PENGARUH PENGGUNAAN CETANE PLUS DIESEL
DENGAN BAHAN BAKAR SOLAR TERHADAP
PERFORMANSI MOTOR DIESEL
SKRIPSI
Skripsi Yang Diajukan Untuk Melengkapi
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Teknik
SABAM NUGRAHA TOBING NIM. 04 0401 067
DEPARTEMEN TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat
dan kasih yang diberikan-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.
Skripsi ini merupakan syarat terakhir bagi setiap mahasiswa di
Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara untuk
dapat menyelesaikan studinya.
Dalam Skripsi ini, penulis mengambil topik Motor Bakar dengan
spesifikasi “Pengaruh Penggunaan Total Cetane Plus Diesel Dengan Bahan
Bakar Solar Terhadap Performansi Motor Diesel ".
Pada kesempatan ini, penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan
terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:
1. Orang Tua penulis, M.L. Tobing dan I. Br. Tambunan, yang senantiasa
mendukung, menasehati, dan mendoakan penulis, sampai akhirnya skripsi
ini dapat penulis selesaikan.
2. Bapak Ir. Isril Amir, selaku dosen pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu dan menyumbangkan ilmu serta memberikan arahan
yang sepenuhnya dari awal hingga selesainya skripsi ini.
3. Bapak Dr. Ing. Ir. Ikhwansyah Isranuri, selaku Ketua Departemen Teknik
Mesin, Fakultas Teknik, Universitas Sumatera Utara.
4. Seluruh staf pengajar dan pegawai di Departemen Teknik Mesin, Fakultas
Teknik, Universitas Sumatera Utara.
5. Staff Laboratorium Motor Bakar Departemen Teknik Mesin yang telah
membantu dan membimbing penulis selama pengujian di Laboratorium.
6. Rekan-rekan mahasiswa Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik,
Universitas Sumatera Utara, khususnya angkatan 2004 yang telah banyak
membantu dalam menyelesaikan skripsi ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan maupun isi dari pada skripsi ini
masih terdapat banyak kekurangan-kekurangan. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan masukan dan kritikan yang membangun untuk perbaikan skripsi
Akhir kata, penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi kita semua,
khususnya bagi mahasiswa Departemen Teknik Mesin, Fakultas Teknik,
Universitas Sumatera Utara.
Medan, Januari 2009
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...i
DAFTAR ISI ... .iii
DAFTAR TABEL ... v
DAFTAR GAMBAR ... vi
DAFTAR NOTASI . ... viii
BAB 1. PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1
1.2Tujuan Pengujian ... 1
1.3Manfaat pengujian ... 2
1.4Batasan Masalah ... 2
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Zat Aditif ... 4
2.2 Manfaat Zat Aditif ... 4
2.3 Performansi Motor Diesel ... 6
2.3.1 Torsi Dan Daya ... 7
2.3.2 Konsumsi Bahan Bakar Spesifi (Sfc)... .... 7
2.3.3 Perbandingan Udara Bahan Bakar (AFR) ... .. 8
2.3.4 Efisiensi Volumetris. ... ...8
2.3.5 Efisiensi Thermal Brake. .. ...9
2.4 Nilai Kalor Bahan Bakar ... 10
2.5 Emisi Gas Buang ... 11
BAB 3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu Dan Tempat ... 14
3.2 Bahan Dan Alat ... 14
3.2.1 Bahan ... 14
3.3 Metode Pengumpulan Data ... 15
3.4 Metode Pengolahan Data ... 15
3.5 Pengamatan Dan Tahap Pengujian . ...15
3.6 Prosedur Pengujian Nilai Kalor Bahan Bakar ... 15
3.7 Prosedur Pengujian Performansi Motor Diesel ... 19
3.8 Prosedur Pengujian Emisi Gas Buang ... 23
BAB 4. HASIL DAN ANALISA PENGUJIAN 4.1 Pengujian Nilai Kalor Bahan Bakar ... 25
4.2 Pengujian Performansi Motor Diesel ... 31
4.2.1 Torsi ... 31
4.2.2 Daya Rem ... 33
4.2.3 Konsumsi bahan bakar spesifik ... 37
4.2.4 Rasio perbandingan udara bahan bakar... 41
4.2.5 Efisiensi volumetris ... 44
4.2.6 Efisiensi termal brake... 48
4.3 Pengujian Emisi Gas Buang ... 51
4.3.1 Kadar carbon monoksida (CO) dalam gas buang ... 51
4.3.2 Kadar unburned hidro carbon (UHC) dalam gas buang ... 52
4.3.3 Kadar carbon dioksida (CO2) dalam gas buang ... 54
4.3.4 Kadar sisa oksigen (O2) dalam gas buang ... 56
BAB 5. KESIMPULAN 5.1 Kesimpulan ... 59
5.2 Saran ... 60
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Spesifikasi Mesin Diesel TD4A 4-langkah ... 19
Tabel 3.2 Spesifikasi TD4A 001 Instrumentation Unit ... 20
Tabel 4.1 Data hasil pengujian dan perhitungan bom kalorimeter ... 29
Tabel 4.2 Data hasil perhitungan untuk torsi ... 32
Tabel 4.3 Data hasil perhitungan untuk daya ... 35
Tabel 4.4 Data hasil perhitungan untuk Sfc ... 39
Tabel 4.5 Data hasil perhitungan untuk AFR ... 43
Tabel 4.6 Data hasil perhitungan untuk efisiensi volumetris ... 46
Tabel 4.7 Data hasil perhitungan untuk efisiensi termal brake ... 49
Tabel 4.8 Kadar CO dalam gas buang ... 51
Tabel 4.9 Kadar UHC dalam gas buang... 53
Tabel 4.10 Kadar CO2 dalam gas buang ... 55
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Bom kalorimeter ... 16
Gambar 3.2 Diagram alir Pengujian nilai kalor bahan bakar ... 18
Gambar 3.3 Mesin uji (TD4 A 001)... 19
Gambar 3.4 TD4 A 001 Instrumentation Unit... 20
Gambar 3.5 Diagram alir pengujian performansi motor bakar diesel ... 22
Gambar 3.6 Auto logic gas analizer ... 23
Gambar 3.7 Diagram alir pengujian emisi gas buang motor bakar diesel ... 24
Gambar 4.1 Grafik HHV vs jenis bahan bakar ... 30
Gambar 4.2 Grafik LHV vs jenis bahan bakar ... 31
Gambar 4.3 Grafik Torsi vs putaran untuk beban 10 kg . ... 33
Gambar 4.4 Grafik Torsi vs putaran untuk beban 25 kg ... 33
Gambar 4.5 Grafik Daya vs putaran untuk beban 10 kg . ... 36
Gambar 4.6 Grafik Daya vs putaran untuk beban 25 kg ... 36
Gambar 4.7 Grafik Sfc vs putaran untuk beban 10 kg . ... 40
Gambar 4.8 Grafik Sfc vs putaran untuk beban 25 kg ... 40
Gambar 4.9 Kurva Viscous Flow Meter Calibration ... 41
Gambar 4.10 Grafik AFR vs putaran untuk beban 10 kg ... 44
Gambar 4.11 Grafik AFR vs putaran untuk beban 25 kg ... 44
Gambar 4.12 Grafik Efisiensi volumetris vs putaran untuk beban 10 kg .... ... 47
Gambar 4.13 Grafik Efisiensi volumetris vs putaran untuk beban 25 kg ... 47
Gambar 4.15 Grafik thermal vs putaran untuk beban 25 kg ... 50
Gambar 4.16 Grafik kadar CO vs putaran untuk beban 10 kg . ... 52
Gambar 4.17 Grafik kadar CO vs putaran untuk beban 25 kg ... 52
Gambar 4.18 Grafik kadar UHC vs putaran untuk beban 10 kg . ... 54
Gambar 4.19 Grafik kadar UHC vs putaran untuk beban 25 kg ... 54
Gambar 4.20 Grafik kadar CO2 vs putaran untuk beban 10 kg . ... 56
Gambar 4.21 Grafik kadar CO2 vs putaran untuk beban 25 kg ... 56
Gambar 4.22 Grafik kadar O2vs putaran untuk beban 10 kg . ... 58
DAFTAR NOTASI
LAMBANG KETERANGAN SATUAN
AFR Air fuel ratio
f
C Faktor koreksi
v
C Panas jenis bom calorimeter kJ/kg.0C
HHV Nilai kalor atas bahan bakar kj/kg
LHV Nilai kalor bawah bahan bakar kj/kg
M Persentase kandungan air dalam bahan
ma Laju aliran massa udara kg/jam
mf Laju aliran bahan bakar kg/jam
n Putaran mesin rpm
b
η
Efisiensi termal brakev
η
Efisiensi volumetrica
ρ
Kerapatan udara kg/m3PB Daya keluaran Watt
Qlc Kalor laten kondensasi uap air kj/kg
Sfc Konsumsi bahan bakar spesifik g/kWh
Sgf Spesifik gravity
T Torsi N.m
f
t
Waktu untuk menghabiskan bahan bakar detikf
V Volume bahan bakar yang diuji ml
s
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggunaan motor Diesel di kota besar menjadi sangat penting, hal ini
bisa dilihat dari banyaknya jumlah bus-bus penumpang dan mesin-mesin industri.
Kelebihannya adalah tenaga yang besar dan konsumsi bahan bakar yang rendah,
sedangkan kekurangannya adalah emisi gas buang yang dihasilkan sangat
berbahaya. Penyebab tingginya emisi gas buang dari kendaraan bermotor adalah
kondisi mesin yang tidak terawat dan juga kualitas bahan bakar yang rendah.
Solar merupakan bahan bakar yang digunakan pada motor diesel. Salah
satu sifat yang harus dipunyai dari solar adalah Cetane Number dari bahan bakar
tersebut. Angka setana adalah angka yang menunjukkan berapa besar tekanan
maksimum yang bisa diberikan di dalam mesin sebelum solar terbakar secara
spontan. Untuk menaikkan Cetane Number dari suatu bahan bakar biasa diperoleh
dengan memberikan Zat aditif (Zat aditif penambah cetane).
Salah satu cara alternatif yang dapat dipakai untuk memperoleh bahan
bakar dengan angka setana yang tinggi adalah dengan menggunakan Zat aditif
yang merupakan zat yang dapat meningkatkan Cetane number dari suatu bahan
bakar. Oleh karena itu dilakukan studi untuk mengetahui pengaruh perubahan
konsentrasi Zat aditif untuk mengetahui peningkatan unjuk kerja motor bakar
mesin diesel yang optimum dan kadar polutan dari emisi gas buang motor yang
rendah. Sehingga dari percobaan yang dilakukan dapat diperoleh data-data yang
dapat memberikan kesimpulan mengenai kelebihan dan kekurangan dari setiap
konsentrasi campuran solar dengan Zat aditif.
1.2 Tujuan Pengujian
Adapun tujuan dari pengujian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memperoleh perbandingan nilai kalor bahan bakar campuran
2. Untuk memperoleh perbandingan unjuk kerja motor diesel yang
menggunakan bahan bakar campuran solar dengan zat aditif (Total
Cetane Plus Diesel) terhadap solar murni.
3. Untuk memperoleh konsentrasi dari beberapa senyawa gas (emisi)
yang ditemukan dalam gas buang motor diesel berbahan bakar
campuran solar dengan zat aditif (Total Cetane Plus Diesel)
dibandingkan dengan solar murni.
1.3. Manfaat Pengujian
Hasil dari pengujian diharapkan akan memberi manfaat, antara lain:
1. Untuk memperoleh campuran yang paling optimal dari solar dengan zat
aditif yang akan digunakan sebagai bahan bakar motor diesel.
2. Untuk memperoleh kelebihan dan kekurangan dari masing-masing bahan
bakar yang diuji yaitu campuran bahan bakar solar dengan zat aditif
1.4 Batasan Masalah
Adapun batasan masalah dari pencampuran solar dengan zat aditif yang
digunakan ini adalah sebagai berikut:
1. Zat aditif yang digunakan adalah berupa suplemen bermerk TOTAL
CETANE PLUS DIESEL.
2. Alat uji yang digunakan untuk dan menghitung nilai kalor
pembakaran bahan bakar adalah ”Bom Kalorimeter”.
3. Mesin uji yang digunakan untuk mendapatkan unjuk kerja motor
diesel adalah motor diesel 4-langkah 4-silinder ( TecQuipment type.
TD4A 001 ), pada laboratorium Motor Bakar Departemen Teknik
Mesin USU.
4. Unjuk kerja motor diesel yang dihitung adalah :
- Torsi (torque)
- Daya (Brake Power)
- Rasio perbandingan udara-bahan bakar (Air Fuel Ratio)
- Konsumsi bahan bakar spesifik (Specific Fuel Consumtion)
- Efisiensi termal brake (Brake Thermal Efficiency)
5. Pada pengujian unjuk kerja motor diesel, selain variasi bahan bakar
juga dilakukan variasi putaran mesin dan beban yang meliputi :
- Variasi putaran : 1000-rpm, 1400-rpm, 1800-rpm, 2200-rpm,
2600-rpm, dan 2800-rpm
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian Zat aditif
Zat aditif (Total Cetane Plus Diesel) merupakan bahan yang di tambahkan
pada bahan bakar kendaraan bermotor, baik mesin bensin maupun mesin diesel.
Zat aditif digunakan untuk memberikan peningkatan sifat dasar tertentu yang
telah dimilikinya seperti aditif anti detonasi solar untuk bahan bakar mesin diesel.
Juga untuk meningkatkan kemampuan bertahan terhadap terjadinya oksidasi pada
pelumas.
Adapun manfaat dari zat aditif untuk meningkatkan performansi mesin
mulai dari durabilitas, akselerasi sampai power mesin. Kegunaan lain dari zat
aditif adalah sebagai berikut:
1. Membersihkan karburator/injektor pada saluran bahan bakar
2. Mengurangi karbon/endapan senyawa organik pada ruang bakar
3. Menambah tenaga mesin
4. Mencegah korosi
5. Menghemat BBM dan mengurangi emisi gas buang.
2.2 Manfaat Zat Aditif
Adapun manfaat dari zat aditif untuk meningkatkan performansi mesin
mulai dari durabilitas, akselerasi sampai power mesin. Kegunaan lain dari zat
aditif adalah sebagai berikut:
1. Membersihkan karburator/injektor pada saluran bahan bakar.
Endapan yang terjadi pada karburator umumnya terjadi karena adanya
kontaminasi pada bahan bakar. Kontaminasi ini bisa terjadi misalnya karena
tercampur dengan minyak tanah, tercampur dengan logam maupun senyawa
lain yang disebabkan oleh proses kimia tertentu di saluran bahan bakar.
Entah karena disengaja atau tidak, proses kimia ini dapat menghasilkan residu
dan mengendap saat berada di saluran bahan bakar. Ketika kendaraan sedang
tidak digunakan, maka tidak terjadi aliran bahan bakar ke ruang bakar. Dalam
untuk mengendap. Bahkan dalam jangka waktu yang lama dapat melekat
pada dinding-dinding karburator dan saluran bahan bakar, sehingga walau
bahan bakar sudah mengalir, deposit ini tidak terbawa ke ruang bakar.
2. Mengurangi karbon/endapan senyawa organik pada ruang bakar
Karbon/endapan senyawa organik terjadi ketika bahan bakar tidak
terbakar sempurna. Semakin sering terjadi pembakaran yang tidak sempurna,
karbon ini akan melekat dan semakin tebal. Kita mengetahuinya dengan
bentuk kerak yang melekat pada ruang bakar. Jika kerak ini sudah begitu tebal
dan keras, bukan tidak mungkin akan bergesekan dengan piston atau ring
piston. Secara tidak langsung akan berpengaruh pada rasio kompresi, karena
volume ruang bakar berubah atau kompresi yang bocor.
3. Menambah tenaga mesin
Secara umum, tenaga mesin dihasilkan dari pencampuran udara dan
bahan bakar, lalu di ledakkan dalam ruang bakar. Namun hal ini akan tidak
maksimal jika bahan bakar mengalami penurunan kualitas. Kualitas udara juga
berpengaruh, tapi kita asumsikan semua spare part dalam kondisi normal, jadi
udara bersih bisa didapatkan setelah melalui saringan udara. Seperti telah
dijelaskan, penurunan kualitas bahan bakar terjadi karena adanya kadar air
yang berlebih dan atau terkontaminasinya bahan bakar dengan senyawa lain
4. Mencegah korosi.
Dalam bahan bakar sendiri memang mengandung kadar air, akan tetapi
dalam batas tertentu. Dengan kondisi wilayah tropis yang lembab, kadar ini
dapat meningkat hingga melebihi batas. Air ini menyebabkan meningkatnya
kemungkinan reaksi dengan udara dan logam tangki penyimpanan. Selain itu
menyediakan media bagi bakteri aerob dan anaerob untuk berkembang biak
dalam tangki dan saluran bahan bakar. Bakteri ini dapat menguraikan sulphur
yang terkandung dalam bahan bakar, secara tidak langsung ion sulphur akan
Setiap bahan bakar minyak mengandung sulphur dalam jumlah sedikit,
namun keberadaan sulphur ini tidak diharapkan, dikarenakan sulphur ini
bersifat merusak. Dalam proses pembakaran sulphur akan teroksidasi dengan
oksigen menghasilkan senyawa SO2 dan SO3 yang jika bertemu dengan air
akan mengakibatkan korosi. Padahal dalam pembakaran yang sempurna pasti
akan dihasilkan air. Jika dua senyawa tersebut bertemu maka akan
menimbulkan korosi baik di ruang bakar maupun di saluran gas buang.Jika
didiamkan korosi ini akan merusak tangki bahan bakar, tangki menjadi
berlubang. Korosi ini pun bahkan bisa terbawa ke ruang bakar dan
meninggalkan residu/kerak karbon jika tidak terbakar sempurna. Selain
menghasilkan korosi kadar air ini dapat meninggalkan gum (senyawa
berbentuk seperti lumut kecoklatan) yang menempel pada dinding tangki.
5. Menghemat BBM dan mengurangi emisi gas buang
2.3 PERFORMANSI MOTOR DIESEL
Motor diesel merupakan salah satu jenis dari mesin pembangkit tenaga.
Motor Diesel termasuk mesin pembakaran dalam atau internal combustion engine,
artinya proses pembentukan energy panas terjadi di dalam mesin itu sendiri.
Karakteristik utama dari mesin diesel yang membedakannya dari motor bakar
yang lain terletak pada metode penyalaan bahan bakarnya. Dalam motor diesel
bahan bakar diinjeksikan kedalam silinder yang berisi udara bertekanan tinggi.
Selama proses pengkompresian udara dalam silinder mesin, suhu udara
meningkat, sehingga ketika bahan bakar yang berbentuk kabut halus
bersinggungan dengan udara panas ini, maka bahan bakar akan menyala dengan
sendirinya tanpa bantuan alat penyala lain. Karena alasan ini mesin diesel juga
disebut mesin penyalaan kompresi (Compression Ignition Engines).
Motor diesel memiliki perbandingan kompresi sekitar 11:1 hingga 26:1,
jauh lebih tinggi dibandingkan motor bensin yang hanya berkisar 6:1 sampai 9:1.
Konsumsi bahan bakar spesifik motor diesel lebih rendah (kira-kira 25 %)
dibanding motor bensin namun perbandingan kompresinya yang lebih tinggi
2.3.1 Torsi dan daya
Torsi yang dihasilkan suatu mesin dapat diukur dengan menggunakan
dynamometer yang dikopel dengan poros output mesin. Oleh karena sifat
dynamometer yang bertindak seolah–olah seperti sebuah rem dalam sebuah
mesin, maka daya yang dihasilkan poros output ini sering disebut sebagai daya
rem (Brake Power).
2.3.2 Konsumsi bahan bakar spesifik (specific fuel consumption, sfc)
Konsumsi bahan bakar spesifik adalah parameter unjuk kerja mesin yang
berhubungan langsung dengan nilai ekonomis sebuah mesin, karena dengan
mengetahui hal ini dapat dihitung jumlah bahan bakar yang dibutuhkan untuk
menghasilkan sejumlah daya dalam selang waktu tertentu.
Bila daya rem dalam satuan kW dan laju aliran massa bahan bakar dalam
satuan kg/jam, maka :
Sfc =
dimana : Sfc = konsumsi bahan bakar spesifik (g/kW.h).
.
f
m = laju aliran bahan bakar (kg/jam).
Besarnya laju aliran massa bahan bakar ( .
f
m ) dihitung dengan persamaan berikut:
3600
t = waktu untuk menghabiskan bahan bakar sebanyak volume uji
2.3.3 Perbandingan udara bahan bakar (AFR)
Untuk memperoleh pembakaran sempurna, bahan bakar harus dicampur
dengan udara dengan perbandingan tertentu. Perbandingan udara bahan bakar ini
disebut dengan Air Fuel Ratio (AFR), yang dirumuskan sebagai berikut :
AFR = .
Besarnya laju aliran massa udara (ma) juga dapat diketahui dengan
membandingkan hasil pembacaan manometer terhadap kurva viscous flow meter
calibration. Kurva kalibrasi ini dikondisikan untuk pengujian pada tekanan udara
1013 milibar dan temperatur 20 0C, oleh karena itu besarnya laju aliran udara
yang diperoleh harus dikalikan dengan faktor koreksi (Cf) berikut :
f
Jika sebuah mesin empat langkah dapat menghisap udara pada kondisi
isapnya sebanyak volume langkah toraknya untuk setiap langkah isapnya, maka
itu merupakan sesuatu yang ideal. Namun hal itu tidak terjadi dalam keadaan
sebenarnya, dimana massa udara yang dapat dialirkan selalu lebih sedikit dari
perhitungan teoritisnya. Penyebabnya antara lain tekanan yang hilang (losses)
pada sistem induksi dan efek pemanasan yang mengurangi kerapatan udara ketika
memasuki silinder mesin. Efisiensi volumetrik (ηv) dirumuskan dengan
persamaan berikut :
Dengan mensubstitusikan persamaan diatas, maka besarnya effisiensi
Diasumsikan udara sebagai gas ideal, sehingga massa jenis udara dapat
diperoleh dari persamaan berikut :
a
2.3.5 Efisiensi Thermal Brake
Kerja berguna yang dihasilkan selalu lebih kecil dari pada energi yang
dibangkitkan piston karena sejumlah energi hilang akibat adanya rugi–rugi
mekanis (mechanical losses). Dengan alasan ekonomis perlu dicari kerja
maksimum yang dapat dihasilkan dari pembakaran sejumlah bahan bakar.
Efisiensi ini sering disebut sebagai efisiensi termal brake (brake thermal
efficiency, ηb).
Laju panas yang masuk Q, dapat dihitung dengan rumus berikut :
Q = .
f
m . LHV ...(2.12)
dimana, LHV = nilai kalor bawah bahan bakar (kJ/kg)
Jika daya keluaran (P ) dalam satuan kW, laju aliran bahan bakar B .
f
m dalam
satuan kg/jam, maka :
2.4 Nilai Kalor Bahan Bakar
Reaksi kimia antara bahan bakar dengan oksigen dari udara menghasilkan
panas. Besarnya panas yang ditimbulkan jika satu satuan bahan bakar dibakar
sempurna disebut nilai kalor bahan bakar (Calorific Value, CV). Bedasarkan
asumsi ikut tidaknya panas laten pengembunan uap air dihitung sebagai bagian
dari nilai kalor suatu bahan bakar, maka nilai kalor bahan bakar dapat dibedakan
menjadi nilai kalor atas dan nili kalor bawah.
Nilai kalor atas (High Heating Value,HHV), merupakan nilai kalor yang
diperoleh secara eksperimen dengan menggunakan kalorimeter dimana hasil
pembakaran bahan bakar didinginkan sampai suhu kamar sehingga sebagian besar
uap air yang terbentuk dari pembakaran hidrogen mengembun dan melepaskan
panas latennya. Secara teoritis, besarnya nilai kalor atas (HHV) dapat dihitung
bila diketahui komposisi bahan bakarnya dengan menggunakan persamaan:
HHV = (T2 - T1 - TKP) x Cv...(2.14) Lit.5 hal. 12
HHV = Nilai kalor atas bahan bakar (kJ/kg)
T1 = Temperatur air pendingin sebelum penyalaan (oC)
T2 = Temperatur air pendingin sesudah penyalaan (oC)
TKP = Kenaikan temperatur akibat kawat penyala (0,05 oC)
Cv = Panas jenis bom kalorimeter (73529,6 kJ/kg)
Nilai kalor bawah (low Heating Value, LHV), merupakan nilai kalor bahan
bakar tanpa panas laten yang berasal dari pengembunan uap air. Umumnya
kandungan hidrogen dalam bahan bakar cair berkisar 15 % yang berarti setiap satu
satuan bahan bakar, 0,15 bagian merupakan hidrogen. Pada proses pembakaran
sempurna, air yang dihasilkan dari pembakaran bahan bakar adalah setengah dari
jumlah mol hidrogennya.
Selain berasal dari pembakaran hidrogen, uap air yang terbentuk pada
proses pembakaran dapat pula berasal dari kandungan air yang memang sudah ada
didalam bahan bakar (moisture). Panas laten pengkondensasian uap air pada
tekanan parsial 20 kN/m2 (tekanan yang umum timbul pada gas buang) adalah
sebesar 2400 kJ/kg, sehingga besarnya nilai kalor bawah (LHV) dapat dihitung
LHV = HHV – Qlc...(2.15) Lit.5 hal. 6
LHV = Nilai Kalor Bawah (kJ/kg)
Qlc = Kalor laten kondensasi uap air (kJ)
Dalam perhitungan efisiensi panas dari motor bakar, dapat menggunakan
nilai kalor bawah (LHV) dengan asumsi pada suhu tinggi saat gas buang
meninggalkan mesin tidak terjadi pengembunan uap air. Namun dapat juga
menggunakan nilai kalor atas (HHV) karena nilai tersebut umumnya lebih cepat
tersedia. Peraturan pengujian berdasarkan ASME (American of Mechanical
Enggineers) menentukan penggunaan nilai kalor atas (HHV), sedangkan peraturan
SAE (Society of Automotive Engineers) menentukan penggunaan nilai kalor
bawah (LHV).
2.5 Emisi Gas Buang
Bahan pencemar (polutan) yang berasal dari kendaraan bermotor dapat
diklasifikasikan menjadi beberapa kategori sebagai berikut :
1. Sumber
Polutan dibedakan menjadi polutan primer atau sekunder. Polutan primer
seperti nitrogen oksida (NOx) dan hidrokarbon (HC) langsung dibuangkan ke
udara bebas dan mempertahankan bentuknya seperti pada saat pembuangan.
Polutan sekunder seperti ozon (O3) dan peroksiasetil nitrat (PAN) adalah polutan
yang terbentuk di atmosfer melalui reaksi fotokimia, hidrolisis atau oksidasi.
2. Komposisi Kimia
Polutan dibedakan menjadi organik dan inorganik. Polutan organik
mengandung karbon dan hidrogen, juga beberapa elemen seperti oksigen,
nitrogen, sulfur atau fosfor, contohnya : hidrokarbon, keton, alkohol, ester dan
lain-lain. Polutan inorganik seperti : karbon monoksida (CO), karbonat, nitrogen
oksida, ozon dan lainnya.
3. Bahan Penyusun
Polutan dibedakan menjadi partikulat atau gas. Partikulat dibagi menjadi
bertahan di atmosfer. Sedangkan polutan berupa gas tidak bertahan di atmosfer
dan bercampur dengan udara bebas.
a.) Partikulat
Polutan partikulat yang berasal dari kendaraan bermotor umumnya
merupakan fasa padat yang terdispersi dalam udara dan membentuk asap. Fasa
padatan tersebut berasal dari pembakaran tak sempurna bahan bakar dengan
udara, sehingga terjadi tingkat ketebalan asap yang tinggi. Selain itu partikulat
juga mengandung timbal yang merupakan bahan aditif untuk meningkatkan
kinerja pembakaran bahan bakar pada mesin kendaraan.
Apabila butir-butir bahan bakar yang terjadi pada penyemprotan kedalam
silinder motor terlalu besar atau apabila butir–butir berkumpul menjadi satu, maka
akan terjadi dekomposisi yang menyebabkan terbentuknya karbon–karbon padat
atau angus. Hal ini disebabkan karena pemanasan udara yang bertemperatur
tinggi, tetapi penguapan dan pencampuran bahan bakar dengan udara yang ada
didalam silinder tidak dapat berlangsung sempurna, terutama pada saat–saat
dimana terlalu banyak bahan bakar disemprotkan yaitu pada waktu daya motor
akan diperbesar, misalnya untuk akselerasi, maka terjadinya angus itu tidak dapat
dihindarkan. Jika angus yang terjadi itu terlalu banyak, maka gas buang yang
keluar dari gas buang motor akan bewarna hitam.
b.) Unburned Hidrocarbon (UHC)
Hidrokarbon yang tidak terbakar dapat terbentuk tidak hanya karena
campuran udara bahan bakar yang gemuk, tetapi bisa saja pada campuran kurus
bila suhu pembakarannya rendah dan lambat serta bagian dari dinding ruang
pembakarannya yang dingin dan agak besar. Motor memancarkan banyak
hidrokarbon kalau baru saja dihidupkan atau berputar bebas (idle) atau waktu
pemanasan.
Pemanasan dari udara yang masuk dengan menggunakan gas buang
meningkatkan penguapan dari bahan bakar dan mencegah pemancaran
hidrokarbon. Jumlah hidrokarbon tertentu selalu ada dalam penguapan bahan
bakar, di tangki bahan bakar dan dari kebocoran gas yang melalui celah antara
gasses (gas lalu). Pembakaran tak sempurna pada kendaraan juga menghasilkan
gas buang yang mengandung hidrokarbon. Hal ini pada motor diesel terutama
disebabkan oleh campuran lokal udara bahan bakar tidak dapat mencapai batas
mampu bakar.
c.) Carbon Monoksida (CO)
Karbon dan Oksigen dapat bergabung membentuk senyawa karbon
monoksida (CO) sebagai hasil pembakaran yang tidak sempurna dan karbon
dioksida (CO2) sebagai hasil pembakaran sempurna. Karbon monoksida
merupakan senyawa yang tidak berbau, tidak berasa dan pada suhu udara normal
berbentuk gas yang tidak berwarna. Gas ini akan dihasilkan bila karbon yang
terdapat dalam bahan bakar (kira–kira 85 % dari berat dan sisanya hidrogen)
terbakar tidak sempurna karena kekurangan oksigen. Hal ini terjadi bila campuran
udara bahan bakar lebih gemuk dari pada campuran stoikiometris, dan terjadi
selama idling pada beban rendah atau pada output maksimum. Karbon monoksida
tidak dapat dihilangkan jika campuran udara bahan bakar gemuk. Bila campuran
kurus karbon monoksida tidak terbentuk.
d.) Oksigen (O2)
Oksigen (O2) sangat berperan dalam proses pembakaran, dimana oksigen
tersebut akan diinjeksikan keruang bakar. Dengan tekanan yang sesuai akan
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat
Pengujian dilakukan di laboratorium motor bakar Departemen Teknik
Mesin Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara. Waktu penelitian berlangsung
pada bulan November 2009.
3.2 Bahan dan Alat 3.2.1 Bahan
Bahan yang menjadi objek pengujian ini adalah bahan bakar solar dan
campuran solar – Total Cetane Plus Diesel dengan kadar :
1. 4 liter solar + 100 ml Total Cetane Plus Diesel ( C1:40 ).
2. 4 liter solar + 200 ml Total Cetane Plus Diesel ( C2:40 ).
3. 4 liter solar + 300 ml Total Cetane Plus Diesel ( C3:40 ).
3.2.2 Alat
Alat yang dipakai dalam eksperimental ini terdiri dari :
1. Motor diesel 4-langkah 4-silinder (TecQuipment TD4A 001).
2. Bom kalorimeter untuk mengukur nilai kalor bahan bakar.
3. Untuk emisi gas buang menggunakan alat uji auto gas analizer.
4. Alat bantu perbengkelan, seperti : kunci pas, kunci Inggris, kunci ring, kunci
L, obeng, tang, palu, kertas amplas dan lain sebagainya.
5. Stop watch, untuk menentukan waktu yang dibutuhkan mesin uji untuk
menghabiskan bahan bakar dengan volume sebanyak 100 ml.
6. Termometer, untuk menghitung perubahan suhu yang terjadi antara sebelum
3.3 Metode Pengumpulan Data
Data yang dipergunakan dalam pengujian ini meliputi :
a. Data primer, merupakan data yang diperoleh langsung dari pengukuran dan
pembacaan pada unit instrumentasi dan alat ukur pada masing-masing
pengujian.
b. Data sekunder, merupakan data yang diperoleh dari penelitian – penelitian
sebelumnya yang telah dilakukan dan data mengenai karateristik bahan bakar
solar dari PERTAMINA.
3.4 Metode Pengolahan Data
Data yang diperoleh dari data primer dan data sekunder diolah ke dalam
rumus empiris, kemudian data hasil perhitungan disajikan dalam bentuk tabulasi
dan grafik.
3.5 Pengamatan dan tahap pengujian
Pada penelitian yang akan diamati adalah :
1. Parameter torsi (T) dan parameter daya (PB).
2. Parameter konsumsi bahan bakar spesifik (sfc).
3. Rasio perbandingan udara bahan bakar (AFR).
4. Efisiensi volumetris (ηv).
5. Effisiensi thermal brake (ηb).
6. Parameter komposisi gas buang.
Prosedur pengujian dapat dibagi beberapa tahap, yaitu :
1. Pengujian nilai kalor bahan bakar.
2. Pengujian motor diesel dengan bahan bakar solar murni.
3. Pengujian motor diesel dengan bahan bakar campuran solar-zat aditif.
3.6 Prosedur Pengujian Nilai Kalor Bahan Bakar
Alat yang digunakan dalam pengukuran nilai kalor bahan bakar ini adalah
2 3 1
4
5
Gambar 3.1 Bom kalorimeter.
Keterangan Gambar :
1. Tabung oksigen.
2. Termometer.
3. Elektrometer.
4. Tabung kalorimeter.
5. Tabung bom.
Peralatan yang digunakan meliputi :
- Kalorimeter, sebagai tempat air pendingin dan tabung bom.
- Tabung bom, sebagai tempat pembakaran bahan bakar yang diuji.
- Tabung gas oksigen.
- Alat ukur tekanan gas oksigen, untuk mengukur jumlah oksigen yang
dimasukkan ke dalam tabung bom.
- Termometer, dengan akurasi pembacaan skala 0.01 0C.
- Elektromotor yang dilengkapi pengaduk untuk mengaduk air pendingin.
- Spit, untuk menentukan jumlah volume bahan bakar.
- Pengatur penyalaan (saklar), untuk menghubungkan arus listrik ke tangkai
penyala pada tabung bom.
- Kawat penyala (busur nyala), untuk menyalakan bahan bakar yang diuji.
- Pinset untuk memasang busur nyala pada tangkai penyala, dan cawan pada
dudukannya.
Adapun tahapan pengujian yang dilakukan adalah sebagai berikut :
1. Mengisi cawan bahan bakar dengan bahan bakar yang akan diuji.
2. Menggulung dan memasang kawat penyala pada tangkai penyala yang ada
pada penutup bom.
3. Menempatkan cawan yang berisi bahan bakar pada ujung tangkai penyala,
serta mengatur posisi kawat penyala agar berada tepat diatas permukaan bahan
bakar yang berada didalam cawan dengan menggunakan pinset.
4. Meletakkan tutup bom yang telah dipasangi kawat penyala dan cawan berisi
bahan bakar pada tabungnya serta dikunci dengan ring “O”sampai rapat.
5. Mengisi bom dengan oksigen (30 bar).
6. Mengisi tabung kalorimeter dengan air pendingin sebanyak 1250 ml.
7. Menempatkan bom yang telah terpasang kedalam tabung kalorimeter.
8. Menghubungkan tangkai penyala penutup bom ke kabel sumber arus listrik.
9. Menutup kalorimeter dengan penutupnya yang dilengkapi dengan pengaduk.
10.Menghubungkan dan mengatur posisi pengaduk pada elektromotor.
11.Menempatkan termometer melalui lubang pada tutup kalorimeter.
12.Menghidupkan elektromotor selama 5 (lima) menit kemudian membaca dan
mencatat temperatur air pendingin pada termometer.
13.Menyalakan kawat penyala dengan menekan saklar.
14.Memastikan kawat penyala telah menyala dan putus dengan memperhatikan
lampu indikator selama elektromotor terus bekerja .
15.Membaca dan mencatat kembali temperatur air pendingin setelah 5 (lima)
menit dari penyalaan berlangsung.
16.Mematikan elektromotor pengaduk dan mempersiapkan peralatan untuk
pengujian berikutnya.
Diagram alir pengujian nilai kalor bahan bakar yang dilakukan dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.2
Gambar 3.2 Diagram alir Pengujian nilai kalor bahan bakar.
Mulai
Melakukan pengadukan terhadap air pendingin selama 5 menit
Mencatat temperatur air pendingin T1 (OC)
Menyalakan bahan bakar
Mencatat kembali temperatur air pendingin T2 (OC)
Melanjutkan pengadukan terhadap air pendingin selama 5 menit
Menghitung HHV bahan bakar :
HHV = (T2 – T1 – Tkp) x Cv ( kJ/kg )
Pengujian = 5 kali
HHVRata - rata =
5 5
1 i
iΣ= HHV
( kJ/kg)
Selesai
a
b
a
b
-Berat sample bahan bakar 0,15 gram
3.7 Prosedur Pengujian Performansi Motor Diesel
Disini dilakukan pengujian dengan menggunakan motor diesel 4-langkah
4-silinder ( TecQuipment type. TD4A 001 ).
Gambar 3.3 Mesin uji (TD4 A 001)
Tabel 3.1 Spesifikasi Motor Diesel TD4A 4-langkah
TD111 4-Stroke Diesel Engine
Type TecQuipment TD4A 001
Langkah dan diameter 3,125 inch-nominal dan 3,5 inch
Kompresi ratio 22 : 1
Kapasitas 120,24 inch3 (1,96 liter)
Valve type clearance 0,012 inch (0,30 mm) dingin
Firing order 1-3-4-2
Sumber : Panduan Praktikum Motor Bakar Diesel laboratorium motor bakar
Mesin ini juga dilengkapi dengan TD4 A 001 Instrumentation Unit dengan
spesifikasi sebagai berikut :
Gambar 3.4 TD4 A 001 Instrumentation Unit.
Tabel 3.2 Spesifikasi TD4 A 001 Instrument Unit
TD4 A 001 Instrument Unit
Fuel Tank Capasity 10 liters
Fast Flow Pipette Graduated in 8 ml, 16 ml and 32 ml
Tachometer 0–5000 rev/min
Torque Meter 0–70 Nm
Exhaust Temperature Meter 0–1200 0C
Air Flow Manometer Calibrated 0–40 mm water gauge
Sumber : Panduan Praktikum Motor Bakar Diesel
Pada pengujian ini, akan diteliti performansi motor diesel serta komposisi
emisi gas buang . Pengujian ini dilakukan pada 6 tingkat putaran mesin, yaitu :
1000,1400,1800,2200,2600 dan 2800 rpm serta 2 variasi beban yaitu : 10 kg dan
25 kg.
Sebelum pengujian dilakukan, terlebih dahulu dilakukan pengkalibrasian
terhadap torquemeter yang terdapat pada instrumentasi mesin uji dengan langkah–
1. Menghubungkan unit instrumentasi mesin kesumber arus listrik.
2. Memutar tombol span searah jarum jam sampai posisi maksimum.
3. Mengguncangkan/menggetarkan mesin pada bagian lengan beban.
4. Memutar tombol zero, hingga jarum torquemetre menunjukkan angka nol.
5. Memastikan bahwa penunjukan angka nol oleh torquemeter telah akurat
dengan mengguncangkan mesin kembali.
6. Menggantung beban sebesar 10 kg pada lengan beban.
7. Mengguncangkan/menggetarkan mesin sampai posisi jarum torquemeter
menunjukkan angka yang tetap.
8. Melepaskan beban dari lengan beban.
Pengkalibrasian ini dilakukan setiap kali akan dilakukan pengujian
sebelum mesin dihidupkan. Setelah dilakukan pengkalibrasian, maka pengujian
dapat dilakukan dengan langkah–langkah sebagai berikut :
1. Menghidupkan pompa air pendingin dan memastikan sirkulasi air pendingin
mengalir dengan lancar melalui mesin.
2. Menghidupkan mesin dengan cara menekan tombol starter, memanaskan
mesin selama 15–20 menit pada putaran rendah (± 1500 rpm).
3. Mengatur putaran mesin pada 1500 rpm dengan menggunakan tuas kecepatan
dan memastikannya melalui pembacaan tachometer.
4. Menggantung beban sebesar 10 kg pada lengan beban.
5. Menutup saluran bahan bakar dari tangki dengan memutar katup saluran
bahan bakar sehingga permukaan bahan bakar didalam pipette turun.
6. Mencatat waktu yang dibutuhkan mesin untuk menghabiskan 100 ml bahan
bakar dengan menggunakan stopwatch dengan memperhatikan ketinggian
permukaan bahan bakar didalam pipette.
7. Mencatat torsi melalui pembacaan torquemeter, temperatur gas buang melalui
exhaust temperature meter, dan tekanan udara masuk melalui air flow
manometer.
8. Membuka katup bahan bakar sehingga pipette kembali terisi oleh bahan bakar
yang berasal dari tangki.
Diagram alir pengujian performansi motor diesel yang dilakukan dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.5.
Gambar 3.5 Diagram alir Pengujian performansi motor diesel
Mencatat waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan 100 ml bahan bakar.
Mencatat Torsi
Mencatat temperatur gas buang Mencatat tekanan udara masuk mm
H2O
Selesai
Mengulang pengujian dengan beban, putaran yang berbeda.
Menganalisa data hasil pembacaan alat ukur dengan rumus empiris
Mulai
Volume Uji bahan bakar : 100 ml Temperatur udara : 27 OC
3.8 Prosedur Pengujian Emisi Gas Buang
Pengujian emisi gas buang yang dilakukan meliputi kadar CO, CO2,
UHC, dan O2 yang terdapat pada hasil pembakaran bahan bakar . Pengujian ini
dilakukan bersamaan dengan pengujian unjuk kerja motor bensin dimana gas
buang yang dihasilkan oleh mesin uji pada saat pengujian diukur untuk
mengetahui kadar emisi dalam gas buang. Pengujian emsi gas buang yang
dilakukan dalam penelitian ini menggunakan alat auto logic gas analyzer.
Diagram alir pengujian emisi gas buang motor bensin yang dilakukan dalam
penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 3.6.
Gambar 3.7 Diagram alir Pengujian emisi gas buang motor diesel Mengosongkan kandungan gas
dalam auto logic gas analizer
Menunggu kira-kira 2 menit hingga pembacaan stabil dan melihat
tampilannya di komputer Memasukkan gas fitting kedalam
knalpot motor bakar Mulai
Mengulang pengujian dengan beban dan putaran yang berbeda
Selesai
BAB IV
HASIL DAN ANALISA PENGUJIAN
4.1 PENGUJIAN NILAI KALOR BAHAN BAKAR
Data temperatur air pendingin sebelum dan sesudah penyalaan (T1 dan T2)
yang telah diperoleh pada pengujian bom kalorimeter selanjutnya digunakan
untuk menghitung nilai kalor atas (high heating value, HHV) bahan bakar dengan
persamaan berikut:
HHV = (T2 – T1 – Tkp) x Cv
di mana:
HHV = nilai kalor atas bahan bakar (kJ/kg)
T1 = temperatur air pendingin sebelum penyalaan (0C)
T2 = temperatur air pendingin sesudah penyalaan (0C)
Tkp = kenaikan temperatur akibat kawat penyala (0,05 0C)
Cv = panas jenis bom kalorimeter (73529,6 kJ/kg . 0C)
Standar nilai kalor solar adalah 40297,32 kj/kg (sumber :spesifikasi bahan
bakar gas dan cair,Pertamina,2001), karena dalam pengujian solar menggunakan
bom kalorimeter didapat HHV sebesar 66911,936 kJ/kg, maka pada pengujian ini,
digunakan faktor koreksi (Fk) sebesar :
Cf =
Pada pengujian pertama bahan bakar solar murni, diperoleh:
Pada pengujian pertama bahan bakar campuran zat aditif dengan solar C1:40
Pada pengujian pertama bahan bakar campuran zat aditif dengan solar C2:40,
diperoleh :
Pada pengujian pertama bahan bakar campuran zat aditif dengan solar C3:40
diperoleh :
Cara perhitungan yang sama dilakukan hingga pengujian yang kelima pada
setiap jenis bahan bakar. Selanjutnya, untuk memperoleh rata-rata nilai kalor atas
bahan bakar (HHVrata-rata) digunakan persamaan berikut ini:
HHVrata-rata =
Dengan diperolehnya nilai kalor atas (HHV) bahan bakar ini, maka dapat
Dalam pengujian ini, diasumsikan gas buang yang keluar dari knalpot
mesin uji masih mengandung uap air (uap air yang terbentuk dari proses
pembakaran bahan bakar yang belum sempat mengalami kondensasi di dalam
silinder sebelum langkah buang terjadi) sehingga kalor laten kondensasi uap air
tidak diperhitungkan sebagai nilai kalor pembakaran bahan bakar (LHV, Low
Heating Value). Hal ini berarti untuk mendapatkan nilai LHV, maka nilai kalor
bahan bakar yang telah diperoleh dari pengujian sebelumnya (HHV, High Heating
Value) dengan menggunakan bom kalorimeter harus dikurangkan dengan
besarnya kalor laten kondensasi uap air yang terbentuk dari proses pembakaran.
LHV = HHV – Qlc Lit.5 Hal.6
di mana:
LHV = Low Heating Value (kJ/kg)
HHV = High Heating Value (kJ/kg)
Qlc = kalor laten kondensasi uap air (kJ)
Dengan mengasumsikan tekanan parsial yang terjadi pada knalpot mesin
uji adalah sebesar 20 kN/m2 (tekanan parsial yang umumnya terjadi pada knalpot
motor bakar), maka dari tabel uap diperoleh besarnya kalor laten kondensasi uap
air, yaitu sebesar 2400 kJ/kg. Bila diasumsikan pembakaran yang terjadi adalah
pembakaran sempurna, maka besarnya uap air yang terbentuk dari pembakaran
bahan bakar dihitung dengan menggunakan persamaan berikut:
Harga LHV untuk solar (C12 H26) dihitung dengan cara yang sama:
Jumlah uap air yang terbentuk dari pembakaran tiap 1 kg solar:
kg
Kalor laten kondensasi uap air dari pembakaran tiap 1 kg solar:
Qlc solar murni = 2400 kJ/kg x 1,9877 kg
= 4770,48 kJ per 1 kg solar.
Besarnya LHV solar murni:
LHVsolar murni = HHVsolar murni – Qlc solar murni
= 40147,048 kJ/kg – 4770,480 kJ/kg
= 35376,568 kJ/kg.
Sedangkan harga LHV untuk bahan bakar yang merupakan campuran antara zat
aditif dengan solar dihitung dengan menggunakan kalor laten kondensasi uap air
solar, sebab kalor laten kondensasi uap air pada zat aditif diabaikan.
Besarnya LHV C3:40 :
LHVC3:40 = HHVC3 :40 - Qlc solar
= 43235,404 kj/kg – 4770,48 kj/kg
= 38464,924 kj/kg
Data temperatur air pendingin sebelum dan sesudah penyalaan (T1 dan T2) serta
hasil perhitungan untuk HHV dan LHV dapat dilihat seperti tabel 4.1 berikut ini.
Tabel 4.1 Data Hasil Perhitungan Uji Bom Kalorimeter
- Pencampuran zat aditif terhadap solar murni akan menyebabkan perubahan
nilai kalor atas (HHV) solar murni itu sendiri. Hal ini terjadi karena nilai kalor
solar murni telah dipengaruhi oleh nilai kalor zat aditif. Dengan pencampuran
ini, maka nilai kalor solar murni akan meningkat.
- Berdasarkan analisa diatas, campuran solar – Total Cetane Plus Diesel (C2:40)
memiliki nilai kalor yang paling tinggi, sedangkan pada campuran solar –
Total Cetane Plus Diesel ( C3:40 ) menurun, hal ini disebabkan karena
campuran Total Cetane Plus Diesel yang terlalu banyak, tetapi nilai kalor pada
C3:40 masih lebih tinggi dari solar murni.
Perbandingan nilai HHV dan LHV masing-masing dapat dilihat pada gambar di
bawah.
Gambar 4.2 Grafik LHV (kj/kg) vs jenis bahan bakar.
Dari hasil penelitian ditunjukkan bahwa harga HHV dan LHV campuran
zat aditif dengan solar lebih tinggi dari solar, hal ini diakibatkan adanya
peningkatan nilai cetane dalam bahan bakar campuran zat aditif dengan solar.
4.2 Pengujian Performansi Motor Diesel
Data yang diperoleh dari pembacaan langsung alat uji motor diesel
4-langkah 4-silinder (TecQuipment type. TD4A 001) melalui unit instrumentasi dan
perlengkapan yang digunakan pada saat pengujian antara lain :
- Putaran (rpm) melalui tachometre.
- Torsi (N.m) melalui torquemetre.
- Tinggi kolom udara (mm H2O), melalui pembacaan air flow manometre.
- Temperatur gas buang (oC), melalui pembacaan exhaust temperature
metre.
- Waktu untuk menghabiskan 100 ml bahan bakar (s), melalui pembacaan
stopwatch.
4.2.1 Torsi
Besarnya torsi (torque, T) yang dihasilkan dari masing–masing pengujian
dengan menggunakan bahan bakar solar murni, bahan bakar campuran zat aditif
putaran. Dapat disajikan seperti tabel 4.2 berikut ini dan merupakan hasil
pembacaan langsung dari alat Instrument Unit TD4A 001.
Tabel 4.2 Data hasil perhitungan untuk torsi
Beban (kg)
Putaran (rpm)
Torsi (Nm) Solar
murni C1: 40 C2: 40 C3 : 40
10
1000 32,0 35,0 38,0 36,5
1400 43,0 45,5 49,0 46,0
1800 47,5 52,0 55,5 51,0
2200 48,0 53,0 58,5 53,0
2600 48,0 54,5 59,0 52,5
2800 48,0 53,0 58,5 54,0
25
1000 75,5 76,5 79,0 75,5
1400 78,0 80,0 84,5 83,0
1800 81,0 84,0 88,5 85,0
2200 84,0 87,5 91,0 88,0
2600 87,0 92,0 93,0 91,5
2800 88,0 91,0 93,0 90,0
- Semakin tinggi putaran dan beban motor, maka akan semakin tinggi pula
momen torsi yang dialami.
- Momen torsi berpengaruh terhadap daya (PB) yang dihasilkan oleh suatu
motor.
Perbandingan harga torsi (T) untuk masing-masing pengujian pada setiap
Gambar 4.3 Grafik Torsi (N.m) vs Putaran (rpm) untuk Beban 10 kg.
Gambar 4.4 Grafik Torsi (N.m) vs Putaran (rpm) untuk Beban 25 kg.
4.2.2 Daya
Besarnya daya yang dihasilkan dari masing-masing jenis bahan bakar
pada tiap kondisi pembebanan dan putaran dapat dihitung dengan menggunakan
persamaan berikut:
B
P = n T
60 . . 2π
dimana :P = Daya keluaran (Watt) B
n = Putaran mesin (rpm)
T = Torsi (N.m)
Dengan memasukkan harga torsi yang telah diperoleh sebelumnya pada pengujian
seperti yang terdapat pada tabel 4.2, maka :
Untuk jenis bahan bakar campuran zat aditif dengan solar C1:40 dan beban 10 kg
pada setiap putaran:
Dengan cara perhitungan yang sama untuk setiap jenis bahan bakar, variasi
putaran dan beban, maka hasil perhitungan daya untuk setiap kondisi tersebut
Tabel 4.3 Data hasil perhitungan untuk daya
Beban (kg)
Putaran (rpm)
Daya (kW) Solar
murni C1 : 40 C2 : 40 C3: 40
10
1000 3,349 3,665 3,979 3,822
1400 6,301 6,670 7,183 6,743
1800 8,949 9,801 10,461 9,613
2200 11,053 12,210 13,477 12,210
2600 13,062 14,838 16,064 14,294
2800 14,067 15,540 17,153 15,833
25
1000 7,902 8,011 8,272 7,906
1400 11,430 11,728 12,388 12,168
1800 15,260 15,833 16,681 16,022
2200 19,342 20,158 20,388 20,273
2600 23,676 25,048 25,321 24,912
2800 25,790 26,682 27,269 26,389
Daya terendah terjadi ketika menggunakan bahan bakar solar pada beban
10 kg dan putaran 1000 rpm yaitu 3, 349 kW. Sedangkan daya tertinggi terjadi
ketika menggunakan bahan bakar campuran zat aditif dengan solar C2:40 pada
putaran 2800 dan beban 25 kg yaitu sebesar 27,269 kW.
Perbandingan harga daya rem untuk masing-masing pengujian pada setiap
Gambar 4.5 Grafik Daya vs putaran untuk beban 10 kg.
Gambar 4.6 Grafik Daya vs putaran untuk beban 25 kg.
Dapat dilihat pada gambar 4.3 di atas, campuran zat aditif dengan solar
C1:40 pada setiap putaran daya mengalami kenaikan dibandingkan dengan solar
murni, begitu juga terhadap campuran: C2 40. Namun, pada campuran C3:40 daya
mulai mengalami penurunan dibandingkan dengan campuran sebelumnya akan
Besar kecil daya mesin bergantung pada besar kecil torsi yang didapat.
Daya yang dihasilkan mesin dipengaruhi oleh putaran poros engkol yang terjadi
akibat dorongan piston yang dihasilkan karena adanya pembakaran bahan bakar
dengan udara. Jika konsumsi bahan bakar dan udara diperbesar maka akan
semakin besar pula daya yang dihasilkan mesin. Semakin cepat poros engkol
berputar maka akan semakin besar daya yang dihasilkan.
4.2.3 Konsumsi bahan bakar spesifik
Konsumsi bahan bakar spesifik (Specific fuel consumption, Sfc) dari
masing–masing pengujian pada tiap variasi beban dan putaran dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut :
Sfc =
dimana : Sfc = konsumsi bahan bakar spesifik (kg/kW.h)
.
f
m = laju aliran bahan bakar (kg/jam)
Besarnya laju aliran massa bahan bahan bakar ( .
f
m ) dihitung dengan
persamaan berikut :
t = waktu untuk menghabiskan bahan bakar sebanyak volume uji (detik).
Harga sg untuk zat aditif adalah 0,84 dan untuk solar adalah 0,845,sedangkan f
untuk bahan bakar yang merupakan campuran antara zat aditif dengan solar, harga
f
f
sg Cxx = ( C x 0,84 ) + ( S x 0,845 )
Dengan:
C = Persentase kandungan zat aditif dalam bahan bakar campuran
S = Persentase kandungan solar dalam bahan bakar campuran
Untuk bahan bakar campuran zat aditif dengan solar dengan perbandingan C1:40
maka :
f
sg (C1:40) = [(100/4100) x 0,84] + [(4000/4100) x 0,845]
= 0,844
Untuk bahan bakar campuran zat aditif dengan solar dengan perbandingan C2:40
maka :
f
sg (C2:40) = [(200/4200) x 0,84] + [(4000/4200) x 0,845]
= 0,844
Untuk bahan bakar campuran zat aditif dengan solar dengan perbandingan C3:40
maka :
f
sg (C3:40) = [(300/4300) x 0,84] + [(4000/4300) x 0,845]
= 0,836
Dengan memasukkan harga sg = 0,844, harga f t yang diambil dari percobaan f
sebelumnya harga V yaitu sebesar 100 ml, maka laju aliran bahan bakar untuk f
pengujian dengan menggunakan campuran zat aditif dengan solar yaitu C1:40
adalah :
Dengan diperolehnya besar laju aliran bahan bakar, maka dapat dihitung
Untuk pengujian dengan menggunakan campuran zat aditif dengan solar yaitu
Dengan cara yang sama untuk setiap jenis pengujian, pada putaran dan beban
yang bervariasi, maka hasil perhitungan Sfc untuk kondisi tersebut dapat dilihat
pada tabel 4.4
Tabel 4.4 Data hasil perhitungan untuk Sfc
Beban
- Pada pembebanan 10 kg , Sfc terendah terjadi pada pengujian dengan
menggunakan bahan bakar campuran zat aditif dengan solar C2:40 pada
terjadi saat menggunakan solar murni pada putaran 2200 dan 2600 rpm
yaitu sebesar 352,852 g/kWh.
- Pada pembebanan 25 kg , Sfc terendah terjadi pada pengujian dengan
bahan bakar campuran zat aditif dengan solar C2:40 pada putaran 1000 rpm
yaitu sebesar 79,850 g/kWh. Sedangkan Sfc tertinggi terjadi pada saat
mesin menggunakan solar murni pada putaran 2200 rpm sebesar 145,621
g/kWh.
Gambar 4.7 Grafik Sfc vs putaran untuk beban 10 kg.
Gambar 4.8 Grafik Sfc vs putaran untuk beban 25 kg.
Besarnya Sfc sangat dipengaruhi oleh nilai kalor bahan bakar (lihat Tabel 4.1),
4.2.4 Rasio perbandingan udara bahan bakar (AFR)
Rasio perbandingan bahan bakar (air fuel ratio) dari masing–masing jenis
pengujian dihitung berdasarkan rumus berikut :
AFR =
Besarnya laju aliran udara ( .
a
m ) diperoleh dengan membandingkan
besarnya tekanan udara masuk yang telah diperoleh melalui pembacaan air flow
manometer (Tabel 4.2) terhadap kurva viscous flow metre calibration.
Pada pengujian ini, dianggap tekanan udara (Pa) sebesar 100 kPa (≈1 bar)
dan temperatur (Ta) sebesar 27 0C. kurva kalibrasi dibawah dikondisikan untuk
pengujian pada tekanan udara 1013 milibar dan temperatur 20 0C, maka besarnya
laju aliran udara yang diperoleh harus dikalikan dengan faktor koreksi berikut :
f
Untuk tekanan udara masuk = 10 mm H2O dari kurva kalibrasi diperoleh
laju aliran massa udara sebesar 11,38 kg/jam, setelah dikalikan faktor koreksi (Cf),
maka laju aliran massa udara yang sebenarnya :
a
m .
= 11,38 x 0,946531125
= 10,771kg/jam
Untuk pengujian dengan menggunakan bahan bakar campuran zat aditif
dengan campuran solar C1:40 dengan beban 10 kg dan putaran 1000 rpm dimana
tekanan udara masuk = 4 mm H2O didapat dari kurva kalibrasi laju aliran massa
udara dengan cara interpolasi yaitu :
Misalkan ma
.
untuk bahan bakar campuran zat aditif dengan solar C1:40 pada
beban 10 kg dan putaran 1000 rpm adalah X kg/jam:
x
Dengan cara perhitungan yang sama, maka diperoleh harga laju aliran
massa udara (ma
.
) untuk masing–masing jenis bahan bakar pada tiap variasi beban
dan putaran seperti pada tabel 4.5 . Dengan diperolehnya harga laju aliran massa
bahan bakar, maka dapat dihitung besarnya rasio udara bahan bakar (AFR).
- Untuk bahan bakar campuran zat aditif dengan solar C1:40, beban : 10 kg
dan putaran : 1000 rpm
Hasil perhitungan AFR untuk masing – masing bahan bakar pada tiap
Tabel 4.5 Data hasil perhitungan untuk AFR
- Pada pembebanan 10 kg, AFR terendah terjadi pada solar murni pada
putaran 1000 rpm yaitu sebesar 3,730. Sedangkan AFR tertinggi terjadi
pada bahan bakar campuran zat aditif dengan solar C3:40 pada putaran 2200
rpm yaitu sebesar 11,078.
- Pada pembebanan 25 kg, AFR terendah terjadi pada solar murni pada
putaran 1000 rpm yaitu sebesar 4,115. Sedangkan AFR tertinggi terjadi
pada bahan bakar campuran zat aditif dengan solar C3:40 pada putaran 2600
rpm yaitu sebesar 10,827.
AFR terendah terjadi ketika menggunakan bahan bakar solar murni pada beban 10
kg dengan putaran mesin 1000 rpm yaitu sebesar 3,730. Sedangkan AFR tertinggi
terjadi ketika menggunakan bahan bakar campuran zat aditif dengan solar C3:40
pada beban 10 kg dan putaran 2200 rpm yaitu sebesar 11,078.
Perbandingan AFR masing – masing bahan bakar pada tiap variasi beban dan
Gambar 4.10 Grafik AFR vs putaran untuk beban 10 kg.
Gambar 4.11 Grafik AFR vs putaran untuk beban 25 kg.
4.2.5 Efisiensi Volumetris
Efisiensi volumetris (volumetric efficiency, ηV) untuk motor bakar
4-langkah dihitung dengan rumus berikut :
v
η = n ma
. 60
. 2
.
s a.V
1
dimana :
diperoleh dari persamaan berikut :
a
Dengan memasukkan harga tekanan dan temperatur udara yaitu sebesar
100 kPa dan 27 0C, maka diperoleh massa jenis udara yaitu sebesar :
a
Dengan diperolehnya massa jenis udara maka dapat dihitung besarnya
effisiensi volumetris (ηv) untuk masing–masing pengujian bahan bakar pada
variasi beban dan putaran.
Untuk pengujian menggunakan campuran zat aditif dengan solar C1:40 pada
beban 10 kg dan putaran 1000 rpm :
Harga efisiensi volumetris untuk masing–masing pengujian yang dihitung
dengan cara perhitungan yang sama dengan perhitungan diatas dapat dilihat pada
Tabel 4.6 Data hasil perhitungan untuk efisiensi volumetris
Beban (kg)
Putaran (rpm)
Efisiensi Volumetris (%) Solar
murni C1:40 C2:40 C3:40
10
1000 21,640 27,832 24,737 27,832
1400 30,914 33,132 33,132 30,921
1800 39,502 48,103 49,822 48,103
2200 50,587 53,216 53,216 57,630
2600 58,262 58,280 57,090 58,280
2800 60,725 62,952 64,058 64,058
25
1000 21,640 24,737 24,737 24,737
1400 30,914 37,549 33,132 33,132
1800 41,219 42,948 48,103 48,103
2200 49,182 53,415 57,630 53,216
2600 60,640 59,469 59,469 59,469
2800 64,037 61,849 62,952 62,952
- Pada beban 10 kg, efisiensi volumetris tertinggi terjadi ketika
menggunakan campuran zat aditif dengan solar C3:40 pada putaran 2800
rpm yaitu sebesar 64,058%, dan terendah pada saat menggunakan bahan
bakar solar pada putaran 1000 rpm sebesar 21,640%.
- Pada beban 25 kg, efisiensi volumetris tertinggi terjadi ketika
menggunakan bahan bakar campuran zat aditif dengan solar C3:40 pada
putaran 2800 sebesar 62,952%. Effisiensi volumetris terendah terjadi
ketika menggunakan solar pada putaran 1000 rpm yaitu 21,640%.
Perbandingan efisiensi volumetris dari masing–masing pengujian pada tiap
Gambar 4.12 Grafik Effisiensi volumetris vs putaran untuk beban 10 kg.
Gambar 4.13 Grafik Effisiensi volumetris vs putaran untuk beban 25 kg.
Efisiensi volumetris menunjukkan perbandingan antara jumlah udara yang
terisap sebenarnya terhadap jumlah udara yang terisap sebanyak volume langkah
torak untuk setiap langkah isap.
Efisiensi volumetris antara bahan bakar campuran zat aditif dengan solar dan solar
relatif sama,pengaruh penggunaan bahan bakar campuran zat aditif terhadap
efisiensi volumetrik relatif tidak ada, efisiensi volumetrik hanya dipengaruhi oleh
4.2.6 Efisiensi Termal Brake
Efisiensi termal brake (brake thermal eficiency, ηb) merupakan
perbandingan antara daya keluaran aktual terhadap laju panas rata–rata yang
dihasilkan dari pembakaran bahan bakar. Efisiensi termal brake dihitung dengan
menggunakan persamaan berikut :
b
LHV = nilai kalor pembakaran bahan bakar (kJ/kg)
Setelah diperoleh harga LHV untuk masing-masing bahan bakar maka
dapat dihitung besarnya efisiensi termal brake (ηb).
• Untuk bahan bakar cmpuran C1:40, beban 10 kg pada putaran 1000 rpm
b
Cara perhitungan yang sama dilakukan untuk menghitung efisiensi termal brake
masing-masing bahan bakar pada tiap variasi beban dan putaran. Hasil
Tabel 4.7 Data hasil perhitungan untuk efisiensi termal
- Pada pembebanan 10 kg, effisiensi termal brake terendah terjadi pada solar
murni pada putaran 2600 rpm yaitu sebesar 28,312 %. Sedangkan
effisiensi termal brake tertinggi terjadi pada campuran antara zat aditif
dengan solar C2:40 pada putaran 1800 rpm yaitu sebesar 63,648 %.
- Pada pembebanan 25 kg, effisiensi termal brake terendah terjadi pada solar
murni pada putaran 2200 rpm yaitu sebesar 68,602 %. Sedangkan
effisiensi termal brake tertinggi terjadi pada campuran antara zat aditif
dengan solar C2:40 pada putaran 1000 rpm yaitu sebesar 99,570 %.
Efisiensi termal brake terendah terjadi ketika menggunakan bahan bakar solar
pada beban 10 kg dan putaran mesin 2600 rpm yaitu sebesar 28,312%. sedangkan
efisiensi termal brake tertinggi terjadi ketika menggunakan bahan bakar campuran
antara zat aditif dengan solar C2:40 pada beban 25 kg dan putaran 1000 rpm yaitu
sebesar 99,570 %.
Perbandingan efisiensi termal brake masing-masing bahan bakar pada tiap
Gambar 4.14. Grafik Effisiensi termal break vs putaran pada beban 10 kg.
Gambar 4.15. Grafik Effisiensi termal break vs putaran pada beban 25kg.
Efisiensi termal dari bahan bakar campuran antara zat aditif dengan solar
relatif lebih besar dari efisiensi termal solar, hal ini dapat ditunjukkan dengan
lebih besarnya nilai kalor dari campuran antara zat aditif dengan solar
4.3 Pengujian Emisi Gas Buang
4.3.1 Kadar Carbon Monoksida (CO) dalam gas buang
Data hasil pengukuran kadar CO dari gas buang hasil pembakaran ke
tiga tipe pengujian yang diuji dapat dilihat pada Tabel 4.8 berikut :
Tabel 4.8 Kadar CO dalam gas buang.
Beban
• Pada pembebanan 10 kg kadar CO terendah terjadi saat menggunakan campuran antara zat aditif dengan solar C3:40 pada putaran 1000 rpm yaitu
0,027 %. Sedangkan kadar CO tertinggi terjadi saat menggunakan solar pada
putaran 2200 rpm yaitu sebesar 0,081 %.
• Pada pembebanan 25 kg, kadar CO terendah terjadi saat menggunakan campuran antara zat aditif dengan solar C3:40 pada putaran 1000 rpm yaitu
0,031 %. Sedangkan kadar CO tertinggi terjadi saat menggunakan solar pada
Perbandingan kadar CO yang terdapat dalam gas buang masing-masing
pengujian dapat dilihat pada gambar berikut :
Gambar 4.16 Grafik Kadar CO vs Putaran untuk beban 10 kg.
Gambar 4.17 Grafik Kadar CO vs Putaran untuk beban 25 kg.
4.3.2 Kadar Unburned Hidro Carbon (UHC) dalam gas buang
Data hasil pengukuran kadar CO dari gas buang hasil pembakaran ke
Tabel 4.9 Kadar UHC dalam gas buang.
• Pada pembebanan 10 kg, kadar UHC terendah terjadi saat menggunakan campuran antara zat aditif dengan solar C3:40 pada putaran 2600 rpm
sebesar 3 ppm. Sedangkan kadar UHC tertinggi terjadi saat menggunakan
solar pada putaran 1800 rpm yaitu sebesar 13 ppm.
• Pada pembebanan 25 kg, kadar UHC terendah terjadi saat menggunakan campuran antara zat aditif dengan solar C2:40 dan C3:40 pada putaran 1000
rpm yaitu 4 ppm . Sedangkan kadar UHC tertinggi terjadi saat
menggunakan solar pada putaran 2600-2800 rpm yaitu sebesar 21 ppm.
Perbandingan kadar UHC yang terdapat dalam gas buang
Gambar 4.18 Grafik Kadar UHC vs Putaran untuk beban 10 kg.
Gambar 4.19 Grafik Kadar UHC vs Putaran untuk beban 25 kg.
4.3.3 Kadar Carbon Dioksida (CO2) dalam Gas Buang
Data hasil pengukuran kadar CO2 dari gas buang hasil pembakaran ke
Tabel.410. Kadar CO2 dalam gas buang
Beban (kg)
Putaran (rpm)
Kadar Carbon Dioksida (%) Solar
- Pada pembebanan 10 kg, kadar CO2 terendah terjadi saat menggunakan
campuran antara zat aditif dengan solar C3:40 pada putaran 1000 rpm yaitu
sebesar 3,01 %. Sedangkan kadar CO2 tertinggi terjadi saat menggunakan
solar pada putaran 2600 rpm yaitu sebesar 7,06 %.
- Pada pembebanan 25 kg, kadar CO2 terendah terjadi saat menggunakan
campuran antara zat aditif dengan solar C3:40 pada putaran 1000 rpm yaitu
2,01 % . Sedangkan kadar CO2 tertinggi terjadi saat menggunakan solar
pada putaran 2800 rpm yaitu sebesar 4,29 %.
Perbandingan kadar CO2 yang terdapat dalam gas buang tiap-tiap
Gambar 4.20 Grafik Kadar CO2 vs Putaran untuk beban 10 kg.
Gambar 4.21 Grafik Kadar CO2 vs Putaran untuk beban 25 kg.
4.3.4 Kadar Sisa Oksigen (O2) dalam Gas Buang
Data hasil pengukuran kadar sisa O2 dari gas buang hasil pembakaran ke
Tabel 4.11 Kadar Sisa Oksigen (O2) dalam gas buang.
Beban (kg)
Putaran (rpm)
Kadar Oksigen (%) Solar
murni C1:40 C2:40 C3:40
10
1000 16,17 16,17 16,67 17,00
1400 14,07 14,22 14,22 14,86
1800 13,20 13,21 13,67 14,00
2200 11,90 12,17 12,53 13,02
2600 11,37 11,26 11,53 11,97
2800 11,95 12,21 12,51 12,51
25
1000 16,97 17,52 17,26 17,52
1400 16,58 16,65 16,75 16,86
1800 15,27 15,27 15,53 15,71
2200 15,42 15,48 16,13 16,50
2600 14,97 15,18 15,36 15,70
2800 14,99 15,12 15,36 15,61
- Pada pembebanan 10 kg, kadar O2 terendah terjadi saat menggunakan
solar pada putaran 2600 yaitu sebesar 11,20 %. Sedangkan kadar O2
tertinggi terjadi saat menggunakan campuran antara zat aditif dengan solar
C3:40 pada putaran 1000 rpm yaitu sebesar 17,00 %.
- Pada pembebanan 25 kg, kadar O2 terendah terjadi saat menggunakan
solar pada putaran 2600 rpm yaitu 14,97 % . Sedangkan kadar O2
tertinggi terjadi saat menggunakan campuran antara zat aditif dengan solar
Perbandingan kadar sisa O2 yang terdapat dalam gas buang
masing-masing sampel pengujian dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Gambar 4.22 Grafik Kadar O2 vs Putaran untuk beban 10 kg.