• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kesimpulan

Untuk keperluan perbanyakan massal di laboratorium, parasitoid Anastatus dasyni dapat dibiakkan pada telur kepik polong kedelai Riptortus linearis, tetapi tidak pada Nezara viridula. Sebagai inang alternatif, telur kepik R. linearis menawarkan berbagai keunggulan. Pertama, pembiakan kepik polong kedelai R. linearis pada kacang panjang mudah dan murah untuk dilakukan, terutama karena polong kacang panjang dapat diperoleh di pasaran hampir setiap saat. Kedua, dalam keadaan stok berlebih, telur kepik polong kedelai dapat disimpan sementara dalam freezer (-4o

Parasitoid A. dasyni memperlihatkan tanggap fungsional tipe II terhadap peningkatan kelimpahan telur inang, dengan jumlah maksimum yang diparasit adalah 22 butir per hari. Bila untuk mengendalikan kepik lada diperlukan pelepasan parasitoid, maka pelepasan tersebut sebaiknya dilakukan pada saat telur kepik lada berumur ≤ 3 hari. Pada kisaran umur ini, di laboratorium tingkat parasitisasi dapat mencapai sekitar 70%. Upaya meningkatkan kelimpahan parasitoid A. dasyni di kebun lada dapat pula dilakukan melalui penataan vegetasi liar berbunga sebagai sumber nektar. Nektar bunga vegetasi liar seperti Cleome aspera dan Asystasia gangetica berpengaruh nyata terhadap lama hidup betina dan keperidian parasitoid A. dasyni. Parasitoid A. dasyni yang dikurung bersama bunga C. aspera dan A. gangetica hidup lebih lama dan keperidian lebih tinggi dibandingkan yang dikurung bersama bunga dari lima jenis vegetasi lainnya. Begitu pula tingkat parasitisasi A. dasyni di kebun lada yang banyak

C) sebelum digunakan untuk pembiakan parasitoid. Penyimpanan sebaiknya tidak lebih dari 3 minggu, karena lewat batas waktu tadi, tingkat parasitisasi menurun hingga 50%. Ketiga, parasitoid yang dipelihara pada telur kepik polong kedelai menghasilkan keturunan yang sebagian besarnya adalah betina, dengan laju pertambahan intrinsik 0.1870 dan potensi peningkatan populasi 84 kali lipat per generasi. Keempat, parasitoid betina A. dasyni hasil pembiakan pada telur kepik polong kedelai mampu memarasit kembali telur kepik lada Dasynus piperis.

ditumbuhi C. aspera dan A. gangetica sekitar 1.5-3.0 kali lipat lebih tinggi dibandingkan di kebun lada yang dilakukan penyiangan vegetasi liar. Oleh karena itu, kedua vegetasi liar tersebut perlu dikelola keberadaannya di kebun lada untuk mendukung kehidupan parasitoid.

Saran

Hasil penelitian yang diperoleh menyediakan landasan yang kokoh untuk membangkitkan penelitian selanjutnya, terutama tentang teknik pelepasan dan konservasi parasitoid termasuk teknik pengelolaan agroekosistem. Sementara itu, pada level kelompok tani perlu dikembangkan Pos Pelayanan Agens Hayati (Posyanti) yang salah satu kegiatannya adalah melakukan pembiakan massal parasitoid A. dasyni. Pada saat yang bersamaan perlu dilakukan penelitian pelepasan parasitoid secara partisipasif pada lahan petani, yang dilanjutkan dengan penelitian adopsi teknologi pengendalian hayati oleh petani. Selain itu, perlu juga dilakukan analisis usahatani dari kegiatan pembiakan dan pelepasan musuh alami.

Lampiran 1 Bunga vegetasi liar dan tanaman penutup tanah yang umum dijumpai di kebun lada. (a) Cleome aspera, (b) Asystasia gangetica, (c) Oxalis barrelieri, (d) Vernonia cinerea, (e) Ageratum conyzoides, (f) Wedelia trilobata, (g) Arachis pintoi

(a) Cleome aspera

Lampiran 1 (lanjutan)

(d) Oxalis barrelieri

Lampiran 1 (lanjutan)

(e) Ageratum conyzoides

Lampiran 1 (lanjutan)

Lampiran 2 Berbagai kondisi kebun lada: (a) kebun lada dengan vegetasi Cleome aspera, (b) kebun lada dengan vegetasi A. gangetica, (c) kebun lada dengan vegetasi Ageratum conyzoides, (d) kebun lada dengan vegetasi Arachis pintoi

(a) Kebun lada dengan vegetasi Cleome aspera

Lampiran 2 (lanjutan)

(c) Kebun lada dengan vegetasi Ageratum conyzoides

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Lada (Piper nigrum L.) merupakan salah satu tanaman rempah yang sebagian besar (99.89%) diusahakan dalam bentuk perkebunan rakyat, sedangkan sisanya (0.11%) dalam bentuk perkebunan besar swasta (Ditjenbun 2008). Meskipun bukan tanaman asli Indonesia, tanaman yang diintroduksi dari India ini tumbuh dan berkembang serta memiliki peranan penting dalam perekonomian nasional. Lada merupakan produk rempah-rempah pertama Indonesia yang diperdagangkan ke Eropa melalui Arab dan Persia. Sebelum perang dunia ke-dua, Indonesia bahkan tercatat sebagai penghasil lada terbesar dunia dan memasok 80% kebutuhan lada dunia (Wahid 1996). Pada tahun 2007 volume dan nilai ekspor lada Indonesia tercatat 38.447 ton dengan nilai US $ 132.495.000,- yang terdiri atas 15.544 ton lada putih, 20.881 ton lada hitam, dan 2.022 ton dalam bentuk lada lainnya (Ditjenbun 2008). Lada digunakan sebagai bumbu makanan baik pada sektor rumah tangga maupun industri makanan.

Sentra pertanaman lada di Indonesia terdapat di Lampung, Bangka, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, dan Sulawesi Selatan. Total luas areal pada tahun 2009 diperkirakan 191.608 ha dengan produksi 81.660 ton. Dibandingkan tahun 2003 yang mencapai 204.128 ha, luas areal pada beberapa tahun belakangan ini mengalami penyusutan (Ditjenbun 2008). Di antara faktor penyebabnya adalah kondisi perekonomian nasional dan dunia, situasi politik dan keamanan serta harga lada. Kondisi tersebut ditambah dengan teknik budidaya yang minimal menyebabkan produksi tanaman lada menurun. Penurunan produksi dan munculnya negara pesaing baru seperti Vietnam menyebabkan Indonesia tidak lagi menjadi pemasok utama lada dunia. Sebagai gambaran, saat ini Indonesia menempati peringkat ke-tiga sebagai negara penghasil lada hitam di dunia setelah Vietnam dan India, sedangkan untuk lada putih Indonesia tetap produsen utama (Manohara et al. 2007).

Salah satu kendala penurunan produksi lada adalah gangguan hama dan penyakit. Kerugian akibat serangan hama dan penyakit pada tahun 2004 lebih

dari 10 milyar rupiah (Ditlintanbun 2004). Di antara hama pada tanaman lada yang sering menimbulkan kerusakan adalah kepik pengisap buah lada, Dasynus piperis China (Hemiptera: Coreidae) (Deciyanto et al. 1993; Trisawa et al. 2007). Nimfa dan imago D. piperis mengisap cairan buah lada. Buah yang diisap menunjukkan gejala bercak hitam, hampa, kering, dan kemudian gugur. Kondisi buah terserang dapat juga diperburuk oleh kehadiran mikroorganisme seperti cendawan dan bakteri yang menyebabkan buah menjadi busuk (Deciyanto & Wikardi 1989; Wikardi & Asnawi 1996). Buah lada mulai diserang saat berumur 4 bulan sampai 5 bulan. Namun demikian, buah lada umur 6 bulan sampai 9 bulan paling sesuai untuk perkembangan D. piperis karena imago hidup lebih lama, bertelur lebih banyak, persentase tetas telur dan jumlah nimfa yang menjadi imago lebih tinggi (Suprapto & Thomas 1989).

Hasil survei Laba et al. (2004) di Bangka menunjukkan rataan tingkat serangan 36.80%. Di Lampung dilaporkan serangan D. piperis mengakibatkan kerugian produksi sebesar 15% (Suprapto & Thomas 1989). Survei yang sama oleh Trisawa et al. (1992) pada beberapa kecamatan di Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat menunjukkan tingkat serangan berkisar antara 13.52% sampai 18.68%.

Petani lada umumnya mengandalkan penggunaan insektisida untuk mengendalikan D. piperis, dengan frekuensi 1 kali sebulan sejak berbunga hingga panen atau sekitar 10 kali penyemprotan dalam setahun. Selain menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan seperti munculnya hama sekunder, resistensi hama, dan terbunuhnya musuh alami, aplikasi insektisida meninggalkan residu pada hasil panen. Hal yang disebut terakhir ini dapat berdampak pada daya saing yang rendah di pasar global. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk mengurangi penggunaan insektisida adalah pengendalian hayati dengan memanfaatkan musuh alami hama. Tercatat ada tiga jenis parasitoid telur D. piperis yang potensial yaitu Anastatus dasyni Ferr. (Hymenoptera: Eupelmidae), Gryon dasyni Nix. (Hymenoptera: Scelionidae) dan Ooencyrtus malayensis Ferr. (Hymenoptera: Encyrtidae). A. dasyni merupakan jenis yang paling dominan dibandingkan dua parasitoid lainnya, dengan tingkat parasitisasi berkisar 75% sampai 84% (Deciyanto et al. 1993; Trisawa et al. 2007).

Peta Jalan Penelitian

Pemanfaatan parasitoid A. dasyni dalam pengendalian hayati kepik pengisap buah lada memerlukan pemahaman yang mendasar tentang berbagai aspek biologi dan ekologi parasitoid. Gambar 1.1 menyajikan tahapan penelitian atau kajian yang perlu ditempuh dalam rangka pengembangan pengendalian hayati D. piperis dengan memanfaatkan parasitoid A. dasyni. Uraian di bawah ini dibatasi pada tahapan penelitian yang secara langsung menyediakan landasan bagi upaya augmentasi dan manipulasi lingkungan.

Gambar 1.1 Peta jalan penelitian pengendalian hayati kepik pengisap buah lada D. piperis dengan parasitoid A. dasyni. Kotak berwarna gelap adalah tahapan penelitian yang merupakan bagian dari disertasi.

Hasil panen lada tinggi dan tanpa residu insektisida

Parasitoid tersedia berlimpah untuk pengendalian hayati Pembiakan massal dan augmentasi Analisis usahatani Adopsi pengendalian hayati Pengembangan pos pelayanan hayati Parameter kehidupan parasitoid

Lama hidup dan keperidian Manipulasi lingkungan Kesesuaian inang alternatif Preferensi dan penyimpanan inang Tanggap fungsional Vegetasi liar berbunga sumber nektar Neraca hayati Preferensi terhadap jenis inang Parasitisasi pada umur inang alami Lama penyimpanan

inang alternatif Parameter tanggap

fungsional

Preferensi terhadap bunga vegetasi liar Parasitisasi di kebun

Penyediaan parasitoid dalam jumlah yang banyak memerlukan penyediaan inang yang banyak pula. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa cukup banyak kendala dalam membiakkan parasitoid A. dasyni dengan menggunakan telur D. piperis. Kendala tersebut di antaranya adalah sulitnya mendapatkan telur D. piperis dari hasil pembiakan massal. Oleh karena itu, upaya mendapatkan inang alternatif yang sesuai untuk membiakkan parasitoid A. dasyni merupakan hal yang sangat penting. Penelitian pendahuluan di laboratorium mendapatkan bahwa parasitoid A. dasyni dapat dibiakkan dengan mudah pada telur kepik polong kedelai, Riptortus linearis (Hemiptera: Alydidae) dan Nezara viridula (Hemiptera: Pentatomidae). Sebelum telur R. linearis dan N. viridula dijadikan inang alternatif untuk pembiakan massal parasitoid A. dasyni, perlu diteliti sejauh mana pengaruh inang alternatif ini terhadap kehidupan parasitoid. Pendekatan yang dapat dilakukan adalah melalui pengkajian neraca hayati. Dari neraca hayati dapat dihitung beberapa statistik demografi. Salah satu statistik demografi yang paling handal untuk mengukur potensi musuh alami adalah laju pertambahan intrinsik (r), karena di dalamnya telah mempertimbangkan karakteristik kehidupan serangga seperti masa hidup, keperidian, sintasan, dan nisbah kelamin (Carey 1993). Nilai r merupakan salah satu kriteria yang penting untuk mengevaluasi keefektifan atau potensi dari agens pengendalian hayati (Lee & Ahn 2000), serta dapat digunakan untuk menduga potensi pertumbuhan populasi parasitoid (Lysyk 2000).

Parasitoid A. dasyni hasil pembiakan pada inang alternatif, sebelum dilepas ke lapangan perlu dikaji tingkat preferensinya baik terhadap inang alami maupun inang alternatif. Di samping itu, perlu dikaji tingkat parasitisasinya pada beberapa umur inang. Hal ini penting untuk memastikan bahwa parasitoid tersebut efektif dan mampu berkembang sesuai dengan fenologi inang di lapangan. Informasi yang diperoleh menjadi acuan dalam penerapan salah satu pendekatan pengendalian hayati yaitu augmentasi (pelepasan parasitoid). Selanjutnya, untuk efisiensi pembiakan massal A. dasyni diperlukan kajian tentang pengaruh lama penyimpanan inang dalam suhu dingin terhadap kemampuan parasitisasi. Hal ini penting mengingat inang yang dibiakkan seringkali berlebih, sehingga perlu untuk disimpan sebelum digunakan di waktu

mendatang. Penyimpanan inang ini ditujukan sebagai stok yang dapat langsung digunakan ketika parasitoid perlu segera dibiakkan. Cara ini dapat memangkas waktu penyediaan inang dibandingkan jika inang diperoleh melalui proses pemeliharaan dan pembiakan serangga dewasa.

Keefektifan parasitoid juga perlu dikaji berdasarkan tanggapnya terhadap peningkatan kerapatan inang. Secara umum individu parasitoid biasanya akan memberikan tanggap terhadap peningkatan kelimpahan hama, yang disebut tanggap fungsional. Dari kegiatan penelitian ini dapat ditentukan apakah A. dasyni memperlihatkan tanggap fungsional tipe I, II, atau III. Parameter penting dari tanggap fungsional adalah laju pencarian seketika (a) dan masa penanganan inang (Th). Parasitoid yang potensial adalah yang memiliki nilai a yang tinggi dan nilai Th yang rendah (Hassell 2000).

Keberhasilan pemanfaatan A. dasyni dalam pengendalian hayati D. piperis di lapangan perlu didukung oleh ketersediaan pakan bagi imago betina parasitoid. Salah satu sumber pakan bagi parasitoid di lapangan adalah nektar yang terdapat pada bunga vegetasi liar. Pada pertanaman lada tumbuh beberapa vegetasi liar berbunga dan belum diketahui bagaimana peranan bunga vegetasi liar tersebut sebagai sumber nektar parasitoid A. dasyni. Hal ini perlu diteliti, termasuk juga terhadap bunga A. pintoi yang selama ini dianjurkan ditanam pada kebun lada karena dianggap dapat meningkatkan tingkat parasitisasi parasitoid. Dari penelitian ini dapat ditentukan jenis vegetasi liar yang dapat mendukung kehidupan parasitoid. Pengetahuan ini diperlukan untuk mengelola ekosistem lada yang menunjang pengendalian hayati kepik pegisap buah lada.

Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian bertujuan memanfaatkan parasitoid A. dasyni sebagai agens pengendalian hayati kepik pengisap buah lada D. piperis. Secara lebih khusus penelitian bertujuan (1) mengkaji kesesuaian telur kepik kedelai R. linearis dan N. viridula sebagai inang alternatif untuk pembiakan massal parasitoid A. dasyni berdasarkan berbagai parameter hayati; (2) mengkaji tingkat preferensi parasitoid A. dasyni hasil pembiakan pada inang alternatif, serta pengaruh lama penyimpanan inang pada suhu dingin terhadap parasitisasi; (3) mengukur tanggap fungsional A. dasyni terhadap peningkatan kerapatan inang

telur kepik buah lada; dan (4) mengkaji pengaruh berbagai bunga vegetasi liar sebagai sumber nektar terhadap lama hidup, keperidian, dan perilaku parasitoid di laboratorium, serta pengaruh keberadaan vegetasi liar terhadap tingkat parasitisasi di lapangan.