PERMUDAAN ALAM DAN TEGAKAN TINGGAL
DI HUTAN RAWA GAMBUT BEKAS TEBANGAN
(STUD1 KASUS DI BKPH DURI, KABUPATEN BENGKALIS,
RIAU)Oleh :
SUDIRMAN
IPK 99320
PROGRAM PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
ABSTRAK
SUDIRMAN. Permudaan Alam dan Tegakan Tinggal Di Hutan Rawa Gambut Bekas Tebangan (Studi Kasus di BKPH Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau). Dibimbing oleh CECEP KUSMANA, sebagai ketua, dan ISTOMO, sebagai anggota.
Penelitian permudaan alam dan tegakan tinggal dilakukan pada bulan Mei 2001 sampai bulan Juli 2001 di areal HPH PT. Rokan Permai Timber Kabupaten Bengkalis, Riau. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji komposisi jenis, struktur permudaan dan tegakan tinggal di hutan rawa gambut bekas tebangan
.
Pengumpulan data vegetasi dan kondisi lahan dilakukan para areal seluas 0,64 ha dari lima tipe komunitas hutan rawa gambut, yaitu : areal bekas tebangan satu tahun (2000), areal bekas tebangan tiga tahun (1998), areal bekas tebangan lima tahun (1996), areal bekas tebangan sepuluh tahun (1991), dan areal hutan yang belum ditebang (virgin forest). Variabel data yang diukur 1) data tumbuhan meliputi permudaan tingkat semai, pancang, tiang dan pohon 2) potensi tegakan tinggal dengan kelas diameter 10 cm - 20 cm, kelas diameter 20 cm
-
40 cm, dan kelas diameter > 40 cm 3) data lahan terdiri dari sifat kimia tanah, dan ketinggian tempat.Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi jenis dan dominansi jenis ditunjukkan oleh nilai Indeks Nilai Penting (INP) yang tertinggi yaitu jenis rengas (Gluta renghas), meranti rawa (Shorea teysmanniana), kelad (Gynotroches axillaris), dan kelakok (Melanorrhoe wallichii). Kecukupan permudaan jenis komersial pada seluruh areal bekas tebangan telah mencukupi persyaratan permudaan berdasarkan Sistem Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) yaitu : tingkat semai 6.879
SURAT PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis saya yang berjudul :
"PERMUDAAN ALAM DAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN RAWA GAMBUT BEKAS TEBANGAN
(STUD1 KASUS DI BKPH DURI, KABUPATEN BENGKALIS, RIAU)"
adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah dipublikasikan.
Semua sumber data dan informasi yang digunakan telah dinyatakan secara jelas dan
dapat diperiksa kebenarannya.
Bogor, 12 September 2002
PERMUDAAN ALAM DAN TEGAKAN TINGGAL DI HUTAN RAWA GAMBUT BEKAS TEBANGAN
( Studi Kasus di BKPH Duri, Kab. Bengkalis, Riau )
Oleh :
SUDIRMAN IPK 99320
Tesis Penelitian ini adalah Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains
Pada
Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUD1 ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN PROGRAM PASCA SARJANA
Judul Tesis : Permudaan Alam dan Tegakan Tinggal di Hutan Rawa Gambut Bekas Tebangan
(Studi Kasus di BKPH Duri, Kabupaten Bengkalis, Riau)
Nama Mahasiswa : SUDIRMAN Nomor Pokok : IPK99320
Program Studi : ILMU PENGETAHUAN KEHUTANAN
Menyetujui, 1. Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Cecer, Kusmana, MS Dr. Ir. Istomo, MS
Ketua Anggota
2. Ketua Program Studi
Ilmu Pengetahuan Kehutanan
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Tanjung Rambutan pada tanggal 5 Februari 1973 dari
ayahanda H. Abdullah Ali dan ibunda Asiah. Penulis adalah anak ke tujuh dari tujuh
bersaudara.
Pendidikan sarjana ditempuh pada Program Studi Manajemen Hutan, Sekolah
Tinggi Ilmu Kehutanan Banda Aceh pada tahun 1992 dan lulus pada tahun 1997.
Pada tahun 1999, penulis diterima di Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
Program Pascasarjana IPB Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari
Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.
Saat ini penulis bekerja sebagai staf pengajar pada Jurusan Manajemen Hutan,
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian
yang dilaksanakan sejak bulan Mei 2001 sampai Juli 2001 adalah Permudaan Alam
dan Tegakan Tinggal di Hutan Rawa Gambut Bekas Tebangan
Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:
1. Bapak Prof. Dr.Ir. Cecep Kusmana, MS dan Bapak Dr.Ir. Istomo, MS selaku
pembimbing.
2. Ayahanda H. Abdullah Ali dan Ibunda tercinta Hj. Asiah, Kakanda Ir. M.
Syukur, saudara-saudara saya yang telah banyak membantu penulis dengan
bantuan moral maupun materil, serta ponaan-ponaan tersayang yang selalu
menunggu kepulangan Tuok Ocunyo.
3. Dinda Megi yang selalu setia mendampingi dalam segala urusan untuk penyelesaian tesis ini.
4. Pimpinan serta karyawan PT. Rokan Permai Timber Unit Samsam Duri.
5. Rekan-rekan seperti Kissinger, Mas Indra, Diana, Melia, Yumarni, kost
Cakra yang selalu mendo'akan agar cepat selesai, serta rekan lainnya yang
tidak dapat saya sebutkan satu persatu.
Akhirnya, Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, 12 September 2002
DAFTAR IS1
Halaman
PRAKATA
...
...
DAFTAR IS1DAFTAR TABEL
...
...
DAFTAR GAMBAR...
DAFTAR LAMPIRANPENDAHULUAN
...
...
Latar Belakang...
Perurnusan Masalah...
Kerangka Pemikiran...
Tujuan PenelitianManfaat Penelitian
...
TINJAUAN PUSTAKA...
...
Tipe-tipe Hutan Rawa Gambut...
Risalah Hutan Rawa GambutKomposisi dan Struktur Vegetasi Hutan Rawa Gambut
...
...
Penyebaran Pohon dan Tempat Turnbuh...
Dominasi dan Struktur Pohon...
Pola Sebaran Spasial
...
Celah KanopiIRumpang
...
METODE PENELITIAN...
Tempat dan Waktu Penelitian...
Bahan dan Alat Penelitian...
KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN...
Status Perusahaan...
Letak dan LuasTopografi
...
...
Iklim, tanah, dan Geologi...
Keadaan HutanAksesibilitas
...
...
HASIL DAN PEMBAHASAN...
Hasil Penelitian...
Pembahasan...
KESIMPULAN DAN SARANKesimpulan
...
Saran
...
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
...
Kriteria penilaian tingkat kesuburan tanah gambutKriteria penilaian beberapa parameter vegetasi hutan
...
Sifat kimia tanah pada lima areal hutan rawa gambut pada...
Kedalaman 0 - 100 cmRekapitulasi Indeks Nilai Penting (INP) untuk 5 jenis tumbuhan dominan tingkat semai pada komunitas hutan rawa gambut berbeda
Jumlah jenis pada tingkat pertumbuhan semai, pancang, tiang dan pohon
...
Sebaran stratifikasi tajuk pohon pada komunitas hutan berbeda
...
Kerapatan pohon (N/ha) pada setiap kelas tinggi pada komunitas hutan berbeda
...
Kerapatan pohon (Nlha) pada setiap kelas diameter pada komunitas hutan berbeda
...
Kerapatan (Nlha) dan luas bidang dasar seluruh jenis pada tingkat
...
pertumbuhan dimasing-masing komunitas hutanIndeks keanekaragaman jenis pada tingkat pertumbuhan berbeda
...
pada areal hutan yang berbedaPola sebaran lima jenis dominan tingkat semai, pancang, tiang dan
...
pohon pada masing-masing komunitas hutan13. Hubungan antara jumlah pohon dan volume pohon (m3) pada kelas DBH berbeda pada hutan primer dan areal bekas tebangan untuk
...
jenis komersial 60
14. Hubungan antara jumlah pohon dan volume pohon (m3) pada kelas DBH berbeda pada hutan primer dan areal bekas tebangan untuk
jenis-j enis lain diluar j enis komersial
...
6015. Jumlah pohon jenis komersial (Nlha) yang dijumpai pada
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1
.
Skema garis besar perrnasalahan dalam pengelolaan dalamrawa gambut
...
72
.
Disain petak contoh di lapangan...
313
.
Disain sub petak-sub petak contoh dalam petak contoh...
31...
4
.
Petak pengamatan diagram profil 32...
5
.
Peta situasi di lokasi penelitian 386
.
Peta lokasi penelitian di HPH PT.
Rokan Permai Timber...
437
.
Indeks nilai penting lima jenis dominan pada tingkat pohonpada komunitas hutan
...
488
.
Hubungan antara kerapatan pohon (%) dan kelas tinggi pohon pada...
komunitas hutan berbeda 53
Nomor Halaman
Teks
1
.
Daftar nama jenis yang dijumpai pada areal penelitian...
83 2.
Kriteria penilaian kesuburan tanah (Pusat Penelitian Tanah. 1993). .
843
.
Kisaran nilai dan tingkat penilaian sifat-sifat kimia tanah hutan...
rawa di likasi penelitian 85
4a
.
Hasi perhitungan sebaran tegakan dengan menggunakan MorishitaIndex pada areal ABT 1 99 1
...
864b
.
Hasil perhitungan sebaran tegakan dengan menggunakan MorishitaIndex pada areal hutan primer ... 87 4c
.
Hasil perhitungan sebaran tegakan dengan menggunakan MorishitaIndex pada areal ABT 2000
...
884d
.
Hasil perhitungan sebaran tegakan dengan menggunakan MorishitaIndex pada areal ABT 1996
...
894e
.
Hasil perhitungan sebaran tegakan dengan menggunakan MorishitaIndex pada areal ABT 1998
...
905a
.
Diagram profil tegakan hutan bekas tebangan 1 tahun...
91 5b.
Diagram profil tegakan hutan bekas tebangan 3 tahun...
925c
.
Diagram profil tegakan hutan bekas tebangan 5 tahun...
935d
.
Diagram profil tegakan hutan bekas tebangan 10 tahun...
94PENDAHULUAN
Latar Belakang
Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di
Indonesia. Hutan rawa gambut mempunyai karakteristik turnbuhan maupun hewan
yang khas yaitu komunitas yang mampu beradaptasi dengan lingkungan yang miskin
hara, tergenang air masam secara periodik maupun terus menerus, dan mengandung
senyawa-senyawa fen01 yang tinggi. Istomo (1992) menyatakan bahwa diantara
beberapa tipe hutan yang ada di Indonesia, hutan rawa gambut sekarang ini banyak
disoroti karena tegakannya yang khas dengan jenis pohon ramin (Gonystylus
bancanus) dan meranti rawa (Shorea teysmanniana ) sebagai primadonanya.
Kegiatan pengelolaan hutan rawa gambut selama ini menyebabkan terjadinya
deforestasi. Hal ini ditunjukkan oleh adanya kegiatan-kegiatan yang berjalan di luar
kerangka kebijakan dan acuan pengelolaan hutan rawa gambut dengan Sistem
Silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI). Untuk itu dalam rangka
penyusunan rencana pengelolaan hutan rawa gambut diperlukan suatu sistem
pengelolaan yang benar-benar sesuai dengan kondisi ekologis yang ada. Untuk
kepentingan pengelolaan tersebut, maka diperlukan suatu informasi menyangkut
parameter-parameter ekologis dari komunitas hutan rawa gambut.
Dalam menentukan sistem pengelolaan yang tepat pada suatu tegakan, pertama
yang hams diketahui adalah karakteristik struktur tegakannya. Struktur tegakan yang
pohon atau luas bidang dasar pada berbagai ukwan diameternya. Apabila hutan
dieksploitasi akan menyisakan bagian dari struktur tegakan yang disebut dengan
tegakan sisa atau tegakan tinggal. McNaughton dan Wolf (1990) mengatakan di
dalam ekologi hutan ada beberapa ha1 mendasar yang penting untuk diketahui, salah
satu diantaranya adalah jumlah organisme atau keanekaragaman jenis organisme.
Keanekaragaman merupakan istilah yang umum dipakai untuk mendiskripsikan
jurnlah spesies yang terdapat dalam suatu komunitas. Munculnya istilah ini karena
adanya perbedaan spesies yang terdapat di dalam kelompok-kelompok komunitas.
Keanekaragaman adalah keanekaragaman jenis yang pengukurannya melalui jumlah
jenis di dalarn komunitas dan melalui kelimpahan relatif jenis tersebut. Aspek yang
terdapat di dalam keanekaragaman jenis adalah jumlah jenis yang mengarah ke
kekayaan jenis (richness) dan kelimpahan relatif yang mengarah ke kemerataan jenis
(evenness atau equitability)
Berkaitan dengan ha1 tersebut maka dalam pengelolaan hutan rawa gambut
diperlukan sistem silvikultur yang tepat untuk kelestariannya. Perlindungan terhadap
kawasan bergambut dilakukan untuk mengendalikan hidrologi wilayah yang
berfungsi sebagai penambat air dan pencegah banjir serta melindungi ekosistem yang
khas di kawasan yang bersangkutan. Selanjutnya disebutkan pula salah satu kriteria
kawasan lindung adalah tanah bergambut dengan ketebalan tiga meter atau lebih yang
terdapat di bagian hulu sungai dan rawa.
Ciri-ciri dan struktur tanah rawa gambut berkolerasi dengan ketebalan gambut.
Pengikatan air tanah berkurang sesuai dengan perubahan struktur dan ketebalan
gambut. Komposisi dan struktur vegetasi relatif lebih sederhana dengan semakin
mendekati kubah gambut (dome). Dengan demikian perubahan ekosistem secara
drastis pada tanah rawa gambut dalam, pemulihannya memerlukan waktu yang
panjang.
Kebijakan pemerintah dalam pengelolaan hutan rawa gambut, didasarkan pada
cara dan metode pengelolaan hutan hujan tropis lahan kering, sedangkan kondisi
ekosistemnya sangat berbeda. Keadaan ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan
mengenai sifat-sifat ekologis dari hutan rawa gambut. Perkembangan pengelolaan
hutan rawa gambut tidak seimbang dengan perkembangan terhadap ekosistemnya.
Untuk mengelola hutan rawa gambut dengan baik masih diperlukan banyak
informasi. Penelitian ekologis di hutan rawa gambut memerlukan data dan informasi
tentang sifat-sifat jenis kayu komersial seperti Shorea sp., Palaquium obovatum,
Melannorhoea sp., Gonystylus bancanus dan jenis-jenis vegetasi lain masih relatif
kurang
.
Pengetahuan penyebaran jenis-jenis vegetasi belurn banyak dikenal. Preferensi
setiap jenis terhadap kondisi lingkungan sangat berguna dalam perencanaan dan
pengelolaan hutan. Di samping itu, reaksi jenis-jenis vegetasi terhadap pembatas
lingkungan yang kritis perlu mendapat perhatian.
Sewaktu disusunnya sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia Tahun
1989 (semula TPI) didasarkan pada pengetahuan tentang komposisi, struktur dan
Dipterocarpaceae. Jadi penerapan sistem silvikultur Tebang Pilih Tanam Indonesia
untuk tipe-tipe hutan lainnya, seperti hutan rawa, hutan rawa gambut dan hutan eboni
masih memerlukan penelitian sinekologi dan autekologi yang seksama (Soerianegara,
1994). Informasi sinekologi (komposisi dan struktur hutan, penyebaran suatu jenis
pohon, permudaan pohon, tumbuh dan riap pohon, fenologi pohon) dan autekologi
(syarat-syarat keadaan tempat tumbuh pohon siklus hara, mineral siklus air, hubungan
kesuburan tanah, iklim dengan produktivitas hutan) hutan rawa gambut belum banyak
terdokumentasi.
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI) 1989 berdasarkan Surat Keputusan
Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 564/Kpts/IV-BPHHl1989 dan
Surat Keputusan Direktur Jenderal Pengusahaan Hutan No. 24IKptslIV-Set11996
tentang Revisi Pedoman Tebang Pilih Tanam Indonesia khusus untuk hutan rawa
gambut merupakan sistem silvikultur yang mengatur kegiatan penebangan dan
pembinaan hutan alam produksi. Berkaitan dengan masalah pemanfaatan tersebut,
TPTI telah membuat pedoman untuk pengelolaan hutan rawa gambut yang tidak
ditemukan pohon-pohon komersial berdiameter 50 cm ke atas dalarn jumlah yang
cukup dapat diadakan penurunan batas diameter pohon yang boleh ditebang menjadi
> 40 cm dengan rotasi tebang selama 40 tahun. Untuk menjamin keberlanjutan -
produksi pada rotasi tebang berikutnya harus dipilih 25 pohon inti per hektar untuk
jenis komersial yang berdiameter 20 - 39 cm dan tersebar merata. Mengingat
menjamin regenerasi secara alami hanya menebang 213 dari jumlah pohon yang
memenuhi syarat untuk ditebang.
Bertitik tolak pada masalah tersebut di atas salah satu aspek yang penting untuk
diteliti adalah kondisi permudaan alam dan tegakan tinggal hutan rawa gambut.
Untuk mengetahui sejauh mana keberhasilan penerapan sistem silvikultur TPTI ditipe
hutan tersebut, diharapkan informasi mengenai kondisi permudaan alam hutan rawa
gambut dan tegakan tinggal merupakan salah satu bahan pertimbangan untuk
memformulasikan sistem silvikultur hutan rawa gambut.
Perurnusan Masalah
Penebangan hutan akan merubah komposisi jenis dan struktur hutan berikut
habitatnya. Sejalan dengan waktu proses perubahan ini dapat mengarah kebentuk
hutan semula atau kebentuk hutan yang berbeda dengan kondisi hutan semula.
Kecenderungan proses perubahan komunitas tumbuhan tersebut dapat diduga dari
kondisi (keberadaan jenis dan kelimpahan jenis) permudaan hutan yang ada. Garis
besar dari permasalahan dalam pengelolaan suatu komunitas hutan rawa gambut
seperti Gambar 1.
Permasalahan yang ingin dijawab dalam penelitian ini adalah : Bagaimana
kondisi permudaan dan tegakan tinggal di hutan rawa gambut primer dan hutan rawa
Kerangka Pemikiran
Kondisi tanah hutan rawa gambut merupakan faktor pembatas yang
menyebabkan tidak banyak jenis yang dapat bertahan hidup di hutan rawa gambut.
Rendahnya jumlah jenis pada hutan rawa gambut disebabkan oleh kegiatan
eksploitasi hutan. Penebangan hutan akan merubah komposisi jenis dan struktur
tegakan beserta habitatnya. Kecenderungan proses perubahan komunitas tumbuhan
tersebut dapat diduga dari kondisi (keberadaan jenis dan kelimpahan jenis)
permudaan hutan yang ada.
Untuk menjamin tersedianya tegakan dalam jurnlah yang cukup di hutan alam
rawa gambut diperlukan sistem pengelolaan yang mengacu pada Sistem Silvikultur
Tebang Pilih Tanam Indonesia (TPTI), dimana keberadaan permudaan alam
merupakan peremajaan hutan secara alami yang sangat penting dalam penyediaan
tegakan baru bagi rotasi tebang berikutnya.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji komposisi jenis dan struktur
permudaan dan tegakan tinggal di hutan rawa gambut primer dan hutan rawa gambut
bekas tebangan.
Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk :
1. Memberikan masukan dalam penentuan sistem silvikultur yang tepat dalam
2. Bahan kajian dalam perumusan kebijakan penentuan kawasan lindung khususnya
di lahan rawa gambut.
3. Bahan pertimbangan dalam kegiatan regenerasi hutan, penanaman perkayaan dan pelaksanaan Hutan Tanaman Industri (HTI) di hutan rawa garnbut.
Tegakan Tinggal
[image:138.590.78.475.236.652.2]I
D
D
Permudaan AlamTINJAUAN PUSTAKA
Tipe-tipe Hutan Rawa Gambut
Pada akhir-akhir ini daerah gambut telah mendapat perhatian yang cukup besar,
baik dari segi perluasan lahan untuk pertanian, pemukiman maupun perkembangan
kehutanan. Gambut adalah bahan tanah yang tidak mudah lapuk, terdiri dari bahan
organik yang sebagian besar belurn terdekomposisi atau sedikit terdekomposisi serta
terakumulasi pada keadaan kelembaban yang berlebihan. Asian Wetland Bureau dan
Ditjen PHPA (1 993) dalam Koesmawadi (1996) mengemukakan bahwa hutan rawa
gambut merupakan suatu ekosistem yang unik mempunyai ciri-ciri sebagai berikut ;
1) selalu tergenang air, 2) komposisi jenis pohon beraneka ragam, mulai dari tegakan
sejenis seperti jenis Calophyllum inophyllum sampai tegakan campuran, 3) terdapat
lapisan gambut pada lantai hutan, 4) mempunyai perakaran yang khas, dan 5) dapat
tumbuh pada tanah yang bersifat masam.
Ekosistem gambut menopang berbagai kehidupan plasma nutfah penting bagi
berbagai keperluan budidaya tanaman pangan, perikanan peternakan dan
pengembangan bioteknologi. Pada saat ini daerah garnbut memberikan manfaat yang
besar bagi masyarakat tradisional untuk berbagai keperluan, antara lain menjadi
daerah perburuan ikan dan berbagai margasatwa yang memberikan sumber makanan
dan sumber kehidupan yang penting bagi masyarakat (Haeruman, 1987).
Berdasarkan kandungan bahan organik, dikenal dua golongan tanah yaitu tanah
yang mengandung bahan organik berkisar antara 20%-25% bahkan kadang-kadang
90% mengandung bahan organik (Buckrnan dan Brady, 1982). Tanah gambut
merupakan tanah yang tersusun dari bahan organik, baik dengan ketebalan bahan
organik lebih dari 45 cm ataupun terdapat secara berlapis bersama tanah mineral pada
ketebalan penampang 80 cm serta mempunyai tebal lapisan bahan organik lebih dari
50 cm (Suhardjo, 1 993).
Tanah gambut tersebut pada umumnya mengandung lebih dari 60% bahan
organik (Driessen, 1977). Tanah gambut atau tanah organik yang dimaksud dikenal
juga sebagai tanah organosol atau histosol (Suhardjo, 1993).
Bahan organik pada tanah gambut dibedakan atas tiga macam Rusmarkan et al.,
(1988) dalam Suhardjo (1993) yaitu :
1. Fibric yang tingkat dekomposisinya masih rendah, sehingga masih banyak
mengandung serabut, berat jenis sangat rendah (kurang dari 0,1), kadar air tinggi
benvarna kuning sarnpai pucat.
2. Hemic merupakan peralihan dengan tingkat dekomposisi sedang, masih tinggi
mengandung serabut dengan berat jenis antara 0,07 - 018. Kadar air banyak dan
berwarna coklat muda sampai coklat tua.
3. Sapic yang dekomposisinya paling lanjut, kurang mengandung serabut, berat
jenis 0,2 atau lebih, kadar air tidak terlalu tinggi dengan warna hitam dan coklat
kelam.
Tanah gambut di Indonesia sangat bervariasi tingkat kesuburannya. Gambut
tergolong ke dalam eutropik atau mesogenous, karena memperoleh tambahan unsur
lain dari luar yaitu yang dibawa oleh air pasang.
Sedangkan gambut pedalaman pada umumnya merupakan gambut
ombrogenous atau mesogenous yang termasuk kedalam oligotropik (Polak, 1975).
Risalah Hutan Rawa Gambut
Hutan rawa gambut merupakan tipe hutan formasi klimatis (climatic
formation). Faktor iklim yang mempengaruhi pembentukan vegetasi adalah
temperatur, kelembaban, intensitas cahaya dan angin. Hutan rawa gambut terdapat
pada daerah-daerah bertipe iklim A dan B dan tanah organosol dengan lapisan gambut setebal 50 cm atau lebih. Pada umumnya terletak diantara hutan rawa dengan
hutan hujan (Direktorat Jenderal Kehutanan, 1976). Menurut Soerianegara (1994)
hutan ini tumbuh di atas tanah gambut yang tebalnya berkisar 1 - 20 meter dan
digenangi air gambut yang berasal dari air hujar, (miskin hara oligotropik) dengan
jenis tanah organosol.
Di Indonesia tipe hutan rawa gambut ini terdapat di dekat pantai timur
Sumatera dan merupakan jalur panjang dari utara ke selatan sejajar dengan pantai
timur. Di Kalimantan mulai dari bagian utara Kalimantan Barat sejajar pantai
memanjang ke selatan dan ke timur sepanjang pantai selatan sampai bagian hilir
barito. Disamping itu terdapat pula hutan rawa gambut yang luas di bagian selatan
Irian jaya. Tegakan hutan rawa gambut ini selalu hijau dan mempunyai beberapa
Alstonia spp, Eugenea spp, Cratoxylon arborescens, Tetramerista glabra, Diospyros
spp dan Myristica spp.
Jenis-jenis pohon terpenting yang terdapat pada formasi hutan rawa gambut
adalah : Campnosperma sp, Alstonia sp, Cratoxylon arborescens, Jackia ornata,
Payena sp, Gonystylus bancanus, Dactylocladus stenostachys, Tristania maingayi
dan Palaquium alternifolium (Soerianegara, 1994).
Pada hutan rawa gambut umumnya ada tiga lapisan tajuk (Wiraatmojo, 1975).
Lapisan tajuk teratas dibentuk oleh jenis-jenis ramin (Gonystylus bancanus), mentibu
Dactylocladus stenostachys). Nyatoh (Palaquium spp), durian hutan (Durio sp),
kempas (Kompassia malaccensis) dan jenis-jenis lain pada umumnya kurang dikenal.
Lapisan tajuk tengah pada umumnya dibentuk oleh jenis-jenis jambu (Eugenia
spp), pelawan (Tristania spp), medang (Litsea spp), kemuning (Xantophylum spp),
mendarah (Myristica spp) dan kayu malam (Diospyros spp). Sedangkan lapisan tajuk
terbawah terdiri dari jenis Xilopia malayana, an&-anakan pohon dan semak dari
jenis Crunis spp, Pandanus spp, Salaca spp dan tumbuhan bawah lainnya. Tumbuhan
merambat diantaranya Uncaria spp.
Komposisi dan Struktur Vegetasi Hutan Rawa Gambut 1. Komposisi
Penyebaran hutan rawa gambut di Indonesia terdapat di daerah Riau, Jambi,
Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan,
Beberapa daerah di Sumatera misalnya, dapat dijurnpai zone-zone mulai dari
pinggir ke arah pusat gambut yaitu :
1. Hutan merapung
2. Hutan pada gambut tipis (ketebalan gambut kurang dari 0.5 meter)
3. Hutan pada gambut tebal, terdiri dari sub zone-zone berikut :
Hutan dengan tumbuhan bawah yang lebat, terutama jenis palma
(Licuala spinosa, Zalacca sp, serta beberapa jenis rotan)
Hutan lebat
High forest dengan pohon berbatang kecil bercampur dengan pohon-
pohon yang pertumbuhannya kerdil.
Hutan cebollhutan tianglpadang nunput, didominasi oleh Tristania
maingayi, di pusat gambut dimana lapisan gambut paling tebal Tristania obovata dan
Ploiarium alternifolium lebih dominan. Di sini terdapat Nepenthes ampullaria
sebagai liana (Istorno, 1992)
Kekayaan jenis pohon berdiameter lebih dari 15 cm di dalam hutan rawa
gambut yang terdapat di Kalimantan rata-rata 45 jenis per 0.5 ha (MacKinnon et al.,
1996), sedangkan jumlah jenis untuk seluruh Indonesia rata-rata 39 jenis per 0.5 ha.
2. Struktur Vegetasi
Pengertian struktur vegetasi dapat berlainan tergantung kepada tujuan
penggunaan istilah tersebut. Mueller-Dumbois dan Ellenberg (1974) menyatakan
membentuk suatu tegakan dengan elemen-elemen primer seperti bentuk hidup,
stratifikasi dan penutupan tajuk. Struktur tegakan dapat ditinjau dari dua arah yaitu :
struktur tegakan vertikal dan horizontal (Ibie, 1997). Struktur tegakan vertikal oleh
Richard (1964) dinyatakan sebagai sebaran jumlah pohon dalam berbagai lapisan
tajuk. Sedangkan Husch et al. (1982) menyatakan bahwa struktur tegakan horizontal
merupakan istilah untuk menggambarkan sebaran jenis pohon dengan dimensinya,
yaitu diameter pohon dalam suatu kawasan hutan.
Struktur tegakan hutan biasanya digambarkan melalui diagram profil. Diagram
ini merupakan suatu sketsa dari semua pohon yang berada pada areal yang memiliki
ukuran lebar 7,5 m dan panjang 60 meter. Untuk gambaran vertikal pohon, umumnya
pohon-pohon dengan tinggi > 4,5 m atau 6 m yang relatif dimuat dalam gambaran.
Dengan demikian lebih diutamakan atau terbatas pada pohon-pohon yang berada
pada fase dewasa (Whitmore, 1986).
Daniel et al. (1987) dalam Ibie (1997) mengemukakan bahwa struktur tegakan
menunjukan sebaran dan atau kelas diameter dan kelas tajuk. Pada hutan tidak
seumur sering mempunyai karakteristik distribusi semua diameter yang diasumsikan
dimiliki oleh tegakan semua urnur. Hutan hujan tropis merupakan suatu tipe dari
tegakan tidak seumur yang mana distribusi kelas diameternya sesuai dengan bentuk
"J"
terbalik.Oliver dan Larson (1990), menjelaskan bahwa struktur tegakan adalah sebaran
sementara dan sebaran fisik pohon-pohon dalam suatu tegakan. Sebarannya dapat
(3) besarnya pohon atau bagian pohon yang mencakup volume tajuk, luas daun, dan
lain-lain, (4) umur pohon, (5) kombinasi dari kondisi-kondisi yang telah disebutkan
sebelumnya.
Pengetahuan menyangkut struktur tegakan ini dapat memberikan informasi
mengenai dinamika populasi suatu jenis atau kelompok jenis mulai dari tingkat
semai, pancang, tiang dan pohon (Marsono dan Sastrosumarto, 198 1).
Dalam penelitian ini yang dimaksud dengan struktur tegakan adalah lebih
mengarah ke struktur tegakan horisontal, yakni menyangkut nilai luas bidang dasar,
frekuensi dan kerapatan pohon.
Penyebaran Pohon dan Tempat Tumbuh
Penyebaran permudaan baik pada tingkat semai, pancang, maupun tingkat tiang
berbagai jenis pohon tergantung pada jenis individu pada fase pohon tersebut
beradaptasi dengan lingkungannya.
Permudaan alam adalah pengadaan tegakan baru dalam peremajaan hutan
secara alami, tanpa dilakukan campur tangan manusia. Permudaan alam terdiri dari
(Direktorat Jenderal Pengusahaan Hutan, 1993) :
(1) Permudaan tingkat semai adalah permudaan yang tingginya 0,3 meter sampai 1,5
meter.
(2) Permudaan tingkat pancang adalah perrnudaan yang berukuran tinggi lebih dari
1,5 meter dengan diameter kurang dari 10 cm.
Proses permudaan alam pada hutan yang masih utuh belum banyak diteliti,
berbagai jenis pohon masing-masing memerlukan keadaan lingkungan yang berbeda
(Manan, 1 978).
Berbagai masalah pelaksanaan regenerasi alam hutan tropika basah (Richard,
1964) antara lain :
(1) Umur rata-rata berbagai jenis pohon dalam berbagai lapisan (strata) hutan
sebelum mati secara alami.
(2) Struktur dan penyebaran kelas umur jenis pohon yang berkuasa (domhan).
(3) Riap pertumbuhan pohon tersebut pada berbagai stadia atau fase mulai dari semai, pancang, tiang, pohon muda dan pohon tua.
(4) Kematian alami yang terbesar pada
umur
tertentu yang disebabkan persaingantumbuh.
(5) Kemungkinan terjadinya perubahan susunan jenis pohon di hutan tropika basah. Pertumbuhan dan perkembangan perrnudaan pada dasarnya berbeda dari satu
tempat ke tempat lainnya, sesuai dengan karakteristik dan tingkat keberadaan tegakan
hutan. Proses permudaan tersebut berlangsung secara alami. Permudaan alam
merupakan salah satu aspek ekologi hutan yang cukup besar peranannya terhadap
pembentukan struktur tegakan hutan, karena akan menentukan tingkat pertumbuhan
dan perkembangan tegakannya sesuai dengan perubahan dimensi ruang dan waktu
pada komunitas atau vegetasi hutan yang bersangkutan (Whitmore, 1975).
Untuk menjamin tersedianya tegakan dalam jumlah dan kualitas pada hutan
(TPTI). Keberadaan perrnudaan alam merupakan peremajaan hutan secara alami yang sangat penting dalam penyediaan tegakan baru bagi rotasi tebang berikutnya.
Permudaan dianggap cukup apabila memenuhi persyaratan (Wyatt dan Smith,
1963) sebagai berikut :
(a) Terdapat paling sedikit 40% cadangan permudaan semai jenis komersial atau 400 petak
ukur
per 0,4 ha.(b) Terdapat paling sedikit 60% cadangan permudaan pancang jenis komersial atau
96 petak ukur per 0,4 ha.
(c) Terdapat paling sedikit 75% cadangan perrnudaan tiang jenis komersial atau 30
petak ukur per 0,4 ha.
Suatu jenis tumbuhan dalam hubungannya dengan keadaan lingkungan dari suatu
ekosistem akan membentuk sistem m s i tertentu (Poole, 1974).
Pola penyebaran vegetasi termasuk salah satu aspek yang penting dari ekologi
dan merupakan sifat dasar dari suatu oraganisme. Bentuk sebaran organisme
mengikuti 3 pola yaitu pola acak (random), berkelompok (agregat) dan teratur
(uniform). Pola penyebaran secara acak disebabkan oleh keseragaman faktor
lingkungan dan atau pola tingka. laku yang tidak selektif, sedangkan penyebaran
tidak acak disebabkan oleh pembatas &&tor-faktor lmgkungan (Ludwig& Reynold,
1988).
Dengan demikian tumbuhan mempunyai toleransi yang sangat nyata dengan ha1
tempat tumbuh dalam hal penyebaran jenis, kerapatan dan dominasinya. Jenis
terhadap pengaruh faktor lingkungan yang ada pada habitatnya (Soerianegara dan
Indrawan, 1984). Dominasi sesuatu j enis terhadap j enis-j enis lain di dalam tegakan
dapat dinyatakan berdasarkan besaran (Soerianegara, 1994) sebagai berikut :
(a) Banyaknya individu dan kerapatan
(b) Persen penutup tajuk dan luas bidang dasar (basal area)
(c) Volume iomassa ( 4 B'
(e) Index nilai penting (importance value index)
Setiap individu tersebut mempunyai toleransi yang berbeda dalam beradaptasi
dengan lingkungan dan masing-masing individu tersebut mempunyai kondisi
lingkungan tertentu, dimana agar dapat tumbuh optimal. Oleh karena itu pada
urnumnya penyebaran jenis tumbuhan akan berbeda terutama dalam kehadiran dan
ha1 kelimpahan.
Jenis dominan merupakan jenis yang mempunyai indeks nilai penting tertinggi
di dalam lingkungan yang ditempati. Nilai indeks penting relatif tersebut merupakan
suatu pendekatan nilai penguasaan ekologis suatu jenis terhadap lingkungan
komunitasnya. Besarnya nilai tersebut dapat berdasarkan satu atau lebih dari nilai-
nilai fiekuensi kerapatan, luas bidang dasar batang ataupun luas penutupan tajuknya
(Whittaker, 1975).
Menurut Ludwig dan Reynold (1988) faktor-faktor yang mempengaruhi
penyebaran organisme antara lain ; 1) Vectorial factor, 2) Reproductive factor,
vectorial factor yaitu faktor-faktor lingkungan, reproductive factor seperti regenerasi
dan coactive factor misal persaingan adalah merupakan faktor-faktor yang banyak
mempengaruhi penyebaran vegetasi. Selain itu Leigh (1 982) memperkenalkan teori
penyebaran pohon sebagai berikut :
>
Suatu jenis dapat tumbuh dan berkembang disuatu daerah karena telah melaluipersaingan.
P
Suatu jenis dapat tumbuh karena jenis yang berbeda menempati habitat yangberbeda.
>
Suatu jenis dapat berkembang karena perbedaan tanggapan setiap jenis terhadappembukaan tajuk.
P
Suatu jenis dapat tumbuh dan berkembang karena terjadi perbedaan tanggapandari faktor-faktor reproduksi pohon terhadap perubahan lingkungan.
Menurut Soerianegara dan Indrawan (1984), perbedaan jenis tanah, sifat-sifat
serta keadaannya seringkali mempengaruhi penyebaran tumbuh-tumbuhan,
menyebabkan terjadinya vegetasi yang berlainan serta mempengaruhi kesuburan dan
produktivitas hutan. Sementara itu Loucks et al. (1981) mengidentifikasi faktor yang
mempengaruhi komposisi vegetasi yaitu : 1) status hara dan kadar air tanah, dan 2)
dinamika vegetasi.
Uraian lebih spesifik mengenai hubungan antara tanah rawa garnbut dengan
vegetasinya dikemukakan Driessen dan Rochimah (1976) dan Brooks (1988) yaitu
perbedaan jenis gambut (ombrogenous dan topogenous) menyebabkan terjadinya
sifat-sifat fisik rawa gambut dan merupakan petunjuk penting dalam penilaian tanah
rawa gambut.
Wyatt-Smith (1963) menggambarkan perbedaan komposisi dan struktw hutan
rawa gambut dibandingkan hutan dataran rendah lainnya sebagai berikut :
1. Hanya sedikit pohon besar dan bernilai ekonomi.
2. Jumlah jenis terbatas, terutama dilihat dari sudut pohon yang bernilai ekonomi.
3. Jumlah pohon besarha sedikit
4. Pada umumnya bentuk tajuk hutan rawa gambut lebih rendah, lebih kecil dan
lebih seragam
5. Banyak tedapat permudaan pancang dan tiang tetapi lebih sedikit pohon
berdiameter besar yang bernilai ekonomi.
Model hubungan antara pola penyebaran jenis pohon dan faktor lingkungannya
banyak tergantung dari peubah yang diamati. Menwut Loucks et a1 , (1981), model
hubungan antara dominasi pohon dengan kondisi tanah dan faktor lingkungan
berbeda-beda. Selanjutnya untuk mengetahui hubungan antara pola penyebaran hutan
rawa gambut terhadap perbedaan kondisi tanah rawa gambut dapat dilakukan dengan
menggunakan pendekatan model regresi.
Dominasi dan Struktur Pohon
Richards (1964) dan Muller Dombois dan Ellenberg (1974) dalarn Ibie (1997)
hutan. Kekayaan floristik hutan tropika sangat erat kaitannya dengan kondisi
lingkungan seperti iklim, tanah dan cahaya, dimana faktor tersebut membentuk suatu
tegakan yang klimaks. Lebih lanjut dikatakan bahwa sebagian besar hutan hujan
tropika mempunyai komposisi jenis campuran, walaupun tidak selalu demikian dan
diduga dalam bentuk assosiasi dan konsosiasi. Soerianegara dan Indrawan (1984)
menambahkan bahwa komposisi jenis dibedakan antara populasi (satu jenis) dan
komunitas (beberapa jenis).
Struktur permudaan, baik struktur vertikal maupun struktur horizontal (profil
dan komposisi jenis) merupakan salah satu karakteristik dari permudaan pohon pada
suatu komoditas hutan. Perubahan dan perkembangan struktur tersebut dapat
menggambarkan keadaan atau kondisi permudaan hutan yang bersangkutan. Struktur
vegetasi meliputi tiga aspek (Kersaw, 1964) yaitu struktur vertikal (yaitu stratifikasi
kedalam lapisan-lapisan tajuk), struktur horizontal (yaitu distribusi ruang areal
populasi dan individu-individu) dan kelimpahan (yaitu kelimpahan masing-masing
jenis dalam komunitas). Lebih lanjut Kersaw (1964) mengatakan berdasarkan
tingkatannya membagi struktur vegetasi menjadi lima aspek yaitu : fisiognomi
vegetasi, struktur biomassa, struktur bentuk hidup, struktur floristik dan struktur
tegakan. Kelima tingkatan tersebut tergabung ke dalam satu susunan yang bertingkat,
dalam ha1 ini tingkat pertama termasuk ke dalam tingkat kedua, tingkat kedua ke
dalam tingkat ketiga dan seterusnya. Jadi kelima konsep struktur vegetasi tersebut
hanya menggambarkan perbedaan tingkatan secara m u m , dengan tingkat pertama
Studi profil arsitektur (stratifikasi) merupakan salah satu metode deskripsi dan
analisis yang digunakan untuk ekosistem hutan di daerah tropis (Michon, 1993).
Dalam profil arsitektur komunitas tumbuhan akan terlihat adanya keragaman
arsitektur yang tinggi. Keragaman tersebut terjadi karena tipe-tipe habitus yang
berbeda-beda seperti adanya pohon semak belukar, rurnput atau tumbuhan lain yang
membentuk lapisan.
Pohon-pohon yang terdapat di dalam suatu komunitas hutan alam tropika
berdasarkan kenampakan arsitektur, ukuran pohon dan keadaan biologi, dibedakan
menjadi tiga golongan (Halle, et a1 1978), yaitu :
(1) Pohon masa mendatang (tree of the future), yaitu pohon-pohon yang mempunyai
kemarnpuan untuk berkembang lebih lanjut atau pada masa mendatang. Pohon
tersebut pada saat ini merupakan pohon kodominan dan diharapkan pada masa
mendatang akan menggantikan pohon-pohon yang saat ini dominan.
(2) Pohon masa kini (tree ofpresent ), yaitu pohon-pohon yang sedang berkembang
penuh dan merupakan pohon yang dominadmenentukan dalam stratifikasi saat
ini.
(3) Pohon masa lampau (tree of past), yaitu pohon-pohon yang sudah tua dan mulai
mengalami kerusakan yang selanjutnya akan mati.
Menurut Muller Dombois dan Ellenberg (1974), tipe asosiasi suatu unit
vegetasi tersusun dari sejumlah jenis tertentu dari semua jenis yang dijumpai. Tipe
hutan yang dicirikan oleh kesamaan fisiognomi, struktur ekologi dan komposisi jenis
vegetasi.
Menurut Sugden (1983), untuk mengetahui komposisi jenis disuatu daerah,
maka perlu mengetahui sifat-sifat suatu jenis seperti penyebaran, fisiologi dan bentuk
reproduksi. Selanjutnya dikemukakan bahwa komposisi jenis komunitas hutan sangat
beragam tetapi setiap jenis dalam suatu habitat mempunyai sifat-sifat yang hampir
sama.
Pengetahuan komposisi jenis dapat dijadikan dasar pertimbangan dalam
pengelolaan hutan. Samingan (1976) menjelaskan dalam rangka pemanfaatan hutan
perlu mengetahui komposisi jenis pada tingkat pancang, tiang dan pohon. Selain itu,
Soerianegara dan Indrawan (1984) mengemukakan pentingnya mengetahui
komposisi. Dikatakan komposisi hutan alam merupakan salah satu aspek ekologi
yang penting bagi pengetahuan pengelolaan hutan. Struktur vegetasi adalah
menyangkut susunan bentuk (life form) dari suatu vegetasi yang merupakan
karakteristik vegetasi yang kompleks, dapat digunakan dalam penentuan stratifikasi
(vertikal dan horisontal) dan menjadi dasar dalam melihat jenis-jenis dominan,
kodominan dan tertekan (Richards, 1966).
Kershaw (1964) dalam Muller Dombois dan Ellenberg (1974) membagi
komponen struktur vegetasi dalam 3 komponen : 1) struktur vertikal yaitu strtifikasi
ke dalam lapisan, 2) struktur horisontal yaitu penyebaran populasi dan individu, dan
Smith (1980) membagi struktur komunitas dalam 3 komponen yaitu : 1) struktur fisik
yaitu struktur vertikal, horisontal dan ekotone, 2) komposisi jenis dan 3) niche.
Interaksi dalam suatu komunitas tercerrnin dari struktur dan komposisi vegetasi.
Stratifikasi yang terjadi dalam suatu tumbuh-tumbuhan di hutan terjadi karena adanya
persaingan dimana jenis-jenis tertentu berkuasa (dominan) dari jenis vegetasi lain,
pohon-pohon tinggi dalam lapisan paling atas menguasai pohon-pohon yang di
bawahnya (Soerianegara dan Indrawan, 1984).
Dominasi suatu jenis ditentukan oleh indeks nilai pentingnya. Jenis vegetasi
yang dominan adalah yang paling tinggi indeks nilai pentingnya. Menurut Muller
Domboisan dan Ellenberg (1974), indeks nilai penting adalah jumlah dari frekuensi
relatif, dominasi relatif dan kerapatan relatif.
Kegunaan mengetahui struktur baik struktur vertikal maupun struktur horisontal
oleh para ahli dilihat dari berbagai aspek. Menurur Clutter dan Bennet (1965),
struktur tegakan secara horisontal sangat berguna sebagai dasar : 1) penaksiran
volume kayu per satuan luas, 2) penentuan jarak tanam, dan 3) penilaian biaya
pemungutan hasil hutan, Soerianegara dan Indrawan (1984), menambahkan struktur
vegetasi hutan alam merupakan salah satu aspek ekologi yang penting bagi
pengetahuan pengelolaan hutan. Sedangkan struktur vertikal (stratifikasi vertikal)
sangat berguna berkaitan dengan kebutuhan cahaya yaitu toleransi suatu jenis
Soerianegara dan Indrawan (1984) membagi strafifikasi tajuk dalam hutan
hujan tropika ke dalam 5 lapisan sebagi berikut :
1. Lapisan A ; lapisan teratas, ditandai oleh tajuk yang terputus, biasanya tinggi
pohon 30 m ke atas.
2. Lapisan B ; secara urnum tajuknya tidak terputus, tinggi pohon antara 20
-
30meter.
3. Lapisan C ; tajuknya tidak terputus, tinggi pohon antara 4
-
20 m.4. Lapisan D ; lapisan perdu dan semak, tingginya 1
-
4 m.5. Lapisan E ; lapisan tumbuh-tumbuhan penutup tanah, tinggi kurang dari 1 m.
Menurut Muller Dombois dan Ellenberg (1974) dan Richards (1983), diagram profil
hutan adalah salah satu cara untuk menggambarkan struktur vertikal dan horisontal,
tetapi diagram profil hanya bersifat kualitatif dan sulit menentukan lokasi yang
mewakili komunitas hutan.
Dalarn pembuatan diagram profil, peubah yang diukw adalah tinggi pohon
total, tinggi pohon bebas cabang, diameter pohon dan proyeksi tajuk (Torquebiau,
1982). Ditambahkan oleh Oldeman (1983) untuk mempelajari arsitektur pohon
dengan cara pembuatan diagram profil diperlukan data sebagai berikut : 1) unit
regenerasi (eco
-
unit), 2) perkembangan mosaik (a chrana-unit), dan 3) mosaikPola Sebaran Spasial
Pola sebaran spasial tanaman maupun satwa merupakan karakter penting dalam
komunitas ekologi hutan rawa gambut. Hal ini biasanya merupakan kegiatan awal
yang dilakukan untuk meneliti suatu komunitas dan merupakan ha1 yang sangat
mendasar dari kehidupan suatu organisme (Cornel, 1963 dalam Ludwig & Reynold,
1988). Pola sebaran spasial ini merupakan aspek penting dalam struktur populasi
dan terbentuk oleh faktor intrinsik spesies dan kondisi habitatnya (Iwao, 1970).
Hutchinson (1953) dalam Ludwig dan Reynold (1988) menyebutkan faktor-
faktor yang mempengaruhi pola sebaran spasial, yaitu :
a. Faktor vektorial, yaitu faktor yang dihasilkan dari aksi lingkungan
(misalnya angin, intensitas cahaya, dan air)
b. Faktor reproduksi, yaitu bagaimana cara organisme tersebut bereproduksi
c. Faktor co-aktif, yaitu faktor yang dihasilkan dari intraspesifik (misalnya
kompetisi)
d. Faktor stokastik, yaitu faktor yang dihasilkan dari variasi acak pada
beberapa faktor di atas.
Terdapat tiga pola dasar sebaran spesies yaitu : (1) acak atau random , (2)
mengelompok atau clump, (3) seragam atau uniform (Odum, 1959 ; Ludwig &
Reynold, 1988 ; McNaughton & Wolf, 1990). Pola acak terbentuk sebagai akibat
dari lingkungan yang homogen (Odurn, 1973 ; Ludwig & Reynold, 1988) atau
perilaku yang non selektif (Ludwig & Reynold, 1988 ; McNaughton & Wolf, 1990).
terdapatnya suatu faktor pembatas pada populasi yang ada (Ludwig & Reynold,
1988). Bila sebaran tersebut mengelompok, berarti keberadaan suatu individu pada
suatu titik meningkatkan peluang adanya individu yang sama pada suatu titik yang
lain di dekatnya. Sedangkan sebaran populasi seragam merupakan kejadian yang
berlawanan seperti apa yang terjadi pada sebaran mengelompok.
Sebaran suatu spesies dikontrol oleh faktor lingkungannya terutama berlaku
bagi organisme yang mempunyai kisaran kemarnpuan adaptasi yang sempit
(Bartholomew 1958 dalam Krebs, 1978). Selanjutnya Krebs (1 978) menyatakan
bahwa hewan atau tumbuhan dalam fase awal kehidupannya sering mempunyai
kepekaan yang tinggi terhadap lingkungan. Faktor-faktor yang membatasi distribusi
antara lain tingkah laku, suhu, hubungan timbal balik dengan organisme lain,
kelembaban serta faktor fisik dan kimia lainnya.
Pola spasial yang didapat dari hutan hujan tropis merupakan kunci penting
untuk memahami keberadaan dan kelimpahan jenis-jenis pohon (Niyama et al.,
1999). Manokaran et al. (1 992) dalam Ibie (1 997) mengungkapkan berdasarkan
penelitian mengenai pola spasial spesies pohon di Hutan Cadangan Pasoh Peninsular
Malaysia, bahwa sebaran spasial yang terjadi pada spesies pohon tergantung pada
tofografi, kelembaban tanah, posisi pohon induk, dan celah kanopi.
Celah KanopiJRumpang
Celah kanopi (rurnpang atau gap) merupakan kejadian alam yang umum
patarebahnya batang atau dahan pohon oleh barbagai faktor seperti mati karena
usia, angin, tanah longsor, gempa bumi, penebangan pohon dan sebagainya
(Hartshorn, 1 986).
Selanjutnya Whitmore (1986) mengungkapkan bahwa disamping diakibatkan
oleh faktor angin, badai dan kilat, serangan binatang seperti serangga dan jamur dapat
menyebabkan kematian pohon besar secara perlahan dan menciptakan adanya celah.
SeIain terbentuknya celah rebahnya pohon-pohon besar akan menghasilkan pula
gundukan atau lubang pada tanah setinggi 1
-
2 meter akibat terbongkarnya tanaholeh akar-akar pohon yang rebah. Terbentuknya celah merupakan titik kritis bagi
perrnudaan dan perkembangan dari banyak jenis pohon penyusun tajuk hutan di hutan
rawa gambut (Hartshorn, 1 986 ; Whitmore, 1 986).
Terbentuknya celah mengakibatkan pengurangan kompetisi akar dan perubahan
iklim mikro seperti peningkatan kualitas dan kuantitas cahaya, peningkatan
temperatur dan menurunnya kelembaban (Hartshorn, 1986 ; Whitmore, 1986). Celah
juga dapat meningkatkan kandungan hara dengan membusuknya tanaman yang mati,
mengurangi kompetisi akar, serta terkadang merubah relief mikro dan profil tanah
(Whitmore, 1986). Hal lain yang penting adalah dengan terbentuknya celah berarti
berkurang atau hilangnya pengendalian oleh jenis dominan terhadap anakan pohon
yang ada di bawahnya.
Keberadaan dan pertumbuhan dari berbagai spesies pohon sangat berkaitan erat
semai. Ketahanan dan keberadaan pohon pada tingkat semai adalah lebih besar pada
celah dibandingkan kanopi tertutup (Gray dan Spies, 1996).
Permudaan dalam celah adalah suatu mekanisme penting dalam memelihara
populasi dan komunitas dalam hutan rawa gambut. Karakteristik celah berupa ukuran
dan kepadatan celah kanopi sangat besar pengaruhnya terhadap keberhasilan
permudaan (Yamamato, 1995). Ukuran celah juga dapat mempengaruhi jenis mana
yang dapat mengkolonisasi suatu celah (Hartshorn, 1986). Keadaan menyangkut
celah kanopi seperti dijelaskan di atas berperan menciptakan suatu mekanisme
suksesi dan kompetisi jenis secara lokal serta menghasilkan dinamika pada
komposisi dan struktur komunitas tegakan hutan ( Hartshorn, 1986).
Berbagai spesies akan berbeda keberhasilannya dalam celah dari berbagai
ukuran, karenanya ukuran celah merupakan suatu ha1 penting yang berpengaruh
terhadap komposisi jenis dan pola spasial dalam hutan (Whitmore, 1986). Pendapat
yang mendukung pernyataan bahwa celah kanopi dapat memberikan
pengaruh terhadap pola sebaran spasial jenis pohon dikemukakan oleh
Armesto et al., (1986) dalam Yamamato (1995) yang mengemukakan bahwa
kerusakan dalam skala besar (seperti kebakaran, gempa, aliran vulkanik dan badai)
meningkatkan proporsi spesies tersebar secara random, sedangkan celah yang
diakibatkan pohon turnbang meningkatkan proporsi jenis pohon yang menyebar
METODOLOGI PENELlTlAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di hutan rawa gambut primer dan bekas tebangan di
PT. Rokan Permai Timber, BKPH Duri, Kabupaten Dati II Bengkalis, Propinsi Riau.
Survey lapangan dalam penelitian ini diselesaikan selama 3 (tiga) bulan yaitu
dari bulan Mei sampai dengan Juli 2001.
Bahan dan Alat Penelitian
Bahan utama penelitian ini adalah hutan rawa gambut primer (belum
dieksploitasi) dan hutan rawa gambut bekas tebangan, 1 tahun, 3 tahun, 5
tahun, danlO tahun.
Peralatan dan bahan aus yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur
diameter (phi-band), alat ukur tinggi (haga hypsometer), alat ukur jarak 50 meter,
alat ukur arah (kompas), tub solar radiasi, soil pH meter, water pH meter, hand
counter, peta kerja, peta vegetasi, peta iklim, dan peta lainnya, tally sheet
inventarisasi dan alkohol70%, kamera, serta galah pengukur kedalaman gambut.
Prosedur Penelitian
Komposisi Jenis dan Struktur Permudaan
Untuk mengetahui komposisi jenis dan struktur permudaan dilakukan analisis
menurut tingkat pertumbuhan vegetasi pada masing-masing komunitas hutan (hutan
primer, areal bekas tebangan 1 tahun, 3 tahun, 5 tahun, dan 10 tahun.
Besarnya ukuran petak contoh yang dibuat di lapangan untuk semua
komunitas hutan yang diteliti adalah 80 m x 80 m (0,64 ha) dan setiap komunitas
hutan dibuat 3 petak contoh (3 ulangan). Seandainya pada ukuran petak contoh 80
m x 80 m terdapat penambahan jenis 2 5% maka ukuran petak contoh dapat ditambah menjadi 80 m x 160 m. Jadi jumlah petak contoh pengamatan untuk
semua komunitas hutan berjumlah 15 petak contoh.
Penempatan petak contoh ditentukan secara stratified random sampling
berdasarkan kondisi hutan (primer dan bekas tebangan). Analisis vegetasi dilakukan
dengan metode jalur atau transek. Pada setiap petak contoh dibuat sub petak-sub
petak yang bervariasi ukurannya berdasarkan tingkat pertumbuhan vegetasi.
Pembuatan sub petak tersebut dilakukan secara nested sampling, dimana sub petak
yang berukuran lebih besar mengandung sub petak yang berukuran lebih kecil.
Ukuran petak ukur tersebut adalah 2 m x 2 m untuk tingkat semai, 5 m x 5 m untuk
tingkat pancang dan 10 m x 10 m untuk tingkat tiang dan 20 m x 20 m untuk tingkat
pohon. Disain petak contoh vegetasi di lapangan dapat dilihat pada Gambar 2 dan
-
8 0 m-
Gambar 2. Disain petak contoh di lapanganKeterangan : a = Sub Petak Tingkat Semai (2 m x 2 m) b = Sub Petak Tingkat pancang (5 m x 5 m)
c = Sub Petak Tingkat Tiang (10 m x 10 m)
d = Sub Petak Tingkat Pohon (20 m x 20 m)
Gambar 3. Disain sub petak contoh-sub petak contoh dalam petak contoh. Arah rintis 20 m
d
b
C
Kriteria tingkat pertumbuhan permudaan yang dipergunakan adalah
berdasarkan TPTl (1 993) yaitu :
C
b a
d
Permudaan tingkat semai ialah permudaan dengan ukuran tinggi 0,3 m
-
1,5 m.Permudaan tingkat pancang ialah permudaan yang berukuran lebih tinggi dari
1,5 m dengan diameter kurang dari 10 cm.
Permudaan tingkat tiang ialah pohon muda yang berdiameter 10 cm
-
19 cm.Permudaan tingkat pohon ialah tumbuhan berkayu berdiameter 20 cm ke atas.
Selanjutnya parameter vegetasi yang diukur adalah :
Jenis, jumlah dan tinggi untuk tingkat semai
Jenis, jumlah, diameter, dan tinggi untuk tingkat pancang serta tiang.
Struktur vertikal dari hutan primer dan hutan bekas tebangan diamati dengan
membuat diagram profil mengikuti cara yang dikembangkan Torqueibiau (1982)
yaitu dengan membuat plot contoh 20 m x 40 m seperti pada gambar 3.. Penetapan
plot contoh diusahakan mewakili kondisi vegetasi yang diamati. Untuk pembuatan
peta pohon, pengukuran koordinat pohon dilakukan pada tiap-tiap petak contoh,
untuk pohon berdiameter 20 cm ke atas.
Gambar 3. Petak pengamatan diagram profil.
Keterangan :
* = Posisi pohon
x = Koordinat posisi pohon sumbu x y = Koordinat posisi pohon sumbu y
[image:163.595.156.411.459.608.2]Tanah
Tabel 1. Kriteria penilaian tingkat kesuburan tanah gambut (Wiradinata dan Hardjosoesastro, 1979)
Untuk mengetahui sifat dan kimia tanah, maka dilakukan pengukuran
kedalaman gambut pada setiap sub plot atau petak ukur analisa vegetasi dengan
menggunakan galah ukur seperti berikut ini :
Pengambilan contoh uji dengan menggunakan bor gambut pada setiap sub plot
tersebut.
Pengelompokan kedalaman gambut dari kedalaman yang sama, kemudian diambil
sampel untuk dianalisis sifat kimia tanahnya yaitu : pH tanah, pH air, Kandungan
C organik, N, P, K, Ca, Mg, Na, Al, dan kadar abu di Laboratorium Tanah
Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor.
Untuk mengetahui pH air tanah diukur secara langsung pada setiap sub plot
dengan menggunakan (water pH meter) dan alat ukur pH tanah (soil pH meter).
Uraian
PH (H20) N-total (%)
P-tersedia (ppm) K-tersedia (me1100 g)
Analisis data
Komposisi Jenis, Struktur Tegakan dan Tegakan Tinggal
Untuk mengetahui komposisi jenis vegetasi digunakan rumus sebagai berikut
Cox (1 972) :
Kriteria Penilaian Rendah
< 4
< 0,2
< 20
< 0,39
Sedang 4,O - 5,O 0,2 - 0,5 20 - 40 0,39 - 0,78
Tinggi
> 5,O
> 0,5
> 40
[image:164.590.94.518.173.249.2]Banyaknya individu suatu jenis Kerapatan (K)
-
-
Luas contoh
Kerapatan mutlak suatu jenis
Kerapatan relatif (KR) = x 100%
Kerapatan total seluruh jenis
Jumlah petak contoh ditemukan suatu jenis Frekuensi (F)
-
-
Jumlah seluruh petak contoh
Frekuensi mutlak suatu jenis
Frekuensi relatif (FR) = x 100%
Luas contoh
Jumalah luas bidang dasar suatu jenis Dominasi (D)
-
-
Luas contoh
Dominasi mutlak suatu jenis
Dominasi relatif (DR) = x 100%
Dominasi total seluruh jenis
lndeks Nilai Penting
=
Kerapatan Relatif + Frekuensi Relatif+
Dominasi RelatifUntuk tingkat pancang dan semai, indeks nilai penting adalah penjumlahan dari nilai
kerapatan relatif dan frekwensi relatif.
1. Penyebaran lndividu dalam Ruangan
Untuk mengetahui pola penyebaran individu dalam ruang digunakan Morishita
*
0 . 9 7 5 - n + C x Uniform lndeks (Sebaran teratur) =M =
"
0.025 - n + 7 5 - n + x x , Clumped lndeks (Sebaran mengelompok) =Mc
=1
- I
Keterangan : n = jumlah plot
X = jumlah individu dalam plot
Standarisasi rumus Morishita Aggregation indeks :
Id
-
MCJika Id 2 Mc > 1.0 digunakan I p = 0. 5 + 0. 5
n - Mc
Jika Mc > Id
2
1.0 digunakanJika 1.0 > Id > Mu digunakan
Jika 1.0