• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Manghirap Tondi Di Desa Lintong Nihuta Kecamatan Tampahan Dalam Masyarakat Batak Toba Oleh Ibu Rotua Pardede: Kajian Terhadap Tekstual Dan Musikal

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Studi Deskriptif Manghirap Tondi Di Desa Lintong Nihuta Kecamatan Tampahan Dalam Masyarakat Batak Toba Oleh Ibu Rotua Pardede: Kajian Terhadap Tekstual Dan Musikal"

Copied!
91
0
0

Teks penuh

(1)

STUDI DESKRIPTIF MANGHIRAP TONDI DI DESA LINTONG NIHUTA KECAMATAN TAMPAHAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA OLEH IBU ROTUA PARDEDE: KAJIAN TERHADAP TEKSTUAL DAN MUSIKAL

SKRIPSI SARJANA O

L E H

NAMA : DANY PARDEDE

NIM : 100707059

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(2)

STUDI DESKRIPTIF MANGHIRAP TONDI DI DESA LINTONG NIHUTA KECAMATAN TAMPAHAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA OLEH IBU ROTUA PARDEDE: KAJIAN TERHADAP TEKSTUAL DAN MUSIKAL.

SKRIPSI SARJANA

NAMA : DANY PARDEDE

NIM : 100707059

Disetujui Oleh

Pembimbing I, Pembimbing II,

Dra, Rithaony, M.A. Drs, Torang Naiborhu, M.Hum NIP 196311161990032001 NIP 196308141990031004

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA FAKULTAS ILMU BUDAYA

DEPARTEMEN ETNOMUSIKOLOGI MEDAN

(3)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Studi Deskriptif Manghirap Tondi Di Desa Lintong Nihuta Kecamatan Tampahan Dalam Masyarakat Batak Toba Oleh Ibu Rotua Pardede; Kajian Terhadap Studi Tekstual Dan Musikal. Melalui skripsi ini penulis akan mengakaji tentang deskripsi studi tekstual andung-andung dari manghirap tondi beserta dengan proses pelaksanaan manghirap tondi.

Pendekatan yang akan penulis lakukan adalah dengan metode penelitiin kualitatif yang mana dengan melakukan penelitian langsung pada objek yang diteliti. Adapun dalam proses kerjanya, dimulai dari membaca buku dan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan tulisan-tulisan ini dan penulis akan melakukan pengamatan terlibat wawancara, studi pustaka, perekaman kegiatan, foto-foto, transkripsi yang tentunya relevan dengan penelitian ini.

(4)

KATA PENGANTAR

Segala puji, hormat, dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan Yesus Kristus, karena kasihNya yang begitu besar telah melimpahi kehidupan penulis. Setip detik dalam perjalanan hidup penulis disertai dan diberi sukacita penuh. Secara khusus dalam penyusunan skripsi ini, kekuatan dan penghiburan diberikanNya jauh melebihi permohonan penulis. Skripsi ini berjudul “STUDI DESKRIPTIF MANGHIRAP TONDI DI DESA LINTONG NIHUTA KECAMATAN TAMPAHAN DALAM MASYARAKAT BATAK TOBA OLEH IBU ROTUA PARDEDE: KAJIAN TERHADAP TEKSTUAL DAN MUSIKAL.” Skripsi ini diajukan dalam melengkapi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Seni pada Departemen Etnomusikologi Fakultas Ilmu Budaya Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari banyak kekurangan dan tantangan yang terdapat dalam penyusunan skripsi ini. Hal-hal tersebut berasal dari dalam dan luar diri penulis. Kejenuhan dan kelelahan senantiasa mendekat ke dalam diri penulis. Namun, energi baru selalu hadir melalui orang-orang di sekitar penulis.

(5)
(6)
(7)
(8)

DAFTAR ISI

ABSTRAK………...i

KATA PENGANTAR………....………...ii

DAFTAR ISI………...………iii

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL……….…vi

BAB I PENDAHULUAN………... ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Pokok Permasalahan ... 6

1.3 Tujuan Dan Manfaat Penelitian ... 6

1.3.1 Tujuan Penelitian. ... 6

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 7

1.4 Konsep Dan Teori ... 8

1.4.1 Konsep ... 8

1.4.2 Teori ... 10

1.5 Metode Penelitian ... 13

1.5.1 Studi Kepustakaan ... 14

1.5.2 Penelitian Lapangan ... 15

1.5.3 Kerja Laboratorium ... 17

1.6 Lokasi Penelitian ... 17

(9)

2.1 Suku Batak Toba………..…... 19

2.1.1 Asal Usul Batak Toba ... 19

2.2 Sistem Kekerabatan Batak Toba ... 21

2.2.1 Kekerabatan Berdasarkan Keturunan ... 22

2.2.2 Kekerabatan Berdasarkan Hubungan Perkawinan ... 23

2.2.3 Sistem Perkawinan ... 26

2.3. Sistem Kepercayaan Dan Agama ... 29

2.4 Bahasa ... 32

2.5 Sistem Mata Pencaharian ... 33

2.6 Kesenian ... 34

2.6.1 Seni musik ... 34

2.6.2 Seni Tari ... 35

2.6.3 Seni Sastra ... 36

2.6.4 Seni Rupa ... 37

2.7 Pengertian Biografi ... 37

2.8 Biografi Singkat Ibu Rotua Pardede ... 40

BAB III PROSES PENYAJIAN MANGHIRAP TONDI…..…………... ... 43

3.1 Manghirap Tondi Dalam Masyarakat Batak Toba ... 43

3.2 Pemilihan Bahan-bahan Sesajen Manghirap Tondi ... 45

3.3 Proses Pembuatan Sesajen Manghirap Tondi Ke atas Anduri (Tampi) ... 50

3.4 Proses Pelaksanaan Manghirap Tondi ... 55

3.5 Waktu Pelaksanaan Manghirap Tondi ... 57

(10)

BAB IV KAJIAN TEKSTUAL DAN MUSIKAL MANGHIRAP TONDI... 62

4.1 Kajian Tekstual Manghirap Tondi ... 62

4.1.1 Isi Teks ... 63

4.1.2 Makna Teks ... 63

4.1.3 Pemilihan Teks ... 64

4.2 Kajian Musikal Andung-Andung Manghirap tondi ... 65

4.2.1 Tangga Nada (Scale) ... 66

4.2.2 Nada Dasar (pitch center) ... 66

4.2.3 Wilayah Nada (range) ... 66

4.2.4 Jumlah Nada ... 67

4.2.5 Jumlah Interval ... 67

4.2.7 Pola Kadensa (Cadance Patterns) ... 68

4.2.8 Formula Melodi (Melody Formula) ... 68

4.2.9 Kontur (contour) ... 69

4.2.10 Analisis Ritem ... 70

4.2.11 Pola Melody Yang Diulang ... 71

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 72

5.1 Kesimpulan ... 72

5.2 Saran ... 73 DAFTAR PUSTAKA

(11)

DAFTAR GAMBAR DAN TABEL

Daftar Gambar :

Gambar 2.1 Foto Ibu Rotua Pardede………41

Gambar 3.1 Anduri (Tampi)…...………...46

Gambar 3.2 Tali Plastik ………47

Gambar 3.3 Daun Pisang………...47

Gambar 3.4 Pisau………...47

Gambar 3.5 Mangkuk (cawan/baskom kecil berisi air)……….48

Gambar 3.6 Cangkir ……….48

Gambar 3.7 Selimut ………..49

Gambar 3.8 Bantal ………49

Gambar 3.9 Paku ………..50

Gambar 3.10 Anduri (tampi) ………..51

Gambar 3.11 dan 3.12 Anduri yang sudah dilobangi/diberi ikatan tali plastik pada ke empat sisi anduri (tampi)………...51

Gambar 3.13 dan 3.14 Meletakkan nasi di atas daun pisang ………52

Gambar 3.15 dan 3.16 Nasi diberi ikan ………..53

Gambar 3.17 Meletakkan cangkir berisi air minum dan mangkok berisi air bersih ………54

Gambar 3.18 Menggantung anduri (tampi) diatas pintu ………..55

Gambar 3.19 Proses pelaksanaan andung-andung Manghirap tondi ………55

Gambar 3.20 Pelemparan bantal ke tempat tidur………. 56

GAmbar 3.21 Pelemparan selimut ke tempat tidur ………..57

Gambar 3.22 Sordam Batak Toba ………58

(12)

Gambar 3.24 Sordam Tampak Belakang ………...……...60 Gambar 3.25 Tehnik Tiupan Bapak Amasohution Situmorang ………61 Gambar 3.26 Tehnik Penjarian Josua Siagian ………..….61

Daftar Tabel :

(13)

ABSTRAKSI

Skripsi ini berjudul Studi Deskriptif Manghirap Tondi Di Desa Lintong Nihuta Kecamatan Tampahan Dalam Masyarakat Batak Toba Oleh Ibu Rotua Pardede; Kajian Terhadap Studi Tekstual Dan Musikal. Melalui skripsi ini penulis akan mengakaji tentang deskripsi studi tekstual andung-andung dari manghirap tondi beserta dengan proses pelaksanaan manghirap tondi.

Pendekatan yang akan penulis lakukan adalah dengan metode penelitiin kualitatif yang mana dengan melakukan penelitian langsung pada objek yang diteliti. Adapun dalam proses kerjanya, dimulai dari membaca buku dan tulisan-tulisan yang berhubungan dengan tulisan-tulisan ini dan penulis akan melakukan pengamatan terlibat wawancara, studi pustaka, perekaman kegiatan, foto-foto, transkripsi yang tentunya relevan dengan penelitian ini.

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Sumatera Utara memiliki wilayah yang luas terbagi dari beberapa daerah yang dipimpin oleh seorang Gubernur dan terdapat beberapa suku, ras, agama, dan golongan. Diantara semua itu ada beberapa suku yang bertautan dan saling melengkapi menjadi suatu etnik, adapun etnik tersebut terdiri dari

Batak Toba, Karo, Mandailing, Simalungun, Pakpak Dairi, Melayu, Pesisir, Sibolga, Nias, inilah sub etnik yang ada di Sumatera Utara.

Setiap etnis yang ada di Sumatera Utara, baik dari kelompok etnis Batak maupun etnis lainnya pastinya memiliki kebudayaan dan adat istiadat yang masing-masing memiliki keunikan tersendiri dan setiap kebudayaan tersebut tidak dapat dibandingkan mana yang lebih baik. Demikian juga halnya dengan etnis Batak Toba, masyarakat Batak Toba memiliki kebudayaan yang diwariskan secara turun temurun oleh leluhurnya, baik secara lisan maupun tulisan. Kesenian pada masyarakat Batak Toba

diantaranya terdiri atas seni rupa, seni tari, seni ukir dan seni musik. Dalam skripsi ini penulis akan mengkaji upacara ritual dari manghirap tondi.

Penulis akan membahas kepada studi tekstual dan musikal dari

manghirap tondi yang dilaksanakan dalam tradisi etnis Batak Toba. Teks

(15)

termasuk kenyanyian andung-andung yang dinyanyikan secara mengerutu dengan suasana kesedihan yang mendalam. Secara umum, isi teksnya hanya bujukan. Teks tersebut disampaikan kepada seseorang yang mau dihirap (dipanggil) pulang.

Dalam tulisan ini penulis lebih tertarik membahas tentang andung-andung (ratapan) manghirap tondi. Andung-andung-andung (ratapan) ini berisi tentang ungkapan kesedihan sesesorang yang kehilangan keluarganya karena sudah lama tidak pulang dan tidak tau dimana keberadaanya. Secara tekstual andung-andung manghirap tondi menggunakan bahasa Batak Toba yang mengandung makna-makna tertentu.

Manghirap tondi di kategorikan ke dalam dua bagian yaitu manghirap

dan tondi. Manghirap merupakan suatu cara memanggil seseorang yang tidak tau alamat keberadaanya dan tidak pernah pulang ke kampung halamannya.

Manghirap dilaksanakan di rumah seseorang yang mau dipanggil. Sedangkan

(16)

terperangkap atau disandera oleh roh-roh halus di tempat angker dan keramat, karena salah melangkah, atau melanggar tabu ketika berada di tempat itu.

Di dalam tradisi Batak Toba, usaha agar tondi seseorang itu kembali harus dengan melaksanakan upacara spritual yang biasanya dilakukan seorang Dukun/Paranormal dan juga seseorang yang memiliki indra ke-6. Upacara tersebut diantaranya mangalap tondi ( menjemput tondi) atau

manghirap tondi (menarik tondi yang pergi) di bawah bimbingan seorang datu (dukun). Cara lain adalah mangupa tondi (memberdayakan tondi yang lemah) dengan menaburkan boras pir ni tondi (beras untuk menguatkan

tondi) ke atas kepala untuk memulihkkan tondi yang terkejut, misalnya oleh orang tua kepada anaknya yang baru mengalami musibah. Berbagai istilah lain seperti; pahothon tondi (mempererat/mengokohkan tondi), atau papirhon tondi (memperkuat tondi).

Jadi dari penjelasan di atas manghirap tondi dapat diartikan adalah suatu upacara pemanggilan roh seseorang yang telah lama tak pernah pulang-pulang ke kampung halamannya dan tidak tau keberadaaannya sama sekali. Biasanya upacara manghirap tondi tidak semua orang yang bisa melaksanakannya melainkan hanya seorang yang mempunyai indra ke-6 dan seorang Dukun/Paranormal. Dimasa sekarang ini masyarakat Batak Toba

(17)

Sebagai bukti yang mempengaruhi tradisi ini lambat laun punah karena pengaruh teknologi dan perkembangan jaman. Pada saat ini teknologi sudah maju bahkan alat komunikasi juga berkembang pesat yang mempermudah mengetahui letak atau posisi seseorang itu dimana keberadaannya dan mengajak supaya pulang ke kampung halamannya. Ibu Rotua Pardede mengatakan tradisi ini pada jaman dulu sangat berkembang pesat karena alat komunikasi sangat minim, ketika seseorang itu bertahun-tahun tidak pulang dan tidak memilki kabar ke kampung halamannya, maka dengan cara mistis seseorang bisa melakukan tradisi manghirap tondi

(menarik tondi yang pergi) sehingga seseorang itu tersentuh hatinya untuk pulang ke kampung halamannya. Sebagai bukti lain yang juga mempengaruhi hilangnya tradisi manghirap tondi ini yaitu tidak semua orang bisa melaksanakan manghirap tondi ini melainkan hanya orang tertentu seperti orang yang memiliki indra ke-6 dan dukun/paranormal .

(18)

Tradisi pemanggilan roh orang yang hilang ini dilaksankan tujuh hari tujuh malam. Penyaji juga menyiapkan sesajen atau makanan-makanan yang sering dimakan seseorang yang mau dihirap (dipanggil). Dan makanan tersebut disusun rapi di dalam tampi dan digantungkan di pintu dapur di dalam rumah, supaya seseorang yang mau dihirap (dipanggil) tersebut mengingat setiap makanannya sehari-hari waktu tinggal di kampung. Dan terakhir si penyaji berdoa kepada Debata Jahowa (Tuhan Allah) dalam Agama Kristen untuk medoakan supaya seseorang yang mau dihirap (dipanggil) itu pulang ke kampung halamannya. Dari penuturannya, ibu Rotua Pardede mengatakan beliau sudah 3 kali melaksanakan tradisi upacara manghirap tondi ini, salah satu contoh yang jelas terbukti yaitu dilakukan manghirap tondi kepada anaknya sendiri.1

Dari latar belakang masalah di atas maka penulis tertarik untuk menuliskannya dalam tulisan ilmiah dengan judul : ” Studi Deskriptif Manghirap Tondi Di Desa Lintong Nihuta Kecamatan Tampahan Dalam

Dengan demikian penulis tertarik untuk membahas tentang

manghirap tondi baik dari prosesi awal dilakukan dengan meneliti studi tekstual dari kata-kata yang di ucapkan dan studi musikalnya agar tulisan ini bermanfaat bagi peneliti berikutnya sehingga dengan tulisan ini bisa diketahui dan dikenal upacara manghirap tondi dalam tradisi Batak Toba yang bisa dikatakan sudah jarang dilaksanakan. Alasan inilah yang mendorong penulis tertarik untuk membahas tentang upacara ritual manghirap tondi.

1

(19)

Masyarakat Batak Toba Oleh Ibu Rotua Pardede; Kajian Terhadap Tekstual Dan Musikal.

1.2 Pokok Permasalahan

Agar pembahasan lebih terarah maka ditentukanlah pokok permasalahan. Dalam skripsi ini permasalahan yang akan dibahas meliputi tiga hal sebagai berikut:

a. Bagaimana struktur manghirap tondi yang dipertunjukkan oleh ibu Rotua Pardede? Pokok permasalahanya ini akan dijawab dengan uraian mengenai properti manghirap tondi, sesajen yang disediakan, andung-andung manghirap tondi, kata-kata yang di ucapkan dalam manghirap tondi beserta hal-hal yang berkait dengan keberadaan manghirap tondi yang merupakan salah satu pertunjukan seni yang terdapat pada masyarakat Batak Toba. b. Bagaimana struktur tekstual dan musikal dalam manghirap tondi

terutama dalam nyanyian andung-andungnya.

c. Bagaimana eksistensi manghirap tondi di tengah-tengah masyarakat Batak Toba.

1.3 Tujuan dan Manfaat penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

(20)

a. Untuk mengetahui dan memahami bagaimana struktur manghirap tondi yang di sajikan oleh Ibu Rotua Pardede.

b. Untuk mengkaji bagaimana pengertian dan pemahaman mengenai

manghirap tondi dan melihat makna tekstual kata-kata yang diucapkan dalam manghirap tondi sebagai cara untuk menyampaikan rasa atau ungkapan atau ekspresi pelaku manghirap tondi.

c. Untuk mengetahui eksistensi dan keberadaannya di dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, apakah masih sering dilaksanakan atau bahkan upacara ritual manghirap tondi ini semakin lama semakin punah.

1.3.2 Manfaat

Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sebagai berikut.

a. Sebagai dokumentasi dan bahan literatur dalam disiplin etnomusikologi berkaitan tentang kesenian Batak Toba

(khususnya manghirap tondi)

b. Menambah pengetahuan bagi penulis dan peneliti-peneiti selanjutnya, baik mencakup teori maupun uraian tentang bentuk penyajian manghirap tondi.

(21)

d. Sebagai bahan dokumentasi untuk menambah refrensi mengenai proses manghirap tondi di Departemen Etnomusikologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sumatera Utara.

e. Dapat menjadi refrensi bagi peneliti, masyarakat dan juga bagi setiap pembaca.

1.4 Konsep Dan Teori 1.4.1 Konsep

Konsep merupakan gejala yang paling penting dalam penulisan yang akan digunakan sebagai alat menggambarkan fenomena dengan adanya penjabaran masalah dari kerangka teoritisnya. Kata deskriptif adalah bersifat menggambarkan apa adanya (KBBI 2005:258).

Kata deskriptif yang penulis maksudkan dalam tulisan ini adalah bagaimana gambaran sebenarnya manghirap tondi pada saat dilaksanakan tanpa ada unsur yang ditambahi dan dikurangi. Manghirap berarti pemanggilan. Manghirap yang penulis maksudkan dalam tulisan ini adalah salah satu pemanggilan roh dalam masyarakat Batak Toba.

(22)

jiwa, badan dan pikiran serta nurani yang membisiki hati manusia untuk berbuat.

Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Medina Hutasoit dalam skripsinya menyebutkan Andung - andung merupakan suatu nyanyian ratapan dalam konteks kematian atau kemalangan. Secara umum andung- andung adalah berisi tentang kesedihan atau penderitaan hidup. Wujud dari kemalangan ini adalah kesedihan dan dukacita misalnya pada saat kematian orang tua, dan kehilangan anggota keluarga.2

Masyarakat adalah kesatuan hidup manusia yang berinteraksi menurut suatu sistem adat istiadat yang bersifat kontinu, dan yang terkait

Dalam penelitian ini penulis menggunakan 2 kajian yaitu kajian tekstual dan musikal. Tekstual merupakan hal-hal yang berkaitan dengan teks atau tulisan dari suatu kata-kata. Teks atau syair dari nyanyian tersebut akan menghasilkan suatu makna. Makna tersebut adalah suatu yang tersirat dibalik bentuk dan aspek isi dari suatu kata atau teks yang kemudian berbagi menjadi dua bagian, yaitu makna konotatif dan denotatif. Makna konotatif adalah makna kata yang terkandung arti tambahan sedangkan makna denotatif adalah kata yang tidak mengandung arti tambahan atau disebut dengan makna sebenarnya (Keraf,1991:25). Istilah musikal menunjukkan kata sifat yang berarti musik, memiliki unsur-unsur musik seperti melodi, tangga nada, modus, dinamika, interval, frasa, serta pola ritem.

2

(23)

oleh suatu rasa identitas bersama. Masyarakat yang penulis maksud adalah masyarakat Batak Toba yang berada di desa Lintong Nihuta, kecamatan Tampahan, Toba Samosir. Daerah ini merupakan daerah yang menjadi tempat penulis meneliti Manghirap Tondi.

1.4.2 Teori

Dalam penulisan skripsi ini, penulis berpegang pada beberapa teori yang berhubungan dengan permasalahan yang akan dibahas dan dianggap relevan, yaitu bahwa pengetahuan yang diperoleh dari buku-buku, dokumen-dokumen serta pengalaman ilmiah kita sendiri merupakan landasan dari pemikiran untuk memperoleh pengertian tentang suatu teori-teori yang bersangkutan. Dengan demikian teori adalah pendapat yang dijadikan acuan dalam tulisan ini. Teori juga merupakan landasan pendapat yang dikemukakan mengenai suatu peristiwa. (Kamus Besar Bahasa Indonesia , Balai Pustaka, 1991 : 1041).

Dalam tulisan ini unsur yang menjadi pokok permasalahan yang dibahas adalah studi tekstual dan musikal manghirap tondi. Dalam konteks penelitian, teori digunakan sebagai acuan sementara, agar penelitian tidak melebar ke mana-mana. Teori adalah bangunan yang mapan, ada pendapat peneliti, ada simpulan awal. Itulah sebabnya teori harus dibangun berstruktur, sejalan dengan apa saja yag mungkin akan digunakan (Suwardi, 2006: 107).

(24)

membangun sebuah peristiwa seni. Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Semiotika dan teori komunikasi adalah dua hal yang sangat mirip sehingga sering disebut sebagai semiotika komunikasi. Komunikasi terjadi dengan perantaraan tanda-tanda dengan mengemukakan sesuatu (representamen) berdasarkan makna denotatum, designatum atau makna yang ditunjuknya. Dalam melakukan analisis semiotika, pembahasannya antara lain mencakup pada hal-hal yang berkaitan dengan: semiotika binatang (zoosemiotics); paralinguistik (paralinguistics); bahasa alam (natural language); komunikasi visual (visual communication); kode-kode musik (musical codes); kode rahasia; sistim objek; dan lain-lain.

Menurut Koentjaraningrat pengertian upacara ritual atau ceremony adalah: sistem aktifitas atau rangakaian tindakan yang ditata oleh adat atau hukum yang berlaku dalam masyarakat yang berhubungan dengan berbagai macam peristiwa yang biasanya terjadi dalam masyarakat yang bersangkutan. (Koentjaraningrat, 1990-190). Untuk melihat apa-apa saja komponen upacara, maka penulis menggunakan teori upacara yang di kemukakan oleh Koentjaraningrat (1958:243) yang menyatakan aspek-aspek dalam upacara ada empat, yaitu : (1) tempat upacara, (2) waktu upacara, (3) benda-benda dan alat-alat upacara, (4) yang melaksanakan upacara dan pemimpin upacara.

(25)

yang digunakan saat upacara, dan juga sesajen yang digukan saat upacara ritual berlangsung. Untuk mengkaji studi teks dalam manghirap tondi penulis berpedoman kepada teori semiotik. Istilah kata semiotik berasal dari bahasa Yunani, semeioni. Teori semiotik adalah sebuah teori mengenai lambang yang dikomunikasikan. Dalam menganalisa struktur teks dalam manghirap tondi

penulis juga menggunakan teori William P. Malm dalam buku terjemahan Music Culture of The pasific, The Near, East, and Asia, ia mengatakan dalam musik vokal, hal yang sangat penting diperhatikan adalah hubungan antara musik dengan teksnya. Studi tentang teks juga memberikan kesempatan untuk menemukan hubungan antara aksen dalam bahasa dengan aksen pada musik, serta membantu reaksi musikal bagi sebuah kata yang di anggap penting dan pewarnaan kata-kata dalam puisi (Malm dalam terjemahan Takari 1995:17). Sementara itu untuk mengkaji musik iringan dalam manghirap tondi penulis akan menggunakan teori Bruno Nelt (1964 : 131) mengatakan bahwa untuk mendapatkan seluruh benda musikal dilakukan analisis: perbendaharaan nada, modus, ritem, nada dasar, bentuk dan tempo.

(26)

Untuk mendukung analisis struktur melodi manghirap tondi, penulis mengunakan metode transkripsi. Transkripsi merupakan proses penotasian bunyi yang didengar dan dilihat. Dalam mengerjakan transkripsi penulis menggunakan pada notasi musik yang dinyatakan Seeger yaitu notasi preskriptif dan deskriptif. Notasi preskriptif adalah notasi yang dimaksudkan sebagai alat pembantu untuk penyaji supaya dapat menyajikan komposisi musik. Sedangkan notasi deskriptif adalah notasi yang dimaksudkan untuk menyampaikan kepada pembaca tentang ciri-ciri atau detail-detail komposisi musik yang belum diketahui oleh pembaca.

Berdasarkan penjelasan diatas, penulis akan menggunakan notasi deskriptif. Karena, penulis akan menyampaikan atau memberikan informasi tentang manghirap tondi dengan detail agar jelas tujuan dari komposisi

manghirap tondi.

1.5 Metode Penelitian

Metode penelitian adalah cara kerja untuk dapat memahami objek yang menjadi sasaran ilmu yang bersangkutan. Untuk meneliti manghirap tondi desa Lintong Nihuta, penulis menggunakan metode penelitian kualitatif, sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Kirk Miller dalam Moleong (1990:3) yang mengatakan: ”Penelitian adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahan sosial yang secara fundamental bergantung pada pengamatan manusia dalam kawasannya sendiri dan berhubungan dengan orang-orang dalam bahasa dan peristilahannya”.

(27)

Pada tahap pra lapangan penulis mempersiapkan segala macam kebutuhan yang diperlukan sebelum turun ke dalam penelitian itu sendiri. Dalam bagian ini disusun rancangan penellitian ini, menjajaki atau menilai keadaan lapangan, memilih informan, perlengkapan penelitian, dan etika penelitian. Selanjutnya pada tahap perkerjaan di lapangan peneliti mengumpulkan data semaksimal mungkin. Dalam hal ini, penulis menggunakan alat bantu yaitu, kamera digital merk Nikon, dan catatan lapangan. Pengamatan langsung (menyaksikan) pertujukan manghirap tondi yang dilaksanakan ibu Rotua Pardede. Sedangkan wawancara tidak berstruktur adalah wawancara yang dalam pelaksanaan tanya jawabnya berlangsung seperti percakapan sahari-hari. Informan biasanya terdiri dari mereka yang terpilih karena sifat-sifatnya yang khas. Biasanya mereka telah mengetahui informasi yang dibutuhkan dan wawancara biasanya berlangsung lama.

Dalam tahap mennganalisis data penulis mengorganisasikan data yang telah terkumpul dari catatan lapangan, foto, studi kepustakaan, rekaman dan sebagainya ke dalam suatu pola atau kategori dengan hasil akhir membuat laporan untuk penulisan skripsi.

1.5.1 Studi Kepustakaan

(28)

internet. Studi kepustakaan dilakukan dalam rangka memperoleh pengetahuan dasar tentang apa yang akan diteliti. Tujuan dari studi kepustakaan ini adalah untuk mendapatkan konsep-konsep, teori, serta informasi yang dapat digunakan sebagai acuan dalam pembahasan atau penelitian dan menambah wawasan penulis tentang kebudayaan masyarakat Batak Toba yang diteliti yang berhubungan dengan kepentingan pembahasan atau penelitian.

1.5.2 Penelitian Lapangan

Sebagai acuan dalam mengumpulkan data di lapangan, penulis berpedoman kepada tulisan Harsja W. Bachtiar dan Koentjaraningrat dalam buku metode-metode penelitian masyarakat. Dalam buku tersebut dikatakan, bahwa pengumpulan data dilakukan melalui kerja lapangan

(field work) dengan menggunakan : (1) Observasi (pengamatan), dalam hal ini penulis mengadakan pengamatan langsung, hal ini sesuai dengan pendapat Harja W. Bachtiar (1990:114-115), bahwa seorang peneliti harus melihat langsung akan kegiatan-kegiatan dari sasaran penelitiannya dalam mendapatkan data-data di lapangan, maka pengamat menghadapi persoala bagaimana cara ia dapat mengumpulkan keterangan yang diperlukan tanpa harus bersembunyi, tetapi juga tidak mengakibatkan perubahan oleh kehadirannya pada kegiatan-kegiatan yang diamatinya.

(29)

masalah-masalah lain yang relevan dengan pokok permasalahan dan dalam pengamatan, penulis juga melakukan pencatatan data-data di lapangan sebagai laporan hasil pengamatan penulis. (2) Wawancara, dalam suatu penelitian yang bertujuan mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia dalam suatu masyarakat serta pendirian pendirian yang mereka miliki, merupakan suatu pembantu utama dari metode observasi. Wawancara ini bertujuan untuk mengumpulkan data dan informasi secara lisan dari para informan. Untuk ini penulis mengacu pada pendapat Koentjaningrat (1990:129-155) yang membagi tiga kegiatan wawancara yaitu : persiapan wawancara, teknik wawancara terfokus, wawancara bebas dan wawancara sambil lalu.

Dalam wawancara terfokus, pertanyaan tidak mempunyai struktur tertentu tetapi terpusat kepada pokok permasalahan lain. Wawancara sambil lalu sifatnya hanya untuk menambah data lain. Dalam mengumpulkan data, penulis menggunakan ketiga wawancara ini serta terlebih dahulu membuat daftar pertanyaan dan mencatat secara langsung data-data yang diperlukan.

(30)

1.5.3 Kerja Laboratorium

Kerja laboratorium merupakan proses penganalisisan data-data yang telah didapat dari lapangan. Setelah data yang diperoleh dari lapangan maupun bahan dari studi kepustakaan terkumpul, selanjutnya dilakukan pembahasan dan penyusunan tulisan. Sedangkan untuk hasil rekaman dilakukan pentranskipsian dan selanjutnya dianalisisa. Pada akhirnya hasil dari pengolahan data dan penganalisaan disusun secara sistematis dengan mengikuti kerangka penulisan.

Untuk menyajikan aspek kebudayaan, penulis mengacu dari antropologi, aspekstruktur musik dari musikologi, dan juga unsur sosial lainnya (sesuai dengan keperluan pembahasan ini), sebagaimana ciri Etnomusikologi yang interdisipliner dan keseluruhanannya dikerjakan dilaboratorium Etnomusikologi), sehingga permasalahanya merupakan hasil laporan penelitian yang disusun dalam bentuk skripsi. Jika data yang dirasa masih kurang lengkap, maka penulis melengkapinya dengan menjumpai informan kunci atau informan lain dan hal ini dilakukan berulang-ulang sampai ditemukan hasil yang sesuai dengan penelitian ini.

1.6 Lokasi Penelitian

(31)
(32)

BAB II

GAMBARAN UMUM MASYARAKAT BATAK TOBA DAN BIOGRAFI ROTUA PARDEDE

2.1 Suku Batak Toba

Suku Batak Toba merupakan sub atau bagian dari suku bangsa batak. Suku Batak Toba meliputi Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Samosir, Kabupaten Tapanuli Utara, sebagian Kabupaten Dairi, Kabupaten Tapanuli Tengah, Kota Sibolga dan sekitarnya. Sepanjang sejarah suku ini terbagi ke dalam beberapa kerajaan. Pada masa kerajaan yang berpusat di Bakara, Kerajaan yang dalam pemerintahan dinasti Sisingamangaraja membagi Kerajaan Batak dalam 4 wilayah yang disebut Raja Maropat, yaitu:

1. Raja Maropat Silindung 2. Raja Maropat Samosir 3. Raja Maropat Humbang 4. Raja Maropat Toba

Marga asli penduduk Batak Toba yang berdomisili di Tampahan adalah Siahaan, Simanjuntak dan marga-marga penduduk pendatang seperti; Simatupang, Pardede, Sianturi, Panggabean, Sianipar, dll.

2.1.1 Asal-Usul Batak Toba

(33)

bertanya dari manakah asal-usul suku Batak Toba. Versi sejarah mengatakan Si Raja Batak Toba dan rombongannya datang dari Thailand, terus ke Semenanjung Malaysia lalu menyebrang ke Sumatera dan menghuni Sianjur Mula-Mula, lebih kurang 8 KM arah barat Pangururan, pinggiran Danau Toba sekarang. Versi lain mengatakan dari India melalui Barus atau dari Alas Gayo berkelana ke Selatan hingga bermukim di pinggir Danau Toba.

Diperkirakan Si Raja Batak hidup sekitar tahun 1200 (awal abad ke-13). Raja Sisingamangaraja XII salah satu keturunan Si Raja Batak yang merupakan generasi ke-19 (wafat 1907), maka anaknya bernama Si Raja Buntal adalah generasi ke-20. Pada tahun 1024 kerajaan COLA dari India menyerang Sriwijaya yang menyebabkan bermukimnya 1500 orang Tamil di Barus. Pada tahun 1275 Mojopahit menyerang Sriwijaya, hingga menguasai daerah Pane, Haru, Padang Lawas. Sekitar tahun 1400 kerajaan Nakur berkuasa di sebelah Timur Danau Toba, Tanah Karo dan sebagian Aceh.

(34)

bagaimana Si Raja Batak disebut sebagai asal mula orang Batak amsih perlu dikaji lebih dalam.

Sebenarnya Kabupaten Tapanuli Utara, Humbang Hasundutan, Tobasa, dan Samosir sekarang tidaklah semuanya Toba. Sejak Masa kerajaan Batak hingga pembagian wilayah yang didiami suku Batak ke dalam beberapa distrik oleh Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), Tanah Batak dibagi menjadi 4 (empat) bagian besar, yaitu: Samosir (Pulau Samosir, dan sekitarnya), Toba (Balige, Laguboti, Porsea, Pangururan, Sigumpar, dan sekitarnya), Humbang ( Dolok Sanggul, Siborong-borong, dan sekitarnya), Silindung (Sipoholon, Tarutung, Pahae, dan sekitarnya).

2.2 Sitem Kekerabatan Batak Toba

(35)

Walaupun demikian dalam menentukan kekerabatan (partuturan) juga dianut oleh paham keibuan (bilibneal discent) karena keluarga ibu/istri menduduki posisi yang sangat penting yaitu sebagai tempat untuk meminta berkat (tuah/pasu-pasu). Maka terdapat hubungan kekerabatan yang erat antara kelompok ayah/suami dengan kelompok ibu/istri dan begitu juga sebaliknya (Purba 1997:4 dikutip oleh Kezia Purba).3

Sistem kekerabatan pada masyarakat Batak Toba di Desa Tampahan tidak berbeda dengan sistem kekerabatan masyarakat Batak Toba di daerah lain. Kekerabatan masyarakat Batak Toba berdasarkan garis keturunan didasarkan pada tarombo (silsilah) orang Batak itu sendiri. Tarombo ditentukan oleh marga, dimana marga ditentukan oleh garis keturunan dari pihak laki-laki (ayah). Segala

Orang Batak Toba mementingkan soal “silsilah” karena penentu partuturan di Batak Toba adalah “silsilah atau tarombo” (marga nenek moyang) dan tibalni parhundul (kedudukan/peran) dalam horja-horja adat (acara-acara adat).

Hal ini bisa dilihat saat orang Batak Toba bertemu, langsung bertanya “marga aha hamuna?” (apa marga anda) dan juga “sian dia huta muna?” (dari mana asal-usul anda)?" Hal ini dipertegas oleh pepatah atau Umpasa Batak Toba yaitu “ Jolo tiniktik sanggar laho bahenon huru-huruan, Jolo sinukun marga asa binoto partuturan” (maksudnya yaitu kita tanya apa marganya terlebih dahulu agar kita tahu hubungan kita dengannya).

2.2.1 Kekerabatan Berdasarkan Keturunan

3

(36)

tata cara kehidupan dimulai dari keluarga sampai pada lingkungan masyarakat diatur dan disusun berdasarkan garis keturunan ayah (patrilineal)4

Masyarakat Batak memiliki sistem kekerabatan yang dikenal dengan dalihan na tolu. Dalam bahasa Indonesia dalihan na tolu artinya tungku yang terdiri dari tiga kaki. Sistem ini mengatur pola interaksi sosial dalam masyarakat Batak. Dalihan na tolu ini terjadi karena adanya perkawinan sehingga terjadi hubungan kekerabatan dengan marga lain (Siahaan, 1982). Menurut falsafah . Dari marga ini akan diketahui tarombo seseorang untuk memanggil sapaan terhadap orang lain. Marga dipergunakan oleh anak laki-laki, sementara untuk perempuan disebut boru.

Dalam masyarakat Batak Toba kaum pria berfungsi sebagai pewaris dan penerus keturunan marga. Sedangkan wanita apabila berumah tangga secara otomatis akan masuk lingkungan marga suaminya dan tidak menjadi pewaris marga bagi keturunannya. Dalam masyarakat Batak apabila marganya sama, maka mereka adalah kerabat yang memiliki satu nenek moyang yang sama. Pria dan wanita yang semarga sangat tidak dibenarkan saling mengawini.

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa marga (klan) pada masyarakat Batak Toba mempunyai peranan yang sangat penting di dalam kehidupan masyarakatnya. Begitu juga jika ditinjau dari hubungan kekerabatan antar individu, marga (klan) juga angat berperan dalam kehidupan masyarakat.

2.2.2 Kekerabatan Berdasarkan Hubungan Perkawinan

4

(37)

orang Batak dalihan na tolu merupakan tiga buah batu yang dijadikan sebagai penyanggah dalam setiap interaksi satu sama lain dalam kehidupan bersama diibaratkan sebagai tungku yang menyanggah beban di atasnya (Skripsi Nainggolan: 2009). Tiga batu penyanggah tersebut membentuk kerja sama yang sungguh-sungguh kokoh dalam usaha untuk menciptakan kebaikan bersama. Setiap batu penyanggah itu memiliki peran yang sangat penting dalam kehidupan bersama dan tidak bisa lepas satu sama yang lain.

Tiga kedudukan yang dimaksud dalam dalihan na tolu adalah hula-hula, dongan tubu, dan boru (Siahaan, 1982). Hula-hula merupakan pihak keluarga dari istri yaitu orang tua dan semua saudara laki-laki dari wanita yang dinikahi oleh pria dari marga lain. Hula-hula ini memiliki kedudukan dan fungsi yang paling tinggi dalam sistem kekerabatan orang Batak Toba. Bagi masyarakat Batak Toba hula-hula dianggap sebagai pemberi kebahagian, pemberi rejeki, dan pemberi berkat tertinggi yang harus dihormati. Orang Batak Toba menyakini bahwa hula-hula merupakan sarana penyalur berkat dan bahkan disebut sebagai “tuhan yang kelihatan”. Sehingga dengan menghormati hula-hula orang-orang akan memperoleh berkat dan rejeki dalam kehidupannya. Dongan tubu merupakan hubungan persaudaraan yang berasal dari ayah yang sama atau garis keturunan yang sama dan golongan yang memiliki marga yang sama.

(38)

sibuk dan siap sedia mempersiapkan segala sesuatu dalam setiap acara atau kegiatan adat seperti mempersiapkan hidangan konsumsi, mengatur berbagai pertemuan atau acara-acara keluarga lainnya. Khususnya, jika acara atau pesta (adat) adalah perhelatan atau pesta dari pihak hula-hula. Ketiga dalihan na tolu ini tidak bisa dipisah dalam kehidupan bersosialisasi masyarakat Batak Toba, baik dalam acara adat maupun dalam kehidupan sehari-hari. Posisi dalihan na tolu ini bergantung pada konteksnya.

Setiap orang Batak memiliki ketiga posisi tersebut pada saat yang sama. Seorang hula-hula akan berposisi sebagai boru jika yang mengadakan pesta adalah pihak keluarga dari istrinya. Begitu juga sebaliknya seorang boru akan menjadi hula-hula bagi keluarga anak perempuannya yang telah menikah dengan marga lain. Dalam menjaga konsep Dalihan Na Tolu pada masyarakat Batak Toba ada pepatah yang mengatakan: “somba marhula-hula, elek marboru, manat mardongan tubu” (Sumando).5

5

Sumando Pardede

(39)

2.2.3 Sistem Perkawinan

Perkawinan dalam Koentjaraningrat (1994:103) adalah sebagai pengatur tingkah laku manusia yang berkaitan dengan kehidupan kelaminnya Perkawinan bukan hanya sekedar perjanjian sehidup semati antara laki-laki dan perempuan yang bersatu dalam sebuah rumah tangga, tetapi juga terbentuknya hubungan antara keluarga laki-laki dan keluarga perempuan menjadi sebuah keluarga besar (Kepler, 2002:38). Sistem perkawinan menurut adat Batak Toba adalah sesuatu yang kompleks yang harus melalui tahapan-tahapan. Perkawinan bagi masyarakat Batak Toba adalah sebuah pranata yang tidak hanya mengikat seorang laki-laki dan seorang perempuan tetapi juga mengikat suatu keluarga besar yakni keluarga pihak laki-laki (paranak dalam bahasa Batak Toba) dan pihak perempuan (parboru).

Perkawinan mengikat kedua belah pihak tersebut dalam suatu ikatan kekerabatan yang baru, yang juga berarti membentuk satu dalihan na tolu (tungku nan tiga) yang baru juga. Secara umum, dalam adat Batak Toba, upacara perkawinan didahului oleh upacara pertunangan. Upacara ini bersifat khusus dan otonom, diakhiri dengan tata cara yang menjamin, baik awal penyatuan kedua calon pengantin ke dalam lingkungan baru, maupun perpisahan dan peralihan dari masa peralihan tetap, sebagaimana akan diteguhkan dalam upacara perkawinan.

(40)

perempuan akan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, namun dia akan tetap menyandang marganya sendiri; selanjutnya, perempuan tersebut beserta suaminya akan menyebut kelompok marga perempuan itu dengan hula-hula (Vergouwen, 1986: xi) Ini terlihat dalam kenyataan bahwa dalam masyarakat Batak Toba seseorang yang hendak menikah tidak boleh mengambil isteri dari kalangan kelompok marga sendiri (namariboto), perempuan meninggalkan kelompoknya dan pindah ke kelompok suami, dan bersifat patrilineal, dengan tujuan untuk melestarikan marga dari pihak laki-laki. Hak tanah, milik, nama, dan jabatan hanya dapat diwarisi oleh garis laki-laki. Tahapan-tahapan yang ada pada masyarakat Batak Toba adalah sebagai berikut17: 1. Paranakkon Hata

a) Paranakkon hata artinya menyampaikan pinangan oleh paranak (pihak b) laki-laki) kepada parboru (pihak perempuan).

c) Pihak perempuan langsung memberi jawaban kepada orang yang disuruh oleh pihak laki-laki pada hari itu juga.

d) Pihak yang disuruh paranak panakkok hata masing-masing satu orang dongan tubu, boru, dan dongan sahuta.

2. Marhusip

(41)

b) Pada tahap ini tidak pernah dibicarakan maskawin (sinamot). Yang dibicarakan hanyalah hal-hal yang berhubungan dengan marhata sinamot dan ketentuan lainnya.

c) Pihak yang disuruh marhusip ialah masing-masing satu orang dongan-tubu, boru dongan-tubu, dan dongan-sahuta.

3. Marhata Sinamot

a) Pihak yang ikut marhata sinamot adalah masing-masing 2-3 orang dari dongan-tubu, boru dan dongan sahuta.

b) Mereka tidak membawa makanan apa-apa, kecuali makanan ringan dan minuman.

c) Yang dibicarakan hanya mengenai sinamot dan jambar sinamot. 4. Marpudun Saut

(42)

5. Unjuk

Semua upacara perkawinan (ulaon unjuk) harus dilakukan di halaman pihak perempuan (alaman ni parboru), di mana pun upacara dilangsungkan. Berikut adalah tata geraknya:

a) Memanggil liat ni Tulang ni boru muli dilanjutkan dengan menentukan tempat duduk.

b) Mempersiapkan makanan,

c) Paranak memberikan na margoar ni sipanganon dari parjuhut horbo, d) Parboru menyampaikan dengke (ikan, biasanya ikan mas),

e) Doa makan,

f) Membagikan jambar,

g) Marhata adat – yang terdiri dari tanggapan oleh parsinabung ni paranak, dilanjutkan oleh parsinabung ni parboru, tanggapan parsinabung ni paranak, tanggapan parsinabung ni parboru.

h) Pasahat sinamot dan todoan, i) Mangulosi, dan

j) Padalan Olopolop. 6. Tangiang Parujungan

Doa penutut pertanda selesainya upacara perkawinan adat Batak Toba.

2.3 Sistem Kepercayaan Dan Agama

(43)

ke-19. Walaupun sebagian besar orang Batak Toba sudah beragama kristen dan islam, namun banyak konsep-konsep yang asal dari agama aslinya masih hidup, terutama di daerah pedesaan. Sumber utama untuk mengetahui sistem kepercayaan Batak Toba asli adalah buku-buku kuno (pustaha). Selain daripada berisi silsilah-silsilah (tarombo) buku yang dibuat dari kulit kayu itu juga berisi konsepsi orang batak tentang dunia makhluk halus. Hal ini dapat terjadi demikian oleh karena tarombo itu sendiri bermula dengan kejadian-kejadian yang hanya mungkin terjadi dalam dunia makhluk halus, seperti misalnya penciptaan manusia yang pertama yang leluhurnya bersangkutpaut dengan burung.

Konsepsi tentang pencipta, orang Batak Toba mempunyai konsep bahwa alam ini dan seluruh isinya, diciptakan oleh Debata (Opung) Mulajadi Nabolon yang bertempat tinggal di atas langit dan mempunyai nama-nama lain sesuai dengan tugas dan tempat kedudukannya. Sebagai Debata Mulajadi Nabolon, ia tinggal di Langit dan merupakan Maha Pencipta. Sebagai penguasa dunia tengah, ia bertempat tinggal di dunia ini dan bernama Silaon Nabolon, atau Tuan Panduka ni Aji. Sebagi penguasa dunia makhluk halus ia bernama Pane Nabolon. Selain daripda pencipta Debata Mulajadi Nabolon menciptakan dan mengatur kejadian gejala-gejala Alam seperti hujan, kehamilan, sedangkan Pane Nabolon mengatur Penjuru mata angin.

(44)

seseorang. Bedanya dengan tondi adalah bahwa tidak semua orang mempunyai sahala dan jumlah serta kualitasnya juga berbeda-beda. Sahala dari seorang Raja atau Datu lebih banyak dan lebih kuat dari orang biasa dan begitu pula sahala dari seorang hula-hula lebih kuat dari sahala orang boru. Sahala itu dapat berkurang dan menentukan peri kehidupan seseorang. Berkurangnya sahala menyebaban seseorang kurang disegani, atau kedatuannya menjadi hilang.

Tondi diterima oleh seseorang itu pada waktu ia masih ada didalam rahim ibunya dan demikian pula sahala atau sumangat. Demikian tondi itu juga merupakan kekuatan yang memberi hidup kepada bayi (calon manusia), sedangkan sahala adalah kekuatan yang akan menentukan wujud dan jalan orang itu dalam hidup selanjutnya seperti halnya dengan sahala, yang dapat berkurang atau bertambah, tondi itu dapat pergi meninggalkan badan. Bila tondi meninggalkan badan sementara, makaorang yang bersangkutan itu sakit, bila untuk seterusnya, maka orang itu meninggal. Keluarnya tondi dari badan disebabkan karena adanya kekuatan lain (sambaon) yang menawannya.

(45)

disertai dengan gondang ( musik Batak) dan dengan sajian yang disebut Tibal-tibal yang ditempatkan di atas Pangumbari. Beberapa golongan begu yang ditakuti orang Batak Toba adalah:

1. Sombaon, yaitu sejenis begu yang bertempat tinggal di pegunungan atau di hutan rimba yang padat, gelap, dan mengerikan (persombaonan).

2. Solobean, yaitu begu yang dianggap sebagai penguasa dari tempat-tempat tertentu dari Toba.

3. Silan, yaitu begu yang serupa dengan Sombaon menempati pohon besar, atau batu yang aneh bentuknya, tetapi khususnya dinggap sebagai nenek moyang pendiri Huta dan juga nenek moyang dari marga.

4. Begu ganjang, yaitu begu yang sangat ditakuti karena dapat dipelihara oleh orang agar dipergunakan untuk membinasakan orang-orang lain yang dibenci oleh sipemelihara begu ganjang tersebut.

Akhirnya dalam sistem religi aslinya orang Batak Toba juga percaya kepada kekutan sakti dari Jimat, tongkat wasiat atau tunggal panaluan dan kepada mantra-mantra yang mengandung sakti. Semua kekuatan itu menurut kitab- kitab ilmu gaib orang Batak Toba (pustaha), berasal dari Si Raja Batak.

2.4 Bahasa

(46)

Kecamatan Tampahan merupakan salah satu daerah di Kabupaten Tobasa yang penduduknya adalah mayoritas Batak Toba. Bahasa Batak Toba merupakan bahasa ibu dari masyarakat dari masyarakat Batak yang menetap disana. Selain bahasa Batak Toba.

Masyarakat yang ada di Kecamatan Tampahan menggunakan bahasa Batak sebagai media komunikasi dalam percakapan formal maupun percakapan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan penduduk yang tidak bersuku Batak pun mengerti dan fasih menggunakan bahasa ini, karena bahasa Batak lebih sering digunakan jika dibandingkan dengan bahasa nasional (Bahasa Indonesia). Hal ini bisa dapat dilihat baik dalam upacara adat, acara kebaktian gereja maupun dalam kehidupan sehari-hari.

2.5Sistem Mata Pencaharian

Kecamatan Tampahan merupakan daerah yang berada di daerah lereng gunung dan tanah yang berbukit-bukit. Dari pengamatan yang penulis lakukan masyarakat yang tinggal di kecamata ini sebagian besar merupakan petani. Khususnya masyarakat yang tinggal di Desa Lintong Nihuta Bagasan dalam usaha memenuhi kebutuhan hidupnya, mata pencaharian penduduk adalah bertani seperti sayur-sayuran, padi terutama sebagai penyadap pohon karet sebagai tumbuhan yang tumbuh secara alami. Selain sebagai petani ada juga beberapa orang yang berprofesi sebagai guru.

(47)

pulang dari mengajar di sekolah. Di desa ini juga dijumpai kegiatan menyadap nira untuk dijadikan tuak. Selain sebagai guru, penyadap bagot merupakan pekerjaan sampingan yang ditekuni. Dari hasil tani, dan penyadapan pohon bagot inilah bisa menyekolahkan anak-anaknya sampai ke jenjang perkuliahan. Bertani dan menyadap nira merupakan pekerjaan yang dilakukan secara turun-temurun dan merupakan mata pencaharian desa ini.

2.6 Kesenian 2.6.1 Seni Musik

Musik dalam masyarakat Batak Toba dikenal dengan istilah gondang bisa mengacu pada beberapa arti, seperti ensambel musik, sebagai repertoar dan sebagai alat atau instrumen musik. Istilah penggunaan gondang (Hutajulu dan Harahap, 2005:19) bagi masyarakat Batak Toba beserta konteks pengertiaanya, misalnya:

1) Gondang hasahata;, kata gondang memiliki makna sebuah komposisi. 2) Gondang debata; kata gondang memiliki makna repertoar, yakni terdiri dari

tiga komposisi yang berbeda: “Debata Guru”, “Bane Bulan”, dan “Debata Sori”.

3) Gondang simonang-monang; kata gondang memiliki makna komposisi lagu sekaligus menunjukkan tempo pada lagu.

4) Gondang saem; kata gondang memiliki makna sebuah upacara penyembuhan.

(48)

Terdapat dua ensambel yang umum dikenal pada Masyarakat Batak Toba, yaitu ensambel gondang sabangunan dan gondang hasapi. Alat musik yang terdapat dalam ensambel gondang sabangunan yaitu satu set taganing (membranofon), sarune bolon (aerofon), empat buah ogung (idiofon) dan hesek (idiofon). Instrument yang terdapat dalam gondang hasapi yaitu garantung (idiofon), hesek (idiofon), sarune etek (aerofon) dan hasapi (kordofon). Ensambel gondang sabangunan dan gondang hasapi ini tidak pernah lagi dipakai dalam acara adat masyarakat Batak yang ada di Desa Lintong Nihuta Bagasan ini. Masyarakat sudah memakai instrumen kibot dan sulim dalam acara adat, baik adat perkawinan maupun kematian. Ada juga beberapa pengusaha kibot yang telah memasukkan taganing ke dalam instrumennya sebagai pelengkap.

2.6.2 Seni Tari

Seni tari pada masyarakat Batak Toba dikenal dengan dua jenis yaitu tortor dan tumba. Tortor merupakan tarian yang digunakan dalam konteks upacara adat seperti perkawinan dan kematian. Tumba merupakan tarian yang digunakan oleh pemuda-pemudi maupun anak-anak pada waktu terang bulan. Tarian ini merupakan tarian yang bersifat hiburan. Kegiatan ini disebut dengan martumba. Pada masyarakat yang tinggal di Desa Lintong Nihuta Bagasan kegiatan martumba sudah tidak terdapat lagi. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena tidak adanya pemrakarsa ataupun karena rasa kekeluargaan dan persatuan antar muda-mudi tidak ada lagi.

(49)

2.6.3 Seni Sastra

Hutajulu dan Harahap (2005:13) mengatakan pada masyarakat Batak Toba dapat ditemukan beberapa seni sastra, yaitu :

1. Umpasa merupakan kata-kata kiasan yang berisi ajaran tentang keteladanan, kebijaksanaan, aturan-aturan adat serta pesan-pesan religious. Umumnya umpasa disampaikan di dalam berbagai kegiatan upacara adat yang ada di masyarakat Batak Toba.

2. Tonggo-tongo merupakan jenis sastra yang terkait dengan rangkaian teks-teks naratif keagamaan. Tonggo-tonggo dapat berupa doa-doa pujian kepada Sang Pencipta atau juga bentuk doa-doa lainnya dalam bentuk permohonan dan harapan.

3. Turi-turian merupakan satu bentuk seni bercerita yang umumnya bersumber dari berbagai mitos dan legenda.

(50)

2.6.4 Seni Rupa

Pada masyarakat Batak Toba ditemukan beberapa jenis seni rupa. Yang paling umum adalah seni patung. Umumnya bahan yang digunakan untuk seni patung ini adalah batu dan kayu. Patung yang terbuat dari batu banyak digunakan pada makam orang yang sudah meninggal. Patung yang terdapat di atas makam tersebut menandakan bahwa orang yang meninggal tersebut telah mencapai usia tua dan pada masa hidupnya memiliki pengaruh di masyarakat. (Harahap, 2005:12). Pada jaman dahulu masyarakat Batak telah mengenal seni patung dari batu ini. Hal ini terbukti dari peninggalan-peninggalan bersejarah yang terdapat di Samosir yaitu situs peninggalan raja-raja Batak.

Jenis patung yang paling popular di masyarakat Batak Toba adalah sigale-gale. Sigale-gale adalah sejenis patung boneka kayu yang dapat menari. Patung ini digunakan sebagai seni pertunjukan hiburan. Sigale-gale dikendalikan oleh seseorang dengan menggunakan tali-tali yang dipasang pada bagian-bagian patung. Selain seni patung, masyarakat Batak Toba juga mengenal seni ukir ornamental yang disebut dengan gorga. Seni ukir ini banyak terdapat pada dinding rumah tradisional Batak dan banyak juga digunakan pada alat-alat musik sebagai hiasan. Motif-motif yang digunakan dapat berupa ukiran gambar manusia, binatang, tumbuh-tumbuhan maupun lambang delapan penjuru angin.

2.7 Pengertian Biografi

(51)

kalimat saja, namun juga dapat berupa tulisan yang lebih dari satu buku. Perbedaannya adalah, biografi singkat hanya memaparkan tentang fakta - fakta kehidupan seseorang dan peranan pentingnya dalam masyarakat. Sedangkan biografi yang lengkap biasanya memuat dan mengkaji informasi – informasi penting, yang dipaparkan lebih detail dan tentu saja dituliskan dengan penulisan yang baik dan jelas. Sebuah biografi biasanya menganalisia dan menerangkan kejadian - kejadian pada hidup seorang tokoh yang menjadi objek pembahasannya.

(52)

buku harian, atau kliping koran. Sedangkan bahan pendukung biasanya berupa biografi lain, buku-buku referensi atau sejarah yang memparkan peranan subjek biografi tersebut.

Beberapa aspek yang perlu dilakukan dalam menulis sebuah biografi antara lain: (a) Pilih seseorang yang menarik perhatian anda; (b) Temukan fakta-fakta utama mengenai kehidupan orang tersebut; (c) Mulailah dengan ensiklopedia dan catatan waktu. Sebelum menuliskan sebuah biografi seseorang, ada beberapa pertanyaan yang dapat dijadikan pertimbangan, misalnya: (a) Apa yang membuat orang tersebut istimewa atau menarik untuk dibahas;

(b) Dampak apa yang telah beliau lakukan bagi dunia atau dalam suatu bidang tertentu juga bagi orang lain;

(c) Sifat apa yang akan sering penulis gunakan untuk menggambarkan orang tersebut;

(d) Contoh apa yang dapat dilihat dari hidupnya yang menggambarkan sifat tersebut;

(e) Kejadian apa yang membentuk atau mengubah kehidupan orang tersebut; (f) Apakah beliau memiliki banyak jalan keluar untuk mengatasi masalah dalam hidupnya;

(g) Apakah beliau mengatasi masalahnya dengan mengambil resiko,atau karena keberuntungan;

(53)

dari studi perpustakaan atau internet untuk membantu penulis dalam menjawab serta menulis biografi orang tersebut dan supaya tulisan si peneliti dapat dipertanggungjawabkan, lengkap dan menarik. Terjemahan Ary (2007) dari situs : (www.infoplease.com/homework/wsbiography.html).6

Dalam hidupnya Ibu Rotua sudah ahli dalam mengurut, beliau sudah mengurut sejak SD sampai saat ini. Ibu Rotua mengurut sejak SD sampai tahun

2.8 Biografi Singkat Ibu Rotua Pardede

Rotua Pardede adalah seorang mantan Guru (Kepala Sekolah) yang memiliki kepedulian terhadap seni, budaya dan sejarah Batak Toba. Penguasaannya terhadap sejarah seni dan kebudayaan Batak Toba khusunya perlu dihargai dan tetap dilestarikan. Adapun hasil wawancara penulis dengan informan tentang biografi atau rowayat hidup informan yaitu, Ibu Rotua Pardede lahir pada tanggal 5 Agustus 1937 di Janjimaria, Balige. Dalam perkawinannya, Rotua Pardede menikah pada tahun 1960 dengan Bapak M. Simanjuntak. Ibu Rotua memiliki 10 orang anak diantaranya 4 laki-laki dan 6 wanita. Serta sudah memiliki cucu sebanyak 43 orang.

Pada tahun 1958 Ibu Rotua Pardede Lulus dari Sekolah SPG Soposurung sambil mengajar di SD Balige 2. Dan menjabat sebagai Kepala Sekolah selama 10 tahun di SDN 173528 Tampahan sejak tahun 1989 sampai tahun 1998. Pensiun pada tanggal 29 November 1998. Dan tahun 1975 sampai tahun 1976 Ibu Rotua mengambil sekolah lagi di KPG dengn jurusan Matematika.

6

(54)

1998 tanpa menerima bayaran dengan uang. Ibu Rotua dikenal memiliki kelebihan yaitu memiliki indera ke-6 (enam).

Gambar 2.1 Foto Ibu Rotua Pardede

Dalam hidupnya Ibu Rotua sudah ahli dalam mengurut, beliau sudah mengurut sejak SD sampai saat ini. Ibu Rotua mengurut sejak SD sampai tahun 1998 tanpa menerima bayaran dengan uang. Ibu Rotua dikenal memiliki kelebihan yaitu memiliki indera ke-6 (enam).

(55)

datang dari mimpi-mimpinya dan menjadi kenyataan. Saat ini Ibu Rotua sudah berusia 77 tahun dan tinggal dengan suminya di Lintong Nihuta Bagasan, Balige.7

7

(56)

BAB III

PROSES PENYAJIAN MANGHIRAP TONDI

3.1 Manghirap Tondi Dalam Masyarakat Batak Toba

Manghirap tondi adalah suatu upacara pemanggilan roh seseorang yang telah lama tak pernah pulang-pulang ke kampung halamannya dan tidak tau keberadaaannya sama sekali. Dalam masyarakat Batak Toba khususnya di Desa Lintong Nihuta Bagasan tradisi atau ritual manghirap tondi hanya bisa dilakukan atau dipraktekkan oleh Ibu Rotua Pardede, mulai dari pembuatan sesajen dan proses melakukan manghirap tondi tersebut. Berdasarkan wawancara yang penulis lakukan bahwa manghirap tondi ini dapat dilakukan dan diketahui oleh ibu Rotua berdasarkan mimpi yang datang ke beliau. Dan hal ini jadi kenyataan sebab segala sesuatu yang dilakukan oleh ibu Rotua berasal dari mimpinya. Misalnya saja membuat ramuan minyak urutnya didapat lewat mimpinya.

Ibu Rotua merupakan orang biasa yang memiliki kelebihan tersendiri, beliau bukan seorang dukun (datu/sibaso) hal ini dibuktikan bahwa dalam melakukan hal-hal yang dianggap mistis ibu Rotua tidak menggunakan cawan, tikar khusus, atau tempat-tempat khusus (kamar khusus), sesajen- sesajen seperti halnya dilakukan oleh seorang dukun. Ibu Rotua mampu melakukan kegiatan yang diangap mistis itu lewat mimpi-mimpinya dan keahlian atau kelebihan dari diri ibu Rotua tersebut.

(57)

tidak pulang dari perantauan di Kalimantan. Dengan melakukan ritual manghirap tondi ini anak ibu Rotua akhirnya pulang dari Kalimantan yaitu Putranya yang kedua bernama Ganyong Simanjuntak dan sekarang sudah menikah dan memiliki 2 anak. Adapun orang lain yang sudah pernah di hirap oleh ibu Rotua adalah Alon Simanjuntak dan saat ini tinggal di Desa Lintong Nihuta Balige dan banyak lagi yang tidak bisa disebutkan satu- persatu.

Bagi masyarakat yang tinggal di Desa Lintong Nihuta, keberadaan

manghirap tondi ini dianggap penting. Manghirap Tondi dulunya sangat penting yang dimanfaatkan sebagai alat untuk memanggil kembali orang-orang yang sudah lama tidak pulang - pulang ke kampung halamannya. Namun, saat ini eksistensi manghirap tondi di masyarakat Batak Toba sudah berkurang dengan adanya perkembangan zaman dan teknologi yang sangat pesat, sehingga untuk mencari dan menghubungi orang-orang yang lama tidak pulang ke kampung halaman sudah lebih mudah.

Di masyarakat Batak Toba khususya di Desa Lintong Nihuta Balige

manghirap tondi tidak setenar dahulu, dimana ibu Rotua yang sudah semakin tua dan sudah sangat jarang melaksanakan ritual ini. Berdasarkan sepengetahuan ibu Rotua bahwa yang melakukan manghirap tondi sejauh ini hanya beliau yang bisa melakukannya lain hal di kampung lain atau di wilayah lainnya beliau tidak mengetahui siapa- siapa saja yang bisa melakukan ritual manghirap tondi ini. Namun di Kampung halamannya beliaulah yang bisa melakukan ritual tersebut.

Pandangan agama sekitar Desa Lintong Nihuta terhadap manghirap tondi

(58)

Tuhan yang diberikan melalui hal-hal seperti ini yang diberikan kepada orang-orang tertentu namun bukan berarti menjadi lebih mempercayai hal seperti itu, karena semuanya kembali lagi kepada Tuhan sebab Tuhanlah yang lebih berkuasa. Namun agama juga tidak bisa menyangkal dengan adanya ritual seperti

manghirap tondi ini. Manghirap tondi ini tidak terlalu bertentangan dengan agama karena manghirap tondi juga dilakukan dengan doa-doa yang disampaikan kepada Tuhan hanya saja cara dan prosesnya berbeda dengan berdoa yang biasanya.

Ibu Rotua juga seorang yang taat akan agamanya, karena dalam melakukan setiap kegiatannya dimulainya dengan doa. Agar segala sesuatunya dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan kehendak Tuhan.

3.2 Pemilihan Bahan-Bahan Pembuatan Sesajen Manghirap Tondi

Untuk melakukan ritual manghirap tondi diperlukan beberapa alat rumah tangga serta makanan sehari-hari atau biasa disebut sesajen manghirap tondi. Dalam ritual manghirap tondi ini dibuat karena itu merupakan salah satu syarat atau unsur dalam melaksanakan manghirap tondi yaitu dilakukan berdasarkan kebiasaan orang sehari-harinya.

Adapun alat-alat dan bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan ritual

manghirap tondi adalah: a. Alat-alat

(59)

3. Daun Pisang 4. Pisau

5. Mangkuk/ cawan/ baskom kecil 6. Cangkir/ gelas

7. Selimut 8. Bantal 9. Paku b. Bahan-bahan :

1. Air Minum 2. Nasi

3. Ikan ( Ihan Batak)

4. Air bersih ( sebagai air untuk mencuci tangan/ air kobokan) Adapun keterangan dari Alat dan Bahan di atas adalah sebagai berikut:

1. Anduri (Tampi)

[image:59.595.216.445.554.725.2]

Yaitu alat yang digunakan sebagai alas atau tempat untuk meletakkan makanan yang telah disajikan. Seperti pada gambar 3.1

(60)

2. Tali Plastik

[image:60.595.191.474.196.332.2]

Yaitu alat yang digunakan untuk mengikatkan tampi di atas pintu tempat melakukan ritual manghirap tondi tersebut.Seperti pada gambar 3.2

Gambar 3.2 Tali Plastik

3. Daun Plastik

Yaitu lat yang digunakan sebagai alas tempat makanan berupa nasi dan ikannya. Seperti pada Gambar 3.3

Gambar. 3.3 Daun Pisang

4. Pisau

[image:60.595.207.457.454.610.2]
(61)

5. Mangkuk/ cawan/ baskom kecil

[image:61.595.150.359.112.252.2]

Yaitu alat yang digunakan sebagai tempat air untuk mencuci tangan. Seperti pada gambar 3.5

Gambar 3.5 Mangkuk/cawan/baskom kecil berisi air

6. Cangkir atau gelas

(62)
[image:62.595.219.442.113.265.2]

Gambar 3.6 Cangkir

7. Selimut

Yaitu selimut yang biasa dipakai oleh orang yang akan dipanggil pulang kembali ke kampung halamannya. Seperti pada gambar 3.7

Gambar 3.7 Selimut

8. Bantal

[image:62.595.247.414.444.566.2]
(63)
[image:63.595.247.414.113.230.2]

Gambar 3.8 Bantal

9. Paku

Yaitu alat yang digunakan untuk menempelkan ikatan tali dengan tampi diatas pintu. Seperti pada gambar 3.9

Gambar 3.9 paku

3.3. Proses Pembuatan Sesajen Manghirap Tondi ke atas Anduri (Tampi) Adapun langkah-langkah yang dilakukan untuk membuat sesajen

[image:63.595.246.415.352.447.2]
(64)

mangkok berisi air bersih sebagai pencuci tangan. Setelah semua rampung maka anduri (tampi) yang sudah berisi sesajen diangkat dan digantung ke atas pintu dapur. Seperti yang terlihat pada gambar berikut ini:

[image:64.595.209.416.359.525.2]

Langkah 1:

Gambar.3.10

(65)
[image:65.595.197.428.109.291.2]

Gambar 3.11

Anduri (tampi) yang sudah diloangi dan sudah diberi ikatan tali pada ke empat sisi anduri (tampi) tersebut.

Langkah 3:

Pembuatan daun pisang di atas anduri (tampi) sebagai alas dari nasi dan ikan yang akan di pakaisebagai sesajennya.

[image:65.595.203.422.463.711.2]
(66)
[image:66.595.165.460.141.363.2]

Langkah 4:

Gambar 3.13

Meletakkan kepalan nasi di atas daun pisang sebanyak 7 kepalan nasi.

Gambar 3.14

[image:66.595.190.434.430.612.2]
(67)
[image:67.595.174.453.110.321.2]

Gambar 3.15

Nasi diberi ikan (ihan Batak) sebagai laukknya.

Gambar 3.16

Langkah 6:

[image:67.595.186.438.390.578.2]
(68)
[image:68.595.195.466.111.317.2]

Gambar 3.17

Langkah 7:

Mengangkat anduri (tampi) yang sudah lengkap dengan sesajennya dan menggantung atau mengikatkannya di atas pintu dapur.

Gambar 3.18

[image:68.595.199.428.453.651.2]
(69)
[image:69.595.238.422.195.399.2]

Untuk melaksanakan proses manghirap tondi yang pertama dilakukan yaitu memegang ikatan anduri (tampi) yang sudah digantungkan di atas pintu dapur seperti pada gambar berikut.

Gambar 3.19

(70)
[image:70.595.212.411.110.378.2]

Gambar 3.20

(71)
[image:71.595.196.428.109.424.2]

Gambar 3.21

3.5 Waktu Pelaksanaan Manghirap Tondi

Dalam melakukan manghirap tondi ini dilaksanakan pada saat sore hari menjelang malam tepatnya pada pukul 06.30 – 07.00. Dilakukan setiap harinya selama 7 (Tujuh) hari 7 malam. Keadaan cuaca tidak terlalu berpengaruh terhadap proses manghirap tondi yang akan dilaksanakan. Proses mangirap tondi ini juga tidak harus menggunakan baju khusus atau peralatan khusus.

(72)

terlebih dahulu dari orang yang berkepentingan sehingga dalam memanggilnya Ibu Rotua sudah mengetahui untuk menyebutkannya dalam doa dan lagunya.

3.6 Alat Musik Yang Digunakan Dalam Ritual Manghirap Tondi

[image:72.595.200.425.303.597.2]

Dalam melaksanakan ritual manghirap tondi alat musik yang digunakan adalah alat musik tradisional batak toba yaitu Sordam Batak Toba seperti pada gambar berikut:

Gambar 3.22

(73)

itu sangatlah penting, yang seharusnya alat musik ini harus dilestarikan. Dan banyak juga masyarakat Batak Toba yang tidak mau tahu tentang kebudayaannya sendiri termasuk alat musik Sordam. Perubahan ini tidak hanya terjadi bagi masyarakat Batak Toba melainkan masyarakat suku lainnya.

Menurut hasil informasi yang penulis dapatkan, Bapak Amasohutihon Situmorang adalah seorang pemain alat musik Sordam. Menurut beliau, Sordam sangat berperan penting dalam upacara ritual/adat. Pada saat dulu, alat musik ini digunakan juga sebagai alat komunikasi antara manusia dan roh. Namun seiring dengan berkembangnya zaman, alat musik ini tidak lagi digunakan dalam upacara adat dikarenakan upacara yang biasa dilakukan, kini tidak lagi dilakukan dan perlahan pula alat musik ini semakin punah. Ini membuat suatu kecurigaan penulis terhadap sordam, yang semakin tidak dikenal masyarakat khususnya masyarakat Batak Toba. Sordam (long flute) adalah sejenis instrument tiup bambu

Batak Toba yang lain dengan spesifikasi end blown flute dimana lobang tiupan ada pada ujung badan instrumen yang memiliki 4 (empat) buah lobang nada dengan meletakkan bibir pada ujung bambu secara diagonal. Dalam klasifikasi alat musik oleh Curt Sachs dan Hornbostel, instrumen ini tergolong kepada jenis

aerophone. Ditinjau dari aspek penggunaannya, awalnya Sordam hanya tergolong kepada sejenis solo instrumen atau instrumen tunggal yang biasa dipakai oleh seseorang sebagai media hiburan untuk mengungkapkan perasaan kesedihannya

(mengandung).

(74)

yaitu sordam Batak Toba. Adapun nada-nada yang digunakan yaitu sesuai dengan nada dari lagu atau andung-andung manghirap tondi tersebut. Berikut adalah penjelasan dari sordam yang digunakan, yaitu sordam memiliki 4 (empat) lobang dibagian depan dan 1 (satu) lobang dibagian belakang serti terlihat pada gambar berikut:

[image:74.595.250.411.278.458.2]

a. Sordam bagian depan

Gambar 3.23 Dokumentasi Dany Pardede

b. Sordam bagian belakang

[image:74.595.235.391.521.684.2]
(75)
[image:75.595.195.429.193.413.2]

Adapun tehnik memainkan sordam yang dilakukan oleh Bapak Amasohutihon Situmorang dan Josua Siagian adalah seperti pada gambar di bawah ini:

Gambar 3.25

Gambar: Tehnik Tiupan Bpk. Amasohutihon Situmorang

[image:75.595.244.453.481.714.2]
(76)

BAB IV

KAJIAN TEKSTUAL DAN MUSIKAL MANGHIRAP TONDI

4.1 Kajian Tekstual Manghirap Tondi

Di dalam kajian tekstual dari manghirap tondi penulis menggunakan teori semiotika yang bertujuan menjelaskan isi daripada teks manghirap tondi. Seperti yang telah disebutkan dalam BAB I bahwa Semiotika adalah studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya, dan penerimaannya oleh mereka yang mempergunakannya. Semiotika dan teori komunikasi adalah dua hal yang sangat mirip sehingga sering disebut sebagai semiotika komunikasi. Komunikasi terjadi dengan perantaraan tanda-tanda dengan mengemukakan sesuatu (representamen)

berdasarkan makna denotatum, designatum atau makna yang ditunjuknya. Dalam melakukan analisis semiotika, pembahasannya antara lain mencakup pada hal-hal yang berkaitan dengan: semiotika binatang (zoosemiotics); paralinguistik

(paralinguistics); bahasa alam (natural language); komunikasi visual

(77)

4.1.1 Isi Teks

Jika dilihat dari makna dan struktur teks yang tertera diatas, penulis meyakini bahwa ada beberapa pesan yang terkandung didalamnya. Mulai dari lamanya tidak bertemu: Teks di atas menceritakan tentang bagaimana penyaji mengungkapkan isi hatinya kepada seorang yang akan dihirap (dipanggil) pulang. Dia terus menerus memanggil nama seseorang yang mau di hirap (dipanggil) dengan nada yang mengerutu dan dalam suasana kesedihan yang mendalam. Dia menunjukkan kalau dia berharap seseorang tersebut pulang ke kampung halamannya dan bertemu dengan keluarganya. Dia juga tidak pernah berhenti menawarkan segala makanan keseharian seseorang itu begitu juga dengan selimut dan bantal pada saat seseorang yang mau dihirap (dipanggil) tinggal di kampung.

4.1.2 Makna Teks

(78)

digunakan kata “Sibuan Beu”. Pada saat melaksanakan ritual ini Ibu Rotua akan memanggil seorang anak perempuan seperti pada nyanyian atau lirik andung-andung berikut ini...makna pertama yaitu sebuah harapan dari orangtua dari anak yang akan dipanggilanya.. ”Boru inang sibuan beu idia do dainang tondiku..., nga loja au paihut-ihut dainang sojumpangan i, paboa ma anggi sinuan beuku didia

do dainang”. Anakku...putri kesayanganku dimanakah engkau berada.., ibumu sudah lelah mencari dan mengikutimu namun tak kunjung ketemu, beritahulah ibumu anakku sayang dimana engkau berada.

Berikutnya ada juga harapan orang tua agar putrinya kembali ke kampung halamannya:..”Ro ma dainang hasian, Ro ma dainang tondiku. Ingot dainang ma indahan dohot panginuman mon asa allang dainang, modom ma dainang

dilage-lage podomanmon, ondo bantalmu, on do gobarmu, modom ma dainang..modom

ma dainang. Maknanya yaitu “Datanglah putriku sayang, datanglah sayangku. Ingatlah nasi dan minumanmu lalu makanlah itu anakku, tidurlah putriku sayang di tempat tidurmu, ini bantalmu dan ini selimutmu, tidurlah anakku, tidurlah anakku sayang”.

4.1.3 Pemilihan Teks

(79)

1. Sibuan Tunas yaitu sebutan untuk anak laki-laki 2. Sibuan Beu yaitu sebutan untuk anak perempuan

4.2 Kajian Musikal Andung-Andung Manghirap Tondi

Penulis berpedoman pada teori yang dikemukakan oleh William P.Malm (1977:3) yang dikenal dengan teori weighted scale. Dimana dikatakan bahwa hal-hal yang harus diperhatikan dalam pendeskripsian melodi, adalah: tangga nada

(scale), nada dasar (pitch center), wilayah nada (range), jumlah nada (frequency of note), jumlah interval, pola kadensa, formula melodi (melody formula), dan kontur (contour).

Simbol Nada Notasi

1. Garis paranada yang memiliki lima buah garis paranada dan empat buah spasi dengan tanda kunci G.

2. Simbol yang menyatakan freemeter.

3. Terdiri atas empat buah not 1/16 yang digabung menjadi seperempat ketuk 4. Terdiri atas dua buah not 1/16 yang digabung menjadi seperempat ketuk 5. Tanda istirahat (rest) ½ yang bernilai dua ketuk

(80)

4.2.1 Tangga Nada (Scale)

Dalam pendeskripsian tangga nada, penulis membuat urutan-urutan dari nada-nada yang terdapat dalam melodi nyanyian tersebut dimulai dari nada yang terendah sampai nada yang tertinggi.

4.2.2 Nada Dasar (pitch center)

Gambar

Gambar 3.1 Anduri (Tampi)
Gambar. 3.3 Daun Pisang
Gambar 3.5 Mangkuk/cawan/baskom kecil berisi air
Gambar 3.6 Cangkir
+7

Referensi

Dokumen terkait