• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaturan Hukum Tentang Pengawasan Wilayah Dirgantara Indonesia Terhadap Lalu Lintas Pesawat Udara Asing Ditinjau Dari Perspektif Hukum Internasional Chapter III V

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaturan Hukum Tentang Pengawasan Wilayah Dirgantara Indonesia Terhadap Lalu Lintas Pesawat Udara Asing Ditinjau Dari Perspektif Hukum Internasional Chapter III V"

Copied!
38
0
0

Teks penuh

(1)

BAB III

PENGATURAN HUKUM WILAYAH UDARA INTERNASIONAL

A. Sejarah Hukum Udara Internasional

Pada tanggal 13 Oktober 1919, di Paris ditandatangani Konvensi

Internasional mengenai Navigasi Udara yang telah disiapkan oleh suatu Komisi

Khusus yang dibentuk oleh Dewan Tertinggi Negara-negara Sekutu. Konvensi

tersebut ditandatangani oleh 27 negara yang terdiri dari Negara-negara sekutu,

beberapa republic di Amerika Latin dan Negara-negara lainnya. Konvensi tersebut

mulai berlaku tanggal 11 Juli 1922 dan pada tahun 1939 mengikat sebanyak 29

negara. Selain itu, sebagian besar Negara-negara dibenua Amerika tidak ikut

dalam Konvensi tersebut dan membuat sendiri konvensi udara dengan nama

Konvensi Pan Amerika, Havana, pada tanggal 20 Februari 1928. Namun,

Konvensi regional tersebut ternyata tidak mempunyai banyak peminat dan hanya

diratifikasi oleh 11 negara di kawasan.55

Dapat dikatakan bahwa Konvensi Paris tersebut merupakan upaya pertama

pengaturan internasional secara umum mengenai penerbangan udara. Di smping

itu, Negara-negara pihak juga diizinkan membuat kesepakatan-kesepakatan

bilateral diantara mereka dengan syarat mematuhi prinsip-prinsip yang dimuat

dalam Konvensi. Namun, Konvensi tersebut kelihatannya hanya merupakan suatu

instrument hukum yang pelaksanaannya terbatas pada hubungan antara

Negara-negara yang menang Perang Dunia I, karena keikutsertaan Negara-Negara-negara bekas

(2)

bekas musuh, Pasal 42 Konvensi Paris memberikan persyaratan bahwa

Negara-negara tersbeut hanya dapat menjadi pihak setelah masuk menjadi anggota pada

Liga Bangsa-Bangsa (LBB) atau paling tidak atas keputusan dari ¾

Negara-negara pihak pada Konvensi. Pada tahun 1929, setelah direvisi dengan Protokol

15 Juni 1929 yang bertujuan untuk menerima keanggotaan Jerman dalam LBB,

Konvensi Paris 1919 betul-betul menjadi Konvensi yang bersifat umum karena

sejak mulai berlakunya Protokol tersebut tahun 1933, 53 negara telah menjadi

pihak.

Konvensi 1919 dengan jelas menerima prinsip kedaulatan nasional. Pasal

1 Konvensi menegaskan kedaulatan penuh dan ekslusif Negara-negara peserta

terhadap ruang udara diatas wilayahnya. Jadi prinsip utama Konvensi adalah

ruang udara mengikuti status yuridik dari bumi yang berada dibawahnya. Ruang

udara tunduk pada kedaulatan Negara-negara dimana saja udara tersebut

membawahi daratan dan laut wilayah, tetapi sebaliknya udara itu bebas bila

membawahi laut lepas. Namun, terhadap prinsip yang ketat ini, Konvensi

memberikan serangkaian keringanan yang dirasa perlu dan kalau keringanan ini

tidak ada maka tidak mungkin untuk melaksanakan lalu lintas udara.56

55

Boer Mauna., Op.Cit., hal 423

56

Ibid, hal 424

Keringanan

tersebut adalah kebebasan lintas sesuai Pasal 2 Konvensi. Tiap-tiap Negara pada

Konvensi berjanji, dimasa damai untuk mengizinkan hak lintas damai

pesawat-pesawat udara Negara-negara pihak lainnya diatas wilayahnya sesuai syarat-syarat

yang dimuat dalam Konvensi. Selanjutnya, hak lintas terbang ini dapat dibatasi

(3)

Sehubungan dengan itu, Pasal 3 Konvensi mengizinkan kepada setiap Negara

pihak untuk melarang penerbangan di zona-zona tertentu dari wilayahnya

terhadap pesawat-pesawat asing ataupun nasional. Penjelasan ini kiranya

merupakan jaminan yang perlu bagi kemungkinan terjadinya penyalahgunaan.

Bersamaan dengan kebebasan lintas, persamaan perlakuan juga dijamin terhadap

semua diskriminasi yang didasarkan atass motif politik seperti kebangsaan dari

pesawat (Pasal 2 ayat 2 Konvensi).

Konvensi 1919 hanya berlaku diwaktu damai (Pasal 2 dan 38), sementara

pada waktu perang, Konvensi membatasi diri dengan hanya menyatakan

kebebasan bertindak bagi Negara-negara yang berperang dengan

memperhitungkan hak dari Negara-negara netral. Selanjutnya, Konvensi

membentuk suatu organ permanen untuk mengawasi pelaksanaan dan

pengembangan ketentuan-ketentuan yang terdapat didalamnya, yaitu Komisi

Internasional Navigasi Udara yang berada dibawah kekuasaan Liga

Bangsa-Bangsa.57

1. Kepentingan dari segi tanggung jawab, yaitu Negara yang mempunyai

pengawasan terhadap pesawat udara dapat memberikan dokumen-dokumen

teknik yang diperlukan seperti sertifikat penerbangan, brevet kecakapan dll. Tiap-tiap pesawat udara untuk dapat diizinkan melakukan penerbangan

internasional harus mempunyai suatu kebangsaan tertentu. Penentuan kebangsaan

ini mempunyai kepentingan rangkap:

57

(4)

2. Kepentingan perlindungan, yaitu suatu pesawat udara dapat menyatakan

diri berasal dari suatu negara tertentu dan sewaktu-waktu dapat meminta

bantuan kepada perwakilan diplomatiknya diluar negeri.58

Menurut Konvensi, sistem kebangsaan pesawat udara adalah bahwa semua

pesawat udara harus mempunyai satu kebangsaan. Pelaksanaan prinsip ini

berdasar pada dua ketentuan:

(1) Kebangsaan suatu pesawat udara ditentukan oleh pendafarannya disatu

Negara tertentu.

(2) Suatu Negara hanya dapat menerima pendaftaran dari suatu pesawat udara

yang sepenuhnya dimiliki oleh warga negaranya.

Jadi, kebangsaan suatu pesawat udara akan ditentukan oleh

kewarganegaraan pemiliknya. Dalam hal ini Konvensi menolak criteria

Anglo-Saxon tentang domisili yang juga ditinggalkan oleh Inggris tahun 1918 sebagai

akibat pengalaman perang. Dapat disimpulkan bahwa sistem ini sesuai dengan

logika Konvensi yang didasarkan atas prinsip kedaulatan Negara yang

menyelenggarakan lalu lintas udara internasional atas dasar konvensional yang

pada hakekatnya besifat restriktif.

Apabila konvensi ini diteruskan sebagaimana adanya maka diperkirakan

tidak akan bertahan lama. Sejak semula, Konvensi ini menimbulkan kritik pedas

dari Negara-negara Eropa yang netral selama Perang Dunia I seperti Switzerland

dan Belanda yang ikut serta dalam Konvensi tidak mau melarang penerbangan

pesawat-pesawat bekas musuh seperti Jerman diatas wilayahnya. Dengan

58

(5)

demikian, perubahan-perubahan terhadap Konvensi akhirnya tidak dapat

dihindarkan. Perubahan tersebut berlangsung dalam tiga tahap, mulai dengan

Protokol Tambahan tanggal 1 Mei 1920, kemudian pengaturan tanggal 14

Desember 1926, dan berakhir dengan diterimanya Protokol 15 Juni 1929. Revisi

Konvensi 1919 tidak dapat dihindarkan disaat munculnya persoalan keanggotaan,

Jerman mengajukan perubahan mendalam terhadap ketentuan-ketentuan yanga

ada. Perubahan tersebut dilakukan oleh Komisi Internasional Navigasi Udara

dalam Sidangnya di Paris tanggal 10-15 Juni 1929. Rezim baru tersebut dapat

dirumuskan sebagai berikut:

(1) Negara-negara bukan pihak pada Konvensi 1919 dapat diterima tanpa

syarat apakah Negara-negara tersebut ikut serta atau tidak dalam Perang

Dunia I.

(2) Tiap-tiap Negara selanjutnya dapat membuat kesepakatan-kesepakatan

khusus dengan Negara-negara yang bukan merupakan pihak pada

Konvensi dengan syarat bahwa kesepakatan-kesepakatan tersebut tidak

bertentangan dengan hak-hak pihak-pihak lainnya dan juga tidak

bertentangan dengan prinsip-prinsip umum Konvensi.59

(3) Protokol 1929 meletakkan prinsip kesamaan yang absolute bagi semua

Negara dalam Komisi Internasional. Masing-masing Negara pihak tidak

boleh mempunyai lebih dari dua wakil dalam Komisi dan hanya memiliki

satu suara. Dengan demikian dihapuskanlah ketentuan-ketentuan khusus

Pasal 34 mengenai komposisi mayoritas yang memberikan hak-hak

59

(6)

istimewa yang kurang dapat dibenarkan kepada Negara-negara sekutu.

Protokol tahun 1929 tersebut akhirnya ditandatangani oleh 53 negara dan

mulai berlaku tanggal 17 Mei 1933.

Sebelum meletusnya Perang Dunia II sebagaimana diketahui status

yuridik navigasi udara diatur oleh Konvensi Paris 13 Oktober 1919 yang

kemudian direvisi oleh Protokol 15 Juni 1929. Namun sistem yang terdapat dalam

Konvensi tersebut tidak berjalan lancar. Kebebasan navigasi udara kenyataannya

bukan merupakan pengakuan atas suatu rezim yang objektif akan tetapi sebagai

hasil suatu konsesi konvensional yang diberikan atas dasar resipositas semata

kepada Negara-negara penandatangan Konvensi.

Disamping itu, kemajuan yang mengagumkan dari lalu lintas udara

sebagaimana yang ditunjukkan oleh penyebrangan Samudera Atlantik Utara tanpa

berhenti oleh Linberg pada tahun 1927, dan bahkan jauh sebelum Perang Dunia II

telah mengharuskan diadakannya revisi baru terhadap Konvensi Paris 1919.

Walaupun peperangan telah memperlambat upaya untuk mengadakan revisi

tersebut, beberapa Negara yang berkepentingan tidak menunggu berakhirnya

perang untuk memulai kegiatannya. Menjawab undangan Amerika Serikat, 53

negara tanpa Uni Soviet, ikut menghadiri suatu konferensi internasional di

Chicago yang diselenggarakan dari tanggal 1 November sampai 7 Desember

tahun 1944. Konferensi Chicago membahas tiga konsep yang saling berbeda

yaitu:

(7)

(2) Konsep Amerika yang bebas untuk semua. Konsep persaingan bebas atau

fee enterprise.

(3) Konsep intermedier Inggris yang menyangkut pengaturan dan

pengawasan.

Setelah melalui perdebatan yang cukup panjang dann menarik akhirnya

konsep Inggris diterima oleh Konferensi. Pada akhir Konferensi, Sidang

menerima tiga instrument yaitu:

1. Konvensi mengenai Penerbangan Sipil Internasional

2. Persetujuan mengenai Transit Jasa-Jasa Udara Internasional

3. Persetujuan Mengenai Alat Angkutan Udara Internasional

Konvensi Chicago 7 Desember 1944 mulai berlaku tanggal 7 April 1947.

Uni Soviet baru menjadi Negara pihak pada tahun 1967. Konvensi ini

membatalkan Konvensi Paris 1919 demikian juga Konvensi Inter Amerika

Havana 1928. Seperti Konvensi Paris 1919, Konvensi Chicago mengakui validitas

kesepakatan bilateral yang sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang ada. Sekarang

ini jumlah kesepakatan-kesepakatan tersebut sudah melebihi angka 2000.

B. Prinsip-Prinsip Hukum Udara Internasional

Prinsip-prinsip hukum udara internasional tertuang dalam konvensi hukum

udara internasional yang dari waktu ke waktu terus berkembang.

Konvensi-konvensi tersebut muncul dari konferensi internasional yang dilakukan

negara-negara didunia yang menganggap perlu adanya aturan-aturan yang mengatur

(8)

Prinsip konvensi Paris 1919 yaitu :

1. Setiap negara mempunyai kedaulatan penuh terhadap ruang udara yang

berada diatasnya

2. Berisikan hak lintas damai

3. Larangan terbang melintasi daerah/area tertentu. Dengan alasan tidak

boleh lain dari alasan pertahanan militer atau keselamatan rakyat-rakyat.

4. Membangun kerjasama di antara negara-negara untuk mengamankan

penerbangan dan navigasi internasional

5. Mengatur aturan penerbangan, ber-schedule

6. Mengatur aturan penerbangan, un-schedule60

Adapun prinsip-prinsip hukum udara internasional adalah sebagai berikut :

a. Prinsip kedaulatan wilayah udara

Negara berdaulat adalah negara yang mempunyai kekuasaan tertinggi

(supreme authority) bebas dari kekuasaan negara lain, bebas dalam arti

seluas-luasnya baik kedalam maupun keluar, namun demikian tetap harus

memerhatikan hukum internasional serta sopan santun dalam pergaulan

internasional lainnya. Sebagai negara berdaulat dapat menentukan bentuk negara,

bentuk pemerintahan, organisasi kekuasaan ke dalam maupun ke luar, mengatur

hubungan dengan warga negaranya, mengatur penggunaan public domain,

membuat undang-undang dasar beserta peraturan pelaksanaanya, mengatur

politik luar negeri maupun dalam negeri, negara di luar negeri maupun dalam

(9)

mempunyai kewarganegaraan (stateless), mengatur wilayah darat, laut, maupun

udara untuk kepentingan pertahanan, keamanan, keselamatan penerbangan

maupun kegiatan sosial lainnya.

Menurut Konvensi Montevedeo Tahun 1933, negara berdaulat memenuhi

unsur-unsur penduduk tetap, pemerintahan yang diakui oleh rakyat, dapat

mengadakan hubungan internaional, mempunyai wilayah darat, laut, maupun

udara, walaupun persyaratan wilayah tidak merupakan persyaratan mutlak untuk

negara berdaulat.

Negara berdaulat melaksanakan prinsip yuridiksi teritorial (territorial

jurisdiction principle) disamping prinsip-prinsip yuridiksi lainnya. Sampai saat

ini belum ada konvensi internasional yang secara khusus mengatur wilayah suatu

negara yang meliputi wilayah darat, laut maupun udara, namun demikian bukan

berarti bahwa wilayah suatu negara tidak diatur, sebab dapat ditemukan

diberbagai konvensi internasional yang memuat pengaturan wilayah kedaulatan

di udara seperti Konvensi Paris 1919, Konvensi Chicago 1994, Konvensi Hanava

1928, Konvensi Jenewa 1958, Konvensi PBB 1982 (UNCLOS), Konvensi Wina

1961 dan lain-lain. Hal tersebut diatur dalam Pasal 1, yang merupakan pasal

utama yang berbunyi Para pengagung anggota konvensi mengakui bahwa

setiap penguasa mempunyai kedaulatan yang penuh dan utuh atas ruang udara

di atas wilayahnya. Pasal ini sebenarnya telah terbentuk berdasarkan hukum

kebiasaan internasional yang terjadi sejak Inggris melakukan tindakan sepihak

(unilateral action) dalam The Aerial Navigation Act of 1911 yang diikuti oleh

60

(10)

negara-negara di Eropa lainnya sampai berakhirnya perang dunia pertama 1918.

The Aerial Navigation Act of 1911 berisikan bahwa Inggris mempunyai

kedaulatan penuh dan utuh atas ruang udara di atas wilayahnya (Complete and

exclusive sovereignty). Berdasarkan tersebut Inggris mempunyai hak se The

Aerial Navigation Act of 1911 cara mutlak mengawasi semua bentuk penerbangan

pesawat udara sipil maupun pesawat udara militer.

b. Prinsip yurisdiksi ruang udara

Yuridiksi ruang udara diatur dalam Bab II Pasal 3 dan 4 Konvensi Tokyo

1963. Menurut Pasal 3 ayat (1) Konvensi Tokyo 1963 yang mempunyai yuridiksi

terhadap tindak pidana pelanggaran maupun pidana kejahatan di dalam pesawat

udara adalah negara pendaftar pesawat udara. Berdasarkan ketentuan tersebut

ternyata bahwa Konvensi Tokyo 1963 telah sepakat adanya unifikasi yuridiksi.

Menurut konvensi tersebut disepakati yang mempunyai yuridiksi terhadap tindak

pidana pelanggaran maupun kejahatan dalam pesawat udara adalah negara

pendaftar pesawat udara. Unifikasi demikian sangat penting sekali untuk

mencegah terjadinya conflict of jurisdiction, karena transportasi udara mempunyai

karakteristik internasional yang tidak mengenal batas kedaulatan suatu negara,

sekali terbang dapat melewati berbagai negara, sementara itu di dalam pesawat

udara dapat menimbulkan persaingan yuridiksi (conflict of jurisdiction).

Sebagai ilustrasi adanya persaingan yuridiksi dalam transportasi udara

dapat digambarkan penerbangan Garuda Indonesia di atas Swiss, dalam pesawat

udara tersebut terjadi perkelahian antara penumpang warga negara Swedia dengan

(11)

penumpang warga negara Norwegia. Penumpang warga negara Swedia

membunuh penumpang warga negara Norwegia, sementara pesawat udara Garuda

Indonesia tetap terbang di atas Swiss, Prancis, Spanyol, dan mendarat di Lisboa,

Portugal. Dalam peristiwa perkelahian antara penumpang warga negara Norwegia

tersebut menimbulkan conflict of jurisdiction yaitu Indonesia menuntut yuridiksi

berdasarkan territorial jurisdiction principle, Swedia menuntut yuridiksi

berdasarkan active national jurisdiction principle, Norwegia menuntut yuridiksi

berdasarkan passive national jurisdiction principle, sedangkan Swiss, Prancis,

Spanyol, dan Portugal menuntut berdasarkan territorial jurisdiction principle.

Dari kasus tindak pidana dalam pesawat udara tersebut terdapat tujuh negara yang

menuntut yuridiksi. Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Konvensi Tokyo

1963 yang mempunyai yuridiksi terhadap tindak pidana pelanggaran maupun

kejahatan di dalam pesawat udara tersebut adalah Indonesia sebagai negara

pendaftaran pesawat udara. Sebenarnya yang paling berhak mempunyai yuridiksi

terhadap tindak pidana perkelahian tersebut adalah Swiss, Prancis, dan Spanyol

berdasarkan territorial jurisdiction principle, tetapi sangat sulit untuk mengetahui

dengan tepat dimana perkelahian tersebut terjadi, sebab pesawat udara terbang

terus-menerus tanpa memerhatikan kedaulatan suatu negara.

c. Prinsip tanggung jawab

Hukum udara terdapat beberapa sistem dan prinsip mengenai tanggung

jawab, yaitu sistem warsawa, system Roma dan system Guatemala.61

61

K. Martono, Hukum Udara, Angkutan Udara, dan Hukum Angkasa, Bandung: Alumni, 1987, hal. 67

Sistem

(12)

“limitation of liability” untuk kerugian pada penumpang, barang dan bagasi

tercatat, sedangkan untuk kerugian pada bagasi tangan di pergunakan prinsip

“presumption of non-liability”dan prinsip “limitation of liability”. Prinsip-prinsip

ini dipergunakan pula dalam ordonansi pengangkutan udara. Sistem Roma

mempergunakan prinsip “absolute liability” dan prinsip “limitation of liability”,

sedangkan dalam system Guatemala dipergunakan prinsip ‘Absolute liability” dan

prinsip “limitation of liability” untuk kerugian yang ditimbulkan pada penumpang

dan bagasinya, tanpa membedakan antara bagasi tercatat dan bagasi tangan, bagi

barang dipergunakan prinsip“presumption of liability” dan prinsip “Limitation of

liability”, sedangkan untuk kerugian karena keterlambatan dipergunakan prinsip

prinsip- prinsip yang sama dengan untuk barang. Pada liability Convention

tahun 1972 dipergunakan prinsip “absolute liability” apabila kerugian

ditimbulkan di permukaan bumi dan prinsip “Liability based on fault” apabila

kerugian di timbulkan benda angkasa atau orang didalamnya, yang diluncurkan

oleh suatu negara lain62

C. Pengaturan Hukum Wilayah Udara Dalam Hukum Internasional

.

Dalam konteks masyarakat internasional terdapat pengakuan bahwa setiap

negara mempunyai hak eksklusif dalam batas wilayah negaranya tanpa ada

keterikatan atau pembatasan dari hukum internasional. Di dalam Hukum udara

internasional pelanggaran batas wilayah kedaulatan di ruang udara diatur dalam

Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Chicago 1944.63

62

(13)

1. Konvensi Paris 1919

Konferensi Paris 13 Oktober 1919 yang diikuti oleh 27 negara

menghasilkan Konvensi Paris 1919 (Paris Convention). Pasal 1 Konvensi Paris

1919 mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara

di atas wilayahnya. Konsekuensinya adalah negara diberi hak untuk mengatur

maskapai penerbangan yang beroperasi di wilayah udara mereka.64 Ratifikasi

Konvensi Paris berjalan sangat lambat karena ada beberapa ketentuan yang tidak

atau kurang disetujui oleh Negara peserta Konferensi, antara lain ketentuan yang

menyangkut hak lintas seperti yang terdapat pada Pasal 5: Konvensi Paris 1919

“...no contracting State shall, except by a special and temporary authorization,

permit the flight above its territory of an aircraft which does not possess the

nationality of a contracting State”. Pasal ini hendak menegaskan bahwa ada

pembatasan terhadap masalah lintas.Pembatasan tersebut mempunyai hubungan

dengan kriteria keanggotaan suatu negara terhadap konvensi. Jadi, negara yang

menjadi anggota Konvensi mempunyai wewenang membatasi penerbangan

pesawat udara negara lain yang bukan anggota Konvensi, melalui wilayah udara

negara anggota Konvensi.65

Konvensi Paris 13 Oktober 1919 merupakan konvensi internasional yang

ditandatangani pada tanggal 13 Oktober 1919 di Paris yang diikuti oleh 27 negara

yang terdiri dari negara-negara sekutu, dan Amerika Latin. Konvensi ini mulai

63

Anggraini Wibowo. Op.Cit, hal 7

64

Pasal 1 Konvensi Paris 1919: “The High Contracting Parties recognise that every Power has complete and exclusive sovereignty the air space above its territory

65

(14)

berlaku pada tanggal 11 Juli 1922 dan merupakan konvensi pertama mengenai

pengaturan internasional secara umum mengenai penerbangan udara. 66

a. Rejim Udara menurut Pasal 1 Konvensi Paris 1919, kedaulatan penuh dan

ekslusif negara-negara anggota terhadap ruang udara di atas wilayahnya. Dasar hukum udara bersumber dari Konvensi Paris 1919, Konvensi

Chicago 1944 dan hukum nasional untuk penanganan pelanggaran kedaulatan

udara diatur dalam UU Nomor 15 Tahun 1992 dan diganti dengan UU Nomor 1

Tahun 2009 tentang Penerbangan. Dalam ruang udara di atas laut kepulauan,

negara asing mempunyai hak untuk melintas terbang bagi pesawat udaranya

sesuai dengan syarat-syarat yang ditentukan Konvensi PBB Hukum Laut 1982

Pasal 53 ayat 9. Pemerintah Indonesia boleh saja tidak menentukan ALKI tetapi

konsekuensinya, semua kapal internasional diperbolehkan melewati jalur-jalur

navigasi yang sudah normal digunakan dalam pelayaran dunia (UNCLOS 1982

Pasal 53 ayat 12).

Konvensi Paris ini dijalankan hanya dengan negara-negara yang menang

Perang Dunia I dan negara yang merupakan bekas musuh hanya dapat menjadi

negara pihak, itupun setelah terdaftar menjadi keanggotaan Liga Bangsa-Bangsa

(LBB) atau atas keputusan 3 atau 4 negara anggota pada konvensi. Namun, pada

tahun 1929 setelah direvisi dengan Protokol 15 Juli 1929 yang bertujuan untuk

menerima keanggotaan Jerman dalam LBB, Konvensi Paris benar-benar menjadi

konvensi yang bersifat umum karena sejak berlakunya Protokol tersebut tahun

1933, terdapat 53 negara telah menjadi pihak.

66

(15)

Kedaulatan ini terbatas oleh batas-batas wilayah negara tersebut, yaitu di

mana suatu negara mempunyai kekuasaan tertinggi di dalam batas wilayah

negaranya saja dan kedaulatan ini tidak berlaku di wilayah luar negara

tersebut. Sehingga, suatu negara hanya dapat melaksanakan kedaulatannya

secara penuh hanya dalam wilayahnya. Kedaulatan teritorial suatu negara

mencakup tiga dimensi, yaitu yang terdiri atas daratan, termasuk segala yang

berada di dalam tanah tersebut dan yang terdapat di atas permukaan tanah

tersebut, laut dan udara. Selain itu, pada Pasal 2 Konvensi Paris 1919 setiap

negara memperbolehkan untuk memutuskan hak lintas pesawat udara negara

lain melintas di atas wilayahnya sesuai syarat-syarat yang dimuat dalam

konvensi dan setiap negara boleh membatasi perlintasan di atas wilayahnya

dengan alasan militer atau kepentingan keamanan publik. Dan pada Pasal 3

Konvensi Paris 1919 mengizinkan pada setiap negara untuk melarang

penerbangan pesawat-pesawat asing ataupun nasional di zona-zona tertentu di

wilayahnya. Konvensi Paris 1919 juga membentuk Komisi Internasional yaitu

suatu organisasi untuk mengawasi pelaksanaan dan pengembangan

ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam konvensi.

b. Rezim Pesawat Udara Menurut konvensi Paris 1919, sistem setiap pesawat

udara agar mendapatkan izin penerbangan harus mempunyai suatu kebangsaan

tertentu. Sistem ini sesuai dengan logika konvensi yang didasarkan atas

prinsip kedaulatan negara yang menyelenggarakan lalu lintas udara

(16)

Pada masa perkembangannya, Konvensi Paris 1919 banyak terjadi

perubahan terhadap konvensi ini, dimulai dengan Protokol Tambahan tanggal 1

Mei 1920, kemudian pengaturan tanggal 14 Desember 1926, dan berakhir dengan

Protokol 15 Juni 1929. Selain itu, Jerman juga mengajukan perubahan terhadap

ketentuan-ketentuan yang telah ada yang dilakukan oleh Komisi Internasional

Navigasi Udara dalam sidangnya di paris tanggal 10-15 Juni 1929.67

Dapat dikatakan bahwa Konvensi Paris 1919 tersebut merupakan upaya

pertama pengaturan internasional secara umum mengenai penerbangan udara. Di

samping itu Negara-negara pihak juga diizinkan membuat

kesepakatan-kesepakatan bilateral di antara mereka dengan syarat mematuhi prinsip-prinsip

yang dimuat dalam konvensi. Namun, konvensi tersebut kelihatannya hanya

merupakan suatu instrument hukum yang pelaksanaannya terbatas pada hubungan

antara negara yang menang Perang Dunia I, karena keikutsertaan

Negara-negara bekas musuh ditundukkan pada syarat-syarat yang cukup ketat. Terhadap

Negara-negara bekas musuh, Pasal 42 Konvensi Paris 1919 memberikan

persyaratan bahwa Negara-negara tersebut hanya dapat menjadi Negara pihak

setelah masuk menjadi anggota pada Liga Bangsa-Bangsa (LBB), atau paling

tidak atas keputusan dari ¾ Negara-negara pihak pada konvensi. Pada tahun 1929,

setelah direvisi dengan Protocol 15 Juni 1929 yang bertujuan untuk menerima

keanggotaan Jerman dalam LBB, Konvensi Paris 1919 betul-betul menjadi

67

(17)

konvensi yang bersifat umum, karena sejak mulai berlakunya Protocol tersebut

tahun 1933, terdapat 53 negara yang telah resmi menjadi anggota. 68

2. Konvensi Chicago 1944

Berakhirnya perang dunia II, pemerintah Amerika Serikat yang pada

waktu itu dijabat oleh Presiden Roosevelt telah mengambil inisiatif untuk

mengundang berbagai negara, baik negara-negara sekutunya maupun

Negara-negara netral di Eropa dan Asia, kecuali Negara-Negara-negara Amerika Latin untuk

menghadiri suatu konferensi di Chicago, yang bertujuan menyusun

ketentuanketentuan bersama yang baru megenai lalu lintas udara sipil

internasional dan mengganti perjanjian yang telah ada sebelumnya yakni

Perjanjian Paris.

Konvensi Chicago 1944 merupakan hasil kesepakatan negara-negara

anggota masyarakat internasional. Sekalipun demikian, Konvensi Chicago 1944

masih menyisakan persoalan tertentu yaitu tidak adanya kesepakatan secara

multilateral berkaitan dengan materi kebebasan di udara yang bisa dipertukarkan

secara menyeluruh. Negara melalui perusahaan penerbangan nasional bisa

melakukan kebebasan di udara menuju atau melewati negara lain harus didahului

oleh adanya ”bilateral agreement” antar negara berdasarkan prinsip resiprositas.

Berkait dengan kebebasan penerbangan, Konvensi Chicago 1944 baru berhasil

merumuskan macam-macam kebebasan yang bisa dipertukarkan antar negara,

sebagaimana di atur dalam International Air Services Transit Agreement (kedua

lintas penerbangan yang demikian sering disebut sebagai Transit rights), dan

68

(18)

International Air Transport Agreement, yang berhasil membuat kesepakatan atas

lima kebebasan penerbangan (The Five Freedoms of The Air). Dalam

pelaksanaannya ketentuan dalam International Air Services Transit Agreementdan

International Air Transport Agreement harus diperjanjikan secara bilateral,

melalui “bilateral agreement” antar pemerintah.69

Konvensi Chicago merupakan konvensi yang mengatur tentang

penerbangan sipil internasional. Konvensi ini merupakan revisi dari konvensi

Paris 1919, karena disebutkan kebebasan navigasi udara dalam Konvensi Paris

merupakan hasil konvensi internasional yang diberikan kepada negara-negara

penandatanganan konvensi. Konvensi Chicago ini diadakan di Chicago atas

undangan Amerika Serikat dan dihadiri oleh 53 negara (tanpa Uni Soviet) pada

tanggal 1 November-7 Desember 1944. Konvensi ini mulai berlaku tanggal 7

April 1947. Pada pasal 9 konvensi Chicago 1944 mengatur tentang area terlarang,

yang merupakan modifikasi dari Konvensi Paris.70

a. Bab 1 mengatur tentang prinsip-prinsip umum dan penerapan konvensi

Konvensi Chicago merupakan sumber hukum dalam hal penerbangan

internasional, konvensi ini ditandatangani di Kota Chicago pada tanggal 7

Desember 1944 yang terdiri dari 96 Artikel.

b. Bab 2 mengatur tentang hak melintas (flight over territory)

c. Bab 3 mengatur tentang kebangsaan pesawat (nationality of aircraft)

d. Bab 4 mengatur tentang fasilitas navigasi udara

e. Bab 5 dan 6 mengatur tentang standar internasional

69

(19)

f. Bab 7 sampai 13 mengatur tentang struktur organisasi ICAO

g. Bab 14 tentang transportasi udara internasional (meliputi bandara dan fasilitas

navigasi udara)

Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 menegaskan “the contracting parties

recognize that every sovereign state has complete and exclusive sovereignity over

the airspace above its territory”. Konsekuensi prinsip kedaulatan di udara

tersebut adalah tidak ada pesawat udara yang terbang di atau ke atau melalui

ruang udara nasional negara anggota tanpa memperoleh izin terlebih dahulu,

berapa pun tinggi atau rendahnya pesawat udara melakukan penerbangan. Di

samping itu, berdasarkan prinsip kedaulatan di udara tersebut, pesawat udara

asing bersama dengan awak pesawat udara, penumpangnya tetap harus mematuhi

hukum dan regulasi nasional negara tempat pesawat udara tersebut melakukan

penerbangan.

Lingkup yuridiksi teritorial suatu negara berdasarkan Konvensi Chicago

1944 adalah batas ke atas sampai tidak terbatas dan ke bawah pusat bumi,

sepanjang dapat dieksploitasi. Secara hukum internasional (khususnya hukum

udara) dan berlandaskan kepada doktrin kedaulatan, setiap negara berhak

mengatur segala sesuatunya yang berkaitan dengan keamanan negaranya,

keamanan penerbangan bagi setiap penerbangan udara di wilayahnya (Pasal 12

Konvensi Chicago 1944), karena memberi izin kepada pesawat udara asing di

wilayah udara nasional membawa akibat beban dan kewajiban kepada si pemberi

izin agar yang memberi formalitas tadi dapat menikmatinya secara nyaman.71

70

Jey Ghafez, “Hukum Udara”,Loc.Cit

71

(20)

Berdasarkan preamble Konvensi Chicago 1944 lahirnya konvensi ini

didasarkan pada semangat untuk melestarikan hubungan persahabatan antar

negara dalam pengelolaan penerbangan sipil dan ruang udara dan menghindari

terjadinya konflik antar negara yang merusak perdamaian dunia. Di samping itu

konvensi ini lahir didasarkan adanya potensi ekonomi yang dimiliki negara-negara

pada wilayah udara.72

Sejalan dengan pertimbangan lahirnya di atas maka konvensi didasarkan

didasarkan pada prinsip kedaulatan negara penuh dan eksklusif atas ruang udara

(complete and exclusive), selengkapnya Pasal 1 Konvensi Chicago 1944 berbunyi

“the contracting States recognize that every state has complete and exclusive

sovereignty over the airspace above its territory”. Menurut E. Saefullah

Wiradipradja, prinsip kedaulatan negara merupakan prinsip hukum yang bersifat

universal yang diterima semua negara dan diakui juga dalam berbagai perjanjian

internsaional baik yang dibentuk sebelum Konvensi Chicago (Konvensi Paris

1999 dan Kovensi Havana 1928) maupun yang konvensi yang lahir kemudian

yang bersifat bilateral.

73

72

D. Sidik Suraputra, Hukum Internasional dan Berbagai Permasalahannya: suatu kumpulan karangan, Lembaga Pengkajian Hukum Internasional FH UI, Depok, 2004, hal, 149.

73

(21)

BAB IV

PENGATURAN HUKUM TENTANG PENGAWASAN WILAYAH DIRGANTARA INDONESIA TERHADAP LALU LINTAS

PESAWAT UDARA ASING DITINJAU DARI PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL

A. Kedirgantaraan dan Konsepsi Kedaulatan Suatu Negara di Udara Ditinjau Dari Perspektif Hukum Nasional dan Hukum Internasional

Pembangunan kedirgantaraan pada hakikatnya adalah segala sesuatu yang

berkaitan dengan ruang udara sebagai wilayah kedaulatan dan ruang antariksa

sebagai wilayah kepentingan untuk didayagunakan bagi kesejahteraan masyarakat

dan pertahanan keamanan. Dengan demikian, hakikat tersebut mengandung

pengertian sebagai modal perjuangan bangsa untuk mewujudkan tujuan dan

cita-cita

Kedaulatan suatu negara merupakan kekuasaan yang tertinggi dalam batas

batas wilayah negara itu sendiri, baik wilayah darat, laut maupun udara. Namun

demikian kedaulatan tersebut dibatasi oleh hak-hak negara lain untuk melintas

diwilayah ruang udara sebagaimana telah diatur dalam Konvensi Chicago 1944 nasional yang didasarkan pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam

Pancasila; sebagai wilayah dan sumber daya yang perlu diarahkan untuk

kemakmuran dan keamanan rakyat banyak; sebagai dasar untuk ikut berperan

serta melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi,

dan keadilan sosial; sebagai landasan untuk mewujudkan satu kesatuan politik,

satu kesatuan ekonomi, satu kesatuan sosial budaya, dan satu kesatuan pertahanan

keamanan; dan sebagai modal untuk menjamin agar pemanfaatan ruang dirgantara

hanya untuk maksud damai dan untuk kepentingan umat manusia yang tidak

(22)

dan perjanjian perjanjian lain.74 Dalam hukum Romawi, ada suatu adagium yang

menyebutkan, bahwa Cojus est solum, ejus est usque ad cuelum

Besarnya kedaulatan negara atas ruang udara juga dibuktikan dengan

keberadaan Pasal 9 Konvensi Chicago 1944 yang menyatakan bahwa setiap

negara (sebagai wujud dari kedaulatannya) berhak menetapkan wilayah-wilayah

yang dinyatakan terlarang untuk penerbangan baik karena alasan kebutuhan

militer maupun keselamatan publik. Implementasi dari kewenangan yang

diberikan Pasal 9 ini diterapkan oleh Uni Eropa Juli 2007 dengan melarang

perusahaan penerbangan Indonesia untuk terbang ke Eropa dan melarang warga

UE untuk terbang dengan menggunakan pesawat dari perusahaan penerbangan

Indonesia karena banyaknya kasus kecelakaan pesawat udara yang melibatkan

pesawat Indonesia di tahun itu.

, artinya: barang

siapa ynag memiliki sebidang tanah dengan demikian juga memiliki

segala-galanya yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan segala

apa yang ada di dalam tanah.

75

Indonesia telah menjadi negara pihak pada Konvensi Chicago sejak tahun

1950. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, Konvensi ini pada prinsipnya

sangat menjunjung tinggi kedaulatan negara atas wilayah ruang udaranya. Akan

tetapi, menyadari risiko yang besar di transportasi udara dan untuk kepentingan

bersama masyarakat internasional, dalam beberapa hal konvensi membatasi

kebebasan negara dalam mengatur lalu lintas transportasi udara. Negara harus

patuh pada jalur-jalur penerbangan yang diatur dalam Enroute Charts ICAO serta

(23)

siapa yang diberi kewenangan untuk mengawasi dan mengatur lalu lintas

penerbangan di suatu kawasan melalui penetapan flight information region (FIR).

Penetapan FIR oleh ICAO berdasarkan pertimbangan beberapa faktor antara lain

ketersediaan berbagai fasilitas pendukung transportasi udara di masing-masing

wilayah. Oleh karena itu, pengaturan lalu lintas udara tidaklah sangat berpatokan

pada wilayah kedaulatan suatu negara semata.76

Sebaliknya berdasarkan regulasi ICAO, FIR Makassar mengontrol lalu

lintas udara Papua New Guinea dan Timor Leste dan FIR Jakarta mengatur

Christmas Island (Australia). Artinya pesawat Australia yang akan terbang dari

Sydney ke Pulau Christmas harus melapor ke Indonesia lebih dahulu. Demikian Sebagai contoh dapat dikemukakan bahwa tidak semua wilayah

kedaulatan RI, FIR-nya diatur oleh Jakarta. Sebagian wilayah RI, khususnya

sekitar Kepulauan Riau, FIR-nya diatur oleh Singapura. Penerbangan dari Batam

ke Matak harus memutar lewat Toman terlebih dahulu karena adanya wilayah

larangan yang sebagian besar ditetapkan oleh Malaysia meskipun sebagian

wilayah larangan itu masuk ke wilayah territorial Indonesia. Wilayah-wilayah

tersebut sejak tahun 1946 telah masuk dalam FIR Singapura sehingga memang

Singapura-lah yang harus memperingatkan jika ada pesawat yang keluar dari jalur

penerbangan yang sudah dibuat dan disepakati secara internasional. Hal ini sering

dikeluhkan pilot Indonesia yang merasa tidak nyaman mendapat peringatan dari

otoritas Singapura padahal menurut mereka, mereka terbang di atas udara

negaranya sendiri.

75

. Sefriani., Op.Cit, hal 214-217

76

(24)

pula Royal Brunei pada saat melintasi negaranya harus meminta izin ke Malaysia.

Masih banyak contoh lain bahwa FIR atas ruang udara negara tertentu ada di

bawah kontrol negara lain.77

Kedaulatan suatu negara di ruang udara di atas wilayah teritorialnya

bersifat utuh dan penuh (complete and exclusive sovereignty). Ketentuan ini

merupakan salah satu tiang pokok hukum internasional yang mengatur ruang

udara. 78 Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan ruang

udara beserta sumber daya didalamnya adalah masalah yurisdiksi. Prinsip-prinsip

dalam yurisdiksi adalah :79

a. Prinsip territorial, yaitu prinsip yang lahir dari pendapat bahwa sebuah

negara memiliki kewenangan absolut terhadap orang, benda dan

kejadiankejadian di dalam wilayahnya sehingga dapat menjalankan

yurisdiksinya terhadap siapa saja dalam semua jenis kasus hukum (kecuali

dalam hal adanya kekebalan yurisdiksi seperti yang berlakukepada para

diplomat asing).

b. Prinsip nasional disebut juga “hubungan fundamental antara individu

dengan negaranya”.

c. Asas Personalitas Pasif, yaitu prinsip yang memberikan hak pelaksanaan

yurisdiksi kepada sebuah negara untuk menghukum kejahatan yang

dilakukan di luar wilayahnya, oleh pelaku dari warga negara asing, yang

korbannya adalah warga negara dari negara tersebut.

77

Ibid

78

(25)

d. Asas Protektif atau biasa juga disebut sebagai yurisdiksi yang timbul

berdasarkan adanya kepentingan keamanan sebuah negara.

e. Asas Universal, ini berbeda dengan prinsip-prinsip sebagaimana dibahas

di atas, di sini harus ada “hubungan” antara kejahatan yang dilakukan

dengan negara pelaksana yurisdiksi, namun prinsip universal tidak

membutuhkan hubungan seperti itu.

Pasal 1 Konvensi Paris 1919 dan Konvensi Chicago 1944 tidak mengatur

secara tegas wilayah kedaulatan negara. Hal ini diatur dalam Pasal 2 konvensi

yang sama. Yang dimaksud dengan "wilayah" menurut Pasal 2 Konvensi Chicago

1944 adalah wilayah darat dan perairan, laut teritorial yang terlekat padanya

berada dibawah kedaulatan, perlindungan atau perwalian (trusteeship). Pengertian

wilayah kedaulatan tersebut di atas, kecuali perjanjian angkutan udara timbal

balik dengan Czechoslovakia dan Jepang, selalu dicantumkan dalam perjanj1an

angkutan udara timbal balik yang ditandatangani oleh pemerintah Indonesia.80

79

http://imanprihandono.files.wordpress.com/2008/06/ yurisdiksi.pdf, didownload pada tanggal 12 Juni 2017

Konvensi Paris 1919 maupun Konvensi Chicago 1944 juga bdak secara tegas

mengatur kedaulatan udara diatas laut teritorial. Dalam hal demikian untuk

menentukan kedaulatan udara diatas laut terltcna! mengikuti ketentuan hukum

laut rnternasional sebagaimana dicantumkan dalam Konvensi Jenewa 1958 atau

Pasal 2 ayat 2 Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 yang berbunyi The

Sovereignty extends to the airspace over the teritory as well as to its bed and

subsoil (Kedaulatan suatu wilayah udara di atas wilayah dan lapisan tanahnya).

(26)

teritorial termasuk Indonesia, mempunyai kedaulatan alas ruang duara di atas laut

teritorial selebar 12 mil laut diukurdari garis pangkal (base lines).

B. Pengaturan Hukum Tentang Pengawasan Wilayah Dirgantara Indonesia Terhadap Lalu Lintas Pesawat Udara Asing Ditinjau Dari Perspektif Hukum Nasional dan Hukum Internasional

Wilayah udara mempunyai nilai strategis yang harus diamankan. Melalui

wilayah udara, musuh dapat dengan mudah melakukan penghancuran dengan

cepat dan tepat di seluruh wilayah yang merupakan wilayah kedaulatan suatu

negara. Untuk menjaga keamanan di wilayah udara yurisdiksi nasional, TNI

Angkatan Udara saat ini didukung oleh 24 radar militer yang mencakup sebagian

besar wilayah udara Indonesia. TNI Angkatan Udara juga memiliki total delapan

skuadron tempur yang tersebar di berbagai kawasan Indonesia. Akan tetapi, TNI

Angkatan Udara belum mencapai kondisi ideal untuk mampu meliputi seluruh

wilayah Indonesia dan menindak semua potensi pelanggaran di wilayah udara

Indonesia, terutama kawasan timur. Kemampuan yang dimiliki TNI Angkatan

Udara saat ini tidak sebanding dengan wilayah udara Indonesia yang sangat luas

sehingga hanya sebagian potensi pelanggaran wilayah udara yang dapat dideteksi

dan ditindak.81

Pengaturan kedaulatan indonesia atas ruang udara beserta penegakan

hukumnya perlu dilakukan kajian terhadap beberapa peraturan terkait seperti

Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara Pasal 1

angka 1, Undang-Undang RI Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional

80

Agus Pramono. Op.Cit., hal 281

81

(27)

Indonesia Pasal 1 angka 5, Undang-Undang RI Nomor 43 Tahun 2008 tentang

Wilayah Negara Pasal 10 ayat 1 huruf h, Undang-Undang RI Nomor 1 Tahun

2009 tentang Penerbangan Pasal 1 angka 40.82

Kedaulatan suatu negara di ruang udara di atas wilayah teritorialnya

bersifat utuh dan penuh. Ketentuan ini merupakan salah satu tiang pokok hukum

internasional yang mengatur ruang udara. Ini dinyatakan dalam pasal 1 Konvensi

Chicago 1944 tentang penerbangan sipil internasional yang bunyinya sebagai

berikut: “The contracting States recognize that every state has complete and

exclusive sovereignty over the airspace above its territory” (setiap negara yang

terikat pada konvensi menjamin kedaulatan ruang udara yang ada di atas

wilayahnya secara penuh dan ekslusif) Sifat kedaulatan yang utuh dan penuh dari

negara di ruang udara nasionalnya tersebut berbeda, misalnya dengan sifat

kedaulatan negara di laut wilayahnya. Karena sifatnya yang demikian maka di

ruang udara nasional tidak dikenal hak lintas demi pihak asing seperti terdapat di

laut teritorial suatu negara.

83

Pelanggaran wilayah udara adalah suatu keadaan dimana pesawat terbang

suatu negara sipil atau militer memasuki wilayah udara negara lain tanpa izin

sebelumnya dari negara yang dimasukinya. Hal ini berarti pada dasarnya wilayah

udara suatu negara adalah tertutup bagi pesawat-pesawat negara lain. Penggunaan

dan kontrol atas wilayah udaranya tersebut hanya menjadi hak yang utuh dan

82

Sefriani. Pelanggaran Ruang Udara oleh Pesawat Asing Menurut Hukum Internasional dan Hukum Nasional Indonesia. Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum No. 4 Vol. 22 Oktober 2015: 538 – 565, hal 556.

83

(28)

penuh dari negara kolongnya. Hingga kini belum ada perjanjian internasional

yang secara jelas menetapkan jarak ketinggian kedaulatan masingmasing negara

terhadap ruang udara/angkasa di atas wilayahnya. Pada umumnya hanya

disebutkan: “berdaulat penuh atas ruang udara dan angkasa di atas wilayah

teritorialnya” atau seperti Pasal 1 Konvensi Paris 1919 yang berbunyi: “every

high contracting parties has a full and exclusive sovereignty...” (Setiap

wilayah memiliki kedaulatan penuh dan eksklusif), dan Pasal 1 Konvensi Chicago

yang mencantumkan: “... full and complete sovereignty on the air space over

its territory...,”(kedaulatan penuh dan lengkap pada ruang udara di atas

wilayahnya).

Mengadopsi dari Konvensi Chicago 1944, Pasal 5 Undang-undang Nomor

1 Tahun 2009 tentang Penerbangan menyatakan bahwa Negara Kesatuan

Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik

Indonesia. Wilayah Udara Indonesia adalah wilayah kedaulatan udara di atas

wilayah daratan dan perairan Indonesia. Dalam rangka penyelenggaraan

kedaulatan negara atas wilayah udara Negara Kesatuan Republik Indonesia,

Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara

untuk kepentingan penerbangan, perekonomian nasional, pertahanan dan

keamanan negara, sosial budaya, serta lingkungan udara. Meskipun tidak sama

persis dengan apa yang diatur dalam Konvensi Chicago 1944, namun

istilah-istilah yang digunakan oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan Indonesia pada hakekatnya merujuk pada apa yang sudah ditetapkan

(29)

penerbangan Indonesia ini antara lain adalah pesawat udara sipil asing; pesawat

udara sipil, pesawat udara Indonesia dan pesawat udara negara.

Konvensi Chicago 1944 menyatakan bahwa pesawat negara tidak

diperbolehkan terbang di atas atau mendarat di wilayah territorial negara lain

tanpa otorisasi berdasarkan perjanjian khusus atau sejenisnya dari negara kolong.

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan Indonesia tidak

menggunakan istilah pelanggaran kedaulatan bagi pesawat asing yang masuk ke

wilayah ruang udara Indonesia tanpa izin. Istilah yang digunakan adalah

pelanggaran wilayah kedaulatan. Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang

Penerbangan juga tidak merinci siapa yang dapat melakukan pelanggaran wilayah

kedaulatan Indonesia, Undang-undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

Pasal 8 angka 1 hanya menyebutkan Pesawat udara yang melanggar wilayah

kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 5 diperingatkan dan diperintahkan untuk meninggalkan wilayah tersebut

oleh petugas pemandu lalu lintas penerbangan.84

C. Sanksi Bagi Pesawat Udara Asing dalam Melakukan Lintas Udara di Wilayah Kedaulatan Negara Indonesia dalam Hukum Internasional

Sebagai negara dengan wilayah udara terluas di ASEAN, tidak dapat

dipungkiri pada hakikatnya bangsa Indonesia adalah bangsa dirgantara. Suatu

fakta yang kian tenggelam di tengah kebangkitan sektor maritim. Pesatnya

pertumbuhan bisnis penerbangan dunia dan strategisnya letak geografis Indonesia

di tengah dua benua berimbas kepada semakin ramainya lalu lintas pada ruang

84

(30)

udara Indonesia.85 Salah satu ancaman nyata terhadap keamanan wilayah udara

Indonesia adalah maraknya penerbangan gelap (black flight). Motifnya beragam,

mulai dari menghindari biaya operasional; menguji kemampuan radar dan

kesiagaan pertahanan nasional; hingga melemahkan Indonesia secara politik

dalam kancah internasional. Pesawat yang tersesat (aircraft in distress) juga

dikategorikan sebagai ancaman, tepatnya terhadap keselamatan penerbangan.

Masuknya pesawat asing ke wilayah udara kita bukan perkara baru. Dalam

setahun, puluhan insiden serupa terjadi. Sebagian besar penyusup berhasil dihalau

oleh pengelola lalu lintas udara. Hanya sebagian kecil yang mesti disergap dan

dipaksa mendarat.86

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 tentang

Penerbangan, pada Bab III Kedaulatan Atas Wilayah Udara pada Pasal 4

menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia berdaulat penuh dan utuh atas

wilayah udara Republik Indonesia yang artinya sebagai negara berdaulat, Negara

Kesatuan Republik Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan utuh di wilayah Indonesia memiliki prinsip kedaulatan yang utuh dan eksklusif atas ruang

udara di atas wilayah Indonesia. "Artinya, Indonesia memiliki hak penuh untuk

menggunakan ruang udaranya bagi nasional guna menjamin terciptanya kondisi

wilayah udara yang aman serta bebas dari berbagai ancaman melalui media udara,

termasuk ancaman navigasi serta pelanggaran hukum di wilayah udara nasional.

85

(31)

udara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944

tentang Penerbangan Sipil Internasional.87

Bentuk penegakan kedaulatan atas wilayah ruang udara nasional, antara

lain penegakan hukum terhadap pelanggaran wilayah udara kedaulatan RI, dan

pelanggaran terhadap kawasan udara terlarang, baik kawasan udara nasional

maupun asing, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang

No. 15 Tahun 1992, dan Peraturan Pemerintah RI No. 3 Tahun 2001 tentang

Keamanan dan Keselamatan Penerbangan. Kawasan udara terlarang terdiri atas

kawasan udara terlarang yang larangannya bersifat tetap (Prohibited Area) dan

kawasan udara bersifat terbatas. Selain itu, terdapat pula pelarangan lain, yaitu

perekaman dari udara menggunakan pesawat udara untuk kepentingan pertahanan

dan keamanan negara.88

87

Dita Anggraini Wibowo. Pelanggaran Kedaulatan Di Wilayah Udara Negara Indonesia Oleh Pesawat Sipil Asing. Jurnal Ilmiah. Fakultas Hukum. Universitas Brawijaya, Malang, 2014, hal 9

Dalam rangka menyelenggarakan kedaulatan negara atas

wilayah udara nasional, pemerintah mempunyai wewenang dan tanggung jawab

pengaturan ruang udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, serta

keselamatan penerbangan. Sesuai dengan Pasal 66 ayat (1) PP No.3 Tahun 2001,

disebutkan bahwa untuk menjamin keselamatan operasi penerbangan, ditetapkan

Kawasan Udara Terlarang (Prohibited Area), Kawasan Udara Terbatas

(Restricted Area) dan Kawasan Udara Berbahaya (Danger Area). Kawasan Udara

Terlarang adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, di mana

pesawat udara dilarang terbang melalui ruang udara tersebut karena pertimbangan

(32)

Udara Terbatas adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan,

karena pertimbangan pertahanan dan keamanan atau keselamatan penerbangan

atau kepentingan umum, berlaku pembatasan penerbangan bagi pesawat udara

yang melalui ruang udara tersebut. Sedangkan Kawasan Udara Berbahaya adalah

ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, yang sewaktu-waktu terjadi

aktivitas yang membahayakan penerbangan pesawat udara.89

Pesawat asing yang melanggar wilayah kedaulatan Indonesia dapat

dikenakan sanksi pidana maupun administratif. Sebagai contoh adalah apa yang

ditetapkan dalam Pasal 401 bahwa setiap orang yang mengoperasikan pesawat

udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara

terlarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) dipidana dengan pidana

penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan denda paling banyak Rp.

500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Setiap orang yang mengoperasikan

pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing yang memasuki kawasan udara Terhadap

pelanggaran wilayah udara Republik Indonesia dan atau kawasan udara terlarang

oleh pesawat udara sipil, dilaksanakan penegakan hukum yang harus menjamin

keselamatan dan keamanan awak pesawat, penumpang dan pesawat udara.

Penegakan hukum terhadap pelanggaran wilayah udara dan atau kawasan udara

terlarang sebagaimanan dimaksud di atas, dilakukan oleh Tentara Nasional

Indonesia. Berdasarkan Aeronautical Information Publication (AIP) Indonesia,

ditetapkan bahwa area yang menjadi area udara terlarang hanya WRP 23

Balikpapan Flare.

(33)

terbatas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (4) di pidana dengan pidana

penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,00

(lima ratus juta rupiah).90

Adanya kontradiksi pada UndangUndang Nomor 17 Tahun 1985 tentang

Ratifikasi UNCLOS dengan Konvensi Chicago 1944 dan Undang-Undang Nomor

15 Tahun 1992. Dalam UndangUndang Nomor 17 Tahun 1985 pada Pasal 19

tentang pengertian lintas damai, sub Pasal 2e menyatakan bahwa lintas suatu

kapal asing harus dianggap membahayakan terhadap kedamaian, ketertiban atau

keamanan negara pantai, apabila kapal tersebut di laut teitorial melakukan salah

satu kegiatan ;peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di

atas kapal. 91

1. Pesawat udara yang melanggar wilayah kedaulatan NKRI diperingatkan dan

diperintahkan untuk meninggalkan wilayah tersebut oleh personel pemandu

lalu lintas penerbangan;

Sanksi terhadap pelanggaran yang terjadi dalam penerbangan yaitu:

2. Pesawat udara yang akan dan telah memasuki kawasan udara terlarang dan

terbatas diperingatkan dan diperintahkan untuk meninggalkan wilayah

tersebut oleh personel pemandu lalu lintas penerbangan;

3. Personel pemandu lalu lintas penerbangan wajib menginformasikan pesawat

udara yang melanggar wilayah kedaulatan dan kawasan udara terlarang dan

89

Ibid

90

Sefriani., Op.Cit, hal 560

91

(34)

terbatas kepada aparat yang tugas dan tanggung jawabnya dibidang

pertahanan negara;

4. Dalam hal peringatan dan perintah tidak ditaati, dilakukan tindakan

pemaksaan oleh pesawat udara negara untuk mendarat di pangkalan udara atau

Bandar udara tertentu di wilayah NKRI.92

Penegakkan hukum adalah merupakan bagian dari upaya mempertahankan

kedaulatan negara. Sebagai negara yang berdaulat, pemerintah Indonesia

menetapkan seperangkat aturan hukum untuk mengatur, mengendalikan dan

menegakkan hukum di wilayah udara yang berada dibawah yurisdiksi Indonesia.

Dalam penetapan perangkat hukum tersebut selain berpedoman pada kepentingan

nasional bangsa Indonesia, juga memperhatikan kaidah yang diatur dalam hukum

internasional. Ruang udara nasional merupakan salah satu sumber daya alam yang

terdapat di udara, dan sekaligus merupakan wilayah nasional sebagai wadah atau

ruang/media, tempat NKRI melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat dan

yurisdiksinya dan wajib dipertahankan. Pesawat asing masuk wilayah Indonesia

tanpa izin akan ditindak tegas dengan memberi sanksi sesuai Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan.

92

(35)
(36)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan uraian pembahasan pada bab sebelumnya, dapat

menyimpulkan sebagai berikut :

1. Pengaturan hukum wilayah udara negara Indonesia, yaitu Pasal 4 dan Pasal 5

Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, kegiatan

penerbangan merupakan salah satu wujud kegiatan dan atau usaha terhadap

wilayah kedaulatan atas wilayah udara yang diberi wewenang dan tanggung

jawab kepada Pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5

Undang-Undang No. 1 Tahun 2009, bahwa dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan

negara atas wilayah udara Republik Indonesia Pemerintah melaksanakan

wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan

pertahanan dan keamanan negara, penerbangan dan ekonomi nasional.

2. Pengaturan hukum wilayah udara internasional, yaitu Pasal 38 ayat (1) Statuta

Mahkamah Internasional yaitu sumber-sumber hukum pada Hukum

Internasional, dalam pasal Pasal 38 ayat (1) tersebut yang menjadi sumber

Hukum Internasional adalah Konvensi Paris 1919, Konvensi Chicago 1944

Kebiasaan-kebiasaan Internasional dan Yurisprudensi.

3. Pengaturan hukum tentang pengawasan wilayah dirgantara Indonesia terhadap

lalu lintas pesawat udara asing ditinjau dari perspektif hukum internasional,

(37)

Undang-Undang No. 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, Undang-Undang-Undang-Undang No. 43

Tahun 2008 tentang Wilayah Negara, Undang–Undang Nomor 37 Tahun 2002

tentang hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing dalam

melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan dan Peraturan Pemerintah No. 3

tahun 2001 tentang Keamanan dan KeselamatanPenerbangan, Peraturan

Pemerintah No. 70 tahun 2001 tentang Kebandarudaraan. Peraturan

perundang-undangan Indonesia tidak membedakan status pesawat asing yang

melakukan pelanggaran ruang udara apakah pesawat sipil ataukah pesawat

negara.

B. Saran

Setelah mengemukakan kesimpulan, selanjutnya penulis menyampaikan

saran sebagai berikut:

1. Pengaturan tentang hak lintas di wilayah udara Alur Laut Kepulauan

Indonesia (ALKI), diharapkan menghargai prinsip-prinsip hukum udara

seperti dalam Konvensi Chicago dan ketentuan hukum internasional serta

nasional. Oleh karenanya, disarankan adanya revisi terhadap Peraturan

Pemerintah Nomor 37 tahun 2002, khususnya hal-hal yang terkait dengan hak

dan kewajiban pesawat udara asing yang melintas di wilayah udara Alur Laut

Kepulauan Indonesia.

2. Dengan adanya pengaturan hukum wilayah udara internasional, maka

(38)

dilakukan oleh pesawat asing yang melintasi wilayah udara dengan pemberian

sanksi.

3. Perlunya adanya pembaharuan undang-undang pengaturan hukum tentang

pengawasan wilayah dirgantara Indonesia terhadap lalu lintas pesawat udara

asing, sehingga pesawat asing yang melintas diwilayah Republik Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

7. Kapal atau pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan siaran gelap atau melakukan gangguan terhadap sistem telekomunikasi dan

Hukum internasional telah lama mengatur tentang pengangkutan udara dengan menggunakan pesawat. Pengaturan tersebut dilatarbelakangi oleh banyak faktor. Di antara faktor

Bernadus Ardian Ricky M, Penggunaan Pesawat Udara Militer (Hercules) sebagai pesawat udara sipil untuk alat transportasi penduduk sipil ditinjau dari segi hukum udara

7. Kapal atau pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan siaran gelap atau melakukan gangguan terhadap sistem telekomunikasi dan

Pengaturan hukum udara internasional terkait kewajiban para pihak untuk mengatur keselamatan penerbangan sipil yang menlewati wilayah udaranya adalah bahwa sesuai dengan

Penegakan Hukum dalam Mengatur Pelanggaran Independensi Di Wilayah Udara oleh Pesawat Udara Asing dalam hukum internasioal merupakan dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919

Dilakukan terhadap Dari pemaparan di atas maka setiap pesawat udara yang melanggar dapat disimpulkan (1)Pada prinsipnya wilayah udara nasional atau jalur

Hukum internasional telah lama mengatur tentang pengangkutan udara dengan menggunakan pesawat. Pengaturan tersebut dilatarbelakangi oleh banyak faktor. Di antara faktor