KEKUATAN MENGIKAT SURAT PENETAPAN
PENGANGKATAN ANAK
(Analisis Penetapan Pengadilan Tanjung Balai NO:221/PDT.P/2009/PN-TB)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
EDY YUSUF RITONGA
070200039
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KEKUATAN MENGIKAT SURAT PENETAPAN
PENGANGKATAN ANAK
(Analisis Penetapan Pengadilan Tanjung Balai NO:221/PDT.P/2009/PN-TB)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
Oleh:
EDY YUSUF RITONGA
070200039
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
Disetujui oleh:
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Dr. Hasim Purba, S.H, M. Hum NIP. 196603031985081001
Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,
Prof.Dr.H.Tan Kamello, S.H.,MS Yefrizawati, S.H.,M.Hum NIP. 19620421.198803.1004 NIP. 19751210.2002212.2001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah Swt dan junjungan kita,
Rasulullah Saw atas segala rahmat dan karunia yang telah di berikan- Nya ,tiada
ungkapan yang lebih pantas di ungkapkan selain rasa syukur yang
sedalam-dalamnya kepada Allah Swt, karena berkat rahmat dan karunia Nya lah akhirnya
penulis dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
dan merampungkan penulisan skripsi yang berjudul : “KEKUATAN MENGIKAT
SURAT PENETAPAN PENGANGKATAN ANAK (STUDI ANALISIS
PENETAPAN PENGADILAN NEGERI TANJUNG BALAI NO :
221/PDT.P/2009/PN-TB)”.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada para
pihak yang telah banyak membantu, memberi dukungan kepada penulis hingga
skripsi ini dapat diselesaikan dengan baik, mudah-mudahan menjadi amal jariah
bagi mereka nantinya. Melalui kesempatan ini penulis menyampaikan trima kasih,
penghormatan dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Runtung, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara,
2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum selaku Pembantu Dekan I,
Bapak Syafruddin Hasibuan, SH, MH, DFM selaku Pembantu Dekan II,
dan Bapak Muhammad Husni, SH, MH, selaku Pembantu Dekan III di
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
3. Bapak Dr. Hasim Purba, SH, M. Hum selaku Ketua Departemen Hukum
4. Ibu Rabiatul Syahriah, SH,M.Hum selaku Sekretaris Departemen Hukum
Keperdataan,
5. Bapak Prof. Dr. H. Tan Kamello SH.,MS, selaku Dosen Pembimbing I,
yang juga telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan masukan serta
nasehat kepada penulis hingga skripsi ini dapat selesai dengan baik,
6. Ibu Yefrizawati, SH.,M.Hum selaku Dosen Pembimbing II, yang juga
telah banyak memberikan bimbingan, arahan dan masukan serta nasehat
kepada penulis hingga skripsi ini dapat selesai dengan baik,
7. Bapak Arif, SH.,MH., selaku Dosen Penasehat Akademik.
8. Bapak dan Ibu Dosen yang telah memberikan ilmunya kepada penulis,
serta kepada seluruh Staf Pegawai di Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, yang telah banyak membantu penulis dalam hal
administrasi selama masa perkuliahan.
9. Secara khusus penulis juga ingin mengungkapkan penghargaan dan
penghormatan serta ucapan terima kasih yang sedalam-dalamnya kepada
keluarga yakni;
a. Ayahanda tercinta Alm. Drs. Ridwan Ritonga, walaupun Alm Papa
telah tiada sejak saya SD Kelas VI, tapi doa dan amanah beliau
sebelum meninggal sangat menginspirasi saya untuk bisa menuntut
ilmu di Fakultas Hukum dan menjadi penegak hukum yang
b. Ibunda tercinta Roslina Siregar, atas segala kasih sayang, cinta
,nasehat, doa dan atas perjuangan Mama yang tidak henti-hentinya
berkerja keras sehingga saya bisa menjadi seperti ini, Saya
dibesarkan oleh seorang wanita yang hebat yang tiada mengenal
menyerah dalam mengarungi kehidupan, tiada pernah berkeluh
kesah atas keterbatasan Mama, yang telah berjuang demi masa
depan anak mu;
c. Semua keluarga saya Abangda Muhammad Enda Mora Ritonga,
Adinda Khodijah Syafrina Ritonga,dan Adinda Anita Khairani
Ritonga yang senantiasa memberi dorongan semangat dan doa.
10.Semua teman-teman seperjuangan selama menuntut ilmu di Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara. Teramat spesial Obbie Afri Gultom,
Khairina Noviyanti Sipahutar dan Beby Suryani Fitri, yang telah banyak
membantu dan memberi dorongan semangat kepada saya, dan secara
umum untuk seluruh teman-teman stambuk 2007.
11.Bapak Ferry Sormin SH., Kepala Pengadilan Negeri Tanjung Balai, Bapak
Agung Sutomo Thoba, SH. M.Hum dan Ibu Doharni Siregar yang berada
di Pengadilan Negeri Tanjung Balai, yang selama penulisan skripsi ini
telah banyak memberikan informasi yang saya butuhkan selama riset di
Pengadilan Negeri Tanjung Balai, mudah-mudahan Allah Swt membalas
Kiranya tidaklah cukup kata-kata yang penulis sampaikan kepada mereka
yang telah mendorong, memberikan nasehat dan bimbingan dalam menghadapi
perjuangan hidup ini. Smoga Allah Swt membalas semua kebaikan mereka. Amin
Ya Robb.
Sebagai manusia makhluk Allah yang dha’if yang tidak luput dari
kesalahan dalam bertindak,tentunya penulisan skripsi ini juga tidak terlepas dari
kekurangan dan kesalahan. Maka dari itu kepada para pembaca, penulis
mengharapkan agar dapat membaca dan menghayati kata demi kata, kalimat demi
kalimat, dan lembar demi lembar, dalam skripsi ini dan kemudian untuk
memberikan kritik dan saran untuk membenahi apa saja yang dirasa kurang dalam
skripsi ini.
Semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan juga bagi
pembaca dan dunia pendidikan pada umumnya. Akhirnya kepada Allah Swt
penulis memohon ampunan dan kepada manusia penulis meminta maaf semoga
kita semua dalam mengarungi kehidupan ini senantiasa dalam naungan dan
ridhonya Allah Swt. Amin Ya Robb.
Medan, November 2011
Hormat Penulis,
EDY YUSUF RITONGA
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR………. …...iii
DAFTAR ISI……….vii
ABSTRAK………...ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………. 1
B. Pokok Permasalahan………. 15
C. Tujuan Penulisan………... 15
D. Manfaat Penulisan………. 15
E. Keaslian Penulisan………...……… 16
F. Tinjauan Kepustakaan………...……….……...…….... 17
G. Metode Penulisan……….. 21
H. Sistematika Penulisan……… 24
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PENGANGKATAN ANAK (ADOPSI) A. Pengertian Anak dan Pengangkatan Anak……… 26
B. Sejarah Lahirnya Pengangkatan Anak... 30
C. Dasar Hukum Pengangkatan Anak... 34
D. Syarat- Syarat Pengangkatan Anak………... 36
1. Syarat Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia……… 36
2. Syarat Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia dan Warga Negara Asing……… 40
BAB III BENTUK PELAKSANAAN PENGANGKATAN ANAK
A. Penangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia
(DomesticAdoption)……...………... 49
B. Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia dengan Warga
Negara Asing (Inter Country Adoption)………...…… 50
C. Prosedur Pelaksanaan Pengangkatan Anak (Adopsi) Menurut
Ketentuan Per Undang-undangan Yang Berlaku....…………...… 51
1. Prosedur Penyerahan Bayi / Anak………... 51
2. Prosedur Pelaksanaan Pengangkatan Anak Antar Warga
Negara Indonesia (Domestic Adoption)…………... 52
3. Prosedur Pelaksanaan Pengangkatan Anak Antara Calon Anak
Angkat WNI dan Calon Orang Tua Angkat WNA
(Inter Country Adoption)………... .. 57
BAB IV KEKUATAN MENGIKAT SURAT PENETAPAN
PENGANGKATAN ANAK
A. Kewenangan Pengadilan Negeri Dalam Mengeluarkan Surat
Penetapan Pengangkatan Anak……… .68
B. Kekuatan Mengikat Surat Penetapan Pengangkatan Anak.……. 74
C. Akibat Hukum Pengangkatan Anak Di Pengadilan Negeri Tanjung
Balai...…… .83
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN……… 91
B. SARAN………. 92
ABSTRAK
Prof.Dr.H.Tan Kamello,S.H.,MS.1 Yefrizawati,S.H.,M.Hum.2
Edy Yusuf Ritonga.3
Sebagai kenyataan sosial yang tidak lagi dapat dipungkiri keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alamiah. Akan tetapi terkadang naluri ini terbentur pada Takdir Ilahi, di mana kehendak untuk mempunyai anak tidak tercapai. Pada umumnya manusia tidak akan puas dengan apa yang dialaminya, sehingga berbagai usaha dilakukan untuk memenuhi kepuasan tersebut. Dalam hal pemilikan anak, usaha yang dapat mereka lakukan adalah dengan mengangkat anak atau adopsi. Eksistensi adopsi di Indonesia sebagai suatu lembaga hukum masih belum sinkron, sehingga masalah adopsi masih merupakan problema bagi masyarakat Indonesia, terutama dalam masalah yang menyangkut ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Permasalahan dalam skripsi ini adalah membahas mengenai bagaimana kewenangan pengadilan negeri dalam mengeluarkan surat penetapan pengangkatan anak, bagaimana kekuatan mengikat surat penetapan pengangkatan anak yang di keluarkan oleh pengadilan negeri, serta bagaimana akibat hukum pengangkatan anak di pengadilan negeri.
Metode penulisan yang digunakan untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut adalah metode penelitian hukum normatif, jenis penelitian yang di gunakan deskriptif analitis, jenis data yang di gunakan data sekunder, metode analisis yang di gunakan analisis kualitatif.
Pengadilan Negeri memiliki kewenangan dalam mengeluarkan Surat Penetapan Pengangkatan Anak. Hal tersebut di atur dalam Pasal 50 UU No.8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Jadi pada dasarnya, semua perkara pidana dan perdata tingkat pertama menjadi kewenangan pengadilan negeri, salah satunya dalam hal pengangkatan anak. Kekuatan Surat Penetapan Pengangkatan Anak Yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Tanjung Balai adalah sangat mengikat, Daya mengikat tersebut ditegaskan juga oleh Putusan MA No. 102 K/Sip/1972. Adapun akibat hukum yang akan timbul dari pengangkatan anak/adopsi dalam Surat Penetapan Pengangkatan Anak No.221 /PDT.P/2009/PN-TB adalah dua dalam hal yaitu perwalian dan masalah waris. Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh Pengadilan Negeri Tanjung Balai maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sedangkan tentang masalah pewarisan, seseorang anak angkat hanya mendapatkan warisan sebatas harta bersama, sedangkan untuk harta asal / harta bawaan itu kembali ke keluarga si laki-laki dan perempuan.
Keyword: Pengangkatan Anak, Kewenangan Pengadilan, Surat Penetapan
1
Dosen Pembimbing I, Staff Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
2
Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
3
ABSTRAK
Prof.Dr.H.Tan Kamello,S.H.,MS.1 Yefrizawati,S.H.,M.Hum.2
Edy Yusuf Ritonga.3
Sebagai kenyataan sosial yang tidak lagi dapat dipungkiri keinginan untuk mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alamiah. Akan tetapi terkadang naluri ini terbentur pada Takdir Ilahi, di mana kehendak untuk mempunyai anak tidak tercapai. Pada umumnya manusia tidak akan puas dengan apa yang dialaminya, sehingga berbagai usaha dilakukan untuk memenuhi kepuasan tersebut. Dalam hal pemilikan anak, usaha yang dapat mereka lakukan adalah dengan mengangkat anak atau adopsi. Eksistensi adopsi di Indonesia sebagai suatu lembaga hukum masih belum sinkron, sehingga masalah adopsi masih merupakan problema bagi masyarakat Indonesia, terutama dalam masalah yang menyangkut ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia. Permasalahan dalam skripsi ini adalah membahas mengenai bagaimana kewenangan pengadilan negeri dalam mengeluarkan surat penetapan pengangkatan anak, bagaimana kekuatan mengikat surat penetapan pengangkatan anak yang di keluarkan oleh pengadilan negeri, serta bagaimana akibat hukum pengangkatan anak di pengadilan negeri.
Metode penulisan yang digunakan untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut adalah metode penelitian hukum normatif, jenis penelitian yang di gunakan deskriptif analitis, jenis data yang di gunakan data sekunder, metode analisis yang di gunakan analisis kualitatif.
Pengadilan Negeri memiliki kewenangan dalam mengeluarkan Surat Penetapan Pengangkatan Anak. Hal tersebut di atur dalam Pasal 50 UU No.8 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum. Jadi pada dasarnya, semua perkara pidana dan perdata tingkat pertama menjadi kewenangan pengadilan negeri, salah satunya dalam hal pengangkatan anak. Kekuatan Surat Penetapan Pengangkatan Anak Yang dikeluarkan Pengadilan Negeri Tanjung Balai adalah sangat mengikat, Daya mengikat tersebut ditegaskan juga oleh Putusan MA No. 102 K/Sip/1972. Adapun akibat hukum yang akan timbul dari pengangkatan anak/adopsi dalam Surat Penetapan Pengangkatan Anak No.221 /PDT.P/2009/PN-TB adalah dua dalam hal yaitu perwalian dan masalah waris. Dalam hal perwalian, sejak putusan diucapkan oleh Pengadilan Negeri Tanjung Balai maka orang tua angkat menjadi wali dari anak angkat tersebut. Sedangkan tentang masalah pewarisan, seseorang anak angkat hanya mendapatkan warisan sebatas harta bersama, sedangkan untuk harta asal / harta bawaan itu kembali ke keluarga si laki-laki dan perempuan.
Keyword: Pengangkatan Anak, Kewenangan Pengadilan, Surat Penetapan
1
Dosen Pembimbing I, Staff Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
2
Dosen Pembimbing II, Staf Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) yang kita warisi dari
Pemerintah Hindia-Belanda tidak mengenal peraturan mengenai lembaga
pengangkatan anak.4
Nederland baru menerima lembaga adopsi itu setelah perang Dunia II,
meskipun Nederland sudah berabad-abad lamanya meresepir dasar-dasar hukum
Romawi yang sejak lama mengenal lembaga adopsi dengan akibat timbulnya
hubungan perdata penuh antara yang mengangkat dan anak angkatnya. Dari
kenyataan itu bahwa lembaga adopsi dengan akibat-akibat perdata seperti yang Hanya bagi golongan Tionghoa yang diadakan pengaturannya secara
tertulis di dalam Staatsblaad tahun 1917 No. 129. Bahwa Kitab Undang-undang
Hukum Perdata Indonesia (B.W) tidak memuat peraturan mengenai adopsi. Hal
ini dapat dimengerti sebab dalam B.W Nederland yang belum dirubah (sebelum
Perang Dunia II), materi tersebut tidak diatur dan berdasarkan asas Konkordansi
Kitab Undang-undang Hukum Perdata Indonesia tidak pula mengenalnya. Baru
pada tahun 1956 Nederland memasukkan ketentuan-ketentuan adopsi dalam B.W.
Tetapi oleh karena antara Nederland dan Indonesia tidak lagi terdapat hubungan
Konstitusionil, maka tidak ada lagi penyesuaian Kitab Undang-undang Hukum
Perdata Indonesia dengan B.W Nederland.
4
dikenal dalam hukum Romawi memang tidak dikenal dalam hukum bangsa
Belanda asli.
Setelah Perang Dunia II yang mengakibatkan banyak anak-anak yang
terlantar, lembaga adopsi diterima sebagai salah satu penyelesaian dalam masalah
sosial yang sangat serius itu.5 Bangsa Tionghoa yang sistem kekeluargaannya
partilineal dan kepercayaannya berdasarkan pemeliharaan arwah nenek moyang
tersebut. Karena itu hukum adat mereka mengenal lembaga adopsi yang terbatas
pada anak laki-laki. 6
Adopsi merupakan topik yang menarik untuk dibahas, karena merupakan
lembaga hukum yang dikenal di Indonesia. Lagipula lembaga ini dinegara
manapun tidak ada yang sama selalu terdapat perbedaan dan variasi seperti
dikatakan seorang sarjana Belanda Bdgk. Schultesz : het is niet teveel gezegd,
Dengan memperhatikan hal itu, Pemerintah Hindia Belanda, sesuai pula
dengan politik hukumnya devide et impera membuat peraturan tertulis mengenai
pengangkatan anak khusus bagi golongan Tionghoa yang tidak berlaku bagi
golongan Indonesia asli. Oleh karena peraturan tersebut berasal dari negara asing,
maka ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam pasal-pasal yang bersangkutan
sejak semula adalah tidak sesuai dengan hukum yang hidup dalam masyarakat
Indonesia dan kini bahkan seluruh perangkat peraturan dalam Staatsblaad tahun
1917 No. 129 sudah tidak memadai karena telah tertinggal oleh perkembangan
zaman.
5
Badan Koordinasi Nasional untuk Kesejahteraan Keluarga dan Anak (BKN-KKA),
Ketentuan-ketentuan Hukum Perdata Anak (Penelitian dan saran-saran), BKN-KKA, Jakarta, 1972. h.17-18.
6
waneer men vaststelt dat iedere adoptie naar ver eisten, naar wijze van
totstandkoming of (meestel :en) naar gevolgen afwijkt van iedere andere adoptie.
Sebagai kenyataan sosial yang tidak lagi dapat dipungkiri keinginan untuk
mempunyai anak adalah naluri manusiawi dan alamiah. Akan tetapi terkadang
naluri ini terbentur pada Takdir Ilahi, dimana kehendak untuk mempunyai anak
tidak tercapai. Pada umumnya manusia tidak akan puas dengan apa yang
dialaminya, sehingga berbagai usaha dilakukan untuk memenuhi kepuasan
tersebut. Dalam hal pemilikan anak, usaha yang dapat mereka lakukan adalah
dengan mengangkat anak atau adopsi. Eksistensi adopsi di Indonesia sebagai
suatu lembaga hukum masih belum sinkron, sehingga masalah adopsi masih
merupakan problema bagi masyarakat Indonesia, terutama dalam masalah yang
menyangkut ketentuan hukum positif yang berlaku di Indonesia.
Ketidaksinkronan tersebut sangat jelas dilihat, apabila kita mempelajari
ketentuan tentang eksistensi lembaga adopsi itu sendiri dalam sumber-sumber
hukum positif yang berlaku di Indonesia, baik hukum Barat yang bersumber dari
ketentuan- ketentuan yang terdapat dalam Burgerlijk Wetboek (BW); hukum adat
yang merupakan “the living law” yang berlaku di masyarakat Indonesia, maupun
hokum Islam yang merupakan konsekuensi logis dari masyarakat Indonesia yang
mayoritas mutlak beragama Islam.7
7
Muderiz Zaini, Adopsi Suatu Tinjaian dari Tiga Sistem Hukum, cet.V, Sinar Grafika, Jakarta,1980. h.2.
Dalam BW tidak diatur tentang masalah
menjelaskan masalah pewarisan dengan istilah “anak luar kawin” atau anak yang
diakui (erkend kind).8
Pengangkatan anak untuk kesejahteraan anak yang dilakukan diluar adat
dan kebiasaan dilaksanakan berdasarkan Peraturan PerUndang-Undangan yang
tercantum dalam Pasal 12 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4
Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak.
9
Sedangkan menurut hukum adat
terdapat keanekaragaman hukum yang berbeda, antara daerah yang satu dengan
daerah lainnya, sesuai dengan perbedaan lingkaran hukum adat, seperti yang
dikemukakan oleh Prof. Van Vollenhoven. Hukum adat merupakan salah satu
sumber yang penting untuk memperoleh bahan-bahan unifikasi hukum
sehubungan dengan hal itu perlu ditinjau terlebih dahulu hukum adat itu, apa lagi
dalam perkembangannya sekarang. Garis-Garis Besar Haluan Negara tahun 1978
mencantumkan peningkatan dan penyempurnaan hukum nasional dengan antara
lain pembaharuan kodifikasi dan unifikasi hukum di bidang-bidang tertentu
dengan jalan memperhatikan kesadaran hukum dalam masyarakat.10
“Di Indonesia terdapat 19 lingkaran hukum adat(Rechtskring), sedang
tiap-tiap rechtskring pun terdiri dari beberapa kukuban hukum (Reschtgouw)”.11
Dengan demikian tentunya akan terdapat beberapa perbedaan pada
masing- masing daerah hukum di Indonesia, tentang masalah status anak angkat
itu. Dalam pembagian hukum perdata materil adopsi terletak dalam lapangan
8
Ibid.
9
Erna Sofwan Syukrie, Pengaturan Adopsi Internasional, Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman, Jakarta 1992. h. 1-2.
10
BPHN, “ Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional”, Kerja sama
BadanPembinaan Hukum Nasional dengan Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, tanggal 15-17 Januari 1975 di Yogyakarta, Kesimpulan, h. 251.
11
hukum keluarga. Hukum keluarga adalah semua kaidah-kaidah yang mengatur
dan menentukan syarat-syarat, dan cara mengadakan hubungan abadi serta seluruh
akibat hukumnya.12
Adopsi adalah suatu lembaga hukum yang terletak di Bidang Hukum
Perdata, khususnya Hukum Perorangan dan Kekeluargaan. Lembaga Adopsi ini
berbeda-beda pada negara yang satu dibandingkan negara yang lain dan Dalam hukum Islam lebih tegas dijelaskan, bahwa pengangkatan seorang anak
dengan pengertian menjadikannya sebagai anak kandung didalam segala hal, tidak
dibenarkan. Hal ini sesuai dengan pembahasan Al Ustadz Umar Hubies dalam
bukunya “Fatawa”.
Hanya yang perlu digaris bawahi disini adalah bahwa larangan yang
dimaksudkan adalah pada status pengangkatan anak menjadi anak kandung
sendiri, dengan menempati status yang persis sama dalam segala hal. Dalam BW
tidak dikenal kedudukan anak angkat itu sendiri, tetapi khusus bagi orang-orang
yang termasuk golongan Tionghoa, lembaga adopsi ini diatur dalam Staatsblad
1917 nomor 129.
Dalam hukum adat masih terdapat ketentuan-ketentuan yang beraneka
ragam, namun demikian masih pula terdapat titik tautnya, sesuai dengan keekaan
dari keanekaragaman budaya bangsa Indonesia yang tercermin dalam bentuk
lambing negara Indonesia. Dalam hukum Islam ada indikasi tidak menerima
lembaga adopsi ini, dalam artian persamaan status anak angkat dengan anak
kandung.
12
keanekaragaman ini menimbulkan persoalan Vorfrage (Persoalan Pendahuluan)
dan Anpassung (Penyesuaian) dalam negara-negara yang bersangkutan. Sebagai
contoh dapat dikemukakan seorang anak adopsi Belgia yang ayah adopsi
Belgianya ketabrak mobil dan meninggal dunia. Apakah anak adopsi ini dapat
dianggap merupakan “anak” seperti yang dimaksudkan oleh pasal 1370
KUHPerdata dan karenanya akan diperbolehkan atau tidak mengajukan gugatan
ganti kerugian karena perbuatan melanggar hukum.
Di berbagai kebudayaan kuno, termasuk pula dari Negara Asia, maka
adopsi ini sering dianggap sebagai suatu cara untuk melanjutkan keturunan,
terutama dimana dikenal sistem pengabdian kepada leluhur (vooroudervering),
seperti misalnya di Yunani, Romawi kuno, Jepang, Tiongkok dan lain-lain Negara
Asia. Dalam sistem- sistem demikian maka yang dapat diangkat hanya anak
laki-laki dan anak angkat itu dianggap sama seperti anak betul dari si pengangkat
sendiri.
Akan tetapi kita saksikan bahwa fungsi dari adopsi ini mengalami
perubahan di berbagai negara lain. Bukan saja orang-orang yang boleh diangkat
yang berubah, hingga tidak hanya anak laki yang boleh di adopsi, tetapi anak-anak
perempuan juga. Kita saksikan pula pergeseran dalam penilaian akibat-akibat
suatu adopsi, tidak lagi demikian mendalam hingga seratus persen dianggap
sebagai anak sendiri melainkan terbatas misalnya kepada pemeliharaan dan
pendidikan. Maka timbul pertanyaan, bolehkah mangadopsi anak hanya untuk
memberikan kepada anak itu suatu pendidikan yang baik, misalnya hanya untuk
Menurut Surat Keputusan tanggal 9 Mei 1769 dari Gubernur Jendral
Hindia Belanda mengenai “ketentuan-ketentuan mengenai adopsi anak-anak yang
berasal dari orang-orang Tiong Hoa, orang-orang Islam dan orang-orang lain yang
bukan orang Kristen” maka adopsi semata-mata hanya untuk memberikan suatu
pendidikan yang baik bagi seorang anak tidak diperkenankan. Surat Keputusan
tanggal 9 Mei 1769 dari Gubernur Jendral telah ditentukan bahwa orang-orang
Tiong Hoa, orang-orang Islam dan orang-orang lain yang bukan orang Kristen
apabila mereka menyerahkan anaknya untuk diadopsi oleh orang lain maka pada
penyerahan itu mereka harus menerangkan :
1. apakah mereka melepaskan kekuatan haknya untuk mewaris dari anak atau
anak-anak yang mereka serahkan untuk diadopsi itu atau;
2. sejauh mengenai warisan tetap berkeinginan dianggap sebagai ayah
kandung dan ibu kandung dari anak atau anak-anak itu yakni dalam hal
anak atau anak- anak itu meninggal lebih dahulu dari kedua orangtua
kandung mereka baik dengan atau tanpa meninggalkan surat wasiat
(testament = viterste wil), kemauan terakhir dari si pewaris yang
dinyatakan dalam suatu akta) dan ada harta yang ditinggalkan oleh
anak-anak itu.
Dua kemungkinan tersebut di atas dengan catatan dari Surat Keputusan
tanggal 9 Mei 1769 dari Gubernur Jendral tersebut adalah bahwa apabila orangtua
kandung dari anak tersebut telah menyatakan bahwa mereka melepaskan hak
mereka untuk mewaris dalam warisan tersebut dan anak-anak yang diadopsi itu
adopsi pada saat meninggalnya anak yang diadopsi akan dianggap sebagai
orangtua kandung baik anak tersebut telah atau belum menentukan penggunaan
terlebih dahulu atas hartanya lewat suatu surat wasiat. Bahkan juga keluarga dari
pihak yang mengadopsi itu lebih dahulu meninggal dari pada anak yang diadopsi
itu demikian pula keluarga dari anak yang di adopsi itu apabila anak yang di
adopsi itu meninggal tanpa meninggalkan surat wasiat. Dengan tanpa mengurangi
hak mewaris, dalam segala hal dari anak yang di adopsi ataupun ahli waris-ahli
waris yang sah dari anak itu atas orangtua kandung.
Demikian halnya bagi mereka yang telah melakukan penyerahan mereka
untuk diadopsi dan disamping itu juga memperoleh dari pihak yang mengadopsi
mereka, kecuali secara khusus harus diartikan tidak demikian halnya atau dengan
adopsi itu tadinya tidak lain dimaksudkan kecuali hanya untuk memberikan
pendidikan yang baik dan layak kepada anak yang diadopsi itu oleh pihak yang
mengadopsi.
Intisari dari Surat Keputusan tanggal 9 Mei 1769 dari Gubernur Jendral
adalah bahwa pengangkatan anak atau adopsi harus jelas dan tegas dalam akta
adopsi yang dibuat secara akta otentik oleh pejabat yang berwenang yang memuat
atau berisikan pernyataan dan keinginan kedua belah pihak, baik pihak yang
mengangkat anak dan pihak yang menyerahkan anak kandungnya. Hal ini
dimaksudkan agar niat dan motivasi pengangkatan anak tersebut dapat
tergambarkan secara terang dan jelas demi kepentingan anak yang akan diadopsi
Mr. Wirjono Prodjodikoro, mantan Ketua Mahkamah Agung Republik
Indonesia ketika masih menjabat sebagai Ketua Mahkamah Agung telah menulis
sebuah prasaran dalam Kongres Ikatan Sarjana Hukum Indonesia ke-II seluruh
Indonesia di Bandung, yang kemudian dimuat dalam majalah “Hukum dan
Masyarakat” pada tahun 1960 dengan judul “Usaha Memperbaiki Hukum
Warisan”. Dari uraian beliau mengenai anak adopsi, anak angkat dapat ditarik
kesimpulan yaitu bagian dari seorang anak angkat dalam warisan dari bapak
angkatnya dan apa hakekat-hakekat (hukum materiil) dari sesuatu adopsi yang
dimungkinkan oleh hukum adat dinegara kita.
Di Indonesia dikenal keanekaragaman adopsi (pengangkatan anak) di
pulau Jawa, Bali Indonesia Timur dan masih banyak lagi. Akan tetapi belum
dijumpai literatur dan peraturan perundang-undangan yang memadai mengenai
pengangkatan anak di Indonesia.
Golongan Indonesia asli mengenal lembaga pengangkatan anak yang
diatur dalam hukum adat masing-masing yang bercorak pluralistis. Mengangkat
anak dengan berbagai akibat hukum banyak dilakukan di negara kita, oleh orang
Indonesia asli, dan/atau oleh warganegara asing terhadap anak-anak Indonesia dan
sebaliknya, juga oleh mereka yang memeluk agama Islam, padahal hukum Islam
tidak mengenal lembaga adopsi.13
13
S. Gautama, Hukum Perdata Internasional Indonesia, cet. VII, P.T Kinta, Jakarta, 1969. h. 117.
Hal ini menunjukkan bahwa di kalangan orang
Masalah pengangkatan anak dalam waktu yang terakhir ini banyak
diperbincangkan dalam masyarakat kita dan telah mendapat perhatian pula dari
pihak pemerintah. Ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur
tentang pengangkatan anak sudah ada di zaman sebelum perang di Indonesia,
yaitu sebagaimana diatur dalam Staatsblaad tahun 1917 No. 129. Dalam Bab II
Staatsblaad tersebut diatur tentang pengangkatan anak yang berlaku khusus
diperuntukkan bagi orang-orang golongan Tionghoa, sedangkan untuk golongan
pribumi Indonesia asli belum ada peraturan yang mengaturnya.
Kemudian setelah zaman kemerdekaan yaitu pada tahun 1958
dikeluarkanlah Undang-Undang No. 62 Tahun 1958 tentang Kewarganegaraan
Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang tersebut, yang berkaitan dengan
pengangkatan anak dimuat dalam pasal 2. Undang-Undang tersebut dimuat dalam
Lembaran Negara Tahun 1958 No. 113, Tambahan Lembaran Negara No. 1647.
Kemudian pada tahun 1978, jadi dua puluh tahun kemudian,
dikeluarkanlah Surat Edaran Direktur Jendral Hukum dan Perundang-undangan
Departemen Kehakiman Nomor JHA 1/1/2 tanggal 24 Februari 1978. Surat
Edaran tersebut mengatur tentang prosedur pengangkatan anak warga negara
Indonesia oleh orang asing.
Pada tahun 1979, dikeluarkanlah Undang-Undang No. 4 tahun 1979
tentang Kesejahteraan Anak. Dalam Pasal 12 Undang-Undang tersebut ditentukan
tentang motif pengangkatan anak yaitu untuk kepentingan kesejahteraan anak.
Undang- Undang No. 4 tahun 1979 itu dimuat dalam Lembaran Negara Tahun
Mahkamah Agung mengeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung RI No. 6
Tahun 1983. Surat Edaran tersebut merupakan penyempurnaan dari Surat Edaran
Mahkamah Agung RI No. 2 Tahun 1979 mengenai pengangkatan anak.
Kemudian pada tanggal 22 Oktober 2002, dikeluarkanlah Undang-Undang
No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang No. 23 tahun
2002 itu dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 2002 No. 109.
Undang-Undang ini menegaskan tentang hak-hak anak untuk
mendapatkan perlindungan hukum dalam segala aspek. Undang-Undang ini juga
meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan
asas-asas sebagai berikut:
a. nondiskriminasi;
b. kepentingan yang terbaik bagi anak;
c. hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan perkembangan; dan
d. penghargaan terhadap pendapat anak.
Dalam Undang-undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
telah dicantumkan tentang hak anak, pelaksanaan kewajiban dan tentang tanggung
jawab orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan negara.untuk memberikan
perlindungan terhadap anak. Meskipun demikian dipandang masih sangat
diperlukan suatu undang-undang yang khusus mengatur mengenai perlindungan
anak sebagai landasan yuridis bagi pelaksanaan kewajiban dan tanggung jawab
tersebut. Dengan demikian, pembentukan undang-undang perlindungan anak
aspeknya merupakan bagian dari kegiatan pembangunan nasional, khususnya
dalam memajukan kehidupan berbangsa dan bernegara. 14
14
H. Ahmad Kamil, dan H.M. Fauzan., Hukum Perlindungan Dan Pengangkatan Anak Di Indonesia, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2008, h.7.
Bagi Indonesia pengangkatan anak sebagai suatu lembaga hukum belum
berada dalam keadaan yang seragam, baik motivasi maupun caranya. Karena itu,
masalah pengangkatan ini masih menimbulkan perdebatan di kalangan
masyarakat dan pemerintah terutama dalam rangka usaha perlindungan anak
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang No. 4 tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak dan Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
Berdasarkan uraian diatas terlihat bahwa praktek pengangkatan anak telah
dikenal luas oleh kalangan masyarakat Indonesia. Namun masih banyak
orang-orang yang melakukan proses pengangkatan anak secara langsung tanpa melalui
proses yang benar yaitu, melalui penetapan pengadilan akan tetapi dengan
berhubungan langsung kepada orang tua anak atau melalui perantara.
Kondisi pengangkatan anak yang ada dalam masyarakat kita tidak sesuai
dengan yang seharusnya, masih banyaknya orang-orang yang tidak mengikuti
peraturan yang ada demi mencari keuntungan sendiri dan kelancaran proses yang
mereka lakukan bahkan dengan memalsukan akte lahir anak. Namun proses
pengangkatan anak yang semacam itu sampai saat ini masih banyak dilakukan
karena rendahnya kesadaran masyarakat akan hukum dan kurangnya sosialisasi
Dalam pelaksanaan pengangkatan anak, kemudian pada tanggal 3 Oktober
2007 pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pangangkatan Anak. Peraturan Pemerintah No. 54 tahun 2007 itu
dimuat dalam Lembaran Negara Tahun 2007 No. 123.
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah yang mengatur tentang
pelaksaksanaan pengangkatan anak yang berlaku secara nasional tanpa
mengesampingkan hukum positif lainnya yaitu hukum adat dan hukum agama ini
diharapkan terjadinya pengangkatan anak yang bertujuan untuk memberikan
kehidupan yang lebih baik dari segala aspek kehidupan kepada anak. Dalam
rangka peningkatan kesejahteraan anak, berlakunya Peraturan Pemerintah ini
bertujuan untuk menangani permasalahan-permasalahan yang terjadi terhadap
anak. Peraturan Pemerintah ini berlaku sebagai salah satu bentuk tindak lanjut
pemerintah terhadap perlindungan dan kesejahteraan anak.
Lembaga adopsi perlu diatur dalam hukum Perdata Nasional yang dicita-
citakan, hal itu disamping untuk memberi kesempatan hukum pada lembaga
adopsi yang dirasakan kebutuhannya itu, juga sebagai salah satu cara untuk
menyelesaikan masalah anak-anak terlantar dan anak yatim piatu. Tetapi karena
hukum positif tidak dapat terlepas dari pengaruh hukum agama dan hukum adat,
maka perlu dicari bentuk pengangkatan anak yang tidak bertentangan dengan
perasaan agama dan kebiasaan masyarakat yang telah meresap dan mendarah
daging dalam perasaan hukum positif masyarakat Indonesia.
Komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak di
Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Undang-Undang ini mengatur tentang
berbagai upaya yang dilakukan yang dilakukan dalam rangka perlindungan,
pemenuhan hak-hak dan peningkatan kesejahteraan anak. Salah satu solusi untuk
menangani permasalahan anak dimaksud yaitu dengan memberi kesempatan bagi
orang tua yang mampu untuk melaksanakan pengangkatan anak. Tujuan
pengangkatan anak hanya dapat dilakukan bagi kepentingan terbaik anak dan
harus berdasarkan pada peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau
berdasarkan pada adat kebiasaan setempat.
Banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat atas
pelaksanaan pengangkatan anak, yaitu pengangkatan anak dilakukan tanpa
melalui prosedur yang benar, pemalsuan data dan perdagangan anak memerlukan
pengaturan tentang pelaksanaan pengangkatan anak, baik yang dilakukan oleh
pemerintah maupun oleh masyarakat yang dituangkan dalam bentuk Peraturan
Pemerintah. Peraturan Pemerintah ini dapat dijadikan pedoman dalam
pelaksanaan pengangkatan anak.
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54
Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak dimaksudkan agar
pelaksanaan pengangkatan anak dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku secara nasional. Hal ini bertujuan untuk dapat
mencegah terjadinya penyimpangan yang pada akhirnya dapat melindungi dan
meningkatkan kesejahteraan anak demi masa depan dan kepentingan terbaik bagi
B. Permasalahan
Dari uraian yang telah penulis jelaskan pada latar belakang masalah,
terdapat permasalahan yang timbul yaitu, sebagai berikut :
1. Bagaimana kewenangan pengadilan negeri dalam mengeluarkan surat
penetapan pengangkatan?
2. Bagaimana kekuatan mengikat surat penetapan pengangkatan anak yang di
keluarkan oleh pengadilan negeri?
3. Bagaimana akibat hukum pengangkatan anak di pengadilan negeri?
C. Tujuan Penulisan
Tujuan yang hendak di capai dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mengetahui bagaimana kewenangan pengadilan negeri dalam
mengeluarkan surat penetapan pengangkatan anak.?
2. Untuk mengetahui bagaimana kekuatan mengikat surat penetapan
pengangkatan anak yang di keluarkan oleh pengadilan negeri.?
3. Untuk mengetahui bagaimana akibat hukum pengangkatan anak di
pengadilan negeri.?
D. Manfaat Penulisan
Sebuah karya tulis di buat dapat memberikan suatu manfaat, demikian pula
yang diharapkan dari penulisan skripsi ini. Adapun manfaat dari penulisan skripsi
1. Secara teoritis, penulisan skripsi ini diharapkan dapat menjadi bahan kajian
terhadap perkembangan hukum khususnya yang berkaitan dengan
pengangkatan anak. Di samping itu, skripsi ini juga akan dapat memberikan
sumbangan pikiran yuridis terhadap perkembangan hukum agar nantinya lebih
dapat mengikuti atau bahkan mengimbangi perkembangan teknologi informasi
yang semakin cepat. Selain itu juga diharapkan agar dapat memberikan
pemahaman dan wawasan ilmiah baik secara khusus maupun secara umum
berkenaan dengan tata cara pengangkatan anak.
2. Secara praktis, dapat memberikan wawasan mengenai tata cara pengangkatan
anak yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku,serta
sebagai masukan bagi pihak-pihak yang terkait dengan masalah skripsi ini dan
bahkan dapat digunakan sebagai pedoman bagi peneliti-peneliti berikutnya.
E. Keaslian Penulisan
Penulisan skripsi ini didasarkan pada ide, gagasan, maupun pemikiran
penulis secara pribadi. Skripsi ini benar-benar hasil karya sendiri, bukan jiplakan
dari karya orang lain. Baik sebagian atau seluruhnya. Pendapat atau penemuan
orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode
etik ilmiah.
Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan baik melalui perpustakan,
berdasarkan hasil riset atau pun melalui media internet, ditemukan fakta bahwa
belum ada sebuah skripsi yang mengkhususkan diri untuk membahas masalah
sampai kepada suatu kesimpulan, bahwa mengenai keberadaan kutipan pendapat
dalam penulisan skripsi ini adalah hal yang tidak perlu untuk diperdebatkan
karena sebuah kutipan merupakan hal yang lumrah dan wajar karena diajukan
semata-mata demi kesempurnaan tulisan ini, jadi sama sekali tidak ada maksud
penulis untuk melakukan suatu tindakan plagiat.
F. Tinjauan Kepustakaan
Kata adopsi berasal dari perkataan ad (menambahkan) dan optare
(memilih, menginginkan), jadi adopsi berarti mengambil secara sukarela seorang
anak dari orang lain sebagai anaknya sendiri. They adopted him as their sole heir
(mereka mengadopsi anak itu sebagai satu-satunya ahli waris mereka). Webster’s
Third New International Dictionary of the English Language. Untuk memberikan
pengertian tentang adopsi, dapat membedakannya dari dua sudut pandangan, yaitu
pengertian secara etimologi dan secara terminologi.
a. Secara etimologi
Adopsi berasal dari kata “adoptie” Bahasa Belanda, atau “adopt”
(adoption) bahasa Inggris, yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak.
Dalam bahasa Arab disebut “tabanni” yang menurut Prof. Mahmud Yunus
diartikan dengan “mengambil anak angkat”. Pengertian dalam bahasa Belanda
menurut Kamus Hukum, berarti pengangkatan seorang anak untuk sebagai anak
kandungnya sendiri. Jadi disini penekanannya pada persamaan status anak angkat
literlijk, yaitu (adopsi) di masukkan kedalam bahasa Indonesia berarti anak angkat
atau mengangkat anak.
b. Secara terminologi
Para ahli mengemukakan beberapa rumusan tentang definisi adopsi
(pengangkatan anak) yaitu, antara lain : Dalam kamus Umum Bahasa Indonesia
dijumpai arti anak angkat, yaitu “anak orang lain yang diambil dan disamakan
dengan anaknya sendiri.
Dalam Ensiklopedia Umum disebutkan :
“Adopsi adalah suatu cara untuk mengadakan hubungan antara orang tua dan anak yang diatur dalam pengaturan perundang-undangan. Biasanya adopsi dilaksanakan untuk mendapatkan pewaris atau untuk mendapatkan anak bagi orang tua yang tidak beranak. Akibat dari adopsi yang demikian itu ialah bahwa anak yang diadopsi kemudian memuliki status sebagai anak kandung yang sah dengan segala hak dan kewajiban. Sebelum melaksanakan adopsi itu calon orangtua harus memenuhi syarat-syarat untuk benar-benar dapat menjamin kesejahteraan bagi anak”.15
J.A. Nota seorang sarjana hukum Belanda memberi rumusan mengenai
adopsi, bahwa adopsi adalah suatu lembaga hukum (een rechtsintelling), melalui
mana seseorang berpindah kepada ikatan keluarga yang lain (baru), dan
sedemikian rupa, sehingga menimbulkan secara keseluruhan atau sebagian
hubungan-hubungan hukum yang sama seperti antara seorang anak yang
dilahirkan sah dengan orang tuanya.16
15
Kamus Besar Bahasa Indonesia(KBBI), Balai Pustaka, Jakarta, 1976. h. 31.
16
Djaja S. Meliala, Op.Cit, h. 3
Kemudian Dr. Mahmud Syaltut, seperti yang dikutip secara ringkas oleh
Drs. Fatchur Rahman dalam bukunya Ilmu Waris, beliau membedakan dua
1. penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia sebagai
anak orang lain ke dalam keluarganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam
segi kecintaan, pemberian nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala
kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri;
2. yakni yang dipahamkan dari perkataan “tabanni” (mengangkat anak secara
mutlak). Menurut syariat adat dan kebiasaan yang berlaku pada manusia.
Tabanni ialah memasukkan anak yang diketahuinya sebagai orang lain ke
dalam keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab kepada dirinya, sebagai
anak yang sah, tetapi mempunyai hak dan ketentuan hukum sebagai anak.
Pengertian yang dikemukakan terakhir di atas tentang istilah anak angkat
menurut pengertian Dr. Mahmud Syaltut yang lebih tepat untuk kultur Indonesia
yang mayoritas penduduknya pemeluk Islam sebab disini tekanan pengangkatan
anak adalah perlakukan sebagai anak dalam segi kecintaan, pemberian nafkah,
pendidikan dan pelayanan dalam segala kebutuhannya, bukan diperlakukan
sebagai anak nasabnya sendiri.
Sedangkan pengertian yang kedua menurut Dr. Mahmud Syaltut tersebut
persis dengan pengertian adopsi menurut hukum Barat, yaitu dimana arahnya
lebih menekankan kepada memasukkan anak yang diketahuinya sebagai orang
lain ke dalam keluarganya dengan mendapatkan status dan fungsi yang sama
persis dengan anak kandungnya sendiri. Pengertian kedua ini konsekuensinya
sampai kepada hak untuk mendapatkan warisan dari orangtuanya yang
mengangkat dan larangan kawin dengan keluarganya, hal ini jelas bertentangan
Pengertian pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang
bertujuan untuk memberi status/kedudukan kepada seorang anak orang lain yang
sama seperti kandung. Adanya anak angkat ialah karena seorang mengambil anak
atau di jadikan anak oleh orang lain sebagai anaknya. Anak angkat itu mungkin
seorang anak laki-laki atau seorang anak perempuan.17
Menurut Hilman Hadikusuma, anak angkat adalah anak orang lain yang
dianggap anak sendiri oleh orang tua angkat dengan resmi menurut hukum adat
setempat, dikarenakan tujuan untuk kelangsungan keturunan dan atau
pemeliharaan atas kekayaan rumah tangganya.
Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia menyebutkan anak angkat adalah
anak orang lain yang diambil dan disamakan dengan anak sendiri.
18
Kemudian pada Tahun 1983 dikeluarkan Surat Edaran Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983, yang merupakan penyempurnaan dari
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1979
Pada dasarnya pengangkatan anak merupakan suatu upaya dalam rangka
mensejahterakan anak , khususnya anak angkat, hal ini tampak dari ketentuan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak. dalam
Undang-undang ini mengatur secara tegas motif dan anak yang dikehendaki
dalam pengaturan hukum tentang pengangkatan anak, yaitu untuk kepentingan
kesejahteraan anak angkat tersebut seperti yang tertuang dalam Pasal 12
Undang-undang tersebut.
17
Bastian Tafal, Pengangkatan Anak Menurut Hukum Adat Serta akibat-akibat hukumnya di kemudian hari, Rajawali Pers, Jakarta, h.45.
18
mengenai Pengangkatan Anak. Surat Edaran tersebut merupakan petunjuk dan
pedoman bagi para hakim dalam mengambil putusan atau penetapan bila ada
permohonan pengangkatan anak.
Pada Tahun 1984 dikeluarkan Keputusan Menteri Sosial Republik
Indonesia Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan
Perizinan Pengangkatan Anak. Maksud dari dikeluarkannya Keputusan Menteri
Sosial ini adalah sebagai suatu pedoman dalam rangka pemberian izin,
pembuatan laporan sosial serta pembinaan dan pengawasan pengangkatan anak,
agar terdapat kesamaan dalam bertindak dan tercapainya tertib administrasi sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mengingat banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat atas
pelaksanaan pengangkatan anak, yaitu pengangkatan anak dilakukan tanpa
melalui prosedur yang benar, pemalsuan data, perdagangan anak, bahkan telah
terjadi jual beli organ tubuh anak. Untuk itu perlu pengaturan tentang pelaksanaan
pengangkatan anak, baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun oleh
masyarakat, yang dituangkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yang
merupakan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak.
G. Metode Penulisan
Setiap penelitian ilmiah haruslah menggunakan metode penelitian yang
penelitian adalah menggunakan secara teknis tentang metode yang digunakan
dalam penelitian, dalam menarik suatu kesimpulan, jika telah disertai bukti yang
menyakinkan dan bukti-bukti harus jelas dan data dievaluasi
penyelenggaraanya.19
1. Metode pendekatan.
Jadi suatu metode harus dipilih berdasarkan pada kesesuaian terhadap
masalah yang akan diteliti, yang nantinya berhasil atau tidaknya suatu penelitian
sangat tergantung pada metode yang dipakai, maka dalam skripsi ini
menggunakan metode penelitian sebagai berikut:
Metode pendekatan yang dipakai dalam penelitian ini adalah pendekatan
yuridis normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah sebagai usaha mendekati
masalah yang diteliti dengan sifat hukum yang nyata atau sesuai dengan
kenyataan yang hidup dalam masyarakat.20
2. Jenis penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah bersifat
deskriptif analitis. Penelitian jenis ini adalah penelitian yang dimaksudkan untuk
memberikan gambaran yang diteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau
gejala-gejala lainnya.21
19
Khudaifah Dimyati dan Kelik Wirdiono. Metode Penelitian Hukum (Buku Pegangan Kuliah). UMS Fak. Hukum Surakarta, Surakarta, 2003, h. 1-2.
20
Hilman Hadikusuma, Metode Pembuatan Kertas Kerja atau Skripsi Ilmu Hukum,
Mandar Maju, Bandung, 1995, h. 61.
21
Moh. Nazir, Metodologi Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2000. h. 83.
gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta,
sifat-sifat serta hubungan fenomena yang diselidiki.22
3. Jenis Data
Dalam penelitian ini penulis menggunakan jenis data, yaitu data sekunder
adalah data yang diperoleh dari bahan-bahan kepustakaan, yaitu dari bahan
dokumentasi atau bahan yang ditulis berupa peraturan perundang-undangan,
buku-buku, laporan-laporan, dan sebagainya yang berhubungan dengan
permasalahan yang diteliti.
4. Metode analisis data
Data yang dikumpulkan selengkap dan seteliti mungkin untuk
mempertegas gejala-gejala yang ada dan selanjutnya dilakukan pengelolaan dan
analisis data. Hal ini dimaksudkan untuk merangkai dan menginterpretasikan serta
pengambilan kesimpulan atas data yang diperoleh itu. Analisis data adalah proses
mengorganisasikan dan mengumpulkan data ke dalam pola, kategori dan satuan
uraian, dasar sehingga dapat diketemukan dan dapat dirumuskan hipotesis kerja
yang disarankan oleh data.23
Metode analisis data yang penulis gunakan dalam skripsi ini adalah
analisis kualitatif yaitu suatu metode dan taktik pengumpulan datanya memakai
metode observasi yang berperan serta dengan wawancara terbatas terhadap
beberapa responden. Analisis kualitatif ini ditujukan terhadap data-data yang
22
Ibid
23
sifatnya berdasarkan kualitas, mutu, dan sifat yang nyata berlaku dalam
masyarakat.24
BAB III: Merupakan pembahasan mengenai bentuk pelaksanaan
pengangkatan anak (adopsi) di Indonesia, pengangkatan anak antar warga negara
Indonesia (Domestic Adoption), pengangkatan anak antar warga negara Indonesia H. Sistematika Penulisan
Dalam menghasilkan karya ilmiah yang baik, maka pembahasan harus
diuraikan secara sistematis. Untuk memudahkan penulisan skripsi ini, maka
diperlukan adanya sistematika penulisan yang teratur yang terbagi dalam bab-bab
yang saling berangkai satu sama lain. Adapun sistematika penulisan skripsi ini
adalah:
BAB I : Berisikan pendahuluan yang merupakan pengantar, yang di
dalamnya terurai mengenai latar belakang penulisan skripsi, perumusan masalah,
kemudian dilanjutkan denngan tujuan penulisan, manfaat penulisan, tinjauan
kepustakaan, metode penulisan, yang kemudian diakhiri oleh sistematika
penulisan.
BAB II : Merupakan gambaran umum tentang pengangkatan anak dimana
di uraikan mengenai pengertian pengangkatan anak, sejarah lahirnya
pengangkatan anak, akibat hukum pengangkatan anak,dan dasar hukum
pengangkatan anak.
24
dengan warga negara Asing (Inter Country Adoption), Prosedur Pelaksanaan
Pengangkatan Anak (adopsi) menurut peraturan per undang-undangan yang
berlaku saat ini yang di mulai dari 1. prosedur penyerahan bayi / anak. 2.
prosedur pelaksanaan pengangkatan anak antar warga negara Indonesia, 3.
Prosedur pelaksanaan pengangkatan anak antara calon anak angkat warga negara
Indonesia dan Calon orang tua angkat warga negara asing (Inter country
adoption).
BAB IV : Merupakan Bab yang membahas secara detail mengenai
Kekuatan Mengikat Surat Penetapan Pengangkatan Anak (Analisis Penetapan
Pengadilan Tanjung Balai No:221/PDT.P/2009/PN-TB) yang di dalamnya di
uraikan mengenai Kewenangan Pengadilan Negeri Dalam Mengeluarkan
Penetapan Pengangkatan Anak, Kekuatan Mengikat Penetapan Pengangkatan
Anak, Akibat Hukum Pengangkatan Anak Di Pengadilan Negeri.
BAB V : Bab ini berisikan kesimpulan dari bab-bab yang telah di bahas
sebelumnya dan saran-saran yang mungkin berguna bagi masyarakat yang kelak
yang ingin melakukan pengangkatan anak, pihak akademis dan orang-orang yang
BAB II
TINJAUAN UMUM PENGANGKATAN ANAK
A. Pengertian Anak dan Pengangkatan Anak
Anak adalah seorang laki-laki dan perempuan yang belum atau belum
mengalami masa pubertas. Anak juga merupakan keturunan kedua dimana kata
“anak’’ merujuk dari lawan dari orang tua, orang dewasa adalah anak dari orang
tua mereka, meskipun mereka telah dewasa. Walaupun begitu istilah ini sering
merujuk pada perkembangan mental seseorang walaupun usianya secara biologis
dan kronologis seseorang sudah termasuk dewasa namun apabila perkembangan
mentalnya ataukah urutan umurnya maka seseorang dapat saja di asosiasikan
dengan istilah “anak”.25
Pengangkatan anak (adopsi) adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan
untuk memberi status atau kedudukan kepada seorang anak orang lain yang sama
seperti anak kandung. Adanya anak angkat ialah karena seorang mengambil anak Menurut Pasal 1 angka (9) Undang-Undang RI No. 23 Tahun 2002
tentang Perlindungan Anak, Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari
lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah, atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut,
ke dalam lingkungan keluarga orang tua angkatnya berdasarkan putusan atau
penetapan pengadilan.
25
atau di jadikan anak oleh orang lain sebagai anaknya. Anak angkat itu mungkin
seorang anak laki-laki atau seorang anak perempuan.26
Adapun maksud pengangkatan anak ini pada umumnya adalah untuk
melanjutkan keturunan (klan), suatu fenomena baru dalam kehidupan masyarakat
modern khususnya bagi orang-orang yang tidak mempunyai keturunan atau bagi
para wanita yang tidak mampu karena terlambat melangsungkan perkawinan.
Orang yang mengangkat anak tidak terbatas hanya orang-orang yang kawin saja
atau orang-orang berkeluarga saja akan tetapi orang yang belum kawin pun
dimungkinkan juga untuk mengangkat anak. Oleh karena itu pengangkatan anak
biasanya dilakukan terhadap saudara dekat ataupun terhadap keponakan sendiri,
akan tetapi tidak tertutup kemungkinan bagi anak-anak yang ada di luar kerabat
(klan). Memang bilamana anak yang diangkat berasal dari kerabat sendiri, tentu
hal ini secara psikologis telah mempunyai suatu ikatan naluri, sehingga
kehadirannya di tengah-tengah keluarga tersebut akan lebih harmonis.
Pengangkatan anak biasanya dilaksanakan dengan upacara-upacara yang dihadiri
penghulu, pengetua adat setempat serta disaksikan oleh anggota keluarga yang
mengangkatnya dengan tujuan agar status dan kedudukan anak yang diangkat
menjadi terang dan jelas. Biasanya dilingkungan kerabat yang mengangkatnya,
banyak di jumpai di daerah-daerah antara lain: Jawa Timur, Bali, Minahasa,
Palembang dan Batak.27
26
B. Bastian Tafal, Op.Cit, h. 45.
27
Pengertian tentang adopsi, dapat dibedakan dari dua sudut pandang, yaitu
pengertian secara etimologi dan secara terminologi. Secara etimologi, adopsi
berasal dari kata “adoptie” Bahasa Belanda, atau “adpot” (adoption) bahasa
Inggris, yang berarti pengangkatan anak, mengangkat anak. Pengertian dalam
Bahasa Belanda menurut Kamus Hukum, berarti “pengangkatan seorang anak
untuk sebagai anak kandungnya sendiri”. Jadi di sini penekanannya pada
persamaan status anak angkat dari hasil pengangkatan anak sebagai anak
kandung. Ini adalah pengertian secara literlijk, yaitu (adopsi) diover ke dalam
bahasa Indonesia berarti anak angkat atau mengangkat anak.28
“Adopsi (mengangkat) Anak adalah suatu perbuatan pengambilan anak orang lain kedalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama seperti yang ada antara orang tua dengan anak kandungnya sendiri.”
Secara terminologi, para ahli mengemukakan beberapa rumusan tentang
definisi adopsi, antara lain: Surojo Wignjodipuro, dalam bukunya Pengantar dan
Azas-Azas Hukum Adat, memberikan batasan-batasan sebagai berikut:
29
Pertama; penyatuan seseorang terhadap anak yang diketahuinya bahwa ia
sebagai anak orang lain ke dalam kelurganya. Ia diperlakukan sebagai anak dalam Kemudian Mahmud Syaltut, seperti yang dikutip secara ringkas Fatchur
Rahman dalam bukunya Ilmu Waris, beliau membedakan dua arti anak angkat
yaitu:
28
Muderis Zaini, Op.Cit, 1992, h. 4
29
segi kecintaan, pemberi nafkah, pendidikan dan pelayanan dalam segala
kebutuhannya, bukan diperlakukan sebagai anak nasabnya sendiri.
Kedua yakni yang dipahamkan dari perkataan “tabanni” (mengangkat
anak secara mutlak). Menurut “tabanni”dan kebiasaan yang berlaku pada
manusia. Tabanni ialah memasukkan anak yang diketahuinya sebagai orang lain
ke dalam keluarganya, yang tidak ada pertalian nasab kepada dirinya, sebagai
anak sah, tetapi mempunyai hak dan ketentuan hukum sebagai anak.
Pengertian kedua menurut Mahmud Syaltut tersebut persis dengan
pengertian adopsi menurut hukum barat, yaitu di mana arahnya lebih menekankan
kepada memasukkan anak yang diketahuimya sebagai anak orang lain ke dalam
keluarganya dengan mendapatkan status dengan fungsi yang sama persis dengan
anak kandungnya sendiri. Pengertian kedua ini konsekuensinya sampai kepada hal
untuk mendapatkan warisan dari orang tuanya yang mengangkat dan larangan
kawin dengan keluarganya.30
Meskipun ada yang membedakan antara pengertian adopsi dengan
pengertian anak angkat, tapi hak ini hanyalah dilihat dari sudut etimologi dan
sistem hukum negeri yang bersangkutan. Adopsi dalam bahasa Arab disebut
tabanni mengandung pengertian untuk memberikan status yang sama, dari anak
angkat sebagai anak kandung sendiri dengan konsekuensi ia mempunyai hak dan
kewajiban yang persis sama pula. Sedang istilah anak angkat adalah pengertian
30
menurut hukum adat, dalam hal ini masih mempunyai bermacam istilah dan
pengertian, sesuai dengan keanekaragaman sistem peradatan di Indonesia.31
Di Indonesia, pengangkatan anak telah menjadi kebutuhan masyarakat
dan menjadi bagian dari sistem hukum kekeluargaan, karena menyangkut Sebagaimana diketahui pada mulanya sering terjadi pengangkatan anak
warga negara Indonesia oleh warga negara asing yang dilakukan dengan
menyerahkan anak secara langsung dari orang tua kandung kepada orang tua
yang akan mengangkat (private adoption) hanya dengan akte notaris seperti
halnya yang dilakukan pada pengangkatan anak dalam lingkungan penduduk
golongan Tionghoa yaitu berdasarkan: Bepaling voor geheel Indonesie
betreffende het Burgerlijk en Handelsrecht van de Chinezen, Stb. 1917-129 van
Adoptie.
Bahwa peraturan tersebut hanyalah meliputi pengangkatan anak yang
dilakukan di Indonesia khususnya untuk melanjutkan keturunan laki-laki tetapi
kemudian dengan yurisprudensi tetap pengangkatan anak perempuan dianggap
pula sah.
B. Sejarah Lahirnya Pengangkatan Anak
Pengangkatan anak bukanlah hal yang baru di Indonesia. Sejak dulu
pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda-beda
sesuai dengan sistem hukum dan perasaan hukum yang hidup serta berkembang
di daerah yang bersangkutan.
31
kepentingan orang perorang dalam keluarga. Oleh karena itu lembaga
pengangkatan anak (adopsi) yang telah menjadi bagian dari budaya masyarakat,
akan mengikuti perkembangan situasi dan kondisi seiring dengan tingkat
kecerdasan serta perkembangan masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu,
pemerintah Hindia Belanda berusaha untuk membuat suatu aturan tersendiri
tentang adopsi tersebut, maka dikeluarkanlah oleh pemerintah Hindia Belanda
Staatsblad No. 129 Tahun 1917, yang mengatur tentang pengangkatan anak,
dalam Bab II diatur tentang pengangkatan anak yang berlaku khusus bagi
orang-orang Tionghoa.
Dari ketentuan tersebut, disebutkan bahwa yang boleh mengangkat anak
adalah sepasang suami istri yang tidak mempunyai anak laki-laki, seorang duda
ataupun janda yang tidak mempunyai anak laki-laki, dengan catatan bahwa janda
yang bersangkutan tidak ditinggalkan berupa amanah berupa surat wasiat dari
suaminya yang menyatakan tidak menghendaki pengangkatan anak.
Dalam Staatsblad 1917 Nomor 129 ini hanya sebagai pedoman bahwa
yang boleh diangkat hanyalah anak laki-laki, sedangkan untuk anak perempuan
dengan tegas dikemukakan dalam Pasal 15 ayat (2) bahwa “pengangkatan
terhadap anak-anak perempuan dan pengangkatan dengan cara lain daripada cara
membuat akta autentik adalah batal karena hukum”.
Setelah zaman kemerdekaan pada tahun 1958 dikeluarkan Undang-
undang Nomor 62 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia. Dalam
Undang-undang ini, mengenai hal yang berkaitan dengan pengangkatan anak
Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 yang mengatur tentang gaji pegawai negeri
sipil yang memungkinkan mengangkat anak di Pengadilan Negeri. Sejak itu
pengangkatan anak mulai banyak dilakukan oleh para pegawai negeri sipil
dengan berbagai motivasi.
Pada Tahun 1978 dikeluarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Hukum dan
Perundang-undangan Departemen Kehakiman Nomor JHA 1/1/2 tanggal 24
Februari yang mengatur tentang prosedur pengangkatan anak warga negara
Indonesia oleh orang asing.
Dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak, khususnya anak angkat
maka pada Tahun 1979 dikeluarkan Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang
Kesejahteraan Anak, dalam undang-undang ini pun diatur secara tegas motif dan
anak yang dikehendaki dalam pengaturan hukum tentang pengangkatan anak,
yaitu untuk kepentingan kesejahteraan anak angkat tersebut seperti yang tertuang
dalam pasal 12 Undang-undang tersebut. Kemudian pada Tahun 1983 dikeluarkan
Surat Edaran Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 1983, yang
merupakan penyempurnaan dari Surat Edaran Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 1979 mengenai Pengangkatan Anak. Surat Edaran
tersebut merupakan petunjuk dan pedoman bagi para hakim dalam mengambil
putusan atau penetapan bila ada permohonan pengangkatan anak.
Pada Tahun 1984 dikeluarkan Keputusan Menteri Sosial Republik
Indonesia Nomor 41/HUK/KEP/VII/1984 tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan
Pengangkatan Anak. Maksud dari dikeluarkannya Keputusan Menteri Sosial ini
sosial serta pembinaan dan pengawasan pengangkatan anak, agar terdapat
kesamaan dalam bertindak dan tercapainya tertib administrasi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Kemudian, dalam rangka perlindungan, pemenuhan hak-hak dan
peningkatan kesejahteraan anak. Maka pada tahun 2002 disahkannya
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang merupakan
komitmen pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap anak dan
merupakan salah satu solusi untuk menangani permasalahan anak yang dimaksud
yaitu dengan memberi kesempatan bagi orang tua yang mampu untuk
melaksanakan pengangkatan anak dengan tujuan pengangkatan anak tersebut
hanya dapat dilakukan bagi kepentingan terbaik anak dan harus berdasarkan pada
peraturan perundang-undangan yang berlaku dan/atau berdasarkan pada adat
kebiasaan setempat.
Kemudian pada tahun 2005, setelah terjadinya bencana alam gempa bumi
dan gelombang Tsunami yang melanda Aceh dan Nias, yang menimbulkan
masalah sosial berupa banyak anak-anak yang kehilangan orang tuanya dan
adanya keinginan sukarelawan asing untuk mengangkatnya sebagai anak angkat
oleh LSM dan Badan Sosial Keagamaan lainnya yang sangat membahayakan
akidah agama anak tersebut, maka dibentuklah Surat Edaran Mahkamah Agung
Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005 tentang Pengangkatan Anak, yang
mulai berlaku mulai 8 Februari 2005.
Mengingat banyaknya penyimpangan yang terjadi dalam masyarakat atas
melalui prosedur yang benar, pemalsuan data, perdagangan anak, bahkan telah
terjadi jual beli organ tubuh anak.
Untuk itu perlu pengaturan tentang pelaksanaan pengangkatan anak, baik
yang dilakukan oleh Pemerintah maupun oleh masyarakat, yang dituangkan
dalam bentuk Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007
tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak yang merupakan pelaksanaan dari
Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
C. Dasar Hukum Pengangkatan Anak
Pengamatan Mahkamah Agung menghasilkan kesimpulan bahwa
permohonan pengesahan dan/atau pengangkatan anak yang telah diajukan ke
Pengadilan Negeri tampak kian bertambah, baik yang merupakan permohonan
khusus pengesahan/pengangkatan anak yang menunjukan adanya perubahan
pergeseran, dan variasi-variasi pada motivasinya.32
Praktek pengangkatan anak di tengah-tengah kehidupan sosial
masyarakat telah melembaga dan menjadi bagian dari budaya yang hidup di
tengah-tengah masyarakat Indonesia. Sejak zaman dahulu masyarakat Indonesia
telah melakukan pengangkatan anak dengan cara dan motivasi yang
berbeda-beda, sesuai dengan sistem hukum adat serta berkembang di daerah yang
bersangkutan.33
32
Soedaryo Soimin, Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak, Sinar Grafika, Jakarta, 2004. h. 28.
33
Pengamatan tersebut merupakan gambaran bahwa kebutuhan masyarakat
tentang pengangkatan anak di tengah-tengah masyarakat makin bertambah dan
dirasakan bahwa untuk memperoleh kepastian hukum hanya didapat setelah
memperoleh putusan pengadilan. Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama
dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman, menerima, memeriksa
dan mengadili serta menyelesaikan perkara yang diajukan kepadanya, antara lain
permohonan pengesahan atau pengangkatan anak, harus mengacu kepada hukum
terapannya. Ada beberapa peraturan hukum yang dapat dijadikan rujukan bagi
hakim dalam menjalankan tugas pokok kekuasaan kehakiman tentang
pengangkatan anak, misalnya:34
1. Staatsblad 1917, Pasal 5 sampai dengan 15 mengatur masalah adopsi
yang merupakan kelengkapan dari KUHPerdata/BW yang ada;
2. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 2 Tahun 1979 tentang
Pengangkatan Anak;
3. Surat Edaran Mahkamah Agung RI (SEMA) Nomor 6 Tahun 1983 tentang
Penyempurnaan SEMA Nomor 2 Tahun 1979;
4. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 41/HUK/KPE/VII/1984 tentang
Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak;
5. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak;
6. Surat Edaran Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2005 tentang
Pengangkatan Anak;
34
7. undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama;
8. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 54 Tahun 2007 tentang
Pelaksanaan Pengangkatan Anak
9. Peraturan Mentri Sosial No. 110 / HUK / 2009 tentang Peizinan
Pengangkatan Anak.
10.Beberapa Yurisprudensi Mahkamah Agung dan putusan Pengadilan yang
telah berkekuatan hukum tetap, yang dalam praktek peradilan telah diikuti
oleh hakim-hakim berikutnya dalam memutuskan atau menetapkan
perkara yang sama, secara berulang- ulang, dalam waktu waktu yang lama
sampai sekarang.
D. Syarat-Syarat Pengangkatan Anak
1. Pengangkatan Anak Antar Warga Negara Indonesia.
a. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 57 Tahun 2007
Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak.
1) Menurut Pasal 12 PP Nomor 57 Tahun 2007, adapun syarat-syarat pengangkatan
anak meliputi:
a) belum berusia 18 (delapan belas) tahun;
b) merupakan anak terlantar atau ditelantarkan;
c) berada dalam asuhan keluarga atau dalam lembaga pengasuhan anak;
dan
e) anak belum berusia 6 (enam) tahun, merupakan prioritas utama;
f) anak berusia 6 (enam) tahun sampai dengan belum berusia 12 (dua
belas) tahun, sepanjang ada alasan mendesak; dan
g) anak berusia 12 (dua belas) tahun sampai dengan belum berusia 18
(delapan belas) tahun, sepanjang anak memerlukan perlindungan
khusus.
2) Menurut Pasal 13 PP Nomor 54 Tahun 2007, calon orang tua angkat
(COTA) harus memenuhi syarat-syarat:
a) sehat jasmani dan rohani;
b) berumur paling rendah 30 (tiga puluh) tahun dan paling tinggi 55
(lima puluh lima) tahun;
c) beragama sama dengan agama calon anak angkat;
d) berkelakuan baik dan tidak pernah dihukum karena melakukan
tindak kejahatan;
e) berstatus menikah paling singkat 5 (lima) tahun;
f) tidak merupakan pasangan sejenis;
g) tidak atau belum mempunyai anak atau hanya memiliki satu orang
anak;
h) dalam keadaan mampu ekonomi dan sosial;
i) memperoleh persetujuan anak dan izin tertulis orang tua atau wali