• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembentukan Galur Baru Ulat Sutera (Bombyx mori L.) melalui Persilangan Ulat Sutera Bivoltin dan Polivoltin

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pembentukan Galur Baru Ulat Sutera (Bombyx mori L.) melalui Persilangan Ulat Sutera Bivoltin dan Polivoltin"

Copied!
250
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)
(114)
(115)
(116)
(117)
(118)
(119)
(120)
(121)
(122)
(123)
(124)
(125)
(126)
(127)
(128)
(129)
(130)
(131)

PEMBENTUKAN GALUR BARU ULAT SUTERA

(Bombyx mori

L.)

MELALUI PERSILANGAN

ULAT SUTERA

BlVOLTlN DAN POLlVOLTlN

LALU

MUHAMMAD KASlP

(132)

ABSTRACT

THE FORMATION

OF

NEW SILKWORM

(Bombyx

mori

L.)

LINES USING BlVOLTlNE AND POLWOLTINE RACES

Lalu Muhammad Kasip

Superviced by Harimurti Martojo as Chairman of Committee, Adi Sudono. D.T.H. Sihombing, Ronny Rachrnan Noor,

and Mien Kaomini as Member of Committee

Silkworm (Bombyx mori L.) is a high quality silk producing insect, and is promoted as a queen of the fibers. The quality of silk depends on the genetic make up of the silkworm and the environment where they are maintained. The new high quality genetic lines can be produced through crossbreeding. This experiment was designed to develop silkworm lines by utilizing the Tropic (T), Japan

(J),

and Chinese (C) races in a reciprocal scheme resulting a composition of 25 %T; 25 %J; 50

%C.

Mass selection was conducted based on cocoon shell weight in each generation. Analyses of variance with orthogonal contrast comparison were conducted. This experiment succeeded in forming a new s i l b r m foundation line. This foundation line will be further selected to stabilise its economic characters, named KI 21 from the C x (T x

J)

mating. The new line's characteristics were finer fiber, higher growing rate, higher cocoon and cowon shell weight, and longer filament cocoon when compared to the pure lines and other crossbred lines. The Chinese silkworm race contribute better traits through maternal inheritance. This race is more appropriate to be used as the female line in silkworm breeding.
(133)

Laiu Muh. Kasip. Pembentukan Galur Baru Ulat Sutera (Bornbyx mori L.) Melalui Persilangan Ulat Sutera Bivoltin dan Polivoltin. Dibimbing oleh Harimutii Martojo sebagai ketua; Adi Sudono; D.T.H. Sihombing; Ronny Rachman Noor dan Mien Kaomini masing-masing sebagai anggota.

Ulat sutera (Bombyx mori

1.)

merupakan penghasil serat berkuali- tas tinggi yang belum dapat tertandingi oleh serat sintetis maupun serat alam lainnya, sehingga dinobatkan menjadi ratu segala serat. Serat tersebut digunakan antara lain sebagai bahan baku tekstil, benang operasi, parasut, dan kulit buatan. Keberhasilan budidaya ulat sutera sangat tergantung pada mutu genetik bibit dan lingkungan. Oleh karena itu dianjurkan untuk membentuk bibit yang sesuai dengan kondisi lingkungan pemeliharaan dan memiliki sifat-sifat yang diinginkan sebagai target. Penelitian dirancang untuk menghasilkan galur baru melalui persilangan antarras ulat sutera Bivoltin dan Polivoltin, serta mengkaji pola pewarisan sifat yang diturunkan pada zuriat hasil silangannya.
(134)

kan seleksi massa atas dasar kriteria seleksi bobot kulit kokon. Keunggulan galur baru yang terbentuk dievaluasi berdasarkan karakter kualitatif dan kuantitatif. Karakter kualitatif mengkaji fenomena pewarisan karakter voltinisme dan struktur serat sutera. Karakter kuantitatif, meliputi: pertumbuh-an larva, bobot kokon, bobot kulit kokon, rasio kulit kokon, panjang serat, bobot serat, tebat serat, kemuluran serat dan heterosis dari masing-masing karakter kuantitatif. Pengujian statistik dari data kuantitatif memakai analisis sidik ragam dan uji pembanding kontras ortogonal.

Penelitian ini berhasil membentuk galur baru ulat sutera yang diberi nama KI 21 yang dapat dimantapkan sarnpai merniliki karakter stabil. Berasal dari persilangan ulat sutera ras Cina (C) sebagai induk dengan pejantan hibrida hasil persilangan ras Tropik (T) dengan ras Jepang (J) atau 80207 x (Poly x 601 08). Keunggulannya adalah memiliki pertumbuh- an sangat nyata (P<0.01) lebih tinggi, bobot kokon dan kulit kokon sangat nyata (P-=O.Ol) lebih berat, serat sutera sangat nyata (Pc0.01) lebih panjang dan menghasilkan serat sutera lebih halus dibandingkan dengan tetua maupun persilangan lainnya. Ulat sutera ras Cina mewariskan sifat- sifat ekonomisnya lebih baik secara maternal (maternal inheritance),

(135)

PEMBENTUKAN GALUR BARU ULAT SUTERA

(Bombyx

mori

L.) MELALUI PERSILANGAN

ULAT SUTERA BlVOLTlN

DAN POLlVOLTlN

oleh

Lalu

Muhammad Kasip

PTK

975022

sebagai salah satu syaat untuk memperoleh Gelar Doktor pada Program Pascasa rjana

lnstitut Pertanian Bogor

PROGRAM PASCASARJANA

(136)

Judul Disertasi : Pembentukan Galur Baru Ulat Sutera (Bombyx mori L.) Melalui Persilangan Ulat Sutera BivoItin dan Polivoltin

Nama Mahasiswa : Lalu Muhammad Kasip

Nomor Pokok : 975022

Program Studi : llmu Ternak

Menyetuj

ui

1. Komisi Pembimbing

Anggota

Dr. Ir. Hi. Mien Kaomini. M.Sc

(137)

Lalu Muhammad Kasip, adalah zuriat pewaris gen dari pasangan

bahagia mendiang Lalu Nursasih dengan Baiq Seleha. Dilahirkan pada

tahun 1961 di Gerintuk (sebuah dusun terpencil di pulau Lornbok).

Pendidikan formal diawali dengan rnasuk SDN Dasan Makarn tahun 1968 dan tamat tahun 1973. Menamatkan pendidikan

S M P N

Terara tahun

1976 dan SMAN Selong tahun 1980. Meraih gelar Sa jana Peternakan dari Fakultas Peternakan Unrarn tahun 1984. Sejak tahun 1984 menjadi

assisten beberapa rnata kuliah, kernudian diangkat rnenjadi dosen tetap

tahun 1986 pada Fakultas Peternakan Unrarn.

Menikah dengan dara Bugis bernama lndah Asniyati (terrnasuk outbreeding) hari Jum'at 25 April 1986 dan telah mewariskan gen-gen kepada zuriat yang bernama Lalu Alan Megadewantara Kasip, Baiq

Kanidya Rezekina Kasip, dan Latu llham Akbar Suteragena Kasip.

Bulan Agustus 1993, pernerintah Australia melalui Indonesia

-

Ausfralia Eastern Universities Project rnernbiayai studi program Magister

Sains karni di PPs UGM, Yogyakarta dan meraih gelar Magister Sains tanggal 20 Januari 1995. Pada tahun 1995 menjadi pendiri dan Dekan

pertarna sarnpai sekarang dari Fakultas Petemakan Universitas Nahdlatul

Wathan Mataram. Pada bulan Agustus 1997 melanjutkan studi program Doktor (S-3) dengan beasiswa BPPS DlKTl Departernen Pendidikan

(138)

KATA

PENGANTAR

Allah berfirman dalam Al-Qur'an surat Luqrnan ayat 27 yang kira-

kira rnaknanya "Dan seandainya pohon-pohon di bumi menjadi pena dan

laut menjadi tinta, kemudian difambah kepadanya tujuh lauf lagi sesudah

(keringlnya, niscaya tidak akan habis-habisnya dituliskan kalimat (iimu) Allah, Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Ya Allah berikanlah kami kemampuan untuk rnengungkap ilrnu-Mu yang tiada

berbatas itu. Selawat dan salam kepada junjungan alam Nabi Muhammad SAW yang telah menyerukan umat manusia menuntut ilmu dari sejak

buaian sarnpai pusara. Berbahagialah orang-orang yang mendapat ilmu

Allah dan mengamatkannya di jalan yang benar.

Hasil penelitian yang dituangkan dalarn Disertasi ini berhasil mem-

bentuk galur baru ulat sutera KI 21, dan mengungkap bahwa beberapa

karakter kualitatif dan kuantitatif diwariskan secara maternal. Direkornen-

dasikan juga bahwa ulat sutera ras Cina lebih wcok sebagai induk dari- pada sebagai pejantan dalarn pernbuatan bibit hibrjda rnaupun galur baru. Berhasilnya penelitian rnernbentuk galur baru ulat sutera ini berkat

jasa dan kepiawaian dari Bapak

Prof.

Dr. H. Harimurti Martojo, M.Sc sebagai ketua kornisi pembimbing, Prof. Dr. Adi Sudono, M.Sc; Prof. Dr. D.T.H. Sihornbing, M.Sc; Dr. Ir. Ronny Rachman Noor, M.Rur,Sc dan
(139)

atas segala birnbingan, kebaikan, curahan perhatian, pengarahan, nasehat, dan lainnya, sehingga karni merasa telah rnendapat yang terbaik.

Kepada mendiang ayahanda dan ibunda, atas nasehat dan wasiat-

mu untuk rnenuntut ilmu, selalu ananda kenang dan disertasi ini merupa- kan bagian kecil perwujudan bakti karni. Kepada para guru dan dosen

yang telah mengajariku ilmunya, disampaikan terirna kasih yang tulus. Sernua keceriaan, pengorbanan, ketabahan, doa restu dan dorongan

yang diberikan istri dan anak-anakku tercinta disampaikan terirna kasih. Kepada Pernerintah RI disampaikan terirna kasih atas bantuan

beasiswanya rnelalui program BPPS. Kepada Prof. Dr. Mulyanto, sebagai

rektor rnaupun sebagai pribadi disarnpaikan terirna kasih atas bantuannya. Kepada Ibu Dr. Ir. Hj. Mien Kaornini, M.Sc sebagai pribadi maupun Peneliti

Sutera Alarn, Badan Litbang Kehutanan, atas bantuan bibit dan rnagang

yang diberikan diucapkan terirna kasih yang rnendalam. Rasa terirna kasih

juga disampaikan kepada Dra. Enny Yulianti, MS dan para teknisi Labora- toriurn Biologi dan Fisika UPT MlPA Unrarn atas bantuan fasilitas peneliti- an yang saya butuhkan. Keceriaan yang karni dapatkan bersama ibu

Lincah Andadari, ibu Eha bin Sobri, ibu Yur, bapak Edi. Ernan, dan lainnya

yang tidak dapat disebut satu per satu pada Disiplin Persuteraan Atarn, Ciomas Bogor, diucapkan terirna kasih dan rasa simpati yang mendalarn.

Ketelatenan dari saudara Arfan dan Lina (mahasiswa IPB Bogor), Amin,

(140)

Disertasi ini karni hanya dapat mengucapkan terirna kasih. lnsya Allah

sernua bantuannya akan mendapat ganjaran dari Allah SVVT.

Semoga disertasi ini dapat memberikan cakrawala baru bagi pengembangan ilrnu pengetahuan dan hasilnya berupa galur baru yang

terbentuk dapat digunakan dalarn pengernbangan persuteraan alarn.

(141)

DAFTAR

IS1

ABSTRACT RI NGKASAN JUDUL

PENGESAHAN KOMlSl PEMBlMBlNG RIWAYAT HIDUP KATA PENGANTAR DAFTAR IS1 DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN

I. PENDAHULUAN II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sutera sebagai Pakaian Penghuni Surga 2.2. Keistimewaan Sutera dan Penggunaannya 2.3. Klasifikasi dan Penggolongan Ulat Sutera 2.4. Siklus Hidup Ulat Sutera

2.5. Karakter Spesifik Ulat Sutera Ras Jepang, Cina dan Tropik 2.6. Analisis Pewarisan Sifat

2.6.1. Pewarisan Karakter KuaLitatif 2.6.2. Pewarisan Karakter Kuantitatif 2.7. Pembentukan Galur Baru

2.7.1. Peran Seleksi dalam Pembentukan Galur Baru 2.7.2. Peran Persilangan pada Pembentukan Galur Baru 2.8. Pemanfaatan Heterosis

2.9. Pemanfaatan Oaya Gabung

2.1 0. Pembentukan Hibrida Baru Komersial 2.1 1. Kokon dan Serat Sutera

i1 . . . 111 v vi vii ... V l l l

(142)

Ill. MATERl DAN METODE PENELlTlAN 3.1

.

Materi Penelitian

3.

t

. 1 . Populasi Dasar

3.1.2. Pakan Larva

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian 3.3. Metode Penelitian

3.3.1. Program Persilangan

3.3.2. Sampel Pengamatan

3.3.3. Seleksi Tetua dan Prosedur Pemeliharaan

3.3.3.1. Penetasan Telur

3.3.3.2. Perneliharaan dan Disinfeksi Tubuh Larva

3.3.3.3. Pengokonan dan Panen Kokon

3.3.3.4. ldentifikasi Jenis Kelarnin Pupa

3.3.3.5. Perkawinan Ngengat

3.3.4. Disinfeksi Ruang Penelitian dan Peralatan 3.4. Peubah yang Diamati dan Pengukurannya

3.4.1. Karakter Kualitatif

3.4.2. Karakter Kuantitatif

3.5. Rancangan Penelitian dan Analisis

Data

IV. HASlL DAN PEMBAHASAN

4.1. Pewarisan Karakter Voltinisme 4.2. Corak Larva

4.3. Bobot Larva pada Setiap lnstar dan Generasi

4.4. Perkembangan Bobot Larva per Generasi 4.5. Bentuk Kokon

4.6. Bobot Kokon, Kulit Kokon, dan Rasio Kulit Kokon 4.7. Bobot Kokon, Kulit Kokon, dan Rasio Kulit Kokon

antargenerasi Persilangan 4.8. Struktur Serat Sutera

(143)

4.10. Koefrsien Keragarnan

4.1 1. Heterosis

4.1 1.1. Heterosis Bobot Larva

4.1 1.2. Heterosis Kokon

4.1 1.3. Heterosis Serat Sutera

V, KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesirnpulan

5.2. Saran

(144)

DAFTAR TABEL

Teks

Karakter Spesifik Ulat Sutera Ras Jepang, Cina dan Tropik 10

Karakter Serat Sutera dari MU7m Dibanding NB4D2 dan KA 17 Nilai Heterosis Bobot Kokon dan Kulit Kokon pada Silang 2 1 Tunggal dan Tiga Ras

Nilai Heterosis dari Beberapa Karakter yang Diamati 22

Rataan Karakter dan Nilai Heterosis yang Diukur pada Galur 23

LFL dan SFL dan Persilangannya

Karakter Kuantitatif pada Persilangan tangsung dan 24

Resjprokal

Kandungan Asam-asam Amino pada Fibroin dan Serisin 32

Rataan dan Standar Deviasi Komposisi Nutrien Pakan Larva 35

Rataan dan Standar Deviasi Temperatur, Kelembaban dan 36

Cahaya Harian Ruang Penelitian

Rataan dan Standar Deviasi Bobot Larva pada Setiap 53

lnstar dan Generasi Persilangan

Rataan dan Standar Deviasi Bobot Kokon, Bobot Kulit Kokon 61 dan Rasio Kulit Kokon pada Kokon dengan Pupa Betina dan Jantan

Rataan dan Standar Deviasi Panjang, Berat, Tebal dan 7 2 Kemuluran Serat Sutera pada Setiap Generasi Persilangan

Koefisien Keragaman dari Generasi Tetua dan Pertama 78

Koefisien Keragaman Bobot Kulit Kokon dan Panjang Serat 79 Sutera antargenerasi Persilangan

(145)

16 Heterosis Bobot Kokon, Bobot Kulit Kokon, dan Rasio Kulit Kokon pada Setiap Generasi Persilangan

(146)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Teks

Siklus Hidup Ulat Sutera 8

Pola Pewarisan Karakter Voltinisme 12

Pewarisan Terpaut Kelarnin pada Bobat Kulit Kokon 13

Model Persilangan dari Galur Baru Ulat Sutera MU720 16

Program Persilangan dari Hibrida Korea

26

Persilangan Hibrida Tiga Ras, Hibrida Korea x Varitas 27 Asli Sub-tropik

Kelenjar Sutera 31

Skerna Persilangan untuk Membentuk Galur Baru Ulat Sutera 37

Diagram Prosedur Pemeliharaan dan Proses Seleksi pada 40

Setiap Generasi

Bentuk dan Karakteristik Ekstemal Kelenjar Reproduksi 42 Pupa Betina dan Jantan

Pewarisan Karakter Voltinisme Contoh Foto Ulat Sutera

Bobot Larva pada Setiap tnstar dari Generasi Tetua dan Pertama

Bobot Larva pada Setiap lnstar dari Generasi Keenarn Bobot Larva lnstar Satu antargenerasi Persilangan

Bobot Larva lnstar Dua antargenerasi Persilangan Bobot Larva lnstar Lima Hari Kelima antargenerasi Persilangan

(147)

19 Bobot Kokon dari Generasi Tetua, Pertama, dan Keenam 20 Bobot Kulit Kokon dari Generasi Tetua, Pertama, Keenam

Rasio Kulit Kokon dari Generasi Tetua. Pertama, dan Keenam

Bobot Kokon Betina dan Jantan antargenerasi Persilangan

Bobot Kulit Kokon Betina dan Jantan antargenerasi Persilangan

Rasio Kulit Kokon Betina dan Jantan antargenerasi Persilangan

Contoh Hasil Scanning Electrone

Micmscope

Struktur Serat Sutera dengan Perbesaran 2000 kali

Panjang Serat dari Generasi Tetua, Pertama, dan Keenam Bobot Serat dari Generasi Tetua, Pertama, dan Keenam

Tebal Serat dari Generasi Tetua, Pertama, dan Keenam

Kemuluran Serat dari Generasi Tetua, Perlama, dan Keenam Panjang Serat Sutera antargenerasi Persilangan

Bobot Serat Sutera antargenerasi Persilangan Tebal Serat Sutera antargenerasi Persilangan

(148)

DAFTAR LAMPIRAN

Teks

Analisis Proksimat Daun Murbei Jenis Morus alba varitas

kanva

2 sebagai Pakan Ulat Sutera pada Setiap lnstar dan Generasi

Rataan Cahaya, Ternperatur, dan Kelembaban Ruang Penelitian pada Setiap Generasi Persilangan

Aktivitas Larva Generasi Tetua pada Setiap lnstar Aktivitas Larva Generasi Pertarna pada Setiap lnstar

Aktivitas Larva Generasi Kedua pada Setiap lnstar Aktivitas Larva Generasi Ketiga pada Setiap lnstar Aktivitas Larva Generasi Keempat pada Setiap lnstar

Aktivitas Larva Generasi Kelima pada Setiap lnstar

(149)

Ulat sutera (Bombyx mori L.) hadir dalarn sejarah peradaban umat

manusia berkat jasa penemuan nenek rnoyang bangsa Cina kira-kira 3000

tahun SM dan nenek rnoyang bangsa Jepang kira-kira 2500 tahun SM.

Produk utamanya adalah serat sutera berkualitas dan bernilai ekonomi

tinggi. Kualitasnya belurn tertandingi oleh serat sintetis maupun serat alam

lainnya, sehingga dinobatkan menjadi ratu darisegala serat. Penggunaan- nya dalam bidang industri antara lain sebagai bahan baku tekstil, benang

operasi, parasut, jaket anti peluru, maupun sebagai biornaterial baru (new bioma ferial)

.

Keistimewaan serat sutera dibanding serat bahan sandang lainnya adalah lebih kuat, liat, elastis, berkernilau, rnernpunyai daya rnenahan

panas dan rneresap air yang menyebabkan tekstil dari bahan sutera ber- sifat hangat pada waktu dingin dan sejuk pada waktu panas, tidak rnudah

luntur karena rnemilik~ daya rnenahan wama yang kuat. Asosiasi Sutera Alam lnternasional di Lyon Perancis rnernbuktikan bahwa, tekstil dari bahan sutera memiliki banyak keistirnewaan dan kelebihan dibandingkan

dengan kapas, nilon, dan poliester. Berdasarkan keistirnewaan tersebut,

maka banyak negara di dunia rnembudidayakan ulat sutera.

Pengembangan budidaya ulat sutera rnemerlukan penyediaan bibit

(150)

ras Tropik, bahkan tidak masuk dalam standar mutu yang ditetapkan.

Kepekaan ulat sutera terhadap kondisi lingkungan juga merupakan

masalah, sehingga diperlukan bibit komersial yang sesuai dengan sifat- sifat yang diinginkan dan kondisi lingkungan budidaya. Sangat dianjurkan

untuk membuat bibit dimana budidaya itu dilakukan.

Bibit bermutu genetik tinggi dapat dihasilkan melalui program per-

silangan. Kombinasi antara sistem perkawinan individu-individu tidak

berkerabat dan berkerabat, disertai program seleksi yang mantap, dapat menghasilkan terbentuknya galur baru maupun hibrida baru dengan kokon dan serat sutera berkualitas tinggi.

Di dunia dikenal empat ras ulat sutera yakni ulat sutera ras Eropa, Cina, Jepang, den Tropik dengan masing-masing karakter spesifik yang

dapat diturunkan ke geneasi berikutnya. Para pemulia ulat sutera, biasa-

nya merekontruksi genetik baru melalui persilangan antarras untuk meng- hasilkan galur baru maupun hibrida baru.

Penelitian ini difancang guna membentuk galur baru dan mengkaji pola pewarisan sifat melalui persilangan ulat sutera Bivoltin dan Polivoltin

(151)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Sutera sebagai Pakaian Penghuni Surga

Allah SVVT di dalarn At-Qur'an menarnakan sutera dengan kata

sundusin

dan

hariirun

sebagai pakaian bagi orang-orang beriman di dalam

Surga. Serangkaian firrnan-Nya tentang sutera adalah sebagai berikut: Sesungguhnya mereka yang beriman dan beramal saleh, tentulah Kami tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang arnalan(nya) dengan baik (Al-Kahfi: 30). Mereka itulah (orang-orang yang) bagi mereka surga Adn,

mengalir sungai-sungai di bawahnya, dalam surga itu mereka dihiasi

dengan gelang emas dan mereka rnernakai pakaian hijau dari sutera halus

dan sutera tebal, sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan- dipan yang indah. ltulah pahala yang sebaik-baiknya, dan tempat istirahat yang indah (Al-Kahfi: 31). Sesungguhnya Allah mernasukkan orang-orang

beriman dan mengerjakan amal saleh ke dalam surga-surga yang di

bawahnya mengalir sungai-sungai. Di surga itu mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari emas dan mutiara, dan pakaian mereka adalah

sutera (Al-Hajj: 23). (bagi rnereka) surga Adn, mereka rnasuk ke dalam- nya, di dalamnya mereka diberi perhiasan dengan gelang-gelang dari

ernas, dan dengan mutiara, dan pakaian mereka di dalamnya adalah

sutera (Al-Fathir: 33).

(152)

(yaitu) di dalarn taman-taman dan mata air-mata air (Ad-Dukhaan: 52),

mereka memakai sutera yang halus dan sutera yang tebal, (duduk) dan berhadap-hadapan (Ad-Dukhaan: 5 3 ) , demikianlah. Dan Kami berikan

kepada mereka bidadari (Ad-Dukhaan: 54). Di dalamnya mereka meminta segala macam buah-buahan dengan aman (dari segala kekhawatiran)

(Ad-Dukhaan: 55), mereka tidak akan merasakan mati di dalarnnya kecuali

mati di dunia. Dan Allah memelihara mereka dari azab neraka (Ad- Dukhaan: 56). sebagai karunia dari Tuhanmu. Yang demikian itu adalah

keberuntungan yang besar (Ad-Dukhaan: 57).

Balasan Allah kepada orang-orang yang berbuat kebajikan dan

tingkatan-tingkatannya diuraian dalarn surat Al-lnsaan: 5

-

11, kemudian

Allah berfirman: Dan Dia memberi balasan kepada rnereka karena kesabarannya (dengan) surga dan (pakaian) sutera (Al-lnsaan: 12).

Kenikmatan surga dilukiskan Allah pada surat Al-lnsaan: 13

-

18, selanjut-

nya

dijanjikan: Dan rnereka dikelilingi oleh pelayan-pelayan rnuda yang

tetap muda. Apabila kamu melihat mereka, kamu akan mengira mereka, mutiara yang bertaburan (Al-lnsaan: 19). Dan apabila kamu melihat disana

(surga), niscaya kamu akan melihat berbagai macarn kenikmatan dan kerajaan yang besar (Al-lnsaan: 20). Mereka memakai pakaian sutera

halus yang hijau dan sutera tebal dan dipakaikan kepada mereka gelang terbuat dari perak, dan Tuhan mernberikan kepada mereka minuman yang

(153)

2.2.

Keistimewaan Sutera dan Penggunaannya

Penelitian terhadap kualitas serat sutera sebagai bahan tekstil

menunjukkan beberapa kelebihan bila dibandingkan dengan bahan sandang lainnya, yakni lebih ringan, tidak rnudah kusut, rnernpunyai daya

menahan panas dan meresap air yang rnenyebabkan bahan sutera terasa hangat pada waktu dingin dan rnenyejukkan pada waktu panas, merniliki

kemarnpuan rnenahan warna yang kuat sehingga tidak rnudah pudar, dan

bila kontak dengan api sutera akan hangus dan mengkerut sehingga tidak mudah menirnbulkan kebakaran. Keistimewaan lainnya telah dibuktikan

oleh Jarrigeon dari tnstitut Textile de France-lyon, yakni massa serat sutera lebih ringan 80 %, 85 %, dan 98 % masing-masing dibanding

kapas, nilon, dan poliester. Sifat ferrneabilitasnya lebih tinggi 197 % diban-

ding kapas, namun lebih rendah 91 % dibanding poliester. Daya absorpsi serat sutera sangat tinggi yakni 120 %, 550 % dan 700 % masing-masing

dibandingkan dengan kapas, nilon dan poliester. Daya desorpsi sutera lebih kecil 86 % dibanding kapas, narnun lebih besar 105 % dan 210 %

masing-masing dibanding nilon dan poliester (P3H, 1992).

Serat sutera dikarakterisasi oleh kekuatan dan ukurannya yang sangat mengesankan yang bukan saja digunakan sebagai bahan baku

industri tekstil, narnun mempunyai fungsi lain dalam bentuk biornaterial baru (Tsubouchi et

a/.,

1997). Di Cina lirnbah serat sutera dalam bentuk

tepung serat (silk

powder)

digunakan untuk kosrnetik, vektor untuk obat- obatan dan enzirn, obat pereduksi kolesterol dan tekanan darah, sedang-

kan dalam bentuk film sutera (silk film) digunakan sebagai pembuluh

(154)

darah buatan (artificial blood vessel) dan kulit buatan (Rajiv dan

Vijayakurnar, 1996). Sutera digunakan juga sebagai bahan parasut dan jaket anti peluru.

2.3. Klasifikasi dan Penggolongan Ulat

Sutera

Ulat sutera (Bombyx mori L.) pada sistem taksonomi hewan diktasifikasi rnenjadi devisi holometabola, filurn Arthopoda, kelas Insect,

ordo Lepidoptera, farnili Bombycidae, genus Bombyx, dan spesies Bombyx mori (Storer et al., 1979; Borror et al., 1995). Bombyx mori merupakan jenis serangga penghasil serat pada famili Bombycidae yang

khusus rnakan daun moms atau mori yaitu rnurbei.

Ulat sutera digolongkan menjadi beberapa kelompok berdasarkan: (1) karakter voltinisrne, terdiri atas Univoltin, Bivoltin, dan Polivoltin

masing-masing dengan satu, dua, dan tiga atau lebih pergantian generasi per tahun pada kondisi kehidupan alamiah; (2) pergantian kulit larva,

terdiri atas ulat sutera dengan tiga, empat, dan lima kali pergantian kulit. Singh et a/. (1989) menyatakan bahwa ulat sutera dengan ernpat kali

pergantian kulit merupakan penghasil sutera terbaik sehingga banyak dibudidayakan; (3) ternpat terbentuknya, yakni ulat sutera ras Eropa, Cina,

Jepang, dan Tropika (JOCV, 1975; Mah, 1998a); (4) warna kokon, yakni

ulat sutera penghasil kokon putih dan kokon berwarna (JOCV, 1975); (5) musim perneliharaan; (6) karakter spesifik (Mah, 1998a); (7) jenis pakan

(155)

perhatian karena kualitas seratnya baik adalah ulat sutera Eri (Philosomia cynthia ricin~], Muga (Antheraea assamensis), dan Tusser. Utat sutera Tusser terdiri atas Tusser Cina (Antheraea pemyi), Tusser Jepang

(Antheraea yamama~], Tusser India (Antheraea mylitfa), dan Tusser Oak

(Antheraea proylei) (JOCV, 1975; Peigler, 1993; Kato et a/., 1996). Bombyx mori L. adalah ulat sutera komersiat yang dibudidaya.

2.4.

Siklus Hidup Ulat Sutera

Ulat sutera merupakan serangga yang mengalami proses meta- rnorfose sempuma dengan siklus hidup adalah: telur, larva, pupa, dan

ngengat (Gambar 1). Proses metamorfose berlangsung secara regresif

yaitu tahap perombakan dan penghancuran jaringan tubuh larva, dan rnetamorfose progresif adalah tahap pernbentukan kembali jaringan dan

organ lainnya dari bentuk pupa menjadi ngengat (Sihombing, 1999). Proses pertumbuhan dan metamorfosisnya dikendalikan oleh sistem

hormonal (Ishizaki, 2000). Pertumbuhan larva, proses pergantian kulit dan perubahan bentuk, dan karakter voltinisme masing-masing diatur oleh

hormon jupenil, ekdison dan diapause (Mmball, 1990; Mah, 1998a). Ulat

sutera dapat tumbuh dengan menanggalkan kulitnya secara berkala, terjadi berulang kali selama periode perkernbangan larva. Kepompong

merupakan pelindung selama masa perubahan bentuk dari larva, pupa dan ngengat. Ngengat dapat keluar dari kepompong dengan menyernprot- kan enzim kokonase pada ujung kokon sehingga menjadi lunak dan

(156)
[image:156.520.39.423.34.574.2]

Gambar 1. Siklus Hidup Ulat Sutera (Tazirna, 1964). tM=Lawa Menetas.

H = Hakikatrr; PK1. PK2. PK3, PK4 masing-masing adafah Pergantian Kulit Pertarna, Kedua, Ketiga, dan Keernpat: R=Mengokon; P=Pupasi; Ng=Ngengat; TD=Telur Diapause;

TND= Telur Nondiapause.

Perturnbuhan ulat sutera berlangsung sangat cepat pada masa

larva yakni mencapai 3 0.000

-

12.000 kali (Tazima, 1964; Atmosoedarjo et a/., 2000) antara berat pada umur sehari sebelum mengokon dengan
(157)

(Atmosoedarjo et a / . . 2000) atau pada instar lima hari kelima 0/-5) yaitu

suatu tahap krusial dalam peltumbuhan, perkembangan, dan metabolisme

pada ulat sutera yang berkontribusi terhadap ekspresi fenotifrk karakter kokon (Rajanna dan Reddy, 1996). Fakta ini ditandai dengan meningkat-

nya aktivitas metabolisme (Ueda et

a/.,

1971), dan sintesis protein dalam sel-sel kelenjar sutera (Iwami et

al.,

1996).

2.5. Karakter Spesifik Ulat Sutera Ras Jepang,

Cina

dan

Tropik

Perbedaan karakteristik dari masing-masing ras ulat sutera disebabkan oleh perbedaan konstitusi genetik (Aherkar

ef

a/., 1991;

Abadzieva dan Nakova, 1992; Hong

ef

a/.,

1993; Thiagarajan eta/., 1993; Chareyre et

a/.,

1995), yang dapat dijadikan sumber daya genetik oleh

para pemulia dalam persilangan untuk membentuk hibrida baru maupun galur baru (Mah, 1998a). Biasanya yang paling diperhatikan dalam

persilangan untuk membentuk gatur baru maupun hibrida baru adalah karakter spesifik dari masing-masing ras (Razdan et a/.. 1994; Tayade, 1995). Karakter spesifik dari ulat sutera ras Jepang, Cina, dan Tropik

dicantumkan pada Tabel 1.

2.6. Analisis Pewarisan Sifat

Nabi Muhammad SAW dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim

(158)

seleksi dan pewarisan sifat, sedangkan Mendel dianggap orang pertama yang rnengungkap pola pewarisan sifat rnenurun melalui percobaannya

pada kacang Ercis. Analisis genetika hewan didasari asumsi sama yang dibuat Mendel, yakni garnet yang dihasilkan jantan dan betina berpeluang

sarna dalam fertilisasi.

Tabel 1. Karakter Spesifik Ulat Sutera Ras Jepang. Cina dan Tropik

Ras Ulat Sutera

Karakter Jepang Cina Tropik

Voltinisme Uni dan Bivoltin

Ukuran larva Normal

Daur hidup Panjang

Kokon ganda Tinggi

Bentuk kokon Kacang

Tebal Serat Tebal

Panjang serat Pendek

St~ktIJr Serat Kasar

Daya Adaptasi Kurang

Sumber : JOCV (1 975) dan Mah (1998a)

Uni dan Bivoltin Kecil Pendek Rendah Jorong Tipis Panjang Halus Kurang PolivoAin Kecil Pendek Rendah Gelendong Tipis Pendek Halus Baik

Pola pewarisan sifat yang terekspresi pada zuriat tergantung dari

sifat-sifat tetua jantan dan betina. Wataupun tetua jantan dan betina mempunyai peluang sarna menurunkan sifat, narnun diduga bahwa pola pewarisan sifat dari jantan dan betina diekspresikan berbeda pada zuriat-

nya. Goodenough (1 984) menyatakan bahwa, bila persilangan resiprokal memberi nisbah fenotipe pada zuriat pertama (FI) dan kedua (F2) ber-

[image:158.511.41.439.35.578.2]
(159)

2.6.1.

Pewarisan Karakter Kualitatif

Karakter voltinisme dari ulat sutera Univoltin dan Polivoltin hanya disebabkan oleh faktor hereditas, sedangkan Bivoltin disebabkan oleh

faktor hereditas dan lingkungan seperti temperatur dan panjang siang hari. Pemeliharaan larva dan penyimpanan telur ulat sutera Bivoltin pada

temperatur di bawah 15

OC

maka telur-telur tersebut akan mengalami

hibernasi, 15 - 18

OC

maka telur-telur tidak mengalami istirahat karena

horrnon diapause tidak diinduksi, sedangkan di atas 20

OC

telur-telur Bivoltin akan mengalami estivasi (Tazima, 1964). Lama penyinaran pada temperatur tinggi (25

OC)

dan panjang siang hari selama lebih dari enarn

belas jam pada tahap embrio akan menginduksi hormon diapause pada generasi berikutnya. Pada temperatur rendah (1 5

OC)

dan kondisi hari

pendek yakni kurang dari dua belas jam, generasi berikutnya akan bersifat nondiapause (Kim, 1998b). Dilaporkan juga, ulat sutera Bivoltin banyak

dipelihara secara komersial karena rnemiliki karakter yang diinginkan seperti kokonnya berat, rasio kulit kokon dan kekuatan larva baik.

Karakter voltinisme merupakan karakter yang secara fenotipik diekspresikan pada generasi berikutnya, dideterminasi secara maternal

tergantung pada genotip ngengat pada generasi sebelumnya (Gambar 2).

Hormon diapause rnerupakan penyebab daripada embrio diapause (Mah, 1998a). Karakter voltinisme dikontrol oleh gen-gen utama (major genes)

dengan alet

v',

+V dan

v3

masing-masing untuk Univoltin, Bivoltin dan Polivoltin, dan pewarisannya dipengaruhi gen-gen terpaut kelamin dan gen-gen autosomal (Tazima, 1964).
(160)
[image:160.513.39.426.47.561.2]

Gambar 2. Pola Pewarisan Karakter Voltinisme (Tazima, 1964; Mah, 1998a) . dan 0 Masing-masing Melarnbangkan Karakter Univoltin dan Polivoltin.

2.6.2. Pewarisan Karakter Kuantitatif

Bukti-bukti adanya fenomena pewarisan terpaut kelamin pada

karakter kuantitatif dilaporkan Tazima (1964) yaitu dari hasil persilangan yang dilakukan antara strain atau galur yang menghasilkan bobot kulit

kokon berat dan ringan. Persilangan resipmkal seperti tertera pada Gambar 3 menghasilkan perbedaan bobot kulit kokon padazuriat pertama

(161)

P

-.

a ; -. F,

. - L

[image:161.520.36.436.29.582.2]

.

.. ;- ' ri-j -; ; -,i ;i i-i ;;.;i ,> ,a

,:

,.

Gambar 3. Pewarisan Terpaut Kelamin pada Bobot KuM Kokon (Tazima, 1964). A. Strain dengan Bobot Kokon Berat. 6. Strain dengan Bobot Kokon Ringan.

Pengaruh gen terpaut kelarnin diindikasikan dengan bervariasinya tinggi dan lebar kurva bobot kulit kokon pada kedua jenis kelamin zuriatnya. Bila strain dengan bobot kulit kokon berat sebagai induk pada generasi tetua maka kurva produksi zuriat jantan dan betina hampir sama, sedangkan resiprokalnya menunjukkan bahwa zuriat betina memiliki kurva

produksi lebih lebar namun lebih rendah dibandingkan zuriat jantan. Penyebabnya adalah adanya gen utama yang rnengontrol sifat-sifat dewasa terpaut pada kromosom Z yang mempengaruhi ekspresj karakter kuantitatif dan aksi-nya dimodifikasi oleh gen autosornal (Tazima, 1964).

(162)

2.7.

Pernbentukan Galur Baru

Penggabungan dan pemisahan karakter pada pernbentukan galur

baru pada uiat sutera dibedakan rnenjadi tiga tahapan (Kim, 1998a), yaitu generasi pertarna sampai ketiga rnerupakan periode perubahan yang

disebabkan oleh kornbinasi, segregasi dan rekombinasi antara gen-gen

pada kromosorn hornolog. Generasi keernpat sarnpat ketujuh merupakan tahap pernisahan karakter yang mengarah pada terbentuknya susunan

gen baru yang diinginkan, sedangkan generasi kedelapan dan seterusnya merupakan tahap pemantapan dalam pembuatan galur baru.

Persilangan dan seleksi merupakan modal utarna para pernulia ulat

sutera untuk rnemaksimumkan keuntungan ekonornis. Sifat-sifat penting yang dilnginkan diisolasi melalui biak-dalarn (inbreeding) untuk menyrng-

kirkan gen-gen yang pengaruhnya rnerugikan, narnun dilain pihak

mengakurnulast gen-gen yang pengaruhnya menguntungkan untuk meng- hasilkan temak-temak unggul (Martojo, 1992). Temak-temak inbred yang

rnenunjukkan sifat-sifat unggul cenderung lebih homosigot untuk gen-gen pengontrol keunggulan, dan temak-temak ini mewariskan keunggulannya

karena gen-gen hornosigot (Noor, 1996). Cara tersebut banyak diterap- kan dalam pembuatan galur baru ulat sutera (Raju. 1992; Maribashetty

dan Reddy, 1995).

Ulat sutera hibrida hasil persilangan galur pada ras yang sarna

rnempunyai heterosis bobot kokon dan serat sutera lebih tinggi dibanding hibnda dari persilangan galur pada ras yang berbeda, narnun daya tetas,

lama hidup dan panjang serat yang dihasilkan lebih rendah (Mladenov,

(163)

1990). Galur baru ulat sutera yang dibuat dengan cara hibridisasi disertai seleksi, diantaranya ialah AZ3 yaitu galur baru Polivoltin yang dibuat dari

tiga galur Polivottin

M2,

Nistari, dan G. Galur baru A ~ J menghasilkan sutera pintal (spun silk) berwarna kuning, elastis, dan benang twis berkualitas

tinggi (Singh dan Rao, 1994). Hibrida baru yang dibuat dari persilangan

empat pejantan galur baru Bivoltin dengan galur murni Mysore Polivoftin, menghasilkan performans ketahanan hidup larva, jumlah larva yang

dihasilkan, bobot larva, bobot kokon dan kulit kokon, rasio kulit kokon, dan panjang serat sutera lebih baik dibanding hibrida lain yang sudah eksis di

India (Raju dan Krishnamurthy, 1995). Maribashetty dan Reddy (1995) mernbuat galur baru ulat sutera MUm menggunakan galur Bivoltin NB4D2,

Kalirnpong-A (KA) dan galur Polivoltin Cinthya nichi putih (Gambar 4).

Pada generasi awal disilangkan NB4D2 betina dengan KA jantan. Generasi pertama dikawinkan sesamanya (interse mating), kemudian zuriat betina dengan bentuk kokon ras Jepang disilangkan dengan C. nichijantan untuk

memperoleh generasi ketiga. Generasi ketiga dikawinkan sesamanya dan seleksi dilakukan atas dasar bentuk kokon oval. Kokon yang masuk

kriteria, diseleksi sampai generasi kelima. Generasi kelima dengan jenis

kelamin betina yang rnuncul dari kokon-kokon berwama putih, menarik dan sedikit ramping disilang balik (backcross) dengan NB4D2 jantan.

Generasi keenam sampai generasi kedua belas dikawinkan sesamanya, disertai seleksi atas dasar warna kokon putih dengan bangun dan

(164)

6

KA

F 1

8

C. Nichi

F3

1

F4

0

d [image:164.507.39.408.35.552.2]

F5 NB4Dz

Gambar 4. Model Persilangan dari Galur Baru Ulat Sutera MUm

Pada Tabel 2 dicanturnkan keunggulan dari galur baru MU720 bila

dibandingkan dengan NB4D2 dan Kalimpong - A (KA) sebagai tetuanya,

kemudian Maribashetty dan Reddy (1995) merekomendasikan bahwa

galur baru MU720 efektif digunakan untuk pengembangan ulat sutera di

(165)

Tabel 2. Karakter Serat Sutera dali MUm Dibanding NB4D, dan KA

Galur Panjang Tebal Kerapihan Keseragaman Kebersihan serat serat

(m) (d) (96) ...

N B ~ D z 94 1 2.49 86.50 84.50 92.00

KA 927 2.48 92.60 88.70 84.00

Mu720 947 2.58 92.20 89.60 86.50

Sumber: Maribashetly dan Reddy (I 995)

2.7.1.

Peran Seleksi dalam Pembentukan Galur Baru

Seleksi berperan dalam mengubah frekuensi gen yang mengatur beberapa sifat kualitatif dan kuantitatif (Falconer, 1989; Martojo, 3 992).

yang dipandang sebagai aktivitas para pemulia paling penting dan sebagai

dasar utama dalam pemuliaan ternak (Warwick e t a / . , 1995).

Salah satu metode seleksi yang paling populer digunakan pada ulat sutera adalah seleksi massa (Hirobe, 1984). Seleksi massa dilakukan

dengan mengurutkan

(rangking)

performans semua individu di dalarn populasi, kemudian dipilih yang terbaik untuk dijadikan tetua pada

generasi berikutnya (Martojo, 1992; Warwick et a/., 1995). Keputusan

untuk melakukan seleksi terhadap sifat-sifat yang bemilai ekonomis tinggi sangat menentukan kebehasilan program perbaikan rnutu genetik. Pada ulat sutera, sifat-sifat ekonomis yang penting, antara lain adalah daya tahan hidup, bobot larva, bobot kokon dan kulA kokon, rasio kulit kokon,

[image:165.513.40.442.52.586.2]
(166)

1995), kehalusan (Kato et a/., 1997). tebal serat (Tsubouchi et

at.,

1997)

dan daya gulung (Lee, 2000).

Sifat-sifat yang biasa diukur dalarn pembentukan bibit adalah sifat yang mempunyai nilai ekonomis, nilai heritabilitas dan korelasi genetik

tinggi sehingga bisa dijadikan kriteria seleksi. Ketahanan hidup larva,

bobot larva dewasa, bobot kokon tunggal, bobot kulit kokon tunggal, dan

panjang serat mempunyai heritabilitas sangat tinggi yaitu 71.4

-

86.7%. sedangkan heritabilitas dengan nilai sedang didapat pada jurnlah kokon yang dihasilkan (65.3%) dan rasio kulit kokon (69.8%) (Bhargava et a/..

1993). Rayar et

al.

(1989) rnelaporkan bahwa heritabilitas dengan nilai

tinggi diternukan pada bobot larva, daya hidup larva, bobot kokon dan

panjang filamen.

Penelitian terhadap beberapa parameter genetik yang dilakukan

Rangaiah et al. (1995) rnenemukan bahwa

bobot

kokon, bobot kulit, dan persen kulit kokon mernpunyai korelasi genetik positif sangat nyata

dengan fertilitas, dan merekomendasikan bahwa karakter-karakter ter- sebut dapat dijadikan kriteria seleksi. Singh et

a/.

(1995) juga rnendapat-

kan korelasi positif diantara sifat-sifat seperti bobot larva, kokon, pupa dan fertilitas pada ulat sutera Bivoltin.

2.7.2.

Peran

Persilangan pada Pembentukan Galur Baru

Tujuan persilangan yang sangat penting adalah berkaitan dengan
(167)

(Martojo, 1992), guna mempercepat peningkatan produktivitas ternak (Watwick

et

a/.,

7995). Persilangan pada ulat sutera dapat dilakukan

dengan beberapa cara antara lain persilangan tunggal (misalnya A x B),

persilangan tiga bangsa [(A x B) x

C],

silang ganda [(A x B) x (C x D)]

(Nagaraju et

a/.,

1996; Kim. T998a), dan silang balik (Kim, 1998a).

Pengaruh silang ganda yang paling baik untuk parameter bobot kulit kokon adalah pada tipe persilangan dengan orde (I x 2) x (3 x 4), dimana

karakter ekonomis dari ras keempat lebih baik dari ras ketiga, ras ketiga lebih baik dari ras kedua, dan ras kedua lebih baik dari ras pertama (Nagaraju et

a/.,

1996).

Karakter umum yang menggambarkan suatu galur yang baik dan diinginkan sebagai target, pada persilangan ulat sutera adalah untuk

mendapatkan: ( I ) daya tetas yang tinggi, (2) lama hidup larva yang

pendek, (3) rasio kulit kokon dan pupasi yang tinggi, (4) frlamen kokon yang panjang, (5) daya gulung dan persentase serat yang tinggi. Pada ulat

sutera tidak ada galur yang mempunyai semua karakter baik, mengingat karakter-karakter di atas ada yang berkorelasi positif dan negatif, karena-

nya dalam persilangan dan proses seleksi perlu rnenentukan satu sifat

saja. Sebagai contoh bita persilangan diarahkan untuk menyeleksi panjang filarnen kokon, maka akan menyebabkan filamen kokon rnenjadi

tipis dan daya gulung menjadi semakin rendah 1998a).

Jika dua individu dengan konstruksi gen berbeda disilangkan, maka susunan gen zuriatnya mengalami perubahan oleh adanya kombinasi.

(168)

hanya berhubungan dengan karakter kedua tetuanya, namun terdapat juga kemungkinan beberapa kreasi karakter baru (Kim, 1998a). dan

fenomena ini dikenal sebagai pewarisan transgresif (Noor, 1996)

2.8.

Pernanfaatan Heterosis

Heterosis merupakan kelebihan perforrnans zuriat dibanding rataan

performans kedua tetuanya. Terjadinya heterosis diduga sebagai akibat dari aksi gen non-aditif yang dapat menyebabkan efek dominan, over- dominan dan epistasis (Martojo, 4992; Noor. 1996; Nagaraju e t a / . . 1996;

Kim, 1998b). Besarnya heterosis suatu sifat tergantung pada derajat dominansi dari semua pasangan gen yang mempengaruhinya dan rataan

perbedaan frekuensi gen antara kedua tetuanya untuk semua pasangan

gen yang ada, sehingga semakin jauh perbedaan frekuensi gen antara kedua tetuanya akan semakin tinggi heterosisnya (Nwr, 1996).

Heterosis paling baik pada persilangan tunggal pada populasi- populasi dengan jarak genetik yang jauh (Hirobe, 1985). Nilai heterosis pada silang tunggal lebih baik dibandingkan dengan hibrida silang tiga

bangsa (Nagaraju

et

at., ?996) dan hibrida silang ganda (Asoka et a/., 1993; Singh dan Rao, 1994; Nagaraju

etal.,

1996), namun untuk sifat-sifat

tertentu nilai heterosis silang ganda dapat melebihi silang tunggal (Asoka

et a / .

1989). Contohnya adalah silang ganda (KA x NB7) x (Jlq2 x NBTB)

menghasilkan perforrnans lebih tinggi daripada silang tunggal maupun

(169)

Tabel 3. Nilai Heterosis Bobot Kokon dan Kulit Kokon pada Silang Tunggal dan Silang Tiga Ras

Bobot Kokon Bobot Kulit Kokon Metode

Persilangan

NRT F1 H NRT F1 H

... (g) . . . .... ("/.) ... . - . - .- (g) . . . ... .

("/.I

Silang Tunggal

Poli x Bivoltin

PM x NBqs 1.46 1.55 6.16 0.276 0.267 - 3.26

HM x NBla 1.62 q.72 6.17 0.306 0.341 11.44

Poli x Polivoltin

PM x HM t . I 6 1.48 27.58 0.190 0.238 25.26

Silang Tiga Ras

PM x NBqs x NB7 1.66 1.60 -3.61 0.321 0.279 -13.08

PM x HM X NB18 1.67 1.64 -1.80 0.312 0.327 4.68

Sumber : Nagaraju (1990). NRT = nilai rataan tetua; H = Heterosis; PM = Mysore Mumi; HM = Hosa Mysore; F1 = Zuriat Pertama

Nilai heterosis paling tinggi dicapai pada generasi pertama (Grekov

dan Petkov, 1991), kemudian menurun secara gradual dari F, , Fa , F 3 , F4 dan seterusnya, dan suatu fenomena rnenunjukkan bahwa nilai heterosis

hjlang setelah FI4 pada ulat sutera (Nagaraju

eta/.,

1996). Nilai heterosis umurnnya mernpunyai nilai yang berlawanan dengan nilai heritabilitas.

N w r (1 996) mengungkapkan bahwa sernakin tinggi nilai heritabilitas

suatu

[image:169.511.39.455.46.589.2]
(170)

Setiap sifat mernpunyai nilai heterosis yang berbeda tergantung dari daya pewarisan sifat tersebut. Pada ulat sutera, Rao dan Sahai

(1990) mengevaluasi nilai heterosis dari hibrida Bivoltin x Bivoltin

rnenunjukkan bahwa, heterosis yang tinggi pada kokon yang dihasilkan, dan sernakin rnenurun pada karakterdaya tahan hidup larva, bobot kokon,

dan tebal serat. Studi yang sama dilakukan Nagaraju (1990) dengan

menggunakan tujuh galur Polivoltin x Bivoltin mendapatkan heterosis yang tinggi pada parameter bobot larva, namun rnenurun pada ketahanan hidup larva dan bobot kokon tunggal. Heterosis dari beragarn karakter yang

diukur para peneliti disajikan pada Taber 4.

Tabel 4. Nilai Hetemsis dari Beberapa Karakter yang Diamati

Karakter Peneliti

[image:170.515.37.442.19.578.2]

A B

...

(%) ...

Kokon yang dihasilkan 4.25 Bobot kokon tunggal

Bobot kulit kokon tunggal Rasio kulit kokon Panjang serat Tebal serat Lama hidup larva Ketahanan hidup larva Lama hidup instar V Bobot larva

.- .-

(171)

Nagaraju dan Pavankumar (1995) mengevaluasi persilangan dari dua galur yang diseleksi atas dasar panjang filamen, selama tujuh

generasi dari populasi dasar yang sama. Dua galur diseleksi atas dasar panjang filamen dengan perbedaan 172 m. Pengaruh yang terjadi baik

[image:171.507.41.443.12.576.2]

pada panjang filamen galur tetua maupun pada hibrida hasil perkawinan dalam galur (interline matings) dengan nilai heterosis seperti tertera pada

Tabel 5.

Tabel 5. Rataan Karakter dan Nilai Heterosis yang Diukur pada Galur LFL dan SFL dan Persilangannya

Karakter Galur Perkawinan Galur Heterosis LFL SFL LFLxSFL SFLxLFL LFLrSFL S F W L

Panjang filamen (m) 876.00 704.00 783.00 717.00 - 0.89 - 9.20 Tebal serat (d) 2.00 2.85 2.19 2.20 3.29 3.76

Bobot kokon (g) 1.38 1.35 1.42 1.35 4.1 7 0.80 Bobot kulit kokon (g) 0.22 0.20 0.23 0.22 20.70 4.83 Dayatahanhidup(%) 56.25 68.06 73.12 74.97 17.64 20.06 Sumber : Nagaraju dan Pavankumar (1995). LFLdan SLF masing-masing adalah

Galur dengan Filamen Kokon Panjang dan Pendek.

Suatu penelitian yang dilakukan oleh Datta dan Pershad (1996) untuk mengetahui pengaruh persilangan resiprokal antara ulat sutera Bivoltin x Polivoltin, menyimpulkan bahwa persilangan antara Polivoltin

betina x Bivoltin jantan lebih baik dibanding resiprokalnya. Kejadian ini, menurut Tazima (1 964) dan Nagaraju et al. (I 996) disebabkan oleh gen- gen pengontrol sifat dewasa (maturity genes) terpaut pada kromosorn Z

(172)

tersebut selarna periode larva rnempunyai korelasi dekat (closed correla- tion) dengan ukuran tubuh, berat kokon, berat kulit kokon. dan bobot

tubuh. Pengaruh persilangan langsung dan resiprokal terhadap karakter bobot kokon dan bobot kulit kokon disajikan pada Tabel 6.

Tabel 6. Karakter Kuantitatif pada Persilangan Langsung dan Resiprokal

Persilangan Lama Hidup Bobot Kokon Bobot Kulit Kokon

Larva

?.

'

Rataan ?

'

Rataan

(Hari:Jam) (g) ...

Mysore murni x N4 21 :22 2.16 1.68 1.92 0.349 0.318 0.334 N4 x Mysore murni 21 .OO 1.70 1.57 1.65 0.252 0.297 0.275 Sumber : Tazirna (1 988)

2.9.

Pemanfaatan Daya Gabung

Suksesnya suatu program persilangan tergantung pada rnateri genetik dari individu-individu yang disilangkan dan pengetahuan tentang

arsitektur genetik dari sifat-sifat ekonomis (Tayade. 1995). metode seleksi dan sistern perkawinan yang digunakan {Maribashetty dan Reddy, 1995).

Faktor-faktor tersebut sangat menentukan daya gabung (combining ability) dan sifat-sifat yang diinginkan pada zuriat. Secara historis penentuan daya

gabung khusus adalah dengan mencoba sernua persiiangan yang mungkin dilakukan dan menentukan rnana yang rnernberikan hasil terbaik.

Metode reciprocal recurrent selecfion rnerupakan salah satu rnetode yang

efektif untuk rnemilih hasil persilangan yang lebih baik tanpa menghirau- kan apakah efek dorninan, overdornjnan, dan epistasis sebagai faktor

[image:172.511.42.442.22.595.2]
(173)

utama dalam heterosis, dan juga efektif untuk rnemperbaiki sifat-sifat

dengan heritabilitas tinggi yang tergantung pada peran gen aditif yang menambah pada laju daya gabung umum (Warwick et al., q995). Pada

suatu persilangan, jika tetua-tetua dengan karakter baik disilangkan maka hibridanya umumnya baik, namun Kim (1998a) rnensinyalir bahwa jika

tetua-tetua dengan karakter tidak baik disilangkan, hibridanya kadang-kala menunjukkan hasil yang baik, ketika daya gabung spesifiknya tinggi.

Beberapa pemulia uiat sutera menggunakan analisis daya gabung dalam menentukan silangan terbaik. Datta dan Pershad (1 993) melakukan

persilangan lima galur Polivoltin dengan tiga galur Bivoltin dan resiprokal- nya, menunjukkan bahwa persilangan antara Hosa Mysore dan Mysore

Princess Polivoltin dengan NB7 Bivoltin menghasitkan daya gabung umum paling baik, sedangkan persilangan antara Nistari dan Daizo Polivoltin

dengn NB7, dan Hosa Mysore dengan NB4D2 Bivoltin menunjukkan daya

gabung spesifik paling baik untuk karakter jumlah kokon yang dihasilkan dan laju pupasi. Razdan

etal.

(?995) melakukan analisis daya gabung dari

sembilan galur ulat sutera yakni PAMlol; PAM ~ O Q ; PAMlll; YSB; SF19; JDB;

NB4D2; SHE; dan

CC,

dimana masing-masing disilangkan. Hasil penelitian

nya menunjukkan bahwa PAMlm mempunyai daya gabung umum yang nyata pada semua karakter yang diamati, kecuali lama hidup larva dan kokon yang dihasilkan, sedangkan daya gabung spesifik dan heterosis

lebih tinggi diperoleh pada persilangan PAMlol x NB4D2; PAMlOg x NB4D2;

(174)

2.10.

Pernbentukan Hibrida Baru Komersial

Penernuan yang ditandai dengan keunggulan sifat-sifat ekonornis

dari hibrida F 1 dibanding strain mumi oleh Toyama pada tahun 1 9 0 5

mengawali era baru budidaya ulat sutera komersial (Datta dan Pershad,

1996). Jepang merupakan negara pertama yang memulai konsep produksi

sutera berkualitas tinggi dari ulat sutera bivoltin dengan menggunakan

bibit hibrida komersial (Razdan etal., 1994).

... F2 Ras Jepang

(Seleksi silsilah dan fiksasi selama 4 - 6 generasi)

Ras Asli Sub-Tropik

I

I

Persilangan selama 7 - 15 generasi Galur yang telah di- Galur yang telah di

perbaiki dari Jepang perbaiki dari Cina

I

I

(175)

Pada tahun 1921, India berhasil memasukkan bibit hibrida dari

Jepang dan sukses mengusaha-kannya, kemudian memulai eksploitasi

secara besar-besaran (Datta dan Pershad, 1 996). Diinforrnasikan juga bahwa hibrida Multivoltin x Bivoltin seperti juga hibrida Bivoltin x Bivoltin

menjadi sangat populer pada petani, dan untuk tujuan ini maka ras-ras lokal betina disilang dengan jantan-jantan Bivoltin yang dikerjakan pada

awal tahun tujuh-puluhan.

Petani

Ras Jepang

I

Ras Cina

'3

I

Persilangan selama 7 - 15 Generasi [image:175.507.43.431.26.562.2]

Varitas yang telah di- Varitas yang telah perbaiki dari Jepang diperbaiki dari Cina

Gambar 6 . Persilangan Hibrida Tiga Ras. Hibrida Korea x Galur Asli Sub-Tropik (Kim. f 998a).

F 1

(176)

Budidaya ulat sutera kornersial pada tingkat petani selatu meng- gunakan bibit hibrida, sedangkan galur murni hanya dipel~hara oleh para

pemulia sebagai bahan persilangan dalarn pembuatan bibit hibrida

(Kaomini, komunikasi pribadi). Bibit hibrida yang biasa diintroduksi ke petani adalah F1

-

F3 (Kim, 1998a). Di Korea, program persilangan [image:176.513.43.441.20.584.2]

hibrida Korea dilakukan seperti tertera pada Gambar 5 dan 6, dan dari Gambar tersebut terlihat bahwa bibit hibrida yang disebarkan ke petani

adalah F1. Artinya bibit hibrida yang disebarkan kepada petani adalah rnemanfaatkan heterosis yang tinggi untuk sifat-sifat ekonomis yang

diinginkan.

2.11.

Kokon

dan Serat Sutera

Kokon adalah untaian rajutan filamen sutera yang dihasilkan oleh

kelenjar sutera dari ulat sutera dewasa, sebagai pelindung dalam proses metamorfosis dari bentuk larva menjadi pupa dan ngengat. Menurut

Komatsu (1979) serat kokon dibentuk dari cairan sutera yang tersimpan dalam kelenjar sutera ulat sutera dewasa melalui proses insolubilisasi yang disebabkan oleh aksi mekanik pengeluaran cairan sutera (spinning).

Kokon merupakan salah satu produk komersial dari pemeliharaan

ulat sutera. Kualitas kokon dapat ditentukan secara kualitatif dan kuanti- tatif. Secara kualitatif dapat dilihat dari warna, bentuk, dan kelenturan kokon, sedangkan secara kuantitatif dapat diukur dari bobot kokon, bobot

(177)

Wama kokon merupakan penciri utama ras ulat sutera dan sangat

dipengaruhi oleh pigmen dalam lapisan serisin (Lee, 2000). Warna kokon

tidak dikontrol secara genetik, melainkan disebabkan oleh berrnigrasinya pigmen yang ada dalam cairan tubuh ke dalam kelenjar sutera. Hipotesis Manunta menyebutkan bahwa kontrol genetik terletak pada ferrneabilitas

sel yang mengatur takan pigmen pembentuk warna kokon. Pigmen penyebab warna kokon antara lain adalah santofil, karotin, violasantin dan

lainnya yang dapat berinteraksi dengan serisin dan fibroin dalarn meng- hasilkan wama kokon (Tazima, 1964; JOCV, 1975).

Bentuk kokon menjadi ciri spesifik dari ras ulat sutera (S~nha e t a / . ,

1992; Talukdar, 1993; Lee, 2000). dan merupakan sifat yang penting dipertimbangkan dalam program seleksi (Maribashetty dan Reddy. 1995).

Umumnya ulat sutra ras Jepang mempunyai bentuk kokon seperti kacang

tanah (peanuf), ras Cina berbentuk jorong (oval), dan Polivoltin berbentuk gelendong (spindle) (Atrnosoedarjo et al., 2000; Lee, 2000). Ulat sutera

hibrida diasumsikan mempunyai bentuk kokon pertengahan antara kedua tetuanya (Lee, 2000).

Bentuk kokon pada dasamya dibedakan menjadi dua macarn, yakni

kokon normal dan kokon tidak normal. Kokon normal adalah kokon yang mempunyai bentuk sempuma dan spesifik, tergantung pada ras ulat

suteranya. Kokon tidak normal terdiri atas beberapa macam, yakni kokon rangkap, berlubang, kotor bagian dalam, kotor bagian luar, ujung tipis, kulit

(178)

bentuk kokon dilakukan oleh Govindan et a/. (1 993) pada 5 ras ulat sutera Bivoltin yaitu Sanishls, Jlz2. NB4D2 dan NBla dengan bentuk kokon

seperti kacang menyimpulkan bahwa bobot kokon, bobot kulit kokon dan rasio kulit kokon dipengaruhi oleh ras ulat sutera, sifat ujung kokon,

jenis

kelamin dan interaksi diantara sifat-sifat tersebut.

Bobot kokon merupakan karakter yang sangat penting dalarn perdagangan komersial, karena bobot kokon dapat digunakan sebagai

pendekatan kuantitatif dalarn mernprediksi sutera mentah yang dapat digulung. Ulat sutera ras mumi memiliki bobot kokon antara 1.5

-

2.2 g,

sedangkan hibrida antara

t

.8

-

2.5 g (Lee, 2000).

Produk dari kokon yang sangat penting adalah serat sutera atau

filamen sutera. Serat sutera dihasiikan oleh sepasang kelenjar sutera (silk

gland)

dengan bagian-bagian seperti disajikan pada Gambar 7. Kelenjar

sutera terdiri atas: a). bagian depan merupakan saluran pengeluaran

kelenjar yang terbuka pada ujungnya tepat di bawah mulut larva, b). bagian tengah, bagian ini sebagai penghasil zat warna yang dibentuk bersama-sama serisin (C15H~~N508) sebagai perekat, dengan proporsi

25 % dari berat serat, dan bersifat mudah larut dalam air panas, dan

c).

bagian belakang kelenjar, sebagai penghasil serat sutera yang disebut fibroin (ClsH26NsOs) sebagai sutera cair dengan proporsi 75 % dari berat

sutera dan tidak larut dalam air panas (Tazima, 1978; Komatsu, 1979;

Gamo, 1987). Fibroin dan serisin merupakan serangkaian asam-asam

(179)
[image:179.515.36.423.37.570.2]

Gambar 7. Kelenjar Sutera (Tazima. 1978). K, Kelenjar Anterior; L. Kelenjar Filippi's; M. Bagian Depan dari Kelenjar Sutera Tengah: N. Bagian Samping dari Kelenja~ Sutera Tengah; K. Kelenjar Sutera Tengah;

P, Bagian Tengah dari Kelenjar Sutera Tengah; Q, Kelenjar Sutera Belakang; R. Spineret.

Fibroin dan serisin seluruhnya terbentuk dari protein murni yang mengandung berbagai macam asam-asam amino. Fibroin tidak larut dalarn air, karena memiliki struktur molekul yang longgar dan kaya dengan asam-asam amino yang hidrofobik (Admosoedarjo eta/.. 2000). Kandung- an asam-asam amino penyusun fibroin dan serisin disajikan pada Tabel 7. Dari Tabel 7 terlihat bahwa proporsi asam amino terbanyak sebagai penyusun fibroin secara bemrut dari yang terbanyak adalah glisin, alanin,

(180)

Tabel 7. Kandungan Asam-asam Amino pada Fibroin dan Serisin

A B

Asam-Asam

Amino Fibroin Serisin Fibroin Serisin

(g / 100 g protein) (rnol%) (g / 100s fibroin) (mol 96)

Alanin Arginin Aspartat Fenilalanin Glisin Glutamat Histidin Isoleusin Leusin Lisin Metionin Prolin Serin Sist

Gambar

Gambar 1. Siklus Hidup Ulat Sutera (Tazirna, 1964). tM=Lawa Menetas. =
Tabel 1. Karakter Spesifik Ulat Sutera Ras Jepang. Cina dan Tropik
Gambar 2. Pola Pewarisan Karakter Voltinisme (Tazima, 1964; Mah,
Gambar 3. Pewarisan Terpaut Kelamin pada Bobot KuM Kokon (Tazima, Strain dengan Bobot Kokon
+7

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Menteri Pertanian Nomor 34'1lKpts/OT.1401912005 tentang Kelengkapan Organisasi dan Tata Kerja Departemen Pertanian sebagaimana telah diubah dengan Peraturan

kombinasi keterampilan gerak permainan bulutangkis (teknik pegangan raket, service(teknik pegangan raket, service, gerakan kaki (footwork ), pukulan ( stroke ), sikap berdiri

Dari analisis SWOT strategi yang digunakan adalah model strategi SO yaitu strategi yang menggunakan pada Strength sebagai memanfaatkan Opportunies yang dimiliki

Reason for change:  A GML 3.2 binding of the O&amp;M schemas is required for applications that wish to use the current version of GML 3.2. It is also necessary to underpin an orderly

Demikianlah kami sarnpaikan kepada Saudara,

Sebelum mendapat pinjaman dari UPPKA jumlah nasabah

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas Rahmat dan Karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi ini dengan judul “ Kebijakan

[7] Daniel Shiffman, “ Coordinate System and Shape ” [Online], http:// processing.org/tutorials/drawing/, diakses tanggal 18 November 2013.. [8] Benjamin Reh, “ An