• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Kegiatan Investasi di Kawasan Hutan Adat Terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Kegiatan Investasi di Kawasan Hutan Adat Terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012"

Copied!
172
0
0

Teks penuh

(1)

KEBERADAAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM KEGIATAN INVESTASI DI KAWASAN HUTAN ADAT TERKAIT DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 35/PUU-X/2012

SKRIPSI

OLEH

NATASHA SIREGAR

NIM : 100200024

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)
(3)

KATA PENGANTAR

“Hukum adalah untuk manusia, bukan manusia untuk hukum.”

Prof. Satjipto Rahardjo

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan

rezeki, berkah, dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menjalani pendidikan di

bangku perkuliahan samapai pada tahap penyelesaian penulisan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul “KEBERADAAN MASYARAKAT HUKUM ADAT

DALAM KEGIATAN INVESTASI DI KAWASAN HUTAN ADAT TERKAIT

DENGAN PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR

35/PUU-X/2012”. Judul ini diangkat karena ketertarikan Penulis pada masyarakat hukum

adat yang selama ini mengalami kerugian akibat dari eksploarsi kawasan hutan

adat yang mereka miliki untuk kegiatan investasi.

Penyusunan skripsi ini merupakan salah satu syarat guna memperoleh

gelar sarjana dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih khususnya

kepada kedua orang tua penulis yang senantiasa memberikan do’a, perhatian, dan

dukungan sehingga penulis akhirnya bisa menyelesaikan skripsi ini. Tak lupa pula

kepada pihak-pihak yang turut serta dalam membantu penyelesaian skripsi ini,

antara lain:

1. Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH. M.Hum. selaku Dekan Fakultas Hukum

(4)

2. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH. M.Hum. selaku Pembantu Dekan I

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Syafruddin Hasibuan, SH MH. DFM. selaku Pembantu Dekan II Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

4. Muhammad Husni, SH. MH. Selaku Pembantu Dekan III Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara.

5. Windha, SH. M.Hum. selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi

Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Dr. Mahmul Siregar, SH. M.Hum. selaku Dosen Pembimbing I yang telah

memberikan waktu dan pikiran dalam membimbing dan mengarahkan

penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Dr. Rosnidar Sembiring, SH. M.Hum. selaku Dosen Pembimbing II yang

telah memberikan waktu dan pikiran dalam membimbing dan

mengarahkan penulis dalam menyelesaikan skripsi ini.

8. Bapak dan Ibu Dosen serta seluruh Staf Pegawai Fakultas Hukum

Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu, bimbingan, dan

bantuan selama penulis mengikuti kuliah.

9. Saudara/i penulis yang selalu menyemangati penulis dalam menyelesaikan

skripsi ini.

10. Rekan-rekan mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

yang telah banyak membantu penulis selama proses penulisan skripsi ini,

dan yang tidak dapat Penulis sebutkan satu persatu. Semoga persahabatan

(5)

Demikian Penulis sampaikan, kiranya skripsi ini dapat bermanfaat untuk

menambah dan memperluas cakrawala berpikir kita semua.

Medan, Maret 2014

Penulis,

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR... i

DAFTAR ISI... iv

DAFTAR TABEL... vii

DAFTAR GAMBAR... viii

ABSTRAK... ix

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 9

F. Metode penulisan ... 16

G. Sistematika Penulisan... 19

BAB II PENGAKUAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK TRADISIONAL MASYARAKAT HUKUM ADAT DI INDONESIA A. Pengakuan dan Perkembangan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia.. 22

1. Pengakuan masyarakat hukum adat ... 22

a. Pengakuan menurut teori ... 22

(7)

1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ... 29

2) UU Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria ... 31

3) UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan ... 34

4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 ... 35

2. Perkembangan masyarakat hukum adat ... 39

B. Hak-hak Tradisional Masyarakat Hukum Adat ... 54

1. Hak atas tanah masyarakat hukum adat... 63

2. Hak lain diluar hak atas tanah ... 67

BAB III PENGATURAN KEGIATAN INVESTASI YANG BERADA DI WILAYAH HUTAN A. Pengaturan Umum Kegiatan Investasi di Indonesia ... 69

1. Dasar hukum kegiatan investasi di Indonesia... 69

2. Bidang usaha investasi di Indonesia... 83

3. Perizinan investasi... 89

4. Persyaratan investasi ... 97

5. Pengawasan investasi ... 101

B. Pengaturan Kegiatan Investasi di Wilayah Hutan ... 103

1. Jenis-jenis hutan ... 105

2. Penggunaan wilayah hutan untuk kegiatan investasi ... 109

3. Persyaratan investasi di wilayah hutan... 113

(8)

BAB IV KETERLIBATAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM

KEGIATAN INVESTASI DI DALAM KAWASAN HUTAN ADAT

A. Eksistensi Hutan Adat di Indonesia ... 120

1. Pengertian hutan adat ... 123

2. Pengakuan hukum terhadap hutan adat ... 124

B. Keterlibatan Masyarakat Hukum Adat dalam Kegiatan Investasi di Kaswasan Hutan Adat ... 130

1. Kerjasama investasi... 131

2. Kerjasama kemitraan ... 136

3. Corporate Social Responsibility (CSR)... 143

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan ... 150

B. Saran... 151

(9)

DAFTAR TABEL

Tabel 1 Hak-Hak Masyarakat Hukum Adat Berdasarkan Undang-Undang ... 57

Tabel 2 Daftar Kegiatan Investasi... 111

(10)

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Alur Pengelolaan Hutan Adat... 131

(11)

Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Kegiatan Investasi di Kawasan Hutan Adat Terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 35/PUU-X/2012

ABSTRAK

Natasha Siregar1 Mahmul Siregar** Rosnidar Sembiring***

Masyarakat hukum adat merupakan elemen dari Negara Republik Indonesia yang memerlukan perhatian khusus dari pemerintah. Sebagai mahluk sosial, masyarakat hukum adat memerlukan sumber-sumber kehidupan. Hutan adat yang dekat dengan masyarakat hukum adat itu menjadi skala prioritas bagi mereka dalam mendapatkan kehidupan. Untuk mendapatkan sumber kehidupan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui investasi pada hutan adat. Ide Investasi ini memiliki bermacam-macam persoalan diantaranya, bagaimana eksistensi dari masyarakat hukum adat dalam melakukan tindakan hukum, bagaimana pengaturan kegiatan investasi yang berada diwilayah hutan, dan bagaimana bentuk dari wujud keterlibatan masyarakat hukum adat dalam investasi tersebut. Hal ini menjadi sangat krusial untuk dibahas sejalan dengan muculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tentang pengujian materi Undang-Undang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Keseluruhan data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan metode pengumpulan data studi kepustakaan. Kemudian dalam menganalisis data penelitian digunakan analisis normatif kualitatif, dimana data disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif hingga akhir hasilnya tertuang dalam bentuk skripsi ini.

Pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya telah dilaksanakan oleh negara yang masih memerlukan pengkonkritan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat. Pengakuan itu bila dilihat dari sudut investasi pada kawasan hutan terdapat perbedaan-perbedaan yang memerlukan unifikasi untuk memudahkan pengguna peraturan. Bila kedua hal diatas terwujud maka keterlibatan masyarakat hukum adat dalam kegiatan investasi di kawasan hutan dapat dilakukan yang berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan masyarakat hukum adat.

Kata Kunci : Masyarakat, Investasi, Hutan Adat.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(12)

Keberadaan Masyarakat Hukum Adat dalam Kegiatan Investasi di Kawasan Hutan Adat Terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 35/PUU-X/2012

ABSTRAK

Natasha Siregar1 Mahmul Siregar** Rosnidar Sembiring***

Masyarakat hukum adat merupakan elemen dari Negara Republik Indonesia yang memerlukan perhatian khusus dari pemerintah. Sebagai mahluk sosial, masyarakat hukum adat memerlukan sumber-sumber kehidupan. Hutan adat yang dekat dengan masyarakat hukum adat itu menjadi skala prioritas bagi mereka dalam mendapatkan kehidupan. Untuk mendapatkan sumber kehidupan itu dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya melalui investasi pada hutan adat. Ide Investasi ini memiliki bermacam-macam persoalan diantaranya, bagaimana eksistensi dari masyarakat hukum adat dalam melakukan tindakan hukum, bagaimana pengaturan kegiatan investasi yang berada diwilayah hutan, dan bagaimana bentuk dari wujud keterlibatan masyarakat hukum adat dalam investasi tersebut. Hal ini menjadi sangat krusial untuk dibahas sejalan dengan muculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 tentang pengujian materi Undang-Undang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar.

Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Sumber data yang digunakan dalam penelitian adalah data sekunder yang terdiri atas bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Keseluruhan data tersebut dikumpulkan dengan menggunakan metode pengumpulan data studi kepustakaan. Kemudian dalam menganalisis data penelitian digunakan analisis normatif kualitatif, dimana data disusun secara sistematis dan selanjutnya dianalisis secara kualitatif hingga akhir hasilnya tertuang dalam bentuk skripsi ini.

Pengakuan hukum terhadap masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya telah dilaksanakan oleh negara yang masih memerlukan pengkonkritan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat. Pengakuan itu bila dilihat dari sudut investasi pada kawasan hutan terdapat perbedaan-perbedaan yang memerlukan unifikasi untuk memudahkan pengguna peraturan. Bila kedua hal diatas terwujud maka keterlibatan masyarakat hukum adat dalam kegiatan investasi di kawasan hutan dapat dilakukan yang berdampak positif pada peningkatan kesejahteraan masyarakat hukum adat.

Kata Kunci : Masyarakat, Investasi, Hutan Adat.

*Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

(13)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sejak dicitrakan sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa hidup di luar

jejaring sosial, bagaimana dan apa pun bentuknya.2Perjalanan hidup manusia itu

tidak terlepas dari hukum. Hukum adalah tatanan yang sengaja dibuat oleh

manusia dan secara sengaja pula dibebankan padanya.3Hukumlah yang memberi

arah, tujuan, cita-cita dari perjalanan hidup manusia itu. Dengan hukum manusia

bisa menjalin cinta kasih, menjalankan roda perekonomian dengan tertib,

membentuk masyarakat dan mengatur segala sesuatunya. Benarlah perkataan

Satjipto Rahardjo bahwa hukum adalah untuk manusia.

Secara umum, hukum adalah himpunan kaidah, berisi keharusan atau

larangan tentang tingkah laku manusia, kaidah-kaidah mana memang dianut

dalam masyarakat.4 Berangkat dari pandangan tersebut, terdapat beberapa

penggolongan hukum dari berbagai kriteria yang dipahami oleh para sarjana.

Salah satunya adalah hukum berdasarkan sumbernya. Hukum berdasarkan

sumbernya dapat diklasifikasikan atas undang-undang, hukum kebiasaan dan

hukum adat, hukum yurisprudensi, hukum traktat, dan hukum doktrin. Dari empat

klasifikasi tersebut, hukum adatlah yang menjadi salah satu sorotan dalam

pembahasan skripsi ini.

2

Satjipto Rahardjo,Biarkan Hukum Mengalir(Bogor: Grafika Mardi Yuana, 2008), Cet. 2 hlm. 7.

3Ibid.

4

(14)

Para ahli hukum berusaha untuk memberikan definisi terhadap hukum

adat. Salah satu yang dapat menjadi pegangan adalah pendapat Prof. Bushar

Muhammad dalam bukunya menyunting pendapat-pendapat para ahli tentang

definisi hukum adat dan menyimpulkan bahwa hukum adat adalah hukum yang

mengatur terutama tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama

lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman dan kebiasaan (kesusilaan)

yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh

anggota-anggota masyarakat adat itu, maupun yang merupakan keseluruhan

peraturan-peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan

dalam keputusan-keputusan para penguasa adat.5

Pembahasan mengenai hukum adat tidak akan terlepas dari istilah

masyarakat hukum adat sebagai subjek hukum adat. Bila kembali pada konsep

awal bahwa hukum adalah untuk manusia, maka hukum adat adalah untuk

masyarakat hukum adat. Ter Haar mengemukakan bahwa masyarakat hukum

adalah6 kesatuan manusia yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu,

mempunyai penguasa-penguasa, dan mempunyai kekayaan yang berwujud

ataupun tidak berwujud, dimana para anggota kesatuan masing-masing

mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat

alam dan tidak seorangpun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau

kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau

meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk

selama-lamanya. Sejalan namun berbeda dari penafsiran Ter Haar, Aliansi Masyarakat

5Bushar Muhammad. Asas-Asas Hukum Adat (Jakarta: PT. Pradnya Paramita, 2006), Cet.

13. hlm. 19.

6

(15)

Adat Nusantara (yang selanjutnya disebut AMAN) mengartikan masyarakat

hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya

sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal

ataupun atas dasar keturunan.7

Salah satu unsur penting dari masyarakat hukum adat adalah wilayah atau

tempat. Setiap masyarakat hukum adat pasti menempati suatu wilayah tertentu

sehingga memenuhi untuk dikatakan masyarakat hukum adat. Wilayah tersebut

dapat berupa tanah ulayat termasuk hutan adat, yang pemanfaatannya sedari dulu

adalah sebagai sumber pemenuhan kebutuhan hidup masyarakat hukum adat. Bila

dipandang dari sisi sosiologis, masyarakat hukum adat memiliki keterikatan yang

kuat pada hutan. Di berbagai daerah di Indonesia, interaksi antara masyarakat

hukum adat dengan hutan tergambar dalam bentuk-bentuk pengelolaan hutan

yang pada umumnya didasarkan pada hukum adat. Biasanya berisi aturan

mengenai tata cara pembukaan hutan untuk usaha perladangan dan pertanian

lainnya, pengembalaan ternak, perburuan satwa dan pemungutan hasil hutan.

Keberadaan praktek pengelolaan hutan oleh masyarakat hukum adat

dikenal dengan berbagai istilah seperti Mamar di Nusa Tenggara Timur, Lembo

pada masyarakat Dayak di Kalimantan Timur, Tembawang pada masyarakat

Dayak di Kalimantan Barat, Repong pada masyarakat Peminggir di Lampung,

Tombak pada masyarakat Batak di Tapanuli Utara.8 Praktek-praktek tersebut

membuktikan bahwa kesatuan masyarakat hukum adat telah melakukan

7

Husen Alting,Dinamika Hukum Dalam Pengakuan Dan Perlindungan Hak Masyarakat Hukum Adat Atas Tanah (Masa Lalu, Kini, dan Masa Mendatang) (Yogyakarta: LaksBang PERSSindo, 2010), hlm. 31.

8

(16)

pengelolaan sumber daya alam (hutan) secara turun-temurun. Dari hal itulah

tercipta bentuk yang beragam dan terpadu akan praktek pengelolaan hutan yang

hasil akhirnya memberi manfaat kepada masyarakat dan lingkungan baik dari

aspek ekonomi, sosial, budaya, religi maupun ekologi.

Sejalan dengan berubahnya waktu dan berkembangnya pemikiran

manusia, yang dahulu hutan adat adalah milik sepenuhnya masyarakat hukum

adat kini pemerintah turut campur tangan didalamnya. Landasan yuridis utama

dari hal tersebut sebagai bentuk dari perwujudan pembukaan konstitusi adalah

Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

yang memberikan mandat kepada negara agar pemanfaatan bumi (tanah), air dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebesar-besarnya digunakan untuk

menciptakan kemakmuran bagi rakyat Indonesia.

Dalam menjalankam mandat konstitusi tersebut, maka pada sektor

kehutanan sebagai salah satu kekayaan sumber daya alam yang ada, pemerintah

menyusun Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan (yang

selanjutnya disebut Undang-Undang Kehutanan). Bagian dasar pertimbangaan

undang-undang tentang kehutanan menggambarkan adanya kemajuan, yakni

perlunya suatu pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia

sehingga mampu menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat, adat,

dan budaya serta tata nilai kemasyarakatan. Namun, apabila ditelaah lebih

mendalam maka akan terungkap kontradiksi antara “adat dan budaya serta

nilai-nilai kemasyarakatan” di satu sisi berhadapan dengan “norma hukum nasional”

(17)

Undang-Undang Kehutanan telah dijadikan alat oleh negara untuk

mengambil alih hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah hutan adatnya

untuk kemudian dijadikan sebagai hutan negara, yang selanjutnya justru atas

nama negara diberikan dan/atau diserahkan kepada para pemilik modal melalui

berbagai skema perizinan untuk dieksploitasi tanpa memperhatikan hak serta

kearifan lokal kesatuan masyarakat hukum adat di wilayah tersebut.

Undang-undang tersebut juga menghadirkan ketidakpastian hak atas wilayah adatnya.

Padahal, hak kesatuan masyarakat hukum adat atas wilayah adat merupakan hak

yang bersifat turun-temurun. Hak ini bukanlah hak yang diberikan negara kepada

masyarakat adat melainkan hak bawaan, yaitu hak yang lahir dari proses mereka

membangun peradaban di wilayah adatnya. Sayangnya, klaim negara atas

kawasan hutan selalu dianggap lebih sahih daripada klaim masyarakat hukum

adat. Padahal hak masyarakat hukum adat atas wilayah adat yang sebagian besar

diklaim sebagai kawasan hutan oleh negara, selalu jauh lebih dahulu adanya dari

hak negara.

Undang-undang Kehutanan memperlakukan masyarakat hukum adat yang

secara konstitusional sebagai subjek hukum terkait dengan hutan berbeda dengan

subjek hukum yang lain, sehingga masyarakat hukum adat secara faktual,

kehilangan haknya atas hutan sebagai sumber daya alam kehidupannya. Bahkan,

seringkali hilangnya hak-hak masyarakat hukum adat dimaksud dengan cara

sewenang-wenang, sehingga tidak jarang menyebabkan konflik yang melibatkan

masyarakat dan pemegang hak. Hal tersebut dapat dilihat pada beberapa pasal

(18)

Pasal 5 ayat (1) dan (2) yang mengatur tentang status dan penetapan hutan adat

serta Pasal 4 ayat (3), Pasal 5 ayat (3), Pasal 67 ayat (1), (2), dan (3) yang

mengatur tentang bentuk dan tata cara pengakuan masyarakat hukum adat.

Keberlakuan Undang-Undang Kehutanan berdampak pada kerugian

konstitusional bagi masyarakat hukum adat. Kerugian tersebut membangkitkan

semangat beberapa komunitas dan kesatuan masyarakat hukum adat yang

tergabung dalam AMAN, Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu,

dan Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kasepuhan Cisitu untuk melakukan

judicial review terhadap pasal-pasal tersebut ke Mahkamah Konstitusi.

Dari judicial review yang dilakukan, maka lahirlah Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012. Mahkamah menyatakan mengabulkan

permohonan para Pemohon untuk sebagian yakni menghilangkan frase “Negara”

dalam pasal 1 angka 6 sehingga hutan adat adalah hutan yang berada dalam

wilayah masyarakat hukum adat, dan hapusnya penjelasan pasal 5 ayat (1), serta

beberapa ketentuan lainnya yang dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum

mengikat sepanjang tidak dimaknai sebagaimana yang disebutkan oleh mahkamah

konstitusi. Dengan adanya Putusan ini maka terbentuklah kembali keadilan,

kemanfaatan, serta kepastian hukum bagi masyarakat hukum adat dalam hal

kepemilikan hutan adat.

Pada sisi lain, manusia sebagai mahluk sosial memerlukan sumber-sumber

kehidupan. Hutan adat yang dekat dengan masyarakat hukum adat itu menjadi

skala prioritas bagi mereka dalam mendapatkan kehidupan. Untuk mendapatkan

(19)

melalui investasi pada hutan adat. Ide Investasi ini memiliki bermacam-macam

persoalan diantaranya, apakah masyarakat hukum adat dapat melakukan tindakan

hukum? Bagaimana wujud keterlibatan masyarakat hukum adat dalam investasi

itu? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi sangat menarik untuk dibahas sejalan

dengan muculnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012.

B. Rumusan Masalah

Dengan mengacu pada latar belakang yang telah diuraikan pada bagian

sebelumnya, maka dapat diturunkan beberapa permasalahan yang menjadi kajian

dalam skripsi ini, yaitu :

1. Bagaimana pengakuan hukum di Indonesia terhadap masyarakat hukum adat

dan hak-hak tradisional masyarakat hukum adat ?

2. Bagaimana pengaturan kegiatan investasi yang berada di wilayah hutan ?

3. Bagaimana masyarakat hukum adat dapat terlibat dalam kegiatan investasi

dikawasan hutan adat ?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Secara umum tujuan sebuah penelitian adalah untuk mencari atau

menemukan kebenaran atau pengetahuan yang benar.9 Adapun yang menjadi

tujuan pembahasan dari skripsi ini adalah sebagai berikut :

9

(20)

1. Untuk mengetahui kedudukan Masyarakat Hukum Adat dalam hukum

Indonesia serta hak-hak tradisional yang melekat pada Masyarakat Hukum

Adat tersebut.

2. Untuk mengetahui pengaturan kegiatan investasi Indonesia secara umum dan

pengaturan kegiatan investasi di wilayah hutan secara khusus.

3. Untuk mengetahui keberadaan hutan adat di Indonesia serta keterlibatan

Masyarakat Hukum Adat dalam kegiatan Investasi di dalam kawasan hutan

adat.

Disamping itu, penelitian ini juga mempunyai manfaat dari segi kegunaan

teoritis dan kegunaan praktis, yaitu :

1. Kegunaan Teoritis

Penelitian ini diharapkan akan memberikan kontribusi pemikiran dalam

rangka mengembangkan dan memperkaya teori hukum yang sudah ada,

khususnya dalam bidang ilmu hukum ekonomi dan hukum adat.

2. Kegunaan Praktis

Hasil penelitian ini ditujukan untuk memberikan kegunaan praktis baik bagi

masyarakat hukum adat maupun pemerintah sebagai acuan untuk mewujudkan

kesejahteraan sosial dalam hal keterlibatan masyarakat hukum adat tersebut

dalam kegiatan investasi di kawasan hutan adat.

D. Keaslian Penulisan

Dalam rangka meningkatkan ilmu pengetahuan yang diperoleh penulis,

(21)

Masyarakat Hukum Adat dalam Kegiatan Investasi di Kawasan Hutan Adat

Terkait dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35 / PUU-X / 2012”.

Untuk mengetahui keaslian penulisan, penulis sebelumnya melakukan

penelusuran terhadap berbagai judul skripsi yang tercatat pada katalog skripsi

departemen hukum ekonomi Fakultas Hukum USU dan tidak menemukan judul

yang sama. Melalui surat tertanggal 26 Oktober 2013 yang dikeluarkan oleh

Perpustakaan Universitas Cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara /

Pusat Dokumentasi dan Informasi Hukum Fakultas Hukum Universitas Sumatera

Utara menyatakan bahwa terdapat satu judul yang berkaitan, yakni “Perkawinan

Menurut Ketentuan Hukum Adat Nias Dikaitkan dengan Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 (Studi Kasus Hukum Adat Nias Selatan)”. Meskipun

sama-sama membahas mengenai Hukum Adat namun fokus pada skripsi tersebut

adalah tentang perkawinan, sedangkan fokus penulisan skripsi ini adalah tentang

masyarakat hukum adat dalam kegiatan investasi di kawasan hutan adat.

Penulisan skripsi ini dimulai dengan mengumpulkan bahan-bahan yang

berkaitan dengan masyarakat hukum adat, kegiatan investasi dan putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2013, baik melalui literatur yang

diperoleh dari perpustakaan atau media cetak maupun media elektronik. Bila

dikemudian hari ternyata terdapat judul yang sama atau telah ditulis oleh orang

lain dalam bentuk skripsi sebelum skripsi ini dibuat, maka hal itu dapat diminta

pertanggungjawabannya.

(22)

Tinjauan kepustakaan pada umumnya merupakan kumpulan teori yang

dijadikan dasar dalam membuat karya tulis ilmiah. Teori adalah untuk

menerangkan atau menjelaskan mengapa gejala spesifik atau proses tertentu

terjadi, dan satu teori harus diuji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang

dapat menunjukkan ketidak benarannya.10 Kerangka teori adalah kerangka

pemikiran atau butir-butir pendapat, teori, tesis mengenai sesuatu kasus atau

permasalahan (problem) yang menjadi bahan perbandingan, pegangan teoritis.11

Berikut beberapa teori yang berkaitan dengan permbahasan :

1. Masyarakat Hukum Adat

Berdasarkan pengertian yang diberikan oleh para ahli, Soerjono Soekanto

dalam bukunya menyimpulkan bahwa masyarakat merupakan suatu bentuk

kehidupan bersama, yang warganya hidup bersama untuk jangka waktu yang

cukup lama, sehingga menghasilkan kebudayaan.12 Tidak jauh berbeda dengan

pendapat Soerjono Soekanto, dalam Kamus Hukum masyarakat diartikan sebagai

setiap kelompok manusia yang telah hidup dan bekerja bersama cukup lama

sehingga mereka dapat mengatur diri mereka dan menganggap diri mereka

sebagai suatu kesatuan sosial dengan batas-batas yang dirumuskan dengan jelas.13

Dari pengertian masyarakat maka kita akan beralih pada pengertian

masyarakat hukum adat. Ter Haar dalam bukunya yang berjudul Beginselen en

Stelsel van het adatrecht, merumuskan masyarakat hukum adat sebagai

10

Sukiran, “Kajian Yuridis Tentang Jaminan Kepastian Hukum Bagi Investasi Asing di Indonesia”, (Tesis, Ilmu Hukum, Pascasarjana USU, 2010), hlm. 34.

11

M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian(Bandung: Mandar Maju, 1994), hlm. 80.

12

Soerjono Soekanto,Hukum Adat Indonesia(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1983), hlm. 91.

13

(23)

kelompok-kelompok teratur yang sifatnya ajek dengan pemerintahan sendiri yang

memiliki benda-benda materil maupun immateril.14Ahli lain yang mencoba untuk

memberikan batasan terhadap masyarakat hukum adat diantaranya adalah

Kusumadi Pujosewojo. Kusumadi Pujosewojo mengartikan masyarakat hukum

adat sebagai masyarakat yang timbul secara spontan diwilayah tertentu, berdirinya

tidak ditetapkan atau diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa

lainnya, dengan rasa solidaritas sangat besar diantara anggota, memandang bukan

anggota masyarakat sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai

sumber kekayaan yang hanya dapat dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya.15

Bila merujuk pada peraturan perundang-undangan, tidak sedikit pula yang

memberikan pengertian terhadap masyarakat hukum adat. Peraturan Menteri

Nomor 5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat

Masyarakat Hukum Adat yang diterbitkan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan

Pertanahan Nasional Pasal 1 ayat (3) diatur bahwa pengertian Masyarakat Hukum

Adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh tatanan hukum adatnya sebagai

warga bersama suatu persekutuan hukum karena kesamaan tempat tinggal ataupun

atas dasar keturunan.16

Selain peraturan perundang-undangan pengertian tersebut juga terdapat

dalam Konvensi ILO yang menyebutkan masyarakat adat sebagai masyarakat

yang berdiam di negara-negara yang medeka dimana kondisi sosial, kultural, dan

ekonominya membedakan mereka dari bagian masyarakat-masyarakat lain di

14

Soerjono Soekanto,Op. Cit. hlm. 93.

15Ibid.hlm. 44. 16

(24)

Negara tersebut dan tradisi hukum adat tersebut dengan hukum dan peraturan

khusus.17

Berdasarkan pengertian diatas Husen Alting dalam bukunya berpendapat

bahwa masyarakat hukum adat termasuk dalam pengertian masyarakat, namun

tidak semua masyarakat dapat digolongkan dalam pengertian masyarakat hukum

adat. Masyarakat hukum adat terikat oleh tatanan hukum adat yang tumbuh dan

berkembang secara alami dalam masyarakat tersebut sehingga merupakan

pencerminan jiwa masyarakat.18

2. Investasi

Dalam mewujudkan tujuan negara yang tertuang dalam pembukaan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sarana yang

dipergunakan adalah pembangunan. Pembangunan tersebut tidak mudah

dilaksanakan karena modal yang dibutuhkan sangat besar. Apabila hanya

mengandalkan modal pemerintah saja, dapat dipastikan sulit untuk mencapai

tujuan tersebut. Oleh karena itu, perlu dicari sumber dana lain salah satunya

adalah dengan investasi atau penanaman modal.

Istilah investasi berasal dari bahasa Latin, yaitu investire yang berarti

memakai. Black Law’s Dictionary memberikan pengertian investasi sebagai

berikut19:

Investment. An expenditure to acquire property or other assets in order to produce revenue; the asset so acquired. The placing of capital or laying out of money in a way intended to secure income and profit from its employment. To purchase securities of a more or less permanent nature, or

17

Husen Alting, Op. Cit., hlm. 31.

18Ibid.

19

(25)

to place money property in business ventures or real estate, or otherwise lay it out, so that it may produce a revenue or income.

Menurut Komaruddin yang merumuskan investasi dari sudut pandang

ekonomi dan memandang investasi sebagai salah satu faktor produksi disamping

faktor produksi lainnya, pengertian investasi dapat dibagi menjadi tiga, yaitu20:

a. Suatu tindakan untuk membeli saham, obligasi, atau suatu penyertaan

lainnya;

b. Suatu tindakan membeli barang-barang modal;

c. Pemanfaatan dana yang tersedia untuk produksi dengan pendapatan

dimasa datang.

Ana Rokhmatuss’adyah dan Suratman dalam bukunya berpendapat secara

umum investasi atau penanaman modal dapat diartikan sebagai suatu kegiatan

yang dilakukan baik oleh orang pribadi (natural person) maupun badan hukum

(juridical person) dalam upaya untuk meningkatkan dan/atau mempertahankan

nilai modalnya, baik yang berbrntuk uang tunai (cash money), peralatan

(equipment), asset tidak bergerak, hak atas kekayaan intelektual, maupun

keahlian.21 Menurut Salim HS dan Budi dalam buku Hukum Investasi di

Indonesia mengartikan investai adalah penanaman modal yang dilakukan oleh

investor, baik investor asing maupun domestik dalam berbagai bidang usaha yang

terbuka untuk investasi, dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan.22

20

Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hlm. 122.

21

Ana Rokhmatussa’dyah dan Suratman, Hukum Investasi dan Pasar Modal (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 3.

22

(26)

Pengertian tersebut tidak jauh berbeda dengan pengertian yang diberikan

oleh Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (yang

selanjutnya disebut Undang-Undang Penanaman Modal) dalam Pasal 1 Angka 1

Penanaman Modal adalah segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh

penanam modal asing untuk melakukan usaha di wilayah Negara Republik

Indonesia. Dari pendefinisian tersebut dapat dicermati bahwa legal drafter

membagi penanaman modal dengan penanaman modal asing dan penanaman

modal dalam negeri bila ditinjau dari segi subjeknya.

Beberapa ahli berpendapat bahwa penanaman modal pada hakikatnya

dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu investasi langsung (direct investment)

dan investasi tidak langsung (indirect investment)23. Investasi secara langsung

identik denagan keterlibatan secara langsung dari pemilik modal dalam kegiatan

pengelolaan modal, sedangkan investasi tidak langsung umumnya merupakan

penanaman modal jangka pendek yang mencakup kegiatan transaksi di pasar

modal dan di pasar uang.

Kehadiran Investor merupakan hal yang cukup berpengaruh dalam

pembangunan nasional atau tepatnya dalam menggerakkan roda perekonomian

yang sedang dilakukan oleh pemerintah. Sebagaimana yang dikemukakan oleh

John J.O Ilhalauw24:

“bagi negara-negara yang sedang berkembang, khususnya Indonesia, masuknya modal asing tidak perlu menyebabkan rasa malu atau rendah diri. Yang penting ialah bahwa adanya semacam ikatan moral sehingga modal asing itu benar-benar dipergunakan untuk kepentingan

23

Dhaniswara K. Harjono, Hukum Penanaman Modal, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), Hlm. 11.

24

(27)

pembangungan Negara yang bersangkutan semi kepentingan semua pihak.”

3. Hutan Adat

Hutan sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang

dianugerahkan kepada bangsa Indonesia merupakan kekayaan yang dikuasai oleh

negara, memberi manfaat serba guna bagi umat manusia, karenanya wajib

disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya

untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun

generasi mendatang.

Patron hukum mengenai hutan di Indonesia adalah Undang-Undang

Kehutaan. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi

sumber daya alam hayati yang diominasi pepohonan dalam persekutuan alam

lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan.25

Undang-Undang Kehutanan mengemukakan bahwa semua hutan termasuk kekayaan di

dalamnya dikuasai oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Berdasarkan statusnya hutan dibedakan menjadi hutan hak dan hutan negara.26

Disebut hutan hak apabila hutan itu tumbuh atau berada di atas tanah yang

dibebani suatu hak atas tanah. Sebaliknya akan disebut hutan negara apabila hutan

itu tumbuh atau berada di atas tanah yang tidak dibebani suatu hak atas tanah.

Adapun wilayah masyarakat hukum adat yang berupa hutan diklasifikasikan

sebagai hutan negara. Dengan demikian, hutan negara dapat berupa hutan adat.

25

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, Bab I, Pasal 1 angka 2.

26

(28)

Hutan adat secara langung didefinisikan sebagai hutan negara yang

tumbuh di atas tanah dalam wilayah masyarakat hukum adat. Suatu hutan dapat

ditetapkan sebagai hutan adat sepanjang faktanya masyarakat hukum yang

bersangkutan masih ada dan keberadaannya mendapat pengakuan oleh

pemerintah.27

F. Metode Penulisan

Terry Hutchison menulis pengertian penelitian seperti dikemukakan oleh

OECD (Organization for Economic Cooperation and Development), menurut

organisasi tersebut, Research and Experimental Development as creativity,

originality, and systematic activity that increases the world’s stock of

knowledge.28Pernyataan ini menjadi pendorong pentingnya melakukan penelitian

ilmiah untuk kemajuan ilmu pengetahuan. Dalam melakukan penelitian tersebut

dibutuhkan metodologi penelitian yang sesuai dengan ilmu pengetahuan yang

menjadi induknya. Setiap ilmu pengetahuan mempunyai identitas masing-masing,

sehingga pasti akan ada pelbagai perbedaan.29

Oleh karena penelitian yang dilakukan adalah mengenai permasalahan

hukum, maka skripsi ini akan menggunakan metode penelitian hukum. Soerjono

Soekanto menyatakan bahwa penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah,

yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan

27

Ibid. Pasal 5 ayat (3).

28

Peter Mahmud Marzuki. Penelitian Hukum(Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2008), Cet.4. hlm. 30.

29

(29)

untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan

menganalisanya.30

1. Jenis penelitian

Dalam literatur-literatur hukum tentang penelitian hukum banyak

ditemukan variasi tentang pembagian jenis atau tipe penelitian hukum. Namun,

meskipun demikian pengklasifikasian tipe penelitian hukum yang secara umum

adalah sebagai berikut31:

a. Penelitian hukum normatif yang mencakup penelitian terhadap azas-azas

hukum, inventarisasi hukum positif, sistematika hukum, sinkronisasi

vertikal dan horizontal, hukum inkonkrito, hukum klinis, sejarah hukum,

dan perbandingan hukum.

b. Penelitian hukum sosiologis atau empiris yang mencakup penelitian

hukum sosiologis, identifikasi hukum tidak tertulis, dan tentang efektifitas

hukum.

Dari judul skripsi ini yaitu, “Keberadaan Masayarakat Hukum Adat

dalam Kegiatan Investasi di Kawasan Hutan Adat Terkait dengan Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012” dapat terlihat bahwa jenis

penelitian ini adalah hukum normatif. Dalam penelitian hukum normatif, hukum

dipandang sebagai norma atau kaidah yang otonom terlepas dari hubungan hukum

tersebut dengan masyarakat. 32 Jenis penelitian ini bertujuan untuk

mendeskripsikan secara sistematis, faktual dan akurat terhadap suatu keadaan

yang menjadi objek penelitian dengan mendasarkan penelitian pada ketentuan

30Ibid. hlm. 46. 31

Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Op.Cit., hlm. 51. 32

(30)

hukum normatif. Dari sudut normatif inilah skripsi membahas mengenai peraturan

investasi serta putusan mahkamah konstitusi terkait dengan masyarakat hukum

adat.

2. Sumber data

Sumber data dalam penelitian ini keseluruhan merupakan data sekunder

yang terdiri atas:

a. Bahan hukum primer

Yaitu dokumen peraturan yang mengikat dan ditetapkan oleh pihak yang

berwenang. Dalam tulisan ini diantaranya Undang-Undang Nomor 41

Tahun 1999 Tentang Kehutanan, Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007

Tentang Penanaman Modal, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor

35/PUU-X/2012, dan peraturan-peraturan lainnya.

b. Bahan hukum sekunder

Yaitu semua dokumen yang merupakan informasi atau hasil kajian tentang

masyarakat hukum adat dan kegiatan investasi seperti buku-buku,

seminar-seminar, jurnal hukum, majalah, koran, karya tulis ilmiah, dan

beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan permasalahan skripsi

ini.

c. Bahan hukum tersier

Yaitu semua dokumen yang berisi tentang konsep-konsep dan

keterangan-keterangan yang mendukung bahan hukum primer dan bahan hukum

sekunder, seperti kamus, ensiklopedi, dan sebagainya.

(31)

Teknik pengumpulan data diperlukan untuk memperoleh suatu kebenaran

ilmiah dalam penulisan skripsi, dalam hal ini digunakan teknik pengumpulan data

dengan cara studi kepustakaan (library research), yaitu mempelajari dan

menganalisis data secara sistematis melalui buku-buku, surat kabar, makalah

ilmiah, majalah, internet, peraturan perundang-undangan, dan bahan-bahan lain

yang berhubungan dengan materi yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Analisis data

Dalam menganalisis data penelitian digunakan analisis normatif kualitatif,

yaitu data yang diperoleh kemudian disusun secara sistematis dan selanjutnya

dianalisis secara kualitatif untuk mencapai kejelasan masalah yang akan dibahas

dan hasilnya tersebut dituangkan dalam bentuk skripsi. Metode kualitatif

dilakukan guna mendapatkan data yang bersifat deskriptif, yaitu data-data yang

akan diteliti dan dipelajari sesuatu yang utuh.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan skripsi ini dibagi ke dalam 5 (lima) bab, dimana masing-masing

bab terbagi atas beberapa subbab. Urutan bab tersebut tersusun secara sistematik,

dan saling berkaitan antara satu sama lain. Urutan singkat atas bab dan sub bab

tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini menguraikan latar belakang perlunya pembahasan

mengenai keterlibatan masyarakat hukum adat dalam kegiatan

(32)

35/PUU-X/2012, rumusan permasalahan, tujuan dan manfaat

penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode

penulisan, dan sistematika penulisan.

BAB II PENGAKUAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM

ADAT DAN HAK TRADISIONAL MASYARAKAT HUKUM

ADAT

Bab ini menguraikan tentang pengakuan dan perkembangan

masyarakat hukum adat di Indonesia serta Hak-hak tradisional

masyarakat hukum adat.

BAB III PENGATURAN KEGIATAN INVESTASI YANG BERADA

DI WILAYAH HUTAN

Bab ini menguraikan tentang pengaturan umum kegiatan investasi

di Indonesia dimulai dari dasar hukum kegiatan investasi, bidang

usaha investasi, perizinan investasi, persyaratan investasi, dan

pengawasan investasi. Selanjutnya akan diuraikan mengenai

pengaturan kegiatan investasi di wilayah hutan yang mencakup

jenis-jenis hutan, penggunaan wilayah hutan untuk kegiatan

investasi, persyaratan dan pengawasan investasi di wilayah hutan.

BAB IV KETERLIBATAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DALAM

KEGIATAN INVESTASI DI DALAM KAWASAN HUTAN

ADAT

Dalam bab ini akan diuraikan mengenai eksistensi hutan di

(33)

terhadap hutan adat serta keterlibatan masyarakat hukum adat

dalam kegiatan investasi di dalam kawasan hutan adat.

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

Bab terakhir ini berisi kesimpulan yang diambil oleh penulis

terhadap bab-bab sebelumnya yang telah penulis uraikan dengan

mencoba memberikan saran-saran yang penulis anggap perlu dari

(34)

BAB II

PENGAKUAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT DAN HAK

TRADISIONAL MASYARAKAT HUKUM ADAT DI INDONESIA

A. Pengakuan dan Perkembangan Masyarakat Hukum Adat di Indonesia

1. Pengakuan masyarakat hukum adat

a. Pengertian menurut teori

Istilah masyarakat hukum adat adalah istilah resmi yang tercantum dalam

berbagai peraturan perundang-undangan, seperti dalam Undang-Undang Nomor 5

Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria (yang selanjutnya disebut UUPA),

Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan, Undang-Undang-Undang-Undang

Kehutanan, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan

Daerah, dan peraturan perundang-undangan lainnya sebagai padanan dari

rechtgemeenschapt, atau oleh sedikit literatur menyebutnya

adatrechtgemenschap. Istilah masyarakat hukum adat dilahirkan dan digunakan

oleh pakar hukum adat yang lebih banyak difungsikan untuk keperluan

teoritik-akademis. Sedangkan istilah masyarakat adat adalah istilah yang lazim

diungkapkan dalam bahasa sehari-hari oleh kalangan non-hukum yang mengacu

pada sejumlah kesepakatan internasional.33

Istilah masyarakat adat merupakan padanan dari indigeneous people.

Istilah itu sudah dikenal luas dan telah disebutkan dalam sejumlah kesepakatan

internasional, yaitu : Convention of International Labor Organixation Concerning

(35)

Indigeneous and Tribal People in Independent Countries (1989), Deklarasi

Cari-Oca tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (1992), Deklarasi Bumi Rio de Janairo

(1992), Declaration on the Right of Asian Indigenous Tribal People Chianmai

(1993), De Vienna Declaration and Programme Action yang dirumuskan oleh

United Nations World Conference on Human Rights (1993). Sekarang istilah

indigenous people semakin resmi penggunaannya dengan telah lahirnya Deklarasi

PBB tentang Hak-Hak Masyarakat Adat (United Nation Declaration on the Rights

of Indegenous People) pada tahun 2007.

Banyak ahli berpendapat bahwa pengertian masyarakat adat harus

dibedakan dengan masyarakat hukum adat. Konsep masyarakat adat merupakan

pengertian umum untuk menyebut masyarakat tertentu dengan ciri-ciri tertentu.

Sedangkan masyarakat hukum adat merupakan pengertian teknis yuridis yang

menunjuk sekelompok orang yang hidup dalam suatu wilayah (ulayat) tempat

tinggal dan lingkungan kehidupan tertentu, memiliki kekayaan dan pemimpin

yang bertugas menjaga kepentingan kelompok (keluar dan kedalam), dan

memiliki tata aturan (sistem) hukum dan pemerintahan.34 Dalam skripsi ini,

masyarakat adat disamakan artinya dengan pengertian masyarakat hukum adat,

sebagaimana lazim ditemukan dalam peraturan perundang-undangan.

Secara faktual setiap provinsi di Indonesia terdapat kesatuan-kesatuan

masyarakat hukum adat dengan karakteristiknya masing-masing yang telah ada

ratusan tahun yang lalu. Masyarakat hukum adat adalah kelompok masyarakat

yang teratur, yang bertingkah laku sebagai kesatuan, menetap disuatu daerah

(36)

tertentu, mempunyai penguasa-penguasa, memiliki hukum adat masing-masing

dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang berwujud ataupun tidak

berwujud serta menguasai sumberdaya alam dalam jangkauannya.35 Mereka

memiliki sistem kebudayaan yang kompleks dalam tatanan kemasyarakatannya

dan mempunyai hubungan yang kuat dengan tanah dan sumberdaya alamnya.

Masyarakat hukum adat juga diartikan sebagai sekelompok orang yang terikat

oleh tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan karena

kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.36

Konsep masyarakat hukum adat untuk pertama kali diperkenalkan oleh

Cornelius van Vollenhoven. Ter Haar sebagai murid dari Cornelius van

Vollenhoven mengeksplor lebih mendalam tentang masyarakat hukum adat. Ter

Haar memberikan pengertian sebagai berikut, masyarakat hukum adat adalah

kelompok masyarakat yang teratur, menetap di suatu daerah tertentu, mempunyai

kekuasaan sendiri, dan mempunyai kekayaan sendiri baik berupa benda yang

terlihat maupun yang tidak terlihat, dimana para anggota kesatuan masing-masing

mengalami kehidupan dalam masyarakat sebagai hal yang wajar menurut kodrat

alam dan tidak seorang pun diantara para anggota itu mempunyai pikiran atau

kecenderungan untuk membubarkan ikatan yang telah tumbuh itu atau

meninggalkannya dalam arti melepaskan diri dari ikatan itu untuk

selama-lamanya.37

35

Ibid, hlm. 3.

36

Limei Pasaribu, “Keberadaan Hak Ulayat dalam Masyarakat Hukum Adat Batak Toba di Kecamatan Nassau Kabupaten Toba Samosir”, (Tesis, Ilmu Hukum, Program Studi Magister Kenotariatan,USU, 2011).

37

(37)

Kusumo Pujosewojo memberikan pengertian yang hampir sejalan dengan

Ter Haar, beliau mengartikan masyarakat hukum adat sebagai masyarakat yang

timbul secara spontan diwilayah tertentu, berdirinya tidak ditetapkan atau

diperintahkan oleh penguasa yang lebih tinggi atau penguasa lainnya, dengan rasa

solidaritas sangat besar di antara anggota, memandang anggota masyarakat

sebagai orang luar dan menggunakan wilayahnya sebagai sumber kekayaan yang

hanya dapat dimanfaatkan sebagai sumber kekayaan yang hanya dapat

dimanfaatkan sepenuhnya oleh anggotanya.38

Sedangkan menurut Hazairin, masyarakat hukum adat adalah

kesatuan-kesatuan masyarakat yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan untuk sanggup

berdiri sendiri yang mempunyai kesatuan hukum, kesatuan penguasa dan kesatuan

lingkungan hidup berdasarkan hak bersama atas tanah dan air bagi semua

anggotanya. 39 Para tokoh masyarakat adat yang tergabung dalam AMAN

merumuskan masyarakat hukum adat sebagai sekelompok orang yang terikat oleh

tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena

kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.40

Menurut Soepomo dijelaskan bahwa Van Vollenhoven dalam orasinya

tanggal 2 Oktober 1901 menegaskan41: “Bahwa untuk mengetahui hukum, maka

yang terutama perlu diselidiki adalah pada waktu dan bilamana serta di daerah

mana sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum di mana orang-orang

38

Ibid. hlm. 44. 39

Rikardo Simarmata, Pengakuan Hukum Terhadap Masyarakat Adat di Indonesia,

(Jakarta: UNDP Regional Centre in Bangkok, 2006), hlm. 23.

40Husen Alting,Op. Cit., hlm. 31. 41

(38)

yang dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari”. Bersandar dari pendapat

tersebut, Soepomo mengungkapkan pendapatnya sendiri bahwa : “penguraian

tentang badan-badan persekutuan itu harus tidak didasarkan atas sesuatu yang

dogmatik, melainkan harus berdasarkan atas kehidupan yang nyata dari

masyarakat yang bersangkutan”

Dari apa yang dikemukakan oleh Van Vollenhoven dan Soepomo

terlihatlah bahwa masyarakat yang mengembangkan ciri khas hukum adat itu

adalah “Persekutuan Hukum Adat” (Adatrechts Gemeenschapen).

Bentuk dan susunan masyarakat hukum yang merupakan persekutuan

hukum adat itu, para anggotanya terikat oleh faktor yang bersifat territorial dan

geneologis. Menurut pengertian yang dikemukakan para ahli hukum di zaman

Hindia Belanda, yang dimaksud dengan masyarakat hukum atau persekutuan

hukum yang territorial adalah masyarakat yang tetap dan teratur, yang

anggota-anggota masyarakatnya terikat pada suatu daerah kediaman tertentu, baik dalam

kaitan duniawi sebagai tempat kehidupan maupun dalam kaitan rohani sebagai

tempat pemujaan terhadap roh-roh leluhur.42 Sedangkan, masyarakat atau

persekutuan hukum yang bersifat geneologis adalah suatu kesatuan masyarakat

yang teratur, di mana para anggotanya terikat pada suatu garis keturunan yang

sama dari satu leluhur, baik secara tidak langsung karena pertalian perkawinan

atau pertalian adat.43

Berdasarkan pendapat dari beberapa pakar hukum tersebut maka dapat

dirumuskan kriteria masyarakat hukum adat sebagai berikut :

42Hilman Hadikusuma, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia (Bandung: CV Mandar

Maju, 2003), hlm. 108.

43

(39)

1) Terdapat masyarakat yang teratur

2) Menempati suatu wilayah tertentu

3) Terdapat kelembagaan

4) Memiliki kekayaan bersama

5) Susunan masyarakat berdasarkan pertalian darah atau lingkungan daerah

6) Hidup secara komunal dan gotong-royong

Dalam buku De Commune Trek in bet Indonesische Rechtsleven, F.D.

Hollenmann mengkonstruksikan 4 (empat) sifat umum dari masyarakat adat, yaitu

magis religious, komunal, konkrit dan kontan. Hal ini terungkap dalam uraian

singkat sebagai berikut44:

1) Sifat magis religious diartikan sebagai suatu pola pikir yang didasarkan

pada keyakinan masyarakat tentang adanya sesuatu yang bersifat sakral.

Sebelum masyarakat bersentuhan dengan sistem hukum agama religiusitas

ini diwujudkan dalam cara berpikir yang prologka, animism, dan

kepercayaan pada alam ghaib. Masyarakat harus menjaga keharmonisan

antara alam nyata dan alam batin (dunia gaib). Setelah masyarakat

mengenal sisitem hukum agama perasaan religious diwujudkan dalam

bentuk kepercayaan kepada Tuhan (Allah). Masyarakat percaya bahwa

setiap perbuatan apapun bentuknya akan selalu mendapat imbalan dan

hukuman tuhan sesuai dengan derajat perubahannya.

2) Sifat komunal (commuun), masyarakat memiliki asumsi bahwa setiap

individu, anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat

44

(40)

secara keseluruhan. Diyakini bahwa kepentingan individu harus

sewajarnya disesuaikan dengan kepentingan-kepentingan masyarakat

karena tidak ada individu yang terlepas dari masyarakat.

3) Sifat konkrit diartikan sebagai corak yang serba jelas atau nyata

menunjukkan bahwa setiap hubungan hukum yang terjadi dalam

masyarakat tidak dilakukan secara diam-diam atau samar.

4) Sifat kontan (kontane handeling) mengandung arti sebagai kesertamertaan

terutama dalam pemenuhan prestasi. Setiap pemenuhan prestasi selalu

dengan kontra prestasi yang diberikan secara sertamerta/seketika.

Masyarakat adat menunjukkan hubungan yang erat dalam hubungan

antarpersonal dan proses interaksi sosial yang terjadi antarmanusia tersebut

menimbulkan pola-pola tertentu yang disebut dengan cara (a uniform or

customary of belonging within a social group)45.

Manusia pada dasarnya ingin hidup teratur dan kemudian setiap kelompok

dalam masyarakat tersebut memiliki pengertian yang berbeda terhadap pengertian

teratur. Keteraturan tersebut diperlukan untuk mengatur perilaku manusia dalam

kelompok manusia dan hal inilah yang menguatkan konsep dan nilai-nilai

komunal dalam masyarakat adat tersebut.46

b. Pengakuan Menurut Perundang-undangan

1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Masyarakat Hukum adat merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan

dari bangsa Indonesia, keberadaannya tidak dapat dipungkiri sejak dahulu hingga

45Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, Legal Standing Kesatuan Masyarakat Hukum Adat dalam Berperkara di Mahkamah Konstitusi(Jakarta: Salemba Humanika, 2010), hlm. 12.

46

(41)

saat ini. Konstitusi Indonesia menggunakan beberapa istilah untuk menunjuk

kesatuan masyarakat hukum adat, seperti kesatuan masyarakat hukum adat,

masyarakat adat, serta masyarakat tradisional, sehingga istilah–istilah ini dapat

digunakan sekaligus atau secara berganti-gantian.

Bila kembali pada masa lalu dalam pembahasan Undang-Undang Dasar

1945 pada sidang-sidang BPUPKI dan PPKI, hanya Soepomo dan Moehammad

Yamin yang mengemukakan pendapat tentang perlunya mengakui keberadaan

hukum adat dalam konstitusi yang akan dibentuk. Sementara anggota sidang

lainnya tidak terlihat secara tegas ada yang memberikan pemikiran konseptual

berkaitan dengan posisi hukum adat dalam negara republik yang sedang

dirancang. Moehammad Yamin menyampaikan, bahwa kesanggupan dan

kecakapan bangsa Indonesia dalam mengurus tata negara dan hak atas tanah

sudah muncul beribu-ribu tahun yang lalu. Beliau tidak menjelaskan lebih jauh

konsepsi hak atas tanah yang disinggungnya, melainkan menyatakan bahwa

adanya berbagai macam susunan persekutuan hukum adat itu dapat ditarik

beberapa persamaannya tentang ide perwakilan dalam pemerintahan. Sehingga

Moehammad Yamin menyimpulkan bahwa persekutuan hukum adat itu menjadi

basis perwakilan dalam pemerintahan republik.47

Sedangkan Seopomo dengan paham Negara integralistik

menyampaikan bahwa :

“…Jika kita hendak mendirikan Negara Indonesia yang sesuai dengan keistimewaan sifat dan corak masyarakat Indonesia, maka negara kita harus berdasarkan atas aliran pikiran (staatsidee)negara yang integralistik, negara yang bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh

47

(42)

golongan-golongannya dalam lapangan apapun”. Lebih lanjut dalam menjelaskan susunan pemerintahan, Soepomo menyampaikan bahwa: “hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa harus diperingati juga. Daerah-daerah yang bersifat istimewa itu ialah pertama daerah kerajaan (kooti), baik di Jawa maupun di luar Jawa, yang dalam bahasa Belanda dinamakan zelfbesturendelanschapen. Kedua, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat asli, ialah dorfgemeinschaften, daerah-daerah kecil yang mempunyai susunan rakyat asli seperti desa di Jawa, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang, huta dan kuria di Tapanuli, gampong di Aceh…. Dihormati dengan menghormati dan memperbaiki susunan asli.”48

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 tidak

memberikan definisi masyarakat hukum adat secara langsung. Namun demikian,

terdapat pasal yang mengakui eksistensi dari masyarakat hukum adat. Hal ini

muncul sejak amandemen kedua Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 pada tahun 2000, yakni penambahan pada Pasal 18 dan

pemunculan bab khusus mengenai Hak Asasi Manusia. Pengaturan mengenai

keberadaan masyarakat hukum adat bisa ditemukan pada Pasal 18B ayat (2) dan

Pasal 28I ayat (3). Pasal 18B ayat (2) berada dalam Bab Pemerintahan Daerah,

sedangkan Pasal 28I ayat (3) berada dalam Bab Hak Asasi Manusia. Berikut

bunyi lengkap kedua pasal tersebut:

Pasal 18 B ayat (2):

Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum

adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik

Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.

(43)

Pasal 28 I ayat (3):

Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan

perkembangan zaman dan peradaban.

Dengan demikian, negara ‘menagakui’ serta ‘menghormati’ eksistensi

masyarakat hukum adat namun dengan catatan 4 (empat) persyaratan yuridis

yakni :

a) sepanjang masih ada,

b) sesuai dengan perkembangan zaman dan peradaban,

c) sesuai dengan prinsip negara kesatuan republik Indonesia, dan

d) diatur dalam undang-undang.

Oleh karena keempat syarat tersebut diatur dalam Undang-Undang Dasar, maka

keempatnya bisa disebut sebagai syarat konstitusional.49

2) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Pokok Agraria (UUPA)

Tidak dapat dipungkiri bahwa UUPA adalah salah satu peletak dasar

konsep dan materi pengaturan mengenai pengakuaan masyarakat hukum adat.

Lahirnya UUPA ini disebabkan adanya dualisme hukum dalam pengaturan hukum

tanah nasional, yaitu adanya tanah-tanah yang tunduk pada hukum Barat dan

terdapatnya tanah-tanah yang tunduk pada hukum adat. Untuk menghilangkan

dualisme dalam hukum tanah di Indonesia tersebut, maka diberlakukanlah UUPA

sehingga tercipta hukum tanah nasional. Secara substansial, UUPA dibuat dalam

rangka melaksanakan lebih lanjut pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945. UUPA tidak dihadirkan untuk mengatur

49

(44)

mengenai keberadaan masyarakat hukum adat. Penyebutan masyarakat hukum

adat dalam UUPA berkenaan dengan kedudukannya sebagai subjek yang berhak

menerima kuasa dari Negara dalam rangka melaksanakan hak menguasai negara

dan memiliki hak ulayat.50Ketentuan mengenai hal ini akan diatur lebih lanjut

dalam sebuah peraturan pemerintah.51

Pakar hukum Agraria Universitas Sumatera Utara, Zaidar merumuskan

pengertian Hak ulayat sebagai hak bersama yang sifatnya abadi dan dalam

kedudukannya sebagai “hak penguasaan atas tanah” memberikan kewenangan

kepada anggota-anggotanya untuk berbuat sesuatu atas tanah ulayat yang

bersangkutan. Kewenanangan dalam hal ini juga sekaligus berarti sebagai “tugas”

dari setiap anggota masyarakat hukum adat yang melekat pada hak ulayat , yaitu

untuk mengupayakan agar “tanah ulayat” tersebut dapat berfungsi secara lestari

dan menjadi pendukung kehidupan kelompok masyarakat hukum adat dan para

anggotanya sepanjang zaman.52

UUPA memegang kuat konsep bahwa pemilik hak ulayat adalah

masyarakat hukum adat. Hal ini terlihat dalam Pasal 3 UUPA yang menyebutkan

“Dengan mengingat ketentuan-ketentuan dalam Pasal 1 dan 2 pelaksanaan Hak

Ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat-masyarakat hukum adat,

sepanjang menurut kenyataannya masih ada, harus sedemikian rupa sehingga

sesuai dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas

50

Ibid, hlm. 56.

51

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, Bab 1, Pasal 2 ayat (4).

52

(45)

persatuan bangsa serta tidak boleh bertentangan dengan Undang-undang dan

peraturan-peraturan lain yang lebih tinggi.”

Dalam pengertian ini terutarakan dengan jelas bahwa hak ulayat adalah

milik masyarakat hukum adat. Pemahaman serupa juga dianut oleh UUPA dengan

mengatakan bahwa masyarakat hukum adat yang memiliki hak ulayat dilarang

untuk menghalang-halangi pemberian hak guna usaha (HGU) atau menolak

pembukaan hutan untuk keperluan penambahan bahan makanan dan pemindahan

penduduk (Penjelasan Umum II angka 3). Dengan menggunakan konsep tersebut,

UUPA sekaligus mengakui keberadaan masyarakat hukum adat selaku subyek

yang memiliki hak ulayat (obyek). Hak ulayat sebagai obyek tidak mungkin ada

tanpa keberadaan masyarakat hukum adat sebagai subyek.53

Masih dalam payung hukum UUPA, pengertian masyarakat adat secara

konkrit dituangkan dalam Pasal 1 ayat (3) Peraturan Menteri Nomor 5 Tahun

1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Adat yang

diterbitkan oleh Menteri Negara Agraria / Kepala Badan Pertanahan Nasional

diatur bahwa masyarakat hukum adat adalah sekelompok orang yang terikat oleh

tatanan hukum adatnya sebagai warga bersama suatu persekutuan hukum karena

kesamaan tempat tinggal ataupun atas dasar keturunan.54

53

Ricardo Simarmata, Op. Cit., hlm. 57.

54

(46)

3) Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan

Undang-undang Kehutanan juga mengatur keberadaan masyarakat hukum

adat yang tertuang di dalam Pasal 67 ayat (1) yang menyatakan keberadaan

masyarakat hukum adat menurut kenyataannya memenuhi unsur55:

a) Masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemenschaap);

b) Ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasaan adatnya;

c) Ada wilayah hukum adat yang jelas;

d) Ada pranata dan perangkat hukum yang khususnya peradilan adat yang

masih ditaati;

e) Mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan sekitarnya

untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari.

Terdapat dua hal utama dalam undang-undang ini mengenai masyarakat

hukum adat56, yakni : Pertama, bahwa sumber daya hutan dikuasai oleh negara

dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Dikatakan juga bahwa

penguasaan hutan oleh ngeara bukan merupakan kepemilikan, namun negara

memberi sejumlah kewenangan kepada pemerintah, termasuk kewenangan untuk

memberikan izin dan hak kepada pihak lain untuk melakukan kegiatan di bidang

kehutanan. Hak menguasai negara membawa konsekuensi dimasukkannya hutan

yang dikuasai oleh masyarakat hukum adat ke dalam hutan negara. Dengan

demikian, cakupan hutan negara bukan hanya hutan yang tidak dibebani hak-hak

atas tanah menurut UUPA, tetapi juga mencakup hutan yang dikuasai oleh

masyarakat hukum adat atau yang biasa disebut dengan hutan adat.

55

Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad,Op. Cit., hlm. 33.

56

(47)

Kedua, dimasukannya hutan negara tidak lantas meniadakan hak-hak

masyarakat hukum adat sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui

keberadaannya, untuk melakukan pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Namun,

masyarakat hukum adat harus terlebih dahulu harus dikukuhkan keberadaannya

lewat peraturan daerah. Pengukuhan tersebut hanya bisa dilakukan apabila

masyarakat hukum adat itu memenuhi 5 syarat, yakni :

a) masyarakatnya masih dalam bentuk paguyuban (rechtgemeenschap);

b) ada kelembagaan dalam bentuk perangkat penguasa adatnya;

c) ada wilayah hukum adat yang jelas;

d) ada pranata dan perangkat hukum, khususnya peradilan adat, yang

masih ditaati; dan

e) masih mengadakan pemungutan hasil hutan di wilayah hutan

sekitarnya untuk pemenuhan kebutuhan hidup sehari-hari.

4) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012

Mahkamah Konstitusi sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang

bertugas mengawal konstitusi secara langsung turut serta dalam penegakan

hak-hak asasi manusia. Hal ini merupakan hak-hakikat pengertian dari konstitusi itu

sendiri sebagai dokumen politik dan dokumen ekonomi yang melindungi hak-hak

asasi manusia yang dimiliki oleh setiap warga negara maupun orang yang hidup

dalam negara tersebut. Oleh karena fungsi konstitusi pada essensinya adalah

untuk membatasi kekuasaan yang ada dalam skema ketatanegaraan suatu bangsa

(48)

asasi manusia secara menyeluruh, maka peran Mahkamah Konstitusi berkorelasi

langsung sebagai aparatur penegak hak asasi manusia secara menyeluruh.57

Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/PUU-X/2012 memutuskan

perkara konstitusi dalam pengujian Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang diajukan oleh Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN),

Kesatuan Masyarakat Hukum Adat Kenegerian Kuntu, dan Kesatuan Masyarakat

Hukum Adat Kesepuhan Cisitu.

Pemohon dalam mengajukan permohonan pengujian undang-undang

terhadap undang-undang dasar, terlebih dahulu harus jelas kedudukan hukum

(Legal Standing) yang dimilikinya. Berkaitan dengan hal tersebut Pasal 51 ayat

(1) Undang-Undang Mahkamah Konstitusi beserta penjelasannya menyebutkan,

yang dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 adalah mereka yang

menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang diberikan oleh

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dirugikan oleh

berlakunya suatu undang-undang, yaitu58:

a) Perorangan warga Negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang

mempunyai kepentingan yang sama);

b) Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai

dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan

Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang;

57Hendra Nurtjahjo dan Fokky Fuad, Op.Cit. hlm. 75. 58

(49)

c) Badan hukum publikatau privat;

d) Lembaga Negara.

Beberapa pasal yang menjadi dalil pertimbangan hak konstitusional yang

dimiliki pemohon adalah Pasal 18B ayat (2), Pasal 28C ayat (2)59, Pasal 28D ayat

(1)60, Pasal 28G ayat (1)61, Pasal 28I ayat (3)62, dan Pasal 33 ayat (3)63

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Selain itu juga terdapat

beberapa pasal dal

Gambar

Tabel 1. Hak-hak Masyarakat Hukum Adat berdasarkan Undang-Undang
Tabel 2. Daftar Kegiatan Investasi
Gambar 1. Alur Pengelolaan Hutan Adat
Gambar 2. Piramida tanggung jawab sosial perusahaan

Referensi

Dokumen terkait

Bahwa akan tetapi Pasal 32 ayat (1) huruf c UU 30/2002 tersebut yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 adalah ketentuan untuk memberhentikan Pimpinan KPK

Kromatografi adalah suatu istilah umum yang digunakan untuk bermacam- macam teknik pemisahan yang didasarkan atas partisi sampel diantara suatu fase gerak yang bisa berupa gas

Pelayanan Terpadu adalah serangkaian kegiatan untuk melakukan perlindungan bagi anak korban kekerasan, eksploitasi, perlakuan salah dan penelantaran yang dilaksanakan

Sama seperti kebanyakan skb-skb lain, pada UPTD SKB Kendal proses pembelajaran dilakukan sesuai dengan jadwal yang dibuat. Dalam keseharian, pembelajaran diikuti

Tabel periodik unsur merupakan daftar susunan berkala unsur-unsur kimia, yang terdiri dari unsur-unsur yang mempunyai data yang berbeda, banyaknya data yang terdapat pada tabel

[r]

Sedangkan metode diskusi digunakan sebagai wahana untuk menggali potensi dan masalah lain yang dihadapi oleh guru sejarah dalam mewujudkan dan memanfaatkan ruang

Fenomena gerhana merupakan fenomena terkait pergerakan Matahari, Bulan dan Bumi. Ketiga benda langit ini terus melakukan pergerakan setiap detiknya. Program Tracking