KEBERADAAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM KEGIATAN INVESTASI DI KAWASAN HUTAN ADAT TERKAIT DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 35/PUU-X/2012
SKRIPSI
OLEH
NATASHA SIREGAR
NIM : 100200024
DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
KATA PENGANTAR
“Hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.”
Prof. Satjipto Rahardjo
Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan
rezeki, berkah, dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menjalani pendidikan di
bangku perkuliahan samapai pada tahap penyelesaian penulisan skripsi ini.
Skripsi ini berjudul “KEBERADAAN MASYARAKAT HUKUM ADAT
DALAM KEGIATAN INVESTASI DI KAWASAN HUTAN ADAT TERKAIT
DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR
35/PUU-X/2012”. Judul ini diangkat karena ketertarikan Penulis pada masyarakat hukum
adat yang selama ini mengalami kerugian akibat dari eksploarsi kawasan hutan
adat yang mereka miliki untuk kegiatan investasi.
Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh
gelar sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih khususnya
kepada kedua orang tua penulis yang senantiasa memberikan do’a, perhatian, dan
dukungan sehingga penulis akhirnya bisa menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa pula
kepada pihak-pihak yang turut serta dalam membantu penyelesaian skripsi ini,
antara lain:
1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum
2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum. selaku Pembantu Dekan I
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Syafruddin Hasibuan, SH MH. DFM. selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
4. Muhammad Husni, SH. MH. Selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara.
5. Windha, SH. M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi
Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
6. Dr. Mahmul Siregar, SH. M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I yang telah
memberikan waktu dan pikiran dalam membimbing dan mengarahkan
penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
7. Dr. Rosnidar Sembiring, SH. M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang
telah memberikan waktu dan pikiran dalam membimbing dan
mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.
8. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh Staf Pegawai Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu, bimbingan, dan
bantuan selama penulis mengikuti kuliah.
9. Saudara/i penulis yang selalu menyemangati penulis dalam menyelesaikan
skripsi ini.
10. Rekan-rekan mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
yang telah banyak membantu penulis selama proses penulisan skripsi ini,
dan yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu. Semoga persahabatan
Demikian Penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk
menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita semua.
Medan, Maret 2014
Penulis,
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR... i
DAFTAR ISI... iv
DAFTAR TABEL... vii
DAFTAR GAMBAR... viii
ABSTRAK... ix
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1
B. Rumusan Masalah ... 7
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7
D. Keaslian Penulisan ... 8
E. Tinjauan Kepustakaan ... 9
F. Metode penulisan ... 16
G. Sistematika Penulisan... 19
BAB II PENGAKUAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK TRADISIONAL MASYARAKAT HUKUM ADAT DI INDONESIA A. Pengakuan dan Perkembangan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia.. 22
1. Pengakuan masyarakat hukum adat ... 22
a. Pengakuan menurut teori ... 22
1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ... 29
2) UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria ... 31
3) UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan ... 34
4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 ... 35
2. Perkembangan masyarakat hukum adat ... 39
B. Hak-hak Tradisional Masyarakat Hukum Adat ... 54
1. Hak atas tanah masyarakat hukum adat... 63
2. Hak lain diluar hak atas tanah ... 67
BAB III PENGATURAN KEGIATAN INVESTASI YANG BERADA DI WILAYAH HUTAN A. Pengaturan Umum Kegiatan Investasi di Indonesia ... 69
1. Dasar hukum kegiatan investasi di Indonesia... 69
2. Bidang usaha investasi di Indonesia... 83
3. Perizinan investasi... 89
4. Persyaratan investasi ... 97
5. Pengawasan investasi ... 101
B. Pengaturan Kegiatan Investasi di Wilayah Hutan ... 103
1. Jenis-jenis hutan ... 105
2. Penggunaan wilayah hutan untuk kegiatan investasi ... 109
3. Persyaratan investasi di wilayah hutan... 113
BAB IV KETERLIBATAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM
KEGIATAN INVESTASI DI DALAM KAWASAN HUTAN ADAT
A. Eksistensi Hutan Adat di Indonesia ... 120
1. Pengertian hutan adat ... 123
2. Pengakuan hukum terhadap hutan adat ... 124
B. Keterlibatan Masyarakat Hukum Adat dalam Kegiatan Investasi di Kaswasan Hutan Adat ... 130
1. Kerjasama investasi... 131
2. Kerjasama kemitraan ... 136
3. Corporate Social Responsibility (CSR)... 143
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 150
B. Saran... 151
DAFTAR TABEL
Tabel 1 Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Berdasarkan Undang-Undang ... 57
Tabel 2 Daftar Kegiatan Investasi... 111
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Alur Pengelolaan Hutan Adat... 131
Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Kegiatan Investasi di Kawasan Hutan Adat Terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 35/PUU-X/2012
ABSTRAK
Natasha Siregar1 Mahmul Siregar** Rosnidar Sembiring***
Masyarakat hukum adat merupakan elemen dari Negara Republik Indonesia yang memerlukan perhatian khusus dari pemerintah. Sebagai mahluk sosial, masyarakat hukum adat memerlukan sumber-sumber kehidupan. Hutan adat yang dekat dengan masyarakat hukum adat itu menjadi skala prioritas bagi mereka dalam mendapatkan kehidupan. Untuk mendapatkan sumber kehidupan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui investasi pada hutan adat. Ide Investasi ini memiliki bermacam-macam persoalan diantaranya, bagaimana eksistensi dari masyarakat hukum adat dalam melakukan tindakan hukum, bagaimana pengaturan kegiatan investasi yang berada diwilayah hutan, dan bagaimana bentuk dari wujud keterlibatan masyarakat hukum adat dalam investasi tersebut. Hal ini menjadi sangat krusial untuk dibahas sejalan dengan muculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tentang pengujian materi Undang-Undang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Keseluruhan data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan metode pengumpulan data studi kepustakaan. Kemudian dalam menganalisis data penelitian digunakan analisis normatif kualitatif, dimana data disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif hingga akhir hasilnya tertuang dalam bentuk skripsi ini.
Pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya telah dilaksanakan oleh negara yang masih memerlukan pengkonkritan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat. Pengakuan itu bila dilihat dari sudut investasi pada kawasan hutan terdapat perbedaan-perbedaan yang memerlukan unifikasi untuk memudahkan pengguna peraturan. Bila kedua hal diatas terwujud maka keterlibatan masyarakat hukum adat dalam kegiatan investasi di kawasan hutan dapat dilakukan yang berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan masyarakat hukum adat.
Kata Kunci : Masyarakat, Investasi, Hutan Adat.
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Kegiatan Investasi di Kawasan Hutan Adat Terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi
Nomor 35/PUU-X/2012
ABSTRAK
Natasha Siregar1 Mahmul Siregar** Rosnidar Sembiring***
Masyarakat hukum adat merupakan elemen dari Negara Republik Indonesia yang memerlukan perhatian khusus dari pemerintah. Sebagai mahluk sosial, masyarakat hukum adat memerlukan sumber-sumber kehidupan. Hutan adat yang dekat dengan masyarakat hukum adat itu menjadi skala prioritas bagi mereka dalam mendapatkan kehidupan. Untuk mendapatkan sumber kehidupan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui investasi pada hutan adat. Ide Investasi ini memiliki bermacam-macam persoalan diantaranya, bagaimana eksistensi dari masyarakat hukum adat dalam melakukan tindakan hukum, bagaimana pengaturan kegiatan investasi yang berada diwilayah hutan, dan bagaimana bentuk dari wujud keterlibatan masyarakat hukum adat dalam investasi tersebut. Hal ini menjadi sangat krusial untuk dibahas sejalan dengan muculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tentang pengujian materi Undang-Undang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar.
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Keseluruhan data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan metode pengumpulan data studi kepustakaan. Kemudian dalam menganalisis data penelitian digunakan analisis normatif kualitatif, dimana data disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif hingga akhir hasilnya tertuang dalam bentuk skripsi ini.
Pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya telah dilaksanakan oleh negara yang masih memerlukan pengkonkritan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat. Pengakuan itu bila dilihat dari sudut investasi pada kawasan hutan terdapat perbedaan-perbedaan yang memerlukan unifikasi untuk memudahkan pengguna peraturan. Bila kedua hal diatas terwujud maka keterlibatan masyarakat hukum adat dalam kegiatan investasi di kawasan hutan dapat dilakukan yang berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan masyarakat hukum adat.
Kata Kunci : Masyarakat, Investasi, Hutan Adat.
*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak dicitrakan sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup di luar
jejaring sosial, bagaimana dan apa pun bentuknya.2Perjalanan hidup manusia itu
tidak terlepas dari hukum. Hukum adalah tatanan yang sengaja dibuat oleh
manusia dan secara sengaja pula dibebankan padanya.3Hukumlah yang memberi
arah, tujuan, cita-cita dari perjalanan hidup manusia itu. Dengan hukum manusia
bisa menjalin cinta kasih, menjalankan roda perekonomian dengan tertib,
membentuk masyarakat dan mengatur segala sesuatunya. Benarlah perkataan
Satjipto Rahardjo bahwa hukum adalah untuk manusia.
Secara umum, hukum adalah himpunan kaidah, berisi keharusan atau
larangan tentang tingkah laku manusia, kaidah-kaidah mana memang dianut
dalam masyarakat.4 Berangkat dari pandangan tersebut, terdapat beberapa
penggolongan hukum dari berbagai kriteria yang dipahami oleh para sarjana.
Salah satunya adalah hukum berdasarkan sumbernya. Hukum berdasarkan
sumbernya dapat diklasifikasikan atas undang-undang, hukum kebiasaan dan
hukum adat, hukum yurisprudensi, hukum traktat, dan hukum doktrin. Dari empat
klasifikasi tersebut, hukum adatlah yang menjadi salah satu sorotan dalam
pembahasan skripsi ini.
2
Satjipto Rahardjo,Biarkan Hukum Mengalir(Bogor: Grafika Mardi Yuana, 2008), Cet. 2 hlm. 7.
3Ibid.
4
Para ahli hukum berusaha untuk memberikan definisi terhadap hukum
adat. Salah satu yang dapat menjadi pegangan adalah pendapat Prof. Bushar
Muhammad dalam bukunya menyunting pendapat-pendapat para ahli tentang
definisi hukum adat dan menyimpulkan bahwa hukum adat adalah hukum yang
mengatur terutama tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama
lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan kebiasaan (kesusilaan)
yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh
anggota-anggota masyarakat adat itu, maupun yang merupakan keseluruhan
peraturan-peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan
dalam keputusan-keputusan para penguasa adat.5
Pembahasan mengenai hukum adat tidak akan terlepas dari istilah
masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum adat. Bila kembali pada konsep
awal bahwa hukum adalah untuk manusia, maka hukum adat adalah untuk
masyarakat hukum adat. Ter Haar mengemukakan bahwa masyarakat hukum
adalah6 kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu,
mempunyai penguasa-penguasa, dan mempunyai kekayaan yang berwujud
ataupun tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan masing-masing
mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat
alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau
kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau
meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk
selama-lamanya. Sejalan namun berbeda dari penafsiran Ter Haar, Aliansi Masyarakat
5Bushar Muhammad. Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2006), Cet.
13. hlm. 19.
6
Adat Nusantara (yang selanjutnya disebut AMAN) mengartikan masyarakat
hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya
sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal
ataupun atas dasar keturunan.7
Salah satu unsur penting dari masyarakat hukum adat adalah wilayah atau
tempat. Setiap masyarakat hukum adat pasti menempati suatu wilayah tertentu
sehingga memenuhi untuk dikatakan masyarakat hukum adat. Wilayah tersebut
dapat berupa tanah ulayat termasuk hutan adat, yang pemanfaatannya sedari dulu
adalah sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat hukum adat. Bila
dipandang dari sisi sosiologis, masyarakat hukum adat memiliki keterikatan yang
kuat pada hutan. Di berbagai daerah di Indonesia, interaksi antara masyarakat
hukum adat dengan hutan tergambar dalam bentuk-bentuk pengelolaan hutan
yang pada umumnya didasarkan pada hukum adat. Biasanya berisi aturan
mengenai tata cara pembukaan hutan untuk usaha perladangan dan pertanian
lainnya, pengembalaan ternak, perburuan satwa dan pemungutan hasil hutan.
Keberadaan praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat
dikenal dengan berbagai istilah seperti Mamar di Nusa Tenggara Timur, Lembo
pada masyarakat Dayak di Kalimantan Timur, Tembawang pada masyarakat
Dayak di Kalimantan Barat, Repong pada masyarakat Peminggir di Lampung,
Tombak pada masyarakat Batak di Tapanuli Utara.8 Praktek-praktek tersebut
membuktikan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat telah melakukan
7
Husen Alting,Dinamika Hukum Dalam Pengakuan Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah (Masa Lalu, Kini, dan Masa Mendatang) (Yogyakarta: LaksBang PERSSindo, 2010), hlm. 31.
8
pengelolaan sumber daya alam (hutan) secara turun-temurun. Dari hal itulah
tercipta bentuk yang beragam dan terpadu akan praktek pengelolaan hutan yang
hasil akhirnya memberi manfaat kepada masyarakat dan lingkungan baik dari
aspek ekonomi, sosial, budaya, religi maupun ekologi.
Sejalan dengan berubahnya waktu dan berkembangnya pemikiran
manusia, yang dahulu hutan adat adalah milik sepenuhnya masyarakat hukum
adat kini pemerintah turut campur tangan didalamnya. Landasan yuridis utama
dari hal tersebut sebagai bentuk dari perwujudan pembukaan konstitusi adalah
Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
yang memberikan mandat kepada negara agar pemanfaatan bumi (tanah), air dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebesar-besarnya digunakan untuk
menciptakan kemakmuran bagi rakyat Indonesia.
Dalam menjalankam mandat konstitusi tersebut, maka pada sektor
kehutanan sebagai salah satu kekayaan sumber daya alam yang ada, pemerintah
menyusun Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (yang
selanjutnya disebut Undang-Undang Kehutanan). Bagian dasar pertimbangaan
undang-undang tentang kehutanan menggambarkan adanya kemajuan, yakni
perlunya suatu pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia
sehingga mampu menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat,
dan budaya serta tata nilai kemasyarakatan. Namun, apabila ditelaah lebih
mendalam maka akan terungkap kontradiksi antara “adat dan budaya serta
nilai-nilai kemasyarakatan” di satu sisi berhadapan dengan “norma hukum nasional”
Undang-Undang Kehutanan telah dijadikan alat oleh negara untuk
mengambil alih hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah hutan adatnya
untuk kemudian dijadikan sebagai hutan negara, yang selanjutnya justru atas
nama negara diberikan dan/atau diserahkan kepada para pemilik modal melalui
berbagai skema perizinan untuk dieksploitasi tanpa memperhatikan hak serta
kearifan lokal kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah tersebut.
Undang-undang tersebut juga menghadirkan ketidakpastian hak atas wilayah adatnya.
Padahal, hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah adat merupakan hak
yang bersifat turun-temurun. Hak ini bukanlah hak yang diberikan negara kepada
masyarakat adat melainkan hak bawaan, yaitu hak yang lahir dari proses mereka
membangun peradaban di wilayah adatnya. Sayangnya, klaim negara atas
kawasan hutan selalu dianggap lebih sahih daripada klaim masyarakat hukum
adat. Padahal hak masyarakat hukum adat atas wilayah adat yang sebagian besar
diklaim sebagai kawasan hutan oleh negara, selalu jauh lebih dahulu adanya dari
hak negara.
Undang-undang Kehutanan memperlakukan masyarakat hukum adat yang
secara konstitusional sebagai subjek hukum terkait dengan hutan berbeda dengan
subjek hukum yang lain, sehingga masyarakat hukum adat secara faktual,
kehilangan haknya atas hutan sebagai sumber daya alam kehidupannya. Bahkan,
seringkali hilangnya hak-hak masyarakat hukum adat dimaksud dengan cara
sewenang-wenang, sehingga tidak jarang menyebabkan konflik yang melibatkan
masyarakat dan pemegang hak. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa pasal
Pasal 5 ayat (1) dan (2) yang mengatur tentang status dan penetapan hutan adat
serta Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (3), Pasal 67 ayat (1), (2), dan (3) yang
mengatur tentang bentuk dan tata cara pengakuan masyarakat hukum adat.
Keberlakuan Undang-Undang Kehutanan berdampak pada kerugian
konstitusional bagi masyarakat hukum adat. Kerugian tersebut membangkitkan
semangat beberapa komunitas dan kesatuan masyarakat hukum adat yang
tergabung dalam AMAN, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu,
dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu untuk melakukan
judicial review terhadap pasal-pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi.
Dari judicial review yang dilakukan, maka lahirlah Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Mahkamah menyatakan mengabulkan
permohonan para Pemohon untuk sebagian yakni menghilangkan frase “Negara”
dalam pasal 1 angka 6 sehingga hutan adat adalah hutan yang berada dalam
wilayah masyarakat hukum adat, dan hapusnya penjelasan pasal 5 ayat (1), serta
beberapa ketentuan lainnya yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum
mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang disebutkan oleh mahkamah
konstitusi. Dengan adanya Putusan ini maka terbentuklah kembali keadilan,
kemanfaatan, serta kepastian hukum bagi masyarakat hukum adat dalam hal
kepemilikan hutan adat.
Pada sisi lain, manusia sebagai mahluk sosial memerlukan sumber-sumber
kehidupan. Hutan adat yang dekat dengan masyarakat hukum adat itu menjadi
skala prioritas bagi mereka dalam mendapatkan kehidupan. Untuk mendapatkan
melalui investasi pada hutan adat. Ide Investasi ini memiliki bermacam-macam
persoalan diantaranya, apakah masyarakat hukum adat dapat melakukan tindakan
hukum? Bagaimana wujud keterlibatan masyarakat hukum adat dalam investasi
itu? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi sangat menarik untuk dibahas sejalan
dengan muculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.
B. Rumusan Masalah
Dengan mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan pada bagian
sebelumnya, maka dapat diturunkan beberapa permasalahan yang menjadi kajian
dalam skripsi ini, yaitu :
1. Bagaimana pengakuan hukum di Indonesia terhadap masyarakat hukum adat
dan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat ?
2. Bagaimana pengaturan kegiatan investasi yang berada di wilayah hutan ?
3. Bagaimana masyarakat hukum adat dapat terlibat dalam kegiatan investasi
dikawasan hutan adat ?
C. Tujuan dan Manfaat Penulisan
Secara umum tujuan sebuah penelitian adalah untuk mencari atau
menemukan kebenaran atau pengetahuan yang benar.9 Adapun yang menjadi
tujuan pembahasan dari skripsi ini adalah sebagai berikut :
9
1. Untuk mengetahui kedudukan Masyarakat Hukum Adat dalam hukum
Indonesia serta hak-hak tradisional yang melekat pada Masyarakat Hukum
Adat tersebut.
2. Untuk mengetahui pengaturan kegiatan investasi Indonesia secara umum dan
pengaturan kegiatan investasi di wilayah hutan secara khusus.
3. Untuk mengetahui keberadaan hutan adat di Indonesia serta keterlibatan
Masyarakat Hukum Adat dalam kegiatan Investasi di dalam kawasan hutan
adat.
Disamping itu, penelitian ini juga mempunyai manfaat dari segi kegunaan
teoritis dan kegunaan praktis, yaitu :
1. Kegunaan Teoritis
Penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi pemikiran dalam
rangka mengembangkan dan memperkaya teori hukum yang sudah ada,
khususnya dalam bidang ilmu hukum ekonomi dan hukum adat.
2. Kegunaan Praktis
Hasil penelitian ini ditujukan untuk memberikan kegunaan praktis baik bagi
masyarakat hukum adat maupun pemerintah sebagai acuan untuk mewujudkan
kesejahteraan sosial dalam hal keterlibatan masyarakat hukum adat tersebut
dalam kegiatan investasi di kawasan hutan adat.
D. Keaslian Penulisan
Dalam rangka meningkatkan ilmu pengetahuan yang diperoleh penulis,
Masyarakat Hukum Adat dalam Kegiatan Investasi di Kawasan Hutan Adat
Terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 / PUU-X / 2012”.
Untuk mengetahui keaslian penulisan, penulis sebelumnya melakukan
penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada katalog skripsi
departemen hukum ekonomi Fakultas Hukum USU dan tidak menemukan judul
yang sama. Melalui surat tertanggal 26 Oktober 2013 yang dikeluarkan oleh
Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara /
Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera
Utara menyatakan bahwa terdapat satu judul yang berkaitan, yakni “Perkawinan
Menurut Ketentuan Hukum Adat Nias Dikaitkan dengan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus Hukum Adat Nias Selatan)”. Meskipun
sama-sama membahas mengenai Hukum Adat namun fokus pada skripsi tersebut
adalah tentang perkawinan, sedangkan fokus penulisan skripsi ini adalah tentang
masyarakat hukum adat dalam kegiatan investasi di kawasan hutan adat.
Penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang
berkaitan dengan masyarakat hukum adat, kegiatan investasi dan putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2013, baik melalui literatur yang
diperoleh dari perpustakaan atau media cetak maupun media elektronik. Bila
dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang
lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal itu dapat diminta
pertanggungjawabannya.
Tinjauan kepustakaan pada umumnya merupakan kumpulan teori yang
dijadikan dasar dalam membuat karya tulis ilmiah. Teori adalah untuk
menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu
terjadi, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang
dapat menunjukkan ketidak benarannya.10 Kerangka teori adalah kerangka
pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau
permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.11
Berikut beberapa teori yang berkaitan dengan permbahasan :
1. Masyarakat Hukum Adat
Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh para ahli, Soerjono Soekanto
dalam bukunya menyimpulkan bahwa masyarakat merupakan suatu bentuk
kehidupan bersama, yang warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang
cukup lama, sehingga menghasilkan kebudayaan.12 Tidak jauh berbeda dengan
pendapat Soerjono Soekanto, dalam Kamus Hukum masyarakat diartikan sebagai
setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama
sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka
sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.13
Dari pengertian masyarakat maka kita akan beralih pada pengertian
masyarakat hukum adat. Ter Haar dalam bukunya yang berjudul Beginselen en
Stelsel van het adatrecht, merumuskan masyarakat hukum adat sebagai
10
Sukiran, “Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing di Indonesia”, (Tesis, Ilmu Hukum, Pascasarjana USU, 2010), hlm. 34.
11
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian(Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80.
12
Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1983), hlm. 91.
13
kelompok-kelompok teratur yang sifatnya ajek dengan pemerintahan sendiri yang
memiliki benda-benda materil maupun immateril.14Ahli lain yang mencoba untuk
memberikan batasan terhadap masyarakat hukum adat diantaranya adalah
Kusumadi Pujosewojo. Kusumadi Pujosewojo mengartikan masyarakat hukum
adat sebagai masyarakat yang timbul secara spontan diwilayah tertentu, berdirinya
tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa
lainnya, dengan rasa solidaritas sangat besar diantara anggota, memandang bukan
anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai
sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya.15
Bila merujuk pada peraturan perundang-undangan, tidak sedikit pula yang
memberikan pengertian terhadap masyarakat hukum adat. Peraturan Menteri
Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat yang diterbitkan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan
Pertanahan Nasional Pasal 1 ayat (3) diatur bahwa pengertian Masyarakat Hukum
Adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai
warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun
atas dasar keturunan.16
Selain peraturan perundang-undangan pengertian tersebut juga terdapat
dalam Konvensi ILO yang menyebutkan masyarakat adat sebagai masyarakat
yang berdiam di negara-negara yang medeka dimana kondisi sosial, kultural, dan
ekonominya membedakan mereka dari bagian masyarakat-masyarakat lain di
14
Soerjono Soekanto,Op. Cit. hlm. 93.
15Ibid.hlm. 44. 16
Negara tersebut dan tradisi hukum adat tersebut dengan hukum dan peraturan
khusus.17
Berdasarkan pengertian diatas Husen Alting dalam bukunya berpendapat
bahwa masyarakat hukum adat termasuk dalam pengertian masyarakat, namun
tidak semua masyarakat dapat digolongkan dalam pengertian masyarakat hukum
adat. Masyarakat hukum adat terikat oleh tatanan hukum adat yang tumbuh dan
berkembang secara alami dalam masyarakat tersebut sehingga merupakan
pencerminan jiwa masyarakat.18
2. Investasi
Dalam mewujudkan tujuan negara yang tertuang dalam pembukaan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sarana yang
dipergunakan adalah pembangunan. Pembangunan tersebut tidak mudah
dilaksanakan karena modal yang dibutuhkan sangat besar. Apabila hanya
mengandalkan modal pemerintah saja, dapat dipastikan sulit untuk mencapai
tujuan tersebut. Oleh karena itu, perlu dicari sumber dana lain salah satunya
adalah dengan investasi atau penanaman modal.
Istilah investasi berasal dari bahasa Latin, yaitu investire yang berarti
memakai. Black Law’s Dictionary memberikan pengertian investasi sebagai
berikut19:
Investment. An expenditure to acquire property or other assets in order to produce revenue; the asset so acquired. The placing of capital or laying out of money in a way intended to secure income and profit from its employment. To purchase securities of a more or less permanent nature, or
17
Husen Alting, Op. Cit., hlm. 31.
18Ibid.
19
to place money property in business ventures or real estate, or otherwise lay it out, so that it may produce a revenue or income.
Menurut Komaruddin yang merumuskan investasi dari sudut pandang
ekonomi dan memandang investasi sebagai salah satu faktor produksi disamping
faktor produksi lainnya, pengertian investasi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu20:
a. Suatu tindakan untuk membeli saham, obligasi, atau suatu penyertaan
lainnya;
b. Suatu tindakan membeli barang-barang modal;
c. Pemanfaatan dana yang tersedia untuk produksi dengan pendapatan
dimasa datang.
Ana Rokhmatuss’adyah dan Suratman dalam bukunya berpendapat secara
umum investasi atau penanaman modal dapat diartikan sebagai suatu kegiatan
yang dilakukan baik oleh orang pribadi (natural person) maupun badan hukum
(juridical person) dalam upaya untuk meningkatkan dan/atau mempertahankan
nilai modalnya, baik yang berbrntuk uang tunai (cash money), peralatan
(equipment), asset tidak bergerak, hak atas kekayaan intelektual, maupun
keahlian.21 Menurut Salim HS dan Budi dalam buku Hukum Investasi di
Indonesia mengartikan investai adalah penanaman modal yang dilakukan oleh
investor, baik investor asing maupun domestik dalam berbagai bidang usaha yang
terbuka untuk investasi, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan.22
20
Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 122.
21
Ana Rokhmatussa’dyah dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 3.
22
Pengertian tersebut tidak jauh berbeda dengan pengertian yang diberikan
oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (yang
selanjutnya disebut Undang-Undang Penanaman Modal) dalam Pasal 1 Angka 1
Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh
penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik
Indonesia. Dari pendefinisian tersebut dapat dicermati bahwa legal drafter
membagi penanaman modal dengan penanaman modal asing dan penanaman
modal dalam negeri bila ditinjau dari segi subjeknya.
Beberapa ahli berpendapat bahwa penanaman modal pada hakikatnya
dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu investasi langsung (direct investment)
dan investasi tidak langsung (indirect investment)23. Investasi secara langsung
identik denagan keterlibatan secara langsung dari pemilik modal dalam kegiatan
pengelolaan modal, sedangkan investasi tidak langsung umumnya merupakan
penanaman modal jangka pendek yang mencakup kegiatan transaksi di pasar
modal dan di pasar uang.
Kehadiran Investor merupakan hal yang cukup berpengaruh dalam
pembangunan nasional atau tepatnya dalam menggerakkan roda perekonomian
yang sedang dilakukan oleh pemerintah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh
John J.O Ilhalauw24:
“bagi negara-negara yang sedang berkembang, khususnya Indonesia, masuknya modal asing tidak perlu menyebabkan rasa malu atau rendah diri. Yang penting ialah bahwa adanya semacam ikatan moral sehingga modal asing itu benar-benar dipergunakan untuk kepentingan
23
Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), Hlm. 11.
24
pembangungan Negara yang bersangkutan semi kepentingan semua pihak.”
3. Hutan Adat
Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang
dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang dikuasai oleh
negara, memberi manfaat serba guna bagi umat manusia, karenanya wajib
disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya
untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun
generasi mendatang.
Patron hukum mengenai hutan di Indonesia adalah Undang-Undang
Kehutaan. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi
sumber daya alam hayati yang diominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.25
Undang-Undang Kehutanan mengemukakan bahwa semua hutan termasuk kekayaan di
dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Berdasarkan statusnya hutan dibedakan menjadi hutan hak dan hutan negara.26
Disebut hutan hak apabila hutan itu tumbuh atau berada di atas tanah yang
dibebani suatu hak atas tanah. Sebaliknya akan disebut hutan negara apabila hutan
itu tumbuh atau berada di atas tanah yang tidak dibebani suatu hak atas tanah.
Adapun wilayah masyarakat hukum adat yang berupa hutan diklasifikasikan
sebagai hutan negara. Dengan demikian, hutan negara dapat berupa hutan adat.
25
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Bab I, Pasal 1 angka 2.
26
Hutan adat secara langung didefinisikan sebagai hutan negara yang
tumbuh di atas tanah dalam wilayah masyarakat hukum adat. Suatu hutan dapat
ditetapkan sebagai hutan adat sepanjang faktanya masyarakat hukum yang
bersangkutan masih ada dan keberadaannya mendapat pengakuan oleh
pemerintah.27
F. Metode Penulisan
Terry Hutchison menulis pengertian penelitian seperti dikemukakan oleh
OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), menurut
organisasi tersebut, Research and Experimental Development as creativity,
originality, and systematic activity that increases the world’s stock of
knowledge.28Pernyataan ini menjadi pendorong pentingnya melakukan penelitian
ilmiah untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Dalam melakukan penelitian tersebut
dibutuhkan metodologi penelitian yang sesuai dengan ilmu pengetahuan yang
menjadi induknya. Setiap ilmu pengetahuan mempunyai identitas masing-masing,
sehingga pasti akan ada pelbagai perbedaan.29
Oleh karena penelitian yang dilakukan adalah mengenai permasalahan
hukum, maka skripsi ini akan menggunakan metode penelitian hukum. Soerjono
Soekanto menyatakan bahwa penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah,
yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan
27
Ibid. Pasal 5 ayat (3).
28
Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet.4. hlm. 30.
29
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisanya.30
1. Jenis penelitian
Dalam literatur-literatur hukum tentang penelitian hukum banyak
ditemukan variasi tentang pembagian jenis atau tipe penelitian hukum. Namun,
meskipun demikian pengklasifikasian tipe penelitian hukum yang secara umum
adalah sebagai berikut31:
a. Penelitian hukum normatif yang mencakup penelitian terhadap azas-azas
hukum, inventarisasi hukum positif, sistematika hukum, sinkronisasi
vertikal dan horizontal, hukum inkonkrito, hukum klinis, sejarah hukum,
dan perbandingan hukum.
b. Penelitian hukum sosiologis atau empiris yang mencakup penelitian
hukum sosiologis, identifikasi hukum tidak tertulis, dan tentang efektifitas
hukum.
Dari judul skripsi ini yaitu, “Keberadaan Masayarakat Hukum Adat
dalam Kegiatan Investasi di Kawasan Hutan Adat Terkait dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012” dapat terlihat bahwa jenis
penelitian ini adalah hukum normatif. Dalam penelitian hukum normatif, hukum
dipandang sebagai norma atau kaidah yang otonom terlepas dari hubungan hukum
tersebut dengan masyarakat. 32 Jenis penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu keadaan
yang menjadi objek penelitian dengan mendasarkan penelitian pada ketentuan
30Ibid. hlm. 46. 31
Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Op.Cit., hlm. 51. 32
hukum normatif. Dari sudut normatif inilah skripsi membahas mengenai peraturan
investasi serta putusan mahkamah konstitusi terkait dengan masyarakat hukum
adat.
2. Sumber data
Sumber data dalam penelitian ini keseluruhan merupakan data sekunder
yang terdiri atas:
a. Bahan hukum primer
Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang
berwenang. Dalam tulisan ini diantaranya Undang-Undang Nomor 41
Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007
Tentang Penanaman Modal, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor
35/PUU-X/2012, dan peraturan-peraturan lainnya.
b. Bahan hukum sekunder
Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang
masyarakat hukum adat dan kegiatan investasi seperti buku-buku,
seminar-seminar, jurnal hukum, majalah, koran, karya tulis ilmiah, dan
beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan permasalahan skripsi
ini.
c. Bahan hukum tersier
Yaitu semua dokumen yang berisi tentang konsep-konsep dan
keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum
sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, dan sebagainya.
Teknik pengumpulan data diperlukan untuk memperoleh suatu kebenaran
ilmiah dalam penulisan skripsi, dalam hal ini digunakan teknik pengumpulan data
dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan
menganalisis data secara sistematis melalui buku-buku, surat kabar, makalah
ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan, dan bahan-bahan lain
yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.
4. Analisis data
Dalam menganalisis data penelitian digunakan analisis normatif kualitatif,
yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya
dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas
dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif
dilakukan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif, yaitu data-data yang
akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh.
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini dibagi ke dalam 5 (lima) bab, dimana masing-masing
bab terbagi atas beberapa subbab. Urutan bab tersebut tersusun secara sistematik,
dan saling berkaitan antara satu sama lain. Urutan singkat atas bab dan sub bab
tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini menguraikan latar belakang perlunya pembahasan
mengenai keterlibatan masyarakat hukum adat dalam kegiatan
35/PUU-X/2012, rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat
penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode
penulisan, dan sistematika penulisan.
BAB II PENGAKUAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM
ADAT DAN HAK TRADISIONAL MASYARAKAT HUKUM
ADAT
Bab ini menguraikan tentang pengakuan dan perkembangan
masyarakat hukum adat di Indonesia serta Hak-hak tradisional
masyarakat hukum adat.
BAB III PENGATURAN KEGIATAN INVESTASI YANG BERADA
DI WILAYAH HUTAN
Bab ini menguraikan tentang pengaturan umum kegiatan investasi
di Indonesia dimulai dari dasar hukum kegiatan investasi, bidang
usaha investasi, perizinan investasi, persyaratan investasi, dan
pengawasan investasi. Selanjutnya akan diuraikan mengenai
pengaturan kegiatan investasi di wilayah hutan yang mencakup
jenis-jenis hutan, penggunaan wilayah hutan untuk kegiatan
investasi, persyaratan dan pengawasan investasi di wilayah hutan.
BAB IV KETERLIBATAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM
KEGIATAN INVESTASI DI DALAM KAWASAN HUTAN
ADAT
Dalam bab ini akan diuraikan mengenai eksistensi hutan di
terhadap hutan adat serta keterlibatan masyarakat hukum adat
dalam kegiatan investasi di dalam kawasan hutan adat.
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
Bab terakhir ini berisi kesimpulan yang diambil oleh penulis
terhadap bab-bab sebelumnya yang telah penulis uraikan dengan
mencoba memberikan saran-saran yang penulis anggap perlu dari
BAB II
PENGAKUAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK
TRADISIONAL MASYARAKAT HUKUM ADAT DI INDONESIA
A. Pengakuan dan Perkembangan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia
1. Pengakuan masyarakat hukum adat
a. Pengertian menurut teori
Istilah masyarakat hukum adat adalah istilah resmi yang tercantum dalam
berbagai peraturan perundang-undangan, seperti dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria (yang selanjutnya disebut UUPA),
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan, Undang-Undang-Undang-Undang
Kehutanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah, dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai padanan dari
rechtgemeenschapt, atau oleh sedikit literatur menyebutnya
adatrechtgemenschap. Istilah masyarakat hukum adat dilahirkan dan digunakan
oleh pakar hukum adat yang lebih banyak difungsikan untuk keperluan
teoritik-akademis. Sedangkan istilah masyarakat adat adalah istilah yang lazim
diungkapkan dalam bahasa sehari-hari oleh kalangan non-hukum yang mengacu
pada sejumlah kesepakatan internasional.33
Istilah masyarakat adat merupakan padanan dari indigeneous people.
Istilah itu sudah dikenal luas dan telah disebutkan dalam sejumlah kesepakatan
internasional, yaitu : Convention of International Labor Organixation Concerning
Indigeneous and Tribal People in Independent Countries (1989), Deklarasi
Cari-Oca tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (1992), Deklarasi Bumi Rio de Janairo
(1992), Declaration on the Right of Asian Indigenous Tribal People Chianmai
(1993), De Vienna Declaration and Programme Action yang dirumuskan oleh
United Nations World Conference on Human Rights (1993). Sekarang istilah
indigenous people semakin resmi penggunaannya dengan telah lahirnya Deklarasi
PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on the Rights
of Indegenous People) pada tahun 2007.
Banyak ahli berpendapat bahwa pengertian masyarakat adat harus
dibedakan dengan masyarakat hukum adat. Konsep masyarakat adat merupakan
pengertian umum untuk menyebut masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu.
Sedangkan masyarakat hukum adat merupakan pengertian teknis yuridis yang
menunjuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat
tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin
yang bertugas menjaga kepentingan kelompok (keluar dan kedalam), dan
memiliki tata aturan (sistem) hukum dan pemerintahan.34 Dalam skripsi ini,
masyarakat adat disamakan artinya dengan pengertian masyarakat hukum adat,
sebagaimana lazim ditemukan dalam peraturan perundang-undangan.
Secara faktual setiap provinsi di Indonesia terdapat kesatuan-kesatuan
masyarakat hukum adat dengan karakteristiknya masing-masing yang telah ada
ratusan tahun yang lalu. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat
yang teratur, yang bertingkah laku sebagai kesatuan, menetap disuatu daerah
tertentu, mempunyai penguasa-penguasa, memiliki hukum adat masing-masing
dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang berwujud ataupun tidak
berwujud serta menguasai sumberdaya alam dalam jangkauannya.35 Mereka
memiliki sistem kebudayaan yang kompleks dalam tatanan kemasyarakatannya
dan mempunyai hubungan yang kuat dengan tanah dan sumberdaya alamnya.
Masyarakat hukum adat juga diartikan sebagai sekelompok orang yang terikat
oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan karena
kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.36
Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh
Cornelius van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van
Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter
Haar memberikan pengertian sebagai berikut, masyarakat hukum adat adalah
kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai
kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang
terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing
mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat
alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau
kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau
meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk
selama-lamanya.37
35
Ibid, hlm. 3.
36
Limei Pasaribu, “Keberadaan Hak Ulayat dalam Masyarakat Hukum Adat Batak Toba di Kecamatan Nassau Kabupaten Toba Samosir”, (Tesis, Ilmu Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan,USU, 2011).
37
Kusumo Pujosewojo memberikan pengertian yang hampir sejalan dengan
Ter Haar, beliau mengartikan masyarakat hukum adat sebagai masyarakat yang
timbul secara spontan diwilayah tertentu, berdirinya tidak ditetapkan atau
diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa
solidaritas sangat besar di antara anggota, memandang anggota masyarakat
sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang
hanya dapat dimanfaatkan sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat
dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya.38
Sedangkan menurut Hazairin, masyarakat hukum adat adalah
kesatuan-kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup
berdiri sendiri yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan
lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua
anggotanya. 39 Para tokoh masyarakat adat yang tergabung dalam AMAN
merumuskan masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh
tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.40
Menurut Soepomo dijelaskan bahwa Van Vollenhoven dalam orasinya
tanggal 2 Oktober 1901 menegaskan41: “Bahwa untuk mengetahui hukum, maka
yang terutama perlu diselidiki adalah pada waktu dan bilamana serta di daerah
mana sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum di mana orang-orang
38
Ibid. hlm. 44. 39
Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia,
(Jakarta: UNDP Regional Centre in Bangkok, 2006), hlm. 23.
40Husen Alting,Op. Cit., hlm. 31. 41
yang dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari”. Bersandar dari pendapat
tersebut, Soepomo mengungkapkan pendapatnya sendiri bahwa : “penguraian
tentang badan-badan persekutuan itu harus tidak didasarkan atas sesuatu yang
dogmatik, melainkan harus berdasarkan atas kehidupan yang nyata dari
masyarakat yang bersangkutan”
Dari apa yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven dan Soepomo
terlihatlah bahwa masyarakat yang mengembangkan ciri khas hukum adat itu
adalah “Persekutuan Hukum Adat” (Adatrechts Gemeenschapen).
Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuan
hukum adat itu, para anggotanya terikat oleh faktor yang bersifat territorial dan
geneologis. Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum di zaman
Hindia Belanda, yang dimaksud dengan masyarakat hukum atau persekutuan
hukum yang territorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang
anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam
kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai
tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur.42 Sedangkan, masyarakat atau
persekutuan hukum yang bersifat geneologis adalah suatu kesatuan masyarakat
yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang
sama dari satu leluhur, baik secara tidak langsung karena pertalian perkawinan
atau pertalian adat.43
Berdasarkan pendapat dari beberapa pakar hukum tersebut maka dapat
dirumuskan kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut :
42Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia (Bandung: CV Mandar
Maju, 2003), hlm. 108.
43
1) Terdapat masyarakat yang teratur
2) Menempati suatu wilayah tertentu
3) Terdapat kelembagaan
4) Memiliki kekayaan bersama
5) Susunan masyarakat berdasarkan pertalian darah atau lingkungan daerah
6) Hidup secara komunal dan gotong-royong
Dalam buku De Commune Trek in bet Indonesische Rechtsleven, F.D.
Hollenmann mengkonstruksikan 4 (empat) sifat umum dari masyarakat adat, yaitu
magis religious, komunal, konkrit dan kontan. Hal ini terungkap dalam uraian
singkat sebagai berikut44:
1) Sifat magis religious diartikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkan
pada keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral.
Sebelum masyarakat bersentuhan dengan sistem hukum agama religiusitas
ini diwujudkan dalam cara berpikir yang prologka, animism, dan
kepercayaan pada alam ghaib. Masyarakat harus menjaga keharmonisan
antara alam nyata dan alam batin (dunia gaib). Setelah masyarakat
mengenal sisitem hukum agama perasaan religious diwujudkan dalam
bentuk kepercayaan kepada Tuhan (Allah). Masyarakat percaya bahwa
setiap perbuatan apapun bentuknya akan selalu mendapat imbalan dan
hukuman tuhan sesuai dengan derajat perubahannya.
2) Sifat komunal (commuun), masyarakat memiliki asumsi bahwa setiap
individu, anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat
44
secara keseluruhan. Diyakini bahwa kepentingan individu harus
sewajarnya disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat
karena tidak ada individu yang terlepas dari masyarakat.
3) Sifat konkrit diartikan sebagai corak yang serba jelas atau nyata
menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalam
masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam atau samar.
4) Sifat kontan (kontane handeling) mengandung arti sebagai kesertamertaan
terutama dalam pemenuhan prestasi. Setiap pemenuhan prestasi selalu
dengan kontra prestasi yang diberikan secara sertamerta/seketika.
Masyarakat adat menunjukkan hubungan yang erat dalam hubungan
antarpersonal dan proses interaksi sosial yang terjadi antarmanusia tersebut
menimbulkan pola-pola tertentu yang disebut dengan cara (a uniform or
customary of belonging within a social group)45.
Manusia pada dasarnya ingin hidup teratur dan kemudian setiap kelompok
dalam masyarakat tersebut memiliki pengertian yang berbeda terhadap pengertian
teratur. Keteraturan tersebut diperlukan untuk mengatur perilaku manusia dalam
kelompok manusia dan hal inilah yang menguatkan konsep dan nilai-nilai
komunal dalam masyarakat adat tersebut.46
b. Pengakuan Menurut Perundang-undangan
1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
Masyarakat Hukum adat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan
dari bangsa Indonesia, keberadaannya tidak dapat dipungkiri sejak dahulu hingga
45Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi(Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm. 12.
46
saat ini. Konstitusi Indonesia menggunakan beberapa istilah untuk menunjuk
kesatuan masyarakat hukum adat, seperti kesatuan masyarakat hukum adat,
masyarakat adat, serta masyarakat tradisional, sehingga istilah–istilah ini dapat
digunakan sekaligus atau secara berganti-gantian.
Bila kembali pada masa lalu dalam pembahasan Undang-Undang Dasar
1945 pada sidang-sidang BPUPKI dan PPKI, hanya Soepomo dan Moehammad
Yamin yang mengemukakan pendapat tentang perlunya mengakui keberadaan
hukum adat dalam konstitusi yang akan dibentuk. Sementara anggota sidang
lainnya tidak terlihat secara tegas ada yang memberikan pemikiran konseptual
berkaitan dengan posisi hukum adat dalam negara republik yang sedang
dirancang. Moehammad Yamin menyampaikan, bahwa kesanggupan dan
kecakapan bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak atas tanah
sudah muncul beribu-ribu tahun yang lalu. Beliau tidak menjelaskan lebih jauh
konsepsi hak atas tanah yang disinggungnya, melainkan menyatakan bahwa
adanya berbagai macam susunan persekutuan hukum adat itu dapat ditarik
beberapa persamaannya tentang ide perwakilan dalam pemerintahan. Sehingga
Moehammad Yamin menyimpulkan bahwa persekutuan hukum adat itu menjadi
basis perwakilan dalam pemerintahan republik.47
Sedangkan Seopomo dengan paham Negara integralistik
menyampaikan bahwa :
“…Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasarkan atas aliran pikiran (staatsidee)negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh
47
golongan-golongannya dalam lapangan apapun”. Lebih lanjut dalam menjelaskan susunan pemerintahan, Soepomo menyampaikan bahwa: “hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa harus diperingati juga. Daerah-daerah yang bersifat istimewa itu ialah pertama daerah kerajaan (kooti), baik di Jawa maupun di luar Jawa, yang dalam bahasa Belanda dinamakan zelfbesturendelanschapen. Kedua, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat asli, ialah dorfgemeinschaften, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat asli seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, huta dan kuria di Tapanuli, gampong di Aceh…. Dihormati dengan menghormati dan memperbaiki susunan asli.”48
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak
memberikan definisi masyarakat hukum adat secara langsung. Namun demikian,
terdapat pasal yang mengakui eksistensi dari masyarakat hukum adat. Hal ini
muncul sejak amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2000, yakni penambahan pada Pasal 18 dan
pemunculan bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia. Pengaturan mengenai
keberadaan masyarakat hukum adat bisa ditemukan pada Pasal 18B ayat (2) dan
Pasal 28I ayat (3). Pasal 18B ayat (2) berada dalam Bab Pemerintahan Daerah,
sedangkan Pasal 28I ayat (3) berada dalam Bab Hak Asasi Manusia. Berikut
bunyi lengkap kedua pasal tersebut:
Pasal 18 B ayat (2):
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum
adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik
Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Pasal 28 I ayat (3):
Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan
perkembangan zaman dan peradaban.
Dengan demikian, negara ‘menagakui’ serta ‘menghormati’ eksistensi
masyarakat hukum adat namun dengan catatan 4 (empat) persyaratan yuridis
yakni :
a) sepanjang masih ada,
b) sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban,
c) sesuai dengan prinsip negara kesatuan republik Indonesia, dan
d) diatur dalam undang-undang.
Oleh karena keempat syarat tersebut diatur dalam Undang-Undang Dasar, maka
keempatnya bisa disebut sebagai syarat konstitusional.49
2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria (UUPA)
Tidak dapat dipungkiri bahwa UUPA adalah salah satu peletak dasar
konsep dan materi pengaturan mengenai pengakuaan masyarakat hukum adat.
Lahirnya UUPA ini disebabkan adanya dualisme hukum dalam pengaturan hukum
tanah nasional, yaitu adanya tanah-tanah yang tunduk pada hukum Barat dan
terdapatnya tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat. Untuk menghilangkan
dualisme dalam hukum tanah di Indonesia tersebut, maka diberlakukanlah UUPA
sehingga tercipta hukum tanah nasional. Secara substansial, UUPA dibuat dalam
rangka melaksanakan lebih lanjut pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945. UUPA tidak dihadirkan untuk mengatur
49
mengenai keberadaan masyarakat hukum adat. Penyebutan masyarakat hukum
adat dalam UUPA berkenaan dengan kedudukannya sebagai subjek yang berhak
menerima kuasa dari Negara dalam rangka melaksanakan hak menguasai negara
dan memiliki hak ulayat.50Ketentuan mengenai hal ini akan diatur lebih lanjut
dalam sebuah peraturan pemerintah.51
Pakar hukum Agraria Universitas Sumatera Utara, Zaidar merumuskan
pengertian Hak ulayat sebagai hak bersama yang sifatnya abadi dan dalam
kedudukannya sebagai “hak penguasaan atas tanah” memberikan kewenangan
kepada anggota-anggotanya untuk berbuat sesuatu atas tanah ulayat yang
bersangkutan. Kewenanangan dalam hal ini juga sekaligus berarti sebagai “tugas”
dari setiap anggota masyarakat hukum adat yang melekat pada hak ulayat , yaitu
untuk mengupayakan agar “tanah ulayat” tersebut dapat berfungsi secara lestari
dan menjadi pendukung kehidupan kelompok masyarakat hukum adat dan para
anggotanya sepanjang zaman.52
UUPA memegang kuat konsep bahwa pemilik hak ulayat adalah
masyarakat hukum adat. Hal ini terlihat dalam Pasal 3 UUPA yang menyebutkan
“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak
Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,
sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga
sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
50
Ibid, hlm. 56.
51
Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Bab 1, Pasal 2 ayat (4).
52
persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan
peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”
Dalam pengertian ini terutarakan dengan jelas bahwa hak ulayat adalah
milik masyarakat hukum adat. Pemahaman serupa juga dianut oleh UUPA dengan
mengatakan bahwa masyarakat hukum adat yang memiliki hak ulayat dilarang
untuk menghalang-halangi pemberian hak guna usaha (HGU) atau menolak
pembukaan hutan untuk keperluan penambahan bahan makanan dan pemindahan
penduduk (Penjelasan Umum II angka 3). Dengan menggunakan konsep tersebut,
UUPA sekaligus mengakui keberadaan masyarakat hukum adat selaku subyek
yang memiliki hak ulayat (obyek). Hak ulayat sebagai obyek tidak mungkin ada
tanpa keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subyek.53
Masih dalam payung hukum UUPA, pengertian masyarakat adat secara
konkrit dituangkan dalam Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun
1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat yang
diterbitkan oleh Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional
diatur bahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh
tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena
kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.54
53
Ricardo Simarmata, Op. Cit., hlm. 57.
54
3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan
Undang-undang Kehutanan juga mengatur keberadaan masyarakat hukum
adat yang tertuang di dalam Pasal 67 ayat (1) yang menyatakan keberadaan
masyarakat hukum adat menurut kenyataannya memenuhi unsur55:
a) Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemenschaap);
b) Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasaan adatnya;
c) Ada wilayah hukum adat yang jelas;
d) Ada pranata dan perangkat hukum yang khususnya peradilan adat yang
masih ditaati;
e) Mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya
untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.
Terdapat dua hal utama dalam undang-undang ini mengenai masyarakat
hukum adat56, yakni : Pertama, bahwa sumber daya hutan dikuasai oleh negara
dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dikatakan juga bahwa
penguasaan hutan oleh ngeara bukan merupakan kepemilikan, namun negara
memberi sejumlah kewenangan kepada pemerintah, termasuk kewenangan untuk
memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang
kehutanan. Hak menguasai negara membawa konsekuensi dimasukkannya hutan
yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat ke dalam hutan negara. Dengan
demikian, cakupan hutan negara bukan hanya hutan yang tidak dibebani hak-hak
atas tanah menurut UUPA, tetapi juga mencakup hutan yang dikuasai oleh
masyarakat hukum adat atau yang biasa disebut dengan hutan adat.
55
Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad,Op. Cit., hlm. 33.
56
Kedua, dimasukannya hutan negara tidak lantas meniadakan hak-hak
masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui
keberadaannya, untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Namun,
masyarakat hukum adat harus terlebih dahulu harus dikukuhkan keberadaannya
lewat peraturan daerah. Pengukuhan tersebut hanya bisa dilakukan apabila
masyarakat hukum adat itu memenuhi 5 syarat, yakni :
a) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemeenschap);
b) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;
c) ada wilayah hukum adat yang jelas;
d) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang
masih ditaati; dan
e) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan
sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.
4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012
Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang
bertugas mengawal konstitusi secara langsung turut serta dalam penegakan
hak-hak asasi manusia. Hal ini merupakan hak-hakikat pengertian dari konstitusi itu
sendiri sebagai dokumen politik dan dokumen ekonomi yang melindungi hak-hak
asasi manusia yang dimiliki oleh setiap warga negara maupun orang yang hidup
dalam negara tersebut. Oleh karena fungsi konstitusi pada essensinya adalah
untuk membatasi kekuasaan yang ada dalam skema ketatanegaraan suatu bangsa
asasi manusia secara menyeluruh, maka peran Mahkamah Konstitusi berkorelasi
langsung sebagai aparatur penegak hak asasi manusia secara menyeluruh.57
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 memutuskan
perkara konstitusi dalam pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),
Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan Masyarakat
Hukum Adat Kesepuhan Cisitu.
Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang
terhadap undang-undang dasar, terlebih dahulu harus jelas kedudukan hukum
(Legal Standing) yang dimilikinya. Berkaitan dengan hal tersebut Pasal 51 ayat
(1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya menyebutkan,
yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah mereka yang
menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dirugikan oleh
berlakunya suatu undang-undang, yaitu58:
a) Perorangan warga Negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang
mempunyai kepentingan yang sama);
b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan
Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;
57Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, Op.Cit. hlm. 75. 58
c) Badan hukum publikatau privat;
d) Lembaga Negara.
Beberapa pasal yang menjadi dalil pertimbangan hak konstitusional yang
dimiliki pemohon adalah Pasal 18B ayat (2), Pasal 28C ayat (2)59, Pasal 28D ayat
(1)60, Pasal 28G ayat (1)61, Pasal 28I ayat (3)62, dan Pasal 33 ayat (3)63
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu juga terdapat
beberapa pasal dal