• Tidak ada hasil yang ditemukan

ADVERSITY QUOTIENT DENGAN PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA SMP

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "ADVERSITY QUOTIENT DENGAN PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA SMP"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

i

ADVERSITY QUOTIENT

DENGAN PERILAKU MENYONTEK

PADA

SISWA SMP

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Muhammadiyah Malang sebagai salah satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana Psikologi

Oleh: Rahma Fitrah 201210230311013

Oleh: Rahma Fitrah 201210230311013

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

(2)

i ADVERSITY QUOTIENT DENGAN PERILAKU MENYONTEKPADA SISWA SMP

SKRIPSI

Diajukan kepada Universitas Muhammadiyah Malang sebagai salah satu persyaratan memperoleh Gelar

Sarjana Psikologi

Oleh : Rahma Fitrah 201210230311013

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MALANG

(3)

ii

LEMBAR PENGESAHAN

1.Judul Skripsi : Adversity Quotient Dengan Perilaku Menyontek Pada Siswa SMP.

2. Nama Peneliti : Rahma Fitrah

3. NIM : 20121023031013

4. Fakultas : Psikologi

5. Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang 6. Waktu Penelitian : 12 Desember 2015

Skripsi ini telah diuji oleh dewan penguji pada tanggal 4 Januari 2016 Dewan Penguji

Ketua Penguji : Yuni Nurhamida, S.Psi, M. Si ( )

Anggota Penguji : 1. Ari Firmanto, S.Psi., M.Si ( ) 2. Adhyatman Prabowo, S.Psi., M.Si ( ) 3. Muhammad Shohib, S.Psi., M.Si ( )

Pembimbing I Pembimbing II

Yuni Nurhamida, S.Psi, M. Si Ari Firmanto, S.Psi., M.Si

Malang, 04 Januari 2016 Mengesahkan,

Dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

(4)

iii

SURAT PERNYATAAN

Yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Rahma Fitrah

NIM : 201210230311013

Fakultas / Jurusan : Psikologi

Perguruan Tinggi : Universitas Muhammadiyah Malang

Menyatakan bahwa skripsi/karya ilmiah yang berjudul :

Adversity Quotient dengan Perilaku Menyontek pada Siwa SMP

1. Adalah bukan karya orang lain baik sebagian maupun keseluruhan kecuali dalam bentuk kutipan yang digunakan dalam naskah ini telah disebutkan sumbernya. 2. Hasil tulisan karya ilmiah/skripsi dari penelitian yang saya lakukan merupakan

Hak bebas Royalti non eksklusif, apabila digunakan sebagai sumber pustaka. Demikian surat pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya dan apabila pernyataan ini tidak benar, maka saya bersedia mendapat sanksi sesuai dengan undang-undang yang berlaku.

Malang, Januari 2016

Mengetahui

Ketua Program Studi Yang menyatakan

Materai Rp.6000

(5)

iv

KATA PENGANTAR

Segala Puji bagi Allah SWT, degan segala kebesaran, karunia dan izin-Nya peneliti dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Kekasih Allah, Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat dan pengikut jejak langkahnnya sampai hari akhir nanti.

Skripsi ini berjudul “Adversity Quotient Dengan Perilaku Menyontek Pada Siswa SMP”. Maksud penulisan skripsi ini adalah sebagai salah satu syarat menyelesaikan studi tingkat Strata 1 (S-1) di Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang.

Sebagai pribadi yang memiliki keterbatasan, peneliti menyadari bahwa kelancaran penyusunan skripsi ini tidak lepas dari adanya dorongan, bantuan dan dukungan dari semua pihak. Pada kesempatan ini peneliti mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dra. Tri Dayakisni, M.Si, selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

2. Yuni Nurhamida, S.Psi., M.Si selaku dosen pembimbing I yang telah meluangkan waktu untuk memberikan arahan dan bimbingan yang bermanfaat hingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik

3. Ari Firmanto, S.Psi., M.Si selaku dosen pembimbing II yang telah turut membimbing, memberikan arahan dan saran-saran yang bermanfaat hingga tahap akhir penyusunan skripsi ini

4. Diana Savitri, S.Psi, M.Psi selaku dosen wali yang telah mendukung dan memberikan pengarahan sejak awal perkuliahan hingga terselesaikannya skripsi ini.

5. Seluruh dosen Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang untuk semua ilmu yang Bapak dan Ibu berikan sejak awal perkuliahan hingga selesainya skripsi ini

6. Seluruh staff Tata Usaha Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang atas pelayanan yang diberikan dari awal perkuliahan hingga terselesaiannya skripsi ini

7. Seluruh Staff TU, Kepala Sekolah, Guru dan BK SMP Negeri 2 Malang yang telah membantu berjalannya penelitian ini

8. Yang paling aku sayangi dari lubuk hatiku yang paling dalam kepada Abahku tercinta H.Dewarna Lasser dan Mamaku tersayang Hj. Ratnawaty yang telah mencurahkan kasih dan sayang, mengorbankan energi, waktu, materi, mendidik, merawat, mendoakan, dan support yang tiada henti hingga saya bisa sampai ke tahap ini, saya selalu membutuhkan restu dan keridhoan kalian agar langkah saya mewujudkan harapan-harapan selanjutnya senantiasa terasa ringan. Jazakumullah Khairan Katsiran, Ana Uhibbukafillah ya abah wa mama.

9. Kakak-kakak dan keluarga besar terima kasih atas segala nasihat, support, doa, dan dukungan moril dan materi. Jazakumullah Khairan Katsiran.

(6)

v Layanan Psikologi (PLP), Organisasi LISFA, PSM GITA SURYA. Terima kasih untuk segala support, kebaikannya, keceriaan, hal positif yang kalian ajarkan kepadaku. Jazakumullah Khairan Katsiran

11.Dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat disebutkan satu persatu, Jazakumullah Khairan Katsiran

Akhir kata, tiada satupun karya manusia yang sempurna, saran dan kritik sangat penulis harapkan untuk kebaikan bersama. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat bagi kita semua.

Malang, Januari 2016

(7)

vi

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

LEMBAR PENGESAHAN ... ii

SURAT PERNYATAAN ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

PENDAHULUAN ... 1

Abstrak ... 1

Latar Belakang ... 2

LANDASAN TEORI ... 5

Adversity Quotient ... 5

Perilaku Menyontek ... 7

Adversity Quotient dan Perilaku Menyontek ... 7

METODE PENELITIAN ... 11

Rancangan Penelitian ... 11

Subjek Penelitian ... 11

Variabel Penelitian ... 11

Instrumen Penelitian dan Reliabilitas Instrumen ... 12

Prosedur Penelitian ... 15

HASIL PENELITIAN ... 17

Deskripsi Subjek Penelitian ... 17

Tingkat Adversity Quotient ... 17

Tingkat Menyontek ... 17

Deskripsi Hasil Analisa Hubungan Adversity Quotient dan Perilaku Menyontek ... 17

(8)

vii

SIMPULAN dan IMPLIKASI ... 26

Simpulan ... 25

Implikasi... 25

REFERENSI ... 26

(9)

viii

DAFTAR TABEL

Nomor Tabel

Tabel 1 : Format penilaian Skala Adversity Quotient ... 13

Tabel 2 : Blue Print Skala Tryout Adversity Quotient ... 13

Tabel 3 : Format Penilaian Skala Menyontek ... 15

Tabel 4 : Blue Print Try Out Skala Menyontek ... 15

Tabel 5 : Katagorisasi Adversity Quotient dan Menyontek ... 17

(10)

ix

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 : Bagan Hubungan Adversity Quotient dan Perilaku Menyontek ... 10 Gambar 2 : Perbandingan Skor Mean Adversity Quotient dan Perilaku

Menyontek berdasarkan Jenis Kelamin ... 18 Gambar 3 : Perbandingan Skor Mean Adversity Quotient dan

Perilaku Menyontek berdasarkan Tingkatan Kelas ... 19 Gambar 4 : Perbandingan Skor Mean Adversity Quotient dan Perilaku

(11)

x

DAFTAR LAMPIRAN

LAMPIRAN 1 : Instrumen Penelitian... 29

LAMPIRAN 2 : Data Kasar Adversity Quotient ... 47

LAMPIRAN 3 : Data Kasar Perilaku Menyontek ... 54

LAMPIRAN 4 : Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 60

LAMPIRAN 5 : Hasil Analisa Data ... 71

LAMPIRAN 6 : Rangkuman Hasil Perhitungan Mean Skor dan SD Adversity Quotient dan Perilaku Menyontek berdasarkan Jenis Kelamin, Tingkatan Kelas dan Kelompok Kelas ... 104

LAMPIRAN 7 : Data Kasar Entri SPSS ... 109 LAMPIRAN 8 : Surat Keterangan Penelitian

(12)

1

ADVERSITY QUOTIENT

DENGAN PERILAKU MENYONTEK PADA

SISWA SMP

Rahma Fitrah (201210230311013)

Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang

rahmafitrafi@gmail.com

Menyontek adalah permasalahan di dunia pendidikan yang belum menemukan jalan keluar. Sistem pendidikan Indonesia yang menggunakan tingginya skorsebagai tolak ukur kemajuan dan penguasaan ilmu siswa, menyebabkan masyarakat memandang prestasi belajar hanya dari skor akhir yang tinggi, bukan pada prosesnya. Pandangan tersebut menimbulkan tekanan pada siswa untuk mencapai nilai yang tinggi. Tuntutan menguasai standar kompetensi dengan tingkat kesulitan yang bervariasi menjadi tantangan tersendiri bagi diri siswa untuk mengerahkan segala usaha dan tak jarang menyontek menjadi pilihan untuk menyelesaikan kesulitan belajar yang dihadapi. Adversity Quotien terkait kemampuan seseorang bertindak mengatasi kesulitan diduga menjadi salah satu komponen psikologis yang diduga berhubungan dengan perilaku menyontek siswa. Desain penelitian ini adalah non-eksperimen kuantitatif dengan instrumen berupa skala Adversity Quotient dan Perilaku Menyontek yang disusun sendiri oleh peneliti. Terdapat 180 partisipan penelitian yang dipilih dengan teknik non-random sampling dengan model cluster sampling. Hasil penelitian menunjukkan ada hubungan negatif yang sangat signifikan antara Adversity Quotient dan Menyontek yang ditunjukkan dengan nilai p = 0,000 dan nilai r sebesar -0,536. Artinya semakin tinggi

Adversity Quotientyang dimiliki siswa-siswi tersebut maka semakin rendah perilaku menyontek yang dimunculkan begitupun sebaliknya.

Kata Kunci: Adversity Quotient, Menyontek, Siswa SMP, Remaja

Cheating is a problem in the world of education that has not found a way out. Indonesian education system that uses highscores as a measure of student progress and mastery of knowledge students, learning achievement led to public view only of the achievement of a high scores, rather than on the process. Therefore, that view led to pressure on students to achieve a high score. Demands to master the competency standards with varying levels of difficulty to challenge for the students to exert all efforts and cheat as an option to complete the learning difficulties encontered. Adversity Quotient related to a person’s ability to act to overcome difficulties is thought to be one of the psycological components that were related to the behavior of cheating students. This study design is non-experimental quantitative with instument in the form of Adversity Quotient scale and Cheating Behavior compiled by researcher. There are 180 study participants were selected by non-random sampling technique with model of cluster sampling. The result showed a significant negative correlation between Adversity Quotient and Cheating indicated with p = 0,000 and r value of = 0,536. This means that the higher the Adversity Quotient owned students, the lower cheating behavior that is raised and vice versa.

(13)

2 Pendidikan nasional Indonesia saat ini memiliki tujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, berkepribadian yang mantap dan mandiri serta bertanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan tersebut tercantum dalam Undang-undang nomor 2 tahun 1989 bab 2 pasal 4 yang ditetapkan oleh Pemerintah Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (2006), yang kemudian ditegaskan kembali dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia tahun 2005 nomor 19 tahun 2005 bab 2 pasal 4, mengenai tujuan standar pendidikan nasional. Secara singkat, pendidikan nasional bertujuan untuk mewujudkan manusia Indonesia yang berkualitas secara utuh, yaitu yang bermutu dalam seluruh dimensinya: kepribadian, intelektual, dan kesehatannya.

Kenyataan bahwa sistem pendidikan Indonesia yang menggunakan nilai dari tes atau evaluasi belajar terhadap materi yang diberikan sebelumnya untuk menunjukkan kemajuan dan penguasaan ilmu anak didik, menyebabkan masyarakat memandang prestasi belajar hanya dari pencapaian nilai yang tinggi, bukan pada prosesnya. Pandangan tersebut menimbulkan tekanan pada siswa untuk mencapai nilai yang tinggi. Tekanan yang dirasakan akan membuat siswa lebih berorientasi pada nilai, bukan pada ilmu. Siswa dapat mempersepsi ujian sebagai alat untuk menyusun peringkat dan dapat menyebabkan dirinya mengalami kegagalan, bukan sebagai instrumen yang dapat menunjukkan kemajuan dalam proses belajar (Sujana dan Wulan, 1994). Kemungkinan mengalami kegagalan diangggap sebagai ancaman dan merupakan stimulus yang tidak menyenangkan. Ada berbagai respon yang dilakukan siswa dalam menghadapi ancaman kegagalan, misalnya mempelajari materi secara teratur atau berlatih mengerjakan soal-soal latihan yang diberikan guru. Ada pula siswa yang memberikan respon menghindari ancaman kegagalan tersebut dengan menyontek (Schweitzer & Gibson dalam Peer, E., Acquisti, A., and Shalvi, S. 2014).

Berdasarkan survey yang dilakukan oleh Frankly-Stokes dan Newstead (Anderman dan Mudrock, 2007) ditemukan bahwa bentuk perilaku menyontek yang paling sering dilakukan oleh siswa adalah memberi izin kepada orang lain untuk menyalin pekerjaan (72%), peringkat kedua adalah mengerjakan pekerjaan orang lain (66%), menyalin atau mencatat tanpa mencantumkan sumber literatur (66%), dan peringkat terakhir yaitu menyalin pekerjaan orang lain tanpa sepengetahuan yang bersangkutan (64%). Hasil survey Litbang Media Group pada tanggal 19 April 2007, yang dilakukan di enam kota besar di Indonesia (Makasar, Surabaya, Yogyakarta, Bandung, Jakarta dan Medan), menyebutkan hampir 70 % responden menjawab pernah melakukan praktik menyontek ketika masih sekolah maupun kuliah. Artinya, mayoritas responden penelitian pernah melakukan kecurangan akademik berupa menyontek. Survey juga dilakukan disalah satu universitas negeri terkemuka di Bandung menyatakan bahwa 58 % responden pernah menyontek ketika di bangku SD, 78% di bangku SMP, 80% di SMA dan 37 % setelah masuk kuliah (cetak.kompas.com).

(14)

3 Namun demikian pada kenyataannya tidak semua siswa setuju dengan intensitas perilaku menyontek. Berita juga mengutip mengenai siswa yang mengaku tidak mau menyontek dengan beberapa alasan diantaranya: menyontek menunjukkan bahwa siswa tidak percaya pada kemampuan sendiri, menyontek sebagai perbuatan membohongi diri sendiri, tidak menghargai diri sendiri, menyontek memberi dampak siswa tidak mempunyai keinginan untuk mencapai suatu prestasi dengan kemampuan sendiri karena tergantung pada orang lain dan pemalas (www.kabar-indonesia.com).

Perilaku menyontek sering dijumpai dikalangan pelajar, mulai dari tingkat sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Schab (dalam Sujana dan Wulan, 1994) menunjukkan 93% siswa menyatakan bahwa menyontek merupakan sesuatu yang normal dalam pendidikan. Pelajar yang sebagian besar berada pada tahap perkembangan remaja merasakan kesulitan dalam pembentukan kode moral karena ketidak konsistenan dalam konsep benar dan salah dalam kehidupan sehari-hari. Ketidak konsistenan membuat remaja bingung dan terhalang dalam proses pembentukan kode moral yang tidak hanya memuaskan tetapi akan membimbingnya untuk memperoleh dukungan sosial. Dalam studi skala besar, Steinberg dan rekan-rekannya melaporkan bahwa dua pertiga dari siswa dalam sampel mereka menunjukkan bahwa mereka telah mengkhianati tes di sekolah selama tahun ajaran lalu. Selain itu, hampir sembilan dari sepuluh peserta mengakui bahwa mereka telah disalin pekerjaan orang lain selama setahun terakhir (Steinberg, dalam Anderman dan Murdock, 2006).

Remaja dikenal sebagai masa transisi perubahan dari dalam diri yang meliputi perubahan fisik, kognitif dan emosi serta perubahan dari luar diri meliputi perubahan pada lingkungan sosial.Salah satu contoh kesulitan yang dialami oleh remaja saat menghadapi perubahan tersebut adalah kesulitan saat mereka memasuki masa transisi menuju sekolah lanjutan. Beberapa penelitian diantaranya yang dilakuakan Eccles dan Midgley (Santrock, 2002) meneliti masa transisi dari sekolah dasar ke sekolah lanjutan atau sekolah menengah pertama menemukan bahwa tahun pertama sekolah lanjutan atau Sekolah Menengah Pertama dapat menyulitkan siswa. Misalnya persepsi remaja tentang kehidupan sekolah mereka menurun di kelas tujuh. Mereka kurang puas terhadap sekolah, kurang bertanggungjawab terhadap sekolah atau kurang menyukai guru-guru mereka.

Orientasi siswa terhadap prestasi sekolah dan kepercayaan diri dalam menyelesaikan tugas sekolah menurun saat mereka memasuki SMP. Penelitian oleh Anderman, dkk (1998) Siswa mengadopsi motivasi tujuan pribadi mereka, karena menganggap kelas dan sekolah menekankan pencapaian berbagai jenis tujuan. Akibatnya, meningkatnya penekanan pada kemampuan peforma dan kinerja yang terkait dengan sekolah menengah, bersama dengan dampak bahwa meningkatnya persepsi akan budaya sekolah terhadap motivasi selama tahun sekolah menengah, dapat menyebabkan beberapa siswa kelas menengah menggunakan kecurangan sebagai sarana mengatasi lingkungan yang dianggap sebagai menekankan kemampuan dan kinerja. Pengamatan yang dilakukan oleh Challan (2004) adalah bahwa kekhawatiran tentang resiko tinggi pengujian adalah penyebab perilaku menyontek, terutama oleh mahasiswa setelah adanya pengalaman kesulitan memenuhi kompetensi keahlian minimal yang diperlukan untuk lulus SMA (Callahan, 2004).

Transisi dari sekolah dasar menuju sekolah lanjutan dapat menjadi sesuatu yang sangat sulit bagi remaja. Hal ini sejalan dengan yang dijelaskan oleh Stoltz (2000 dalam Diana Nidau, 2008) mengklasifikasikan tantangan atau kesulitan menjadi tiga: 1) social adversity, 2)

(15)

4 siswa pasti akan menghadapi kesulitan, sehingga kemampuan masing-masing siswa untuk menyelesaikan kesulitan berpengaruh dalam sekolah dan cita-citanya.

Remaja awal mengalami perubahan yang drastis dalam hampir semua aspek kehidupannya. Remaja awal juga dikenal sebagai fase negatif, yaitu mudah merasakan perasaan negatif pada diri sendiri (Ahmadi & Sholeh, 2005). Seringkali hal ini menyebabkan keputusan-keputusan yang dibuat remaja awal bersifat emosional dan menjadi tidak efektif.

Hasil penelitian longitudinal Anderman (2006) menunjukkan bahwa menyontek sering dilakukan siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP) dikarenakan adanya perubahan keadaan lingkungan belajar yang dialami siswa, yaitu siswa mengalami masa transisi dari sekolah dasar ke sekolah menengah, lalu perubahan struktur kelas yang kecil menjadi struktur kelas yang lebih besar, sehingga lingkungan sekolah menjadi lebih kompetitif. Adapun faktor yang menyebabkan siswa ingin menyontek, salah satu faktornya yaitu malas belajar (Schab, dalam Klausmeier, 1985). Menurut Thornburg (dalam Sujana & Wulan,1994) malas belajar akan menyebabkan siswa lebih memilih untuk menyontek, karena kemalasan merupakan alasan utama yang menjadikan siswa memiliki niat untuk menyontek. Malas belajar terkait dengan daya juang seorang siswa. Apakah seorang siswa berjuang dengan keras atau tidak untuk mendapat hasil yang diinginkan yaitu prestasi tinggi. Stoltz (2000) berpendapat bahwa pada dasarnya setiap orang memendam hasrat untuk mencapai kesuksesan, tidak terkecuali bagi siswa yang juga ingin mendapatkan prestasi belajar tinggi, namun kemalasanlah yang sebenarnya menjadi faktor penghambat siswa meraih kesuksesan.

Menyontek yang menjadi kebiasaan akan berakibat negatif bagi diri pelajar sendiri maupun dalam skala yang lebih luas. Pelajar yang terbiasa menyontek akan senang menggantungkan pencapaian hasil belajarnya pada orang lain atau sarana tertentu dan bukan pada kemampuan dirinya sendiri. Pelajar yang merasakan tingkat persaingan yang tinggi dan merasa tidak percaya diri dengan kemampuannya akan terdorong untuk menyontek. Beberapa dampak psikologis yang dapat dialami siswa saat terus menerus gagal dalam usaha mengatasi perubahan ada masa transisi dapat berupa penarikan diri secara psikologis yang ditandai dengan berkurangnya keterlibatan dan komitmen pada aktivitas yang sedang dilakukan siswa, rendahnya tingkat partisipasi dan aspirasi di kelas, rasa terasing atau aliensi, meningkatnya ketegangan dan rasa tidak puas dan bahkan siswa dapat melakukan penolakan pada pelajaran dan menolak bersikap kooperatif (Johnson dalam Puspitasari, 2012).

Berbagai hambatan yang dirasakan oleh siswa saat memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi dapat diatasi dengan adanya Adversity Quotient (AQ) pada diri siswa tersebut.Menurut Stoltz (2000), dalam meraih kesuksesan, bukan IQ (IntelligenceQuotient) ataupun EI (Emotional Intelligence) yang berperan besar, namun diperlukan AI (Adversity Intelligence).

(16)

5 memiliki motivasi tinggi untuk meraih prestasi dan tujuan yang diinginkan. Mereka akan mengerjakan tugas sebaik mungkin, termasuk mencari informasi serta memanfaatkan peluang-peluang yang tersedia dalam hidupnya. Kesimpulannya individu tersebut akan berusaha aktif bertindak, tidak hanya bersikap pasif menunggu kesempatan datang. (Stoltz, 2000)

Penelitian telah menunjukkan bahwa siswa akan menggunakan berbagai strategi akademik berkaitan dengan orientasi tujuan pada lingkungan yang dirasakan menekankan. Siswa yang memanfaatkan strategi kognitif secara mendalam sering disengaja dan merupakan pilihan sadar mereka (Paris, Wasik, & Turner, dalam Anderman 1998). Akibat dari penggunaan strategi yang tepat, memungkinkan mereka untuk mengalahkan hasrat untuk terlibat dalam perilaku menyontek, karena bagi mereka menyontek berarti merusak usaha yang telah mereka kerahkan selama menggunakan strategi kognitifyang tepat. Penelitian yang dilakukan oleh Anderman (1998), menghasilkan temuan bahwa hubungan perilaku kecurangan (menyontek) dan senggunaan strategi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa kecurangan (menyontek) terkait negatif dengan penggunaan Strategi Kognitif tingkat dalam dan berhubungan positif dengan penggunaan strategy self-handicapping.

Berdasarkan pemaparan diatas menunjukkan bahwa banyak faktor dan aspek dari Adversity Quotient yang turut berperan dalam perilaku menyontek. Menurut Poedjinugroho (Kompas, 2005, h. 4-5) permasalahan pokok dunia pendidikan Indonesia yang sebenarnya adalah perilaku menyontek. Perilaku menyontek dapat membuat seseorang menjadi pembohong publik sejak dini (Suara Merdeka, 2006, h. 18). Sebagian orang berpendapat bahwa siswa yang terbiasa menyontek di sekolah memiliki potensi untuk menjadi koruptor atau penipu ulung nantinya (Alhadza, 1998). Perilaku menyontek terjadi karena masyarakat memiliki pandangan bahwa prestasi belajar tercermin dari pencapaian nilai yang tinggi, sehingga membuat siswa terpaku untuk memperoleh nilai tinggi dengan cara apa pun.

Fakta-fakta di atas menunjukkan bahwa menyontek merupakan suatu permasalahan yang menarik untuk dikaji lebih lanjut dari tinjauan Psikologi. Kesadaran untuk memahami kapasitas diri, peka mengenali kesulitan yang dirasakan, diharapkan memotivasi pemerintah, para pendidik maupun siswa untuk mengatur strategi pendidikan agar dapat untuk menumbuhkan daya juang yang tinggi dan kemampuan beradaptasi yang baik dalam menghadapi kesulitan di bangku sekolah, dimana kemampuan ini mempersiapkan remaja untuk termotivasi secara mandiri mengerahkan kemampuan dirinya untuk berprestasi dan tujuan-tujuan yang ingin mereka capai dan menjadi pribadi yang sesuai cita-cita bangsa Indonesia. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengkaji: 1) Ada tidaknya hubungan antara

Adversity Quotient dengan Perilaku Menyontek pada Siswa SMP , dan 2) menggambarkan

Adversity Quotient serta Perilaku Menyontek pada siswa ditinjau dari perbedaan skor mean berdasarkan jenis kelamin, tingkatan kelas dan kelompok kelas yang terdiri dari kelas Unggulan dan Kelas Reguler.

Adversity Quotient

(17)

6 mengatakan AQ mempunyai tiga bentuk yaitu:1) AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan, 2) AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respons seseorang terhadap kesulitan, 3) AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon terhadap kesulitan.

Adversity Quotient dalam penelitian ini adalah kemampuan seseorang dalam menentukan responnya agar dapat bertahan dalam kesulitan, mengatasi krisis, tantangan hidup,dan mampu merumuskan apa saja yang dibutuhkan untuk menyelesaikan masalah dengan dan mengerahkan kinerjanya untuk mengkolaborasikan berbagai aspek yang dipercaya secara ilmiah mampu mengubah hambatan menjadi peluang keberhasilan mencapai tujuan (Stoltz, 2000). Faktor-faktor yang mempengaruhi Adversity Quotient menurut Stoltz (2000) yaitu: 1) Daya Saing, 2) Produktivitas, 3) Kreativitas, 4) Motivasi, 5) Mengambil Resiko, 6) Perbaikan, 7) Ketekunan dan 8) Belajar.

Menurut Stoltz (2000) Adversity Quotient memiliki empat dimensi pokok yaitu: a) Control (C)mengungkap berapa banyak kendali yang seseorang rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Dalam penelitian penelitian yang dilakukan oleh 74 mahasiswa pria yang memiliki IPK ≥3.5 di sebuah lembaga di timur Arab Saudi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan dan pengendalian diri berkorelasi secara signifikan dengan IPK (Muammar, 2011). Study oleh Buechela,Mechtenberga, dan Petersena (2014) menemukan bahwa kontrol diri dan jumlah teman berbakat mampu meningkatkan kinerja siswa. Temuan yang dilaporkan adalah bahwa seseorang dengan kontrol diri yang tinggi lebih mungkin untuk membangun relasi orang lain. Selain itu,berita positif tentang perilaku mengendalikan diri dari rekan-rekan mereka meningkatkan ketekunan dalam diri siswa, Selanjutnya b) Origin dan Ownership (O2)merupakan gabungan dari Origin (asal usul) dan

Ownership (pengakuan), menjelaskan mengenai bagaimana seseorang memandang sumber masalah yang ada. Apakah ia cenderung memandang masalah yang terjadi bersumber dari dirinya atau dari faktor-faktor lain diluar dirinya dan mengacu sejauh mana seorang individu bertanggung jawab untuk perbaikan situasi kesulitan yang ia hadapi saat ini. Penelitian yang dilakukan oleh Cornista, G., & macasaet, C. (2012) responden dengan tingkat kepemilikan yang tinggi memiliki tingkat motivasi berprestasi yang tinggi pula, c) Reach (R)memiliki arti jangkauan, R menjelaskan sejauh mana kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dalam kehidupan seseorang. Rendahnya nilai dari dimensi ini akan membuat kesulitan menyebar luas menjangkau segi-segi lain dari kehidupannya. Penelitian yang dilakukan oleh Cornista, G., & macasaet, C.(2012) melaporkan, mereka yang memiliki ketahanan yang tinggi memiliki inner ressource (sumber daya batin) yang tinggi. Selanjutnya, penelitian yang dilakukan oleh Sachdev, (dalam Jain, 2012)melaporkan terdapat korelasi negatif yang signifikan antara jangkauan dan sress kerja staf TI, AQ tinggi memiliki dimensi Reach yang tinggi pula hal tersebut membuat ia cenderung mampu membatasi jangkauan kesulitan sehingga akan memungkinkan seseorang untuk berpikir jernih dan mempertimbangkan dalam mengambil tindakan (Stoltz, 2000)

(18)

7 tersebut adalah, terdapat korelasi positif yang signifikan antara dimensi AQ seperti Kontrol, Kepemilikan dan Ketahanan dengan pencapaian prestasi Matematika responden.

Perilaku Menyontek(Cheating)

Perilaku menyontek(Cheating) adalah strategi yang digunakan siswa untuk meningkatkan kinerja (dalam hal ini kinerja yang dimaksud adalah nilai) mereka dengan cara yang tidak benar (Anderman, Griesinger & Westerfield, 1998). Menurut Gehring dan Pavela (dalam Pincus & Schmelkin 2003) perilaku menyontek(cheating) merupakan suatu tindakan curang yang disengaja dilakukan ketika seorang siswa mencari dan membutuhkan adanya pengakuan atas hasil belajarnya dari orang lain meskipun dengan cara yang tidak sah seperti memalsukan informasi terutama ketika dilaksanakan evaluasi akademis.

Berdasarkan pengertian diatas, dalam penelitian ini perilaku menyontek diartikan sebagai tindakan atau perilaku yang dilakukan dengan sengaja melakui cara-cara yang yang tidak jujur atau perbuatan curang dengan menghalalkan segala cara yang dilakukan siswa khususnya dalam pelaksanaan ujian ataupun penyelesaian tugas akademis untuk mencapai tujuan tertentu.

Anderman dan Mudrock (2007) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi Perilaku menyontek (Cheating). Faktor-faktor tersebut digolongkan ke dalam empat karakteristik, yaitu: 1) Karakteristik demographic (Gender, usia, status sosio-ekonomi dan agama), 2) Karakteristik akademik (Ability dan Area Subjek), 3) Karakteristik Motivasi (Self-Efficacy dan Goal Orientation), 4) Karakteristik Personality (Impulsivitas dan

sensation-seeking,Self-Control dan Locus of Control)

Perilaku Menyontek Menurut Anderman dan Mudrock (2007) terbagi menjadi 3 katagori, yaitu: 1) Giving (memberi), taking (mengambil), or receiving (menerima informasi), 2) Menggunakan materi (bahan) yang terlarang, 3) Memanfaatkan kelemahan seseorang, prosedur atau proses untuk memperoleh keuntungan.

Adversity Quotient dan Perilaku Menyontek

Transisi dari sekolah dasar menuju sekolah lanjutan dapat menjadi sesuatu yang sangat sulit bagi remaja. Hal ini disebabkan oleh sedikitnya pengalaman remaja dalam mengatasi perubahan yang terjadi perubahan struktur kelas, tingkat kesulitan belajar yang meningkat, membuat lingkungan sekolah menengah yang dialami remaja semakin menekan dan menjadi lebih kompetitif. Penjelasan mengenai keberhasilan dan kegagalan yang biasa ditanamkan pada siswa akan menyebabkan harapan yang mempengaruhi siswa untuk menentukan usaha mencapai keberhasilan dan menghindari kegagalan dimasa depan. Kesulitan beradaptasi pada lingkungan baru, kurangnya penguasaan akan materi pelajaran dan tuntutan berprestasi, menjadi tantangan tersendiri bagi siswa dalam mengarahkan kinerja dan menyelesaikan permasalahan yang mereka alami disekolah.

(19)

8 guru. Ada pula siswa yang memberikan respon menghindari ancaman kegagalan tersebut dengan menyontek.

Adapun faktor yang menyebabkan siswa ingin menyontek, salah satu faktornya yaitu malas belajar (Schab, dalam Klausmeier, 1985). Menurut Thornburg (dalam Sujana & Wulan,1994) malas belajar akan menyebabkan siswa lebih memilih untuk menyontek, karena kemalasan merupakan alasan utama yang menjadikan siswa memiliki niat untuk menyontek. Malas belajar terkait dengan daya juang seorang siswa. Apakah seorang siswa berjuang dengan keras atau tidak untuk mendapat hasil yang diinginkan yaitu prestasi tinggi, namun kemalasanlah yang sebenarnya menjadi faktor penghambat siswa meraih kesuksesan. Adapun menyontek yang menjadi kebiasaan akan berakibat negatif bagi diri pelajar sendiri maupun dalam skala yang lebih luas. Pelajar yang terbiasa menyontek akan senang menggantungkan pencapaian hasil belajarnya pada orang lain atau sarana tertentu dan bukan pada kemampuan dirinya sendiri.

Suasana bersaing, tantangan menguasai kompetensi dan tingkat kesulitan pelajaran dilingkungan yang dirasakan siswa saat transisi jenjang pendidikan menuntut siswa bertanggungjawab dalam mengenali dan membatasi sumber-sumber masalahnya, mampu menerapkan kontrol diri yang baik atas dirinya untuk mengatur strategi-strategi mengembangkan kemampuan kognitifnya, dan bertahan dalam berjuang agar berhasil mengatasi kesulitan-kesulitan yang dialami dalam transisi jenjang pendidikan tersebut. Beberapa dampak psikologis yang dapat dialami siswa saat terus menerus gagal dalam usaha mengatasi perubahan ada masa transisi dapat berupa penarikan diri secara psikologis yang ditandai dengan berkurangnya keterlibatan dan komitmen pada aktivitas yang sedang dilakukan siswa, rendahnya tingkat partisipasi dan aspirasi di kelas, rasa terasing atau aliensi, meningkatnya ketegangan dan rasa tidak puas dan bahkan siswa dapat melakukan penolakan pada pelajaran dan menolak bersikap kooperatif terhadap peraturan sekolah misalnya memutuskan untuk mengambil cara-cara yang tidak benar untuk berprestasi atau mempertahankan nilai seperti menyontek.

Berdasarkan kajian terhadap penelitian-penelitian terdahulu yang telah dibahas banyak membuktikan bahwa peforma siswa disekolah dipengaruhi oleh taraf Adversity Quotient yang mereka miliki, penelitian yang telah dilakukan melaporkan hasil bahwa seseorang dengan

Adversity Quotient yang tinggi memiliki motivasi berprestasi dan kepercayaan diri yang, serta kecerdasan emosional yang tinggi pula. Penelitian pada dimensi-dimensi Adversity Quotient

seperti Control, Origin and Ownership (asal-usul dan kepemilikan), Reach dan Endurande

(20)

9 Beberapa faktor dari Adversity Quotient seperti Motivasi berprestasi, ketekunan dan belajar memiliki pengaruh dalam mengurangi perilaku perilaku Menyontek. Menurut Gage dan Beliner (dalam Kumara) motivasi berprestasi adalah sesuatu yang memberikan energi kepada individu untuk mengarahkan dirinya pada aktifitas untuk mencapai prestasi. Motivasi berprestasi menjadi suatu hal yang penting karena memotivasi dapat menjadi sesuatu yang mendorong individu mencapai prestasi dalam tujuan pendidikan. Penelitian yang dilakukan oleh Stoltz (2000) menunjukkan bahwa seseorang yang mempunyai motivasi yang kuat mampu menciptakan peluang dalam kesulitan, artinya seseorang dengan motivasi yang kuat akan berupaya menyelesaikan kesulitan dengan menggunakan segenap kemampuan.

Gage dan Berliner (1976) mengemukakan beberapa ciri-ciri individu yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi, yaitu: 1) memilih teman yang giat dalam kegiatan belajar. Seorang pelajar yang memiliki motivasi berprestasi tinggi akan memilih teman dalam mengerjakan tugas atau belajar bersama. Mereka akan memilih teman yang baik dan giat dalam belajar; 2) Tekun dalam mengerjakan tugas. Pelajar yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi akan memiliki ketekunan dan lebih suka mencari solusi atas permasalahan yang ditemuinya. Mereka akan dapat menyelesaikan permasalahan tersebut sesuai dengan waktu yang ditentukan; 3) mengetahui kemampuan belajar diri sendiri. Pelajar yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi akan menunjukkan kemampuan belajar yang baik meskipun dihadapkan pada tugas yang mendadak karena mereka dapat menetapkan tingkat kemampuan belajarnya. Menurut Carol Dweck (dalam Stoltz, 2000) membuktikan bahwa anak-anak yang merespon secara optimis akan banyak belajar dan lebih berprestasi dibandingkan dengan anak-anak yang memiliki pola pesimistis ; 4) berusaha sendiri dalam mengerjakan tugas. Pelajar yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi memiliki ketahanan yang baik ketika mengalami suatu kegagalan. Mereka akan memandang kegagalan tersebutsebagai suatu akibat dari usahanya dibandingkan pengaruh dari luar, 5) dapat menyelesaikan tugas yang sulit. Pelajar yang memiliki motivasi berprestasi yang tinggi akan membuat susunan kegiatan dalam jangka panjang dari kegiatan pokok dan kegiatan sampingan. Susunan kegiatan tersebut akan mengarahkan mereka pada langkah-langkah pencapaian tujuan, meskipun dalam prosesnya harus dikerjakan dalam jangka waktu yang lebih panjang.

Berdasarkan penjelasan kelima ciri dari faktor motivasi berprestasi yang terdapat pada

(21)

10

Gambar 1. Bagan Hubungan Adversity Quotient dan Perilaku Menyontek

Dihadapkan pada tuntutan pencapaian kompetensi dengan kerumitan yang lebih kompleks dan bervariasi disetiap materi pelajaran, tugas akademis serta uji

kompetensi

ADVERSITY QUOTIENT PADA DIRI SISWA

Memandang kesulitan yang dihadapi sebagai sesuatu yang bersifat stabil (berlangsung lama), sulit membangun harapan bahwa kesulitan yang dihadapi disekolah sulit diatasi, pesimis, enggan bertanggungjawab dan cenderung tidak profesional dalam menguasai kompetensi pada setiap mata pelajaran sehingga keterlibatan yang dalam belajar menjadi pasif, menggantungkan harapan pada orang lain, pencapaian kompetensi disetiap mata pelajaran kurang maksimal dan tidak kurang mandiri dalam belajar, mengerjakan tugas dan tes (ujian)

Memandang kesulitan yang dihadapi sebagai sesuatu yang bersifat sementara, sehingga mampu membangun harapan ntuk menyelesaikan kesulitan di sekolah, optimis dan bertanggungjawab dan profesional dalam menguasai kompetensi pada setiap mata pelajaran sehingga mendorong keterlibatan yang aktif dan mandiri dalam belajar, mengerjakan tugas dan tes (ujian)

Merasa perlu menyelesaikan kesulitan dalam memahami pelajaran, mengerjakan tugas dan ujian kompetensi dengan melibatkan diri pada bentuk-bentuk menyontek baik terlibat dalam dalam bentuk-bentuk

Giving, Taking Receiving, menggunakan peralatan terlarang selama ujian, plagiat dan memanfaatkan kelemahan prosedur dan pengawasan saat tes. Merasa tidak perlu menyelesaikan kesulitan dalam

memahami pelajaran, mengerjakan tugas dan ujian kompetensi dengan melibatkan diri pada bentuk-bentuk menyontek baik terlibat dalam dalam bentuk-bentuk

Giving, Taking Receiving, menggunakan peralatan terlarang selama ujian, plagiat dan memanfaatkan kelemahan prosedur dan pengawasan saat tes.

Perilaku Menyontek Rendah

Siswa mengalami Transisi jenjang pendidikan dari SD ke SMP

1. Control : Mempersepsikan seberapa besar kendali yang dimiliki untuk mengatasi kesulitan yang sedang dihadapi saat belajar, mengerjakan tugas sekolah maupun mengerjakan ujian/tes.

2. Origin & Ownership :Mempersepsikan apa yang menjadi penyebab kesulitan dalam memahami pelajaran, mengerjakan tugas sekolah, maupun mengerjakan dan siapa yang harus bertanggungjawab dalam memahami pelajaran, menyelesaikan kesulitan dalam mengerjakan tugas sekolah dan ujian/tes yang menjadi tugasnya.

3. Reach:Mempersepsikan seberapa besar kesulitan yang sedang dihadapi dalam memahami pelajaran, mengerjakan tugas sekolah dan atau ujian/tes akan berkembang menjangkau atau mempengaruhiaspek /bagian-bagian lain dari kehidupan atau tidak.

4. Endurance : Mempersepsikan berapa lama waktu yang dilalui untuk mengatasi kesulitan memahami pelajaran, mengerjakan tugas sekolah, ujian/tes.

Adversity Quotient Tinggi Adversity Quotient

(22)

11

METODE PENELITIAN

Rancangan Penelitian

Berdasarkan tujuannya, penelitian ini menggunakan penelitian non-eksperimental dengan mengunakan metode penelitian kuantitatif korelasional yaitu untuk mengetahui hubungan antara Adversity Quotient dengan Perilaku Menyontek.

Penelitian ini juga termasuk penelitian field study yang non-eksperimental dimana peneliti tidak dapat memanipulasi variabel-variabel yang ingin diteliti karena dilakukan pada situasi sehari-hari yang sudah terberi (Arikunto, 2006). Desain ini memiliki tujuan untuk megetahui hubungan dan interaksi diantara variabel-variabel psikologis,sosiologis, edukasional dalam struktur sosial.

Subyek Penelitian

Populasi penelitian ini adalah populasi siswa-siswi SMP Negeri 2 Malang yang masih aktif (terdaftar) menjadi pelajar disekolah tersebut. Sesuai dengan permasalahan penelitian, populasi yang akan diteliti harus memenuhi karakteristik yaitu berstatus Siswa/Pelajar yang berada di jenjang SMP.

Pengambilan sample yang digunakan dalam penelitian ini adalah tipe non-random sampling. Mengandung pengertian bahwa tidak semua orang dalam populasi tersebut memiliki kesempatan yang sama untuk dapat dijadikan subjek penelitian, (Arikunto, 2006). Teknik non-random sampling yang digunakan adalah cluster sampling. Adapun pengambilan sampel dengan metode ini dilakukan dari setiap strata tidak dilakukan terhadap individu, melainkan pada kelasnya (cluster). Populasi penelitian adalah seluruh siswa di SMP Negeri 2 Malang, terdiri atas tiga jenjang kelas, yaitu kelas VII, kelas VIII, dan kelas IX. Dari setiap jenjang dipilih 2 kelas tertentu yang sisiwa didalamnya kemudian dijadikan sample penelitian. Menurut Arikunto (2006) melalui cara ini diharapkan sampel dapat terambil dan mewakili semua kelompok yang ada, sehingga tidak ada kelompok yang terabaikan. Selain itu diharapkan pengaruh tiap kelompok terhadap sampel dapat diabaikan. Tanpa stratifikasi, dapat terjadi sampel (atau sebagian besar sampel) yang terambil hanya akan terambil dari kelompok (strata) tertentu saja.

Besaran sample minimal menurut Arikunto (2006) untuk populasi penelitian kurang dari 100 orang lebih baik diambil semuanya sehingga penelitiannya merupakan penelitian populasi. Selanjutnya jika jumlah subjeknya besar dapat diambil 10-15% atau 20-25% atau lebih. Peneliti berusaha mendapatkan sample lebih dari jumlah minimum yang ditentukan agar semakin besar sample yang digunakan dan diharapkan akan semakin tepat dalam mewakili populasi dan memberikan hasil yang akurat.

Variabel Penelitian

(23)

12

Adversity Quotient dalam penelitian ini adalah kemampuan siswa dalam menentukan responnya agar dapat bertahan dalam kesulitan yang dihadapi saat belajar, memahami pelajaran, mengerjakan tugas dan ujian dengan mengerahkan empat dimensi Adversity Quotient yaitu: Control, Origin dan Ownership, Reach serta Endurande.

Adapun masing-masing aspek dalam Adversity Quotient pada penelitian ini memilik definisi operasional sebagai berikut:Control : Mempersepsikan seberapa besar kendali yang dimiliki untuk mengatasi kesulitan yang sedang dihadapi saat belajar, mengerjakan tugas sekolah maupun mengerjakan ujian/tes. Origin and Ownership: Mempersepsikan apa yang menjadi penyebab kesulitan dalam memahami pelajaran, mengerjakan tugas sekolah, maupun mengerjakan ujian/ tes dan siapa yang bertanggungjawab dalam memahami pelajaran, menyelesaikan kesulitan dalam mengerjakan tugas sekolah dan ujian/tes yang menjadi tugasnya. Reach : Mempersepsikan seberapa besar kesulitan yang sedang dihadapi dalam memahami pelajaran, mengerjakan tugas sekolah dan atau ujian/tes akan berkembang menjangkau atau mempengaruhiaspek/bagian-bagian lain dari kehidupannya. Endurance:

Mempersepsikan : Mempersepsikan berapa lama waktu yang dilalui untuk mengatasi kesulitan memahami pelajaran, mengerjakan tugas sekolah, ujian/tes.

Definisi operasional dari menyontek dalam penelitian ini yaitu tindakan atau perilaku yang dilakukan dengan sengaja melalui cara-cara yang yang tidak jujur atau perbuatan curang dengan menghalalkan segala cara yang dilakukan siswa dalam bentuk : 1) memberi, mengambil dan menerima informasi yang tidak diperbolehkan, 2) menggunakan materi dan peralatan yang tidak diperbolehkan dilihat selama ujian berlangsung (alat komunikasi, buku, catatan, kalkulator, dll), 3) Memanfaatkan kelemahan seseorang, prosedur atau proses untuk memperoleh keuntungan berupa jawaban khususnya dalam pelaksanaan ujian ataupun penyelesaian tugas akademis untuk mencapai tujuan tertentu.

Instrumen Penelitian

Instrumen Penelitian yang digunakan pada penelitian ini menggunakan dua buah skala yaitu, Skala PerilakuMenyontek dan Skala Adversity Qoutient). Kedua skala tersebut menggunakan model skala Likert. Dengan skala Likert, respon jawaban mengindikasikan derajat persetujuan terhadap item-item pernyataan.Pada penelitian ini skala likert dimodifikasi, dimana alternatif pilihan jawaban disusun menjadi empat respon yang terdiri dari pernyataan yang favorable

(mendukung) dan unfavorable (tidak mendukung) terhadap objek sikap.

Instrumen untuk mengukur Adversity Qoutient disusun sendiri oleh peneliti dngan menggunakan dimensi dari Adversity Quotient yang dirumuskan oleh Paul G Stoltz yaitu

Control, Original and Ownership, Reach and Endurance dengan model Skala Likert yang alternatif penilaian skala terdiri dari SS (Sangat sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai), STS (Sangat Tidak Sesuai). Dimana semakin tinggi skor total dari skala, maka semakin tinggi

Adversity Quotient pada diri individu dan berlaku sebaliknya yaitu semakin rendah total skor dari skala maka semakin rendah pula Adversity Quotient pada diri individu.

(24)

13

Tabel 1. Format penilaian Skala Adversity Quotient

Pernyataan Sangat Sesuai

Unfavorable Saya menjadi malas pergi kesekolah karena banyak pelajaran yang sulit saya pahami

4 3 2 1

Tabel 2. Blue Print Skala Tryout Adversity Quotient

Aspek Indikator Nomor Item Jumlah

Favorable Unfavorable CONTROL 1. Fokus pada apa yang

bisa mereka lakukan

untuk menghadapi

kemalangan bukan

berfokus dan mengeluh tentang hal-hal diluar menangani masalah atau tantangan yang berada diluar kendali mereka

13* 7, 21 3

4. Mampu beradaptasi pada kesulitan, bertindak dengan hati-hati, melibatkan diri secara aktif dalam bertindak mengatasi masalah

2. Mengambil kepemilikan (merasa memiliki) untuk menyelesaian masalah bahkan jika bukan ia yang menyebabkan masalah-masalah yang ada

8, 22 3, 14, 32 5

3. Jelas dan objektif dalam mengevaluasi siapa dan apa yang menyebabkan masalah

(25)

14

REACH 1. Masih bisa memberikan perhatian penuh dan energi mereka pada area kehidupan mereka lainnya yang tidak terpengaruh oleh kemalangan yang dihadapi

11* 5*, 17 3

2. Mengelola kesulitan sehingga tidak berdampak negatif untuk kehidupan pribadinya (profesional)

9, 27, 31* 3

3. Tidak mengabaikan peran

dan tanggungjawab

lainnya yang penting untuk dilakukan selama periode

kesulitanberlangsung

18, 39, 52* 46* 4

4. Optimis 45* 19, 51, 54 4

ENDURANCE 1. Menunjukkan ketekunan dan ketahanan ketika berada di kondisi yang suram atau membosankan

40, 41, 48 3

2. Tetap berharap bahwa

kemalangan yang

dihadapi pada akhirnya akan teratasi

42* 16, 23 3

3. Percaya diri 26, 28, 37, 50 4

TOTAL 23 32 55

Catatan : nomor item dengan tanda * = item yang tidak valid

Berdasarkan hasil try out yang dilakukan, dilakukan uji validitas dan reliabitas dengan menggunakan SPSS 21.0 for windows. Dari uji validitas item-item pada skala Adversity Quotient yang dilakukan sebanyak 3 kali diperoleh 11 item gugur dari 55 item yang ada, sehingga menyisakan 44 item dengan indeks validitas bergerak antara 0,307- 0,654. Sedangkan reliabilitas dengan menggunakan Alpha Cronbach sebesar 0,920. Hal ini dapat disimpulkan bahwa instrumen Adversity Quotient yang dipakai dalam penelitian ini reliabel jika dibandingkan dengan syarat cronbach alpha yaitu 0,6 atau 60% (Priyatno,2011).

Sedangkan instrumen untuk mengukur perilaku menyontek disusun sendiri oleh peneliti dengan menggunakan 3 katagori Perilau Menyontek yang dirumuskanoleh Anderman dan Mudrock (2007) yaitu: 1)giving, taking, receiving informasi yang tidak diperbolehkan, 2) menggunakan bahan terlarang, yang tidak diperbolehkan untuk digunakan selama ujian seperti buku catatatan, buku pelajaran, Handphone, catatan kecil, kalkulator, serta 3) Memanfaatkan kelemahan seseorang, prosedur atau proses untuk memperoleh keuntungan, dengan model Skala Likert yang alternatif penilaian skala terdiri dari SS (Sangat sesuai), S (Sesuai), TS (Tidak Sesuai), STS (Sangat Tidak Sesuai). Dimana semakin tinggi skor total dari skala menyontek tersebut, maka semakn tinggi perilaku menyontek yang dilakukan individu dan berlaku sebaliknya yaitu semakin rendah skor total dari skala menyontek tersebut, maka semakin rendah pula perilaku menyonteknya.

(26)

15 item unfavorable diberi skor kebalikannya. Setelah melakukan coding seluruh item dijumlahkan untuk memperoleh skor total. Skor tinggi menandakan bahwa subjek memiliki kecenderungan perilaku menyontek yang tingi, sementara skor rendah menandakan subjek memiliki kecenderungan perilaku menyontek yang rendah.

Tabel 3. Format Penilaian Skala Menyontek

Pernyataan Sangat

Favorable Saya pernah ketahuan menyontek tetapi dibiarkan oleh guru

4 3 2 1

Tabel 4. Blue Print Try Out Skala Menyontek

NO KATEGORI NO ITEM JUMLAH

FAVORABLE UNFAVORABLE

1 Giving(memberi)informasi yang tidak diperbolehkan

28, 30 6*, 13, 22 5

Taking(mengambil)informasi yang tidak diperbolehkan

7*, 25 9, 18 4

Receiving (menerima) informasi yang tidak diperbolehkan

1, 4 19, 31 4

2 Menggunakan bahan terlarang yang tidak diperbolehkan untuk digunakan selama ujian seperti buku catatatan, buku pelajaran, Handphone, catatan kecil, kalkulator

Catatan : nomor item dengan tanda * = item yang tidak valid

Dari uji validitas item-item pada skala menyontek yang dilakukan sebanyak 2 kali diperoleh 11 diperoleh 6 item gugur dari 33 item yang ada, sehingga menyisakan 27 item yang valid dengan indeks validitas bergerak antara 0,312- 0,790. Sedangkan dari uji reliabilitas didapatkan hasil nilai alpha yaitu 0,920 maka dapat disimpulkan bahwa instrumen ini reliabel jika dibandingkan dengan syarat cronbach alpha yaitu 0,6 atau 60% (Priyatno,2011)

Prosedur dan Analisa Data

Penelitian dilakukan melalui tiga tahapan, yaitu : 1) Tahap Persiapan

a. Membuat skala Adversity Quotient dan skala Menyontek

(27)

16 c. Melakukan pengujian skala Adversity Quotient dan skala Menyontek dengan metode try out. Adapun terdapat 4 kelas yang siswanya digunakan sebagai subjek

try out yaitu kelas VII-H, VII-I, VIII-J dan VIII-E dengan jumlah total seluruh subjek tryout sebanyak 111 orang. Adapun pelaksanaan Try Out ini dilakukan pada tanggal 5 Desember 2015

d. Setelah data Try Out diperoleh penelitian melakukan input data dan menguji validitas dan reliabilitas kedua skala yang telah diujicobakan pada subjek try out dengan menggunakan SPSS 21.0. Berdasarkan pengujian yang telah dilakukan, tersisa 44 item valid untuk skala Adversity Quotient dan 27 item valid untuk skala Menyontek. Diperoleh pula angka reliabilitas untuk skala Adversity Quotient 0,920 dan skala Perilaku Menyontek 0,920.

e. Pada skala Adversity Quotient dari 44 item yang valid, hanya dipilih sebanyak 33 item untuk dijadikan skala penelitian (sebaran item terdapat pada lampiran

blueprint skala penelitian Adversity Quotient), sedangkan untuk skala PerilakuMenyontek peneliti menggunakan seluruh itemyang valid untuk dijadikan skala penelitian.

2) Tahap Pelaksanaan

a. Peneliti membuat kesepakatan kepada pihak SMP Negeri 2 Malang untuk melakukan penelitian sebelum rangkaian kegiatan class meetingdan liburan semester

b. Pelaksanaan penelitian dilakukan pada tanggal 12 Desember 2015 dengan jumlah subjek penelitian sebanyak 180 orang.

c. Peneliti membagikan kedua skala yang berisikan item-item yang telah valid kepada subjek penelitian dalam hal ini adalah siswa-siswi SMP Negeri 2 Malang. Adapun dalam pengambilan data penelitian diambil perwakilan 2 kelas pada setiap jenjangnya. Sample pada kelas pada jenjang kelas VII diambil dari kelas VII-A dan VII-J, sample dari jenjang kelas VIII diambil dari kelas VIII-B dan VIII-I, serta sample dari jenjang kelas IX diambil dari kelas IX-I dan IX-C.

3) Tahap Akhir

a. Peneliti memasukkan data penelitian ke dalam program excel yang kemudian dianalisis melalui apliasi SPSS versi 21.00

b. Melakukan uji asumsi normalitas dan Homogenitas data penelitian. Pengambilan keputusan hasil uji normalitas dan homogenitas dilakukan berdasarkan nilai signifikansi.

c. Setelah uji asumsi dilaku kan dan memperoleh hasil bahwa data berdistribusi normal dan homogen, peneliti melakukan uji hubungan melalui uji korelasi

(28)

17

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini diikuti oleh 180 siswa SMP Negeri 2 Malang yang terdiri dari siswa kelas VII hingga kelas IX dengan prosentasi 65,6% perempuan (118 orang) dan 34,4% laki-laki (62 orang). Sample dari kelas VII sebesar 33,9% (diwakili dari kelas VII-A yang terdiri dari 29 siswa dan VII-J yang terdiri dari 32 siswa), dari kelas VIII sebesar 32,3% (diwakili dari kelas VIII-B yang terdiri dari 30 siswa dan VIII-I yang terdiri dari 28 siswa), serta sample dari kelas IX sebesar 33,9% siswa (diwakili dari kelas IX-C yang terdiri dari 29 siswa dan IX-I yang terdiri dari 32 siswa).

Adapun katagori Adversity Quotient dan menyontek pada subjek penelitian ditentukan berdasarkan nilai Tscore, dimana rentangan nilai di setiap katagori dijelaskan sebagai berikut:

Tabel 5. Katagorisasi Adversity Quotient dan Menyontek

Variabel Mean Std Katagori Interval Tscore N Prosentase

Adversity

Berdasarkan angka prosentase yang ditunjukkan pada maka diketahui lebih banyak siswa yang memiliki Adversity Quotient dalam katagori sedang daripada siswa yang memiliki

Adversity Quotient dalam katagori tinggi dan rendah, hal itu menunjukkan sebagian besar subjek memiliki Adversity Quotient yang tidak terlalu tinggi namun tidak pula terlalu rendah. Sejalan dengan, diketahui siswa yang memiliki perilaku menyontek dalam katagori rendah prosentasenya lebih besar dibandingkan prosentasi siswa yang memiliki perilaku menyontek dalam katagori tinggi.

Sebelum melakukan uji korelasi, peneliti terlebih dahulu menguji kenormalan dan homogenitas data. Pengambilan keputusan hasil uji kenormalan data dengan kolmogorof – smirnov test dengan melihat nilai signifikani, menunjukkan signifikansi 0,746>0,05. Maka dapat dikatakan data berdistribusi normal. Adapun uji homogenitas menunjukkan nilai signifikansi pada levene test sebesar 0,778>0,05. Maka dapat dikatakan data homogen atau dengan kata lain data yang dianalisis berasal dari populasi yang tidak jauh berbeda variansinya.

(29)

18

Tabel 6. Korelasi Adversity Quotient dan Menyontek

Koefisien Korelasi Indeks Analisis

Koefisien Korelasi -0,536

Koefisien Determinasi 0,287

Taraf kemungkinan kesalahan 1% (0,01)

P (nilai signifikansi) 0,000

Nilai signifikansi 0,000 yang ditunjukkan pada tabel 6 bermakna nilai signifikansi lebih kecil dibandingkan dengan taraf signifikansi 0,01 yang digunakan. Hal ini menunjukkan hubungan

Adversity Quotient dengan Perilaku Menyontek sangat signifikan.

Adapun angka korelasi (r) -0,536 menunjukkan bahwa arah hubungan kedua variabel adalah negatif. Korelsi negatif yang signifikan ini membuktikan bahwa hipotesa yang diajukan pada penelitian ini diterima. Yaitu, semakin tinggi tingkat Adversity Quotient siswa maka semakin rendah Perilaku Menyontekyang dilakukan. Adapun berdasarkan acuan interpretasi koefisien korelasi (Sugiyono dalam Hasanah, 2013), hubungan kedua variabel tersebut termasuk dalam kategori tingkat hubungan yang sedang karena koefisien korelasinya berada di antara 0,40-0,599. Jika ditinjau dari angka korelasi (r) -0,533, juga dapat diketahui koefisien determinasi (r2) adalah 0,287. Hal tersebut menunjukkan terdapat sumbangan efektif sebesar 28,7% dari

Adversity Quotient terhadap Perilaku Menyontek, sedangkan 71,3% berasal dari faktor lainnya.

Pada penelitian ini, dilakukan perhitungan skor mean untuk menggambarkan skor mean

Adversity Quotient dan Perilaku Menyontek siswa yang ditinjau dari tingkatan kelas, jenis kelamin dan juga kelompok kelas yang terbagi atas kelmpok kelas unggulan dan kelas Reguler(data lengkap perhitungan skor mean terlampir).

Perbandingan skor mean Adversity Quotient dan Perilaku Menyontek berdasarkan jenis kelamin digambarkan dalam diagram berikut ini

Gambar 2. Perbandingan Skor MeanAdversity Quotient dan Perilaku Menyontek berdasarkan Jenis Kelamin

Hasil perhitungan skor mean Adversity Quotient berdasarkan jenis kelamin yang ditinjau dari keseluruhan sample penelitian, tingkatan kelas, kelompok kelas menunjukkan secara konsisten bahwa siswa perempuan memiliki skor mean Adversity Quotient yang lebih tinggi daripada siswa laki-laki. Sejalan dengan itu, hasil perhitungan mean skor yang dilakukan pada variabel Perilaku Menyontek berdasarkan jenis kelamin yang ditinjau dari keseluruhan sample, tingkatan kelas, dan kelompok kelas menunjukkan secara konsisten bahwa siswa perempuan memiliki skor mean Perilaku Menyontek yang lebih rendah daripada siswa laki-laki.

99.97 98.06 44.79 49.16

(30)

19 Perbandingan skor mean Adversity Quotient dan Perilaku Menyontek berdasarkan tingkatan atau jenjang kelas digambarkan dalam diagram berikut ini

Gambar 3. Perbandingan Skor Mean Adversity Quotient dan Perilaku Menyontek berdasarkan Tingkatan Kelas

Selanjutnya, berdasarkan tingkatan kelas yang ditinjau dari keseluruhan tingkatan kelas secara umum, tingkatan kelas kelompok kelas Unggulan, dan tingkatan kelas kelompok kelas Reguler skor mean juga menunjukkan nilai yang konsisten dimana skor mean Adversity Quotient yang tertinggi berada di tingkatan kelas VII dan yang terendah yaitu pada kelas IX. Adapun pada variabel perilaku menyontek berdasarkan tingkatan kelas yang ditinjau dari keseluruhan tingkatan kelas secara umum, tingkatan kelas kelompok Kelas Unggulan, dan tingkatan kelas kelompok kelas Reguler skor mean juga menunjukkan nilai yang konsisten dimana skor mean Perilaku Menyontek yang terendah berada di tingkatan kelas VII dan Perilaku Menyontek yang tertinggi pada kelas VIII dan IX

Perbandingan skor mean Adversity Quotient dan Perilaku Menyontek berdasarkan Kelompok Kelas digambarkan dalam diagram berikut ini

Gambar 4. Perbandingan Skor Mean Adversity Quotient dan Perilaku Menyontek berdasarkan Kelompok / Jenis Kelas

Temuan dariperhitungan skor mean Adversity Quotient berdasarkan kelompok kelas yakni Unggulan dan Reguler yang ditinjau dari keseluruhan tingkatan kelas (gabungan kelas VII, VIII, dan IX), maupun yang ditinjau dari masing-masing tingkatan kelas VII, VIII dan IX menunjukkan hasil yang konsisten dimana skor mean Adversity Quotient siswa yang berada di kelas Unggulan lebih tinggi daripada siswa di kelas Reguler.Demikian pula setelah melihat hasil perhitungan skor mean Perilaku Menyontek berdasarkan kelompok kelas yakni Unggulan dan Reguler yang ditinjau dari keseluruhan tingkatan kelas (gabungan kelas VII, VIII, dan IX), maupun yang ditinjau dari masing-masing tingkatan kelas VII, VIII dan IX menunjukkan hasil yang konsisten dimana skor mean Perilaku Menyontek siswa yang berada di kelas Unggulan lebih rendah daripada siswa di kelas Reguler.

100.82 97.74 43.84 48.86

Unggulan Reguler AQ M enyont ek

96.8474.84 96.1289.57 66.0594.45

(31)

20

DISKUSI

Penelitian ini terfokus pada pengujian bagaimana Adversity Quotient dapat memiliki hubungan dengan perilaku menyontek yang dimunculkan oleh siswa-siswi di SMP Negeri 2 Malang. Diperoleh hasil berupa korelasi begatif yang signifikan sebesar -0,536 dan nilai signifikansi 0,000. Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi tingkat Adversity Quotient

siswa maka semakin rendah tingkat Perilaku Menyontekyang dimunculkan, demikian pula sebaliknya.

Adversity Quotient yang tinggi mampu memperkuat kemampuan individu dalam menghadapi tantangan hidup sehari hari. Individu akan bertahan dalam menghadapi segala macam kesulitan sampai menemukan jalan keluar, memecahkan berbagai macam permasalahan, mereduksi hambatan dan rintangan dengan mengubah cara berfikir dan mengatur sikap terhadap kesulitan tersebut. Adversity Quotient dalam diri seseorang dijelaskan dijelaskan melalui beberapa aspek yang menyusunnya seperti Control, Origin dan Ownership, Reach dan Endurance. Jika ditinjau berdasarkan aspek Control, siswa dapat menekan perilaku menyontek dikarenakan kontrol yang baik dalam diri siswa memupuk sifat untuk mampu beradaptasi dalam kesulitan yang terjadi dan mengarahkannya bersikap hati-hati, membuat diri siswa fokus pada apa yang mereka lakukan untuk menghadapi kesulitan dalam belajar, mengerjakan tugas maupun ujian kompetensi, bersaing disekolah, konsisten mempertahankan sikap “bisa melakukan” sekalipun dihadapkan pada tantangan yang sulit dalam pelajaran serta aktif mencari dukungan untuk memecahkan masalah apabila kesulitan yang dihadapi berada diluar kendali mereka (Stoltz, 2000).

Secara spesifik, kontrol yang lebih pada kesulitan adalah sumber besar dalam melakukan tindakan karena seseorang yang percaya mereka bisa mencapai hasil tertentu yang pasti, memiliki dorongan untuk bertindak (Bandura dalam Titus, 2013). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Buechela,Mechtenberga, dan Petersena (2014) yang menemukan bahwa kontrol diri dan jumlah teman berbakat mampu meningkatkan kinerja siswa. Temuan yang dilaporkan adalah bahwa seseorang dengan kontrol diri yang tinggi lebih mungkin untuk membangun relasi orang lain. Selain itu, kontrol yang baik dalam mdiri mereka juga diikuti dengan tinggunya ketekunan dalam diri siswa.

Adapun jika ditinjau berdasarkan aspek Origin dan Ownership, dapat pula menjadi penyebab siswa mengurangi perilaku menyontek, karena pada dasarnya individu dengan Origin dan

Ownership yang baik akan mampu mempersepsikan dan berpikir dengan jernih terkait apa yang menjadi penyebab kesulitan dan siapa yang bertanggungjawab mengatasi kesulitan tersebut hal itu, individu akan memilih mengambil langkah untuk keluar dari kondisi yang menutrutnya menyulitkan dan memusatkan perhatian mereka pada tujuan akhir (Stoltz, 2002).

(32)

21 menyelesaikan masalah yang dia hadapi saat memahami pelajaran, mengerjakan tugas, bahkan saat menghadapi uji kompetensi (tes). Penjelasan ini diperkuat dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Cornista, G., & Macasaet, C. (2012) responden dengan tingkat origin and ownership yang tinggi memiliki tingkat motivasi berprestasi yang tinggi pula.

Selanjutnya, aspekReachpada Adversity Quotient bertindak mengurangi perilaku menyontek pada diri siswa, karena individu denganReach yang baik memiliki kemampuan untuk mengatur “jangkauan” kesulitannya, membatasi dan menempatkan masalah (mengelompokkan masalah) sehingga kesulitan yang ia hadapi saat ini tidak menghalangi dirinya untuk tetap bersikap profesional menyelesaikan tanggungjawabnya yang lain (Stoltz, dalam Titus 2013). Seorang siswa dalam kesehariannya akan dihadapkan dengan tugas, ujian dan tuntutan kompetensi belajar yang bermacam-macam sesuai dengan mata pelajaran yang ia tempuh disetiap jenjangnya. Siswa dengan aspek Reach yang baik dalam dirinya akan mampu memberikan perhatian penuh dan mengerahkan energi mereka pada tugas dan tanggungawab yang lain tanpa terpengaruh oleh satu atau lebih kesulitan yang sebenarnya sedang mereka hadapi di mata pelajaran lain, bersikap profesional mengolah kesulitan agar tidak berdampak negatif untuk kehidupan pribadinya dan kehidupan orang lain, menunjukkan sikap optimis. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Cornista, G., dan Macasaet, C. (2012) melaporkan, mereka yang memiliki Reach yang tinggi memiliki inner ressource (sumber daya batin) yang tinggi. Jika aspek reach bekerja dengan baik dalam diri siswa, ia akan Munculnya kesadaran untuk memberikan perhatian penuh perhatian penuh, optimis dan mempertahankan sikap profesional disetiap mata pelajaran, hal ini dirasa mampu mendorong mereka untuk menguasai kompetensi-kompetensi pada setiap mata pelajaran.Adapun sikap optimis ini dapat mereduksi keterlibatan mereka pada perilaku menyontek.

Demikian pula terkait aspek Endurance yang tinggi pada Adversity Quotient juga turut berkontribusi dalam mengurangi hasrat siswa untuk menyontek karena individu akan cenderung memandang kesulitan yang ia hadapi adalah sesuatu yang bersifat sementara. Cara memandang kesulitan yang demikian secara tidak langsung memunculkan harapan bahwa kesulitan yang dihadapi saat ini pasti akan berlalu. Timbulnya harapan tersebut mendorong rasa percaya diri, selalu termotivasi untuk merasa sanggup sehingga tidak menyerah, hal ini akan membantu memperkuat diri siswa untuk terus menunjukkan ketekunan dan ketahanan ketika berada di kondisi yang suram atau membosankan. Sikap yang demikian membantu siswa untuk tidak putus asa saat mengalami kegagalan memahami materi pelajaran, memecahkan soal yang sulit saat mengerjakan tugas dan ujian kompetensi (tes). Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Cornista, G., & macasaet, C. (2012) melaporkan, mereka yang memiliki ketahanan yang tinggi memiliki inner ressource(sumber daya batin) yang tinggi pula.

(33)

22

Quotient seperti Control, Kepemilikan dan Ketahanan dengan pencapaian prestasi Matematika responden.

Adapun hasil penelitian juga membahas terkait beberapa temuan perbedaan Adversity Quotient dan Perilaku Menyontek jika ditinjau berdasarkan jenis kelamin, tingkatan kelas dan kelompok kelas siswa. Dari hasil penelitian ini menunjukkan terdapat perbedaan yang terkait tingkat Adversity Quotient berdasarkan jenis kelamin dimana siswa perempuan memiliki skor mean Adversity Quotient yang lebih tinggi daripada laki-laki. Temuan penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dweck (Stoltz, 2000) yang mengungkapkan bahwa ada perbedaan respon pria dan respon wanita terhadap situasi yang sulit. Wanita cenderung menanggapi situasi sulit sebagai sesuatu yang bersifat tetap sedangkan pria menanggapi situasi sulit sebagai sesuatu yang bersifat sementara.

Namun demikian, temuan mengapa Adversity Quotient pada remaja perempuan lebih tinggi dibandingkan remaja laki-laki ini dapat dijelaskan dari pendapat Baldwin (2002 ) bahwa sumber stress pada remaja laki-laki dan perempuan umumnya sama, namun dampak beban ini berbeda padaremaja perempuan dan remaja laki-laki. Remaja perempuan lebih peka terhadap lingkungannya. Menurut penelitan motivasi mereka (remaja perempuan) lebih baik terkait kepekaan bertindak mengatasi masalah dibanding remaja laki-laki. Nilai mereka di sekolah lebih baik, mereka juga lebih menonjol. Selain itu tuntutan dan motivasi mereka lebih tinggi. Hal itu yang diduga secara tidak langsung mempengaruhi lebih tingginya Adversity Quotient

pada siswa perempuan di jenjang SMP.

Hasil penelitian juga menunjukkan skor mean Adversity Quotient berdasarkan tingkatan kelas menjelaskan bahwa skor mean Adversity Quotient yang tertinggi pada tingkatankelas VII dan yang terendah adalah kelas IX sehingga dari temuan ini diketahui semakin tinggi tingkatan kelas justeru semakin rendah pula Adversity Quotien atau dengan kata lain semakin tinggi usia seseorang justeru semakin rendah Adversity Quotient dalam dirinya. Hal ini tidak sesuai dengan hasil penelitian yang ditemukan oleh Videbeck (dalam Titus 2013) menjelaskan bahwa usia seseorang tampaknya mempengaruhi bagaimana dia mengadopsi kesulitan. Seseorang dengan usia muda sangat mungkin memiliki lebih sedikit kemampuan untuk menangani kesulitan, menggunakan firasat dan strategi koping kurang efektif dibandingkan dengan yang lebih tua.

Gambar

Gambar 1. Bagan Hubungan Adversity Quotient dan Perilaku Menyontek
Tabel 1. Format  penilaian Skala Adversity Quotient
Tabel 3. Format Penilaian Skala Menyontek
Tabel 5. Katagorisasi Adversity Quotient dan Menyontek
+3

Referensi

Dokumen terkait

daya manusia yang berkaitan dengan pengawasan dan lingkungan kerja. dalam meningkatkan

Pada penelitian ini penentuan debit rancangan (design flood) dilakukan dengan menggunakan Hidrograf Satuan Sintetik Nakayasu.. Jom FTEKNIK Volume 3 No. HSS Nakayasu

Untuk mencapai pembangunan yang sesuai dengan Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) terdapat beberapa penghambat didalam- nya, yaitu: Kurangnya sosialisasi kepada

Merupakan kelenjar yang sangat vaskuler dengan sinus - sinus kapiler yang luas diantara sel – sel kelenjar,0,6 gr dan diameternya sekitar 1 cm sekresi hipofisis

Berdasarkan hasil data primer yang didapatkan dilapangan berupa tinjau langsung lapangan, wawancara yang mendalan dan terstruktur kepada Kepala Desa, kelompok sadar

Oleh karena pelaksanaan Jual-beli tanah pada hakekatnya merupakan salah satu pengalihan hak atas tanah kepada pihak lain,yaitu dari penjual kepada pembeli tanah.Di

Rata-rata tinggi tanaman padi pada umur 15 HST dipengaruhi tidak nyata oleh pemberian urea dan arang aktif diduga karena unsur hara yang tersedia di dalam

Hasil kuesioner yang ditampilkan dalam tabel 2 menunjukan bahwa dari 15 pasien prabedah yang diberi pendidikan kesehatan rata-rata memiliki skor kecemasan sebesar 14,75