• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masjid Pathok Negoro Plosokuning 1724-2014 (Kajian Sejarah Arsitektur Jawa)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Masjid Pathok Negoro Plosokuning 1724-2014 (Kajian Sejarah Arsitektur Jawa)"

Copied!
110
0
0

Teks penuh

(1)

MASJID PATHOK NEGORO PLOSOKUNING 1724-2014

(KAJIAN SEJARAH ARSITEKTUR JAWA)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)

Disusun Oleh :

JOHAN EKO PRASETYO

1110022000004

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)

LEMBAR PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa :

1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli dari saya sendiri yang diajukan untuk memenuhi syarat dalam memperoleh gelar Sarjana, jenjang Strata Satu (S1) di Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan jiplakan karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Ciputat, 10 Oktober 2016

(3)

MASJID PATHOK NEGORO PLOSOKUNING 1724-2014

(KAJIAN SEJARAH ARSITEKTUR JAWA)

Skripsi

Diajukan kepada Fakultas Adab Dan Humaniora untuk Memenuhi Persyaratan

Memperoleh Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)

Oleh:

Johan Eko Prasetyo NIM: 1110022000004

Pembimbing

Prof. Dr. Budi Sulistiono, M. Hum NIP: 19541010 198803 1 001

PROGRAM STUDI SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(4)
(5)

DEDIKASI

(6)

ii

UCAPAN TERIMA KASIH

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah puji syukur kepada Allah SWT yang selalu melimpahkan kasih dan sayang-Nya, semoga rahmat dan hidayah-Nya selalu tercurah kepada kita semua, amin. Shalawat serta salam senantiasa kita persembahkan kepada junjungan alam baginda Rasulullah SAW, keluarga serta sahabat, semoga kita sebagai ummatnya mendapat pertolongannya kelak, amin.

Sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi dan mencapai gelar Strata Satu (S1) di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah adalah membuat karya tulis ilmiah dalam bentuk skripsi. Dalam rangka itulah penulis menyusun skripsi ini dengan judul :“MASJID PATHOK NEGORO PLOSOKUNING 1724-2014 (KAJIAN SEJARAH ARSITEKTUR JAWA).

Dalam proses penyusunan skripsi ini, begitu banyak penulis temui rintangan dan hambatan. Sungguh pun begitu Alhamdulillah atas kerja keras semangat dan dukungan dari semua pihak akhirnya skripsi ini dapat penulis selesaikan dengan baik. Oleh karena itu izinkan penulis untuk menghaturkan ucapan terima kasih serta penghargaan kepada semua pihak yang telah berpartisipasi dan memberikan dukungan moril dan materil, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas akhir ini tanpa kendala yang berarti.

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Prof. Dr. Sukron Kamil, MA, selaku Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Syarif pengesahan awal dan dorongan awal penelitian skripsi ini

5. Kepada Dosen Pembimbing Prof. Dr. Budi Sulistiono, M. Hum yang dengan sabar dan penuh dedikasi tinggi selalu membimbing penulis dalam menyelesaikan materi skripsi ini.

6. Kepada Dosen Penguji, Bapak Dr. Parlindungan Siregar, MA dan Ibu Dr. Awalia Rahma, MA

7. Kepada seluruh Civitas Akademik Fakultas Adab Dan Humaniora dan dosen-dosen jurusan Sejarah Dan Peradaban Islam yang memberikan sumbangsih ilmu dan pengalamannya.

8. Seluruh Staff dan Pegawai Fakultas Adab Dan Humaniora UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

(7)

telah mendidik penulis untuk terus menjadi pribadi yang tangguh dan bermanfaat, serta adikku Dwi Wulandari.

10.Kepada Bapak Kammaludin Purnomo, selaku Ketua Takmir Masjid Pathok Negoro Plosokuning dan Mbah Baghowi, yang telah membantu penulis selama meneliti di Masjid Plosokuning.

11.Kepada Mas Reyhan Biadillah S. Hum, yang telah banyak sekali membantu penulis dalam menyelesaikann skripsi ini.

12.Ketua Umum HMI Cabang Ciputat, Dani Ramdani dan kawan seperjuangan di bidang PTKP HMI Cabang Ciputat, Alwan Nahrowi Ridwan.

13.Kepada Kawan-kawan “Kosan Sarang Penyamun”. Beng-beng, Kibo, Botles, Ncek, Acin, Opang, Abong, dan Onye.

14.Kepada kawan-kawan SKI 2010, khususnya Hanafi Wibowo, Endi Aulia Garadian, Dede Mulyana, Sukron Amin, Firman Faturohman, Ahmad Zaien, Oktariadi, dan M. Rahmat Hidayat. Pengurus HMI Cabang Ciputat, Keluarga Besar HMI Kofah, Pengurus BEM FAH 2013-2014, Kawan-kawan LK II HMI Cabang Karawang, Kawan-Kawan Cikal-Cilandak, Kawan-Kawan KMS UIN Jogja ( Mas Cipto, Mas Bashori, Mas Rizal, Mas Nuruddin, dan Mas Ahmadi), Kawan-kawan KKN Mentari, beserta Kawan-kawan KPU UIN Jakarta 2014, dan Abang-abangku di SKI, khusunya Bang Dede Maulana dan HMI Kofah. Mereka semua adalah yang tak hentinya memberikan dukungan, semangat, do’a dan tawa sehingga penulis mampu menyelesaikan skripsi ini dalam hangatnya ikatan keluarga. Dan teruntuk “Basement Fakultas Adab dan Humaniora”, tempat dimana penulis Jumpa Muka, Jumpa Pikiran, dan Jiwa.

Penyusunan skripsi ini, penulis selalu memahami bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan. Semoga tulisan ini bias memberikan manfaat kepada siapa saja yang menjadikan ini sebagai bahan bacaan mereka dan dapat menjadikan tulisan ini sebagai referensi.

Jakarta, 10 Oktober 2016

Penulis

(8)

iv

ABSTRAK

Johan Eko Prasetyo

Masjid Pathok Negoro Plosokuning 1724-2014 (Kajian Sejarah Arsitektur Jawa)

Kerajaan Mataram, yang telah mengalami berbagai macam peristiwa disintegrasi dan perebutan kekuasaan, pada tahun 1755 terbagi menjadi dua, yaitu Yogyakarta dan Surakarta. Maka dengan sendirinya daerah-daerah bekas Mataram beserta desa-desa yang ada di dalamnya, juga ikut terbagi. Perebutan kekuasaan antar kerajaan juga terjadi di bidang religius dan sosial yang mana saling berlomba untuk mendapatkan pengaruh. Hal ini pun terjadi saat Perang Jawa berlangsung ketika Pangeran Diponegoro dan pengikutnya menjadikan daerah-daerah tersebut yang sebagai basis perlawanan dan mobilisasi rakyat, salah satunya adalah Masjid Pathok Negoro Plosokuning. Pada wilayah Kesultanan Yogyakarta, terdapat lima Masjid Pathok Negoro, yaitu Mlangi di barat daya, Plosokuning di utara, Babadan di timur, Wonokromo di tenggara dan Dongkelan di selatan Kraton Yogyakarta, yang dikenal sebagai konsep papat kalimo pancer.

Masjid Pathok Negoro Plosokuning didirikan pada tahun 1724, adalah salah satu masjid yang menjadi benteng dan pusat kajian religius bagi rakyat Yogyakarta. Aspek arsitektur maupun hubungan koordinatif, selalu berhubungan dengan pihak Kraton Yogyakarta. Keunikan-keunikan yang terdapat di masjid ini tidak dipunyai oleh Masjid-masjid Pathok Negoro lainnya, terutama dari sisi keaslian arsitektur nya meskipun masih dalam satu jaringan Masjid Pathok Negoro Yogyakarta. Pada pendirian konstruksi bangunan masjid, memakai kaidah dan prinsip arsitektur khas Jawa, merujuk pada Masjid Agung Demak yang beratap susun tiga. Masyarakat di sekitar masjid juga selalu dikenal dengan nama kaum (santri), dengan penetapan oleh pihak kraton sebagai sebuah daerah mutihan yang bersifat perdikan pada status tanahnya.

(9)

DAFTAR ISI

B. Kerangka Tujuan dan Pembatasan Masalah ... 6

C. Manfaat Penelitian ... 7

B. Sejarah Singkat Berdirinya Masjid Pathok Negoro Plosokuning ... 22

C. Kondisi Agama ... 26

D. Kondisi Sosial-Budaya 31

BAB III KONSTRUKSI ARSITEKTUR ... 36

A. Tata Peletakan Struktur Masjid ... 36

1. Bagian Dalam 36

 Serambi Bagian Utara dan Selatan ... 39

Pawestren ... 40

B.Kolam ... 40

C.Jembatan Penyebrangan ... 40

D.Halaman 41

E.Makam ... 41

B. Komposisi Struktur Masjid ... 42

(10)

vi

A.Mihrab ... 46

B.Ruang Shalat ... 46

C.Mimbar ... 48

2. Bagian Luar ... 49

A.Serambi ... 49

B.Pawestren ... 51

C.Kolam ... 51

D.Jembatan Penyeberangan ...53

E.Halaman ...54

F. Makam ...55

C. Teknik Konstruksi Masjid ………... ...55

D. Fungsi Bagian-bagian Dalam Struktur Masjid ... 57

1. Bagian Dalam 58

2. Bagian Luar ... 58

BAB IV PERWUJUDAN SIMBOLIK MASJID PATHOKNEGORO PLOSOKUNING ..64

A. Status Masjid di Kesultanan Yogyakarta ... 64

1. Status Tanah ... 65

2. Status Administrasi ... 67

B. Makna Simbolik Masjid Pathok Negoro Plosokuning ... 70

1. Politik ... 71

2. Budaya ... 74

C. Masjid Sebagai Simbol Sosio Religius 76

BAB V PENUTUP...78

A. Kesimpulan ... 78

B. Saran-saran 80

DAFTAR PUSTAKA………...82

(11)

DAFTAR ISTILAH

Pawestren : tempat solat untuk kaum perempuan

Soko Guru : tiang penyangga utama, biasanya berjumlah 4 (empat)

Soko Rowo : tiang penyangga tambahan

Palihan Nagari : pembagian negara

Nagaragung : daerah yang ada di sekitar kutagara, dan memuat tanah lungguh

para bangsawan dan pejabat tinggi

Kepengulon : dewan pengurus masalah agama

Perdikan : tanah yang tidak dikenakan pajak, atas titah sultan

Mutihan : daerah atau wilayah khusus untuk pendidikan Islam

Kaum : kaum santri yang belajar dan mengembangkan agama Islam

Papat Kalimo Pancer : kekuasaan sultan di empat penjuru mata angin, dengan kraton

sebagai pusatnya.

Paduraksa : pintu masuk ke sebuah lingkungan khusus seperti: masjid, makam

atau kraton.

Penyengker : pagar pembatas keliling masjid.

Kreweng : genteng tipis yang terbuat dari tanah liat yang dibakar

Tegel : lantai yang terbuat dari batu atau ubin halus atau keramik

Umpak : batu penyangga yang terbuat dari batu granit atau pualam

Gadha Sulur : ujung atap masjid

Joglo Meru : joglo yang menyerupai bentuk gunung

Patih Jawi : wakil raja yang mengurusi keadaan luar kraton

Patih Lebet : wakil raja yang mengurusi rumah tangga kraton

Wedana Jawi : pejabat administrasi setingkat kecamatan, yang mengurusi

(12)
(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Kerajaan Mataram adalah sebuah kerajaan terbesar di pulau Jawa

pada rentang abad ke-17 hingga dekade awal abad ke-18. Setelah wafatnya

Sultan Agung dan Amangkurat I, Kerajaan Mataram kehilangan

kedigdayaannya. Hal ini diperparah dengan banyaknya wilayah Kerajaan

Mataram Islam yang terpecah-pecah dan jatuh ke tangan VOC.

Semenjak pemberontakan yang dilakukan oleh Trunojoyo

(1676-1678 M.)1. Kerajaan Mataram Islam selalu dilanda gejolak, misalnya saja mulai dari pemberontakan Untung Surapati (1680-1710 M.)2 hingga Geger Pecinan (1740-1743 M.)3. VOC yang menjadi tulang punggung tahta

Mataram, menjadi sasaran permusuhan para bangsawan yang tidak puas

ataupun dari kaum pemberontak saat itu. Sebelum tahun 1746 M., tahta

Kerajaan Mataram di Kartasura (ibukota Mataram) dipegang oleh

Pakubuwono II, namun sikap yang kurang tegas menjadikannya raja yang

terlihat lemah di mata rakyatnya.

Kerajaan Mataram terus mengalami masa disintegrasi dan terjadi

perebutan oleh para bangsawan. Setiap raja yang naik tahta selalu didukung

oleh VOC dengan konsesi yang sangat memberatkan kerajaan, oleh karena

1 Babad Trunojoyo-Suropati, terj. Balai Pustaka, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987), hlm.

53.

2 H.J. De Graaf, Terbunuhnya Kapten Tack, Kemelut di Kartasura Abad XVII,

terj.Pustaka Utama Grafiti dan KITLV, (Jakarta: Pustaka Utama Grafiti, 1989), hlm. 105.

3 W.G.J Remmelink, Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa, 1725-1743, terj.

(14)

2

itu banyak bangsawan yang angkat senjata melawan keadaan tersebut. Pada

tahun 1746 M, ibukota Mataram dipindah dari Kartasura Surakarta oleh

Pakubuwono II. Selepas wafatnya Pakubuwono II pada tahun 1749 M.,

keadaan di dalam istana Surakarta sudah sedemikian genting, ditandai dengan

polarisasi perlawanan di bawah pimpinan Pangeran Mangkubumi dan Raden

Mas Said. Perang tersebut berakhir dengan kesepakatan pembagian Mataram

(Palihan Nagari) dalam perjanjian Giyanti 1755 M.4 Konflik yang terjadi belum berakhir antara Pangeran Mangkubumi yang sekarang bergelar Sultan

Hamengkubuwono I dengan Raden Mas Said dan VOC. Setelah berperang

cukup lama, akhirnya Raden Mas Said diberikan sebuah kerajaan mandiri

oleh VOC dalam perjanjian Salatiga 1757 M, dengan gelar Pangeran Adipati

Mangkunegara.5

Setelah berakhirnya perjanjian itu, wilayah Mataram terbagi tiga

menjadi Surakarta, Yogyakarta dan Mangkunegara. Sementara untuk

wilayah pesisir mulai dari Tegal, Semarang, Surabaya hingga Pasuruan,

menjadi milik dan di bawah pengawasan langsung VOC. Setelah VOC runtuh

dan berganti kekuasaan selingan Inggris dalam Perang Napoleon, Yogyakarta

kemudian dibagi lagi menjadi Kadipaten Pakualam pada perjanjian Tuntang

1811 M.6

Setelah berakhirnya konflik berkepanjangan pada pertengahan abad

ke-18, Yogyakarta terus membenahi dirinya, termasuk mengadakan

4 Anton Satyo Hendriatmo, Giyanti 1775, Perang Perebutan Mahkota III dan Terbaginya Kerajaan Mataram Menjadi Surakarta dan Yogyakarta, (Tangerang: CS Book, 2006), hlm. 138-139.

5 M.C Ricklefs, Yogyakarta di Bawah Sultan Mangkubumi 1749-1792, Sejarah Pembagian Jawa, terj. E. Setyawati Alkathab, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 87.

(15)

pembangunan dan pengembangan wilayah, salah satunya adalah pendirian

Masjid Pathok Negoro, sebagian besar atas prakarsa Sultan

Hamengkubuwono I. Itulah keunikan Kesultanan Yogyakarta yang tidak

dimiliki oleh kerajaan saudaranya yang lain. Masjid Pathok Negoro juga

sebagai suatu tanda batas bagi konsep sistem kewilayahan dan kekuasaan

Sultan yang disebut Negaragung7 yang diri Sultan sendiri yang memerintah

wilayah tersebut.8

Keadaan yang damai dan makmur yang dialami oleh rakyat

Yogyakarta sejak tahun 1755 M berlanjut hingga berlangsungnya Perang

Jawa pada 1825-1830 M. Masjid dan pondok pesantren merupakan basis

massa Islam yang kuat di Jawa, yang menjadi pendukung perjuangan

Pangeran Diponegoro, meskipun Belanda berusaha merebut dan

menghancurkannya dengan membuat jaringan jalan dan benteng dalam

strategi fort stelsel.9 Belanda tidak dapat melakukannya, satu-satunya yang bisa dilakukan adalah, memisahkan dan menghentikan bantuan dari pihak

kraton (Sultan), yang sejak berakhirnya Perang Jawa sudah acuh tak acuh lagi

hingga masa Revolusi Kemerdekaan.10

Pada saat kekuasaan Sultan di bidang keagamaan telah dipisahkan

dari kewenangannya oleh pemerintah Kolonial Belanda, maka Sultan hanya

menjadi simbol saja. Sultan tidak dapat lagi bebas membina aspek keagamaan

7Negara Agung: wilayah di bawah pengawasan langsung sultan /raja.

8 Aminuddin Kasdi, Perlawanan Penguasa Madura Atas Hegemoni Jawa, Relasi Pusat-Daerah Pada Periode Akhir Mataram (1726-1745), (Yogyakarta: Jendela, 2003), hlm. 7.

9

Saleh As'ad Djamhari, Strategi Menjinakkan Diponegoro: Stelsel Benteng 1827-1830, (Depok: Komunitas Bambu, 2008), hlm. 125 dan 148.

10 Muslimin, ‘’Perlawanan Ulama di Yogyakarta dalam Melawan Politik Pendidikan

(16)

4

rakyatnya. Salah satu cara agar Sultan dan pihak keagamaan (kepengulon)

terus berkontribusi dengan memberi dukungan secara langsung, berupa

pemberian status administratif dan penguatan kerohanian keluarganya dengan

mengirim belajar ke pondok pesantren yang menjadi satu dengan masjid,

salah satunya ada di Masjid Pathok Negoro Plosokuning.11

Masjid dan pondok pesantren sebagai pusat kajian agama Islam

adalah daerah bebas pajak sejak zaman Sultan Agung hingga Perjanjian

Giyanti. Meskipun telah terjadi peristiwa pembantaian ulama dan keluarganya

pada masa Amangkurat I. Daerah-daerah tersebut disebut daerah mutihan

dengan sifat tanah perdikan yang bebas pajak, warga di sekitar wilayah itu

disebut kaum, meskipun terdapat ikatan kebangsawanan dan protokoler raja,

namun tidak terikat oleh aturan-aturan kraton yang sangat berbeda dengan

tradisi kaum santri. Masjid juga dibangun dengan konstruksi yang megah,

dengan kolam di sekelilingnya ditambah dengan taman, mengikuti

konsep-konsep konstruksi Masjid Demak.12

Pada wilayah Kesultanan Yogyakarta, terdapat lima buah masjid

yang menjadi penanda batas kekuasaan sultan, sekaligus sebagai benteng

religius rakyat Yogyakarta, dengan sebutan istilah Masjid Pathok Negoro

yaitu Mlangi di barat daya, Plosokuning di utara, Babadan di timur,

Wonokromo di tenggara dan Dongkelan di selatan kraton Yogyakarta.13

11 Muslimin, Perlawanan Ulama di Yogyakarta dalam Melawan Politik Pendidikan Kolonial (1910-1942), hlm. 42

12 Inajati Adrisijanti, Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, (Yogyakarta: Jendela,

2000), hlm. 15.

13 Dharma Gupta, dkk., (ed.), Toponim Kota Yogyakarta, (Yogyakarta: Dinas

(17)

Masjid Pathok Negoro Plosokuning yang didirikan pada tahun

1724, oleh Kyai Mursodo (anak Kyai Nuriman yang mendirikan Masjid

Pathok Negoro Mlangi), juga mengikuti aturan dan konsep arsitektur dari

Masjid Demak, yang terus bertahan hingga saat ini setelah menjadi saksi

berbagai macam peristiwa. Masjid ini juga mengikuti konsep tata negara dan

kota yang dikenal sebagai konsep kekuasaan dan kewilayahan yang disebut

papat kalimo pancer dengan raja sebagai pusatnya, konsep jaringan ini sangat

berbeda dari Kasunanan Surakarta.14

Penelitian ini dianggap menarik dan unik, karena hal ini adalah

sebuah kajian sejarah arsitektur dari sebuah Masjid Pathok Negoro, yang

hanya ada di Kesultanan Yogyakarta. Hal tersebut dianggap sebagai indikator

perubahan, baik politik maupun budaya, bagi legitimasi kekuasaan dari salah

satu Kerajaan Jawa yaitu Kesultanan Yogyakarta. Ditemukannya

kesatuan-kesatuan ideologis dan simbolis, dalam kekuasaan religius raja yang jarang

dipandang para sejarawan, sebagai suatu kajian sejarah kebudayaan yang

komprehensif dan utuh dalam memahami perubahan, dan dampaknya bagi

sosio-kultural dari sebuah karya seni berupa arsitektur masjid dalam kurun

waktu tertentu.

Dengan mencermati latar belakang di atas, ada beberapa

permasalahan yang muncul antara lain :

1. Kenapa didirikan Masjid Pathok Negoro Plosokuning?

2. Apa yang menjadi keunikan dari Masjid Pathok Negoro

Plosokuning?

(18)

6

3. Bagaimana kondisi arsitektur Masjid Pathok Negoro

Plosokuning?

4. Apa yang menyebabkan Masjid Pathok Negoro Plosokuning

masih mempertahankan bentuk aslinya?

5. Kenapa Masjid Pathok Negoro Plosokuning mendapat status

Masjid Pathok Negoro?

6. Apa fungsi berdirinya Masjid Pathok Negoro Plosokuning bagi

masyarakat?

B. 1. Kerangka Tujuan

Adapun tujuan studi ini adalah:

1. Ingin menjelaskan didirikannya Masjid Pathok Negoro

Plosokuning.

2. Ingin mengetahui bentuk konstruksi arsitektur masjid dari awal

sampai sekarang.

3. Ingin mengetahui fungsi berdirinya masjid bagi masyarakat

sekitar.

2. Pembatasan Masalah

Sesuai dengan tema studi yang penulis pilih, dirasa perlu memberikan

batasan masalah terlebih dahulu agar tujuan yang dicapai lebih terarah,

diantaranya:

1. Didirikannya Masjid Pathok Negoro Plosokuning.

2. Kondisi konstruksi arsitektur masjid dari awal berdiri sampai

sekarang.

(19)

C. Manfaat Penelitian

Penulis berharap hasil penelitian ini dapat melengkapi studi-studi yang

sudah ada, terutama terkait dengan sejarah arsitektur. Artinya, skripsi ini bisa

menjadi rujukan bagi akademisi yang ingin mengambil kajian tentang

benda-benda cagar budaya, khususnya masjid dan budaya Jawa pada umumnya.

Sebagai pemacu sejarawan muslim khususnya dan generasi muda

pada umumnya, yang akan meneliti tentang Sejarah Islam Lokal Indonesia,

terutama yang terkait dengan benda-benda cagar budaya, seperti masjid baik

dari segi arsitektur maupun dari segi budaya Jawa.

D. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode

penelitian sejarah, dengan menggunakan pendekatan bersifat deskriptif

analisis. Metode historis merupakan proses menguji dan menganalisa secara

kritis rekaman dan peninggalan masa lampau.15 Sejarawan Indonesia yang bernama Sartono Kartodirjo menyatakan bahwa terjadinya peristiwa sejarah

dilatarbelakangi beberapa faktor penyebab, jadi ada banyak aspek yang perlu

dilihat mengapa suatu peristiwa itu terjadi.16

Penulis menggunakan pendekatan ilmu sejarah digunakan untuk

memaparkan tiap proses dalam peristiwa sejarah berdasarkan kronologis

waktu. Selain itu, pada penelitian ini juga menggunakan pendekatan arkeologi

dan sosio-antropologi. Pendekatan arkeologi digunakan untuk memahami

15Louis Gottschalk, Mengerti Sejarah. Terj: Nugroho Notosusanto (Jakarta: UI

Press, 1983), hlm. 32.

16 Sartono Kartodirjo, Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodelogi Sejarah, (Jakarta:

(20)

8

segala hal yang berhubungan dengan fisik masjid, terutama masalah struktur

bangunan beserta maknanya. Pada pendekatan ini (arkeologi) perspektif

budaya merupakan sarana untuk melihat bentuk fisik, yang diperlihatkan pada

sebuah hasil karya masyarakat dalam tradisi Jawa,17 yaitu masjid.

Sedangkan pendekatan sosio-antropologi digunakan sebagai acuan

pandangan tentang bagaimana alam pikiran penguasa dan rakyat Jawa pada

masa itu dan bagaimana perkembangan peradabannya, akan sebuah bangunan

fisik religius sebagai bagian dari perikehidupan dan tranformasi rakyat Jawa,

seperti hal masalah tata busana, arsitektur, etiket dan lain-lain.18

Masjid Pathok Negoro berasal dari dua bahasa dan tiga akar kata

yang berbeda, kata masjid berasal dari akar kata bahasa Arab. Kata dasar

masjid berasal dari kata kerjasajada yang berarti bersujud dan menyembah

kepada Allah atau Tuhan Semesta Alam, yang mana akar kata tersebut

mengalami perubahan makna dan pengucapan kata dalam ilmu sintaksis

bahasa Arab (ilmu sharaf) menjadi kata benda atau ism makaan atau

penetapan tempat. Sehingga, kata sajada berubah menjadi kata masjid yang

berarti “tempat bersujud” atau “menyembah Allah”.19 Kata masjid merujuk

pada penyebutan tempat ibadah bagi umat Islam. Dalam Bahasa Indonesia

kata masjid ini dicerap begitu saja tanpa adanya perubahan-perubahan berarti

dalam penyebutan maupun penulisan kata masjid.20

17 Handinoto, Arsitektur dan Kota-kota di Jawa Pada Masa Kolonial, (Yogyakarta:

Graha Ilmu, 2010), hlm. 110.

18 Jakob Sumardjo, Arkeologi Budaya Indonesia, Pelacakan Hermeneutis-Historis Terhadap Artefak-artefak Kebudayaan Indonesia, (Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002), hlm. 66.

19 A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Pustaka

Progresif, 1984), hlm. 650

(21)

Adapun kata Pathok Negoro berasal dari dua kata bahasa Jawa,

yaitu Pathok dan Negoro. Pathok mempunyai beragam makna,21 namun

mempunyai satu tujuan makna kata khusus yaitu, “sebuah tanda yang

ditancapkan atau didirikan, baik berupa tanda yang terbuat dari kayu (tongkat

atau tanaman tertentu), batu ataupun bangunan fisik lainnya, yang

dimaksudkan sebagai batas dari sebuah kekuasaan tertentu baik individu

maupun kolektif.” Sedangkan kata Negoro, atau dalam bahasa Jawa halus

(inggil) nagari, memiliki arti kekuasaan negara yang dipimpin oleh seorang

raja dengan sistem tertentu.22

Sebuah hasil kebudayaan tentu berasal dari olah rasa, karya dan

karsa. Menurut Koentjaraningrat yang dikutip dari J.J Hoenigman proses

kehidupan memunculkan tiga gejala kebudayaan, yaitu: (1) ideas, (2)

activities (3) artifact. Prinsip pokok dari kebudayaan di dunia menurutnya

pula ada tujuh, yaitu bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem

peralatan hidup, sistem mata pencaharian hidup, sistem religi dan kesenian.23

Masjid Pathok Negoro Plosokuning di sini berada dalam tataran sistem religi

dan kesenian.

Pada masa Rasulullah masjid tidak ditentukan bentuk dan

bahannya, prinsipnya hanya satu, yaitu bagaimana masjid tersebut berfungsi

sebagai tempat ibadah maupun pusat sosialisasi umat. Bahkan jika ada masjid

yang fungsinya tidak dimaksudkan untuk itu, Allah memerintahkan kepada

21 Dharma Gupta, dkk., (ed.), Toponim Kota Yogyakarta, (Yogyakarta: Dinas

Pariwisata, seni dan Budaya Kota Yogyakarta, 2007), hlm. 44.

22 P. M. Zoetmulder, Kamus Jawa Kuno-Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1987),

hlm. 215.

23 Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, (Jakarta: Rineka Cipta, 1990), hlm.

(22)

10

Rasulullah SAW untuk menghancurkannya. Atas dasar keadaan itulah, maka

ajaran Islam memang tidak menetapkan ketentuan konstruksi arsitektur

bangunan masjid harus berbentuk seperti apa.

Islam yang datang dan menyebar ke sebuah wilayah baru,

kemudian berasimilasi dan menyerap kebudayaan yang telah ada, untuk

menjadi kebudayaan Islam. Keadaan asimilasi dan penyerapan kebudayaan

oleh Islam disebut sinkretisme, tanpa mengubah dasar-dasar dari ajaran

agama maupun kebudayaan yang ada, bahkan Islam semakin mewarnai

jalannya sebuah kebudayaan, contohnya kebudayaan Jawa. Oleh karena

itulah, etnis dan kebudayaan apapun bebas membangun kostruksi masjid

dengan gaya arsitektur apapun, asal fungsi utamanya tidak melenceng dari

syariat Islam. Itulah yang dicontohkan oleh para Walisongo pada masa lalu

dalam membangun masjid agung Demak. Model arsitektur masjid Demak

adalah acuan bangunan masjid berarsitektur gaya Jawa. Prinsip konstruksi

bangunan tidak ditentukan dalam ajaran Islam, namun prinsip konstruksi

arsitektur telah ada dalam kebudayaan Jawa, baik penentuan tempat dan

penentuan waktu pembangunannya maupun penentuan bentuk, semua telah

ada pada aturan dalam kebudayaan Jawa. Islam hanya melengkapi saja

dengan prinsip-prinsip ajarannya seperti kebersihan, keamanan dan upaya

pendekatan diri pada Yang Maha Kuasa.24 Arsitektur mempunyai tiga bagian

prinsip, pertama, berkaitan dengan fungsi, kedua, berkaitan dengan bentuk

dan ketiga berkaitan dengan tata letak.

24 Nurcholis Madjid, Konteks Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam (Jakarta:

(23)

Teori yang digunakan dalam penelitian ini merujuk pada Yu Hien

Hsieh,25 yang mengatakan bahwa, “sebuah bangunan pasti didirikan dengan maksud-maksud tertentu, baik fungsi maupun bentuk.” Posisi dan waktu pembangunan semua diatur sedemikian rupa, dengan segala perangkat yang

ada di dalamnya. Ada empat fungsi utama Masjid Pathok Negoro; pertama,

fungsi religius, sebagai tempat ibadah dan tempat belajar-mengajar agama,

kedua, fungsi geografis dalam bentuk teritorial sebuah wilayah kerajaan,

ketiga, fungsi sosial dalam bentuk interaksi antar personal, terakhir, yang

sekarang mungkin sudah tidak ada lagi, yaitu fungsi militer26, yang digunakan untuk mobilisasi rakyat untuk berperang dan menggalang kekuatan. Sejak

didirikan pertama kali di tahun 1724 M, fungsi-fungsi tersebut tetap ada,

kecuali fungsi militer. Mungkin sekali fungsi militer berubah menjadi fungsi

ekonomis seiring berjalannya waktu. sebab sebagian besar penduduk wilayah

di sekitar masjid tersebut adalah para pengusaha dan pekerja wiraswasta yang

kuat etos kerjanya.

Prinsip bentuk gaya arsitektur masjid Jawa setidaknya ada tiga

pendapat, yang kesemuanya mengerucut pada pola penetapan ruang, bentuk

dan aspek pengaruh gaya yang diterapkan pada sebuah masjid berarsitektur

Jawa. Adapun pendapat-pendapat tersebut berasal dari: G.F Pijper,27

Handinoto28 dan Abdul Rochym.29

25 Alvin L. Bertrand, Sosiologi, Kerangka Acuan, Metode Penelitian, Teori-teori Tentang Sosialisasi, Kepribadian dan Kebudayaan, terj. Sanapidh S. Faisal, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1980), 26-28.

26 Fungsi militer dipergunakan pada masa Perang Jawa (1825-1830) dan pada saat

revolusi fisik (1945-1949)

27 G. F Pijper, Beberapa Studi Tentang Sejarah Islam Di Indonesia, 1900-1950,

(24)

12

Menurut G.F Pijper, denah dan bentuk dasar masjid berarsitektur

Jawa mirip seperti kompleks candi Hindu Jawa, terutama kompleks candi

Plaosan Lor. Hal tersebut ingin dibuktikan oleh G.F Pijper dengan

menyamakan denah penempatan candi perwara30 yang mengelilingi candi

utama. Jika hal tersebut disamakan dengan masjid, maka candi perwara

adalah bagian di luar masjid, sedangkan candi induknya adalah bagian utama

masjid.

Menurut G.F Pijper, arsitektur masjid bergaya Jawa mempunyai

bentuk enam karakter umum, yang tidak terdapat pada masjid di daerah

lainnya di luar kebudayaan Jawa, yaitu:

1. Berbentuk bujursangkar.

2. Lantainya langsung berada di tanah, tidak dibuat seperti lantai panggung.

3. Memiliki atap tumpang.

4. Mempunyai serambi.

5. Memiliki halaman yang dibatasi oleh pagar dan kolam, biasanya pintu

masuknya berada di bagian timur.

6. Memiliki ruang tambahan berupa mihrab di bagian barat masjid.

Handinoto hampir sependapat dengan G.F Pijper dengan

kesepakatan atas denah masjid berarsitektur Jawa. Handinoto kemudian lebih

dalam tulisannya, “On The Origins of the Javanese Mosque” dalam, The Newsletter Vol. 72, 2015.

28 Tulisan makalah tentang arsitektural masjid bergaya Jawa oleh Handinoto dan

Samuel Hartono, “Pengaruh Pertukangan Cina Pada Bangunan Mesjid Kuno Di Jawa Abad 15-16” dalam, Dimensi Teknik Arsitektur Vol.35, No. 1, Juli 2007.

29 Abdul Rochym, Mesjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia,

(Bandung Angkasa, 1983).

30 Candi Perwara adalah candi pelengkap atau pendamping yang mengelilingi

(25)

menyoroti bentuk arsitektur masjid Jawa, dengan penekanan bahwa masjid

berarsitektur Jawa terdapat prinsip-prinsip tertentu soal bentuknya.

Improvisasi dan inovasi orang-orang Jawa dalam mewujudkan

kebudayaannya pada bidang arsitektur masjid, menurutnya pula dapat dilihat

pada bentuk atap, tata letak dan prinsip konstruksinya. Untuk bagian

pawestren itu hanya wujud ajaran tentang penghargaan kepada kaum Hawa

yang ingin berjama’ah di masjid, sebab itu hanya bagian yang khusus

difungsikan untuk kaum Hawa.

Adapun menurut Abdul Rochym arsitektur masjid bergaya Jawa

dapat dengan mudah dilihat dan ditentukan bentuk serta denahnya. Masjid

berarsitektur Jawa tidak mengalami perubahan gaya dan prinsip selama

berabad-abad sejak masa Demak, perubahannya hanya pada masalah bahan,

karena ada beberapa bahan yang mudah rusak. Hampir sama seperti pendapat

G.F Pijper, menurut Abdul Rochym, masjid-masjid di Indonesia pada

prinsipnya berbentuk bujursangkar untuk meratakan shaf dalam sholat,

mempunyai bagian khusus seperti mihrab dan mimbar. Keunikan masjid

berarsitektur bergaya Jawa menurutnya mempunyai keunikan yang khusus,

terutama adanya bagian seperti kolam dan kompleks makam dalam satu

lingkungan masjid.

Konsep bangunan di belahan Dunia Timur, secara epistimologis,

sangat berbeda dengan konsep bangunan di belahan Dunia Barat. Pada

konsep bangunan Dunia Timur, konsep ornamental sangat ditonjolkan,

dibanding konsep fungsional Dunia Barat. Konsep privacy dalam penggunaan

(26)

14

kebersamaan (common) pada penggunaan ruang di Dunia Timur, lebih-lebih

masalah estetika yang sangat jarang diperhatikan oleh konsep arsitektur di

Dunia Barat.

Konsep bangunan di Dunia Timur selalu memaksa orang untuk

menyesuaikan diri, untuk membentuk perilaku pribadi dan sosial, contohnya

sikap seseorang ketika berada dalam kompleks peribadatan, yang disesuaikan

dengan adat setempat.31 Untuk mencegah terjadinya gangguan kekhusukan

dalam sholat, maka aspek ornamental yang biasa ditemukan di arsitektur

Dunia Timur, di Masjid agung Kraton dan Masjid-Masjid Pathok Negoro,

sangat sedikit. Hanya ada sedikit ornamen yang diwarnai dengan warna

terbatas dan tidak mencolok.32 Suasana yang ingin ditampakkan oleh konsep

arsitektur.

Pada buku Konsep Kekuasaan Jawa karya G. Moedjanto, dia

berpendapat bahwa kekuasaan itu tidak dilihat dari kedudukannya sebagai

seorang raja semata, namun dia harus mewujudkannya pada hal lain yang

berkaitan dengan simbolisasi dalam kekuasaannya. Keunggulan dan

legitimasi tersebut, diwujudkan dalam upaya mendekatkan diri sedekat

mungkin dengan rakyatnya.33 Hal itu bisa dilakukan melalui tulisan, pendirian

dan pemrakarsaan bangunan tertentu serta kepedulian akan suatu wilayah

31 Hindro T. Soemardjan, Pendidikan Arsitektur dan Pembangunan Nasional: Sebuah Pendekatan Budaya, dalam Eko Budihardjo (ed.), Arsitektur Indonesia Dalam Perspektif Budaya, (Bandung: Penerbit Alumni, 1991), hlm. 110-112.

32 Rochym, Mesjid Dalam Karya Arsitektur Nasional Indonesia, (Bandung:

Angkasa, 1983), hlm. 108.

33 Budiono Herusatoto, Simbolisme Dalam Budaya Jawa, (Semarang: Hanindita,

(27)

tertentu ataupun penggunaan simbol-simbol keramat bagi sebuah keluarga

atau kekuasaannya.34

Sebagai masalah dan konsep etos, maka para penguasa selalu

berusaha menumbuhkan kesadaran kolektif kelompok atau individu yang

dipimpinnya dalam sebuah daerah tertentu.35 Simbol-simbol yang diwujudkan itu selalu berkaitan dengan penumbuhan kesadaran kolektif tentang diri dan

ruang yang dipertahankan dan dikembangkan sedemikian rupa oleh subyek

penggunanya.36

E. Tinjauan Pustaka

Karya-karya yang terkait dengan Masjid Pathok Negoro dan

kekuasaan Jawa Kesultanan Yogyakarta, telah banyak dan sangat banyak

ditulis, baik oleh penulis dalam negeri maupun dari luar negeri, dalam bentuk

buku, tulisan makalah ataupun hasil penelitian. Tulisan-tulisan tersebut

umumnya hanya membahas sejarah politik, namun masih sedikit yang

membahas masalah perubahan dalam masalah arsitektural, hal tersebut dapat

dipahami, sebab masalah dan bahasan politik lebih banyak peminatnya.

Karya-karya dengan sudut pandang arsitektur dalam lingkup kajian

budaya dan arsitektural masjid di Plosokuning tidaklah begitu banyak,

karya-karya yang telah ada terbatas pada bahasan tertentu, yaitu ekonomi dan

politik. Pada kajian pustaka ini, ada beberapa karya-karya dalam bentuk buku

yang diambil oleh penulis sebagai pembanding dari penelitian yang akan

34Ibid.

35 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, (Jakarta:

Gramedia Pustaka Utama, 1992), hlm. 172.

36 Taufik Abdullah, “Nasonalisme Indonesia, Dari Asal-usul ke Prospek Masa

(28)

16

dilakukan. Karya-karya tersebut mempunyai perbedaan, sehingga kajiannya

tidaklah sama, meskipun data dan fakta yang tersaji dalam karya-karya yang

ada menjadi sumber rujukan penulis.

Buku karya Inajati Adrisijanti,37 Arkeologi Perkotaan Mataram

Islam, yaitu buku yang merupakan hasil penelitian arkeologi dan tata kota di

era Mataram Islam. Buku ini secara singkat menyinggung eksistensi

masjid-masjid di wilayah yang dulu termasuk Mataram Islam. Buku ini jelas berbeda

sekali dengan penelitian yang akan dibuat ini, terutama dengan masalah tema

yang akan diteliti, sebab tema penelitian ini adalah arsitektur masjid.

Buku lain yang juga membahas tentang masjid yang ada di

Yogyakarta, yaitu: Bunga Rampai Masjid Kagungan Dalem dan Masjid

Cagar Budaya Daerah Istimewa Yogyakarta, karya Wahyu Indro S dkk.

Karya ini adalah karya yang paling lengkap yang membahas tentang

masjid-masjid kuno yang ada di Yogyakarta. Karya ini hampir sama seperti buku

sebelumnya, hanya saja obyek pembahasannya lebih banyak. Tentu saja

perbedaan dengan penelitian ini terletak pada aspek kedetailan dan masalah

makna arsitekturalnya.

Artikel karya Nensi Golda Yuli yang diterbitkan oleh International

Research Journal of Engineering and Technology, berjudul The Comparison

of the Muslim Settlements in Pathok Negoro Area,Yogyakarta, Indonesia.

Membahas mengenai perbandingan struktur perkampungan di sekitar

masjid-masjid Pathok Negoro di wilayah Yogyakarta.

37 Inajati Adrisijanti, Arkeologi Perkotaan Mataram Islam, (Yogyakarta: Jendela,

(29)

Karya-karya berbentuk hasil penelitian skripsi, setidaknya penulis

temukan sebanyak empat buah, yaitu: skripsi Indah Nur Hasanah,38 Dwi

Wahyuningsih,39 Muhammad Ali Sirojuddin,40 dan M. Irwan Ulil Albaab.41

Keempat karya ilmiah tersebut, tidak satupun yang sama dengan kajian

skripsi ini.

Skripsi karya Indah Nur Hasanah, kajiannya lebih condong kepada

sebuah tradisi di masyarakat sekitar, yang timbul dari adanya Masjid Pathok

Negoro Plosokuning. Bedanya dengan tulisan ini adalah di bagian sisi historis

perkembangan arsitektural masjidnya. Skripsi karya Muhammad Ali

Sirojuddin, mengupas mengenai managemen kepengurusan salah satu Masjid

Pathok Negoro pada masa kontemporer dengan mengambil studi kasus

Masjid Taqwa Wonokromo yang terletak di Bantul. Skripsi karya M Irwan

Ulil Albaab, membahas tentang perubahan masyarakat di sekitar Masjid

Pathok Negoro yang mengaktualisasikan diri mereka dalam perubahan

zaman. Bedanya dengan tulisan ini adalah sisi historis bangunan, bukan

keadaan masyarakatnya.

Karya-karya tersebut pada dasarnya membahas tentang Masjid

Pathok Negoro dalam kajian tertentu, namun masalah tema kajian, batasan

38Indah Nur Hasanah, ‘’Tradisi Tahlil Pitung Leksan di Dusun Plosokuning, Desa

Minomartani, Kecamatan Ngaglik, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta’’,

(Skripsi S1 pada Program Studi Sejarah Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya

40 Muhammad Ali Sirojuddin, ‘’Management Masjid Pathok Nagoro : Studi Masjid

Taqwa Wonokromo Bantul Yogyakarta’’. (Skripsi S1 pada Program Studi Sejarah

Kebudayaan Islam Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga, 2015). (tidak diterbitkan)

41 M. Irwan Ulil Albaab, ‘’Masyarakat Jawa dan Modernisasi (Potret Kontemporer

(30)

18

spasial dan temporal menjadi faktor pembeda. Hal tersebut merupakan celah

kajian penting bagi penulis, sebab hal tersebut juga merupakan faktor

pelengkap bagi penelitian-penelitian akan sejarah lokal Jawa, terutama di

dunia akademis.

Segala perbedaan yang didapatkan oleh penulis bukanlah menjadi

halangan bagi penelitian. Fokus kajian dibutuhkan sebagai sebuah batasan

dan ukuran bagi penulis, agar segala faktor pembeda tersebut menjadi

pelengkap bagi penelitian-penelitian di tempat yang sama di masa mendatang.

F. Sistematika Penulisan

Penelitian ini secara garis besar mempunyai tiga hal dasar, yang

tiap-tiap bagiannya saling berkaitan. Bagian-bagian tersebut berupa:

pendahuluan, isi dan akhir atau kesimpulan, yang selalu berkaitan hubungan

antar bab tersebut pada pembahasannya. Tiap-tiap bagian pembahasan

tersebut terbagi dalam sistematika bab dan sub-bab yang jumlah bahasannya

tidak mengikat, sesuai dalam kaidah dan koridor penguraian hasil

penelitian.42

Pada Bab I adalah pendahuluan yang berupa proposal penelitian, di

dalamnya adalah pengungkapan untuk tujuan apa penelitian dilakukan,

bagaimana metodenya serta bagaimana sistematika pembahasannya. Pada

tahap ini penulis membeberkan tujuan,rencana sistematika, metode penelitian

dan landasan pemikiran serta teori sebagai rujukan berfikir bagi penelitian,

sebagai pengantar akademis maupun administratif agar arah serta maksud dan

42 Dudung Abdurrahman, Metode Penelitian Sejarah, (Jakarta: Logos Wacana Ilmu,

(31)

tujuan penelitian dapat diketahui di gambaran awal sebelum membaca seluruh

isi hasil penelitian.

Tahapan selanjutnya tertuang dalam Bab II, yaitu berupa gambaran

umum untuk melihat secara parsial masalah-masalah ataupun hal-hal yang

berkaitan dengan lingkup masalah spasial dan temporal yang terjadi di sekitar

tema atau wilayah, dalam hal ini keadaan umum tentang Masjid Pathok

Negoro Plosokuning bahasan tersebut berguna untuk mengetahui situasi yang

berkembang secara lebih detail dan berhubungan dengan bab selanjutnya.

Bab III adalah penguraian jawaban tentang bagaimana konstruksi

dari arsitektur masjid. Bagian ini berisi pembahasan tentang masalah material

pembentuk fisik masjid, tata letak serta fungsi-fungsi dalam arsitektur masjid.

Pembahasan ini untuk mendapatkan gambaran detail akan bagian-bagian

tertentu dalam rekonstruksi sejarah arsitektur masjid dalam bentuk fisiknya.

Pada tahap selanjutnya adalah Bab IV berupa pembahasan tentang

interpretasi yang berupa pemaknaan bagian-bagian fisik masjid terhadap

masyarakat di sekitarnya. Hal tersebut diuraikan dalam beberapa sub bahasan

berupa penjabaran tentang pemecahan permasalahan yang timbul dari

pendirian masjid.

Tahap terakhir yaitu Bab V merupakan kesimpulan dari peristiwa

yang diuraikan pada bab-bab sebelumnya, dengan penjabaran hasil-hasil dan

(32)

BAB II

GAMBARAN UMUM

A. Kondisi Geografis

Wilayah Plosokuning adalah sebuah Desa di pedalaman Jawa, di

bekas Keresidenan Yogyakarta yang terletak 9 km bagian timur laut pusat

Kota Yogyakarta, terletak di daerah yang dinamakan lembah Mataram.43

Desa ini terletak di antara aliran Sungai Gajahwong di bagian barat dan

Sungai Manggis di bagian timur, yang membujur dari utara ke selatan,

dengan debit air yang cukup baik di musim kemarau untuk kebutuhan air

penduduk.

Sungai-sungai tersebut bermuara di laut selatan Jawa, dengan

pertemuan arus sungai (tempuran) di Sungai Opak dan Oyo. Tanah di

sekitarnya juga tergolong subur untuk pertanian dan perkayuan, namun dalam

perkembangannya, luas tanah untuk pertanian semakin berkurang dan pohon

untuk bahan-bahan bangunan berupa kayu harus didatangkan dari wilayah

Grobogan dan Madiun.44

Desa Plosokuning berdiri di atas tanah alluvial (tanah hasil

pelapukan lahar) Gunung Merapi yang terbentuk jutaan tahun lalu, dengan

dasar tanah sebagian batu wadas dan batu cadas keras, sedangkan

permukaannya dipenuhi oleh tanah hitam dan berpasir, serta berada di

43Hiroyoshi Kano, “Sejarah Ekonomi Masyarakat Pedesaan Jawa: Suatu Penafsiran

Kembali”, dalam Akira Nagazumi (peny.), Indonesia Dalam Kajian Sarjana Jepang, Perubahan Sosial-Ekonomi Abad XIX & XX dan Berbagai Aspek Nasionalisme Indonesia

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1986), hlm. 14-15.

(33)

ketinggian sekitar 127 meter di atas permukaan laut dengan curah hujan

pertahun sekitar 800 milimeter.45

Luas keseluruhan Desa Plosokuning sekitar 15.000 m² (untuk

bagian sekitaran masjid, hanya seluas 2.500 m²), dengan kelembaban udara

mencapai 85-90 persen, pada ketinggian itu maka udara di sekitarnya

tergolong sejuk, dengan suhu rata-rata di musim panas dan musim hujan

berkisar antara 23-31 C°.

Vegetasi Desa Plosokuning berupa tumbuhan pangan dan

komersial seperti, padi dan palawija berupa singkong, ubi jalar, kelapa dan

tanaman buah-buahan lainnya, adapun tanaman komersial berupa kelapa,

kayu sengon, waru dan tumbuhan lainnya yang dapat dimanfaatkan kayunya.

Tanah di sekitarnya tergolong berbukit, di sebelah barat dan timur terdapat

dataran rendah yang sempit, sedangkan utara dan selatannya berbukit

mengikuti arah Gunung Merapi dengan tingkat kelandaian sekitar 25 derajat.

Tata letak Desa Plosokuning sejak tahun 1760 M hingga tahun

1926 M, adapun secara administrasi sejak tahun 1760 M hingga 1830 M,

berada di bawah pengawasan langsung Sultan dalam sistem kekuasaan

Nagaragung. Oleh Sultan daerah-daerah Pathok Negoro di bawah

pengawasan pemerintahan setingkat kawedanan (dikenal sebagai sistem

pemerintahan setingkat kecamatan atau distrik sekarang), yaitu abdi dalem

Reh Kawedanan Pengulon. Setelah reorganisasi pemerintahan pada tahun

1830 M, kekuasaan Sultan dipisahkan dari daerah itu, dengan penetapan

(34)

22

wilayah Plosokuning berada di dalam lingkungan wilayah administrasi distrik

Ngaglik, di bawah wilayah administrasi wedana Denggung pada tahun 1831.

Setelah diadakan lagi reorganisasi pemerintahan (pangreh praja)

pada tahun 1926, maka Plososkuning menjadi sebuah daerah onderdistrik, di

bawah distrik Ngaglik, di bawah afdeeling Sleman (sistem administrasi

kawedana Denggung sudah dihapuskan).46 Setelah reorganisasi wilayah dan

pamong praja kembali tahun 1947 M dan 1950 M hingga sekarang, tidak ada

perubahan sistem pemerintahan berarti.

B. Sejarah Singkat Berdirinya Masjid Pathok Negoro Plosokuning

Disintegrasi Kerajaan Mataram telah terjadi sejak masa

pemerintahan Amangkurat II, sebagian besar wilayah Mataram pada masa

Sultan Agung dan Amangkurat I di bagian barat (bang kulon) seperti

Priangan dan Karawang telah jatuh ke tangan VOC setelah tahun 1680 M,

serta Cirebon di tahun 1705 M, di bagian timur seperti Blambangan dan

Pasuruan, jatuh ke tangan kaum pemberontak Untung Surapati pada tahun

1686 M, sebelum akhirnya dihancurkan oleh VOC pada tahun 1710 M, yang

ditandai dengan pembuatan benteng pertama di Jawa Timur.47

Wilayah pesisir sejak tahun 1690 M sudah diserahkan Istana

Mataram kepada VOC, dari wilayah Tegal hingga Semarang dan kemudian

menyusul wilayah dari Semarang hingga Surabaya di tahun 1746 M. VOC

juga selalu berusaha menggerogoti tahta dan kebebasan Mataram dengan

46 Rijkblad Kasultanan Yogyakarta 1926, salinan Badan Perpustakaan dan Arsip

Derah Yogyakarta, 2004, hlm 21.

47 Robert W. Hefner, Geger Tengger, Perubahan Sosial dan Perkelahian Politik, terj.

(35)

sistem monopoli perdagangannya, namun hal tersebut lebih disebabkan

karena kelemahan raja yang bertahta Mataram itu sendiri.

Setelah Sunan Amangkurat IV naik tahta, Pangeran Hangabei atau

RM Sandiyo yang merupakan anak Raja Mataram (Sunan Amangkurat IV),

pergi dari kraton. Dia enggan dijadikan raja pengganti ayahnya karena intrik

politik di Kraton Kartasura. Dia dijadikan Bupati Surabaya, namun setelah

Surabaya jatuh ke tangan VOC (1743 M), dia pergi ke daerah perbatasan

antara Kedu dan Mataram di Desa Susukan. Setelah ayahnya wafat dan tahta

Mataram digantikan oleh adiknya, Sunan Pakububuwono II, dia tetap

memilih pergi dari kraton.

Timbulnya kegelisahan akan kekuasaan Kerajaan Mataram hingga

akhirnya timbul Perang Suksesi, harus diakhiri dengan diadakannya

kesepakatan bersama untuk mengakhiri pertikaian yang terjadi, yaitu dengan

menempuh jalur damai. Perjanjian Giyanti yang terjadi pada tahun 1755 M,

antara Pakubuwono III yang masih kecil dengan Hamengkubuwono I dan

VOC adalah hasilnya. Namun, ternyata ini bukannya menghasilkan

kedamaian ataupun menyelesaikan masalah untuk kedua belah pihak, akan

tetapi malah menambah suasana tidak terkendali dengan keputusan yang

dibuat oleh keduanya dengan terjerumus ke dalam permainan politik VOC,

kali ini dengan Raden Mas Said, yang bertempur menuntut tahta Mataram

juga.

Hingga akhirnya, kesepakatan terakhir ditandatangani di Salatiga

pada pada tahun 1757 M, antara Pakubuwono III, Raden Mas Said dan VOC,

(36)

24

Adipati Mangkunegoro), tidak boleh menuntut tahta dan memberikan hormat

pada kedua kerajaan yang sudah ada.48

Hasil-hasil dari perjanjian antara raja-raja bekas Kerajaan Mataram

dengan VOC tersebut adalah konsesi-konsesi tertentu, seperti

perjanjian-perjanjian yang telah diadakan di masa lalu, isinya selalu membelenggu

kekuasaan dan tahta Mataram, meskipun secara militer Kerajaan Mataram

yang telah terpecah itu masih utuh. VOC dibubarkan pada 1799 M setelah

mengalami kebangkrutan oleh pemerintah kolonial Belanda (negeri

Belanda).49

Setelah Kraton Yogyakarta berdiri, RM Sandiyo, yang kini bergelar

Kyai Nuriman, oleh adiknya, Sultan Hamengkubuwono I, diminta untuk ke

kraton dan menjadi penasihatnya, namun ditolak olehnya. Kyai Nuriman lalu

tetap memilih mengajar di desa. Desa tempat dia mengajar, telah berdiri

sebuah masjid yang dinamakan Masjid Mlangi, yang merupakan Masjid

Pathok Negoro pertama di Yogyakarta, yang berdiri sejak tahun 1723 M.

Kyai Nuriman memerintahkan kepada anaknya bernama Kyai

Mursodo, untuk mengajar dan mendirikan masjid di bagian timur, yaitu di

Plosokuning pada tahun 1724 M. Sejak sebelum pecah Perang Cina

(1740-1743 M) hingga perjanjian Giyanti (1755 M), masjid di Mlangi dan

48 Ki Sabdacarakatama, Ensiklopedia raja Tanah Jawa, Silsilah Lengkap Raja-raja Tanah Jawa Dari Prabu Brawijaya V Sampai Hamengkubuwono X, (Yogyakarta: Narasi, 2010), hlm. 115.

49 C.R Boxer, Jan Kompeni, Sejarah VOC dalam Perang dan Damai, 1602-1799,

(37)

Plosokuning telah berdiri, beberapa orang kaum pemberontak juga pernah ke

tempat ini untuk berlindung.50

Ketika Yogyakarta dipimpin oleh Sultan Hamengkubuwono III

pada tahun 1812 M, Masjid Pathok Negoro Plosokuning mengalami renovasi

besar yang pertama. Selanjutnya renovasi dilakukan pada tahun 1869 M di

masa kepemimpinan Sultan Hamengkubuwono VI, setelah Yogyakarta

diterjang gempa besar tahun 1867.

Revolusi fisik yang terjadi antara tahun 1945-1949 M di

Yogyakarta, menjadikan masjid serta masyarakat Pathok Negoro sebagai

benteng dari sasaran serangan agresi militer Belanda (NICA), bahkan Masjid

Pathok Negoro menjadi semacam daerah yang steril dari agresi militer

Belanda. Meskipun menjadi daerah yang steril dari sasaran militer, bukan

berarti rakyat dan penguasa berpisah, bahkan beberapa keluarga dekat sultan

sering bertandang dan menyusup menjadi laskar perang, bahu-membahu

bersama para ulama dan rakyat, dalam menghadapi serangan Belanda di

Yogyakarta.51 Sultan bahkan sering mengirim kerabat dan putra-putrinya

untuk belajar di beberapa Masjid Pathok Negoro. Oleh sebab karena di bawah

pengawasan langsung raja, maka Masjid Pathok Negoro Plosokuning

berstatus Masjid Kagungan Dalem.

50 Yuwono Sri Suwito, dkk., Prajurit Kraton Yogyakarta, Filosofi dan Nilai Budaya yang Terkandung Di Dalamnya, (Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni dan Kebudayaan Kota Yogyakarta, 2010), hlm. 5.

51 Ervan Anwarsyah, ‘’Peran Ulama Dalam Mempertahankan Kemerdekaan di

(38)

26 C. Kondisi Agama

Pada tradisi alam pikir orang Jawa sejak zaman Hindu hingga Islam

datang, raja adalah perwujudan mikro kosmos dan sebagai wakil Tuhan

(Allah SWT) dalam perlindungan dan pengayoman rakyat, oleh karena itu

rakyat memberikan apa yang mereka miliki untuk kepentingan raja dan

keluarganya dalam mengatur kehidupan mereka agar lebih baik, dalam wujud

istilah: papat kalimo pancer, yang berarti empat sisi dengan pusat di

tengahnya sebagai pengatur yang disebut raja.52

Citra para penguasa Jawa akan simbol-simbol keislaman yang telah

menjadi tradisi sejak zaman Kesultanan Demak, diwujudkan dalam bentuk

perayaan acara Maulid Nabi Muhammad SAW, hari raya Idul Fitri dan Idul

Adha, dengan mengadakan acara Garebeg Mulud, Sawal dan Garebeg Besar,

sebagai tanda pengakuan diri pada Islam serta sebagai perayaan rakyat

sebagai simbol kemurahan hati raja (Sunan Surakarta atau Sultan

Yogyakarta).

Masjid sejak zaman Pakubuwono I, walapun kekuasaannya didukung

oleh VOC, adalah simbol dari pusaka orang-orang Jawa, dia menganggap

bahwa meskipun seluruh pusaka tanah Jawa ini hilang dan habis, maka Masjid

Demak dan makam Kadilangu merupakan pusaka rakyat Jawa yang abadi,

yang menjadi dasar dari etika dan keyakinan hidup rakyat Jawa.53

Pada masa itu pihak VOC tidak terlalu tertarik pada masalah Islam di

kedua kerajaan Jawa, sebab tujuan utamanya adalah keuntungan dalam

berdagang, meskipun pernah terjadi sebuah peristiwa yang disebut peristiwa

(39)

pakepung pada tahun 1780-an, di Surakarta oleh Pakubuwono IV yang

didukung oleh empat ulama berpengaruh, mereka berusaha menegakkan

agama Islam sesuai dengan keadaan pada masa Sultan Agung, namun hal

tersebut menyebabkan kraton Surakarta dikepung oleh pasukan gabungan dari

Mangkunegoro, Yogyakarta dan VOC.54

Penggunaan gelar-gelar kekuasaan dan keagamaan dengan pendekatan

Islam, seperti tercermin dalam kalimat gelar Sampeyan Dalem Ingkang

Sinuwun Kanjeng Sunan atau Sultan Senopati Ing Alogo Ngabdurrahman

Sayidin Panotogomo Kalipatullah Ing Tanah Jawi, sebagai simbol kekuasaan

dunia dan agama (akhirat) di tanah Jawa, adalah bukti bahwa Islam diterima

sebagai agama resmi.55 Semenjak berhasil membangun Kesultanan

Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono I56 berusaha membangun jaringan

keagamaan dengan berhubungan dan membangun beberapa Masjid Pathok

Negoro, yang sebagian besar terletak di sekitar kota Yogyakarta, seperti

Masjid Dongkelan di bagian selatan Kraton, Masjid Wonokromo, berada di

sekitar bekas ibukota Kerto, 6 km di daerah selatan, Masjid Babadan di

Berbah berada 8 km di daerah timur dan Masjid Plosokuning di bagian timur

laut, serta Masjid Mlangi, di barat daya Kraton.

54 Pada babad Pakepung, diceritakan bahwa Sunan Pakubuwono IV bersama empat

ulama yang berpengaruh, mulai melawan VOC dengan menerapkan hukum-hukum Islam secara ketat, dia juga berusaha untuk tidak mematuhi isi perjanjian yang dianggap sebagai penyerahan kepada kaum kafir. Akhirnya keempat ulama tersebut diserahkan pada VOC untuk kemudian dibuang, sebagai kompensasi atas tidak jadinya penyerangan kraton Surakarta yang telah dikepung.

55 Revianto Budi Santosa (ed.), Dari Kabanaran Menuju Yogyakarta, Sejarah Hari Jadi Yogyakarta (Yogyakarta: Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Yogyakarta, 2008), hlm. 46.

56 Sultan HB I adalah raja begitu fokus terhadap perkembangan Islam, dia juga

(40)

28

Selain difungsikan sebagai tempat untuk menggembleng para prajurit,

tempat-tempat tersebut juga merupakan benteng intelektual dan religius rakyat

Yogyakarta. Masjid-masjid tersebut tidak terdapat di wilayah Kasunanan

Surakarta atau di Kadipaten Mangkunegara dan Pakualaman.57 Pada pusat

Kotagede sendiri telah mempunyai masjid besar sejak zaman Panembahan

Senopati, serta terdapat kampung yang di dalamnya berisi para kaum santri

dan agamawan, yang disebut kampung kauman, yang berdiri di sekitar Masjid

Agung Kotagede.

Lunturnya pegangan para bangsawan terhadap agama Islam,

merupakan hal yang sangat disesali oleh Pangeran Diponegoro yang melihat

kebobrokan mental para bangsawan.58 Pangeran Diponegoro selama masa

Perang Jawa menyebut dirinya sebagai pemimpin agama di tanah Jawa yang

mengobarkan perang sabil dengan penyebutan gelar, Sultan Ngabdulkamid

Erucakra Sayidin Panotogomo Kalipatullah Ing Tanah Jawi. Banyak di antara

pendukungnya adalah santri dan kaum ulama, terutama Kyai Mojo, Kyai

Taptayani dan Kyai Nitiprojo serta ulama-ulama dari Kotagede dan sekitar

Masjid Pathok Negoro.59

Ketika terjadi tekanan yang begitu berat dari pemerintah, kaum

bumiputra percaya pada kekuatan supranatural yang istimewa dan privillage

pada keadaan dan diri seseorang tokoh seperti Kyai. Snouck C. Hurgronje,

sebagai penasehat pemerintah, dia menganggap masalah Islam secara negatif,

setidaknya ada tiga poin dalam pandangan pemerintah kolonial dalam

57 Sumintarsih, dkk.,Toponim KotaYogyakarta, hlm. 43.

58Muhammad Yamin, Sejarah Peperangan Dipanegara, Pahlawan Kemerdekaan Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998), hlm. 14-16.

(41)

memandang Islam, 1). Domain agama murni, yaitu memunculkan sikap netral,

2). Domain hukum, yang menciptakan kodifikasi hukum tanpa akhir, dengan

perubahan tidak seimbang untuk keuntungan pemerintah kolonial, 3). Domain

politik, pada bagian ini pemerintah harus bersikap keras, yaitu berupa

penentangan terhadap adanya pengaruh Pan-Islamisme dan pemberantasan

dengan kekuatan militer segala bentuk gerakan-gerakan perlawanan.Seluruh

poin-poin tersebut ditujukan untuk satu hal, yaitu politik asosiasi.60

Instrumen-instrumen perlawanan yang selalu terjadi dan berakhir

dengan bentrok fisik, akhirnya diselidiki oleh pemerintah kolonial Belanda

pada saat berlangsungnya Perang Jawa, hingga kemudian diambil kesimpulan

bahwa masalah keagamaan serta pendidikan agama Islam di pondok-pondok

pesantren harus diawasi dengan ketat serta ditekan sedemikian rupa, agar

segala bentuk embrio perlawanan dapat diredam sebelum muncul ke

permukaan, sehingga program-program pemerintah kolonial Belanda dapat

berjalan dengan lancar.

Islam sendiri telah menjelma menjadi kekuatan budaya dan

sosial-politik yang bergerak perlahan dari pedesaan dan pesisiran melalui dakwah

dan pendidikan.61 Politik pengawasan agama tersebut berlangsung hingga

berakhirnya pemerintahan kolonial pada tahun 1942. Selepas tahun tersebut

politik asimilasi Pemerintah Pendudukan Jepang, berhasil menghimpun

dukungan rakyat dengan pendirian laskar Hizbullah.

60 Muhammad Hisyam, “Kebijakan Haji Masa Kolonial”, dalam A.B. Lapian (ed), Sejarah dan Peradaban: Sejarah dan Dialog Peradaban, (Jakarta: LIPI Press, 2005), hlm. 340-341.

61 Simuh, Islam dan Pergumulan Budaya Jawa (Jakarta: Teraju, 2003), hlm. 75 dan

(42)

30

Peralihan dan pertukaran kebudayaan melalui migrasi penduduk,

pernikahan atau pembelajaran, mempercepat proses pembauran dan

penyebaran ide-ide dalam masyarakat secara normatif. Tradisionalisme

sesungguhnya telah ikut menjiwai gerakan perlawanan baik oleh para santri

maupun para bandit, yang secara rapi terorganisir dan mempunyai struktur,62

bahkan keberadaan organisasi dan keberadaan banditpun diikat oleh nilai

religius dan kerjasama mereka dengan aparat desa.63 Tidak boleh dilupakan

peran dari para santri yang mewakili golongan “putih”, di mana pencak silat (bela diri) diajarkan dan agaknya menjadi salah satu kurikulum yang tak resmi

di lingkungan pondok pesantren tradisional yang tesebar di seluruh Jawa.64

Pondok pesantren tersebut juga diikat oleh persaudaraan tarekat yang

menggugah nilai rohani para anggota dan masyarakat sekitarnya yang diwakili

oleh para kyai dan kaum santri.65

Masuknya organisasi kemasyarakatan modern di bidang

keagamaan sejak awal abad ke-20, seperti Sarekat Islam, NU dan

Muhammadiyah, ikut membentuk perilaku keagamaan, meskipun empat dari

lima Masjid Pathok Negoro cenderung berafiliasi dengan ormas NU dan satu

dekat dengan Muhammadiyah, namun sebagai sebuah kesatuan religius,

afiliasi tersebut tidak menganggu aktifitas serta persatuan yang telah

terbangun.

62 Suhartono W. Pranoto, Jawa, Bandit-bandit Pedesaan, Studi Historis 1850-1942

(Yogyakarta: Graha Ilmu, 2010), hlm. 120-121.

63Suhartono, Jawa, Bandit-bandit Pedesaan, Studi Historis 1850-194 hlm. 151 dan

154.

64Imam Bawani, Tradisionalisme Dalam Pendidikan Islam, Studi Tentang Daya Tahan Pesantren Tradisional (Surabaya: Al-Ikhlas, 1993), hlm. 107.

(43)

D. Kondisi Sosial–Budaya

Kekayaan di Jawa adalah tanah, raja adalah sebagai pemilik tanah

yang berguna untuk menggaji keluarga dan pegawai, salah satu bentuk

gajinya adalah pemberian tanah lungguh dengan ukuran cacah, yaitu ukuran

banyaknya keluarga petani yang mendiami sebuah wilayah tanah lungguh.

Pengelolaan tanah oleh para pemagang tanah tersebut, diserahkan pada

demang dan bekel, yang memberikan mereka kedudukan ekonomis dan

politis atas nama raja.

Perkembangan kependudukan atau demografis di Jawa mengalami

peningkatan dan penurunan yang tidak stabil sebagai akibat perang yang

terus-menerus terjadi. Penduduk di seluruh Jawa pada waktu itu sekitar lima

sampai enam juta jiwa hingga tahun 1790-an. Registrasi kasar dalam sensus

penduduk Jawa yang dilakukan oleh Daendels dan Raffles di awal abad

kesembilan belas, menunjukkan peningkatan, namun tidak dapat dijadikan

acuan, sebab registrasi sensus tersebut tidak menyeluruh, karena terbatas pada

perkiraan yang dilaporkan oleh para bupati-bupati bawahan kolonial dengan

sistem cacah.66

Jumlah cacah juga sangat berperan dalam perang dan

pemberontakan. Sejak zaman Mataram hingga berakhirnya pemerintahan

Kolonial, daerah-daerah bebas pajak yaitu tanah yang disebut,

pesantren,pekumen, pekuncen, pemijen, putihan dan perdikan.67 Seiring

bertambahnya tanah-tanah yang dimaksudkan di atas, maka pemerintah

66Peter Boomgaard, Anak Jajahan Belanda, Sejarah Sosial dan Ekonomi Jawa, 1795-1880, (Jakarta: KITLV, 2004), hlm. 35.

(44)

32

menghapus tanah-tanah tersebut jika tidak ada ketetapan pada masa

sebelumnya dalam Indische Staatregeeling tertanggal 2 September 1854 M

pasal 129. Ada beberapa kriteria desa yang wajib membayar pajak, yang

ditentukan oleh banyaknya penduduk yang mendiami suatu batas desa

tertentu dalam satu kawedanan.68 Kebanyakan para penduduk Jawa di

pedalaman adalah petani, yang menggantungkan hidupnya pada tanah

pertanian.69 Adanya ikatan vertikal ini dalam pembagian masyarakat desa,

maka kesetiaan abdinya dapat diukur oleh kebaikan tuannya.70 Pada hal ini

tuannya adalah pemimpin Masjid Plosokuning. Masalah pakaian dan bentuk

rumah rakyat Jawa juga diatur sedemikian rupa, begitu pula masalah

tingkatan bahasa, yang bentuk-bentuk feoadalisme dan strata sosial yang

berkembang pada zaman itu.71

Pengaruh agama Hindu dan Budha dalam Islam di Jawa,

mengakibatkan tumbuh suburnya legenda mistik seperti akan adanya Ratu

Adil yang akan menyelamatkan keadaan mereka dari kesengsaraan.

Masyarakat yang kebanyakan golongan abangan menganggap bahwa legenda

yang ada pada keberadaan dan peninggalan benda orang-orang hebat, dengan

mempersonifikasikan hal itu dalam sifat-sifat kemuliaan dan kekeramatan

orang tersebut, dengan harapan kebaikan orang tersebut akan berguna bagi

orang dan wilayah di sekitarnya seperti para kaum atau kaum santri yang

68 Bayu Surianingrat, Pemerintahan Administrasi Desa dan Kelurahan, (Jakarta:

Rineka Cipta, 1992), hlm.71 dan 86.

69 Onghokham, Rakyat dan Negara (Jakarta: LP3ES, 1991), hlm. 64-65.

70 A.M. Djuliati Suroyo, “Politik Eksploitasi Kolonial dan Perubahan Ekonomi di

Indonesia, dalam: Indonesia Dalam Arus Sejarah, Kolonisasi dan Perlawanan, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve dan Kementrian Pariwisata dan Kebudayaan RI, 2012), hlm. 134-135.

71 Djoko Soekiman, Kebudayaan Indis, dari Zaman Kompeni Sampai Revolusi,

Referensi

Dokumen terkait

Untuk daerah dengan kategori sedang adalah Provinsi DKI Jakarta dan DI Yogyakarta, sedangkan Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Banten memiliki ketimpangan

Penelitian ini disimpulkan bahwa elemen- elemen arsitektural masjid di Kecamatan Tomia Timur, Kabupaten Wakatobi, Provinsi Sulawesi Tenggara yang dimodifikasi dari

Perkembangan Arsitektur di Jawa Timur khususnya Masjid Jami‟ Sunan Dalem desa Gumeno Kecamatan Manyar Kabupaten Gresik belum pernah diteliti dan diugkapkan secara Khusus

Ciri arsitektur masjid-masjid di pantai utara Jawa bila dilihat dari ben- tuk atapnya adalah berbentuk limasan bertingkat yang menandai kebanyakan bangunan masjid-masjid

Oleh karena itu dalam bab ini akan dipaparkan beberapa hal berkaitan dengan keadaan geografis serta sosiologis Mancanegara Timur Yogyakarta, perjuangan Perang Jawa yang terjadi

Masjid Kristal Khadija adalah sebuah masjid yang berada di kompleks SMP dan SMA Internasional dibawah naungan Yayasan Budi Mulia Dua di Yogyakarta. Masjid ini memiliki keunikan

Bangka Belitung Gorontalo Papua Sulawesi Barat Kalimantan Timur Sulawesi Utara Bengkulu Riau Jambi Bali DI Yogyakarta Sulawesi Tenggara Sulawesi Tengah Kalimantan Tengah Nusa

Pada Masjid Agung gaya arsitektur Islam dapat dilihat dari kubah berwarna emas mirip masjid di Timur Tengah, tiang-tiang pondasi yang bulat dan kokoh mencerminkan gaya arsitektur Islam,