AKSELERASI PEMUNCULAN DAN PENYERENTAKAN ESTRUS
SERTA KEBERIIASlLAN KONSEPSI POST-PARTUM MELALUI
INDUKSI HORMON PROGESTERON, PMSG DAN
KOMBINASINYA PADA SAP1 BALI
OLEH
:RIKA HARYANI
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
RIKA HARYANI, Akselerasi Pemunculan dan Penyerentakan Estrus serta Peningkatan Angka Konsepsi Post-partum melalui Induksi Hormon Progesteron,
PMSG dan Kombinasinya pada Sapi Bali. Dibimbing oleh MOZES R.
TOELIHERE dan TUTY L. YUSUF
Sapi Bali di Sulawesi Selatan cenderung mengalami anestrus post-partum yang panjang (empat sampai enam bulan, bahkan lebih). Hal ini pada umurnnya disebabkan oleh kondisi pakan yang kurang mendukung, yang dapat menyebabkan ketidak seimbangan hormonal dalam tubuh. Untuk itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi dengan mempercepat sekaligus menyerentakkan estrus post-partum serta meningkatkan angka kebuntingan post- partum pada peternakan rakyat di Sulawesi Selatan.
Penelitian ini terdiri atas dua tahap. Tahap I merupakan penelitian pendahuluan untuk menentukan waktu pemberian PMSG, dimana ternak percobaan diberi PMSG dengan dosis 300 IU satu ekor dan dosis 500 IU dua ekor masing- masing pada saat pencabutan implan progesteron intravaginal demikian pula dengan pemberian PMSG dua hari sebelum pencabutan implan progesteron satu ekor dengan dosis 300 IU dan dua ekor dengan dosis 500 IU. Tahap I1 merupakan penelitian utarna menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan (waktu pemberian PMSG berdasarkan hasil penelitian pendahuluan) dan masing-masing terdiri atas enam ulangan yaitu (1) implan intravaginal progesteron (CIDR-B) selsuna sembilan hari, (2) pemberian PMSG 500 IU secara intra muskuler (im), (3) dan (4) kombinasi implan progesteron (CIDR-B) selama sembilan hari dengan PMSG (im) dua hari sebelum pencabutan implan dengan dosis PMSG masing-masing 300 IU dan 500 IU dengan pemberian pakan yang cukup dan tersedia di lokasi penelitian. Untuk mengetahui efektifitas penggunaan hormon-hormon tersebut dan kondisi fisiologis reproduksi pada masing-masing ternak, dilakukan pengambilan sampel darah pada setiap perlakuan dan analisis hormon progesteron.
PMSG, progesteron dan kombinasinya memberikan pengaruh yang sama (P>0,05) terhadap persentase estrus
dan
angka konsepsi, tetapi kecepatan timbulnya estrus berbeda (P<0,0 1) antara PMSG tunggal dengan perlakuan lainnya.Secara umum dapat disimpulkan bahwa kombinasi pemberian progesteron dengan PMSG menghasilkan respons penampilan reproduksi (estrus dan CR) yang lebih baik daripada mising-masing hormon secara tersendiri (tunggal). Peningkatan konsentrasi progesteron dalam darah te rjadi pada ternak yang bunting setelah hari ke-10 pasca Inseminasi Buatan (IB).
SURAT
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yafig berjudul :
AKSELERASI PEMUNCULAN DAN PENYERENTAKAN ESTRUS SERTA KEBERHASILAN KONSEPSI POST-PARTUM MELALUI INDUKSI HORMON PROGESTERON, PMSG DAN KOMBINASINYA PADA SAP1 BALI
adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.
Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan
dapat diperiksa kebenarannya.
Bog r Juni 2002
%
kAKSELERASI PEMUNCULAN DAN PENYERENTAKAN ESTRUS
SERTA KEBERHASILAN KONSEPSI POST-PARTUM MELALUI
INDUKSI HORMON PROGESTERON, PMSG DAN
KOMBINASINYA PADA SAP1 BALI
RIKA
HARYANI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Magister Sains pada
Program Studi Biologi Reproduksi
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Akselerasi Pemunculan dan Penyerentakan Estrus serta Keberhasilan Konsepsi Post-partum melalui Induksi Hormon Progesteron, PMSG dan Kombinasinya pada Sapi Bali
Nama : Rika Haryani
N R P : 99293
Program Studi : Biologi Reproduksi
Menyetujui :
1. Komisi Pembimbing
Prof Dr.drh. Mozes R. Toelihere, MSc. K e t u a
V
Dr.drh. Tuty L. Yusuf. MS Anggota
Mengetahui,
2. Ketua program Studi Biologi Rep ogram Pascasarjana
V
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 1 Oktober 1969
sebagai anak keempat dari lima bersaudara, anak dari pasangan H. Harun Iskandar dan
Hj. Hafsah M.
Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar Negeri Perak Barat I Surabaya
tahun 1982, Sekolah Menengah Pertama Negeri VII Surabaya tahun 1985 d m Sekolah
Menengah Atas Negeri VIII Surabaya pada tahun 1988.
Pada tahun 1993 penulis menamatkan pendidikan di Fakultas Peternakan
Universitas Hasanuddin Makassar. Dan tahun 1999 terdaftar sebagai mahasiswa
program magister pada Program Studi Biologi Reproduksi Program Pascasarjana,
Institut Pertanian Bogor, dengan beasiswa dari Departemen Pertanian, Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian, melalui Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian (ARMP II).
Sejak tahun 1993 hingga sekarang penulis bekerja sebagai staf peneliti Badan
Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan saat ini bertugas di Instalasi Penelitian dan
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Ilahi Rabbi atas segala nikmat dan karunia-Nya yang telah
dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan
tesis ini.
Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada bapak Prof.
Dr. drh. Mozes R. Toelihere, MSc dan ibu Dr. drh. Tuty L. Yusuf, MS yang telah
banyak memberikan arahan, bimbingan, curahan pikiran, petunjuk dan dukungan yang
sangat berharga kepada penulis sejak penyusunan proposal hingga selesainya penulisan
tesis ini.
Kepada bapak Dr. Ir. Abdul Latief Tolleng, MSc dan Ir. Muhammad Yusuf di
Laboratorium Fisiologi dan Reproduksi Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin
Makassar, penulis tak lupa pula mengucapkan terima kasih atas segala bantuan dan
fasilitasnya. Kepada Kepala Dinas Peternakan Tingkat I1 Kabupaten Takalar beserta
stafnya khususnya bapak Muhidin, serta saudara Jaharuddin penulis ucapkan terima
kasih atas segala bantuannya.
Pada kesempatan ini penulis ingin pula menyampaikan terima kasih yang tak
terhingga kepada Ketua Bagian Reproduksi dan Kebidanan Fakultas Kedokteran Hewan
Institut Pertanian Bogor beserta staf dosen dan karyawan atas segala bantuan fasilitas
dan bimbingan selama penulis mengikuti pendidikan di Program Studi Biologi
Reproduksi Program Pascasarjana.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, Kepala Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Kepala
Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan serta Pemimpin Proyek
Departemen Pertanian, atas izin, kesempatan dan dukungan dana yang diberikan kepada
penulis untuk mengikuti pendidikan program pascasarjana (S2) di IPB, sehingga proses
penyelesaian studi penulis dapat berjalan baik.
Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis persembahkan tesis ini kepada
suami tercinta Ir. Muhammad Arfandy Idris dan kedua ananda tercinta Muhammad
Ekafarik dan Muhammad Farhan. Penulis mengucapkan terima kasih yang talc
terhingga atas perhatian, dorongan dan pengertiannya selama penulis menempuh
pendidikan.
Penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada orang tua,dan saudara-
saudara, serta rekan-rekan seperjuangan yang begitu banyak memberikan dorongan
moril sehingga penulis dapat melalui pendidikan ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa penulis belum dapat memberikan apa-apa kepada semua
pihak yang telah membantu, kecuali ucapan terima kasih yang tulus mudah-mudahan
bantuan yang diberikan mendapat pahala dan berkah dari Allah Subhanahu Wataala.
Amin.
Bogor, Juni 2002
DAFTAR IS1
Halaman
DAFTAR TABEL ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xii
...
DAFTAR LAMPIRAN ...
.
.
... xttl PEND AHULU AN ... 1Latar Belakang ...
.
.
.
... 1 Tujuan Penelitian ... 4 Manfaat Penelitian ....
.
... 4 Kerangka Pemikiran ... 4 Hipotesis ... 6TINJAUAN PUSTAKA ... Fisiologi Reproduksi Sapi Bali ...
.
.
.......
Estrus Pertama Pasca Melahirkan
... PMSG
Peranan Hormon Progesteron dan Penggunaannya ... Kombinasi Progesteron dan PMSG dalam Akselerasi
Estrus Post-partum ... Manaj emen Reproduksi ...
...
MATERI DAN METODE
... Tempat dan Waktu Peneiitian
Materi Penelitian ...
.
.
...Metode Penelitian ...
.
.
... ...Parameter yang Diamati
...
Rancangan Percobaan clan Analisis Statistik
... HASIL DAN PEMBAHASAN
... ...
Penentuan Waktu Pemberian PMSG
.
.
Pengaruh Pemberian Implan Progesteron dan PMSG serta
... ...
Kombinasinya
.
.
.
.
... Respons Timbulnya Estrus
Intensitas Estrus ...
.
.
.
.
...
...
Keberhasilan Kebuntingan
KESIMPULAN DAN SARAN ...
...
Kesimpulan
... ...
Saran
.
.
DAFTAR TABEL
Halaman
1. Perlakuan pada percobaan tahap I ... 24
2. Perlakuan pada percobaan tahap I1 ... 25
3. Pengaruh waktu p e r n b e r i a n ~ ~ ~ ~ pada perlakuan terhadap kecepatan
timbulnya (0nset)estrus dan intensitas estrus ... 29
4. Pengaruh progesteron, PMSG dan kombinasinya terhadap kecepatan
timbulnya (onset) estrus dan persentase estrus ... 3 1
5. Pengaruh progesteron, PMSG dan kombinasinya terhadap intensitas ...
estrus ...
.
.
.
.
3 66. Pengaruh progesteron, PMSG dan kombinasinya terhadap
keberhasilan kebuntingan ...
.
.
...DAFTAR GAMBAR
Halaman
1. Rataan kecepatan timbulnya estrus akibat perlakuan. I. Progesteron,
II. PMSG, 111. P4+PMSG 3200IU, IV. P4+PMSG 500 IU ... 33
2. Angka kebuntingan (CR) akibat perlakuan. I. Progesteron,
...
II. PMSG, III. P4+PMSG 300 IU, IV. P4+PMSG 500 IU 3 8
3. Profil hormon progesteron induk sapi Bali pa& keempat
DAFTAR LAMPIRAN
1 . Tabel pengaruh perlakuan terhadap kecepatan estrus tahap I ...
2 . Tabel pengaruh perlakuan terhadap intensitas estrus tahap I ... 3 . Uji Khi-kuadrat
(x2)
terhadap persentase estrus setelah perlakuanprogesteron. PMSG dan kombinasinya ...
4 . Uji Khi-kuadrat
(x2)
terhadap angka kebuntingan (CR) setelahperlakuan progesteron, PMSG dan kombinasinya ...
..
5 . Tabel hasil analisis Ria ...
Halaman
55
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Daerah Sulawesi Selatan dikenal sebagai pemasok utama ternak potong
khususnya sapi dan kerbau dalam pengadaan ternak nasional. Sejak tahun 1976
Sulawesi Selatan sudah termasuk propinsi yang memiliki populasi sapi Bali
terbanyak di Indonesia, mencapai 420.000 ekor, menyusul propinsi Nusa
Tenggara Timur 401.000 ekor, dan pulau Bali sebanyak 363.000 ekor
(DITJENNAK, 1976). Lebih dari 20 tahun kemudian dilaporkan populasi sapi
potong di propinsi-propinsi berikut : Bali 53 5.100 ekor; Nusa Tenggara Barat
440.600 ekor; Nusa Tenggara Timur 8 13.200 ekor; dan Sulawesi Selatan dengan
populasi sapi sebagian besar terdiri atas sapi Bali, mencapai 864.900 ekor
(DITJENNAK, 1999). Sapi Bali memberikan kontribusi yang besar dalam upaya
meningkatkan pendapatan petani di Sulawesi Selatan. Peluang pasar sapi potong
di daerah ini sangat cerah sehingga komoditi tersebut cukup strategis dijadikan
usaha yang dapat meningkatkan pendapatan petani rnaupun kalangan pengusaha
peternakan.
Permasalahan yang ditemukan pada peternakan sapi rakyat di Sulawesi Selatan adalah kecenderungan sapi Bali mengalami masa anestrus post-partum
yang panjang, berkisar antara empat sampai enarn bulan, bahkan lebih. Dengan
kata lain timbulnya estrus post-partum yang lambat menyebabkan interval antar
kelahiran yang panjang. Timbulnya estrus post-partum yang lambat ini pada
umumnya disebabkan oleh kondisi pakan yang kurang mendukung, seperti yang
dinyatakan oleh Pane (1991) bahwa kekurangan pakan pada ternak setelah
sampai 18 bulan. Dari beberapa hasil penelitian mengenai estrus post-partum
pada sapi Bali, kisaran rnasa anestrus post-partum empat sampai enam bulan
merupakan ha1 yang biasa ditemukan pada sapi Bali di Indonesia pada umumnya.
Tetapi percepatan timbulnya estrus post partum merupakan suatu usaha untuk
meningkatkan efisiensi reproduksi ternak tersebut.
Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mempercepat estrus post-
partum antara lain. melalui pemberian kombinasi hormon progesteron (CIDR-B)
dan Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG). Meskipun harga preparat
hormon ini cukup tinggi tetapi secara ekonomis dapat meningkatkan pendapatan
bila ditinjau dari segi keefektifan kerja hormon tersebut. Pemberian preparat
hormon ini selain mempercepat estrus post-partum sekaligus mensinkronkan
estrus sehingga dapat diantisipasi dan diperkirakan waktu inseminasi secara tepat
dan serentak, terutama ternak pada peternakan sapi rakyat yang dipelihara secara
ekstensif dimana temak digembalakan pada padang rumput, jarang dilihat, jarang
dikandangkan dan pendeteksian estrusnya cukup sulit dilakukan. Selain itu
peternak dapat mengatur waktu kelahiian yang disesuaikan dengan ketersediaan
pakan pada musim tertentu, sehingga dapat mempertahankan efisiensi waktu dan
tenaga kerja serta efisiensi reproduksi, juga untuk penyesuaian produksi dengan
kebutuhan pasar. Keuntungan lain dari penggunaan preparat hormon dapat
memunculkan berahi pada sekelompok ternak secara serentak dan musim
perkawinan dapat dipersingkat sehingga dapat menghemat biaya terutama bila
perkawinan menggunakan teknologi IB.
Aktivitas reproduksi merupakan manifestasi tampilan status b l i ternak
reproduksi. Manifestasi aktivitas ovarium ternak betina berupa siklus estrus yang
dipengaruhi oleh keseimbangan hormon kelamin yaitu progesteron dan estrogen. Perubahan kadar progesteron dapat dipakai sebagai salah satu petunjuk tentang
aktivitas ovarium, yaitu pembentukan corpus luteum dan secara tidak langsung
dapat digunakan untuk pendugaan terhadap pembentukan folikel pada ovarium
yang dimanifestasikan dalam bentuk tanda-tanda estrus.
Progesteron yang diimplan secara intravaginal akan menekan aktivitas
ovarium dengan menghambat sekresi gonadotropin (FSH dan LH) untuk
sementara waktu melalui mekanisme umpan balik negatif. Setelah implan
tersebut dicabut pengaruh hambatan dari progesteron akan hilang dan
gonadotropin akan segera disekresikan kembali dalam jumlah yang lebih banyak,
kemudian te rjadi proses pertumbuhan dan pematangan folikel sehingga te rjadi
ovulasi.
Aktivitas biologis PMSG menyerupai FSH dan LH namun lebih dorninan
peranan FSH-nya. PMSG yang disuntikkan pada ternak akan langsung
mempengaruhi aktivitas ovarium dengan terjadinya pertumbuhan folikel, sehingga
pemberian dalam jumlah kecil bersama dengan progesteron diharapkan akan
lebih meningkatkan perhunbuhan folikel dan ovulasi.
Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut diatas, telah dilakukan suatu
penelitian yang bertujuan untuk mempercepat dan menyerentakkan estrus serta
meningkatkan angka kebuntingan post-partum sapi Bali pada peternakan
rakyat di Sulawesi Selatan dengan menggunakan hormon progesteron (CIDR-
Tujuan Penelitian
Tujuan umum penelitian ini adalah meningkatkan efisiensi reproduksi
dengan mempercepat dan menyerentakkan estrus post-partum sapi Bali sehingga
dapat mencapai angka konsepsi yang tinggi, khususnya pada peternakan rakyat di
Sulawesi Selatan, melalui pemberian kombinasi hormon progesteron (CIDR-B)
dan PMSG.
Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya dosis
serta waktu penyuntikan PMSG dan kombinasinya dengan progesteron yang lebih
tepat untuk akselerasi, sinkronisasi dan peningkatan intensitas estrus post-partum,
sehingga dapat mencapai angka konsepsi yang tinggi.
Manfaat Penelitian
Penggunaan hormon progesteron yang dikombinasikan dengan PMSG
dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan angka konsepsi terutama pada sapi Bali
anestrus post-partum, sehingga produktivitas ternak tersebut pada peternakan
rakyat di Sulawesi Selatan meningkat secara berkesinambungan.
Kerangka Pemikiran
Secara alami progesteron dihasilkan oleh sel-sel luteal corpus luteum, plasenta
dan kelenjar adrenal. Daya kerja progesteron yang berada pada fase luteal
(kurang lebih 14 hari) adalah melalui umpan balik negatif terhadap hipothalamus
dan adenohipofisis yang menghambat sekresi gonadotropin (FSH dan LH),
sehingga tidak terjadi pematangan folikel ovulatory ; folikel akan kembali
berkembang pada siklus yang normal apabila kadar hormon progesteron tersebut
estrus karena pengaruh prostaglandin F2a (PGF2a) yang dihasilkan oleh
endometrium sehingga gonadotropin dapat disekresikan dalam jumlah yang
memadai. Hewan kembali memperlihatkan berahi dan berovulasi atas pengaruh
gonadotropin tersebut.
Diduga kejadian anestrus post-partum disebabkan oleh rendahnya kadar
hormon gonadotropin di dalam darah akibat kekurangan gizi yang menyebabkan
ovarium tidak berfbngsi dengan baik (hipofbngsi ovarium), folikel tidak
berkembang dan hewan tidak estrus karena kekurangan hormon estrogen yang
seharusnya dihasilkan oleh folikel yang matang. Di samping itu anestrus post-
partum dapat juga disebabkan oleh karena corpus luteum yang menetap (corpus
luteum persisten, CLP) akibat infeksi pada endometrium (endometritis) yang
menghambat produksi PGF2a sehingga CL tidak dilisiskan dan kadar progesteron
di dalam darah tetap tinggi yang menghambat sekresi gonadotropin (FSH dan
LH), tidak terjadi pertumbuhan folikel dan tidak terjadi estrus. Pengembalian
hngsi ovarium normal dapat diinduksi dengan pemberian progesteron atau
dengan tambahan pregnant mare serum gonadotropin (PMSG). Pemberian
progesteron eksogen akan membendung sekresi gonadotropin, tetapi bendungan
tersebut akan segera terlepas apabila progesteron ditarik d a i peredaran darah
sehingga menyebabkan ovarium kembali berfbngsi secara normal dan sapi akan
estrus.
Pemberian progesteron tunggal pada kasus ini diduga mempunyai hasil
fertilisasi yang rendah. Dengan demikian penambahan PMSG (FSH dan LH)
diperlukan untuk lebih menginduksi folikulogenesis sesudah penarikan
Pregnant mare serum gonadotropin mempunyai waktu paruh yang cukup lama
(empat sampai enam hari) dimana dalam pemberiannya perlu diketahui saat yang
lebih tepat untuk mampu merangsang folikulogenesis. Oleh karena itu perlu
dibuktikan bahwa pemberian PMSG dua hari sebelum pencabutan implan
progesteron lebih baik daripada pemberian PMSG pada saat pencabutan implan
progesteron.
Hipotesis
1. Pemberian progesteron tunggal dan PMSG tunggal maupun kombinasi
progesteron dengan PMSG dapat digunakan untuk menggertak pemunculan
estrus post-partum pada sapi Bali.
2. Kombinasi progesteron dengan PMSG akan meningkatkan keserentakan dan
intensitas estrus yang diikuti dengan ovulasi sehingga mempertinggi angka
konsepsi dibandingkan dengan pemberian progesteron tunggal atau PMSG
tunggal.
3. Pemberian PMSG dua hari sebelum pencabutan implan hormon progesteron
lebih baik dalam respons penyerentalcan estrus dibandingkan pemberian
PMSG pada saat pencabutan implan hormon progesteron.
4. Dosis PMSG yang optimal antara 300 dan 500
IU
akan menyebabkan responsestrus yang lebih baik.
5. Konsentrasi progesteron dalam darah meningkat setelah hari ke- 10 pasca
TINJAUAN PUSTAKA
Fisiologi Reproduksi Sapi Bali
Sapi Bali dan sapi Peranakan Onggol (PO) yang dipelihara petani
mempunyai fungsi ganda, disamping sebagai sumber tenaga kerja juga sebagai
penghasil daging yang sangat dibutuhkan. Akan tetapi sampai saat ini sub sektor
peternakan belum mampu memenuhi standar minimum kebutuhan protein hewani
masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh salah satu faktor yaitu relatif
rendahnya peningkatan populasi ternak, khususnya ternak sapi di Indonesia.
Dilihat dari potensi produksi dan reproduksi sapi Bali dan Peranakan Ongole serta
daya adaptasi terhadap kondisi tropis maka kedua bangsa sapi tersebut
mempunyai peluang besar untuk lebih ditingkatkan produktivitasnya melalui
perbaikan manajemen pemeliharaan yang optimal serta penerapan teknologi
secara tepat.
Siklus estrus merupakan interval antara timbulnya satu periode estrus ke
permulaan periode estrus berikutnya. Siklus estrus pada sapi berlangsung selama
rata-rata 21 hari, bervariasi antara 18 sampai 24 hari (Partodihardjo, 1992 dan
Toelihere, 1985), sedangkan panjang satu siklus estrus tidak selalu sama pada
setiap individu sapi.
Siklus estrus pada sapi Bali sama dengan ternak lainnya, yang berkisar
antara 17 dan 27,4 hari, rata-rata 21,4
hari
(Toelihere et al., 1989). Demikianpula yang dilaporkan oleh Fattah (1998) panjang siklus estrus pada sapi bali
berkisar antara 17 sampai 24 hari, meskipun ada yang mencapai lebih dari 24 hari.
Tingginya persentase jarak siklus estrus panjang pada ternak-ternak menurut
atau kombinasi dari faktor-faktor berikut ini : estrus yang tidak terdeteksi,
gangguan ketidakseimbangan hormonal dan faktor makanan. Menurut
Partodihardjo (1992) panjang siklus estrus disebabkan oleh bermacam-macam hal,
namun keadaan ini hampir selalu mempunyai hubungan dengan kelainan fbngsi
hormonal.
Estrus adalah suatu kegiatan fisiologik pada hewan betina yang
dimanifestasikan dengan memperlihatkan keinginan kawin dan penerimaan jantan
oleh hewan betina dewasa yang berlangsung dalarn suatu periode yang terbatas,
atau merupakan periode seksual pada ternak yang dikarakteristikkan dengan
keinginan untuk kiiwin.
Estrus adalah bagian dari siklus berahi dimana pada kondisi ini hewan
betina mau menerima jantan untuk aktivitas reproduksi (Partodihardjo, 1992).
Dikatakan pula bahwa estrus merupakan periode dimana sapi menerima aktivitas
seksual dan ditandai dengan diam bila dinaiki sapi lain, baik jantan maupun betina
(Philips, 1993 dalam Gordon, 1994). Lama periode estrus pada sapi bervariasi
berdasarkan bangsa, manajemen dan berbagai faktor lingkungan, yaitu berkisar
antara tiga sampai 28 jam dengan rataan selama 12 sampai 16 jam (Allrich, 1993).
Payne dan Rollinson (1973) d m Mulyono (1977) menyatakan bahwa,
lama estrus pada sapi Bali dan banteng liar berada pada kisaran 18 sampai 48 jam.
Sedangkan Toelihere et al. (1989) menemukan lama estrus sapi Bali di pulau
Timor rata-rata 22,96 jam. Selanjutnya hasil penelitian Darmadja (1 980)
menunjukkan lama estrus pada sapi Bali di pulau Bali rata-rata 25,58 jam. Pada
penelitian lainnya diperoleh lama periode estrus yang hampir sama dan tidak
menunjukkan bahwa lama estrus pada musim kemarau (19,85 jam) relatif lebih
singkat daripada musim hujan atau akhir musim hujan (21,38 jam), walaupun
secara statistik tidak berbeda nyata.
Di daerah beriklim sedang tern& sapi estrus 15 sampai 18 jam (Hammond
d m Marshall, 1958; Lesley et al, 196 1 ; Esslemont d m Bryant, 1976 dalam Fattah,
1998). Dibandingkan dengan bangsa sapi di daerah beriklim sedang, estrus pada
sapi Bali cukup lama. Menurut Partodihardjo (1992) lama estrus pada sapi
Ongole dan PO diperkirakan lebih pendek daripada sapi Bali.
Umumnya ovulasi terjadi 10 sampai 12 jam setelah akhir estrus yang
dinyatakan sebagai hari kesatu dari siklus estrus. Ovulasi adalah proses pelepasan
sel telur dari folikel matang atau folikel de Graaf.
Hafez (1987) menjelaskan, bahwa secara morfologik proses ovulasi terjadi
akibat menipisnya dinding folikel karena semakin bertambahnya cairan folikel
sehingga tidak terjadi vaskularisasi pada bagian yang semakin menipis, dan
dinding folikel pada bagian tersebut pecah. Keadaan ini dimanfaatkan oleh cairan
antrum folikel untuk menyusup masuk menggantilcan tempat rupturnya sel-sel
granulosa. Akibat tekanan yang makin h a t , dinding folikel pecah sehingga
cairan antrum bersama ovum akan terlontar keluar, dan peristiwa ini disebut
ovulasi,.
Disamping proses mekanik terjadi pula proses kirniawi dalam ovulasi.
Proses kimiawi ini terjadi pada folikel de Graaf sewaktu mensekresikan estrogen
yang bekerja memberi umpan balik positif kepada hipofisis melalui hipotalamus
untuk melepaskan GnRH-LH yang menstimulasi sekresi LH. Luteinizing hormon
Diduga hiperemia ini mungkin menstimulir enzim proteolitik seperti kolagenase
yang akan mengadakan pemisahan kumulus dari sekeliling folikel. Dengan
demikian kerja enzim-enzim proteolitik melemahkan dinding folikel dan terjadi
suatu daerah vaskuler untuk stigma dan ovulasi pada daerah penonjolan
superfisial dimana dinding folikel tidak didukung oleh stroma folikel dan terjadi
ovulasi. Setelah ovulasi terbentuk corpus luteum (CL) pada bekas folikel yang
telah pecah dan mulai mensekresikan progesteron. CL terbentuk dari diferensiasi
sel-sel folikel preovulatoris setelah lonjakan pelepasan LH ( Davis et al., 1996 ),
Toelihere (1985) mengatakan bahwa penyerentakan estrus dan ovulasi
dimaksudkan untuk mempertinggi kemungkinan pertemuan ovum dengan sperma
dalam proses pembuahan untuk memulai pertumbuhan dan perkembangan
individu baru.
Lama estrus pada sapi Bali berlangsung 18-48 jam, lebih lama daripada
ternak sapi di daerah beriklim sedang. Kemungkinan ha1 ini ada hubungannya
dengan angka kesuburan yang cukup tinggi. Selain itu sapi Bali mempunyai
kemampuan adaptasi yang sangat baik dan sanggup tumbuh subur pada tingkat
pakan yang jelek (Payne, 1970), serta toleransi terhadap kondisi panas yang
cukup tinggi, sesuai dengan pendapat Atmadilaga (1959) dalam Fattah (1998).
Pane (1991) melaporkan angka kesuburan sapi Bali mencapai 88 %.
Demikian halnya dengan laporan Darmadja (1980) yang memberikan hasil
85,85%. Nilai ini nyata lebih tinggi daripada angka kesuburan bangsa sapi
lainnya. Andrews (1972) dan Daniel et al. (1972) dalam Fattah (1998)
menyatakan angka kesuburan pada Bos Taurus berkisar antara 50 sampai 70 %.
lama berahi, ha1 ini diperkuat oleh Austin dan Bhisholp (1957) dalam Fattah
(1998) yang menyatakan, pada jenis mamalia yang mempunyai lama berahi
panjang akan lebih fertil dibandingkan yang mempunyai lama berahi pendek.
Estrus Pertama Pasca Melahirkan
Segera setelah terjadi kelahiran, estrus akan timbul kembali sesuai dengan
siklus estrus dan involusi uteri. Hafez (1987) menyatakan bahwa segera setelah
kelahiran akan terjadi fase anestrus. Lamanya fase anestrus tersebut dipengaruhi
oleh laju involusi uteri, laju perkembangan folikel dalam ovarium, konsentrasi
gonadotropin hipofisial dan periferal, level estrogen dan progesteron periferal
serta perubahan dalam bobot tubuh dan intake energi (Stevenson dan Britt, 1980
dalam Darodjah, 199 1).
Umumnya kasus anestrus diakibatkan oleh serangkaian folikel dominan
yang gaga1 berowlasi karena penurunan konsentrasi estradiol yang diproduksi sel-
sel granulosa di dalam ovarium untuk menstimulasi lonjakan LH. Kondisi ini
mengakibatkan tidak terjadinya fertilisasi sehingga ternak dapat memperlihatkan
estrus kembali dan sebagai konsekuensinya te rjadi perpanjangan interval antar
kelahiran (Roche et al., 1992).
Rataan jarak dari beranak sampai estrus kembali pada sapi, umurnnya
adalah 61 hari. Hal ini dipengamhi oleh keadaan induk yang sedang menyusui,
dan tingkat pakan sebelum dan sesudah beranak (Warnick, 1955 dalam Liwa,
1990). Sementara Liwa (1990) mengutip Wiltbank (1970), menyatakan sapi
beranak dipengaruhi oleh umur induk saat beranak. Pane (1979) dalam
menunjukkan estrus kembali setelah beranak dalam waktu dua sampai dengan
enam bulan.
Tingkat reproduksi pada ternak merupakan faktor penting dan merupakan
potensi yang dimiliki oleh ternak yang bersangkutan. Besarnya potensi tersebut
dapat berbeda pada individu yang sama. Nilai tingkat reproduksi sangat terkait
dengan kemampuan reproduksi yang juga berhubungan langsung dengan efisiensi
reproduksi. Peters dan Ball (1987) menyatakan bahwa tingkat reproduksi ini
merupakan faktor penting dalam menetapkan efisiensi reproduksi ternak.
Selanjutnya dinyatakan bahwa sebaiknya temak sapi betina melahirkan sekali
dalam setahun. Hal ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan jarak kelahiran.
Jarak kelahiran dapat dibagi dalam dua komponen 1) interval antara
kelahiran dan konsepsi dan 2) periode kebuntingan. Komponen pertama
merupakan interval waktu dari terjadinya kelahiran hingga terjadinya kebuntingan
berikutnya. Komponen ini merupakan faktor pokok yang menentukan jarak
kelahiran dan selanjutnya merupakan parameter yang biasa digunakan untuk
memanipulasi jarak kelahiran. Komponen kedua merupakan periode kebuntingan
yang secara normal terjadi antara 280-285 hari pada ternak sapi dan akan
bervariasi tergantung pada pengaruh genetik tetuanya, dan hanya dapat
diperpendek dengan induksi kelahiran (Peters dan Ball, 1987).
Untuk dapat menghasilkan anak setiap tahun atau sekitar 12 bulan, induk
harus dikawinkan paling lambat 85 hari setelah beranak ; dengan kata lain interval
antara kelahiran dan konsepsi harus tidak lebih dari 85 hari. Dalam ha1 ini harus
diperhatikan dua ha1 yakni ; 1) interval antara kelahiran dengan perkawinan
dapat dikawinkan hanyalah betina yang sedang berahi dan untuk mengetahui ha1
tersebut hams dilakukan pengamatan antara 40-60 hari sesudah induk beranak
(Barret dan Larkin, 1974). Devendra et al. (1979) melaporkan sapi Bali di
Malaysia berahi kembali 182,4 k 10,3 hari, sedangkan Darmadja (1980)
melaporkan bahwa di pulau Bali sapi Bali berahi kembali setelah beranak
dipengaruhi oleh pola tanam.
Penelitian ini akan menekankan manipulasi dengan induksi berahi pada
interval antara kelahiran dengan perkawinan pertama hingga terjadinya konsepsi.
Pelaksanaan perkawinan dilakukan dengan metode inseminasi buatan.
Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG)
Pregnant Mare Serum Gonadotropin adalah hormon gonadotropin yang
terdapat di dalam serum kuda bunting. PMSG akhir-akhir ini lebih dikenal
dengan sebutan Equine Chorionic Gonadotropin atau eCG (Jainudeen dan Hafez,
1987). Tujuan penggunaan hormon gonadotropin adalah untuk menginduksi
pematangan folikel, estrus dan ovulasi. Menurut Hendrics dan Hill (1978) PMSG
dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah folikel de Graaf dan jumlah ovulasi. Walaupun demikian terdapat variasi individu ternak terhadap keragaman respons.
Cole dan Hart (1930) dalam McDonald (1980) melaporkan bahwa sumber
PMSG adalah mangkok endometrium kuda bunting pada umur kebuntingan 40
sampai 140 hari. Kadar PMSG di dalam serum darah mencapai puncaknya pada
umur kebuntingan 60 sampai 110 hari, sedang Allen dan Stewart (1978)
mengemukakan bahwa kadar tertinggi tercapai pada kebuntingan hari ke 55
Menurut Reeves (1987) secara kimiawi PMSG mempunyai struktur yang
mirip dengan FSH dan LH. PMSG merupakan hormon glikoprotein dengan berat
molekul60.000 Dalton yang terdiri atas dua sub unit, yaitu sub unit a dan sub unit
p.
PMSG memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi terutama pada gugus asamsialat. Konsentrasi asam sialat yang tinggi ini diduga menyebabkan masa paruh
PMSG cukup panjang bila dibandingkan dengan hormon gonadotropin yang
lainnya.
Alfbraiji et al. (1993) dan Moore (1984) menyatakan bahwa keuntungan
menggunakan PMSG untuk merangsang peningkatan pertumbuhan folikel
preovulatoris adalah, tersedia dalam jumlah yang besar dengan harga murah dan
penggunaannya cukup hanya diberikan satu kali saja karena memiliki masa paruh
yang panjang. Waktu paruh PMSG menurut Papkoff (1978) dan Reeves (1987)
berkisar antara 6 sampai 7 hari.
Peranan Hormon Progesteron dan Penggunaannya
Progesteron dihasilkan oleh sel-sel luteal pada corpus luteum, plasenta dan
kelenjar adrenal (Hafez, 1987). Selanjutnya dikatakan bahwa, pada level yang
tinggi di dalam darah progesteron
akan
rnenghambat terjadinya estrus danpeiepasan LH. Progesteron penting dalam pengaturan hormonal pada siklus
estrus. Adanya progesteron dapat memperlambat kontraksi uterus oleh pengaruh
estrogen
Partodihardjo (1992) menerangkan bahwa progesteron termasuk
progestagen yaitu kelompok steroid yang terdiri atas 21 atom karbon, dan hanya
progesteronlah yang mempunyai khasiat jauh melebihi progestagen yang lain.
yaitu, (1) menghambat kontraksi myometrium, (2) merangsang tumbuhnya
kelenjar-kelenjar susu uterus pada endometrium, dan (3) pada spesies tertentu
implantasi setelah diikuti oleh proses perkembangan sel-sel permukaan
endometrium yang menerima blastosis yang disebut deciduom.
Progesteron merubah hngsi ovarium pada sapi dan dalam dosis yang
cukup akan menghambat ovulasi. Progesteron eksogen diberikan untuk
menginduksi konsentrasi yang lebih rendah, sama atau lebih besar daripada level
fisiologik. Tergantung pada dosisnya, progesteron eksogen akan menghambat
perkembangan folikel dominan apabila diberikan selama fase pertumbuhan
(Adams, 1994).
Pembentukan maupun regresi corpus luteum diinterpretasikan dengan
turun naiknya kadar progesteron dalam plasma darah, dan perubahan kadar
progesteron tidak selalu diikuti oleh tampakan tanda-tanda estrus secara klinis,
karena estrus ditentukan oleh tingginya kadar estrogen di dalam darah. Keduanya
mengatur kejadian siklus estrus di dalam keseimbangannya (Wijono, 1998).
Selanjutnya dikatakan bahwa hormon progesteron selama periode siklus estrus
menunjukkan fluktuasi yang teratur, merupakan manifestasi adanya aktivitas
ovarium. Kadar progesteron mempunyai variasi tingkatan kandungan, pada saat
kurang dari 1 ng/ml dapat digunakan untuk pendugaan terjadinya estrus, dan
kadar progesteron lebih dari 3 ng/ml mengarah terjadinya kebuntingan atau
pembentukan corpus luteum.
Menurut Toelihere (1985) pemberian progesteron yang dimasukkan ke
dalam vagina dengan bantuan spons atau sejenisnya akan terjadi penyerapan
ovulasi, dan pada waktu spons tersebut dicabut kembali maka betina tersebut akan
berahi beberapa hari kemudian. Pemberian progesteron pada sapi yang
diovariektomi menekan keluarnya LH (Beak et al., 1976 dalam Kinder et al.,
1996). Mann dan Lamming (1995) menyatakan bahwa progesteron bertanggung
jawab untuk menstimulir beberapa faktor yang berhubungan dengan produksi
PGF2a dan menekan perkembangan reseptor oksitosin di dalam uterus.
Beberapa cara pemberian progesteron yaitu secara oral melalui pakan,
injeksi setiap hari, spiral vagina dan implan subkutan. Selanjutnya digunakan
Progesterone Releasing Intravagnal Device
(PRID)
clan akhir-akhir ini dikembangkan lagi Controlled Internal Drug Release ( O R ) yang berisiprogesteron alami (Macmillan and Peterson, 1993). Selanjutnya Revah dan Butler
(1996) melaporkan bahwa preparat progesteron seperti Melangestrol asetate
(MGA), Controlled Internal Drug Release Bovine Device (CIDR-B), Progesterone
Releasing Intravaginal Device (PRID) dan Norgestomet Implant (Syncro-Mate B)
telah digunakan untuk kegiatan sinkronisasi estrus pada ternak sapi. Bersamaan
dengan metode pemberian implan intravaginal maupun implan subkutan pada
telinga, periode pemberian juga dipersingkat, dari sekitar 14 hari menjadi h a n g
dari 10 hari (Jochle, 1993)
Beberapa peneliti melaporkan penggunaan progestin selarna lebih dari
tujuh hari menghasilkan sinkronisasi yang bagus tetapi mempunyai daya fertilisasi
yang rendah setelah di IB pada estrus pertama (Stock dan Fortune, 1993).
Sedangkan implan tepat pada tujuh hari memperlihatkan respons estrus 60 sampai
pada metestrus selama 12 hari menghasilkan luteolisis prematur sebanyak 5 %
sapi dasa. Menurut InterAg (1996), pada sapi potong penggunaan CIDR
sebaiknya tidak kurang dari 9 hari dan respons estrus yang dicapai adalah 80
sampai 90 %.
Macmillan dan Peterson (1993) mengemukakan bahwa konsentrasi atau
kandungan hormon progesteron di dalam kemasan CIDR adalah sebesar 1,9 gram.
Hal ini berarti bahwa penggunaan progesteron dalam kemasan ini jika dilakukan
dalam waktu relatif singkat (lima sampai sembilan hari) akan memberikan
efisiensi yang lebih tinggi karena progesteron pada kemasan ini dapat digunakan
lagi dalam kegiatan sinkronisasi berikut baik pada ternak yang sama maupun pada
ternak lain. Penggunaan ulang CIDR dalam kegiatan sinkronisasi telah
dibuktikan pula oleh Macmillan et al. (1991 dan 1993) dan Bo et al. (1995).
Kombinasi Progesteron dan PMSG dalam Akselerasi Estrus Post-partum.
Gonadotropin adalah hormon yang mempengaruhi gonad, Ada beberapa
macam hormon gonadotropin diantaranya adalah pregnant mare serum
gonadotropin (PMSG). PMSG sering digunakan setelah pemberian progesteron
untuk menstimulasi estrus dan ovulasi pada sapi anestrus.
Dari beberapa hasil penelitian penggunaan tunggal hormon progesteron
dalam sinkronisasi estrus memberi respons estrus yang tinggi jika dilakukan
dalam waktu yang panjang sesuai umur corpus luteum, namun angka konsepsi
yang dicapai umurnnya rendah ( Jochle, 1993 ; Savio et al., 1993 ; Stock &
Fortune, 1993 dan Wehrman et al., 1993). Sedangkan pemberian progesteron
bersama Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) pada sapi kurang dari 60
perlakuan progesteron (Roche et al., 1992). Secara fisiologis PMSG sangat aktif
menyebabkan pertumbuhan folikel dan sedikit luteinisasi (Toelihere,1985).
Pemakaian PMSG telah digunakan untuk sapi penderita anestrus yang
disebabkan oleh hipofbngsi ovarium, 55 % sapi mengalami kesembuhan setelah
pemberian PMSG dengan dosis 1 500 sarnpai 2000
IU
(Suardi, 1989).Pemanfaatan hormon gonadotropin telah digunakan untuk melihat
pengaruh pembatasan energi pada respons penyerentakan berahi setelah beranak
pada sapi Charolais dengan memberikan implan Norgestomet dan 600
IU
PMSG(Cronogest PMSG ND). Hasil penelitian memperlihatkan tidak ada pengaruh
pembatasan sumber energi antara kelompok sapi yang diberi pakan sumber energi
standar (100 %)
dan
kelompok sapi yang diberi pakan sumber energi yangdikurangi (70 %). Semua sapi menunjukkan puncak LH dan ovulasi setelah perlakuan yang diperlihatkan oleh puncak progesteron, dan setelah IB hanya satu
ekor sapi dari masing-masing kelompok yang tidak bunting (Grimard et al.,
1994).
Untuk mengatasi masalah anestrus serta untuk sinkronisasi estrus periode
post partum telah dicoba penggunaan PRID (progesterone intrmagrnal releasing
device), baik yang diberikan secara sendiri maupun yang diberikan bersama dengan oestradiol benzoat. Murphy et al. (1989) dalam Roche et al. (1992)
melaporkan bahwa pemberian PRlD merangsang timbulnya estrus lebih awal (21
f 4 hari) dibanding dengan kontrol (35 f 24 hari) periode post partum. Dengan
demikian, pemberian PRID nyata mempercepat munculnya estrus serta ovulasi
Disamping penggunaan PRID, CIDR juga telah digunakan secara luas.
Macmillan dan Day (1987) dalam Roche et al. (1992) melaporkan bahwa sapi
perah yang anestrus pada periode post partum setelah diberikan CIDR 48%
memperlihatkan pola-pola yang sama dengan pemberian PRID dan diinseminasi
dalam tujuh hari setelah pencabutan
CIDR.
Sedangkan injeksi 400 atau 800IU
PMSG dapat meningkatkan respons estrus 70 dan 85 % setelah pencabutan CIDR. Data ini juga menunjukkan bahwa sapi-sapi yang anestrus pada awal post partum
dalam kondisi tubuh yang jelek lebih tepat diinjeksi dengan PMSG yang diberikan
bersama dengan 7 sampai 12 hari pemberian progesteron.
Macmillan (1989) dalam Macmillan dan Peterson (1993) menyatakan
bahwa persentase estrus pada sapi potong menyusui yang timbul dalam waktu 96
jam setelah pencabutan CIDR yang diimplan selama 14 atau 21 hari dan pada sapi
yang diinjeksi dengan 400
IU
PMSG saat pencabutan CIDR, masing-masing 88dan 93 persen.
Manajemen Reproduksi
Nutrisi merupakan salah satu faktor yang terlibat dalam pengaturm sekresi
GnRH dan mendorong peningkatan ftekuensi pulsa LH. Kebutuhan energi
nampaknya menjadi ha1 yang sangat penting disamping protein dalam
mempertahankan fbngsi reproduksi. Periode anestrus post-partum yang panjang
pada sapi yang menyusui dapat diatasi dengan peningkatan suplai bahan pakan
yang mengandung banyak energi. Kebutuhan energi yang seimbang akan
mendorong peningkatan fiekuensi pulsa LH periode post-parhxm (Canfield and
Peningkatan suplai energi pada induk sapi yang bunting menentukan
percepatan aktivitas kembali siklus ovarium periode post-partum. Rendahnya
konsumsi energi pada periode sebelum dan pada saat post-partum akan
memperpanjang periode tidak estrus, level progesteron yang rendah dan tingkat
konsepsi yang rendah. Stagg et al. (1995) melaporkan bahwa rata-rata interval
dari melahirkan sampai ovulasi pertama pada induk sapi yang menyusui dan
mendapat suplai energi 80 MJ perhari adalah 25 hari lebih panjang dibanding
dengan yang mendapatkan 120 MJ perhari. Namun demikian, kebutuhan akan
sumber nutrien yang lain seperti vitamin dan mineral, juga sangat penting di
dalam menunjang aktivitas reproduksi ternak. Sebab, defisiensi vitamin dan
mineral akan mempengaruhi fertilitas ternak.
Terkait dengan kebutuhan energi pada sapi, lemak sebagai sumber energi
yang besar dapat menjamin kontinuitas penyediaan energi dalam menunjang
aktivitas reproduksi ternak. Suplementasi lemak pada pakan sapi telah dilaporkan
dapat merubah sirkulasi hormon dan konsentrasi metabolit dan perkembangan
folikel ovariua. Suplementasi lemak meningkatkan konsentrasi progesteron, dan
konsentrasi kolesterol cairan folikel dalam sel-sel luteal kecil dan besar (Hawkins
et al., 1995). Suplementasi lemak untuk sapi dalam periode post-partum juga
meningkatkan konsentrasi progesteron setelah ovulasi pertama post-partum dan
meningkatkan aktivitas luteolitik sampai dengan 1 8 %. Sedangkan laporan Lammoglia et al. (1996) menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan 5,20 %
lemak pada induk sapi sebelum dan sesudah melahirkan meningkatkan ukuran
MATERI DAN METODE
Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada peternakan sapi rakyat di Kabupaten
Takalar, Propinsi Sulawesi Selatan dan analisis hormon progesteron dilakukan di
Laboratorium Fisiologi dan Reproduksi Temak Fakultas Peternakan, Universitas
Hasanuddin Makassar. Kegiatan penelitian berlangsung selama enam bulan yaitu
mulai bulan Mei sampai November 2001 yang terdiri atas dua tahap : Tahap I : merupakan penelitian pendahuluan
-
Menentukan walctu pemberian PMSG dengan dosis 300IU
dan 500 IU dua hari sebelum pencabutan implan CIDR-B atau saat pencabutan implan CIDR-BTahap I1 :
-
Respons pemberian progesteron dan PMSG serta kombinasinya berdasarkan waktu pemberian hasil penelitian pendahuluan terhadap: akselerasi estrus post-partum, intensitas estrus dan peningkatan angka konsepsi.-
Analisis hormon progesteron untuk mengetahui efektifitas penggunaan hormon-hormon tersebut dan kondisi fisiologis reproduksi pada masing-masing ternak.Materi Penelitian
Penelitian ini menggunakan 23 ekor induk sapi Bali anestrus post-partum
lebih dari tiga bulan, memiliki anatomi organ reproduksi yang normal, memiliki
kondisi tubuh sehat dan telah beranak minimal satu kali.
Pakan yang diberikan pada ternak selama penelitian adalah pakan yang
tersedia di lokasi penelitian seperti jerami padi, rumput lapangan, rumput gajah,
diatas kebutuhan pokok. Preparat hormon yang digunakan adalah progesteron
(Eazi-Breed CIDR-B)+ dan PMSG**. Untuk
IF3
digunakan semen beku sapi Baliproduksi BIB Singosari dengan motilitas pasca thawing lebih dari 50 %, serta
seperangkat alat inseminasi. Pengambilan sampel darah menggunakan venoject
dan komponen radioimmunoassay untuk analisis kadar hormon progesteron.
Metode Penelitian
Kegiatan penelitian terdiri atas :
I. Seleksi ternak dan penentuan waktu pemakaian PMSG
11. Perlakuan pemberian hormon progesteron, PMSG dan kombinasi hormon progesteron dengan PMSG. Untuk mengetahui efektifitas penggunaan
hormon-hormon tersebut dan kondisi fisiologis reproduksi pada masing-
masing ternak, dilakukan analisis hormon progesteron dengan
pengambilan sampel darah pada setiap perlakuan.
111. Pengamatan respons estrus : pemunculan, intensitas dan keserentakan
timbulnya estrus
IV. Inseminasi Buatan dan pemeriksaan kebuntingan hasil IB.
Penentuan Kondisi Ternak
Seleksi ternak dilakukan dengan melihat kondisi tubuh kurang sampai
sedang (skor 2 clan 3 dari skala 1-5) mengacu pada JICA ( J q a n International
Cooperation Agency) (1996), yaitu :
3 1 (sangat kurus) : lekukan di sekitar pangkal ekor, tulang pelvis dan tulang iga
belakang tajarn dan mudah diraba, tidak ada jaringan lemak di pelvis atau
daerah pinggul.
* Controlled Internal Drug Release-Bovine yang mengandung 1,9 gram progesteron, produksi Inter&, Selandia Baru
a
2 (kurus) : sedikit jaringan lemak pada pangkal ekor, pelvis mudah diraba,ujung iga terasa dan bagian atas dapat diiaba dengan mudah.
3 (sedang) : tidak ada legokan di sekitar pangkal ekor dan jaringan lemak
dapat diiaba dengan mudah pada seluruh bagian, pelvis dapat diraba dengan
sentuhan, jaringan lemak yang melingkupi bagian permukaan tulang iga masih
dapat diraba dengan sedikit tekanan di daerah ini.
a
4 (gemuk) : gumpalan lemak dapat dilihat di sekitar pangkal ekor, pelvis ataupinggul dapat diraba dengan menekannya, ujung iga sudah tidak dapat diraba
lagi, tidak ada tekanan di sekitar daerah ini.
a
5 (sangat gemuk) : pangkal ekor tertutup oleh jaringan lemak yang tebal,tulang pelvis atau pinggul tidak dapat diraba lagi, ujung iga tertutup dengan
jaringan lemak yang tebal.
serta palpasi rektal untuk mendapat gambaran keadaan organ reproduksi ternak.
Perlakuan
Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan enam ulangan, berlangsung dalam
dua tahap sebagai berikut:
Tahap I, merupakan penelitian pendahuluan yang dijadikan sebagai dasar
penentuan waktu yang lebih baik dalarn penyuntikan PMSG yang dikombinasikan dengan hormon progesteron. Ternak yang terpilih diberi
perlakuan implan intravaginal progesteron (CIDR-B) selama sembilan hari dan diikuti pemberian PMSG melalui penyuntikan secara intra muskuler (im) pada
masing
-
masing kelompok ternak perlakuan dengan dosis 300IU
dan 500IU
Hasil perlakuan terbaik yang diperoleh pada penelitian tahap I ( ditinjau dari
aspek pemunculan dan intensitas estrus ) selanjutnya akan digunakan sebagai perlakuan I11 dan perlakuan IV pada penelitian tahap 11.
Tabel 1. Perlakuan pada percobaan tahap I.
Perlakuan Bany akny a
Kelompok Perlakuan (Horrnon dan waktu pemberiannya) sapi (ekor)
+
I. Progesteron + Progesteron intravagind 9 hari 1
300 IU PMSG dan 300 IU PMSG 2 hari sebelum
H-2 pencabutan progesteron
n.
Progesteron+
Progesteron intravagind 9 hari 2500
IU
PMSG dan 500IU
PMSG 2 hari sebelumH-2 pencabutan progesteron
111. Progesteron
+
Progesteron intravaginal9 hari 1300
IU
PMSG dan 300 IU PMSG segera setelahH-0 pencabutan progesteron
IV. Progesteron
+
Progesteron intravaginal 9 hari 2500
IU
PMSG dan 500 IU PMSG segera setelahH-0 pencabutan progesteron
Jumlah sapi percobaan (ekor) 6
Tahap II, merupakan penelitian utama dimana ternak yang terpilih diberi
perlakuan implan intravaginal progesteron (CIDR-B) selama sembilan hari dan
diikuti pemberian PMSG melalui penyuntikan secara intra muskuler (im) pada
masing-masing kelompok ternak perlakuan yaitu 300
IU
dan 500IU
denganwaktu pemberian berdasarkan hasil penelitian tahap I (Tabel 2), Pengambilan Sampel Darah dan Analisis Hormon
Pengambilan sampel darah dilakukan yaitu : 1) pada saat implan
progesteron, 2) pencabutan implan progesteron, 3) pada hari pelaksanaan IB, 4)
[image:122.607.76.503.172.503.2]111 dan IV. Pada kelompok I1 pengambilan sampel darah dilakukan : 1)
sebelum penyuntikan PMSG, 2) pada hari pelaksanaan IB, 3) hari kesepuluh dan
5) hari keduapuluh setelah pelaksanaan IB. Pengambilan darah dilakukan
[image:123.607.83.504.223.688.2]melalui vena jugularis sebanyak 3 sampai 5 ml dengan bantuan venoject.
Tabel 2. Perlakuan pada percobaan tahap I1
Perlakuan B any akny a
Kelompok Perlakuan (Hormon dan waktu pemberiamya) sapi (ekor)
I. Progesteron Progesteron intravaginal 9 hari 6
II.
PMSG 500IU
PMSG im 5111. Progesteron
+
Progesteron intravaginal9 hari 6 300IU
PMSG dan 300IU
PMSG dua hari se-H-2 belum pencabutan progesteron
IV. Progesteron
+
Progesteron intravaginal9 hari 6500
IU
PMSG dan 500IU
PMSG dua hari se-H-2 belum pencabutan progesteron
Jumlah sapi percobaan (ekor) 23
Kemudian darah disentriks untuk mendapatkan plasmanya dan
selanjutnya dianalisis. Analisis hormon progesteron pada sampel tersebut
dilakukan dengan teknik radioimmunoassay (RIA), menurut prosedur IAEA
(1984).
Pengamatan Estrus
Pengamatan estrus dilakukan tiga kali dalam sehari yaitu pada pagi hari
(pukul 05.00 sampai 06.00), siang hari (pukul 12.00 sampai 13.00) dan sore hari
(pukul 17 .OO sampai 18.00) setelah perlakuan, khususnya setelah pencabutan
progesteron. Pengamatan estrus juga dilakukan terhadap ternak-ternak yang telah
Inseminasi dan Pemeriksaan Kebuntingah
Inseminasi dilakukan 12 jam setelah terlihat gejala estrus, terutama gejala
diam bila dinaiki ternak lain, selain gejala seperti keluar lendir transparan dan
keadaan vulva. Inseminasi dilakukan dua kali berselang 12 jam antara inseminasi
pertama dan kedua. Pemeriksaan kebuntingan untuk menentukan hasil inseminasi
pada penelitian ini dilakukan melalui palpasi rektal, dua bulan setelah
diinseminasi untuk mengetahui respons konsepsi.
Parameter yang Diamati
Parameter yang diamati meliputi :
1. Persentase estrus, yaitu banyaknya ternak yang estrus dibagi jumlah ternak
yang diberi perlakuan dikali 100 %.
2. Kecepatan timbulnya estrus (hari) sesudah perlakuan, yaitu saat penghentian
perlakuan sampai gejala estrus terlihat.
3. Intensitas estrus, yaitu tingkat aktifitas tingkah laku estrus yang dibedakan menjadi tiga tingkat (skor 1, 2, 3) tergantung dari kejelasan gejala estrus,
yaitu :
a. skor 3 : gejala diam dinaiki, menaiki, saling menaiki dan gejala estrus lainnya terlihat jelas (vulva dan tingkah laku)
b. skor 2 : gejala diam dinaiki tidak terlihat, menaiki, saling menaiki dan gejala estrus lainnya terlihat cukup jelas
c. skor 1 : sebagian besar gejala estrus tidak nampak kecuali gejala keadaan vulva.
4. Angka konsepsi (CR), yaitu jumlah ternak yang bunting pada IB pertama
dibagi jumlah semua ternak yang di IB dikali 100 %
Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik
Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
Rancangan Acak Lengkap (RAL). Untuk menguji pengaruh perlakuan terhadap
kecepatan timbulnya estrus dilakukan analisis sidik ragam menggunakan program
Statistical Analysis System (SAS), selanjutnya untuk mengetahui perbedaan nilai
tengah antar perlakuan dilakukan uji Duncan pada a = 0,05, persentase estrus dan
angka konsepsi (CR) diuji dengan analisis Khi-Kuadrat (Steel dan Torrie, 1993),
sedangkan variabel intensitas estrus clan gambaran umum tentang konsentrasi
hormon progesteron disajikan secara deskriptif berdasarkan nilai rataan yang
HASIL
DAN
PEMBAHASAN
Penentuan Waktu Pemberian PMSG
Hasil penelitian pendahuluan perlakuan progesteron dan PMSG dengan
dosis 300
TU
dan 500 IU dengan waktu pemberian PMSG yang berbeda padaenarn ekor induk menunjukkan bahwa pemberian PMSG dua hari sebelum dan
pada saat pencabutan progesteron keduanya menyebabkan estrus. Akan tetapi
pada pemberian PMSG dua hari sebelum pencabutan progesteron menghasilkan
intensitas estrus yang lebih baik (skor dua sampai tiga), dengan timbulnya (onset)
estrus cenderung lebih cepat yaitu rata-rata 1,s hari, sedangkan jika pemberian
PMSG dilakukan pada saat pencabutan progesteron maka waktu timbul estrus
rata-rata 1,8 hari dengan intensitas estrus skor satu sampai tiga. (Tabel 3).
Hal tersebut dapat dipahami karena hormon gonadotropin maupun
progesteron secara in vivo mempunyai hngsi normal untuk mengatur
perkembangan siklus ovarial (pertumbuhan folikel dan CL), sehingga
keseimbangan hormonal akan memberikan respons estrus yang optimal. Dalam
penelitian pendahuluan ini terlihat bahwa terdapat hubungan antara waktu
pemberian PMSG dengan waktu pencabutan progesteron terhadap timbulnya
estrus dan intensitasnya.
PMSG yang diberikan dua hari sebelum pencabutan implan
progesteron menghasilkan intensitas estrus lebih baik dan timbulnya estrus
cenderung lebih cepat. Hal ini diduga karena PMSG yang mengandung
gonadotropin memiliki efek sekitar tiga sampai empat hari sesudah penyuntikan,
sedangkan produksi gonadotropin in vivo akan terjadi dalam waktu dua sampai
(gonadotropin) yang diberikan dari luar (melalui suntikan) akan memperlihatkan
pengaruh yang bersamaan waktunya bahkan lebih memperjelas kerja hormon
gonadotropin in vivo yang disekresikan setelah pencabutan implan progesteron.
Efek ganda dari dua sumber gonadotropin tersebut (eksogen dari suntikan PMSG
dan endogen akibat hilangnya pengaruh umpan balik negatif progesteron yang
ditarik dari peredaran) jelas akan merangsang secara intensif terjadinya proses
pertumbuhan dan pematangan folikel yang berakhir dengan timbulnya estrus dan
ovulasi. Sebaliknya apabila PMSG baru diberikan pada saat pencabutan implan
progesteron, maka gonadotropin yang dihasilkan oleh hilangnya umpan balik negatif progesteron akan terlebih dahulu menyebabkan perkembangan beberapa
folikel dalam waktu dua sampai tiga hari sedangkan PMSG (gonadotropin) yang
diinjeksikan dari luar baru akan menyebabkan perkembangan folikel sekitar satu
sampai dua hari kemudian sehingga mengacaukan onset estrus dan menurunkan
intensitas estrus, Umumnya PMSG memberikan respons estrus tiga sampai empat
hari setelah perlakuan pieleman et al., 1993), sedangkan progesteron yang
diimplan dari beberapa hasil penelitian terdahulu bekerja dua sampai tiga hari
sehingga kerja kedua hormon menjadi tidak sinkron, oleh karenanya terjadi pola
estrus yang tidak teratur. (Lampiran 1)
Tabel 3. Pengaruh waktu pemberian PMSG pada perlakuan penelitian terhadap keeepatan timbulnya (onset) estrus dan intensitas estrus
Perlakuan
P4 + PMSG 300 IU P4 + PMSG 500 JU
Jumlah / Rataan
Waktu pemberian PMSG Sebelum pencabutan P4 Saat Banyaknya
ternak (ekor)
1
2
,
3 Banyaknya ternak (ekor) 1 2 3 Onset estrus (hari) 2 1,1 4 5Pada tahap ini persentase estrus yang dicapai sama dan intensitas serta
kecepatan timbulnya estrus tidak terlalu jauh berbeda, namun demikian
pengamatan secara individu terhadap intensitas estrus antara lain pengeluaran
lendir dan kebengkakan vulva pada pemberian PMSG dua hari sebelum
pencabutan progesteron dengan dosis 300 IU dan 500 IU, lendir vagina terlihat
jernih dan kebengkakan vulvanya jelas, sedangkan pada pemberian PMSG pada
saat pencabutan progesteron lendir terlihat kabur dan kebengkakan vaginanya
kurang jelas (Lampiran 2).
Pengaruh Pemberian Implan Progesteron dan PMSG serta Kombinasinya
Respons Timbulnya Estrus
Yang dimaksud dengan respons timbulnya estrus adalah persentase ternak
yang estrus yang dicapai serta kecepatan timbulnya (onset) estrus (hari) yang
diamati sejak pencabutan implan progesteron sampai temak menunjukkan gejala-
gejala klinis awal seperti pembengkakan pada vulva dan keluar lendir transparan
selain gejala diam bila dinaiki dan menaiki ternak lainnya. Berdasarkan hasil
penelitian pendahuluan, maka pada penelitian tahap I1 ditetapkan waktu
pemberian PMSG adalah dua hari sebelum pencabutan implan progesteron dengan
dosis 300 IU dan 500
IU.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian progesteron, PMSG
dan kombinasinya memberikan respons estrus yang baik, dengan persentase
ternak yang estrus 95,7%. Hanya satu ekor saja dari perlakuan pemberian
progesteron tunggal yang tidak menampakkan gejala estrus (Tabel 4). Hal ini
mulai menghasilkan folikel pada fase proestrus karena dengan teori folikel kecil
membutuhkan waktu kira-kira lima sampai enam hari untuk pertumbuhan (Savio
et al., 1993). Ada kemungkinan ternak tersebut estrus pada hari keenam atau
lebih, sedangkan pengamatan estrus hanya