• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelanggaran Hukum Atas Wilayah Udara Dengan Masuknya Pesawat Asing Dalam Perspektif Hukum Internasional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pelanggaran Hukum Atas Wilayah Udara Dengan Masuknya Pesawat Asing Dalam Perspektif Hukum Internasional"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2004.

E. Suherman, Hukum Udara Indonesia dan Internasional, Bandung: Alumni, 1983.

Frans Likada, 1987, Masalah Lintas di Ruang Udara, Bandung: Binacipta. Isjwara, Fred. Pengantar Ilmu Politik, Bandung: Binacipta, 1999.

Hadiwijoyo, Suryo Sakti,Perbatasan Negara Dalam Dimensi Hukum Internasional, Yogyakarta: Graha Ilmu, 2011.

Hans Kelsen, General Theory of Law and State, Cambridge; Harvard University Press, 1949.

Ida Bagus Rahmadi Supancana, Peranan Hukum Dalam Pembangunan Kedirgantaraan, Jakarta : Mitra Karya, 2003, hal. 294.

Ign Maryanto, Taskap, Konsepsi Penataan Ruang Udara FIR Indonesia Dalam Rangka Mendukung Tugas TNI AU pada Masa mendatang, termuat dalam Yuwono Agung, 2012.

Kusumaatmadja.Mochtar. Pengantar Hukum Internasional, Buku I Bagian Umum, Jakarta: Bina Cipta, 2010.

Kusumaatmadja, Mochtar dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional, Pengantar Hukum Internasional, Bandung : Alumni, 2010.

Martono, H. K. dan Amad Sudiro, Hukum Udara Naional dan Internasional Publik, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2012.

Mauna Boer. Hukum Internasional, Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global, Bandung: Alumni, 2000.

Mabesau, Pembangunan Kekuatan Pokok Minimum (Minimum Essential Force) TNI AU Tahun 2010 - 2024, Jakarta, 2010.

(2)

D. Sejarah Hukum Udara Internasional

Berbeda dengan moda transportasi laut yang terlahir jauh sebelumnya, kelahiran moda transportasi udara, baru lahir sejak permulaan abad ke-17. Pada saat itu Fransisco de lana dan Galier mencoba mengembangkan model pesawat udara yang dapat terbang di atmosfer kemudian diikuti oleh Pater de Gusman di Lisbanon yang berhasil terbang di ruang udara dengan menggunakan udara yang dipanaskansedangkan Black berhasil terbang dengan balon yang diisi dengan zat air pada 1767 yang diikuti oleh Cavallo pada 1782.39 Black terbang juga dengan balon yang diisi dengan zat air pada 1767 yang diikuti oleh Cavello pada 1782.

Black terbang juga dengan balon yang diisi dengan gas. Percobaan

penerbangan tersebut dilanjutkan oleh Montgolfier bersaudara di perancis dengan balon yang diisi dengan udara panas. Setelah berhasil percobaan-percobaan tersebut, akhirnya Blanchard bersama Jaffies berhasil percobaan-percobaan tersebut, akhirnya Blanchard bersama Jaffies berhasil terbang melintasi Selat Calais dengan menggunakan balon bebas pada 1785 yang pernah digunakan untuk perang Franco-Prusia tahun 1870-1871 untuk mengungsikan para pejabat negara. Sebenarnya jauh sebelum sebelum Perang Franco-Prusia, pada 1852 Giffard telah berhasil terbang dengan balon yang diberi mesin uap, kemudian pada 1884

39]

Priyatna A., Kedauatan Negara di Ruang Udara, Jakarta: Pusat Penelitian Hukum

(3)

Renard bersama Krebbs juga berhasil menciptakan sebuah balon dengan baling-baling bermesin listrik yang digerakkan dengan tenaga baterai, dan terakhir Von Zepplin pada 1889 berhasil membuat balon bebas bermotor yang dapat

dikemudikan dan berhasil terbang melintasi Danau Constance di Swiss pada 1900. Tahun berikutnya Santos-Dumont berhasil terbang disekitar kota paris. Sejak Fransisco de Lana pada 1870 sampai dengan 1889, Von Zepplin terbang dengan pesawat udara yang dikembangkan lebih ringan dari udara, sedangkan sejak lahir abad ke-19 Santos-Dumont mulai mengembangkan teknik pembuatan pesawat udara yang lebih berat dari udara, walaupun sebenarnya pemikiran demikian telah diimpikan sekitar abad ke-15. Pada awal ke-15 Sir George Cayley juga menciptakan model pesawat udara seperti pesawat terbang layang. Penerbangan balon udara dikembangkan lebih lanjut sehingga tercipta pesawat udara yang lebih berat dari udara yang untuk pertama kalinya Wright bersaudara berhasil terbang dengan menggunakan pesawat udara yang lebih berat dari udara di kota Kitty Hawk Amerika Serikat. Sejak penerbangan Wright bersaudara pada 1903 tersebut, telah terbukti bahwa dari udara maupun pesawat lebih berat dari udara. Penerbangan tersebut hanya mungkin dapat dilakukan pada ruang udara yang terdapat gas-gas udara.40

Pada awalnya perkembangan pesawat udara yang lebih ringan dari udara maupun pesawat udara yang lebih berat dari udara dapat digunakan untuk berbagai keperluan seperti transportasi udara, keperluan komersial, keperluan militer bahkan dapat digunakan sebagai mata-mata, sehingga semakin menarik

40

(4)

perhatian para ahli hukum udara internasional untuk meletakkan dasar hukum internasional. Pada saat itu, tahun 1900 praktis belum ada dasar hukum untuk mengatur penerbangan dengan jelas, karena itu pertama kalinya Prof. Ernest Nys dari universitas Brussel berpendapat penerbangan tersebut perlu diatur dalam hukum udara yang merupakan cabang ilmu hukum. Hal itu ditemukan dalam laporannya kepada Institute of International Law pada 1902. Prof.Ernest Nys berpendapat yang menjadi masalah bukanlah status udaranya, melainkan menyangkut masalah penggunaan ruang udara (space) di mana terdapat udara. Ruangan tersebut adalah ruangan dimana terdapat udara yang dapat merupakan tenaga dorong pesawat udara sehingga dapat terbang. Adanya udara tempat penerbangan berlangsung tersebut membatasi lingkup berlakunya hukum udara.

Sebagaimana yang terdapat pada Konvensi Paris 1919 pada Pasal 1 memberikan suatu negara kedaulatan yang lengkap dan eksklusif di atas wilayahnya (termasuk dengan wilayah perairannya). Kedaulatan negara juga mencakup pula terhadap ruang udara yang berada di atas wilayah kedaulatannya.

Pengaturan tentang kedaulatan negara di ruang udara di dalam Konvensi Paris 1919 belum mampu menentukan mengenai batas dan ketinggian wilayah udara suatu negara. Namun, yang ditetapkan di dalam konvensi ini adalah mengenai kedaulatan masing-masing negara atas wilayah udaranya.

Adanya dalil Hukum Romawi yang berbunyi, “Cuius est solom, eius usgue

ad coelum et ad inferos” melandasi dibentuknya Konvensi Paris 1919. Dalil itu

(5)

segala sesuatu yang berada di atas permukaan tanah tersebut sampai ke langit dan segala apa yang berada di dalam tanah tersebut”.41

Berakhirnya Perang Dunia I maka banyak negara-negara semakin mengembangkan teknologi ruang udara, yakni berupa usaha pengembangan teknologi penerbangan jarak jauh yang cepat, serta berusaha mencapai jarak ketinggian yang maksimal di ruang udara. Pesawat udara yang pada awalnya hanya dimiliki negara dan hanya dipakai untuk kepentingan militer saja, kemudian mulai menjadi suatu sarana perhubungan komersial yang umum. Dan pemilikannya bukan lagi sebatas oleh negara saja, melainkan telah pula dimiliki oleh perusahaan-perusahaan swasta. Hal ini terjadi ketika pada tahun 1919 perusahaan penerbangan pertama memulai pengoperasian penerbangan berjadwal (scheduled) pertama antara kota London dan Paris.

Protokol Paris 1939 adalah kelanjutan dari hasil-hasil Konvensi Paris 1919, dan mengangkat permasalahan-permasalahan khusus yang melekat dalam kategori kerugian yang timbul terhadap orang-orang di atas permukaan bumi akibat aktifitas-aktifitas yang dilakukan di ruang udara.

Ketentuan dasar yang mengatur tanggung jawab untuk kerugian dalam Hukum Udara kemudian dimuat dalam perjanjian-perjanjian internasional yang sebelumnya belum disepakati dalam Protokol Paris 1929 ini. Perjanjian-perjanjian internasional itu kemudian mengalami berbagai perkembangan, yang secara kronologis dapat diuraikan sebagai berikut:

41

(6)

1. Convention for The Unification of Certain Rules Relating to International

Carriage by Air (sering disebut dengan Konvensi Warsawa 1929). Pada

tahun 1955 konvensi ini telah ditambah dengan The Hague Protocol, dan kemudian oleh Guadalajara Convention (1961), Guatemala Protocol (1971) dan Montreal Protocol (1975), sebagai tambahan: Montreal Protocol (1966) dan Malta Agreement (1976).

2. Convention on Damage Caused by Foreign Aircraft to Third Parties on

The Surface (sering disebut dengan Konvensi Roma (1952), yang

menggantikan Konvensi Roma (1933) mengenai pokok masalah yang sama), dan protokol yang ditambahkan kepada Konvensi Roma (1952), yaitu Montreal Protocol (1978).

Permasalahan-permasalahan khusus yang melekat dalam kategori kerugian yang timbul terhadap orang-orang di atas permukaan bumi telah dikenal sejak tahun 1927. Beberapa studi mengenai persoalan itu telah dilakukan, yang pada akhirnya berpuncak dalam Konvensi Roma (1933) dan Protokol Brussels (1938). Akan tetapi tidak pernah ada usaha yang dapat dikatakan berhasil sepenuhnya, ketentuan-ketentuan Konvensi Roma (1933) juga segera menjadi ketinggalan di belakang perkembangan-perkembangan yang pesat di bidang penerbangan, dan konvensi itu hanya berhasil menarik sejumlah kecil persetujuan bagi ratifikasi oleh beberapa negara saja.

(7)

suatu konferensi internasional yang secara khusus membahas mengenai penerbangan sipil. Konferensi internasional ini dimulai pada tanggal 1 November dan berakhir pada 7 Desember 1944 di Chicago, Amerika Serikat, dan kemudian menjadi dasar hukum bagi penerbangan sipil internasional dewasa ini. Adapun maksud dari konferensi ini adalah untuk menentukan pola dari penerbangan sipil setelah perang dunia berakhir. Meskipun ada asal usul mengenai kebebasan di udara, namun pada akhirnya prinsip “absolute and exclusive sovereignity”15

(kedaulatan yang mutlak dan absolut sifatnya) tetap dipertahankan. Prinsip tersebut adalah prinsip yang dianut sebelumnya dalam Konvensi Paris 1919. 42

Terdapat perbedaan penting yakni mengenai alasan untuk kedaulatan suatu negara di udara yang dahuluya adalah lebih menitikberatkan pada masalah keamanan negara, maka pada Konferensi Internasional Chicago 1944 lebih mengutamakan pada perlindungan ekonomi bagi industri angkutan udara nasional masing-masing negara yang menentukan. Salah satu hasil yang tidak kalah pentingnya dari Konferensi Internasional Chicago 1944 adalah terbentuknya suatu badan yang kemudian menjadi suatu badan khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa, yaitu International Civil Aviation Organization (ICAO). Organisasi internasional ini mempunyai tugas dalam bidang teknis, ekonomis dan yuridis secara khusus dalam bidang penerbangan. Juga pada Konvensi Chicago 1944 mengatur mengenai penetapan bagi pendaftaran pesawat udara menurut nasionalitasnya dilakukan oleh organisasi internasional ini.

42

(8)

Hasil-hasil lain dari Konferensi Internasional Chicago 1944 adalah berupa lampiran-lampiran (Annexes) sebanyak 16 buah, yang berisikan mengenai standar-standar internasional dan cara-cara yang dianjurkan di dalam bidang teknik penerbangan. Dimana annexes tersebut baru akan berlaku bila sudah dimasukkan dalam perundang-undangan nasional suatu negara. Secara umum annex-annex tersebut mengatur mengenai hal-hal seperti: mengenai ijazah personil udara, mengenai peraturan lalu lintas udara, mengenai meteorologi, mengenai peta-peta penerbangan secara internasional dan lain sebagainya.

E. Ketentuan Hukum Udara yang Disepakati menurut Ketentuan Hukum

Internasional.

Ketentuan hukum udara yang disepakati menurut ketentuan hukum internasional antara lain :

1. Konvensi Paris 1919

Konferensi Paris 13 Oktober 1919 yang diikuti oleh 27 negara menghasilkan Konvensi Paris 1919 (Paris Convention). Pasal 1 Konvensi Paris 1919 mengakui bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh atas ruang udara di atas wilayahnya. Konsekuensinya adalah negara diberi hak untuk mengatur maskapai penerbangan yang beroperasi di wilayah udara mereka.43

Ratifikasi Konvensi Paris berjalan sangat lambat karena ada beberapa ketentuan yang tidak atau kurang disetujui oleh Negara peserta Konferensi, antara lain ketentuan yang menyangkut hak lintas seperti yang terdapat pada Pasal 5:

43 Pasal 1 Konvensi Paris 1919: “

(9)

“...no contracting State shall, except by a special and temporary authorization,

permit the flight above its territory of an aircraft which does not possess the

nationality of a contracting State”. Pasal ini menegaskan bahwa ada pembatasan

terhadap masalah lintas.Pembatasan tersebut mempunyai hubungan dengan kriteria keanggotaan suatu negara terhadap konvensi. Jadi, negara yang menjadi anggota Konvensi mempunyai wewenang membatasi penerbangan pesawat udara negara lain yang bukan anggota Konvensi, melalui wilayah udara negara anggota Konvensi.44

Ketentuan Pasal 2 Konvensi Paris yang menyatakan:

“Each contracting State undertakes in time of peace to accord freedom of innocent passage above its territory to the aircraft of the other contracting States, provided that the conditions laid down in the present Convention are observed. Regulations made by a contracting State as to the admission over its territory of the aircraft of the other contracting States shall be applied without distinction of nationality”

Ketentuan Pasal 2 ini mengandung arti bahwa masalah lintas diberikan kepada pesawat udara komersial dan non-komersial, tetapi dalam batas pesawat udara negara anggota Konvensi saja. Dengan demikian, pesawat udara negara anggota Konvensi berhak melintasi wilayah udara negara anggota Konvensi yang lain tanpa terlebih dahulu mendapat izin pemerintah negara yang disebut terakhir.45

2. Konvensi Chicago 1944

Pasal 1 Konvensi Chicago 1944, yang merupakan penegasan dari Konvensi Paris 1919, menyatakan: “...The Contracting State recognized that

44

Frans Likada, 1987, Masalah Lintas di Ruang Udara, Bandung: Binacipta, hal. 8

45

(10)

every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its

territory”. Pasal ini mengatur tentang kedaulatan yang dimiliki oleh negara

peserta Konvensi di ruang udara di atas wilayahnya. Walaupun konsep kedaulatan bukan merupakan prinsip ekonomi, karena lebih tepat disebut konsep politik, namun demikian, dari Pasal 1 Konvensi ini dapat ditarik suatu konsekuensi ekonomi yang penting, bahwa setiap negara memiliki hak untuk menutup ruang udara di atas wilayahnya dari usaha komersial yang dilakukan oleh negara asing. Dengan cara ini suatu negara dapat melakukan monopoli angkutan udara untuk ke dan dari wilayahnya. Demi menjamin terciptanya ketertiban lalu lintas penerbangan sipil internasional diperlukan kesediaan negara-negara untuk membuat perjanjian internasional baik bilateral, regional, plurilateral maupun multilateral mengenai hak-hak komersial. Pasal 5 Konvensi menyatakan:

“Each contracting State agrees that all aircraft of the other contracting States, being aircraft not engaged in scheduled international air services shall have the right, subject to the observance of the terms of this Convention, to make flights into or in transit non-stop across its territory and to make stops for non-traffic purposes without the necessity of obtaining prior permission, and subject to the right of the State flown over to require landing. Each contracting State nevertheless reserves the right, for reasons of safety of flight, to require aircraft desiring to proceed over regions which are inaccessible or without adequate air navigation facilities to follow prescribed routes, or to obtain special permission for such flights. Such aircraft, if engaged in the carriage of passengers, cargo, or mail for remuneration or hire on other than scheduled international air services, shall also, subject to the provisions of Article 7, have the privilege of taking on or discharging passengers, cargo, or mail, subject to the right of any State where such embarkation or discharge takes place to impose such regulations, conditions or limitations as it may consider desirable”.

(11)

penerbangan traffic yaitu mengangkut dan menurunkan barang atau surat, harus mendapatkan izin dari negara kolong dan selama penerbangan diharuskan mematuhi semua peraturan yang ditetapkan negara kolong. Pasal ini erat kaitannya dengan pertukaran hak-hak komersial untuk penerbangan non-schedule internasional.

Pasal 6 Konvensi mengatur tentang penerbangan terjadwal internasional yang berbunyi:

“No scheduled international air service may be operated over or into the territory of a contracting State, except with the special permission or other authorization of that State, and in accordance with the terms of such permission or authorization”.

Pasal ini secara tegas menyatakan bahwa penerbangan sipil yang melayani pengangkutan terjadwal internasional (schedule international) hanya dapat beroperasi apabila sebelumnya telah diberikan izin berupa suatu “permission” atau

pemberian hak lainnya oleh negara yang melintasi rute penerbangannya. Dengan perkataan lain, pengoperasian angkutan udara terjadwal internasional memerlukan adanya perjanjian antar negara, baik secara bilateral maupun secara multilateral. Adapun 6 (enam) dokumen hasil Konperensi Chicago, yaitu :

1. The Convention on International Civil Aviation (Chicago Convention

1944).

2. International Air Services Transit Agreement (IASTA).

3. International Air Transport Agreement (IATA).

4. Draft of 12 Tehnical Annexes (Annex 1 – 12).

5. Standard form of Bilateral Agreement (Chicago Form Agreement).

(12)

Sembilan puluh enam Pasal dari konvensi ini menetapkan hak-hak khusus dan kewajiban-kewajiban bagi semua negara-negara peserta. Konvensi Chicago 1944 yang ditandatangani di Chicago pada tanggal 7 Desember 1944 dengan anggota berjumlah 152 negara termasuk Indonesia, dinilai mengandung kelemahan. Salah satu kelemahannya adalah adanya pertentangan kepentingan antara penegakan kedaulatan negara secara maksimal dengan kekerasan senjata yang berlawanan dengan kepentingan melindungi keselamatan jiwa manusia di dunia penerbangan sipil. Sehingga pada tanggal 10 Mei 1984 di Montreal telah ditandatangani protokol yang merubah Konvensi Chicago (Amandement to Chicago Convention 1944) dengan memasukkan Pasal 3 Bis, mengenai:46

1. Kewajiban hukum untuk tidak menggunakan senjata terhadap pesawat udara sipil (kemanusiaan).

2. Negara berhak memerintahkan pesawat udara sipil pelanggar untuk mendarat dibandar udara yang ditentukan.

3. Negara diminta menggunakan prosedur pencegatan (Interception) terhadap pesawat udara sipil.

4. Setiap pesawat udara sipil harus mematuhi instruksi yang diberikan oleh pesawat udara negara yang melakukan pencegatan.

5. Setiap negara harus menetapkan dalam perundang-undangan nasionalnya ketentuan hukum yang berat bagi para pelaku dan operator pesawat udara sipil, yang dengan sengaja bertentangan dengan Konvensi ini.

46

(13)

Dalam melakukan penyergapan harus diperhatikan tata cara sebagaimana diatur dalam Attachment dari Annex 2 Rules of the Air. Untuk menjamin adanya tingkat keselamatan yang optimal bagi penerbangan maka negara melalui ICAO menetapkan standard dan recommended practices untuk bisa diikuti oleh setiap negara dalam menyelenggarakan pengendalian ruang udara di atas wilayah kedaulatannya. Bila terdapat negara yang dalam menentukan pengendalian ruang udara di atas wilayah kedaulatannya berlainan dari standar yang ditetapkan ICAO, maka negara tersebut wajib memberitahukan perbedaannya tersebut kepada ICAO sehingga bisa diketahui oleh negara-negara lain. Daftar negara-negara yang mempunyai perbedaan pengaturan dari standar ICAO beserta isi perbedaannya dicantumkan dalam suplemen annex yang bersangkutan. Sedang bagi penerbangan di atas wilayah yang tidak termasuk kedaulatan suatu negara (laut lepas), ICAO menetapkan aturanketentuan pengaturan penggunaan ruang udara (annexes) yang direkomendasikan untuk diikuti oleh semua negara.

F. Status Air Defence Identification Zone (ADIZ) menurut Hukum Udara

Internasional

1. Batas Kedaulatan Wilayah Udara

Konvensi Chicago 1944 merupakan landasan berpijak dari ketentuan-ketentuan hukum udara internasional. Kedaulatan wilayah udara negara diatur dalam Konvensi Chicago yang menyatakan: the contracting States recognize that every State has complete and exclusive sovereignty over the airspace above its

(14)

ruang udara, dan untuk memasuki ruang udara suatu negara dibutuhkan ijin dari negara dimana wilayah udaranya akan dimasuki. Ruang udara sepenuhnya tunduk kepada kedaulatan (sovereignty) yang lengkap dan eksklusip dari negara kolong (subjacent state) sebagaimana ketentuan Pasal 1 Konvensi Chicago 1944

mengenai Penerbangan Sipil Internasional (Convention on International Civil

Aviation).47

Apabila mempelajari Konvensi Chicago 1944 maka terlihat bahwa tidak ada satupun Pasal yang mengatur mengenai batas wilayah udara yang dapat dimliki oleh suatu negara bawah baik secara horisontal maupun secara vertikal. Kembali kepada Pasal 1 Konvensi Chicago khususnya pada kata “complete and

exclusive”, maka timbullah pertanyaan apakah yang dimaksud dengan kata ini

bahwa kedaulatan negara di ruang udara dapat digunakan dan dilaksanakan secara penuh dan eksklusif tanpa memperhitungkan kepentingan negara lain. Namun pada Pasal 2 Konvensi Chicago 1944 menjelaskan apakah yang dimaksud dengan penuh (complete) adalah negara yang berada di bawah ruang udara mempunyai hak secara penuh atau utuh untuk mengatur ruang udara yang berada di atasnya, dan pada Pasal 3 Konvensi Chicago 1944 yang dimaksud dengan eksklusif (exclusive) adalah negara lain yang ingin memasuki wilayah udara suatu negara harus meminta izin terlebih dahulu kepada negara kolong tersebut.

Seperti telah diketahui bahwa batas wilayah darat suatu negara adalah berdasarkan perjanjian dengan negara-negara tetangga, dan dengan demikian setiap negara memiliki batas kedaulatan di wilayah udara secara horisontal adalah

47

(15)

sama dengan seluas wilayah darat negaranya, sedangkan negara yang berpantai batas wilayah negara akan bertambah yaitu dengan adanya ketentuan hukum yang diatur di dalam Article 3 United Nations Convention on the Law Of the Sea (1982) yang menyebutkan setiap negara pantai dapat menetapkan lebar laut wilayahnya sampai maksimum 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal (base line). Yaitu dengan cara luas daratan yang berdasarkan perjanjian perbatasan dengan negara tetangga dan ditambah dengan Pasal 3 Konvensi Hukum Laut 1982.

Begitu pula dalam hal apabila laut wilayah yang berdampingan atau berhadapan dengan milik negara tetangga yang kurang dari 2 x 12 mil laut, maka penyelesaian masalah batas wilayah udara secara horisontal adalah melalui perjanjian antar negara tetangga seperti halnya dalam hukum laut internasional. Tetapi ada beberapa negara seperti Amerika Serikat dan Kanada mengajukan secara sepihak untuk menetapkan jalur tambahan (contiguous zone) di ruang udara yang dikenal dengan istilah A.D.I.Z. (Air Defence Identification Zone).

2. Latar Belakang Penetapan Air Defence Identification Zone (ADIZ)

(16)

Dalam rangka pelaksanaan kedaulatan negara di ruang udara tersebut sering negara-negara menetapkan pada bagian tertentu wilayah ruang udaranya sebagai daerah bahaya, daerah terbatas, dan daerah terlarang untuk semua penerbangan. Biasanya daerah ini adalah daerah militer atau daerah latihan atau daerah-daerah obyek vital nasional, serta pembatasan-pembatasan penerbangan pada daerah-daerah tertentu lainnya.

ADIZ merupakan zona bagi keperluan identifikasi dalam sistem pertahanan udara bagi suatu negara, dimana zona tersebut pada umumnya terbentang mulai dari wilayah territorial negara yang bersangkutan hingga mencapai ruang udara di atas laut bebas yang berbatasan dengan negara tersebut, namun penetapan ADIZ yang demikian tidak dimaksudkan untuk memperluas kedaulatan negara pemilik ADIZ atas laut bebas yang tecakup dalam ADIZ negara itu. yaitu setiap pesawat udara yang terbang menuju negara Amerika Serikat atau Kanada dalam jarak 200 mil harus menyebutkan jati diri pesawat udara. Hal ini dilakukan untuk keamanan negara dari bahaya yang datang melalui ruang udara. ADIZ adalah wilayah di mana semua pesawat terbang sipil atau militer yang melintas harus melaporkan diri kepada pengawas penerbangan militer. Sistem pelaporannya berbeda dengan sistem pengaturan lalu lintas udara sipil. Karena tujuannya untuk pertahanan udara di wilayah negara, tentu saja sistem ini didukung oleh sistem radar yang terkoneksi dengan sistem persenjataan pertahanan udara. Sistem persenjataan pertahanan udara inilah yang menjadi faktor penentu keberhasilan ADIZ.

(17)

Air Defence Identification Zone (ADIZ) dibentuk atas dasar keperluan

identifikasi dalam sistem pertahanan udara bagi suatu negara, dimana zona tersebut pada umumnya terbentang mulai dari wilayah territorial negara yang bersangkutan hingga mencapai ruang udara di atas laut bebas yang berbatasan dengan negara tersebut. Pada dasarnya ADIZ merupakan sarana penunjang sistem pertahanan udara nasional. Dasar hukum pendirian ADIZ adalah asas bela diri (self defence) yang diakui dalam Pasal 51 Piagam PBB48. Hak negara untuk menggunakan senjata untuk mempertahankan diri dari kekuatan dari luar (negara lain) didasarkan kepada hukum kebiasaan internasional (customary international law). Hak untuk membela diri yang dimaksud dalam piagam PBB pada

hakekatnya memang merupakan sesuatu hak yang melekat. Ketentuan dalam Pasal 51 piagam PBB tersebut bukan semata-mata menciptakan hak tetapi secara eksplisit hak membela diri itu memang diakui menurut prinsip-prinsip Hukum Internasional. Hak untuk membela diri yang diatur dalam piagam PBB Pasal 51. Pasal itu berbunyi:

Dalam Piagam ini akan merugikan hak yang melekat pada pertahanan diri individu atau kolektif jika serangan bersenjata terjadi terhadap Anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, sampai Dewan Keamanan telah mengambil tindakan yang diperlukan untuk menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Tindakan yang diambil oleh Anggota dalam pelaksanaan ini hak membela diri harus segera dilaporkan kepada Dewan Keamanan dan tidak akan dengan cara apapun mempengaruhi wewenang dan tanggung jawab Dewan Keamanan di bawah Piagam ini untuk mengambil tindakan kapan saja yang dianggap perlu untuk mempertahankan atau memulihkan perdamaian dan keamanan internasional.

48

(18)

Meskipun redaksional hak membela diri (self defence) tersirat dalam bunyi Pasal tersebut, namun dalam travaux prepatoires dinyatakan bahwa hak tersebut merupakan sesuatu yang melekat (inherent). Bunyi Pasal 51 memang tidak menyebutkan cara yang dapat dilakukan untuk melaksanakan hak membela diri. Pasal ini sering dikaitkan dengan hak untuk menggunakan kekerasan bersenjata secara terbatas. Higgins misalnya berpendapat bahwa piagam PBB telah memberikan izin terbatas atas penggunaan kekerasan bersenjata dalam kerangka hak membela diri baik secara individual maupun kolektif. PBB juga mempertimbangkan bahwa tindakan itu dapat menjadi sebuah mekanisme untuk menuntut hak hukum serta mencapai keadilan sosial dan politik. Beberapa sarjana hukum internasional dan juga praktek-praktek Negara telah menafsirkan hak membela diri tersebut dengan meluaskan maknanya menjadi melindungi diri (self preservation). Bowett misalnya mengatakan bahwa Pasal 51 diartikan hak untuk

membela diri bukan membatasinya. Menurutnya tidak ada hubungan antara serangan bersenjata dengan hak membela diri. Tidak ada negara yang dapat menunggu hingga ada serangan bersenjata baru dapat membela diri. Selain itu ADIZ juga diatur dalam Document 9426-AN/924 First Edition 1984 ICAO (International Civil Aviation Organization), pada chapter 3 tentang Airspace Organization Ayat 3.3.4 Special Designated Airspace yang mengakui keberadaan

ADIZ suatu Negara.

(19)

internasional merupakan salah satu sumber hukum yang diakui oleh negara- negara pada umumnya. Hukum kebiasaan berasal dari praktek negara-negara melalui sikap dan tindakan yang diambil terhadap suatu persoalan. Bila suatu negara mengambil suatu kebijakan dan kebijakan tersebut diikuti oleh negara-negara lain dan dilakukan berkali-kali serta tanpa adanya protes atau tantangan dari pihak lain maka secara berangsur-angsur terbentuklah suatu kebiasaan.

Dalam konteks sejarah pembentukan ADIZ di level internasional, pertama kali diperkenalkan oleh Amerika Serikat pada bulan Desember 1950, semasa perang Korea. Lima bulan kemudian Canada juga mengeluarkan sejumlah peraturan yang diberi nama : Rules for the Security Control of Air Traffic. Sama dengan Amerika Serikat, peraturan yang dikeluarkan oleh Canada itu maksudnya untuk, in the interest of national security, to identify, locate and control aircraft operation within areas designated as “Canadian Air Defence Identification Zone”

(20)

D. Penegakan Kedaulatan Ruang Hukum Wilayah Indonesia

Sebagaimana diketahui bahwa ruang udara nasional adalah merupakan salah satu sumber daya alam yang terdapat di udara, dan sekaligus merupakan wilayah nasional sebagai wadah atau ruang/media, tempat Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melaksanakan kedaulatan, hak berdaulat dan yuridiksinya. Indonesia sebagai negara berdaulat, memiliki kedaulatan yang penuh dan utuh terhadap ruang udara di atas wilayah NKRI, sesuai dengan ketentuan dalam Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional. Hal ini dinyatakan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 1992 tentang Penerbangan dan penjelasannya.49

Penegakkan hukum adalah suatu upaya dari mempertahankan kedaulatan negara, Indonesia sebagai negara yang berdaulat menetapkan seperangkat aturan hukum untuk mengatur, mengendalikan dan menegakkan hukum di wilayah udara yang berada di bawah yurisdiksi Indonesia. Penegakan hukum terhadap pelanggaran wilayah udara dan atau kawasan udara terlarang sebagaimanan dimaksud di atas, dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia.50

Upaya lain yang dilakukan oleh negara Indonesia dalam penegakan hukum terhadap pelanggaran kedaulatan di wilayah udara Indonesia oleh pesawat sipil

49

http://www.tni.mil.id/view-3001-penegakan-kedaulatan-dan-hukum-di-ruang-udara-nasional.html, diakses tanggal 1 November 2014

50

(21)

asing adalah membentuk Air Defence Identification Zone (ADIZ) dan Restricted dan Prohibited Area (daerah terbatas dan terlarang), dengan mempertimbangkan sistem dan kemampuan unsur-unsur pertahanan udara.51

Bentuk penegakan kedaulatan atas wilayah ruang udara nasional, antara lain penegakan hukum terhadap pelanggaran wilayah udara kedaulatan RI, dan pelanggaran terhadap kawasan udara terlarang, baik kawasan udara nasional maupun asing, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 2 ayat (2) UU No. 15 Tahun 1992, dan Peraturan Pemerintah RI No. 3 Tahun 2001 tentang Keamanan dan Keselamatan Penerbangan. Kawasan udara terlarang terdiri atas kawasan udara terlarang yang larangannya bersifat tetap (Prohibited Area) dan kawasan udara bersifat terbatas. Selain itu, terdapat pula pelarangan lain, yaitu perekaman dari udara menggunakan pesawat udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara.52

Dalam rangka menyelenggarakan kedaulatan negara atas wilayah udara nasional, pemerintah mempunyai wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, serta keselamatan penerbangan. Sesuai dengan Pasal 66 ayat (1) PP No.3 Tahun 2001, disebutkan bahwa untuk menjamin keselamatan operasi penerbangan, ditetapkan Kawasan Udara Terlarang (Prohibited Area), Kawasan Udara Terbatas (Restricted Area) dan Kawasan Udara Berbahaya (Danger Area). Kawasan Udara Terlarang

adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, di mana pesawat

51

Ibid

52

(22)

udara dilarang terbang melalui ruang udara tersebut karena pertimbangan pertahanan dan keamanan negara, serta keselamatan penerbangan.

Kawasan udara terbatas adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, karena pertimbangan pertahanan dan keamanan atau keselamatan penerbangan atau kepentingan umum, berlaku pembatasan penerbangan bagi pesawat udara yang melalui ruang udara tersebut. Sedangkan Kawasan Udara Berbahaya adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, yang sewaktu-waktu terjadi aktivitas yang membahayakan penerbangan pesawat udara. Terhadap pelanggaran wilayah udara Republik Indonesia dan atau kawasan udara terlarang oleh pesawat udara sipil, dilaksanakan penegakan hukum yang harus menjamin keselamatan dan keamanan awak pesawat, penumpang dan pesawat udara. Penegakan hukum terhadap pelanggaran wilayah udara dan atau kawasan udara terlarang sebagaimanan dimaksud di atas, dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia. Berdasarkan Aeronautical Information Publication (AIP) Indonesia, ditetapkan bahwa area yang menjadi area udara terlarang hanya WRP 23 Balikpapan Flare.

Namun, pada kenyataannya ruang udara nasional diatur oleh aturan-aturan internasional yang tidak sesuai dengan kehendak kita sebagai negara kepulauan (Archipelagic State). Konvensi PBB tentang Hukum Laut Tahun 1982 pada Pasal

(23)

dalam Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, ALKI II dan ALKI III dan tanggung jawab dibagi-bagi, sehingga ruang udara yang dipecah-pecah tidak dapat dikendalikan. Sementara itu, negara maju seperti Amerika Serikat pada kenyataannya belum meratifikasi Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 (UNCLOS 1982), padahal negara lain sudah banyak yang meretifikasi, sehingga bila Amerika Serikat melintas perairan dan wilayah udara nasional Indonesia masih berpedoman kepada aturan-aturan yang lama, seperti “Traditional Route for Navigation. Hal ini sering membuat terjadinya benturan dimana berdasarkan

aturan lama tersebut pesawat-pesawat Amerika Serikat melintas di atas rute tradisional yang mereka anggap sah dengan alasan bahwa Amerika Serikat belum meretifikasi UNCLOS 1982.

Kepentingan pertahanan dan keamanan, maka diperlukan peningkatan status beberapa area udara dari Restricted Area menjadi Prohibited Area, sebagai contoh WRR 1 Madiun dan WRR 11 Malang seharusnya ditingkatkan menjadi Prohibited Area.

(24)

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, TNI Angkatan Udara diberi wewenang dan tanggung jawab dalam penegakan kedaulatan dan hukum terhadap pelnggaran di wilayah udara, termasuk kawasan udara terlarang, terbatas dan daerah berbahaya sesuai dengan tugas pokoknya. Untuk mengimplementasikan pelaksanaan tugas penegakan kedaulatan dan hukum di ruang udara nasional tersebut, maka dibutuhkan peran Komando Pertahanan Udara Nasional (Kohanudnas). Karena Kohanudnas memiliki kemampuan deteksi, identifikasi dan penindakan terhadap seluruh wahana udara yang melakukan pelanggaran terhadap wilayah udara Republik Indonesia. Sementara itu, dalam melaksanakan tugas tersebut, Kohanudnas melaksanakan Operasi Pertahanan Udara, baik aktif maupun pasif.53

Operasi Pertahanan Udara adalah merupakan kegiatan sebagai upaya mempertahankan kedaulatan wilayah nasional terhadap setiap ancaman yang menggunakan media udara. Kegiatan tersebut pada dasarnya dilakukan secara terpadu yang melibatkan unsur-unsur TNI maupun Sipil yang mempunyai kemampuan Hanud. Karena itu, wujud ancaman udara yang dapat muncul setiap saat mengharuskan Kohanudnas melaksanakan Operasi Pertahanan Udara secara terus menerus agar setiap ancaman yang menggunakan media udara dapat diteksi dan diantisipasi sedini mungkin. Adapun kegiatan Operasi Hanud dilaksanakan pada masa damai dan perang, di mana ancaman udara yang dihadapi akan berpengaruh terhadap penggunaan kekuatan dan pelaksanaan Kodal.

53

(25)

Pada dasarnya pelaksanaan Operasi Pertahanan Udara terbagi dalam Operasi Pertahanan Udara Aktif, yang meliputi kegiatan :54

1. Deteksi : merupakan proses pengawasan terhadap sasaran udara secara elektronis maupun visual. Proses tersebut dimaksudkan untuk mengetahui secara pasti situasi udara yang terjadi pada saat itu. Dengan mengetahui data sasaran udara, dapat ditentukan lintasan, arah dan kecepatannya untuk selanjutnya dapat ditentukan sasaran tersebut merupakan ancaman udara atau bukan. Diteksi dapat dilaksanakan dengan cara elektronis dan visual. 2. Identifikasi : merupakan proses penentuan klasifikasi setiap sasaran udara

kawan, sasaran udara tidak dikenal atau sasaran udara musuh. Dari hasil analisa data sasaran udara dapat ditentukan karakternya dan selanjutnya dapat ditentukan penggunaan Sistem Hanud yang tepat untuk mengatasi dan menanggulangi sasaran udara. Kegiatan identifikasi dapat dilakukan dengan cara elektronis, korelasi dan visual

3. Penindakan : merupakan tindak lanjut dari kegiatan identifikasi yang dilakukan oleh pesawat tempur sergap untuk membayang-bayangi, menghalau, pemaksaan mendarat dan penghancuran. Selain itu, oleh rudal jarak sedang untuk penghancuran terhadap sasaran udara yang masuk daerah pertahanan rudal, dan Meriam Hanud/Rudaltis untuk penghancuran terhadap setiap sasaran udara yang masuk daerah pertahanan.

Sesuai dengan tugas pokoknya Kohanudnas, selama ini telah mampu melaksanakan tugas penegakan kedaulatan dan hukum di ruang udara nasional

54

(26)

dengan dukungan Alutsista, sistem dan sumber daya manusia yang ada. Oleh karena itu, untuk mendukung pelaksanaan tugas penegakan kedaulatan dan hukum di ruang udara yang sangat luas di masa mendatang, dibutuhkan Alutsista dalam jumlah dan kemampuan yang memadai untuk setiap pelaksanaan Operasi Hanud. Dengan memperhatikan kondisi dan kemampuan TNI Angkatan Udara, seharusnya Kohanudnas diberi wewenang khusus untuk melakukan penyidikan terhadap beberapa tindak pidana yang sifatnya merupakan kejahatan terhadap pertahanan dan keamanan di ruang udara (Defence Crime), serta penyidikan terhadap pelanggaran hak terbang di atas Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI).

Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara dalam upaya penegakan kedaulatan wilayah udara RI implementasinya mengacu pada peraturan-peraturan Hukum Nasional dan Internasional:55

1. Pengamatan (Observation) dan pengintaian (Surveillance). Dalam melaksanakan pengamatan maupun pengintaian perlu memperhatikan kententuan-ketentuan hukum nasional maupun internasional.

2. Tindakan pengintaian dengan menggunakan pesawat udara dimana pengintaian tersebut dilakukan sewaktu terbang melintas di wilayah udara nasional negara lain merupakan suatu bentuk pelanggaran hukum terhadap negara lain yang dilintasi tersebut.

3. Tindakan pengintaian dari udara yang dilakukan dari luar wilayah kedaulatan suatu negara yang diamati, bukan merupakan bentuk pelanggaraan, demikian pula pengintaian melalui satelit melalui ruang angkasa

55

(27)

Terhadap pesawat udara tersebut tidak bisa dilakukan suatu tindakan tertentu namun apabila pesawat pengintai telah melakukan suatu kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai „niat permusuhan‟ (Hostile Intent) maka dapat

dilakukan tindakan tertentu sesuai dengan hukum dan prosedur berlaku.

TNI-Angkatan Udara dapat melakukan pengamatan terhadap kapal perang maupun pesawat udara asing yang mencurigakan.56

1. Terhadap kapal perang asing di wilayah ZEE dan laut bebas: Pembayangan dapat dibenarkan apabila ada alasan yang kuat yang berkaitan dengan keamanan nasional (National Security) Adapun prosedur pembayangan (shadowing) dilakukan dengan cara sebagaimana pembayangan terhadap kapal asing yang sedang melakukan pelayaran lintas damai di perairan nasional. 2. Terhadap pesawat militer asing. Pembayangan terhadap pesawat udara militer

asing, baik yang lewat di ruang udara nasional, diatas ZEE maupun di laut bebas, diperbolehkan apabila ada alasan-alasan yang berkaitan dengan Keamanan Nasional (National Security), dengan cara pembayarang (shadowing) dalam jarak yang tidak membahayakan keselamatan penerbangan masing-masing pesawat, serta tidak melakukan gerakan (manuver) yang bisa ditafsirkan sebagai simulation to attack.

Tindakan pesawat militer RI terhadap ancaman dari udara sebagai berikut : a. Pelanggaran wilayah udara (Aerial Intrusion).

Pesawat terbang asing yang memasuki wilayah udara nasional tanpa ijin disebut sebagai pelanggaran wilayah udara. Masuknya pesawat udara asing ke wilayah udara nasional tanpa ijin, ada yang disengaja misalnya penerbangan gelap (black flight) untuk maksud-maksud tertentu dan ada pula yang tidak disengaja

misalnya tersesat (aircraft in distress). Pesawat udara militer RI dapat mengambil tindakan tertentu terhadap pesawat udara asing yang melakukan aerial intrusion. Berat atau ringannya tindakan yang akan dilakukan oleh pesawat militer RI tergantung dari prediksi (ramalan) ancaman yang mungkin timbul.

56

(28)

Apabila pelanggaran wilayah udara ini dilakukan oleh pesawat udara sipil, maka tindakan hukum atau intersepsi harus mengacu pada Konvensi Chicago 1944, terutama Article 3 bis. Apabila pesawat udara pada memasuki wilayah udara nasional Indonesia dalam keadaan tersesat (in distress). Penanganannya didasarkan pada Konvensi Chicago 1944 Article 25 antara lain berupa tindakan reaksi yang dilakukan berdasarkan prosedur operasi yang ditetapkan oleh TNI.

Tahap awal adalah dengan cara “Shadowing” yang merupakan upaya untuk indentifikasi. Dalam fase ini ada kemungkinan untuk menggiring/mengalau pesawat udara musuh (hostile aircraft) untuk keluar dari wilayah RI. Alternatif lain dapat dilakukan intersepsi dan diperintahkan “Force Down” untuk kepentingan investigasi dan proses hukum.

Apabila tahapan-tahapan tersebut tidak dipatuhi oleh pesawat asing tersebut, bahkan justru menunjukkan sikap permusuhan (Hostile Act), tahap akhir dapat dilakukan penghancurann dengan persenjataan. Apabila pesawat udara negara melanggar wilayah kedaulatan negara lain tidak boleh dipaksa untuk mendarat dan ditahan seperti pesawat udara sipil sebagaimana diatur di dalam Annex 2 Konvensi Chicago 1944, melainkan hanya diusir dan ditindak lanjuti protes melalui saluran diplomatik sebagaimana diatur di dalam Konvensi Wina 1961.

b. Terhadap Bentuk-Bentuk Ancaman Permusuhan.

(29)

udara asing, baik yang melakukan penerbangan di wilayah yurisdiksi nasional RI maupun diatas wilayah udara bebas (International Air Space). Kegiatan pesawat udara asing yang mengancam kedaulatan RI dapat dikategorikan dalam 2 (dua) bentuk yaitu: niat permusuhan (Hostile Intent) dan tindakan permusuhan (Hostile Act).

Kegiatan pihak asing yang dapat dikategorikan sebagai niat permusuhan dari wilayah udara adalah sebagai berikut:

1) Pengamatan dan gangguan yang dilakukan didekat wilayah udara nasional; 2) Pengamatan obyek-obyek vital RI baik yang ada diwilayah teritorial, ZEE dan

landas kontinen.

3) Pembayangan (shadowing) terhadap pesawat militer atau kapal perang RI dalam jarak dekat yang tidak memenuhi kentuan “Idetification Safety Range” (ISR);

4) Pelanggaran ketentuan lalu lintas udara di kawasan yang menjadi tanggung jawab RI.

5) Pelanggaran dikawasan Air Defence Indentification Zone (ADIZ) yang didirikan oleh negara RI;

6) Pelanggaran wilayah udara yang disengaja (Black Flight).

Terhadap pesawat udara yang dikategorikan sebagai hostile intent, tindakan alternatif yang dapat dilakukan oleh pesawat militer RI adalah:

(30)

b. Melakukan pembayangan apabila pesawat udara asing tersebut penerbangannya menyimpang dari jalur yang sudah ditetapkan dan atau selama diatas wilayah yurisdiksi RI penerbangannya mencurigakan. Shadowing tersebut hanya dapat dilakukan sampai batas ZEE RI.

c. Melakukan penghalauan.

Penghalauan ini dilakukan terhadap pesawat udara sipil/militer yang memasuki wilayah udara RI tanpa ijin, dan atau penerbangnnya telah mengganggu keselamatan obyek-obyek vital RI yang berada dibawahnya; d. Pemaksaan mendarat.

Terhadap pesawat udara sipil/militer asing yang memasuki wialyah udara nasional RI tanpa izin, namun masih dalam kategori hostile intent, dalam pengertian pesawat udara asing tesebut tidak mengganggu obyek-obyek vital RI, maka pesawat udara tersebut dapat dipaksa untuk mendarat. Kemudian dilakukan investigasi, dilanjutkan penyelidikan untuk proses hukum selanjutnya.

(31)

berada dibawah yurisdiksi RI. Tindakan semacam itu tentunya dilakukan oleh bukan pesawat udara sipil biasa. Sesuai dengan hak untuk mempertahakan diri (the right of self-deference), pihak asing itu (baik oleh pesawat udara militer

maupun kapal perang asing), dapat dilakukan perlawanan dan penghancuran. Hot pursuit merupakan suatu modus dalam penegakkan hukum. Istilah ini

didapati dalam UNCLOS III Article 111. Modus ini mulanya dalam rangka penegakan hukum di wilayah laut terhadap kapal perang asing. Namun demikian dalam upaya pertahanan wilayah udara maka hot pursuit dapat dilakukan oleh pesawat-pesawat udara militer. Menurut UNCLOS III Article 111, yang dapat melakukan hot pursuit adalah; kapal perang dan atau pesawat udara militer, atau kapal dan pesawat udara yang secara jelas oleh pemerintah dimana kapal/ pesawat itu terdaftar diberi tanda-tanda khusus sebagai kapal/pesawat udara dalam Dinas Pemerintah (Government Services) yang memiliki wewenang untuk melakukan hot pursuit.

Pesawat Udara Negara (state aircraft) RI selaku alat pertahanan dan keamanan negara (hankam) dapat melakukan hot pursuit untuk penegakan kedaulatan negara, baik di wilayah udara maupun di wilayah perairan. Tindakan hot pursuit untuk penegakan kedaulatan negara, baik di wilayah udara mupun di wilayah perairan.

(32)

hingga ke laut bebas (hight sea). Hot pursuit harus diberhentikan segera apabila kapal laut asing yang dikejar itu telah memasuki wilayah teritorial negaranya sendiri, atau telah memasuki laut teritorial negara ketiga.

Kiranya tindakan pengejaran (hot pursuit) oleh pesawat militer RI terhadap pesawat udara asing yang melakukan pelanggaran terhadap perundang-undangan dan kedaulatan RI dapat dilakukan mencapai batas-batas wilayah udara sebagaimanan batas-batas yang diperkenankan terhadap kapal laut asing.

Sebagai perwujudan penegakan kedaulatan di udara, maka setiap oknum yang melakuan pelanggaran atau tidak kejahatan di wilayah yuridiksi suatu negera, diberikan sanksi sesuai dengan perundangan yang berlaku di negara dimana pelanggaran itu dilakukan. Bagi negara RI prosedur pemberian sanksi, jika menyangkut perbuatan pidana akan diproses sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu UU No. 8 tahun 1981 dengan sanksi pidana atau denda tertentu. Sedangkan jika menyangkut persoalan perdata akan diselesaikan dengan Hukum Acara Perdata, dengan pembebanan ganti rugi (Liability) sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia.

(33)

bersifat terbatas. Selain itu, terdapat pula pelarangan lain, yaitu perekaman dari udara menggunakan pesawat udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara.

Dalam rangka menyelenggarakan kedaulatan negara atas wilayah udara nasional, pemerintah mempunyai wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, serta keselamatan penerbangan. Sesuai dengan Pasal 66 ayat 1 PP No.3 Tahun 2001, disebutkan bahwa untuk menjamin keselamatan operasi penerbangan, ditetapkan Kawasan Udara Terlarang (Prohibited Area), Kawasan Udara Terbatas (Restricted Area) dan Kawasan Udara Berbahaya (Danger Area). Kawasan Udara Terlarang adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, di mana pesawat udara dilarang terbang melalui ruang udara tersebut karena pertimbangan pertahanan dan keamanan negara, serta keselamatan penerbangan. Kawasan Udara Terbatas adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, karena pertimbangan pertahanan dan keamanan atau keselamatan penerbangan atau kepentingan umum, berlaku pembatasan penerbangan bagi pesawat udara yang melalui ruang udara tersebut. Sedangkan Kawasan Udara Berbahaya adalah ruang udara tertentu di atas daratan dan/atau perairan, yang sewaktu-waktu terjadi aktivitas yang membahayakan penerbangan pesawat udara.

(34)

kawasan udara terlarang sebagaimanan dimaksud di atas, dilakukan oleh Tentara Nasional Indonesia. Berdasarkan Aeronautical Information Publication (AIP) Indonesia, ditetapkan bahwa area yang menjadi area udara terlarang hanya WRP 23 Balikpapan Flare.

Namun demikian, pada kenyataannya ruang udara nasional diatur oleh aturan-aturan internasional yang tidak sesuai dengan kehendak kita sebagai negara kepulauan (Archipelagic State). Konvensi PBB tentang Hukum Laut Tahun 1982 pada Pasal 53 mengatur bahwa negara kepulauan seperti Indonesia dapat menentukan alur laut dan rute penerbangan di atasnya. Semua kapal dan pesawat udara menikmati hak lintas alur laut kepulauan dalam alur laut dan rute penerbangan. Dari ketentuan konvensi tersebut terlihat bahwa ruang udara nasional dipecah-pecah dalam Alur Laut Kepulauan Indonesia (ALKI) I, ALKI II dan ALKI III dan tanggung jawab dibagi-bagi, sehingga ruang udara yang dipecah-pecah tidak dapat dikendalikan. Sementara itu, negara maju seperti Amerika Serikat pada kenyataannya belum meratifikasi Konvensi Hukum Laut Tahun 1982 (UNCLOS 1982), padahal negara lain sudah banyak yang meretifikasi, sehingga bila Amerika Serikat melintas perairan dan wilayah udara nasional Indonesia masih berpedoman kepada aturan-aturan yang lama, seperti

Traditional Route for Navigation57. Hal ini sering membuat terjadinya benturan

dimana berdasarkan aturan lama tersebut pesawat-pesawat Amerika Serikat melintas di atas rute tradisional yang mereka anggap sah dengan alasan bahwa Amerika Serikat belum meretifikasi UNCLOS 1982. Oleh karena itu, untuk

57

(35)

kepentingan pertahanan dan keamanan, diperlukan peningkatan status beberapa area udara dari Restricted Area menjadi Prohibited Area, sebagai contoh WRR 1 Madiun dan WRR 11 Malang seharusnya ditingkatkan menjadi Prohibited Area.

Keterlibatan TNI AU dalam Penegakan Kedaulatan dan Hukum di Ruang Udara Nasional Indonesia. Sesuai dengan Pasal 10 UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI, Angkatan Udara bertugas antara lain ; melaksanakan tugas TNI matra udara di bidang pertahanan; menegakan hukum dan menjaga keamanan di wilayah udara Yuridiksi Nasional sesuai dengan ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi; melaksanakan tugas TNI dalam pembangunan dan pengembangan kekuatan matra udara, dan melaksanakan pemberdayaan wilayah pertahanan udara.

(36)

Hakekat Operasi Pertahanan Udara adalah merupakan kegiatan sebagai upaya mempertahankan kedaulatan wilayah nasional terhadap setiap ancaman yang menggunakan media udara. Kegiatan tersebut pada dasarnya dilakukan secara terpadu yang melibatkan unsur-unsur TNI maupun Sipil yang mempunyai kemampuan Hanud. Karena itu, wujud ancaman udara yang dapat muncul setiap saat mengharuskan Kohanudnas melaksanakan Operasi Pertahanan Udara secara terus menerus agar setiap ancaman yang menggunakan media udara dapat diteksi dan diantisipasi sedini mungkin. Adapun kegiatan Operasi Hanud dilaksanakan pada masa damai dan perang, di mana ancaman udara yang dihadapi akan berpengaruh terhadap penggunaan kekuatan dan pelaksanaan Kodal.

E. Penegakan Hukum atas Wilayah Udara dalam Perspektif Hukum

Internasional

Menurut hukum internasional, suatu negara dapat melakukan tindakan hukum dengan alasan “the Right of Self-Defence”, apabila:

1. Teritorialnya, kapal atau pesawat udara berkebangsaan dari negaranya berada dalam ancaman atau diserang:

2. Tindakan terpaksa diambil karena situasi diambil karena situasi sedemikian rupa sehingga tidak ada tindakan alternatif.

3. Tindakan yang diambil tidaklah berlebihan (disproporsional) dibanding dengan ancaman/bahaya yang dihadapi.

Disamping itu ada beberapa justifikasi yang lain, meskipun justifikasi berikut ini kurang kuat, yaitu:

(37)

2. Tindakan balasan disebabkan karena kondisi yang tidak memuaskan atas negara lain yang telah melakukan pelanggaran terhadap kewajiban-kewajiban internasional;

3. Intersepsi atau pengalihan arah terhadap pesawat udara yang leintas di wilayah ADIZ disebabkan pesawat tersebut tidak menunjukkan indentitasnya;

4. Pengejaran (hot pursuit) terhadap pesawat udara yang melarikan diri dari wilayah yurisdiksinya;

5. Tindakan yang dipandang perlu untuk mencegah pembajakan

6. Diwilayah internasional yang secara temporer sedang ditetapkan sebagai zona militer, misalnya sedang untuk latihan perang atau uji coba senjata.

F. Akibat Hukum Pelanggaran Wilayah Udara dengan Masuknya Pesawat

Asing dalam Perspektif Hukum Internasional

Sesuai dengan hak untuk mempertahakan diri (the right of self-deference), pihak asing itu (baik oleh pesawat udara militer maupun kapal perang asing), dapat dilakukan perlawanan dan penghancuran.58

Hot pursuit merupakan suatu modus dalam penegakkan hukum. Istilah ini didapati dalam UNCLOS III Article 111. Modus ini mulanya dalam rangka penegakan hukum di wilayah laut terhadap kapal perang asing. Namun demikian dalam upaya pertahanan wilayah udara maka hot pursuit dapat dilakukan oleh pesawat-pesawat udara militer. Menurut UNCLOS III Article 111, yang dapat melakukan hot pursuit adalah; kapal perang dan atau pesawat udara militer, atau

58

(38)

kapal dan pesawat udara yang secara jelas oleh pemerintah dimana kapal/ pesawat itu terdaftar diberi tanda-tanda khusus sebagai kapal/pesawat udara dalam Dinas Pemerintah (Government Services) yang memiliki wewenang untuk melakukan hot pursuit.

Pesawat Udara Negara (state aircraft) RI selaku alat pertahanan dan keamanan negara (hankam) dapat melakukan hot pursuit untuk penegakan kedaulatan negara, baik di wilayah udara maupun di wilayah perairan. Tindakan hot pursuit untuk penegakan kedaulatan negara, baik di wilayah udara mupun di wilayah perairan.

Tindakan hot pursuit pesawat udara asing telah melakukan pelanggaran terhadap perundang-undangan dan hak-hak negara RI, termasuk hak-hak negara RI, termasuk hak-hak di wilayah yurisdiksi yaitu di zona-zona laut dan udara. Hot pursuit itu, sesuai dengan hukum internasional dapat dilakukan dari laut teritorial hingga ke laut bebas (hight sea). Hot pursuit harus diberhentikan segera apabila kapal laut asing yang dikejar itu telah memasuki wilayah teritorial negaranya sendiri, atau telah memasuki laut teritorial negara ketiga.

Kiranya tindakan pengejaran (hot pursuit) oleh pesawat militer RI terhadap pesawat udara asing yang melakukan pelanggaran terhadap perundang-undangan dan kedaulatan RI dapat dilakukan mencapai batas-batas wilayah udara sebagaimanan batas-batas yang diperkenankan terhadap kapal laut asing.

(39)

negera, diberikan sanksi sesuai dengan perundangan yang berlaku di negara dimana pelanggaran itu dilakukan.

Bagi negara RI prosedur pemberian sanksi, jika menyangkut perbuatan pidana akan diproses sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yaitu UU No. 8 tahun 1981 dengan sanksi pidana atau denda tertentu. Sedangkan jika menyangkut persoalan perdata akan diselesaikan dengan Hukum Acara Perdata, dengan pembebanan ganti rugi (Liability) sesuai dengan peraturan hukum yang berlaku di Indonesia.

(40)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dilakukan, maka penulis mengambil kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengaturan hukum wilayah udara negara Indonesia, bahwa Indonesia mempunyai wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 4 dan Pasal 5 UU No. 15 Tahun 1992 yang telah diubah menjadi Undang-Undang No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan. Kegiatan penerbangan merupakan salah satu wujud kegiatan dan atau usaha terhadap wilayah kedaulatan atas wilayah udara yang diberi wewenang dan tanggung jawab kepada Pemerintah sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 5 UU No. 1 Tahun 2009, bahwa dalam rangka penyelenggaraan kedaulatan negara atas wilayah udara Republik Indonesia Pemerintah melaksanakan wewenang dan tanggung jawab pengaturan ruang udara untuk kepentingan pertahanan dan keamanan negara, penerbangan dan ekonomi nasional.

(41)

tanggal 13 oktober 1919 oleh 27 negara. Perjanjian Paris ini merupakan cikal bakal dari lahirnya konvensi Chicago. Konvensi Chicago Menjelang berakhirnya perang dunia II, pemerintah Amerika Serikat yang pada waktu itu dijabat oleh Presiden Roosevelt telah mengambil inisiatif untuk mengundang berbagai Negara, baik Negara-negara sekutunya maupun Negara-negara netral di Eropa dan Asia, kecuali Negara-negara Amerika Latin untuk menghadiri suatu konferensi di Chicago, yang bertujuan menyusun ketentuan-ketentuan bersama yang baru megenai lalu lintas udara sipil internasional dan mengganti perjanjian yang telah ada sebelumnya yakni Perjanjian Paris

3. Pelanggaran hukum atas wilayah udara dengan masuknya pesawat asing dalam perspektif hukum internasional, suatu negara dapat melakukan tindakan hukum dengan alasan “the Right of Self-Defence”, apabila: Teritorialnya,

kapal atau pesawat udara berkebangsaan dari negaranya berada dalam ancaman atau diserang. Tindakan terpaksa diambil karena situasi diambil karena situasi sedemikian rupa sehingga tidak ada tindakan alternatif. Tindakan yang diambil tidaklah berlebihan (disproporsional) dibanding dengan ancaman/bahaya yang dihadapi.

B. Saran

Adapun saran-saran adalah sebagai berikut:

(42)

tertuang dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan Negara Republik Indonesia sebaiknya segera didepositkan. Adapun untuk kekurangannya, yaitu seperti permasalahan pelanggaran wilayah udara yang dilakukan oleh pesawat asing.

2. Untuk mendukung penegakan Hukum Udara, hendaknya Pemerintah Republik Indonesia dapat mendukung kebutuhan Alutsista dengan mempercepat program Minimum Essential Force, sehingga upaya mewujudkan ADIZ Indonesia yang ideal dapat diterapkan secara efektif.

(43)

A. Sejarah Hukum Udara di Indonesia

Negara Kesatuan Republik Indonesia (selanjutnya disebut NKRI) merupakan wilayah kepulauan dengan perbandingan 2: 3 antara daratan dan perairan dimana kapal dan pesawat udara asing mempunyai hak lintas untuk melintasi alur alut yang telah ditetapkan. Hal ini sangat berpotensi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh pesawat udara asing karena terbukanya ruang udara diatas Alur Laut Kepulauan Indonesia (selanjutnya disebut ALKI). Untuk itu diperlukan adanya undang-undang negara untuk mengantisipasinya baik ruang udara di wilayah ruang udara Indonesia secara keseluruhan maupun ruang udara diatas ALKI, Kedaulatan negara di ruang udara, wilayah kedaulatan, zona tambahan, ZEE dan landas kontinen. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 1992 tentang Penerbangan, pada Bab III Kedaulatan Atas Wilayah Udara pada: Pasal 4 menyatakan bahwa NKRI berdaulat penuh dan utuh atas wilayah udara NKRI. Sebagai negara berdaulat, NKRI memiliki kedaulatan penuh dan utuh di wilayah udara NKRI, sesuai dengan ketentuan Konvensi Chicago 1944 tentang Penerbangan Sipil Internasional.19Ketentuan dalam Pasal ini hanya menegaskan mengenai kewenangan dan tanggung jawab NKRI untuk mengatur penggunaan wilayah udara yang merupakan bagian dari wilayah dirgantara Indonesia sedangkan mengenai kedaulatan atas wilayah NKRI secara menyeluruh

19

(44)

tetap berlaku ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Ketentuan Pokok Pertahanan Keamanan NKRI.

Indonesia yang telah menjadi anggota Organisasi Penerbangan Sipil Internasional sejak 27 April 1950 telah menyempurnakan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 disusun dengan mengacu pada Konvensi Chicago 1944 dan memerhatikan kebutuhan pertumbuhan transportasi udara di Indonesia, karena itu Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009 mengatur kedaulatan atas wilayah udara Indonesia, pelanggaran wilayah kedaulatan, produksi pesawat udara, pendaftaran, dan kebangsaan pesawat udara, kelaikudaraan dan pengoperasian pesawat udara, keselamatan dan keamanan wilayah udara, indepedensi investigasi kecelakaan pesawat udara, pembentukan majelis profesi penerbangan, lembaga penyelenggara pelayanan umum, berbagai jenis angkutan udara baik niaga berjadwal, tidak berjadwal maupun niaga dalam negeri maupun luar negeri, modal harus single majority shares tetap berada pada warga negara Indonesia, persyaratan minimum

(45)

Dalam Pasal 1 Konvensi Paris 1919 secara tegas menyatakan: negara-negara pihak mengakui bahwa tiap-tiapa negara-negara mempunyai kedaulatan penuh dan eksklusif ats ruang udara yang terdapat di atas wilayahnya.20 Konvensi Chicago 1944 mengambil secara integral prinsip yang terdapat dalam Konvensi Paris 1919. Kedua Konvensi ini dengan sengaja menjelaskan bahwa wilayah negar juga terdiri dari laut wilayahnya yang berdekatan. Hal ini juga dinyatakan oleh Pasal 2 Konvensi Jenewa mengenai Laut wilayah dan oleh Pasal 2 ayat (2) konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982. Ketentuan-ketentuan yang berlaku terhadap navigasi udara, termasuk udara di atas laut wilayah, sama sekali berbeda dengan ketentuan-ketentuan yang mengatur pelayaran maritim. Terutama tidak ada norma-norma hukum kebiasaan yang memperbolehkan secara bebas lintas terbang diatas wilayah negara, yang dapat disamakan dengan prinsip hak lintas damai di perairan nasional suatu negara. Satu-satunya pengecualian adalah mengenai lintas udara di selat-selat internasional tertentu dan alur laut kepulauan. Sebagai akibetnya, kecuali kalau ada kesepakatan konvensional lain, suatu negara bebas untuk mengatur dan bahkan melarang pesawat asing terbang di atas wilayahnya dan tiap-tiap penerbangan yang tidak diizinkan merupakan pelanggaran terhadap kedaulatan teritorial negara di bawahnya.21 Hal ini sering terjadi di atas wilayah udara Indonesia bagian barat 2014 Pelanggaran oleh Heinz Peier Lanud Soewondo Medan yang memasuki Wilayah Udara Indonesia.22 Indonesia bagian timur oleh pesawat udara pelanggaran oleh pesawat Beechraft, yaitu Tan Chin Kia

20

Boer Mauna., Hukum Internasional, Pengertian Peranan Dan Fungsi Dalam Era

Dinamika Global, Bandung: Alumni, 2000. hal 431 21

I. C. J. Arret du, 27 Juni 1986, Activeties militaires au Nicaragua, rec. P. 128

22

(46)

(Kapten Pilot), Mr Z Heng Chia (siswa), Xiang Bo Hong (siswa) oleh Lanud Supadio Pontianak.23 Pesawat berjenis „beechcraft‟ buatan tahun 95 ini tengah menuju utara setelah lepas landas dari Darwin. Pesawat Australia ini lantas dipaksa turun di Manado, Sulawesi Utara, setelah dua pesawat Sukhoi Indonesia, yang diterbangkan dari pangkalan udara Makasar tahun 2014.24

. Masalah pengawasan dan keamanan lalu lintas udara dan pengamanan atas pesawat-pesawat udara merupakan apek penting dalam pengaturan-pengaturan hukum yang di buat oleh negara-negara. Salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan ruang udara beserta sumber daya didalamnya adalah masalah yurisdiksi. Prinsip-prinsip dalam yurisdiksi adalah prinsip teritorial, nasional, personalitas pasif, perlindungan atau keamanan, universalitas, dan kejahatan menurut kriteria hukum yang berlaku. Dalam hubungan dengan yurisdiksi negara di ruang udara, sangat erat hubungannya dengan penegakkan hukum di ruang udara tersebut. Dengan adanya yurisdiksi, negara yang tersangkutan mempunyai wewenang dan tanggung jawab di udara untuk melaksanakan penegakkan hukum di ruang udara. Berkenaan dengan wewenang dan tanggung jawab negara melaksanakan penegakkan hukum di ruang udara tidak terlepas dari muatan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) ayat (3) yang

menyatakan, bahwa “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya

dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran

rakyat”. Atas dasar ketentuan tersebut, maka lahir “hak menguasai oleh negara”

23

http://m.jurnas.com/news/154105/Langgar Wilayah Udara RI Pesawat Sipil Singapura-Denda-Rp60-Juta--2014/1/Nasional/Politik-Keamanan/diakses tanggal 1 November 2014

24

(47)

atas sumber daya alam yang ada di bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (termasuk udara) dan penguasaan tersebut memberikan kewajiban kepada negara untuk digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Makna dari Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut bahwa ruang udara sebagaimana penjelasan sebelumnya merupakan sumber daya alam yang dikuasai

negara. Istilah “dikuasai” dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 bukan berarti

“dimiliki” oleh negara, melainkan memberikan arti kewenangan sebagai

organisasi atau lembaga negara untuk mengatur dan mengawasi penggunannya untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sesuai Konvensi Chicago Tahun 1944, dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa setiap negara mempunyai kedaulatan yang utuh dan penuh (complete and exclusive souvereignity) atas ruang udara atas wilayah kedaulatannya. Dari Pasal tersebut memberikan pandangan bahwa perwujudan dari kedaulatan yang penuh dan utuh atas ruang udara di atas wilayah teritorial, adalah : (1) setiap negara berhak mengelola dan mengendalikan secara penuh dan utuh atas ruang udara nasionalnya; (2) tidak satupun kegiatan atau usaha di ruang udara nasional tanpa mendapatkan izin terlebih dahulu atau sebagaimana telah diatur dalam suatu perjanjian udara antara negara dengan negara lain baik secara bilateral maupun multilateral.

Secara yuridis formal wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur secara holistik, sampai dikeluarkannya perjanjian atau konvensi Hukum Laut PBB Tahun 1982.25 Sejak ditetapkannya konvensi tersebut sebagai hukum internasional dan telah diratifikasi

25

Mochtar Kusumaatmadja dan Etty R. Agoes, Pengantar Hukum Internasional,

(48)

oleh Pemerintah dengan Undang-undang No. 17 Tahun 1985, menyebabkan negara Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki kewajiban menyediakan ALKI (archipelagic sea lane passages) yang merupakan jalur lintas damai bagai kapal-kapal asing. Hal tersebut juga berlaku pada wilayah udara di atas alur laut tersebut. Meskipun demikian, pemberlakuan ketentuan tersebut belum ada kesepakatan antara International Maritime Organization (IMO) dan International Civil Aviation Organization (ICAO), akibatnya belum ada ketentuan adanya

pesawat udara yang mengikuti alur laut tersebut. Berdasarkan UU No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan merupakan salah satu hukum nasional sebagai salah satu bentuk implementasi dari Konvensi PBB tentang Hukum Laut tahun 1982, secara horizontal wilayah kedaulatan Indonesia adalah wilayah daratan yang berada di gugusan kepulauan Indonesia. Sedangkan wilayah perairan, mencakup: (1) laut teritorial, yaitu jalur laut selebar 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal kepulauan Indonesia; (2) perairan kepulauan, yaitu semua perairan yang terletak pada sisi dan garis pangkal lurus kepulauan tanpa memperhatikan kedalaman dan jarak dari pantai; (3) perairan pedalaman, yaitu perairan yang terletak di mulut sungai, teluk yang lebarnya tidak lebih dari 24 mil dan di pelabuhan.

(49)

terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal. Dari uraian di atas, bahwa batas wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional belum di atur dalam peraturan perundang-undangan yang ada, hanya menetapkan bahwa Indonesia mempunyai wilayah kedaulatan atas ruang udara nasional sebagaimana ditetapk

Referensi

Dokumen terkait

Inung Nursani Ketua PKL Alkid Kraton di Posko KIPER (Komite Independen Pengawal referendum) sebagai pengurus Gerakan PKL Alun Alun Kraton, para pemuda pun secara

Pada mikrokontroler dihubungkan dengan Ethernet shield yang tersambung pada modem ADSL yang mendukung mikrokontroler dapat berfungsi sebagai jembatan ( bridge )

Pada penelitian ini akan dirancang sebuah simulasi sistem transmisi menggunakan kanal Flat Fading dengan modulasi Phase Shift Keying M-array (M-PSK), dimana di penerima

Universitas Muhammadiyah Malang 14.30-15.30 Kebijakan Akreditasi Jurnal

Inference engine adalah bagian dari sistem pakar yang melakukan penalaran terhadap isi database pengetahuan (knowledge base) berdasarkan urutan tertentu. Penalaran maju disebut

peserta (a) mengisi identitas diri; (b) mengunggah naskah artikel ilmiah hasil penelitian yang sudah disesuaikan dengan ketentuan penulisan artikel ilmiah

Beberapa aplikasi otomatisasi kantor adalah: Pengolah kata Surat elektronik Surat suara Kelender elektronik Konferensi audio Konferensi video Konferensi komputer Facsimile Teks

Berdasarkan hasil laporan kemajuan calon peserta Kontes Robot Indonesia (KRI) tahun 2016, diberitahukan dengan hormat bahwa tim yang dinyatakan lolos seleksi