• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akselerasi pemunculan dan penyerentakan estrus serta keberhasilan konsepsi Post-partum melalui induksi hormon progesteron, PMSG dan kombinasinya pada Sapi Bali

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Akselerasi pemunculan dan penyerentakan estrus serta keberhasilan konsepsi Post-partum melalui induksi hormon progesteron, PMSG dan kombinasinya pada Sapi Bali"

Copied!
158
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)

AKSELERASI PEMUNCULAN DAN PENYERENTAKAN ESTRUS

SERTA KEBERIIASlLAN KONSEPSI POST-PARTUM MELALUI

INDUKSI HORMON PROGESTERON, PMSG DAN

KOMBINASINYA PADA SAP1 BALI

OLEH

:

RIKA HARYANI

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(86)

ABSTRAK

RIKA HARYANI, Akselerasi Pemunculan dan Penyerentakan Estrus serta Peningkatan Angka Konsepsi Post-partum melalui Induksi Hormon Progesteron,

PMSG dan Kombinasinya pada Sapi Bali. Dibimbing oleh MOZES R.

TOELIHERE dan TUTY L. YUSUF

Sapi Bali di Sulawesi Selatan cenderung mengalami anestrus post-partum yang panjang (empat sampai enam bulan, bahkan lebih). Hal ini pada umurnnya disebabkan oleh kondisi pakan yang kurang mendukung, yang dapat menyebabkan ketidak seimbangan hormonal dalam tubuh. Untuk itu dilakukan penelitian yang bertujuan untuk meningkatkan efisiensi reproduksi dengan mempercepat sekaligus menyerentakkan estrus post-partum serta meningkatkan angka kebuntingan post- partum pada peternakan rakyat di Sulawesi Selatan.

Penelitian ini terdiri atas dua tahap. Tahap I merupakan penelitian pendahuluan untuk menentukan waktu pemberian PMSG, dimana ternak percobaan diberi PMSG dengan dosis 300 IU satu ekor dan dosis 500 IU dua ekor masing- masing pada saat pencabutan implan progesteron intravaginal demikian pula dengan pemberian PMSG dua hari sebelum pencabutan implan progesteron satu ekor dengan dosis 300 IU dan dua ekor dengan dosis 500 IU. Tahap I1 merupakan penelitian utarna menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) dengan empat perlakuan (waktu pemberian PMSG berdasarkan hasil penelitian pendahuluan) dan masing-masing terdiri atas enam ulangan yaitu (1) implan intravaginal progesteron (CIDR-B) selsuna sembilan hari, (2) pemberian PMSG 500 IU secara intra muskuler (im), (3) dan (4) kombinasi implan progesteron (CIDR-B) selama sembilan hari dengan PMSG (im) dua hari sebelum pencabutan implan dengan dosis PMSG masing-masing 300 IU dan 500 IU dengan pemberian pakan yang cukup dan tersedia di lokasi penelitian. Untuk mengetahui efektifitas penggunaan hormon-hormon tersebut dan kondisi fisiologis reproduksi pada masing-masing ternak, dilakukan pengambilan sampel darah pada setiap perlakuan dan analisis hormon progesteron.

(87)

PMSG, progesteron dan kombinasinya memberikan pengaruh yang sama (P>0,05) terhadap persentase estrus

dan

angka konsepsi, tetapi kecepatan timbulnya estrus berbeda (P<0,0 1) antara PMSG tunggal dengan perlakuan lainnya.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa kombinasi pemberian progesteron dengan PMSG menghasilkan respons penampilan reproduksi (estrus dan CR) yang lebih baik daripada mising-masing hormon secara tersendiri (tunggal). Peningkatan konsentrasi progesteron dalam darah te rjadi pada ternak yang bunting setelah hari ke-10 pasca Inseminasi Buatan (IB).

(88)

SURAT

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yafig berjudul :

AKSELERASI PEMUNCULAN DAN PENYERENTAKAN ESTRUS SERTA KEBERHASILAN KONSEPSI POST-PARTUM MELALUI INDUKSI HORMON PROGESTERON, PMSG DAN KOMBINASINYA PADA SAP1 BALI

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan

dapat diperiksa kebenarannya.

Bog r Juni 2002

%

k
(89)

AKSELERASI PEMUNCULAN DAN PENYERENTAKAN ESTRUS

SERTA KEBERHASILAN KONSEPSI POST-PARTUM MELALUI

INDUKSI HORMON PROGESTERON, PMSG DAN

KOMBINASINYA PADA SAP1 BALI

RIKA

HARYANI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Biologi Reproduksi

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(90)

Judul Tesis : Akselerasi Pemunculan dan Penyerentakan Estrus serta Keberhasilan Konsepsi Post-partum melalui Induksi Hormon Progesteron, PMSG dan Kombinasinya pada Sapi Bali

Nama : Rika Haryani

N R P : 99293

Program Studi : Biologi Reproduksi

Menyetujui :

1. Komisi Pembimbing

Prof Dr.drh. Mozes R. Toelihere, MSc. K e t u a

V

Dr.drh. Tuty L. Yusuf. MS Anggota

Mengetahui,

2. Ketua program Studi Biologi Rep ogram Pascasarjana

V

(91)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Surabaya, Jawa Timur pada tanggal 1 Oktober 1969

sebagai anak keempat dari lima bersaudara, anak dari pasangan H. Harun Iskandar dan

Hj. Hafsah M.

Penulis menamatkan pendidikan Sekolah Dasar Negeri Perak Barat I Surabaya

tahun 1982, Sekolah Menengah Pertama Negeri VII Surabaya tahun 1985 d m Sekolah

Menengah Atas Negeri VIII Surabaya pada tahun 1988.

Pada tahun 1993 penulis menamatkan pendidikan di Fakultas Peternakan

Universitas Hasanuddin Makassar. Dan tahun 1999 terdaftar sebagai mahasiswa

program magister pada Program Studi Biologi Reproduksi Program Pascasarjana,

Institut Pertanian Bogor, dengan beasiswa dari Departemen Pertanian, Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian, melalui Proyek Pembinaan Kelembagaan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian (ARMP II).

Sejak tahun 1993 hingga sekarang penulis bekerja sebagai staf peneliti Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian dan saat ini bertugas di Instalasi Penelitian dan

(92)

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Ilahi Rabbi atas segala nikmat dan karunia-Nya yang telah

dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan

tesis ini.

Ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada bapak Prof.

Dr. drh. Mozes R. Toelihere, MSc dan ibu Dr. drh. Tuty L. Yusuf, MS yang telah

banyak memberikan arahan, bimbingan, curahan pikiran, petunjuk dan dukungan yang

sangat berharga kepada penulis sejak penyusunan proposal hingga selesainya penulisan

tesis ini.

Kepada bapak Dr. Ir. Abdul Latief Tolleng, MSc dan Ir. Muhammad Yusuf di

Laboratorium Fisiologi dan Reproduksi Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin

Makassar, penulis tak lupa pula mengucapkan terima kasih atas segala bantuan dan

fasilitasnya. Kepada Kepala Dinas Peternakan Tingkat I1 Kabupaten Takalar beserta

stafnya khususnya bapak Muhidin, serta saudara Jaharuddin penulis ucapkan terima

kasih atas segala bantuannya.

Pada kesempatan ini penulis ingin pula menyampaikan terima kasih yang tak

terhingga kepada Ketua Bagian Reproduksi dan Kebidanan Fakultas Kedokteran Hewan

Institut Pertanian Bogor beserta staf dosen dan karyawan atas segala bantuan fasilitas

dan bimbingan selama penulis mengikuti pendidikan di Program Studi Biologi

Reproduksi Program Pascasarjana.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Kepala Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Kepala Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Kepala

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Selatan serta Pemimpin Proyek

(93)

Departemen Pertanian, atas izin, kesempatan dan dukungan dana yang diberikan kepada

penulis untuk mengikuti pendidikan program pascasarjana (S2) di IPB, sehingga proses

penyelesaian studi penulis dapat berjalan baik.

Akhirnya dengan segala kerendahan hati penulis persembahkan tesis ini kepada

suami tercinta Ir. Muhammad Arfandy Idris dan kedua ananda tercinta Muhammad

Ekafarik dan Muhammad Farhan. Penulis mengucapkan terima kasih yang talc

terhingga atas perhatian, dorongan dan pengertiannya selama penulis menempuh

pendidikan.

Penulis juga tak lupa mengucapkan terima kasih kepada orang tua,dan saudara-

saudara, serta rekan-rekan seperjuangan yang begitu banyak memberikan dorongan

moril sehingga penulis dapat melalui pendidikan ini dengan baik.

Penulis menyadari bahwa penulis belum dapat memberikan apa-apa kepada semua

pihak yang telah membantu, kecuali ucapan terima kasih yang tulus mudah-mudahan

bantuan yang diberikan mendapat pahala dan berkah dari Allah Subhanahu Wataala.

Amin.

Bogor, Juni 2002

(94)

DAFTAR IS1

Halaman

DAFTAR TABEL ... xi

DAFTAR GAMBAR ... xii

...

DAFTAR LAMPIRAN ...

.

.

... xttl PEND AHULU AN ... 1

Latar Belakang ...

.

.

.

... 1 Tujuan Penelitian ... 4 Manfaat Penelitian ...

.

.

... 4 Kerangka Pemikiran ... 4 Hipotesis ... 6

TINJAUAN PUSTAKA ... Fisiologi Reproduksi Sapi Bali ...

.

.

....

...

Estrus Pertama Pasca Melahirkan

... PMSG

Peranan Hormon Progesteron dan Penggunaannya ... Kombinasi Progesteron dan PMSG dalam Akselerasi

Estrus Post-partum ... Manaj emen Reproduksi ...

...

MATERI DAN METODE

... Tempat dan Waktu Peneiitian

Materi Penelitian ...

.

.

...

Metode Penelitian ...

.

.

... ...

Parameter yang Diamati

...

Rancangan Percobaan clan Analisis Statistik

... HASIL DAN PEMBAHASAN

... ...

Penentuan Waktu Pemberian PMSG

.

.

Pengaruh Pemberian Implan Progesteron dan PMSG serta

... ...

Kombinasinya

.

.

.

.

... Respons Timbulnya Estrus

Intensitas Estrus ...

.

.

.

.

...

...

Keberhasilan Kebuntingan

(95)

KESIMPULAN DAN SARAN ...

...

Kesimpulan

... ...

Saran

.

.

(96)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Perlakuan pada percobaan tahap I ... 24

2. Perlakuan pada percobaan tahap I1 ... 25

3. Pengaruh waktu p e r n b e r i a n ~ ~ ~ ~ pada perlakuan terhadap kecepatan

timbulnya (0nset)estrus dan intensitas estrus ... 29

4. Pengaruh progesteron, PMSG dan kombinasinya terhadap kecepatan

timbulnya (onset) estrus dan persentase estrus ... 3 1

5. Pengaruh progesteron, PMSG dan kombinasinya terhadap intensitas ...

estrus ...

.

.

.

.

3 6

6. Pengaruh progesteron, PMSG dan kombinasinya terhadap

keberhasilan kebuntingan ...

.

.

...
(97)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Rataan kecepatan timbulnya estrus akibat perlakuan. I. Progesteron,

II. PMSG, 111. P4+PMSG 3200IU, IV. P4+PMSG 500 IU ... 33

2. Angka kebuntingan (CR) akibat perlakuan. I. Progesteron,

...

II. PMSG, III. P4+PMSG 300 IU, IV. P4+PMSG 500 IU 3 8

3. Profil hormon progesteron induk sapi Bali pa& keempat

(98)

DAFTAR LAMPIRAN

1 . Tabel pengaruh perlakuan terhadap kecepatan estrus tahap I ...

2 . Tabel pengaruh perlakuan terhadap intensitas estrus tahap I ... 3 . Uji Khi-kuadrat

(x2)

terhadap persentase estrus setelah perlakuan

progesteron. PMSG dan kombinasinya ...

4 . Uji Khi-kuadrat

(x2)

terhadap angka kebuntingan (CR) setelah

perlakuan progesteron, PMSG dan kombinasinya ...

..

5 . Tabel hasil analisis Ria ...

Halaman

55

(99)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Daerah Sulawesi Selatan dikenal sebagai pemasok utama ternak potong

khususnya sapi dan kerbau dalam pengadaan ternak nasional. Sejak tahun 1976

Sulawesi Selatan sudah termasuk propinsi yang memiliki populasi sapi Bali

terbanyak di Indonesia, mencapai 420.000 ekor, menyusul propinsi Nusa

Tenggara Timur 401.000 ekor, dan pulau Bali sebanyak 363.000 ekor

(DITJENNAK, 1976). Lebih dari 20 tahun kemudian dilaporkan populasi sapi

potong di propinsi-propinsi berikut : Bali 53 5.100 ekor; Nusa Tenggara Barat

440.600 ekor; Nusa Tenggara Timur 8 13.200 ekor; dan Sulawesi Selatan dengan

populasi sapi sebagian besar terdiri atas sapi Bali, mencapai 864.900 ekor

(DITJENNAK, 1999). Sapi Bali memberikan kontribusi yang besar dalam upaya

meningkatkan pendapatan petani di Sulawesi Selatan. Peluang pasar sapi potong

di daerah ini sangat cerah sehingga komoditi tersebut cukup strategis dijadikan

usaha yang dapat meningkatkan pendapatan petani rnaupun kalangan pengusaha

peternakan.

Permasalahan yang ditemukan pada peternakan sapi rakyat di Sulawesi Selatan adalah kecenderungan sapi Bali mengalami masa anestrus post-partum

yang panjang, berkisar antara empat sampai enarn bulan, bahkan lebih. Dengan

kata lain timbulnya estrus post-partum yang lambat menyebabkan interval antar

kelahiran yang panjang. Timbulnya estrus post-partum yang lambat ini pada

umumnya disebabkan oleh kondisi pakan yang kurang mendukung, seperti yang

dinyatakan oleh Pane (1991) bahwa kekurangan pakan pada ternak setelah

(100)

sampai 18 bulan. Dari beberapa hasil penelitian mengenai estrus post-partum

pada sapi Bali, kisaran rnasa anestrus post-partum empat sampai enam bulan

merupakan ha1 yang biasa ditemukan pada sapi Bali di Indonesia pada umumnya.

Tetapi percepatan timbulnya estrus post partum merupakan suatu usaha untuk

meningkatkan efisiensi reproduksi ternak tersebut.

Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mempercepat estrus post-

partum antara lain. melalui pemberian kombinasi hormon progesteron (CIDR-B)

dan Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG). Meskipun harga preparat

hormon ini cukup tinggi tetapi secara ekonomis dapat meningkatkan pendapatan

bila ditinjau dari segi keefektifan kerja hormon tersebut. Pemberian preparat

hormon ini selain mempercepat estrus post-partum sekaligus mensinkronkan

estrus sehingga dapat diantisipasi dan diperkirakan waktu inseminasi secara tepat

dan serentak, terutama ternak pada peternakan sapi rakyat yang dipelihara secara

ekstensif dimana temak digembalakan pada padang rumput, jarang dilihat, jarang

dikandangkan dan pendeteksian estrusnya cukup sulit dilakukan. Selain itu

peternak dapat mengatur waktu kelahiian yang disesuaikan dengan ketersediaan

pakan pada musim tertentu, sehingga dapat mempertahankan efisiensi waktu dan

tenaga kerja serta efisiensi reproduksi, juga untuk penyesuaian produksi dengan

kebutuhan pasar. Keuntungan lain dari penggunaan preparat hormon dapat

memunculkan berahi pada sekelompok ternak secara serentak dan musim

perkawinan dapat dipersingkat sehingga dapat menghemat biaya terutama bila

perkawinan menggunakan teknologi IB.

Aktivitas reproduksi merupakan manifestasi tampilan status b l i ternak

(101)

reproduksi. Manifestasi aktivitas ovarium ternak betina berupa siklus estrus yang

dipengaruhi oleh keseimbangan hormon kelamin yaitu progesteron dan estrogen. Perubahan kadar progesteron dapat dipakai sebagai salah satu petunjuk tentang

aktivitas ovarium, yaitu pembentukan corpus luteum dan secara tidak langsung

dapat digunakan untuk pendugaan terhadap pembentukan folikel pada ovarium

yang dimanifestasikan dalam bentuk tanda-tanda estrus.

Progesteron yang diimplan secara intravaginal akan menekan aktivitas

ovarium dengan menghambat sekresi gonadotropin (FSH dan LH) untuk

sementara waktu melalui mekanisme umpan balik negatif. Setelah implan

tersebut dicabut pengaruh hambatan dari progesteron akan hilang dan

gonadotropin akan segera disekresikan kembali dalam jumlah yang lebih banyak,

kemudian te rjadi proses pertumbuhan dan pematangan folikel sehingga te rjadi

ovulasi.

Aktivitas biologis PMSG menyerupai FSH dan LH namun lebih dorninan

peranan FSH-nya. PMSG yang disuntikkan pada ternak akan langsung

mempengaruhi aktivitas ovarium dengan terjadinya pertumbuhan folikel, sehingga

pemberian dalam jumlah kecil bersama dengan progesteron diharapkan akan

lebih meningkatkan perhunbuhan folikel dan ovulasi.

Berdasarkan fenomena-fenomena tersebut diatas, telah dilakukan suatu

penelitian yang bertujuan untuk mempercepat dan menyerentakkan estrus serta

meningkatkan angka kebuntingan post-partum sapi Bali pada peternakan

rakyat di Sulawesi Selatan dengan menggunakan hormon progesteron (CIDR-

(102)

Tujuan Penelitian

Tujuan umum penelitian ini adalah meningkatkan efisiensi reproduksi

dengan mempercepat dan menyerentakkan estrus post-partum sapi Bali sehingga

dapat mencapai angka konsepsi yang tinggi, khususnya pada peternakan rakyat di

Sulawesi Selatan, melalui pemberian kombinasi hormon progesteron (CIDR-B)

dan PMSG.

Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui besarnya dosis

serta waktu penyuntikan PMSG dan kombinasinya dengan progesteron yang lebih

tepat untuk akselerasi, sinkronisasi dan peningkatan intensitas estrus post-partum,

sehingga dapat mencapai angka konsepsi yang tinggi.

Manfaat Penelitian

Penggunaan hormon progesteron yang dikombinasikan dengan PMSG

dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan angka konsepsi terutama pada sapi Bali

anestrus post-partum, sehingga produktivitas ternak tersebut pada peternakan

rakyat di Sulawesi Selatan meningkat secara berkesinambungan.

Kerangka Pemikiran

Secara alami progesteron dihasilkan oleh sel-sel luteal corpus luteum, plasenta

dan kelenjar adrenal. Daya kerja progesteron yang berada pada fase luteal

(kurang lebih 14 hari) adalah melalui umpan balik negatif terhadap hipothalamus

dan adenohipofisis yang menghambat sekresi gonadotropin (FSH dan LH),

sehingga tidak terjadi pematangan folikel ovulatory ; folikel akan kembali

berkembang pada siklus yang normal apabila kadar hormon progesteron tersebut

(103)

estrus karena pengaruh prostaglandin F2a (PGF2a) yang dihasilkan oleh

endometrium sehingga gonadotropin dapat disekresikan dalam jumlah yang

memadai. Hewan kembali memperlihatkan berahi dan berovulasi atas pengaruh

gonadotropin tersebut.

Diduga kejadian anestrus post-partum disebabkan oleh rendahnya kadar

hormon gonadotropin di dalam darah akibat kekurangan gizi yang menyebabkan

ovarium tidak berfbngsi dengan baik (hipofbngsi ovarium), folikel tidak

berkembang dan hewan tidak estrus karena kekurangan hormon estrogen yang

seharusnya dihasilkan oleh folikel yang matang. Di samping itu anestrus post-

partum dapat juga disebabkan oleh karena corpus luteum yang menetap (corpus

luteum persisten, CLP) akibat infeksi pada endometrium (endometritis) yang

menghambat produksi PGF2a sehingga CL tidak dilisiskan dan kadar progesteron

di dalam darah tetap tinggi yang menghambat sekresi gonadotropin (FSH dan

LH), tidak terjadi pertumbuhan folikel dan tidak terjadi estrus. Pengembalian

hngsi ovarium normal dapat diinduksi dengan pemberian progesteron atau

dengan tambahan pregnant mare serum gonadotropin (PMSG). Pemberian

progesteron eksogen akan membendung sekresi gonadotropin, tetapi bendungan

tersebut akan segera terlepas apabila progesteron ditarik d a i peredaran darah

sehingga menyebabkan ovarium kembali berfbngsi secara normal dan sapi akan

estrus.

Pemberian progesteron tunggal pada kasus ini diduga mempunyai hasil

fertilisasi yang rendah. Dengan demikian penambahan PMSG (FSH dan LH)

diperlukan untuk lebih menginduksi folikulogenesis sesudah penarikan

(104)

Pregnant mare serum gonadotropin mempunyai waktu paruh yang cukup lama

(empat sampai enam hari) dimana dalam pemberiannya perlu diketahui saat yang

lebih tepat untuk mampu merangsang folikulogenesis. Oleh karena itu perlu

dibuktikan bahwa pemberian PMSG dua hari sebelum pencabutan implan

progesteron lebih baik daripada pemberian PMSG pada saat pencabutan implan

progesteron.

Hipotesis

1. Pemberian progesteron tunggal dan PMSG tunggal maupun kombinasi

progesteron dengan PMSG dapat digunakan untuk menggertak pemunculan

estrus post-partum pada sapi Bali.

2. Kombinasi progesteron dengan PMSG akan meningkatkan keserentakan dan

intensitas estrus yang diikuti dengan ovulasi sehingga mempertinggi angka

konsepsi dibandingkan dengan pemberian progesteron tunggal atau PMSG

tunggal.

3. Pemberian PMSG dua hari sebelum pencabutan implan hormon progesteron

lebih baik dalam respons penyerentalcan estrus dibandingkan pemberian

PMSG pada saat pencabutan implan hormon progesteron.

4. Dosis PMSG yang optimal antara 300 dan 500

IU

akan menyebabkan respons

estrus yang lebih baik.

5. Konsentrasi progesteron dalam darah meningkat setelah hari ke- 10 pasca

(105)

TINJAUAN PUSTAKA

Fisiologi Reproduksi Sapi Bali

Sapi Bali dan sapi Peranakan Onggol (PO) yang dipelihara petani

mempunyai fungsi ganda, disamping sebagai sumber tenaga kerja juga sebagai

penghasil daging yang sangat dibutuhkan. Akan tetapi sampai saat ini sub sektor

peternakan belum mampu memenuhi standar minimum kebutuhan protein hewani

masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh salah satu faktor yaitu relatif

rendahnya peningkatan populasi ternak, khususnya ternak sapi di Indonesia.

Dilihat dari potensi produksi dan reproduksi sapi Bali dan Peranakan Ongole serta

daya adaptasi terhadap kondisi tropis maka kedua bangsa sapi tersebut

mempunyai peluang besar untuk lebih ditingkatkan produktivitasnya melalui

perbaikan manajemen pemeliharaan yang optimal serta penerapan teknologi

secara tepat.

Siklus estrus merupakan interval antara timbulnya satu periode estrus ke

permulaan periode estrus berikutnya. Siklus estrus pada sapi berlangsung selama

rata-rata 21 hari, bervariasi antara 18 sampai 24 hari (Partodihardjo, 1992 dan

Toelihere, 1985), sedangkan panjang satu siklus estrus tidak selalu sama pada

setiap individu sapi.

Siklus estrus pada sapi Bali sama dengan ternak lainnya, yang berkisar

antara 17 dan 27,4 hari, rata-rata 21,4

hari

(Toelihere et al., 1989). Demikian

pula yang dilaporkan oleh Fattah (1998) panjang siklus estrus pada sapi bali

berkisar antara 17 sampai 24 hari, meskipun ada yang mencapai lebih dari 24 hari.

Tingginya persentase jarak siklus estrus panjang pada ternak-ternak menurut

(106)

atau kombinasi dari faktor-faktor berikut ini : estrus yang tidak terdeteksi,

gangguan ketidakseimbangan hormonal dan faktor makanan. Menurut

Partodihardjo (1992) panjang siklus estrus disebabkan oleh bermacam-macam hal,

namun keadaan ini hampir selalu mempunyai hubungan dengan kelainan fbngsi

hormonal.

Estrus adalah suatu kegiatan fisiologik pada hewan betina yang

dimanifestasikan dengan memperlihatkan keinginan kawin dan penerimaan jantan

oleh hewan betina dewasa yang berlangsung dalarn suatu periode yang terbatas,

atau merupakan periode seksual pada ternak yang dikarakteristikkan dengan

keinginan untuk kiiwin.

Estrus adalah bagian dari siklus berahi dimana pada kondisi ini hewan

betina mau menerima jantan untuk aktivitas reproduksi (Partodihardjo, 1992).

Dikatakan pula bahwa estrus merupakan periode dimana sapi menerima aktivitas

seksual dan ditandai dengan diam bila dinaiki sapi lain, baik jantan maupun betina

(Philips, 1993 dalam Gordon, 1994). Lama periode estrus pada sapi bervariasi

berdasarkan bangsa, manajemen dan berbagai faktor lingkungan, yaitu berkisar

antara tiga sampai 28 jam dengan rataan selama 12 sampai 16 jam (Allrich, 1993).

Payne dan Rollinson (1973) d m Mulyono (1977) menyatakan bahwa,

lama estrus pada sapi Bali dan banteng liar berada pada kisaran 18 sampai 48 jam.

Sedangkan Toelihere et al. (1989) menemukan lama estrus sapi Bali di pulau

Timor rata-rata 22,96 jam. Selanjutnya hasil penelitian Darmadja (1 980)

menunjukkan lama estrus pada sapi Bali di pulau Bali rata-rata 25,58 jam. Pada

penelitian lainnya diperoleh lama periode estrus yang hampir sama dan tidak

(107)

menunjukkan bahwa lama estrus pada musim kemarau (19,85 jam) relatif lebih

singkat daripada musim hujan atau akhir musim hujan (21,38 jam), walaupun

secara statistik tidak berbeda nyata.

Di daerah beriklim sedang tern& sapi estrus 15 sampai 18 jam (Hammond

d m Marshall, 1958; Lesley et al, 196 1 ; Esslemont d m Bryant, 1976 dalam Fattah,

1998). Dibandingkan dengan bangsa sapi di daerah beriklim sedang, estrus pada

sapi Bali cukup lama. Menurut Partodihardjo (1992) lama estrus pada sapi

Ongole dan PO diperkirakan lebih pendek daripada sapi Bali.

Umumnya ovulasi terjadi 10 sampai 12 jam setelah akhir estrus yang

dinyatakan sebagai hari kesatu dari siklus estrus. Ovulasi adalah proses pelepasan

sel telur dari folikel matang atau folikel de Graaf.

Hafez (1987) menjelaskan, bahwa secara morfologik proses ovulasi terjadi

akibat menipisnya dinding folikel karena semakin bertambahnya cairan folikel

sehingga tidak terjadi vaskularisasi pada bagian yang semakin menipis, dan

dinding folikel pada bagian tersebut pecah. Keadaan ini dimanfaatkan oleh cairan

antrum folikel untuk menyusup masuk menggantilcan tempat rupturnya sel-sel

granulosa. Akibat tekanan yang makin h a t , dinding folikel pecah sehingga

cairan antrum bersama ovum akan terlontar keluar, dan peristiwa ini disebut

ovulasi,.

Disamping proses mekanik terjadi pula proses kirniawi dalam ovulasi.

Proses kimiawi ini terjadi pada folikel de Graaf sewaktu mensekresikan estrogen

yang bekerja memberi umpan balik positif kepada hipofisis melalui hipotalamus

untuk melepaskan GnRH-LH yang menstimulasi sekresi LH. Luteinizing hormon

(108)

Diduga hiperemia ini mungkin menstimulir enzim proteolitik seperti kolagenase

yang akan mengadakan pemisahan kumulus dari sekeliling folikel. Dengan

demikian kerja enzim-enzim proteolitik melemahkan dinding folikel dan terjadi

suatu daerah vaskuler untuk stigma dan ovulasi pada daerah penonjolan

superfisial dimana dinding folikel tidak didukung oleh stroma folikel dan terjadi

ovulasi. Setelah ovulasi terbentuk corpus luteum (CL) pada bekas folikel yang

telah pecah dan mulai mensekresikan progesteron. CL terbentuk dari diferensiasi

sel-sel folikel preovulatoris setelah lonjakan pelepasan LH ( Davis et al., 1996 ),

Toelihere (1985) mengatakan bahwa penyerentakan estrus dan ovulasi

dimaksudkan untuk mempertinggi kemungkinan pertemuan ovum dengan sperma

dalam proses pembuahan untuk memulai pertumbuhan dan perkembangan

individu baru.

Lama estrus pada sapi Bali berlangsung 18-48 jam, lebih lama daripada

ternak sapi di daerah beriklim sedang. Kemungkinan ha1 ini ada hubungannya

dengan angka kesuburan yang cukup tinggi. Selain itu sapi Bali mempunyai

kemampuan adaptasi yang sangat baik dan sanggup tumbuh subur pada tingkat

pakan yang jelek (Payne, 1970), serta toleransi terhadap kondisi panas yang

cukup tinggi, sesuai dengan pendapat Atmadilaga (1959) dalam Fattah (1998).

Pane (1991) melaporkan angka kesuburan sapi Bali mencapai 88 %.

Demikian halnya dengan laporan Darmadja (1980) yang memberikan hasil

85,85%. Nilai ini nyata lebih tinggi daripada angka kesuburan bangsa sapi

lainnya. Andrews (1972) dan Daniel et al. (1972) dalam Fattah (1998)

menyatakan angka kesuburan pada Bos Taurus berkisar antara 50 sampai 70 %.

(109)

lama berahi, ha1 ini diperkuat oleh Austin dan Bhisholp (1957) dalam Fattah

(1998) yang menyatakan, pada jenis mamalia yang mempunyai lama berahi

panjang akan lebih fertil dibandingkan yang mempunyai lama berahi pendek.

Estrus Pertama Pasca Melahirkan

Segera setelah terjadi kelahiran, estrus akan timbul kembali sesuai dengan

siklus estrus dan involusi uteri. Hafez (1987) menyatakan bahwa segera setelah

kelahiran akan terjadi fase anestrus. Lamanya fase anestrus tersebut dipengaruhi

oleh laju involusi uteri, laju perkembangan folikel dalam ovarium, konsentrasi

gonadotropin hipofisial dan periferal, level estrogen dan progesteron periferal

serta perubahan dalam bobot tubuh dan intake energi (Stevenson dan Britt, 1980

dalam Darodjah, 199 1).

Umumnya kasus anestrus diakibatkan oleh serangkaian folikel dominan

yang gaga1 berowlasi karena penurunan konsentrasi estradiol yang diproduksi sel-

sel granulosa di dalam ovarium untuk menstimulasi lonjakan LH. Kondisi ini

mengakibatkan tidak terjadinya fertilisasi sehingga ternak dapat memperlihatkan

estrus kembali dan sebagai konsekuensinya te rjadi perpanjangan interval antar

kelahiran (Roche et al., 1992).

Rataan jarak dari beranak sampai estrus kembali pada sapi, umurnnya

adalah 61 hari. Hal ini dipengamhi oleh keadaan induk yang sedang menyusui,

dan tingkat pakan sebelum dan sesudah beranak (Warnick, 1955 dalam Liwa,

1990). Sementara Liwa (1990) mengutip Wiltbank (1970), menyatakan sapi

beranak dipengaruhi oleh umur induk saat beranak. Pane (1979) dalam

(110)

menunjukkan estrus kembali setelah beranak dalam waktu dua sampai dengan

enam bulan.

Tingkat reproduksi pada ternak merupakan faktor penting dan merupakan

potensi yang dimiliki oleh ternak yang bersangkutan. Besarnya potensi tersebut

dapat berbeda pada individu yang sama. Nilai tingkat reproduksi sangat terkait

dengan kemampuan reproduksi yang juga berhubungan langsung dengan efisiensi

reproduksi. Peters dan Ball (1987) menyatakan bahwa tingkat reproduksi ini

merupakan faktor penting dalam menetapkan efisiensi reproduksi ternak.

Selanjutnya dinyatakan bahwa sebaiknya temak sapi betina melahirkan sekali

dalam setahun. Hal ini dimaksudkan untuk mengoptimalkan jarak kelahiran.

Jarak kelahiran dapat dibagi dalam dua komponen 1) interval antara

kelahiran dan konsepsi dan 2) periode kebuntingan. Komponen pertama

merupakan interval waktu dari terjadinya kelahiran hingga terjadinya kebuntingan

berikutnya. Komponen ini merupakan faktor pokok yang menentukan jarak

kelahiran dan selanjutnya merupakan parameter yang biasa digunakan untuk

memanipulasi jarak kelahiran. Komponen kedua merupakan periode kebuntingan

yang secara normal terjadi antara 280-285 hari pada ternak sapi dan akan

bervariasi tergantung pada pengaruh genetik tetuanya, dan hanya dapat

diperpendek dengan induksi kelahiran (Peters dan Ball, 1987).

Untuk dapat menghasilkan anak setiap tahun atau sekitar 12 bulan, induk

harus dikawinkan paling lambat 85 hari setelah beranak ; dengan kata lain interval

antara kelahiran dan konsepsi harus tidak lebih dari 85 hari. Dalam ha1 ini harus

diperhatikan dua ha1 yakni ; 1) interval antara kelahiran dengan perkawinan

(111)

dapat dikawinkan hanyalah betina yang sedang berahi dan untuk mengetahui ha1

tersebut hams dilakukan pengamatan antara 40-60 hari sesudah induk beranak

(Barret dan Larkin, 1974). Devendra et al. (1979) melaporkan sapi Bali di

Malaysia berahi kembali 182,4 k 10,3 hari, sedangkan Darmadja (1980)

melaporkan bahwa di pulau Bali sapi Bali berahi kembali setelah beranak

dipengaruhi oleh pola tanam.

Penelitian ini akan menekankan manipulasi dengan induksi berahi pada

interval antara kelahiran dengan perkawinan pertama hingga terjadinya konsepsi.

Pelaksanaan perkawinan dilakukan dengan metode inseminasi buatan.

Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG)

Pregnant Mare Serum Gonadotropin adalah hormon gonadotropin yang

terdapat di dalam serum kuda bunting. PMSG akhir-akhir ini lebih dikenal

dengan sebutan Equine Chorionic Gonadotropin atau eCG (Jainudeen dan Hafez,

1987). Tujuan penggunaan hormon gonadotropin adalah untuk menginduksi

pematangan folikel, estrus dan ovulasi. Menurut Hendrics dan Hill (1978) PMSG

dapat digunakan untuk meningkatkan jumlah folikel de Graaf dan jumlah ovulasi. Walaupun demikian terdapat variasi individu ternak terhadap keragaman respons.

Cole dan Hart (1930) dalam McDonald (1980) melaporkan bahwa sumber

PMSG adalah mangkok endometrium kuda bunting pada umur kebuntingan 40

sampai 140 hari. Kadar PMSG di dalam serum darah mencapai puncaknya pada

umur kebuntingan 60 sampai 110 hari, sedang Allen dan Stewart (1978)

mengemukakan bahwa kadar tertinggi tercapai pada kebuntingan hari ke 55

(112)

Menurut Reeves (1987) secara kimiawi PMSG mempunyai struktur yang

mirip dengan FSH dan LH. PMSG merupakan hormon glikoprotein dengan berat

molekul60.000 Dalton yang terdiri atas dua sub unit, yaitu sub unit a dan sub unit

p.

PMSG memiliki kandungan karbohidrat yang tinggi terutama pada gugus asam

sialat. Konsentrasi asam sialat yang tinggi ini diduga menyebabkan masa paruh

PMSG cukup panjang bila dibandingkan dengan hormon gonadotropin yang

lainnya.

Alfbraiji et al. (1993) dan Moore (1984) menyatakan bahwa keuntungan

menggunakan PMSG untuk merangsang peningkatan pertumbuhan folikel

preovulatoris adalah, tersedia dalam jumlah yang besar dengan harga murah dan

penggunaannya cukup hanya diberikan satu kali saja karena memiliki masa paruh

yang panjang. Waktu paruh PMSG menurut Papkoff (1978) dan Reeves (1987)

berkisar antara 6 sampai 7 hari.

Peranan Hormon Progesteron dan Penggunaannya

Progesteron dihasilkan oleh sel-sel luteal pada corpus luteum, plasenta dan

kelenjar adrenal (Hafez, 1987). Selanjutnya dikatakan bahwa, pada level yang

tinggi di dalam darah progesteron

akan

rnenghambat terjadinya estrus dan

peiepasan LH. Progesteron penting dalam pengaturan hormonal pada siklus

estrus. Adanya progesteron dapat memperlambat kontraksi uterus oleh pengaruh

estrogen

Partodihardjo (1992) menerangkan bahwa progesteron termasuk

progestagen yaitu kelompok steroid yang terdiri atas 21 atom karbon, dan hanya

progesteronlah yang mempunyai khasiat jauh melebihi progestagen yang lain.

(113)

yaitu, (1) menghambat kontraksi myometrium, (2) merangsang tumbuhnya

kelenjar-kelenjar susu uterus pada endometrium, dan (3) pada spesies tertentu

implantasi setelah diikuti oleh proses perkembangan sel-sel permukaan

endometrium yang menerima blastosis yang disebut deciduom.

Progesteron merubah hngsi ovarium pada sapi dan dalam dosis yang

cukup akan menghambat ovulasi. Progesteron eksogen diberikan untuk

menginduksi konsentrasi yang lebih rendah, sama atau lebih besar daripada level

fisiologik. Tergantung pada dosisnya, progesteron eksogen akan menghambat

perkembangan folikel dominan apabila diberikan selama fase pertumbuhan

(Adams, 1994).

Pembentukan maupun regresi corpus luteum diinterpretasikan dengan

turun naiknya kadar progesteron dalam plasma darah, dan perubahan kadar

progesteron tidak selalu diikuti oleh tampakan tanda-tanda estrus secara klinis,

karena estrus ditentukan oleh tingginya kadar estrogen di dalam darah. Keduanya

mengatur kejadian siklus estrus di dalam keseimbangannya (Wijono, 1998).

Selanjutnya dikatakan bahwa hormon progesteron selama periode siklus estrus

menunjukkan fluktuasi yang teratur, merupakan manifestasi adanya aktivitas

ovarium. Kadar progesteron mempunyai variasi tingkatan kandungan, pada saat

kurang dari 1 ng/ml dapat digunakan untuk pendugaan terjadinya estrus, dan

kadar progesteron lebih dari 3 ng/ml mengarah terjadinya kebuntingan atau

pembentukan corpus luteum.

Menurut Toelihere (1985) pemberian progesteron yang dimasukkan ke

dalam vagina dengan bantuan spons atau sejenisnya akan terjadi penyerapan

(114)

ovulasi, dan pada waktu spons tersebut dicabut kembali maka betina tersebut akan

berahi beberapa hari kemudian. Pemberian progesteron pada sapi yang

diovariektomi menekan keluarnya LH (Beak et al., 1976 dalam Kinder et al.,

1996). Mann dan Lamming (1995) menyatakan bahwa progesteron bertanggung

jawab untuk menstimulir beberapa faktor yang berhubungan dengan produksi

PGF2a dan menekan perkembangan reseptor oksitosin di dalam uterus.

Beberapa cara pemberian progesteron yaitu secara oral melalui pakan,

injeksi setiap hari, spiral vagina dan implan subkutan. Selanjutnya digunakan

Progesterone Releasing Intravagnal Device

(PRID)

clan akhir-akhir ini dikembangkan lagi Controlled Internal Drug Release ( O R ) yang berisi

progesteron alami (Macmillan and Peterson, 1993). Selanjutnya Revah dan Butler

(1996) melaporkan bahwa preparat progesteron seperti Melangestrol asetate

(MGA), Controlled Internal Drug Release Bovine Device (CIDR-B), Progesterone

Releasing Intravaginal Device (PRID) dan Norgestomet Implant (Syncro-Mate B)

telah digunakan untuk kegiatan sinkronisasi estrus pada ternak sapi. Bersamaan

dengan metode pemberian implan intravaginal maupun implan subkutan pada

telinga, periode pemberian juga dipersingkat, dari sekitar 14 hari menjadi h a n g

dari 10 hari (Jochle, 1993)

Beberapa peneliti melaporkan penggunaan progestin selarna lebih dari

tujuh hari menghasilkan sinkronisasi yang bagus tetapi mempunyai daya fertilisasi

yang rendah setelah di IB pada estrus pertama (Stock dan Fortune, 1993).

Sedangkan implan tepat pada tujuh hari memperlihatkan respons estrus 60 sampai

(115)

pada metestrus selama 12 hari menghasilkan luteolisis prematur sebanyak 5 %

sapi dasa. Menurut InterAg (1996), pada sapi potong penggunaan CIDR

sebaiknya tidak kurang dari 9 hari dan respons estrus yang dicapai adalah 80

sampai 90 %.

Macmillan dan Peterson (1993) mengemukakan bahwa konsentrasi atau

kandungan hormon progesteron di dalam kemasan CIDR adalah sebesar 1,9 gram.

Hal ini berarti bahwa penggunaan progesteron dalam kemasan ini jika dilakukan

dalam waktu relatif singkat (lima sampai sembilan hari) akan memberikan

efisiensi yang lebih tinggi karena progesteron pada kemasan ini dapat digunakan

lagi dalam kegiatan sinkronisasi berikut baik pada ternak yang sama maupun pada

ternak lain. Penggunaan ulang CIDR dalam kegiatan sinkronisasi telah

dibuktikan pula oleh Macmillan et al. (1991 dan 1993) dan Bo et al. (1995).

Kombinasi Progesteron dan PMSG dalam Akselerasi Estrus Post-partum.

Gonadotropin adalah hormon yang mempengaruhi gonad, Ada beberapa

macam hormon gonadotropin diantaranya adalah pregnant mare serum

gonadotropin (PMSG). PMSG sering digunakan setelah pemberian progesteron

untuk menstimulasi estrus dan ovulasi pada sapi anestrus.

Dari beberapa hasil penelitian penggunaan tunggal hormon progesteron

dalam sinkronisasi estrus memberi respons estrus yang tinggi jika dilakukan

dalam waktu yang panjang sesuai umur corpus luteum, namun angka konsepsi

yang dicapai umurnnya rendah ( Jochle, 1993 ; Savio et al., 1993 ; Stock &

Fortune, 1993 dan Wehrman et al., 1993). Sedangkan pemberian progesteron

bersama Pregnant Mare Serum Gonadotropin (PMSG) pada sapi kurang dari 60

(116)

perlakuan progesteron (Roche et al., 1992). Secara fisiologis PMSG sangat aktif

menyebabkan pertumbuhan folikel dan sedikit luteinisasi (Toelihere,1985).

Pemakaian PMSG telah digunakan untuk sapi penderita anestrus yang

disebabkan oleh hipofbngsi ovarium, 55 % sapi mengalami kesembuhan setelah

pemberian PMSG dengan dosis 1 500 sarnpai 2000

IU

(Suardi, 1989).

Pemanfaatan hormon gonadotropin telah digunakan untuk melihat

pengaruh pembatasan energi pada respons penyerentakan berahi setelah beranak

pada sapi Charolais dengan memberikan implan Norgestomet dan 600

IU

PMSG

(Cronogest PMSG ND). Hasil penelitian memperlihatkan tidak ada pengaruh

pembatasan sumber energi antara kelompok sapi yang diberi pakan sumber energi

standar (100 %)

dan

kelompok sapi yang diberi pakan sumber energi yang

dikurangi (70 %). Semua sapi menunjukkan puncak LH dan ovulasi setelah perlakuan yang diperlihatkan oleh puncak progesteron, dan setelah IB hanya satu

ekor sapi dari masing-masing kelompok yang tidak bunting (Grimard et al.,

1994).

Untuk mengatasi masalah anestrus serta untuk sinkronisasi estrus periode

post partum telah dicoba penggunaan PRID (progesterone intrmagrnal releasing

device), baik yang diberikan secara sendiri maupun yang diberikan bersama dengan oestradiol benzoat. Murphy et al. (1989) dalam Roche et al. (1992)

melaporkan bahwa pemberian PRlD merangsang timbulnya estrus lebih awal (21

f 4 hari) dibanding dengan kontrol (35 f 24 hari) periode post partum. Dengan

demikian, pemberian PRID nyata mempercepat munculnya estrus serta ovulasi

(117)

Disamping penggunaan PRID, CIDR juga telah digunakan secara luas.

Macmillan dan Day (1987) dalam Roche et al. (1992) melaporkan bahwa sapi

perah yang anestrus pada periode post partum setelah diberikan CIDR 48%

memperlihatkan pola-pola yang sama dengan pemberian PRID dan diinseminasi

dalam tujuh hari setelah pencabutan

CIDR.

Sedangkan injeksi 400 atau 800

IU

PMSG dapat meningkatkan respons estrus 70 dan 85 % setelah pencabutan CIDR. Data ini juga menunjukkan bahwa sapi-sapi yang anestrus pada awal post partum

dalam kondisi tubuh yang jelek lebih tepat diinjeksi dengan PMSG yang diberikan

bersama dengan 7 sampai 12 hari pemberian progesteron.

Macmillan (1989) dalam Macmillan dan Peterson (1993) menyatakan

bahwa persentase estrus pada sapi potong menyusui yang timbul dalam waktu 96

jam setelah pencabutan CIDR yang diimplan selama 14 atau 21 hari dan pada sapi

yang diinjeksi dengan 400

IU

PMSG saat pencabutan CIDR, masing-masing 88

dan 93 persen.

Manajemen Reproduksi

Nutrisi merupakan salah satu faktor yang terlibat dalam pengaturm sekresi

GnRH dan mendorong peningkatan ftekuensi pulsa LH. Kebutuhan energi

nampaknya menjadi ha1 yang sangat penting disamping protein dalam

mempertahankan fbngsi reproduksi. Periode anestrus post-partum yang panjang

pada sapi yang menyusui dapat diatasi dengan peningkatan suplai bahan pakan

yang mengandung banyak energi. Kebutuhan energi yang seimbang akan

mendorong peningkatan fiekuensi pulsa LH periode post-parhxm (Canfield and

(118)

Peningkatan suplai energi pada induk sapi yang bunting menentukan

percepatan aktivitas kembali siklus ovarium periode post-partum. Rendahnya

konsumsi energi pada periode sebelum dan pada saat post-partum akan

memperpanjang periode tidak estrus, level progesteron yang rendah dan tingkat

konsepsi yang rendah. Stagg et al. (1995) melaporkan bahwa rata-rata interval

dari melahirkan sampai ovulasi pertama pada induk sapi yang menyusui dan

mendapat suplai energi 80 MJ perhari adalah 25 hari lebih panjang dibanding

dengan yang mendapatkan 120 MJ perhari. Namun demikian, kebutuhan akan

sumber nutrien yang lain seperti vitamin dan mineral, juga sangat penting di

dalam menunjang aktivitas reproduksi ternak. Sebab, defisiensi vitamin dan

mineral akan mempengaruhi fertilitas ternak.

Terkait dengan kebutuhan energi pada sapi, lemak sebagai sumber energi

yang besar dapat menjamin kontinuitas penyediaan energi dalam menunjang

aktivitas reproduksi ternak. Suplementasi lemak pada pakan sapi telah dilaporkan

dapat merubah sirkulasi hormon dan konsentrasi metabolit dan perkembangan

folikel ovariua. Suplementasi lemak meningkatkan konsentrasi progesteron, dan

konsentrasi kolesterol cairan folikel dalam sel-sel luteal kecil dan besar (Hawkins

et al., 1995). Suplementasi lemak untuk sapi dalam periode post-partum juga

meningkatkan konsentrasi progesteron setelah ovulasi pertama post-partum dan

meningkatkan aktivitas luteolitik sampai dengan 1 8 %. Sedangkan laporan Lammoglia et al. (1996) menunjukkan bahwa pemberian pakan dengan 5,20 %

lemak pada induk sapi sebelum dan sesudah melahirkan meningkatkan ukuran

(119)

MATERI DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada peternakan sapi rakyat di Kabupaten

Takalar, Propinsi Sulawesi Selatan dan analisis hormon progesteron dilakukan di

Laboratorium Fisiologi dan Reproduksi Temak Fakultas Peternakan, Universitas

Hasanuddin Makassar. Kegiatan penelitian berlangsung selama enam bulan yaitu

mulai bulan Mei sampai November 2001 yang terdiri atas dua tahap : Tahap I : merupakan penelitian pendahuluan

-

Menentukan walctu pemberian PMSG dengan dosis 300

IU

dan 500 IU dua hari sebelum pencabutan implan CIDR-B atau saat pencabutan implan CIDR-B

Tahap I1 :

-

Respons pemberian progesteron dan PMSG serta kombinasinya berdasarkan waktu pemberian hasil penelitian pendahuluan terhadap: akselerasi estrus post-partum, intensitas estrus dan peningkatan angka konsepsi.

-

Analisis hormon progesteron untuk mengetahui efektifitas penggunaan hormon-hormon tersebut dan kondisi fisiologis reproduksi pada masing-masing ternak.

Materi Penelitian

Penelitian ini menggunakan 23 ekor induk sapi Bali anestrus post-partum

lebih dari tiga bulan, memiliki anatomi organ reproduksi yang normal, memiliki

kondisi tubuh sehat dan telah beranak minimal satu kali.

Pakan yang diberikan pada ternak selama penelitian adalah pakan yang

tersedia di lokasi penelitian seperti jerami padi, rumput lapangan, rumput gajah,

(120)

diatas kebutuhan pokok. Preparat hormon yang digunakan adalah progesteron

(Eazi-Breed CIDR-B)+ dan PMSG**. Untuk

IF3

digunakan semen beku sapi Bali

produksi BIB Singosari dengan motilitas pasca thawing lebih dari 50 %, serta

seperangkat alat inseminasi. Pengambilan sampel darah menggunakan venoject

dan komponen radioimmunoassay untuk analisis kadar hormon progesteron.

Metode Penelitian

Kegiatan penelitian terdiri atas :

I. Seleksi ternak dan penentuan waktu pemakaian PMSG

11. Perlakuan pemberian hormon progesteron, PMSG dan kombinasi hormon progesteron dengan PMSG. Untuk mengetahui efektifitas penggunaan

hormon-hormon tersebut dan kondisi fisiologis reproduksi pada masing-

masing ternak, dilakukan analisis hormon progesteron dengan

pengambilan sampel darah pada setiap perlakuan.

111. Pengamatan respons estrus : pemunculan, intensitas dan keserentakan

timbulnya estrus

IV. Inseminasi Buatan dan pemeriksaan kebuntingan hasil IB.

Penentuan Kondisi Ternak

Seleksi ternak dilakukan dengan melihat kondisi tubuh kurang sampai

sedang (skor 2 clan 3 dari skala 1-5) mengacu pada JICA ( J q a n International

Cooperation Agency) (1996), yaitu :

3 1 (sangat kurus) : lekukan di sekitar pangkal ekor, tulang pelvis dan tulang iga

belakang tajarn dan mudah diraba, tidak ada jaringan lemak di pelvis atau

daerah pinggul.

* Controlled Internal Drug Release-Bovine yang mengandung 1,9 gram progesteron, produksi Inter&, Selandia Baru

(121)

a

2 (kurus) : sedikit jaringan lemak pada pangkal ekor, pelvis mudah diraba,

ujung iga terasa dan bagian atas dapat diiaba dengan mudah.

3 (sedang) : tidak ada legokan di sekitar pangkal ekor dan jaringan lemak

dapat diiaba dengan mudah pada seluruh bagian, pelvis dapat diraba dengan

sentuhan, jaringan lemak yang melingkupi bagian permukaan tulang iga masih

dapat diraba dengan sedikit tekanan di daerah ini.

a

4 (gemuk) : gumpalan lemak dapat dilihat di sekitar pangkal ekor, pelvis atau

pinggul dapat diraba dengan menekannya, ujung iga sudah tidak dapat diraba

lagi, tidak ada tekanan di sekitar daerah ini.

a

5 (sangat gemuk) : pangkal ekor tertutup oleh jaringan lemak yang tebal,

tulang pelvis atau pinggul tidak dapat diraba lagi, ujung iga tertutup dengan

jaringan lemak yang tebal.

serta palpasi rektal untuk mendapat gambaran keadaan organ reproduksi ternak.

Perlakuan

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan Rancangan Acak

Lengkap (RAL) dengan empat perlakuan dan enam ulangan, berlangsung dalam

dua tahap sebagai berikut:

Tahap I, merupakan penelitian pendahuluan yang dijadikan sebagai dasar

penentuan waktu yang lebih baik dalarn penyuntikan PMSG yang dikombinasikan dengan hormon progesteron. Ternak yang terpilih diberi

perlakuan implan intravaginal progesteron (CIDR-B) selama sembilan hari dan diikuti pemberian PMSG melalui penyuntikan secara intra muskuler (im) pada

masing

-

masing kelompok ternak perlakuan dengan dosis 300

IU

dan 500

IU

(122)

Hasil perlakuan terbaik yang diperoleh pada penelitian tahap I ( ditinjau dari

aspek pemunculan dan intensitas estrus ) selanjutnya akan digunakan sebagai perlakuan I11 dan perlakuan IV pada penelitian tahap 11.

Tabel 1. Perlakuan pada percobaan tahap I.

Perlakuan Bany akny a

Kelompok Perlakuan (Horrnon dan waktu pemberiannya) sapi (ekor)

+

I. Progesteron + Progesteron intravagind 9 hari 1

300 IU PMSG dan 300 IU PMSG 2 hari sebelum

H-2 pencabutan progesteron

n.

Progesteron

+

Progesteron intravagind 9 hari 2

500

IU

PMSG dan 500

IU

PMSG 2 hari sebelum

H-2 pencabutan progesteron

111. Progesteron

+

Progesteron intravaginal9 hari 1

300

IU

PMSG dan 300 IU PMSG segera setelah

H-0 pencabutan progesteron

IV. Progesteron

+

Progesteron intravaginal 9 hari 2

500

IU

PMSG dan 500 IU PMSG segera setelah

H-0 pencabutan progesteron

Jumlah sapi percobaan (ekor) 6

Tahap II, merupakan penelitian utama dimana ternak yang terpilih diberi

perlakuan implan intravaginal progesteron (CIDR-B) selama sembilan hari dan

diikuti pemberian PMSG melalui penyuntikan secara intra muskuler (im) pada

masing-masing kelompok ternak perlakuan yaitu 300

IU

dan 500

IU

dengan

waktu pemberian berdasarkan hasil penelitian tahap I (Tabel 2), Pengambilan Sampel Darah dan Analisis Hormon

Pengambilan sampel darah dilakukan yaitu : 1) pada saat implan

progesteron, 2) pencabutan implan progesteron, 3) pada hari pelaksanaan IB, 4)

[image:122.607.76.503.172.503.2]
(123)

111 dan IV. Pada kelompok I1 pengambilan sampel darah dilakukan : 1)

sebelum penyuntikan PMSG, 2) pada hari pelaksanaan IB, 3) hari kesepuluh dan

5) hari keduapuluh setelah pelaksanaan IB. Pengambilan darah dilakukan

[image:123.607.83.504.223.688.2]

melalui vena jugularis sebanyak 3 sampai 5 ml dengan bantuan venoject.

Tabel 2. Perlakuan pada percobaan tahap I1

Perlakuan B any akny a

Kelompok Perlakuan (Hormon dan waktu pemberiamya) sapi (ekor)

I. Progesteron Progesteron intravaginal 9 hari 6

II.

PMSG 500

IU

PMSG im 5

111. Progesteron

+

Progesteron intravaginal9 hari 6 300

IU

PMSG dan 300

IU

PMSG dua hari se-

H-2 belum pencabutan progesteron

IV. Progesteron

+

Progesteron intravaginal9 hari 6

500

IU

PMSG dan 500

IU

PMSG dua hari se-

H-2 belum pencabutan progesteron

Jumlah sapi percobaan (ekor) 23

Kemudian darah disentriks untuk mendapatkan plasmanya dan

selanjutnya dianalisis. Analisis hormon progesteron pada sampel tersebut

dilakukan dengan teknik radioimmunoassay (RIA), menurut prosedur IAEA

(1984).

Pengamatan Estrus

Pengamatan estrus dilakukan tiga kali dalam sehari yaitu pada pagi hari

(pukul 05.00 sampai 06.00), siang hari (pukul 12.00 sampai 13.00) dan sore hari

(pukul 17 .OO sampai 18.00) setelah perlakuan, khususnya setelah pencabutan

progesteron. Pengamatan estrus juga dilakukan terhadap ternak-ternak yang telah

(124)

Inseminasi dan Pemeriksaan Kebuntingah

Inseminasi dilakukan 12 jam setelah terlihat gejala estrus, terutama gejala

diam bila dinaiki ternak lain, selain gejala seperti keluar lendir transparan dan

keadaan vulva. Inseminasi dilakukan dua kali berselang 12 jam antara inseminasi

pertama dan kedua. Pemeriksaan kebuntingan untuk menentukan hasil inseminasi

pada penelitian ini dilakukan melalui palpasi rektal, dua bulan setelah

diinseminasi untuk mengetahui respons konsepsi.

Parameter yang Diamati

Parameter yang diamati meliputi :

1. Persentase estrus, yaitu banyaknya ternak yang estrus dibagi jumlah ternak

yang diberi perlakuan dikali 100 %.

2. Kecepatan timbulnya estrus (hari) sesudah perlakuan, yaitu saat penghentian

perlakuan sampai gejala estrus terlihat.

3. Intensitas estrus, yaitu tingkat aktifitas tingkah laku estrus yang dibedakan menjadi tiga tingkat (skor 1, 2, 3) tergantung dari kejelasan gejala estrus,

yaitu :

a. skor 3 : gejala diam dinaiki, menaiki, saling menaiki dan gejala estrus lainnya terlihat jelas (vulva dan tingkah laku)

b. skor 2 : gejala diam dinaiki tidak terlihat, menaiki, saling menaiki dan gejala estrus lainnya terlihat cukup jelas

c. skor 1 : sebagian besar gejala estrus tidak nampak kecuali gejala keadaan vulva.

4. Angka konsepsi (CR), yaitu jumlah ternak yang bunting pada IB pertama

dibagi jumlah semua ternak yang di IB dikali 100 %

(125)

Rancangan Percobaan dan Analisis Statistik

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah

Rancangan Acak Lengkap (RAL). Untuk menguji pengaruh perlakuan terhadap

kecepatan timbulnya estrus dilakukan analisis sidik ragam menggunakan program

Statistical Analysis System (SAS), selanjutnya untuk mengetahui perbedaan nilai

tengah antar perlakuan dilakukan uji Duncan pada a = 0,05, persentase estrus dan

angka konsepsi (CR) diuji dengan analisis Khi-Kuadrat (Steel dan Torrie, 1993),

sedangkan variabel intensitas estrus clan gambaran umum tentang konsentrasi

hormon progesteron disajikan secara deskriptif berdasarkan nilai rataan yang

(126)

HASIL

DAN

PEMBAHASAN

Penentuan Waktu Pemberian PMSG

Hasil penelitian pendahuluan perlakuan progesteron dan PMSG dengan

dosis 300

TU

dan 500 IU dengan waktu pemberian PMSG yang berbeda pada

enarn ekor induk menunjukkan bahwa pemberian PMSG dua hari sebelum dan

pada saat pencabutan progesteron keduanya menyebabkan estrus. Akan tetapi

pada pemberian PMSG dua hari sebelum pencabutan progesteron menghasilkan

intensitas estrus yang lebih baik (skor dua sampai tiga), dengan timbulnya (onset)

estrus cenderung lebih cepat yaitu rata-rata 1,s hari, sedangkan jika pemberian

PMSG dilakukan pada saat pencabutan progesteron maka waktu timbul estrus

rata-rata 1,8 hari dengan intensitas estrus skor satu sampai tiga. (Tabel 3).

Hal tersebut dapat dipahami karena hormon gonadotropin maupun

progesteron secara in vivo mempunyai hngsi normal untuk mengatur

perkembangan siklus ovarial (pertumbuhan folikel dan CL), sehingga

keseimbangan hormonal akan memberikan respons estrus yang optimal. Dalam

penelitian pendahuluan ini terlihat bahwa terdapat hubungan antara waktu

pemberian PMSG dengan waktu pencabutan progesteron terhadap timbulnya

estrus dan intensitasnya.

PMSG yang diberikan dua hari sebelum pencabutan implan

progesteron menghasilkan intensitas estrus lebih baik dan timbulnya estrus

cenderung lebih cepat. Hal ini diduga karena PMSG yang mengandung

gonadotropin memiliki efek sekitar tiga sampai empat hari sesudah penyuntikan,

sedangkan produksi gonadotropin in vivo akan terjadi dalam waktu dua sampai

(127)

(gonadotropin) yang diberikan dari luar (melalui suntikan) akan memperlihatkan

pengaruh yang bersamaan waktunya bahkan lebih memperjelas kerja hormon

gonadotropin in vivo yang disekresikan setelah pencabutan implan progesteron.

Efek ganda dari dua sumber gonadotropin tersebut (eksogen dari suntikan PMSG

dan endogen akibat hilangnya pengaruh umpan balik negatif progesteron yang

ditarik dari peredaran) jelas akan merangsang secara intensif terjadinya proses

pertumbuhan dan pematangan folikel yang berakhir dengan timbulnya estrus dan

ovulasi. Sebaliknya apabila PMSG baru diberikan pada saat pencabutan implan

progesteron, maka gonadotropin yang dihasilkan oleh hilangnya umpan balik negatif progesteron akan terlebih dahulu menyebabkan perkembangan beberapa

folikel dalam waktu dua sampai tiga hari sedangkan PMSG (gonadotropin) yang

diinjeksikan dari luar baru akan menyebabkan perkembangan folikel sekitar satu

sampai dua hari kemudian sehingga mengacaukan onset estrus dan menurunkan

intensitas estrus, Umumnya PMSG memberikan respons estrus tiga sampai empat

hari setelah perlakuan pieleman et al., 1993), sedangkan progesteron yang

diimplan dari beberapa hasil penelitian terdahulu bekerja dua sampai tiga hari

sehingga kerja kedua hormon menjadi tidak sinkron, oleh karenanya terjadi pola

estrus yang tidak teratur. (Lampiran 1)

Tabel 3. Pengaruh waktu pemberian PMSG pada perlakuan penelitian terhadap keeepatan timbulnya (onset) estrus dan intensitas estrus

Perlakuan

P4 + PMSG 300 IU P4 + PMSG 500 JU

Jumlah / Rataan

Waktu pemberian PMSG Sebelum pencabutan P4 Saat Banyaknya

ternak (ekor)

1

2

,

3 Banyaknya ternak (ekor) 1 2 3 Onset estrus (hari) 2 1,1 4 5
(128)

Pada tahap ini persentase estrus yang dicapai sama dan intensitas serta

kecepatan timbulnya estrus tidak terlalu jauh berbeda, namun demikian

pengamatan secara individu terhadap intensitas estrus antara lain pengeluaran

lendir dan kebengkakan vulva pada pemberian PMSG dua hari sebelum

pencabutan progesteron dengan dosis 300 IU dan 500 IU, lendir vagina terlihat

jernih dan kebengkakan vulvanya jelas, sedangkan pada pemberian PMSG pada

saat pencabutan progesteron lendir terlihat kabur dan kebengkakan vaginanya

kurang jelas (Lampiran 2).

Pengaruh Pemberian Implan Progesteron dan PMSG serta Kombinasinya

Respons Timbulnya Estrus

Yang dimaksud dengan respons timbulnya estrus adalah persentase ternak

yang estrus yang dicapai serta kecepatan timbulnya (onset) estrus (hari) yang

diamati sejak pencabutan implan progesteron sampai temak menunjukkan gejala-

gejala klinis awal seperti pembengkakan pada vulva dan keluar lendir transparan

selain gejala diam bila dinaiki dan menaiki ternak lainnya. Berdasarkan hasil

penelitian pendahuluan, maka pada penelitian tahap I1 ditetapkan waktu

pemberian PMSG adalah dua hari sebelum pencabutan implan progesteron dengan

dosis 300 IU dan 500

IU.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian progesteron, PMSG

dan kombinasinya memberikan respons estrus yang baik, dengan persentase

ternak yang estrus 95,7%. Hanya satu ekor saja dari perlakuan pemberian

progesteron tunggal yang tidak menampakkan gejala estrus (Tabel 4). Hal ini

(129)

mulai menghasilkan folikel pada fase proestrus karena dengan teori folikel kecil

membutuhkan waktu kira-kira lima sampai enam hari untuk pertumbuhan (Savio

et al., 1993). Ada kemungkinan ternak tersebut estrus pada hari keenam atau

lebih, sedangkan pengamatan estrus hanya

Gambar

Tabel 1. Perlakuan pada percobaan tahap I.
Tabel 2. Perlakuan pada percobaan tahap I1
Tabel 4. Pengaruh progesteron, PMSG dan kombinasinya terhadap kecepatan timbulnya (onset) dan persentase estrus
Gambar 1. Rataan kecepatan timbulnya estrus akibat perlakuan. I. Progesteron +
+7

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data dari Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kota Semarang yang tercatat pada tahun 2013 jumlah produsen loenpia yang ada di Kota Semarang berjumlah 8 produsen.

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan rahmat, taufik dan hidayahNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas skripsi dengan judul

Pada kasus perangkingan limapuluh perusahaan terbesar di Indonesia, proses diskrimasi dalam kumpulan DMU efisien yang terjadi pada ranking pertama dan terakhir saja.

Secara umum pada penelitian ini diperoleh peningkatan kadar kalium serum setelah melakukan latihan fisik intensitas sedang, hasil ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh

Maka berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk mengetahui dan meneliti lebih mendalam tentang strategi rumah sakit meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan

Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh, dapat disimpulkan bahwa penerapan model pembelajaran berbasis masalah dapat disimpulkan: 1) dapat

Untuk mengetahui kecenderungan ketergantungan keluarga Nelayan Tangkap terhadap usaha penangkapan dalam memperoleh pendapatan perikanan keluarga seperti yang menjadi tujuan

memberi saran dan kritik pada apa yang akan dilakukan setelah sosiodrama selesai. Bila mahasiswa jurusan Sosiologi belum terbiasa perlu dibantu Dosen dalam