• Tidak ada hasil yang ditemukan

Permudaan Alam dan Tegakan Tinggal di Hutan Rawa Gambut Bekas Tebangan (Studi Kasus di BKPH Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Permudaan Alam dan Tegakan Tinggal di Hutan Rawa Gambut Bekas Tebangan (Studi Kasus di BKPH Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau)"

Copied!
226
0
0

Teks penuh

(1)
(2)
(3)
(4)
(5)
(6)
(7)
(8)
(9)
(10)
(11)
(12)
(13)
(14)
(15)
(16)
(17)
(18)
(19)
(20)
(21)
(22)
(23)
(24)
(25)
(26)
(27)
(28)
(29)
(30)
(31)
(32)
(33)
(34)
(35)
(36)
(37)
(38)
(39)
(40)
(41)
(42)
(43)
(44)
(45)
(46)
(47)
(48)
(49)
(50)
(51)
(52)
(53)
(54)
(55)
(56)
(57)
(58)
(59)
(60)
(61)
(62)
(63)
(64)
(65)
(66)
(67)
(68)
(69)
(70)
(71)
(72)
(73)
(74)
(75)
(76)
(77)
(78)
(79)
(80)
(81)
(82)
(83)
(84)
(85)
(86)
(87)
(88)
(89)
(90)
(91)
(92)
(93)
(94)
(95)
(96)
(97)
(98)
(99)
(100)
(101)
(102)
(103)
(104)
(105)
(106)
(107)
(108)
(109)
(110)
(111)
(112)
(113)
(114)
(115)
(116)
(117)
(118)
(119)

PERMUDAAN ALAM DAN TEGAKAN TINGGAL

DI HUTAN RAWA GAMBUT BEKAS TEBANGAN

(STUD1 KASUS DI BKPH DURI, KABUPATEN BENGKALIS

,

RIAU)

Oleh :

SUDIRMAN

IPK 99320

PROGRAM PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(120)

ABSTRAK

SUDIRMAN. Permudaan Alam dan Tegakan Tinggal Di Hutan Rawa Gambut Bekas Tebangan (Studi Kasus di BKPH Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau). Dibimbing oleh CECEP KUSMANA, sebagai ketua, dan ISTOMO, sebagai anggota.

Penelitian permudaan alam dan tegakan tinggal dilakukan pada bulan Mei 2001 sampai bulan Juli 2001 di areal HPH PT. Rokan Permai Timber Kabupaten Bengkalis, Riau. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji komposisi jenis, struktur permudaan dan tegakan tinggal di hutan rawa gambut bekas tebangan

.

Pengumpulan data vegetasi dan kondisi lahan dilakukan para areal seluas 0,64 ha dari lima tipe komunitas hutan rawa gambut, yaitu : areal bekas tebangan satu tahun (2000), areal bekas tebangan tiga tahun (1998), areal bekas tebangan lima tahun (1996), areal bekas tebangan sepuluh tahun (1991), dan areal hutan yang belum ditebang (virgin forest). Variabel data yang diukur 1) data tumbuhan meliputi permudaan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon 2) potensi tegakan tinggal dengan kelas diameter 10 cm - 20 cm, kelas diameter 20 cm

-

40 cm, dan kelas diameter > 40 cm 3) data lahan terdiri dari sifat kimia tanah, dan ketinggian tempat.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi jenis dan dominansi jenis ditunjukkan oleh nilai Indeks Nilai Penting (INP) yang tertinggi yaitu jenis rengas (Gluta renghas), meranti rawa (Shorea teysmanniana), kelad (Gynotroches axillaris), dan kelakok (Melanorrhoe wallichii). Kecukupan permudaan jenis komersial pada seluruh areal bekas tebangan telah mencukupi persyaratan permudaan berdasarkan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) yaitu : tingkat semai 6.879

(121)

SURAT PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul :

"PERMUDAAN ALAM DAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN RAWA GAMBUT BEKAS TEBANGAN

(STUD1 KASUS DI BKPH DURI, KABUPATEN BENGKALIS, RIAU)"

adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.

Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan

dapat diperiksa kebenarannya.

Bogor, 12 September 2002

(122)

PERMUDAAN ALAM DAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN RAWA GAMBUT BEKAS TEBANGAN

( Studi Kasus di BKPH Duri, Kab. Bengkalis, Riau )

Oleh :

SUDIRMAN IPK 99320

Tesis Penelitian ini adalah Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains

Pada

Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor

PROGRAM STUD1 ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN PROGRAM PASCA SARJANA

(123)

Judul Tesis : Permudaan Alam dan Tegakan Tinggal di Hutan Rawa Gambut Bekas Tebangan

(Studi Kasus di BKPH Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau)

Nama Mahasiswa : SUDIRMAN Nomor Pokok : IPK99320

Program Studi : ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN

Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Cecer, Kusmana, MS Dr. Ir. Istomo, MS

Ketua Anggota

2. Ketua Program Studi

Ilmu Pengetahuan Kehutanan

(124)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tanjung Rambutan pada tanggal 5 Februari 1973 dari

ayahanda H. Abdullah Ali dan ibunda Asiah. Penulis adalah anak ke tujuh dari tujuh

bersaudara.

Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Manajemen Hutan, Sekolah

Tinggi Ilmu Kehutanan Banda Aceh pada tahun 1992 dan lulus pada tahun 1997.

Pada tahun 1999, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan

Program Pascasarjana IPB Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari

Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Manajemen Hutan,

(125)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya

sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian

yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2001 sampai Juli 2001 adalah Permudaan Alam

dan Tegakan Tinggal di Hutan Rawa Gambut Bekas Tebangan

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

1. Bapak Prof. Dr.Ir. Cecep Kusmana, MS dan Bapak Dr.Ir. Istomo, MS selaku

pembimbing.

2. Ayahanda H. Abdullah Ali dan Ibunda tercinta Hj. Asiah, Kakanda Ir. M.

Syukur, saudara-saudara saya yang telah banyak membantu penulis dengan

bantuan moral maupun materil, serta ponaan-ponaan tersayang yang selalu

menunggu kepulangan Tuok Ocunyo.

3. Dinda Megi yang selalu setia mendampingi dalam segala urusan untuk penyelesaian tesis ini.

4. Pimpinan serta karyawan PT. Rokan Permai Timber Unit Samsam Duri.

5. Rekan-rekan seperti Kissinger, Mas Indra, Diana, Melia, Yumarni, kost

Cakra yang selalu mendo'akan agar cepat selesai, serta rekan lainnya yang

tidak dapat saya sebutkan satu persatu.

Akhirnya, Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, 12 September 2002

(126)

DAFTAR IS1

Halaman

PRAKATA

...

...

DAFTAR IS1

DAFTAR TABEL

...

...

DAFTAR GAMBAR

...

DAFTAR LAMPIRAN

PENDAHULUAN

...

...

Latar Belakang

...

Perurnusan Masalah

...

Kerangka Pemikiran

...

Tujuan Penelitian

Manfaat Penelitian

...

TINJAUAN PUSTAKA

...

...

Tipe-tipe Hutan Rawa Gambut

...

Risalah Hutan Rawa Gambut

Komposisi dan Struktur Vegetasi Hutan Rawa Gambut

...

...

Penyebaran Pohon dan Tempat Turnbuh

...

Dominasi dan Struktur Pohon

...

Pola Sebaran Spasial

...

Celah KanopiIRumpang

...

METODE PENELITIAN

...

Tempat dan Waktu Penelitian

...

Bahan dan Alat Penelitian
(127)

...

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

...

Status Perusahaan

...

Letak dan Luas

Topografi

...

...

Iklim, tanah, dan Geologi

...

Keadaan Hutan

Aksesibilitas

...

...

HASIL DAN PEMBAHASAN

...

Hasil Penelitian

...

Pembahasan

...

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

...

Saran

...

(128)

DAFTAR TABEL

Nomor Halaman

...

Kriteria penilaian tingkat kesuburan tanah gambut

Kriteria penilaian beberapa parameter vegetasi hutan

...

Sifat kimia tanah pada lima areal hutan rawa gambut pada

...

Kedalaman 0 - 100 cm

Rekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) untuk 5 jenis tumbuhan dominan tingkat semai pada komunitas hutan rawa gambut berbeda

Jumlah jenis pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang dan pohon

...

Sebaran stratifikasi tajuk pohon pada komunitas hutan berbeda

...

Kerapatan pohon (N/ha) pada setiap kelas tinggi pada komunitas hutan berbeda

...

Kerapatan pohon (Nlha) pada setiap kelas diameter pada komunitas hutan berbeda

...

Kerapatan (Nlha) dan luas bidang dasar seluruh jenis pada tingkat

...

pertumbuhan dimasing-masing komunitas hutan

Indeks keanekaragaman jenis pada tingkat pertumbuhan berbeda

...

pada areal hutan yang berbeda

Pola sebaran lima jenis dominan tingkat semai, pancang, tiang dan

...

pohon pada masing-masing komunitas hutan
(129)

13. Hubungan antara jumlah pohon dan volume pohon (m3) pada kelas DBH berbeda pada hutan primer dan areal bekas tebangan untuk

...

jenis komersial 60

14. Hubungan antara jumlah pohon dan volume pohon (m3) pada kelas DBH berbeda pada hutan primer dan areal bekas tebangan untuk

jenis-j enis lain diluar j enis komersial

...

60

15. Jumlah pohon jenis komersial (Nlha) yang dijumpai pada

(130)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Halaman

1

.

Skema garis besar perrnasalahan dalam pengelolaan dalam

rawa gambut

...

7

2

.

Disain petak contoh di lapangan

...

31

3

.

Disain sub petak-sub petak contoh dalam petak contoh

...

31

...

4

.

Petak pengamatan diagram profil 32

...

5

.

Peta situasi di lokasi penelitian 38

6

.

Peta lokasi penelitian di HPH PT

.

Rokan Permai Timber

...

43

7

.

Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pohon

pada komunitas hutan

...

48

8

.

Hubungan antara kerapatan pohon (%) dan kelas tinggi pohon pada

...

komunitas hutan berbeda 53

(131)

Nomor Halaman

Teks

1

.

Daftar nama jenis yang dijumpai pada areal penelitian

...

83 2

.

Kriteria penilaian kesuburan tanah (Pusat Penelitian Tanah. 1993)

. .

84

3

.

Kisaran nilai dan tingkat penilaian sifat-sifat kimia tanah hutan

...

rawa di likasi penelitian 85

4a

.

Hasi perhitungan sebaran tegakan dengan menggunakan Morishita

Index pada areal ABT 1 99 1

...

86

4b

.

Hasil perhitungan sebaran tegakan dengan menggunakan Morishita

Index pada areal hutan primer ... 87 4c

.

Hasil perhitungan sebaran tegakan dengan menggunakan Morishita

Index pada areal ABT 2000

...

88

4d

.

Hasil perhitungan sebaran tegakan dengan menggunakan Morishita

Index pada areal ABT 1996

...

89

4e

.

Hasil perhitungan sebaran tegakan dengan menggunakan Morishita

Index pada areal ABT 1998

...

90

5a

.

Diagram profil tegakan hutan bekas tebangan 1 tahun

...

91 5b

.

Diagram profil tegakan hutan bekas tebangan 3 tahun

...

92

5c

.

Diagram profil tegakan hutan bekas tebangan 5 tahun

...

93

5d

.

Diagram profil tegakan hutan bekas tebangan 10 tahun

...

94
(132)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

Indonesia. Hutan rawa gambut mempunyai karakteristik turnbuhan maupun hewan

yang khas yaitu komunitas yang mampu beradaptasi dengan lingkungan yang miskin

hara, tergenang air masam secara periodik maupun terus menerus, dan mengandung

senyawa-senyawa fen01 yang tinggi. Istomo (1992) menyatakan bahwa diantara

beberapa tipe hutan yang ada di Indonesia, hutan rawa gambut sekarang ini banyak

disoroti karena tegakannya yang khas dengan jenis pohon ramin (Gonystylus

bancanus) dan meranti rawa (Shorea teysmanniana ) sebagai primadonanya.

Kegiatan pengelolaan hutan rawa gambut selama ini menyebabkan terjadinya

deforestasi. Hal ini ditunjukkan oleh adanya kegiatan-kegiatan yang berjalan di luar

kerangka kebijakan dan acuan pengelolaan hutan rawa gambut dengan Sistem

Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Untuk itu dalam rangka

penyusunan rencana pengelolaan hutan rawa gambut diperlukan suatu sistem

pengelolaan yang benar-benar sesuai dengan kondisi ekologis yang ada. Untuk

kepentingan pengelolaan tersebut, maka diperlukan suatu informasi menyangkut

parameter-parameter ekologis dari komunitas hutan rawa gambut.

Dalam menentukan sistem pengelolaan yang tepat pada suatu tegakan, pertama

yang hams diketahui adalah karakteristik struktur tegakannya. Struktur tegakan yang

(133)

pohon atau luas bidang dasar pada berbagai ukwan diameternya. Apabila hutan

dieksploitasi akan menyisakan bagian dari struktur tegakan yang disebut dengan

tegakan sisa atau tegakan tinggal. McNaughton dan Wolf (1990) mengatakan di

dalam ekologi hutan ada beberapa ha1 mendasar yang penting untuk diketahui, salah

satu diantaranya adalah jumlah organisme atau keanekaragaman jenis organisme.

Keanekaragaman merupakan istilah yang umum dipakai untuk mendiskripsikan

jurnlah spesies yang terdapat dalam suatu komunitas. Munculnya istilah ini karena

adanya perbedaan spesies yang terdapat di dalam kelompok-kelompok komunitas.

Keanekaragaman adalah keanekaragaman jenis yang pengukurannya melalui jumlah

jenis di dalarn komunitas dan melalui kelimpahan relatif jenis tersebut. Aspek yang

terdapat di dalam keanekaragaman jenis adalah jumlah jenis yang mengarah ke

kekayaan jenis (richness) dan kelimpahan relatif yang mengarah ke kemerataan jenis

(evenness atau equitability)

Berkaitan dengan ha1 tersebut maka dalam pengelolaan hutan rawa gambut

diperlukan sistem silvikultur yang tepat untuk kelestariannya. Perlindungan terhadap

kawasan bergambut dilakukan untuk mengendalikan hidrologi wilayah yang

berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir serta melindungi ekosistem yang

khas di kawasan yang bersangkutan. Selanjutnya disebutkan pula salah satu kriteria

kawasan lindung adalah tanah bergambut dengan ketebalan tiga meter atau lebih yang

terdapat di bagian hulu sungai dan rawa.

Ciri-ciri dan struktur tanah rawa gambut berkolerasi dengan ketebalan gambut.

(134)

Pengikatan air tanah berkurang sesuai dengan perubahan struktur dan ketebalan

gambut. Komposisi dan struktur vegetasi relatif lebih sederhana dengan semakin

mendekati kubah gambut (dome). Dengan demikian perubahan ekosistem secara

drastis pada tanah rawa gambut dalam, pemulihannya memerlukan waktu yang

panjang.

Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan rawa gambut, didasarkan pada

cara dan metode pengelolaan hutan hujan tropis lahan kering, sedangkan kondisi

ekosistemnya sangat berbeda. Keadaan ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan

mengenai sifat-sifat ekologis dari hutan rawa gambut. Perkembangan pengelolaan

hutan rawa gambut tidak seimbang dengan perkembangan terhadap ekosistemnya.

Untuk mengelola hutan rawa gambut dengan baik masih diperlukan banyak

informasi. Penelitian ekologis di hutan rawa gambut memerlukan data dan informasi

tentang sifat-sifat jenis kayu komersial seperti Shorea sp., Palaquium obovatum,

Melannorhoea sp., Gonystylus bancanus dan jenis-jenis vegetasi lain masih relatif

kurang

.

Pengetahuan penyebaran jenis-jenis vegetasi belurn banyak dikenal. Preferensi

setiap jenis terhadap kondisi lingkungan sangat berguna dalam perencanaan dan

pengelolaan hutan. Di samping itu, reaksi jenis-jenis vegetasi terhadap pembatas

lingkungan yang kritis perlu mendapat perhatian.

Sewaktu disusunnya sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Tahun

1989 (semula TPI) didasarkan pada pengetahuan tentang komposisi, struktur dan

(135)

Dipterocarpaceae. Jadi penerapan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia

untuk tipe-tipe hutan lainnya, seperti hutan rawa, hutan rawa gambut dan hutan eboni

masih memerlukan penelitian sinekologi dan autekologi yang seksama (Soerianegara,

1994). Informasi sinekologi (komposisi dan struktur hutan, penyebaran suatu jenis

pohon, permudaan pohon, tumbuh dan riap pohon, fenologi pohon) dan autekologi

(syarat-syarat keadaan tempat tumbuh pohon siklus hara, mineral siklus air, hubungan

kesuburan tanah, iklim dengan produktivitas hutan) hutan rawa gambut belum banyak

terdokumentasi.

Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) 1989 berdasarkan Surat Keputusan

Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 564/Kpts/IV-BPHHl1989 dan

Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 24IKptslIV-Set11996

tentang Revisi Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia khusus untuk hutan rawa

gambut merupakan sistem silvikultur yang mengatur kegiatan penebangan dan

pembinaan hutan alam produksi. Berkaitan dengan masalah pemanfaatan tersebut,

TPTI telah membuat pedoman untuk pengelolaan hutan rawa gambut yang tidak

ditemukan pohon-pohon komersial berdiameter 50 cm ke atas dalarn jumlah yang

cukup dapat diadakan penurunan batas diameter pohon yang boleh ditebang menjadi

> 40 cm dengan rotasi tebang selama 40 tahun. Untuk menjamin keberlanjutan -

produksi pada rotasi tebang berikutnya harus dipilih 25 pohon inti per hektar untuk

jenis komersial yang berdiameter 20 - 39 cm dan tersebar merata. Mengingat

(136)

menjamin regenerasi secara alami hanya menebang 213 dari jumlah pohon yang

memenuhi syarat untuk ditebang.

Bertitik tolak pada masalah tersebut di atas salah satu aspek yang penting untuk

diteliti adalah kondisi permudaan alam dan tegakan tinggal hutan rawa gambut.

Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan penerapan sistem silvikultur TPTI ditipe

hutan tersebut, diharapkan informasi mengenai kondisi permudaan alam hutan rawa

gambut dan tegakan tinggal merupakan salah satu bahan pertimbangan untuk

memformulasikan sistem silvikultur hutan rawa gambut.

Perurnusan Masalah

Penebangan hutan akan merubah komposisi jenis dan struktur hutan berikut

habitatnya. Sejalan dengan waktu proses perubahan ini dapat mengarah kebentuk

hutan semula atau kebentuk hutan yang berbeda dengan kondisi hutan semula.

Kecenderungan proses perubahan komunitas tumbuhan tersebut dapat diduga dari

kondisi (keberadaan jenis dan kelimpahan jenis) permudaan hutan yang ada. Garis

besar dari permasalahan dalam pengelolaan suatu komunitas hutan rawa gambut

seperti Gambar 1.

Permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah : Bagaimana

kondisi permudaan dan tegakan tinggal di hutan rawa gambut primer dan hutan rawa

(137)

Kerangka Pemikiran

Kondisi tanah hutan rawa gambut merupakan faktor pembatas yang

menyebabkan tidak banyak jenis yang dapat bertahan hidup di hutan rawa gambut.

Rendahnya jumlah jenis pada hutan rawa gambut disebabkan oleh kegiatan

eksploitasi hutan. Penebangan hutan akan merubah komposisi jenis dan struktur

tegakan beserta habitatnya. Kecenderungan proses perubahan komunitas tumbuhan

tersebut dapat diduga dari kondisi (keberadaan jenis dan kelimpahan jenis)

permudaan hutan yang ada.

Untuk menjamin tersedianya tegakan dalam jurnlah yang cukup di hutan alam

rawa gambut diperlukan sistem pengelolaan yang mengacu pada Sistem Silvikultur

Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), dimana keberadaan permudaan alam

merupakan peremajaan hutan secara alami yang sangat penting dalam penyediaan

tegakan baru bagi rotasi tebang berikutnya.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji komposisi jenis dan struktur

permudaan dan tegakan tinggal di hutan rawa gambut primer dan hutan rawa gambut

bekas tebangan.

Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :

1. Memberikan masukan dalam penentuan sistem silvikultur yang tepat dalam

(138)

2. Bahan kajian dalam perumusan kebijakan penentuan kawasan lindung khususnya

di lahan rawa gambut.

3. Bahan pertimbangan dalam kegiatan regenerasi hutan, penanaman perkayaan dan pelaksanaan Hutan Tanaman Industri (HTI) di hutan rawa garnbut.

Tegakan Tinggal

[image:138.590.78.475.236.652.2]

I

D

D

Permudaan Alam
(139)

TINJAUAN PUSTAKA

Tipe-tipe Hutan Rawa Gambut

Pada akhir-akhir ini daerah gambut telah mendapat perhatian yang cukup besar,

baik dari segi perluasan lahan untuk pertanian, pemukiman maupun perkembangan

kehutanan. Gambut adalah bahan tanah yang tidak mudah lapuk, terdiri dari bahan

organik yang sebagian besar belurn terdekomposisi atau sedikit terdekomposisi serta

terakumulasi pada keadaan kelembaban yang berlebihan. Asian Wetland Bureau dan

Ditjen PHPA (1 993) dalam Koesmawadi (1996) mengemukakan bahwa hutan rawa

gambut merupakan suatu ekosistem yang unik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut ;

1) selalu tergenang air, 2) komposisi jenis pohon beraneka ragam, mulai dari tegakan

sejenis seperti jenis Calophyllum inophyllum sampai tegakan campuran, 3) terdapat

lapisan gambut pada lantai hutan, 4) mempunyai perakaran yang khas, dan 5) dapat

tumbuh pada tanah yang bersifat masam.

Ekosistem gambut menopang berbagai kehidupan plasma nutfah penting bagi

berbagai keperluan budidaya tanaman pangan, perikanan peternakan dan

pengembangan bioteknologi. Pada saat ini daerah garnbut memberikan manfaat yang

besar bagi masyarakat tradisional untuk berbagai keperluan, antara lain menjadi

daerah perburuan ikan dan berbagai margasatwa yang memberikan sumber makanan

dan sumber kehidupan yang penting bagi masyarakat (Haeruman, 1987).

Berdasarkan kandungan bahan organik, dikenal dua golongan tanah yaitu tanah

(140)

yang mengandung bahan organik berkisar antara 20%-25% bahkan kadang-kadang

90% mengandung bahan organik (Buckrnan dan Brady, 1982). Tanah gambut

merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik dengan ketebalan bahan

organik lebih dari 45 cm ataupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral pada

ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik lebih dari

50 cm (Suhardjo, 1 993).

Tanah gambut tersebut pada umumnya mengandung lebih dari 60% bahan

organik (Driessen, 1977). Tanah gambut atau tanah organik yang dimaksud dikenal

juga sebagai tanah organosol atau histosol (Suhardjo, 1993).

Bahan organik pada tanah gambut dibedakan atas tiga macam Rusmarkan et al.,

(1988) dalam Suhardjo (1993) yaitu :

1. Fibric yang tingkat dekomposisinya masih rendah, sehingga masih banyak

mengandung serabut, berat jenis sangat rendah (kurang dari 0,1), kadar air tinggi

benvarna kuning sarnpai pucat.

2. Hemic merupakan peralihan dengan tingkat dekomposisi sedang, masih tinggi

mengandung serabut dengan berat jenis antara 0,07 - 018. Kadar air banyak dan

berwarna coklat muda sampai coklat tua.

3. Sapic yang dekomposisinya paling lanjut, kurang mengandung serabut, berat

jenis 0,2 atau lebih, kadar air tidak terlalu tinggi dengan warna hitam dan coklat

kelam.

Tanah gambut di Indonesia sangat bervariasi tingkat kesuburannya. Gambut

(141)

tergolong ke dalam eutropik atau mesogenous, karena memperoleh tambahan unsur

lain dari luar yaitu yang dibawa oleh air pasang.

Sedangkan gambut pedalaman pada umumnya merupakan gambut

ombrogenous atau mesogenous yang termasuk kedalam oligotropik (Polak, 1975).

Risalah Hutan Rawa Gambut

Hutan rawa gambut merupakan tipe hutan formasi klimatis (climatic

formation). Faktor iklim yang mempengaruhi pembentukan vegetasi adalah

temperatur, kelembaban, intensitas cahaya dan angin. Hutan rawa gambut terdapat

pada daerah-daerah bertipe iklim A dan B dan tanah organosol dengan lapisan gambut setebal 50 cm atau lebih. Pada umumnya terletak diantara hutan rawa dengan

hutan hujan (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Menurut Soerianegara (1994)

hutan ini tumbuh di atas tanah gambut yang tebalnya berkisar 1 - 20 meter dan

digenangi air gambut yang berasal dari air hujar, (miskin hara oligotropik) dengan

jenis tanah organosol.

Di Indonesia tipe hutan rawa gambut ini terdapat di dekat pantai timur

Sumatera dan merupakan jalur panjang dari utara ke selatan sejajar dengan pantai

timur. Di Kalimantan mulai dari bagian utara Kalimantan Barat sejajar pantai

memanjang ke selatan dan ke timur sepanjang pantai selatan sampai bagian hilir

barito. Disamping itu terdapat pula hutan rawa gambut yang luas di bagian selatan

Irian jaya. Tegakan hutan rawa gambut ini selalu hijau dan mempunyai beberapa

(142)

Alstonia spp, Eugenea spp, Cratoxylon arborescens, Tetramerista glabra, Diospyros

spp dan Myristica spp.

Jenis-jenis pohon terpenting yang terdapat pada formasi hutan rawa gambut

adalah : Campnosperma sp, Alstonia sp, Cratoxylon arborescens, Jackia ornata,

Payena sp, Gonystylus bancanus, Dactylocladus stenostachys, Tristania maingayi

dan Palaquium alternifolium (Soerianegara, 1994).

Pada hutan rawa gambut umumnya ada tiga lapisan tajuk (Wiraatmojo, 1975).

Lapisan tajuk teratas dibentuk oleh jenis-jenis ramin (Gonystylus bancanus), mentibu

Dactylocladus stenostachys). Nyatoh (Palaquium spp), durian hutan (Durio sp),

kempas (Kompassia malaccensis) dan jenis-jenis lain pada umumnya kurang dikenal.

Lapisan tajuk tengah pada umumnya dibentuk oleh jenis-jenis jambu (Eugenia

spp), pelawan (Tristania spp), medang (Litsea spp), kemuning (Xantophylum spp),

mendarah (Myristica spp) dan kayu malam (Diospyros spp). Sedangkan lapisan tajuk

terbawah terdiri dari jenis Xilopia malayana, an&-anakan pohon dan semak dari

jenis Crunis spp, Pandanus spp, Salaca spp dan tumbuhan bawah lainnya. Tumbuhan

merambat diantaranya Uncaria spp.

Komposisi dan Struktur Vegetasi Hutan Rawa Gambut 1. Komposisi

Penyebaran hutan rawa gambut di Indonesia terdapat di daerah Riau, Jambi,

Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,

(143)

Beberapa daerah di Sumatera misalnya, dapat dijurnpai zone-zone mulai dari

pinggir ke arah pusat gambut yaitu :

1. Hutan merapung

2. Hutan pada gambut tipis (ketebalan gambut kurang dari 0.5 meter)

3. Hutan pada gambut tebal, terdiri dari sub zone-zone berikut :

Hutan dengan tumbuhan bawah yang lebat, terutama jenis palma

(Licuala spinosa, Zalacca sp, serta beberapa jenis rotan)

Hutan lebat

High forest dengan pohon berbatang kecil bercampur dengan pohon-

pohon yang pertumbuhannya kerdil.

Hutan cebollhutan tianglpadang nunput, didominasi oleh Tristania

maingayi, di pusat gambut dimana lapisan gambut paling tebal Tristania obovata dan

Ploiarium alternifolium lebih dominan. Di sini terdapat Nepenthes ampullaria

sebagai liana (Istorno, 1992)

Kekayaan jenis pohon berdiameter lebih dari 15 cm di dalam hutan rawa

gambut yang terdapat di Kalimantan rata-rata 45 jenis per 0.5 ha (MacKinnon et al.,

1996), sedangkan jumlah jenis untuk seluruh Indonesia rata-rata 39 jenis per 0.5 ha.

2. Struktur Vegetasi

Pengertian struktur vegetasi dapat berlainan tergantung kepada tujuan

penggunaan istilah tersebut. Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) menyatakan

(144)

membentuk suatu tegakan dengan elemen-elemen primer seperti bentuk hidup,

stratifikasi dan penutupan tajuk. Struktur tegakan dapat ditinjau dari dua arah yaitu :

struktur tegakan vertikal dan horizontal (Ibie, 1997). Struktur tegakan vertikal oleh

Richard (1964) dinyatakan sebagai sebaran jumlah pohon dalam berbagai lapisan

tajuk. Sedangkan Husch et al. (1982) menyatakan bahwa struktur tegakan horizontal

merupakan istilah untuk menggambarkan sebaran jenis pohon dengan dimensinya,

yaitu diameter pohon dalam suatu kawasan hutan.

Struktur tegakan hutan biasanya digambarkan melalui diagram profil. Diagram

ini merupakan suatu sketsa dari semua pohon yang berada pada areal yang memiliki

ukuran lebar 7,5 m dan panjang 60 meter. Untuk gambaran vertikal pohon, umumnya

pohon-pohon dengan tinggi > 4,5 m atau 6 m yang relatif dimuat dalam gambaran.

Dengan demikian lebih diutamakan atau terbatas pada pohon-pohon yang berada

pada fase dewasa (Whitmore, 1986).

Daniel et al. (1987) dalam Ibie (1997) mengemukakan bahwa struktur tegakan

menunjukan sebaran dan atau kelas diameter dan kelas tajuk. Pada hutan tidak

seumur sering mempunyai karakteristik distribusi semua diameter yang diasumsikan

dimiliki oleh tegakan semua urnur. Hutan hujan tropis merupakan suatu tipe dari

tegakan tidak seumur yang mana distribusi kelas diameternya sesuai dengan bentuk

"J"

terbalik.

Oliver dan Larson (1990), menjelaskan bahwa struktur tegakan adalah sebaran

sementara dan sebaran fisik pohon-pohon dalam suatu tegakan. Sebarannya dapat

(145)

(3) besarnya pohon atau bagian pohon yang mencakup volume tajuk, luas daun, dan

lain-lain, (4) umur pohon, (5) kombinasi dari kondisi-kondisi yang telah disebutkan

sebelumnya.

Pengetahuan menyangkut struktur tegakan ini dapat memberikan informasi

mengenai dinamika populasi suatu jenis atau kelompok jenis mulai dari tingkat

semai, pancang, tiang dan pohon (Marsono dan Sastrosumarto, 198 1).

Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan struktur tegakan adalah lebih

mengarah ke struktur tegakan horisontal, yakni menyangkut nilai luas bidang dasar,

frekuensi dan kerapatan pohon.

Penyebaran Pohon dan Tempat Tumbuh

Penyebaran permudaan baik pada tingkat semai, pancang, maupun tingkat tiang

berbagai jenis pohon tergantung pada jenis individu pada fase pohon tersebut

beradaptasi dengan lingkungannya.

Permudaan alam adalah pengadaan tegakan baru dalam peremajaan hutan

secara alami, tanpa dilakukan campur tangan manusia. Permudaan alam terdiri dari

(Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, 1993) :

(1) Permudaan tingkat semai adalah permudaan yang tingginya 0,3 meter sampai 1,5

meter.

(2) Permudaan tingkat pancang adalah perrnudaan yang berukuran tinggi lebih dari

1,5 meter dengan diameter kurang dari 10 cm.

(146)

Proses permudaan alam pada hutan yang masih utuh belum banyak diteliti,

berbagai jenis pohon masing-masing memerlukan keadaan lingkungan yang berbeda

(Manan, 1 978).

Berbagai masalah pelaksanaan regenerasi alam hutan tropika basah (Richard,

1964) antara lain :

(1) Umur rata-rata berbagai jenis pohon dalam berbagai lapisan (strata) hutan

sebelum mati secara alami.

(2) Struktur dan penyebaran kelas umur jenis pohon yang berkuasa (domhan).

(3) Riap pertumbuhan pohon tersebut pada berbagai stadia atau fase mulai dari semai, pancang, tiang, pohon muda dan pohon tua.

(4) Kematian alami yang terbesar pada

umur

tertentu yang disebabkan persaingan

tumbuh.

(5) Kemungkinan terjadinya perubahan susunan jenis pohon di hutan tropika basah. Pertumbuhan dan perkembangan perrnudaan pada dasarnya berbeda dari satu

tempat ke tempat lainnya, sesuai dengan karakteristik dan tingkat keberadaan tegakan

hutan. Proses permudaan tersebut berlangsung secara alami. Permudaan alam

merupakan salah satu aspek ekologi hutan yang cukup besar peranannya terhadap

pembentukan struktur tegakan hutan, karena akan menentukan tingkat pertumbuhan

dan perkembangan tegakannya sesuai dengan perubahan dimensi ruang dan waktu

pada komunitas atau vegetasi hutan yang bersangkutan (Whitmore, 1975).

Untuk menjamin tersedianya tegakan dalam jumlah dan kualitas pada hutan

(147)

(TPTI). Keberadaan perrnudaan alam merupakan peremajaan hutan secara alami yang sangat penting dalam penyediaan tegakan baru bagi rotasi tebang berikutnya.

Permudaan dianggap cukup apabila memenuhi persyaratan (Wyatt dan Smith,

1963) sebagai berikut :

(a) Terdapat paling sedikit 40% cadangan permudaan semai jenis komersial atau 400 petak

ukur

per 0,4 ha.

(b) Terdapat paling sedikit 60% cadangan permudaan pancang jenis komersial atau

96 petak ukur per 0,4 ha.

(c) Terdapat paling sedikit 75% cadangan perrnudaan tiang jenis komersial atau 30

petak ukur per 0,4 ha.

Suatu jenis tumbuhan dalam hubungannya dengan keadaan lingkungan dari suatu

ekosistem akan membentuk sistem m s i tertentu (Poole, 1974).

Pola penyebaran vegetasi termasuk salah satu aspek yang penting dari ekologi

dan merupakan sifat dasar dari suatu oraganisme. Bentuk sebaran organisme

mengikuti 3 pola yaitu pola acak (random), berkelompok (agregat) dan teratur

(uniform). Pola penyebaran secara acak disebabkan oleh keseragaman faktor

lingkungan dan atau pola tingka. laku yang tidak selektif, sedangkan penyebaran

tidak acak disebabkan oleh pembatas &&tor-faktor lmgkungan (Ludwig& Reynold,

1988).

Dengan demikian tumbuhan mempunyai toleransi yang sangat nyata dengan ha1

tempat tumbuh dalam hal penyebaran jenis, kerapatan dan dominasinya. Jenis

(148)

terhadap pengaruh faktor lingkungan yang ada pada habitatnya (Soerianegara dan

Indrawan, 1984). Dominasi sesuatu j enis terhadap j enis-j enis lain di dalam tegakan

dapat dinyatakan berdasarkan besaran (Soerianegara, 1994) sebagai berikut :

(a) Banyaknya individu dan kerapatan

(b) Persen penutup tajuk dan luas bidang dasar (basal area)

(c) Volume iomassa ( 4 B'

(e) Index nilai penting (importance value index)

Setiap individu tersebut mempunyai toleransi yang berbeda dalam beradaptasi

dengan lingkungan dan masing-masing individu tersebut mempunyai kondisi

lingkungan tertentu, dimana agar dapat tumbuh optimal. Oleh karena itu pada

urnumnya penyebaran jenis tumbuhan akan berbeda terutama dalam kehadiran dan

ha1 kelimpahan.

Jenis dominan merupakan jenis yang mempunyai indeks nilai penting tertinggi

di dalam lingkungan yang ditempati. Nilai indeks penting relatif tersebut merupakan

suatu pendekatan nilai penguasaan ekologis suatu jenis terhadap lingkungan

komunitasnya. Besarnya nilai tersebut dapat berdasarkan satu atau lebih dari nilai-

nilai fiekuensi kerapatan, luas bidang dasar batang ataupun luas penutupan tajuknya

(Whittaker, 1975).

Menurut Ludwig dan Reynold (1988) faktor-faktor yang mempengaruhi

penyebaran organisme antara lain ; 1) Vectorial factor, 2) Reproductive factor,

(149)

vectorial factor yaitu faktor-faktor lingkungan, reproductive factor seperti regenerasi

dan coactive factor misal persaingan adalah merupakan faktor-faktor yang banyak

mempengaruhi penyebaran vegetasi. Selain itu Leigh (1 982) memperkenalkan teori

penyebaran pohon sebagai berikut :

>

Suatu jenis dapat tumbuh dan berkembang disuatu daerah karena telah melalui

persaingan.

P

Suatu jenis dapat tumbuh karena jenis yang berbeda menempati habitat yang

berbeda.

>

Suatu jenis dapat berkembang karena perbedaan tanggapan setiap jenis terhadap

pembukaan tajuk.

P

Suatu jenis dapat tumbuh dan berkembang karena terjadi perbedaan tanggapan

dari faktor-faktor reproduksi pohon terhadap perubahan lingkungan.

Menurut Soerianegara dan Indrawan (1984), perbedaan jenis tanah, sifat-sifat

serta keadaannya seringkali mempengaruhi penyebaran tumbuh-tumbuhan,

menyebabkan terjadinya vegetasi yang berlainan serta mempengaruhi kesuburan dan

produktivitas hutan. Sementara itu Loucks et al. (1981) mengidentifikasi faktor yang

mempengaruhi komposisi vegetasi yaitu : 1) status hara dan kadar air tanah, dan 2)

dinamika vegetasi.

Uraian lebih spesifik mengenai hubungan antara tanah rawa garnbut dengan

vegetasinya dikemukakan Driessen dan Rochimah (1976) dan Brooks (1988) yaitu

perbedaan jenis gambut (ombrogenous dan topogenous) menyebabkan terjadinya

(150)

sifat-sifat fisik rawa gambut dan merupakan petunjuk penting dalam penilaian tanah

rawa gambut.

Wyatt-Smith (1963) menggambarkan perbedaan komposisi dan struktw hutan

rawa gambut dibandingkan hutan dataran rendah lainnya sebagai berikut :

1. Hanya sedikit pohon besar dan bernilai ekonomi.

2. Jumlah jenis terbatas, terutama dilihat dari sudut pohon yang bernilai ekonomi.

3. Jumlah pohon besarha sedikit

4. Pada umumnya bentuk tajuk hutan rawa gambut lebih rendah, lebih kecil dan

lebih seragam

5. Banyak tedapat permudaan pancang dan tiang tetapi lebih sedikit pohon

berdiameter besar yang bernilai ekonomi.

Model hubungan antara pola penyebaran jenis pohon dan faktor lingkungannya

banyak tergantung dari peubah yang diamati. Menwut Loucks et a1 , (1981), model

hubungan antara dominasi pohon dengan kondisi tanah dan faktor lingkungan

berbeda-beda. Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara pola penyebaran hutan

rawa gambut terhadap perbedaan kondisi tanah rawa gambut dapat dilakukan dengan

menggunakan pendekatan model regresi.

Dominasi dan Struktur Pohon

Richards (1964) dan Muller Dombois dan Ellenberg (1974) dalarn Ibie (1997)

(151)

hutan. Kekayaan floristik hutan tropika sangat erat kaitannya dengan kondisi

lingkungan seperti iklim, tanah dan cahaya, dimana faktor tersebut membentuk suatu

tegakan yang klimaks. Lebih lanjut dikatakan bahwa sebagian besar hutan hujan

tropika mempunyai komposisi jenis campuran, walaupun tidak selalu demikian dan

diduga dalam bentuk assosiasi dan konsosiasi. Soerianegara dan Indrawan (1984)

menambahkan bahwa komposisi jenis dibedakan antara populasi (satu jenis) dan

komunitas (beberapa jenis).

Struktur permudaan, baik struktur vertikal maupun struktur horizontal (profil

dan komposisi jenis) merupakan salah satu karakteristik dari permudaan pohon pada

suatu komoditas hutan. Perubahan dan perkembangan struktur tersebut dapat

menggambarkan keadaan atau kondisi permudaan hutan yang bersangkutan. Struktur

vegetasi meliputi tiga aspek (Kersaw, 1964) yaitu struktur vertikal (yaitu stratifikasi

kedalam lapisan-lapisan tajuk), struktur horizontal (yaitu distribusi ruang areal

populasi dan individu-individu) dan kelimpahan (yaitu kelimpahan masing-masing

jenis dalam komunitas). Lebih lanjut Kersaw (1964) mengatakan berdasarkan

tingkatannya membagi struktur vegetasi menjadi lima aspek yaitu : fisiognomi

vegetasi, struktur biomassa, struktur bentuk hidup, struktur floristik dan struktur

tegakan. Kelima tingkatan tersebut tergabung ke dalam satu susunan yang bertingkat,

dalam ha1 ini tingkat pertama termasuk ke dalam tingkat kedua, tingkat kedua ke

dalam tingkat ketiga dan seterusnya. Jadi kelima konsep struktur vegetasi tersebut

hanya menggambarkan perbedaan tingkatan secara m u m , dengan tingkat pertama

(152)

Studi profil arsitektur (stratifikasi) merupakan salah satu metode deskripsi dan

analisis yang digunakan untuk ekosistem hutan di daerah tropis (Michon, 1993).

Dalam profil arsitektur komunitas tumbuhan akan terlihat adanya keragaman

arsitektur yang tinggi. Keragaman tersebut terjadi karena tipe-tipe habitus yang

berbeda-beda seperti adanya pohon semak belukar, rurnput atau tumbuhan lain yang

membentuk lapisan.

Pohon-pohon yang terdapat di dalam suatu komunitas hutan alam tropika

berdasarkan kenampakan arsitektur, ukuran pohon dan keadaan biologi, dibedakan

menjadi tiga golongan (Halle, et a1 1978), yaitu :

(1) Pohon masa mendatang (tree of the future), yaitu pohon-pohon yang mempunyai

kemarnpuan untuk berkembang lebih lanjut atau pada masa mendatang. Pohon

tersebut pada saat ini merupakan pohon kodominan dan diharapkan pada masa

mendatang akan menggantikan pohon-pohon yang saat ini dominan.

(2) Pohon masa kini (tree ofpresent ), yaitu pohon-pohon yang sedang berkembang

penuh dan merupakan pohon yang dominadmenentukan dalam stratifikasi saat

ini.

(3) Pohon masa lampau (tree of past), yaitu pohon-pohon yang sudah tua dan mulai

mengalami kerusakan yang selanjutnya akan mati.

Menurut Muller Dombois dan Ellenberg (1974), tipe asosiasi suatu unit

vegetasi tersusun dari sejumlah jenis tertentu dari semua jenis yang dijumpai. Tipe

(153)

hutan yang dicirikan oleh kesamaan fisiognomi, struktur ekologi dan komposisi jenis

vegetasi.

Menurut Sugden (1983), untuk mengetahui komposisi jenis disuatu daerah,

maka perlu mengetahui sifat-sifat suatu jenis seperti penyebaran, fisiologi dan bentuk

reproduksi. Selanjutnya dikemukakan bahwa komposisi jenis komunitas hutan sangat

beragam tetapi setiap jenis dalam suatu habitat mempunyai sifat-sifat yang hampir

sama.

Pengetahuan komposisi jenis dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam

pengelolaan hutan. Samingan (1976) menjelaskan dalam rangka pemanfaatan hutan

perlu mengetahui komposisi jenis pada tingkat pancang, tiang dan pohon. Selain itu,

Soerianegara dan Indrawan (1984) mengemukakan pentingnya mengetahui

komposisi. Dikatakan komposisi hutan alam merupakan salah satu aspek ekologi

yang penting bagi pengetahuan pengelolaan hutan. Struktur vegetasi adalah

menyangkut susunan bentuk (life form) dari suatu vegetasi yang merupakan

karakteristik vegetasi yang kompleks, dapat digunakan dalam penentuan stratifikasi

(vertikal dan horisontal) dan menjadi dasar dalam melihat jenis-jenis dominan,

kodominan dan tertekan (Richards, 1966).

Kershaw (1964) dalam Muller Dombois dan Ellenberg (1974) membagi

komponen struktur vegetasi dalam 3 komponen : 1) struktur vertikal yaitu strtifikasi

ke dalam lapisan, 2) struktur horisontal yaitu penyebaran populasi dan individu, dan

(154)

Smith (1980) membagi struktur komunitas dalam 3 komponen yaitu : 1) struktur fisik

yaitu struktur vertikal, horisontal dan ekotone, 2) komposisi jenis dan 3) niche.

Interaksi dalam suatu komunitas tercerrnin dari struktur dan komposisi vegetasi.

Stratifikasi yang terjadi dalam suatu tumbuh-tumbuhan di hutan terjadi karena adanya

persaingan dimana jenis-jenis tertentu berkuasa (dominan) dari jenis vegetasi lain,

pohon-pohon tinggi dalam lapisan paling atas menguasai pohon-pohon yang di

bawahnya (Soerianegara dan Indrawan, 1984).

Dominasi suatu jenis ditentukan oleh indeks nilai pentingnya. Jenis vegetasi

yang dominan adalah yang paling tinggi indeks nilai pentingnya. Menurut Muller

Domboisan dan Ellenberg (1974), indeks nilai penting adalah jumlah dari frekuensi

relatif, dominasi relatif dan kerapatan relatif.

Kegunaan mengetahui struktur baik struktur vertikal maupun struktur horisontal

oleh para ahli dilihat dari berbagai aspek. Menurur Clutter dan Bennet (1965),

struktur tegakan secara horisontal sangat berguna sebagai dasar : 1) penaksiran

volume kayu per satuan luas, 2) penentuan jarak tanam, dan 3) penilaian biaya

pemungutan hasil hutan, Soerianegara dan Indrawan (1984), menambahkan struktur

vegetasi hutan alam merupakan salah satu aspek ekologi yang penting bagi

pengetahuan pengelolaan hutan. Sedangkan struktur vertikal (stratifikasi vertikal)

sangat berguna berkaitan dengan kebutuhan cahaya yaitu toleransi suatu jenis

(155)

Soerianegara dan Indrawan (1984) membagi strafifikasi tajuk dalam hutan

hujan tropika ke dalam 5 lapisan sebagi berikut :

1. Lapisan A ; lapisan teratas, ditandai oleh tajuk yang terputus, biasanya tinggi

pohon 30 m ke atas.

2. Lapisan B ; secara urnum tajuknya tidak terputus, tinggi pohon antara 20

-

30

meter.

3. Lapisan C ; tajuknya tidak terputus, tinggi pohon antara 4

-

20 m.

4. Lapisan D ; lapisan perdu dan semak, tingginya 1

-

4 m.

5. Lapisan E ; lapisan tumbuh-tumbuhan penutup tanah, tinggi kurang dari 1 m.

Menurut Muller Dombois dan Ellenberg (1974) dan Richards (1983), diagram profil

hutan adalah salah satu cara untuk menggambarkan struktur vertikal dan horisontal,

tetapi diagram profil hanya bersifat kualitatif dan sulit menentukan lokasi yang

mewakili komunitas hutan.

Dalarn pembuatan diagram profil, peubah yang diukw adalah tinggi pohon

total, tinggi pohon bebas cabang, diameter pohon dan proyeksi tajuk (Torquebiau,

1982). Ditambahkan oleh Oldeman (1983) untuk mempelajari arsitektur pohon

dengan cara pembuatan diagram profil diperlukan data sebagai berikut : 1) unit

regenerasi (eco

-

unit), 2) perkembangan mosaik (a chrana-unit), dan 3) mosaik
(156)

Pola Sebaran Spasial

Pola sebaran spasial tanaman maupun satwa merupakan karakter penting dalam

komunitas ekologi hutan rawa gambut. Hal ini biasanya merupakan kegiatan awal

yang dilakukan untuk meneliti suatu komunitas dan merupakan ha1 yang sangat

mendasar dari kehidupan suatu organisme (Cornel, 1963 dalam Ludwig & Reynold,

1988). Pola sebaran spasial ini merupakan aspek penting dalam struktur populasi

dan terbentuk oleh faktor intrinsik spesies dan kondisi habitatnya (Iwao, 1970).

Hutchinson (1953) dalam Ludwig dan Reynold (1988) menyebutkan faktor-

faktor yang mempengaruhi pola sebaran spasial, yaitu :

a. Faktor vektorial, yaitu faktor yang dihasilkan dari aksi lingkungan

(misalnya angin, intensitas cahaya, dan air)

b. Faktor reproduksi, yaitu bagaimana cara organisme tersebut bereproduksi

c. Faktor co-aktif, yaitu faktor yang dihasilkan dari intraspesifik (misalnya

kompetisi)

d. Faktor stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari variasi acak pada

beberapa faktor di atas.

Terdapat tiga pola dasar sebaran spesies yaitu : (1) acak atau random , (2)

mengelompok atau clump, (3) seragam atau uniform (Odum, 1959 ; Ludwig &

Reynold, 1988 ; McNaughton & Wolf, 1990). Pola acak terbentuk sebagai akibat

dari lingkungan yang homogen (Odurn, 1973 ; Ludwig & Reynold, 1988) atau

perilaku yang non selektif (Ludwig & Reynold, 1988 ; McNaughton & Wolf, 1990).

(157)

terdapatnya suatu faktor pembatas pada populasi yang ada (Ludwig & Reynold,

1988). Bila sebaran tersebut mengelompok, berarti keberadaan suatu individu pada

suatu titik meningkatkan peluang adanya individu yang sama pada suatu titik yang

lain di dekatnya. Sedangkan sebaran populasi seragam merupakan kejadian yang

berlawanan seperti apa yang terjadi pada sebaran mengelompok.

Sebaran suatu spesies dikontrol oleh faktor lingkungannya terutama berlaku

bagi organisme yang mempunyai kisaran kemarnpuan adaptasi yang sempit

(Bartholomew 1958 dalam Krebs, 1978). Selanjutnya Krebs (1 978) menyatakan

bahwa hewan atau tumbuhan dalam fase awal kehidupannya sering mempunyai

kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan. Faktor-faktor yang membatasi distribusi

antara lain tingkah laku, suhu, hubungan timbal balik dengan organisme lain,

kelembaban serta faktor fisik dan kimia lainnya.

Pola spasial yang didapat dari hutan hujan tropis merupakan kunci penting

untuk memahami keberadaan dan kelimpahan jenis-jenis pohon (Niyama et al.,

1999). Manokaran et al. (1 992) dalam Ibie (1 997) mengungkapkan berdasarkan

penelitian mengenai pola spasial spesies pohon di Hutan Cadangan Pasoh Peninsular

Malaysia, bahwa sebaran spasial yang terjadi pada spesies pohon tergantung pada

tofografi, kelembaban tanah, posisi pohon induk, dan celah kanopi.

Celah KanopiJRumpang

Celah kanopi (rurnpang atau gap) merupakan kejadian alam yang umum

(158)

patarebahnya batang atau dahan pohon oleh barbagai faktor seperti mati karena

usia, angin, tanah longsor, gempa bumi, penebangan pohon dan sebagainya

(Hartshorn, 1 986).

Selanjutnya Whitmore (1986) mengungkapkan bahwa disamping diakibatkan

oleh faktor angin, badai dan kilat, serangan binatang seperti serangga dan jamur dapat

menyebabkan kematian pohon besar secara perlahan dan menciptakan adanya celah.

SeIain terbentuknya celah rebahnya pohon-pohon besar akan menghasilkan pula

gundukan atau lubang pada tanah setinggi 1

-

2 meter akibat terbongkarnya tanah

oleh akar-akar pohon yang rebah. Terbentuknya celah merupakan titik kritis bagi

perrnudaan dan perkembangan dari banyak jenis pohon penyusun tajuk hutan di hutan

rawa gambut (Hartshorn, 1 986 ; Whitmore, 1 986).

Terbentuknya celah mengakibatkan pengurangan kompetisi akar dan perubahan

iklim mikro seperti peningkatan kualitas dan kuantitas cahaya, peningkatan

temperatur dan menurunnya kelembaban (Hartshorn, 1986 ; Whitmore, 1986). Celah

juga dapat meningkatkan kandungan hara dengan membusuknya tanaman yang mati,

mengurangi kompetisi akar, serta terkadang merubah relief mikro dan profil tanah

(Whitmore, 1986). Hal lain yang penting adalah dengan terbentuknya celah berarti

berkurang atau hilangnya pengendalian oleh jenis dominan terhadap anakan pohon

yang ada di bawahnya.

Keberadaan dan pertumbuhan dari berbagai spesies pohon sangat berkaitan erat

(159)

semai. Ketahanan dan keberadaan pohon pada tingkat semai adalah lebih besar pada

celah dibandingkan kanopi tertutup (Gray dan Spies, 1996).

Permudaan dalam celah adalah suatu mekanisme penting dalam memelihara

populasi dan komunitas dalam hutan rawa gambut. Karakteristik celah berupa ukuran

dan kepadatan celah kanopi sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan

permudaan (Yamamato, 1995). Ukuran celah juga dapat mempengaruhi jenis mana

yang dapat mengkolonisasi suatu celah (Hartshorn, 1986). Keadaan menyangkut

celah kanopi seperti dijelaskan di atas berperan menciptakan suatu mekanisme

suksesi dan kompetisi jenis secara lokal serta menghasilkan dinamika pada

komposisi dan struktur komunitas tegakan hutan ( Hartshorn, 1986).

Berbagai spesies akan berbeda keberhasilannya dalam celah dari berbagai

ukuran, karenanya ukuran celah merupakan suatu ha1 penting yang berpengaruh

terhadap komposisi jenis dan pola spasial dalam hutan (Whitmore, 1986). Pendapat

yang mendukung pernyataan bahwa celah kanopi dapat memberikan

pengaruh terhadap pola sebaran spasial jenis pohon dikemukakan oleh

Armesto et al., (1986) dalam Yamamato (1995) yang mengemukakan bahwa

kerusakan dalam skala besar (seperti kebakaran, gempa, aliran vulkanik dan badai)

meningkatkan proporsi spesies tersebar secara random, sedangkan celah yang

diakibatkan pohon turnbang meningkatkan proporsi jenis pohon yang menyebar

(160)

METODOLOGI PENELlTlAN

Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilakukan di hutan rawa gambut primer dan bekas tebangan di

PT. Rokan Permai Timber, BKPH Duri, Kabupaten Dati II Bengkalis, Propinsi Riau.

Survey lapangan dalam penelitian ini diselesaikan selama 3 (tiga) bulan yaitu

dari bulan Mei sampai dengan Juli 2001.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan utama penelitian ini adalah hutan rawa gambut primer (belum

dieksploitasi) dan hutan rawa gambut bekas tebangan, 1 tahun, 3 tahun, 5

tahun, danlO tahun.

Peralatan dan bahan aus yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur

diameter (phi-band), alat ukur tinggi (haga hypsometer), alat ukur jarak 50 meter,

alat ukur arah (kompas), tub solar radiasi, soil pH meter, water pH meter, hand

counter, peta kerja, peta vegetasi, peta iklim, dan peta lainnya, tally sheet

inventarisasi dan alkohol70%, kamera, serta galah pengukur kedalaman gambut.

Prosedur Penelitian

Komposisi Jenis dan Struktur Permudaan

Untuk mengetahui komposisi jenis dan struktur permudaan dilakukan analisis

(161)

menurut tingkat pertumbuhan vegetasi pada masing-masing komunitas hutan (hutan

primer, areal bekas tebangan 1 tahun, 3 tahun, 5 tahun, dan 10 tahun.

Besarnya ukuran petak contoh yang dibuat di lapangan untuk semua

komunitas hutan yang diteliti adalah 80 m x 80 m (0,64 ha) dan setiap komunitas

hutan dibuat 3 petak contoh (3 ulangan). Seandainya pada ukuran petak contoh 80

m x 80 m terdapat penambahan jenis 2 5% maka ukuran petak contoh dapat ditambah menjadi 80 m x 160 m. Jadi jumlah petak contoh pengamatan untuk

semua komunitas hutan berjumlah 15 petak contoh.

Penempatan petak contoh ditentukan secara stratified random sampling

berdasarkan kondisi hutan (primer dan bekas tebangan). Analisis vegetasi dilakukan

dengan metode jalur atau transek. Pada setiap petak contoh dibuat sub petak-sub

petak yang bervariasi ukurannya berdasarkan tingkat pertumbuhan vegetasi.

Pembuatan sub petak tersebut dilakukan secara nested sampling, dimana sub petak

yang berukuran lebih besar mengandung sub petak yang berukuran lebih kecil.

Ukuran petak ukur tersebut adalah 2 m x 2 m untuk tingkat semai, 5 m x 5 m untuk

tingkat pancang dan 10 m x 10 m untuk tingkat tiang dan 20 m x 20 m untuk tingkat

pohon. Disain petak contoh vegetasi di lapangan dapat dilihat pada Gambar 2 dan

(162)
[image:162.590.75.452.89.623.2]

-

8 0 m

-

Gambar 2. Disain petak contoh di lapangan

Keterangan : a = Sub Petak Tingkat Semai (2 m x 2 m) b = Sub Petak Tingkat pancang (5 m x 5 m)

c = Sub Petak Tingkat Tiang (10 m x 10 m)

d = Sub Petak Tingkat Pohon (20 m x 20 m)

Gambar 3. Disain sub petak contoh-sub petak contoh dalam petak contoh. Arah rintis 20 m

d

b

C

Kriteria tingkat pertumbuhan permudaan yang dipergunakan adalah

berdasarkan TPTl (1 993) yaitu :

C

b a

d

(163)

Permudaan tingkat semai ialah permudaan dengan ukuran tinggi 0,3 m

-

1,5 m.

Permudaan tingkat pancang ialah permudaan yang berukuran lebih tinggi dari

1,5 m dengan diameter kurang dari 10 cm.

Permudaan tingkat tiang ialah pohon muda yang berdiameter 10 cm

-

19 cm.

Permudaan tingkat pohon ialah tumbuhan berkayu berdiameter 20 cm ke atas.

Selanjutnya parameter vegetasi yang diukur adalah :

Jenis, jumlah dan tinggi untuk tingkat semai

Jenis, jumlah, diameter, dan tinggi untuk tingkat pancang serta tiang.

Struktur vertikal dari hutan primer dan hutan bekas tebangan diamati dengan

membuat diagram profil mengikuti cara yang dikembangkan Torqueibiau (1982)

yaitu dengan membuat plot contoh 20 m x 40 m seperti pada gambar 3.. Penetapan

plot contoh diusahakan mewakili kondisi vegetasi yang diamati. Untuk pembuatan

peta pohon, pengukuran koordinat pohon dilakukan pada tiap-tiap petak contoh,

untuk pohon berdiameter 20 cm ke atas.

Gambar 3. Petak pengamatan diagram profil.

Keterangan :

* = Posisi pohon

x = Koordinat posisi pohon sumbu x y = Koordinat posisi pohon sumbu y

[image:163.595.156.411.459.608.2]
(164)

Tanah

Tabel 1. Kriteria penilaian tingkat kesuburan tanah gambut (Wiradinata dan Hardjosoesastro, 1979)

Untuk mengetahui sifat dan kimia tanah, maka dilakukan pengukuran

kedalaman gambut pada setiap sub plot atau petak ukur analisa vegetasi dengan

menggunakan galah ukur seperti berikut ini :

Pengambilan contoh uji dengan menggunakan bor gambut pada setiap sub plot

tersebut.

Pengelompokan kedalaman gambut dari kedalaman yang sama, kemudian diambil

sampel untuk dianalisis sifat kimia tanahnya yaitu : pH tanah, pH air, Kandungan

C organik, N, P, K, Ca, Mg, Na, Al, dan kadar abu di Laboratorium Tanah

Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.

Untuk mengetahui pH air tanah diukur secara langsung pada setiap sub plot

dengan menggunakan (water pH meter) dan alat ukur pH tanah (soil pH meter).

Uraian

PH (H20) N-total (%)

P-tersedia (ppm) K-tersedia (me1100 g)

Analisis data

Komposisi Jenis, Struktur Tegakan dan Tegakan Tinggal

Untuk mengetahui komposisi jenis vegetasi digunakan rumus sebagai berikut

Cox (1 972) :

Kriteria Penilaian Rendah

< 4

< 0,2

< 20

< 0,39

Sedang 4,O - 5,O 0,2 - 0,5 20 - 40 0,39 - 0,78

Tinggi

> 5,O

> 0,5

> 40

[image:164.590.94.518.173.249.2]
(165)

Banyaknya individu suatu jenis Kerapatan (K)

-

-

Luas contoh

Kerapatan mutlak suatu jenis

Kerapatan relatif (KR) = x 100%

Kerapatan total seluruh jenis

Jumlah petak contoh ditemukan suatu jenis Frekuensi (F)

-

-

Jumlah seluruh petak contoh

Frekuensi mutlak suatu jenis

Frekuensi relatif (FR) = x 100%

Luas contoh

Jumalah luas bidang dasar suatu jenis Dominasi (D)

-

-

Luas contoh

Dominasi mutlak suatu jenis

Dominasi relatif (DR) = x 100%

Dominasi total seluruh jenis

lndeks Nilai Penting

=

Kerapatan Relatif + Frekuensi Relatif

+

Dominasi Relatif

Untuk tingkat pancang dan semai, indeks nilai penting adalah penjumlahan dari nilai

kerapatan relatif dan frekwensi relatif.

1. Penyebaran lndividu dalam Ruangan

Untuk mengetahui pola penyebaran individu dalam ruang digunakan Morishita

(166)

*

0 . 9 7 5 - n + C x Uniform lndeks (Sebaran teratur) =

M =

"

0.025 - n + 7 5 - n + x x , Clumped lndeks (Sebaran mengelompok) =

Mc

=

1

- I

Keterangan : n = jumlah plot

X = jumlah individu dalam plot

Standarisasi rumus Morishita Aggregation indeks :

Id

-

MC

Jika Id 2 Mc > 1.0 digunakan I p = 0. 5 + 0. 5

n - Mc

Jika Mc > Id

2

1.0 digunakan

Jika 1.0 > Id > Mu digunakan

Jika 1.0

Gambar

Gambar 1. Skema garis besar permasalahan dalam pengelolaan hutan rawa
Gambar 3. Disain sub petak contoh-sub petak contoh dalam petak contoh.
Gambar 3. Petak pengamatan diagram profil.
Tabel 1. Kriteria penilaian tingkat kesuburan tanah gambut (Wiradinata dan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Risiko (risk) : adalah akibat yang terjadi atau diperkirakan akan terjadi karena adanya bahaya yang terpapar pada populasi dalam dosis atau konsentrasi tertentu. Risiko

Individu-individu tersebut didukung keunggulan agronomi karakter jumlah buah total per tanaman dan bobot buah total per tanaman lebih tinggi dari individu lain dalam

Respons perilaku orientasi diamati dengan menggunakan metode, seperti pada penelitian pengaruh insektisida deltametrin konsentrasi subletal terhadap perilaku orientasi parasitoid,

Pada saat mencerna makanan, lambung melakukan gerakan peristaltik tetapi karena sel penggantinya tidak elastis maka akan timbul kekakuan yang pada

Jika dalam above the line iklan langsung disuguhkan langsung di depan mata melalui TV atau Koran, maka pada bellow the line mata publiklah yang dipancing

NOVIA IKA SETYANI, D1210054, Penggunaan Media Sosial sebagai Sarana Komunikasi bagi Komunitas (Studi Deskriptif Kualitatif Penggunaan Media Sosial Twitter, Facebook, dan Blog

Peneliti lebih memilih ubi jalar sebagai bahan baku tambahan yang akan. dibuat karena kandungan gizi pada ubi jalar sangat

Semakin cepat sampai ke tangan konsumen maka biaya pemasaran dapat ditekan akibat dari sedikitnya lembaga pemasaran yang terlibat, marjin pemasaran semakin kecil dan