• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM HUKUM ACARA PE 001

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM HUKUM ACARA PE 001"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBUKTIAN TERBALIK

DALAM HUKUM ACARA PERDATA

(Disusun guna memenuhi tugas Hukum Acara Perdata Kelas I)

Kelompok 5:

Nanda Dwi Haryanto E0014288

\

FAKULTAS HUKUM

(2)

PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM HUKUM ACARA PERDATA

Abstrak:

Pembuktian merupakan tahap yang memiliki peran penting untuk menjatuhkan putusan. Arti pembuktian dalam perkara perdata ialah meyakinkan Hakim terhadap kebenaran atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa. Dalam hukum perdata, siapa yang mendalilkan, maka ia yang harus membuktikan (actor incumbit probatio). Namun, pada perkara tertentu dapat diterapkan pembuktian terbalik. Pada dasarnya prinsip pembuktian terbalik menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggungjawab (principle of liability principle), sampai tergugat dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Dalam prinsip pembuktian terbalik, beban pembuktiannya ada pada si tergugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tak bersalah, dan konsumen tidak dapat sekehendak hati dalam hal mengajukan gugatan.

Kata kunci: Pembuktian, Pembuktian Terbalik

A. PENDAHULUAN

Pembuktian menurut Prof. Sudikno bertujuan untuk memberi kepastian kepada hakim tentang kebenaran suatu peristiwa yang menjadi dasar gugatan atau bantahan. Pembuktian merupakan tahap yang memiliki peran penting untuk menjatuhkan putusan.1 Proses pembuktian dalam proses persidangan dapat dikatakan sebagai sentral dari proses pemeriksaan di Pengadilan. Karena tahap pembuktian menentukan putusan yang dijatuhkan oleh hakim. Pembuktian menjadi central dimana dalil-dalil para pihak diuji melalui tahap pembuktian guna menemukan hukum yang akan diterapkan maupun ditemukan dalam suatu perkara tertentu.2

(3)

Berbeda dengan hukum pidana yang menggunakan sistem pembuktian materiil, maka proses perdata menganut pembuktian formil yang dalam prakteknya lebih sulit daripada pembuktian materiil. Dalam proses perdata beban pembuktian merupakan kewajiban penggugat.3 Pada dasarnya, hukum acara perdata tidak mengatur secara jelas bagaimana pengertian pembuktian terbalik dan pelaksanaanya. Oleh karena itu, kami tertarik untuk membahas lebih lanjut tentang pembuktian terbalik dalam hukum acara perdata.

B. RUMUSAN MASALAH

1. Bagaimana Penerapan dari Pembuktian Terbalik pada Hukum Acara Perdata? 2. Bagaimana Perbedaan Antara Pembuktian dengan Pembuktian Terbalik dalam

Hukum Acara Perdata?

C. PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM HUKUM ACARA PERDATA

Salah satu ketentuan hukum acara di Indonesia yang mengatur mengenai hukum pembuktian adalah Pasal 163 HIR/ 283 RBg dan 1865 KUHPerdata yang pada asasnya menentukan bahwa setiap orang yang mendalilkan bahwa ia mempunyai sesuatu hak, atau guna menegakkan hak-haknya sendiri maupun membanntah hak orang lain, menunjuk pada suatu peristiwa, diwajibkan membuktikan adanya hak atau peristiwa tersebut (asas actor incumbit pro batio).4

Sebenarnya, perkembangan dunia hukum saat ini tidak lagi menjadikan ketentuan Pasal 163 HIR sebagai pedoman yang ketat. Rasa keadilan hakim saat ini mulai membawanya untuk menerapkan beban pembuktian yang lebih berat bagi pihak yang paling sedikit dirugikan.5 Pedoman pembebanan pembuktian ini sebenarnya mirip dengan yang dianut oleh negara common law pada umumnya,

3Suhadibroto, “Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi”, Komisi Hukum Nasional, (Jakarta: November 2005), hlm. 3.

4Sandra Dini Febri Aristya, “Pembuktian Perdata dalam Kasus Malpraktik di Yogyakarta”, Mimbar Hukum, (November 2011), hlm. 190.

(4)

dimana asasnya berbunyi “he who asserts must prove”6. Asas ini menetapkan bahwa setiap penggugat yang mengajukan gugatanlah yang harus membuktikan kebenaran dalil-dalil gugatannya.

Dalam pembuktian terbalik, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi pembebanan pembuktian ada pada si tergugat. Undang-Undang Perlindungan Konsumen mengadopsi sistem pembuktian terbalik ini, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 19, 22, dan 23 dan ketentuan Pasal 28 Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Dasar demikian dari teori pembalikan beban pembuktian adalah seseorang dianggap tidak bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya.7 Dalam hal perlindungan konsumen apabila suatu produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha cacat, maka konsumen cukup membuktikan bahwa produk yang dikonsumsinya memang cacat dan mengakibatkan kerugian. Sedangkan ada tidaknya kelalaian atau kesalahan dalam proses produksi barang dan jasa menjadi tanggung jawab pelaku usaha untuk membuktikan (pembuktian terbalik).8 Dalam hal perlindungan konsumen, pembuktian terbalik hanya dapat dilakukan pada penyelesaian sengketa konsumen melalui jalur perdata. Sementara konsep pembuktian terbalik dalam penyelesaian melalui jalur pidana sebaiknya tidak dilakukan karena bertentangan dengan asas praduga tak bersalah yang diatur dalam Pasal 8 UU No. 4 Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 18 UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.9

D. PERBEDAAN ANTARA PEMBUKTIAN DENGAN PEMBUKTIAN TERBALIK DALAM HUKUM ACARA PERDATA

6 M. Yahya Harahap, 2007, Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 523.

7 Andi Handono, “Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terhadap Informasi Iklan Barang dan Jasa yang Menyesatkan”, Jurnal Hukum, Fakultas Hukum Universitas Jember, (Jember: Oktober 2011), hlm. 37.

8 Ibid., hlm. 131.

(5)

1. Pembuktian Dalam Acara Perdata

Arti pembuktian dalam perkara perdata ialah meyakinkan Hakim terhadap kebenaran atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa.10 Sebagaimana dalam Pasal 1865 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bahwa, “Barang siapa yang mengatakan mempunyai barang sesuatu hak atau menyebutkan sesuatu kejadian untuk meneguhkan haknya itu, atau untuk membantah hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak itu atau kejadian itu.”11 Dalam hukum perdata, siapa yang mendalilkan, maka ia yang harus membuktikan (actor incumbit probatio). Itikad baik tergugat selalu dianggap ada, selama penggugat tidak mampu membuktikan adanya unsur itikad tidak baik dari penggugat.12

Dalam hukum acara perdata dikenal prinsip negative non sunt probanda, yang artinya jika salah satu pihak mendalilkan gugatan atau bantahan berdasarkan suatu hal atau keadaan yang sifatnya mengingkari (tidak melakukan/tidak berbuat sesuatu) maka tidak patut dan tidak layak jika pihak yang merasa tidak melakukan/ tidak berbuat sesuatu itu diwajibkan untuk membuktikan hal yang tidak dilakukannya.13 Berdasarkan yurisprudensi, maka jauh lebih mudah untuk membuktikan hal atau keadaan yang lebih positif, artinya hal atau keadaan yang menyatakan suatu perbuatan/sesuatu hak dan bukannya mengingkari. Hal ini sesuai dengan pendapat Paton yang mengatakam bahwa pembuktian suatu negatie tidak dapat dibebankan kepada seseorang tanpa alasan-alasan yang sangat kuat.14

Asas pembagian beban pembuktian yang tercantum dalam pasal 163 HIR, berarti bahwa kedua belah pihak dapat dibebankan dengan pembuktian. Penggugat wajib membuktikan peristiwa yang diajukannya, sedang tergugat berkewajiban

10Maisara Sunge, “Beban Pembuktian dalam Perkara Perdata”, Jurnal INOVASI, 9 (2), Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo, (Gorontalo: Juni 2012), hlm. 2

11 Ibid., hlm. 1

12Hery Shietra,”Beban Pembuktian dalam Hukum Pidana dan Perdata”, (http://hery-shietra.blogspot.co.id/2014/01/beban-pembuktian-dalam-hukum-pidana-dan.html, diakses pada 22 April 2016 pukul 14.22

13 Sandra Dini Febri Aristya, Op. Cit, hlm. 191-192.

(6)

membuktikan kebenaran bantahannya. Penggugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran bantahan tergugat.15

2. Pembuktian Terbalik Dalam Acara Perdata

Konsep pembuktian terbalik di Indonesia dalam penyelesaian sengketa perdata berkaitan dengan hukum perlindungan konsumen. Pembuktian terbalik diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen. Pasal 28 UUPK yang berbunyi, “Pembuktian terhadap ada atau tidaknya unsur kesalahan dalam gugatan ganti kerugian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19, Pasal 22, dan Pasal 23 merupakan beban dan tanggung jawab pelaku usaha.” Rumusan inilah yang kemudian dikenal dengan sistem pembuktian terbalik.16 Rumusan Pasal 23 memperlihatkan bahwa prinsip tanggung jawab yang dianut dalam UUPK adalah praduga untuk selalu bertanggung jawab (presumption of liability principle). Prinsip ini merupakan salah satu modifikasi dari prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan dengan beban pembuktian terbalik.17

Pada dasarnya prinsip pembuktian terbalik menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggungjawab (principle of liability principle), sampai tergugat dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Dalam prinsip pembuktian terbalik, beban pembuktiannya ada pada si tergugat. Hal ini tentu bertentangan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence). Namun jika diterapkan dalam kasus konsumen akan tampak asas demikian cukup relevan. Jika menggunakan teori pembuktian terbalik ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu pada pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tak bersalah, dan konsumen tidak dapat sekehendak hati dalam hal

15 Maisara Sunge, Op. Cit, hlm. 5.

(7)

mengajukan gugatan. Posisi konsumen sebagai penggugat selalu terbuka untuk digugat balik oleh pelaku usaha, jika ia gagal menunjukkan kesalahan tergugat.18

E. KESIMPULAN

1. Pembuktian Terbalik dalam Hukum Acara Perdata

Dalam pembuktian terbalik, tergugat selalu dianggap bertanggung jawab, sampai ia dapat membuktikan, ia tidak bersalah. Jadi pembebanan pembuktian ada pada si tergugat. Dasar demikian dari teori pembalikan beban pembuktian adalah seseorang dianggap tidak bersalah sampai yang bersangkutan dapat membuktikan sebaliknya. Dalam hal perlindungan konsumen apabila suatu produk yang dihasilkan oleh pelaku usaha cacat, maka konsumen cukup membuktikan bahwa produk yang dikonsumsinya memang cacat dan mengakibatkan kerugian. Sedangkan ada tidaknya kelalaian atau kesalahan dalam proses produksi barang dan jasa menjadi tanggung jawab pelaku usaha untuk membuktikan (pembuktian terbalik).

2. Perbedaan antara Pembuktian dengan Pembuktian Terbalik dalam Hukum Acara Perdata

Arti pembuktian dalam perkara perdata ialah meyakinkan Hakim terhadap kebenaran atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu sengketa. Dalam hukum perdata, siapa yang mendalilkan, maka ia yang harus membuktikan (actor incumbit probatio). Pada dasarnya prinsip pembuktian terbalik menyatakan bahwa tergugat selalu dianggap bertanggungjawab (principle of liability principle), sampai tergugat dapat membuktikan bahwa ia tidak bersalah. Dalam prinsip pembuktian terbalik, beban pembuktiannya ada pada si tergugat. Jika menggunakan teori pembuktian terbalik ini, maka yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan itu pada pelaku usaha yang digugat. Tergugat harus menghadirkan bukti-bukti bahwa dirinya tak bersalah, dan konsumen tidak dapat sekehendak hati dalam hal mengajukan gugatan.

18Sam Heru, 2014,“Teori Pertanggungjawaban”,

(8)

F. DAFTAR PUSTAKA 1. Buku

Harahap, M. Yahya. 2007. Hukum Acara Perdata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Jakarta: Sinar Grafika.

Mertokusumo, Sudikno. 2006. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta: Liberty.

2. Jurnal

Aristya, Sandra Dini Febri. 2011. “Pembuktian Perdata dalam Kasus Malpraktik di Yogyakarta”. Yogyakarta: Mimbar Hukum.

Barkatullah, Abdul Halim. 2010. “Tanggung Jawab dalam Transaksi Konsumen di Dunia Maya”. Banjarmasin: Fakultas Hukum Universitas Lambung Mangkurat.

Handono, Andi. 2011. “Perlindungan Hukum bagi Konsumen Terhadap Informasi Iklan Barang dan Jasa yang Menyesatkan”. Jurnal Hukum. Jember: Fakultas Hukum Universitas Jember.

Lestari, Diamitri Asri. 2014. “Kekuatan Alat Bukti Akta Otentik yang Dibuat oleh Notaris Dalam Pembuktian Perkara Perdata di Pengadilan Negeri Sleman”. Yogyakarta: Fakultas Hukum Universitas Atmajaya Yogyakarta.

Suhadibroto. 2005. “Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Tindak Pidana Korupsi”. Jakarta: Komisi Hukum Nasional.

Sunge, Maisara. 2012. “Beban Pembuktian dalam Perkara Perdata”. Jurnal INOVASI. 9(2). Gorontalo: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Gorontalo.

Zuhairi, Ahmad. 2015. “Konstruksi Perlindungan Hukum bagi Pengadu/Pelapor Kerugian Konsumen dari Tuntutan Pencemaran Nama Baik oleh Pelaku Usaha/Produsen”. Jurnal IUS. 3(7). Mataram: Fakultas Hukum Mataram.

(9)

Heru, Sam. 2014. “Teori Pertanggungjawaban”. http://tanpajudul08-.blogspot.co.id/2014-/09/teori-pertanggungjawaban.html. Diakses pada 20 April 2016 pukul 22.55.

Referensi

Dokumen terkait

Dari hasil analisis data dapat diketahui bahwa terdapat perbedaan antara kurs Rp/US$ sebelum kenaikan BBM 1 Oktober 2005 dan sesudah kenaikan harga BBM 1 Oktober 20051. Nilai kurs

Penelitian ini diharapkan dapat membantu para pelaku pariwisata dan pemangku kepentingan, baik pemerintah maupun masyarakat dalam mengambil kebijakan yang dianggap

Komponen DSS Subsystems: Data management Dikelola oleh DBMS Model management Dikelola oleh MBMS User interface. Knowledge Management and organizational

Persentase hidup spermatozoa ayam Kampung setelah pengenceran pada perlakuan jenis krioprotektan DMF (84,81%) hasilnya sama baik dibandingkan dengan DMA (78,50%) dan

Usaha Kecil adalah usaha ekonomi produktif yang berdiri sendiri, yang dilakukan oleh orang perorangan atau badan usaha yang bukan merupakan anak perusahaan atau bukan cabang

Objek penelitian berupa pembelajaran keterampilan menulis teks negosiasi dengan media audio-visual pada proses belajar mengajar siswa kelas X SMK Muhammadiyah 3

Dengan demikian, MPR di masa yang akan datang tidak dapat lagi menerbitkan Ketetapan MPR yang bersifat mengatur (regaling), maka Ketetapan MPR yang selama Ini berada dalam tata

Sehingga dapat diartikan bahwa motif menonton merupakan alasan ataupun dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia menyaksikan sebuah acara yang diselenggarakan