melahirkan lantaran masih berusia belia.
Anak secara biologis alat-alat reproduksinya masih dalam proses menuju
kematangan sehingga belum siap untuk melakukan hubungan seks dengan lawan
jenisnya, apalagi jika sampai hamil kemudian melahirkan. 18
Jika dipaksakan justru akan terjadi trauma, perobekan yang luas dan infeksi
yang akan membahayakan organ reproduksinya sampai membahayakan jiwa anak.
Patut dipertanyakan apakah hubungan seks yang demikian atas dasar kesetaraan
dalam hak reproduksi antara isteri dan suami atau ada kekerasan seksual dan
pemaksaan (penggagahan) terhadap seorang anak. 19
Secara psikis anak dibawah umur juga belum siap dan mengerti tentang
hubungan seks, sehingga akan menimbulkan trauma psikis berkepanjangan dalam
jiwa anak yang sulit disembuhkan. Anak akan murung dan menyesali hidupnya yang
berakhir pada perkawinan yang dia sendiri tidak mengerti atas putusan hidupnya.
Selain itu, ikatan perkawinan akan menghilangkan hak anak untuk memperoleh
18
dwpp/08/sumber : Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan/Deputi Bidang Perlindungan Anak.
19
pendidikan (wajar 9 tahun), hak bermain dan menikmati waktu luangnya serta
hak-hak lainnya yang melekat dalam diri anak. 20
Membangun Keluarga Indonesia Sejahtera bisa dimulai dari persiapan
perkawinan itu sendiri. Mempersiapkan para calon mempelai agar dewasa fisik dan
rohani menghadapi tantangan kehidupan berumah tangga kedepan, bukan lah hal
mudah. Bunga-bunga cinta bisa redup dalam hitungan bulan manakala kegetiran
hidup menerpa dan perut melilit. Maka penting untuk disikapi bagaimana pemerintah
melihat peraturan yang menyangkut tatanan pembentukan hidup berkeluarga. 21
Perkawinan anak atau perkawinan dibawah umur sudah banyak dilarang di
negara berkembang seperti India (yang mulai maju). Orang dewasa yang melakukan
perkawinan dengan anak dibawah umur, apapun alasannya, akan menghadapi
tuntutan berat di pengadilan. Beranikah Indonesia mengambil langkah serius demi
memperbaiki generasi Indonesia yang lebih berkualitas? 22 Perkawinan dibawah
umur lebih banyak mudharat daripada manfaatnya.
Oleh karena itu Penulis ingin mempelajari lebih dalam mengenai masalah
perkawinan ini, diantaranya mengenai pelanggaran terhadap perundangan yang ada
yang berkaitan dengan perkawinan anak dibawah umur dan tindakan apa saja yang
diambil terhadap pelaku untuk dikenai sanksi dari peraturan perundangan yang ada.
Dan karenanya penulis memilih judul karya tulis “PERKAWINAN ANAK
DIBAWAH UMUR DAN AKIBAT HUKUMNYA”
20
Ibid
21
http://en.wordpress.com/tag/kawin/
22
B. Perumusan Masalah
1. Bagaimana pengaturan tentang perkawinan anak dibawah umur dalam sistem
hukum di Indonesia?
2. Apa akibat hukum dari perkawinan anak dibawah umur?
3. Bagaimana sanksi terhadap pelanggaran atas perkawinan anak dibawah umur?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan permasalahan yang telah dikemukakan di atas, maka tujuan yang
hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui pengaturan tentang perkawinan anak dibawah umur dalam
sistem hukum di Indonesia.
2. Untuk mengetahui akibat hukum dari perkawinan anak dibawah umur .
3. Untuk mengetahui sanksi terhadap pelanggaran atas perkawinan anak
dibawah umur.
D. Manfaat Penelitian
Penelitian merupakan pencerminan secara konkrit kegiatan ilmu dalam
memproses ilmu pengetahuan. 23
Penelitian hukum dilakukan untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang timbul.
24
Oleh karena itu penelitian hukum merupakan suatu penelitian didalam kerangka
23
Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Bandung, Mandar Maju, Cetakan kesatu, 2008, hal.10
24
know-how didalam hukum. Dengan melakukan penelitian hukum diharapkan hasil
yang dicapai adalah untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya
atas isu yang diajukan. 25 Bertitik tolak dari tujuan penelitian sebagaimana tersebut
diatas, diharapkan dengan penelitian ini akan dapat memberikan manfaat atau
kegunaan secara teoritis dan praktis dibidang hukum yaitu :
1. Secara teoritis, penelitian ini bermanfaat untuk penambahan khasanah
kepustakaan di bidang keperdataan khususnya tentang masalah perkawinan
anak di bawah umur .
2. Dari segi praktis, penelitian ini sebagai suatu bentuk sumbangan pemikiran
dan masukan bagi para pihak yang berkepentingan khususnya bagi
masyarakat untuk mengetahui seberapa jauh masalah perkawinan anak
dibawah umur diatur didalam undang-undang.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan informasi yang ada, penelusuran kepustakaan, khususnya di
lingkungan Universitas Sumatera Utara, khususnya di lingkungan Pasca Sarjana
Universitas Sumatera Utara belum ada penelitian yang membicarakan masalah
perkawinan anak dibawah umur dan akibat hukumnya, oleh karena itu penelitian ini
baik dari segi objek permasalahan dan substansi adalah asli serta dapat dipertanggung
jawabkan secara akademis dan ilmiah.
25
F. Kerangka Teori dan Konsepsi
1. Kerangka Teori
Dalam penulisan ini diperlukan suatu teori yang melandasi. Teori yaitu
hipotesis yang dipergunakan untuk argumen atau investigasi. 26 Fungsi teori dalam
penelitian ini adalah untuk mensistimatiskan penemuan-penemuan penelitian,
membuat ramalan atau prediksi atas dasar penemuan dan menyajikan penjelasan yang
dalam hal ini untuk menjawab pertanyaan. Artinya teori merupakan suatu penjelasan
rasional yang berkesesuaian dengan obyek yang dijelaskan dan harus didukung oleh
fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar. 27 Teori yang digunakan dalam penulisan
ini adalah teori yang menjelaskan bagaimana tanggung jawab pemerintah dan juga
kita semua sebagai masyarakat melihat peraturan perundang-undangan yang ada,
yang mengatur masalah perkawinan anak dibawah umur. Sejauh mana kefektifan
Undang-Undang tersebut.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah hasil dari suatu usaha untuk menciptakan hukum nasional, yaitu yang berlaku bagi setiap warga negara RI, ini merupakan hasil legislatif yang pertama yang memberikan gambaran yang nyata tentang kebenaran dasar asasi kejiwaan dan kebudayaan “ Bhineka Tunggal Ika” yang dicantumkan dalam lambang negara RI, selain sungguh mematuhi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 juga merupakan suatu unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang berketuhanan Yang Maha Esa. 28
26
Komaruddin, Yooke Tjuparmah S Komaruddin, Kamus Istilah Karya Tulis Ilmiah, Bumi Aksara, Jakarta,2006, hal.270
27
M.Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, Bandung, Mandar Maju, 1994, hal.80
28
Undang-Undang No.1 Tahun 1974 mengartikan perkawinan sebagai suatu
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 29
Menurut Undang-Undang ini suatu perkawinan dianggap sah, apabila dilakukan
menurut hukum masing-masing agamanya dan dicatatkan menurut peraturan
perundang-undangan yang berlaku. 30
Perkawinan memang sangat penting artinya dalam kehidupan manusia. Dengan
perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi lebih terhormat
sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang paling mulia dan kehidupan
rumah tangga dapat terbina dalam suasana yang lebih harmonis. 31
Perkawinan anak dibawah umur adalah perkawinan yang dilangsungkan oleh
anak usia 19 (sembilan belas) tahun untuk laki-laki dan 16 (enam belas) tahun untuk
perempuan 32 , secara agama oleh karena telah melakukan pelanggaran terhadap
Undang-Undang dan karenanya tidak melalui proses pencatatan resmi sebagaimana
yang telah diatur oleh Undang-Undang.
29
UU No.1 Tahun 1974, Op.Cit, hal.1
30
Ibid, hal.2
31
http://digilib.itb.ac.id/gdl.php?mod=bookmark&id=oai:lontar.cs.ui.ac.id/gateway:85769
32
Meski secara agama atau adat istiadat dianggap sah, namun perkawinan yang
dilakukan di luar pengetahuan dan pengawasan pegawai pencatat nikah dan tidak
dicatatkan tidak memiliki kekuatan hukum dan dianggap tidak sah dimata hukum. 33
Sistem hukum Indonesia tidak mengenal istilah ‘kawin bawah tangan’ atau
kawin berdasarkan aturan agama dan semacamnya ini serta tidak mengatur secara
khusus dalam sebuah peraturan. Namun, secara sosiologis, istilah ini diberikan bagi
perkawinan yang tidak dicatatkan dan dianggap dilakukan tanpa memenuhi ketentuan
undang-undang yang berlaku, khususnya tentang pencatatan perkawinan yang diatur
dalam UU Perkawinan pasal 2 ayat 2. 34
Perkawinan yang tak dicatatkan bukan tanpa resiko. Yang mengalami kerugian
utama adalah pihak istri dan anak-anak yang dilahirkannya. Karena, apabila ia tak
memiliki dokumen pernikahan, seperti surat nikah, maka ia akan kesulitan
mengklaim hak-haknya selaku istri terkait dengan masalah perceraian, kewarisan,
tunjangan keluarga, dan lain-lain. 35
Dalam pasal 7 Undang-Undang Perkawinan disebutkan, untuk dapat menikah,
pihak pria harus sudah mencapai umur 19 tahun dan pihak wanita sudah mencapai
umur 16 tahun. Meski demikian, penyimpangan terhadap batas usia tersebut dapat
33
Hazairin, Op.Cit, hal 10 “bahwa sah nya perkawinan jika dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku, oleh karena itu jika tidak dicatatkan,maka dianggap tidak sah dimata hukum.”
34
http://lontar.cs.ui.ac.id/gateway/file?file=digital/85769-T 16302 .pdf
35
terjadi jika ada dispensasi yang diberikan oleh pengadilan ataupun pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orang tua dari pihak pria maupun pihak wanita. 36
Aturan dalam pasal ini yang memicu maraknya perkawinan dibawah umur.
Secara eksplisit tidak tercantum jelas larangan untuk menikah di bawah umur.
Penyimpangan terhadapnya dapat dimungkinkan dengan adanya izin dari pengadilan
atau pejabat yang berkompeten. 37
Terjadi perselisihan antara Agama dan Negara dalam memaknai perkawinan
dibawah umur ini. Perkawinan dibawah umur yang dilakukan melewati batas
minimal Undang-Undang Perkawinan, secara hukum kenegaraan tidak sah. Istilah
perkawinan dibawah umur menurut Negara dibatasi dengan umur. Sementara dalam
kaca mata agama, perkawinan dibawah umur ialah perkawinan yang dilakukan oleh
orang yang belum baligh.38
Kenyataan melahirkan minimal, dua masalah hukum yang timbul akibat
perkawinan dibawah umur. Pertama, disharmoninasi hukum antar sistem hukum yang
satu dengan sistem hukum lain. Kedua, tantangan terhadap legislasi hukum
perkawinan di Indonesia terkait dengan perkawinan di bawah umur. 39
36
UU No.1 Tahun 1974, Op,Cit, pasal 7, hal.4
37
http://www.pesantrenvirtual-com/index.php/islam-kontemporer/1240-pernikahan-dini-dalam-perspektif-agama-dan-negara
38
Ibid
39
Apabila perkawinan tidak diatur oleh negara akan berpotensi lahirnya
ketidakadilan bagi pihak-pihak tertentu, utamanya bagi perempuan dan anak-anak
yang dilahirkan. 40
Urusan perkawinan memang berada dalam wilayah keperdataan. Namun
peristiwa tersebut adalah peristiwa hukum yang jelas menimbulkan sebab akibat dan
hak-hak kewajiban para pihak. Maka, pengaturan dari negara tetap perlu. 41
2. Kerangka Konsepsi
Konsep merupakan bagian terpenting daripada teori. Konsep dapat dilihat dari 2
(dua) segi yaitu segi subyektif dan dari segi obyektif. Dari segi subyektif konsep
merupakan suatu kegiatan intelek untuk menangkap sesuatu. Sedangkan dari segi
obyektif, konsep merupakan sesuatu yang ditangkap oleh kegiatan intelek tersebut.
Hasil dari tangkapan akal manusia itulah yang dinamakan konsep. 42
Adapun uraian daripada konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita
sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. (Menurut
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 , Pasal 1)43
40
Ibid
41
Ibid
42
Komaruddin, Yooke Tjuparmah S Komaruddin, Op.Cit, hal.122
43
2. Anak dibawah umur adalah anak yang berusia 19 (sembilan belas) untuk laki-laki
dan 16 (enam belas) untuk perempuan dan belum pernah kawin. 44
3. Akibat hukum adalah : sesuatu yang terjadi karena pelanggaran aturan-aturan
yang telah diterapkan dalam undang-undang yang berdampak negatif yang atas
pelanggaran itu dikenakan sanksi hukuman.
G. Metode Penelitian
1. Spesifikasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian hukum yuridis normatif yaitu
suatu penelitian yang mengacu kepada norma-norma hukum yang terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan. Hal ini sejalan dengan
pendapat Ronald Dworkin yang menyebutkan bahwa “ metode penelitian normatif
juga sebagai penelitian doktrinal atau doctrinal research, yaitu suatu penelitian yang
menganalisis baik hukum sebagai law as it written in the book, maupun hukum
sebagai law as it is decided by the judge through judicial process. 45
2. Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini adalah Undang-Undang No. 1 Tahun 1974,
Kitab Undang Hukum Perdata, Kompilasi Hukum Islam dan
Undang-Undang perlindungan anak No. 23 Tahun 2002 serta Peraturan Perundang-Undang-Undangan
lainnya.
44
Ibid, pasal 7, hal.4
45
Sedangkan bahan-bahan lain yang dipergunakan di dalam penelitian akhir ini
adalah data-data yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa
hasil penelitian para ahli, hasil karya ilmiah, buku-buku ilmiah, putusan pengadilan,
yang berhubungan dengan penelitian ini yang merupakan bahan hukum sekunder.
Penelitian ini juga mempergunakan bahan hukum tertier, yang terdiri dari
kamus hukum, kamus bahasa Indonesia yang bertujuan untuk mendukung bahan
hukum primer dan sekunder.
3. Alat Pengumpulan Data
Penelitian ini dilakukan dengan mencari data sekunder yang terdiri dari bahan
hukum primer yaitu Undang-Undang serta berbagai peraturan perundang-undangan
yang berhubungan dengan penelitian.
Data sekunder juga memberikan penjelasan bahan hukum primer seperti hasil
penelitian, hasil seminar, dan bahan-bahan lainnya yang berhubungan dengan materi
yang akan dibahas dalam penelitian. Setelah diinventarisir maka akan dilakukan
penelaahan untuk membuat intisari dari setiap peraturan.
Data primer ini diperoleh dari penelitian lapangan dengan melakukan
wawancara, data sekunder dalam penelitian ini diperoleh dari penelitian berupa
bahan-bahan yang erat kaitannya dengan bahan hukum primer yaitu buku-buku yang
4. Analisis Data
Analisis data merupakan hal yang sangat penting dalam suatu penelitian. Sesuai
dengan sifat penelitiannya, maka analisis data dilakukan dengan pengelompokan
terhadap bahan-bahan hukum tertulis yang sejenis untuk kepentingan analisis,
sedangkan evaluasi dilakukan terhadap data dengan pendekatan kualitatif, yaitu data
yang sudah ada dikumpulkan, dipilah-pilah dan kemudian dilakukan pengolahannya.
Setelah dipilah-pilah dan diolah lalu dianalisis secara logis dan sistematis
dengan menggunakan metode deskriptif analisis. Dengan demikian diharapkan
penelitian yang dilakukan dapat menghasilkan kesimpulan yang bisa
PENGATURAN PERKAWINAN ANAK DIBAWAH UMUR DALAM SISTEM
HUKUM DI INDONESIA
A. Pengaturan Perkawinan di Indonesia.
1. Hukum Perkawinan sebelum lahirnya UU No.1 Tahun 1974 di Indonesia
Sebelum adanya Undang-Undang No.1 tahun 1974 di Indonesia berlaku hukum
perkawinan bagi berbagai golongan suku bangsa diberbagai daerah. Hal ini diatur
dalam penjelasan umum nomor 2 dari Undang-Undang No.1 Tahun 1974.
Penggolongan penduduk diatur dalam Indische Staat Regeling yaitu peraturan
ketatanegaraan Hindia pasal 163, dimana penduduk dibagi menjadi tiga golongan
yaitu : golongan eropa, golongan pribumi dan golongan timur asing. 46
Berbagai hukum perkawinan yang berlaku sebelum berlakunya Undang-Undang
No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan bagi berbagai golongan penduduk di berbagai
daerah adalah seperti berikut : 47
a. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang
telah diresipiir dalam hukum adat.
b. Bagi orang-orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat.
c. Bagi orang-orang Indonesia asli yang beragama Kristen berlaku
Huwelijksordonnantie Christen Indonesia ( S.1933 No.74 )
46
Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, Rineka Cipta, Jakarta, 2005, hal.6
47
d. Bagi orang-orang Timur Asing Cina dan Warga Negara Indonesia Keturunan
Cina berlaku ketentuan-ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dengan
sedikit perubahan.
e. Bagi orang-orang Timur Asing lain-lainnya dan Warga Negara Indonesia
keturunan Timur Asing lainnya tersebut berlaku Hukum Adat mereka.
f. Bagi orang-orang Eropa dan Warganegara Indonesia keturunan Eropa dan yang
disamakan dinamakan dengan mereka berlaku Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah hasil dari suatu usaha untuk menciptakan hukum nasional, yaitu yang berlaku bagi setiap warga negara RI, ini merupakan hasil legislatif yang pertama yang memberikan gambaran yang nyata tentang kebenaran dasar asasi kejiwaan dan kebudayaan “ Bhineka Tunggal Ika” yang dicantumkan dalam lambang negara RI, selain sungguh mematuhi falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 juga merupakan suatu unifikasi yang unik dengan menghormati secara penuh adanya variasi berdasarkan agama dan kepercayaan yang berketuhanan Yang Maha Esa. 48
Dari peraturan inilah lahir pengertian perkawinan yaitu hidup bersama dari
seorang laki-laki dan perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam
peraturan tersebut. 49
Bagi suatu negara dan bangsa seperti Indonesia adalah mutlak adanya
Undang-Undang Perkawinan Nasional yang sekaligus menampung prinsip-prinsip dan
48
Lily Rasyidi, Hukum Perkawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, Alumni, Bandung, 1982, hal.24
49
memberikan landasan hukum perkawinan yang selama ini menjadi pegangan dan
telah berlaku bagi berbagai golongan dalam masyarakat kita. 50
Sesuai dengan landasan falsafah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945,
maka Undang-Undang ini disatu pihak harus dapat mewujudkan prinsip-prinsip yang
terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Sedangkan di lain pihak harus dapat
pula menampung segala kenyataan yang hidup dalam masyarakat dewasa ini.
Undang-Undang Perkawinan ini telah menampung didalamnya unsur-unsur dan
ketentuan-ketentuan Hukum Agamanya dan Kepercayaannya itu dari yang
bersangkutan. 51
Sehubungan dengan berlakunya ketentuan baru tentang Hukum Perkawinan ini
yang secara resmi menghapuskan berlakunya semua ketentuan tentang Perkawinan
yang ada sebelumnya, namun pasal 66 Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun
1974 menentukan sebagai berikut : 52
Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan
berdasarkan atas Undang-Undang ini maka dengan berlakunya Undang-Undang ini
ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(Burgelijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijke
Ordonantie Christen Indonesia 1933 No.74), Peraturan Perkawinan Campuran
(Regeling op de Gemengde Huwelijke Stbl 1898 No.158) dan peraturan-peraturan lain
50
Lily, op.cit, hal. 6
51
Ibid
52
yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-Undang No.1
Tahun 1974, dinyatakan tidak berlaku.
2. Pengertian Perkawinan
Perkawinan dapat dikatakan suatu peristiwa yang paling penting dalam
kehidupan masyarakat, karena tidak saja menyangkut pribadi kedua mempelai tapi
juga urusan keluarga kedua belah pihak dan juga kehidupan bermasyarakat. Menurut
Soemiyati : 53 kalau seseorang laki-laki dan perempuan berkata sepakat untuk
melakukan perkawinan berarti mereka saling berjanji akan taat pada
peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai kewajiban dan hak-hak masing-masing
pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung, dan mengenai
kedudukannya dalam masyarakat dari anak-anak keturunannya.
Pengertian Perkawinan menurut Sayuti Thalib adalah perjanjian yang suci
membentuk keluarga antara seorang laki-laki dengan seorang perempuan. 54
Menurut Imam Jauhari ,“Perkawinan merupakan proses hubungan seksual
manusia yang harus berjalan dengan kedamaian dengan menghormati hak-hak asasi
manusia sebagai insan-insan sederajat antara pria dan wanita, untuk memperoleh
kehidupan yang baik didunia”.55
53
Soemiyati, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan ( Undang-Undang No.1 Tahun 1974 tentang Perkawinan ), cet. ke-2, Mandar Maju, Bandung, 1990, hal.1
54
Sayuti Thalib, Hukum Keluarga Indonesia, cet. ke-5, Universitas Indonesia, Jakarta, 1986, hal.47
55
Perkawinan menurut Subekti adalah pertalian yang sah antara seorang laki-laki
dan seorang perempuan untuk waktu yang lama. 56
Menurut Rothenberg dan Blumenkrantz “Mariage, as it is commonly discussed,
refer to a contractual relationship between two persons, on male and one female,
arising out of the mutual promises that are recoqnized by law. As a contract, it is
generally tequired that both parties must consent to its terms and have legal
capacity”.57 Maksudnya bahwa perkawinan pada umumnya merujuk kepada
hubungan perjanjian yang nyata antara dua orang yaitu satu pria dan satu wanita yang
saling berjanji dan disahkan oleh hukum. Sebagai suatu perjanjian, secara umum
diperlukan kesepakatan kedua belah pihak untuk memahami hal-hal yang perlu dan
memiliki kemampuan hukum.58
a. Pengertian Perkawinan Menurut Kompilasi Hukum Islam
Perkawinan adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan
gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
59
Dan perkawinan bertujuan untuk mewujudkan kehidupan rumah tangga yang
sakinah, mawaddah dan rahmah. 60
Jadi prinsipnya pergaulan antara suami istri itu hendaklah :
a) Pergaulan yang makruf (pergaulan yang baik) yaitu saling menjaga rahasia
masing-masing.
56
Subekti, Pokok-pokok Hukum Perdata, cet.ke-26, Intermasa, Jakarta, 1994, hal.23
57
Rothenberg and Blumenkrantz, Personal Law, Oenanta : State University of New York, 1984, hal 342.
58
Ibid, hal.342
59
Kompilasi Hukum Islam, Fokusmedia, Bandung, 2005, pasal 2, hal. 7
60
b) Pergaulan yang sakinah (pergaulan yang aman dan tentram).
c) Pergaulan yang mengalami rasa mawaddah (saling mencintai terutama
dimasa muda/remaja).
d) Pergaulan yang disertai rahmah (rasa santun-menyantuni terutama setelah
masa tua), Qur’an IV:19, Q. IV: 34, dan Qur;an XXX : 21.
b. Pengertian Perkawinan Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tidak terdapat pengertian
perkawinan secara jelas. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya memandang
soal perkawinan hanya dari segi hubungan-hubungan keperdataan. Demikian terdapat
dalam pasal 26 Kitab Undang Hukum Perdata yang berbunyi :
Undang-Undang memandang soal perkawinan dalam hubungan-hubungan perdata. 61
Arti dari pasal ini adalah : 62 suatu perkawinan agar menjadi sah dalam arti mempunyai akibat hukum haruslah diakui oleh undang-undang, hal ini terjadi bila perkawinan dilangsungkan menurut undang-undang. Dengan kata lain perkawinan yang sah hanyalah perkawinan yang memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan syarat-syarat serta peraturan agama dikesampingkan. Hal ini jelas bertentangan dengan falsafah negara Pancasila yang menempatkan ajaran Ketuhanan Yang Maha Esa diatas segala-galanya. Apabila berkaitan dengan masalah perkawinan yang merupakan perbuatan yang suci yang mempunyai hubungan erat sekali dengan agama sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani tapi juga unsur batin/rohani mempunyai peranan penting.
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata adalah merupakan peraturan
perundang-undangan yang terpengaruh oleh hukum barat terutama negara Belanda yang telah
61
R.Subekti dan R.Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) cet.ke-27, Pradnya Paramita, Jakarta, 1976, pasal.26
62
lama menjajah negara Indonesia. Peraturan ini pada akhirnya masih diberlakukan
setelah Indonesia merdeka, berdasarkan Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-Undang
Dasar 1945 yang berbunyi : segala badan negara dan peraturan yang ada masih
berlaku, selama masih belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar
ini. 63
c. Pengertian Perkawinan Menurut Undang-Undang Perkawinan No.1 Tahun
1974
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 (Pasal 1), perkawinan adalah :
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga), yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. 64
Pertimbangannya ialah sebagai Negara yang berdasarkan Pancasila dimana Sila
yang pertamanya ialah Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan
saja mempunyai unsur lahir/jasmaniah, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai
peranan yang penting. 65
Membentuk keluarga yang bahagia rapat hubungannya dengan turunan, yang
merupakan pula tujuan perkawinan, pemeliharan dan pendidikan menjadi hak dan
63
Pasal 2 Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945
64
UU No.1 Tahun 1974, hal.1
65
kewajiban orangtua (lihatlah pasal 1 dan penjelasan Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 tersebut yang merupakan dan sekaligus dasar Hukum Perkawinan Nasional). 66
Apabila definisi perkawinan menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1
Tahun 1974 yaitu “ ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami
istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” di atas kita telaah, maka terdapat lima unsur
didalamnya, yaitu:
a. Ikatan lahir batin.
Bahwa ikatan itu tidak cukup dengan ikatan lahir saja atau batin saja, akan
tetapi kedua-duanya harus terpadu erat. Suatu ikatan lahir merupakan ikatan
yang dapat dilihat dan mengungkapkan adanya hubungan hukum antara
seorang pria dan seorang wanita untuk hidup bersama sebagai suami istri
yang dimulai dengan adanya akad atau perjanjian yang dilakukan secara
formal, menurut aturan-aturan dan norma-norma yang berlaku. Dengan
demikian hubungan hukum itu nyata, baik bagi pihak-pihak itu sendiri atau
bagi pihak ketiga. Sebaliknya suatu ikatan batin merupakan hubungan tidak
formal, suatu ikatan yang tidak nampak, tidak nyata, yang hanya dirasakan
oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan ini diukur dengan agama dengan
tujuan untuk membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa.
66
b. Antara seorang pria dengan seorang wanita.
Ikatan perkawinan hanya boleh terjadi antara seorang pria dan seorang
wanita, dan selain antara pria dan wanita tidaklah mungkin terjadi. Sehingga
R.Soetojo Prawirohamidjojo menyatakan bahwa dari unsur itu terkandung
azas monogami.67
c. Sebagai suami istri;
Seorang pria dengan seorang wanita dapat dipandang sebagai suami istri
bila ikatan mereka didasarkan pada suatu perkawinan yang sah, bilamana
memenuhi syarat-syarat intern maupun extern. Syarat intern adalah yang
menyangkut pihak-pihak yang melakukan perkawinan yaitu : kecakapan
mereka, kesepakatan mereka, dan juga adanya izin dari pihak yang lain yang
harus diberikan untuk melangsungkan perkawinan. Sedangkan syarat-syarat
extern adalah yang menyangkut formalitas-formalitas pelangsungan
perkawinan.
d. Membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
Yang dimaksud dengasn keluarga disini ialah suatu kesatuan yang terdiri
atas ayah, ibu dan anak-anak yang merupakan sendi dasar susunan
masyarakat Indonesia. Membentuk keluarga yang bahagia rapat
hubungannya dengan keturunan yang merupakan pula tujuan perkawinan,
sedangkan pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan
67
kewajiban orang tua. Untuk mencapai hal ini, maka diharapkan kekekalan
dalam perkawinan.
e. Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa;
Sebagai negara yang berdasarkan Pancasila, yang sila pertamanya
Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat
dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai
unsur batin.
Dari rumusan pasal I Undang-Undang, Nomor 1 Tahun 1974, jelas bahwa
perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian
sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur
bathin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang
bahagia rapat hubungan dengan keturunan, yang pula merupakan tujuan perkawinan,
pemeliharaan dan pendidikan menjadi hak dan kewajiban orangtua. 68
3. Syarat- Syarat Sahnya Perkawinan
Syarat sahnya perkawinan yang diatur dalam undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 meliputi syarat-syarat materil dan formil. Syarat-syarat materil yaitu
syarat-syarat mengenai pribadi calon mempelai, sedangkan syarat-syarat formil
menyangkut formalitas atau tata cara yang harus dipenuhi sebelum dan pada saat
dilangsungkannya perkawinan. 69
68
Hilman, Op.Cit, hal.9
69
Untuk jelasnya, maka akan penulis uraikan tentang syarat-syarat materil dan
formil dalam perkawinan secara terperinci, yaitu :
a. Syarat Materil
Syarat-syarat yang termasuk dalam kelompok syarat materil adalah : 70
a) Harus ada persetujuan calon mempelai (Pasal 6 ayat (1).
Syarat ini diatur dalam pasal 6 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
bahwa perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
yang akan melangsungkan perkawinan. Adanya persetujuan kedua calon
mempelai sebagai salah satu syarat perkawinan dimaksudkan agar supaya
setiap orang dengan bebas memilih pasangannya untuk hidup berumah tangga
dalam perkawinan. Munculnya syarat persetujuan dalam Undang-Undang
Perkawinan, dapat dihubungkan dengan sistem perkawinan pada zaman dulu,
yaitu seorang anak harus patuh pada orang tuanya untuk bersedia dijodohkan
dengan orang yang dianggap tepat oleh orang tuanya. Sebagai anak harus mau
dan tidak dapat menolak kehendak orang tuanya, walaupun kehendak anak
tidak demikian. Untuk menanggulangi kawin paksa, Undang-Undang
Perkawinan telah memberikan jalan keluarnya, yaitu suami atau istri dapat
mengajukan pembatalan perkawinan dengan menunjuk pasal 27 ayat (1)
apabila paksaan untuk itu dibawah ancaman yang melanggar hukum.
70
b) Usia calon mempelai pria harus mencapai umur 19 tahun dan wanita harus
sudah mencapai 16 tahun (pasal 7 ayat (1).
Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Perkawinan menentukan bahwa perkawinan
hanya dibenarkan jika pihak wanita sudah mencapai umur 16 tahun. Ayat (2)
menetapkan tentang kemungkinan penyimpangan terhadap ketentuan tersebut
di atas dengan jalan meminta terlebih dahulu pengecualian kepada pengadilan
atau pejabat lain yang ditujukan oleh kedua orang tua pihak pria maupun
wanita. Dalam hal dimana salah seorang atau kedua orang tua meninggal
dunia, maka pengecualian dapat dimintakan kepada pengadilan atau pejabat
lain yang ditujukan oleh orang tua yang masih hidup atau wali/orang yang
memelihara/datuk (kakek dan nenek) dari pihak yang akan melakukan
perkawinan dengan ketentuan bahwa segala sesuatunya sepanjang hukum
masing-masing agama dan kepercayaan bersangkutan tidak menentukan lain.
c) Tidak terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal tersebut
pasal 3 ayat (2) dan pasal 4 Undang-Undang Perkawinan.
Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan melarang seseorang yang masih terikat
perkawinan lain untuk kawin lagi kecuali yang tersebut dalam pasal 3 ayat (2)
dan pasal 4. Pasal 3 ayat (2) yang menentukan bahwa: ”Pengadilan dapat
memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”. Pasal 4 menentukan : 71
71
1. Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang sebagaimana
tersebut dalam pasal 3 ayat (2) Undang-Undang ini, maka dia wajib
mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.
2. Pengadilan yang dimaksud ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin pada
seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila : 72
a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri.
b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat
disembuhkan.
c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Dalam hal ini Wirjono Prodjodikoro menyatakan pendapat sebagai berikut :
”Adanya Pasal 9 Undang-Undang Perkawinan sesungguhnya merupakan akibat dari
azas perkawinan yang dianut oleh Undang-Undang ini, yaitu azas monogami. Azas
ini dianggap pada masa sekarang sebagai pencerminan dari kehendak masyarakat
terutama dikalangan wanita bahwa dimadu itu dirasakan lebih banyak melahirkan
penderitaan daripada kebahagiaan.” 73 Walaupun demikian, pengecualian terhadap
azas itu masih dimungkinkan dengan persyaratan seperti yang terurai dalam Pasal 3,
4, dan 5 yang mengharuskan seseorang yang hendak mengajukan permohonan kepada
pengadilan harus memenuhi syarat-syarat : 74
1. Adanya persetujuan dari istri/istri-istri
72
Libertus Jehani, Perkawinan Apa Risiko Hukumnya?, Forum Sahabat, Jakarta, 2008, hal. 34
73
R. Wiryono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia, Sumur, Bandung, 1974, hal. 37
74
2. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan
anak-anak mereka.
3. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak
mereka.
Selanjutnya ditentukan dalam pasal 5 ayat (2) tersebut bahwa persetujuan yang
dimaksud pada ayat (1) huruf a diatas tidak diperlukan bagi seorang suami apabila
istri/istri-istri tidak mungkin diminta persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak
dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama
sekurang-kurangnya 20 tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian
dari hakim pengadilan. 75
d) Mengenai waktu tunggu bagi wanita yang putus perkawinannya, yaitu : 76
1. Seratus dua puluh hari bila perkawinan putus karena kematian.
2. Tiga kali suci atau sembilan puluh hari bila putus karena perceraian dan dia
masih datang bulan.
3. Sembilan puluh hari bila putus karena perceraian tetapi tidak datang bulan.
4. Waktu tunggu sampai melahirkan bila si janda dalam keadaan hamil.
5. Tidak ada waktu tunggu bila belum pernah terjadi hubungan kelamin.
Perhitungan waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan pengadilan yang
menjadi kekuatan hukum bagi suatu perceraian dan sejak hari kematian bila
75
Ibid, hal.37
76
perkawinan itu putus karena kematian. Tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut
berakibat batalnya suatu perkawinan.
e) Tidak melanggar larangan perkawinan sebagaimana diatur dalam pasal 8, 9 dan
10 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, yaitu: 77
1. Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah dan ke atas.
2. Berhubungan darah garis keturunan ke samping.
3. Berhubungan semenda
4. Berhubungan sesusuan
5. Berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemanakan dari
istri dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang.
6. Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku
dilarang kawin.
7. Telah bercerai untuk kedua kalinya sepanjang hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaan tidak menentukan lain (pasal 10).
8. Masih terikat tali perkawinan dengan orang lain kecuali dalam hal tersebut
pada Pasal 3 ayat (2), Pasal 4 dan Pasal 9.
Izin kedua orang tua bagi mereka yang belum mencapai umur 21 tahun. Bila
salah satu orang tua telah meninggal dunia, maka izin diperoleh dari orang tua yang
masih hidup. Bila itupun tidak ada, dari wali orang yang memelihara atau keluarga
yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas atau bisa juga
77
izin dari pengadilan, bila orang-orang tersebut juga tidak ada atau tidak mungkin
diminta izinnya (Pasal 6 ayat 2, 3, 4, dan 5). 78
Mengenai syarat-syarat persetujuan kedua calon mempelai dan syarat harus
adanya izin kedua orang tua bagi mereka yang belum berusia 21 tahun sebagaimana
diatur dalam pasal 6 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, berlaku sepanjang
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan
tidak menentukan lain.
b. Syarat Formil
Syarat-syarat formil yaitu syarat utama sesuai prosedur hukum, meliputi : 79
1. Pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan kepada Pegawai
Pencatat Perkawinan.
2. Pengumuman oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
3. Pelaksanaan perkawinan menurut agamanya dan kepercayaannya masing-masing.
4. Pencatatan Perkawinan oleh Pegawai Pencatat Perkawinan.
Mengenai pemberitahuan kehendak akan melangsungkan perkawinan harus
dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan,
dilakukan secara lisan oleh calon mempelai atau orang tua atau wakilnya yang
memuat nama, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan
78
Ibid , hal.29
79
calon istri/suami terdahulu bila seorang atau keduanya pernah kawin (Pasal 3, 4, 5,
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975). 80
Pengumuman tentang pemberitahuan kehendak nikah dilakukan oleh Pegawai
Pencatat Nikah/Perkawinan apabila telah cukup meneliti apakah syarat-syarat
perkawinan sudah dipenuhi dan apakah tidak terdapat halangan perkawinan.
Pengumuman dilakukan dengan suatu syarat formil khusus untuk itu, ditempelkan
pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum dan
ditandatangani oleh Pegawai Pencatat Perkawinan. Pengumuman memuat data
pribadi calon mempelai dan orang tua calon mempelai serta hari, tanggal, jam dan
tempat akan dilangsungkannya perkawinan (Pasal 8 jo Pasal 6, 7 dan 9 Peraturan
Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975). 81
4. Tujuan Perkawinan
Menurut Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa perkawinan
untuk membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. 82
Tujuan perkawinan seperti yang tersebut dalam Undang-Undang No.1 tahun
1974 adalah sangat ideal karena dari tujuan perkawinan tersebut yang diperhatikan
bukan segi lahirnya saja tetapi sekaligus juga ikatan batin antara suami istri yang
ditujukan untuk membina suatu keluarga atau rumah tangga yang kekal dan bahagia
80
Ibid, hal.30 ( Proses Pengumuman dan Pencatatan Perkawinan diatur dalam PP No.9 Tahun 1975)
81
Ibid
82
bagi keduanya yang disesuaikan dengan Ketuhanan Yang Maha Esa. 83 Selain itu
diharapkan rumah tangga tersebut dapat berlangsung seumur hidup dan perceraian
diharapkan tidak akan terjadi. Untuk itu suami perlu saling membantu, melengkapi
dan mengisi agar masing-masing dapat mengembangkan kepribadiannya serta
mencapai kesejahteraan spiritual dan material. 84
Pembentukan keluarga yang bahagia itu erat hubungannya dengan keturunan,
dimana pemeliharaan dan pendidikan anak-anak menjadi hak dan kewajiban
orangtua. Sehingga dapat disimpulkan bahwa tujuan perkawinan menurut
Undang-Undang No.1 tahun 1974 adalah untuk kebahagiaan suami istri untuk mendapatkan
keturunan dan menegakkan keagamaan dalam kesatuan keluarga yang bersifat
parental (keorangtuaan). 85
Tujuan perkawinan menurut Soemiyati yang didasarkan pendapat Imam Ghazali
ada 5 (lima) yaitu : 86
a. Memperoleh keturunan yang sah adalah tujuan pokok dari perkawinan itu sendiri.
Memperoleh keturunan dalam perkawinan bagi penghidupan manusia
mengandung 2 segi kepentingan :
1. Kepentingan untuk diri sendiri
Setiap orang yang melaksanakan perkawinan tentu mempunyai keinginan
untuk memperoleh keturunan atau anak. Bisa dirasakan perasaan suami istri
tanpa mempunyai anak, tentunya kehidupan akan terasa dan hampa, walaupun
keadaan rumah tangga mereka berkecukupan dalam segala hal. Keinginan
manusia untuk memperoleh anak dapat dipahami karena diharapkan
membantu ibu dan bapaknya pada hari tuanya kelak.
2. Aspek yang umum atau universal. Keturunan atau anak adalah penyambung
keturunan seseorang, yang akan selalu berkembang membuat damai dunia.
b. Memenuhi tuntutan naluriah atau hajat tabiat kemanusiaan
Tuhan menciptakan manusia dalam jenis yang berbeda-beda yaitu jenis laki-laki
dan perempuan, antar kedua jenis itu saling mengandung daya tarik. Dari sudut
biologis daya tarik itu adalah kebirahian atau seksual. Dengan perkawinan
pemenuhan tabiat kemanusiaan itu dapat disalurkan secara sah. Apabila tidak ada
salurannya maka akan timbul perbuatan yang tidak baik dalam masyarakat.
c. Menjaga manusia dari kejahatan dan kerusakan.
Apabila tidak ada saluran yang sah yaitu perkawinan untuk memenuhi kebutuhan
seksualnya, biasanya baik laki-laki maupun perempuan akan mencari jalan yang
tidak halal. Oleh karena itu untuk menghindari pemuasan dengan cara tidak sah
yang akibatnya banyak mendatangi kerusakan dan kejahatan, satu-satunya jalan
adalah melakukan perkawinan.
c. Membentuk dan mengatur rumah tangga yang merupakan bagian dari