BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Landasan Teori
2.1.1 Pengertian Sinkronisasi
Sinkronisasi adalah hasil kesesuaian antara dokumen kebijakan yang satu
dengan dokumen kebijakan yang lain. Sinkronisasi bertujuan untuk
mengimplementasikan landasan pengaturan tentang mekanisme penyusunan
anggaran yang telah diatur dalam sejumlah peraturan perundang-undangan,
diantaranya adalah UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP No.
58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, dan Permendagri Nomor
21 Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Sebelum
penyusunan APBD dilakukan, terlebih dahulu dibuat kesepakatan antara eksekutif
dan legislatif tentang arah dan kebijakan umum (AKU) dan prioritas anggaran,
yang akan menjadi pedoman untuk penyusunan anggaran pendapatan dan
anggaran belanja. Eksekutif membuat rancangan APBD sesuai dengan AKU dan
prioritas anggaran, yang kemudian diserahkan kepada legislatif untuk dipelajari
dan dibahas bersama-sama sebelum ditetapkan sebagai peraturan daerah (Halim
dan Abdullah, 2006).
Disamping itu pemerintah daerah dan DPRD juga harus menjaga dan
mengawal adanya konsistensi, sinkronisasi dan sigergisitas antara substansi
KUA-PPAS, RKA SKPD/RKA PPKD RAPBD . Hal tersebut guna memenuhi ketentuan
yan diamanatkan pasal 44 ayat (2) Peraturan Pemerintah Tahun 2005 yang
kebijakan umum APBD serta prioritas dan plafon anggaran sementara dengan
program dan kegiatan yang diusulkan dalam rancangan peraturan daerah tentang
APBD.
2.1.2Proses Penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Berdasarkan Permendagri No. 21 Tahun 2011 yang dimaksud dengan
Kebijakan Umum Anggaran (KUA) adalah dokumen yang memuat kebijakan
bidang pendapatan, belanja dan pembiayaan serta asumsi yang mendasarinya
untuk periode satu (1) tahun. Substansi KUA mencakup hal-hal yang sifatnya
kebijakan umum dan tidak menjelaskan hal-hal yang bersifat teknis. Hal-hal yang
sifatnya kebijakan umum, seperti: (a) Gambaran kondisi ekonomi makro termasuk
perkembangan indikator ekonomi makro daerah, (b) Asumsi dasar penyusunan
Rancangan APBD Tahun Anggaran 2012 termasuk laju inflasi, pertumbuhan
PDRB dan asumsi lainnya terkait dengan kondisi ekonomi daerah, (c) Kebijakan
pendapatan daerah yang menggambarkan prakiraan rencana sumber dan besaran
pendapatan daerah untuk tahun anggaran 2012 serta strategi pencapaiannya,
(d) Kebijakan belanja daerah yang mencerminkanprogram dan langkah kebijakan
dalam upaya peningkatan pembangunan daerah yang merupakan manifestasi dari
sinkronisasi kebijakan antara pemerintah daerah dan pemerintah serta strategi
pencapaiannya, (e) Kebijakan pembiayaan yang menggambarkan sisi defisit dan
surplus anggaran daerah sebagai antisipasi terhadap kondisi pembiayaan daerah
dalam rangka menyikapi tuntutan pembangunan daerah serta strategi
Selanjutnya Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara adalah rancangan
program prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada
SKPD untuk setiap program sebagai acuan dalam penyusunan RKA-SKPD
sebelum disepakati dengan DPRD. Substansi PPAS lebih mencerminkan prioritas
pembangunan daerah yang dikaitkan dengan sasaran yang ingin dicapai termasuk
program prioritas dari SKPD terkait. PPAS juga menggambarkan pagu anggaran
sementara dimasing-masing SKPD berdasarkan program dan kegiatan prioritas
dalam RKPD. Pagu sementara tersebut akan menjadi pagu definitif setelah
rancangan peraturan daerah tentang APBD disetujui bersama antara kepala daerah
dengan DPRD serta rancangan peraturan daerah tentang APBD tersebut
ditetapkan oleh kepala daerah menjadi peraturan daerah tentang APBD. Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disingkat APBD adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan daerah yang dibahas dan disetujui bersama oleh
pemerintah daerah dan DPRD dan ditetapkan dengan peraturan daerah.
Proses penyusunan APBD, sejak penyusunan dan penyampaian rancangan
KUA dan rancangan PPAS oleh pemerintah daerah kepada DPRD untuk dibahas
dan disepakati bersama paling lambat akhir bulan Juli 2011. Selanjutnya KUA
dan PPAS yang telah disepakati bersama tersebut akan menjadi dasar bagi
pemerintah daerah untuk menyusun, menyampaikan dan membahas RAPBD
Tahun Anggaran 2012 antara pemerintah daerah dengan DPRD sampai dengan
tercapainya persetujuan bersama antara kepala daerah dengan DPRD terhadap
rancangan peraturan daerah tentang APBD, paling lambat tanggal 30 Nopember
2011, sesuai dengan ketentuan Pasal 105 ayat (3c) Peraturan Menteri Dalam
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 21
Tahun 2011 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, dengan
tahapan penyusunan dan jadwal sebagai berikut:
Tahapan dan Jadwal Proses Penyusunan APBD Tabel 2.1
NO URAIAN WAKTU KETERANGAN
1. Penyusunan RKPD Akhir bulan
Mei 2. Penyampaian Rancangan KUA dan
Rancangan PPAS oleh Ketua TAPD kepada kepala daerah
Minggu 1 bulan Juni
1 minggu
3. Penyampaian Rancangan KUA dan Rancangan PPAS oleh kepala daerah kepada DPRD
Pertengahan bulan Juni
6 minggu
4. Rancangan KUA dan Rancangan PPAS disepakati antara kepala daerah dan DPRD
Akhir bulan Juli
5. Surat Edaran kepala daerah perihal Pedoman SKPD dan RKA-PPKD
Awal bulan Agustus
1 Minggu
6. Penyusunan dan pembahasan RKA-SKPD dan RKA-PPKD serta penyusunan Rancangan APBD
Awal Agustus sampai
dengan akhir September
7 minggu
7. Penyampaian Rancangan APBD kepada DPRD
Minggu pertama bulan Oktober
2 bulan
8. Pengambilan persetujuan Bersama DPRD dan kepala daerah
Paling lama 1 (satu) bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan 9. Hasil evaluasi Rancangan APBD 15 hari kerja
NO URAIAN WAKTU KETERANGAN 10. Penetapan Perda APBD dan Perkada
Penjabaran APBD sesuai dengan hasil evaluasi
Paling Lambat Akhir
Desember (31 Desember)
Proses penyusunan APBD sejak dengan ditetapkannya Perda tentang
Rancangan APBD (RAPBD) yang berisi penganggaran atas pendapatan, belanja
dan pembiayaan. RAPBD disampaikan ke Provinsi/Departemen Dalam Negeri
untuk dievaluasi. Jika ada perbaikan/revisi atas RAPBD tersebut maka akan
diperbaiki/dikoreksi oleh badan eksekutif pemerintah daerah. Setelah dilakukan
perbaikan/revisi atas evaluasi oleh Provinsi/Departemen Dalam Negeri terhadap
RAPBD setiap Pemerintah Daerah maka dokumen disahkan/disetujui oleh DPRD.
Pengesahan dari DPRD setiap Pemerintah Daerah menandakan bahwa RAPBD
berubah menjadi dokumen APBD sehingga APBD dapat dicairkan/realisasikan
sesuai dengan kebutuhan operasional pemerintah daerah maupun pembangunan
daerah dalam sektor publik.
2.1.4 Kapasitas Sumber Daya Manusia
Wiley (1997), menyebutkan bahwa sumber daya manusia merupakan pilar
penyangga utama sekaligus penggerak roda organisasi dalam usaha mewujudkan
visi dan misi serta tujuan dari organisasi tersebut. Sumber daya manusia (human
resources) merujuk kepada orang-orang di dalam organisasi untuk mencapai
tujuan organisasi (Simamora, 2001). Menurut Irawan (2000), yang dimaksud
dengan sumber daya manusia adalah semua orang yang tergabung dalam suatu
tercapainya tujuan-tujuan organisasi. Matindas (2002) mengemukakan bahwa
sumber daya manusia adalah kesatuan tenaga manusia yang ada dalam suatu
organisasi dan bukan sekedar penjumlahan karyawan karyawan yang ada. Sebagai
kesatuan, sumber daya manusia harus dipandang sebagai suatu sistem di mana
tiap-tiap karyawan merupakan bagian yang saling berkaitan satu dengan lainnya
dan bersama-sama berfungsi untuk mencapai tujuan organisasi. Menurut
Amirudin (2009) dalam Arniati dkk (2010), kapasitas sumber daya manusia
adalah kemampuan dari anggota eksekutif maupun legislatif dalam menjalankan
fungsi dan perannya masing-masing dalam proses penyusunan kebijakan dalam
pengelolaan keuangan daerah. Kualitas dan kemampuan anggota DPRD juga
diperlukan agar kegiatan-kegiatan yang dituangkan dalam APBD betul-betul
bermanfaat bagi masyarakat. Masalah yang sering muncul adalah ketika
penganggaran yang dilakukan selama ini masih dipahami sebagai aktifitas
pembagian kue pembangunan. Alokasi untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat
belum menjadi jiwa dalam penyusunan APBD. Jadi sumber daya yang dibutuhkan
bukan hanya anggota yang sekedar memiliki pendidikan yang tinggi tapi juga
memiliki kapasitas yang baik agar mampu melaksanakan peran dan fungsi-fungsi
yang mesti dijalankannya dengan baik dan optimal.
Dalam pengelolaan keuangan daerah yang baik, SKPD harus memiliki
sumber daya manusia yang berkualitas, yang didukung dengan latar belakang
pendidikan akuntansi, sering mengikuti pendidikan dan pelatihan, dan mempunyai
pengalaman di bidang keuangan. Sehingga untuk menerapkan sistem akuntansi,
sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas tersebut akan mampu memahami
Daerah dalam memahami dan menerapkan logika akuntansi akan berdampak pada
kekeliruan laporan keuangan yang dibuat dan ketidaksesuaian laporan dengan
standar yang ditetapkan pemerintah (Warisno, 2009).
Penelitian yang dilakukan oleh Andriani (2010) menemukan bahwa
walaupun ada pada beberapa SKPD yang mempunyai pegawai tidak berlatar
belakang pendidikan di bidang ekonomi,tapi dengan banyaknya
pelatihan-pelatihan yang diperoleh dapat meningkatkan kapasitas sumber daya manusia.
Pelatihan-pelatihan dalam bidang akuntansi yang diberikan sangat mendukung
meningkatkan kapasitas sumber daya manusianya. Disamping itu
kebijakan-kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah daerah cukup menunjang, antara lain
dengan mengadakan pertemuan-pertemuan antar SKPD yang membicarakan
mengenai persoalan-persoalan tentang keuangan.Penulis juga melihat besarnya
keinginan dan harapan parapegawai keuangan di Pemda ini untuk mampu
menyusun laporan keuangan sesuai dengan aturan yang berlaku.
Sumber Daya Manusia merupakan elemen organisasi yang sangat penting.
Karenanya harus dipastikan sumber daya manusia ini harus dikelola sebaik
mungkin agar mampu memberikan kontribusi secara optimal dalam upaya
pencapaian tujuan organisasi. Sumber daya manusia diukur berdasarkan latar
belakang pendidikan, pemahaman tentang tugas, kesiapan dalam memahami
melakukan perubahan dalam proses penyusunan anggaran. Agar perencanan
APBD berkualitas, maka setiap SKPD harus memiliki sumber daya manusia yang
mampu untuk melaksanakannya dan perlu dilakukannya suatu peremajaan
kualitas sumber daya manusia dengan jalan melakukan pelatihan-pelatihan
2.1.5 Perencanaan Anggaran
Penganggaran pada dasarnya adalah proses menyusun rencana pendapatan
dan belanja untuk satu jangka waktu tententu. Kebijakan Umum Anggaran (KUA)
merupakan bagian dari dokumen perencanaan pembangunan daerah yang
berfungsi sebagai pedoman dalam merencanakan pembangunan dan pengambilan
kebijakan di daerah. Dokumen ini mempunyai fungsi yang sangat strategis karena
menyangkut pilihan terhadap program, kegiatan dan kebijakan yang akan
dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah (Sopanah, 2010).
Perencanaan merupakan cara organisasi menetapkan tujuan dan sasaran
organisasi. Perencanaan meliputi aktivitas yang sifatnya strategik, taktis, dan
melibatkan aspek operasional. Proses perencanaan juga melibatkan aspek
perilaku, yaitu partisipasi dalam pengembangan system perencanaan, penetapan
tujuan, dan pemilihan alat yang paling tepat untuk memonitor perkembangan
pencapaian tujuan. Lemahnya perencanaan anggaran memungkinkan munculnya
underfinancing atau overfinancing yang akan mempengaruhi tingkat efesinsi dan
efektifitas anggaran. Dalam seperti ini menyebabkan banyak layanan publik
dijalankan secara tidak efisien dan kurang sesuai dengan tuntutan dan kebutuhan
publik, sementara dana pada anggaran yang pada dasarnya merupakan dana public
habis dibelanjakan seluruhnya. Dalam jangka panjang, kondisi seperti ini
cenderung memperlemah peran pemerintah sebagai stimulator,fasilitator,
coordinator, dan entrepreneur dalam pembangunan (Mardiasmo, 2004).
Secara garis besar proses penyusunan dalam penetapan anggaran
didasarkan pada rangkaian tahapan (siklus) yang dimulai bulan Januari dan
perencanaan pada tahapan awal buruk maka akan berdampak pada buruk
perencanaan pada tahap berikutnya. Untuk itu pada tahap awal perencanaan
merupakan faktor yang sangat menentukan terhadap kesinkronan antara dokumen
APBD dengan dokumen KUA-PPAS. Pada tahap awal perencanaan, pertama kali
yang dilakukan adalah melakukan penjaringan aspirasi masyarakat dan
musyawarah perencanaan pembangunan (Musrenbang).
Musrenbang fokus pada perencanaan sebagai proses perencanaan program
kerja yang menganut pola perencanaan berbasis masyarakat, artinya bahwa semua
usulan yang muncul merupakan usulan yang bersumber dari musyawarah
masyarakat berdasarkan kebutuhan prioritas dan potensi yang dimiliki.
Penyelenggaran Musrenbang di Daerah dalam rangka penyusunan RKPD
dilakukan melalui proses pembahasan yang terkoordinasi antara Bappeda dengan
seluruh Satuan Kerja Prangkat Daerah (SKPD). Titik berat pembahsannya adalah
pada sinkronisasi rencana kerja SKPD, dan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
dan masyarakat.Musrenbang adalah sebuah forum, sinkronisasi adalah pijakan
musyawarah, dan RKPD adalah pijakan musyawarah. Ketiga hal yang tali-temali
ini dapat bersinergi bila orang-rang yang terlibat dalam musyawarah telah
memiliki pengetahuan tentang bagaimana musrenbang diselenggarakan, dan
bagaimana penyusunan program kerja dan usulan kegiatan seharusnya
dilakukan (Rudianto,2007).
2.1.6 Politik Penganggaran
Anggaran merupakan managerial plan for action untuk memfasilitasi
anggaran merupakan pernyataan mengenai apa yang diharap dan direncanakan
dalam periode tertentu di masa yang akan datang. Proses penganggaran sebagai
cara memfasilitasi tercapainya tujuan organisasi, selalu dilalui oleh berbagai
organisasi tidak terkecuali organisasi sektor publik.
Penganggaran pada sektor publik merupakan suatu proses yang cukup
rumit, termasuk diantaranya pemerintah daerah. Penganggaran sektor publik
terkait dengan proses penentuan jumlah alokasi dana untuk tiap-tiap program dan
aktivitas dalam satuan moneter. Proses penganggaran organisasi sektor publik
dimulai ketika perumusan strategi dan perencanaan strategi telah selesai
dilakukan.
Menurut Hague et.al (1998) politik adalah kegiatan yang menyangkut cara
bagaimana kelompok-kelompok mencapai keputusan yang bersifat kolektif dan
mengikat melalui usaha untuk mendamaikan perbedaan-perbedaan di antara
anggota-anggota. Dalam suatu pemerintahan, politik berkaitan dengan masalah
kekuasaan, pengambilan keputusan, kebijakan publik dan alokasi atau distribusi.
Oleh karena itu untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan umum yang
menyangkut pengaturan dan alokasi dari sumber daya perlu dimiliki kekuasaan
serta kewenangan .
Anggaran merupakan alat utama pemerintah untuk melaksanakan semua
kewajiban, janji, dan kebijakannya ke dalam rencana-rencana konkrit dan terintegrasi
dalam hal tindakan apa yang akan diambil, hasil apa yang akan dicapai, pada biaya
berapa dan siapa yang akan membayar biaya-biaya tersebut (Dobell & Ulrich, 2002).
Sementara Freeman & Shoulders (2003) dalam Syukri dan Asmara (2006)
Asmara(2006), penganggaran publik adalah pencerminan dari kekuatan relatif dari
berbagai budget actors yang memiliki kepentingan atau preferensi berbeda terhadap
outcomes anggaran. Adanya keterbatasan dana yang dimiliki oleh pemerintah menjadi
alasan mengapa penganggaran menjadi mekanisme terpenting untuk pengalokasian
sumberdaya. Bagi Hagen et al. (1996), penganggaran di sektor publik merupakan
suatu bargaining process antara eksekutif dan legislatif.
Hasil penelitian Syukri dan Asmara (2006) terhadap perilaku anggota
DPRD dalam proses penganggaran yaitu : (1), legislatif melakukan political
corruption melalui realisasi discretionary power yang dimilikinya dalam
penganggaran. Hal ini terjadi karena legislatif memanfaatkan celah yang ada dalam
UU 22/1999 dan PP 110/2000. (2) DPRD membuat keputusan anggaran melalui
penggunaan kenaikan anggaran PAD sebagai sumber pembiayaan untuk usulan
kegiatan baru.(3) perilaku oportunistik legislatif seakan-akan didukung oleh
perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku. UU 22/1999 dan PP
110/2000 seolah-olah melegitimasi tindakan legislatif untuk merubah alokasi yang
diusulkan eksekutif melalui pemberian kewenangan yang sangat besar atas pemilihan
dan pemberhentian kepala daerah.(4) pengalokasian anggaran yang diusulkan
legislatif, tidak didasarkan pada prioritas anggaran.(5) Dengan demikian, APBD
digunakan oleh legislatif sebagai alat untuk memenuhi kepentingan pribadinya.
Penelitian yang dilakukan Handayani (2009) menemukan bahwa otoritas
yang sangat besar bagi DPRD untuk menyusun APBD dan menyusun anggaran
untuk DPRD sangat memungkinkan terjadinya korupsi APBD karena tidak ada
pengawasan yang sistematis kecuali jika rakyat mempunyai kesadaran yang
relation yang memungkinkan terjadinya suap (bribery) terhadap DPRD untuk
menyetujui pos tertentu yang tidak dibutuhkan rakrat sangat mungkin terjadi.
Sedangkan penelitian Amirudin (2009) dalam Arniati dkk, (2010),
menemukan peran utama legislatif dalam proses politik penyusunan APBD
terlihat jelas saat pembahasan KUA-PPAS serta dalam penetapan Perda APBD.
Dalam pembahasan anggaran, eksekutif dan legislatif membuat
kesepakatan-kesepakatan (bargaining) yang dicapai melalui proses politik dengan acuan KUA
dan PPAS sebelum anggaran ditetapkan sebagai suatu peraturan daerah. Ini terjadi
karena legislatif mempunyai hak budgeting yang diwujudkan dalam menyusun
dan menetapkan APBD bersama-sama dengan pemerintah daerah. Keberadaan
legislatif di dewan sesungguhnya merupakan representasi dari aspirasi
masyarakat, oleh karena itu memang sudah sepatutnya mendasarkan pada aspirasi
masyarakat. Namun yang menjadi pertanyaan adalah tipisnya batas antara
keinginan legislatif dengan keinginan masyarakat sehingga kedua keinginan
tersebut sulit dibedakan yang pada akhirnya memunculkan moral hazard dari
anggota dewan tersebut.
Berdasarkan penjelasan konsep politik dan penganggaran, maka yang
dimaksud dengan poltik penganggaran adalah cara bagaimana mencapai tujuan
yang bersifat kolektif dan mengikat melalui kekuasaan, pengambilan keputusan,
kebijakan publik, alokasi dan distribusi dalam proses rencana aktivitas ke dalam
2.1.7 Transparansi Publik
Transparansi dibangun atas dasar arus informasi yang bebas, seluruh
proses pemerintahan, lembaga-lembaga dan informasi perlu dapat diakses oleh
pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai
agar dapat di mengerti dan dipantau.
Transparansi bermakna tersedianya informasi yang cukup, akurat dan
tepat waktu tentang kebijakan publik, dan proses pembentukannya. Informasi
adalah suatu kebutuhan penting masyarakat untuk berpartisipasi dalam
pengelolaan daerah. Dengan ketersediaan informasi, masyarakat dapat ikut
sekaligus mengawasi sehingga kebijakan publik yang muncul bisa memberikan
hasil yang optimal bagi masyarakat, serta mencegah terjadinya kecurangan dan
manipulasi yang hanya akan menguntungkan salah satu kelompok masyarakat saja
secara tidak proporsional.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan
Informasi Publik, Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan, disimpan,
dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan
dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan
penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan Undang-Undang ini
serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik. Undang-Undang
ini bertujuan untuk: (a) menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana
pembuatan kebijakan publik, program kebijakan publik, dan proses pengambila
keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik,
(b) mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan
publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik, (d) mewujudkan
penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan,efektif dan efisien,
akuntabel serta dapat dipertanggungjawabkan, (e) mengetahui alasan kebijakan
publik yang mempengaruhi hajat hidup orang banyak, (f) mengembangkan ilmu
pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa dan/atau, (g) meningkatkan
pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk
menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.
Sopanah dan Mardiasmo (2003) mensyaratkan bahwa anggaran yang
disusun oleh pihak eksekutif dikatakan transparansi jika memenuhi kriteria
berikut : 1) Terdapat pengumuman kebijakan anggaran, 2) Tersedia dokumen
anggaran dan mudah diakses, 3) Tersedia laporan pertanggunga jawaban yang
tepat waktu, 4) Terakomodasinya suara/usulan masyarakat, 5) Terdapat sistem
pemberian informasi kepada publik.
Sedangkan Hadi Sumarsono (2003) mendefenisikan transparansi sebagai
keterbukaan pemerintah dalam membuat kebijakan kebijakan keuangan daerah,
sehingga dapat diketahui dan diawasi oleh DPRD dan masyarakat. Transparansi
pengeloalan keuangan daerah pada akhirnya akan menciptakan horizontal
accountability antara pemerintah daerah dengan masyarakatnya, sehingga tercipta
Pemerintah Daerah yang bersih, efektif, efisien, akuntabel dan responsip terhadap
aspirasi dan kepentingan masyarakat.
Mursyidi (2009) mendefenisikan transparansi sebagai pemberian informasi
keuangan yang terbuka dan jujur kepada masyarakat berdasarkan pertimbangan
bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengetahui secara terbuka dan
yang dipercayakan kepadanya dan ketaatannya pada peraturan perundang
undangan. Selanjutnya Handayani (2009) berpendapat bahwa Transparansi Publik
adalah adanya keterbukaan tentang anggaran yang mudah diakses oleh masyarakat
secara cepat.
2.1.8. Review Peneliti Terdahulu (Theoritical Mapping)
Abdullah dan Asmara (2006), membuktikan bahwa: (1) legislatif
melakukan political corruption melalui realisasi discretionary power yang
dimilikinya dalam penganggaran, (2) DPRD membuat keputusan anggaran
melalui penggunaan kenaikan anggaran PAD sebagai sumber pembiayaan untuk
usulan kegiatan baru, (3) perilaku oportunistik legislatif seakan-akan didukung
oleh perangkat peraturan perundang-undangan yang berlaku, (4) pengalokasian
anggaran yang diusulkan legislatif, dengan demikian, tidak didasarkan pada
prioritas anggaran, (5) APBD digunakan oleh legislatif sebagai alat untuk
memenuhi kepentingan pribadinya. Halim dan Abdullah (2006), membuktikan
bahwa: (1) hubungan dan masalah keagenan dalam penganggaran antara eksekutif
dan legislatif merupakan bagian tak terpisahkan dalam penelitian keuangan
(termasuk akuntansi) publik, politik penganggaran, dan ekonomika public, (2)
eksekutif merupakan agen bagi legislatif dan publik (dual accountability) dan
legislatif agen bagi public, (3) konsep perwakilan (representativeness) dalam
penganggaran tidak sepenuhnya berjalan ketika kepentingan publik tidak terbela
seluruhnya oleh karena adanya perilaku oportunistik (moral hazard) legislatif, dan
(4) eksekutif sebagai agen cenderung menjadi budget maximizer karena
Amirudin melakukan penelitian kembali dimana peneliti hanya
melakukan identifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaksinkronan
dokumen APBD dengan dokumen KUA-PPAS. Hasil penelitian tersebut
ditemukan empat (4) faktor yang menyebabkan ketidaksinkronan antara dokumen
APBD dengan dokumen KUA-PPAS, yaitu kapasitas sumber daya manusia,
politik penganggaran, perencanaan dan informasi pendukung Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa ketidaksinkronan antara dokumen APBD dengan dokumen
KUA-PPAS yang terjadi di Provinsi DIY disebabkan oleh pertama, faktor
kapasitas sumber daya manusia, menjelaskan variasi seluruh item yang ada
sebesar 34,89 persen. Kedua, faktor politik penganggaran, menjelaskan variasi
seluruh item yang ada sebesar 20,56 persen. Ketiga faktor perencanaan,
menjelaskan variasi seluruh item yang ada sebesar 10,92 persen. Keempat,faktor
informasi pendukung, menjelaskan variasi seluruh item yang ada sebesar 9,53
persen. Jadi secara kumulatif, variasi dari seluruh item yang ada mampu
dijelaskan oleh keempat faktor di atas sebesar 75,91 persen. Sisanya sebesar 24,09
persen dijelaskan oleh item lain di luar dari keempat faktor tersebut (Arniati dkk,
2010).
Selanjutnya penelitian Amirudin kembali diteliti oleh Arniati dkk (2010)
dengan hasil kapasitas sumber daya manusia tidak berpengaruh positif signifikan
terhadap sinkronisasi dokumen APBD dengan dokumen KUA-PPAS. Politik
penganggaran tidak berpengaruh positif signifikan terhadap sinkronisasi dokumen
APBD dengan dokumen KUA-PPAS. Perencanaan tidak berpengaruh positif
signifikan terhadap sinkronisasi dokumen APBD dengan dokumen KUA-PPAS