KEAMANAN PANGAN PADA INDUSTRI PAKAN UNGGAS
LEGIS TSANIYAH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Analisis dan Perancangan Kondisi Optimal Keamanan Pangan pada Industri Pakan Unggas adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.
Bogor, Februari 2017
Legis Tsaniyah
LEGIS TSANIYAH. Analisis dan Perancangan Kondisi Optimal Keamanan Pangan pada Industri Pakan Unggas. Dibimbing oleh HARTRISARI HARDJOMIDJOJO dan SAPTA RAHARJA.
Industri pakan merupakan salah satu industri yang diprioritaskan pemerintah di dalam Rencana Induk Pengembangan Industri Nasional (RIPIN) tahun 2015-2035. Industri pakan sangat mendukung program ketahanan protein pangan. Dengan demikian maka produk industri pakan harus dipelihara mutu dan keamanan pangannya. Pakan unggas diformulasi menggunakan biji jagung, konsentrat protein kedelai, tepung ikan, dedak, obat hewan, steam, dan sejumlah bahan imbuhan pakan. Bahan pendukung pertumbuhan diformulasi dari vitamin, antibiotik, asam amino, metilen biru, dan beberapa bahan tambahan lainnya. Bahan tambahan pakan berpotensial untuk mengkontribusi bahaya keamanan pangan dalam produk pakan.
Analisis model menunjukkan bahwa sumber utama resiko keamanan pangan adalah: 1) residu obat hewan (X1); 2) potensi aflatoxin pada biji jagung
yang basah (X2) dan 3) potensi alfatoxin pada tepung kedelai yang basah (X3).
Formulasi model minimisasi untuk keamanan pangan dalam produksi pakan adalah Z = 13.78 X1 + 10.00 X2 + 7.67 X3. Optimisasi model menggunakan
simplex menghasilkan kondisi maksimum nilai indeks bioakumulasi sebesar 93.33 per ton produksi pakan. Verifikasi model dilakukan pada dua industri pakan unggas dan indeks bioakumulasi dihitung masing-masing 20.16 and 24.43 per ton produksi pakan unggas. Hasil produksi pakan unggas kedua industri tersebut masih direkomendasikan di bawah batas aman
Keamanan pangan di industri pakan unggas disusun mulai dari bahan baku, pengeringan-penyimpanan-penggilingan jagung, pre mixing, pencampuran utama, pembuatan pelet dan bahan pendukung lainnya yang berpotensi mengkontaminasi produk pakan. Sistem manajemen keamanan pangan di industri pakan dikembangkan berdasarkan identifikasi bahaya dan penetapan Titik Kendali Kritis (Critical Control Points-CCP) serta pemantauan titik kendali kritis. Pengendalian proses produksi pada industri pakan unggas untuk keamanan pangan dirancang mulai dari penerimaan bahan baku hingga proses pengemasan. Kondisi optimal diadaptasi dari cara produksi yang baik dari industri yang telah berhasil menerapkan sistem manajemen keamanan pangan. Pengendalian manajemen produksi pada pakan unggas dapat dilakukan melalui penerapan GMP+ dan sistem HACCP. GMP+ meliputi penerapan sanitasi dan higiens pabrik berikut cara produksi yang baik di pabrik pakan.
LEGIS TSANIYAH. Analysis and Design Optimal Conditions for Food Safety in Poultry Feed Industry. Supervised by HARTRISARI HARDJOMIDJOJO and SAPTA RAHARJA.
Feed Industry is one of industry priority that stated in National Master Plan Industrial Development 2015-2035. Feed industry fully supports the national food security program through meat protein production. Therefore, feed Industry shall maintain quality and food safety of their products. Feed for poultry was formulated by using corn meal, soya protein, fish meals, rice bran, veterinary drugs, steam, and other ingredients. Growth premotor materials that formulated from vitamin, antibiotics, amino acid, methylene blue, and other trace elements also are added in formulation. The feed additive are potential sources of food safety hazard in feed products.
Result of Model analysis found the major sources of food safety risks are: 1) veterinary drugs residues (X1); 2) aflatoxin potential in high moisture corn
meals (X2) and 3) alfatoxin potential in high moisture soya meal (X3).
Minimization model formulated for food safety in feed production is Z = 13.78 X1 + 10.00 X2 + 7.67 X3. The optimation model by using simplex solution found
maximum bioaccumulation value index are 93.33 per ton feed production. The verification model done for two feed industries and calculated bioaccumulation index both 20.16 and 24.43 per ton livestock feed production. The result concluded that the feed produced by both industries have been recommended safe to consume.
Food safety risk in poultry feed industries may generated from raw materials, corn drying-storage-milling, pre mixing, main mixing, pelleting, and packing. Steam used in pelleting process and others supporting materials are also probable to contaminate feed products. Food Safety management system in the feedmill be developt based on hazard identification, Critical Control Points (CCP) determination, and CCP monitoring. The proces control of poultry feed mill regarding to food safety is designed from receiving materials until packaging process. The optimal condition adapted from the best manufacturing practises of industries which had succesfully in food safety management system implementation. Production management control of poultry feed can assure food safety if it is done through the implementation of GMP+ and HACCP system. GMP+ also includes implementation of mill hygiene and sanitation also good manufacturing practises in feed mill production.
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2017
Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB.
KEAMANAN PANGAN PADA INDUSTRI PAKAN UNGGAS
LEGIS TSANIYAH
Tesis
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains
Pada
Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR
“Dan sungguh pada hewan-hewan ternak terdapat suatu pelajaran bagimu. Kami memberi minum kamu dari (air susu) yang ada dalam perutnya, dan padanya juga terdapat banyak manfaat untukmu, dan sebagian darinya kamu makan” (QS Surat Al-Mu’minuun [23]: 21). Puji Syukur tertinggi penulis panjatkan kepada ALLAH S.W.T yang menciptakan semua ilmu serta menciptakan alam fikiran manusia untuk memahami ciptaanNya.
Bantuan dari berbagai pihak penulis dapatkan selama menyelesaikan tesis ini, dengan tulus penulis menyampaikan ucapan terima kasih sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA. sebagai Ketua Komisi Pembimbing, yang senantiasa mencurahkan sangat banyak waktu, arahan, perhatian dan kesabarannya bagi penulis dalam menjalani masa pendidikan di Institut Pertanian Bogor;
2. Bapak Dr. Ir. Sapta Raharja, DEA. sebagai anggota Komisi Pembimbing dengan masukan dan arahan yang sangat berarti bagi kebaikan pekerjaan penulis;
3. Ibu Dr. Ir. Titi Candra Sunarti, M.Si selaku penguji luar komisi atas segala arahan dan masukan dalam penyempurnaan tesis ini;
4. Seluruh Manajemen dan Personalia Departemen Pasca Sarjana Teknologi Industri Pertanian, yang atas bantuan penyampaian informasi bagi penulis seputar kegiatan perkuliahan dan aturan pendukung lainnya
5. Rekan-rekan Pasca Sarjana TIP, Program Sarjana TIN (grup pejuang S.TP) atas suasana saling mendukung yang tercipta sehingga penulis terus bersemangat dalam menyelesaikan pendidikan
6. Bapak Dr. Ir. Hermawan Thaheer, Ibu Dr. Ir. Sawarni Hasibuan, MT., Tim ISO PT Malindo Feedmill-Gresik, Tim ISO Malindo Feedmill-Medan, Ratu Anna Rufaida, S.Kpm, Dwi Rahayu, S.Kpm, Narisha, Amd,
7. Orang tua tercinta, Bapak Herman dan Ibu Titin, yang tiada pernah letih mencurahkan perhatian dan dukungan bagi penulis selama menjalani pendidikan
8. Orang tua tercinta, Bapak Djoko Sumbodo, Amd dan Ibu Suharyati, S.Pd., M.Pd yang atas perhatian serta dukungannya bagi penulis
9. Suami terkasih, Yudistia Rizkiangga Priyambodo, S.TP dan pemacu semangat hidup Agita Rizkiayu Kirana yang membuat penulis tiada pernah lelah berkarya;
10.Semua pihak yang tiada terbilang jasanya dalam mendukung penulis untuk menyelesaikan pendidikan di Institut Pertanian Bogor.
Tiada sesuatu yang dapat penulis berikan, kecuali doa dan harapan agar apa yang telah diupayakan dalam tesis ini menjadi ilmu yang bermanfaat bagi masyarakat luas.
DAFTAR TABEL vi
DAFTAR GAMBAR vi
DAFTAR LAMPIRAN vi
1 PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan 1
Ruang Lingkup 2
2 TINJAUAN PUSTAKA 2
Perkembangan Industri Pakan 2
Teknologi Proses Produksi Pakan 5
Sistem Manajemen Keamanan Pangan pada Pakan 14
Mutu Keamanan Pangan Pada Pakan 15
Penggunaan Teknik Optimasi 24
3 METODE 25
Kerangka Pemikiran 25
Tahapan Analisis dan Disain Model 25
Asesmen Bahaya 27
Model Matematika Resiko Keamanan Pangan pada Produk Pakan
30
Teknik Optimasi 31
Tata Laksana Penelitian 32
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 34
Identifikasi Bahaya Keamanan Pangan pada Industri Pakan 34
Analisa Bahaya Keamanan Pangan dan Penentuan Titik Kendali Kritis
39
Perancangan dan Optimalisasi Model Keamanan Pangan pada Industri Pakan
41
Perancangan dan Pembahasan Kondisi Proses Optimal Keamanan Pangan pada Produksi Pakan Unggas
50
5 KESIMPULAN DAN SARAN 57
Kesimpulan 57
saran 58
DAFTAR PUSTAKA 59
LAMPIRAN 67
1 Proyeksi kebutuhan pakan unggas 3
2 Distribusi jenis ternak di Indonesia 4
3 Kadar aflatoksin dalam persyaratan mutu bahan baku ransum pakan 7
4 Panduan evaluasi keragaman dalam waktu pencampuran 10
5 Beberapa jenis kehilangan saat penyimpanan 14
6 Rangkuman SNI pakan ayam petelur 17
7 Kelompok antimikroba yang masih boleh dipergunakan pada hewan dan manusia
18
8 Daftar imbuhan pakan yang diizinkan beredar di Indonesia 18
9 Waktu henti penggunaan beberapa jenis hewan 19
10 Spesies kapang yang menghasilkan aflatoksin 20
11 Batas tindakan FDA untuk aflatoksin pada makanan orang dan ternak 21 12 Batas maksimum kadar logam berat dan halogen dalam pakan ternak 22
13 Jenis mineral, sumber dan akumulasinya dalam jaringan hewan 23
14 Skema penjenjangan resiko berdasar pada tingkat keparahan resiko (S) dan peluang terjadinya bahaya (P) atau matriks Boevee
22 28
15 Interpretasi skor tingkat keparahan keracunan pangan 29
16 Interpretasi skor peluang kejadian keracunan pangan 29
17 Beberapa bahan yang diverifikasi secara laboratorium dan indikator ujinya
32
18 Data hasil pengukuran kualitas jagung yang diterima pada beberapa industri pakan di Indonesia
34
19 Data hasil uji histamin tepung ikan pada beberapa industri pakan di Indonesia
35
20 Spesifikasi saringan kawat pada hammer mill 36
21 Bahan – bahan yang dicampurkan pada pre mixing (per Kg Pakan) 37 22 Data rata-rata produksi dan penggunaan bahan per curah perncampuran
dari beberapa pabrik pakan
37
23 Rangkuman analisa bahaya beberapa perusahan pakan unggas 40 24 Rangkuman hasil penetapan CCP beberapa perusahaan pakan 41 25 Hasil eksekusi minimasi fungsi bioakumulasi bahan berbahaya pada
produksi pakan unggas
30 Ringkasan hasil analisa monitoring CCP 1, feed mill 2 49
31 Kecenderungan penyebab pemisahan campuran pakan 53
DAFTAR GAMBAR
1 Kebutuhan jagung untuk pakan di Indonesia 3
2 Diagram alir proses produksi pakan unggas dan potensi resiko Keamanan Pangannya
6
3 Perbandingan populasi bakteri pada usus ternak dari pemberian pakan dengan tingkat kekasaran bulir jagung berbeda
5 Pengaturan standar mutu pakan di Indonesia 16
6 Reaksi penguraian asam amino histidin menjadi histamin 21
7 Kerangka sistem manajemen keamanan pangan pada industri pakan 25
8 Tahap perancangan, analisis dan optimalisasi model resiko keamanan pangan di industri pakan
26
9 Contoh matriks keputusan 3x3 30
10 Alur proses penelitian analisis dan perancangan kondisi optimal keamanan pangan industri pakan
33
11 Prinsip Pembuatan Pelet 38
12 Proses Pengemasan Pakan 39
13 Indeks Bioakumulasi Kontaminasi pada Produksi Pakan Unggas Beberapa Pabrik di Indonesia
49
14 Analisa pemantauan CCP Pabrik ke-1 Tahun 2015, menggunakan
Moving Range Control Chart
50
15 Rancangan kondisi operasi produksi optimal industri pakan unggas 56
DAFTAR LAMPIRAN
1 Daftar dokumen standar GMP+ 67
2 Proyeksi populasi unggas dan kebutuhan pakan unggas nasional 69
3 Kapasitas produksi perusahaan pakan utama di Indonesia 70
4 Formulasi pakan unggas beberapa perusahaan 71
5 Iterasi simpleks optimasi model linear resiko keamanan pangan produk pakan unggas
72
6 Data pemantauan CCP1 dari Feed Mill 2 74
7 Diagram kendali pemantauan CCP 1 Feedmill 2 77
8 Beberapa panduan Good Manufacturing Practice untuk mencegah terbawanya residu obat pada proses produksi pakan ternak
Latar Belakang
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2015 mengenai Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) Tahun 2015-2035, memasukkan industri pakan sebagai salah satu prioritas. Industri pakan diharapkan mampu mendukung upaya pemerintah untuk swasembada protein. Keberhasilan swasembada protein tersebut bukan hanya dari segi kecukupan kuantitas tetapi juga telah dicanangkan harus memenuhi prinsip aman, sehat, utuh, dan halal.
Sistem manajemen keamanan pangan merupakan suatu sistem yang dirancang untuk menyediakan dan memperoleh produk memenuhi persyaratan keamanan pangan. Sistem ini merupakan proses pengendalian bahaya pangan dan pendeteksian bahaya keamanan pangan sedini mungkin yang berpeluang mengontaminasi produk, termasuk produk hasil ternak. Pengendalian bahaya pangan pada sebuah industri pangan adalah harga mutlak dalam pengelolaan produksi untuk menghasilkan produk yang aman dikonsumsi manusia. Penerapan sistem keamanan pangan pada industri pakan adalah salah satu upaya pencegahan bahaya keamanan pangan untuk produk pangan hasil ternak.
Penerapan sistem keamanan pangan pada industri pakan belum banyak dilakukan. Perhatian produsen pakan selama ini lebih banyak tertuju pada keberhasilan pertumbuhan dan kesehatan ternak hingga masa pemanfaatannya. Pada kenyataannya, setiap bahan pakan yang dikonsumsi ternak akan mengalami proses metabolisme, ada yang tersekresi dan adapula yang mengendap terakumulasi dalam jaringan ternak tersebut. Melihat pentingnya sistem keamanan pangan ini pada industri pakan yang menjadi bagian dalam rantai pasok produk pangan hasil ternak, maka pengendalian bahaya keamanan pangan pada pengelolaan produksi pakan perlu dilakukan.
Pakan yang dikonsumsi unggas memiliki resiko residu yang cukup tinggi dalam kasus bahaya pakan, baik bersumber dari bahan baku utama serealia maupun dari bahan tambahan pakan. Komposisi bahan pakan jenis serealia pada pakan unggas dapat mencapai 60% sehingga memungkinkan bahaya residu tinggi seperti kandungan aflatoksin dari aktifitas kapang. Hal tersebut menjadi beresiko terlebih karena ternak unggas merupakan hewan monogastrik. Menurut standard
Food and Drugs Administration (FDA) aflatoksin pada jagung untuk pakan diperbolehkan hingga 20 ppb, demikian juga untuk batas konsumsi manusia yakni maksimum 20 ppb. Standar international mempersyaratkan toleransi maksimum residu aflatoksin pada daging dan telur hanya 0.02 ppb.
Penerapan sistem manajemen keamanan pangan pada industri pakan dimulai dari pengawasan bahan baku yang masuk sampai pengelolaan produk pakan jadi.
Tujuan
Tujuan penelitian ini dilakukan adalah meminimalkan resiko keamanan pangan pada sistem manajemen produksi pakan serta merekomendasikan kondisi optimal pada sistem produksi industri pakan untuk keamanan pangan. Beberapa sasaran antara yang dicapai adalah :
a. Analisis proses produksi pakan untuk mengetahui tingkat keamanan pangan pada produk pakan
b. Mengidentifikasi bahan berbahaya bagi pangan pada produk pakan
c. Mengevaluasi dan mengoptimalkan keamanan pangan dari sistem produksi pakan
d. Merekomendasikan kondisi optimal keamanan pangan pada proses produksi industri pakan ternak.
Ruang Lingkup
Adapun batasan dan ruang lingkup dalam studi kondisi optimal keamanan pangan pada industri pakan adalah sebagai berikut :
a. Studi pengelolaan produksi berbasis manajemen keamanan pangan ini difokuskan pada rantai pasok yang berada dalam stakeholder unit penerimaan, quality control dan produksi.
b. Studi manajemen keamanan pangan pada industri pakan ini membahas mengenai proses pengelolaan produksi pakan unggas untuk mencegah kemungkinan masuknya bahaya pangan yang bersifat fisik, kimia maupun biologis.
c. Studi sistem manajemen keamanan pangan untuk industri pakan unggas ini dapat memberikan data dan informasi bahan berbahaya bagi pangan yang digunakan pada produk pakan dan kemungkinan terikut pada produk hasil peternakan.
d. Studi sistem manajemen keamanan pangan pada industri pakan dapat memberikan gambaran penerapan sistem pengelolaan produksi pakan yang memenuhi persyaratan kemanan pangan standar internasional.
2
TINJAUAN PUSTAKA
Perkembangan Industri Pakan
Industri pakan ternak di dalam negeri sangat berperan mendukung industri peternakan dalam menyediakan ketersediaan konsumsi ptotein bagi masyarakat. Berkembangnya industri peternakan menyebabkan meningkatnya permintaan terhadap pakan, karena industri pakan ternak memiliki keterkaitan ke depan (forward linkage) berhubungan dengan output pakan yang digunakan sebagai makanan ternak dan keterkaitan ke belakang (backward linkage) yang berhubungan dengan kebutuhan akan input pakan terutama jagung.
ternak dari 15% menjadi 12%. Namun secara umum industri pakan ternak nasional cukup memiliki peluang yang baik. Dilihat dari tingkat produksi, industri pakan ternak mengalami pertumbuhan rata-rata 8.4% dalam periode lima tahun terakhir.
Ketergantungan impor bahan baku pada industri pakan ternak adalah tinggi hingga 80%, sejalan dengan rendahnya produktivitas bahan baku di dalam negeri. Industri pakan ternak masih harus mengimpor jagung sebagai salah satu bahan baku, meski tingkat kebutuhannya di dalam negeri tinggi, sebagaimana disajikan pada Gambar 1 terlebih lagi kontribusi penggunaan jagung sebagai bahan baku pakan ternak diperkirakan berkisar 50-51%.
Gambar 1 Kebutuhan jagung untuk pakan di Indonesia (Kementan 2015)
Kebutuhan bahan baku masih tergantung impor, terutama jagung dari Amerika dan Brasil. Tingginya harga bahan baku impor, mengakibatkan harga pakan ternak di pasar domestik melambung. Pemerintah dalam jangka pendek akan mendorong pabrik pakan ternak yang selama ini masih menggunakan bahan baku impor sebagai campuran, untuk menggunakan bahan baku lokal guna menurunkan harga pakan ternak di dalam negeri.
Menurut data dari Gabungan Produsen Makanan Ternak (GPMT) di Indonesia terdapat 42 pabrik pakan ternak yang masih aktif hingga 2008. Sebelumnya terdapat 50 perusahaan, namun 8 di antaranya sudah menghentikan operasionalnya. Kapasitas produksi pakan pada Tahun 2016 mencapai 21.14 juta ton dan diproyeksikan terus meningkat sebagaimana Tabel 1 dan Lampiran 2.
Tabel 1 Proyeksi kebutuhan pakan unggas
Tahun Kebutuhan Pakan (juta ton)
Kebutuhan Bahan Baku Pakan (juta ton) Jagung Bungkil
Kedele
Dedak/ Onggok
Tepung Ikan
CPO Mineral Premix
Bahan lain 2015 19.24 9.62 3.46 2.89 0.96 0.58 0.38 1.35 2016 21.14 10.57 3.81 3.17 1.06 0.63 0.42 1.48 2017 23.23 11.62 4.18 3.48 1.16 0.70 0.46 1.63 2018 25.54 12.77 4.60 3.83 1.28 0.77 0.51 1.79 2019 28.06 14.03 5.05 4.21 1.40 0.84 0.56 1.96 Total 117.21 58.61 21.10 17.58 5.86 3.52 2.33 8.21 Keterangan : Asumsi 1% ayam lokal dan 6% itik mengkonsumsi pakan pabrikan
Setidaknya 83% produksi pakan dialokasikan untuk unggas, 7% untuk budidaya ikan, 6% untuk babi, 1% untuk pakan ternak lainnya. Di Indonesia, unggas memiliki proporsi populasi terbesar dari distribusi hewan ternak, sebagaimana disajikan pada Tabel 2 pilar perunggasan Indonesia saat ini adalah pabrik pakan, breeding farm, bandar ayam, dan peternak yang saat ini kondisinya belum harmonis satu sama lain.
Tabel 2 Distribusi jenis ternak di Indonesia (dalam 1000 ekor)
No. Jenis Ternak Tahun 2015 Tahun 2016
1 Sapi Perah 518.65 533.86
2 Sapi Potong 15,419.72 16,092.56
3 Kerbau 1,346.92 1,386.28
4 Kambing 19,012.79 10,608.18
5 Domba 17,024.68 18,065.55
6 Babi 7,808.09 8,115.49
7 Kuda 430.40 437.57
8 Ayam Buras 285,304.41 298,672.97
9 Ayam Ras Petelur 155,007.39 162,051.26 10 Ayam Ras Pedaging 1,528,329.18 1,592,669.40
11 Itik 45,321.96 47,359.71
Sumber : Kementerian Republik Indonesa (2016 diolah).
Saat ini industri pakan ternak berskala besar tersebar pada 8 provinsi di Indonesia. Sumatera Utara memiliki 8 pabrik, Lampung ada 4 pabrik, Banten ada10 pabrik, DKI Jakarta 4 pabrik, Jawa Tengah 1 pabrik, Jawa Barat terdapat 4 pabrik, Sulawesi Selatan 2 pabrik, dan paling banyak terdapat di Jawa Timur mencapai 15 pabrik. Wilayah Jawa Timur merupakan sentra industri pakan ternak dan peternakan terbesar di Indonesia.
Menurut Purba (1999), kecenderungan pertumbuhan pabrik pakan ternak hingga saat ini telah membentuk oligopoli ditunjukkan dengan adanya (1) proporsi produksi pakan dari pabrik pakan berskala besar yang berjumlah delapan pabrik (12%) memiliki pangsa pasar 40-60%, (2) perusahaan peternakan skala besar seperti PT. Japfa Comfeed, PT. Charoen Phokpand, PT. Cargill, PT. Anwar Sierad, Group Subur, PT. Multi Breeder dan lain-lain melakukan integrasi vertikal. Integrasi vertikal yang dimaksud adalah membangun bisnis pakan, peternakan, dan pengolahan produk hasil ternak dalam satu group perusahaan. Beberapa kapasitas produksi perusahaan pakan utama di Indonesia disajikan pada lampiran 3. pada lampi Persaingan yang ketat antar perusahan, akan mengarahkan persaingan dalam hal harga dan tentu saja kualitas. Dewasa ini pabrikan pakan ternak berusaha menerapkan manajemen kualitas pakan yang meliputi :
a. Kualitas Nutrisi, aspek kualitas nutrisi ini terutama sekali berkaitan erat dengan komposisi kimia, di mana kandungan kimianya harus mewakili kebutuhan biologi ternak yang bersangkutan serta mempunyai dampak yang nyata terhadap performa ternak. Nilai utama dari kualitas nutrisi pakan adalah kandungan protein, energi, mineral, lemak dan vitamin;
c. Kualitas Emosional, aspek kualitas emosi terutama sekali berkaitan dengan standar etika pabrikan untuk dapat meraih pasar dan membuat pembeda untuk sebuah produk berdasarkan variasi komoditi, sehingga dapat berperan signifikan untuk memberikan pertumbuhan yang cepat dibanding produk terdahulunya. Misalnya dengan kualitas plus (omega-3, vitamin E, non kolesterol, pakan organik, dan lain-lain).
d. Kualitas Keamanan, aspek kualitas kemanan berkenaan erat dengan standar keamanan penggunaan pakan untuk ternak, manusia dan lingkungan, kontaminasi mikrobiologi, kemanan pekerja pada proses produksi. Kendali kualitas keamanan berada pada standar GMP dan HACCP.
Teknologi Proses Produksi Pakan
Industri pakan unggas di Indonesia menghadapi permasalahan cukup rumit pada pengadaan bahan baku. Jagung pasokan dalam negeri memiliki kualitas kurang memadai di mana kadar air dapat mencapai 30% dengan kandungan kapang sangat tinggi. Penggunaan jagung impor akan meningkatkan biaya produksi. Untuk mengatasi hal tersebut, industri pakan unggas melengkapi sistem produksinya dengan mesin pengering (Corn Dryer). Resiko keamanan pangan dapat timbul dari proses pengeringan yang tidak sempurna, di mana potensi besar jagung ditumbuhi kapang.
Kebutuhan protein dalam formulasi dipenuhi dengan tepung kacang kedele, tepung ikan, dan sejumlah asam amino yang ditambahkan. Pada tingkat penelitian, Sukaryana et al. (2011) mencoba penggunaan bungkil inti kelapa sawit yang dicampur dengan dedak. Bahan-bahan seperti tepung kedele, tepung ikan, bungkil inti kelapa sawit, dan dedak dalam sistem industri dimasukkan ke dalam Mixer
Utama. Dengan demikian mixer-utama dapat menjadi sumber resiko keamanan pangan apabila bahan yang dimasukkan tidak memenuhi persyaratan. Tepung kedele dan bungkil kelapa sawit berpotensi mengandung aflatoksin dari kapang, sementara tepung ikan mengandung histamin (biogenik amin).
Bahan-bahan seperti asam amino, vitamin, dan obat-obatan hewan umumnya dicampur terlebih dahulu dalam mixer kecil dan produknya dinamakan
pre mix. Produk pre mix tersebut disesuaikan dengan jenis produk yang ingin dibuat, di mana peruntukannya bagi anak unggas, pertumbuhan (growth promotor), unggas petelur, bahkan dapat untuk pesanan khusus saat wabah penyakit hewan. Resiko yang timbul dari tahap pre mixing adalah kesalahan penimbangan yang mengakibatkan kelebihan kadar obat-obatan yang dicampur.
Menurut Abdurrahman et al. (2010), proses mixing adalah mencampurkan bahan utama jagung, tepung ikan, dedak, bungkil kelapa sawit, minyak sawit, dan bahan pre mix. Setelah bahan dicampur sempurna, maka dimasukkan ke dalam proses granulasi. Granulasi adalah proses pembentukan pakan menjadi bentuk dan ukuran tertentu. Pada proses granulasi, pembentukan granul dibantu menggunakan
Proses selanjutnya adalah bagging di mana resiko keamanan pangan dapat dikatakan relatif kecil. Secara ringkas proses produksi beserta resiko keamanan pangan pada sistem industri pakan unggas dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2 Diagram alir proses produksi pakan unggas dan potensi resiko keamanan pangannya (Tsaniah et al. 2014)
Penerimaan Bahan Baku Jagung
Bahan pakan merupakan segala sesuatu yang dapat dimakan, dicerna dan diserap baik oleh ternak tanpa menimbulkan keracunan bagi ternak itu sendiri. Berdasarkan kandungan seratnnya bahan makanan ternak dapat dibagi menjadi dua kelompok yakni konsentrat dan hijauan. Sukria dan Krisnan (2009) mencacat bahwa konsentrat yang berasal dari tanaman seperti serealia (jagung; padi), kacang-kacangan, umbi-umbian dan buah-buahan (kelapa kopra dan kelapa sawit). Sedangkan tepung ikan, tepung daging dan tepung tulang juga merupakan konsentrat yang berasal dari hewan.
Setiap perusahaan pakan melakukan pengendalian terhadap mutu bahan baku jagung pipil yang dibeli. Pengendalian dilakukan dengan melakukan pengawasan mutu terhadap dua parameter yakni kadar air dan keberadaan kapang. Kadar air diukur secara kuantitatif, sementara keberadaan kapang dilihat menggunakan sinar ultra violet. Menurut JECFA (1998), kadar air erat kaitannya dengan keberadaan kapang yang menghasilkan aflatoksin. Kapang adalah mikroorganisme yang dapat bertahan hidup hingga kadar air 7%. Namun demikian, perusahaan pakan masih bersedia menerima jagung dengan kadar air maksimal 30%.
Kandungan aflatoksin pada biji jagung di Indonesia berkisar antara 10-300 ppb, sedangkan kadar maksimal berdasarkan standar SNI adalah 50 ppb dan menurut FDA 100 ppb. Batas ambang maksimum untuk beberapa mikotoksin lain seperti fumonisin adalah 5-100 ppm, zearalenon 1-200 ppm, dan trikotesena (deoksinivalenol) 5-10 ppm untuk jagung. Batas ambang tersebut juga bergantung pada jenis hewan (FAO 1997).
Tabel 3 Kadar aflatoksin dalam persyaratan mutu bahan baku ransum pakan
Bahan Baku Pakan Aflatoksin Maksimum (ppb)
Canola meal 100
Rapseed meal 100
Bungkil biji bunganmatahari 90
Bungkil biji kapuk 100
Jagung 50
Corn Gluten Meal 50
Sumber : Dirjen Peternakan (2015)
Bahan baku masuk ke dalam pabrik menggunakan truk. Rosentrater dan William (2004) mendiskusikan rancangan system elevator untuk mengangkut bulir jagung ke hooper. Kapasitas hooper penampung truk antara 25 hingga 50 ton, sementara penimbangan umumnya menggunakan jembatan timbang. Bahan tambahan mikro seperti mineral, umumnya diangkat secara pneumatik dalam bin
penyimpanan. Dipergunakan blower dengan laju transfer pneumatik udara antara 4000 dan 5000 kaki/menit.
Bahan-bahan tersebut selanjutnya didistribusikan menggunakan berbagai peralatan seperti bucket elevator, pembagi dengan gravitasi, belt conveyor, konveyor rantai, dan konveyor ulir. Rosentrater dan William (2004) menghitung kapasitas konveyor ulir sebagai berikut :
di mana Q adalah kapasitas volume (ft3/menit), Dh adalah diameter ulir helik
bertingkat (inci), Ds diameter shaft ulir (inci), P adalah panjang pitch sejauh ulir,
N adalah laju rotasi ulir (putaran per menit), dan C1 adalah faktor konversi 1728
(in3/ft3).
Pengeringan Jagung
Jagung yang dibeli dengan kadar air melebihi 14%, akan dimasukkan ke dalam mesin pengering (corn dryer). Menurut Islam et al. (2004) proses pengeringan jagung merupakan proses kompleks, di mana biasanya bergantung pada pengalaman operator. Pengeringan jagung hingga kadar air 14% umumnya dilakukan oleh industri pakan berskala besar (Mulyantara et al. 2008).
40.5-46°C, tergantung dari genotif biji dan kadar air awal bulir. Laju udara berkisar antara 15-40m3 min-1 m-2 baik udara ke atas maupun ke bawah (Islam et al. 2004).
Di Industri pakan, jagung umumnya dikeringkan ulang untuk memperoleh kadar air yang relatif seragam. Mesin pengering yang dipergunakan adalah mesin pengering sinambung (continuous) dengan jaring bergerak (moving net). Temperatur pengeringan menjadi faktor kritis, umumnya pada 40-70°C. Jagung mengering hingga kadar air kurang dari 10% pada temperatur 40-45°C dan daya kecambahnya tidak rusak, tetapi bila dikeringkan dengan temperatur 50°C maka daya kecambahnya akan rusak, sementara pada temperatur 60°C akan tidak dapat berkecambah sama sekali. Takhar dan Shuang (2010) mempelajari pengeringan kadar air di bawah 47% pada 40°C pada pengering unggun konvensional, setelah 72 jam, temperatur bulir tampak seragam, kandungan kadar air antara 8%-12% di dasar unggun, dan kemampuan berkecambah tidak terpengaruh.
Menurut Correa et al. (2011), penurunan pada kandungan air bahan akan mengurangi aktifitas biologis, begitu juga aktifitas kimia dan fisik selama penyimpanan. Proses pengeringan faktanya mempengaruhi aktifitas mikrobiologi, enzim, dan mekanisme metabolit.
Pengendalian kadar air dan temperatur jagung selama penyimpanan merupakan cara efektif untuk mencegah pembusukan, serangga, kehilangan berat, dan kondisi buruk. Pada keseimbangan kadar air dan kelembaban udara tertentu, aktifitas kapang dan serangga dapat ditekan. Jagung yang disimpan walaupun telah dikeringkan hingga kadar air standar masih dapat menjadi busuk, apabila tidak segera didinginkan. Temperatur yang tidak beraturan tersebut akan menyebabkan uap air terkumpul di atas silo, dan memungkinkan untuk pertumbuhan kapang maupun serangga (Sapkota et al. 2007).
Penggilingan Jagung
Bulir jagung yang telah kering selanjutnya dikecilkan ukurannya, sebelum dimasukkan ke dalam formulasi sebagai bahan pakan. Ukuran pecahan jagung disesuaikan besarnya dengan peruntukan kelompok konsumen ternak unggas. Ukuran lebih besar dapat dikonsumsi oleh ternak unggas dewasa, sementara untuk anak ayam diberikan pecahan jagung lebih kecil.
Menurut Chuanzhong et al. (2012) sebagai alat pengecilan ukuran, hammer mills dipergunakan secara luas pada industri pangan dan pakan karena keuntungannya yakni produktifitas tinggi dan fleksibel menggiling berbagai jenis produk. Peralatan hammer mill umumnya dilengkapi dengan ayakan atau penapis baik saat bulir jagung diumpankan ke dalam mesin maupun setelah dihasilkan serpihan jagung.
Penggilingan jagung memungkinkan partikel untuk mudah dicerna (Ravindran et al. 2006). Amerah et al. (2007) mengindikasikan bahwa broiler
Ukuran umum hammer mill berdiameter 750 inci, area penapis 7,000 inci2, laju operasi 3,600 rpm, laju efektif pemipilan lebih dari 21,000 ft.menit dan membutuhkan tenaga lebih dari 600 HP. Sebagian besar hammermill diinstalasi dengan suatu sistem udara, tersedia saluran masuk udara (untuk mengendalikan udara dalam proses) terintegrasi dengan hammermill, dilengkapi aliran udara, penapis dan diluar mesin dipasang pengumpul debu. Sistem umumnya memerlukan 1-2 m3/inci2 area penapis. Konveyor di bawah hammermill
(umumnya konveyor ulir tunggal) dipasang setidaknya 18 inci di bawah pengeluaran hammermill. Di bawahnya lagi dapat dipasang konveyor untuk mengatur setidaknya lebih dari 10 ft2 agar aliran udara optimal (Rosentrater dan William 2004).
Tingkat kekasaran jagung yang dimasukkan ke dalam formulasi pakan menurut Stark dan Jones (2009) dapat mengurangi populasi bakteri merugikan dalam usus ternak. Jumlah Enterobakteri kolon menurun drastis hingga tak terlacak, sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 3.
Gambar 3 Perbandingan populasi bakteri pada usus ternak dari pemberian pakan dengan tingkat kekasaran bulir jagung berbeda (Stark dan Jones 2009
diolah)
Pencampuran awal (Pre Mixing)
Pre mixing atau pencampuran awal adalah istilah yang dipergunakan untuk proses mencampur beberapa bahan tambahan pakan (feed ingredients) lebih awal, sebelum dicampurkan ke bahan utama pakan yakni jagung giling dan sumber konsentrat protein lainnya. Menurut Lefferts et al. (2007) sejumlah bahan tambahan pakan perlu mendapat perhatian karena terkait dengan kesehatan masyarakat di antaranya adalah: a) SRM (Specified Risk Materials) yakni zat yang dapat menyebabkan penyakit sapi gila (Bovine spongiform encephalopathy); b) protein dari hewan mamalia dan unggas, baik berupa darah atau jeroan sisa; c) antimikroba; d) lemak hewan; e) arsen yang dipakai pada zat tumbuh,
Inggris melalui food standard agency mengeluarkan panduan pada tahun 2014 mengenai bahan tambahan yang boleh dimasukkan ke dalam formulasi pakan di antaranya adalah: a) vitamin; b) unsur mikro seperti besi, iodin, kobalt, tembaga, mangan, seng, molibdat, selenium (catatan bahwa tidak semua senyawa dari unsur ini boleh dimasukkan); c) urea; d) pengawet (seperti asam propionat); dan e) tambahan silase. Kelompok bahan lain yang juga masih diijinkan adalah antioksidan, emulsifier, stabilizer, pengembang, bahan gel dan pengikat, anti busa, pengatur keasaman (seperti natrium bikarbonat), pewarna, penetral, cita rasa, asam amino dan garam analognya, penguat daya cerna (enzim), bahan yang cocok bagi lingkungan, bahan untuk pengendali kontaminasi radionuklida, kokidiostat dan histomonostat. Bahan seperti natrium hidroksida dipakai untuk melunakkan bulir tak disarankan sebagai aditif, hanya untuk perlakuan saja.
Kunci proses pre mixing terletak pada akurasi penyusunan formula dan penimbangan bahan aktif. Diperlukan tingkat ketelitian alat ukur yang sangat baik untuk memastikan bahwa bahan yang akan dipergunakan benar-benar sesuai dengan takaran yang dikehendaki (Abudabos et al. 2013)
Peralatan yang dipergunakan umumnya mixer ukuran kecil, antara 50-500 kg. Untuk bahan dasar cair digunakan mixer cair, namun bila bahan dasarnya bubuk digunakan tumbler mixer. Kecepatan mixer cair umumnya diatur pelan hingga medium untuk menghindari vortex.
Pencampuran (Mixing)
Pencampuran bertujuan untuk mencampur semua bahan baku dan bahan tambahan dengan komposisi tertentu untuk menjadi pakan. Pencampuran dilakukan berdasarkan formula atau ramuan pakan ternak yang akan diproduksi. Sebelum dicampur semua bahan ditimbang dengan timbangan otomatis yang terdapat diatas mesin pencampur dan kemudian dicurahkan ke dalam mesin pencampur (mixer) untuk dicampur dan diaduk dengan CPO (Crude Palm Oil), dan pre mix. Garam biasa dipergunakan sebagai mikronutrien untuk menguji kinerja mixer.
Sebagai aturan umum, minimum waktu pencampuran untuk mixer pakan vertikal (single auger) adalah 10-15 menit. Pada perusahaan pakan, standar keseragaman pencampuran biasa dinyatakan sebagai koefisien keragaman (coefficient of variation - CV) yang nilainya 10 atau kurang. Bila CV di atas 10%, maka waktu pencampuran perlu ditambah dan/atau system perlu diperiksa, dicari penyebab kegagalan distribusi bahan pakan tersebut. Tabel 4 menyajikan panduan evaluasi variasi dalam waktu pencampuran.
Tabel 4 Panduan evaluasi keragaman dalam waktu pencampuran
CV Jenjang Tindakan Koreksi
< 10% Sangat Baik Tidak ada
10-15% Baik Tambahkan waktu pencampuran antara 25-30%
15-20% Cukup Tambahkan waktu pencampuran hingga 50%, perhatikann pemakaian alat, kelebihan muatan atau urutan dari penambahan bahan pakan
> 20% Buruk Mungkin gabungan dari kasus di atas. Konsultasikan pada pembuatan peralatan
Ada beberapa macam mixer yang dipergunakan pada industri pakan dengan berbagai penggunaan yang luas yakni,
Vertical Mixer – dipergunakan pada pabrik kecil, berisi sebuat vertical screw yang mengambil bahan dari atas jatuh kebawah dan balik lagi berulang-ulang;
Horizontal Mixer – memiliki sudu atau bilah pada suatu rotor horizontal,
mixer ini umumnya memiliki homogenitas paling konsisten dan waktu pencampuranpun rendah.
Menurut Rosentrater dan William (2004), Mixer dengan pengaduk pita memiliki berbagai macam ukuran, tapi dapat dikonstruksi dengan kapasitas sebesar 700 ft3 per menit. Sebagian besar dioperasikan dengan laju mendekati 40 rpm. Kunci operasi mixer adalah waktu siklus pengadukan, termasuk waktu untuk memuat (dari timbangan curah), waktu pencampuran, waktu pembongkaran, dan waktu tunggu diisi lagi. Sebagian besar mixer memiliki waktu siklus antara 5-10 menit, tergantung efisiensinya, dengan kapasitas pencampuran 6-12 ton per jam. Kapasitas produksi dihitung tergantung pada :
Di mana Q adalah volume yang melalui mixer (ton/jam), C adalah volume efektif mixer (ton), E adalah efisiensi proses pencampuran (%, ditulis dalam bentuk decimal), C1 adalah faktor konversi dari 60 (menit/jam), Tf adalah waktu untuk
mengisi mixer dari timbangan curah (menit), Tm adalah waktu yang dibutuhkan
untuk mencampur (menit), Te waktu yang diperlukan untuk mengkosongkan mixer dan Td waktu henti antar curah.
Pembutiran (Pelleting)
Pembutiran bertujuan untuk membetuk hasil pencampuran menjadi bentuk
pellet, hasil pencampuran terlebih dahulu dipanaskan dengan uap panas bersuhu 98oC yang dialirkan ke dalam chamber pellet sehingga bentuk bahan tersebut menjadi bubur panas. Bubur panas ini kemudian dialirkan menuju hygieneser
yang suhunya 92oC dan bertujuan untuk menghigieniskan pakan, kemudian dialirkan menuju cetakan berbentuk lingkaran dengan saringan berdiameter 3-5 mm yang terdapat di ujung mesin pellet dan ditekan keluar melalui saringan tersebut.
Pelet umumnya berukuran diameter 10/64” hingga 48/64” dan dapat lebih
panjang lagi daripada diameternya. Sejumlah kecil produksi ukuran peletnya lebih besar dihasilkan dalam bentuk silinder, ada juga triangular, kotak, oval atau
bentuk-bentuk lainnya. Alasan paling logis pembentukan pelet adalah : a) dibangkitkan dalam kondisi panas dan pellet menjadi pati yang lebih mudah
dicerna; b) pellet lebih mudah dimampatkan untuk disimpan, dan c) pellet
mengurangi limbah saat diumpankan kepada ternak.
dipotong sesuai ukuran oleh pisau-pisau yang bergerak secara otomatis. Hasil dari proses ini berbentuk butiran-butiran yang disebut pellet. Pellet kemudian dialirkan melalui pipa ke mesin pendinginan (cooler).
Beberapa kondisi yang sering dijadikan pengukuran efisiensi dan mutu dari operasi pembentukan palet adalah gesekan (friksi), kehalusan, penyusutan, pemilihan cetakan, dan laju pencetakan. Beberapa faktor yang mempengaruhi friksi menurut Rosentrater dan Williams (2004) adalah :
1. Kelembaban yang ditambahkan dari bahan tambahan seperti Steam,
molase basah atau justru air. Penambahan kelembaban dapat saja menyebabkan pellet memisah dan tidak meningkatkan mutu ataupun produktifitas
2. Penyesuaian
3. Ukuran dasar ayakan dari bahan tambahan pakan;
4. Sifat fisik dari bahan tambahan pakan seperti mineral, bahan tambahan larut air, dan mengandung serat.
Faktor lain yang terkait dengan friksi adalah ukuran cetakan terkait dengan diameter celah dan ketebalannya. Friksi tinggi (lebih dari 300F) dihasilkan pada cetakan yang dikurangi dan gerakan roda, sebagaimana perawatan bearing.
Kehalusan bahan dapat menghasilkan pellet rapuh akibat kualitas yang buruk atau aus mekanis. Kehalusan adalah fungsi kelembaban dan friksi tinggi atau partikel bahan pakan yang ukurannya lewat standar atau pengkondisiannya buruk.
Penyusutan adalah kehilangan berat dari bahan tambahan pakan setelah proses pellet. Kehilangan pada dasarnya disebabkan oleh kehilangan kelembaban dan gesekan tinggi. Gesekan tingkat tinggi disebabkan oleh kehilangan kelembaban akibat masuknya pellet panas pada pendinginan sehingga mengkerut. Penyusutan sebaiknya tak lebih dari 2%, tapi normalnya penyusutan 1.5% menyebabkan pellet rapuh (Briggs et al., 1999)
Laju pencetakan (RPM) adalah fungsi pakan yang akan dibentuk pellet. Kualitas pellet buruk terjadi bila kecepatannya lebih tinggi. Secara umum, laju 1800 feet/menit adalah kondisi normal. Hal tersebut diukur di luar dari diameter cetakan.
Pendinginan (Cooler)
Pendinginan bertujuan untuk menurunkan temperatur pellet dan mengurangi kelembaban pada pellet akibat dipanaskan dengan uap panas di chamber pellet.
Karena pellet yang masih panas dan mengandung kadar air tinggi akan mudah terserang jamur sehingga produk tidak tahan lama. Pellet didinginkan di mesin pendingin (cooler) dengan bantuan dua blower, blower pertama mengalirkan udara dingin ke pellet, sedangkan blower kedua menghisap dan mengalirkan udara panas ke udara bebas.
Sebagian besar pendingin dikelompokkan menjadi vertikal dan horisontal. Pendingin vertikal dibuat dari dua kolom pellet ,berdampingan, ditahan posisinya dengan jaring kawat di dua sisinya. Udara digerakkan melalui kolom pellet
menggunakan kipas. Model horisontal operasinya sama dengan model vertikal hanya pergerakan bahannya yang berbeda.
Penghancuran (Crumbling)
Untuk menghasilkan partikel pelet pakan lebih kecil dari 10/64”, secara
umum memerlukan suatu proses penghancuran. Pada proses ini, ukuran pellet kecil dipecah di antara dua roll yang bergerak bersamaan. Set roll penghancur biasanya dipasang langsung di bawah pendingin untuk mengurangi kebutuhan pengendali laju.
Mesin penghancur dan rumahnya terbuat dari rangka baja. Roll
bergelombang umumnya berukuran diameter 8-12” dan panjang lebih dari 72”.
Roll bergelombang normalnya berjarak 6-12 per inci. Pengendalian ukuran dan derajat kehancuran produk diatur melalui jarak rol tersebut. Disediakan celah untuk mengeluarkan produk yang tidak ingin dihancurkan.
Pengayakan (Screening)
Proses pengayakan untuk memisahkan crumble yang sesuai dengan ukuran yang melebihi ukuran. Ukuran saringan yang digunakan pada mesin pengayak adalah 4 dan 6 mash. Pakan yang sesuai ukurannya langsung dicurahkan ke penampungan untuk dikemas, sedangkan yang melebihi ukuran dibawa kembali ke chamber pellet untuk diproses ulang. Diperkirakan 25-30% bahan halus akan dikembalikan ke mesin penghancur untuk diproses ulang.
Mesin pengayak utama saat ini menggunakan kawat atau baja yang bekerja secara guncangan, getaran, atau gelombang, Unit mesin dapat dibuat dengan baja atau rangka kayu yang dihubungkan dengan motor penggerak.
Pengemasan (Packing)
Produk jadi, baik berupa tepung maupun butiran (pellet), dicurahkan dari tempat penampungan (bin) masing-masing ke dalam karung plastik sambil ditimbang di timbangan manual dengan berat 50 kg tiap karung atau ukuran lain yang diinginkan. Kemasan produk jadi kemudian dijahit dengan mesin jahit secara otomatis dan diangkut ke gudang produk jadi dengan forklift.
Tabel 5 Beberapa Jenis Kehilangan saat Penyimpanan (Lay 2010)
Jenis Pakan Penyusutan
Pakan komersial kering 0.3-0.7 %
Komoditas kering- agak berbobot, dicampur dalam truk 2-4 %
Bulir modifikasi distilasi dan basah – ditimbang pada pabrik etanol, di muat dan dibongkar ke penyimpanan
2-3 %
Bulir basah diperam – dimuat ke truk dan dicampur sebelum dibongkar
15-20 %
Rumput alfalfa dicincang dikirim atau diumpankan ke tempat makan
4-10%
Silase jagung, disimpan di bunker 6-18%
Jagung kelembaban tinggi 2-9 %
Tepung kedele – diumbruk potensi dihembus angin 8-9 %
Bulir modifikasi distilasi dan basah –disimpan dalam kantong atau
bunker (anaerob), ditimbang pada pabrik etanol, di muat dan dibongkar ke penyimpanan
7-17%
Sistem Manajemen Keamanan Pangan pada Pakan
Program jaminan mutu komprehensif pada pengendalian mutu produksi pakan ternak didefinisikan dalam suatu set standar, jaminan mutu merujuk kepada kebijakan, prosedur, dan pengendalian proses, sebagaimana pengawasan dalam lini produksi untuk menjamin semua tolok ukur terpenuhi. Model program jaminan mutu pakan, menurut Stark dan Jones (2009) mengandung enam komponen : 1)Pembelian dan penerimaan bahan; 2)Pengendalian proses dan produksi pakan; 3)Inspeksi produk jadi dan pelabelan; 4)Pengapalan dan penyerahan; 5)Sanitasi dan pengendalian hama; 6)Investigasi produk pakan dan penarikan produk.
Wiradarya (2006) menyatakan bahwa aspek-aspek permasalahan dan solusi
keamanan pangan produk peternakan ditinjau dari aspek pasca panen meliputi : 1) Sanitasi dan higien proses pengolahan pasca panen peternakan; 2) Bahan
tambahan pangan yang dipergunakan dalam produksi pangan asal ternak; 3) rekayasa genetic; 4) Iradiasi pangan asal ternak; 5) Kemasan pangan asal ternak; 6) Jaminan mutu dan pemeriksaan laboratorium sifat fisik-kimiawi pangan asal ternak; dan 7) pangan produk peternakan tercemar.
Pendekatan Hazard Analysis Critical Control Points (HACCP) untuk pengendalian mutu produk peternakan dikemukakan oleh Thahir et al. (2005). Sistem manajemen keamanan pangan meningkatkan kesadaran pentingnya higienik serta implementasi sistem jaminan mutu HACCP dalam produksi produk peternakan.
mengurangi hama hingga batas yang diinginkan sesuai kesenangan masyarakat dengan konsekwensi ekonomi yang sesuai. Manajemen hama terpadu juga mengupayakan agar penggunaan pestisida tidak terlalu sering untuk menghindari resistensi hama. Pengendalian hama pada pabrik pakan meliputi pencegahan produk dari serangga, kutu, kecoa, lalat,tikus dan burung (Subramanyam 2009).
Standar GMP+ yang diperuntukkan khusus untuk pakan telah diperkenalkan pada Tahun 1992 dan hingga kini telah diikuti 70 negara dan 13,142 perusahaan. Dalam perkembangannya, standar GMP+ tersebut dilengkapi dengan skema sertifikasi yang mengintegrasikan sistem manajemen mutu ISO 9000, HACCP, serta persyaratan lain. Maksud tanda + sebenarnya adalah terintegrasi dengan HACCP. Landasan sistematik GMP+ sebagian ditentukan dengan memasukkan prinsip perbaikan berkesinambungan sebagaimana siklus Deming. Sistem GMP+ telah menyediakan seperangkat dokumen yang dapat menjadi acuan bagi perusahaan pakan, dikelompokkan menjadi dokumen A; B; C; dan D. Dokumen GMP+ disajikan pada Lampiran 1.
Sistem manajemen keamanan pakan diperkenalkan oleh Europian Feed Manufacturers Guide (EFMG) pada November 2009. Standar tersebut mengadopsi persyaratan dari Standar ISO 22000, sistem manajemen keamanan pangan untuk industri pakan, Namun demikian, standar tersebut menekankan benar penerapan prinsip HACCP di dalamnya.
Di Inggris, bahan tambahan pakan yang dibeli (kecuali bahan silase) dan produk premix ataupun dicampur langsung dengan bahan pakan, diharuskan memenuhi peraturan hygiene pangan. Produk tersebut juga harus diolah dengan menerapkan system manajemen keamanan pangan berdasarkan prinsip HACCP pada setiap operasi pencampurannya (EFMC 2009).
Mutu Keamanan Pangan pada Pakan
Pakan adalah segala sesuatu yang dapat dimakan, disenangi, dapat dicerna sebagian atau seluruhnya, diabsorbsi dan bermanfaat bagi ternak. Pakan merupakan faktor yang mempengaruhi produktivitas ternak, sering dihitung 50% sampai 75% dari biaya total (Kellems dan Church 2010). Pakan yang berkualitas buruk tidak hanya berbahaya bagi ternak, tetapi juga bagi manusia yang mengkonsumsi produk ternak tersebut. Indikator kualitas pakan antara lain dari kandungan nutriennya, bentuk fisik, serta kontaminasi pakan. Ketidak-amanan bahan pangan asal hewan dapat berkaitan dengan pakan, misalnya mencakup
Salmonellosis, Mycotoxicosis, kadar residu obat dan bahan kimia yang dapat mengganggu kesehatan manusia apabila dikonsumsi (Brufau dan Tacon 1999).
Gambar 4 Hierarki pangan, pakan dan limbah (FEFAC 2014)
Peluang bisnis peternakan yang terbuka di Indonesia menjadikan perusahaan pabrik pakan ternak memiliki peluang yang cukup baik dalam pengembangannya. Ketersediaan pakan menjadi persoalan besar bagi usaha peternakan, selain kuantitas permintaan pasar dalam jumlah besar yang harus dipenuhi oleh pabrik, masalah kualitas tidak dapat diabaikan. Standar mutu pakan di Indonesia diatur dalam dua format, yakni Standar Nasional Indonesia (SNI) dan Peraturan Menteri Pertanian (PTM). Terdapat kurang lebih 59 buah dokumen standar SNI dan 61 buah peraturan yang mengatur tentang pakan, baik itu jenis ataupun bahan baku pakan sebagaimana disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Pengaturan standar mutu pakan di Indonesia (Ma’sum 2015)
Tabel 6 Rangkuman SNI pakan ayam petelur
a. Konsentrat grower untuk asam amino ditambah triptopan min 0.29% b. Konsentrat layer untuk asam amino ditambah triptopan min 0.25% c. Kadar air maksimal 14%
d. Sumber Kementan (2015)
e. PK (Protein Kasar); LK (Lemak Kasar); SK (Serat Kasar)
Bahaya Kimia Obat Hewan
Residu obat-obatan ternak dalam produk ternak (daging, susu, telur) dapat membahayakan manusia. Obat-obatan tersebut dapat berupa antibiotik, zat perangsang tumbuh, maupun zat kimia lainnya. Clenbuterol (beta-2-agonist) adalah zat perangsang tumbuh untuk memproduksi lebih banyak daging bebas lemak (lean). Residunya dalam daging dapat menyebabkan gangguan kesehatan bagi manusia, misalnya gemetar, kejang otot, denyut jantung cepat. Zat ini telah dinyatakan ilegal untuk digunakan. Suatu hormon pertumbuhan yang digunakan pada sapi perah dapat menimbulkan residu melamin pada susu (Lazuardi, 2010).
Menurut National Office of Animal Health Amerika Serikat (NOAH 2001),
antibiotic growth promoters dipergunakan untuk membantu pertumbuhan hewan dalam mencerna makanannya lebih efisien, menghasilkan keuntungan sehingga ternak menjadi lebih kuat. Keuntungan lain penggunaan zat perangsang pertumbuhan adalah mampu mengendalikan mikroba patogen seperti Salmonella, Campylobacter, Eschericia coli, dan enterococci (EFMC, 2009). Namun demikian penggunaan zat perangsang tumbuh tersebut di Eropa sangatlah dibatasi.
Tabel 7 Kelompok antimikroba yang masih boleh dipergunakan pada hewan dan manusia
Kelompok Nama Antimikroba
-lactam Penisilin, amoksilin, ceftiofur
Makritida dan linkosamida Tilosin, tilmikosin, tulatromisin, linkomisin Aminoglikosida Gentamisin, neomisin
Flurokuinolon Enrofloksasin, danoflaksosin
Tetrasiklin Tetrasiklin, oksitetrasiklin, klortetrasiklin
Sulfonamida Beragam
Streptogramins Virginiamisin
Polipeptida Basitrasin
Fenikol Florfenikol
Fleuromultilin Tiamulin Sumber : USDA (2013).
Imbuhan pakan yang telah diizinkan beredar di Indonesia dibedakan atas kelompok antibiotika dan kelompok non antibiotika. Dari kelompok antibiotika berdasarkan surat keputusan Dirjen Peternakan, Departemen Pertanian Republik Indonesia tertanggal 23 Juli 1991, telah terdaftar sebanyak 19 jenis dan dari kelompok non antibiotika terdaftar sebanyak 25 jenis, seperti yang terlihat pada Tabel 8.
Tabel 8 Daftar imbuhan pakan yang diizinkan beredar di Indonesia
Golongan Non Antibiotik Golongan Antibiotik
Aklomide Zink Basitrasin
Amprolium Virginiamisin
Butinorat Flavomisin
Dequinate Higromisin
Etopabate Monensin
Levamisole Salinomisin
Piperasin basa Spiramisin
Piperasin sitrat Kitasamisin
Tertamisol Tiamulin hidrogen fumarat
Robenidin Tilosin
Roksarson Lasalosid
Sulfaklopirasin Avilamisin
Sulfadimetoksin Avoparsin
Sulfanitran Envamisin
sulfaquinoksaline Kolistin Sulfat
Buquinolate Linkomisin hidroklorida
Nitrofurason Maduramisin
Furasolidon Narasin
Phenotiasin Nastatin
Halquinol Pirantel tatrat
Sumber : Murdiati (1997)
tidak akan ditemukan residu dalam daging, susu ataupun telur (Murdiati 1997). Namun demikian, Yuningsih (2002) menemukan residu dalam produk ternak telah banyak dilaporkan baik dari Indonesia ataupun negara lain.
Golongan tetrasiklin yang tidak termasuk dalam daftar imbuhan pakan yang diizinkan di Indonesia, tetapi karena harganya relatif murah dibandingkan antibiotika yang diperbolehkan, maka tetrasiklin banyak dipergunakan sebagai imbuhan pakan. Antibiotika golongan tetrasiklin dalam pakan ayam yang beredar di pasaran telah dilaporkan, juga adanya residu tetrasiklin dalam daging ayam
broiler yang siap dipasarkan (Murdiati 1997) .
Pada pemakaian antibiotika dan obat hewan lainnya dalam bidang peternakan perlu diperhatikan waktu henti atau withdrawal time. Waktu henti adalah kurun waktu dari saat pemberian obat yang terakhir hingga ternak boleh dipotong atau produknya seperti susu dan telur boleh dikonsumsi (Bousfield dan Brown 2011). Waktu henti beberapa jenis obat hewan disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Waktu henti penggunaan beberapa jenis obat hewan
Obat Hewan Cara Waktu Henti Penggunaan
(hari)
Ampisilin ayam injeksi 5
sapi injeksi 6
Amprolium sapi oral 1
Dihidrosteroptomisin babi injeksi 30
sapi injeksi 30
Erithromisin babi injeksi 7
sapi injeksi 14
Furazolidon ayam oral 5
babi oral 5
Karbadoks babi oral 70
Khlortetrasiklin ayam injeksi 15
Monensin ayam oral 3
Nitrofurazon ayam oral 5
babi oral 5
Penisilin G ayam injeksi 5
babi injeksi 5
Oksitetrasiklin ayam injeksi 15
Penisilin Streptomisin babi injeksi 30
sapi injeksi 30
Preparat sulfonamida sapi oral 7-15
Tetrasiklin sapi oral 5
Thiobendazol sapi oral 3
Tilosina babi oral 2
Streptomisin ayam oral 4
sapi oral 2
Sumber : Murdiati 1997
Bahaya Kimia Mikotoksin
penyimpanan. Keberadaan kapang tidak selalu mengindikasikan keberadaan mikotoksin, beberapa kapang penghasil aflatoksin diperlihatkan pada Tabel 10.
Tabel 10 Spesies kapang yang menghasilkan aflatoksin
Sumber : Cisnileanu et al. (2008)
Mikotoksin pada umumnya ditemukan pada bahan pakan seperti jagung, sorghum, gandum, bekatul, bungkil kapuk, kacang tanah, dan legum lainnya. Sebagian besar mycotoxin bersifat stabil dan tidak bisa rusak oleh pemrosesan pakan atau teknik screening. Mikotoksin atau metabolitnya dapat dideteksi pada daging, viscera, susu, dan telur (Cismileanu et al., 2008). Mikotoksin karsinogenik dapat berpengaruh terhadap kesehatan manusia sehingga kadarnya harus selalu dikontrol (Brufau dan Tacon 1999).
Di Indonesia diketahui dari hasil survei bahan pakan seperti jagung, kandungan aflatoksin mencapai 350 ppb (Rahayu et al. 1996), kacang tanah 20-1,262 ppb dan bungkil kacang tanah mencapai 3,080 ppb. Seperti pendapat Okky (2002) di mana menyampaikan bahwa Jagung dan kacang tanah di Indonesia pada umumnya mengandung kadar aflatoksin tinggi.
Kapang lain yang ditemukan pada produk pakan adalah Fusarium dan
Penicillium yang juga menghasilkan toksin baik selama panen serealia ataupun selama penyimpanan pada pengolahan bahan tersebut menjadi pakan. Fusarium
mengasilkan toksin fumonsin, trikoteken dan zearalanon yang juga mengganggu pencernaan ternak. Sementara Penicillium menghasilkan Ochratoksin penyebab kerusakan pada bagian hati (Binder, 2007). Publikasi Cotty dan Jamie-Garcia
(2007) menyebutkan racun T-2, monoacetoxyscirphenol (MAS) dan
diacetoxyrphenol (DAS) merupakan tiga jenis mikotoksin dari grup trikoteken yang menyebabkan erosi pada gizzard, luka pada mulut dan haemorrhage usus pada saluran gastrointestinal unggas.
Penemuan aflatoksin pada produk pakan ayam komersial diteliti oleh Kajunam et al. (2013), di mana secara mengejutkan 68% sampel mereka mengandung aflatoksin. Konsentrasi aflatoksin yang ditemukan pada pakan ternak tersebut adalah beragam dari 9.4g/kg hingga 35.8 g/kg. Kosentrasi tersebut melebihi batas yang diberikan WHO 5g/kg.
Ternak yang mengkonsumsi pakan yang sudah tercemar aflatoksin akan menyebabkan bagian daging, telur ataupun susunya mengandung aflatoksin. Bahaya yang paling besar adalah bila manusia mengkonsumsi daging, telur ataupun susu ternak tercemar aflatoksin. Manusia tersebut juga akan menderita kanker terutama kaker hati, karena struktur aflatoksin sangat stabil, dengan beberapa cara perlakuan fisik maupun kimia tidak mengurangi toksisitasnya .
Aflatoksin bersifat akumulatif dan sangat berbahaya pada dosis tinggi (1000 ppb) yaitu dapat menimbulkan kematian. Nilai LD50 memberi petunjuk bahwa
Spesies Jenis aflatoksin Ditemukan pada
Aspergillus flavus Aspergillus nomius
B1, B2 Kacang tanah, jagung, dan olahannya serta pakan
Aspergillus parasiticus B1, B2, G1, G2
M1,M2(metabolit aflatoksin)
kematian sebesar 50% dari populasi organisme yang diuji pada dosis toksikan yang diberikan (Iswari 2006).
Di Amerika Serikat, FDA menetapkan batas aksi pada batas atas aflatoksin yang dimungkinkan boleh pada berbagai makanan dan pakan. Batas pada makanan manusia dikaitkan dengan batas yang diterima untuk resiko kanker hati. Batas tersebut disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11 Batas tindakan FDA untuk aflatoksin pada makanan orang dan ternak
Kandungan Aflatoksin
(ppb)a Komoditas Spesies
0.5 (aflatoksin M1) Susu Manusia
20.0 Semua pangan kecuali susu Manusia
20.0 Pakan Ternak
100.0b Jagung Ternak lembu, ternak
babi dan unggas dewasa
200.0b Jagung Karkas Babi (>100
pon)
300.0b Jagung Karkas sapi/ Lembu
300.0b Biji kapas Sebagai Pakan Ternak
a
part per billionb pengecualian
Bahaya Kimia Biogenik Amin
Biogenik amin umumnya ditemukan pada bahan yang difermentasi atau protein yang mengalami kerusakan. Menurut EFSA (2011), Biogenik amin diklasifikasi menjadi heterosiklik (histamin dan tiramin), alifatik (putresin dan kadaverin), aromatik (tiramin dan feniletilamin). Daging ikan yang mengandung protein dengan asam amino histidin, dalam proses produksi tepung diuraikan oleh bakteri proteolitik menjadi histamin sebagaimana Gambar 6.
Gambar 6 Reaksi penguraian asam amino histidin menjadi histamine (Bremer et al. 2003)
Bakteri proteolitik seperti Vibrio sp., Clostridium sp., Lactobacillus sp.,
garam NaCl kurang dari 5%. Bagi manusia yang tidak memiliki ketahan cukup terhadap histamin, maka akan mengalami alergi saat masuk ke dalam tubuhnya. Batas merugikan bagi sebagian besar tubuh manusia adalah 10-20 mg/100 g, batas maksimum diijinkan WHO untuk histamin 20 mg/100 g, sementara batas berbahaya 50 mg/100 g
Pada pakan ternak histamin diperoleh dari tepung ikan. Tepung ikan ditambahkan ke dalam formulasi pakan untuk memberikan asupan protein, disamping protein dari kedelai. Tepung ikan hasil penelitian Kennedy et al. (2004) mengandung histamin mencapai 138.2 g/g bahkan beberapa di antaranya ada yang melebihi 200 g/g.
Bahaya Kimia Metilen Biru
Upaya tambahan untuk mempertahankan kadar air 15% agar tidak terserang kapang, maka pada produk pakan ditambahkan metilen biru. Metilen biru dikenal sebagai anti jamur dan biasa dipergunakan pada ikan air tawar. Sifat antimikrobial metilen biru tampak pada Staphylococcus aureus dan Enterococcus faecalis
(Gueorgieva et al.,2010).
Penelitian Riha et al. (2005) memperlihatkan bahwa metilen biru dapat memperbaiki daya tahan memori dengan cara meningkatkan pengambilan oksigen pada otak. Metilen biru pada dosis yang sangat rendah tidak berbahaya bagi ternak.
Bahaya Kimia Logam Berat
Logam berat dikhawatirkan masuk melalui residu pertisida organo logam,
steam dan korosif mesin produksi. Perawatan mesin produksi menjadi cara terbaik untuk pencegahan keropos dinding peralatan. Sementara logam berat dari steam
dicegah selain melalui perawatan pemipaan juga pemilihan obat-obat Boiler
(Ketel Uap) yang tidak mengandung senyawa logam. Logam berat teridentifikasi pada Steam saat dilakukan penyaringan menggunakan karbon aktif, dimana Cu(II) dan Pb(II) dapat dipisahkan (Zaini et al. 2010). Pengaturan batas minimum logam berat pada pakan disajikan pada Tabel 12.
Tabel 12 Batas maksimum kadar logam berat dan halogen dalam pakan ternak
Kategori Konsentrasi
Maksimum (ppm) Jenis Logam dan Halogen
Sangat beracun 10 Kadmium, merkuri, selenium Beracun 40 Barium, kobalt, tembaga, timbal,
molibdenum, tungsten, vanadium Sedang 100 Antimon, arsenik, iodin, nikel Ringan 1000 Aluminium, boron, bromin, bismut,
kromium, mangan, seng Sumber : Brufau dan Tacon (1999) .
Bahan baku bersumber dari ikan dan produk perikanan perlu mendapat perhatian serius.
Tabel 13 Jenis mineral, sumber dan akumulasinya dalam jaringan hewan
Mineral Sumber Akumulasi dalam
Jaringan Hewan
Kadmium Suplemen mineral (sumber fosfat dan zinc), hijauan/biji-bijian (tergantung daerah geografis), manure, limbah, dan pupuk alami
Ginjal dan hati, tiram, salmon, jamur (konsentrasi tinggi). Buah, produk susu, legume, daging sapi dan ayam, susu
Timbal Tanah yang terkontaminasi, cat yang mengandung timbal, air dari sistem pipa yang mengandung timbal, baterai, suplemen mineral (CuSO4, ZnSO4, ZnO)
Tulang, otak, dan ginjal
Merkuri/metil merkuri
Kontaminasi antropogenik, tepung ikan
Bakteri seperti Salmonella spp. dan E.coli dapat mengkontaminasi pakan ternak. Bakteri tersebut dibawa oleh serangga atau hewan pengerat sebelum panen atau selama penyimpanan. Bahan pakan beresiko tinggi terkontaminasi jika lokasi gudang pakan dan lahan dekat dengan tempat pembuangan sampah atau kotoran ternak, atau ada akses bagi serangga dan hewan pengerat (Maciorowski et al. 2007). Kontaminasi sebelum pemotongan yaitu karena ternak mengonsumsi bahan pakan yang terkontaminasi bakteri, penyimpanan produk ternak (daging, susu) yang tidak higienis juga memungkinkan terjadinya kontaminasi silang.
Bakteri Salmonella menyebabkan penyakit salmonellosis berupa keracunan pada manusia dan menimbulkan gejala gastroenteritis (Brufau dan Tacon 1999).
Septicemia, cellulitis, kepala membengkak, airsaculitis merupakan gejala penyakit pada unggas akibat kontaminasi E. coli dalam pakan (Maciorowski et al. 2007), sedangkan pada manusia dapat menyebabkan gangguan pencernaan (Bousfield dan Brown 2011).
Kapang
Pakan yang sehat selain mengandung nilai gizi yang lengkap, juga tidak dicemari kapang atau cendawan, karena cendawan selain merusak pakan juga menghasilkan toksin yang disebut dengan mikotoksin. Salah satu jenis toksin yang tergolong mikotoksin adalah aftatoksin yang dihasilkan oleh Aspergillus flavus dan Aspergillus parasiticus (Cardwell et al 2001)
kapang tersebut tumbuh pada media yang kaya protein, lemak dan karbohidrat. Aflatoksin merupakan senyawa toksin yang dapat mematikan manusia dan ternak yang diproduksi secara alami oleh kedua kapang tersebut.
Aspergillus flavus merupakan kapang yang tersebar luas di alam. Kapang ini umumnya menginfeksi bahan pakan setelah bahan pakan tersebut terlebih dahulu diserang hama, misalnya hama gudang atau penggerek. Oleh karena itu bahan pakan haruslah terjaga baik selama penyimpanan. Kondisi ideal tersebut mencakup kelembaban udara yang tinggi dan suhu yang tinggi (Pratiwi et al. 2015).
Penggunaan Teknik Optimisasi
Secara umum optimasi berarti pencarian nilai terbaik (minimum atau maksimum) dari beberapa fungsi yang diberikan pada suatu konteks. Optimasi merupakan pendekatan normatif dengan mengidentifikasi penyelesaian terbaik dari suatu permasalahan yang diarahkan pada titik maksimum atau minimum suatu fungsi tujuan.
Berdasarkan langkah-langkah optimasi setelah masalah diidentifikasi dan tujuan ditetapkan maka langkah selanjutnya adalah memformulasikan model matematik yang meliputi tiga tahap yaitu:
1. Menentukan variabel yang tidak diketahui (variabel keputusan) dan nyatakan dalam simbol matematik
2. Membentuk fungsi tujuan yang ditunjukkan sebagai hubungan linier (bukan perkalian) dari variabel keputusan,
3. Menentukan semua kendala masalah tersebut dan mengekspresikan dalam persamaan atau pertidaksamaan yang juga merupakan hubungan linier dari variabel keputusan yang mencerminkan keterbatasan sumberdaya masalah tersebut.
Program linier adalah suatu teknik optimalisasi dimana variabel-variabelnya
linier. Metode ini dipakai pada saat dihadapkan pada beberapa pilihan dengan batasan-batasan tertentu, sedangkan dilain pihak dikehendaki keputusan yang
optimum (maksimum/minimum). Pemrograman linier berkaitan dengan
penjelasan suatu kasus dalam dunia nyata sebagai suatu model matematika yang terdiri dari sebuah fungsi tujuan linier dengan beberapa kendala linier.
Pemrograman linier meliputi perencanaan aktivitas untuk mendapatkan hasil optimal, yaitu sebuah hasil yang mencapai tujuan terbaik (menurut model matematika) diantara semua kemungkinan alternatif yang ada (Yamit 2007).
Suatu permasalahan optimasi disebut non-linier jika fungsi tujuan dan kendalanya mempunyai bentuk non-linier pada salah satu atau keduanya. Optimasi non-linier ditinjau dari pandangan matematis adalah topik lanjutan dan secara konsepsual, sulit untuk diselesaikan. Dibutuhkan pengetahuan aktif mengenai kalkulus, differensial dan aljabar linier.