Skripsi
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Ilham Ismail
NIM : 106043101303
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
ii
SkripsiDiajukan Sebagai Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Ilham Ismail NIM : 106043101303
Pembimbing :
Dr. H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc., MA NIP : 195008171989021001
KONSENTRASI PERBANDINGAN MAZHAB FIKIH
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB DAN HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
iii Dengan ini saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh Gelar Strata Satu (S I) di Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil asli saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta; 15 Rabiul Akhir 1432 H 21 Maret 2011 M
iv
Alhamdulillah, segala puja dan puji bagi Allah SWT yang Maha
Pengasih dan Penyayang, penulis panjatkan sebagai ungkapan rasa syukur
atas segala limpahan hidayah, rahmat dan nikmat-Nya kepada penulis,
sehingga dengan kudrat dan iradatnya penulis dapat menyelesaikan skripsi
ini dengan baik.
Salawat serta salam semoga Allah SWT limpahkan kepada Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia untuk mengikuti
petunjuk dengan risalahnya yakni Agama Islam, yang akan menyelamatkan
dan menghantarkan pemeluknya menuju kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Dibalik selesainya skripsi yang berjudul “Wasiat Kepada Ahli
Waris “Studi Komparatif Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam Dengan
Hukum Islam”, yang merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Hukum Islam (SHI) Prodi Perbandingan Mazhab dan Hukum
(PMF), Fakultas Syariah dan Hukum, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
tentunya banyak kendala dan cobaan yang penulis hadapi dalam proses
penulisannya terutama cobaan mental yang terasa begitu berat, di tengah
kemampuan ekonomi yang kurang memadai. Akan tetapi, dengan penuh
keyakinan dan ketabahan penulis mampu melewati segala persoalan
tersebut.
Banyak pihak yang membimbing dan membantu dalam proses
penyelesaian skripsi ini. Oleh karena itu ucapan terima kasih yang tiada
v
Dr. Drs. H. M. Amin Suma., SH., MA., MM., beserta seluruh staf jajarannya
yang tidak bisa disebutkan satu-persatu yang telah memberikan bimbingan
serta arahan, baik secara langsung maupun tidak langsung selama penulis
menimba ilmu di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
2. Ketua Program Studi Perbandingan Mazhab dan Hukum, Fakultas Syariah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Dr. H. Muhammad Taufiki,
M.Ag., dan Fahmi Muhammad Ahmadi, S.Ag, M.Si selaku Sekretaris Prodi
yang telah memberikan arahan kepada penulis baik secara langsung maupun
tidak langsung.
3. Dr. H. Abdul Wahab Abd. Muhaimin, Lc., MA pembimbing skripsi yang
telah banyak memberikan bantuan, baik dari segi arahan, waktu, tenaga, dan
pikirannya sehingga skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik.
4. Pimpinan dan Karyawan Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta dan Pimpinan, staf, karyawan perpustakaan Fakultas Syariah Dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang telah memberikan fasilitas
untuk mengadakan studi kepustakaan berupa buku-buku ataupun lainnya,
sehingga penulis memperoleh informasi yang dibutuhkan.
5. Seluruh dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan kepada penulis selama
menjalani masa pendidikan berlangsung. Semoga ilmu yang diberikan
vi balasan yang berlipat ganda.
Harapan penulis semoga skripsi ini berguna bagi penulis
khususnya dan bagi pembaca pada umumnya. Akhirnya hanya kepada Allah
SWT segala urusan akan kembali dan kepada-Nyalah kita memohon hidayah
dan taufiq serta ampunan.
Jakarta; 7 Rabiul Awal 1432 H
11 Februari 2011 M
vi
KATA PENGANTAR ...
i
DAFTAR ISI ...
iv
BAB I : PENDAHULUAN ………. 1
A. Latar Belakang Masalah ... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah ... 12
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 12
D. Kajian Pustaka ... 13
E. Metode Penelitian ... 14
F. Sistematika Penulisan ... .... 15
BAB II : KETENTUAN UMUM TENTANG WASIAT ………….. 17
A. Pengertian Wasiat ... 17
B. Dasar Hukum Wasiat ... 19
C. Hukum Wasiat ... 24
D. Rukun dan Syarat Wasiat ... .... 26
E. Kadar Dan Hikmah Wasiat ... 31
vii
A. Sekilas Tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 35
B. Landasan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 45
C. Kedudukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dalam Sistem Hukum Nasional ... 48
D. Tujuan Perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 51
BAB IV : ANALISIS WASIAT KEPADA AHLI WARIS MENURUT KOMPILASI HUKUM ISLAM (KHI) PASAL 195 DAN HUKUM ISLAM ……… 54
A. Kedudukan Wasiat Kepada Ahli Waris ... 54
1.Menurut Imam Mazhab ... 54
2.Menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) ... 59
B. Relevansi Pasal 195 Kompilasi Hukm Islam (KHI) Tentang Wasiat Kepada Ahli Waris di Indonesia ... 63
BAB V : PENUTUP ………. 66
A. Kesimpulan ... 66
B. Saran-saran ... 67
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan, tekhnologi dan pengaruh
informasi global telah merambah ke seluruh aspek kehidupan, tidak saja membawa
kemudahan dalam fasilitas kehidupan tetapi juga menimbulkan perilaku dan
persoalan-persoalan baru yang membutuhkan pemecahan hukumnya. Dalam hal ini
ijtihad menjadi sebuah jawaban hukum atas persoalan-persoalan yang ada di
tengah-tengah umat Islam. Upaya ini dilakukan mengingat universalitasnya ajaran Islam.
Dengan demikian hukum Islam harus selalu dapat menjawab tantangan zaman. Ini
karena fikih sebagai aplikasi operasional dari pemahaman terhadap syari’ah dapat
berubah sesuai dengan situasi yang berubah pula. Dengan demikian sifat fikih sangat
fleksibel. Dalam kaidah ushuliyyah terkenal dengan ungkapan:
ﺔّﻠﻌﻟا ﻊﻣ روﺪﯾ ﻢﻜﺤﻟا
ﺎﻣﺪﻋ و ادﻮﺟو
.
1
Artinya: Keberadaan hukum itu sesuai dengan ‘illatnya, baik ada dan tidak adanya.
Pada dasarnya, hukum Islam dihadirkan dalam rangka untuk merealisasikan
kemashlahatan individu maupun kemashlahatan sosial yang selalu sesuai dengan
tuntutan perubahan zaman. Oleh kerenanya, hukum Islam selalu bersifat elastis dan
1
fleksibel. Dalam rangka inilah, selalu diperlukan ijtihad agar terealisasikannya hukum
Islam.
Dalam konteks keindonesiaan yang masyarakatnya majemuk dan mayoritas
warga negara memeluk agama Islam, banyak upaya yang dilakukan oleh ulama agar
hukum Islam menjadi hukum positif dan mempunyai kekuatan hukum. Oleh
karenanya, diantara upaya untuk merealisasikan hukum Islam adalah Fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI), Bahtsul Masail dan juga Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Selain itu juga, untuk menjawab seputar masalah hukum Islam yang terjadi seiring
dengan berkembangnya zaman.
Undang-undang Dasar Negara Republik Indoneisa (UU NRI) Tahun 1945
menentukan dalam pasal (2) bahwa Peradilan Agama merupakan salah satu
lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung bersama badan
peradilan lainnya di lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Tata Usaha Negara, dan
Peradilan Militer. Peradilan Agama merupakan salah satu Badan Peradilan pelaku
Kekuasaan Kehakiman (KK) untuk menyelenggarakan penegakan hukum dan
keadilan bagi rakyat pencari keadilan perkara tertentu antara orang-orang yang
beragama islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infak,
sedekah, dan ekonomi syariah.2
Dalam Undang-undang ini kewenangan pengadilan di lingkungan Peradilan
Agama diperluas, hal ini sesuai dengan perkembangan hukum masyarakat, khususnya
2
masyarakat muslim. Perluasan tersebut antara lain meliputi ekonomi syariah. Dalam
kaitannya dengan perubahan Undang-undang ini pula, kalimat yang terdapat dalam
penjelasan umum UU no. 7 Tahun 1989 tentang PA (UU PA No.7/89) yang
menyatakan: “Para pihak sebelum berperkara dapat mempertimbangkan untuk
memilih hukum apa yang digunakan dalam pembagian waris”, dinyatakan dihapus.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) disusun dan dirumuskan untuk mengisi
kekosongan hukum substansional (mencakup hukum Perkawinan, Kewarisan dan
Perwakafan) yang diberlakukan pada Pengadilan dalam lingkungan Peradilan
Agama.3 Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang tertuang dalam Instruksi Presiden
Nomor 1 Tahun 1991 dilaksanakan dengan keputusan Menteri Agama Nomor 154
Tahun 1991.4 Dalam sejarah, penerapan hukum Islam dalam proses pengambilan
keputusan di Peradilan Agama selalu menjadi masalah, oleh karena rujukan yang
digunakan oleh Peradilan Agama senantiasa beraneka ragam. Ia terdiri atas beragam
kitab fikih dari berbagai aliran (mazhab), yang berakibat munculnya keragaman
putusan terhadap perkara yang serupa. Hal ini sangat merisaukan para petinggi
hukum terutama di kalangan Mahkamah Agung dan Dapertemen Agama. Dengan
diberlakukannya Kompilasi Hukum Islam (KHI) kekosongan hukum itu telah terisi.
Dalam perumusan Kompilasi Hukum Islam (KHI), secara substansional
dilakukan dengan mengacu kepada sumber hukum Islam yakni Qur’an dan
Al-Sunnah dan secara hierarkial mengacu kepada Peraturan Perundang-undangan yang
3
Cik Hasan Basri, Kompilasi Hukum Islam Dan Peradilan Agama Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999), h. 2
4
berlaku.5 Di samping itu, para perumus Kompilasi Hukum Islam (KHI)
memperhatikan perkembangan yang berlaku secara global dan memperhatikan
tatanan hukum barat yang tertulis (terutama hukum eropa kontinental) dan tatanan
hukum adat yang memiliki titik temu dengan tatanan hukum Islam. Berkenaan
dengan hal itu, dalam beberapa hal maka terjadi adaptasi dan modifikasi tatanan
hukum lainnya itu ke dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Di Bidang Kewarisan, Wasiat dan Perwakafan (Buku II dan Buku III) dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI), pada dasarnya merupakan suatu bentuk peralihan
dari hukum kewarisan dan hukum perwakafan menurut pandangan fuqaha ke dalam
bentuk qanun. Namun demikian, terdapat ketentuan yang terkait dengan masyarakat
majemuk, khususnya dengan tradisi yang berlaku dalam berbagai satuan masyarakat
lokal, diantaranya ketentuan pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang
kebolehan memberikan wasiat kepada ahli waris dengan syarat adanya persetujuan
dari ahli waris lainnya.
Dalam hal wasiat, Islam mensyari’atkan ketentuan adanya wasiat dengan
tujuan untuk mempererat tali persaudaraan antar sesama dan juga bentuk amal jariyah
si mayit sebagai tambahan amal kebajikannya. Adapun dalam pelaksanaannya, wasiat
dapat dilaksanakan bila si mayit mempunyai harta peninggalan dan sudah dibereskan
masalah yang sudah berkaitan dengan si mayit seperti biaya penguburan dan hutang
piutang. Dengan demikian masalah perwasiatan erat hubungannya dengan harta
peninggalan si mayit yang bahasa arab disebut tirkah.
5
Secara khusus tirkah diartikan dengan segala apa yang ditinggalkan oleh si
mayit dibenarkan oleh syari’at untuk dipusakai bagi ahli waris, seperti kebendaan
sifat-sifat yang mempunyai nilai kebendaan, serta bukan kebendaan yang
bersangkutan dengan orang lain.6 Demikian juga diungkapkan oleh ulama Malikiyah,
Syafi’iyah dan Hanabilah sedangkan Hanafi dan Ibnu Hazm hanya berupa harta
benda saja.
Adapun hak-hak yang berkaitan dengan peninggalan terdiri atas beberapa
urutan, seperti hak yang berkaitan dengan zat harta tirkah, pengurusan biaya jenazah,
pelunasan hutang piutang. Hutang piutang kepada Allah SWT, seperti pelaksanaan
ibadah haji bila mampu atau hutang kepada manusia, seperti melaksanakan wasiat
dan pembagian waris.7
Dalam syari’at Islam pelaksanaan wasiat telah diatur oleh Al-Qur’an juga
Al-Sunnah. Adapun sumber hukum yang dijadikan rujukan tentang wasiat adalah
yang terdapat dalam Surat al-Baqarah Ayat 180 dan juga Surat al-Maidah Ayat 106.
Adapun dalam pelaksanaannnya dilakukan setelah orang yang berwasiat telah
meninggal dunia.
Wasiat hanya berlaku sepertiga dari harta peninggalan bila masih ada ahli
waris dari si mayit, baik wasiat itu dikeluarkan masih sakit atau sehat. Apabila
melebihi sepertiga harta peninggalan, maka kesepakatan ulama mazhab adalah
membutuhkan izin dari ahli waris yang ada. Bila ada sebagian mengizinkan
6
Fathurrahman, Ilmu Waris, (Bandung: al-Ma’arif,1984), h. 36-37 7
sedangkan yang lain tidak, maka kelebihan dari sepertiga itu dikeluarkan dari harta
yang mengizinkan, sedangkan izin ahli waris adalah sah dan berlaku jika ia berakal
sehat, baligh dan dapat dipercaya.8
Berdasarkan sumber hukum tentang wasiat yang tersebut di atas, para ahli
hukum Islam berbeda pendapat tentang status hukum wasiat ini. Mayoritas mereka
berpendapat bahwa status hukum wasiat adalah tidak fardhu ‘ain, baik kerabat dan
orang tua atau kepada mereka yang tidak menerima warisan.9
Implikasi wasiat yang dipahami oleh para ahli hukum Islam itu adalah
kewajiban wasiat hanya dipenuhi jika seseorang telah berwasiat secara nyata, jika
mereka tidak berwasiat maka tidak perlu mengada-ngada agar wasiat dilaksanakan
karena ketentuan yang tersebut dalam Al-Qur’an dalam Surat al-Baqarah Ayat 180
telah dinasakh oleh Surat an-Nisa Ayat 11-12. Oleh karena itu kedua orang tua dan
kerabat dekatnya, baik orang-orang yang menerima warisan ataupun tidak menerima
warisan setelah turunnya Surat an-Nisa Ayat 11-12 itu sudah tertutup haknya atau
dengan kata lain tidak menrima wasiat.
Pada dasarnya, setiap orang berhak untuk mewasiatkan hartanya kepada
siapa yang dikehendakinya, namun harus terikat dengan beberapa ketentuan. Adanya
ketentuan-ketentuan itu dimaksudkan agar pelaksanaan hak seseorang untuk
berwasiat jangan sampai merugikan pihak yang lain. Adapun tentang hukum
8
Jawad Mighniyah, Terjemah Fikih Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera Basritama, 1996), h.513
9
berwasiat, para ulama hukum Islam tidak ada perbedaan di kalangan mereka dalam
kebolehannya berwasiat sebagian harta kepada siapa yang dikehendakinya selain ahli
waris yang akan mendapatkan harta warisan, dengan syarat tidak boleh lebih dari
sepertiga dari harta peninggalan.
Berbeda dengan hal itu, ulama berselisih pendapat tentang hukum berwasiat
kepada salah seorang ahli waris yang akan mendapat pembagian warisan:10
1. Pendapat yang dipegang oleh para Imam Mazhab yang empat: Abu Hanifah,
Malik, Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal, mengatakan bahwa pihak yang menerima
wasiat harus bukan yang terdiri dari ahli waris yang mendapat pembagian harta
warisan bilamana dalam kasus tersebut terdapat ahli waris yang lain. Sehingga
wasiat kepada ahli waris tidak sah. Alasan mereka beberapa ketegasan Rasulullah,
antara lain hadis riwayat Nasa’iy:
ثراﻮﻟ ﺔّﯿﺻو ﻻ و ﮫّﻘﺣ ّﻖﺣ ىذ ّﻞﻛ ﻰﻄﻋا ﺪﻗ ﷲا ّنا
)
ىءﺎﺴّﻨﻟا هاور
(
11
Artinya: “Sesungguhnya Allah SWT telah memberikan hak terhadap orang-orang yang mempunyai hak, untuk itu tidak ada wasiat bagi ahli waris”. (HR. Al-Nasa’iy)
Hadis tersebut menunjukan bahwa wasiat kepada ahli waris tidak sah kecuali atas
izin ahli waris yang lain. Menurut aliran ini Surat al-Baqarah Ayat 180 :
10
Setria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Islam Kontemporer, (Jakarta: Kencana, 2004), h. 380
11
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seseoramg diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat kepada ibu bapaknya dan karib kerabatnya secara baik, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa”.(QS. al-Baqarah/2: 180)
Ayat ini telah dinasakh oleh ayat pembagian harta warisan, yakni Surat an-Nisa Ayat 11-14:
Artinya: “Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. yaitu : bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah.
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS.
An-Nisa/04: 11)
meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), Maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. tetapi jika Saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, Maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari'at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi
Maha Penyantun. (QS. An-Nisa/04: 12)
(Hukum-hukum tersebut) itu adalah ketentuan-ketentuan dari Allah. barangsiapa taat kepada Allah dan Rasul-Nya, niscaya Allah memasukkannya kedalam syurga yang mengalir didalamnya sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah kemenangan yang besar. (QS. An-Nisa/04: 13)
Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan. (QS. An-Nisa/04: 14)
Dengan turunnya ayat mawaris tersebut, maka berakhirlah masa
diwajibkannya berwasiat kepada ahli waris sesama muslim. Ayat yang
mewajibkan berwasiat kepada ahli waris tersebut di atas, seperti dikemukakan
oleh Abdul Wahab Khalaf tidak lagi berlaku umum bagi ahli waris sesama
muslim, tetapi secara bagi kerabat yang terhalang untuk mendapatkan harta
warisan disebabkan berlainan agama.
2. Pendapat yang dianut oleh kalangan Malikiyah dan Zahiriyah menyatakan bahwa
larangan berwasiat kepada ahli waris tidak menjadi gugur dengan adanya izin dari
ahli waris yang lain. Menurut mereka larangan seperti itu termasuk hak Allah
yang tidak bisa gugur dengan kerelaan manusia yang dalam hal ini adalah ahli
waris. Ahli waris tidak berhak untuk membenarkan sesuatu yang dilarang Allah.
statusnya bukan lagi wasiat, tetapi menjadi hibah (pemberian) dari pihak ahli
waris itu sendiri, yang harus memenuhi syarat-syarat tertentu sebagaimana
lazimnya praktek hibah.12
3. Syi’ah Imamiyah dan sebagian dari Syi’ah Zaidiyah berpendapat boleh hukumnya
berwasiat kepada ahli waris tanpa ada persetujuan dari ahli waris yang lain dalam
batas jumlah sepertiga dari harta yang ditinggalkan. Mereka menolak pendapat
mayoritas ulama yang mengatakan bahwa Ayat 180 Surat al-Baqarah telah
dinasakh oleh ayat-ayat mawaris dalam Surat an-Nisa.13
Kompilasi Hukum Islam (KHI) sendiri dalam membahas tentang wasiat
menjabarkan dalam pasal 195 tentang kebolehannya berwasiat kepada ahli waris
setalah adanya persetujuan dari pihak ahli waris yang lain.
Berdasarkan hal-hal yang telah dipaparkan di atas dan untuk meneliti tentang
fenomena perbedaan pendapat tentang wasiat kepada ahli waris, secara khusus
tentang kebolehan wasiat kepada ahli waris yang ada dalam Kompilasi Hukum Islam
(KHI) karena disadari secara umum Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah
merupakan sumber hukum Islam yang sangat bercorak keindonesiaan, maka dari itu
penulis tertarik untuk menulis skripsi yang berjudul Peran “Wasiat Kepada Ahli Waris “Studi Komparatif Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam Dengan Hukum Islam”.
12
Jawad Mighniyah, Terjemah Fiqh Lima Mazhab, (Jakarta: Lentera Basritama, 1996), h. 240
13
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Dalam penulisan skripsi ini, penulis membatasi masalahnya berkisar tentang
pemberian wasiat kepada ahli waris menurut hukum Islam dan Kompilasi Hukum
Islam (KHI), kajian persamaan dan perbedaannya antara Kompilasi Hukum Islam
(KHI) dan Hukum Islam serta kajian tentang relevansinya dengan konteks
keindonesiaan.
Berdasarkan pembatasan masalah tersebut, maka terdapat pokok masalah
yang harus diteliti serta dikaji dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah pandangan hukum Islam dan pasal 195 Kompilasi Hukum Islam
(KHI) tentang wasiat kepada ahli waris serta persamaan dan perbedaannya antara
Kompilasi Hukum Islam (KHI) dan Hukum Islam tentang wasiat kepada ahli
waris?
2. Bagaimanakah relevansi pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) tentang wasiat
kepada ahli waris dengan konteks keindonesiaan saat ini?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Dari pembatasan dan perumusan masalah di atas, maka tujuan dari penulisan
skripsi adalah sebagai berikut:
1. Agar dapat mengetahui persamaan dan perbedaan tentang wasiat kepada ahli
waris antara pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan hukum Islam.
2. Agar dapat mengetahui relefansi pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Penulis pun berharap, dengan penulisan skripsi ini mampu memberi
manfaat:
1. Memperkaya pemahaman bagi penulis yang dalam hal ini lebih memahami kajian
hukum Islam dan tatanannya yakni Kompilasi Hukum Islam di Indonesia ini.
2. Secara praktis, dapat dijadikan sebagai dasar atau bandingan bagi para peminat
studi ini untuk mengkajinya lebih mendalam lagi dan menambah khazanah
kepustakaan.
D. Kajian Pustaka
Dalam penelitian yang telah lalu, ada penulisan skripsi yang terkesan mirip
dengan penulisan skripsi yang dipilih oleh penulis yakni skripsi yang ditulis oleh
Ahmad Syaukani, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum,
Jurusan Perbandingan Mazhab Dan Hukum Tahun 2006 yang berjudul “Pengaruh
Pembunuhan Tidak Sengaja Terhadap Wasiat Dalam Perspektif Hukum Islam”.
Pada penulisan skripsi ini, penulis membahas tentang pengaruh pembunuhan
yang dilakukan secara tidak sengaja terhadap wasiat, apakah pelaku pembunuhan
tidak sengaja masih memperoleh wasiat?
Berbeda dengan skripsi tersebut, dalam penulisan skripsi penulis “Faktor
Dan Pengaruh Pembentukan Pasal 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) Tentang
Wasiat Kepada Ahli Waris”, penulis lebih mendiskripsikan tentang kajian komparatif
tantang wasiat kepada ahli waris antara hukum Islam dengan yang ada dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang menjadi bagian dari sumber rujukan hukum
E. Metode Penelitian
1. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang dipakai dalam skripsi ini adalah pendekatan hukum
normatif, analisis deskriptif dan kajian perbandingan.
2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penulisan skripsi ini adalah pustaka yang bersifat
kualitatif yang dalam pengumlan datanya menggunakan bahan-bahan tulisan atau
dokumen. Penelitian kualitatif dilakukan terhadap banyaknya studi dokumenter yang
ada, sehingga penulis mengedepankan penelitian ini terhadap kualitas isi dari segi
jenis data.
Pada prinsipnya penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan, yang
kajiannya dilaksanakan dengan menelaah dan menelusuri berbagai literatur. Kualitatif
bersifat deskriptif, yaitu data yang terkumpul berbentuk kata-kata, bukan angka.14
3. Data Penelitian
a. Data Primer
Data primer yang digunakan dalam penelitian ini adalah Kompilasi Hukum
Islam (KHI) yang merupakan objek dari skripsi ini.
b. Data Sekunder
Bahan pustaka, buku-buku, literatur-literatur yang mempunyai hubungan
dengan skripsi ini.
14
4. Tekhnik Pengolahan Data
Setelah data-data kualitatif terkumpul, penulis menggunakan study
komparatif (perbandingan) dengan membandingkan pasal 195 Kompilasi Hukum
Islam (KHI) tentang wasiat kepada ahli waris dengan hukum islam.
5. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan skripsi ini, penulis menggunakan Buku Pedoman
Penulisan Skripsi Uin Syarif Hidayatullah Jakarta, Fakultas Syariah dan Hukum 2007
yang diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum.
F. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah dan memberikan arah serta gambaran materi yang
terdapat dalam skripsi ini, maka penulis menyusun dengan sistematika penulisan
sebagai berikut:
Bab I : Merupakan Pendahuluan Yang Terdiri Enam Sub Bab Yang Membahas Tentang Latar Belakang Masalah, Pembatasan Dan
Perumusan Masalah, Tujuan Dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Kajian
Terdahulu, Metode Penelitian Dan Sistematika Penulisan
Bab II : Ketentuan Umum Perwasiatan Menurut Hukum Islam. Adapun Fokus Kajiannya Adalah Pengertian, Dasar Hukum, Syarat Menerima
Bab III : Berisi Mengenai Kompilasi Hukum Islam (KHI). Adapun Fokus Kajiannya Adalah Dasar Pembentukan Dan Perumusan Kompilasi
Hukum Islam (KHI), Tujuan Dari Perumusan KHI.
Bab IV : Analisis Faktor dan Pengaruh Pembentukan Pasal 195 Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Tentang Wasiat Kepada Ahli Waris. Bab Ini
Terdiri Dari Dasar Pembentukannya Kompilasi Hukum Islam (KHI)
Dan Relefansinya Kompilasi Hukum Islam (KHI) Dengan Negara
Indonesia Saat Ini.
Bab V :Penutup Yang Meliputi Kesimpulan dan Saran-saran.
17
KETENTUAN UMUM TENTANG WASIAT
A. Pengertian Wasiat
Wasiat menurut bahasa adalah meminta sesuatu kepada orang lain agar ia
dapat mengerjakan sewaktu yang memberi tersebut tidak ada baik ia masih hidup atau
sudah mati.1 Sedangkan menurut istilah wasiat adalah suatu pemberian dari seseorang
kepada orang lain baik berupa barang, hutang piutang ataupun manfaat untuk dimiliki
oleh orang yang diberi wasiat sesudah orang yang berwasiat meninggal dunia.2
Pengertian secara bahasa tersebut masih bersifat umum, sehingga membatasi
terhadap kematian si pewasiat. Yang dititikberatkan di sini adalah keadaan si
pewasiat, apakah ia masih hidup atau sudah meninggal.
Untuk manjelaskan pengertian wasiat itu sendiri, di sini dikemukakan
beberapa definisi yang diberikan para ulama mazhab dan pakar dalam menta’rifkan
secara syara antara lain:
1. Ulama Hanafiyah memberikan pengertian tentang wasiat sebagai berikut:
اﻮﻟﺎﻗ ﺔﯿﻔﻨﺤﻟا
:
ءاﻮﺳ عﺮﺒﺘﻟا ﻖﯾﺮﻄﺑ تﻮﻤﻟا ﺪﻌﺑ ﺎﻣ ﻰﻟا فﺎﻀﻣ ﻚﯿﻠﻤﺗ ﺔﯿﺻﻮﻟا
أ
نﺎﻛ
ﻠﻤﻟا
ﺔﻌﻔﻨﻣ ما ﺎﻨﯿﻋ ﻚ
.
3
1
Sutan Rajasa, Kamus Ilmiyah Populer, (Surabaya: Karya Utama, 2002), h. 631 2
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, (Bandung: al-Ma’arif, 1990), Jilid 4, h. 217 3
Artinya: “Wasiat adalah memberikan hak milik kepada orang lain setelah (‘aqid) meninggal dunia dengan jalan sukarela, sama sebagaimana kepemilikan benda atau manfaat”.
2. Ulama Malikiyah mendefinisikan wasiat adalah sebagai berikut:
ﺔﯿﻜﻟﺎﻤﻟا
ﻟﺎﻗ
اﻮ
:
ﮫﺗﻮﻤﺑ مﺰﻠﯾ هﺪﻗﺎﻋ لﺎﻣ ﺚﻠﺛ ﻰﻓ ﺎﻘﺣ ﺐﺟﻮﯾ ﺪﻘﻋ ﺔﯿﺻﻮﻟا
.
4
Artinya: “Wasiat adalah suatu ‘aqad perjanjian yang menimbulkan suatu dalam memperoleh sepertiga harta dari orang yang memberikan janji yang bisa dilangsungkan ketika yang memberikan itu meninggal dunia.”
3. Ulama Syafi’iyah mengartikan wasiat sebagai berikut:
5
.
ﻻ و
أ
ﺎﻈﻔﻟ ﮫﻓﺎﺿ
أ ءاﻮﺳ تﻮﻤﻟا ﺪﻌﺑ ﺎﻣ ﻰﻟإ
فﺎﻀﻣ ﻖﺤﺑ عﺮﺒﺗ ﺔﯿﺻﻮﻟا اﻮﻟﺎﻗ ﺔﯿﻌﻓﺎﺸﻟا
Artinya: “Wasiat adalah sama dengan amal shadaqah dengan satu hak yang duiksandarkan pada keadaan setelah mati, baik dengan ucapan atau tidak.”
4. Ulama Hanabilah menjelaskan wasiat adalah sebagai berikut:
6
.
تﻮﻤﻟا ﺪﻌﺑ فﺮﺼﺘﻟﺎﺑ ﺮﻣﻻا ﻲھ ﺔﯿﺻﻮﻟا
:
اﻮﻟﺎﻗ
ﺔﻠﺑﺎﻨﺤﻟا
Artinya: “Wasiat adalah menyuruh orang lain untuk melakukan daya upaya
setelah orang yang berwasiat itu meninggal dunia”
Pengertian wasiat sebagaimana yang telah diungkapkan oleh Hanafiyah,
Malikiyah, Syafi’iyah serta Hanabilah pada dasarnya adalah sama, yaitu suatu akad
yang memindahkan hak milik yang kepemilikannnya diserahkan setelah si pewasiat
telah meninggal dunia.
4
Abd al-Wahab al-Baghdadi, al-Ma’unah ‘Ala Mazhab‘Alim al-Madinah al-Imam Malik bin Annas, (Beyrut: Dar al-Fikr, 1995), Jilid 3, h. 1619
5
Abdurrahmsn al-Juzairy, al-Fikih ‘Ala al-Mazahib al-Arba’ah, (Beyrut, Dar Irsyad al-Thaba’ah 1647), Juz 3, h. 316
6
Sedangkan para pakar mengartikan wasiat sama dengan menghibahkan
sesuatu kepada orang lain yang kepemilikannya dapat diambil setelah pewasiat
meninggal dunia, seperti disebutkan di bawah ini.
Wasiat merupakan suatu akad yang boleh dan tidak mengikat sehingga
wasiat dapat dibatalkan sewaktu-waktu oleh salah satu pihak (pemberi wasiat).
Dengan demikian wasiat adalah menghibahkan harta dari seseorang kepada orang
lain sesudah meninggalnya si pewasiat atau pembebasan hartanya, baik dijelaskan
dengan kata-kata (lafadz) atau tidak.7 Begitu pun yang dikemukakan oleh Sayuti
Thalib.8 Dan wasiat bisa diartikan dengan suatu pesan tentang pembagian harta
warisan kepada seseorang yang selain ahli waris.9
Dari berbagai pengertian di atas, penulis mengambil kesimpulan bahwa
wasiat adalah pemberian seseorang kepada orang lain baik berupa benda, atau
sekedar manfaat yang akan menjadi milik bagi orang yang akan diberikan wasiat
tanpa mengharapkan imbalan (tabarru’) yang pelaksanaannya berlaku setelah orang
yang berwasiat telah meninggal dunia.
B.Dasar Hukum Wasiat
Dasar-dasar pengambilan hukum mengenai wasiat adalah berdasarkan
Al-Qur’an, Al-Hadis, Ijma’ dan Ijtihad para Ulama.
1. Al-Qur’an
7
Ibnu Rusyd, Bidayah al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtashid, Terjemahan ‘Abdurrahman,
(Semarang: asy-Syifa, 1990), Juz 3, h. 40 8
Sayuthi Thalib, Kewarisan Islam di Indonesia, (Jakarta: Bina Askara, 1970), h. 87 9
Dalam Al-Qur’an penjelasan tentang wasiat terdapat dalam surat al-Baqarah
Ayat 180 yakni:
Artinya: “Diwajibkan atas kamu, apabila seseoramg diantara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat kepada ibu bapaknya dan karib kerabatnya secara baik, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertaqwa” (QS. Al-Baqarah/02: 180).
Ayat ini menunjukan kewajiban untuk berwasiat kepada kedua orang tua
dan kerabat yang dekat, yaitu hanya kepada ahli waris (kedua orang tua dan karib
kerabat) yang tidak mendapatkan harta waris baik karena dzawil arham dan
mahjub yang orang tuanya telah meninggal lebih dahulu dari pewaris maupun
karena mahram (kecuali pembunuh).10 Namun ketetapan itu menjadi sunah sesudah
turunnya ayat tentang pembagian waris, maka ayat tentang kewajiban berwasiat
menjadi mansukh. Di samping ada ayat yang menasakh tentang wasiat juga ada
hadis Nabi yang artinya “tidak ada wasiat bagi ahli waris”.
Selanjutnya dalam surat al-Maidah Ayat 106 menganjurkan dalam
berwasiat hendaknya disaksikan oleh dua orang saksi, yakni:
10Suparman Usman dan Yusuf Somawinata, Fikih Mawaris (Hukum Kewarisan Islam),
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, apabila salah seorang kamu menghadapi kematian, sedang dia akan berwasiat, Maka hendaklah (wasiat itu) disaksikan oleh dua orang yang adil di antara kamu, atau dua orang yang berlainan agama dengan kamu, jika kamu dalam perjalanan di muka bumi lalu kamu ditimpa bahaya kematian. kamu tahan kedua saksi itu sesudah sembahyang (untuk bersumpah), lalu mereka keduanya bersumpah dengan nama Allah, jika kamu ragu-ragu: "(Demi Allah) kami tidak akan membeli dengan sumpah Ini harga yang sedikit (untuk kepentingan seseorang), walaupun dia karib kerabat, dan tidak (pula) kami menyembunyikan persaksian Allah; Sesungguhnya kami kalau demikian tentulah termasuk orang-orang yang berdosa" (QS. Al-Maidah/05: 106).
Dari ayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwasanya wasiat merupakan
suatu perbuatan yang dianjurkan oleh agama dan untuk menghindari hal-hal yang
tidak diinginkan yang sekiranya dapat merusak tujuan dari wasiat tersebut, maka
hendaklah wasiat disaksikan oleh dua orang saksi.
2. Al-Hadis
Di samping ayat Al-Qur’an, juga ada hadis Nabi Saw yang menjelaskan
tentang hal wasiat di antaranya sebagai berikut:
ﻲﺿرﺮﻤﻋ ﻦﺑ ﷲا ﺪﺒﻋ ﻦﻋ ﻊﻓﺎﻧ ﻦﻋ ﻚﻟﺎﻣ ﺎﻧﺮﺒﺧا ﻒﺳﻮﯾ ﻦﺑ ﷲا ﺪﺒﻋ ﺎﻨﺛﺪﺣ
لﺎﻗ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر نا ﺎﻤﮭﻨﻋ ﷲا
:
ﮫﻟ ﻢﻠﺴﻣ ئﺮﻣا ﻖﺣ ﺎﻣ
هﺪﻨﻋ ﺔﺑﻮﺘﻜﻣ ﮫﺘﯿﺻوو ﻻا ﻦﯿﺘﻠﯿﻟ ﺖﯿﺒﯾ ﮫﯿﻓ ﻰﺻﻮﯾ ﺊﯿﺷ
)
ىرﺎﺨﺒﻟا هاور
.(
11 11Artinya: “Dari Abdullah bin Yusuf dari Malik dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar R.A, Ia berkata: bahwa Rasulallah SAW. Bersabda: bukankah hak seorang muslim yang mempunyai sesuatu yang ingin diwasiatkan bermalam (diperlambat) selama dua malam, kecuali wasiatnya telah tercatat di sisinya”. (H.R. al-Bukhari)
ﷲا ﺪﺒﻋ ةﺪﯿﻋ ﺎﻨﺛﺪﺣ
،
لﺎﻗ
:
ﺪﻤﺼﻟا ﺪﺒﻋ ﺎﻧﺮﺒﺧا
،
لﺎﻗ
:
ﻰﻧاﺪﺤﻟا ﻲﻠﻋ ﻦﺑ ﺮﺼﻧ ﺎﻨﺛﺪﺣ
،
لﺎﻗ
:
ﺮﺑﺎﺟ ﻦﺑ ﺚﻌﺷﻻا ﺎﻧﺮﺒﺧا
،
لﺎﻗ
:
ّنا ﺐﺷﻮﺣ ﻦﺑ ﺮﮭﺷ ﻰﻨﺛﺪﺣ
نا ﮫﺛﺪﺣ ةﺮﯾﺮھ ﺎﺑا
لﺎﻗ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر
:
ّنا
ّﺮﻟا
ةاﺮﻤﻟا وا ﻞﻤﻌﯿﻟ ﻞﺟ
ّﺘﺳ ﷲا ﺔﻋﺎﻄﺑ
ﻦﯿ
ّﻢﺛ ،ﺔﻨﺳ
ّرﺎﻀﯿﻓ ،تﻮﻤﻟا ﺎﻤھ ﺮﻀﺤﯾ
رﺎﻨﻟا ﺎﻤﮭﻟ ﺐﺠﺘﻓ ﺔﯿﺻﻮﻟا ﻰﻓ نا
.
ّﻲﻠﻋ أﺮﻗو لﺎﻗ
ﺎﻨھ ﺎھ ﻦﻣ ةﺮﯾﺮھ ﻮﺑا
)
ﷲا ﻦﻣ ﺔّﯿﺻو رﺎﻀﻣ ﺮﯿﻏ ﻦﯾذوا ﺎﮭﺑ ﻲﺻﻮﯾ ﺔﯿﺻﻮﻟا ﺪﻌﺑ ﻦﻣ
.
ﻢﯿﻈﻌﻟا زﻮﻓ ﻚﻟاذو
) .(
دواد ﻮﺑا هاور
(
.
12Artinya: “Dari ‘Aidah ‘Abdullah, dari ‘Abd Shamad, dari Nashr bin ‘Ali al-Haddany, dari al-‘Asy’ats bin Jabir, dari Syahr bin Hausyah, dari Abu Hurairah menceritakan sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda: “Bahwa seseorang sungguh akan beramal, juga perempuan (sungguh akan beramal) taat kepada Allah SWT itu selama enam puluh tahun, kemudian keduanya kedatangan ajalnya, sedang keduanya menyulitkan dalam wasiatnya, maka keduanya pun akan dipastikan masuk neraka”. Kemudian Abu Hurairah membacakan ayat : ...“sesudah wasiat yang ia wasiatkannya atau (untuk membayar) hutang, padahal wasiat itu tidak juga menyusahkan, sebagai ketetapan dari Allah. Yang demekian itu adalah batas-batas ketentuan Allah, barang siapa yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, maka ia akan dimasukkan ke dalam surga-surga yang di bawahnya ada sungai-sungai yang mengalir, mereka akan kekal di surga-surga itu: dan demikian itu adalah kebahagiaan yang sangat besar”. (H.R. AbuDawud)
Kedua hadis tersebut memberikan bahwa wasiat yang tertulis dan selalu
berada di sisi orang yang berwasiat merupakan suatu kehati-hatian, sebab kematian
seseorang tidak ada yang dapat mengetahui, kemudian pada hadis berikutnya dapat
dipahami bahwa apabila seseorang beramal baik selama enam puluh tahun, sedang ia
12
dalam wasiatnya berbuat kecurangan maka terhadap orang tersebut jaminannya
adalah neraka.
Dalam hal ini al-Syafi’i memberikan komentarnya bahwa orang islam yang
berwasiat sebaiknya wasiat tersebut ditulis dan berada di sisinya, sebab hal tersebut
dapat menjaga dari hal-hal yang tidak diinginkan. Bila tidak berhati-hati dalam
berwasiat, bisa jadi cita-cita si pewasiat tidak tercapai karena kematian seseorang
hanya Allah yang mengetahui.
3. Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para Mujtahid di antara umat islam pada satu masa
setelah wafatnya Rasulallah terhadap hukum syara’ tentang suatu masalah atau
kejadian.13
Umat Islam, sejak zaman Rasulullah sampai sekarang masih banyak yang
menjalankan wasiat. Perbuatan yang demikian itu tidak ada yang mengingkarinya dan
dengan tiada adanya pengingkaran tersebut telah menunjukan adanya ijma’.14
Para ulama pun telah sepakat dalam menanggapi hadis Nabi tentang kadar
wasiat yang tidak boleh lebih dari sepertiga harta peninggalannya si pewasiat.
4. Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata jahada yang berarti mencurahkan segala
kemampuan atau menghabiskan segala daya dalam berusaha. Sedang ijtihad menurut
istilah adalah usaha atau ikhtiar yang sungguh-sungguh dengan menggunakan
13
Amir Syarifuddin, Ushul Fikih, (Jakarta: Wacana Ilmu, 1997), Jilid I, h. 81 14
segenap kemampuan yang ada dilakukan oleh orang (ahli hukum) yang memenuhi
syarat untuk mendapatkan ketentuan hukum yang belum jelas atau tidak ada
ketentuannya di dalam Al-Qur’an dan al-Sunnah.15
Ada beberapa jenis wasiat yang tidak ada penegasan hukumnya baik dalam
Al-Qur’an dan al-Sunnah, seperti membagi macam-macam harta benda warisan
kepada ahli waris tertentu, bolehkah wasiat direalisasikan atau tidak. Dalam hal ini
ulama melakukan ijtihad yang dianggap perlu oleh karena ahli waris tertentu dari
harta benda warisan adalah keseluruhan harta, dengan alasan bahwa Al-Qur’an
menentukan bagian warisan dua pertiga, sepertiga, seperempat, seperenam, dan
seperdelapan itu adalah dari keseluruhan harta warisan yang ada.16
C. Hukum Wasiat
Dari beberapa fenomena di atas, para ulama juga berijtihad dalam
menetapkan status hukum wasiat, yaitu:
1. Wajib
Wasiat dianggap wajib dalam keadaan bila manusia mempunyai kewajiban syara’
yang dikhawatirkan akan disia-siakan bila dia tidak berwasiat, seperti adanya
titipan, hutang kepada Allah dan hutang kepada manusia. Misalnya dia
mempunyai kewajiban zakat yang belum ditunaikan, atau haji yang belum
15
Muhammad Daud Ali, Hukum Islam (Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum di Indonesia), (Jakata: PT. Raja Grafindo, 2000), h. 104
16
dilaksanakan, atau dia mempunyai amanat yang belum disampaikan, atau dia
mempunyai hutang yang tidak diketahui selain oleh dirinya, atau dia mempunyai
titipan yang belum dipersaksikan.17
2. Sunah
Berwasiat hukumnya sunnah bila diberikan kepada karib kerabat atau ditujukan
kepada orang-orang miskin dan orang-orang shaleh atau kepada orang yang tidak
menerima pusaka yang motifnya untuk kepentingan sosial.18
3. Haram
Berwasiat hukumnya haram bila bertujuan untuk maksiat, seperti berwasiat untuk
mendirikan tempat-tempat perjudian, pelacuran atau hal-hal yang dilarang oleh
ajaran agama islam.19
4. Makruh
Berwasiat hukumnya makruh, bila orang yang berwasiat itu sedikit hartanya,
sedangkan ia mempunyai ahli waris yang banyak yang membutuhkan hartanya.
Demikian juga berwasiat kepada orang-orang fasiq jika diketahui atau diduga
dengan keras bahwa mereka akan menggunakan harta tersebut dalam kefasikan
dan kerusakan. Namun bila orang yang memberi wasiat itu mengetahui dan
17
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 222 18
Ahmad Rofiq, MA, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo, 1999), h. 449 19
menduga bahwa orang akan diberi wasiat itu menjadi baik, maka hal ini menjadi
sunnah.20
5. Mubah
Wasiat itu diperbolehkan bila ditujukan kepada kerabat, tetangga atau yang lain
yang penghidupannya tidak kekurangan.21
Berdasarkan hal-hal yang telah disebutkan tentang hukum wasiat di atas,
maka penulis menyimpulkan bahwa keadaan si pewasiat dan orang yang akan
diberikan wasiat sangat mempengaruhi terhadap status hukum dari wasiat itu sendiri.
Seperti contoh, apabila orang yang akan berwasiat sebelum meninggal, ia masih
memiliki hutang kepada manusia atau kepada Allah SWT yang hanya diketahui
olehnya, maka hukum wasiat adalah wajib. Wasiat pun akan menjadi haram apabila
hendak berwasiat yang bertujuan untuk kemaksiatan. Seperti berwasiat untuk
membangun rumah prostitusi. Wasiat juga dianggap makruh apabila meninggalkan
harta yang sedikit sedangkan banyak ahli yang mempunyai hak terhadap harta
peninggalan tersebut.
D. Rukun dan Syarat Wasiat
Wasiat yang telah diatur oleh syariat Islam merupakan suatu amalan yang
sangat dianjurkan, hal ini karena dalam wasiat mengandung nilai ibadah yang akan
mendapatkan pahala dari allah swt dan juga mengandung nilai-nilai sosial yang
mengandung kemashlahatan bagi yang ada di dunia.
20
Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah, h. 223 21
Agar wasiat dapat dilaksanakan dengan baik dan benar sesuai dengan
kehendak syariat maka diperlukan sebuah perangkat aturan yang di dalamnya
mencakup rukun dan syarat syariat. Rukun syarat itu merupakan kumpulan komponen
yang penting sehingga turut menentukan sah dan tidaknya suatu wasiat.
Adapun rukun wasiat terdapat perbedaan pendapat fuqaha dalam
menentukan rukunnya wasiat diantaranya ulama mazhab Hanafi menyatakan
bahwasanya rukun wasiat hanya satu yaitu ijab (pernyataan pemberian wasiat dari
pemilik harta yang akan wafat). Karena menurut mereka wasiat adalah suatu akad
yang hanya mengikat pihak yang berwasiat, tidak mengikat pihak yang menerima
wasiat. Oleh sebab itu qabul tidak diperlukan.22
Akan tetapi jumhur ulama fikih menyatakan, bahwa rukun wasiat itu ada
empat, yaitu:23
1. Al-Mushi (orang yang berwasiat)
2. Al-Musha lahu (yang menerima wasiat)
3. Al-Musha bihi (harta yang diwasiatkan)
4. Sighat (lafaz atau ucapan)
Dari keenpat rukun di atas, masing-masing memiliki syarat yang harus
dipenuhi agar wasiat menjadi sah. Adapun mengenai syarat masing-masing rukun
wasiat tersebut adalah sebagai berikut:
22
Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Sinar Grafika, 2001), h. 1927 23
a. Al-Mushi (orang yang berwasiat)
Bagi orang yang berwasiat disyaratkan orang yang memiliki kesanggupan
melepaskan hak miliknya kepada orang lain (ahli tabarru’) yaitu orang yang
mempunyai kompetensi (kecakapan) yang sah. Keabsahan kompetensi ini
didasarkan pada akal, kedewasaan, kemerdekaan, ikhtiar dan tidak dibatasi karena
adanya kedunguan dan kelalaian. Apabila pemberi wasiat itu adalah seseorang
yang kurang kompetensinya, yaitu karena ia masih anak-anak, gila, hanba sahaya,
dipaksa atau dibatasi, maka wasiatnya tidak sah. Untuk itu imam syafi’i
menghukumi tidak sah apabila dilakukan oleh orang gila atau anak yang belum
baligh.
b. Al-Musha lahu (yang menerima wasiat)
Bagi orang atau badan hukum yang menerima wasiat disyaratkan atas hal-hal
sebagai berikut:
1) Harus dapat diketahui dengan jelas siapa orang atau badan hukum yang
menerima wasiat tersebut, nama orang tersebut, atau badan organisasi tersebut.
2) Telah wujud (ada) pada waktu wasiat dinyatakan ada sebenarnya atau ada
secara yuridis misalnya anak yang masih dalam kandungan.
3) Bukan tujuan kemaksiatan.
c. Al-Musha bihi (harat yang diwasiatkan)
Sesuatu yang diwasiatkan (al-musha bihi) dengan syarat sebagai berikut:
1) Dapat berlaku sebagai harta warisan baik benda bergerak maupun benda tidak
2) Benda itu sudah ada (wujud) pada waktu diwasiatkan.
3) Hak milik itu betul kepunyaan si pewasiat
d. Shighat (lafaz atau ucapan)
Shighat adalah kata-kata yang diucapkan oleh pewasiat dan orang yang menerima
wasiat yang terdiri dari ijab dan qabul. Ijab adalah pernyataan yang diucapkan oleh
si pewasiat bahwa ia mewasiatkan sesuatu, sedangkan qabul adalah pernyataan
yang diucapkan oleh penerima wasiat sebagai tanda terima atas ijab wasiat. Ajab
dan qabul ini didasarkan atas unsur kerelaan tanpa ada paksaan.
Penjelasan tentang rukun dan syarat wasiat juga disebutkan di dalam
Kompilasi Hukum Islam (KHI) yakni:
Pasal 194
1)Orang yang telah berumur sekurang-kurangnya 21 tahun, berakal sehat dan tanpa adanya paksaan dapat mewasiatkan sebagian harta bendanya kepada orang lain atau lembaga.
2)Harta benda yang diwasiatkan harus merupakan hak dari pewasiat.
3)Pemilikan terhadap harta benda seperti dimaksud dalam ayat (1) pasal ini baru dapat dilaksanakan sesudah pewasiat meninggal dunia.
Pasal 195
1)Wasiat dilakukan secara lisan dihadapan dua orang saksi, atau tertulis dihadapan dua orang saksi, atau dihadapan Notaris.
2)Wasiat hanya diperbolehkan sebanyak-banyaknya sepertiga dari harta warisan kecuali apabila semua ahli waris menyetujuinya.
3)Wasiat kepada ahli waris berlaku bila disetujui oleh semua ahli waris.
4)Pernyataan persetujuan pada ayat (2) dan (3) pasal ini dibuat secara lisan di hadapan dua orang saksi atau tertulis di hadapan dua saksi dihadapan Notaris.
Dalam pasal 194 dan 195 Kompilasi Hukum Islam (KHI) dapat disimpulkan
bahwa syarat bagi orang yang akan melakukan wasiat sekurang-kurangnya berumur
21 tahun, tidak ada paksaan dari pihak manapun atupun dalam pengampuan serta
Adapun dalam pelaksanaannya, wasiat dilakukan di hadapan dua orang saksi
atau Notaris secara lisan atau tertulis. Wasiat pun tetap tidak melebihi dari sepertiga
harta peninggalan. Berkenaan dengan wasiat kepada ahli waris, maka dianggap sah
bila telah disetujui oleh ahli semua ahli waris. Persetujuan dari ahli waris
dimaksudkan untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Adapun
dalil tentang notaris adalah dalam surat an-Nisa ayat 135:
Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi Karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia kaya ataupun miskin, Maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu Karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan”. (QS. An-Nisa /04: 135)
Oleh karena ketentuan ini di bawah kebijakan pemerintah, maka rakyat harus
mematuhi aturan yang telah ditetapkan.
tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”. (QS. An-Nisa /04: 59)
E. Kadar Dan Hikmah Wasiat
Telah diketahui kadar atau batas maksimal memberikan wasiat itu adalah
sepertiga dari harta peninggalan. Ketentuan tersebut berdasarkan Hadis Nabi SAW di
bawah ini :
ﮫﯿﺑا ﻦﻋ صﺎﻗو ﻰﺑا ﻦﺑ ﺪﻌﺳ ﻦﺑ ﺮﻣﺎﻋ ﻦﺑ ىﺮھز ﻦﻋ ﺔﻨﯿﯿﻋ ﻦﺑ نﺎﯿﻔﺳ ، ﺮﻤﻋ ﻰﺑا ﻦﺑا ﺎﻨﺛﺪﺣ لﺎﻗ : ، تﻮﻤﻟا ﻰﻠﻋ ﮫﻨﻣ ﺖﯿﻔﺷا ﺎﺿﺮﻣ ﺢﺘﻔﻟا مﺎﻋ ﺖﺿﺮﻣ ﻢﻠﺳو ﮫﯿﻠﻋ ﷲا ﻰﻠﺻ ﷲا لﻮﺳر ﻲﻧﺎﺗًﺎﻓ
ﺖﻠﻘﻓ ،ﻲﻧدﻮﻌﯾ :
لﺎﻗ ؟ ﮫﻠﻛ ﻲﻟﺎﻤﺑ ﻲﺻوﺄﻓأ ﻲﺘﻨﺑا ﻻإ ﻲﻨﺛﺮﯾ ﺲﯿﻟو اﺮﯿﺜﻛ ﻻﺎﻣ ﻲﻟ نأ لﻮﺳر ﺎﯾ :
ﻻ
ﺖﻠﻗ ، : لﺎﻗ ؟ ﺮﻄﺸﻟﺎﻓ :
ﺖﻠﻗ ،ﻻ : لﺎﻗ ؟ ﺚﻠﺜﻟﺎﻓ :
ﺚﻠﺜﻟا . ءﺎﯿﻨﻏأ ﻚﺘﺛرو رﺬﺗ نا ﻚَﻧإ ، ﺮﯿﺜﻛ ﺚﻠﺜﻟاو
سﺎﻨﻟا نﻮﻔﻔﻜﺘﯾ ﺔﻟﺎﻋ ﻢھرﺬﺗ نا ﻦﻣ ﺮﯿﺧ ) .
ّيﺬﻣﺮﺘﻟا هاور .(
24
Artinya: “ Dari Ibnu Abi ‘Umar, Sufyan bin Uyainah dari Zuhry dari ‘Amir bin Sa’ad bin Abi Waqash dari Bapaknya, bahwa ia berkata: “Rasulullah SAW pernah datang ke tempatku untuk melawat aku ketika aku sakit keras, lalu aku bertanya: Wahai Rasulullah, sesungguhnya sakitku sudah sangat payah sebagaimana yang engkau lihat sendiri, sedangkan aku ini adalah orang yang kaya dan tidak ada ahli waris lain selain anakku perempuan, apakah boleh aku menyedekahkan dua pertiga dari hartaku itu? Rasul menjawab: Jangan. Aku bertanya lagi: Bagaimana kalau separuhnya? Rasul menjawab lagi: Jangan. Aku bertanya lagi: Kalau sepertiga? Sepertiga, dan (sekali lagi) sepertiga itu sudah cukup banyak, karena sesungguhnya engkau jika meninggalkan ahli waris dalam keadaan cukup atau kaya akan lebih baik dari pada engkau meninggalkan mereka dalam keadaan kekurangan yang selalu menadahkan tangan kepada orang lain”. (H.R. At-Turmudzi)
24
Fuqaha sepakat bahwa orang yang meninggalkan ahli waris tidak boleh
memberikan lebih dari sepertiga hartanya. Namun mereka berselisih dengan orang
yang tidak meninggalkan ahli waris, dan tentang besarnya barang wasiat yang
utama.25
Bila si pewasiat itu mempunyai ahli waris