• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kajian ekologi parasitoid anastatus dasyni Ferr. (Hymenoptera:Eupelmidae) sebagai dasar pengendalian hayati kepik pengisap buah lada dasynus piperis China (Hemiptera:coreidae)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kajian ekologi parasitoid anastatus dasyni Ferr. (Hymenoptera:Eupelmidae) sebagai dasar pengendalian hayati kepik pengisap buah lada dasynus piperis China (Hemiptera:coreidae)"

Copied!
224
0
0

Teks penuh

(1)

(HYMENOPTERA: EUPELMIDAE) SEBAGAI DASAR

PENGENDALIAN HAYATI KEPIK PENGISAP BUAH LADA

Dasynus piperis CHINA (HEMIPTERA: COREIDAE)

IWA MARA TRISAWA

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Kajian Ekologi Parasitoid

Anastatus dasyni Ferr. (Hymenoptera: Eupelmidae) Sebagai Dasar Pengendalian Hayati Kepik Pengisap Buah Lada Dasynus piperis China (Hemiptera: Coreidae) adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2011

Iwa Mara Trisawa

(3)

© Hak cipta milik IPB, tahun 2011

Hak Cipta dilindungi undang-undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

(4)

(HYMENOPTERA: EUPELMIDAE) SEBAGAI DASAR

PENGENDALIAN HAYATI KEPIK PENGISAP BUAH LADA

Dasynus piperis CHINA (HEMIPTERA: COREIDAE)

IWA MARA TRISAWA

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Entomologi - Fitopatologi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

Penguji pada Ujian Tertutup: Dr. Ir. Teguh Santoso, D.E.A. Dr. Ir. Ade Wachjar, M.S.

(6)

Penulis panjatkan puji dan syukur kepada Allah Subhanahu Wataalla atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Penelitian yang berjudul Kajian Ekologi Parasitoid Anastatus dasyni Ferr. (Hymenoptera: Eupelmidae) Sebagai Dasar Pengendalian Hayati Kepik Pengisap Buah Lada Dasynus piperis China (Hemiptera: Coreidae), dilaksanakan sejak Mei 2008 sampai Desember 2009 di Bogor dan Bangka.

Bagian dari disertasi ini telah diterbitkan di Jurnal Penelitian Tanaman Industri Vol 16 No. 3 tahun 2010, dengan judul Kesesuaian Telur Kepik Kedelai untuk Pembiakan Massal Anastatus dasyni Ferr. (Hymenoptera: Eupelmidae), Parasitoid Telur Kepik Lada.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Aunu Rauf, M.Sc., Bapak Prof. Dr. Ir. Utomo Kartosuwondo, M.S., Ibu Dr. Ir. Nina Maryana, M.Si. dan Bapak Dr. Ir. Ali Nurmansyah, M.Si. atas bimbingan dan pengarahan kepada penulis mulai dari perencanaan penelitian hingga penyelesaian disertasi. Terimakasih penulis ucapan juga kepada Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kepala Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan, Kepala Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Aneka Tanaman Industri, Dekan Sekolah Pasca Sarjana IPB yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melanjutkan pendidikan program doktor. Kepada Ketua Program Studi Entomologi/Fitopatologi dan seluruh dosen di Departemen Proteksi Tanaman IPB, penulis mengucapkan terimakasih atas segala arahan dan didikan.

Kepada Kepala Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik (Balittro) Bogor, dan Kepala Balai Pengkajian dan Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung yang telah memberikan kesempatan dan fasilitas penelitian, penulis ucapkan terimakasih. Di samping itu, terimakasih penulis sampaikan kepada The Indonesian International Education Foundation (IIEF) melalui program

Indonesian Scholarship Dissertation Award (ISDA) yang telah membantu memberikan beasiswa penelitian.

Terimakasih penulis ucapkan kepada Bapak Prof. (R) Dr. Ir. I Wayan Laba, M.Sc, Dr. Ir. Wiratno, M.Env.Mgt., dan Ir. Fardedi, M.Si. atas segala dukungan dan kerjasama yang baik, serta kepada Sdr. Ahyar dan Bapak Muchyadi yang telah membantu pelaksanaan penelitian.

Kepada orangtua, ayahanda E. Sukarsawinata (Alm.) dan Ibunda R.E. Fatimah (Alm.), serta mertua Muchtar (Alm) dan R. Martha S. disampaikan terimakasih atas pendidikan, dukungan, nasihat, dan doa sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini. Kepada istri Tini Mardiyana Ruliyanti dan ketiga putri tercinta Edvami Maradiyana Praeswitari, Vidina Diniarti Hanifa, dan Clarinta Tidara Estriva serta seluruh keluarga yang selalu mendoakan dan memberikan dukungan dalam menyelesaikan pendidikan ini, penulis mengucapkan terimakasih.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, Januari 2011

(7)

Penulis dilahirkan di Bogor, pada tanggal 29 Juli 1963 sebagai anak ketiga dari pasangan E. Sukarsawinata (Alm) dan RE. Fatimah (Alm.). Pendidikan sarjana ditempuh di Jurusan Biologi, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Pakuan Bogor, lulus pada tahun 1988. Pada tahun 2002, penulis diterima di Program Studi Entomologi/Fitopatologi pada Sekolah Pascasarjana IPB dan menamatkannya pada tahun 2005. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada program studi dan perguruan tinggi yang sama diperoleh pada tahun 2006. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia. Penulis juga merupakan salah satu dari enam mahasiswa program doktor IPB sebagai penerima Indonesian Scholarship Dissertation Award dari program kerjasama Ford Foundation dan Indonesian International Education Foundation.

(8)

Halaman DAFTAR TABEL ...

(9)

Hasil dan Pembahasan ... Kesimpulan ... Daftar Pustaka ... 6 PENGARUH VEGETASI LIAR BERBUNGA TERHADAP PARA- SITOID Anastatus dasyni FERR. (HYMENOPTERA: EUPELMI- DAE ... Abstrak ... Abstract ... Pendahuluan ... Bahan dan Metode ... Hasil dan Pembahasan ... Kesimpulan ... Daftar Pustaka ... 7 SINTESIS ... 8 KESIMPULAN DAN SARAN ... DAFTAR PUSTAKA ...

51 55 55

(10)

Halaman 3.1 Karakteristik perkembangan pradewasa dan kehidupan imago beti-

na A. dasyni pada dua jenis inang alternatif ... 3.2 Dimensi tubuh A. dasyni betina yang dipelihara pada telur kepik

kedelai ... 3.3 Dimensi tubuh A. dasyni jantan yang dipelihara pada telur kepik

kedelai ... 3.4 Berbagai statistik neraca hayati A. dasyni ... 3.5 Proporsi fase perkembangan A. dasyni pada sebaran stabil ... 4.1 Nilai indeks preferensi masing-masing jenis inang pada pengujian preferensi di laboratorium dan lapangan ... 4.2 Tingkat parasitisasi A. dasyni pada umur inang alami ... 4.3 Tingkat parasitisasi A. dasyni pada berbagai lama penyimpanan inang ... 5.1 Rataan inang yang diparasit A. dasyni pada berbagai kerapatan

inang ... 5.2 Hasil analisis regresi logistik proporsi telur kepik D. piperis yang terparasit oleh A. dasyni ... 5.3 Nilai penduga parameter laju pencarian seketika (a) dan masa pe- nanganan inang (Th) berdasarkan model tanggap fungsional tipe II 6.1 Lama hidup imago A. dasyni yang dipelihara pada bunga vegetasi

liar ... 6.2 Jumlah keturunan dan nisbah kelamin A. dasyni yang dipelihara pada bunga vegetasi liar ... 6.3 Kadar gula tereduksi pada berbagai bunga vegetasi liar ...

22

25

25 28 29

39 41

42

51

52

53

65

(11)

Halaman 1.1 Peta jalan penelitian pengendalian hayati kepik pengisap buah lada

D. piperis dengan parasitoid A. dasyni ... 3.1 Perbandingan ukuran parasitoid A. dasyni betina dan jantan asal inang alternatif ... 3.2 Sintasan dan keperidian harian parasitoid A. dasyni pada telur

R. linearis ... 3.3 Nilai reproduksi A. dasyni menurut umur pada telur R. linearis ... 4.1 Nisbah kelamin (% betina) A. dasyni pada telur R. linearis ber- dasarkan lama penyimpanan inang ... 5.1 Rataan nilai pengamatan proporsi inang yang diparasit dan pendu-

ga berdasarkan hasil analisis regresi logistik ... 5.2 Kurva tanggap fungsional parasitoid A. dasyni terhadap peningkat- an kerapatan inang ... 6.1 Pilihan parasitoid A. dasyni betina yang lapar terhadap bunga vege- tasi liar dan inang ... 6.2 Pilihan parasitoid A. dasyni jantan yang lapar terhadap bunga vege-

tasi liar ... 6.3 Lama kunjungan parasitoid A. dasyni betina yang lapar pada bunga vegetasi liar ... 6.4 Lama kunjungan parasitoid A. dasyni jantan yang lapar pada bunga

vegetasi liar ... 6.5 Pilihan parasitoid A. dasyni betina yang kenyang terhadap bunga

dan inang ... 6.6 Lama kunjungan parasitoid A. dasyni betina yang kenyang pada

bunga dan inang ... 6.7 Pilihan parasitoid A. dasyni betina yang lapar antara bunga vegeta- si liar dan inang pada pengujian lorong “Y” ... 6.8 Pilihan parasitoid A. dasyni betina yang kenyang antara bunga ve-

getasi liar dan inang pada pengujian lorong “Y” ... 6.9 Rataan tingkat parasitisasi oleh kompleks parasitoid di kebun lada

yang disiangi dan tidak ... 6.10Rataan tingkat parasitisasi A. dasyni di kebun lada yang disiangi

dan tidak ... 7.1 Strategi pengendalian hayati kepik pengisap buah lada dengan pa- rasitoid A. dasyni ...

(12)

Halaman 1 Bunga vegetasi liar dan tanaman penutup tanah yang umum dijumpai

di kebun lada ... 2 Berbagai kondisi kebun lada ...

(13)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lada (Piper nigrum L.) merupakan salah satu tanaman rempah yang sebagian besar (99.89%) diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat, sedangkan sisanya (0.11%) dalam bentuk perkebunan besar swasta (Ditjenbun 2008). Meskipun bukan tanaman asli Indonesia, tanaman yang diintroduksi dari India ini tumbuh dan berkembang serta memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional. Lada merupakan produk rempah-rempah pertama Indonesia yang diperdagangkan ke Eropa melalui Arab dan Persia. Sebelum perang dunia ke-dua, Indonesia bahkan tercatat sebagai penghasil lada terbesar dunia dan memasok 80% kebutuhan lada dunia (Wahid 1996). Pada tahun 2007 volume dan nilai ekspor lada Indonesia tercatat 38.447 ton dengan nilai US $ 132.495.000,- yang terdiri atas 15.544 ton lada putih, 20.881 ton lada hitam, dan 2.022 ton dalam bentuk lada lainnya (Ditjenbun 2008). Lada digunakan sebagai bumbu makanan baik pada sektor rumah tangga maupun industri makanan.

Sentra pertanaman lada di Indonesia terdapat di Lampung, Bangka, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Total luas areal pada tahun 2009 diperkirakan 191.608 ha dengan produksi 81.660 ton. Dibandingkan tahun 2003 yang mencapai 204.128 ha, luas areal pada beberapa tahun belakangan ini mengalami penyusutan (Ditjenbun 2008). Di antara faktor penyebabnya adalah kondisi perekonomian nasional dan dunia, situasi politik dan keamanan serta harga lada. Kondisi tersebut ditambah dengan teknik budidaya yang minimal menyebabkan produksi tanaman lada menurun. Penurunan produksi dan munculnya negara pesaing baru seperti Vietnam menyebabkan Indonesia tidak lagi menjadi pemasok utama lada dunia. Sebagai gambaran, saat ini Indonesia menempati peringkat ke-tiga sebagai negara penghasil lada hitam di dunia setelah Vietnam dan India, sedangkan untuk lada putih Indonesia tetap produsen utama (Manohara et al. 2007).

(14)

dari 10 milyar rupiah (Ditlintanbun 2004). Di antara hama pada tanaman lada yang sering menimbulkan kerusakan adalah kepik pengisap buah lada, Dasynus piperis China (Hemiptera: Coreidae) (Deciyanto et al. 1993; Trisawa et al. 2007). Nimfa dan imago D. piperis mengisap cairan buah lada. Buah yang diisap menunjukkan gejala bercak hitam, hampa, kering, dan kemudian gugur. Kondisi buah terserang dapat juga diperburuk oleh kehadiran mikroorganisme seperti cendawan dan bakteri yang menyebabkan buah menjadi busuk (Deciyanto & Wikardi 1989; Wikardi & Asnawi 1996). Buah lada mulai diserang saat berumur 4 bulan sampai 5 bulan. Namun demikian, buah lada umur 6 bulan sampai 9 bulan paling sesuai untuk perkembangan D. piperis karena imago hidup lebih lama, bertelur lebih banyak, persentase tetas telur dan jumlah nimfa yang menjadi imago lebih tinggi (Suprapto & Thomas 1989).

Hasil survei Laba et al. (2004) di Bangka menunjukkan rataan tingkat serangan 36.80%. Di Lampung dilaporkan serangan D. piperis mengakibatkan kerugian produksi sebesar 15% (Suprapto & Thomas 1989). Survei yang sama oleh Trisawa et al. (1992) pada beberapa kecamatan di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat menunjukkan tingkat serangan berkisar antara 13.52% sampai 18.68%.

(15)

Peta Jalan Penelitian

Pemanfaatan parasitoid A. dasyni dalam pengendalian hayati kepik pengisap buah lada memerlukan pemahaman yang mendasar tentang berbagai aspek biologi dan ekologi parasitoid. Gambar 1.1 menyajikan tahapan penelitian atau kajian yang perlu ditempuh dalam rangka pengembangan pengendalian hayati D. piperis dengan memanfaatkan parasitoid A. dasyni. Uraian di bawah ini dibatasi pada tahapan penelitian yang secara langsung menyediakan landasan bagi upaya augmentasi dan manipulasi lingkungan.

Gambar 1.1 Peta jalan penelitian pengendalian hayati kepik pengisap buah lada D. piperis dengan parasitoid A. dasyni. Kotak berwarna gelap adalah tahapan penelitian yang merupakan bagian dari disertasi.

Hasil panen lada tinggi dan tanpa residu insektisida

Parasitoid tersedia berlimpah untuk pengendalian hayati Pembiakan massal dan augmentasi Analisis usahatani Adopsi pengendalian hayati Pengembangan pos pelayanan hayati Parameter kehidupan parasitoid

Lama hidup dan keperidian

Manipulasi lingkungan Kesesuaian inang

alternatif

Preferensi dan penyimpanan inang Tanggap fungsional Vegetasi liar berbunga sumber nektar Neraca hayati Preferensi terhadap jenis inang Parasitisasi pada umur inang alami Lama penyimpanan

inang alternatif

Parameter tanggap fungsional

Preferensi terhadap bunga vegetasi liar Parasitisasi di kebun

(16)

Penyediaan parasitoid dalam jumlah yang banyak memerlukan penyediaan inang yang banyak pula. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa cukup banyak kendala dalam membiakkan parasitoid A. dasyni dengan menggunakan telur D. piperis. Kendala tersebut di antaranya adalah sulitnya mendapatkan telur D. piperis dari hasil pembiakan massal. Oleh karena itu, upaya mendapatkan inang alternatif yang sesuai untuk membiakkan parasitoid A. dasyni merupakan hal yang sangat penting. Penelitian pendahuluan di laboratorium mendapatkan bahwa parasitoid A. dasyni dapat dibiakkan dengan mudah pada telur kepik polong kedelai, Riptortus linearis (Hemiptera: Alydidae) dan Nezara viridula (Hemiptera: Pentatomidae). Sebelum telur R. linearis dan N. viridula dijadikan inang alternatif untuk pembiakan massal parasitoid A. dasyni, perlu diteliti sejauh mana pengaruh inang alternatif ini terhadap kehidupan parasitoid. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah melalui pengkajian neraca hayati. Dari neraca hayati dapat dihitung beberapa statistik demografi. Salah satu statistik demografi yang paling handal untuk mengukur potensi musuh alami adalah laju pertambahan intrinsik (r), karena di dalamnya telah mempertimbangkan karakteristik kehidupan serangga seperti masa hidup, keperidian, sintasan, dan nisbah kelamin (Carey 1993). Nilai r merupakan salah satu kriteria yang penting untuk mengevaluasi keefektifan atau potensi dari agens pengendalian hayati (Lee & Ahn 2000), serta dapat digunakan untuk menduga potensi pertumbuhan populasi parasitoid (Lysyk 2000).

(17)

mendatang. Penyimpanan inang ini ditujukan sebagai stok yang dapat langsung digunakan ketika parasitoid perlu segera dibiakkan. Cara ini dapat memangkas waktu penyediaan inang dibandingkan jika inang diperoleh melalui proses pemeliharaan dan pembiakan serangga dewasa.

Keefektifan parasitoid juga perlu dikaji berdasarkan tanggapnya terhadap peningkatan kerapatan inang. Secara umum individu parasitoid biasanya akan memberikan tanggap terhadap peningkatan kelimpahan hama, yang disebut tanggap fungsional. Dari kegiatan penelitian ini dapat ditentukan apakah A. dasyni memperlihatkan tanggap fungsional tipe I, II, atau III. Parameter penting dari tanggap fungsional adalah laju pencarian seketika (a) dan masa penanganan inang (Th). Parasitoid yang potensial adalah yang memiliki nilai a yang tinggi dan nilai Th yang rendah (Hassell 2000).

Keberhasilan pemanfaatan A. dasyni dalam pengendalian hayati D. piperis di lapangan perlu didukung oleh ketersediaan pakan bagi imago betina parasitoid. Salah satu sumber pakan bagi parasitoid di lapangan adalah nektar yang terdapat pada bunga vegetasi liar. Pada pertanaman lada tumbuh beberapa vegetasi liar berbunga dan belum diketahui bagaimana peranan bunga vegetasi liar tersebut sebagai sumber nektar parasitoid A. dasyni. Hal ini perlu diteliti, termasuk juga terhadap bunga A. pintoi yang selama ini dianjurkan ditanam pada kebun lada karena dianggap dapat meningkatkan tingkat parasitisasi parasitoid. Dari penelitian ini dapat ditentukan jenis vegetasi liar yang dapat mendukung kehidupan parasitoid. Pengetahuan ini diperlukan untuk mengelola ekosistem lada yang menunjang pengendalian hayati kepik pegisap buah lada.

Tujuan Penelitian

(18)
(19)

TINJAUAN PUSTAKA

Kepik Pengisap Buah Lada

Telur D. piperis berwarna coklat muda sampai tua, berbentuk lonjong, berukuran panjang 1.5 mm, lebar 1.0 mm, dan tinggi 0.9 mm. Telur diletakkan oleh imago betina secara berkelompok antara 3 butir sampai 10 butir (Kalshoven 1981). Hasil penelitian Karmawati (1988) menunjukkan bahwa 50% telur diletakkan pada bagian tengah tajuk tanaman, menyebar secara mengelompok pada daun atau bulir buah. Sebanyak 81% telur diletakkan pada permukaan atas dan bawah daun. Stadium telur berlangsung antara 7 hari sampai 8 hari (Kalshoven 1981).

Nimfa instar-1 yang baru keluar dari telur berukuran kurang lebih 2.0 mm, berwarna kuning kecoklatan, tidak bersayap, dan memiliki antena yang lebih panjang dibandingkan panjang tubuhnya. Pada antena terdapat dua ruas yang menebal. Nimfa selanjutnya segera mencari makanan dan 98% nimfa instar muda terdapat pada buah (Kalshoven 1981). Nimfa umumnya (65%) menyukai buah yang terdapat pada bagian tengah tajuk. Pola sebaran nimfa tersebut tidak berbeda jauh dengan pola sebaran telur, karena mobilitas nimfa yang tidak terlalu aktif (Karmawati 1988). Stadium nimfa berlangsung antara 3 minggu sampai 4 minggu dan mengalami empat kali pergantian kulit sampai terbentuk imago. Lama stadium nimfa dapat dipengaruhi oleh umur buah lada yang menjadi makanannya. Stadium nimfa berlangsung antara 26 hari sampai 33 hari pada buah lada umur 4.5 bulan sampai 6 bulan, sedangkan pada buah umur 6 bulan sampai 9 bulan antara 19 hari sampai 25 hari (Kalshoven 1981; Suprapto & Thomas 1989).

(20)

sampai 18:00 (Kalshoven 1981). Tempat yang rimbun dan agak gelap lebih disukai sebagai tempat peletakan telur (Karmawati 1988).

Kepik pengisap buah lada D. piperis selalu dijumpai sepanjang tahun pada tanaman lada. Namun demikian, populasinya bergantung pada musim buah. Populasi D. piperis paling tinggi pada bulan Juni dan Nopember, sedangkan populasi rendah terjadi pada bulan Juli sampai September karena buah telah dipanen (Karmawati 1988; Deciyanto 1991). Setiap fase perkembangan D. piperis dapat dijumpai secara bersamaan di lapangan dan menyebar pada tajuk tanaman.

Parasitoid Anastatus dasyni Ferr.

Fase perkembangan A. dasyni pada telur D. piperis diuraikan oleh Trisawa (2005) sebagai berikut: telur berbentuk lonjong, berwarna putih kotor, berukuran panjang 0.38 mm dan lebar 0.16 mm. Larva berwarna putih kekuningan. Larva instar awal berukuran panjang 0.57 mm dan lebar 0.21 mm, sedangkan larva instar lanjut berukuran panjang 1.06 mm dan lebar 0.47 mm. Prapupa berwarna putih kekuningan dan lebih gelap dibandingkan warna larva. Panjang prapupa awal 1.06 mm dan lebar 0.46 mm, sedangkan satu hari menjelang pupa panjangnya 1.12 mm dan lebar 0.48 mm. Pupa yang baru terbentuk berwarna putih kecoklatan. Bagian tubuh seperti mata, tungkai, antena, sayap, ruas abdomen sudah terbentuk dan terlihat jelas. Pupa kemudian berubah warna menjadi kehitaman dan organ tubuh sudah terbentuk lengkap. Panjang pupa 1.49 mm dan lebar 0.52 mm. Di sekitar kepala terdapat selubung warna coklat muda. Perkembangan pradewasa A. dasyni mulai dari telur sampai pupa berlangsung di dalam telur inang. Waktu yang dibutuhkan mulai telur diletakkan sampai imago keluar adalah 15.57 hari.

(21)

sudah kopulasi akan menolak kehadiran jantan. Kopulasi berlangsung sangat singkat, sekitar 2 detik sampai 3 detik.

Imago betina dapat hidup selama 1 bulan (Deciyanto et al. 2000; Trisawa et al. 2007). Pemberian madu dapat memperpanjang lama hidup parasitoid A. dasyni di laboratorium (Deciyanto & Wikardi 1989; Trisawa et al. 2007). Menurut Mendel et al. (1987), pemberian madu dapat meningkatkan lama hidup parasitoid Anastatus seperti juga yang terjadi pada A. semiflavidus (Hymenoptera: Eupelmidae). Pada kasus parasitoid yang lain, Schmale et al. (2001) melaporkan bahwa parasitoid Dinarmus basalis (Hymenoptera: Pteromalidae) yang diberi pakan madu, meningkat lama hidupnya tiga kali lipat.

Preferensi, Umur Inang dan Nisbah Kelamin Parasitoid

Preferensi parasitoid terhadap inang menunjukkan suatu kemampuan parasitoid dalam membedakan antara inang yang sesuai untuk oviposisi dan yang tidak. Hal ini menunjukkan terjadinya diskriminasi terhadap inang. Perilaku seperti ini merupakan ciri keefektifan parasitoid dalam menekan kepadatan inang (van Lenteren et al. 1978; van Alphen & Jervis 1997).

Preferensi parasitoid terhadap inang dipengaruhi oleh beberapa faktor, di antaranya adalah umur inang. Pada parasitoid telur, umur inang sangat penting bagi perkembangan pradewasa parasitoid karena embriogenesis pada inang berpengaruh terhadap nutrisi. Kualitas nutrisi inang akan semakin turun seiring dengan meningkatnya umur inang (Vinson 1994). Di samping berpengaruh terhadap perkembangan embrio, umur inang yang meningkat juga akan menyebabkan kulit inang semakin keras sehingga mempersulit parasitoid untuk melakukan oviposisi (Gross 1993).

(22)

Pada inang yang sudah dipilih, parasitoid akan meletakkan telur pada inang tersebut untuk jenis kelamin tertentu dari keturunanannya. Dalam alokasi jenis kelamin keturunan, faktor yang mempengaruhi adalah umur dan ukuran inang, jumlah perkawinan, faktor lingkungan yaitu temperatur dan kelembapan (Colazza & Wajnberg 1998; Gordh et al. 1999).

Betina parasitoid akan mengalokasikan jenis kelamin betina pada ukuran inang yang relatif lebih besar dan jenis kelamin jantan pada inang yang relatif lebih kecil (Charnov et al. 1981; Lee 2009). Sebagai contoh, parasitoid Syngaster lepidus (Hymenoptera: Braconidae) mengalokasikan 80% keturunan betina pada inangnya yaitu larva Phoracantha spp. yang berukuran besar, sedangkan pada inang yang berukuran kecil mengalokasikan keturunan jantan. Ukuran parasitoid yang dihasilkan juga meningkat dengan meningkatnya ukuran inang (Joyce et al. 2002).

Neraca Hayati

Perkembangan populasi serangga dapat dipelajari dengan menyusun neraca hayati. Neraca hayati menunjukkan perkembangan kehidupan serangga yang memberikan informasi mengenai kelahiran dan kematian, serta peluang untuk berkembangbiak (Tarumingkeng 1994; Price 1997). Potensi perkembangbiakan serangga penting untuk diketahui, misalnya untuk meramalkan kenaikan populasinya pada waktu tertentu dan dampak yang mungkin ditimbulkannya pada tanaman (Waters 1969; Royama 1981).

Dari neraca hayati dapat dibuat kurva kesintasan (survivorship curve) populasi serangga yang diamati. Kurva tersebut akan menggambarkan pola bertahan hidup serangga. Menurut Price (1997) terdapat tiga pola bertahan hidup, yaitu tipe I yang menunjukkan kematian serangga pada umur muda dalam jumlah sedikit dan kematian serangga pada umur yang lebih tua dalam jumlah banyak; tipe II yang menunjukkan laju kematian konstan; dan tipe III yang menunjukkan kematian serangga pada umur muda dalam jumlah banyak.

Dari neraca hayati juga dapat dihitung beberapa statistik demografi yaitu laju reproduksi bersih (Ro), waktu satu generasi (T), laju pertambahan intrinsik

(r), laju pertambahan terbatas (λ), nilai reproduksi (RVx), dan sebaran umur stabil

(23)

Laju reproduksi bersih (Ro) adalah jumlah keturunan betina yang berhasil menjadi imago, atau kelipatan populasi per generasi. Suatu populasi dikatakan stabil bila Ro = 1, populasi bertambah bila Ro > 1, dan populasi berkurang bila Ro < 1. Bila Ro suatu spesies diketahui maka waktu satu generasi (T) dan laju pertambahan intrinsik (r) dapat dihitung (Price 1997). Waktu satu generasi (T) adalah waktu yang dibutuhkan sejak telur tersebut diletakkan sampai imago yang berasal dari telur tersebut menghasilkan separuh keturunannya, sedangkan laju pertambahan intrinsik (r) adalah laju pertambahan populasi pada keadaan

sumberdaya tak terbatas. Bila nilai r diketahui maka laju pertambahan terbatas (λ)

yang merupakan kelipatan populasi per satuan waktu juga dapat diketahui (Price 1997; Carey 1993).

Laju pertambahan intrinsik (r) merupakan statistik demografi yang paling handal untuk mengukur potensi musuh alami karena di dalamnya telah mempertimbangkan masa hidup, keperidian, sintasan, dan nisbah kelamin (Carey 1993). Nilai r merupakan salah satu kriteria yang penting untuk mengevaluasi keefektifan atau potensi agens pengendalian hayati (Lee & Ahn 2000), serta dapat digunakan untuk menduga potensi pertumbuhan populasi parasitoid tersebut (Lysyk 2000). Makin tinggi persentase telur yang diletakkan pada kelompok umur muda maka makin besar nilai laju pertambahan intrinsik (Birch 1948).

Dalam pertumbuhan populasi serangga maka nilai reproduksi (RVx) dan persebaran umur stabil (px) juga merupakan ciri yang penting. Nilai reproduksi adalah sumbangan relatif suatu individu serangga pada umur tertentu terhadap populasi. Nilai reproduksi pada individu yang berumur muda lebih rendah dibandingkan kelompok umur yang lebih tua. Namun demikian, nilai reproduksi tertinggi akan terjadi pada umur individu tertentu kemudian nilai reproduksi menurun sampai nol (pasca reproduksi) (Carey 1993).

(24)

Tanggap Fungsional

Tanggap fungsional menyatakan perubahan jumlah inang atau mangsa yang diserang oleh individu parasitoid atau predator akibat perubahan kerapatan populasi inang atau mangsa per satuan waktu. Tanggap ini penting dalam interaksi antara inang atau mangsa dengan parasitoid atau predator (Hassel 2000).

Tanggap fungsional kemudian menjadi salah satu ukuran untuk menentukan keefektifan suatu parasitoid atau predator dalam mengendalikan populasi hama atau kemampuannya mengatur keseimbangan populasi hama. Keefektifan tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti karakteristik inang atau mangsa dan persebarannya pada tanaman (Kumar et al. 1999; Yasuda & Ishikawa 1999).

Jumlah inang atau mangsa yang diparasit atau dimangsa pada kerapatan inang atau mangsa tertentu merupakan aspek penting untuk dipelajari, sehingga diperoleh gambaran tentang kemampuan parasitoid atau predator dalam menangani inang atau mangsanya (Pervez & Omkar 2005; Rahman et al. 2009).

Holling (1959) mengidentifikasi tiga macam tipe fungsional: (1) tipe I (linear) yaitu proporsi inang terparasit bersifat konstan, sehingga hubungan antara banyaknya inang yang terparasit dan kerapatan inang bersifat linear, (2) tipe II (hiperbolik) yaitu proporsi inang yang terparasit menurun tajam dengan bertambahnya kerapatan inang, dan (3) tipe III (sigmoid) yaitu proporsi inang yang terparasit awalnya meningkat, tetapi kemudian secara berangsur menurun dengan meningkatnya kerapatan inang.

Secara umum individu parasitoid biasanya akan memberikan tanggap terhadap peningkatan kerapatan inang. Pengetahuan tentang tanggap fungsional dapat digunakan untuk menapis musuh alami yang potensial dan memperkirakan potensi pengendalian hayati (Parella & Horsburgh 1983; Houck & Strauss 1985). Parameter penting dari tanggap fungsional adalah laju pencarian seketika (a) dan masa penanganan inang (Th). Parasitoid yang potensial adalah yang memiliki nilai a yang tinggi dan nilai Th yang rendah (Hassell 2000).

(25)

mempengaruhi laju pencarian mangsa dan lama predator menetap (Messina & Hanks 1998; O’Neil 1998).

Pembiakan Massal dan Pelepasan Parasitoid

Parasitoid yang sudah ada di lapangan suatu saat populasinya dapat rendah, tidak ada, atau terlambat kehadirannya sehingga perlu dilepas parasitoid hasil pembiakan di laboratorium. Proses ini disebut augmentasi. Augmentasi dilakukan dalam dua tipe, yaitu (1) inokulasi, yaitu pelepasan musuh alami dalam jumlah yang sedikit sebagai inokulan dan pengendalian hama terjadi oleh generasi musuh alami berikutnya, dan (2) inundasi, yaitu musuh alami dilepas dalam jumlah yang lebih banyak dan terjadi pengendalian langsung oleh musuh alami tersebut (van Driesche & Bellows 1996).

Augmentasi musuh alami banyak dilakukan untuk mengendalikan hama tanaman dengan hasil yang cukup memuaskan (Wright et al. 2001; Head & Walters 2002; Mills 2002). Di Indonesia, contoh augmentasi inundatif adalah pelepasan parasitoid Trichogramma spp. untuk mengendalikan penggerek batang tebu, sedangkan untuk augmentasi inokulatif yang dilepas adalah parasitoid Diatraeophaga striatalis (Sosromarsono 1999).

Dalam pembiakan massal parasitoid digunakan inang alternatif. Dalam pemilihan inang alternatif perlu dipertimbangkan kemudahan dalam pembiakan, biaya murah, dan kesesuaian inang sehingga teknik pengendalian hayati yang dikembangkan memang layak dilakukan. Inang alternatif yang demikian dikenal dengan istilah factitious host (van Lenteren 1989; van Driesche & Bellows 1996). Kesesuaian inang dapat diukur dari reproduksi parasitoid dan nisbah kelamin betina yang tinggi (Godfray 1994).

(26)

Pemanfaatan Bunga Vegetasi Liar untuk Parasitoid

Berbagai cara dapat dilakukan untuk meningkatkan peran parasitoid di lapangan. Manipulasi lingkungan yang bertujuan mengonservasi musuh alami merupakan salah satu upaya mempertahankan dan melestarikan musuh alami yang sudah ada di suatu tempat atau ekosistem dan membuatnya lebih efektif dalam fungsinya (van Driesche & Bellows 1996). Manipulasi lingkungan dapat dilakukan dengan menanam atau mengelola vegetasi penghasil nektar dan polen di sekitar tanaman utama (van Driesche & Bellows 1996; Landis et al. 2000). Nektar merupakan sumber pakan bagi parasitoid betina yang dapat meningkatkan reproduksi parasitoid (Jervis et al. 1996; Lewis et al. 1998; Corteserro et al. 2000).

Manfaat vegetasi berbunga bagi parasitoid dikemukakan oleh Baggen dan Gurr (1998). Bunga saba (Fagopyrum esculentum) mampu meningkatkan keperidian Copidosoma koehleri (Hymenoptera: Encyrtidae), yang merupakan parasitoid telur Phthorimaea operculella (Lepidoptera: Gelechiidae). Di samping itu, Idris dan Grafius (1995) menyatakan bahwa vegetasi berbunga seperti beberapa anggota famili Brasicaceae mampu meningkatkan lama hidup dan keperidian parasitoid Diadegma insulare (Hymenotera: Ichneumonidae).

Pemanfaatan vegetasi berbunga yang mampu meningkatkan keperidian parasitoid betina dapat dipahami dari segi keseimbangan antara inang dan kebutuhan pakan. Hal tersebut sangat penting dalam pengendalian hayati (Lewis et al. 1998). Parasitoid yang mendapatkan pakan cukup akan meletakkan telur lebih banyak dibandingkan parasitoid yang lapar (Takasu & Lewis 1993). Hasil penelitian Stapel et al. (1997) menunjukkan bahwa persentase parasitisasi Microplitis croceipes (Hymenoptera: Braconidae) pada larva Helicoverpa zea (Lepidoptera: Noctuidae) lebih tinggi pada parasitoid betina yang kenyang dibandingkan yang lapar. Pakan tambahan berupa nektar atau embun madu merupakan faktor penting dalam meningkatkan daya bertahan hidup parasitoid, di samping untuk produksi telur (Sosromarsono 2002).

(27)

menjadi berkurang (Baggen & Gurr 1998). Oleh karena itu, sangat penting jika keberadaan sumber pakan dekat dengan lokasi inang (Lewis et al. 1998). Di samping itu, perlu diperhatikan bentuk bunga yang mudah dimanfaatkan oleh parasitoid. Sebagai contoh, diameter mahkota bunga yang terbuka berpengaruh positif terhadap lama hidup dan keperidian parasitoid D. insulare (Idris & Grafius 1995). Warna bunga juga menarik perhatian parasitoid. Menurut Kartosuwondo (1993), bunga Nasturtium yang berwarna kuning cerah menarik perhatian imago D. semiclausum. Parasitoid tersebut menurut Keller dan Baker (2002) juga tertarik pada bunga alyssum (Lobularia maritima) dan pakchoi (Brassica campestris).

Pada pertanaman lada dianjurkan untuk menanam tanaman penutup tanah Arachis pintoi yang berbunga terus menerus. Tanaman A. pintoi dapat meningkatkan parasitisasi parasitoid (Suprapto 2000, Trisawa et al. 2006). Tingkat parasitisasi Spathius piperis (Hymenoptera: Braconidae) pada larva penggerek batang lada Lophobaris piperis (Coleoptera: Curculionidae) berkisar antara 25.0% sampai 50% pada tanaman lada dengan A. pintoi, sedangkan tanpa A. pintoi hanya 5.2% sampai 10,8% (Suprapto 2000). Penanaman tanaman A. pintoi juga dapat meningkatkan parasitisasi total parasitoid telur D. piperis. Hasil survei Trisawa (2005) pada pertanaman lada di Bangka

menunjukkan bahwatingkat parasitisasitersebut mencapai 70.0%.

(28)

KESESUAIAN TELUR KEPIK KEDELAI UNTUK

PEMBIAKAN MASSAL

Anastatus dasyni

FERR.

(HYMENOPTERA: EUPELMIDAE), PARASITOID TELUR

KEPIK LADA

[Suitability of soybean bug eggs for mass rearing of Anastatus dasyni Ferr. (Hymenoptera: Eupelmidae), an egg parasitoid of pepper bug]

Abstrak

Penelitian bertujuan mengkaji kesesuaian telur kepik kedelai Riptortus linearis dan Nezara viridula sebagai inang untuk pembiakan massal parasitoid A. dasyni. Imago parasitoid A. dasyni yang berasal dari lapangan dipelihara secara terpisah pada telur dari kedua jenis kepik kedelai. Pengamatan dilakukan terhadap biologi A. dasyni yang meliputi masa perkembangan pradewasa dan berbagai karakteristik kehidupan imago betina. Selain itu, dilakukan analisis neraca hayati dengan menggabungkan data perkembangan dan sintasan pradewasa, masa hidup imago dan reproduksi, serta nisbah kelamin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa masa perkembangan larva dan pupa A. dasyni pada telur N. viridula lebih singkat serta laju peneluran lebih tinggi dibandingkan pada telur R. linearis. Namun imago betina A. dasyni yang keluar dari telur N. viridula hanya 1.81%, sedangkan dari telur R. linearis sebanyak 70.20%. Oleh karena itu, parameter neraca hayati hanya dapat dihitung dari parasitoid yang dipelihara pada telur R. linearis. Laju pertambahan intrinsik parasitoid (r) 0.1870 betina/induk/hari, masa generasi (T) 27.51 hari, reproduksi bersih (Ro) 84.29 betina/induk/generasi; laju pertambahan terbatas (λ) 1.21 betina/induk/hari dan nilai reproduksi (RVx) 402.51 individu. Proporsi persebaran usia stabil (px) adalah 17.06% telur, 50.41% larva, 26.53% pupa, dan 6.02% imago. Telur kepik kedelai R. linearis dapat digunakan untuk pembiakan massal A. dasyni.

Kata kunci: Anastatus dasyni, Dasynus piperis, Riptortus linearis, Nezara viridula, parasitoid, pembiakan massal

Abstract

(29)

demographic statistics were only estimated for the parasitoid reared in R. linearis egg. The intrinsic rate of increase (r) was 0.1870 female/mother/days, the mean generation time (T) 27.51 days, the net reproductive rate (Ro) 84.29 female/ mother/generation, the finite rate of increase (λ) 1.21 female/mother/days, and the reproductive value (RVx) 402.51 individual. The stable stage distribution (px) was 17.06% egg, 50.41% larvae, 26.53% pupae, and 6.02% adult. R. linearis egg was the best alternative host to be used for mass rearing of A. dasyni.

Key words: Anastatus dasyni, Dasynus piperis, Riptortus linearis, Nezara viridula, parasitoid, mass rearing

Pendahuluan

Parasitoid Anastatus dasyni Ferr. (Hymenoptera: Eupelmidae) memiliki potensi untuk dikembangkan sebagai agens pengendalian hayati hama kepik pengisap buah lada Dasynus piperis China(Hemiptera: Coreidae), karena tingkat parasitisasinya di lapangan dapat mencapai 84% (Deciyanto et al. 1993; Trisawa et al. 2007). Pemanfaatan A. dasyni sebagai agens hayati yang efektif perlu diteliti dan dikembangkan lebih lanjut. Salah satunya adalah upaya pengembangbiakan massal parasitoid ini pada inang alternatif. Hal ini penting karena populasi parasitoid secara umum di lapangan sering terlambat kehadirannya (van Driesche & Bellows 1996), sehingga perlu ditambah atau dilepas dengan parasitoid hasil pembiakan di laboratorium. Pelepasan parasitoid telah banyak dilakukan untuk mengendalikan hama tanaman dengan hasil yang cukup memuaskan (Wright et al.2001; Head & Walters 2002; Mills 2002).

Parasitoid A. dasyni diketahui memiliki beberapa inang selain telur D. piperis yaitu telur Riptortus linearis Fabr. (Hemiptera: Alydidae), Nezara viridula Linn. (Hemiptera: Pentatomidae), dan Physomerus grossipes Fabr. (Hemiptera: Coreidae) (Kalshoven, 1981). Telur-telur tersebut dapat digunakan sebagai inang alternatif untuk pembiakan A. dasyni. Namun demikian, dalam pemilihan inang alternatif perlu dipertimbangkan kemudahan dalam pembiakan, biaya murah, dan kesesuaian inang sehingga teknik pengendalian hayati yang dikembangkan memang layak dilakukan (van Lenteren 1989; van Driesche & Bellows 1996).

(30)

Reproduksi tersebut tidak hanya terbatas pada besarnya populasi, melainkan juga terjadi dalam komposisi jenis kelamin dan kelompok umur.

Perubahan populasi parasitoid dapat disusun dalam neraca hayati. Dari neraca hayati dapat dihitung beberapa statistik demografi (Birch 1948; Zeng et al. 1993; Carey 1993). Salah satu statistik demografi yang paling handal untuk mengukur potensi musuh alami adalah laju pertambahan intrinsik (r), karena di dalamnya telah mempertimbangkan karakteristik kehidupan serangga seperti masa hidup, keperidian, sintasan, dan nisbah kelamin (Carey 1993). Nilai r merupakan salah satu kriteria yang penting untuk mengevaluasi keefektifan atau potensi dari agens pengendalian hayati (Lee & Ahn 2000), serta dapat digunakan untuk menduga potensi pertumbuhan populasi parasitoid tersebut (Lysyk 2000).

Penelitian ini bertujuan mengkaji kesesuaian telur kepik kedelai R. linearis dan N. viridula sebagai inang untuk pembiakan massal parasitoid A. dasyni. Kesesuaian diukur berdasarkan masa perkembangan pradewasa dan berbagai karakteristik kehidupan imago betina A. dasyni serta neraca hayati yang meliputi reproduksi bersih (Ro), masa generasi (T), laju pertambahan intrinsik (r),

laju pertambahan terbatas (λ), nilai reproduksi (RVx) dan sebaran umur stabil

(px).

Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan dari bulan Mei 2008 sampai dengan Februari 2009 di laboratorium hama Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Bogor, serta rumah kaca Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kepulauan Bangka Belitung. Pembiakan R. linearis dan N. viridula

(31)

Pemeliharaan D. piperis dan Pembiakan A. dasyni

Imago D. piperis asal pertanaman lada dipelihara pada bibit lada dalam pot dan dikurung dengan plastik milar bergaris tengah 18 cm dan tinggi 40 cm serta kurungan kayu berdinding kain kasa berukuran panjang 75 cm, lebar dan tinggi masing-masing 50 cm. Kurungan ditempatkan di rumah kaca. Serangga diberi pakan buah lada yang digantungkan pada kawat di bagian atas kurungan atau dilekatkan pada bibit lada. Buah lada diganti setiap 2 hari sekali. Telur yang diperoleh digunakan untuk pembiakan dan penelitian.

Telur D. p.iperis asal pertanaman lada dipelihara dalam tabung reaksi bergaris tengah 1.5 cm, panjang 18.0 cm di laboratorium. Tabung reaksi ditutup dengan kapas yang dibungkus kain kasa. Parasitoid A. dasyni yang diperoleh digunakan untuk pembiakan.

Sepasang A. dasyni yang baru keluar dari telur D. piperis dipelihara dalam tabung reaksi bergaris tengah 1.5 cm, panjang 18.0 cm dan diberi pakan madu 10%. Setelah imago berumur 2 hari, ke dalam tabung reaksi dimasukkan 10 telur D. piperis umur 2 hari yang diperoleh dari hasil pemeliharaan imago D. piperis. Telur D. piperis dilekatkan dengan lem kertas cair pada kertas karton (pias) ukuran 1.0 cm x 5.0 cm. Pias telur diambil setelah 24 jam dan diganti dengan pias telur yang baru. Pias telur yang diambil dimasukkan ke dalam tabung reaksi bergaris tengah 1.5 cm dan panjang 18.0 cm, kemudian diamati sampai parasitoid keluar. Parasitoid A. dasyni yang diperoleh digunakan untuk penelitian.

Perkembangan Pradewasa Parasitoid pada Telur Kepik Kedelai

(32)

perkembangan pradewasa dihitung dengan menjumlahkan umur fase telur, larva, dan pupa.

Reproduksi Parasitoid pada Telur Kepik Kedelai

Telur R. linearis dan N. viridula umur 2 hari sebanyak 10 butir pada pias, secara terpisah dimasukkan ke dalam tabung reaksi bergaris tengah 1.5 cm dan panjang 18.0 cm yang berisi sepasang A. dasyni umur 2 hari asal telur D. piperis. Parasitoid diberi pakan madu 10%. Tabung reaksi ditutup dengan kapas yang dibungkus kain kasa. Pias telur dikeluarkan setelah 24 jam dan diganti dengan pias telur yang baru. Pias telur yang diambil dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang lain dan diamati sampai keluar imago A. dasyni.

Pada kegiatan ini, dari telur N. viridula tidak diperoleh imago A. dasyni betina sehingga tidak dapat dilanjutkan terhadap sintasan imago betina A. dasyni. Namun demikian untuk melihat perilaku peletakan telur, 20 imago betina yang muncul dari telur R. linearis diberi perlakuan telur R. linearis dan 20 imago betina yang lain diberi telur N. viridula.

(33)

Analisis Data

Data perkembangan pradewasa dan karakteristik kehidupan imago A. dasyni dianalisis menggunakan uji-t pada α = 0.05. Statistik demografi A. dasyni dihitung menurut Carey (1993) dan Lysyk (2000) sebagai berikut: Laju reproduksi bersih:

Ro = ∑ lxmx

Rataan masa generasi: T = ∑xlxmx/∑lxmx

Laju pertambahan intrinsik: r = Σ lxmxe-rx = 1

Laju pertambahan terbatas: λ = er

Nilai reproduksi:

RVx = (erx/lx) . (Σ e–ry lymy ), y = x

Sebaran umur stabil:

px =100β lx e-r(x+1) dan 1/β = Σ lx e-r(x+1), β = laju kelahiran terbatas

dengan x = kelas umur parasitoid betina, lx = proporsi parasitoid betina

yang hidup pada kisaran umur x, dan mx = jumlah keturunan betina pada

umur x.

Hasil dan Pembahasan

Perbandingan Parameter Hayati Parasitoid pada Dua Jenis Inang

(34)
[image:34.595.114.515.114.345.2]

Tabel 3.1 Karakteristik perkembangan pradewasa dan kehidupan imago betina A. dasyni (n = 20) pada dua jenis inang alternatif

Parameter x ± SD pada

R. linearis N. viridula t db P

Masa perkembangan pradewasa (hari)

- Telur - Larva - Pupa

- Keseluruhan pradewasa betina - Keseluruhan pradewasa jantan Sintasan pradewasa (%)

Karakteristik kehidupan imago betina A. dasyni asal R. linearis

- Masa hidup (hari) - Masa praoviposisi (hari) - Masa oviposisi (hari) - Masa pasca oviposisi (hari) - Laju peneluran (butir/hari) - Keperidian (individu) Nisbah kelamin (% betina)

1.25 ± 0.44 5.40 ± 0.68 9.45 ± 0.83 16.45 ± 1.40 15.90 ± 0.72 99.48 ± 0.77

36.30 ± 6.57 2.00 ± 0.97 25.26 ± 4.84 6.30 ± 3.11 4.86 ± 0.75 122.72 ± 11.43 70.20 ± 11.64

1.35 ± 0.49 4.95 ± 0.51 8.90 ± 0.79 15.40 ± 1.05 15.10 ± 1.02 98.87 ± 1.94

35.75 ± 4.74 1.80 ± 1.11 23.25 ± 5.49 4.35 ± 1.46 5.58 ± 1.40 129.85 ± 15.15 1.81 ± 2.71

0.68 -2.37 -2.16 -2.69 -2.87 -1.31 -0.30 -0.61 -1.22 -2.54 3.03 0.84 -25.60 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19 0.5068 0.0288 0.0442 0.0144 0.0099 0.2054 0.7648 0.5508 0.2366 0.0202 0.0069 0.4088 <0.0001

Perkembangan pradewasa A. dasyni berlangsung di dalam inang dan waktu yang dibutuhkan untuk setiap fase menunjukkan kemampuan berkembang dalam kondisi nutrisi inang yang tersedia. Waktu perkembangan larva dan pupa yang berbeda dapat disebabkan oleh kandungan nutrisi dari ukuran inang yang berbeda. Ukuran telur R. linearis lebih besar dibandingkan telur N. viridula, sehingga nutrisi yang tersedia pada telur R. linearis dapat dimaksimalkan oleh larva dan pupa untuk perkembangannya. Nutrisi inang memang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi perkembangan pradewasa parasitoid (Vinson 1984; Beckage 1985; Godfray 1994). Kondisi ini juga yang menyebabkan waktu perkembangan pradewasa yang menjadi imago A. dasyni pada kedua inang alternatif tersebut berbeda.

Dari kedua jenis inang alternatif, secara umum imago jantan muncul satu hari lebih cepat dibandingkan betina. Kemunculan jantan yang lebih awal tersebut diduga berkaitan dengan strategi perkawinan. Jantan yang sudah siap kawin akan menunggu betina muncul kemudian terjadi kopulasi. Betina hanya melakukan 1 kali kopulasi selama hidupnya. Betina yang sudah berkopulasi akan menolak kehadiran jantan. Jika betina A. dasyni yang muncul lebih dahulu dan tidak menemukan jantan, maka betina akan cenderung menolak kopulasi terutama

(35)

A. dasyni karena telur yang tidak dibuahi (tidak terjadi kopulasi) berkembang menjadi jantan, sedangkan yang dibuahi menjadi imago betina. Reproduksi parasitoid seperti ini (van Driesche & Bellows 1996) termasuk ke dalam tipe arenotoki. Oleh karena itu, kemunculan jantan lebih awal merupakan salah satu strategi yang penting untuk berlangsungnya kopulasi (Godfray 1994; Colazza & Wajnberg 1998).

Betina A. dasyni yang muncul dari telur R. linearis memiliki kemampuan reproduksi yang tidak berbeda pada kedua jenis inang alternatif. Perbedaan hanya terjadi pada alokasi jenis kelamin keturunan. Pada telur R. linearis, betina A. dasyni akan meletakkan 70.20% keturunannya berkelamin betina, sedangkan pada telur N. viridula hampir 100% jantan. Di samping berpengaruh terhadap perkembangan pradewasa, ukuran inang juga menjadi faktor yang mempengaruhi perilaku peletakan telur parasitoid. Parasitoid A. dasyni akan meletakkan keturunan jantan sebanyak-banyaknya pada inang yang berukuran kecil karena inang dinilai kurang cocok untuk perkembangan betina. Proporsi keturunan berkelamin jantan akan lebih banyak dibandingkan betina pada inang yang lebih kecil (Gauld & Fitton 1987; Heinz & Parella 1990; Joyce et al. 2002).

Nisbah kelamin A. dasyni yang diperoleh pada dua jenis inang alternatif, juga sesuai dengan teori Charnov et al. (1981) yang memprediksi bahwa parasitoid betina akan meletakkan jantan pada inang yang kecil dan betina pada inang yang lebih besar. Namun demikian, teori ini tidak mutlak karena parasitoid dapat menghasilkan keturunan berkelamin jantan dan betina, baik pada inang yang berukuran besar maupun kecil. Hanya saja terjadi perbedaan di dalam nisbah

kelamin. Hal ini terbukti dari kemunculan betina A. dasyni pada telur N. viridula. Kemunculan betina tersebut kemungkinan terjadi pada telur N. viridula yang memiliki ukuran lebih besar di antara telur yang disediakan. Telur N. viridula memiliki ukuran panjang berkisar antara 0.98 mm sampai 0.99 mm dan lebar antara 0.81 mm sampai 0.83 mm.

(36)

adalah betina. Dengan demikian inang alternatif tersebut sesuai untuk pembiakan massal A. dasyni.

Imago betina A. dasyni asal telur R. linearis yang diberi inang berbeda tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap lama hidup. Lama hidup, sebagaimana yang dikemukakan oleh Trisawa et al. (2007) dipengaruhi oleh ketersediaan pakan. Madu merupakan faktor penting bagi kelangsungan hidup dan reproduksi A. dasyni. Keberadaan inang hanya dapat memberikan kesempatan kepada imago betina A. dasyni untuk menunjukkan potensi bertelurnya.

Masa praoviposisi, oviposisi, dan pasca oviposisi relatif lebih cepat pada betina A. dasyni yang diberi telur N. viridula dibandingkan yang diberi telur R. linearis. Hal ini dapat disebabkan oleh pengaruh spesies inang yang secara tidak langsung mempengaruhi fisiologi parasitoid (van Alphen & Jervis 1997; Corteserro et al. 2000).

Satu ekor betina A. dasyni mampu menghasilkan keturunan rata-rata sebesar 122.72 ± 11.43 ekor pada telur R. linearis, dan 129.85 ± 15.15 ekor pada telur N. viridula. Data tersebut berdasarkan jumlah imago parasitoid baik yang keluar maupun yang gagal keluar dari setiap telur inang yang diparasit. Parasitoid yang gagal keluar sangat rendah, hanya 0.52% pada telur R. linearis dan 1.13% pada telur N. viridula. Mengingat bahwa A. dasyni merupakan parasitoid soliter, maka jumlah keturunan tersebut menunjukkan jumlah telur yang diletakkan (keperidian). Keperidian ini menurut Trisawa et al. (2007) berada pada kisaran keperidian A. dasyni pada inang alami yaitu antara 60 sampai 136 butir.

Perbandingan Berbagai Dimensi Tubuh Parasitoid

(37)

Tabel 3.2 Dimensi tubuh A. dasyni betina(x ± SD mm) yang dipelihara pada telur kepik kedelai

Inang Panjang tubuh

Kepala Toraks Abdomen Sayap Panjang

antena Panjang Lebar Panjang Lebar Panjang Lebar Panjang Lebar

R. linearis 2.23 ± 0.06 0.46 ± 0.04 0.62 ± 0.02 0.89 ± 0.07 0.53 ± 0.03 0.83 ± 0.02 0.50 ± 0.02 1.36 ± 0.04 0.49 ± 0.04 1.14 ± 0.02

N. viridula 1.73 ± 0.10 0.33 ± 0.02 0.50 ± 0.04 0.68 ± 0.07 0.40 ± 0.04 0.58 ± 0.08 0.35± 0.07 1.24 ± 0.05 0.40 ± 0.04 0.84 ± 0.06

t -19.58 -7.02 -11.02 -9.53 -12.03 -14.46 -8.59 -8.45 -7.70 -20.78

db 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19

P < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001 < 0.001

Tabel 3.3 Dimensi tubuh A. dasyni jantan (x ± SD mm) yang dipelihara pada telur kepik kedelai

Inang Panjang tubuh

Kepala Toraks Abdomen Sayap Panjang

antena Panjang Lebar Panjang Lebar Panjang Lebar Panjang Lebar

R. linearis 1.58 ± 0.06 0.33 ± 0.02 0.45 ± 0.04 0.65 ± 0.03 0.38 ± 0.05 0.59 ± 0.02 0.37 ± 0.02 1.15 ± 0.07 0.57 ± 0.04 0.95 ± 0.01

N. viridula 1.46 ± 0.03 0.29 ± 0.03 0.42 ± 0.01 0.62 ± 0.04 0.33 ± 0.03 0.51 ± 0.05 0.27 ± 0.03 0.93 ± 0.10 0.46 ± 0.08 0.70 ± 0.05

t -8.47 -3.94 -2.82 -3.14 -4.16 -7.65 -13.47 -7.97 -4.94 -23.54

db 19 19 19 19 19 19 19 19 19 19

(38)
[image:38.595.141.500.93.333.2]

Gambar 3.1 Perbandingan ukuran parasitoid A. dasyni betina dan jantan asal inang alternatif. Kiri: parasitoid asal telur N. viridula, kanan:

parasitoid asal telur R. linearis

Ukuran tubuh A. dasyni yang meningkat dapat dipengaruhi oleh sumber energi yang dibawa saat fase larva sehingga dewasa yang besar akan memiliki cadangan energi. Kondisi ini dapat menyebabkan imago betina memiliki peluang hidup lebih lama dengan keperidian yang lebih tinggi. Betina yang berukuran lebih kecil, kurang baik jika digunakan sebagai induk dalam pembiakan massal. Ukuran tubuh betina yang kecil akan memiliki kebugaran yang rendah yang berdampak pada rendahnya produksi telur (Rosenheim & Rosen 1991; Godfray 1994; van Alphen & Jervis 1997).

Sintasan dan Neraca Hayati A. dasyni pada Telur R. linearis

(39)

pengamatan menunjukkan bahwa 100% telur R. linearis yang diparasit berhasil mengeluarkan imago parasitoid.

Kesintasan imago betina A. dasyni pada inang R. linearis menunjukkan bahwa proporsi imago yang masih hidup (lx) menurun mulai hari ke 27. Jumlah

keturunan betina yang diletakkan setiap hari (mx

0 1 2 3 4 5 6

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55

Umur imago betina A. dasyni (hari)

Ba nya knya ke turuna n ya ng di le ta kka n pe r ha ri (m x) 0 0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1 P ropors i be ti na ya ng hi dup (l x) mx lx

[image:39.595.96.505.256.554.2]

) berfluktuasi. Puncak peneluran A. dasyni terjadi pada individu yang berumur 21 hari atau imago betina yang berumur 6 hari (Gambar 3.2).

Gambar 3.2 Sintasan dan keperidian harian parasitoid A. dasyni pada telur R. linearis

(40)

Neraca hayati A. dasyni yang dibiakkan pada telur R. linearis disajikan pada Tabel 3.4. Nilai laju reproduksi bersih (Ro) menggambarkan rata-rata jumlah keturunan betina yang dihasilkan oleh seekor induk parasitoid. Dengan demikian, maka seekor imago betina A. dasyni dapat menghasilkan 84.29 betina/induk/generasi atau terjadi kelipatan populasi A. dasyni 84.29 kali dalam setiap generasi. Parasitoid A. dasyni yang dibiakkan pada telur R. linearis memiliki rata-rata waktu satu generasi (T) 27.51 hari. Waktu tersebut menunjukkan waktu yang dibutuhkan sejak telur diletakkan sampai imago yang berasal dari telur tersebut menghasilkan separuh keturunannya. Nilai laju pertambahan intrinsik (r) adalah 0.1870 betina/induk/hari dengan nilai laju

pertambahan terbatas (λ) adalah 1.21 betina/induk/hari. Nilai ini menunjukkan

besarnya kelipatan populasi A. dasyni per hari. Tabel 3.4 Berbagai statistik neraca hayati A. dasyni

Statistik Nilai Satuan

Laju reproduksi bersih (Ro) 84.29 Betina/induk/generasi Rataan masa generasi (T) 27.51 Hari

Laju pertambahan intrinsik (r) 0.1870 Betina/induk/hari

Laju pertambahan terbatas (λ) 1.21 Betina/induk/hari

Hasil perhitungan nilai reproduksi (RVx) parasitoid A. dasyni pada telur R. linearis 402.51 individu. Nilai reproduksi meningkat pada awal reproduksi sampai puncaknya pada individu parasitoid yang berumur 19 hari atau imago umur 4 hari, kemudian menurun sesuai dengan bertambahnya umur parasitoid (Gambar 3.3).

(41)
[image:41.595.148.491.85.296.2]

Gambar 3.3 Nilai reproduksi A. dasyni menurut umur pada telur R. linearis Hasil perhitungan untuk sebaran umur stabil (px) menunjukkan bahwa fase larva A. dasyni memiliki proporsi yang lebih tinggi (50.41%) dibandingkan fase lainnya (Tabel 3.5). Hasil ini menunjukkan bahwa sebagian besar anggota populasi A. dasyni merupakan serangga pradewasa. Menurut Price (1997) populasi yang sebagian besar tersusun dari individu-individu yang berumur muda akan tumbuh dengan cepat.

Tabel 3.5 Proporsi fase perkembangan A. dasyni pada sebaran stabil

Fase Proporsi (%)

Telur 17.06

Larva 50.41

Pupa 26.53

Imago 6.02

Kesimpulan

(42)

parasitoid yang dihasilkan dari telur R. linearis sebagian besar adalah betina, dengan laju pertambahan intrinsik 0.1870, rataan masa generasi (T) 27.51 hari, dan populasinya meningkat 84.29 kali lipat per generasi.

Daftar Pustaka

Beckage NE. 1985. Endocrine interactions between endoparasitic insect and their host. Ann Rev Entomol 30:371-413.

Birch LC. 1948. The intrinsic rate of natural increase of an insect population. J Anim Ecol 17:15-26.

Carey JR. 1993. Applied Demography for Biologist with Special Emphasis on Insects. New York. Oxford Univ Press.

Charnov EL, Los-den Hartogh RL, Jones WT, van den Assem J. 1981. Sex ratio evolution in a variable environment. Nature 289:27-33.

Colazza S, Wajnberg E. 1998. Effect of host egg mass size on sex ratio and oviposition sequence of Trissolcus basalis (Hymenoptera: Scelionidae). Pop Ecol 27:329-336.

Corteserro AM, Stapel JO, Lewis WJ. 2000. Understanding and manipulating plant attributes to enhance biological control. Biol Control 17:35-49. Deciyanto S, Trisawa IM, Muchyadi. 1993. Parasitism fluctuation of

egg-parasitoids of pepper bug (Dasynus piperis China) in Bangka. J Spice Medic Crops 1(2):33-36.

Gauld ID, Fitton MG. 1987. Sexual dimorphism in the Ichneumonidae: a response to hurlbutt. Biol J Linn Soc 31:291-300.

Godfray HCJ. 1994. Parasitoids: Behavioral and Evolutionary Ecology. New Jersey: Princenton Univ Press.

Head J, Walters KFA. 2002. Augmentation biological control using the entomopathogenic nematode Steinernema feltiae against the south american leafminer Liriomyza huidobrensis. International Symposium on Biological Control of Arthropods; Honolulu, January 14-18, 2002. West Virginia: Forest Health Technology Enterprise Team. hlm 136-140.

Heinz KM. 1998. Host size-dependent sex allocation behavior in a parasitoid: implications for Catolaccus grandis (Hymenoptera: Pteromalidae) mass rearing program. Bull Entomol Res 88:37-45.

Heinz KM, Parella MP. 1990. The influence of host size on sex ratios in the parasitoid Diglyphus begini (Hymenoptera: Eulophidae). Ecol Entomol 15: 391-399.

(43)

Kalshoven LGE. 1981. Pests of Crops in Indonesia. van der Laan PA, penerjemah. Jakarta: Ichtiar Baru-Van Hoeve. Terjemahan dari: De Plagen van de Cultuurgewassen in Indonesie.

Lee, JH, Ahn JJ. 2000. Temperature effects on development, fecundity, and life table parameters of Amblyseius womersleyi (Acari: Phytoseiidae). Environ Entomol 29(2):265-271.

Lysyk TJ. 2000. Relationship between temperature and life history parameters of Muscidifurax raptor (Hymenoptera: Pteromalidae). Environ Entomol 29(3):596-605.

Mills NJ. 2002. Augmentation in orchards: improving the efficacy of Trichogramma inundation. International Symposium on Biological Control of Arthropods; Honolulu, January 14-18, 2002. West Virginia: Forest Health Technology Enterprise Team. hlm 130-135.

Nakamura, N. 1984. Survivorship and fertility schedules of two Epilachnine ”spesies” feeding on cucurbitaceous plant under laboratory conditions (Coleoptera: Coccinellidae). Appl Ent Zool 19(1):59-66.

Price PW. 1997. Insect Ecology.3rd. New York: John Wiley & Sons.

Rosenheim JA, Rosen D. 1991. Foraging and oviposition decisions in the parasitoid Aphytis lingnanensis: Distinguishing the influenches of egg load and experience. J Animal Ecol 60:873-894.

Trisawa IM, Rauf A, Kartosuwondo U. 2007. Biologi parasitoid Anastatus dasyni Ferr. (Hymenoptera: Eupelmidae) pada telur Dasynus piperis China (Hemiptera: Coreidae). Hayati 14(3):81-86.

van Alphen JJM, Jervis MA. 1997. Foraging behaviour. Di dalam: Jervis M, Kidd N, editor. Insect Natural Enemies. Practical Approaches to Their Study and Evaluation. London: Chapman & Hall. hlm 1-62.

van Driesche RG, Bellows JTS. 1996. Biological Control. New York: Chapman & Hall.

van Lenteren JC. 1989. Parasitoids in the greenhouse: successes with seasonal inoculative release systems. Di dalam: Waage J, Greathead D, editor. Insect Parasitoids. London : Academic Press. hlm 341-374.

Vinson SB. 1984. Parasitoid-host relationship. Di dalam: William JB, Carde RT, editor. Chemical Ecology of Insect. London: Chapman & Hall Ltd. hlm 205-225.

Wright MG, Hoffmann MP, Chenus SA, Gardner J. 2001. Dispersal behavior of Trichogramma ostriniae (Hymenoptera: Trichogrammatidae) in sweet corn fields: implications for augmentative releases against Ostrinia nubilalis (Lepidoptera: Crambidae). Biol Control 22:29-37.

(44)
(45)
(46)

PREFERENSI PARASITOID

Anastatus dasyni

FERR.

(HYMENOPTERA: EUPELMIDAE) DAN PENGARUH LAMA

PENYIMPANAN INANG PADA SUHU DINGIN

TERHADAP PARASITISASI

[Preference of Anastatus dasyni Ferr. (Hymenoptera: Eupelmidae) and effects of cold storage duration of host to parasitization]

Abstrak

Telur kepik kedelai Riptortus linearis Fabr. dapat digunakan sebagai inang alternatif untuk pembiakan Anastatus dasyni Ferr. Penelitian bertujuan mengkaji tingkat preferensi dan parasitisasi parasitoid A. dasyni hasil pembiakan pada inang alternatif, serta mengkaji pengaruh lama penyimpanan inang alternatif pada suhu dingin terhadap parasitisasi. Pada pengujian preferensi, imago betina A dasyni dilepas ke dalam kurungan yang berisi 3 jenis inang di laboratorium dan lapangan. Untuk menentukan pengaruh umur inang terhadap parasitisasi, imago betina A. dasyni dimasukkan ke dalam tabung gelas yang berisi telur D. piperis dengan umur berbeda yaitu 1, 2, 3, dan 4 hari. Pengaruh lama penyimpanan inang pada suhu dingin terhadap parasitisasi, dilakukan terhadap telur R. linearis yang disimpan pada suhu -4oC di dalam freezer selama 1, 2, 3, 4, 6, 8, 12, 16, dan 20 minggu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa imago betina A. dasyni yang dipelihara pada telur R. linearis mampu memarasit telur kepik lada dengan tingkat parasitisasi yang sama dengan inang pembiakannya. Hal ini ditunjukkan oleh indeks preferensi yang tidak berbeda nyata baik pada percobaan di laboratorium maupun lapangan. Telur kepik lada yang berumur 1-3 hari lebih banyak diparasit (70%) dibandingkan telur yang berumur 4 hari (40%). Sebagai inang pembiakan, telur R. linearis yang disimpan pada suhu -4oC di dalam freezer selama 3 minggu masih dapat diparasitisasi hingga sekitar 70%.

Kata kunci: Anastatus dasyni, Dasynus piperis, Riptortus linearis, penyimpanan inang, preferensi

Abstract

(47)

days old pepper bug eggs were more likely to be parasitized than the 4 days old pepper bug eggs. The soybean bug eggs stored at -4o

Parasitoid pada dasarnya akan menyeleksi kecocokan inang dan seleksi tersebut berlangsung melalui proses alamiah. Proses mencari atau menentukan inang pilihan juga terjadi secara acak atau sistematik. Setelah inang ditemukan, proses pemeriksaan berlangsung melalui ovipositor untuk menentukan lokasi penusukan dan peletakan telur (Vinson 1984; Maluf & Kaiser 1998). Hal tersebut

C for 3 weeks long were still suitable for the parasitoid, with the parasitization level was about 70%.

Key words: Anastatus dasyni, Dasynus piperis, Riptortus linearis, host preservation, preference

Pendahuluan

Parasitoid Anastatus dasyni Ferr. (Hymenoptera: Eupelmidae) merupakan salah satu agens hayati yang sedang dikembangkan dalam program pengendalian serangga kepik pengisap buah lada Dasynus piperis (Hemiptera: Coreidae) (Trisawa 2007). Penelitian dan pengembangan parasitoid A. dasyni diarahkan pada upaya peningkatan keefektifannya, termasuk pembiakan pada inang alternatif di laboratorium untuk tujuan pelepasan (augmentasi) ke lapangan.

Hasil penelitian sebelumnya tentang kesesuaian inang alternatif, menunjukkan bahwa telur Riptortus linearis Fabr. (Hemiptera: Alydidae) sangat sesuai untuk pembiakan massal A. dasyni. Parasitoid A. dasyni hasil pembiakan pada inang alternatif tersebut, sebelum dilepas ke lapangan perlu diteliti terlebih dahulu preferensinya terhadap inang alami (telur D. piperis). Hal ini dimaksudkan agar parasitoid yang dilepas akan tepat sasaran dan efektif.

(48)

biasanya berlangsung relatif cepat. Kejadian penusukan ovipositor adalah sebagai keputusan menerima inang untuk meletakkan telur (Vinson 1984).

Jika parasitoid A. dasyni yang dibiakkan pada inang alternatif dan mampu memarasit inang alaminya, maka inang alternatif tersebut menjadi bagian penting dalam teknik pengendalian hayati kepik lada. Oleh karena itu, untuk efisiensi penggunaan inang alternatif perlu diteliti pengaruh lama penyimpanan inang alternatif pada suhu dingin terhadap parasitisasi. Hal ini perlu diperhatikan karena dalam pembiakan parasitoid seringkali inang alternatif yang diperoleh lebih dari yang dibutuhkan. Penyimpanan inang alternatif ini ditujukan sebagai stok yang dapat langsung digunakan ketika parasitoid perlu segera dibiakkan.

Penelitian ini bertujuan mengkaji tingkat preferensi dan parasitisasi parasitoid A. dasyni hasil pembiakan pada inang alternatif, serta mengkaji pengaruh lama penyimpanan inang alternatif pada suhu dingin terhadap parasitisasi.

Bahan dan Metode

Penelitian dilakukan sejak bulan Maret 2009 sampai dengan Nopember 2009 di laboratorium dan lapangan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Kepulauan Bangka Belitung dan di laboratorium hama Balai Penelitian Tanaman Obat dan Aromatik Bogor.

Pembiakan Kepik Kedelai

Pembiakan kepik kedelai dilakukan di laboratorium dengan cara memelihara kepik R. linearis dan N. viridula masing-masing dalam kurungan berkerangka kayu dan berdinding kain kasa berukuran panjang 35 cm, lebar 35 cm, dan tinggi 75 cm. Ke dalam kurungan dimasukkan kacang panjang sebagai pakan kepik yang diganti setiap 2 hari sekali. Di samping itu, ke dalam kurungan juga digantungkan untaian kain wol sebagai tempat peneluran kepik. Telur kepik yang diperoleh selanjutnya digunakan untuk pembiakan dan penelitian.

Pemeliharaan Kepik Lada dan Pembiakan Parasitoid

(49)

kasa berukuran panjang 75 cm, lebar dan tinggi masing-masing 50 cm. Kurungan diisi dengan bibit lada yang ditanam dalam pot plastik. Kepik D. piperis diberi pakan buah lada yang digantungkan pada kawat di bagian atas kurungan atau dilekatkan pada bibit lada. Pakan tersebut diganti setiap 2 hari sekali. Pemeliharaan kepik D. piperis dimaksudkan untuk mendapatkan telur D. piperis yang selanjutnya digunakan untuk penelitian.

Untuk pembiakan parasitoid A. dasyni dilakukan di laboratorium dengan cara memasukkan telur D. piperis yang diperoleh dari pertanaman lada ke dalam tabung reaksi bergaris tengah 1.5 cm, panjang 18.0 cm. Tabung reaksi ditutup dengan kapas yang dibungkus kain kasa. Parasitoid A. dasyni yang diperoleh kemudian dibiakkan. Pembiakan dilakukan dengan cara setiap satu pasang A. dasyni yang baru keluar dari telur D. piperis dipelihara dalam tabung reaksi bergaris tengah 1.5 cm dan panjang 18.0 cm serta diberi pakan madu 10%.

Parasitoid yang telah berumur 2 hari kemudian diberi inang yaitu 10 telur R. linearis umur 2 hariyang dilekatkan dengan lem kertas cair pada kertas karton

(pias) ukuran 1.0 cm x 5.0 cm. Inang diberikan selama 24 jam kemudian diambil dan dan diganti dengan inang yang baru. Inang yang diambil dimasukkan ke dalam tabung reaksi bergaris tengah 1.5 cm dan panjang 18.0 cm, kemudian diamati sampai parasitoid keluar. Parasitoid A. dasyni yang diperoleh digunakan untuk penelitian.

Preferensi Parasitisasi

Penelitian dilakukan di laboratorium dan lapangan dengan metode uji pilihan bebas (free-choice test). Perlakuan jenis inang yang diuji adalah telur D. piperis, R. linearis dan N. viridula, masing-masing berumur 2 hari. Setiap 10 telur perlakuan dilekatkan dengan lem kertas cair pada kertas karton (pias) ukuran 1.0 cm x 5.0 cm.

(50)

merata pada wadah plastik. Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap dan diulang 12 kali.

Bagian atas wadah plastik ditutup dengan kain kasa, dan bagian tengah kasa dilubangi 2.0 cm untuk memasukan A. dasyni. Imago betina A. dasyni umur 4 hari asal inang alternatif dimasukkan ke dalam wadah plastik. Lubang tempat pemasukan parasitoid selanjutnya ditutup dengan kapas yang sudah ditetesi madu 10%. Parasitoid A. dasyni dikeluarkan setelah 24 jam. Setiap pias telur perlakuan diambil dan secara terpisah dimasukkan ke dalam tabung reaksi bergaris tengah 1.5 cm dan panjang 18.0 cm. Tabung reaksi lalu ditutup dengan kapas yang dibungkus kain kasa. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah telur yang diparasit berdasarkan jumlah imago A. dasyni yang keluar dari telur. Telur yang tidak menetas dibedah menggunakan jarum untuk memastikan telur tersebut diparasit atau tidak.

Pada penelitian di lapangan, setiap pias perlakuan dijepit menggunakan stapler pada daun lada kemudian dikurung dengan kurungan kasa. Imago betina A. dasyni umur 4 hari asal inang alternatif kemudian dimasukkan ke dalam kurungan. Ke dalam kurungan juga dimasukkan kapas yang telah ditetesi madu sebagai pakan parasitoid. Setiap pias perlakuan diambil setelah 24 jam dan secara terpisah dimasukkan ke tabung gelas bergaris tengah 1.5 cm dan panjang 18.0 cm. Tabung reaksi lalu ditutup dengan kapas yang dibungkus kain kasa. Pengamatan dilakukan terhadap jumlah telur diparasit seperti pada penelitian di laboratorium. Penelitian disusun dalam rancangan acak kelompok dan diulang 15 kali.

Pengaruh Umur Inang Terhadap Parasitisasi

Penelitian dilakukan di laboratorium dengan metode uji tanpa pilihan ( no-choice test). Perlakuan umur inang alami (telur D. piperis) yang diuji adalah 1, 2, 3, dan 4 hari. Setiap 10 telur perlakuan dilekatkan dengan lem kertas cair pada kertas karton (pias) ukuran 1.0 cm x 5.0 cm. Penelitian disusun dalam rancangan acak lengkap dan diulang 10 kali.

(51)

10% yang dioleskan pada dinding tabung reaksi menggunakan lidi. Tabung reaksi ditutup dengan kapas yang dibungkus kain kasa. Setiap pias kelompok umur telur D. piperis dikeluarkan setelah 24 jam dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi lain yang berukuran sama.

Pengamatan dilakukan terhadap jumlah telur diparasit dari masing-masing perlakuan berdasarkan jumlah imago A. dasyni yang keluar dari telur. Telur yang tidak menetas dibedah dengan menggunakan jarum.

Pengaruh Lama Penyimpanan Inang pada Suhu Dingin Terhadap Parasitisasi<

Gambar

Tabel 3.1  Karakteristik  perkembangan  pradewasa  dan  kehidupan  imago betina                   A
Gambar 3.1   Perbandingan  ukuran  parasitoid   A. dasyni                         inang  alternatif
Gambar 3.2  Sintasan dan keperidian harian  parasitoid A. dasyni pada  telur
Tabel 3.5  Proporsi fase perkembangan A. dasyni pada sebaran stabil
+7

Referensi

Dokumen terkait