PEMBENTUKAN GALUR BARU ULAT SUTERA
(Bombyx mori
L.)
MELALUI PERSILANGAN
ULAT SUTERA
BlVOLTlN DAN POLlVOLTlN
LALU
MUHAMMAD KASlP
ABSTRACT
THE FORMATION
OF
NEW SILKWORM
(Bombyx
mori
L.)
LINES USING BlVOLTlNE AND POLWOLTINE RACES
Lalu Muhammad Kasip
Superviced by Harimurti Martojo as Chairman of Committee, Adi Sudono. D.T.H. Sihombing, Ronny Rachrnan Noor,
and Mien Kaomini as Member of Committee
Silkworm (Bombyx mori L.) is a high quality silk producing insect, and is promoted as a queen of the fibers. The quality of silk depends on the genetic make up of the silkworm and the environment where they are maintained. The new high quality genetic lines can be produced through crossbreeding. This experiment was designed to develop silkworm lines by utilizing the Tropic (T), Japan
(J),
and Chinese (C) races in a reciprocal scheme resulting a composition of 25 %T; 25 %J; 50%C.
Mass selection was conducted based on cocoon shell weight in each generation. Analyses of variance with orthogonal contrast comparison were conducted. This experiment succeeded in forming a new s i l b r m foundation line. This foundation line will be further selected to stabilise its economic characters, named KI 21 from the C x (T xJ)
mating. The new line's characteristics were finer fiber, higher growing rate, higher cocoon and cowon shell weight, and longer filament cocoon when compared to the pure lines and other crossbred lines. The Chinese silkworm race contribute better traits through maternal inheritance. This race is more appropriate to be used as the female line in silkworm breeding.Laiu Muh. Kasip. Pembentukan Galur Baru Ulat Sutera (Bornbyx mori L.) Melalui Persilangan Ulat Sutera Bivoltin dan Polivoltin. Dibimbing oleh Harimutii Martojo sebagai ketua; Adi Sudono; D.T.H. Sihombing; Ronny Rachman Noor dan Mien Kaomini masing-masing sebagai anggota.
Ulat sutera (Bombyx mori
1.)
merupakan penghasil serat berkuali- tas tinggi yang belum dapat tertandingi oleh serat sintetis maupun serat alam lainnya, sehingga dinobatkan menjadi ratu segala serat. Serat tersebut digunakan antara lain sebagai bahan baku tekstil, benang operasi, parasut, dan kulit buatan. Keberhasilan budidaya ulat sutera sangat tergantung pada mutu genetik bibit dan lingkungan. Oleh karena itu dianjurkan untuk membentuk bibit yang sesuai dengan kondisi lingkungan pemeliharaan dan memiliki sifat-sifat yang diinginkan sebagai target. Penelitian dirancang untuk menghasilkan galur baru melalui persilangan antarras ulat sutera Bivoltin dan Polivoltin, serta mengkaji pola pewarisan sifat yang diturunkan pada zuriat hasil silangannya.kan seleksi massa atas dasar kriteria seleksi bobot kulit kokon. Keunggulan galur baru yang terbentuk dievaluasi berdasarkan karakter kualitatif dan kuantitatif. Karakter kualitatif mengkaji fenomena pewarisan karakter voltinisme dan struktur serat sutera. Karakter kuantitatif, meliputi: pertumbuh-an larva, bobot kokon, bobot kulit kokon, rasio kulit kokon, panjang serat, bobot serat, tebat serat, kemuluran serat dan heterosis dari masing-masing karakter kuantitatif. Pengujian statistik dari data kuantitatif memakai analisis sidik ragam dan uji pembanding kontras ortogonal.
Penelitian ini berhasil membentuk galur baru ulat sutera yang diberi nama KI 21 yang dapat dimantapkan sarnpai merniliki karakter stabil. Berasal dari persilangan ulat sutera ras Cina (C) sebagai induk dengan pejantan hibrida hasil persilangan ras Tropik (T) dengan ras Jepang (J) atau 80207 x (Poly x 601 08). Keunggulannya adalah memiliki pertumbuh- an sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi, bobot kokon dan kulit kokon sangat nyata (P-=O.Ol) lebih berat, serat sutera sangat nyata (Pc0.01) lebih panjang dan menghasilkan serat sutera lebih halus dibandingkan dengan tetua maupun persilangan lainnya. Ulat sutera ras Cina mewariskan sifat- sifat ekonomisnya lebih baik secara maternal (maternal inheritance),
PEMBENTUKAN GALUR BARU ULAT SUTERA
(Bombyx
mori
L.) MELALUI PERSILANGAN
ULAT SUTERA BlVOLTlN
DAN POLlVOLTlN
oleh
Lalu
Muhammad Kasip
PTK
975022
sebagai salah satu syaat untuk memperoleh Gelar Doktor pada Program Pascasa rjana
lnstitut Pertanian Bogor
PROGRAM PASCASARJANA
Judul Disertasi : Pembentukan Galur Baru Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Melalui Persilangan Ulat Sutera BivoItin dan Polivoltin
Nama Mahasiswa : Lalu Muhammad Kasip
Nomor Pokok : 975022
Program Studi : llmu Ternak
Menyetuj
ui
1. Komisi Pembimbing
Anggota
Dr. Ir. Hi. Mien Kaomini. M.Sc
Lalu Muhammad Kasip, adalah zuriat pewaris gen dari pasangan
bahagia mendiang Lalu Nursasih dengan Baiq Seleha. Dilahirkan pada
tahun 1961 di Gerintuk (sebuah dusun terpencil di pulau Lornbok).
Pendidikan formal diawali dengan rnasuk SDN Dasan Makarn tahun 1968 dan tamat tahun 1973. Menamatkan pendidikan
S M P N
Terara tahun1976 dan SMAN Selong tahun 1980. Meraih gelar Sa jana Peternakan dari Fakultas Peternakan Unrarn tahun 1984. Sejak tahun 1984 menjadi
assisten beberapa rnata kuliah, kernudian diangkat rnenjadi dosen tetap
tahun 1986 pada Fakultas Peternakan Unrarn.
Menikah dengan dara Bugis bernama lndah Asniyati (terrnasuk outbreeding) hari Jum'at 25 April 1986 dan telah mewariskan gen-gen kepada zuriat yang bernama Lalu Alan Megadewantara Kasip, Baiq
Kanidya Rezekina Kasip, dan Latu llham Akbar Suteragena Kasip.
Bulan Agustus 1993, pernerintah Australia melalui Indonesia
-
Ausfralia Eastern Universities Project rnernbiayai studi program MagisterSains karni di PPs UGM, Yogyakarta dan meraih gelar Magister Sains tanggal 20 Januari 1995. Pada tahun 1995 menjadi pendiri dan Dekan
pertarna sarnpai sekarang dari Fakultas Petemakan Universitas Nahdlatul
Wathan Mataram. Pada bulan Agustus 1997 melanjutkan studi program Doktor (S-3) dengan beasiswa BPPS DlKTl Departernen Pendidikan
KATA
PENGANTAR
Allah berfirman dalam Al-Qur'an surat Luqrnan ayat 27 yang kira-
kira rnaknanya "Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan
laut menjadi tinta, kemudian difambah kepadanya tujuh lauf lagi sesudah
(keringlnya, niscaya tidak akan habis-habisnya dituliskan kalimat (iimu) Allah, Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Ya Allah berikanlah kami kemampuan untuk rnengungkap ilrnu-Mu yang tiada
berbatas itu. Selawat dan salam kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW yang telah menyerukan umat manusia menuntut ilmu dari sejak
buaian sarnpai pusara. Berbahagialah orang-orang yang mendapat ilmu
Allah dan mengamatkannya di jalan yang benar.
Hasil penelitian yang dituangkan dalarn Disertasi ini berhasil mem-
bentuk galur baru ulat sutera KI 21, dan mengungkap bahwa beberapa
karakter kualitatif dan kuantitatif diwariskan secara maternal. Direkornen-
dasikan juga bahwa ulat sutera ras Cina lebih wcok sebagai induk dari- pada sebagai pejantan dalarn pernbuatan bibit hibrjda rnaupun galur baru. Berhasilnya penelitian rnernbentuk galur baru ulat sutera ini berkat
jasa dan kepiawaian dari Bapak
Prof.
Dr. H. Harimurti Martojo, M.Sc sebagai ketua kornisi pembimbing, Prof. Dr. Adi Sudono, M.Sc; Prof. Dr. D.T.H. Sihornbing, M.Sc; Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur,Sc danatas segala birnbingan, kebaikan, curahan perhatian, pengarahan, nasehat, dan lainnya, sehingga karni merasa telah rnendapat yang terbaik.
Kepada mendiang ayahanda dan ibunda, atas nasehat dan wasiat-
mu untuk rnenuntut ilmu, selalu ananda kenang dan disertasi ini merupa- kan bagian kecil perwujudan bakti karni. Kepada para guru dan dosen
yang telah mengajariku ilmunya, disampaikan terirna kasih yang tulus. Sernua keceriaan, pengorbanan, ketabahan, doa restu dan dorongan
yang diberikan istri dan anak-anakku tercinta disampaikan terirna kasih. Kepada Pernerintah RI disampaikan terirna kasih atas bantuan
beasiswanya rnelalui program BPPS. Kepada Prof. Dr. Mulyanto, sebagai
rektor rnaupun sebagai pribadi disarnpaikan terirna kasih atas bantuannya. Kepada Ibu Dr. Ir. Hj. Mien Kaornini, M.Sc sebagai pribadi maupun Peneliti
Sutera Alarn, Badan Litbang Kehutanan, atas bantuan bibit dan rnagang
yang diberikan diucapkan terirna kasih yang rnendalam. Rasa terirna kasih
juga disampaikan kepada Dra. Enny Yulianti, MS dan para teknisi Labora- toriurn Biologi dan Fisika UPT MlPA Unrarn atas bantuan fasilitas peneliti- an yang saya butuhkan. Keceriaan yang karni dapatkan bersama ibu
Lincah Andadari, ibu Eha bin Sobri, ibu Yur, bapak Edi. Ernan, dan lainnya
yang tidak dapat disebut satu per satu pada Disiplin Persuteraan Atarn, Ciomas Bogor, diucapkan terirna kasih dan rasa simpati yang mendalarn.
Ketelatenan dari saudara Arfan dan Lina (mahasiswa IPB Bogor), Amin,
Disertasi ini karni hanya dapat mengucapkan terirna kasih. lnsya Allah
sernua bantuannya akan mendapat ganjaran dari Allah SVVT.
Semoga disertasi ini dapat memberikan cakrawala baru bagi pengembangan ilrnu pengetahuan dan hasilnya berupa galur baru yang
terbentuk dapat digunakan dalarn pengernbangan persuteraan alarn.
DAFTAR
IS1
ABSTRACT RI NGKASAN JUDUL
PENGESAHAN KOMlSl PEMBlMBlNG RIWAYAT HIDUP KATA PENGANTAR DAFTAR IS1 DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN
I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sutera sebagai Pakaian Penghuni Surga 2.2. Keistimewaan Sutera dan Penggunaannya 2.3. Klasifikasi dan Penggolongan Ulat Sutera 2.4. Siklus Hidup Ulat Sutera
2.5. Karakter Spesifik Ulat Sutera Ras Jepang, Cina dan Tropik 2.6. Analisis Pewarisan Sifat
2.6.1. Pewarisan Karakter KuaLitatif 2.6.2. Pewarisan Karakter Kuantitatif 2.7. Pembentukan Galur Baru
2.7.1. Peran Seleksi dalam Pembentukan Galur Baru 2.7.2. Peran Persilangan pada Pembentukan Galur Baru 2.8. Pemanfaatan Heterosis
2.9. Pemanfaatan Oaya Gabung
2.1 0. Pembentukan Hibrida Baru Komersial 2.1 1. Kokon dan Serat Sutera
i1 . . . 111 v vi vii ... V l l l
Ill. MATERl DAN METODE PENELlTlAN 3.1
.
Materi Penelitian3.
t
. 1 . Populasi Dasar3.1.2. Pakan Larva
3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 3.3. Metode Penelitian
3.3.1. Program Persilangan
3.3.2. Sampel Pengamatan
3.3.3. Seleksi Tetua dan Prosedur Pemeliharaan
3.3.3.1. Penetasan Telur
3.3.3.2. Perneliharaan dan Disinfeksi Tubuh Larva
3.3.3.3. Pengokonan dan Panen Kokon
3.3.3.4. ldentifikasi Jenis Kelarnin Pupa
3.3.3.5. Perkawinan Ngengat
3.3.4. Disinfeksi Ruang Penelitian dan Peralatan 3.4. Peubah yang Diamati dan Pengukurannya
3.4.1. Karakter Kualitatif
3.4.2. Karakter Kuantitatif
3.5. Rancangan Penelitian dan Analisis
Data
IV. HASlL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pewarisan Karakter Voltinisme 4.2. Corak Larva
4.3. Bobot Larva pada Setiap lnstar dan Generasi
4.4. Perkembangan Bobot Larva per Generasi 4.5. Bentuk Kokon
4.6. Bobot Kokon, Kulit Kokon, dan Rasio Kulit Kokon 4.7. Bobot Kokon, Kulit Kokon, dan Rasio Kulit Kokon
antargenerasi Persilangan 4.8. Struktur Serat Sutera
4.10. Koefrsien Keragarnan
4.1 1. Heterosis
4.1 1.1. Heterosis Bobot Larva
4.1 1.2. Heterosis Kokon
4.1 1.3. Heterosis Serat Sutera
V, KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesirnpulan
5.2. Saran
DAFTAR TABEL
Teks
Karakter Spesifik Ulat Sutera Ras Jepang, Cina dan Tropik 10
Karakter Serat Sutera dari MU7m Dibanding NB4D2 dan KA 17 Nilai Heterosis Bobot Kokon dan Kulit Kokon pada Silang 2 1 Tunggal dan Tiga Ras
Nilai Heterosis dari Beberapa Karakter yang Diamati 22
Rataan Karakter dan Nilai Heterosis yang Diukur pada Galur 23
LFL dan SFL dan Persilangannya
Karakter Kuantitatif pada Persilangan tangsung dan 24
Resjprokal
Kandungan Asam-asam Amino pada Fibroin dan Serisin 32
Rataan dan Standar Deviasi Komposisi Nutrien Pakan Larva 35
Rataan dan Standar Deviasi Temperatur, Kelembaban dan 36
Cahaya Harian Ruang Penelitian
Rataan dan Standar Deviasi Bobot Larva pada Setiap 53
lnstar dan Generasi Persilangan
Rataan dan Standar Deviasi Bobot Kokon, Bobot Kulit Kokon 61 dan Rasio Kulit Kokon pada Kokon dengan Pupa Betina dan Jantan
Rataan dan Standar Deviasi Panjang, Berat, Tebal dan 7 2 Kemuluran Serat Sutera pada Setiap Generasi Persilangan
Koefisien Keragaman dari Generasi Tetua dan Pertama 78
Koefisien Keragaman Bobot Kulit Kokon dan Panjang Serat 79 Sutera antargenerasi Persilangan
16 Heterosis Bobot Kokon, Bobot Kulit Kokon, dan Rasio Kulit Kokon pada Setiap Generasi Persilangan
DAFTAR GAMBAR
Halaman Teks
Siklus Hidup Ulat Sutera 8
Pola Pewarisan Karakter Voltinisme 12
Pewarisan Terpaut Kelarnin pada Bobat Kulit Kokon 13
Model Persilangan dari Galur Baru Ulat Sutera MU720 16
Program Persilangan dari Hibrida Korea
26
Persilangan Hibrida Tiga Ras, Hibrida Korea x Varitas 27 Asli Sub-tropik
Kelenjar Sutera 31
Skerna Persilangan untuk Membentuk Galur Baru Ulat Sutera 37
Diagram Prosedur Pemeliharaan dan Proses Seleksi pada 40
Setiap Generasi
Bentuk dan Karakteristik Ekstemal Kelenjar Reproduksi 42 Pupa Betina dan Jantan
Pewarisan Karakter Voltinisme Contoh Foto Ulat Sutera
Bobot Larva pada Setiap tnstar dari Generasi Tetua dan Pertama
Bobot Larva pada Setiap lnstar dari Generasi Keenarn Bobot Larva lnstar Satu antargenerasi Persilangan
Bobot Larva lnstar Dua antargenerasi Persilangan Bobot Larva lnstar Lima Hari Kelima antargenerasi Persilangan
19 Bobot Kokon dari Generasi Tetua, Pertama, dan Keenam 20 Bobot Kulit Kokon dari Generasi Tetua, Pertama, Keenam
Rasio Kulit Kokon dari Generasi Tetua. Pertama, dan Keenam
Bobot Kokon Betina dan Jantan antargenerasi Persilangan
Bobot Kulit Kokon Betina dan Jantan antargenerasi Persilangan
Rasio Kulit Kokon Betina dan Jantan antargenerasi Persilangan
Contoh Hasil Scanning Electrone
Micmscope
Struktur Serat Sutera dengan Perbesaran 2000 kaliPanjang Serat dari Generasi Tetua, Pertama, dan Keenam Bobot Serat dari Generasi Tetua, Pertama, dan Keenam
Tebal Serat dari Generasi Tetua, Pertama, dan Keenam
Kemuluran Serat dari Generasi Tetua, Perlama, dan Keenam Panjang Serat Sutera antargenerasi Persilangan
Bobot Serat Sutera antargenerasi Persilangan Tebal Serat Sutera antargenerasi Persilangan
DAFTAR LAMPIRAN
Teks
Analisis Proksimat Daun Murbei Jenis Morus alba varitas
kanva
2 sebagai Pakan Ulat Sutera pada Setiap lnstar dan GenerasiRataan Cahaya, Ternperatur, dan Kelembaban Ruang Penelitian pada Setiap Generasi Persilangan
Aktivitas Larva Generasi Tetua pada Setiap lnstar Aktivitas Larva Generasi Pertarna pada Setiap lnstar
Aktivitas Larva Generasi Kedua pada Setiap lnstar Aktivitas Larva Generasi Ketiga pada Setiap lnstar Aktivitas Larva Generasi Keempat pada Setiap lnstar
Aktivitas Larva Generasi Kelima pada Setiap lnstar
Ulat sutera (Bombyx mori L.) hadir dalarn sejarah peradaban umat
manusia berkat jasa penemuan nenek rnoyang bangsa Cina kira-kira 3000
tahun SM dan nenek rnoyang bangsa Jepang kira-kira 2500 tahun SM.
Produk utamanya adalah serat sutera berkualitas dan bernilai ekonomi
tinggi. Kualitasnya belurn tertandingi oleh serat sintetis maupun serat alam
lainnya, sehingga dinobatkan menjadi ratu darisegala serat. Penggunaan- nya dalam bidang industri antara lain sebagai bahan baku tekstil, benang
operasi, parasut, jaket anti peluru, maupun sebagai biornaterial baru (new bioma ferial)
.
Keistimewaan serat sutera dibanding serat bahan sandang lainnya adalah lebih kuat, liat, elastis, berkernilau, rnernpunyai daya rnenahan
panas dan rneresap air yang menyebabkan tekstil dari bahan sutera ber- sifat hangat pada waktu dingin dan sejuk pada waktu panas, tidak rnudah
luntur karena rnemilik~ daya rnenahan wama yang kuat. Asosiasi Sutera Alam lnternasional di Lyon Perancis rnernbuktikan bahwa, tekstil dari bahan sutera memiliki banyak keistirnewaan dan kelebihan dibandingkan
dengan kapas, nilon, dan poliester. Berdasarkan keistirnewaan tersebut,
maka banyak negara di dunia rnembudidayakan ulat sutera.
Pengembangan budidaya ulat sutera rnemerlukan penyediaan bibit
ras Tropik, bahkan tidak masuk dalam standar mutu yang ditetapkan.
Kepekaan ulat sutera terhadap kondisi lingkungan juga merupakan
masalah, sehingga diperlukan bibit komersial yang sesuai dengan sifat- sifat yang diinginkan dan kondisi lingkungan budidaya. Sangat dianjurkan
untuk membuat bibit dimana budidaya itu dilakukan.
Bibit bermutu genetik tinggi dapat dihasilkan melalui program per-
silangan. Kombinasi antara sistem perkawinan individu-individu tidak
berkerabat dan berkerabat, disertai program seleksi yang mantap, dapat menghasilkan terbentuknya galur baru maupun hibrida baru dengan kokon dan serat sutera berkualitas tinggi.
Di dunia dikenal empat ras ulat sutera yakni ulat sutera ras Eropa, Cina, Jepang, den Tropik dengan masing-masing karakter spesifik yang
dapat diturunkan ke geneasi berikutnya. Para pemulia ulat sutera, biasa-
nya merekontruksi genetik baru melalui persilangan antarras untuk meng- hasilkan galur baru maupun hibrida baru.
Penelitian ini difancang guna membentuk galur baru dan mengkaji pola pewarisan sifat melalui persilangan ulat sutera Bivoltin dan Polivoltin
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sutera sebagai Pakaian Penghuni Surga
Allah SVVT di dalarn At-Qur'an menarnakan sutera dengan kata
sundusin
danhariirun
sebagai pakaian bagi orang-orang beriman di dalamSurga. Serangkaian firrnan-Nya tentang sutera adalah sebagai berikut: Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang arnalan(nya) dengan baik (Al-Kahfi: 30). Mereka itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga Adn,
mengalir sungai-sungai di bawahnya, dalam surga itu mereka dihiasi
dengan gelang emas dan mereka rnernakai pakaian hijau dari sutera halus
dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan- dipan yang indah. ltulah pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat istirahat yang indah (Al-Kahfi: 31). Sesungguhnya Allah mernasukkan orang-orang
beriman dan mengerjakan amal saleh ke dalam surga-surga yang di
bawahnya mengalir sungai-sungai. Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah
sutera (Al-Hajj: 23). (bagi rnereka) surga Adn, mereka rnasuk ke dalam- nya, di dalamnya mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari
ernas, dan dengan mutiara, dan pakaian mereka di dalamnya adalah
sutera (Al-Fathir: 33).
(yaitu) di dalarn taman-taman dan mata air-mata air (Ad-Dukhaan: 52),
mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) dan berhadap-hadapan (Ad-Dukhaan: 5 3 ) , demikianlah. Dan Kami berikan
kepada mereka bidadari (Ad-Dukhaan: 54). Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman (dari segala kekhawatiran)
(Ad-Dukhaan: 55), mereka tidak akan merasakan mati di dalarnnya kecuali
mati di dunia. Dan Allah memelihara mereka dari azab neraka (Ad- Dukhaan: 56). sebagai karunia dari Tuhanmu. Yang demikian itu adalah
keberuntungan yang besar (Ad-Dukhaan: 57).
Balasan Allah kepada orang-orang yang berbuat kebajikan dan
tingkatan-tingkatannya diuraian dalarn surat Al-lnsaan: 5
-
11, kemudianAllah berfirman: Dan Dia memberi balasan kepada rnereka karena kesabarannya (dengan) surga dan (pakaian) sutera (Al-lnsaan: 12).
Kenikmatan surga dilukiskan Allah pada surat Al-lnsaan: 13
-
18, selanjut-nya
dijanjikan: Dan rnereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan rnuda yangtetap muda. Apabila kamu melihat mereka, kamu akan mengira mereka, mutiara yang bertaburan (Al-lnsaan: 19). Dan apabila kamu melihat disana
(surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macarn kenikmatan dan kerajaan yang besar (Al-lnsaan: 20). Mereka memakai pakaian sutera
halus yang hijau dan sutera tebal dan dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak, dan Tuhan mernberikan kepada mereka minuman yang
2.2.
Keistimewaan Sutera dan Penggunaannya
Penelitian terhadap kualitas serat sutera sebagai bahan tekstil
menunjukkan beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan bahan sandang lainnya, yakni lebih ringan, tidak rnudah kusut, rnernpunyai daya
menahan panas dan meresap air yang rnenyebabkan bahan sutera terasa hangat pada waktu dingin dan rnenyejukkan pada waktu panas, merniliki
kemarnpuan rnenahan warna yang kuat sehingga tidak rnudah pudar, dan
bila kontak dengan api sutera akan hangus dan mengkerut sehingga tidak mudah menirnbulkan kebakaran. Keistimewaan lainnya telah dibuktikan
oleh Jarrigeon dari tnstitut Textile de France-lyon, yakni massa serat sutera lebih ringan 80 %, 85 %, dan 98 % masing-masing dibanding
kapas, nilon, dan poliester. Sifat ferrneabilitasnya lebih tinggi 197 % diban-
ding kapas, namun lebih rendah 91 % dibanding poliester. Daya absorpsi serat sutera sangat tinggi yakni 120 %, 550 % dan 700 % masing-masing
dibandingkan dengan kapas, nilon dan poliester. Daya desorpsi sutera lebih kecil 86 % dibanding kapas, narnun lebih besar 105 % dan 210 %
masing-masing dibanding nilon dan poliester (P3H, 1992).
Serat sutera dikarakterisasi oleh kekuatan dan ukurannya yang sangat mengesankan yang bukan saja digunakan sebagai bahan baku
industri tekstil, narnun mempunyai fungsi lain dalam bentuk biornaterial baru (Tsubouchi et
a/.,
1997). Di Cina lirnbah serat sutera dalam bentuktepung serat (silk
powder)
digunakan untuk kosrnetik, vektor untuk obat- obatan dan enzirn, obat pereduksi kolesterol dan tekanan darah, sedang-kan dalam bentuk film sutera (silk film) digunakan sebagai pembuluh
darah buatan (artificial blood vessel) dan kulit buatan (Rajiv dan
Vijayakurnar, 1996). Sutera digunakan juga sebagai bahan parasut dan jaket anti peluru.
2.3. Klasifikasi dan Penggolongan Ulat
Sutera
Ulat sutera (Bombyx mori L.) pada sistem taksonomi hewan diktasifikasi rnenjadi devisi holometabola, filurn Arthopoda, kelas Insect,
ordo Lepidoptera, farnili Bombycidae, genus Bombyx, dan spesies Bombyx mori (Storer et al., 1979; Borror et al., 1995). Bombyx mori merupakan jenis serangga penghasil serat pada famili Bombycidae yang
khusus rnakan daun moms atau mori yaitu rnurbei.
Ulat sutera digolongkan menjadi beberapa kelompok berdasarkan: (1) karakter voltinisrne, terdiri atas Univoltin, Bivoltin, dan Polivoltin
masing-masing dengan satu, dua, dan tiga atau lebih pergantian generasi per tahun pada kondisi kehidupan alamiah; (2) pergantian kulit larva,
terdiri atas ulat sutera dengan tiga, empat, dan lima kali pergantian kulit. Singh et a/. (1989) menyatakan bahwa ulat sutera dengan ernpat kali
pergantian kulit merupakan penghasil sutera terbaik sehingga banyak dibudidayakan; (3) ternpat terbentuknya, yakni ulat sutera ras Eropa, Cina,
Jepang, dan Tropika (JOCV, 1975; Mah, 1998a); (4) warna kokon, yakni
ulat sutera penghasil kokon putih dan kokon berwarna (JOCV, 1975); (5) musim perneliharaan; (6) karakter spesifik (Mah, 1998a); (7) jenis pakan
perhatian karena kualitas seratnya baik adalah ulat sutera Eri (Philosomia cynthia ricin~], Muga (Antheraea assamensis), dan Tusser. Utat sutera Tusser terdiri atas Tusser Cina (Antheraea pemyi), Tusser Jepang
(Antheraea yamama~], Tusser India (Antheraea mylitfa), dan Tusser Oak
(Antheraea proylei) (JOCV, 1975; Peigler, 1993; Kato et a/., 1996). Bombyx mori L. adalah ulat sutera komersiat yang dibudidaya.
2.4.
Siklus Hidup Ulat Sutera
Ulat sutera merupakan serangga yang mengalami proses meta- rnorfose sempuma dengan siklus hidup adalah: telur, larva, pupa, dan
ngengat (Gambar 1). Proses metamorfose berlangsung secara regresif
yaitu tahap perombakan dan penghancuran jaringan tubuh larva, dan rnetamorfose progresif adalah tahap pernbentukan kembali jaringan dan
organ lainnya dari bentuk pupa menjadi ngengat (Sihombing, 1999). Proses pertumbuhan dan metamorfosisnya dikendalikan oleh sistem
hormonal (Ishizaki, 2000). Pertumbuhan larva, proses pergantian kulit dan perubahan bentuk, dan karakter voltinisme masing-masing diatur oleh
hormon jupenil, ekdison dan diapause (Mmball, 1990; Mah, 1998a). Ulat
sutera dapat tumbuh dengan menanggalkan kulitnya secara berkala, terjadi berulang kali selama periode perkernbangan larva. Kepompong
merupakan pelindung selama masa perubahan bentuk dari larva, pupa dan ngengat. Ngengat dapat keluar dari kepompong dengan menyernprot- kan enzim kokonase pada ujung kokon sehingga menjadi lunak dan
Gambar 1. Siklus Hidup Ulat Sutera (Tazirna, 1964). tM=Lawa Menetas.
H = Hakikatrr; PK1. PK2. PK3, PK4 masing-masing adafah Pergantian Kulit Pertarna, Kedua, Ketiga, dan Keernpat: R=Mengokon; P=Pupasi; Ng=Ngengat; TD=Telur Diapause;
TND= Telur Nondiapause.
Perturnbuhan ulat sutera berlangsung sangat cepat pada masa
larva yakni mencapai 3 0.000
-
12.000 kali (Tazima, 1964; Atmosoedarjo et a/., 2000) antara berat pada umur sehari sebelum mengokon dengan(Atmosoedarjo et a / . . 2000) atau pada instar lima hari kelima 0/-5) yaitu
suatu tahap krusial dalam peltumbuhan, perkembangan, dan metabolisme
pada ulat sutera yang berkontribusi terhadap ekspresi fenotifrk karakter kokon (Rajanna dan Reddy, 1996). Fakta ini ditandai dengan meningkat-
nya aktivitas metabolisme (Ueda et
a/.,
1971), dan sintesis protein dalam sel-sel kelenjar sutera (Iwami etal.,
1996).2.5. Karakter Spesifik Ulat Sutera Ras Jepang,
Cina
dan
Tropik
Perbedaan karakteristik dari masing-masing ras ulat sutera disebabkan oleh perbedaan konstitusi genetik (Aherkar
ef
a/., 1991;Abadzieva dan Nakova, 1992; Hong
ef
a/.,
1993; Thiagarajan eta/., 1993; Chareyre eta/.,
1995), yang dapat dijadikan sumber daya genetik olehpara pemulia dalam persilangan untuk membentuk hibrida baru maupun galur baru (Mah, 1998a). Biasanya yang paling diperhatikan dalam
persilangan untuk membentuk gatur baru maupun hibrida baru adalah karakter spesifik dari masing-masing ras (Razdan et a/.. 1994; Tayade, 1995). Karakter spesifik dari ulat sutera ras Jepang, Cina, dan Tropik
dicantumkan pada Tabel 1.
2.6. Analisis Pewarisan Sifat
Nabi Muhammad SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim
seleksi dan pewarisan sifat, sedangkan Mendel dianggap orang pertama yang rnengungkap pola pewarisan sifat rnenurun melalui percobaannya
pada kacang Ercis. Analisis genetika hewan didasari asumsi sama yang dibuat Mendel, yakni garnet yang dihasilkan jantan dan betina berpeluang
sarna dalam fertilisasi.
Tabel 1. Karakter Spesifik Ulat Sutera Ras Jepang. Cina dan Tropik
Ras Ulat Sutera
Karakter Jepang Cina Tropik
Voltinisme Uni dan Bivoltin
Ukuran larva Normal
Daur hidup Panjang
Kokon ganda Tinggi
Bentuk kokon Kacang
Tebal Serat Tebal
Panjang serat Pendek
St~ktIJr Serat Kasar
Daya Adaptasi Kurang
Sumber : JOCV (1 975) dan Mah (1998a)
Uni dan Bivoltin Kecil Pendek Rendah Jorong Tipis Panjang Halus Kurang PolivoAin Kecil Pendek Rendah Gelendong Tipis Pendek Halus Baik
Pola pewarisan sifat yang terekspresi pada zuriat tergantung dari
sifat-sifat tetua jantan dan betina. Wataupun tetua jantan dan betina mempunyai peluang sarna menurunkan sifat, narnun diduga bahwa pola pewarisan sifat dari jantan dan betina diekspresikan berbeda pada zuriat-
nya. Goodenough (1 984) menyatakan bahwa, bila persilangan resiprokal memberi nisbah fenotipe pada zuriat pertama (FI) dan kedua (F2) ber-
[image:158.511.41.439.35.578.2]2.6.1.
Pewarisan Karakter Kualitatif
Karakter voltinisme dari ulat sutera Univoltin dan Polivoltin hanya disebabkan oleh faktor hereditas, sedangkan Bivoltin disebabkan oleh
faktor hereditas dan lingkungan seperti temperatur dan panjang siang hari. Pemeliharaan larva dan penyimpanan telur ulat sutera Bivoltin pada
temperatur di bawah 15
OC
maka telur-telur tersebut akan mengalamihibernasi, 15 - 18
OC
maka telur-telur tidak mengalami istirahat karenahorrnon diapause tidak diinduksi, sedangkan di atas 20
OC
telur-telur Bivoltin akan mengalami estivasi (Tazima, 1964). Lama penyinaran pada temperatur tinggi (25OC)
dan panjang siang hari selama lebih dari enarnbelas jam pada tahap embrio akan menginduksi hormon diapause pada generasi berikutnya. Pada temperatur rendah (1 5
OC)
dan kondisi haripendek yakni kurang dari dua belas jam, generasi berikutnya akan bersifat nondiapause (Kim, 1998b). Dilaporkan juga, ulat sutera Bivoltin banyak
dipelihara secara komersial karena rnemiliki karakter yang diinginkan seperti kokonnya berat, rasio kulit kokon dan kekuatan larva baik.
Karakter voltinisme merupakan karakter yang secara fenotipik diekspresikan pada generasi berikutnya, dideterminasi secara maternal
tergantung pada genotip ngengat pada generasi sebelumnya (Gambar 2).
Hormon diapause rnerupakan penyebab daripada embrio diapause (Mah, 1998a). Karakter voltinisme dikontrol oleh gen-gen utama (major genes)
dengan alet
v',
+V danv3
masing-masing untuk Univoltin, Bivoltin dan Polivoltin, dan pewarisannya dipengaruhi gen-gen terpaut kelamin dan gen-gen autosomal (Tazima, 1964).Gambar 2. Pola Pewarisan Karakter Voltinisme (Tazima, 1964; Mah, 1998a) . dan 0 Masing-masing Melarnbangkan Karakter Univoltin dan Polivoltin.
2.6.2. Pewarisan Karakter Kuantitatif
Bukti-bukti adanya fenomena pewarisan terpaut kelamin pada
karakter kuantitatif dilaporkan Tazima (1964) yaitu dari hasil persilangan yang dilakukan antara strain atau galur yang menghasilkan bobot kulit
kokon berat dan ringan. Persilangan resipmkal seperti tertera pada Gambar 3 menghasilkan perbedaan bobot kulit kokon padazuriat pertama
P
-.
a ; -. F,. - L
[image:161.520.36.436.29.582.2].
.. ;- ' ri-j -; ; -,i ;i i-i ;;.;i ,> ,a,:
,.
Gambar 3. Pewarisan Terpaut Kelamin pada Bobot KuM Kokon (Tazima, 1964). A. Strain dengan Bobot Kokon Berat. 6. Strain dengan Bobot Kokon Ringan.
Pengaruh gen terpaut kelarnin diindikasikan dengan bervariasinya tinggi dan lebar kurva bobot kulit kokon pada kedua jenis kelamin zuriatnya. Bila strain dengan bobot kulit kokon berat sebagai induk pada generasi tetua maka kurva produksi zuriat jantan dan betina hampir sama, sedangkan resiprokalnya menunjukkan bahwa zuriat betina memiliki kurva
produksi lebih lebar namun lebih rendah dibandingkan zuriat jantan. Penyebabnya adalah adanya gen utama yang rnengontrol sifat-sifat dewasa terpaut pada kromosom Z yang mempengaruhi ekspresj karakter kuantitatif dan aksi-nya dimodifikasi oleh gen autosornal (Tazima, 1964).
2.7.
Pernbentukan Galur Baru
Penggabungan dan pemisahan karakter pada pernbentukan galur
baru pada uiat sutera dibedakan rnenjadi tiga tahapan (Kim, 1998a), yaitu generasi pertarna sampai ketiga rnerupakan periode perubahan yang
disebabkan oleh kornbinasi, segregasi dan rekombinasi antara gen-gen
pada kromosorn hornolog. Generasi keernpat sarnpat ketujuh merupakan tahap pernisahan karakter yang mengarah pada terbentuknya susunan
gen baru yang diinginkan, sedangkan generasi kedelapan dan seterusnya merupakan tahap pemantapan dalam pembuatan galur baru.
Persilangan dan seleksi merupakan modal utarna para pernulia ulat
sutera untuk rnemaksimumkan keuntungan ekonornis. Sifat-sifat penting yang dilnginkan diisolasi melalui biak-dalarn (inbreeding) untuk menyrng-
kirkan gen-gen yang pengaruhnya rnerugikan, narnun dilain pihak
mengakurnulast gen-gen yang pengaruhnya menguntungkan untuk meng- hasilkan temak-temak unggul (Martojo, 1992). Temak-temak inbred yang
rnenunjukkan sifat-sifat unggul cenderung lebih homosigot untuk gen-gen pengontrol keunggulan, dan temak-temak ini mewariskan keunggulannya
karena gen-gen hornosigot (Noor, 1996). Cara tersebut banyak diterap- kan dalam pembuatan galur baru ulat sutera (Raju. 1992; Maribashetty
dan Reddy, 1995).
Ulat sutera hibrida hasil persilangan galur pada ras yang sarna
rnempunyai heterosis bobot kokon dan serat sutera lebih tinggi dibanding hibnda dari persilangan galur pada ras yang berbeda, narnun daya tetas,
lama hidup dan panjang serat yang dihasilkan lebih rendah (Mladenov,
1990). Galur baru ulat sutera yang dibuat dengan cara hibridisasi disertai seleksi, diantaranya ialah AZ3 yaitu galur baru Polivoltin yang dibuat dari
tiga galur Polivottin
M2,
Nistari, dan G. Galur baru A ~ J menghasilkan sutera pintal (spun silk) berwarna kuning, elastis, dan benang twis berkualitastinggi (Singh dan Rao, 1994). Hibrida baru yang dibuat dari persilangan
empat pejantan galur baru Bivoltin dengan galur murni Mysore Polivoftin, menghasilkan performans ketahanan hidup larva, jumlah larva yang
dihasilkan, bobot larva, bobot kokon dan kulit kokon, rasio kulit kokon, dan panjang serat sutera lebih baik dibanding hibrida lain yang sudah eksis di
India (Raju dan Krishnamurthy, 1995). Maribashetty dan Reddy (1995) mernbuat galur baru ulat sutera MUm menggunakan galur Bivoltin NB4D2,
Kalirnpong-A (KA) dan galur Polivoltin Cinthya nichi putih (Gambar 4).
Pada generasi awal disilangkan NB4D2 betina dengan KA jantan. Generasi pertama dikawinkan sesamanya (interse mating), kemudian zuriat betina dengan bentuk kokon ras Jepang disilangkan dengan C. nichijantan untuk
memperoleh generasi ketiga. Generasi ketiga dikawinkan sesamanya dan seleksi dilakukan atas dasar bentuk kokon oval. Kokon yang masuk
kriteria, diseleksi sampai generasi kelima. Generasi kelima dengan jenis
kelamin betina yang rnuncul dari kokon-kokon berwama putih, menarik dan sedikit ramping disilang balik (backcross) dengan NB4D2 jantan.
Generasi keenam sampai generasi kedua belas dikawinkan sesamanya, disertai seleksi atas dasar warna kokon putih dengan bangun dan
6
KA
F 1
8
C. Nichi
F3
1
F4
0
d [image:164.507.39.408.35.552.2]F5 NB4Dz
Gambar 4. Model Persilangan dari Galur Baru Ulat Sutera MUm
Pada Tabel 2 dicanturnkan keunggulan dari galur baru MU720 bila
dibandingkan dengan NB4D2 dan Kalimpong - A (KA) sebagai tetuanya,
kemudian Maribashetty dan Reddy (1995) merekomendasikan bahwa
galur baru MU720 efektif digunakan untuk pengembangan ulat sutera di
Tabel 2. Karakter Serat Sutera dali MUm Dibanding NB4D, dan KA
Galur Panjang Tebal Kerapihan Keseragaman Kebersihan serat serat
(m) (d) (96) ...
N B ~ D z 94 1 2.49 86.50 84.50 92.00
KA 927 2.48 92.60 88.70 84.00
Mu720 947 2.58 92.20 89.60 86.50
Sumber: Maribashetly dan Reddy (I 995)
2.7.1.
Peran Seleksi dalam Pembentukan Galur Baru
Seleksi berperan dalam mengubah frekuensi gen yang mengatur beberapa sifat kualitatif dan kuantitatif (Falconer, 1989; Martojo, 3 992).
yang dipandang sebagai aktivitas para pemulia paling penting dan sebagai
dasar utama dalam pemuliaan ternak (Warwick e t a / . , 1995).
Salah satu metode seleksi yang paling populer digunakan pada ulat sutera adalah seleksi massa (Hirobe, 1984). Seleksi massa dilakukan
dengan mengurutkan
(rangking)
performans semua individu di dalarn populasi, kemudian dipilih yang terbaik untuk dijadikan tetua padagenerasi berikutnya (Martojo, 1992; Warwick et a/., 1995). Keputusan
untuk melakukan seleksi terhadap sifat-sifat yang bemilai ekonomis tinggi sangat menentukan kebehasilan program perbaikan rnutu genetik. Pada ulat sutera, sifat-sifat ekonomis yang penting, antara lain adalah daya tahan hidup, bobot larva, bobot kokon dan kulA kokon, rasio kulit kokon,
[image:165.513.40.442.52.586.2]1995), kehalusan (Kato et a/., 1997). tebal serat (Tsubouchi et
at.,
1997)dan daya gulung (Lee, 2000).
Sifat-sifat yang biasa diukur dalarn pembentukan bibit adalah sifat yang mempunyai nilai ekonomis, nilai heritabilitas dan korelasi genetik
tinggi sehingga bisa dijadikan kriteria seleksi. Ketahanan hidup larva,
bobot larva dewasa, bobot kokon tunggal, bobot kulit kokon tunggal, dan
panjang serat mempunyai heritabilitas sangat tinggi yaitu 71.4
-
86.7%. sedangkan heritabilitas dengan nilai sedang didapat pada jurnlah kokon yang dihasilkan (65.3%) dan rasio kulit kokon (69.8%) (Bhargava et a/..1993). Rayar et
al.
(1989) rnelaporkan bahwa heritabilitas dengan nilaitinggi diternukan pada bobot larva, daya hidup larva, bobot kokon dan
panjang filamen.
Penelitian terhadap beberapa parameter genetik yang dilakukan
Rangaiah et al. (1995) rnenemukan bahwa
bobot
kokon, bobot kulit, dan persen kulit kokon mernpunyai korelasi genetik positif sangat nyatadengan fertilitas, dan merekomendasikan bahwa karakter-karakter ter- sebut dapat dijadikan kriteria seleksi. Singh et
a/.
(1995) juga rnendapat-kan korelasi positif diantara sifat-sifat seperti bobot larva, kokon, pupa dan fertilitas pada ulat sutera Bivoltin.
2.7.2.
Peran
Persilangan pada Pembentukan Galur Baru
Tujuan persilangan yang sangat penting adalah berkaitan dengan(Martojo, 1992), guna mempercepat peningkatan produktivitas ternak (Watwick
et
a/.,
7995). Persilangan pada ulat sutera dapat dilakukandengan beberapa cara antara lain persilangan tunggal (misalnya A x B),
persilangan tiga bangsa [(A x B) x
C],
silang ganda [(A x B) x (C x D)](Nagaraju et
a/.,
1996; Kim. T998a), dan silang balik (Kim, 1998a).Pengaruh silang ganda yang paling baik untuk parameter bobot kulit kokon adalah pada tipe persilangan dengan orde (I x 2) x (3 x 4), dimana
karakter ekonomis dari ras keempat lebih baik dari ras ketiga, ras ketiga lebih baik dari ras kedua, dan ras kedua lebih baik dari ras pertama (Nagaraju et
a/.,
1996).Karakter umum yang menggambarkan suatu galur yang baik dan diinginkan sebagai target, pada persilangan ulat sutera adalah untuk
mendapatkan: ( I ) daya tetas yang tinggi, (2) lama hidup larva yang
pendek, (3) rasio kulit kokon dan pupasi yang tinggi, (4) frlamen kokon yang panjang, (5) daya gulung dan persentase serat yang tinggi. Pada ulat
sutera tidak ada galur yang mempunyai semua karakter baik, mengingat karakter-karakter di atas ada yang berkorelasi positif dan negatif, karena-
nya dalam persilangan dan proses seleksi perlu rnenentukan satu sifat
saja. Sebagai contoh bita persilangan diarahkan untuk menyeleksi panjang filarnen kokon, maka akan menyebabkan filamen kokon rnenjadi
tipis dan daya gulung menjadi semakin rendah 1998a).
Jika dua individu dengan konstruksi gen berbeda disilangkan, maka susunan gen zuriatnya mengalami perubahan oleh adanya kombinasi.
hanya berhubungan dengan karakter kedua tetuanya, namun terdapat juga kemungkinan beberapa kreasi karakter baru (Kim, 1998a). dan
fenomena ini dikenal sebagai pewarisan transgresif (Noor, 1996)
2.8.
Pernanfaatan Heterosis
Heterosis merupakan kelebihan perforrnans zuriat dibanding rataan
performans kedua tetuanya. Terjadinya heterosis diduga sebagai akibat dari aksi gen non-aditif yang dapat menyebabkan efek dominan, over- dominan dan epistasis (Martojo, 4992; Noor. 1996; Nagaraju e t a / . . 1996;
Kim, 1998b). Besarnya heterosis suatu sifat tergantung pada derajat dominansi dari semua pasangan gen yang mempengaruhinya dan rataan
perbedaan frekuensi gen antara kedua tetuanya untuk semua pasangan
gen yang ada, sehingga semakin jauh perbedaan frekuensi gen antara kedua tetuanya akan semakin tinggi heterosisnya (Nwr, 1996).
Heterosis paling baik pada persilangan tunggal pada populasi- populasi dengan jarak genetik yang jauh (Hirobe, 1985). Nilai heterosis pada silang tunggal lebih baik dibandingkan dengan hibrida silang tiga
bangsa (Nagaraju
et
at., ?996) dan hibrida silang ganda (Asoka et a/., 1993; Singh dan Rao, 1994; Nagarajuetal.,
1996), namun untuk sifat-sifattertentu nilai heterosis silang ganda dapat melebihi silang tunggal (Asoka
et a / .
1989). Contohnya adalah silang ganda (KA x NB7) x (Jlq2 x NBTB)menghasilkan perforrnans lebih tinggi daripada silang tunggal maupun
Tabel 3. Nilai Heterosis Bobot Kokon dan Kulit Kokon pada Silang Tunggal dan Silang Tiga Ras
Bobot Kokon Bobot Kulit Kokon Metode
Persilangan
NRT F1 H NRT F1 H
... (g) . . . .... ("/.) ... . - . - .- (g) . . . ... .
("/.I
Silang Tunggal
Poli x Bivoltin
PM x NBqs 1.46 1.55 6.16 0.276 0.267 - 3.26
HM x NBla 1.62 q.72 6.17 0.306 0.341 11.44
Poli x Polivoltin
PM x HM t . I 6 1.48 27.58 0.190 0.238 25.26
Silang Tiga Ras
PM x NBqs x NB7 1.66 1.60 -3.61 0.321 0.279 -13.08
PM x HM X NB18 1.67 1.64 -1.80 0.312 0.327 4.68
Sumber : Nagaraju (1990). NRT = nilai rataan tetua; H = Heterosis; PM = Mysore Mumi; HM = Hosa Mysore; F1 = Zuriat Pertama
Nilai heterosis paling tinggi dicapai pada generasi pertama (Grekov
dan Petkov, 1991), kemudian menurun secara gradual dari F, , Fa , F 3 , F4 dan seterusnya, dan suatu fenomena rnenunjukkan bahwa nilai heterosis
hjlang setelah FI4 pada ulat sutera (Nagaraju
eta/.,
1996). Nilai heterosis umurnnya mernpunyai nilai yang berlawanan dengan nilai heritabilitas.N w r (1 996) mengungkapkan bahwa sernakin tinggi nilai heritabilitas
suatu
[image:169.511.39.455.46.589.2]Setiap sifat mernpunyai nilai heterosis yang berbeda tergantung dari daya pewarisan sifat tersebut. Pada ulat sutera, Rao dan Sahai
(1990) mengevaluasi nilai heterosis dari hibrida Bivoltin x Bivoltin
rnenunjukkan bahwa, heterosis yang tinggi pada kokon yang dihasilkan, dan sernakin rnenurun pada karakterdaya tahan hidup larva, bobot kokon,
dan tebal serat. Studi yang sama dilakukan Nagaraju (1990) dengan
menggunakan tujuh galur Polivoltin x Bivoltin mendapatkan heterosis yang tinggi pada parameter bobot larva, namun rnenurun pada ketahanan hidup larva dan bobot kokon tunggal. Heterosis dari beragarn karakter yang
diukur para peneliti disajikan pada Taber 4.
Tabel 4. Nilai Hetemsis dari Beberapa Karakter yang Diamati
Karakter Peneliti
[image:170.515.37.442.19.578.2]A B
...
(%) ...Kokon yang dihasilkan 4.25 Bobot kokon tunggal
Bobot kulit kokon tunggal Rasio kulit kokon Panjang serat Tebal serat Lama hidup larva Ketahanan hidup larva Lama hidup instar V Bobot larva
.- .-
Nagaraju dan Pavankumar (1995) mengevaluasi persilangan dari dua galur yang diseleksi atas dasar panjang filamen, selama tujuh
generasi dari populasi dasar yang sama. Dua galur diseleksi atas dasar panjang filamen dengan perbedaan 172 m. Pengaruh yang terjadi baik
[image:171.507.41.443.12.576.2]pada panjang filamen galur tetua maupun pada hibrida hasil perkawinan dalam galur (interline matings) dengan nilai heterosis seperti tertera pada
Tabel 5.
Tabel 5. Rataan Karakter dan Nilai Heterosis yang Diukur pada Galur LFL dan SFL dan Persilangannya
Karakter Galur Perkawinan Galur Heterosis LFL SFL LFLxSFL SFLxLFL LFLrSFL S F W L
Panjang filamen (m) 876.00 704.00 783.00 717.00 - 0.89 - 9.20 Tebal serat (d) 2.00 2.85 2.19 2.20 3.29 3.76
Bobot kokon (g) 1.38 1.35 1.42 1.35 4.1 7 0.80 Bobot kulit kokon (g) 0.22 0.20 0.23 0.22 20.70 4.83 Dayatahanhidup(%) 56.25 68.06 73.12 74.97 17.64 20.06 Sumber : Nagaraju dan Pavankumar (1995). LFLdan SLF masing-masing adalah
Galur dengan Filamen Kokon Panjang dan Pendek.
Suatu penelitian yang dilakukan oleh Datta dan Pershad (1996) untuk mengetahui pengaruh persilangan resiprokal antara ulat sutera Bivoltin x Polivoltin, menyimpulkan bahwa persilangan antara Polivoltin
betina x Bivoltin jantan lebih baik dibanding resiprokalnya. Kejadian ini, menurut Tazima (1 964) dan Nagaraju et al. (I 996) disebabkan oleh gen- gen pengontrol sifat dewasa (maturity genes) terpaut pada kromosorn Z
tersebut selarna periode larva rnempunyai korelasi dekat (closed correla- tion) dengan ukuran tubuh, berat kokon, berat kulit kokon. dan bobot
tubuh. Pengaruh persilangan langsung dan resiprokal terhadap karakter bobot kokon dan bobot kulit kokon disajikan pada Tabel 6.
Tabel 6. Karakter Kuantitatif pada Persilangan Langsung dan Resiprokal
Persilangan Lama Hidup Bobot Kokon Bobot Kulit Kokon
Larva
?.
'
Rataan ?'
Rataan(Hari:Jam) (g) ...
Mysore murni x N4 21 :22 2.16 1.68 1.92 0.349 0.318 0.334 N4 x Mysore murni 21 .OO 1.70 1.57 1.65 0.252 0.297 0.275 Sumber : Tazirna (1 988)
2.9.
Pemanfaatan Daya Gabung
Suksesnya suatu program persilangan tergantung pada rnateri genetik dari individu-individu yang disilangkan dan pengetahuan tentang
arsitektur genetik dari sifat-sifat ekonomis (Tayade. 1995). metode seleksi dan sistern perkawinan yang digunakan {Maribashetty dan Reddy, 1995).
Faktor-faktor tersebut sangat menentukan daya gabung (combining ability) dan sifat-sifat yang diinginkan pada zuriat. Secara historis penentuan daya
gabung khusus adalah dengan mencoba sernua persiiangan yang mungkin dilakukan dan menentukan rnana yang rnernberikan hasil terbaik.
Metode reciprocal recurrent selecfion rnerupakan salah satu rnetode yang
efektif untuk rnemilih hasil persilangan yang lebih baik tanpa menghirau- kan apakah efek dorninan, overdornjnan, dan epistasis sebagai faktor
[image:172.511.42.442.22.595.2]utama dalam heterosis, dan juga efektif untuk rnemperbaiki sifat-sifat
dengan heritabilitas tinggi yang tergantung pada peran gen aditif yang menambah pada laju daya gabung umum (Warwick et al., q995). Pada
suatu persilangan, jika tetua-tetua dengan karakter baik disilangkan maka hibridanya umumnya baik, namun Kim (1998a) rnensinyalir bahwa jika
tetua-tetua dengan karakter tidak baik disilangkan, hibridanya kadang-kala menunjukkan hasil yang baik, ketika daya gabung spesifiknya tinggi.
Beberapa pemulia uiat sutera menggunakan analisis daya gabung dalam menentukan silangan terbaik. Datta dan Pershad (1 993) melakukan
persilangan lima galur Polivoltin dengan tiga galur Bivoltin dan resiprokal- nya, menunjukkan bahwa persilangan antara Hosa Mysore dan Mysore
Princess Polivoltin dengan NB7 Bivoltin menghasitkan daya gabung umum paling baik, sedangkan persilangan antara Nistari dan Daizo Polivoltin
dengn NB7, dan Hosa Mysore dengan NB4D2 Bivoltin menunjukkan daya
gabung spesifik paling baik untuk karakter jumlah kokon yang dihasilkan dan laju pupasi. Razdan
etal.
(?995) melakukan analisis daya gabung darisembilan galur ulat sutera yakni PAMlol; PAM ~ O Q ; PAMlll; YSB; SF19; JDB;
NB4D2; SHE; dan
CC,
dimana masing-masing disilangkan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa PAMlm mempunyai daya gabung umum yang nyata pada semua karakter yang diamati, kecuali lama hidup larva dan kokon yang dihasilkan, sedangkan daya gabung spesifik dan heterosis
lebih tinggi diperoleh pada persilangan PAMlol x NB4D2; PAMlOg x NB4D2;
2.10.
Pernbentukan Hibrida Baru Komersial
Penernuan yang ditandai dengan keunggulan sifat-sifat ekonornis
dari hibrida F 1 dibanding strain mumi oleh Toyama pada tahun 1 9 0 5
mengawali era baru budidaya ulat sutera komersial (Datta dan Pershad,
1996). Jepang merupakan negara pertama yang memulai konsep produksi
sutera berkualitas tinggi dari ulat sutera bivoltin dengan menggunakan
bibit hibrida komersial (Razdan etal., 1994).
... F2 Ras Jepang
(Seleksi silsilah dan fiksasi selama 4 - 6 generasi)
Ras Asli Sub-Tropik
I
I
Persilangan selama 7 - 15 generasi Galur yang telah di- Galur yang telah diperbaiki dari Jepang perbaiki dari Cina
I
I
Pada tahun 1921, India berhasil memasukkan bibit hibrida dari
Jepang dan sukses mengusaha-kannya, kemudian memulai eksploitasi
secara besar-besaran (Datta dan Pershad, 1 996). Diinforrnasikan juga bahwa hibrida Multivoltin x Bivoltin seperti juga hibrida Bivoltin x Bivoltin
menjadi sangat populer pada petani, dan untuk tujuan ini maka ras-ras lokal betina disilang dengan jantan-jantan Bivoltin yang dikerjakan pada
awal tahun tujuh-puluhan.
Petani
Ras Jepang
I
Ras Cina'3
I
Persilangan selama 7 - 15 Generasi [image:175.507.43.431.26.562.2]Varitas yang telah di- Varitas yang telah perbaiki dari Jepang diperbaiki dari Cina
Gambar 6 . Persilangan Hibrida Tiga Ras. Hibrida Korea x Galur Asli Sub-Tropik (Kim. f 998a).
F 1
Budidaya ulat sutera kornersial pada tingkat petani selatu meng- gunakan bibit hibrida, sedangkan galur murni hanya dipel~hara oleh para
pemulia sebagai bahan persilangan dalarn pembuatan bibit hibrida
(Kaomini, komunikasi pribadi). Bibit hibrida yang biasa diintroduksi ke petani adalah F1
-
F3 (Kim, 1998a). Di Korea, program persilangan [image:176.513.43.441.20.584.2]hibrida Korea dilakukan seperti tertera pada Gambar 5 dan 6, dan dari Gambar tersebut terlihat bahwa bibit hibrida yang disebarkan ke petani
adalah F1. Artinya bibit hibrida yang disebarkan kepada petani adalah rnemanfaatkan heterosis yang tinggi untuk sifat-sifat ekonomis yang
diinginkan.
2.11.
Kokon
dan Serat Sutera
Kokon adalah untaian rajutan filamen sutera yang dihasilkan oleh
kelenjar sutera dari ulat sutera dewasa, sebagai pelindung dalam proses metamorfosis dari bentuk larva menjadi pupa dan ngengat. Menurut
Komatsu (1979) serat kokon dibentuk dari cairan sutera yang tersimpan dalam kelenjar sutera ulat sutera dewasa melalui proses insolubilisasi yang disebabkan oleh aksi mekanik pengeluaran cairan sutera (spinning).
Kokon merupakan salah satu produk komersial dari pemeliharaan
ulat sutera. Kualitas kokon dapat ditentukan secara kualitatif dan kuanti- tatif. Secara kualitatif dapat dilihat dari warna, bentuk, dan kelenturan kokon, sedangkan secara kuantitatif dapat diukur dari bobot kokon, bobot
Wama kokon merupakan penciri utama ras ulat sutera dan sangat
dipengaruhi oleh pigmen dalam lapisan serisin (Lee, 2000). Warna kokon
tidak dikontrol secara genetik, melainkan disebabkan oleh berrnigrasinya pigmen yang ada dalam cairan tubuh ke dalam kelenjar sutera. Hipotesis Manunta menyebutkan bahwa kontrol genetik terletak pada ferrneabilitas
sel yang mengatur takan pigmen pembentuk warna kokon. Pigmen penyebab warna kokon antara lain adalah santofil, karotin, violasantin dan
lainnya yang dapat berinteraksi dengan serisin dan fibroin dalarn meng- hasilkan wama kokon (Tazima, 1964; JOCV, 1975).
Bentuk kokon menjadi ciri spesifik dari ras ulat sutera (S~nha e t a / . ,
1992; Talukdar, 1993; Lee, 2000). dan merupakan sifat yang penting dipertimbangkan dalam program seleksi (Maribashetty dan Reddy. 1995).
Umumnya ulat sutra ras Jepang mempunyai bentuk kokon seperti kacang
tanah (peanuf), ras Cina berbentuk jorong (oval), dan Polivoltin berbentuk gelendong (spindle) (Atrnosoedarjo et al., 2000; Lee, 2000). Ulat sutera
hibrida diasumsikan mempunyai bentuk kokon pertengahan antara kedua tetuanya (Lee, 2000).
Bentuk kokon pada dasamya dibedakan menjadi dua macarn, yakni
kokon normal dan kokon tidak normal. Kokon normal adalah kokon yang mempunyai bentuk sempuma dan spesifik, tergantung pada ras ulat
suteranya. Kokon tidak normal terdiri atas beberapa macam, yakni kokon rangkap, berlubang, kotor bagian dalam, kotor bagian luar, ujung tipis, kulit
bentuk kokon dilakukan oleh Govindan et a/. (1 993) pada 5 ras ulat sutera Bivoltin yaitu Sanishls, Jlz2. NB4D2 dan NBla dengan bentuk kokon
seperti kacang menyimpulkan bahwa bobot kokon, bobot kulit kokon dan rasio kulit kokon dipengaruhi oleh ras ulat sutera, sifat ujung kokon,
jenis
kelamin dan interaksi diantara sifat-sifat tersebut.Bobot kokon merupakan karakter yang sangat penting dalarn perdagangan komersial, karena bobot kokon dapat digunakan sebagai
pendekatan kuantitatif dalarn mernprediksi sutera mentah yang dapat digulung. Ulat sutera ras mumi memiliki bobot kokon antara 1.5
-
2.2 g,sedangkan hibrida antara
t
.8-
2.5 g (Lee, 2000).Produk dari kokon yang sangat penting adalah serat sutera atau
filamen sutera. Serat sutera dihasiikan oleh sepasang kelenjar sutera (silk
gland)
dengan bagian-bagian seperti disajikan pada Gambar 7. Kelenjarsutera terdiri atas: a). bagian depan merupakan saluran pengeluaran
kelenjar yang terbuka pada ujungnya tepat di bawah mulut larva, b). bagian tengah, bagian ini sebagai penghasil zat warna yang dibentuk bersama-sama serisin (C15H~~N508) sebagai perekat, dengan proporsi
25 % dari berat serat, dan bersifat mudah larut dalam air panas, dan
c).
bagian belakang kelenjar, sebagai penghasil serat sutera yang disebut fibroin (ClsH26NsOs) sebagai sutera cair dengan proporsi 75 % dari berat
sutera dan tidak larut dalam air panas (Tazima, 1978; Komatsu, 1979;
Gamo, 1987). Fibroin dan serisin merupakan serangkaian asam-asam
Gambar 7. Kelenjar Sutera (Tazima. 1978). K, Kelenjar Anterior; L. Kelenjar Filippi's; M. Bagian Depan dari Kelenjar Sutera Tengah: N. Bagian Samping dari Kelenja~ Sutera Tengah; K. Kelenjar Sutera Tengah;
P, Bagian Tengah dari Kelenjar Sutera Tengah; Q, Kelenjar Sutera Belakang; R. Spineret.
Fibroin dan serisin seluruhnya terbentuk dari protein murni yang mengandung berbagai macam asam-asam amino. Fibroin tidak larut dalarn air, karena memiliki struktur molekul yang longgar dan kaya dengan asam-asam amino yang hidrofobik (Admosoedarjo eta/.. 2000). Kandung- an asam-asam amino penyusun fibroin dan serisin disajikan pada Tabel 7. Dari Tabel 7 terlihat bahwa proporsi asam amino terbanyak sebagai penyusun fibroin secara bemrut dari yang terbanyak adalah glisin, alanin,
Tabel 7. Kandungan Asam-asam Amino pada Fibroin dan Serisin
A B
Asam-Asam
Amino Fibroin Serisin Fibroin Serisin
(g / 100 g protein) (rnol%) (g / 100s fibroin) (mol 96)
Alanin Arginin Aspartat Fenilalanin Glisin Glutamat Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Prolin Serin Sist