• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian ekologi parasitoid anastatus dasyni Ferr sebagai dasar pengendalian hayati kepik pengisap buah lada dasynus piperis China

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian ekologi parasitoid anastatus dasyni Ferr sebagai dasar pengendalian hayati kepik pengisap buah lada dasynus piperis China"

Copied!
118
0
0

Teks penuh

(1)

(HYMENOPTERA: EUPELMIDAE) SEBAGAI DASAR

PENGENDALIAN HAYATI KEPIK PENGISAP BUAH LADA

Dasynus piperis CHINA (HEMIPTERA: COREIDAE)

IWA MARA TRISAWA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kajian Ekologi Parasitoid

Anastatus dasyni Ferr. (Hymenoptera: Eupelmidae) Sebagai Dasar Pengendalian Hayati Kepik Pengisap Buah Lada Dasynus piperis China (Hemiptera: Coreidae) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2011

Iwa Mara Trisawa

(3)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(4)

(HYMENOPTERA: EUPELMIDAE) SEBAGAI DASAR

PENGENDALIAN HAYATI KEPIK PENGISAP BUAH LADA

Dasynus piperis CHINA (HEMIPTERA: COREIDAE)

IWA MARA TRISAWA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Entomologi - Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Teguh Santoso, D.E.A. Dr. Ir. Ade Wachjar, M.S.

(6)

Penulis panjatkan puji dan syukur kepada Allah Subhanahu Wataalla atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang berjudul Kajian Ekologi Parasitoid Anastatus dasyni Ferr. (Hymenoptera: Eupelmidae) Sebagai Dasar Pengendalian Hayati Kepik Pengisap Buah Lada Dasynus piperis China (Hemiptera: Coreidae), dilaksanakan sejak Mei 2008 sampai Desember 2009 di Bogor dan Bangka.

Bagian dari disertasi ini telah diterbitkan di Jurnal Penelitian Tanaman Industri Vol 16 No. 3 tahun 2010, dengan judul Kesesuaian Telur Kepik Kedelai untuk Pembiakan Massal Anastatus dasyni Ferr. (Hymenoptera: Eupelmidae), Parasitoid Telur Kepik Lada.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc., Bapak Prof. Dr. Ir. Utomo Kartosuwondo, M.S., Ibu Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. dan Bapak Dr. Ir. Ali Nurmansyah, M.Si. atas bimbingan dan pengarahan kepada penulis mulai dari perencanaan penelitian hingga penyelesaian disertasi. Terimakasih penulis ucapan juga kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri, Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan program doktor. Kepada Ketua Program Studi Entomologi/Fitopatologi dan seluruh dosen di Departemen Proteksi Tanaman IPB, penulis mengucapkan terimakasih atas segala arahan dan didikan.

Kepada Kepala Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) Bogor, dan Kepala Balai Pengkajian dan Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas penelitian, penulis ucapkan terimakasih. Di samping itu, terimakasih penulis sampaikan kepada The Indonesian International Education Foundation (IIEF) melalui program

Indonesian Scholarship Dissertation Award (ISDA) yang telah membantu memberikan beasiswa penelitian.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. (R) Dr. Ir. I Wayan Laba, M.Sc, Dr. Ir. Wiratno, M.Env.Mgt., dan Ir. Fardedi, M.Si. atas segala dukungan dan kerjasama yang baik, serta kepada Sdr. Ahyar dan Bapak Muchyadi yang telah membantu pelaksanaan penelitian.

Kepada orangtua, ayahanda E. Sukarsawinata (Alm.) dan Ibunda R.E. Fatimah (Alm.), serta mertua Muchtar (Alm) dan R. Martha S. disampaikan terimakasih atas pendidikan, dukungan, nasihat, dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini. Kepada istri Tini Mardiyana Ruliyanti dan ketiga putri tercinta Edvami Maradiyana Praeswitari, Vidina Diniarti Hanifa, dan Clarinta Tidara Estriva serta seluruh keluarga yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan pendidikan ini, penulis mengucapkan terimakasih.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2011

(7)

Penulis dilahirkan di Bogor, pada tanggal 29 Juli 1963 sebagai anak ketiga dari pasangan E. Sukarsawinata (Alm) dan RE. Fatimah (Alm.). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan Bogor, lulus pada tahun 1988. Pada tahun 2002, penulis diterima di Program Studi Entomologi/Fitopatologi pada Sekolah Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2005. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2006. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia. Penulis juga merupakan salah satu dari enam mahasiswa program doktor IPB sebagai penerima Indonesian Scholarship Dissertation Award dari program kerjasama Ford Foundation dan Indonesian International Education Foundation.

(8)
(9)

Hasil dan Pembahasan ... Kesimpulan ... Daftar Pustaka ... 6 PENGARUH VEGETASI LIAR BERBUNGA TERHADAP PARA- SITOID Anastatus dasyni FERR. (HYMENOPTERA: EUPELMI- DAE ... Abstrak ... Abstract ... Pendahuluan ... Bahan dan Metode ... Hasil dan Pembahasan ... Kesimpulan ... Daftar Pustaka ... 7 SINTESIS ... 8 KESIMPULAN DAN SARAN ... DAFTAR PUSTAKA ...

51 55 55

(10)

Halaman 3.1 Karakteristik perkembangan pradewasa dan kehidupan imago beti-

na A. dasyni pada dua jenis inang alternatif ... 3.2 Dimensi tubuh A. dasyni betina yang dipelihara pada telur kepik

kedelai ... 3.3 Dimensi tubuh A. dasyni jantan yang dipelihara pada telur kepik

kedelai ... 3.4 Berbagai statistik neraca hayati A. dasyni ... 3.5 Proporsi fase perkembangan A. dasyni pada sebaran stabil ... 4.1 Nilai indeks preferensi masing-masing jenis inang pada pengujian preferensi di laboratorium dan lapangan ... 4.2 Tingkat parasitisasi A. dasyni pada umur inang alami ... 4.3 Tingkat parasitisasi A. dasyni pada berbagai lama penyimpanan inang ... 5.1 Rataan inang yang diparasit A. dasyni pada berbagai kerapatan

inang ... 5.2 Hasil analisis regresi logistik proporsi telur kepik D. piperis yang terparasit oleh A. dasyni ... 5.3 Nilai penduga parameter laju pencarian seketika (a) dan masa pe- nanganan inang (Th) berdasarkan model tanggap fungsional tipe II 6.1 Lama hidup imago A. dasyni yang dipelihara pada bunga vegetasi

liar ... 6.2 Jumlah keturunan dan nisbah kelamin A. dasyni yang dipelihara pada bunga vegetasi liar ... 6.3 Kadar gula tereduksi pada berbagai bunga vegetasi liar ...

(11)

Halaman 1.1 Peta jalan penelitian pengendalian hayati kepik pengisap buah lada

D. piperis dengan parasitoid A. dasyni ... 5.1 Rataan nilai pengamatan proporsi inang yang diparasit dan pendu-

ga berdasarkan hasil analisis regresi logistik ... 5.2 Kurva tanggap fungsional parasitoid A. dasyni terhadap peningkat- an kerapatan inang ... 6.1 Pilihan parasitoid A. dasyni betina yang lapar terhadap bunga vege- tasi liar dan inang ... 6.2 Pilihan parasitoid A. dasyni jantan yang lapar terhadap bunga vege-

tasi liar ... 6.3 Lama kunjungan parasitoid A. dasyni betina yang lapar pada bunga vegetasi liar ... 6.4 Lama kunjungan parasitoid A. dasyni jantan yang lapar pada bunga

vegetasi liar ... 6.5 Pilihan parasitoid A. dasyni betina yang kenyang terhadap bunga

dan inang ... 6.6 Lama kunjungan parasitoid A. dasyni betina yang kenyang pada

bunga dan inang ... 6.7 Pilihan parasitoid A. dasyni betina yang lapar antara bunga vegeta- si liar dan inang pada pengujian lorong “Y” ... 6.8 Pilihan parasitoid A. dasyni betina yang kenyang antara bunga ve-

getasi liar dan inang pada pengujian lorong “Y” ... 6.9 Rataan tingkat parasitisasi oleh kompleks parasitoid di kebun lada

yang disiangi dan tidak ... 6.10Rataan tingkat parasitisasi A. dasyni di kebun lada yang disiangi

(12)

Halaman 1 Bunga vegetasi liar dan tanaman penutup tanah yang umum dijumpai

di kebun lada ... 2 Berbagai kondisi kebun lada ...

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lada (Piper nigrum L.) merupakan salah satu tanaman rempah yang

sebagian besar (99.89%) diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat, sedangkan

sisanya (0.11%) dalam bentuk perkebunan besar swasta (Ditjenbun 2008).

Meskipun bukan tanaman asli Indonesia, tanaman yang diintroduksi dari India ini

tumbuh dan berkembang serta memiliki peranan penting dalam perekonomian

nasional. Lada merupakan produk rempah-rempah pertama Indonesia yang

diperdagangkan ke Eropa melalui Arab dan Persia. Sebelum perang dunia ke-dua,

Indonesia bahkan tercatat sebagai penghasil lada terbesar dunia dan memasok

80% kebutuhan lada dunia (Wahid 1996). Pada tahun 2007 volume dan nilai

ekspor lada Indonesia tercatat 38.447 ton dengan nilai US $ 132.495.000,- yang

terdiri atas 15.544 ton lada putih, 20.881 ton lada hitam, dan 2.022 ton dalam

bentuk lada lainnya (Ditjenbun 2008). Lada digunakan sebagai bumbu makanan

baik pada sektor rumah tangga maupun industri makanan.

Sentra pertanaman lada di Indonesia terdapat di Lampung, Bangka,

Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Total luas areal

pada tahun 2009 diperkirakan 191.608 ha dengan produksi 81.660 ton.

Dibandingkan tahun 2003 yang mencapai 204.128 ha, luas areal pada beberapa

tahun belakangan ini mengalami penyusutan (Ditjenbun 2008). Di antara

faktor penyebabnya adalah kondisi perekonomian nasional dan dunia, situasi

politik dan keamanan serta harga lada. Kondisi tersebut ditambah dengan teknik

budidaya yang minimal menyebabkan produksi tanaman lada menurun.

Penurunan produksi dan munculnya negara pesaing baru seperti Vietnam

menyebabkan Indonesia tidak lagi menjadi pemasok utama lada dunia. Sebagai

gambaran, saat ini Indonesia menempati peringkat ke-tiga sebagai negara

penghasil lada hitam di dunia setelah Vietnam dan India, sedangkan untuk lada

putih Indonesia tetap produsen utama (Manohara et al. 2007).

Salah satu kendala penurunan produksi lada adalah gangguan hama dan

(14)

dari 10 milyar rupiah (Ditlintanbun 2004). Di antara hama pada tanaman lada

yang sering menimbulkan kerusakan adalah kepik pengisap buah lada, Dasynus

piperis China (Hemiptera: Coreidae) (Deciyanto et al. 1993; Trisawa et al. 2007). Nimfa dan imago D. piperis mengisap cairan buah lada. Buah yang

diisap menunjukkan gejala bercak hitam, hampa, kering, dan kemudian gugur.

Kondisi buah terserang dapat juga diperburuk oleh kehadiran mikroorganisme

seperti cendawan dan bakteri yang menyebabkan buah menjadi busuk (Deciyanto

& Wikardi 1989; Wikardi & Asnawi 1996). Buah lada mulai diserang saat

berumur 4 bulan sampai 5 bulan. Namun demikian, buah lada umur 6 bulan

sampai 9 bulan paling sesuai untuk perkembangan D. piperis karena imago

hidup lebih lama, bertelur lebih banyak, persentase tetas telur dan jumlah nimfa

yang menjadi imago lebih tinggi (Suprapto & Thomas 1989).

Hasil survei Laba et al. (2004) di Bangka menunjukkan rataan tingkat

serangan 36.80%. Di Lampung dilaporkan serangan D. piperis mengakibatkan kerugian produksi sebesar 15% (Suprapto & Thomas 1989). Survei yang sama

oleh Trisawa et al. (1992) pada beberapa kecamatan di Kabupaten Sambas,

Kalimantan Barat menunjukkan tingkat serangan berkisar antara 13.52% sampai

18.68%.

Petani lada umumnya mengandalkan penggunaan insektisida untuk

mengendalikan D. piperis, dengan frekuensi 1 kali sebulan sejak berbunga hingga

panen atau sekitar 10 kali penyemprotan dalam setahun. Selain menimbulkan

dampak buruk terhadap lingkungan seperti munculnya hama sekunder, resistensi

hama, dan terbunuhnya musuh alami, aplikasi insektisida meninggalkan residu

pada hasil panen. Hal yang disebut terakhir ini dapat berdampak pada daya saing

yang rendah di pasar global. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk

mengurangi penggunaan insektisida adalah pengendalian hayati dengan

memanfaatkan musuh alami hama. Tercatat ada tiga jenis parasitoid telur

D. piperis yang potensial yaitu Anastatus dasyni Ferr. (Hymenoptera: Eupelmidae), Gryon dasyni Nix. (Hymenoptera: Scelionidae) dan Ooencyrtus

malayensis Ferr. (Hymenoptera: Encyrtidae). A. dasyni merupakan jenis yang paling dominan dibandingkan dua parasitoid lainnya, dengan tingkat parasitisasi

(15)

Peta Jalan Penelitian

Pemanfaatan parasitoid A. dasyni dalam pengendalian hayati kepik

pengisap buah lada memerlukan pemahaman yang mendasar tentang berbagai

aspek biologi dan ekologi parasitoid. Gambar 1.1 menyajikan tahapan penelitian

atau kajian yang perlu ditempuh dalam rangka pengembangan pengendalian

hayati D. piperis dengan memanfaatkan parasitoid A. dasyni. Uraian di bawah ini

dibatasi pada tahapan penelitian yang secara langsung menyediakan landasan bagi

upaya augmentasi dan manipulasi lingkungan.

Gambar 1.1 Peta jalan penelitian pengendalian hayati kepik pengisap buah lada D. piperis dengan parasitoid A. dasyni. Kotak berwarna gelap adalah tahapan penelitian yang merupakan bagian dari disertasi.

Hasil panen lada tinggi dan tanpa residu insektisida

(16)

Penyediaan parasitoid dalam jumlah yang banyak memerlukan penyediaan

inang yang banyak pula. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa cukup

banyak kendala dalam membiakkan parasitoid A. dasyni dengan menggunakan

telur D. piperis. Kendala tersebut di antaranya adalah sulitnya mendapatkan telur

D. piperis dari hasil pembiakan massal. Oleh karena itu, upaya mendapatkan inang alternatif yang sesuai untuk membiakkan parasitoid A. dasyni merupakan hal yang sangat penting. Penelitian pendahuluan di laboratorium mendapatkan

bahwa parasitoid A. dasyni dapat dibiakkan dengan mudah pada telur kepik

polong kedelai, Riptortus linearis (Hemiptera: Alydidae) dan Nezara viridula

(Hemiptera: Pentatomidae). Sebelum telur R. linearis dan N. viridula dijadikan

inang alternatif untuk pembiakan massal parasitoid A. dasyni, perlu diteliti sejauh

mana pengaruh inang alternatif ini terhadap kehidupan parasitoid. Pendekatan

yang dapat dilakukan adalah melalui pengkajian neraca hayati. Dari neraca hayati

dapat dihitung beberapa statistik demografi. Salah satu statistik demografi yang

paling handal untuk mengukur potensi musuh alami adalah laju pertambahan

intrinsik (r), karena di dalamnya telah mempertimbangkan karakteristik kehidupan

serangga seperti masa hidup, keperidian, sintasan, dan nisbah kelamin (Carey

1993). Nilai r merupakan salah satu kriteria yang penting untuk mengevaluasi

keefektifan atau potensi dari agens pengendalian hayati (Lee & Ahn 2000), serta

dapat digunakan untuk menduga potensi pertumbuhan populasi parasitoid (Lysyk

2000).

Parasitoid A. dasyni hasil pembiakan pada inang alternatif, sebelum dilepas ke lapangan perlu dikaji tingkat preferensinya baik terhadap inang alami

maupun inang alternatif. Di samping itu, perlu dikaji tingkat parasitisasinya pada

beberapa umur inang. Hal ini penting untuk memastikan bahwa parasitoid

tersebut efektif dan mampu berkembang sesuai dengan fenologi inang di

lapangan. Informasi yang diperoleh menjadi acuan dalam penerapan salah satu

pendekatan pengendalian hayati yaitu augmentasi (pelepasan parasitoid).

Selanjutnya, untuk efisiensi pembiakan massal A. dasyni diperlukan kajian

tentang pengaruh lama penyimpanan inang dalam suhu dingin terhadap

kemampuan parasitisasi. Hal ini penting mengingat inang yang dibiakkan

(17)

mendatang. Penyimpanan inang ini ditujukan sebagai stok yang dapat langsung

digunakan ketika parasitoid perlu segera dibiakkan. Cara ini dapat memangkas

waktu penyediaan inang dibandingkan jika inang diperoleh melalui proses

pemeliharaan dan pembiakan serangga dewasa.

Keefektifan parasitoid juga perlu dikaji berdasarkan tanggapnya terhadap

peningkatan kerapatan inang. Secara umum individu parasitoid biasanya akan

memberikan tanggap terhadap peningkatan kelimpahan hama, yang disebut

tanggap fungsional. Dari kegiatan penelitian ini dapat ditentukan apakah

A. dasyni memperlihatkan tanggap fungsional tipe I, II, atau III. Parameter penting dari tanggap fungsional adalah laju pencarian seketika (a) dan masa

penanganan inang (Th). Parasitoid yang potensial adalah yang memiliki nilai a

yang tinggi dan nilai Th yang rendah (Hassell 2000).

Keberhasilan pemanfaatan A. dasyni dalam pengendalian hayati D. piperis

di lapangan perlu didukung oleh ketersediaan pakan bagi imago betina parasitoid.

Salah satu sumber pakan bagi parasitoid di lapangan adalah nektar yang terdapat

pada bunga vegetasi liar. Pada pertanaman lada tumbuh beberapa vegetasi liar

berbunga dan belum diketahui bagaimana peranan bunga vegetasi liar tersebut

sebagai sumber nektar parasitoid A. dasyni. Hal ini perlu diteliti, termasuk juga

terhadap bunga A. pintoi yang selama ini dianjurkan ditanam pada kebun lada

karena dianggap dapat meningkatkan tingkat parasitisasi parasitoid. Dari

penelitian ini dapat ditentukan jenis vegetasi liar yang dapat mendukung

kehidupan parasitoid. Pengetahuan ini diperlukan untuk mengelola ekosistem

lada yang menunjang pengendalian hayati kepik pegisap buah lada.

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian bertujuan memanfaatkan parasitoid A. dasyni

sebagai agens pengendalian hayati kepik pengisap buah lada D. piperis. Secara

lebih khusus penelitian bertujuan (1) mengkaji kesesuaian telur kepik kedelai

R. linearis dan N. viridula sebagai inang alternatif untuk pembiakan massal parasitoid A. dasyni berdasarkan berbagai parameter hayati; (2) mengkaji tingkat

preferensi parasitoid A. dasyni hasil pembiakan pada inang alternatif, serta pengaruh lama penyimpanan inang pada suhu dingin terhadap parasitisasi; (3)

(18)

telur kepik buah lada; dan (4) mengkaji pengaruh berbagai bunga vegetasi liar

sebagai sumber nektar terhadap lama hidup, keperidian, dan perilaku parasitoid di

laboratorium, serta pengaruh keberadaan vegetasi liar terhadap tingkat parasitisasi

(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Kepik Pengisap Buah Lada

Telur D. piperis berwarna coklat muda sampai tua, berbentuk lonjong, berukuran panjang 1.5 mm, lebar 1.0 mm, dan tinggi 0.9 mm. Telur diletakkan

oleh imago betina secara berkelompok antara 3 butir sampai 10 butir (Kalshoven

1981). Hasil penelitian Karmawati (1988) menunjukkan bahwa 50% telur

diletakkan pada bagian tengah tajuk tanaman, menyebar secara mengelompok

pada daun atau bulir buah. Sebanyak 81% telur diletakkan pada permukaan atas

dan bawah daun. Stadium telur berlangsung antara 7 hari sampai 8 hari

(Kalshoven 1981).

Nimfa instar-1 yang baru keluar dari telur berukuran kurang lebih 2.0 mm,

berwarna kuning kecoklatan, tidak bersayap, dan memiliki antena yang lebih

panjang dibandingkan panjang tubuhnya. Pada antena terdapat dua ruas yang

menebal. Nimfa selanjutnya segera mencari makanan dan 98% nimfa instar muda

terdapat pada buah (Kalshoven 1981). Nimfa umumnya (65%) menyukai buah

yang terdapat pada bagian tengah tajuk. Pola sebaran nimfa tersebut tidak

berbeda jauh dengan pola sebaran telur, karena mobilitas nimfa yang tidak terlalu

aktif (Karmawati 1988). Stadium nimfa berlangsung antara 3 minggu sampai 4

minggu dan mengalami empat kali pergantian kulit sampai terbentuk imago.

Lama stadium nimfa dapat dipengaruhi oleh umur buah lada yang menjadi

makanannya. Stadium nimfa berlangsung antara 26 hari sampai 33 hari pada buah

lada umur 4.5 bulan sampai 6 bulan, sedangkan pada buah umur 6 bulan sampai 9

bulan antara 19 hari sampai 25 hari (Kalshoven 1981; Suprapto & Thomas 1989).

Imago berwarna hijau kecoklatan. Panjang tubuh antara 12.0 mm sampai

13.0 mm dan lebar 4.0 mm sampai 5.0 mm. Imago jantan dan betina dapat

dibedakan berdasarkan ukuran tubuh. Imago jantan lebih kecil dan ramping,

sedangkan imago betina lebih besar. Lama hidup imago kurang lebih 3 bulan.

Imago betina meletakkan telur pertama pada umur 14 hari dan selama hidupnya

(20)

sampai 18:00 (Kalshoven 1981). Tempat yang rimbun dan agak gelap lebih

disukai sebagai tempat peletakan telur (Karmawati 1988).

Kepik pengisap buah lada D. piperis selalu dijumpai sepanjang tahun pada

tanaman lada. Namun demikian, populasinya bergantung pada musim buah.

Populasi D. piperis paling tinggi pada bulan Juni dan Nopember, sedangkan populasi rendah terjadi pada bulan Juli sampai September karena buah telah

dipanen (Karmawati 1988; Deciyanto 1991). Setiap fase perkembangan D. piperis

dapat dijumpai secara bersamaan di lapangan dan menyebar pada tajuk tanaman.

Parasitoid Anastatus dasyni Ferr.

Fase perkembangan A. dasyni pada telur D. piperis diuraikan oleh Trisawa

(2005) sebagai berikut: telur berbentuk lonjong, berwarna putih kotor, berukuran

panjang 0.38 mm dan lebar 0.16 mm. Larva berwarna putih kekuningan. Larva

instar awal berukuran panjang 0.57 mm dan lebar 0.21 mm, sedangkan larva instar

lanjut berukuran panjang 1.06 mm dan lebar 0.47 mm. Prapupa berwarna putih

kekuningan dan lebih gelap dibandingkan warna larva. Panjang prapupa awal

1.06 mm dan lebar 0.46 mm, sedangkan satu hari menjelang pupa panjangnya

1.12 mm dan lebar 0.48 mm. Pupa yang baru terbentuk berwarna putih

kecoklatan. Bagian tubuh seperti mata, tungkai, antena, sayap, ruas abdomen

sudah terbentuk dan terlihat jelas. Pupa kemudian berubah warna menjadi

kehitaman dan organ tubuh sudah terbentuk lengkap. Panjang pupa 1.49 mm dan

lebar 0.52 mm. Di sekitar kepala terdapat selubung warna coklat muda.

Perkembangan pradewasa A. dasyni mulai dari telur sampai pupa berlangsung di

dalam telur inang. Waktu yang dibutuhkan mulai telur diletakkan sampai imago

keluar adalah 15.57 hari.

Imago A. dasyni keluar dengan cara merobek korion telur D. piperis. Imago keluar mulai hari ke 13 sampai ke 18 setelah telur diletakkan. Imago

jantan dan betina berwarna hitam dan mudah dibedakan, terutama dari ukuran

tubuh. Imago betina lebih besar dibandingkan jantan. Di samping itu venasi

sayap imago betina berwarna coklat muda sedangkan imago jantan transparan.

Satu ekor imago betina A. dasyni mampu menghasilkan keturunan antara 60 ekor

sampai 136 ekor. Berdasarkan pengamatan perilaku kopulasi, imago betina

(21)

sudah kopulasi akan menolak kehadiran jantan. Kopulasi berlangsung sangat

singkat, sekitar 2 detik sampai 3 detik.

Imago betina dapat hidup selama 1 bulan (Deciyanto et al. 2000; Trisawa

et al. 2007). Pemberian madu dapat memperpanjang lama hidup parasitoid A. dasyni di laboratorium (Deciyanto & Wikardi 1989; Trisawa et al. 2007). Menurut Mendel et al. (1987), pemberian madu dapat meningkatkan lama hidup

parasitoid Anastatus seperti juga yang terjadi pada A. semiflavidus (Hymenoptera:

Eupelmidae). Pada kasus parasitoid yang lain, Schmale et al. (2001) melaporkan

bahwa parasitoid Dinarmus basalis (Hymenoptera: Pteromalidae) yang diberi

pakan madu, meningkat lama hidupnya tiga kali lipat.

Preferensi, Umur Inang dan Nisbah Kelamin Parasitoid

Preferensi parasitoid terhadap inang menunjukkan suatu kemampuan

parasitoid dalam membedakan antara inang yang sesuai untuk oviposisi dan yang

tidak. Hal ini menunjukkan terjadinya diskriminasi terhadap inang. Perilaku

seperti ini merupakan ciri keefektifan parasitoid dalam menekan kepadatan inang

(van Lenteren et al. 1978; van Alphen & Jervis 1997).

Preferensi parasitoid terhadap inang dipengaruhi oleh beberapa faktor, di

antaranya adalah umur inang. Pada parasitoid telur, umur inang sangat penting

bagi perkembangan pradewasa parasitoid karena embriogenesis pada inang

berpengaruh terhadap nutrisi. Kualitas nutrisi inang akan semakin turun seiring

dengan meningkatnya umur inang (Vinson 1994). Di samping berpengaruh

terhadap perkembangan embrio, umur inang yang meningkat juga akan

menyebabkan kulit inang semakin keras sehingga mempersulit parasitoid untuk

melakukan oviposisi (Gross 1993).

Contoh dari pengaruh umur inang terhadap pilihan parasitoid dalam

meletakkan telurnya ditunjukkan oleh parasitoid A. dasyni. Parasitoid tersebut

lebih memilih telur D. piperis umur ≤ 3 hari dibandingkan umur telur yang lebih

tua untuk peletakan telurnya. Hal ini karena pada umur yang lebih tua, bakal

nimfa D. piperis sudah terbentuk (Trisawa et al. 2007). Selama masa pradewasa,

parasitoid menggunakan nutrisi inang untuk perkembangannya. Nutrisi inang

yang sesuai akan menghasilkan imago parasitoid yang lebih bugar (Mackauer &

(22)

Pada inang yang sudah dipilih, parasitoid akan meletakkan telur pada

inang tersebut untuk jenis kelamin tertentu dari keturunanannya. Dalam alokasi

jenis kelamin keturunan, faktor yang mempengaruhi adalah umur dan ukuran

inang, jumlah perkawinan, faktor lingkungan yaitu temperatur dan kelembapan

(Colazza & Wajnberg 1998; Gordh et al. 1999).

Betina parasitoid akan mengalokasikan jenis kelamin betina pada ukuran

inang yang relatif lebih besar dan jenis kelamin jantan pada inang yang relatif

lebih kecil (Charnov et al. 1981; Lee 2009). Sebagai contoh, parasitoid Syngaster

lepidus (Hymenoptera: Braconidae) mengalokasikan 80% keturunan betina pada inangnya yaitu larva Phoracantha spp. yang berukuran besar, sedangkan pada

inang yang berukuran kecil mengalokasikan keturunan jantan. Ukuran parasitoid

yang dihasilkan juga meningkat dengan meningkatnya ukuran inang (Joyce et al.

2002).

Neraca Hayati

Perkembangan populasi serangga dapat dipelajari dengan menyusun

neraca hayati. Neraca hayati menunjukkan perkembangan kehidupan serangga

yang memberikan informasi mengenai kelahiran dan kematian, serta peluang

untuk berkembangbiak (Tarumingkeng 1994; Price 1997). Potensi

perkembangbiakan serangga penting untuk diketahui, misalnya untuk meramalkan

kenaikan populasinya pada waktu tertentu dan dampak yang mungkin

ditimbulkannya pada tanaman (Waters 1969; Royama 1981).

Dari neraca hayati dapat dibuat kurva kesintasan (survivorship curve)

populasi serangga yang diamati. Kurva tersebut akan menggambarkan pola

bertahan hidup serangga. Menurut Price (1997) terdapat tiga pola bertahan hidup,

yaitu tipe I yang menunjukkan kematian serangga pada umur muda dalam jumlah

sedikit dan kematian serangga pada umur yang lebih tua dalam jumlah banyak;

tipe II yang menunjukkan laju kematian konstan; dan tipe III yang menunjukkan

kematian serangga pada umur muda dalam jumlah banyak.

Dari neraca hayati juga dapat dihitung beberapa statistik demografi yaitu

laju reproduksi bersih (Ro), waktu satu generasi (T), laju pertambahan intrinsik

(23)

Laju reproduksi bersih (Ro) adalah jumlah keturunan betina yang berhasil

menjadi imago, atau kelipatan populasi per generasi. Suatu populasi dikatakan

stabil bila Ro = 1, populasi bertambah bila Ro > 1, dan populasi berkurang bila Ro

< 1. Bila Ro suatu spesies diketahui maka waktu satu generasi (T) dan laju

pertambahan intrinsik (r) dapat dihitung (Price 1997). Waktu satu generasi (T)

adalah waktu yang dibutuhkan sejak telur tersebut diletakkan sampai imago yang

berasal dari telur tersebut menghasilkan separuh keturunannya, sedangkan laju

pertambahan intrinsik (r) adalah laju pertambahan populasi pada keadaan

sumberdaya tak terbatas. Bila nilai r diketahui maka laju pertambahan terbatas (λ)

yang merupakan kelipatan populasi per satuan waktu juga dapat diketahui (Price

1997; Carey 1993).

Laju pertambahan intrinsik (r) merupakan statistik demografi yang paling

handal untuk mengukur potensi musuh alami karena di dalamnya telah

mempertimbangkan masa hidup, keperidian, sintasan, dan nisbah kelamin (Carey

1993). Nilai r merupakan salah satu kriteria yang penting untuk mengevaluasi

keefektifan atau potensi agens pengendalian hayati (Lee & Ahn 2000), serta dapat

digunakan untuk menduga potensi pertumbuhan populasi parasitoid tersebut

(Lysyk 2000). Makin tinggi persentase telur yang diletakkan pada kelompok

umur muda maka makin besar nilai laju pertambahan intrinsik (Birch 1948).

Dalam pertumbuhan populasi serangga maka nilai reproduksi (RVx) dan

persebaran umur stabil (px) juga merupakan ciri yang penting. Nilai reproduksi

adalah sumbangan relatif suatu individu serangga pada umur tertentu terhadap

populasi. Nilai reproduksi pada individu yang berumur muda lebih rendah

dibandingkan kelompok umur yang lebih tua. Namun demikian, nilai reproduksi

tertinggi akan terjadi pada umur individu tertentu kemudian nilai reproduksi

menurun sampai nol (pasca reproduksi) (Carey 1993).

Sebaran umur stabil dapat menunjukkan proporsi individu-individu yang

berumur tertentu dari populasi. Pertumbuhan populasi yang memiliki sebaran

umur stabil sepanjang waktu memiliki proporsi jumlah individu yang tidak

berubah, sehingga proporsi masing-masing kelompok umur akan relatif sama

(24)

Tanggap Fungsional

Tanggap fungsional menyatakan perubahan jumlah inang atau mangsa

yang diserang oleh individu parasitoid atau predator akibat perubahan kerapatan

populasi inang atau mangsa per satuan waktu. Tanggap ini penting dalam

interaksi antara inang atau mangsa dengan parasitoid atau predator (Hassel 2000).

Tanggap fungsional kemudian menjadi salah satu ukuran untuk

menentukan keefektifan suatu parasitoid atau predator dalam mengendalikan

populasi hama atau kemampuannya mengatur keseimbangan populasi hama.

Keefektifan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti karakteristik inang

atau mangsa dan persebarannya pada tanaman (Kumar et al. 1999; Yasuda &

Ishikawa 1999).

Jumlah inang atau mangsa yang diparasit atau dimangsa pada kerapatan

inang atau mangsa tertentu merupakan aspek penting untuk dipelajari, sehingga

diperoleh gambaran tentang kemampuan parasitoid atau predator dalam

menangani inang atau mangsanya (Pervez & Omkar 2005; Rahman et al. 2009).

Holling (1959) mengidentifikasi tiga macam tipe fungsional: (1) tipe I

(linear) yaitu proporsi inang terparasit bersifat konstan, sehingga hubungan antara

banyaknya inang yang terparasit dan kerapatan inang bersifat linear, (2) tipe II

(hiperbolik) yaitu proporsi inang yang terparasit menurun tajam dengan

bertambahnya kerapatan inang, dan (3) tipe III (sigmoid) yaitu proporsi inang

yang terparasit awalnya meningkat, tetapi kemudian secara berangsur menurun

dengan meningkatnya kerapatan inang.

Secara umum individu parasitoid biasanya akan memberikan tanggap

terhadap peningkatan kerapatan inang. Pengetahuan tentang tanggap fungsional

dapat digunakan untuk menapis musuh alami yang potensial dan memperkirakan

potensi pengendalian hayati (Parella & Horsburgh 1983; Houck & Strauss 1985).

Parameter penting dari tanggap fungsional adalah laju pencarian seketika (a) dan

masa penanganan inang (Th). Parasitoid yang potensial adalah yang memiliki

nilai a yang tinggi dan nilai Th yang rendah (Hassell 2000).

Tanggap fungsional dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti stadia

mangsa, fase pertumbuhan tanaman, cuaca, kehadiran mangsa alternatif, dan

(25)

mempengaruhi laju pencarian mangsa dan lama predator menetap (Messina &

Hanks 1998; O’Neil 1998).

Pembiakan Massal dan Pelepasan Parasitoid

Parasitoid yang sudah ada di lapangan suatu saat populasinya dapat

rendah, tidak ada, atau terlambat kehadirannya sehingga perlu dilepas parasitoid

hasil pembiakan di laboratorium. Proses ini disebut augmentasi. Augmentasi

dilakukan dalam dua tipe, yaitu (1) inokulasi, yaitu pelepasan musuh alami dalam

jumlah yang sedikit sebagai inokulan dan pengendalian hama terjadi oleh generasi

musuh alami berikutnya, dan (2) inundasi, yaitu musuh alami dilepas dalam

jumlah yang lebih banyak dan terjadi pengendalian langsung oleh musuh alami

tersebut (van Driesche & Bellows 1996).

Augmentasi musuh alami banyak dilakukan untuk mengendalikan hama

tanaman dengan hasil yang cukup memuaskan (Wright et al. 2001; Head &

Walters 2002; Mills 2002). Di Indonesia, contoh augmentasi inundatif adalah

pelepasan parasitoid Trichogramma spp. untuk mengendalikan penggerek batang

tebu, sedangkan untuk augmentasi inokulatif yang dilepas adalah parasitoid

Diatraeophaga striatalis (Sosromarsono 1999).

Dalam pembiakan massal parasitoid digunakan inang alternatif. Dalam

pemilihan inang alternatif perlu dipertimbangkan kemudahan dalam pembiakan,

biaya murah, dan kesesuaian inang sehingga teknik pengendalian hayati yang

dikembangkan memang layak dilakukan. Inang alternatif yang demikian dikenal

dengan istilah factitious host (van Lenteren 1989; van Driesche & Bellows 1996).

Kesesuaian inang dapat diukur dari reproduksi parasitoid dan nisbah kelamin

betina yang tinggi (Godfray 1994).

Dalam pembiakan parasitoid sering diperoleh jumlah inang alternatif yang

melebihi kebutuhan. Kelebihan inang tersebut dapat diawetkan dengan

menyimpannya pada suhu dingin dalam jangka waktu tertentu. Sebagai contoh,

Tengkano (2000) menyatakan bahwa telur Riptortus linearis dapat diawetkan di

lemari es pada temperatur -2oC selama 34 hari. Telur yang diawetkan tersebut dapat digunakan untuk pembiakan massal parasitoid Ooencyrtus sp. untuk

(26)

Pemanfaatan Bunga Vegetasi Liar untuk Parasitoid

Berbagai cara dapat dilakukan untuk meningkatkan peran parasitoid di

lapangan. Manipulasi lingkungan yang bertujuan mengonservasi musuh alami

merupakan salah satu upaya mempertahankan dan melestarikan musuh alami yang

sudah ada di suatu tempat atau ekosistem dan membuatnya lebih efektif dalam

fungsinya (van Driesche & Bellows 1996). Manipulasi lingkungan dapat

dilakukan dengan menanam atau mengelola vegetasi penghasil nektar dan polen

di sekitar tanaman utama (van Driesche & Bellows 1996; Landis et al. 2000).

Nektar merupakan sumber pakan bagi parasitoid betina yang dapat meningkatkan

reproduksi parasitoid (Jervis et al. 1996; Lewis et al. 1998; Corteserro et al.

2000).

Manfaat vegetasi berbunga bagi parasitoid dikemukakan oleh Baggen dan

Gurr (1998). Bunga saba (Fagopyrum esculentum) mampu meningkatkan

keperidian Copidosoma koehleri (Hymenoptera: Encyrtidae), yang merupakan parasitoid telur Phthorimaea operculella (Lepidoptera: Gelechiidae). Di samping

itu, Idris dan Grafius (1995) menyatakan bahwa vegetasi berbunga seperti

beberapa anggota famili Brasicaceae mampu meningkatkan lama hidup dan

keperidian parasitoid Diadegma insulare (Hymenotera: Ichneumonidae).

Pemanfaatan vegetasi berbunga yang mampu meningkatkan keperidian

parasitoid betina dapat dipahami dari segi keseimbangan antara inang dan

kebutuhan pakan. Hal tersebut sangat penting dalam pengendalian hayati (Lewis

et al. 1998). Parasitoid yang mendapatkan pakan cukup akan meletakkan telur lebih banyak dibandingkan parasitoid yang lapar (Takasu & Lewis 1993). Hasil

penelitian Stapel et al. (1997) menunjukkan bahwa persentase parasitisasi

Microplitis croceipes (Hymenoptera: Braconidae) pada larva Helicoverpa zea (Lepidoptera: Noctuidae) lebih tinggi pada parasitoid betina yang kenyang

dibandingkan yang lapar. Pakan tambahan berupa nektar atau embun madu

merupakan faktor penting dalam meningkatkan daya bertahan hidup parasitoid, di

samping untuk produksi telur (Sosromarsono 2002).

Vegetasi berbunga perlu mudah didapat oleh parasitoid, karena parasitoid

dapat pergi ke tempat lain jika tidak ada pakan di sekitar tempat hidupnya. Jika

(27)

menjadi berkurang (Baggen & Gurr 1998). Oleh karena itu, sangat penting jika

keberadaan sumber pakan dekat dengan lokasi inang (Lewis et al. 1998). Di

samping itu, perlu diperhatikan bentuk bunga yang mudah dimanfaatkan oleh

parasitoid. Sebagai contoh, diameter mahkota bunga yang terbuka berpengaruh

positif terhadap lama hidup dan keperidian parasitoid D. insulare (Idris & Grafius

1995). Warna bunga juga menarik perhatian parasitoid. Menurut Kartosuwondo

(1993), bunga Nasturtium yang berwarna kuning cerah menarik perhatian imago

D. semiclausum. Parasitoid tersebut menurut Keller dan Baker (2002) juga tertarik pada bunga alyssum (Lobularia maritima) dan pakchoi (Brassica

campestris).

Pada pertanaman lada dianjurkan untuk menanam tanaman penutup

tanah Arachis pintoi yang berbunga terus menerus. Tanaman A. pintoi dapat meningkatkan parasitisasi parasitoid (Suprapto 2000, Trisawa et al. 2006).

Tingkat parasitisasi Spathius piperis (Hymenoptera: Braconidae) pada larva

penggerek batang lada Lophobaris piperis (Coleoptera: Curculionidae) berkisar

antara 25.0% sampai 50% pada tanaman lada dengan A. pintoi, sedangkan tanpa

A. pintoi hanya 5.2% sampai 10,8% (Suprapto 2000). Penanaman tanaman A. pintoi juga dapat meningkatkan parasitisasi total parasitoid telur D. piperis. Hasil survei Trisawa (2005) pada pertanaman lada di Bangka

menunjukkan bahwa tingkat parasitisasi tersebut mencapai 70.0%.

Beberapa jenis tumbuhan lain penghasil nektar untuk meningkatkan

populasi dan tingkat parasitisasi parasitoid pada tanaman lada adalah kopi (Coffea

arabica), sentrosema (Centrocema sp.), kalopogonium (Callopogonium sp.), kumis kucing (Orthosiphon aristatus), dan babadotan (Ageratum conyzoides)

(Suprapto & Yufdy 1988). Tingkat parasitisasi oleh kompleks parasitoid telur

(28)

KESESUAIAN TELUR KEPIK KEDELAI UNTUK

PEMBIAKAN MASSAL

Anastatus dasyni

FERR.

(HYMENOPTERA: EUPELMIDAE), PARASITOID TELUR

KEPIK LADA

[Suitability of soybean bug eggs for mass rearing of Anastatus dasyni Ferr. (Hymenoptera: Eupelmidae), an egg parasitoid of pepper bug]

Abstrak

Penelitian bertujuan mengkaji kesesuaian telur kepik kedelai Riptortus linearis dan Nezara viridula sebagai inang untuk pembiakan massal parasitoid A. dasyni. Imago parasitoid A. dasyni yang berasal dari lapangan dipelihara secara terpisah pada telur dari kedua jenis kepik kedelai. Pengamatan dilakukan terhadap biologi A. dasyni yang meliputi masa perkembangan pradewasa dan berbagai karakteristik kehidupan imago betina. Selain itu, dilakukan analisis neraca hayati dengan menggabungkan data perkembangan dan sintasan pradewasa, masa hidup imago dan reproduksi, serta nisbah kelamin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masa perkembangan larva dan pupa A. dasyni pada telur N. viridula lebih singkat serta laju peneluran lebih tinggi dibandingkan pada telur R. linearis. Namun imago betina A. dasyni yang keluar dari telur N. viridula hanya 1.81%, sedangkan dari telur R. linearis sebanyak 70.20%. Oleh karena itu, parameter neraca hayati hanya dapat dihitung dari parasitoid yang dipelihara pada telur R. linearis. Laju pertambahan intrinsik parasitoid (r) 0.1870 betina/induk/hari, masa generasi (T) 27.51 hari, reproduksi bersih (Ro) 84.29 betina/induk/generasi; laju pertambahan terbatas (λ) 1.21 betina/induk/hari dan nilai reproduksi (RVx) 402.51 individu. Proporsi persebaran usia stabil (px) adalah 17.06% telur, 50.41% larva, 26.53% pupa, dan 6.02% imago. Telur kepik kedelai R. linearis dapat digunakan untuk pembiakan massal A. dasyni.

Kata kunci: Anastatus dasyni, Dasynus piperis, Riptortus linearis, Nezara viridula, parasitoid, pembiakan massal

Abstract

(29)

demographic statistics were only estimated for the parasitoid reared in R. linearis egg. The intrinsic rate of increase (r) was 0.1870 female/mother/days, the mean generation time (T) 27.51 days, the net reproductive rate (Ro) 84.29 female/ mother/generation, the finite rate of increase (λ) 1.21 female/mother/days, and the reproductive value (RVx) 402.51 individual. The stable stage distribution (px) was 17.06% egg, 50.41% larvae, 26.53% pupae, and 6.02% adult. R. linearis egg was the best alternative host to be used for mass rearing of A. dasyni.

Key words: Anastatus dasyni, Dasynus piperis, Riptortus linearis, Nezara viridula, parasitoid, mass rearing

Pendahuluan

Parasitoid Anastatus dasyni Ferr. (Hymenoptera: Eupelmidae) memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai agens pengendalian hayati hama kepik

pengisap buah lada Dasynus piperis China (Hemiptera: Coreidae), karena tingkat

parasitisasinya di lapangan dapat mencapai 84% (Deciyanto et al. 1993; Trisawa

et al. 2007). Pemanfaatan A. dasyni sebagai agens hayati yang efektif perlu diteliti dan dikembangkan lebih lanjut. Salah satunya adalah upaya

pengembangbiakan massal parasitoid ini pada inang alternatif. Hal ini penting

karena populasi parasitoid secara umum di lapangan sering terlambat

kehadirannya (van Driesche & Bellows 1996), sehingga perlu ditambah atau

dilepas dengan parasitoid hasil pembiakan di laboratorium. Pelepasan parasitoid

telah banyak dilakukan untuk mengendalikan hama tanaman dengan hasil yang

cukup memuaskan (Wright et al. 2001; Head & Walters 2002; Mills 2002).

Parasitoid A. dasyni diketahui memiliki beberapa inang selain telur D. piperis yaitu telur Riptortus linearis Fabr. (Hemiptera: Alydidae), Nezara

viridula Linn. (Hemiptera: Pentatomidae), dan Physomerus grossipes Fabr. (Hemiptera: Coreidae) (Kalshoven, 1981). Telur-telur tersebut dapat digunakan

sebagai inang alternatif untuk pembiakan A. dasyni. Namun demikian, dalam

pemilihan inang alternatif perlu dipertimbangkan kemudahan dalam pembiakan,

biaya murah, dan kesesuaian inang sehingga teknik pengendalian hayati yang

dikembangkan memang layak dilakukan (van Lenteren 1989; van Driesche &

Bellows 1996).

Kesesuaian inang alternatif dapat diukur berdasarkan beberapa ciri biologi,

di antaranya adalah reproduksi parasitoid. Reproduksi parasitoid yang tinggi

(30)

Reproduksi tersebut tidak hanya terbatas pada besarnya populasi, melainkan juga

terjadi dalam komposisi jenis kelamin dan kelompok umur.

Perubahan populasi parasitoid dapat disusun dalam neraca hayati. Dari

neraca hayati dapat dihitung beberapa statistik demografi (Birch 1948; Zeng et al.

1993; Carey 1993). Salah satu statistik demografi yang paling handal untuk

mengukur potensi musuh alami adalah laju pertambahan intrinsik (r), karena di

dalamnya telah mempertimbangkan karakteristik kehidupan serangga seperti masa

hidup, keperidian, sintasan, dan nisbah kelamin (Carey 1993). Nilai r merupakan

salah satu kriteria yang penting untuk mengevaluasi keefektifan atau potensi dari

agens pengendalian hayati (Lee & Ahn 2000), serta dapat digunakan untuk

menduga potensi pertumbuhan populasi parasitoid tersebut (Lysyk 2000).

Penelitian ini bertujuan mengkaji kesesuaian telur kepik kedelai R. linearis

dan N. viridula sebagai inang untuk pembiakan massal parasitoid A. dasyni. Kesesuaian diukur berdasarkan masa perkembangan pradewasa dan berbagai

karakteristik kehidupan imago betina A. dasyni serta neraca hayati yang meliputi reproduksi bersih (Ro), masa generasi (T), laju pertambahan intrinsik (r),

laju pertambahan terbatas (λ), nilai reproduksi (RVx) dan sebaran umur stabil

(px).

Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan dari bulan Mei 2008 sampai dengan Februari 2009 di

laboratorium hama Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Bogor, serta

rumah kaca Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung.

Pembiakan R. linearis dan N. viridula

Imago R. linearis dan N. viridula asal pertanaman kedelai masing-masing dipelihara dalam kurungan kain kasa yang berukuran panjang 35 cm, lebar 35

cm, dan tinggi 75 cm di laboratorium. Serangga diberi pakan kacang panjang

yang digantungkan pada kawat di bagian atas kurungan. Pakan diganti setiap 2

hari sekali. Untaian kain wol digantungkan di dalam kurungan sebagai tempat

(31)

Pemeliharaan D. piperis dan Pembiakan A. dasyni

Imago D. piperis asal pertanaman lada dipelihara pada bibit lada dalam pot

dan dikurung dengan plastik milar bergaris tengah 18 cm dan tinggi 40 cm serta

kurungan kayu berdinding kain kasa berukuran panjang 75 cm, lebar dan tinggi

masing-masing 50 cm. Kurungan ditempatkan di rumah kaca. Serangga diberi

pakan buah lada yang digantungkan pada kawat di bagian atas kurungan atau

dilekatkan pada bibit lada. Buah lada diganti setiap 2 hari sekali. Telur yang

diperoleh digunakan untuk pembiakan dan penelitian.

Telur D. p.iperis asal pertanaman lada dipelihara dalam tabung reaksi bergaris tengah 1.5 cm, panjang 18.0 cm di laboratorium. Tabung reaksi ditutup

dengan kapas yang dibungkus kain kasa. Parasitoid A. dasyni yang diperoleh

digunakan untuk pembiakan.

Sepasang A. dasyni yang baru keluar dari telur D. piperis dipelihara dalam

tabung reaksi bergaris tengah 1.5 cm, panjang 18.0 cm dan diberi pakan madu

10%. Setelah imago berumur 2 hari, ke dalam tabung reaksi dimasukkan 10 telur

D. piperis umur 2 hari yang diperoleh dari hasil pemeliharaan imago D. piperis. Telur D. piperis dilekatkan dengan lem kertas cair pada kertas karton (pias) ukuran 1.0 cm x 5.0 cm. Pias telur diambil setelah 24 jam dan diganti dengan pias

telur yang baru. Pias telur yang diambil dimasukkan ke dalam tabung reaksi

bergaris tengah 1.5 cm dan panjang 18.0 cm, kemudian diamati sampai parasitoid

keluar. Parasitoid A. dasyni yang diperoleh digunakan untuk penelitian.

Perkembangan Pradewasa Parasitoid pada Telur Kepik Kedelai

Setiap 10 butir telur R. linearis dan N. viridula umur dua hari, masing-masing secara terpisah dilekatkan dengan lem kertas cair pada pias. Pias telur

dimasukkan ke dalam tabung reaksi bergaris tengah 1.5 cm dan panjang 18.0 cm

yang berisi sepasang A. dasyni umur 2 hari asal telur D. piperis. Parasitoid diberi

pakan madu 10%. Tabung reaksi ditutup dengan kapas yang dibungkus kain kasa.

Pias telur dikeluarkan setelah 24 jam dan diganti dengan pias telur yang baru.

Pias telur yang diambil dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang lain. Kegiatan

tersebut diulang pada 10 pasang parasitoid A. dasyni. Setiap hari sebanyak 20

telur yang diparasit dibedah untuk diperiksa perkembangan pradewasa A. dasyni.

(32)

perkembangan pradewasa dihitung dengan menjumlahkan umur fase telur, larva,

dan pupa.

Reproduksi Parasitoid pada Telur Kepik Kedelai

Telur R. linearis dan N. viridula umur 2 hari sebanyak 10 butir pada pias, secara terpisah dimasukkan ke dalam tabung reaksi bergaris tengah 1.5 cm dan

panjang 18.0 cm yang berisi sepasang A. dasyni umur 2 hari asal telur D. piperis.

Parasitoid diberi pakan madu 10%. Tabung reaksi ditutup dengan kapas yang

dibungkus kain kasa. Pias telur dikeluarkan setelah 24 jam dan diganti dengan

pias telur yang baru. Pias telur yang diambil dimasukkan ke dalam tabung reaksi

yang lain dan diamati sampai keluar imago A. dasyni.

Pada kegiatan ini, dari telur N. viridula tidak diperoleh imago A. dasyni

betina sehingga tidak dapat dilanjutkan terhadap sintasan imago betina A. dasyni.

Namun demikian untuk melihat perilaku peletakan telur, 20 imago betina yang

muncul dari telur R. linearis diberi perlakuan telur R. linearis dan 20 imago betina

yang lain diberi telur N. viridula.

Setiap satu pasang imago A. dasyni yang baru keluar dari telur

R. linearis dimasukkan ke dalam tabung reaksi bergaris tengah 1.5 cm dan panjang 18.0 cm serta diberi pakan madu 10%. Ke dalam tabung reaksi

kemudian dimasukkan pias berisi 10 telur masing-masing inang alternatif umur 2

hari. Tabung reaksi ditutup dengan kapas yang dibungkus kain kasa. Pias telur

dikeluarkan setelah 24 jam dan diganti dengan pias telur yang baru. Pias telur

yang diambil diamati setiap hari sampai imago A. dasyni keluar. Kegiatan tersebut dilakukan setiap hari sampai parasitoid betina mati (untuk penghitungan

masa hidup). Ditentukan pula masa praoviposisi, oviposisi, dan pasca oviposisi

berdasarkan imago A. dasyni yang muncul dari inang yang diparasit. Keperidian

dihitung dengan menjumlahkan semua telur yang diletakkan oleh seekor betina

selama hidupnya. Mengingat bahwa A. dasyni adalah parasitoid soliter, maka

jumlah imago yang keluar dari inang menunjukkan jumlah telur yang diletakkan.

Banyaknya imago yang muncul dan jenis kelaminnya dicatat untuk menentukan

nisbah kelamin. Nisbah kelamin dinyatakan dalam persentase betina. Telur inang

(33)

Analisis Data

Data perkembangan pradewasa dan karakteristik kehidupan imago

A. dasyni dianalisis menggunakan uji-t pada α = 0.05. Statistik demografi A. dasyni dihitung menurut Carey (1993) dan Lysyk (2000) sebagai berikut: Laju reproduksi bersih:

Ro = ∑ lxmx

Rataan masa generasi:

T = ∑xlxmx/∑lxmx

Laju pertambahan intrinsik:

r = Σ lxmxe-rx = 1

Laju pertambahan terbatas:

λ = er Nilai reproduksi:

RVx = (erx/lx) . (Σ e–ry lymy ), y = x

Sebaran umur stabil:

px =100β lx e-r(x+1) dan 1/β = Σ lx e-r(x+1), β = laju kelahiran terbatas

dengan x = kelas umur parasitoid betina, lx = proporsi parasitoid betina

yang hidup pada kisaran umur x, dan mx = jumlah keturunan betina pada

umur x.

Hasil dan Pembahasan

Perbandingan Parameter Hayati Parasitoid pada Dua Jenis Inang

Perbedaan jenis inang alternatif berpengaruh nyata terhadap masa

perkembangan larva dan pupa parasitoid. Dari perkembangan pradewasa pada

telur R. linearis diperoleh imago A. dasyni jantan dan betina, sedangkan dari telur N. viridula hanya jantan. Keturunan betina pada telur N. viridula diperoleh saat imago A. dasyni asal telur R. linearis dibiakkan pada telur N. viridula,

meskipun jumlahnya sangat sedikit yaitu hanya 1.81% dan berbeda nyata dengan

(34)

Tabel 3.1 Karakteristik perkembangan pradewasa dan kehidupan imago betina - Masa pasca oviposisi (hari) - Laju peneluran (butir/hari)

Perkembangan pradewasa A. dasyni berlangsung di dalam inang dan

waktu yang dibutuhkan untuk setiap fase menunjukkan kemampuan berkembang

dalam kondisi nutrisi inang yang tersedia. Waktu perkembangan larva dan pupa

yang berbeda dapat disebabkan oleh kandungan nutrisi dari ukuran inang yang

berbeda. Ukuran telur R. linearis lebih besar dibandingkan telur N. viridula, sehingga nutrisi yang tersedia pada telur R. linearis dapat dimaksimalkan oleh larva dan pupa untuk perkembangannya. Nutrisi inang memang menjadi salah

satu faktor yang mempengaruhi perkembangan pradewasa parasitoid (Vinson

1984; Beckage 1985; Godfray 1994). Kondisi ini juga yang menyebabkan waktu

perkembangan pradewasa yang menjadi imago A. dasyni pada kedua inang

alternatif tersebut berbeda.

Dari kedua jenis inang alternatif, secara umum imago jantan muncul satu

hari lebih cepat dibandingkan betina. Kemunculan jantan yang lebih awal

tersebut diduga berkaitan dengan strategi perkawinan. Jantan yang sudah siap

kawin akan menunggu betina muncul kemudian terjadi kopulasi. Betina hanya

melakukan 1 kali kopulasi selama hidupnya. Betina yang sudah berkopulasi akan

menolak kehadiran jantan. Jika betina A. dasyni yang muncul lebih dahulu dan

tidak menemukan jantan, maka betina akan cenderung menolak kopulasi terutama

(35)

A. dasyni karena telur yang tidak dibuahi (tidak terjadi kopulasi) berkembang menjadi jantan, sedangkan yang dibuahi menjadi imago betina. Reproduksi

parasitoid seperti ini (van Driesche & Bellows 1996) termasuk ke dalam tipe

arenotoki. Oleh karena itu, kemunculan jantan lebih awal merupakan salah satu

strategi yang penting untuk berlangsungnya kopulasi (Godfray 1994; Colazza &

Wajnberg 1998).

Betina A. dasyni yang muncul dari telur R. linearis memiliki kemampuan

reproduksi yang tidak berbeda pada kedua jenis inang alternatif. Perbedaan hanya

terjadi pada alokasi jenis kelamin keturunan. Pada telur R. linearis, betina

A. dasyni akan meletakkan 70.20% keturunannya berkelamin betina, sedangkan

pada telur N. viridula hampir 100% jantan. Di samping berpengaruh terhadap

perkembangan pradewasa, ukuran inang juga menjadi faktor yang mempengaruhi

perilaku peletakan telur parasitoid. Parasitoid A. dasyni akan meletakkan keturunan jantan sebanyak-banyaknya pada inang yang berukuran kecil karena

inang dinilai kurang cocok untuk perkembangan betina. Proporsi keturunan

berkelamin jantan akan lebih banyak dibandingkan betina pada inang yang lebih

kecil (Gauld & Fitton 1987; Heinz & Parella 1990; Joyce et al. 2002).

Nisbah kelamin A. dasyni yang diperoleh pada dua jenis inang alternatif,

juga sesuai dengan teori Charnov et al. (1981) yang memprediksi bahwa

parasitoid betina akan meletakkan jantan pada inang yang kecil dan betina pada

inang yang lebih besar. Namun demikian, teori ini tidak mutlak karena parasitoid

dapat menghasilkan keturunan berkelamin jantan dan betina, baik pada inang yang

berukuran besar maupun kecil. Hanya saja terjadi perbedaan di dalam nisbah

kelamin. Hal ini terbukti dari kemunculan betina A. dasyni pada telur

N. viridula. Kemunculan betina tersebut kemungkinan terjadi pada telur N. viridula yang memiliki ukuran lebih besar di antara telur yang disediakan. Telur N. viridula memiliki ukuran panjang berkisar antara 0.98 mm sampai 0.99

mm dan lebar antara 0.81 mm sampai 0.83 mm.

Keturunan jantan yang lebih banyak dalam pembiakan massal parasitoid

tidak dikehendaki karena kegiatan pemarasitan inang hanya dilakukan oleh

parasitoid betina (Heinz 1998). Hasil penelitian memperlihatkan bahwa parasitoid

(36)

adalah betina. Dengan demikian inang alternatif tersebut sesuai untuk pembiakan

massal A. dasyni.

Imago betina A. dasyni asal telur R. linearis yang diberi inang berbeda

tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap lama hidup. Lama hidup,

sebagaimana yang dikemukakan oleh Trisawa et al. (2007) dipengaruhi oleh

ketersediaan pakan. Madu merupakan faktor penting bagi kelangsungan hidup

dan reproduksi A. dasyni. Keberadaan inang hanya dapat memberikan kesempatan

kepada imago betina A. dasyni untuk menunjukkan potensi bertelurnya.

Masa praoviposisi, oviposisi, dan pasca oviposisi relatif lebih cepat pada

betina A. dasyni yang diberi telur N. viridula dibandingkan yang diberi telur

R. linearis. Hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh spesies inang yang secara tidak langsung mempengaruhi fisiologi parasitoid (van Alphen & Jervis 1997;

Corteserro et al. 2000).

Satu ekor betina A. dasyni mampu menghasilkan keturunan rata-rata

sebesar 122.72 ± 11.43 ekor pada telur R. linearis, dan 129.85 ± 15.15 ekor pada

telur N. viridula. Data tersebut berdasarkan jumlah imago parasitoid baik yang keluar maupun yang gagal keluar dari setiap telur inang yang diparasit. Parasitoid

yang gagal keluar sangat rendah, hanya 0.52% pada telur R. linearis dan 1.13%

pada telur N. viridula. Mengingat bahwa A. dasyni merupakan parasitoid soliter,

maka jumlah keturunan tersebut menunjukkan jumlah telur yang diletakkan

(keperidian). Keperidian ini menurut Trisawa et al. (2007) berada pada kisaran keperidian A. dasyni pada inang alami yaitu antara 60 sampai 136 butir.

Perbandingan Berbagai Dimensi Tubuh Parasitoid

Ukuran tubuh parasitoid betina dan jantan meningkat seiring

meningkatnya ukuran inang. Di samping itu, ukuran tubuh parasitoid betina

selalu lebih besar dibandingkan jantan pada kedua jenis inang alternatif.

Pengaruh jenis inang alternatif terhadap ukuran parasitoid menunjukkan bahwa

semua parameter ukuran parastoid betina asal telur R. linearis lebih panjang dan

lebih lebar dibandingkan betina asal telur N. viridula. Demikian pula dengan

parasitoid jantan yang berkembang pada telur R. linearis juga memiliki tubuh

yang lebih panjang dan lebar dibandingkan jantan yang berkembang pada inang

(37)

Tabel 3.2 Dimensi tubuh A. dasyni betina (x ± SD mm) yang dipelihara pada telur kepik kedelai

Inang Panjang

tubuh

Kepala Toraks Abdomen Sayap Panjang

antena

Panjang Lebar Panjang Lebar Panjang Lebar Panjang Lebar

R. linearis 2.23 ± 0.06 0.46 ± 0.04 0.62 ± 0.02 0.89 ± 0.07 0.53 ± 0.03 0.83 ± 0.02 0.50 ± 0.02 1.36 ± 0.04 0.49 ± 0.04 1.14 ± 0.02 N. viridula 1.73 ± 0.10 0.33 ± 0.02 0.50 ± 0.04 0.68 ± 0.07 0.40 ± 0.04 0.58 ± 0.08 0.35± 0.07 1.24 ± 0.05 0.40 ± 0.04 0.84 ± 0.06

t -19.58 -7.02 -11.02 -9.53 -12.03 -14.46 -8.59 -8.45 -7.70 -20.78

db 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19

P < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001

Tabel 3.3 Dimensi tubuh A. dasyni jantan (x ± SD mm) yang dipelihara pada telur kepik kedelai

Inang Panjang tubuh

Kepala Toraks Abdomen Sayap Panjang

antena

Panjang Lebar Panjang Lebar Panjang Lebar Panjang Lebar

R. linearis 1.58 ± 0.06 0.33 ± 0.02 0.45 ± 0.04 0.65 ± 0.03 0.38 ± 0.05 0.59 ± 0.02 0.37 ± 0.02 1.15 ± 0.07 0.57 ± 0.04 0.95 ± 0.01 N. viridula 1.46 ± 0.03 0.29 ± 0.03 0.42 ± 0.01 0.62 ± 0.04 0.33 ± 0.03 0.51 ± 0.05 0.27 ± 0.03 0.93 ± 0.10 0.46 ± 0.08 0.70 ± 0.05

t -8.47 -3.94 -2.82 -3.14 -4.16 -7.65 -13.47 -7.97 -4.94 -23.54

db 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19

(38)

Gambar 3.1 Perbandingan ukuran parasitoid A. dasyni betina dan jantan asal inang alternatif. Kiri: parasitoid asal telur N. viridula, kanan:

parasitoid asal telur R. linearis

Ukuran tubuh A. dasyni yang meningkat dapat dipengaruhi oleh sumber

energi yang dibawa saat fase larva sehingga dewasa yang besar akan memiliki

cadangan energi. Kondisi ini dapat menyebabkan imago betina memiliki peluang

hidup lebih lama dengan keperidian yang lebih tinggi. Betina yang berukuran

lebih kecil, kurang baik jika digunakan sebagai induk dalam pembiakan massal.

Ukuran tubuh betina yang kecil akan memiliki kebugaran yang rendah yang

berdampak pada rendahnya produksi telur (Rosenheim & Rosen 1991; Godfray

1994; van Alphen & Jervis 1997).

Sintasan dan Neraca Hayati A. dasyni pada Telur R. linearis

Sintasan dan neraca hayati parasitoid yang ditampilkan adalah A. dasyni

asal inang alami yang dibiakkan pada telur R. linearis karena dari sintasan

pradewasa pada telur N. viridula sebelumnya tidak menghasilkan imago betina.

Keberhasilan hidup setiap fase pradewasa mulai dari telur sampai pupa dapat

diukur dari imago yang berhasil keluar dari telur inang. Dengan demikian

(39)

pengamatan menunjukkan bahwa 100% telur R. linearis yang diparasit berhasil

mengeluarkan imago parasitoid.

Kesintasan imago betina A. dasyni pada inang R. linearis menunjukkan

bahwa proporsi imago yang masih hidup (lx) menurun mulai hari ke 27. Jumlah

keturunan betina yang diletakkan setiap hari (mx

0

Umur imago betina A. dasyni (hari)

Ba

) berfluktuasi. Puncak peneluran

A. dasyni terjadi pada individu yang berumur 21 hari atau imago betina yang berumur 6 hari (Gambar 3.2).

Gambar 3.2 Sintasan dan keperidian harian parasitoid A. dasyni pada telur R. linearis

Peneluran menurun seiring dengan meningkatnya umur betina parasitoid.

Hal tersebut berhubungan dengan umur fisiologis parasitoid. Semakin tua umur

parasitoid, semakin menurun keperidiannya. Parasitoid umumnya tidak

meletakkan telur antara 3 - 14 hari sebelum mati. Kematian yang terjadi pada

parasitoid umur tua menyebabkan kurva peluang hidup A. dasyni yang terbentuk

memperlihatkan pola tipe I sebagaimana yang dikemukakan oleh Price (1997).

Pola seperti ini terjadi pada serangga yang dipelihara di laboratorium karena

(40)

Neraca hayati A. dasyni yang dibiakkan pada telur R. linearis disajikan

pada Tabel 3.4. Nilai laju reproduksi bersih (Ro) menggambarkan rata-rata

jumlah keturunan betina yang dihasilkan oleh seekor induk parasitoid. Dengan

demikian, maka seekor imago betina A. dasyni dapat menghasilkan 84.29

betina/induk/generasi atau terjadi kelipatan populasi A. dasyni 84.29 kali dalam

setiap generasi. Parasitoid A. dasyni yang dibiakkan pada telur R. linearis memiliki rata-rata waktu satu generasi (T) 27.51 hari. Waktu tersebut

menunjukkan waktu yang dibutuhkan sejak telur diletakkan sampai imago yang

berasal dari telur tersebut menghasilkan separuh keturunannya. Nilai laju

pertambahan intrinsik (r) adalah 0.1870 betina/induk/hari dengan nilai laju

pertambahan terbatas (λ) adalah 1.21 betina/induk/hari. Nilai ini menunjukkan

besarnya kelipatan populasi A. dasyni per hari.

Tabel 3.4 Berbagai statistik neraca hayati A. dasyni

Statistik Nilai Satuan

Laju reproduksi bersih (Ro) 84.29 Betina/induk/generasi

Rataan masa generasi (T) 27.51 Hari

Laju pertambahan intrinsik (r) 0.1870 Betina/induk/hari

Laju pertambahan terbatas (λ) 1.21 Betina/induk/hari

Hasil perhitungan nilai reproduksi (RVx) parasitoid A. dasyni pada telur

R. linearis 402.51 individu. Nilai reproduksi meningkat pada awal reproduksi sampai puncaknya pada individu parasitoid yang berumur 19 hari atau imago

umur 4 hari, kemudian menurun sesuai dengan bertambahnya umur parasitoid

(Gambar 3.3).

Nilai reproduksi memberikan gambaran tentang sumbangan relatif suatu

individu pada umur tertentu terhadap populasi. Nilai reproduksi tersebut biasanya

meningkat pada awal reproduksi kemudian menurun seiring bertambahnya umur

serangga (Nakamura 1984). Nilai reproduksi juga dapat digunakan sebagai acuan

dalam pelepasan imago parasitoid hasil pembiakan ke lapangan. Acuan tersebut

berdasar pada umur imago parasitoid yang memiliki nilai reproduksi tertinggi.

(41)

Gambar 3.3 Nilai reproduksi A. dasyni menurut umur pada telur R. linearis

Hasil perhitungan untuk sebaran umur stabil (px) menunjukkan bahwa

fase larva A. dasyni memiliki proporsi yang lebih tinggi (50.41%) dibandingkan

fase lainnya (Tabel 3.5). Hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar anggota

populasi A. dasyni merupakan serangga pradewasa. Menurut Price (1997) populasi yang sebagian besar tersusun dari individu-individu yang berumur muda

akan tumbuh dengan cepat.

Tabel 3.5 Proporsi fase perkembangan A. dasyni pada sebaran stabil

Fase Proporsi (%)

Telur 17.06

Larva 50.41

Pupa 26.53

Imago 6.02

Kesimpulan

Parasitoid A. dasyni yang dibiakkan pada telur N. viridula memperlihatkan

masa perkembangan larva dan pupa yang lebih singkat serta laju peneluran yang

lebih tinggi dibandingkan pada telur R. linearis. Namun demikian, hampir

seluruh keturunannya adalah jantan. Oleh karena itu, untuk keperluan pembiakan

(42)

parasitoid yang dihasilkan dari telur R. linearis sebagian besar adalah betina,

dengan laju pertambahan intrinsik 0.1870, rataan masa generasi (T) 27.51 hari,

dan populasinya meningkat 84.29 kali lipat per generasi.

Daftar Pustaka

Beckage NE. 1985. Endocrine interactions between endoparasitic insect and their host. Ann Rev Entomol 30:371-413.

Birch LC. 1948. The intrinsic rate of natural increase of an insect population. J Anim Ecol 17:15-26.

Carey JR. 1993. Applied Demography for Biologist with Special Emphasis on Insects. New York. Oxford Univ Press.

Charnov EL, Los-den Hartogh RL, Jones WT, van den Assem J. 1981. Sex ratio evolution in a variable environment. Nature 289:27-33.

Colazza S, Wajnberg E. 1998. Effect of host egg mass size on sex ratio and oviposition sequence of Trissolcus basalis (Hymenoptera: Scelionidae). Pop Ecol 27:329-336.

Corteserro AM, Stapel JO, Lewis WJ. 2000. Understanding and manipulating plant attributes to enhance biological control. Biol Control 17:35-49.

Deciyanto S, Trisawa IM, Muchyadi. 1993. Parasitism fluctuation of egg-parasitoids of pepper bug (Dasynus piperis China) in Bangka. J Spice Medic Crops 1(2):33-36.

Gauld ID, Fitton MG. 1987. Sexual dimorphism in the Ichneumonidae: a response to hurlbutt. Biol J Linn Soc 31:291-300.

Godfray HCJ. 1994. Parasitoids: Behavioral and Evolutionary Ecology. New Jersey: Princenton Univ Press.

Head J, Walters KFA. 2002. Augmentation biological control using the entomopathogenic nematode Steinernema feltiae against the south american leafminer Liriomyza huidobrensis. International Symposium on Biological Control of Arthropods; Honolulu, January 14-18, 2002. West Virginia: Forest Health Technology Enterprise Team. hlm 136-140.

Heinz KM. 1998. Host size-dependent sex allocation behavior in a parasitoid: implications for Catolaccus grandis (Hymenoptera: Pteromalidae) mass rearing program. Bull Entomol Res 88:37-45.

Heinz KM, Parella MP. 1990. The influence of host size on sex ratios in the parasitoid Diglyphus begini (Hymenoptera: Eulophidae). Ecol Entomol 15: 391-399.

(43)

Kalshoven LGE. 1981. Pests of Crops in Indonesia. van der Laan PA, penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.

Lee, JH, Ahn JJ. 2000. Temperature effects on development, fecundity, and life table parameters of Amblyseius womersleyi (Acari: Phytoseiidae). Environ Entomol 29(2):265-271.

Lysyk TJ. 2000. Relationship between temperature and life history parameters of Muscidifurax raptor (Hymenoptera: Pteromalidae). Environ Entomol 29(3):596-605.

Mills NJ. 2002. Augmentation in orchards: improving the efficacy of Trichogramma inundation. International Symposium on Biological Control of Arthropods; Honolulu, January 14-18, 2002. West Virginia: Forest Health Technology Enterprise Team. hlm 130-135.

Nakamura, N. 1984. Survivorship and fertility schedules of two Epilachnine ”spesies” feeding on cucurbitaceous plant under laboratory conditions (Coleoptera: Coccinellidae). Appl Ent Zool 19(1):59-66.

Price PW. 1997. Insect Ecology.3rd. New York: John Wiley & Sons.

Rosenheim JA, Rosen D. 1991. Foraging and oviposition decisions in the parasitoid Aphytis lingnanensis: Distinguishing the influenches of egg load and experience. J Animal Ecol 60:873-894.

Trisawa IM, Rauf A, Kartosuwondo U. 2007. Biologi parasitoid Anastatus dasyni Ferr. (Hymenoptera: Eupelmidae) pada telur Dasynus piperis China (Hemiptera: Coreidae). Hayati 14(3):81-86.

van Alphen JJM, Jervis MA. 1997. Foraging behaviour. Di dalam: Jervis M, Kidd N, editor. Insect Natural Enemies. Practical Approaches to Their Study and Evaluation. London: Chapman & Hall. hlm 1-62.

van Driesche RG, Bellows JTS. 1996. Biological Control. New York: Chapman & Hall.

van Lenteren JC. 1989. Parasitoids in the greenhouse: successes with seasonal inoculative release systems. Di dalam: Waage J, Greathead D, editor. Insect Parasitoids. London : Academic Press. hlm 341-374.

Vinson SB. 1984. Parasitoid-host relationship. Di dalam: William JB, Carde RT, editor. Chemical Ecology of Insect. London: Chapman & Hall Ltd. hlm 205-225.

Wright MG, Hoffmann MP, Chenus SA, Gardner J. 2001. Dispersal behavior of Trichogramma ostriniae (Hymenoptera: Trichogrammatidae) in sweet corn fields: implications for augmentative releases against Ostrinia nubilalis (Lepidoptera: Crambidae). Biol Control 22:29-37.

(44)
(45)

Gambar

Gambar 1.1   Peta jalan penelitian  pengendalian  hayati  kepik  pengisap  buah  lada  D
Tabel 3.1  Karakteristik  perkembangan  pradewasa  dan  kehidupan  imago betina                   A
Tabel  3.2   Dimensi tubuh A. dasyni betina (x ± SD mm) yang dipelihara pada telur kepik kedelai
Gambar 3.1   Perbandingan  ukuran  parasitoid   A. dasyni                         inang  alternatif
+7

Referensi

Dokumen terkait