• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelanggaran Hukum Atas Wilayah Udara Dengan Masuknya Pesawat Asing Dalam Perspektif Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelanggaran Hukum Atas Wilayah Udara Dengan Masuknya Pesawat Asing Dalam Perspektif Hukum Internasional"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

A. Sejarah Hukum Udara di Indonesia

Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disebut NKRI) merupakan wilayah kepulauan dengan perbandingan 2: 3 antara daratan dan perairan dimana kapal dan pesawat udara asing mempunyai hak lintas untuk melintasi alur alut yang telah ditetapkan. Hal ini sangat berpotensi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pesawat udara asing karena terbukanya ruang udara diatas Alur Laut Kepulauan Indonesia (selanjutnya disebut ALKI). Untuk itu diperlukan adanya undang-undang negara untuk mengantisipasinya baik ruang udara di wilayah ruang udara Indonesia secara keseluruhan maupun ruang udara diatas ALKI, Kedaulatan negara di ruang udara, wilayah kedaulatan, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, pada Bab III Kedaulatan Atas Wilayah Udara pada: Pasal 4 menyatakan bahwa NKRI berdaulat penuh dan utuh atas wilayah udara NKRI. Sebagai negara berdaulat, NKRI memiliki kedaulatan penuh dan utuh di wilayah udara NKRI, sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional.19Ketentuan dalam Pasal ini hanya menegaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab NKRI untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah dirgantara Indonesia sedangkan mengenai kedaulatan atas wilayah NKRI secara menyeluruh

19

(2)

tetap berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan NKRI.

Indonesia yang telah menjadi anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sejak 27 April 1950 telah menyempurnakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 disusun dengan mengacu pada Konvensi Chicago 1944 dan memerhatikan kebutuhan pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, karena itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 mengatur kedaulatan atas wilayah udara Indonesia, pelanggaran wilayah kedaulatan, produksi pesawat udara, pendaftaran, dan kebangsaan pesawat udara, kelaikudaraan dan pengoperasian pesawat udara, keselamatan dan keamanan wilayah udara, indepedensi investigasi kecelakaan pesawat udara, pembentukan majelis profesi penerbangan, lembaga penyelenggara pelayanan umum, berbagai jenis angkutan udara baik niaga berjadwal, tidak berjadwal maupun niaga dalam negeri maupun luar negeri, modal harus single majority shares tetap berada pada warga negara Indonesia, persyaratan minimum

(3)

Dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 secara tegas menyatakan: negara-negara pihak mengakui bahwa tiap-tiapa negara-negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif ats ruang udara yang terdapat di atas wilayahnya.20 Konvensi Chicago 1944 mengambil secara integral prinsip yang terdapat dalam Konvensi Paris 1919. Kedua Konvensi ini dengan sengaja menjelaskan bahwa wilayah negar juga terdiri dari laut wilayahnya yang berdekatan. Hal ini juga dinyatakan oleh Pasal 2 Konvensi Jenewa mengenai Laut wilayah dan oleh Pasal 2 ayat (2) konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982. Ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap navigasi udara, termasuk udara di atas laut wilayah, sama sekali berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur pelayaran maritim. Terutama tidak ada norma-norma hukum kebiasaan yang memperbolehkan secara bebas lintas terbang diatas wilayah negara, yang dapat disamakan dengan prinsip hak lintas damai di perairan nasional suatu negara. Satu-satunya pengecualian adalah mengenai lintas udara di selat-selat internasional tertentu dan alur laut kepulauan. Sebagai akibetnya, kecuali kalau ada kesepakatan konvensional lain, suatu negara bebas untuk mengatur dan bahkan melarang pesawat asing terbang di atas wilayahnya dan tiap-tiap penerbangan yang tidak diizinkan merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan teritorial negara di bawahnya.21 Hal ini sering terjadi di atas wilayah udara Indonesia bagian barat 2014 Pelanggaran oleh Heinz Peier Lanud Soewondo Medan yang memasuki Wilayah Udara Indonesia.22 Indonesia bagian timur oleh pesawat udara pelanggaran oleh pesawat Beechraft, yaitu Tan Chin Kia

20

Boer Mauna., Hukum Internasional, Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung: Alumni, 2000. hal 431

21

I. C. J. Arret du, 27 Juni 1986, Activeties militaires au Nicaragua, rec. P. 128

22

(4)

(Kapten Pilot), Mr Z Heng Chia (siswa), Xiang Bo Hong (siswa) oleh Lanud Supadio Pontianak.23 Pesawat berjenis „beechcraft‟ buatan tahun 95 ini tengah menuju utara setelah lepas landas dari Darwin. Pesawat Australia ini lantas dipaksa turun di Manado, Sulawesi Utara, setelah dua pesawat Sukhoi Indonesia, yang diterbangkan dari pangkalan udara Makasar tahun 2014.24

. Masalah pengawasan dan keamanan lalu lintas udara dan pengamanan atas pesawat-pesawat udara merupakan apek penting dalam pengaturan-pengaturan hukum yang di buat oleh negara-negara. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan ruang udara beserta sumber daya didalamnya adalah masalah yurisdiksi. Prinsip-prinsip dalam yurisdiksi adalah prinsip teritorial, nasional, personalitas pasif, perlindungan atau keamanan, universalitas, dan kejahatan menurut kriteria hukum yang berlaku. Dalam hubungan dengan yurisdiksi negara di ruang udara, sangat erat hubungannya dengan penegakkan hukum di ruang udara tersebut. Dengan adanya yurisdiksi, negara yang tersangkutan mempunyai wewenang dan tanggung jawab di udara untuk melaksanakan penegakkan hukum di ruang udara. Berkenaan dengan wewenang dan tanggung jawab negara melaksanakan penegakkan hukum di ruang udara tidak terlepas dari muatan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) ayat (3) yang

menyatakan, bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat”. Atas dasar ketentuan tersebut, maka lahir “hak menguasai oleh negara”

23

http://m.jurnas.com/news/154105/Langgar Wilayah Udara RI Pesawat Sipil Singapura-Denda-Rp60-Juta--2014/1/Nasional/Politik-Keamanan/diakses tanggal 1 November 2014

24

(5)

atas sumber daya alam yang ada di bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (termasuk udara) dan penguasaan tersebut memberikan kewajiban kepada negara untuk digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Makna dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut bahwa ruang udara sebagaimana penjelasan sebelumnya merupakan sumber daya alam yang dikuasai

negara. Istilah “dikuasai” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bukan berarti

“dimiliki” oleh negara, melainkan memberikan arti kewenangan sebagai

organisasi atau lembaga negara untuk mengatur dan mengawasi penggunannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sesuai Konvensi Chicago Tahun 1944, dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh (complete and exclusive souvereignity) atas ruang udara atas wilayah kedaulatannya. Dari Pasal tersebut memberikan pandangan bahwa perwujudan dari kedaulatan yang penuh dan utuh atas ruang udara di atas wilayah teritorial, adalah : (1) setiap negara berhak mengelola dan mengendalikan secara penuh dan utuh atas ruang udara nasionalnya; (2) tidak satupun kegiatan atau usaha di ruang udara nasional tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu atau sebagaimana telah diatur dalam suatu perjanjian udara antara negara dengan negara lain baik secara bilateral maupun multilateral.

Secara yuridis formal wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara holistik, sampai dikeluarkannya perjanjian atau konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982.25 Sejak ditetapkannya konvensi tersebut sebagai hukum internasional dan telah diratifikasi

25

(6)

oleh Pemerintah dengan Undang-undang No. 17 Tahun 1985, menyebabkan negara Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kewajiban menyediakan ALKI (archipelagic sea lane passages) yang merupakan jalur lintas damai bagai kapal-kapal asing. Hal tersebut juga berlaku pada wilayah udara di atas alur laut tersebut. Meskipun demikian, pemberlakuan ketentuan tersebut belum ada kesepakatan antara International Maritime Organization (IMO) dan International Civil Aviation Organization (ICAO), akibatnya belum ada ketentuan adanya

pesawat udara yang mengikuti alur laut tersebut. Berdasarkan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan merupakan salah satu hukum nasional sebagai salah satu bentuk implementasi dari Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982, secara horizontal wilayah kedaulatan Indonesia adalah wilayah daratan yang berada di gugusan kepulauan Indonesia. Sedangkan wilayah perairan, mencakup: (1) laut teritorial, yaitu jalur laut selebar 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia; (2) perairan kepulauan, yaitu semua perairan yang terletak pada sisi dan garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jarak dari pantai; (3) perairan pedalaman, yaitu perairan yang terletak di mulut sungai, teluk yang lebarnya tidak lebih dari 24 mil dan di pelabuhan.

(7)

terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal. Dari uraian di atas, bahwa batas wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional belum di atur dalam peraturan perundang-undangan yang ada, hanya menetapkan bahwa Indonesia mempunyai wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UU No. 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan. Kegiatan penerbangan merupakan salah satu wujud kegiatan dan atau usaha terhadap wilayah kedaulatan atas wilayah udara yang diberi wewenang dan tanggung jawab kepada Pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 UU No. 15 Tahun 1992, bahwa dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Republik Indonesia Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, penerbangan dan ekonomi nasional.

(8)

NKRI. Dalam penjelasannya dinyatakan, bahwa kewenangan menetapkan kawasan udara terlarang merupakan kewenangan dari setiap negara berdaulat untuk mengatur penggunaan wilayah udaranya, dalam rangka pertahanan dan keamanan negara dan keselamatan penerbangan. Dalam penjelasan Pasal tersebut dinyatakan, kawasan udara terlarang terdiri atas kawasan udara terlarang yang larangannya bersifat tetap (prohibited area) karena pertimbangan pertahanan dan keamanan negara serta keselamatan penerbangan, dan kawasan udara terlarang yang bersifat terbatas (restricted area) karena pertimbangan pertahanan dan keamanan atau keselamatan penerbangan atas kepentingan umum, misalnya pembatasan ketinggian terbang, pembatasan waktu operasi, dan lain-lain. Meskipun diatur pelarangan terbang di kawasan udara terlarang dalam undang-undang tersebut, namun tidak diatur secara tegas wewenang dan tanggung jawab terhadap penenggakan hukum di kawasan udara tersebut.

(9)

hukum di ruang udara nasional sebagai wilayah kedaulatan di udara dan di kawasan udara terlarang.

B. Perkembangan Hukum Udara Indonesia

Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan bertujuan mewujudkan penerbangan yang tertib, teratur, selamat, aman, nyaman, dengan harga yang wajar, dan menghindari praktek persaingan usaha yang tidak sehat, memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang melalui udara dengan mengutamakan dan melindungi angkutan udara dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional, membina jiwa kedirgantaraan, menjunjung kedaulatan negara, menciptakan daya saing dengan mengembangkan teknologi dan industri angkutan udara nasional, menunjang, menggerakkan, dan mendorong pencapaian tujuan pembangunan nasional, memperkokoh kesatuan dan persatuan bangsa dalam rangka perwujudan Wawasan Nusantara, meningkatkan ketahanan nasional, dan mempererat hubungan antar bangsa, serta berasaskan manfaat, usaha bersama dan kekeluargaan, adil dan merata, keseimbangan

Sumber-Sumber Hukum Penerbangan di Indonesia antara lain :26

1. Perjanjian-perjanjian internasional sebagai sumber hukum udara dan hukum penerbangan tidak dapat diabaikan juga di Indonesia. Misalnya ordonansi pengangkutan udara yang sebagaimana dikatakan diatas merupakan salah satu peraturan penerbangan yang terpenting adalah berdasarkan, kalau hendak dikatakan hampir merupakan turunan

26

(10)

mata dari pada perjanjian warsawa yaitu perjanjian yang lebih dikenal dengan nama warsa convenstion. Sebagai sumber hukum penerbangan ketiga di Indonesia persetujuan-persetujuan pengangkutan. Sebagai suatu organisasi internasional, dalam man tergabung sebagian besar dari pada pengangkutan-pengangkutan udara seluruh dunia ang besar-besar, maka IATA (international Air Transport Association) mempunyai kekuasaan yang tidak sedikit terhadap anggota-anggotanya.

2. Sumber hukum terakhir ialah ilmu pengetahuan. Telah menjadi suatu pendapat yang umum dalam dunia ilmu hukum, bahwa ilmu pengetahuan merupakan suatu sumber hukum.

Berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia, beberapa peraturan yang mengatur tentang penerbangan dan yang berhubungan diantaranya adalah:27

1. Undang Undang No. 15 Tahun 1992 yang telah diubah menjadi Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan

2. Peraturan Pemerintah No. 3 tahun 2001 tentang Keamanan dan KeselamatanPenerbangan

3. Peraturan Pemerintah No. 70 tahun 2001 tentang Kebandarudaraan

4. Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2002 tentang hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing dalam melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan

27

(11)

5. Undang-undang Penerbangan yang disahkan pada tanggal 17 Desember 2008

Untuk itu diperlukan adanya Undang-Undang negara untuk mengantisipasinya baik ruang udara di wilayah ruang udara Indonesia secara keseluruhan maupun ruang udara diatas ALKI; a. Kedaulatan negara di ruang udara, wilayah kedaulatan, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen; 1) Undang

– Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, pada

Bab III Kedaulatan Atas Wilayah Udara pada: a) Pasal 4 menyatakan bahwa Negara Republik Indonesia berdaulat penuh dan utuh atas wilayah udara Republik Indonesia.

Sebagai negara berdaulat, Republik Indonesia memiliki kedaulatan penuh dan utuh di wilayah udara Republik Indonesia, sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional. Ketentuan dalam Pasal ini hanya menegaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab negara Republik Indonesia untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah dirgantara Indonesia sedangkan mengenai kedaulatan atas wilayah Republik Indonesia secara menyeluruh tetap berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia.

(12)

Wilayah udara yang berupa ruang udara di atas wilayah daratan dan perairan Republik Indonesia merupakan kekayaan nasional sehingga harus dimanfaatkan bagi sebesar – besar kepentingan rakyat, bangsa dan negara;

Pasal 6 menyatakan bahwa: (1) Untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara serta keselamatan penerbangan, pemerintah menetapkan kawasan udara terlarang. Kewenangan menetapkan kawasan udara terlarang merupakan kewenangan dari setiap negara berdaulat untuk mengatur penggunaan wilayah udaranya, dalam rangka pertahanan keamanan negara dan keselamatan penerbangan. Kawasan udara terlarang dalam ketentuan ini mengandung dua pengertian yaitu: (a) Kawasan udara terlarang yang larangannya bersifat tetap (prohibited area) karena pertimbangan pertahanan dan keamanan negara serta keselamatan penerbangan. (b) Kawasan udara terlarang yang larangannya bersifat terbatas (restricted area) karena pertimbangan pertahanan keamanan dan keamanan atau keselamatan penerbangan atau kepentingan umum misalnya pembatasan ketinggian terbang, pembatasan waktu operasi dan lain lain.

Pesawat udara Indonesia atau pesawat udara asing dilarang terbang melalui kawasan udara terlarang dan terhadap pesawat udara yang melanggar larangan dimaksud dapat dipaksa untuk mendarat di pangkalan udara atau Bandar udara di dalam wilayah Republik Indonesia.

(13)

nasional sampai 110 (seratus sepuluh) kilometer dari permukaan laut di atas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Penetapan batas ruang udara nasional sampai ketinggian 110 (seratus sepuluh) kilometer dari permukaan laut didasarkan pada sifat fisik ruang udara dan antariksa. Penetapan batas ruang udara nasional merupakan wujud dari pelaksanaan Pasal 25A UUD 1945; (2) Fungsi ruang udara sebagai lingkungan, merupakan ruang atau wadah bagi keberlang-sungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya; (3) Fungsi ruang udara untuk kepentingan sosial dan ekonomi, pemanfaatannya ditujukan untuk kemakmuran rakyat serta pertahanan negara.

Fungsi ruang udara untuk kepentingan sosial dan ekonomi, antara lain untuk : 28

1. Penerbangan sebagai media penerbangan, alur atau pelintasan penerbangan, dan media telekomunikasi berkenaan penerbangan;

2. Telekomunikasi sebagai media jaringan telekomonikasi, sarana telekomunikasi, dan jalur dan jaringan telekomunikasi;

3. Frekuensi sebagai media jaringan frekuensi;

4. Kenavigasian sebagai media kenavigasian untuk sarana bantu navigasi, telekomunikasi pelayaran, hidrologi, alur atau pelintasan, pemandu keselamatan pelayaran;

5. Sumber energi listrik dan sebagai media untuk jaringan listrik; 6. Industri sebagai bahan baku utama dan/atau penolong industri;

28

(14)

7. Pengembangan ilmu pengetahuan sebagai sarana dan prasarana laboratorium ruang udara;

8. Pendidikan sebagai media untuk menunjang sarana dan prasarana dalam pelaksanaan proses belajar jarak jauh;

9. Pemetaan sebagai media untuk kegatan pemetaaan tentang kondisi daratan dan perairan;

10.Perekaman udara sebagai media untuk kegiatan perekaman untuk mendapatkan data dan informasi keadaan ruang udara nasional, daratan, dan perairan;

11.Survei sebagai media untuk melakukan survei dari udara berkenaan dengan kegiatan penelitian yang dilakukan di udara;

12.Pengindaraan jauh sebagai media untuk pengindaraan jauh tentang keadaan geologi, geodesi, topografi pertanian, kehutanan, dan perikanan laut;

13.Bangunan dan bangunan gedung, sebagai media untuk berdirinya bangunan jembatan, bangunan gedung, menara, dan sejenisnya;

14.Pemantauan dan/atau perubahan cuaca, sebagai media untuk melakukan pemantauan dan/atau perubahan cuara tentang keadaan cuaca dan/atau perkembangannya;

15.Olahraga udara sebagai media untuk melakukan kegiatan olahraga udara; 16.Wisata udara sebagai media untuk kegiatan wisata udara;

17.Periklanan.

(15)

dengan Peraturan Pemerintah. Kedaulatan negara ruang udara di atas ALKI Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2002 tentang hak dan kewajiban kapal dan pesawat udara asing dalam melaksanakan hak lintas alur laut kepulauan yang ditetapkan.

Pasal 4 menyatakan bahwa:29

1. Kapal dan pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan harus melintas secepatnya melalui atau terbang di atas alur laut kepulauan dengan cara normal, semata-mata untuk melakukan transit yang terus-menerus, langsung, cepat, dan tidak terhalang.

2. Kapal atau pesawat udara asing yang melaksanakan lintas alur laut kepulauan, selama melintas tidak boleh menyimpang lebih dari 25 (dua puluh lima) mil laut ke kedua sisi dari garis sumbu alur laut kepulauan, dengan ketentuan bahwa kapal dan pesawat udara tersebut tidak boleh berlayar atau terbang dekat ke pantai kurang dari 10 % (sepuluh per seratus) jarak antara titik-titik yang terdekat pada pulau-pulau yang berbatasan dengan alur laut kepulauan tersebut.

3. Kapal dan pesawat udara asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan ancaman atau menggunakan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah, atau kemerdekaan politik Republik Indonesia, atau dengan cara lain apapun yang melanggar

29

(16)

asas-asas Hukum Internasional yang terdapat dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.

4. Kapal perang dan pesawat udara militer asing, sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan, tidak boleh melakukan latihan perang-perangan atau latihan menggunakan senjata macam apapun dengan mempergunakan amunisi.

5. Kecuali dalam keadaan force majeure atau dalam hal musibah, pesawat udara yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan pendaratan di wilayah Indonesia.

6. Semua kapal asing sewaktu melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh berhenti atau berlabuh jangkar atau mondar-mandir, kecuali dalam hal force majeure atau dalam hal keadaan musibah atau memberikan pertolongan kepada orang atau kapal yang sedang dalam keadaan musibah

7. Kapal atau pesawat udara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan tidak boleh melakukan siaran gelap atau melakukan gangguan terhadap sistem telekomunikasi dan tidak boleh melakukan komunikasi langsung dengan orang atau kelompok orang yang tidak berwenang dalam wilayah Indonesia.

(17)

a) Pesawat udara sipil asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan harus : (1) menaati peraturan udara yang ditetapkan oleh Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mengenai keselamatan penerbangan; (2) setiap waktu memonitor frekuensi radio yang ditunjuk oleh otorita pengawas lalu lintas udara yang berwenang yang ditetapkan secara internasional atau frekuensi radio darurat internasional yang sesuai.

b) Pesawat udara negara asing yang melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan harus: (1) menghormati peraturan udara mengenai keselamatan penerbangan sebagaimana dimaksud dalam ayat a) huruf (1); (2) memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam ayat a) huruf (2) dalam menegakkan kedaulatan dan hukum terhadap pelanggaran wilayah udara nasional, TNI Angkatan Udara mempunyai wewenang dan tanggung jawab untuk melakukannya.

Untuk penerapan tugas dan tanggung jawab tersebut Komando Pertahanan Udara Nasional (KOHANUDNAS) bertindak sebagai pelaksana operasi pertahanan udara aktif dan operasi pertahanan udara pasif Sesuai dengan Pasal 10 UU No 34 Tentang Tentara Nasional Indonesia yaitu: 1. Melaksanakan tugas TNI matra udara dibidang pertahanan

2. Menegakkan hukum dan menjaga keamanan wilayah udara yuridiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi

(18)

4. Melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan udara.

(19)

bumi, sumber daya manusia baik di bidang operasi penerbangan, teknisi bandar udara maupun navigasi penerbangan, fasilitas navigasi penerbangan, otoritas bandar udara, pelayanan bandar udara, keamanan penerbangan, lembaga penyelenggara palayanan navigasi penerbangan (single air service provider), penegakan hukum, penerapan sanksi administratif yang selama ini tidak diatur, budaya keselamatan penerbangan, penanggulangan tindakan melawan hukum dan berbagai ketentuan baru guna mendukung keselamatan transportasi udara nasional maupun internasional.

C. Penerapan Air Defence Identification Zone (ADIZ) di Wilayah Udara Nasional

Dalam rangka mewujudkan pertahanan negara yang kokoh terhadap kemungkinan ancaman udara, maka negara perlu membuat dan menetapkan daerah pengenalan pertahanan udara atau Air Defense Identification Zone (ADIZ). Saat ini Indonesia yang telah menetapkan ADIZ di atas pulau Jawa dan sekitarnya yang dinilai belum tepat dan optimal, karena tidak seperti di negara-negara lain yang diakui oleh masyarakat internasional sebagai hukum kebiasaan.

(20)

identifikasi dini sebelum suatu pesawat udara memasuki ruang udara nasional. Daerah (zona) udara berupa ADIZ untuk melakukan identifikasi seharusnya berada di luar teritorial wilayah udara nasional sehingga pesawat sebelum memasuki wilayah udara teritorial melakukan identifikasi atau melaporkan terlebih dahulu rencana penerbangannya (flight plan) untuk dapat di ketahui secara dini apabila ada ancaman terhadap wilayah Negara kesatuan RI. Dengan ditempatkan ADIZ Indonesia berada di atas udara wilayah Jawa sekitarnya maka fungsi ADIZ sebagai sarana identifikasi sebelum memasuki wilayah teritorial menjadi kurang berfungsi karena ADIZ Indonesia berada di dalam wilayah udara teritorial itu sendiri.

Permasalahan kuantitas dan kuantitas sumber daya manusia dapat dibagi sebagai berikut :

1. Kualitas Sumber Daya Manusia. Adapun permasalahan kualitas sumber daya manusia adalah sebagai berikut :

a. Operator Radar di Jajaran Kohanudnas. Personel yang menangani Radar meliputi operator radar dan teknisi radar, operator radar memiliki kemampuan untuk mengatur lalu lintas udara sedangkan teknisi radar bertugas untuk pemeliharaan radar. Permasalahan terhadap operator radar yang melakukan monitoring terhadap pesawat-pesawat adalah sebagai berikut :

(21)

2) Pendidikan. Pendidikan operator Radar terbatas pada Pengatur Lalu Lintas Udara (PLLU), setelah itu operator radar tidak diberikan pendidikan lanjut.

3) Pemandu Lalu Lintas Udara Sipil. Permasalahan penerapan ADIZ di Indonesia merupakan persoalan yang terkait dengan berbagai unsur pendukung, ADIZ akan efektif bila didukung oleh sistem Air Traffic Control (ATC) yang baik. Pemandu lalu lintas udara (Air Traffic Controller) memiliki kontribusi yang penting dalam memberikan jasa pelayanan udara yang mendukung ADIZ. Pemandu lalu lintas udara memberikan penyedia layanan yang mengatur lalu lintas di udara dan mengontrol pergerakan pesawat yang keluar dan masuk area control service nya, termasuk dalam mengontrol wilayah ADIZ. Permasalahan

berkaitan dengan Pemandu Lalu Lintas Udara adalah kurangnya pemahaman terhadap Operasi Pertahanan Udara.

b. Military Civil Coordination. Dalam rangka koordinasi antara penerbangan sipil khususnya air traffic services dengan tugas pertahanan udara telah dibentuk Military Civil Coordination Centre (MCC). MCC berfungsi melaksanakan koordinasi penerbangan antara unit ATS Sipil dan Militer dalam rangka :

(22)

2) Mendukung terciptanya keamanan dan keselamatan penerbangan selama berlangsungnya operasi-operasi udara TNI AU30

2. Kuantitas Sumber Daya Manusia. Adapun permasalahan kualitas sumber daya manusia adalah sebagai berikut :

a. Operator di Jajaran Kohanudnas. Jumlah tenaga operator Radar terbatas dengan sistem kerja shift, untuk menutupi kekurangan personel tersebut digunakan teknisi Radar yang tidak memiliki latar belakang pendidikan PLLU.

b. Pemandu Lalu Lintas Udara Sipil. Keterbatasan jumlah pemandu lalu lintas di bandara-bandara dapat menghambat pengendalian wilayah udara. Keterbatasan jumlah personel Pemandu Lalu Lintas Udara menyebabkan bandara-bandara operasional 24 jam penuh.31

c. Military Civil Coordination. Keterbatasan jumlah personel MCC yang seharusnya di tempatkan Pamen dari Korps Elektronika, 2 Kasi berpangkat Pama dari Korps Elektronika, Kepala Tata Usaha dan Kataud Bintara dari kejuruan PLLU, namun dalam prakteknya personel yang dikirim untuk bertugas adalah seorang Bintara. Pada saat ini personel yang mengawaki MCC belum terisi sesuai dengan DSP yang ada dalam Skep Kasau Nomor Skep / 27 /III / 1997 Bujuklak tentang Penyelenggaraan Military Civil Coordination Centre yaitu dipimpin oleh Pamen dari Korps Elektronika, 2 Kasi berpangkat Pama dari Korps Elektronika, Kepala Tata Usaha dan Kataud Bintara dari

30

Skep Kasau Nomor : Skep/27/III/1997 Bujuklak tentang Penyelenggaraan Military Civil Coordination Centre

31

(23)

kejuruan PLLU, namun dalam prakteknya personel yang dikirim untuk bertugas adalah seorang Bintara. Karena personel yang dikirim adalah seorang Bintara maka keberadaannya kurang diterima/dianggap oleh Bandara sebagai perwakilan dari TNI AU. Sehingga berakibat koordinasi antara Bandara dan Kohanudnas tidak berjalan dengan semestinya atau tidak optimal, yang berpengaruh pula pada monitoring ADIZ Indonesia sebagai zona identifikasi.

Penetapan ADIZ suatu negara didasarkan pada dua hal yang menjadi dasar yaitu :

1. Mengikuti perkembangan dunia dimana teknologi penerbangan sudah semakin maju dan negara-negara yang berbatasan langsung dengan laut bebas mengkuatirkan akan adanya serangan dari pihak asing melalui media udara masuk ke negaranya melewati laut bebas, sehingga negara-negara yang memiliki ruang udara tersebut secara sepihak menetapkan ADIZ.

(24)

Dibandingkan dengan luas wilayah udara yang harus dipertahankan maka Alutsista TNI AU belum mencukupi. Adapun Alutsista yang dapat mendukung keberadaan ADIZ Indonesia adalah sebagai berikut:32

1. Pesawat Terbang. Hingga saat ini, kondisi pesawat terbang TNI AU yang beroperasi meliputi 68 pesawat tempur; 47 pesawat angkut; 38 helikopter, dan 55 pesawat latih dengan tingkat kesiapan rata-rata adalah 44%

2. Radar. Kekuatan Radar yang dimiliki TNI AU saat ini, berjumlah 20 unit dengan kesiapan operasi 16 unit (94 %). Penggelaran satuan radar TNI AU saat ini di Tanjung Kait, Ranai, Tanjung Pinang, Pemalang, Congot, Cibalimbing, Ngliyep, Ploso, Balikpapan, Kwandang, Tarakan, Lhokseumawe, Dumai, Sabang, Sibolga, Buraen, Tanjung Warari, Timika, Merauke, dan Saumlaki.

3. Peluru Kendali (Rudal). Rudal yang dimiliki TNI AU saat ini meliputi meriam Penangkis Serangan Udara (PSU) tipe HSS Alla Gun kaliber 30 mm sebanyak 11 unit, dan tipe HSS Triple Gun kaliber 20 mm sebanyak 33 unit yang sudah berusia tua, dan masih digunakan sebagai sarana pertahanan udara (hanud titik) guna melindungi pangkalan-pangkalan induk. Disamping itu, TNI AU juga memiliki rudal jarak pendek tipe QW-3 Manpacked sebanyak 24 set dari pengadaan tahun 2006, rudal udara-udara tipe AIM-9, dan rudal udara-udara-darat tipe Maverick AGM-65. Untuk amunisi udara, saat ini masih sangat terbatas dan tidak akan mampu melaksanakan perang jika terjadi konflik

32

(25)

4. Komunikasi dan Peperangan Elektronika (Komnika). Kekuatan peralatan Komnika TNI AU saat ini yang melekat di pesawat terbang, Radar, Rudal dan Siskomlek/K4I secara kualitatif maupun kuantitatif belum memadai, sehingga perlu ditingkatkan.

Pengaturan udara di atur dalam Konvensi Chicago Pasal 1 yang menyatakan the Contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its territory, hal ini berarti bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang mutlak dan tidak dapat dikurangi oleh negara lainnya terhadap ruang udara di atas wilayahnya. Sifat kedaulatan di wilayah udara yang penuh dan eksklusif ini juga diatur dalam Pasal 5 Undang- Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Di dalam ketentuan hukum internasional selain dikenal dengan ketentuan hukum tertulis juga dikenal adanya hukum kebiasaan internasional yang sifatnya tidak tertulis yang didasari praktek-praktek negara.

Pendirian ADIZ oleh suatu Negara didasarkan oleh praktek negara-negara yang telah menjadi kebiasaan internasional (Customary International Law) dan asas bela diri (self defence) yang diatur dalam Pasal 51 Piagam PBB. Di sisi lain Indonesia telah meratifikasi United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS 1982) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985

(26)

kepulauan, dimana dalam alur laut kepulauan tersebut seluruh kapal dan pesawat udara mempunyai hak untuk melintas. Penetapan ADIZ yang dilakukan oleh Indonesia menimbulkan permasalahan apabila dikaitkan dengan adanya penetapan Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI). Pengaturan berkaitan dengan Hak dan Kewajiban Kapal dan Pesawat Udara Asing dalam melaksanakan Hak Lintas Alur Laut Kepulauan melalui Alur Laut Kepulauan yang telah ditetapkan diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 37 tahun 2002. ALKI I yang meliputi Selat Sunda dan Selat Lombok yang telah diajukan kepada International Maritime Organization (IMO) over lapping dengan ADIZ Indonesia yang di sekitar atas udara sebagian kecil Sumatera Selatan, Jawa dan Madura, Bali, Lombok dan sebagian kecil Pulau Sumbawa.

Permasalahan akan timbul apabila terdapat pesawat udara yang akan menggunakan koridor ALKI yang tidak wajib melaporkan kegiatan penerbangannya dan hanya memonitor frekwensi penerbangan di ATC. Hal ini bertentangan dengan ketentuan ADIZ maka pesawat udara tersebut harus melaporkan rencana penerbangannya.

Pilihan Terbaik Penerapan ADIZ. Berpedoman pada analisis dan teori efektifitas Hukum maka dapat di ambil suatu keputusan bahwa pilihan terbaik dalam penerapan ADIZ adalah ADIZ Amerika serikat, hal ini didasarkan pada faktor-faktor yang di miliki oleh ADIZ Amerika yaitu :33

33

(27)

1. Faktor Hukum. Penerapan ADIZ Amerika didukung oleh perangka Aturan Hukum yang jelas, tidak mengandung cacat yuridis dan aturannya memperhatikan kepentingan pertahanan Negara

2. Faktor sumber daya manusia. Penerapan ADIZ Amerika didukung oleh sumber daya manusia yang baik sehingga mampu mengawaki sarana dan fasilitas penegakan Hukum Udara.

3. Faktor sarana dan fasilitas. Sarana dan fasilitas pendukung berupa sistim pertahanan udara yang handal merupakan faktor yang sangat menentukan dan mendukung penerapan ADIZ.

4. Faktor Masyarakat. Masyarakat Amerika Serikat sangat mendukung penerapan ADIZ, karena masyarakatnya sudah maju dan mengerti tentang arti pentingnya pertahanan udara. Secara Internasional penerapan ADIZ Amerika serikat tersosialisasi dengan baik sehingga dapat di ketahui, dihormati dan di taati oleh masyarakat Internasional.

Pilihan alternatif penerapan ADIZ yaitu penerapan CADIZ ( Canada Air Difense Zone). Faktor-faktor efektifitas Hukum yang dimiliki oleh ADIZ Amerika

Serikat juga dimiliki oleh CADIZ, perbedaannya hanya pada sarana dan fasilitas yang mendukung penerapan CADIZ. ADIZ Amerika Serikat didukung oleh sarana dan fasilitas yang lengkap dan canggih, sedangkan CADIZ tidak selengkap Amerika Serikat, namun penerapan CADIZ terdukung.

(28)

ADIZ Indonesia secara efektif dibutuhkan pemenuhan syarat-syarat sebagai berikut :34

1. Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan. Hukum yang baik adalah Hukum yang tidak mengandung cacat yuridis (cacat Hukum) , memenuhi rasa keadilan, kepastian Hukum dan bermanfaat. Dalam konteks ini yaitu aturan Perundang-undangan sebagai payung Hukum penerapan ADIZ Indonesia terdapat konflik norma sehingga menimbulkan ketidak pastian Hukum yang berdampak pada proses penegakan Hukum, sehingga harus di atasi dengan melakukan harmonisasi peraturan Perundang-undangan. Selain itu aturan perundang-undangan yang telah di harmonisasi mengandung ketentuan yang memenuhi kepentingan pertahanan nasional dengan memuat ketentuan ADIZ yang ideal yaitu penempatan lokasi dan luas yang sesuai dengan kebutuhan pertahanan negara. Untuk mengefektifkan ADIZ Indonesia sebagai zona identifikasi maka harus ditingkatkan luas wilayah ADIZ Indonesia dari di wilayah udara sebagian kecil Sumatera Selatan, Jawa dan Madura, Bali, Lombok dan sebagian kecil Pulau Sumbawa bagian barat ke wilayah udara di atas zona ekonomi ekslusif sejauh 200 NM dari garis pangkal biasa (normal baselines). Dengan meningkatkan luas wilayah ADIZ Indonesia pesawat udara asing akan melakukan identifikasi sebelum memasuki kedaulatan wilayah udara, sehingga dapat diketahui secara dini adanya ancaman atau tidak melalui wilayah udara. Dengan meningkatkan luas ADIZ Indonesia maka hukum

34

(29)

dan kedaulatan di wilayah udara dapat ditegakkan dalam rangka menjamin keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.

2. Ketentuan yang dirumuskan dalam Pasal 10 Undang-Undang TNI menyebutkan bahwa tugas TNI AU yaitu menegakkan hukum dan menjaga keamanan di wilayah udara yurisdiksi nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi. TNI AU sebagai pengemban tugas pertahanan dan penegakan Hukum di wilayah udara harus meningkatkan sumber daya manusia baik dari aspek kualitas maupun kuantitas. Faktor pendukung yang tidak kalah pentingnya adalah pemenuhan sarana dan prasarana berupa Alutsista yang memadai serta dukungan anggaran yang cukup sebagai konsekuensi penerapan ADIZ Indonesia yang Ideal.

3. Mengupayakan dukungan masyarakat dengan mensosialisasikan tentang Penerapan ADIZ indonesia dan fungsinya untuk melindungi segenap bangsa indonesia dan seluruh tumpah darah indonesia dari berbagai betuk ancaman yang dating melalui media udara. Untuk mendapat dukungan dari masyarakat internasional pemerintah juga harus melakukan sosialisasi secara terus menerus agar penerapan ADIZ Indonesia yang ideal dapat diketahui, dihormati dan ditaati.

(30)

Penerapan Undang-Undang RI Nomor 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara. Dalam Pasal 6 UU No.3 tahun 2002 menyebutkan, bahwa pertahanan negara diselenggarakan melalui usaha membangun dan membina kemampuan, daya tangkal negara dan bangsa serta menanggulangi setiap ancaman. Pertahanan negara bertujuan untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, termasuk wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional, sehingga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman dapat terhindar.

Penerapan Undang-Undang RI Nomor 34 tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Tentara Nasional Indonesia sebagai alat pertahanan Negara Kesatuan Republik Indonesia, bertugas melaksanakan kebijakan pertahanan negara untuk menegakan kedaulatan negara, mempertahankan keutuhan wilayah dan melindungi keselamatan bangsa, menjalankan operasi militer untuk perang dan operasi militer selain perang serta ikut secara aktif dalam tugas pemeliharaan perdamaian regional dan internasional.

(31)

Penerapan Undang-Undang RI Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan. Dalam Pasal 5 UU RI Nomor 1 tahun 2009, dinyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia berdaulat penuh dan eksklusif atas wilayah udara Republik Indonesia. Salah satu wujud penegakkan hukum udara adalah penerapan ketentuan ADIZ Indonesia sebagai zona identifikasi bagi pesawat udara asing. Indonesia sebagai negara berdaulat mempunyai hak untuk menetapkan ADIZ untuk kepentingan pertahanan wilayah udara35

D. Pengaturan Flight Information Region (FIR) Wilayah Udara Indonesia Indonesia di nilai belum mampu memberikan pelayanan kegiatan penerbangan untuk mewujudkan standar keselamatan penerbangan internasional, sehingga pengelolaan Flight Information Region (FIR) dilakukan oleh Singapura. Standar keselamatan penerbangan sipil maupun militer yang menjadi prioritas utama masih memprihatinkan, terutama dalam pelaksanaan operasi penerbangan.

Flight Information Region (FIR) adalah sebagai pembagian wilayah udara yang bertujuan untuk menjamin keamanan dan keselamatan penerbangan yang ditetapkan oleh negara negara yang tergabung dalam International Civil Aviation Organization (ICAO). FIR dan UIR merupakan wilayah untuk keperluan operasi penerbangan dan merupakan media ruang gerak yang didasarkan pertimbangan keselamatan penerbangan.36

Dalam pengertian yang baku, FIR adalah suatu ruang udara yang ditetapkan dimensinya dan didalamnya terdapat Flight Information Service dan

35

Undang-Undang Nomor 1 tahun 2009 tentang Penerbangan Pasal 5

36

(32)

Alerting Service. Flight Information Service adalah pelayanan yang dibentuk dan

dipersiapkan untuk memberikan saran dan informasi secara penuh untuk keselamatan dan efisiensi penebangan. Alerting Service adalah pelayanan yang diberikan kepada organisasi yang berkaitan dengan pesawat terbang/ penerbangan yang membutuhkan pertolongan dan dan membantu organisasi yang membutuhkan bantuan pencarian dan pertolongan (Dewan Penerbangan dan

Antariksa Republik Indonesia, “Flight Information Region”.37

Pembagian wilayah FIR sering tidak mengacu kepada wilayah udara negara yang berdaulat sehingga sering berbenturan dengan kedaulatan suatu negara. Dasar hukum Flight Information Region terdapat dalam Pasal 28 Konvensi Chicago 1944 dan Annex 11 Konvensi Chicago 1944, yang berbunyi,

“undertakes, so far as it may find practicable, to provide, in its territory,

airports, radio services, meteorological services and other air navigation facilities to facilitate international air navigation, in accordance with the standards and practices recommended or established from time to time,

pursuant to this Convention”. ("Melakukan, sejauh itu mungkin

menemukan praktis, untuk menyediakan, di wilayahnya, bandara, layanan radio, jasa meteorologi dan fasilitas navigasi udara lain untuk memudahkan navigasi udara internasional, sesuai dengan standar dan praktek yang direkomendasikan atau ditetapkan dari waktu ke waktu , sesuai dengan konvensi ini).

Menurut Annex 11, Indonesia dapat mendelegasikan pemanduan lalu lintas udara tersebut kepada negara lain dan hal ini juga termuat pada Pasal 262 ayat (1) huruf (a) dan Undang Undang Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Pendelegasian tersebut tidak mengurangi kedaulatan negara Republik Indonesia. Apabila Indonesia dianggap telah mampu, maka pendelegasian tersebut dapat

37

(33)

dikembalikan kepada Indonesia. Biasanya apabila suatu negara belum mampu untuk mengontrol ruang udaranya seperti yang pernah dialami Vietnam diawal kemerdekaannya, ATC di FIR pada wilayah udaranya diambil alih oleh negara Thailand. Dengan kasus yang sama dengan Indonesia, Vietnam saat ini sudah mengambil alih ATC pada FIR yang semula didelegasikan kepada Thailand, yang diminta pada saat Regional Air Navigation (RAN) Meeting di Bangkok.

Amerika Serikat tidak mengakui hak negara pantai untuk menerapkan FIR terhadap pesawat militer asing yang melaksanakan penerbangan di ruang udara internasional atau yang memasuki wilayah udara negara lainnya. Pesawat militer Amerika yang bermaksud memasuki wilayah udara negara lain, tidak perlu mengidentifikasi diri atau tidak tunduk terhadap kewajiban kewajiban yang berlaku dalam prosedur FIR yang ditentukan oleh negara lain, kecuali terdapat kesepakatan khusus antara Amerika dengan negara tersebut. Cara yang dilakukan oleh Amerika diikuti oleh australia yang tidak mewajibkan pesawat udara militer melaporkan kegiatan penerbangan kepada negara pengelola FIR. Pesawat militer Australia yang terbang di kepulauan Cristmas yang masuk FIR Jakarta tidak pernah melaporkan kegiatan penerbangannya ke Indonesia, kecuali bila akan memasuki wilayah Indonesia.38

38

Referensi

Dokumen terkait

Inung Nursani Ketua PKL Alkid Kraton di Posko KIPER (Komite Independen Pengawal referendum) sebagai pengurus Gerakan PKL Alun Alun Kraton, para pemuda pun secara

Pada mikrokontroler dihubungkan dengan Ethernet shield yang tersambung pada modem ADSL yang mendukung mikrokontroler dapat berfungsi sebagai jembatan ( bridge )

Pada penelitian ini akan dirancang sebuah simulasi sistem transmisi menggunakan kanal Flat Fading dengan modulasi Phase Shift Keying M-array (M-PSK), dimana di penerima

Dalam menjalankan proyek pada umumnya menggunakan metode-metode penilaian investasi diantaranya adalah Metode Payback Period, pada metode ini hasil penelitiannya selama 1 bulan 6

Universitas Muhammadiyah Malang 14.30-15.30 Kebijakan Akreditasi Jurnal

Inference engine adalah bagian dari sistem pakar yang melakukan penalaran terhadap isi database pengetahuan (knowledge base) berdasarkan urutan tertentu. Penalaran maju disebut

peserta (a) mengisi identitas diri; (b) mengunggah naskah artikel ilmiah hasil penelitian yang sudah disesuaikan dengan ketentuan penulisan artikel ilmiah

Berdasarkan hasil laporan kemajuan calon peserta Kontes Robot Indonesia (KRI) tahun 2016, diberitahukan dengan hormat bahwa tim yang dinyatakan lolos seleksi