KAJIAN PENGOLAHAN DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN
BERAS PRATANAK DALAM KEMASAN FILM PLASTIK
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN
SEKOLAH PASCASARJANAINSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR
2013
Umur Simpan Beras Pratanak Dalam Kemasan Film Plastik adalah karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Juni 2013
Syahirman Hakim
Parboiled Rice in Plastic Film Packaging. Under the direction of ROKHANI HASBULLAH and SUTRISNO
Parboiled rice has a high nutrient content and low glycemic index value, therefore, it is suitable to be consumed by people suffering diabetes mellitus. The purpose of this study was to study parboiled rice processing technique, examine its physico-chemical characteristics, and determine the shelf life of the parboiled
rice during storage. The processing of parboiled rice is by soaking grain in 60 oC
temperature for 6 hours, steaming at a temperature of 90 oC for 30 minutes,
drying until the grain moisture content to 12-14%, milling and packaging. Determination of parboiled rice shelf life was done by using the critical moisture and Arrhenius methods in polypropylene (PP) and low density polyethylene (LDPE) plastics film packaging. The results showed that the treatment was able to increase the yield of milled parboiled rice, ash content, protein content and fat content, but it also decreased amylase and carbohydrate content. However, the physical quality of parboiled rice was still lower compared to that of the control based on head rice and broken rice contents. The shelf life of parboiled rice stored in LDPE and PP packaging by using the method of critical moisture at 84% RH and a temperature of 30% was 21.73 months and 26.43 months. Whereas the method of Arrhenius in LDPE and PP packaging based on
the parameter of TBA (thiobarbituric acid) values at a temperature of 30oC was
10.55 and 13.13 months.
Pratanak Dalam Kemasan Film Plastik. Dibimbing oleh ROKHANI HASBULLAH dan SUTRISNO
Beras pratanak adalah beras yang dihasilkan melalui proses pemberian air dan uap panas terhadap gabah sebelum gabah tersebut dikeringkan. Tujuan dari proses pratanak adalah mencegah kehilangan unsur-unsur gizi dan memperkecil kerusakan padi selama penggilingan. Beras pratanak mempunyai sifat fungsional memberikan dampak positif bagi kesehatan terutama karena nilai indek glikemiknya yang rendah. Beras pratanak memiliki nilai gizi yang tinggi di bandingkan dengan beras giling biasa sehingga diperlukan penyimpanan dan pengemasan yang sesuai agar mutu fisik, kimianya dan umur simpannya dapat dipertahankan lebih lama.
Tujuan penelitian ini adalah : 1). Mengkaji proses, karakteristik fisik dan kimia beras pratanak, 2). Menentukan umur simpan beras pratanak.
Penelitian ini dilakukan dalam 3 tahap. Tahap pertama adalah pengolahan beras pratanak yaitu melalui perendaman dalam air pada suhu 60oC selama 6 jam, pengukusan pada suhu 90oC selama 30 menit, pengeringan dengan sinar matahari sampai kadar air gabah mencapai 12-14%, penggilingan dan pengemasan. Tahap kedua adalah pendugaan umur simpan beras pratanak berdasarkan kadar air kritis dengan penentuan kadar air awal, kadar air kritis, kadar air kesetimbangan, slope kadar air kesetimbangan, permeabilitas kemasan, luas kemasan, berat padatan per kemasan dan tekanan uap air jenuh pada suhu 30oC. Tahap ke tiga adalah pendugaan umur simpan dengan metode Arrhenius berdasarkan bilangan TBA
(thiobarbituric acid).
Hasil penelitian menunjukan bahwa proses secara pratanak mampu meningkatkan rendemen dari 71.60% sampai 72.58%, namun mutu fisik beras pratanak masih lebih rendah dibandingkan kontrol dilihat dari butir kepala 70.20% dan 84.76%, butir patah 25.96% dan 10.94%. Proses secara pratanak mampu meningkatkan nilai gizi dilihat dari kadar abu 0.81%bk lebih tinggi dibanding kontol 0.60%bk, kadar lemak 0.69%bk lebih tinggi dibanding kontrol 0.42%bk, kadar protein 11.39%bk lebih tinggi dibanding kontrol 10.35%bk, namun kadar amilosa 12.70%bb lebih rendah dibanding kontrol 14.08%bb, karbohidrat 87.11%bk lebih rendah dibanding kontrol 88.63%bk.
Berdasarkan hasil penelitian, kadar air kesetimbangan beras pratanak pada RH 7% sampai RH 84% berturut-turut adalah 6.52%bk, 9.03%bk, 11.29%bk, 13.31%bk, 16.06%bk, 19.64%bk dan 22.76%bk. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi RH penyimpanan maka kadar air kesetimbangan beras pratanak akan semakin meningkat. Berdasarkan hasil perhitungan MRD (Mean Relative
Determination) model persamaan yang terpilih untuk pendugaan umur simpan
menggunakan metode sorpsi isotermis pada RH 84% dan suhu 30 C adalah 21.73 bulan dan 26.43 bulan.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2013
Hak Cipta dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB
KAJIAN PENGOLAHAN DAN PENDUGAAN UMUR SIMPAN
BERAS PRATANAK DALAM KEMASAN FILM PLASTIK
SYAHIRMAN HAKIM
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR 2013
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
NRP : F153100061
Disetujui,
Komisi Pembimbing
Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr Ketua Anggota
Diketahui,
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana Teknologi Pascapanen
Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Alhamdulillah, puji dan syukur penulis panjatkan ke Hadirat Allah SWT Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Atas rahmat, karunia dan hidayah-Nya penulis akhirnya dapat menyelesaikan tugas akhir dengan judul Kajian Pengolahan dan Pendugaan Umur Simpan Beras Pratanak dalam Kemasan Film Plastik.
Penyelesaian tugas akhir ini tidak luput dari dukungan, bantuan dan doa dari semua pihak. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan penghargaan dan terima kasih kepada bapak Dr. Ir. Rokhani Hasbullah, M.Si dan Bapak Dr. Ir. Sutrisno, M.Agr selaku pembimbing yang telah memberikan saran, arahan dan bimbingan kepada penulis mulai dari penyusunan proposal sampai sampai pada akhir penulisan karya ilmian ini. Bapak Dr. Ir. Usman Ahmad, M.Agr., selaku penguji luar komisi dalam ujian tesis yang telah memberikan masukan dan saran dalam rangka perbaikan akhir karya ilmiah ini. Staf pada Departemen Teknik Mesin dan Biosistem (Bapak Ahmad Mulyatulloh dan Ibu Siti Rusmiyati).
Ungkapan terima kasih tak terhingga juga penulis sampaikan untuk ayah, ibu, kakak Syasmaliana, adik Syafrida dan Sri Aida Fitri atas segala doa, motivasi, nasehat dan kasih sayangnya. Teman-teman seperjuangan TPP 2010 (Kak Tajul, Mbak Elmi, Teh Susi, Mbak Sandra, Cicih, Ani, Putri dan Fajri) atas kebersamaan, motivasi dan cerita yang terukir. Teman-teman seperjuangan dan Seperantauan ASRAMA LUT TAWAR (Bg Iqmal Gopi, Bg Agustia Feriandi, Bg Zuhri, Pun Eka, Sastra, Notok, Fadli Ranggayo, Saddam) atas kebersamaan, nasehat dan motivasi yang selalu diberikan. Bang Zulfikar atas dorongan semangat dan kebersamaannya selama ini. Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan namanya satu per satu, yang telah banyak berjasa dalam kelancaran pelaksanaan penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini jauh dari sempurna, sehingga penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan penelitian berikutnya. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Juni 2013
Penulis dilahirkan di Bintang, kebupaten Aceh Tengah pada tanggal 7 Oktober 1985 dari ayah Syamsuddin, S.Pd dan ibu Herlina, A.md. penulis merupakan putra pertama dari empat bersaudara.
Penulis menempuh pendidikan sekolah dasar di SD Negeri 1 Bintang Kabupaten Aceh Tengah (1991-1998), sekolah lanjutan tingkat pertama di SLTP Negeri 1 Bintang Kabupaten Aceh Tengah (1998-2001) dan sekolah menengah umum di SLTA negeri 1 Takengon Kabupaten Aceh Tengah (2001-2004).
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR GAMBAR ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... viii
PENDAHULUAN ... 1
METODE PENELITIAN ... 25
Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25
Bahan dan Alat ... 25
Metodologi Penelitian ... 26
Metode Analisis Fisik dan Kimia Beras Pratanak ... 34
Pengukuran Sifat Fisik Kemasan ... 37
HASIL DAN PEMBAHASAN ... 39
Karakteristik Fisik dan Kimia Beras Pratanak ... 39
Karakteristik Fisik ... 39
Karakteristik Kimia ... 42
Pendugaan Umur Simpan Metode Kadar Air Kritis ... 46
Kadar Air Awal (Mi) dan Kadar Air kritis (Mc) ... 47
Kadar Air Kesetimbangan (Me) Beras Pratanak ... 47
Pola Kurva Sorpsi Isotermis ... 51
Model Persamaan Sorpsi Isotermis dan Uji Ketepatan Model ... 51
Nilai Slope (b) Kurva sorpsi isotermis Beras Pratanak ... 56
Simpulan ... 67
Saran ... 67
DAFTAR PUSTAKA ... 68
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Diskripsi varietas padi Ciherang ... 6
2 Komposisi gizi beras giling dan nasi dari beras giling (dalam 100 gram bahan) ... 7
3 Permeabilitas terhadap gas dan uap air serta transmisi beberapa jenis film plastik ... 8
4 Kandungan zat gizi beras dari berbagai cara pengolahan ... 11
5 Kategori pangan menurut indeks glikemik ... 13
6 Model-model persamaan sorpsi isotermis bahan pangan ... 18
7 Hubungan aktivitas air (aw) dan mutu makanan yang dikemas ... 20
8 Kriteria kadaluarsa beberapa produk pangan ... 22
9 Nilai RH dan aw dari larutan garam jenuh yang digunakan (suhu 30oC) ... 29
10 Linierirasi model-model sorpsi isotermis ... 30
11 Mutu giling beras pratanak ... 41
12 Kandungan gizi beras pratanak ... 42
13 Nilai RH dan aw dari larutan garam jenuh yang digunakan (suhu 30oC) ... 48
14 Kadar air kesetimbangan (Me) beras pratanak dan waktu tercapainya pada beberapa RH penyimpanan ... 49
15 Persamaan kurva sorpsi isotermis beras pratanak ... 52
16 Kadar air kesetimbangan beras pratanak dari model-model persamaan ... 53
17 Hasil perhitungan nilai MRD model-model persamaan ... 55
18 Penentuan permeabilitas (k/x) kemasan ... 58
19 Penentuan luas kemasan (gr) dan berat padatan per kemasan (m2) ... 59
20 Perhitungan umur simpan beras pratanak dalam kemasan PP ... 60
21 Perhutungan umur simpan beras pratanak dalam kemasan LDPE ... 60
22 Persamaan regresi linier pada grafik hubungan antara peningkatan nilai TBA dan lama penyimpanan ... 63
23 Persamaan regresi linier dan persamaan arrhenius pada grafik hubungan 1/T dengan Ln K nilai TBA beras pratanak ... 64
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Anatomi gabah ... 4 2 Tipe-tipe kurva sorpsi isotermis ... 16 3 Kurva sorpsi isotermis pada bahan pangan secara umum ... 17 4 Unit pengolahan beras pratanak : Drum perendaman (a), tangki
pengukusan dan steam boiler (b) ... 25 5 Alat bantu penelitian : grain moisture tester (a), timbangan analitik (b),
inkubator (c), chamber modifikasi toples (c) ... 26 6 Diagram alir proses pembuatan beras pratanak ... 27 7 Diagram alir penentuan umur simpan beras pratanak berdasarkan kadar
air kritis ... 28 8 Rendemen penggilingan beras pratanak ... 39 9 Nilai derajat keputihan (whiteness meter) beras pratanak ... 40 10 Pertumbuhan kapang pada RH 97% ... 50 11 Grafik hubungan kelembaban relatif (RH) dengan kadar air
kesetimbangan beras pratanak ... 51 12 Kurva sorpsi isotermis model Hasley ... 53 13 Kurva sorpsi isotermis model Chen-Clayton ... 53 14 Kurva sorpsi isotermis model Henderson ... 54 15 Kurva sorpsi isotermis model Caurie ... 54 16 Kurva sorpsi isotermis model Oswin ... 54 17 Kemiringan (slope) kurva sorpsi isotermis pada beras pratanak ... 57 18 Grafik peningkatan nilai TBA beras pratanak dalam plastik LDPE
selama penyimpanan pada suhu 40, 45 dan 50oC ... 62 19 Grafik peningkatan nilai TBA beras pratanak dalam plastik PP selama
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Form isian organoleptik terhadap pengolahan beras pratanak ... 73 2 Data rendemen giling beras pratanak ... 74 3 Data pengukuran kadar air (%bk) beras pratanak ... 74 4 Data pengukuran kadar abu (%bk) beras pratanak ... 74 5 Data pengukuran kadar protein (%bk) beras pratanak ... 74 6 Data pengukuran kadar lemak (%bk) beras pratanak ... 74 7 Data pengukuran kadar karbohidrat (%bk) beras pratanak ... 75 8 Data pengukuran kadar amilosa (%bb) beras pratanak ... 75 9 Data derajat keputihan beras pratanak selama penyimpanan ... 75 10 Analisis sidik ragam mutu giling beras pratanak ... 75 11 Analisis sidik ragam nilai gizi beras pratanak ... 76 12 Kadar air kritis (%bk) pada RH 97% selama penyimpanan ... 77 13 Modifikasi model-model sorpsi isotermis dari persamaan non linier
menjadi persamaan linier ... 77 14 Contoh perhitungan mencari konstanta dan nilai MRD model
persamaan sorpsi isotermis ... 79 15 Penetuan nilai MRD model-model persamaan sorpsi isotermis ... 80 16 Kadar air kesetimbangan beras pratanak berdasarkan model-model
persamaan ... 85 17 Derajat keputihan beras pratanak dalam kemasan PP dan LDPE selama
penyimpanan ... 85 18 Skor uji organoleptik berdasarkan metode Arrhenius ... 85 19 Peningkatan nilai TBA beras pratanak dalam kemasan PP ... 86 20 Peningkatan nilai TBA beras pratanak dalam kemasan LDPE ... 87 21 Tabel uap air (Labuza, 1982) ... 88 22 Dokumentasi proses pengolahan beras pratanak ... 89 23 Dokumentasi penyimpanan beras pratanak pada suhu 40, 45 dan 50oC ... 89
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beras merupakan pangan utama yang dikonsumsi oleh hampir setengah
populasi dunia. Masyarakat Indonesia menjadikan beras sebagai bahan pangan
pokok sehari-hari. Beras dijadikan sebagai sumber karbohidrat utama hampir
diseluruh daerah di Indonesia karena rasanya yang enak dan dapat
dikombinasikan dengan bahan pangan lain. Seiring dengan bertambahnya jumlah
penduduk indonesia serta tingkat pendidikan yang semakin tinggi, permintaan
terhadap beras yang berkualitas pun semakin meningkat. Namun beras sering
dihindari oleh penderita diabetes melitus (DM) karena anggapan bahwa
mengonsumsi nasi dapat meningkatkan kadar glukosa darah dengan cepat.
Prevalensi penyakit degeneratif akhir-akhir inicenderung meningkat secara nyata.
Salah satu penyakit degeneratif yang prevalensinya terus meningkat adalah
diabetes mellitus.
Menurut survei dari WHO yang dikutip oleh Dep. Kes (2005) menunjukkan
bahwa Indonesia menempati urutan ke-4 dengan jumlah penderita diabetes
terbesar di dunia setelah India, Cina dan Amerika Serikat. Prevalensi diabetes di
Indonesia sebesar 8.60% dari total penduduk, sehingga pada tahun 2025
diperkirakan penderita DM mencapai 12.40 juta jiwa. Jumlah tersebut setara
dengan tiga kali kejadian pada tahun 1995, yaitu 4.50 juta penderita (Dep. Kes,
2005). Pencegahan DM dapat dilakukan secara primer maupun sekunder.
Pencegahan primer adalah pencegahan terjadinya DM pada individu yang
beresiko melalui modifikasi gaya hidup (pola makan dan penenurunan berat
badan) dengan dukungan program edukasi berkesinambungan. Pencegahan
sekunder dilakukan melaluli pengobatan dan pemeriksaan.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut diperlukan teknologi pengolahan
beras yang dapat menghasilkan beras pulen ber-IG (indek glikemik) rendah.
Menurut Foster-Powell et al. (2002), beras pratanak (parboiled rice) mempunyai IG yang lebih rendah dibandingkan dengan beras giling. Beras pratanak adalah
sebelum gabah tersebut di keringkan dan digiling (Haryadi, 2006). Tujuan dari
proses pratanak adalah mencegah kehilangan unsur-unsur gizi dan memperkecil
kerusakan gabah selama penggilingan. Beras pratanak mempunyai sifat fungsional
memberikan dampak positif bagi kesehatan terutama karena nilai indek
glikemiknya yang rendah.
Walaupun beras pratanak memiliki kelebihan dalam hal nilai gizi dan nilai
indek glikemik rendah, akan tetapi apabila tidak dilakukan pengemasan dan
penyimpanan yang sesuai maka dapat mempengaruhi mutu fisik dan kimia beras
pratanak tersebut selama penyimpanan. Pengemasan merupakan tindakan untuk
mempertahankan beras pratanak agar tetap dalam keadaan baik dalam jangka
waktu tertentu. Kesalahan dalam melakukan pengemasan dapat mengakibatkan
terjadinya penurunan mutu beras pratanak dalam penyimpanan. Untuk
menghindari hal tersebut maka penyimpanan dengan menggunakan kemasan yang
mempunyai permeabelitas uap air yang rendah dapat mempertahankan kadar air
beras selama penyimpanan sehingga nilai gizi dan umur simpanya dapat
dipertahankan lebih lama. Hal inilah yang menjadi dasar penelitian proses
pengolahan dan penentuan umur simpan beras pratanak sehingga dapat diketahui
batas simpannya yang masih layak disajikan ke konsumen. Menurut Arpah
(2007), umur simpan secara umum mengandung pengertian rentang waktu antara
saat produk mulai dikemas atau diproduksi dengan saat mulai digunakan dengan
mutu produk masih memenuhu syarat untuk dikonsumsi.
B. Hipotesis
1. Proses pratanak dapat meningkatkan rendemen, mutu fisik dan kimia beras
pratanak
2. Perbedaan jenis pengemas dapat mempengaruhi umur simpan beras
pratanak
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Mengkaji proses pengolahan, karakteristik fisik dan kimia beras pratanak
TINJAUAN PUSTAKA
A. Struktur Gabah
Padi adalah biji-bijian (serealia) dari famili rumput-rumputan (gramine) yang kaya akan karbohidrat sehingga menjadi makanan pokok manusia, pakan
ternak dan industri yang mempergunakan karbohidrat sebagai bahan baku.
Terdapat juga jenis biji-bijian yang mengandung minyak, jagung merupakan jenis
biji-bijian yang mengandung minyak untuk bahan baku industri minyak nabati.
Biji-bijian yang tergolong dalam serealia antara lain padi (Oryza sativa), jagung
(Zea mays), gandum (Triticum sp), cantel (Sorghum sp), dan yang jarang dijumpai
di Indonesia adalah barley (Horgeum vulgare), rey (Secale cereale), oat (Avena
sativa). Satu sama lain mempunyai struktur kimia yang sangat mirip (Muchtadi,
1992).
Padi adalah salah satu tanaman penting dalam kehidupan manusia.
Klasifikasi tanaman padi adalah sebagai berikut:
Kingdom : Platae (tumbuhan)
Subkingdom : Tracheobionta (Tumbuhan berpembuluh)
Super Divisi : Spermatophyta (Menghasilkan biji)
Divisi : Magnoliophyta (Tumbuhan berbunga)
Kelas : Liliopsida (berkeping satu / monokotil)
Sub Kelas : Commelinidae
Ordo : Poales
Famili : Poaceae (suku rumput-rumputan)
Genus : Oryza
Spesies : Oryza sativa L
Hasil panen padi dari sawah disebut gabah. Gabah tersusun dari 15-30%
kulit luar (sekam), 4-5% kulit ari, 12-14% katul, 65-67% endosperm dan 2-3%
lembaga. Secara umum biji-bijian serealia terdiri dari tiga bagian besar yaitu kulit
biji, butir biji (endosperm) dan lembaga (embrio). Kulit biji padi disebut sekam,
sedangkan butir biji dan embrio dinamakan butir beras. Secara berurutan, lapisan
terluar disebut perikarp, kemudian lapisan aleuron dan bagian yang dalam adalah
a. Aleuron : lapis terluar yang sering kali ikut terbuang dalam proses pemisahan
kulit.
b. Endospermia : tempat sebagian besar pati dan protein beras berada.
c. Embrio : merupakan calon tanaman baru (dalam beras tidak dapat tumbuh
lagi, kecuali dengan bantuan teknik kultur jaringan). Dalam bahasa
sehari-hari, embrio disebut sebagai mata beras(Muchtadi, 1992).
Lapisan aleuron merupakan lapisan yang menyelubungi endosperm dan
lembaga. Lapisan aleuron terdiri dari 1-7 lapisan sel. Tiap jenis padi mempunyai
variasi ketebalan. Beras yang berbentuk bulat cenderung mempunyai lapisan
aleuron yang lebih tebal dari pada beras yang lonjong. Lapisan aleuron terdiri dari
sel-sel parenkim dengan dinding tipis setebal 2 mm. Dinding sel aleuron bereaksi
positif dan terdapat zat pewarna untuk protein, hemiselulosa dan selulosa. Dalam
sitoplasma, aleuron berisi aluerin (butiran aleuron). Untuk lebih jelasnya dapat
terlihat pada Gambar dibawah ini (Muchtadi, 1992).
Gambar 1. Anatomi Gabah
Pada umumnya bentuk beras adalah lonjong, akan tetapi terdapat pula yang
berbentuk agak bulat. Sedangkan berdasarkan bentuknya (perbandingan antara
panjang dan lebar), beras dapat dibagi menjadi empat tipe, yaitu : lonjong (lebih Aleuron
Endosperma
Lembaga
Kulit luar
dari 3), sedang (4.0-3.0), agak bulat (2.0-2.39) dan bulat (< 2). Dalam standarisasi
mutu, dikenal empat tipe ukuran beras, yaitu sangat panjang (lebih dari 7 mm),
panjang (6-7 mm), sedang (5.0-5.9 mm), dan pendek (kurang dari 5 mm).
Menurut Potter (1973), panjang beras antara 5-10 mm, lebar beras antara 1.5-5
mm, berat beras 27 mg/biji, dan densitas kamba 575-600 kg/m3. Tinggi rendahnya
mutu beras tergantung kepada beberapa faktor, yaitu spesies, varietas, kondisi
lingkungan, waktu pertumbuhan, waktu pemanenan, metode pengeringan dan cara
penyimpanan (Muchtadi, 1992).
B. Varietas Gabah
Tanaman padi adalah tanaman yang mempunyai varietas sampai ribuan
jumlahnya, lebih dari 90% tumbuh di wilayah Asia Selatan dan Asia Timur,
tersebar di negara-negara beriklim tropis. Dari kelompok spesies padi yang telah
dibudidayakan terdapat kelompok utama yaitu Oryza sativa yang berasal dari Asia
dan Oryza globerima yang berasal dari Afrika Barat.
Tanaman padi (Oryza sativa) diduga berasal dari Asia, terdapat sekitar 20.000 varietas padi di dunia. Tanaman padi tradisional di Asia yang beriklim
tropis bersifat tinggi dan lemah, dengan daun-daun yang melengkung ke bawah
dan masa dormansinya lama (Juliano dan Haryadi, 2008). Varietas tanaman padi
adalah golongan tanaman satu dengan yang lainnya memiliki sifat-sifat yang
sama. Varietas unggul adalah varietas padi yang mempunyai sifat-sifat yang lebih
daripada sifat yang dimiliki varietas padi lainnya. Seperti daya hasil yang tinggi,
umur lebih pendek dan tahan terhadap hama dan penyakit.
Varietas-varietas padi yang ditanam di Indonesia termasuk dalam subspesies
indica. Rasio panjang lebar paling rendah 2 ditunjukan oleh PB 36 dengan
panjang butiran sekitar 6.40 mm, sedangkan rasio panjang lebar yang tinggi
ditunjukan oleh varietas rojolele dan semeru sebesar 2.9 dengan panjang butiran
6.50-7.50 mm (Patiwiri, 2006). Terdapat berbagai macam varietas padi yang
dibudidayakan di Indonesia, salah satunya adalah varietas Ciherang. Deskripsi
Tabel 1 Diskripsi varietas padi Ciherang
Nomor seleksi : S3383-1D-PN-41-3-1
Asal persilangan : IR18349-53-1-3-1-3/3*IR19661-131-3-1-3//4*IR64
Golongan : Cere
Umur tanaman : 116-125 hari Bnetuk tananam : Tegak Tinggi tananam : 107-115 cm Anakan produktif : 14-17 batang Warna kaki : Hijau
Warna batang : Hijau
Warna telinga daun : Tidak berwarna Warna lidah daun : Tidak berwarna Warna daun : Hijau
Muka daun : Kasar pada sebelah bawah Posisi daun : Tegak
Daun bendera : Tegak
Bentuk gabah : Panjang ramping Warna gabah : Kuning bersih
Kerontokan : Sedang
Kerebahan : Sedang
Teksur nasi : Pulen
hama penyakit : Tahan terhadap wereng coklat biotipe 2 dan agak Tahan biotipe 3
Tahan terhadap hawar daun bakteri strain III dan IV
Anjuran tanam : Baik ditanam di lahan sawah irigasi dataran rendah sampai 500 m dpl
Pemulia : Tarzat T, Z. A. Simanullang, E. Sumadi dan Aan A. Daradjat
Dilepas tahun : 2000
Sumber: Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (2009) C. Sifat Fisik dan Kimia Beras
Sifat fisikokimia beras yang berkaitan dengan mutu beras adalah sifat yang
pati, pengembangan volume, penyerapan air, viskositas pasta dan konsistensi gel
pati (Haryadi, 2006). Menurut Winarno (1992) suhu gelatinisasi adalah suhu pada
saat granula pati pecah dengan penambahan air panas. Beras dapat digolongkan
menjadi tiga kelompok menurut suhu galatinisasinya, yaitu suhu rendah (55-69oC)
sedang (70-74oC) dan tinggi (>74oC). Suhu gelatinisasi berpengaruh terhadap
lama pemasakan. Beras yang mempunyai suhu galatinisasi tinggi membutuhkan
waktu pemasakan lebih lama daripada beras yang mempunyai suhu galatinisasi
rendah.
Beras merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat Indonesia.
Beras sebagai bahan makanan mengandung nilai gizi cukup tinggi yaitu
kandungan karbohidrat sebesar 360 kalori, protein sebesar 6.8 gram dan
kandungan mineral seperti kalsium dan zat besi masing-masing 6 dan 0.8 mg
(Astawan, 2004).
Komposisi kimia beras berbeda-beda bergantung pada varietas dan cara
pengolahannya. Selain sebagai sumber energi dan protein, beras juga mengandung
berbagai unsur mineral dan vitamin (Lihat Tabel 2). Sebagian besar karbohidrat
beras adalah pati (85-90%) dan sebagian kecil adalah pentosa, selulosa,
hemiselulosa, dan gula. Dengan demikian, sifat fisikokimia beras ditentukan oleh
sifat-sifat fisikokimia patinya (Astawan, 2004).
Tabel 2 Komposisi Gizi Beras Giling dan Nasi dari Beras Giling (dalam 100 gr bahan)
Komposisi Gizi Beras Giling Nasi
Energi (Kal) 360 178
Protein (gr) 6.80 2.10
Lemak (gr) 0.70 0.10
Karbohidrat (gr) 78.90 40.60
Kalsium (mg) 6.00 5.00
Fosfor (mg) 140 22
Besi (mg) 0.80 0.50
Vitamin B1 (mg) 0.12 0.02
Air (gr) 13 57
D. Pengemasan Beras
Plastik adalah bahan kemasan yang penting didalam industri pangan,
kemasan plastik paling banyak digunakan karena harganya yang relatif murah,
lebih ringan daripada kemasan metal dan gelas, memerlukan lebih sedikit energi
dalam pembuatan, konversi dan pendistribusiannya. Selain sebagai pembungkus,
kemasan plastik dapat diperindah penampilan produk dan dapat menampung
cairan. Kemasan plastik dapat digunakan sebagai media promosi, karena dapat
disablon dan di print, bahkan dapat ditambahkan pewarna kedalam biji plastik
sebagai bahan dasar pembuatan plastik. Sebagai bahan pembungkus plastik dapat
digunakan dalam bentuk tunggal, komposit, atau berupa lapisan-lapisan dengan
bahan lain misalnya kertas atau alumunium foil. Kemasan plastik dapat digunakan oleh industri pangan karena harganya yang relatif murah, lebih ringan daripada
kemasan gelas dan metal, memerlukan energi yang kecil dalam pembuatan,
konversi, dan pendistribusianya. PE dan PP adalah jenis plastik yang biasa
digunakan dalam mengemas produk pertanian.
Tabel 3 Permeabilitas terhadap gas dan uap air serta transmisi beberapa jenis film plastik.
Jenis Film
Permebilitas Transmisi uap air
(cc/hari-100 in2-mil) (g/hari-100 in2-mil)
O2 CO2
LDPE 550 2900 1.30
PVC 150 970 4.00
PP 240 800 0.70
PS 310 1050 8.00
Sumber : Buckle et al. (1985) 1. Plastik Polipropilen (PP)
Menurut Syarief et al. (1989), plastik polipropilen termasuk jenis plastik olefin dan merupakan polimer dari propilen. Sifat-sifat utamanya yaitu:
a. Ringan (densitas 0.90 g/cm3), mudah dibentuk, tembus pandang, dan
jernih dalam bentuk film
b. Mempunyai kekuatan tarik lebih besar dari PE. Pada suhu rendah akan
c. Lebih kaku dari PE dan tidak gampang sobek
d. Permeabilitas uap air rendah, permeabilitas gas sedang
e. Tahan terhadap suhu tinggi sampai dengan 150oC
f. Titik leburnya tinggi
g. Tahan terhadap asam kuat, basa dan minyak
2. Plastik Low Density Polyethylen (LDPE)
Pada plastik polietilen jenis LDPE memiliki sifat bahan yang lemas dan
mudah di tarik, daya rentang tinggi tanpa sobek, tidak cocok digunakan pada
bahan yang berlemak atau mengandung minyak, mempunyai transmisi gas cukup
tinggi sehingga tidak cocok untuk mengemas makanan yang beraroma, memiliki
sifat kedap air dan uap air, berwarna buram, mudah di klim, tidak tahan terhadap
suhu tinggi (Syarief et al. 1989).
E. Beras Pratanak
Pembuatan beras pratanak merupakan proses yang unik, karena tahap
pengolahan dimulai pada saat bahan masih berbentuk gabah (Garibaldi, 1974).
Cara pembuatan beras pratanak sangat beragam, namun pada prinsipnya melalui
tiga tahapan proses, yaitu perendaman (soaking), pengukusan (steaming), dan pengeringan (drying). Gabah yang telah mengalami perlakuan diatas akan lebih awet, dapat mencegah perkecambahan. Gabah tersebut kemudian digiling hingga
diperoleh beras pratanak. Proses pratanak berpengaruh lebih nyata terhadap sifat
fisik butiran beras dibandingkan dengan sifat kimianya. Proses pratanak dipilih
karena cenderung menurunkan indeks glikemik beras (Foster-Powell et al.,
2002).
Pembuatan beras pratanak merupakan proses pemberian air dan uap panas
terhadap gabah sebelum gabah tersebut dikeringkan. Tujuan dari proses pratanak
adalah untuk menghindari kehilangan dan kerusakan beras, baik ditinjau dari nilai
gizi maupun segi rendeman beras yang dihasilkan. Oleh karena itu proses
pratanak harus dilakukan dengan cara yang tepat (De Datta, 1981).
Peningkatan nilai gizi pada beras pratanak disebabkan oleh proses difusi
panas yang melekatkan vitamin-vitamin dan nutrisi lainnya dalam endosperm,
serta derajat sosoh beras yang rendah akibat mengerasnya lapisan aleuron yang
memiliki kandungan vitamin B yang lebih tinggi serta kandungan minyak dan
lemak yang rendah dibandingkan dengan beras biasa sehingga beras pratanak
lebih tahan lama untuk disimpan (Nurhaeni, 1980).
Proses pratanak adalah proses gelatinisasi pati di dalam beras. Pada proses
gelatinisasi pati terjadi pengembangan granula secara irreversible dan kompaknya granula pati. Kejadian tersebut membutuhkan kandungan air 30-35% dan panas
kurang lebih 26 kkal per kg gabah untuk kesempurnaan proses (Garibaldi, 1974).
Pada proses pratanak terjadi perubahan zat gizi (Tabel 4).
Haryadi (2006) menyatakan sifat-sifat fisik beras antara lain suhu
gelatinisasi, konsistensi gel, penyerapan air, kepulenan, kelengketan, kelunakan,
dan kilap nasi. Suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat kurva mulai naik,
sedangkan suhu puncak gelatinisasi diukur pada saat puncak maksimum
viskositas tercapai. Viskositas maksimum adalah besarnya viskositas pada saat
titik puncak gelatinisasi yang dinyatakan dalam Brabender Unit (BU). Menurut Winarno (1992) suhu gelatinisasi adalah suhu pada saat granula pati pecah dengan
penambahan air panas. Beras dapat digolongkan menjadi tiga kelompok menurut
suhu gelatinisasinya, yaitu suhu rendah (55-69oC) sedang (70-74oC) dan tinggi
(>74oC). Suhu gelatinisasi berpengaruh terhadap lama pemasakan. Beras yang
mempunyai suhu gelatinisasi tinggi membutuhkan waktu pemasakan lebih lama
daripada beras yang mempunyai suhu gelatinisasi rendah. Suhu gelatinisasi
diawali dengan pembengkakan granula pati dalam air yang bersifat irreversible
dan diakhiri dengan hilangnya sifat kristal dari granula pati. Suhu gelatinisasi pati
berbeda untuk setiap jenis bahan, dimana suhu gelatinisasi umumnya dibagi
menjadi tiga tahap yaitu: suhu awal, suhu puncak dan suhu akhir (Winarno, 1997).
Jika suspensi pati dipanaskan pada suhu dan waktu tertentu, akan terjadi
peristiwa gelatinisasi. Proses ini meliputi pemutusan ikatan hidrogen dan
pengembangan granula pati. Gelatinisasi merupakan tahap awal
perubahan-perubahan sifat fisik pati. Granula pati alami bersifat tidak larut dalam air, namun
dapat menjadi larut dalam air bila suspensi pati dipanaskan di atas suhu
gelatinisasinya. Bila pati disuspensikan dalam air yang berlebih dan dipanaskan
pada suhu dan waktu tertentu, maka granula pati secara berangsur-angsur
kondisi granula semula. Gelatinisasi pati ditandai dengan terjadinya
pengembangan (swelling) granula pati, peluruhan (melting) dari bagian kristalit, hilangnya sifat birefringence, peningkatan kekentalan dan peningkatan kelarutan pati. Secara mikroskopik perubahan granula pati pada saat pemanasan pada saat
suhu kamar berlangsung cepat dan meliputi tahap penyerapan air hingga 25-30%
yang bersifat dapat balik. Pada tahap selanjutnya, yaitu pada suhu sekitar 65oC,
granula pati mulai mengembang dan menyerap air dalam jumlah banyak yang
bersifat tidak dapat balik. Akhirnya terjadi pengembangan yang lebih besar lagi,
terjadi pelarutan amilosa fraksi rendah dan selanjutnya terjadi pemecahan granula
pati yang kemudian tersebar merata (Haryadi, 2008).
Perendaman bertujuan untuk memasukkan air ke dalam ruang interseluler
dari sel-sel pati endosperm, dan sebagian air diserap oleh sel-sel pati tersebut
sampai tingkat tertentu sehingga cukup untuk proses gelatinisasi (Nurhaeni, 1980
dan De Datta, 1981). Pemasakan bertujuan untuk melunakkan struktur sel-sel pati
endosperm sehingga tekstur granula pati endosperm menjadi seperti pasta akibat
proses gelatinisasi. Pemasakan harus dilakukan dengan hati-hati agar gelatinisasi
pati dan sterilisasi yang homogen dari gabah tercapai, yaitu dengan menggunakan
uap panas yang bersuhu tinggi dan tekanan uap yang rendah.
Tabel 4 Kandungan zat gizi beras dari berbagai cara pengolahan
Komponen Satuan Beras pecah kulit Beras Giling Beras pratanak
Kadar air (%bb) 12.00 12.00 10.30
Energi (kkal) 360 363 369
Kadar protein (%bk) 7.50 6.70 7.40
Kadar lemak (%bk) 1.90 0.40 0.30
Serat (%bk) 0.90 0.30 0.20
Kadar abu (%bk) 1.20 0.50 0.70
Sumber : Adair et al (1973)
Prinsip proses pengeringan bahan adalah pemindahan uap air dari bahan
melalui cara evaporasi. Evaporasi terjadi terutama pada permukaan bahan
tersebut, yaitu melalui proses difusi dari air di dalam bahan ke permukaan bahan
akibat panas yang diberikan baik secara konveksi, konduksi maupun radiasi
Pengeringan dilakukan dua kali untuk mencapai kadar air 14%. Pengeringan
pertama pada suhu 100oC sampai kadar air 20%, pengeringan kedua pada suhu
60oC sampai kadar air 14%. Pengeringan pada proses pembuatan beras pratanak
memerlukan suhu yang lebih tinggi (bisa mencapai 100oC) karena kadar air gabah
yang tinggi (dapat mencapai 45%), dan tekstur butir yang berbeda akibat
pemanasan yang dilakukan terutama pada saat pemasakan (De Datta, 1981).
Pengeringan gabah dilakukan hingga kadar air sekitar 14%, karena kadar air 14%
merupakan kondisi optimum gabah untuk digiling.
Pengeringan gabah pratanak bertujuan untuk mengurangi kadar air sampai
tingkat optimal untuk penggilingan dan penyimpanan, serta memaksimumkan
hasil giling. Pengeringan juga mempengaruhi tekstur dan warna produk akhir
(Garibaldi, 1974). Pengeringan sebaiknya dilakukan segera setelah pemasakan.
Penundaan pengeringan menyebabkan proses gelatinisasi terus berlanjut sehingga
warna menjadi lebih gelap. Penundaan pengeringan juga menyebabkan
pertumbuhan mikroba meskipun gabah pratanak dalam keadaan steril, karena
suhu dan kadar air tersebut sangat disukai mikroba, terutama kapang dan
cendawan. Akan tetapi bila pengeringan terlalu cepat akan menyebabkan retak
(cracking).
Pada proses penggilingan beras, gabah kering giling yang telah dibersihkan
dari kotoran dilakukan proses penghilangan sekam sehingga diperoleh beras pecah
kulit (brown rice), dilanjutkan dengan proses penyosohan sehingga diperoleh beras giling. Penyosohan akan menyebabkan kulit ari dan lembaga terpisahkan,
yang berarti kehilangan protein, lemak, vitamin dan mineral yang lebih banyak.
Proses beras pratanak mampu mengurangi kehilangan zat gizi dalam proses
penggilingan. Nilai gizi yang tinggi disebabkan oleh proses difusi dan panas yang
melekatkan vitamin-vitamin dan nutrien lainnya dalam endosperm, serta derajat
sosoh beras yang rendah akibat mengerasnya aleuron mengakibatkan sedikitnya
bekatul dan zat gizi yang hilang (Nurhaeni, 1980).
F. Indeks Glikemik
Indeks Glikemik pertama dikembangkan tahun 1981 oleh Dr. David Jenkins,
seorang Profesor Gizi pada Universitas Toronto, Kanada, untuk membantu
bagi penderita diabetes didasarkan pada sistem porsi karbohidrat. Konsep ini
menganggap bahwa semua pangan berkarbohidrat menghasilkan pengaruh yang
tidak sama pada kadar glukosa darah (Rimbawan & Siagian 2004).
Indeks glikemik pangan adalah tingkatan pangan menurut efeknya terhadap
kadar glukosa darah. Sebagai perbandingannya, indeks glikemik glukosa murni
adalah 100. Indeks glikemik merupakan cara ilmiah untuk menentukan makanan
bagi penderita diabetes, orang yang sedang berusaha menurunkan berat badan
tubuh, dan olahragawan (Rimbawan & Siagian 2004). Karbohidrat dalam pangan yang dipecah dengan cepat selama pencernaan memiliki indeks glikemik tinggi.
Respon glukosa darah terhadap jenis pangan ini cepat dan tinggi. Dengan kata
lain, glukosa dalam aliran darah meningkat dengan cepat. Sebaliknya, karbohidrat
yang dipecah dengan lambat memiliki indeks glikemik rendah sehingga
melepaskan glukosa ke dalam darah dengan lambat. Indeks glukosa murni
ditetapkan 100 dan digunakan sebagai acuan untuk penentu indeks glikemik
pangan lain (Rimbawan & Siagian 2004). Berikut merupakan kategori pangan
menurut rentang indeks glikemik.
Tabel 5 kategori pangan menurut indeks glikemik
Kategori pangan Rentang indeks glikemik
Indeks glikemik rendah < 55
Indeks glikemik sedang 55-70
Indeks glikemik tinggi > 70
Sumber: Miller et al. (1996) dalam Rimbawan & Siagian (2004)
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi indeks glikemik pada pangan antara
lain: cara pengolahan (tingkat gelatinisasi pati dan ukuran partikel), perbandingan
amilosa dengan amilopektin, tingkat keasaman dan daya osmotik, kadar serat,
kadar lemak dan protein serta kadar anti-gizi pangan. Berbagai faktor dapat
menyebabkan indeks glikemik pangan yang satu berbeda dengan pangan yang
lainnya. Bahkan, pangan dengan jenis yang sama bila diolah dengan cara yang
berbeda dapat memiliki indeks glikemik yang berbeda, karena pengolahan dapat
menyebabkan perubahan struktur dan komposisi kimia pangan. Varietas tanaman
yang berbeda juga dapat menyebabkan perbedaan pada indeks glikemik
Respon glikemik dan daya cerna pati tidak berhubungan dengan panjangnya
rantai sakarida, melainka oleh ukuran partikel (Ludwig, 2000). Karbohidrat
sederhana tidak semuanya memiliki indeks glikemik lebih tinggi daripada
karbohidrat komplek. Jenis gula yang terdapat dalam pangan mempengaruhi
indeks glikemik pangan tersebut. Fruktosa memiliki indeks glikemik sangat kecil
(IG=23), sedangkan sukrosa memiliki indeks glikemik sedang (IG=65). Selain itu,
kehadiran gula didalam pangan juga menghambat gelatinisasi pati dengan cara
mengikat air. Semakin kecil ukuran partikel, semakin mudah pati terdegradasi
oleh enzim sehingga semakin cepat pencernaan karbohidrat pati yang dapat
menyebabkan indeks glikemik pangan tersebut semakin tinggi (Rimbawan &
Siagian 2004).
Struktur amilosa-amilopektin yang berbeda menyebabkan daya cerna yang
berbeda. Amilosa mempunyai struktur tidak bercabang sehingga amilosa terikat
lebih kuat. Granula pati yang lebih banyak kandungan amilosanya, mempuyai
struktur yang lebih kristalin. Dengan demikian amilosa sulit tergelatinisasi dan
sulit dicerna. Selain itu, amilosa juga mudah bergabung dan mengkristal sehingga
mudah mengalami retrodagasi yang bersifat sulit untuk dicerna (Mayer, 1973).
Amilopektin mempunyai struktur bercabang, ukuran molekul lebih besar dan
lebih terbuka sehingga lebih mudah tergelatinisasi dan lebih mudah dicerna
(Rimbawan & Siagian 2004).
Pati yang dicerna dan diserap oleh tubuh akan menyebabkan kenaikan kadar
gula darah (plasma glucose). Puncak kenaikkan akan terjadi sekitar 15-45 menit setelah dikonsumsi, tergantung dari kecepatan pencernaan dan penyerapan
karbohidrat dalam tubuh manusia. Kadar glukosa darah akan kembali normal
setelah dua sampai tiga jam. Hormon yang diproduksi oleh tubuh untuk
menurunkan kadar glukosa darah adalah hormon insulin. Hormon insulin akan
diproduksi sebanding dengan jumlah glukosa yang terkandung dalam darah.
Hormon insulin dihasilkan di kelenjar Langerhans pada pankreas. Hormon insulin bertugas meningkatkan laju transpor glukosa ke dalam sel dan laju perubahan
glukosa menjadi glikogen (Wardlay, 1999).
Indeks glikemik dikaitkan dengan berbagai isu kesehatan seperti obesitas,
memiliki indeks glikemik tinggi menyebabkan pengeluaran insulin dalam jumlah
besar sebagai akibat dari kenaikan gula darah yang tinggi dan cepat. Hal tersebut
akan menyebabkan peningkatan rasa lapar setelah makan dan penumpukan lemak
pada jaringan adiposa dalam tubuh. Penderita diabetes (baik tipe I maupun tipe II)
dianjurkan untuk mengkonsumsi makanan yang mengandung indeks glikemik
rendah sehingga membantu kontrol kadar gula darah dalam tubuh. Konsumsi
makanan yang memiliki indeks glikemik rendah akan meningkatkan sensitivitas
insulin dalam pangkreas (Ragnhild et al. 2004).
G. Sorpsi Isotermis
Bahan makanan sebelum maupun sesudah diolah bersifat higroskopis, yaitu
dapat menyerap air dari udara sekelilingnya (adsorpsi), dan sebaliknya dapat melelepaskan sebagian air yang dikandungnya ke udara (desorbsi). Istilah sorpsi air dipakai untuk menunjukan semua proses saat padatan bergabung dengan
molekul air secara reversible (Adawiyah, 2006). Perilaku produk makanan terhadap kelembaban udara lingkungannya dapat digambarkan oleh kurva yang
menunjukan hubungan antara kadar air bahan pangan dengan kelembaban relatif
setimbang ruang penyimpanan (ERH) atau aktivitas air (aw) pada suhu tertentu
(Troller dan Christian, 1978). Kurva yang menggambarkan hubungan tersebut
disebut kurva isothermis (Syarief dan Halid, 1993).
Sorpsi isothermis suatu bahan pangan dapat digunakan dalam menentukan
jenis pengemas yang dibutuhkan, memprediksikan karakteristik kondisi
penyimpanan yang sesuai dan penentuan masa simpan (Mir dan Nath, 1995).
1. Kurva Sorpsi Isotermis
Perilaku produk makanan terhadap kelembaban udara lingkungannya dapat
digambarkan oleh kurva sorpsi isothermis. Kurva sorpsi isotermis adalah kurva
yang menggambarkan hubungan antara kandungan air dalam bahan pangan
dengan aktivitas air (aw) atau kelembaban relatif kesetimbangan (ERH) ruang
penyimpanan (De man, 2007). Menurut Winarno (2004), setiap jenis bahan
pangan memiliki bentuk kurva sorpsi isothermis yang khas. Perubahan kadar air
akan mempengaruhi mutu produk pangan, maka dengan mengetahui pola
produk pangan dapat ditentukan. Tipe-tipe kurva sorpsi isothermis bahan pangan
dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Tipe-tipe kurva sorpsi isotermis
Sumber: Hui et al. (2008)
Menurut Labuza dan Bilge (2007), secara umum ada tiga tipe bentuk kurva
isotermis. Tipe I adalah bentuk kurva sorpsi isotermis yang khas untuk bahan
pangan antikempal. Tipe II adalah kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid
dan paling banyak ditemukan pada produk pangan. Produk pangan kering
umumnya memiliki kurva sorpsi isotermis yang berbentuk sigmoid. Tipe III
mewakili kurva sorpsi isotermis untuk bahan kristal, misalnya sukrosa. Namun
menurut Arpah (2007), beberapa literatur membagi bentuk kurva sorpsi isotermis
menjadi lima tipe. Tipe IV dan tipe V merupakan variasi dari tipe II. Tipe IV
memiliki kurva yang mirip gabungan antara kurva tipe II dengan tipe III,
sedangkan tipe V memiliki kurva yang mirip gabungan antara kurva tipe II dan
tipe I.
Berdasarkan keadaan air dalam bahan pangan, kurva sorpsi isotermis terbagi
kedalam tiga daerah. Daerah pertama mempunyai nilai aw sampai 0.3, Pada daerah
ini air terdapat dalam bentuk monolayer (satu lapis) dengan air yang terikat sangat kuat. Daerah kedua mempunyai kisaran aw dari 0.3-0.7. Pada daerah kedua, air
terikat kurang kuat dan merupakan lapisan-lapisan yang disebut dengan air
multilayer. Air yang terdapat pada daerah ini berperan sebagai pelarut sehingga
aktivitas enzim dan pencoklatan non enzimatik dapat terjadi. Daerah ketiga
Kadar air
Aktivitas air Aktivitas air Aktivitas air
merupakan daerah yang mempunyai nilai aw di atas 0,7. Daerah ini merupakan
daerah air bebas, dimana pada daerah ini terjadi kondensasi air pada pori-pori
bahan. Keadaan air dalam kondisi bebas ini dapat mempercepat proses kerusakan
produk pangan (Arpah, 2007). Secara umum kurva sorpsi isotermis pada bahan
pangan dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3 Kurva sorpsi isotermis pada bahan pangan secara umum Sumber: Chaplin (2009)
Pada umumnya kurva sorpsi isotermis berbentuk sigmoid yaitu menyerupai
huruf S (Buckle et al., 2007). Kurva sorpsi isotermis adsorpsi dimulai dari kondisi kering hingga kondisi basah, misalnya proses rehidrasi/penyerapan air.
Sedangkan, kurva sorpsi isotermis desorpsi dimulai dari kondisi basah ke kondisi
kering, misalnya proses dehidrasi/proses pengeringan. Pada jenis bahan pangan
yang sama grafik penyerapan uap air dari udara oleh bahan pangan (kurva
adsorpsi) dan grafik pelepasan uap air oleh bahan pangan ke udara (kurva
desorpsi) tidak pernah berhimpit. Kadar air isotermis desorpsi lebih tinggi
nilainya dibandingkan dengan isotermis adsorpsi pada nilai aktivitas air (aw) yang
sama. Keadaan tersebut disebut sebagai fenomena histeria. Fenomena histeria
diperlihatkan oleh perbedaan nilai-nilai kadar air kesetimbangan yang diperoleh
dari proses adsorpsi dan desorpsi. Bentuk kurva dan besarnya tingkat histeria
Kadar air k
e
setimbangan (% bk)
Aktivitas air (aw) Air terikat
sangat kuat
(Monolayer)
Air terikat kurang kuat
(multilayer) Air bebas
Pelepasan uap air
suatu produk pangan sangat beragam tergantung pada komposisi bahan
penyusunnya, suhu, dan waktu penyimpanan (Rahman, 2009).
2. Model Persamaan Sorpsi Isotermis
Model matematika mengenai kadar air kesetimbangan atau sorpsi isotermis
telah banyak dikemukakan oleh para ahli. Namun model-model matematika yang
dikembangkan pada umumnya tidak dapat mencakup keseluruhan kurva sorpsi
isotermis dan hanya dapat memprediksi kurva sorpsi isotermis pada salah satu
dari ketiga daerah sorpsi isotermis. Kesesuaian setiap model isotermis terhadap
isotermis produk pangan tergantung pada kisaran aw dan jenis bahan penyusun
produk pangan tersebut (Arpah, 2007).
Ada beberapa model matematika yang umumnya digunakan untuk
menentukan kurva sorpsi isotermis bahan pangan, yaitu model Henderson, Caurie,
Oswin, Clayton, dan Hasley. Secara empiris, Henderson mengemukakan
persamaan yang menggambarkan hubungan antara kadar air kesetimbangan bahan
pangan dengan kelembaban relatif ruang simpan. Persamaan ini berlaku untuk
bahan pangan pada semua aktivitas air dan merupakan salah satu persamaan yang
paling banyak digunakan pada bahan pangan kering. Model Caurie berlaku untuk
kebanyakan bahan pangan pada selang aw 0.0-0.85 dan model Oswin berlaku
untuk bahan pangan pada RH 0-85%. Model Oswin juga sesuai bagi kurva sorpsi
isotermis yang berbentuk sigmoid. Sedangkan model Chen-Clayton berlaku untuk
bahan pangan pada semua aktivitas air. Pada percobaanya Hasley mengemukakan
suatu persamaan yang dapat menggambarkan proses kondensasi pada lapisan
multilayer. Persamaan tersebut dapat digunakan untuk bahan makanan dengan
kelembaban relatif 10-81% (Chirife dan Iglesias, 1978 diacu dalam Arpah, 2007).
Adapun persamaan dari model-model tersebut dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Model-model persamaan sorpsi isotermis bahan pangan
Model Persamaan Keterangan
Henderson 1-aw = exp(-KMen) • Me: kadar air kesetimbangan
Caurie ln Me = ln P1-P2*aw • aw: aktivitas air
Oswin Me = P1[aw/(1- aw)] P2 • K dan n: konstanta
Chen Clayton aw = exp[-P1/exp(P2*Me)] • P1 dan P2 : konstanta
Hasley aw = exp[-P1/(Me)P2]
3. Kadar Air Kesetimbangan
Kadar air kesetimbangan adalah kadar air dari suatu produk pangan yang
berkesetimbangan pada suhu dan kelembaban tertentu dalam periode waktu
tertentu. Pada saat kadar air kesetimbangan tercapai bahan tidak menyerap
molekul-molekul air dari udara maupun melepaskan molekul-molekul air ke
udara, hal ini terjadi bila bahan berada pada lingkungan tertentu untuk waktu yang
lama (Brooker et al., 1992).
Kadar air kesetimbangan dapat dicapai dengan dua cara yaitu proses
adsorpsi dan desorpsi (Buckle et al., 2007). Jika kelembaban relatif udara lebih tinggi dari pada kelembaban relatif bahan, maka bahan akan menyerap air
(adsorpsi). Sebaliknya, jika kelembaban relatif udara lebih rendah dari pada
kelembaban relatif bahan maka bahan akan menguapkan kadar airnya (desorpsi)
(Brooker et al., 1992). Kadar air kesetimbangan akan meningkat dengan menurunnya suhu pada kondisi aktivitas air yang konstan (Kapseu, 2006).
Menurut Brooker et al. (1992), penentuan kadar air kesetimbangan dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode statis dan dinamis. Pada metode
statis, kadar air kesetimbangan suatu bahan diperoleh pada keadaan udara diam.
Metode statis umumnya digunakan untuk keperluan penyimpanan karena
umumnya udara di sekitar bahan relatif tidak bergerak. Sedangkan pada metode
dinamis, kadar air kesetimbangan suatu bahan diperoleh pada keadaan bergerak.
Metode dinamis biasanya digunakan untuk mempercepat proses pengeringan dan
menghindari penjenuhan uap air di sekitar bahan.
Menurut Lievonen dan Ross (2002) diacu dalam Adawiyah (2006),
penentuan kadar air kesetimbangan suatu bahan pangan melalui metode statis
akan tercapai yang ditandai dengan konstannya bobot bahan. Bobot bahan
dikatakan konstan bila selisih bobot antara tiga kali penimbangan berturut-turut
tidak lebih dari 2 mg/g untuk kondisi RH≤90% dan tidak lebih dari 10 mg/g untuk RH>90%. Kadar air kesetimbangan suatu bahan dapat digunakan untuk
4. Aktivitas Air (aw)
Aktivitas air berhubungan erat dengan kandungan air dalam bahan pangan.
Air dalam bahan pangan berperan sebagai bahan pereaksi dan pelarut dari
beberapa komponen. Secara umum bentuk air dapat ditemukan sebagai air bebas
dan air terikat. Air bebas dapat dengan mudah hilang apabila diuapkan atau
dikeringkan, sedangkan air terikat sulit hilang dengan cara tersebut. Kadar air
bebas dapat berubah secara signifikan selama penyimpanan pada suhu lingkungan
terutama untuk parameter higroskopisitas produk kering (Sithole, 2005).
Aktivitas air merupakan faktor utama yang mempengaruhi keamanan
pangan dan kualitas pangan. Istilah aktivitas air digunakan untuk menjabarkan air
yang tidak terikat atau bebas dalam bahan pangan. Kadar air dan aktivitas air
berpengaruh besar terhadap laju reaksi kimia dan juga laju pertumbuhan mikroba
dalam bahan pangan (De man, 2007). Menurut Hui et al. (2008), pertumbuhan mikroba, oksidasi lipid, aktivitas non enzimatis, aktivitas enzimatis, dan tekstur
suatu produk pangan sangat tergantung pada aktivitas air.
Aktivitas air sangat berpengaruh dalam menentukan mutu dan umur simpan
produk pangan kering selama penyimpanan (Belitz et al., 2009). Menurut Herawati (2008), aktivitas air berkaitan erat dengan kadar air, yang umumnya
dapat menggambarkan pertumbuhan bakteri, jamur, dan mikroba lainnya. Pada
umumnya semakin tinggi aktivitas air semakin banyak bakteri yang tumbuh,
sedangkan jamur sebaliknya tidak menyukai aktivitas air yang terlalu tinggi.
Adapun hubungan aktivitas air dan mutu makanan yang dikemas dapat dilihat
pada Tabel 7.
Tabel 7 Hubungan aktivitas air (aw) dan mutu makanan yang dikemas
Nilai aw Mutu makanan
0.7–0.75 Produk mulai tidak aman untuk dikonsumsi
>0.75
Mikroorganisme berbahaya mulai tumbuh dan produk menjadi beracun
0.6-0.7 Jamur mulai tumbuh
0.35-0.5 Makanan ringan hilang kerenyahan
0.4-0.5 Produk pasta yang terlalu kering akan mudah hancur dan rapuh selama dimasak atau karena goncangan mekanis
H. Umur Simpan
National Food Processor Association mendefinisikan umur simpan sebagai
berikut: suatu produk dianggap berada pada kisaran umur simpannya bilamana
kualitas produk tersebut secara umum dapat diterima untuk tujuan seperti
diinginkan oleh konsumen dan selama bahan pengemas masih memiliki integritas
serta proteksi isi kemasan (Arpah, 2007). Penentuan umur simpan suatu produk
dilakukan dengan mengamati produk selama penyimpanan sampai terjadi
perubahan yang tidak dapat diterima lagi oleh konsumen (Ellis, 1994).
Menurut Syarief dan Halid (1993), hasil atau akibat dari berbagai reaksi
kimiawi yang terjadi di dalam produk makanan bersifat akumulatif dan
irreversible (tidak dapat dipulihkan kembali) selama penyimpanan, sehingga pada
saat tertentu hasil reaksi tersebut mengakibatkan mutu makanan tidak dapat
diterima lagi. Jangka waktu akumulasi hasil reaksi yang mengakibatkan mutu
makanan tidak lagi dapat diterima disebut sebagai jangka waktu kadaluarsa.
Bahan pangan juga disebut rusak apabila bahan pangan tersebut telah kadaluarsa,
yaitu telah melampaui masa simpan optimumnya dan pada umumnya makanan
tersebut menurun mutu gizinya meskipun penampakannya masih bagus.
Penentuan umur simpan produk pangan merupakan suatu jaminan mutu
industri pangan bahwa produk pangan yang bermutu baik saja yang di
distribusikan ke konsumen (Hariyadi, 2006). Menurut Floros (1993), umur simpan
produk pangan dapat diduga dan kemudian ditetapkan waktu kadaluarsanya
dengan menggunakan dua konsep studi penyimpanan produk pangan yaitu dengan
Extended Storage Studies (ESS) atau metode konvensional dan Accelerated
Storage Studies (ASS) atau metode akselerasi. Penentuan umur simpan secara
konvensional membutuhkan waktu yang lama karena dilakukan dengan cara
menyimpan suatu seri produk pada kondisi normal sehari-hari sambil dilakukan
pengamatan penurunan mutunya. Metode akselarasi diterapkan pada produk
pangan dengan memvariasikan kondisi kelembaban relatif (RH), suhu, atau
intensitas cahaya, baik secara sendiri- sendiri maupun gabungannya (Floros,
1993). Keuntungan metode ini adalah memerlukan waktu yang relatif singkat,
Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan mutu pada produk
pangan menjadi dasar dalam menentukan titik kritis umur simpan. Titik kritis
ditentukan berdasarkan faktor utama yang sangat sensitif serta dapat menimbulkan
terjadinya perubahan mutu produk pangan selama distribusi, penyimpanan hingga
siap dikonsumsi (Herawati, 2008). Menurut Floros dan Gnanasekharan (1993).
Kriteria kadaluarsa beberapa produk pangan dapat ditentukan dengan
menggunakan acuan titik kritisnya. Kriteria kadaluarsa beberapa produk pangan
dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Kriteria kadaluarsa beberapa produk pangan
No Produk Mekanisme penurunan
mutu Kriteria kadaluarsa 1 Teh kering Penyerapan uap air Peningkatan kadar air 2 Susu bubuk Penyerapan uap air Pencoklatan
3 Susu bubuk Oksidasi Laju kosentrasi
4
Makanan laut kering beku
Oksidasi dan
fotodegradasi aktivitas air
5 Makanan bayi Penyerapan uap air Kosentrasi asam askorbat 6 Makanan kering Penyerapan uap air -
7 Sayuran kering Penyerapan uap air Off flavor-perubahan warna 8 Kol kering Penyerapan uap air Pencoklatan
9 Tepung biji kapas Penyerapan uap air Pencoklatan
10 Tepung tomat Penyerapan uap air Kosentrasi asam askorbat 11 Biji-bijian Penyerapan uap air Peningkatan kadar air 12 Bawang kering Penyerapan uap air Pencoklatan
13 Buncis hijau Penyerapan uap air Konsentrasi klorofil
14 Keripik kentang
Penyerapan uap air
dan oksidasi Laju oksidasi
15 udang kering beku Oksidasi
Kosentrasi karoten dan laju kosentrasi O2
16 Tepung gandum
Penyerapan uap air
dan oksidasi Konsentrasi asam askorbat 17 Minuman ringan Pelepasan CO2 Perubahan tekanan
Sumber: Floros dan Gnanasekharan (1993)
Perumusan model akselerasi dapat dilakukan dengan dua pendekatan.
Pendekatan pertama adalah pendekatan kadar air kritis dengan bantuan teori
menggunakan kadar air atau aw sebagai kriteria kadaluwarsa. Pendekatan kedua
adalah pendekatan empiris dengan bantuan Arrhenius, yaitu cara pendekatan yang
menggunakan Teori Kinetika yang pada umumnya mempunyai reaksi ordo nol
atau satu untuk produk pangan (Arpah, 2007).
Nilai aw dapat digunakan sebagai parameter untuk menduga kerusakan
makanan atau menentukan waktu pengeringan yang diperlukan untuk produk
pangan stabil. Menurut Labuza (1982), aw bahan pangan sangat menentukan
kondisi penerimaan atau kehilangan air dari bahan pangan. Faktor-faktor yang
menentukan waktu penerimaan air dari bahan pangan adalah isotermis sorpsi air,
permeabelitas film kemasan, ratio luas permukaan kemasan terhadap berat bahan
kering, kadar air awal, kadar air kritis, RH dan suhu penyimpanan produk. Labuza
(1982) telah mengembangkan model matematik yang dapat digunakan untuk
memperkirakan perubahan kadar air produk yang dikemas pada kondisi
lingkungan tetap, yaitu :
b
Dimana Me= Kadar air bahan pangan pada keadaan setimbang (%bk), Mi= kadar
air awal (%bk), Mc= kadar air kritis (%bk), k/x= permeabilitas uap air kemasan
(g/m2.hari.mmHg), A= luas permukaan kemasan (m2), Ws= berat bahan (g), Po=
tekanan uap air murni/jenuh pada ruang penyimpanan (mmHg), b= slope kurva sorpsi isotermis yang terpilih dan t= umur simpan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi umur simpan bahan pangan yang dikemas
adalah keadaan alamiah atau sifat makanan dan mekanisme berlangsungnya
perubahan, misalnya kepekaan terhadap air dan oksigen serta kemungkinan
terhadap perubahan kimia internal dan fisik, ukuran kemasan dalam hubungan
dengan volume, kondisi atmosfer, terutama suhu dan kelembaban dimana
kemasan dapat bertahan selama transit dan sebelum digunakan, kemasan
keseluruhan dari kemasan terhadap keluar masuknya air, gas dan bau termasuk
perekatan, penutupan dan bagian-bagian yang terlipat. Penurunan mutu produk
menentukan daya simpan suatu produk perlu dilakukan pengukuran terhadap
atribut mutu produk tersebut (Syarief dan Halid, 1993).
Labuza (1982) menyatakan bahwa penilaian umur simpan dapat dilakukan
pada kondisi dipercepat (accelerated shelf life test) yang mampu memprediksi umur simpan produk. Metode ini dilakukan dengan mengkondisikan bahan
pangan pada suhu dan kelembaban relatif tinggi. Penentuan umur simpan metode
Arrhenius termasuk kedalam metode akselerasi ini. Metode Arrhenius merupakan
metode simulasi dalam menduga umur simpan produk. Penurunan mutu dengan
metode simulasi memerlukan beberapa pengamatan yaitu adanya parameter
kuantitatif. Parameter tersebut harus dapat mencerminkan keadaan mutu yang
terjadi pada kondisi penyimpanan (Syarif dan Halid, 1993). Syarif dan Halid
(1993) menyatakan bahwa suhu merupakan faktor yang sangat berpengaruh
terhadap perubahan mutu pangan. Suhu ruangan yang konstan akan lebih baik dari
suhu penyimpanan yang berubah-ubah. Pendugaan laju penurunan mutu dapat
dilakukan dengan persamaan Arrhenius berikut:
k = ko
e
-E/RT ………...(2)Keterangan:
k = konstanta penurunan mutu (per hari)
ko = konstanta laju absolut (tidak tergantung suhu)
E = energi aktivasi reaksi perubahan karakteristik mutu (kal/mol)
T = Suhu mutlak (oK)
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium TLB (Teknik Lingkungan
Biosistem), Laboratorium TPPHP, Departemen Teknik Mesin dan Biosistem.
Laboratorium Kimia Pangan, Laboratorium Mikrobiologi, Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei 2012 sampai
November 2012.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah jenis gabah dari varietas
Ciherang sebanyak 50 kg. Gabah tersebut diperoleh dari petani di Desa Pura Sari,
kecamatan Leuwiliang-Bogor Barat. Dua jenis plastik (LDPE dan PP), garam
jenuh NaOH, KF, K2CO3, NaBr, KI, NaCl, KCl, K2SO4, dan akuades. Peralatan
yang digunakan adalah unit pengolahan beras pratanak (drum perendaman, tangki
pengukusan gabah, steam boiler), thermometer, kompor gas, termokopel, timbangan analitik, grain moisture tester, mesin penggilingan milik petani di desa Marga Jaya tipe ICHI N50. Peralatan yang digunakan dalam penentuan umur
simpan adalah inkubator, desikator modifikasi toples, oven, Permatran W 3*31,
neraca analitik, cawan alumunium, hygrometer, sealer dan Whitennestester. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5.
(a) (b)
(a) (b)
Gambar 5 Alat bantu penelitian : grain moisture tester (a), Timbangan analitik (b), inkubator (c), dan chamber modifikasi toples (d)
C. Metodologi Penelitian
Penelitian ini dilakukan dengan 3 tahap yaitu tahap proses pengolahan beras
pratanak, tahap Pendugaan umur simpan beras pratanak berdasarkan kadar air
kritis dan tahap pendugaan umur simpan berdasarkan model Arrhenius.
Tahap I. Proses pengolahan beras pratanak
Pada tahap ini gabah terlebih dahulu di bersihkan dari kotoran-kotoran
seperti jerami, benda asing dan gabah hampa dengan menggunakan mesin
precleaner.
Gabah kering giling (GKG) yang telah disortasi direndam dalam air,
perendaman dilakukan dengan air hangat di dalam drum pada suhu 60oC selama
4, 6 dan 8 jam dengan terlebih dahulu melakukan penelitian pendahuluan
terserap ±30 %. Gabah yang telah direndam selanjutnya dikukus didalam tangki
pengukusan pada suhu 90oC selama 30 menit, sehingga diperoleh gabah yang
mengalami gelatinisasi dan sekam yang sedikit terbuka (pecah).
Gabah selanjutnya dikeringkan pada lantai jemur dengan memanfaatkan
panas sinar matahari sampai kadar air gabah mencapai 12-14%. Untuk lebih
jelasnya diagram alir proses pengolahan beras pratanak dapat dilihat pada Gambar
6.
Gambar 6 Diagram alir proses pengolahan beras pratanak Gabah GKG
Perendaman T=60oC selama 6 jam
Pengukusan(steaming) T=90oC selama 30 menit
Pengeringan , (KA = 12- 14 %)
Penggilingan Kontrol
Gabah pratanak
Beras kontrol Beras Pratanak
Pembersihan (Precleaning)
Analisis fisik dan kimia : Rendemen giling, kadar air, mutu giling, kadar abu, kadar lemak, kadar protein, kadar karbohidrat, kadar amilosa dan derajat keputihan.
Tahap II. Pendugaan umur simpan berdasarkan kadar air kritis
Untuk menentukan umur simpan beras pratanak berdasarkan kadar air kritis
maka diperlukan pengukuran beberapa atribut seperti kadar air awal, kadar air
kesetimbangan, kadar air kritis, slope kurva kadar air kesetimbangan, permeabilitas kemasan, luas kemasan, berat padatan per kemasan dan tekanan uap
air jenuh pada suhu 30oC. Diagram alir penentuan umur simpan beras pratanak
dapat dilihat pada Gambar 7.
Gambar 7 Diagram alir pendugaan umur simpan beras pratanak berdasarkan kadar air kritis
a. Penentuan kadar air kesetimbangan (Me)
Penentuan kadar air kesetimbangan diawali dengan melarutkan garam
tertentu hingga jenuh atau tidak larut kembali. Garam yang digunakan antara lain
NaOH, KF, K2CO3, NaBr, KI, NaCl, KCl dan K2SO4. Sebanyak 200 ml larutan
garam jenuh dimasukkan kedalam chamber yang di modifikasi untuk mengatur Beras pratanak
Pengukuran kadar air awal
Penyimpanan dalam desikator pada suhu 30oC (RH 7%, 27%, 43%, 58%, 69%, 76%, 84% dan 97%)
Penentuan nilai kemiringan (b) kurva sorpsi isotermis
Penimbangan setiap hari sampai kadar air konstan
Penentuan kadar air kesetimbangan
Penentuan pola kurva sorpsi isotermis
RH ruangan (chamber modifikasi toples). Sekitar ±5 gram sampel diletakkan pada cawan almunium yang telah diketahui beratnya. Cawan berisi sampel tersebut
diletakkan di dalam chamber yang telah berisi larutan garam jenuh. Chamber
kemudian disimpan pada suhu ruang (30±1oC) dan sampel ditimbang secara
periodik tiap 24 jam hingga mencapai bobot yang konstan yang berarti kadar air
kesetimbangan telah tercapai (Arpah, 2001). Menurut Adawiyah (2006), bobot
yang konstan ditandai dengan selisih bobot antara tiga kali penimbangan tidak
lebih dari 2 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH dibawah 90% dan tidak
lebih dari 10 mg/g untuk sampel yang disimpan pada RH diatas 90%. Sampel
yang telah mencapai bobot konstan kemudian diukur kadar airnya berdasarkan
AOAC 2005. Nilai RH dan larutan garam jenuh yang digunakan dapat dilihat
pada Tabel 9.
Tabel 9 Nilai RH dan aw dari larutan garam jenuh yang digunakan (Suhu 30oC)
No Larutan garam jenuh RH (%) aw
Penentuan kurva sorpsi isotermis dibuat dengan cara memplotkan nilai kadar
air kesetimbangan hasil percobaan dengan nilai kelembaban relatif (RH) atau
aktivitas air (aw). Labuza (1982) menyatakan bahwa aktivitas air suatu bahan
pangan dapat dihitung dengan membandingkan tekanan uap air bahan (P) dengan
tekanan uap air murni (Po) pada kondisi sama atau dengan membagi kelembaban
relatif keseimbangan (equilibrium relative humidity = ERH) lingkungan dengan nilai 100. Rumus aw tersebut adalah:
100
ERH Po
P