• Tidak ada hasil yang ditemukan

Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak"

Copied!
86
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

IMPELEMENTASI UNDANG-UNDANG NOMOR 23 TAHUN 2002 TENTANG PERLINDUNGAN ANAK (STUDY DI KOTA BANDAR LAMPUNG)

Oleh

MUHAMMAD IQBAL

Implementasi Undang-Undang perlindungan anak dirasa masih sangat sulit. Penanganan anak jalanan dan pemenuhan hak-hak anak oleh pemerintah belum melekat dalam diri anak jalanan. Keberadaan anak jalanan merupakan fenomena yang memprihatinkan. Permasalahan anak jalanan menyangkut kenyamanan masyarakat. Sementara razia-razia yang dilakukan oleh petugas secara nyata melanggar hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan. Tujuan ini adalah menganalisis pelaksanaan implementasi undang-undang perlindungan anak. Dalam mengungkap permasalahan ini, peneliti menggunakan teori implementasi kebijakan publik milik George C. Edwards III. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini dilakukan di Kota Bandar Lampung.

Dalam penelitian ditemukan beberapa faktor pendukung dan kendala dalam pelaksanaan implementasi undang-undang perlindungan anak. Diantaranya faktor pendukung disposisi yang positif dari para pelaksana implementasi kebijakan perlindungan anak yang masuk kedalam variabel komunikasi antar organisasi beserta kegiatan implementasinya. Adapun faktor kendala minimnya dana dan fasilitas kendaraan transportasi yang kurang memadai dalam penanganan anak jalanan.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa implementasi undang-undang perlindungan anak belum efektif dalam mengatasi anak jalanan yang terjaring razia dalam penanganannya. Hal ini terlihat masih banyak kendala yang terjadi dalam pelaksanaan perlindungan anak, untuk itu pemerintah seharusnya membangun panti penampungan khusus anak jalanan, pemerintah menambah anggaran untuk anak jalanan dan sektor swasta dan LSM harus bisa bersinergi lagi.

(2)

ABSTRACT

THE IMPLEMENTATION OF ACT NUMBER 23 IN 2002 ABOUT CHILD PROTECTION (STUDY IN BANDAR LAMPUNG CITY)

By

MUHAMMAD IQBAL

The implementation of child protection is perceived to be difficult. Homeless children care and homeless children right fulfilling by government are not received by them. The existence of homeless children is a phenomenon to be concerned. The problem of homeless children is also related to public comfort. Raid operation in streets to homeless children is clearly violating children right to get protections from violence. The objective of this research was to analyze the implementation of child protection act. The reveal this problem the researcher used public policy implementation theory by George C. Edwards III. This was a descriptive qualitative research. This research was conducted in Bandar Lampung. The results showed that there were some supporting and inhibiting factors to implementation of child protection act. The supporting factor was positive disposition of those who implemented the child protection policy which belonged to inter organization communication variable with all of its implementation activities. The inhibiting factors were minimum fund and transportation facilities to handle and care homeless children.

The conclusion of this research was that the implementation of this child protection act was not effective in handling those homeless children captured in the raid operation. There were some problems in implementing child protection, so that the government should establish special nursery care facility for these homeless children. The government should add some more budgets for homeless children as well as public sectors and NGO should make synergies with the government.

(3)
(4)
(5)
(6)
(7)

Penulis bernama lengkap Muhammad Iqbal, lahir di Kota Bandar Lampung, pada 6 Januari 1988. Penulis merupakan anak ke empat dari empat bersaudara dari pasangan suami istri Ayahanda H. Sudarso dan Ibunda Hj. Sumarni.

(8)

P E R S E M B A H A N

Dengan menyebut nama Allah….

Kupersembahkan karya sederhana ini kepada :

Ayah dan Ibu serta Kakak-kakakku tersayang yang

selalu memberikan yang terbaik untukku

Terima kasih atas segala cinta, pengorbanan,

kesabaran, dan do

’a dalam

menanti keberhasilanku

Keluarga besar yang senantiasa memberikan dorongan

kepadaku

Naunganku HIMAGARA

Teman, Sahabatku, Adik dan Kakak Tingkatku Yang

Selalu Memberi Warna dalam Hidupku

(9)

MOTO

Teruslah menantang diri untuk tetap termotivasi. Semua itu

datang dari diri sendiri (Muhammad Iqbal)

Hal terbaik yang patut dilakukan adalah belajar menerima kritik

daripada mencoba menghindarinya

(D.A. Benton)

(10)

SANWACANA

Alhamdulillahirrabbil’alamin, tercurah segala puji dan syukur kehadirat Allah

S.W.T yang telah melimpahkan rahmat, hidayah, serta karunianya kepada penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan. Tak lupa shalawat serta salam penulis ucapkan kepada Nabi Besar Muhamad S.A.W, sang motivator bagi penulis untuk selalu ikhlas dan bertanggung jawab dalam melakukan segala hal. Atas segala kehendak dan kuasa Allah, akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini dengan judul “Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak (Study di Kota Bandar Lampung)”, sebagai salah satu

syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Administrasi Negara (SAN) pada jurusan Ilmu Administrasi Negara Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan skripsi ini karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan yang penulis miliki. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih yang setulus-tulusnya kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini antara lain:

1. Bapak Drs. Hi. Agus Hadiawan, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Lampung.

(11)

skripsi ini.

3. Bapak Dr. Dedy Hermawan, S.sos, M.si selaku Ketua Jurusan Administrasi Negara dan sekaligus dosen Pembahas Penulis. Terimakasih untuk segala saran-saran agar skripsi ini dapat terlihat lebih baik.

4. Seluruh dosen Ilmu Administrasi Negara, terimakasih atas segala ilmu yang telah diberikan. Semoga ilmu dan pengalaman yang telah penulis peroleh di kampus dapat menjadi bekal yang berharga dalam kehidupan penulis ke depannya.

5. Ibu Nur sebagai Staf Jurusan Ilmu Administrasi Negara yang selalu memberikan pelayanan bagi penulis yang berkaitan dengan administrasi dalam penyusunan skripsi.

6. Keluargaku tercinta yang tak pernah bosan memberikan doa, dan dukungan kepadaku. Ayah, lelaki yang sangat memperhatikan pendidikan bagi anak-anaknya, semua akan dilakukan agar anak-anaknya dapat berpendidikan tinggi. Ibu, wanita tangguh yang senantiasa berdoa bagi kesuksesan di setiap langkah anak-anaknya dan selalu memberikan dukungan sehingga terselesaikannya skripsi ini. Kak Andri, Mbak Ratih, Mbak Dewi, Mas Aji dn Mas Wahyu, kelima kakakku tercinta yang selalu menjadi motivasi penulis dan Farhan, Isnan, Akhdan dn Aldrin, keponakanku tersayang yang selalu menjadi penghibur penulis.

(12)

memberikan data dan semangat kepada penulis.

8. Hanifah Nurhasanah., yang telah mendoakan dan memberikan semangat kepada penulis.

9. Terima kasih kepada teman-teman pengajian, Anggi, Dimas, Agasi, Arif, Ahmad, Sobirin, Niswatin Afifah, Indah, Yulika, Cholisa, memberikan ilmu agamanya.

10.Untuk seluruh keluarga besar Andalan Ane ’06, Puja, Mora, Herman, Diaz, Novicko, Fajrin, Panji, Gultom, Felix, Ferdi, Aditya, Hafidzin, Anugrah, Doni, Mip, Zaldi, Erlangga, Dwi Utami, Mega, Eva, Ayu, Havni, Rizma, Barita, Yosie, Ria Ristiani, Resa, Endah, Fatimah, Atus, Rensi, Desi, Indah, senang punya saudara seperti kalian, makasih atas kenangan yang sempat terukir dan semoga masih bisa ngukir kenangan manis yang lainnya.

11.Terima kasih untuk senior Himagara untuk adik Himagara 2007, 2008, 2009, 2010, 2011, 2012, 2013 yang tidak bisa ditulis satu persatu.

Akhir kata penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari kesempurnaan akan tetapi sedikit harapan semoga karya sederhana ini dapat berguna dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.

Bandar Lampung, 13 November 2014 Penulis

(13)

DAFTAR ISI A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik ... 13

1. Pengertian Kebijakan Publik ... 13

2. Ciri-Ciri Kebijakan Publik ... 14

3. Tahap-Tahap Kebijakan ... 15

B. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan ... 18

C. Tinjauan Tentang Model Implementasi Kebijakan Publik .... 25

1. Komunikasi ... 26

1. Anak Jalanan yang hidup atau tinggal di jalanan ... 36

2. Anak Jalanan yang bekerja di jalanan ... 37

3. Anak-anak yang berpotensi menjadi anak jalanan ... 38

BAB III METODE PENILAIAN A. Tipe Penelitian ... 39

B. Fokus Penelitian ... 40

C. Lokasi Penelitian ... 41

(14)

E. Proses dan Teknik Pengumpulan Data ... 43

1. Tahap memasuki lokasi penelitian ... 43

2. Ketika berada dilokasi penelitian ... 44

3. Mengumpulkan data ... 44

F. Teknik Analisa Data ... 45

G. Teknik Keabsahan Data ... 46

1. Derajat Kepercayaan (Credibility) ... 47

a. Triangulasi ... 47

b. Kecukupan Referensial ... 48

2. Keteralihan (Transferability) ... 48

3. Kebergantungan ( Dependability) ... 48

4. Kepastian (Confirmabilty) ... 48

BAB IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN A. Gambaran Kota Bandar Lampung ... 50

B. Gambaran Umum Dinas Sosial Kota Bandar Lampung ... 56

C. Gambaran Umum Kantor Kesatuan Satuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung ...59

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Hasil Dan Pembahasan ... 65

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 85

(15)

DAFTAR TABEL

Tabel _ Halaman

Tabel 5. Nama – nama Pejabat Pemerintah yang pernah menjadi Walikota

(16)

DAFTAR GAMBAR

Gambar _ Halaman

Gambar 4. Struktur Organisasi Kantor Kesatuan Polisi Pamong Praja Kota

(17)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Anak adalah amanah dan karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang didalam dirinya melekat harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Mereka bersih seperti kertas putih ketika awal dilahirkan ke dunia, belum mengerti untuk berbuat sesuatu kemudian orang tua yang mengajarkan dan memberi contoh untuk berbuat dan bertindak sebagaimana manusia. Anak mempunyai bakat, potensi dan sebagai generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dalam kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan.

(18)

hak-hak itu meliputi: hak-hak atas kesejahteraan, perlindungan, pengasuhan dan bimbingan. Setiap anak pada dasarnya memiliki hak dan kewajiban sebagai

seorang anak dalam keluarga, tetapi kenyataannya pemenuhan hak-hak anak seringkali diabaikan, karena kondisi keluarga yang tidak memungkinkan.

Menurut Pasal 3 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, yang senantiasa harus dijaga karena di dalam dirinya melekat, harkat, martabat dan hak-hak manusia yang harus dijunjung tinggi. Anak merupakan tunas generasi penerus cita-cita bangsa di masa depan yang perlu mendapat dan diberi kesempatan yang seluas-luasnya untuk tumbuh dan berkembang baik secara fisik, mental, maupun sosial, dan berakhlak mulia.

(19)

Fenomena merebaknya anak jalanan di Indonesia merupakan persoalan sosial yang kompleks. Hidup menjadi anak jalanan memang bukan merupakan pilihan yang menyenangkan, karena mereka berada dalam kondisi yang tidak bermasa depan jelas dan keberadaan mereka tidak jarang menjadi masalah bagi banyak pihak, keluarga, masyarakat dan negara. Namun, perhatian terhadap nasib anak jalanan tampaknya belum begitu besar dan solutif. Padahal anak jalanan adalah amanah yang harus dilindungi, dijamin hak-haknya, sehingga tumbuh-kembang menjadi manusia dewasa yang bermanfaat, beradab dan bermasa depan cerah.

(20)

Pemerintah sebenarnya telah menetapkan beberapa peraturan guna mengurangi jumlah anak jalanan yang semakin melonjak setiap tahunnya, namun peraturan tersebut tidak akan berjalan dengan lancar jika tidak ada peran serta dari masyarakat ataupun LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat)/Orsos (Organisasi Sosial) yang membantu menjaga dan menjamin anak jalanan. Hal ini karena permasalahan anak jalanan sangatlah kompleks dan tidak mudah mengurangi anak jalanan jika tidak ada peran serta masyarakat dan LSM/Orsos.

Pemerintah juga membuat Komisi Perlindungan Anak, hal ini dalam rangka meningkatkan efektifitas penyelenggaraan perlindungan anak di Indonesia. Komisi Perlindungan Anak dibentuk berdasarkan pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, dan dasar hukumnya berdasarkan pada Keputusan Presiden Nomor 36/1990, 77/2003 dan 95/M/2004.

Upaya pencegahan terhadap anak jalanan atas eksploitasi dan tindak kekerasan dapat dihindari, apabila orang tua memberikan perlindungan hukum yang optimal terhadap anak dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual. Seperti yang di jelaskan dalam Pasal 58 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, yang berisi:

(21)

pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain manapun yang bertanggungjawab atas pengasuhan.

(2) Dalam hal orang tua, wali, atau pengasuh anak melakukan segala bentuk penganiayaan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak yang seharusnya dilindungi maka harus dikenakan pemberatan hukuman.”

Berdasarkan hal tersebut, maka jelas kiranya bahwa orang tua melakukan segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual termasuk pemerkosaan, dan atau pembunuhan terhadap anak maka akan dikenakan pemberatan hukuman. Hal ini dikarenakan orang tua seharusnya bisa melindungi anaknya dari berbagai bentuk ancaman kekerasan yang bisa berdampak buruk bagi mental dan fisik seorang anak.

Menurut Pasal 64 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa :

“Setiap anak berhak untuk memperoleh perlindungan dari kegiatan

eksploitasi ekonomi dan setiap pekerjaan yang membahayakan dirinya, sehingga dapat mengganggu pendidikan, kesehatan fisik, moral, kehidupan sosial, dan mental spiritualnya.”

(22)

anak yang belum dewasa. Ketentuan pasal-pasal yang telah diuraikan di atas, upaya pencegahan terhadap anak jalanan atas eksploitasi dan tindak kekerasan dapat dilakukan dengan berdasarkan pasal 58 dan pasal 64 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, karena pasal tersebut memberikan pelarangan terhadap orang tua atau pihak lain yang akan melakukan eksploitasi dan tindak kekerasan kepada anak jalanan. Kenyataan yang terjadi, masih banyak terjadinya eksploitasi dan tindak kekerasan yang terjadi di sekitar lingkungan anak jalanan,hal ini dikarenakan pemerintah dan masyarakat kurang berperan secara aktif untuk mengatasi permasalahan anak jalanan.

Dalam penjelasan Undang-Undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menegaskan bahwa pertanggungjawaban orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah dan Negara merupakan rangkaian kegiatan yang dilaksanakan secara terus-menerus demi terlindunganya hak-hak anak. Rangkaian tersebut harus berkelanjutan dan terarah guna menjamin pertumbuhan dan perkembangan anak, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial. Undang-undang ini meletakkan kewajiban memberikan perlindungan kepada anak berdasarkan asas-asas sebagai berikut:

a. Nondiskriminasi

b. Kepentingan yang terbaik bagi anak

(23)

Sampai saat ini istilah Anak Jalanan belum tercantum dalam Undang-Undang apapun. Akan tetapi kita dapat mengkaji hal tersebut melalui beberapa Undang-Undang yang menyangkut tentang anak-anak terlantar. Pasal 34 Undang-Undang Dasar 1945 menyebutkan bahwa Fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara. Dalam konteks ini paling tidak ada dua hal penting yang perlu dicermati yaitu siapakah yang dimaksud dengan anak terlantar dan apa maksud dan bagaimana mekanisme pemeliharaan oleh Negara itu.

Persoalan lain yang menyangkut Undang-Undang itu ialah seringnya terjadi ketidakkonsistenan antara isi dari hukum yang satu dengan yang lain, baik dalam kekuatan yang setara, maupun antara yang tinggi dengan yang lebih rendah. Dalam peraturan penanggulangan masalah Gepeng (gelandangan-pengemis) misalnya, intervensi negara terhadap pemberantasan gelandangan pada anak tidak dibedakan secara tegas dengan gelandangan dewasa. Hal ini tentu saja berseberangan dengan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 yang menjamin kesejahteraan anak.

(24)

pemerintah di tingkat kampung hanya karena mereka tidak memiliki KTP, padahal hak asasi manusia tidak boleh diabaikan hanya karena status kependudukan seseorang. Lagi pula peraturan tentang KTP hanya boleh dikenakan pada orang dewasa, bukan anak-anak. Dengan diabaikannya Hak-hak sipil, akibatnya anak-anak jalanan otomatis juga akan kehilangan Hak-hak-Hak-hak sosial yang semestinya menjamin mereka untuk menikmati standar kehidupan tertentu.

Meningkatnya populasi anak jalanan terutama di kota-kota besar di Indonesia telah memperlihatkan fakta bahwa anak-anak yang seharusnya berada dalam dunianya, harus berhadapan pada dunia orang dewasa, begitu juga dengan di kota Bandar Lampung. Adapun hasil pendataan anak jalanan di Bandar Lampung dari Dinas Sosial Kota Bandar Lampung Bidang Pelayanan Rehabilitasi Sosial Tahun 2009 berjumlah 374 orang yang terdiri hasil razia tahun 2009 adalah 91 orang, Rumah Singgah Tunas Bangsa adalah 100 orang, Rumah Singgah Insan Kamil 155 orang, Hasil razia tahun 2010 yang dilaksanakan pada tanggal 13, 15, 21, dan 23 Juli 2010 adalah 28 orang. Pada tahun 2013 anak jalanan yang terdiri laki-laki dan perempuan berjumlah 52 laki-laki dn 7 perempuan.

(25)

sungguh-sungguh dan bijaksana. Selama ini memang sudah ada upaya pemerintah kota Bandar Lampung khususnya Dinas Sosial Kota Bandar Lampung untuk menyelesaikan permasalahan anak jalanan yang mulai menjamur seiring perkembangan daerah tersebut. Persoalannya terdapat kekurangan dana dalam pembinaan anak jalanan, menyebabkan penertiban penangkapan anak jalanan yang dilaksanakan belum sepenuhnya memberikan solusi, yang terjadi anak jalanan dilepaskan lagi di jalanan.

Keberadaan anak jalanan yang memprihatinkan itu tidak pernah terselesaikan dengan baik. Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2010 mengenai anak jalanan, misalnya, yang sudah ada di kota Bandar Lampung juga tidak berfungsi dengan baik, artinya semua perangkat yang sudah disiapkan untuk mengelola permasalahan anak jalanan selama ini belum berjalan efektif. Bisa dibuktikan dengan masih banyaknya jumlah anak jalanan yang berkeliaran di jalan-jalan di Kota Bandar Lampung (Tribun, 14 Juli 2010, Hal.9).

(26)

Dinas Sosial merupakan suatu wadah organisasi yang bertanggung jawab menangani permasalahan-permasalahan yang berhubungan dengan masyarakat atau khususnya lebih kepada masalah sosial. Sehingga sangat dibutuhkan penanganan yang baik untuk melaksanakan semua program-program kerja agar dapat mencapai visi, tujuan dan sasaran yang diinginkan.

Berdasarkan pendataan Dinas Sosial Kota Bandar Lampung pada tahun anggaran 2009 tentang penanggulangan dan pembinaan anak jalanan didapatkan data Penyandang Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS), PMKS terdiri dari 11 kategori dan diantaranya termasuk masalah anak jalanan. Hal ini berkaitan erat dengan jumlah anak jalanan yang ada. Terutama di daerah Kota Bandar Lampung sebagai Ibu kotanya Provinsi Lampung dapat bebas dari masalah anak jalanan, atau setidak-tidaknya jumlah anak jalanan tergolong rendah. Selama ini, Dinas Sosial Kota Bandar Lampung mengembalikan anak jalanan yang terjaring razia dinilai tidak efektif jika tidak ada penampungannya, sebagian besar berasal dari luar Bandar Lampung (Tribun, 23 Maret 2013, Hal.9). Hal ini antara lain terlihat dari pola asuh yang cenderung konsumtif, tidak produktif karena yang ditangani adalah anak-anak, sementara kesejahteraan keluarga mereka diabaikan begitu saja.

(27)

B. Rumusan Masalah

Dengan melihat permasalahan pada uraian di atas, maka penulis dapat merumuskan permasalahan yaitu:

1. Bagaimana Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di Kota Bandar Lampung?

2. Apa saja faktor-faktor yang menjadi kendala dan pendukung dalam Implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di Kota Bandar Lampung?

C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan uraian latar belakang dan perumusan masalah yang telah dikemukakan di atas maka tujuan dari penelitian ini adalah:

1. Mengetahui dan menganalisis implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di Kota Bandar Lampung.

2. Mengetahui dan memahami kendala-kendala apa saja yang dihadapi dan pendukung dalam implementasi Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak di Kota Bandar Lampung.

D. Manfaat Penelitian

(28)
(29)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Kebijakan Publik

1. Pengertian Kebijakan Publik

(30)

Pendapat Carl Friedrich dalam Winarno (2012:21) mengenai kebijakan sebagai suatu arah tindakan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu yang memberikan hambatan-hambatan dan peluang-peluang terhadap kebijakan yang diusulkan untuk menggunakan dan mengatasi dalam rangka mencapai suatu tujuan atau merealisasikan suatu sasaran atau suatu maksud tertentu.

Menurut Thomas R. Dye dalam Winarno (2012:20) kebijakan publik adalah apapun yang diplih oleh pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Jadi pemerintah memilih untuk melakukan sesuatu maka harus ada tujuannya dan kebijakan Negara tersebut harus meliputi semua tindakan pemerintah, bukan semata-mata pernyataan keinginan pemerintah atau pejabatnya. Menurut Anderson, kebijakan publik adalah kebijakan-kebijakan yang dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat pemerintah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kebijakan publik, merupakan keputusan bersama yang dibuat oleh pemerintah, berorientasikan pada kepentingan publik dengan dipertimbangkan secara matang terlebih dahulu baik buruknya dampak yang ditimbulkan, untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu, dalam rangka menyelesaikan persoalan-persoalan publik dan mencapai tujuan demi kepentingan seluruh masyarakat.

2. Ciri-Ciri Kebijakan Publik

(31)

1. Kebijakan publik merupakan berorientasi pada maksud atau tujuan dan bukan perilaku secara serampangan.

2. Kebijakan merupakan arah atau pola tindakan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan-keputusan yang tersendiri.

3. Kebijakan adalah apa yang sebenarnya dilakukan oleh pemerintah dalm mengatur perdagangan, mengendalikan inflasi, atau mempromosikan perumahan rakyat dan bukan apa yang diinginkan oleh pemerintah.

4. Kebijakan publik mungkin dalam bentuknya bersifat positif atau negatif.

3. Tahap-Tahap Kebijakan

Proses pembuatan kebijakan publik merupakan proses yang kompleks karena melibatkan banyak proses maupun variabel yang harus dikaji. Oleh karena itu, bebrapa ahli politik yang menaruh minat untuk mengkaji kebijakan publik membagi proses-proses penyusunan kebijakan publik ke dalam beberapa tahap. Tahap-tahap kebijakan publik (Dunn dalam Winarno, 2006:24-25) adalah sebagai berikut:

a. Tahap Penyusunan Agenda

(32)

b. Tahap Formulasi kebijakan

Masalah yang telah masuk ke agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah-masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan (policy alternatives/policy options) yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk kedalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing-masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Pada tahap ini, masing-masing aktor akan “bermain” untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

c. Tahap Adopsi Kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan oleh para perumus kebijakan, pada akhirnya salah satu dari alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan dari mayoritas legislatif, konsensus antara direktur lembaga atau keputusan peradilan.

d. Tahap Implementasi Kebijakan

(33)

kepentingan akan saling bersaing. Beberapa implementasi kebijakan mendapat dukungan para pelaksana (implementors), namun beberapa yang lain mungkin akan ditentang oleh para pelaksana.

e. Tahap Evaluasi Kebijakan

Pada tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, untuk melihat sejauh mana kebijakan yang dibuat telah mampu memecahkan masalah. Kebijakan publik pada dasarnya dibuat untuk meraih dampak yang diinginkan. Dalam hal ini, memecahkan masalah yang dihadapi masyarakat. Oleh karena itu, ditentukanlah ukuran-ukuran atau kriteria-kriteria yang menjadi dasar untuk menilai apakah kebijakan publik telah meraih dampak yang diinginkan.

(34)

melalui implementasi dan kemudian dibandingkan dengan tujuan kebijakan yang telah ditentukan.

B. Tinjauan Tentang Implementasi Kebijakan

Implementasi berasal dari bahasa Inggris yaitu to implement yang berarti mengimplementasikan. Implementasi merupakan penyediaan sarana untuk melaksanakan sesuatu yang menimbulkan dampak atau akibat terhadap sesuatu. Sesuatu tersebut dilakukan untuk menimbulkan dampak atau akibat itu dapat berupa undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan peradilan dan kebijakan yang dibuat oleh lembaga-lembaga pemerintah dalam kehidupan kenegaraan.

Secara etimologis pengertian implementasi menurut Kamus Webster yang dikutip oleh Solichin Abdul Wahab adalah:

“Konsep implementasi berasal dari bahasa inggris yaitu to implement. Dalam

kamus besar webster, to implement (mengimplementasikan) berati to provide the means for carrying out (menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu); dan to give practical effect to(untuk menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu)”(Webster dalam Wahab, 2004:64).

Implementasi kebijakan merupakan suatu upaya untuk mencapai tujuan-tujuan tertentu dengan sarana-sarana tertentu dan dalam urutan waktu tertentu (Bambang Sunggono 2008:137).

(35)

dalam suatu keputusan kebijakan. Akan tetapi pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk atau tidak bagi masyarakat.Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat.

Pandangan Van Meter dan Van Horn bahwa pelaksanaan merupakan tindakan oleh individu, pemerintah atau swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah digariskan dalam suatu keputusan tertentu. Badan-badan tersebut melaksanakan pekerjaan-pekerjaan pemerintah yang membawa dampak pada warganegaranya. Namun dalam praktiknya badan-badan pemerintah sering menghadapi pekerjaan-pekerjaan dibawah mandat dari Undang-Undang, sehingga membuat mereka menjadi tidak jelas untuk memutuskan apa yang seharusnya dilakukan dan apa yang seharusnya tidak dilakukan.

Implementasi menurut Mazmanian dan Sebastier (2008:12) merupakan pelaksanaan kebijakan dasar berbentuk undang-undang juga berbentuk perintah atau keputusan-keputusan yang penting atau seperti keputusan badan peradilan. Proses implementasi ini berlangsung setelah melalui sejumlah tahapan tertentu seperti tahapan pengesahan undang-undang, kemudian output kebijakan dalam bentuk pelaksanaan keputusan dan seterusnya sampai perbaikan kebijakan yang bersangkutan.

(36)

dalam suatu keputusan kebijakan. Akan tetapi pemerintah dalam membuat kebijakan juga harus mengkaji terlebih dahulu apakah kebijakan tersebut dapat memberikan dampak yang buruk atau tidak bagi masyarakat, Hal tersebut bertujuan agar suatu kebijakan tidak bertentangan dengan masyarakat apalagi sampai merugikan masyarakat.

Adapun implementasi kebijakan pada prinsipnya merupakan cara agar sebuah kebijakan dapat mencapai tujuannya. Lester dan Stewart yang dikutip oleh Winarno, menjelaskan bahwa implementasi kebijakan adalah:

“Implementasi kebijakan dipandang dalam pengertian luas merupakan alat

administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang bekerja bersama-sama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak atau tujuan yang diinginkan” (Lester dan Stewart dalam Winarno,

2002:101-102).

Implementasi kebijakan menurut Nugroho terdapat dua pilihan untuk mengimplementasikannya, yaitu langsung mengimplementasikannya dalam bentuk program-program dan melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari kebijakan tersebut (Nugroho, 2003:158). Oleh karena itu, implementasi kebijakan yang telah dijelaskan oleh Nugroho merupakan dua pilihan, dimana yang pertama langsung mengimplementasi dalam bentuk program dan pilihan kedua melalui formulasi kebijakan.

(37)

mengemukakan beberapa hal yang dapat mempengaruhi keberhasilan suatu implementasi, yaitu:

a. Ukuran dan tujuan kebijakan b. Sumber-sumber kebijakan

c. Ciri-ciri atau sifat Badan/Instansi pelaksana

d. Komunikasi antar organisasi terkait dengan kegiatan pelaksanaan e. Sikap para pelaksana, dan

f. Lingkungan Ekonomi, Sosial dan Politik (Meter dan Horn dalam Wahab, 2004:79).

Keberhasilan suatu implementasi menurut kutipan Wahab dapat dipengaruhi berdasarkan faktor-faktor di atas, yaitu: Kesatu yaitu ukuran dan tujuan diperlukan untuk mengarahkan dalam melaksanakan kebijakan, hal tersebut dilakukan agar sesuai dengan program yang sudah direncanakan.

Kedua, sumber daya kebijakan menurut Van Metter dan Van Horn yang dikutip oleh Agustino, sumber daya kebijakan merupakan keberhasilan proses implementasi kebijakan yang dipengaruhi dengan pemanfaatan sumber daya manusia, biaya, dan waktu (Meter dan Horn dalam Agustino, 2006:142). Sumber-sumber kebijakan tersebut sangat diperlukan untuk keberhasilan suatu kebijakan yang dibuat oleh pemerintah.

(38)

sebagai pendukung keberhasilan kebijakan. Sumber daya waktu merupakan penentu pemerintah dalam merencanakan dan melaksanakan kebijakan.

Ketiga, keberhasilan kebijakan bisa dilihat dari sifat atau ciri-ciri badan/instansi pelaksana kebijakan. Hal ini sangat penting karena kinerja implementasi kebijakan publik akan sangat banyak dipengaruhi oleh ciri-ciri yang tepat serta cocok dengan para badan atau instansi pelaksananya. Menurut Subarsono kualitas dari suatu kebijakan dipengaruhi oleh kualitas atau ciri-ciri dari para aktor, kualitas tersebut adalah tingkat pendidikan, kompetensi dalam bidangnya, pengalaman kerja, dan integritas moralnya (Subarsono, 2006:7).

Keempat, komunikasi memegang peranan penting bagi berlangsungnya koordinasi implementasi kebijakan. Koordinasi bukanlah sekedar menyangkut persoalan mengkomunikasikan informasi ataupun membentuk struktur-struktur administrasi yang cocok, melainkan menyangkut pula persoalan yang lebih mendasar, yaitu praktik pelaksanaan kebijakan”. (Hogwood dan Gunn dalam Wahab, 2004:77).

Berdasarkan teori di atas maka Semakin baik koordinasi komunikasi diantara pihak-pihak yang terlibat dalam suatu proses implementasi, maka terjadinya kesalahan-kesalahan akan sangat kecil untuk terjadi dan begitu pula sebaliknya.

(39)

norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi dalam birokrasi (Meter dan Horn dalam Subarsono, 2006:101). Sikap para pelaksana dalam menjalankan tugas dan tanggungjawab sebagai pelaksana kebijakan harus dilandasi dengan sikap disiplin. Hal tersebut dilakukan karena dapat mempengaruhi keberhasilan implementasi kebijakan, setiap badan/instansi pelaksana kebijakan harus merasa memiliki terhadap tugasnya masing-masing berdasarkan rencana yang telah ditetapkan sebelumnya.

Keenam, dalam menilai kinerja keberhasilan implementasi kebijakan menurut Van Meter dan Van Horn yang dikutip oleh Agustino adalah sejauh mana lingkungan eksternal ikut mendukung keberhasilan kebijakan publik yang telah ditetapkan, lingkungan eksternal tersebut adalah ekonomi, sosial, dan politik (Meter dan Horn dalam Agustino, 2006:144). Lingkungan ekonomi, sosial dan politik juga merupakan faktor yang menentukan keberhasilan suatu implementasi.

Untuk mengefektifkan implementasi kebijakan yang ditetapkan, maka diperlukan adanya tahap-tahap implementasi kebijakan. (M. Irfan Islamy 2007:102-106) membagi tahap implementasi dalam 2 bentuk, yaitu:

(40)

b. Bersifat non self-executing yang berarti bahwa suatu kebijakan publik perlu diwujudkan dan dilaksanakan oleh berbagai pihak supaya tujuan pembuatan kebijakan tercapai. (Islamy 2007: 102-106)

Ahli lain, Brian W. Hogwood dan Lewis A. Gunn dalam Solichin Abdul Wahab (2005: 36) dalam buku analisis kebijakan: dari formulasi ke implementasi kebijakan negara mengemukakan sejumlah tahap implementasi sebagai berikut:

Tahap I Terdiri atas kegiatan-kegiatan:

a. Menggambarkan rencana suatu program dengan penetapan tujuan secara jelas

b. Menentukan standar pelaksanaan

c. Menentukan biaya yang akan digunakan beserta waktu pelaksanaan.

Tahap II: Merupakan pelaksanaan program dengan mendayagunakan struktur staf, sumber daya, prosedur, biaya serta metode.

Tahap III: Merupakan kegiatan-kegiatan: a. Menentukan jadwal

b. Melakukan pemantauan

(41)

Implementasi kebijakan akan selalu berkaitan dengan perencanaan penetapan waktu dan pengawasan, sedangkan menurut Mazmanian dan Sabatier dalam Solichin Abdul Wahab (2005: 36), yaitu mempelajari masalah implementasi kebijakan berarti berusaha untuk memahami apa yang senyatanya terjadi sesudah suatu program diberlakukan atau dirumuskan, yakni peristiwa-peristiwa dan kegiatan-kegiatan yang terjadi setelah proses pengesahan kebijakan baik yang menyangkut usaha-usaha untuk mengadministrasi maupun usaha untuk memberikan dampak tertentu pada masyarakat. Hal ini tidak saja mempengaruhi perilaku lembaga-lembaga yang bertanggung jawab atas sasaran (target group) tetapi memperhatikan berbagai kekuatan politik, ekonomi, sosial yang berpengaruh pada impelementasi kebijakan negara.

C. Tinjauan Tentang Model Implementasi Kebijakan Publik

Model implementasi yang dikembangkan oleh George C. Edwards III disebut dengan direct and indirect impact or implementation. Dalam pendekatan yang dteorikan oleh George C. Edwards III terdapat empat variabel yang sangat menentukan keberhasila suatu kebijakan yaitu Komunikasi (Communications), Sumber Daya (resources), sikap (dispositions atau attitudes) dan struktur birokrasi (bureucratic structure)

(42)

suatu proses dinamik yang mana meliputi interaksi banyak faktor. Sub kategori dari faktor-faktor mendasar ditampilkan sehingga dapat diketahui pengaruhnya terhadap implementasi.

Faktor-faktor yang berpengaruh dalam implementasi menurut George C. Edwards III sebagai berikut:

1. Komunikasi

Implementasi akan berjalan efektif apabila ukuran-ukuran dan tujuan-tujuan kebijakan dipahami oleh individu-individu yang bertanggungjawab dalam pencapaian tujuan kebijakan. Kejelasan ukuran dan tujuan kebijakan dengan demikian perlu dikomunikasikan secara tepat dengan para pelaksana.

Konsistensi atau keseragaman dari ukuran dasar dan tujuan perlu dikomunikasikan sehingga implementors mengetahui secara tepat ukuran maupun tujuan kebijakan itu. Komunikasi dalam organisasi merupakan suatu proses yang amat kompleks dan rumit. Seseorang bisa menahannya hanya untuk kepentingan tertentu, atau menyebarluaskannya.

(43)

Jika para aktor pembuat kebijakan telah melihat ketidakjelasan spesifikasi kebijakan sebenarnya mereka tidak mengerti apa sesunguhnya yang akan diarahkan. Para implemetor kebijakan bingung dengan apa yang akan mereka lakukan sehingga jika dipaksakan tidak akan mendapatkan hasil yang optimal. Tidak cukupnya komunikasi kepada para implementor secara serius mempengaruhi implementasi kebijakan.

2. Sumber-Sumber

Tidak menjadi masalah bagaimana jelas dan konsisten implementasi program dan bagaimana akuratnya komunikasi dikirim. Jika personel yang bertanggungjawab untuk melaksanakan program kekurangan sumberdaya dalam melakukan tugasnya. Komponen sumberdaya ini meliputi jumlah staf, keahlian dari para pelaksana, informasi yang relevan dan cukup untuk mengimplementasikan kebijakan dan pemenuhan sumber-sumber terkait dalam pelaksanaan program, adanya kewenangan yang menjamin bahwa program dapat diarahkan kepada sebagaimana yamg diharapkan, serta adanya fasilitas-fasilitas pendukung yang dapat dipakai untuk melakukan kegiatan program seperti dana dan sarana prasarana.

Sumberdaya manusia yang tidak memadahi (jumlah dan kemampuan) berakibat tidak dapat dilaksanakannya program secara sempurna karena mereka tidak bisa melakukan pengawasan dengan baik. Jika jumlah staf pelaksana kebijakan terbatas maka hal yang harus dilakukan meningkatkan

(44)

Untuk itu perlu adanya manajemen SDM yang baik agar dapat meningkatkan kinerja program. Ketidakmampuan pelaksana program ini disebabkan karena kebijakan konservasi energi merupakan hal yang baru bagi mereka dimana dalam melaksanakan program ini membutuhkan kemampuan yang khusus, paling tidak mereka harus menguasai teknik-teknik kelistrikan. Informasi merupakan sumber daya penting bagi pelaksanaan kebijakan. Ada dua bentuk informasi yaitu informasi mengenahi bagaimana cara menyelesaikan kebijakan/program serta bagi pelaksana harus mengetahui tindakan apa yang harus dilakukan dan informasi tentang data pendukung kepetuhan kepada peraturan pemerintah dan undang-undang. Kenyataan dilapangan bahwa tingkat pusat tidak tahu kebutuhan yang diperlukan para pelaksana dilapangan.

(45)

3. Disposisi

Salah satu faktor yang mempengaruhi efektifitas implementasi kebijakan adalah sikap implementor. Jika implemetor setuju dengan bagian-bagian isi dari kebijakan maka mereka akan melaksanakan dengan senang hati tetapi jika pandangan mereka berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi akan mengalami banyak masalah. Ada tiga bentuk sikap/respon implementor terhadap kebijakan, kesadaran pelaksana, petunjuk/arahan pelaksana untuk merespon program kearah penerimaan atau penolakan, dan intensitas dari respon tersebut. Para pelaksana mungkin memahami maksud dan sasaran program namun seringkali mengalami kegagalan dalam melaksanakan program secara tepat karena mereka menolak tujuan yang ada didalamnya sehingga secara sembunyi mengalihkan dan menghindari implementasi program.Disamping itu dukungan para pejabat pelaksana sangat dibutuhkan dalam mencapai sasaran program. Dukungan dari pimpinan sangat mempengaruhi pelaksanaan program dapat mencapai tujuan secara efektif dan efisien.

(46)

4. Struktur Birokrasi

Birokrasi merupakan salah-satu institusi yang paling sering bahkan secara keseluruhan menjadi pelaksana kegiatan. Keberadaan birokrasi tidak hanya dalam struktur pemerintah, tetapi juga ada dalam organisasi-organisasi swasta, institusi pendidikan dan sebagainya. Bahkan dalam kasus-kasus tertentu birokrasi diciptakan hanya untuk menjalankan suatu kebijakan tertentu. Ripley dan Franklin dalam Winarno (2005:149-160) mengidentifikasi enam karakteristik birokrasi sebagai hasil pengamatan terhadap birokrasi di Amerika Serikat, yaitu:

a. Birokrasi diciptakan sebagai instrumen dalam menangani keperluan-keperluan publik (public affair).

b. Birokrasi merupakan institusi yang dominan dalam implementasi kebijakan publik yang mempunyai kepentingan yang berbeda-beda dalam setiap hierarkinya.

c. Birokrasi mempunyai sejumlah tujuan yang berbeda.

d. Fungsi birokrasi berada dalam lingkungan yang kompleks dan luas. e. Birokrasi mempunyai naluri bertahan hidup yang tinggi dengan begitu

jarang ditemukan birokrasi yang mati.

f. Birokrasi bukan kekuatan yang netral dan tidak dalam kendali penuh dari pihak luar.

(47)

maka memahami struktur birokrasi merupakan faktor yang fundamental untuk mengkaji implementasi kebijakan publik. Menurut Edwards III dalam Winarno (2005:150) terdapat dua karakteristik utama dari birokrasi yakni: ”Standard

Operational Procedure (SOP) dan fragmentasi”.”Standard operational

procedure (SOP) merupakan perkembangan dari tuntutan internal akan kepastian waktu, sumber daya serta kebutuhan penyeragaman dalam organisasi kerja yang kompleks dan luas”. (Winarno, 2005:150).

Ukuran dasar SOP atau prosedur kerja ini biasa digunakan untuk menanggulangi keadaan-keadaan umum diberbagai sektor publik dan swasta. Dengan menggunakan SOP, para pelaksana dapat mengoptimalkan waktu yang tersedia dan dapat berfungsi untuk menyeragamkan tindakan-tindakan pejabat dalam organisasi yang kompleks dan tersebar luas, sehingga dapat menimbulkan fleksibilitas yang besar dan kesamaan yang besar dalam penerapan peraturan.

Berdasakan hasil penelitian Edward III yang dirangkum oleh Winarno (2005:152) menjelaskan bahwa:

”SOP sangat mungkin dapat menjadi kendala bagi implementasi kebijakan

(48)

perencanaan yang luwes dan kontrol yang besar atas program yang bersifat fleksibel mungkin lebih dapat menyesuaikan tanggung jawab yang baru daripada birokrasi-birokrasi tanpa mempunyai ciri-ciri seperti ini”.

Sifat kedua dari struktur birokrasi yang berpengaruh dalam pelaksanaan kebijakan adalah fragmentasi. Edward III dalam Winarno (2005:155) menjelaskan bahwa fragmentasi merupakan penyebaran tanggung jawab suatu kebijakan kepada beberapa badan yang berbeda sehingga memerlukan koordinasi. Pada umumnya, semakin besar koordinasi yang diperlukan untuk melaksanakan kebijakan, semakin berkurang kemungkinan keberhasilan program atau kebijakan.

Fragmentasi mengakibatkan pandangan-pandangan yang sempit dari banyak lembaga birokrasi. Hal ini akan menimbulkan konsekuensi pokok yang merugikan bagi keberhasilan implementasi kebijakan. Berikut hambatan-hambatan yang terjadi dalam fregmentasi birokrasi berhubungan dengan implementasi kebijakan publik (Budi Winarno, 2005:153-154):

”Pertama, tidak ada otoritas yang kuat dalam implementasi kebijakan karena

terpecahnya fungsi-fungsi tertentu ke dalam lembaga atau badan yang berbeda-beda. Di samping itu, masing-masing badan mempunyai yurisdiksi yang terbatas atas suatu bidang, maka tugas-tugas yang penting mungkin akan terlantarkan dalam berbagai agenda birokrasi yang menumpuk”.

”Kedua, pandangan yang sempit dari badan yang mungkin juga akan

(49)

dan besar kemumgkinan akan menentang kebijakan-kebijakan baru yang membutuhkan perubahan”.

Membahas badan pelaksana suatu kebijakan, tidak dapat dilepaskan dari struktur birokrasi. Struktur birokrasi adalah karakteristik, norma-norma, dan pola-pola hubungan yang terjadi berulang-ulang dalam badan-badan eksekutif yang mempunyai hubungan baik potensial maupun nyata dengan apa yang mereka miliki dalam menjalankan kebijakan. Van Horn dan Van Meter menunjukkan beberapa unsur yang mungkin berpengaruh terhadap suatu organisasi dalam implementasi kebijakan, yaitu:

a. Kompetensi dan ukuran staf suatu badan.

b. Tingkat pengawasan hirarkhis terhadap keputusan-keputusaan sub unit dan proses-proses dalam badan pelaksana

c. Sumber-sumber politik suatu organisasi (misalnya dukungan diantara anggota legislatif dan eksekutif)

d. Vitalitas suatu organisasi.

e. Tingkat organisasi “terbuka”, yaitu jaringa kerja komunikasi horizontal maupun vertikal secara bebas serta tingkat kebebasan yang secara relatif tinggi dalam komunikasi dengan individu-individu diluar organisasi.

f. Kaitan formal dan informal suatu badan dengan badan pembuat keputusan atau pelaksana keputusan.

(50)

dalam melaksanakan kebijakan. Kebijakan yang komplek membutuhkan kerjasama banyak orang, serta pemborosan sumberdaya akan mempengaruhi hasil implementasi. Perubahan yang dilakukan tentunya akan mempengaruhi individu dan secara umum akan mempengaruhi sistem dalam birokrasi.

D. Tinjauan Tentang Anak

Anak adalah seseorang yang belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah kawin. (Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979, Pasal 1 Ayat 2). Anak adalah seseorang yang belum berusia delapan belas tahun, termasuk anak dalam kandungan. (Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002, Pasal 1 nomor 1)

Anak dalam aspek sosiologis :

Kedudukan anak dalam pengertian sosiologis memposisikan anak sebagi kelompok sosial yang berstatus lebih rendah dari masyarakat tempat lingkungannya berinteraksi. Pengertian anak dalam makna social ini lebih mengarahkan pada perlindungan kodrati karena keterbatasan-keterbatasan yang dimilki oleh si anak sebagain wujud untuk berekspresi sebagaimana orang dewasa (Fadilah, 2002: 35)

Anak dalam arti Ekonomi :

(51)

Anak menurut Konveksi Hak Anak (KHA) :

Dalam Pasal 1 KHA, anak didefinisikan sebagai manusia yang umurnya belum mencapai 18 tahun, namun diberikan juga pengakuan terhadap batasan umur yang berbeda yang mungkin diterapakn dalam perundanagn nasional. Sehubungan dengan bayi dalam kandungan ibu, apakah masuk dalam kategori anak sebagaimana dimaksud dalam KHA. Ada beberapa pendapat mengenai hal ini, pendapat pertma menyatakan bahwa bayi yag berada dalam kandungan juga termasuk dalam kategori anak seperti yang dimaksud dalam KHA. Pendapat kedua menyatakan bahwa yang dimaksud dalam KHA, yakni anak terhitung sejak lahir hingga sebelum berumur 18 tahun.

Anak adalah seseorang yang berusia dibawah 18 (delapan belas) tahun. Anak jalanan selanjutnya disebut anjal adalah anak berusia 0-18 tahun yang beraktivitas di jalanan antara 4-8 jam per hari. (Perda Kota Bandar Lampung Nomor 03 Tahun 2010)

E. Tinjauan Tentang Anak Jalanan

(52)

Anak jalanan adalah salah satu masalah sosial yang kompleks dan bertalian dengan masalah sosial, terutama kemiskinan. Fenomena sosial yang saat ini terus mencemaskan dunia. Sebagian besar anak jalanan adalah remaja berusia belasan tahun. Tetapi tidak sedikit yang berusia di bawah 10 tahun. Anak jalanan bertahan hidup dengan melakukan aktivitas disektor informal, seperti menyemir sepatu, menjual koran, mencuci kendaraan, menjadi pemulung barang-barang bekas. Sebagian lagi mengemis, mengamen, dan bahkan ada yang mencuri, mencopet atau terlibat perdagangan sex. (Suharto, Edi, 2008)

Anak jalanan dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok (Departemen Sosial RI, 2008) yaitu:

1. Anak jalanan yang hidup atau tinggal di jalanan

Adalah anak-anak yang hidup dan tinggal di jalanan. Pada kelompok ini kebanyakan adalah anak-anak yang tidak lagi berhubungan dengan keluarganya, tidak mempunyai tempat tinggal dan pekerjaan tetap. Anak-anak pada kelompok ini mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. Putus hubungan atau lama tdak bertemu dengan orang tuanya minimal setahun yang lalu.

b. Berada di jalanan seharian dan meluangkan 8-10 jam untuk bekerja, sisanya untuk menggelandang.

c. Tidak bersekolah lagi.

(53)

e. Pekerjaannya mengamen, mengemis, pemulung dan serabutan yang hasilnya untuk diri sendiri.

f. Rata-rata berusia dibawah 14 tahun.

2. Anak jalanan yang bekerja di jalanan

Adalah anak-anak yang bekerja di jalanan, yaitu anak-anak yang menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan atau tempat-tempat umum untuk membantu ekonomi keluarganya. Pada kelompok ini anak-anak masih memiliki hubungan dengan anggota keluarganya dan sebagian masih duduk dibangku sekolah. Kelompok ini bercirikan:

a. Berhubungan tidak teratur dengan keluarganya, yakni pulang secara periodik misalnya seminggu sekali, sebulan sekali, dan tidak tentu, mereka umumnya berasal dari luar kota untuk bekerja di jalanan. b. Berada di jalanan 8-12 jam untuk bekerja dan sebagian lagi mencapai

16 jam.

c. Bertempat tinggal dengan cara mengontrak sendiri/bersama teman, dengan orang tua/saudara/di tempat kerjanya di jalanan. Tempat tinggal umumnya kumuh yang terdiri dari orang-orang sedaerah. d. Tidak bersekolah lagi.

e. Pekerjaannya menjual koran, pengasong, pencuci mobil, pemulung, penyemir sepatu, dan lain-lain. Bekerja merupakan kegiatan utama setelah putus sekolah terlebih diantara mereka harus membantu orang tuanya yang miskin, cacat/tidak mampu.

(54)

3. Anak-anak yang berpotensi menjadi anak jalanan

Adalah anak-anak yang berpotensi untuk menjadi anak jalanan, yaitu mereka yang sering berhubungan dengan jalanan misalnya mereka yang menjual koran di jalanan. Ciri dari anak yang termauk kelompok ini adalah:

a. Setiap hari bertemu dengan orang tuanya (teratur). b. Berada di jalanan sekitar 4-6 jam untuk bekerja. c. Tinggal dan tidur bersama orang tua atau walinya. d. Masih bersekolah.

e. Pekerjaannya menjual koran, pengamen, menjual alat-lat tulis, menjual kantong plastik, penyemir sepatu untuk memenuhi kebutuhan sendiri dan orang tuanya.

(55)

III. METODE PENELITIAN

A.Tipe Penelitian

Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang menghasilkan prosedur analisis yang tidak menggunakan prosedur analisis statistik atau cara kuantifikasi lainnya. Menurut Bogdan dan Taylor (Moleong, 2005:4) penelitian kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Sedangkan menurut Moleong (2005:5) penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian, misalnya perilaku persepsi, motivasi, tindakan dan lain-lain, secara holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

(56)

Semua yang dikumpulkan berkemungkinan menjadi kunci terhadap apa yang sudah diteliti. Data tersebut berasal dari naskah wawancara, catatan lapangan, foto, videotape, dokumen pribadi, catatan atau memo, dan dokumen resmi lainnya.

Dalam penelitian ini, peneliti mendeskripsikan dan menganalisis Implementasi Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak Kota Bandar Lampung. Serta faktor-faktor kendala-kendala dan pendukung yang dihadapinya, dengan mendapatkan data-data yang factual, oleh karena itu, penyajian data dan informasi dideskripsikan dalam bentuk kalimat yang lebih bermakna dan mudah dipahami.

B. Fokus Penelitian

(57)

Adapun fokus dalam penelitian ini meliputi:

1. Prakondisi-prakondisi yang diperlukan sehingga suatu implementasi kebijakan dikatakan berhasil dengan indikator, yaitu:

a. Komunikasi b. Sumber-sumber

c. Kecenderungan-kecenderungan (disposisi) d. Struktur birokrasi

2. Kendala-kendala dan pendukung dalam pelaksanaan implementasi Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak tahun 2009.

C. Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian merupakan tempat dimana peneliti melakukan penelitian terutama dalam menangkap fenomena atau peristiwa yang sebenarnya terjadi dari objek yang diteliti dalam rangka mendapatkan datat-data penelitian yang akurat. Dengan mempertimbangkan hal di atas dan membatasi penelitian, maka pnelitian ini akan dilakukan di Kota Bandar Lampung. Penelitian ini terjun langsung ke lapangan guna memperoleh data-data primer dan data sekunder. Adapun lokasi dalam penelitian ini adalah Dinas Sosial, Satpol PP, sektor swasta serta LSM sebagai unit analisis adalah karena beberapa hal, yaitu sebagai berikut:

(58)

yang semakin menjamur, pembangunan jalan, dan lain sebagainya. Hal ini berbanding kontras dengan masih banyaknya anak jalanan di tengah kota. 2. Dinas Sosial dan Satpol PP sebagai institusi yang secara langsung

ditugaskan oleh Pemerintah dalam penanganan anak jalanan.

3. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), yang dalam hal ini yaitu LADA (Lembaga Advokasi Anak)

Beberapa hal yang telah dipaparkan diatas merupakan dasar utama peneliti menentukan lokasi penelitian dan unit analisis, disamping pertimbangan lainnya yaitu pertimbangan waktu, tenaga, dan biaya.

.

D. Jenis dan Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah berupa data primer dan data sekunder.

1. Data Primer

(59)

Yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah:

1. Akuan Efendi selaku Kepala Dinas Sosial Kota Bandar Lampung 2. Mujarin Daud selaku Kepala Bidang Rehabilitasi Dinas Sosial Kota

Bandar Lampung

3. Cik Raden selaku Kepala Dinas Kesatuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung

4. Herman Karim, selaku Kepala Seksi Kesamaptaan, Ketentraman dan Ketertiban Umum Kesatuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung.

5. Haristari selaku Kepala seksi Pembinaan Masyarakat Kesatuan Polisi Pamong Praja Kota Bandar Lampung

6. Faridah selaku staf bagian umum dan kepegawaian Dinsos 7. Dede Suhendri selaku Lembaga Advokasi Anak (LADA) 8. Sakilayati selaku Kepala Sub bagian Dinsos

2. Data sekunder, yaitu data-data tertulis yang digunakan sebagai informasi pendukung dalam analisis data primer. Data ini pada umumnya berupa dokumen tertulis yang terkait dengan data-data resmi mengenai perlindungan anak.

A.Proses dan Teknik Pengumpulan Data

Pada tahap proses pengumpulan data yang telah dilakukan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa tahap kegiatan, diantaranya:

(60)

Pada tahap awal penelitian ini, peneliti mendatangi lokasi penelitian dan beberapa tempat yang berhubungan dengan data-data sekunder penelitian seperti Dinas Sosial dengan Satpol PP Kota Bandar Lampung yang merupakan unsur dari pemerintah yang menjalankan kebijakan dalam pembinaan dan penertiban anak jalanan. Agar proses ini berjalan lancer peneliti berusaha seluwes mungkin didalam menghubungi para informan. 2. Ketika berada dilokasi penelitian

Upaya dalam mendapatkan data yang valid, peneliti berusaha melakukan interaksi naturalistik dengan para informan dan berusaha mendapatkan informasi yang lengkap dan mengungkap makna perilaku para informan. Oleh karena itu peneliti harus bersikap sebijak mungkin sehingga tidak menyinggung perasaan informan dengan cara menjalin hubungan pribadi secara formal maupun informal.

3. Mengumpulkan data

Pada tahap ini ada tiga macam teknik pengumpulan data yang digunakan, yaitu:

a. Wawancara mendalam (in depth interview) teknik ini digunakan untuk menjaring data-data primer yang berkaitan dengan fokus penelitian. Wawancara yang teraplikasi dalam penelitian ini dilakukan secara terstruktur dengan menggunakan penduan wawancara (interview guide). Instrument yang digunakan untuk melakuakan wawancara ini meliputi

(61)

b. Pengamatan (observasi). Teknik ini digunakan untuk merekam data-data primer berupa peristiwa atau situasi sosial tertentu pada lokasi penelitian yang berhubungan dengna fokus penelitian. Adapun observasi yang peneliti lakukan yaitu mengamati secara langsung bagaimana dengan penanganan yang dilakukan oleh pemerintah dalam pembinaan anak jalanan di Kota Bandar Lampung agar berpedoman dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.

c. Dokumentasi. Teknik ini digunakan untuk menghimpun berbagai data sekunder yang memuat informasi tertentu yang bersumber dari dokumen-dokumen tertulis. Adapun data dokumen-dokumentasi yang digunakan penulis adalah dokumen hasil Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pembinaan anak jalanan dari pemerintah.

B.Teknik Analisis Data

Analisis data kualitatif menurut Bogdan dan Biklen (Moleong, 2005: 248) adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain.

(62)

penarikan kesimpulan. Hal ini dijelaskan dalam gambar mengenai komponen-komponen analisis data model interaktif:

1. Reduksi data, yaitu proses pemilihan, pemusatan perhatian, penyederhanaan dan tranformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung secara terus menerus selama proses penelitian berlangsung. Peneliti melakukan reduksi data dengan mengumpulkan hasil wawancara dari para informan atau responden, mengumpulkan data yang telah ada, mengumpulkan data/ hasil selama turun lapang, kemudian memilih data yang perlu disimpan dan membuang data yang dianggap tidak diperlukan.

2. Penyajian data, yaitu usaha untuk menampilkan sekumpulan informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan. Hal ini dapat memudahkan peneliti untuk melihat data secara keseluruhan atau bagian tertentu dalam penelitian.

3. Penarikan kesimpulan, yaitu melakukan verifikasai secara terus menerus selama proses penelitian berlangsung. Peneliti menganalisis data yang ada kemudian menarik kesimpulan yang sifatnya tentatif. Setelah penelitian selesai barulah peneliti menarik kesimpulan secara keseluruhan yang menggambarkan kondisi seseungguhnya yang ada di lapangan.

C. Teknik Keabsahan Data

(63)

1. Derajat kepercayaan (credibilty),

Pada dasarnya derajat kepercayaan (kredibilitas) menggantikan konsep validitas internal dari nonkualitatif. Kriteria ini berfungsi: pertama, melaksanakan inkuiri sedemikian rupa sehingga tingkat kepercayaan penemuannya dapat dicapai; kedua, mempertunjukan derajat kepercayaan hasil-hasil penemuan dengan jalan pembuktian oleh peneliti pada kenyataan ganda yang sedang diteliti. Kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan oleh peneliti untuk memeriksa kredibilitas atau derjat kepercayaan antara lain:

a. Triangulasi

Triangulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain. Teknik triangulasi yang paling banyak digunakan ialah pemeriksaan melalui sumber lainnya. Denzin (dalam Meleong 2005: 330) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan yang memanfaatkan penggunaan sumber, metode, penyidik, teori. Peneliti menggunakan teknik keabshan data triangulasi, karena triangulasi merupakan cara terbaik untuk menghilangkan perbedaan-perbedaan konstruksi kenyataan yang ada dalam konteks suatu studi sewaktu mengumpulkan data tentang berbagai kejadian dan hubungan dari berbagai pandangan. Dengan kata lain, peneliti dapat

(64)

b. Kecukupan referensial

Mengumpulkan berbagai bahan-bahan, catatan atau rekaman-rekaman yang dapat digunakan sebagai referensi dan patokan untuk menguji sewaktu diadakan analisis dan penafsiran data.

2. Keteralihan (transferability)

Menyatakan bahwa generalisasi suatu penemuan dapat berlaku atau diterapkan pada semua konteks dalam populasi yang sama atas dasar penemuan yang diperoleh pada sampel yang secara representatif mewakili populasi itu.

3. Kebergantungan (dependability)

Kebergantungan merupakan substituasi reliabilitas dalam penelitian nonkualitatif. Reliabilitas merupakan syarat bagi validitas. Dalam penelitian kualitatif, uji kebergantungan dilakukan dengan pemeriksaan terhadap keseluruhan proses penelitian. Sering terjadi peneliti tidak melakukan pemeriksaan terhadap keseluruhan proses penelitian ke lapangan, tetapi bisa memberikan data. Peneliti ini perlu di uji

dependability-nya. Kalau proses penelitiannya tidak dilakukan tetapi datanya ada, maka penelitian ini tidak dependable.

4. Kepastian (confirmabilty).

(65)
(66)

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

A. Gambaran Kota Bandar Lampung

1. Sejarah Singkat Kota Bandar Lampung

Kotamadya Bandar Lampung selain Ibu Kota Provinsi Lampung juga merupakan Ibu Kota Kota Bandar Lampung. Provinsi Lampung dibentuk dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 3 tahun 1964 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1964. Sebelum menjadi Provinsi Lampung, Lampung merupakan suatu Keresidenan, sebagai tindak lanjut statusnya di zaman Hindia Belanda dahulu dengan sebutan Residentie der Lapongohe Districten, sewaktu zaman Hindia Belanda dahulu keresidenan Lampung merupakan bagian dari Propinsi Sumatera Selatan.

Wilayah Kota Bandar Lampung di zaman Hindia Belanda dahulu termasuk wilayah onder afdeling Telok-Betong yang dibentuk dengan Staatsbalat 1912 Nomor: 462, terdiri dari Ibu Kota Telok-Betong sendiri dan daerah-daerah sekitarnya. Sebelum Tahun 1912 Ibu Kota Telok-Betong ini meliputi juga Karesidenan Lampung, kedua kota tersebut tidak termasuk dalam Marga

Varband, melainkan berdiri sendiri yang dikepalai oleh seseorang Asisten

(67)

afdeling Telokbetong. Biaya sehari-hari untuk pemeliharaan kedua kota tersebut ditanggung oleh suatu dana yang disebut Plaatsleyk Fonds. Pengelolaan keuangan diatur dalam Keputusan Residen Lampung tanggal 24 november 1930 Nomor 169.

Sejak Kemerdekaan Indonesia berdasarkan Undang-Undang Nomor: 22 Tahun 1948, Kota Tanjungkarang dan Kota Telukbetung berstatus Kota Kecil yang merupakan bagian dari Kabupaten Lampung Selatan, wilayah sekitarnya dipisahkan dari wilayah Onder afdeling Telokbetong-Tanjungkarang berdasarkan Undang-Undang Darurat No: 5 Tahun 1956, kemudian berdasarkan Undang-Undang No: 28 Tahun 1959 nama Kota Besar Telokbetong dirubah menjadi Kotapraja Tanjungkarang-Telukbetung yang didalamnya terdapat 2 Kecamatan; yaitu Kecamatan tanjungkarang dan Kecamatan Telukbetung, sisa Wilayah Onder afdeling

Telukbetung dimasukkan dalam wilayah Kabupaten Lampung Selatan.

Setelah Keresidenan Lampung dinaikkan statusnya menjadi Provinsi Lampung berdasarkan Undang-Undang Nomor: 18 Tahun 1965 Kotapraja Telukbetung berubah menjadi kotamadya Tanjungkarang-Telukbetung. Perbatasan Kotamadya Tanjungkarang-Telukbetung ditentukan dalam Undang-Undang darurat Nomor: 5 Tahun 1956 yo. Undang-Undang Nomor: 28 Tahun 1959 didalamnya terdapat 4 Kecamatan, yaitu:

(68)

2. Kecamatan Tanjungkarang Timur dengan Pusat Pemerintahannya berkedudukan di Kampung Sawah Lama.

3. Kecamatan Telukbetung Utara dengan Pusat Pemerintahannya berkedudukan di Sumur Batu.

4. Kecamatan Telukbetung Selatan dengan Pusat Pemerintahnnya berkedudukan di Jalan Mentawai Telukbetung.

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1975 dan Peraturan Pemerintah No.3 Tahun 1982 tentang Perubahan batas Wilayah Kotamadya dati II Tanjungkarang-Telukbetung yang mulai berlaku efektif terhitung sejak tanggal 8 Juni 1982, yaitu sejak diserahkan oleh Bupati Kepala Daerah Tingkat II Lampung Selatan kepada Wali Kotamadya Kepala Daerah Tingkat II Tanjungkarang-Telukbetung diperluas dengan dimasukkannya sebagian wilayah Kabupaten Daerah Tingkat II kabupaten Lampung Selatan yang meliputi 14 Desa dari sebagian wilayah Kecamatan Kedaton, 14 Desa Kecamatan Panjang.

(69)

Nomor 04 tahun 2001 tentang pembentukan, penghapusan dan penggabungan Kecamatan dan Kelurahan dalam Kota Bandar Lampung, maka Kota Bandar Lampung menjadi 13 Kecamatan dengan 98 Kelurahan, yaitu: Kedaton, Tanjungkarang Timur, Tanjungkarang Barat, Tanjungkarang Pusat, Sukarame, Telukbetung Utara, Telukbetung Selatan, Telukbetung Barat, Panjang, Kemiling, Rajabasa, Tanjung Seneng, dan Sukabumi.

Kotamadya Tanjungkarang TelukBetung (Bandar Lampung) sebagai Ibukota Provinsi Lampung berdasarkan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Tanjungkarang Telukbetung (Bandar Lampung) Nomor 5 Tahun1983, tanggal 26 Januari 1983 telah ditetapkan Hari Jadinya pada tanggal 17 Juni 1682. Sejak tahun 1965 sampai saat ini Kota Bandar Lampung telah dijabat oleh beberapa Walikota/KDH Tingkat II berturut-turut sebagai berikut:

Tabel 5. Nama-nama pejabat Pemerintah yang pernah menjadi Walikota Bandar Lampung

No Nama Periode

01. SUMARSONO 1956-1957

02. H. ZAINAL ABIDIN P.A 1957-1963

03. ALIMUDIN UMAR. SH 1963-1969

04. Drs. H.M. THABRANI DAUD 1963-1969

05. Drs. H. FAUZI SALEH 1976-1981

06. Drs. H. ZULKARNAIN SUBING 1981-1986

07. Drs. H. NURDIN MUHAYAT 1986-1995

08. Drs. H. SUHARTO 1996-2005

09. EDY SUTRISNO, S.Pd., M.Pd. 2005-2010 10. Drs. H. HERMAN HN. MM. 2010-sekarang

(70)

2. Letak Geografis Kota Bandar Lampung

Secara geografis Kota Bandar Lampung terletak pada kedudukan 5o20’ sampai dengan 5o30’ Lintang Selatan dan 105o28’ sampai dengan 105o37’ Bujur Timur. Letak tersebut berada di Teluk Lampung dibagian selatan Provinsi Lampung dan diujung selatan Pulau Sumatera, yang memiliki luas wilayah 192,18 KM2 terdiri dari 13 Kecamatan dan 98 Kelurahan, 251 lingkungan dan 2.632 RT dengan klasifikasi kelurahan swasembada dan dengan batas wilayah sebagai berikut:

1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Natar Kabupaten Lampung Selatan.

2. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Padang Cermin dan Ketibung Lampung Selatan serta Teluk Lampung.

3. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Tanjung Bintang Kabupaten Lampung Selatan.

4. Sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Gedung Tataan dan Padang Cermin Kabupaten Lampung Selatan.

3. Kondisi Demografi Kota Bandar Lampung

Gambar

Tabel 5. Nama-nama pejabat Pemerintah yang pernah menjadi Walikota Bandar Lampung
Gambar 4. Struktur Organisasi Kantor Kesatuan Polisi Pamong Praja Kota

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil penelitian dapat diketahui mengenai keterjangkauan pelayanan kesehatan bahwa pelayanan kesehatan yang diberikan oleh puskesmas desa gunawan cukup optimal

63 Data Profitabilitas dan Ukuran Perusahaan Jasa yang Tidak Menerapkan GCG.

Berdasarkan uraian pembahasan dan permasalahan serta tujuan penelitian “Penerapan SAK EMKM sebagai dasar penyusunan Laporan Keuangan UMKM (studi kasus pada UMKM UD

Sebagai implementasinya, Pemerintah kemudian mengesahkan Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang kemudian dilakukan perubahan terhadap

Sumber data dalam penelitian ini adalah film《 天下无贼》 Tiānxià Wú Zéi karya (赵本夫) Zhao Benfu. Data dalam penelitian ini berupa monolog, kutipan-kutipan

tidak dapat memberikan, dan kalau ditunggu untuk waktu yang cukup lama para pesiarah dan masyarakat di tempat itu tidak juga menyadari bahwa permohonan-permohonan seperti itu

Kadar bilirubin dalam serum dipengaruhi oleh metabolisme hemoglobin, fungsi hepar dan kejadian-kejadian pada saluran empedu. Apabila destruksi eritrosit bertambah, maka

28 disebabkan oleh karakteristik tertentu yang relevan 29 dengan golongan transaksi, saldo akun, atau 30 pengungkapan (contoh, risiko bawaan); dan 31 (ii) Apakah penilaian risiko