• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbedaan Adversity Quotient Pada Wirausahawan Batak Toba Dan Jawa

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Perbedaan Adversity Quotient Pada Wirausahawan Batak Toba Dan Jawa"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)

PERBEDAAN ADVERSITY QUOTIENT PADA

WIRAUSAHAWAN BATAK TOBA DAN JAWA

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh:

OLYFIA CARONA SITEPU

081301045

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(2)
(3)

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah, menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi saya yang berjudul:

“Perbedaan Adversity Quotient Pada Wirausahawan Batak Toba Dan Jawa”

adalah hasil karya sendiri dan belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi manapun.

Adapun bagian-bagian tertentu dalam penulisan skripsi ini saya kutip dari hasil karya orang lain yang telah dituliskan sumbernya secara jelas sesuai dengan norma, kaidah dan etika penulisan ilmiah.

Apabila di kemudian hari ditemukan adanya kecurangan dalam skripsi ini, saya bersedia menerima sanksi dari Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara sesuai dnegan peraturan yang berlaku.

Medan, 14 Mei 2012

(4)

Perbedaan Adversity Quotient Pada Wirausahawan Batak Toba Dan Jawa Olyfia Carona Sitepu dan Eka Danta Jaya Ginting

ABSTRAK

Adversity quotient adalah sikap mental yang berupa kemampuan seseorang

untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan dan mengatasinya untuk mencapai kesuksesan pada pekerjaan dan hidup.

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif komparatif bertujuan untuk mengetahui perbedaan adversity quotient pada wirausahawan Batak Toba dan Jawa. Hipotesis dalam penelitian ini mengatakan bahwa adversity quotient

wirausahawan Batak Toba lebih tinggi dibandingkan wirausahawan Jawa.

Penelitian ini melibatkan 200 orang wirausahawan yang terdiri dari 100 orang wirausahawan Batak Toba yang berada di Pulau Samosir dan 100 orang wirausahawan Jawa yang berada di kabupaten Kediri Jawa Timur dan kabupaten Sleman Yogyakarta sebagai subjek penelitian. Peneliti menggunakan metode

convenient sampling. Data penelitian diolah dengan mann whitney test. Hal ini

disebabkan oleh sampel tidak homogen terhadap populasinya. Alat ukur yang digunakan adalah skala adversity quotient.

Hasil analisa data menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara

adversity quotient wirausahawan Batak Toba dan Jawa dengan p = 0.00.

Wirausahawan Batak Toba memiliki skor mean yang lebih tinggi (115.66) dibandingkan dengan wirausahawan Jawa (85.34).

Hasil penelitian berguna bagi pihak wirausahawan, yakni dapat memberikan informasi tentang pentingnya adversity quotient dalam mencapai keberhasilan di dunia kewirausahawanan. Serta penelitian ini berguna bagi pihak Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop) untuk lebih dapat memberikan pelatihan kepada wirausahawan Batak Toba dan Jawa dan pada pihak Bank sebagai pihak penyedia dana untuk lebih dapat memberikan bantuan dana bagi wirausahawan Batak Toba dan Jawa.

(5)

The Difference of Adversity Quotient Between Batak Toba Entrepreneur And Javanese Entrepreneur

Olyfia Carona Sitepu and Eka Danta Jaya Ginting

ABSTRAK

Adversity quotient is a capability of anyone to survive in any difficult condition and solve the problems to achieve a success either in the work or life.

This is a quantitative comparative research that aims to know the difference of adversity quotient between Batak Toba entrepreneur and Javanese entrepreneur. The hypothesis in this research says that adversity quotient of Batak Toba entrepreneur is higher than Javanese entrepreneur.

This research involved 200 entrepreneurs, consisting of 100 Batak Toba entrepreneurs in Samosir Island and 100 Javanese entrepreneurs in Kediri, East Java and Sleman, Yogyakarta as research subject. Researcher used convenient sampling methods. Data research was calculated by mann whitney test. Because sample is not homogeny toward population. The instrument used is adversity quotient scale.

The result of data analysis represents a significant difference between adversity quotient of Batak Toba entrepreneur and Javanese entrepreneur with p = 0.00. Batak Toba entrepreneur has higher mean score (115.66) than Javanese entrepreneur (85.34).

The result is useful for entrepreneurs, which can give information about the important of adversity quotient in achieving success in the world of entrepreneurship. And this research is useful for Ministry of cooperation and UKM (Kemenkop) in providing training for Batak Toba entrepreneur or Javanese entrepreneur and for Bank as fund provider in providing financial assistance for Batak Toba entrepreneur or Javanese entrepreneur.

(6)

KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan pada Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan ridho-Nya hingga akhirnya penulis dapat menyelesaikan penelitian yang

berjudul “Perbedaan Adversity Quotient Pada Wirausahawan Batak Toba dan

Jawa”. Penyusunan skripsi ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu

syarat untuk mencapai gelar Sarjana Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan skripsi ini penulis telah banyak menerima arahan dan bimbingan serta motivasi dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung. Penulis menyadari bahwa tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, baik dari masa perkuliahan sampai pada penyusunan skripsi ini sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Sehingga pada kesempatan ini penulis menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada

kedua orang tua penulis “Sofian Sitepu, S.H dan Dra. Karolina Purba, serta pada Offlyn Sitepu, S.P., Ofalyn Octarya Sitepu dan Oka Putra Sitepu atas doa dan dukungannya selama ini.

Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu saya dalam menyelesaikan skripsi ini, yaitu:

1. Ibu Prof. Dr. Irmawati, psikolog selaku Dekan Fakultas Psikologi USU 2. Eka Danta Jaya Ginting, MA, psikolog selaku Pembimbing Skripsi yang

(7)

3. Kak Ridhoi Meilona Purba, M.Si selaku dosen pembimbing akademik yang telah memberikan bimbingan selama masa perkuliahan di Fakultas Psikologi USU.

4. Bapak Ferry Novliadi, M.Si dan Ibu Filia Dina Anggaraeni, M.Pd selaku dosen penguji yang bersedia meluangkan waktu untuk menguji penulis dalam mempertanggungjawabkan skripsi ini

5. Para subjek penelitian yaitu wirausahawan Batak Toba dan Jawa yang telah rela meluangkan waktunya untuk membantu peneliti dalam pengambilan data penelitian

6. Untuk teman-teman mahasiswa khususnya angkatan 2008, terima kasih atas kebersamaan dan pengalaman yang telah kita jalani bersama

7. Seluruh keluarga besar Fakultas Psikologi USU, yang telah membantu dan mempermudah segala urusan yang berkaitan dengan administrasi, baik saat masa perkuliahan maupun yang berhubungan dengan penelitian Akhir kata, penulis berharap Allah SWT berkenan membalas segala kebaikan saudara-saudara semua. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karenanya, penulis mengharapkan adanya masukan dan saran yang sifatnya membangun dari semua pihak, guna menyempurnakan penelitian ini agar menjadi lebih baik lagi. Atas segala kekurangan dalam penulisan skripsi ini peneliti mohon maaf. Dan semoga skripsi ini membawa manfaat bagi kita semua.

(8)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ……….. i

DAFTAR ISI ………. iii

DAFTAR TABEL ……… vii

DAFTAR LAMPIRAN ………... ix

BAB I PENDAHULUAN ………. 1

A. Latar Belakang Masalah ………... 1

B. Rumusan Masalah ……… 9

C. Tujuan Penelitian ……….……… 9

D. Manfaat Penelitian ………... 9

E. Sistematika Penulisan ……….. 10

BAB II LANDASAN TEORI ……… 12

A. Adversity Quotient ……… 12

1. Pengertian Adversity Quotient ………. 12

2. Dimensi Adversity Quotient ………. 13

3. Tipe Adversity Quotient ………... 15

4. Faktor-Faktor Pendukung Kesuksesan ……… 16

B. Kebudayaan ………. 18

1. Budaya Batak Toba ……….. 20

2. Budaya Jawa ………. 24

C. Kewirausahaan ………. 30

(9)

2. Sifat-Sifat Wirausaha ……… 32

3. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Keberhasilan Usaha ……… 36

D. Perbedaan Adversity Quotient Pada Wirausaha Etnis Batak Toba dan Jawa ……….. 37

E. Hipotesis ………... 44

BAB III METODE PENELITIAN ………. 45

A. Identifikasi Variabel Penelitian ……… 45

B. Definisi Operasional Variabel Penelitian ………. 45

1. Adversity Quotient ………...………. 45

2. Wirausahawan Batak Toba dan Jawa ……….….………. 46

C. Populasi dan Metode Pengambilan Sampel ………. 46

1. Populasi dan Sampel ………. 46

2. Metode Pengambilan Sampel ……… 48

D. Alat Ukur Yang Digunakan ………... 48

E. Uji Coba Alat Ukur ……… 50

1. Uji Validitas ……… 50

2. Uji Reliabilitas ……… 51

3. Uji Daya Beda Aitem ……….. 52

4. Hasil Uji Coba Alat Ukur ……… 52

F. Prosedur Pelaksanaan Penelitian ………. 54

1. Tahap Persiapan Penelitian ……….. 54

(10)

3. Pengolahan Data Penelitian ……….. 57

G. Metode Analisa Data ……… 57

1. Uji Normalitas ……….. 57

2. Uji Homogenitas ……….. 58

BAB IV ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN ……….. 59

A. Deskripsi Data Penelitian ……… 59

1. Deskripsi Data Berdasarkan Jenis Kelamin ……… 59

2. Deskripsi Data Berdasarkan Usia ………... 60

3. Deskripsi Data Berdasarkan Jenis Usaha ……… 61

4. Deskripsi Data Berdasarkan Lama Usaha ……….. 63

5. Deskripsi Data Berdasarkan Sumber Modal ………….. 64

6. Deskripsi Data Berdasarkan Omset Usaha ………. 66

7. Deskripsi Data Berdasarkan Jumlah Karyawan ……….. 67

8. Deskripsi Data Berdasarkan Status Pernikahan ……….. 67

B. Hasil Penelitian Utama ……… 68

1. Uji Asumsi ………... 68

a. Uji Normalitas ……… 68

b. Uji Homogenitas ……… 69

2. Uji Hipotesa Penelitian ………... 70

3. Kategorisasi Skor Adversity Quotient ………. 71

(11)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ………. 76

A. Kesimpulan ………. 76

B. Saran ……… 76

1. Saran Metodologis ……….. 76

2. Saran Praktis ………... 77

DAFTAR PUSTAKA ………. 79

(12)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1. Distribusi Aitem-Aitem Skala Adversity Quotient

Sebelum Uji Coba ... 50

Tabel 2. Distribusi Aitem-Aitem Skala Adversity Quotient Sebelum Uji Coba ... 53

Tabel 3. Distribusi Aitem-Aitem Skala Adversity Quotient Yang Digunakan Saat Penelitian ... 54

Tabel 4. Penyebaran Wirausaha Batak Toba Berdasarkan Jenis Kelamin ... 60

Tabel 5. Penyebaran Wirausaha Jawa Berdasarkan Jenis Kelamin ... 60

Tabel 6. Penyebaran Wirausaha Batak Toba Berdasarkan Usia ... 61

Tabel 7. Penyebaran Wirausaha Jawa Berdasarkan Usia ... 61

Tabel 8. Penyebaran Wirausaha Batak Toba Berdasarkan Jenis Usaha ... 62

Tabel 9. Penyebaran Wirausaha Jawa Berdasarkan Jenis Usaha ... 62

Tabel 10. Penyebaran Wirausaha Batak Toba Berdasarkan Lama Usaha .... 63

Tabel 11. Penyebaran Wirausaha Jawa Berdasarkan Lama Usaha ... 64

Tabel 12. Penyebaran Wirausaha Batak Toba Berdasarkan Sumber Modal ... 65

Tabel 13. Penyebaran Wirausaha Jawa Berdasarkan Sumber Modal ... 65

Tabel 14. Penyebaran Wirausaha Batak Toba Berdasarkan Omset Usaha ... 66

(13)

Tabel 16. Penyebaran Wirausaha Batak Toba Berdasarkan Jumlah

Karyawan ... 67

Tabel 17. Penyebaran Wirausaha Jawa Berdasarkan Jumlah Karyawan ... 67

Tabel 18. Penyebaran Wirausaha Batak Toba Berdasarkan Status Pernikahan ... 68

Tabel 19. Penyebaran Wirausaha Jawa Berdasarkan Status Pernikahan ... 68

Tabel 20. Data Uji Normalitas Sebaran Variabel Penelitian ... 69

Tabel 21. Uji Homogenitas dengan Levene’s Test ... 69

Tabel 22. Deskripsi Skor Adversity Quotient ... 70

Tabel 23. U-Mann Whitney ... 70

Tabel 24. Data Hipotetik dan Empirik Variabel Penelitian ... 71

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

LAMPIRAN A Uji Coba dan Hasil Uji Coba ………. 83 1. Data Mentah Uji Coba Skala Adversity Quotient ... 84 2. Reliabilitas Uji Coba Skala Adversity Quotient ………….. 95

LAMPIRAN B Penelitian dan Hasil Penelitian ……….. 100 1. Data Mentah Skala Adversity Quotient Pada Wirausaha

Etnis Batak Toba ……… 101 2. Data Mentah Skala Adversity Quotient Pada Wirausaha

Etnis Jawa ……… 108

(15)

Perbedaan Adversity Quotient Pada Wirausahawan Batak Toba Dan Jawa Olyfia Carona Sitepu dan Eka Danta Jaya Ginting

ABSTRAK

Adversity quotient adalah sikap mental yang berupa kemampuan seseorang

untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan dan mengatasinya untuk mencapai kesuksesan pada pekerjaan dan hidup.

Penelitian ini adalah penelitian kuantitatif komparatif bertujuan untuk mengetahui perbedaan adversity quotient pada wirausahawan Batak Toba dan Jawa. Hipotesis dalam penelitian ini mengatakan bahwa adversity quotient

wirausahawan Batak Toba lebih tinggi dibandingkan wirausahawan Jawa.

Penelitian ini melibatkan 200 orang wirausahawan yang terdiri dari 100 orang wirausahawan Batak Toba yang berada di Pulau Samosir dan 100 orang wirausahawan Jawa yang berada di kabupaten Kediri Jawa Timur dan kabupaten Sleman Yogyakarta sebagai subjek penelitian. Peneliti menggunakan metode

convenient sampling. Data penelitian diolah dengan mann whitney test. Hal ini

disebabkan oleh sampel tidak homogen terhadap populasinya. Alat ukur yang digunakan adalah skala adversity quotient.

Hasil analisa data menunjukkan terdapat perbedaan yang signifikan antara

adversity quotient wirausahawan Batak Toba dan Jawa dengan p = 0.00.

Wirausahawan Batak Toba memiliki skor mean yang lebih tinggi (115.66) dibandingkan dengan wirausahawan Jawa (85.34).

Hasil penelitian berguna bagi pihak wirausahawan, yakni dapat memberikan informasi tentang pentingnya adversity quotient dalam mencapai keberhasilan di dunia kewirausahawanan. Serta penelitian ini berguna bagi pihak Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop) untuk lebih dapat memberikan pelatihan kepada wirausahawan Batak Toba dan Jawa dan pada pihak Bank sebagai pihak penyedia dana untuk lebih dapat memberikan bantuan dana bagi wirausahawan Batak Toba dan Jawa.

(16)

The Difference of Adversity Quotient Between Batak Toba Entrepreneur And Javanese Entrepreneur

Olyfia Carona Sitepu and Eka Danta Jaya Ginting

ABSTRAK

Adversity quotient is a capability of anyone to survive in any difficult condition and solve the problems to achieve a success either in the work or life.

This is a quantitative comparative research that aims to know the difference of adversity quotient between Batak Toba entrepreneur and Javanese entrepreneur. The hypothesis in this research says that adversity quotient of Batak Toba entrepreneur is higher than Javanese entrepreneur.

This research involved 200 entrepreneurs, consisting of 100 Batak Toba entrepreneurs in Samosir Island and 100 Javanese entrepreneurs in Kediri, East Java and Sleman, Yogyakarta as research subject. Researcher used convenient sampling methods. Data research was calculated by mann whitney test. Because sample is not homogeny toward population. The instrument used is adversity quotient scale.

The result of data analysis represents a significant difference between adversity quotient of Batak Toba entrepreneur and Javanese entrepreneur with p = 0.00. Batak Toba entrepreneur has higher mean score (115.66) than Javanese entrepreneur (85.34).

The result is useful for entrepreneurs, which can give information about the important of adversity quotient in achieving success in the world of entrepreneurship. And this research is useful for Ministry of cooperation and UKM (Kemenkop) in providing training for Batak Toba entrepreneur or Javanese entrepreneur and for Bank as fund provider in providing financial assistance for Batak Toba entrepreneur or Javanese entrepreneur.

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Sejak pertengahan tahun 1997, Indonesia mengalami krisis moneter yang berkembang menjadi krisis ekonomi dan akhirnya krisis multi dimensional yang telah menyebabkan meningkatnya jumlah pengangguran dan jumlah penduduk miskin baik di perkotaan maupun di pedesaan. Pada tahun 1998 menurut Badan Pusat Statistik (BPS) pusat angka pengangguran itu telah mencapai 13,8 juta orang dan jumlah orang miskin mencapai 80 juta orang serta pada periode 1999-2003 jumlah tersebut relatif bertahan sejalan dengan belum selesainya krisis ekonomi yang dialami bangsa Indonesia. Menurut Ruyadi (2004) tingginya angka pengangguran itu faktor utamanya adalah kolapsnya sejumlah perusahaan besar karena tidak mampu mengatasi dampak dari krisis ekonomi tersebut sehingga banyak pekerjanya yang di PHK (Pemutusan Hubungan Kerja). Di sisi lain, krisis

(18)

Dalam rangka menghadapi era perdagangan bebas, bangsa Indonesia ditantang bukan hanya untuk mempersiapkan sumber daya manusia yang siap bekerja, melainkan juga harus mampu mempersiapkan dan membuka lapangan kerja baru. Masyarakat kita dididik untuk menjadi para pencari kerja. Dengan kondisi perekonomian yang tidak stabil, kemapanan dan keamanan dalam bekerja adalah tujuan utama, dan kemapanan tersebut didapat saat kita menjadi karyawan yang mendapat gaji bulanan yang tetap. Sekolah, kuliah dan melamar pekerjaan sudah menjadi tradisi di negeri kita (Soetadi, 2010).

Dunia entrepreneur (wirausaha) masih ditakuti oleh sebagian orang karena dianggap gambling dengan pendapatan yang fluktuatif, kadang naik, kadang turun, dan bisa saja bangkrut. Padahal tidak sedikit entrepreneur yang sukses. Bahkan kebanyakan orang kaya di Indonesia saat ini adalah entrepreneur. Selain itu, saat kita menerjunkan diri menjadi seorang wirausahawan, kita sudah turut andil dalam membuka lapangan pekerjaaan yang saat ini menjadi permasalahan global (Soetadi, 2010).

Hendy Setiono, Presiden Direktur Kebab Turki Baba Rafi Surabaya adalah salah satu wirausahawan muda yang sukses dalam berwirausaha. Hendy belajar untuk membuat kebab ketika dia berada di Qatar. Awalnya Hendy hanya mencoba makanan yang banyak dijualbeli oleh warga setempat. Ketika dia memakan kebab tersebut langsung terbesit di pikiran Hendy untuk membuka usaha kebab di Indonesia. Ketika tiba di Surabaya, dia langsung menyusun strategi bisnis bersama kawan bisnisnya Hasan Baraja. Awalnya mereka sengaja melakukan trial

(19)

kebab dari Qatar tidak begitu disukai oleh konsumen. Sehingga mereka memodifikasi rasa dan ukuran yang sesuai dengan orang Indonesia. September 2003, gerobak jualan kebab pertamanya mulai beroperasi. Mengawali sebuah bisnis tidaklah mudah. Apalagi untuk meraih sukses. Suka duka pun dirasakan oleh Hendy. Misalnya, uang jualan dibawa lari karyawannya, banyak karyawan yang keluar masuk. Bahkan pernah suatu hari dia tidak memiliki karyawan sehingga Hendy dan istri yang berjualan. Hari itupun kebetulan hujan sehingga tidak banyak orang yang membeli kebab dan pemasukan pun sedikit (Irpanudin, 2009).

Hendy tidak ingin setengah-tengah dalam menjalankan bisnis. Akhirnya dia memutuskan berhenti dari bangku kuliah. Hendy tidak menyesal meninggalkan bangku kuliah untuk membangun usaha. Keputusan dia untuk meninggalkan bangku kuliah juga sempat ditentang oleh orang tuanya karena dianggap bisnis yang akan dilakukannya adalah proyek iseng. Yang luar biasa kesuksesan bisnis Hendy tidak memerlukan waktu yang lama untuk mendapatkannya. Dalam waktu 3-4 tahun, dia berhasil mengembangkan sayap di mana-mana. Bahkan, hingga pengujung 2006 pengusaha muda tersebut mencatat telah memiliki 100 outlet Kebab Turki Baba Rafi yang tersebar di 16 kota di Indonesia. Tidak hanya di Indonesia, Hendy berencana mengembangkan usahanya ke luar negeri. Hendy juga sempat ditawari dari Trinidad dan Tobago serta Kamboja untuk membuka outlet (Irpanudin, 2009)

(20)

Kemungkinan gagal dalam berwirausaha adalah ancaman yang selalu ada bagi wirausaha dan tidak ada jaminan kesuksesan. Sehingga seorang wirausahawan membutuhkan adversity quotient untuk mencapai keberhasilannya. Menurut Stoltz (2000) adversity quotient (AQ) merupakan sikap mental yang berupa kemampuan seseorang untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan dan mengatasinya sehingga dapat terus bertahan untuk mencapai kesuksesan pada pekerjaan dan hidup.

Stoltz (2000) mengemukakan adversity quotient merupakan faktor yang paling penting dalam meraih kesuksesan. Adversity quotient adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon terhadap kesulitan dan serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon terhadap kesulitan. Seseorang yang memandang dan mampu mengubah kesulitan atau hambatan sebagai suatu tantangan dan peluang menurut Stoltz (2000) adalah seseorang yang akan mampu terus berjuang dalam situasi apapun sehingga mereka akan mencapai kesuksesan. Seseorang yang terus berjuang dan berkembang pesat adalah seseorang yang memiliki adversity quotient yang tinggi. Seseorang dengan adversity quotient

tinggi ini adalah individu yang merasa berdaya, optimis, tabah, teguh dan memiliki kemampuan bertahan terhadap kesulitan.

Adversity quotient memiliki empat dimensi utama yang dapat membentuk

(21)

akibat kesulitan tersebut. Reach, dimensi ini mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian lain dari kehidupan seseorang. Endurance,

dimensi ini mempertanyakan seberapa lama kesulitan akan berlangsung atau seberapa lama penyebab kesulitan akan berlangsung (Stoltz, 2000).

Menurut Koentjaraningrat (dalam Dewi, 2005), masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku bangsa, nilai-nilai budaya satu suku bangsa dapat berbeda dengan suku bangsa lainnya. Perbedaan ini tentu saja akan mempengaruhi pola pikir, emosi, dan tingkah laku individu dalam setiap suku bangsa. Dalam penelitian ini, peneliti hendak melihat perbedaan adversity quotient wirausahawan Batak Toba dan Jawa. Peneliti tertarik untuk meneliti wirausahawan Batak Toba dan Jawa karena kedua budaya tersebut semakin hari semakin berusaha mengembangkan usahanya dan semakin banyaknya muncul para wirausahawan baru.

(22)

melainkan pola perilaku, sifat, temperamen, perangai bisa memiliki kesamaan yang membedakannya dengan suku atau bangsa lain (Koesoema, 2007).

(23)

Tiap etnis yang ada di Indonesia juga memiliki falsafah hidup masing-masing. Falsafah hidup merupakan anggapan, gagasan dan sikap batin yang paling umum yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang (masyarakat). Falsafah hidup menjadi landasan dan memberi makna pada sikap hidup suatu masyarakat. Etnis Jawa memiliki falsafah hidup tersendiri yang terkandung dalam lima hakekat pokok yaitu hakekat hidup, hakekat kerja, hakekat waktu, hakekat hubungan manusia dengan sesamanya dan hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Misalnya falsafah hidup Jawa yang berisi hakekat hidup adalah falsafah nrima ing pandum yang hampir semua orang Jawa mengenalnya adalah menerima apa yang telah diberikan oleh Tuhan secara apa adanya. Dengan falsafah ini orang Jawa menganggap hidup harus dijalankan dengan tabah dan pasrah. Berdasarkan penelitian yang dilakukan Gauthama (dalam Hadi, 2003) di lima daerah yaitu kota Yogyakarta, Kediri, Banyumas, Pekalongan dan Pasuruan diperoleh hasil bahwa sebagian besar masyarakat, baik masyarakat kelas bawah, menengah maupun atas masih memahami dan menganut falsafah ini dan hanya sebagian kecil yang tidak memahaminya.

Menurut Tinambunan (2010) suku bangsa Batak menjalani hidup sehari-hari juga berdasarkan prinsip-prinsip falsafah batak. Falsafah Batak adalah suatu kebenaran hakiki yang menggambarkan tentang ciri-ciri khas Batak, yang mengatur perilaku hubungan kekerabatan dan interaksi antara yang satu dengan yang lainnya, yang saling mempengaruhi, saling menentukan, saling berhubungan dan saling membutuhkan yang diikat dengan sistem Dalihan Natolu.

(24)

oleh sebagian besar orang Batak untuk mewujudkan kesatuan dan persatuan, kekerabatan dan adat istiadat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Adapun tujuh falsafah hidup yang menjadi pegangan hidup dalam acara-acara adat, keagamaan, pesta, acara kekeluargaan dan kegiatan-kegiatan lain yang dilakukan oleh komunitas Batak yaitu Mardebata (punya Tuhan),

Marpinompar (punya keturunan), Martutur (punya kekerabatan), Maradat

(punya adat istiadat), Marpangkirimon (punya pengharapan), Marpatik (punya aturan dan Undang-Undang), Maruhum (punya hukum). Misalnya salah satu falsafah hidup orang Batak adalah hamoraon, yang artinya setiap orang Batak bercita-cita ingin memiliki harta dan kekayaan. Oleh karena itu, orang Batak begitu gigih mencari uang. Laki-laki ataupun perempuan sama saja, tidak dibeda-bedakan. Identik hamoraon (kekayaan) dipakai untuk mencari hasangapon

(terpandang) dengan menyekolahkan anak setinggi-tingginya.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masing-masing budaya memiliki karakter yang berbeda. Nilai falsafah hidup kedua budaya juga berbeda. Hal ini dapat mengakibatkan adversity quotient kedua budaya juga berbeda. Karakter seseorang yang tercermin dari nilai falsafah hidupnya dapat mempengaruhi adversity quotient yang dimilikinya. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang ada/tidaknya perbedaan adversity

(25)

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan uraian di atas maka yang menjadi rumusan permasalahan

dalam penelitian ini adalah “Apakah ada perbedaan adversity quotient pada wirausahawan Batak Toba dan Jawa?”

C. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah mengetahui perbedaan adversity quotient pada wirausahawan Batak Toba dan Jawa

D. MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat penelitian ini adalah:

1. Dari segi teoritis, penelitian ini diharapkan dapat memperkaya hasil penelitian yang telah ada dan dapat memberikan gambaran profil

adversity quotient pada wirausahawan Batak Toba dan Jawa.

2. Dari segi praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan informasi khususnya kepada wirausahawan bahwa

adversity quotient sangat dibutuhkan dalam mencapai keberhasilan di

(26)

sebagai pihak penyedia dana bagi wirausahawan untuk lebih dapat memberikan bantuan dana bagi wirausahawan Batak Toba dan Jawa.

E. SISTEMATIKA PENULISAN

Adapun sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah: Bab I Pendahuluan

Bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

Bab II Tinjauan Pustaka

Bab ini menguraikan tentang landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian. Bab ini memuat landasan teori mengenai

adversity quotient, kebudayaan etnis Batak Toba dan etnis Jawa serta

kewirausahaan. Kemudian dijelaskan pula hipotesa sebagai jawaban sementara terhadap masalah penelitian yang menjelaskan perbedaan

adversity quotient pada wirausahawan Batak Toba dan Jawa.

Bab III Metode Penelitian

(27)

Bab IV Analisa Data dan Pembahasan

Bab ini menguraikan tentang deksripsi data penelitian, hasil penelitian utama dan pembahasan.

Bab V Kesimpulan dan Saran

(28)

BAB II

LANDASAN TEORI

A. ADVERSITY QUOTIENT (AQ) 1. Pengertian Adversity Quotient

Menurut Stoltz (2000) Adversity Quotient (AQ) adalah sikap mental yang berupa kemampuan seseorang untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan dan mengatasinya sehingga dapat terus bertahan untuk mencapai kesuksesan pada pekerjaan dan hidup. AQ mempunyai tiga bentuk definisi (Stoltz, 2000). Pertama, AQ adalah suatu kerangka kerja konseptual yang baru untuk memahami dan meningkatkan semua segi kesuksesan. Kedua, AQ adalah suatu ukuran untuk mengetahui respon individu terhadap kesulitan. Ketiga, AQ adalah serangkaian peralatan yang memiliki dasar ilmiah untuk memperbaiki respon individu terhadap kesulitan.

Menurut Stoltz (2000) dengan AQ kita dapat melihat beberapa hal, yaitu: a. Seberapa jauh seseorang dapat bertahan dalam menghadapi

kesulitan dan kemampuan seseorang untuk mengatasinya

b. Meramalkan siapa yang mampu mengatasi kesulitan dan siapa yang akan hancur

c. Meramalkan siapa yang akan melampaui harapan-harapan atas kinerja dan potensi mereka serta siapa yang akan gagal

(29)

2. Dimensi Adversity Quotient

Adversity Quotient secara umum dapat diungkap melalui empat dimensi

yang oleh Stoltz (2000) dikenal dengan CO2RE, meliputi:

a. Control

Dimensi ini mempertanyakan tentang seberapa besar kendali yang individu rasakan terhadap sebuah peristiwa yang menimbulkan kesulitan. Individu yang memiliki skor control yang tinggi merasakan kendali yang lebih besar atas peristiwa-peristiwa dalam hidup daripada yang skor control-nya lebih rendah. Mereka yang memiliki AQ yang lebih tinggi cenderung melakukan pendakian, sementara orang-orang yang AQ nya lebih rendah cenderung berkemah atau berhenti. Sedangkan individu yang memiliki skor rendah pada dimensi control

merasa bahwa peristiwa-peristiwa buruk berada di luar kendali dan hanya sedikit yang bisa dilakukan untuk mencegahnya atau membatasi kerugiannya. Individu yang rendah kemampuan pengendaliannya sering menjadi tidak berdaya saat menghadapi kesulitan.

b. Origin dan Ownership

Dimensi ini mempertanyakan dua hal yaitu siapa atau apa yang menjadi asal usul kesulitan dan sampai sejauh manakah seseorang mengakui akibat-akibat kesulitan itu. Dimensi origin berkaitan dengan rasa bersalah. Individu yang skor

origin-nya rendah cenderung menempatkan rasa bersalah yang tidak semestinya

(30)

tersebut. Sedangkan individu yang skor origin-nya tinggi cenderung menganggap sumber kesulitan berasal dari orang lain atau dari luar.

Individu yang skor ownership-nya tinggi akan mengakui akibat dari suatu perbuatan, bertanggungjawab terhadap kesulitan dan mampu belajar dari kesalahan. Sedangkan individu yang skor ownership-nya rendah cenderung tidak mengakui masalah dan menuding orang lain.

c. Reach

Dimensi ini mempertanyakan sejauh manakah kesulitan akan menjangkau bagian-bagian lain dari kehidupan seseorang. Individu yang skor reach-nya rendah cenderung membuat kesulitan merembes ke segi-segi lain dari kehidupan. Sedangkan individu yang skor reach-nya tinggi cenderung membatasi jangkauan masalahnya pada peristiwa yang sedang dihadapi.

d. Endurance

Dimensi ini mempertanyakan berapa lamakah kesulitan akan berlangsung dan berapa lamakah penyebab kesulitan itu akan berlangsung. Individu yang skor

endurance-nya rendah menganggap kesulitan dan/atau penyebab-penyebabnya

(31)

3. Tipe Adversity Quotient

Dengan menganalogikan pada pendakian gunung, Stoltz (2000) membagi orang-orang dalam pendakian itu dalam tiga golongan, yaitu quitter, camper dan

climber.

a. Quitter

Quitter adalah orang yang berhenti dan tidak mencoba untuk mendaki.

Mereka adalah orang yang memilih untuk keluar, menghindari kewajiban, mundur dan berhenti. Mereka menolak kesempatan untuk mendaki. Mereka mengabaikan, menutupi atau meninggalkan dorongan inti yang manusiawi untuk mendaki dan dengan demikian juga meninggalkan banyak hal yang ditawarkan oleh kehidupan.

b. Camper

Camper adalah orang-orang yang pergi untuk mendaki tetapi tidak

seberapa jauh mereka berhenti dan memilih untuk menetap di situ dan tidak meneruskan pendakiannya karena telah merasa nyaman, aman dan mungkin takut akan hal yang terjadi jika mereka terus mendaki.

c. Climber

Climber merupakan orang-orang yang seumur hidup digunakan untuk

(32)

4. Faktor-Faktor Pendukung Kesuksesan

Dalam menggambarkan faktor-faktor yang mendukung kesuksesan seseorang, Stoltz (2000) mengibaratkannya dengan sebuah pohon.

a. Daun: Kinerja

Daun diibaratkan dengan kinerja karena merujuk pada bagian yang paling mudah terlihat oleh orang lain. Daun adalah bagian yang terlihat dari pohon. Pada kesuksesan seseorang, bagian yang dapat dilihat adalah kinerjanya. Kinerja adalah bagian yang paling sering dievaluasi atau dinilai, baik itu yang berhubungan dengan pendidikan, pekerjaan, hubungan interpersonal ataupun hubungan dengan lingkungan. Namun, kinerja seseorang tidak muncul begitu saja, daun harus tumbuh di cabang pohon.

b. Cabang: Bakat dan Kemauan

Cabang pertama merujuk pada apa yang disebut faktor simpulan (resume

factor). Simpulan menggambarkan keterampilan, kompetensi, pengalaman dan

(33)

c. Batang: Kecerdasan, Kesehatan dan Karakter

Pada awalnya banyak orang mengartikan kecerdasan sebagai hasil pengukuran suatu tes semacam IQ, GPA atau SAT. Howard Gardner, seorang profesor psikologi di Harvard University adalah satu di antara banyak peneliti yang memperluas pengertian kecerdasan dengan menunjukan bahwa kecerdasan mempunyai tujuh bentuk yaitu linguistik, kinestetik, spasial, logika matematis, musik, interpersonal dan intrapersonal.

Kesehatan emosi dan fisik juga dapat mempengaruhi kemampuan seseorang dalam menggapai kesuksesan. Jika seseorang sakit, penyakit akan mengalihkan perhatiannya dari gunung yang sedang didakinya. Pendakian itu menjadi sekadar perjuangan hari demi hari untuk bertahan hidup. Sebaliknya emosi dan fisik yang sehat dapat sangat membantu pendakian seseorang. Karakter seperti kejujuran, keadilan, kelurusan hati, kebijaksanaan, kebaikan, keberanian dan kedermawanan, semuanya penting bagi seseorang untuk meraih kesuksesan.

d. Akar: Genetika, Pendidikan dan Keyakinan

Semua faktor yang ada seperti kinerja, bakat, kemauan, kecerdasan, kesehatan dan karakter penting bagi kesuksesan, tapi tak satupun dari faktor tersebut bisa tumbuh tanpa faktor akar, yaitu genetika, pendidikan dan keyakinan. Meskipun warisan genetis tidak akan menentukan nasib seseorang, namun berdasarkan penelitian yang telah ada ternyata menunjukkan genetika berpengaruh terhadap perilaku seseorang.

(34)

watak, keterampilan, hasrat dan kinerja yang dihasilkan. Faktor akar yang ketiga adalah keyakinan, seseorang yang sukses mutlak harus memiliki keyakinan diri.

B. KEBUDAYAAN

Menurut Koentjaraningrat (dalam Simanjuntak, 2009) banyak definisi tentang kebudayaan yang telah diajukan oleh para ahli antropologi, sosiologi, sejarah, filsafat dan kesusasteraan. Bahkan ada sekitar 160 rumusan definisi kebudayaan menurut hasil studi Kluckhohn dan Kroeber (dalam Simanjuntak, 2009). Definisi kebudayaan menurut Kluchohn adalah (1) keseluruhaan cara hidup manusia; (2) warisan sosial yang diperoleh setiap orang dari kelompoknya; (3) cara berpikir, merasakan dan kepercayaan; (4) suatu abstraksi tingkah laku; (5) suatu teori di bidang antropologi tentang cara satu kelompok bertingkah laku secara nyata; (6) gudang terhadap pelajaran yang dikumpulkan; (7) suatu orientasi yang baku terhadap masalah yang sering terjadi; (8) tingkah laku yang dipelajari; (9) suatu mekanisme peraturan tingkah laku; (10) suatu teknik penyesuaian baik terhadap lingkungan eksternal maupun kepada orang lain; (11) suatu endapan sejarah.

(35)

dari keduanya yang merangkai sejarah suatu bangsa atau suku bangsa. Oleh karena itu, kedudukan peranan nilai dan sistem budaya menjadi hal yang penting. Menurut Koentjaraningrat (dalam Simanjuntak, 2009) konsep nilai budaya ialah konsep yang hidup dalam alam pikiran warga masyarakat yang dipandang bernilai, berharga dan penting sehingga mampu berfungsi sebagai pedoman arah dan orientasi bagi kehidupan warga masyarakat. Ogburn dan Nimkoff (dalam Simanjuntak, 2009) mengemukkan bahwa di dalam masyarakat terdapat sejumlah nilai yang berkaitan satu sama lain sehingga membentuk suatu sistem. Sistem tersebut seperti dikatakan Koentjaranigrat menjadi pedoman dan pendorong dalam menata kehidupan warga masyarakat.

Menurut Koentjaraningrat (dalam Simanjuntak, 2009) nilai budaya ialah nilai yang dikandung oleh suatu kebudayaan dan unsur-unsurnya yang membedakannya dari kebudayaan lain. Nilai budaya merupakan tingkat tertinggi dan abstrak dari adat-istiadat serta memberikan ciri dan karakter bangsa, suku bangsa bahkan kelompok-kelompok masyarakat. Dengan demikian ada perbedaan nilai dan sistem budaya dalam setiap kebudayaan. Nilai budaya tersebut meresapi hidup anggota masyarakat sejak dini sehingga mengakar di dalam jiwa. Nilai budaya yang terdapat dalam suatu kebudayaan tidak dapat diganti begitu saja dalam waktu singkat dengan nilai budaya lain.

(36)

1. Budaya Batak Toba

Suku bangsa Batak terdiri atas enam sub bagian, yaitu Toba, Karo, Simalungun, Pakpak, Angkola dan Mandailing. Di antara ke enam sub suku tersebut terdapat persamaan bahasa dan budaya. Walaupun demikian terdapat pula perbedaannya, misalnya dalam hal dialek, tulisan, istilah-istilah dan beberapa adat kebiasaan. Struktur sosial ke enam sub suku tersebut pada dasarnya sama, yakni terdiri dari tiga unsur utama. Pada sub suku Batak Toba dinamakan dalihan na tolu yang terdiri dari hulahula (sumber istri), dongan tubu (saudara semarga) dan

boru (penerima istri). Ketiga unsur sosial itu terdapat pada semua sub suku

dengan istilah yang sedikit berbeda, namun fungsi ketiganya sama (Simanjuntak, 2009).

(37)

a. Mardebata = Punya Tuhan

Orang Batak sangat taat dan takwa kepada Debata Mulajadi Nabolon

(Tuhan). Orang Batak selalu memperlihatkan hubungan yang dalam kepada Maha Pencipta. Sejak zaman dahulu kala, nenek moyang orang Batak mempunyai tradisi martonggo (berdoa) dalam setiap memulai dan mengakhiri suatu acara adat dan acara-acara lainnya yang dapat memberikan kenyamanan dan kebaikan bagi orang Batak dalam suatu acara atau pesta yang akan dilaksanakan.

b. Marpinompar = Punya Keturunan

Orang Batak sangat peduli pada keturunan, terutama anak laki-laki, agar silsilah atau torombo tidak terputus dan tetap berkesinambungan. Oleh sebab itu, orang Batak yang belum punya anak laki-laki masih belum dianggap memiliki

hagabeon (lengkap punya anak laki-laki dan perempuan), walaupun sudah

memiliki hasangapon (terpandang) di masyarakat dan memiliki hamoraon (punya harta).

c. Martutur = Punya Kekerabatan

Bagi masyarakat keturunan Batak, kekerabatan berdasarkan Dalihan

Natolu merupakan suatu keharusan dan dilaksanakan dengan komitmen. Bila ada

orang yang tidak paham lagi posisinya pada generasi ke berapa dalam silsilah marga, maka dia dianggap tidak paham partuturan (kekerabatan). Martutur

(38)

duka merupakan konsepsi sistem dalam keluarga menjalankan/melakonkan

Dalihan Natolu.

Setiap pertemuan, orang Batak selalu tampak dan mudah akrab berdasarkan partuturan (kekerabatan). Contohnya keturunan Parna, yakni kelompok Nai Ambaton yang baru saling kenal tampak seperti kakak/adik kandung. Kelompok ini masih teguh dalam pelaksanaan padan (perjanjian) untuk tidak saling beristrikan atau bersuamikan dalam satu marga Parna. Jika ada yang melanggar, maka pasangan yang menikah itu akan dikucilkan. Konon, orang yang semarga membentuk rumah tangga akan mati ditombak/dirajam pada zaman dahulu. Bagi masyarakat Batak (dulu), pernikahan pasangan yang semarga dianggap melanggar adat dan harus dikutuk atau dibinasakan. Bahkan ada yang tidak semarga tidak dapat membentuk keluarga (perkawinan).

d. Maradat = Punya Adat Istiadat

Perkembangan masyarakat dipengaruhi oleh modernisasi hubungan antarmanusia, tanah Batak tidak terisolasi lagi, kian terbuka terhadap nilai-nilai baru yang dibawa oleh kaum kolonialisme Belanda. Orang Batak melaksanakan pernikahan silang dengan suku-suku lainnya di Indonesia. Akan tetapi, keterbukaan tidaklah mengubah total kebiasaan masyarakat Batak. Suatu hal prinsipil yang dipegang oleh orang Batak adalah filosofi Dalihan Natolu.

(39)

cara penguburan orang yang meninggal, mengurus perkawinan, mengatur

gondang (pesta), yang dipelihara dan dihormati sampai sekarang. Dengan filosofi

Dalihan Natolu, masyarakat Batak adalah pelaksana demokrasi sejati, yang tidak

memandang suku, agama, ras, marga, jabatan, pangkat dan harta/status sosial. Semua orang mempunyai kedudukan yang sama dalam lingkup Dalihan Natolu.

e. Marpangkirimon = Punya Pengharapan

Tiga pengharapan atau cita-cita hidup orang Batak, yakni Hagabeon,

Hasangapon, dan Hamoraon yang diusahakan diwujudkan selama hidup.

1) Hagabeon

Orang Batak sangat mendambakan punya keturunan laki-laki dan perempuan agar orang tersebut dapat menyandang gabe. Jika pasangan suami-istri hanya mempunyai anak perempuan, maka keluarga tersebut belum layak disebut gabe, karena tidak punya anak laki-laki.

2) Hasangapon

Cita-cita kedua adalah Hasangapon, artinya berusaha menjadi orang terpandang dan dihormati dalam masyarakat. Dalam hal ini, orang Batak sangat peduli dengan pendidikan anaknya. Walaupun harta tidak punya, asal anaknya bisa sekolah, inilah yang menjadi prinsip bagi orang Batak.

3) Hamoraon

(40)

dipakai untuk mencari hasangapon (terpandang) dengan menyekolahkan anak setinggi-tingginya.

f. Marpatik = Punya Aturan dan Undang-Undang

Patik adalah suatu aturan dan undang-undang dalam masyarakat Batak yang selalu dibarengi dengan nasihat ataupun petuah-petuah, yang dapat membuat orang Batak terikat dan patuh dengan aturan tersebut.

g. Maruhum = Punya Hukum

Hukum dalam adat Batak cenderung untuk meneliti sumber kebenaran dan keadilan serta melihat kesalahan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan hati nurani dan imajinasi.

2. Budaya Jawa

(41)

disebabkan oleh masuknya pengaruh nilai-nilai agama maupun budaya lain (Hadi, 2003).

Dalam masyarakat Jawa, salah satu unsur sistem budaya yang tetap dipertahankan dan diajarkan dari satu generasi ke generasi berikutnya adalah falsafah hidup. Falsafah hidup merupakan anggapan, gagasan dan sikap batin yang paling umum yang dimiliki oleh seseorang atau sekelompok orang (masyarakat). Falsafah hidup menjadi landasan dan memberi makna pada sikap hidup suatu masyarakat. Biasanya falsafah hidup tercermin dalam berbagai ungkapan yang dikenal dalam masyarakat. Secara pasti dapat dikatakan bahwa jarang sekali ditemukan orang Jawa yang tidak mengenal beberapa atau sebagian dari falsafah hidup mereka. Hanya saja, pengalaman hidup yang berbeda dan perubahan tahapan kehidupan telah mengakibatkan berbedanya pemahaman akan falsafah hidup tersebut (Hadi, 2003).

(42)

a. Hakekat Hidup

Pandangan orang Jawa tentang hakekat hidup sangat dipengaruhi oleh pengalamannya di masa lalu dan konsep-konsep religius yang bernuansa mistis. Hakekat hidup ini terlihat pada berbagai falsafah hidup yang menunjukkan sikap pasrah kepada Yang Maha Kuasa. Falsafah hidup masyarakat Jawa sangat dipengaruhi oleh budaya, agama (Hindu dan Islam) dan batas-batas tertentu dipengaruhi pula oleh kondisi geografis wilayahnya.

Banyak falsafah Jawa yang berisi hakekat hidup dan hampir semua orang Jawa mengenal falsafah nrima ing pandum, yang artinya menerima apa yang telah diberikan oleh Tuhan secara apa adanya. Dengan falsafah seperti ini, orang Jawa menganggap hidup harus dijalankan dengan tabah dan pasrah. Mereka harus menerima dengan ikhlas apa-apa yang telah diperolehnya, sebab segala sesuatu sudah diatur oleh Tuhan. Mereka percaya bahwa hidup manusia di dunia ini diatur oleh Yang Maha Kuasa sedemikian rupa, sehingga tidak perlu bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu.

Nrima Ing Pandum selanjutnya diikuti oleh falsafah mawas diri. Artinya,

orang Jawa harus senantiasa melakukan introspeksi terhadap diri sendiri sebagai pedoman dalam cara bertindak. Dengan mawas diri, seseorang akan berusaha agar tindakannya secara moral dapat dibenarkan dan dipertanggung jawabkan. Falsafah ini sering pula digunakan dalam hakekat hubungan manusia dengan sesamanya.

b. Hakekat Kerja

(43)

harus terus berikhtiar dan bekerja. Bagi mereka, bekerja itu memang sudah merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan hidup. Oleh sebab itu, di kalangan masyarakat kelas bawah dikenal falsafah ngupaya upa, yang artinya bekerja hanya untuk mendapatkan makanan. Sebaliknya masyarakat kelas menengah dan atas telah memiliki tujuan dari hakekat kerja, sehingga segala usaha yang dijalankannya selalu dihubungkan dengan hasil yang diharapkan. Falsafah yang banyak dipahami oleh mereka adalah jer basuki mawa beya, yang artinya bekerja merupakan segala sesuatu yang dicita-citakan dan harus disertai dengan usaha yang sungguh-sungguh. Dengan falsafah ini masyarakat Jawa kelas menengah dan atas sudah memahami bahwa untuk mewujudkan cita-cita diperlukan biaya (termasuk pengorbanan dalam bentuk uang). Falsafah lain yang sering dihubungkan dengan hakekat kerja adalah sepi ing pamrih rame ing gawe.

Falsafah ini mengandung arti bahwa setiap orang mau menolong orang lain tanpa mengharap pujian dan imbalan materil.

c. Hakekat Waktu

(44)

terjadi memang sudah ada waton-nya, yakni ketentuan yang memang telah digariskan.

Pada masyarakat Jawa kelas menengah dan kelas atas, falsafah alon-alon

waton kelakon diartikan secara positif yaitu jika mengerjakan sesuatu, seseorang

harus berhati-hati agar hasilnya baik. Dengan demikian, dari falsafah ini muncul pemahaman bahwa harus ada unsur ketelitian, kecermatan dan tahapan rencana dalam melaksanakan suatu pekerjaan agar tercapai hasil yang diinginkan.

Hakekat waktu pada masyarakat Jawa tradisional tercermin dalam kemampuan mereka menghitung waktu yang cocok untuk melaksanakan berbagai kegiatan, atau lebih dikenal dengan sebutan petungan. Di samping itu, hakekat waktu juga berhubungan dengan kemampuan meramalkan berbagai hal yang berkaitan dengan siklus kehidupan maupun watak seseorang, yang oleh masyarakat Jawa disebut pasaran. Penggunaan petungan dan pasaran bertalian dengan kepercayaan bahwa peristiwa masa lalu akan menentukan keberhasilan kegiatan masa mendatang. Dalam masyarakat Jawa yang sudah merasa menjadi masyarakat modern, penggunaan petungan dan pasaran diorientasikan untuk merencanakan atau meramalkan kebutuhan yang akan datang berdasarkan pengalaman masa lampau.

d. Hakekat Hubungan Manusia dengan Sesamanya

(45)

pergaulan masyarakat Jawa adalah rukun dan hormat. Dengan memegang teguh prinsip rukun dalam berhubungan dengan sesama, maka tidak akan terjadi konflik. Sedangkan prinsip hormat membuat seseorang akan berbicara dan membawa dirinya sesuai dengan derajat dan kedudukannya.

Falsafah budaya Jawa yang menyinggung hakekat hubungan manusia dengan sesamanya antara lain adalah aja dumeh (jangan sok) dan tepa salira

(tenggang rasa). Meskipun tampak sederhana, aja dumeh mengandung makna yang mendalam. Falsafah ini digunakan untuk memperingatkan seseorang agar jangan berperilaku aji mumpung, jangan berbuat sewenang-wenang sekehendak hati sehingga lupa diri dan jangan mamandang rendah orang lain agar hubungan baik dengan sesamanya tetap terjaga. Sedangkan tepa salira secara sederhana diartikan sebagai perilaku seseorang yang mampu memahami perasaan orang lain. Dengan demikian, seseorang tidak akan bertindak sewenang-wenang jika ia menjadi pemimpin.

e. Hakekat Hubungan Manusia dengan Alam Sekitarnya

Hakekat hubungan manusia dengan alam sekitarnya tidak terlepas dari pandangan hidup masyarakat Jawa yang mengharuskan manusia mengusahakan keselamatan dunia beserta segala isinya agar tetap terpelihara dan harmonis. Hakekat ini diimplementasikan antara lain melalui falsafah memayu hayuning

bawana. Pada masyarakat Jawa tradisional (umumnya kelas bawah), falsafah ini

(46)

pemahaman bahwa manusia harus dapat memelihara perdamaian dunia agar bebas dari rasa ketakutan, kemiskinan, kelaparan, kekurangan dan peperangan. Falsafah tersebut juga mengajarkan manusia agar memiliki budi pekerti yang luhur, sehingga dunia menjadi aman dan tenteram.

Falsafah Jawa lainnya yang berkaitan dengan hakekat hubungan manusia dengan alamnya adalah gugontuhon. Falsafah ini mengandung makna bahwa untuk mencapai suatu tujuan, kita harus berhati-hati dan selalu memohon kepada Tuhan agar segala selalu yang dilakukan dapat tercapai tanpa aral melintang. Namun demikian, dalam praktiknya gugontuhon lebih banyak menggambarkan kepercayaan orang Jawa pada takhayul dan magis yang seringkali ditandai dengan pemikiran-pemikiran tidak logis.

C. KEWIRAUSAHAAN

1. Pengertian Kewirausahaan

(47)

dengan seorang wirausahawan adalah orang-orang memiliki kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber daya - sumber daya yang dibutuhkan untuk mengambil tindakan yang tepat, mengambil keuntungan serta memiliki sifat, watak dan kemauan untuk mewujudkan gagasan inovatif ke dalam dunia nyata secara kreatif dalam rangka meraih sukses/meningkatkan pendapatan. Sedangkan menurut KBBI (Kamus Besar

Bahasa Indonesia) mendefinisikan wirausahawan sebagai “orang yang pandai atau

berbakat mengenali produk baru, menyusun cara baru dalam berproduksi, menyusun operasi untuk pengadaan produk baru, mengatur permodalan operasinya, serta memasarkannya (Soetadi, 2010).

Sebenarnya definisi wirausahawan bervariasi. Ada beberapa tokoh wirausaha yang mendefinisikan wirausahawan sebagai berikut:

a. Dan Steinhoff dan John F. Burgess mengatakan bahwa wirausahawan adalah orang yang mengorganisir, mengelola dan berani menanggung resiko untuk menciptakan usaha baru dan peluang berusaha

b. Rambat Lupiyoadi dan Jero Wacik mendefinisikan bahwa wirausahawan adalah orang yang melaksanakan proses penciptaan kekayaan dan nilai tambah melalui peneloran dan penetasan gagasan, memadukan sumber daya dan merealisasikan gagasan tersebut menjadi kenyataan

(48)

wawasan serta pola pikir dan pola tindak seseorang terhadap tugas-tugas yang menjadi tanggung jawabnya dan selalu berorientasi kepada pelanggan. Seorang wirausahawan juga adalah seseorang yang menciptakan usaha baru dan siap dengan resiko dan ketidakpastian di dalam tujuannya meraih keuntungan dan perkembangan dengan memidentifikasi kesempatan-kesempatan dan menjadikan sumber daya-sumber daya yang diperlukan untuk dijadikan modal di dalam memanfaatkan kesempatan-kesempatan yang ada. Sedangkan wirausaha juga adalah mereka yang mendirikan, mengelola, mengembangkan, dan melembagakan perusahaan miliknya sendiri dan bisa menciptakan kerja bagi orang lain dengan berswadaya (Soetadi, 2010).

2. Sifat-Sifat Wirausaha

Dari berbagai penelitian yang ada ditemukan sembilan belas sifat penting wirausaha yang diperoleh dari tujuh penelitian yang pernah dilakukan. Menurut Hutagalung dan Situmorang (2008) kesembilan belas sifat itu dikelompokkan menjadi enam sifat unggul , sebagai berikut:

a. Percaya diri, seorang wirausaha haruslah memiliki sifat percaya diri yang tercermin dari:

(49)

2) Mandiri: tidak mengandalkan dan bergantung pada orang lain atau keluarga.

3) Kepemimpinan dan dinamis: seorang wirausaha harus mampu bertanggung jawab terhadap segala aktivitas yang dijalankannya, baik sekarang maupun yang akan datang. Tanggung jawab seorang pengusaha tidak hanya pada material, tetapi juga moral kepada berbagai pihak.

b. Originalitas, seorang wirausaha haruslah memiliki sifat originalitas yang tercermin dari:

1) Kreatif: mampu mengembangkan ide-ide baru dan menemukan cara-cara baru dalam memecahkan persoalan

2) Inovatif: mampu melakukan sesuatu yang baru yang belum dilakukan banyak orang sebagai nilai tambah keunggulan bersaing

3) Inisiatif/proaktif: mampu mengerjakan banyak hal dengan baik dan memiliki pengetahuan. Inisiatif dan selalu proaktif. Ini merupakan ciri mendasar dimana pengusaha tidak hanya menunggu sesuatu terjadi, tetap terlebih dahulu memulai dan mencari peluang sebagai pelopor dalam berbagai kegiatan c. Berorientasi manusia, terdiri dari:

(50)

dengan usaha yang dijalankan atau tidak. Hubungan baik yang perlu dijalankan antara lain kepada para pelanggan, pemerintah, pemasok serta masyarakat luas.

2) Komitmen: komitmen pada berbagai pihak merupakan ciri yang harus dipegang teguh dan harus ditepati. Komitmen untuk melakukan sesuatu memang merupakan kewajiban untuk segera ditepati dan direalisasikan

3) Responsif terhadap saran/kritik: menganggap saran dan kritik adalah dasar untuk mencapai kemajuan. Saran dan kritik yang masuk di respon dengan baik untuk memperbaiki pelayanan kepada pelanggan, proses bisnis dan efisiensi perusahaan d. Berorientasi hasil kerja, terdiri dari sifat:

1) Ingin berprestasi, kemauan untuk terus maju dan mengembangkan usaha. IQ dan EQ tidak cukup untuk memprediksi keberhasilan. Dibutuhkan AQ (Adversity

Quotient) yaitu tingkat ketahanan terhadap hambatan-hambatan

yang ditemuinya dalam mencapai keberhasilan.

2) Berorientasi keuntungan, semua cara dan usaha yang dilakukan harus mendatangkan profit, karena bisnis tidak akan bisa bertahan dan berkembang jika tidak ada profit

(51)

kerjanya. Benaknya selalu memikirkan kemajuan usahanya. Ide-ide baru selalu mendorongnya untuk bekerja keras merealisasikannya. Tidak ada kata sulit dan tidak ada masalah yang tidak dapat diselesaikan

4) Penuh semangat dan energi. Melakukan semua aktivitas dengan semangat untuk keberhasilan

e. Berorientasi masa depan, terdiri dari sifat:

1) Pandangan ke depan, ketajaman persepsi. Untuk itu wirausaha harus memiliki visi dan tujuan yang jelas. Hal ini berfungsi untuk menebak ke mana langkah dan arah yang dituju sehingga dapat diketahui apa yang akan dilakukan oleh pengusaha tersebut

2) Berorientasi pada prestasi. Pengusaha yang sukses selalu mengejar prestasi yang lebih baik daripada prestasi sebelumnya. Mutu produk, pelayanan yang diberikan serta kepuasan pelanggan menjadi perhatian utama. Setiap waktu segala aktivitas usaha yang dijalankan selalu dievaluasi dan harus lebih baik dibanding sebelumnya

(52)

3. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keberhasilan Usaha

Menurut Hutagalung dan Situmorang (2008) terdapat faktor-faktor yang mempengaruhi keberhasilan usaha yaitu motivasi, usia, pengalaman dan pendidikan.

a. Motivasi

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Center for Entrepreneurial Research

menemukan 69% siswa menengah atas ingin mulai menjalankan usaha mereka sendiri. Motivasi utamanya adalah be their own boses.

b. Usia

Ronstandt menyatakan bahwa kebanyakan wirausaha memulai usahanya antara usia 25-30 tahun. Sementara Staw mengungkapkan bahwa umumnya pria memulai usaha sendiri ketika berumur 30 tahun dan wanita pada usia 35 tahun. Hurlock berpendapat bahwa perkembangan karir berjalan seiring dengan perkembangan manusia. Setiap kelompok manusia memiliki ciri-ciri khas bila dikaitkan dengan perkembangan karir.

(53)

c. Pengalaman

Staw berpendapat bahwa pengalaman dalam menjalankan usaha merupakan prediktor terbaik bagi keberhasilan, terutama bila bisnis baru itu berkaitan dengan pengalaman bisnis sebelumnya. Menurut Hisrich & Brush wirausaha yang memiliki usaha maju saat ini bukanlah usaha pertama kali yang dimiliki. Pengalaman mengelola usaha bisa diperoleh sejak kecil karena pengasuhan yang diberikan oleh orang tua yang berprofesi sebagai wirausaha.

d. Pendidikan

Pendidikan merupakan syarat keberhasilan bagi seorang wirausaha. Tingkat pendidikan rata-rata wirausaha adalah pendidikan menengah atas. Pendidikan merupakan salah satu faktor yang menunjang keberhasilan usaha skala kecil, dengan asumsi bahwa pendidikan yang lebih baik akan memberikan pengetahuan yang lebih baik dalam mengelola usaha.

D. PERBEDAAN ADVERSITY QUOTIENT PADA WIRAUSAHA ETNIS BATAK TOBA DAN JAWA

Kewirausahaan pada dasarnya untuk semua orang karena hal itu dapat dipelajari. Peter F. Drucker (dalam Purnomo, 2011) misalnya, pernah menulis dalam Innovation and Entrepremeurship bahwa, “Setiap orang yang memiliki keberanian untuk mengambil keputusan dapat belajar menjadi wirausaha dan

berperilaku seperti wirausaha”. Sebab kewirausahaan lebih merupakan perilaku

daripada gejala kepribadian, yang dasarnya terletak pada konsep dan teori, bukan

(54)

oleh siapapun juga. Sepanjang kita bersedia membuka hati dan pikiran untuk belajar, maka kesempatan untuk menjadi wirausaha tetap terbuka. Sepanjang kita sadar bahwa belajar pada hakekatnya merupakan suatu proses yang berkelanjutan, yang tidak perlu berarti dimulai dan berakhir di sekolah atau universitas tertentu, tetapi dapat dilakukan seumur hidup, dimana saja dan kapan saja, maka belajar berwirausaha dapat dilakukan oleh siapa saja. Kewirausahaan adalah untuk semua orang. Pandangan yang diyakini sebagian orang Indonesia bahwa hanya orang yang berdarah Tionghoa saja yang dapat berwirausaha tidaklah benar. Sebab dengan demikian bagaimana menjelaskan keberhasilan orang Aceh, Batak, Minangkabau dan pribumi lainnya yang juga sukses berwirausaha.

(55)

mudah akrab berdasarkan pertuturannya (Tinambunan, 2010). Sifat suka bergaul dengan orang lain sangat dibutuhkan untuk menjadi wirausahawan karena mereka dituntut untuk mampu mengembangkan dan memelihara hubungan yang baik dengan berbagai pihak, baik yang berhubungan langsung dengan usaha yang dijalankan maupun yang tidak. Hubungan yang baik perlu dijalankan antara lain kepada para pelanggan, pemerintah, pemasok serta masyarakat luas (Hutagalung dan Situmorang, 2008).

Dunia kewirausahaan memiliki banyak tantangan dan hambatan yang akan dihadapi. Kemungkinan gagal dalam berwirausaha adalah ancaman yang selalu ada bagi wirausaha dan tidak ada jaminan kesuksesan. Sehingga seorang wirausahawan membutuhkan adversity quotient untuk mencapai keberhasilannya. Menurut Stoltz (2000) adversity quotient (AQ) merupakan sikap mental yang berupa kemampuan seseorang untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan dan mengatasinya sehingga dapat terus bertahan untuk mencapai kesuksesan pada pekerjaan dan hidup. AQ memiliki empat dimensi yaitu control, origin &

ownership, reach dan endurance.

(56)

karakter masing-masing budaya pada dimensi-dimensi yang membentuk AQ yaitu

control, origin & ownership, reach dan endurance. Karakter yang dimiliki oleh

masing-masing budaya adalah berbeda. Pewarisan kultur genetis suatu bangsa dapat menjadi alasan mengapa suku atau bangsa tertentu memiliki karakter yang berbeda. Perbedaan ini bukan semata-mata terjadi karena perbedaan iklim dan geografis tempat pribadi hidup, melainkan pola perilaku, sifat, temperamen, perangai bisa memiliki kesamaan yang membedakannya dengan suku atau bangsa lain (Koesoema, 2007).

(57)

tinggi dan berhasil meraih “gelar sarjana”. Sehingga banyak orang Batak Toba

yang berhasil menyekolahkan anaknya walaupun kehidupan mereka cukup sederhana. Misalnya saja, seorang Ibu Batak Toba berperan sangat dominan dan bersedia untuk memberikan segalanya (berkorban) untuk keberhasilan anak-anaknya. Ia tidak memperdulikan penampilan, sambil mengasuh anak mencangkul sawah, mengerjakan rumah tangga sehari-hari dan rela hanya makan ikan asin sementara anaknya makan ikan basah. Bila suami sudah meninggal pada umumnya mereka tidak menikah lagi. Hal ini menggambarkan bahwa orang Batak Toba gigih dan berusaha keras untuk menjalankan kehidupan ini (Irmawati, 2007).

Sedangkan orang Jawa dalam menjalankan hidup menganggap hidup harus dijalankan dengan tabah dan pasrah. Mereka harus menerima dengan ikhlas apa yang telah diberikan oleh Tuhan secara apa adanya. Mereka juga percaya bahwa hidup manusia di dunia ini diatur oleh Yang Maha Kuasa sedemikian rupa, sehingga tidak perlu bekerja keras untuk mendapatkan sesuatu. Misalnya pada masyarakat Jawa kelas bawah yang tinggal di pedesaan maupun perkotaan menganggap bekerja hanya untuk mendapatkan makanan. Bekerja memang sudah merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan hidup. Mereka tidak memikirkan hal lain seperti pendidikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa orang Batak Toba memiliki kendali untuk menghadapi kesulitan dibandingkan orang Jawa (Hadi, 2003).

(58)

sejauh manakah seseorang mengakui akibat kesulitan tersebut. Semakin tinggi skor origin seseorang, semakin besar kecenderungan seseorang untuk menganggap sumber kesulitan berasal dari orang lain atau luar dan menempatkan peran sendiri pada tempat yang sewajarnya. Semakin tinggi skor ownership

seseorang, semakin besar seseorang mengakui akibat-akibat dari suatu perbuatan, apa pun penyebabnya (Stoltz, 2000). Dimensi ini berkaitan dengan keterbukaan diri yang dimiliki oleh seseorang. Individu yang memiliki keterbukaan diri akan mampu mengatasi masalah atau kesulitan, khususnya perasaan bersalah melalui pengungkapan diri. Individu menjadi lebih siap untuk mengatasi perasaan bersalah dengan mengungkapkan perasaan dan menerima dukungan (Devito, 1997). Orang Batak cenderung memiliki origin dan ownership yang lebih tinggi dibandingkan orang Jawa. Menurut Suseno dan Reksusilo (Gainau, 2009) menyatakan bahwa dalam budaya Jawa seorang anak sejak kecil telah dilatih untuk berafiliasi dan konformis, lebih-lebih pada anak perempuan yang dituntut untuk bersikap pasif, menerima apa adanya dan pasrah. Disamping itu ada prinsip hidup yang dipegang oleh masyarakat Jawa yang paling menentukan pola pergaulan yakni prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Hal inilah yang menyebabkan rendahnya keterbukaan diri orang Jawa khususnya pada perempuan. Budaya Jawa juga mengajarkan untuk melakukan pengekangan. Orang Jawa tidak mengungkapkan pikiran perasaan apa adanya kepada orang lain. Sedangkan menurut Tarigan (Gainau, 2009) orang Batak lebih terbuka.

(59)
(60)

merupakan suatu keharusan untuk mempertahankan hidup. Oleh sebab itu, di kalangan masyarakat kelas bawah dikenal falsafah ngupaya upa, yang artinya bekerja hanya untuk mendapatkan makanan. Hal ini berarti dengan kesulitan ekonomi yang mereka miliki, mereka hanya memikirkan segala sesuatunya untuk mendapatkan makanan. Mereka tidak memikirkan hal lain yang juga lebih berguna seperti pendidikan (Hadi, 2003).

Dimensi keempat AQ adalah endurance. Dimensi ini mempertanyakan seberapa lama kesulitan dan penyebab kesulitan akan berlangsung. Individu yang cepat menyerah terhadap kesulitan berarti menganggap kesulitan akan berlangsung lama (Stoltz, 2000). Jika dikaitkan dengan budaya Batak Toba dan Jawa, maka dapat dikatakan orang Batak Toba cenderung memiliki endurance

yang lebih tinggi dibandingkan orang Jawa. Hal ini dapat dilihat dari sifat orang Jawa yang lebih cepat menyerah (Hadi, 2003). Sedangkan orang Batak Toba tidak gampang menyerah (Tinambunan, 2010).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti berasumsi bahwa orang Batak Toba memiliki adversity quotient yang lebih tinggi dibandingkan orang Jawa. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan orang Batak Toba yang memiliki control, origin

& ownership, reach dan endurance yang lebih tinggi dibandingkan orang Jawa.

E. HIPOTESIS

(61)

BAB III

METODE PENELITIAN

Pendekatan penelitian yang digunakan adalah pendekatan penelitian kuantitatif. Penelitian kuantitatif menekankan analisisnya pada data-data numerikal (angka) yang diolah dengan metode statistika. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian komparatif. Penelitian komparatif adalah penelitian yang bersifat membandingkan dua variabel atau lebih (Azwar, 1998).

A. IDENTIFIKASI VARIABEL PENELITIAN

Untuk dapat menguji hipotesa penelitian, terlebih dahulu perlu diidentifikasikan variabel-variabel penelitian. Variabel yang dipakai dalam penelitian ini adalah:

Variabel tergantung : adversity quotient

Variabel bebas : wirausahawan Batak Toba dan Jawa

B. DEFINISI OPERASIONAL VARIABEL PENELITIAN

Definisi operasional adalah definisi yang didasarkan atas sifat-sifat hal yang didefinisikan yang dapat diamati atau diobservasi (Suryabrata, 2002). Definisi operasional variabel-variabel dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Adversity Quotient

Adversity quotient (AQ) adalah kemampuan seseorang untuk menghadapi

(62)

skala adversity quotient yang disusun berdasarkan dimensi-dimensi AQ menurut Stoltz (2000) yaitu control, origin & ownership, reach dan endurance. Skor total dari skala menunjukkan kemampuan seseorang untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan dan mengatasinya.

Skor yang tinggi mengidentifikasikan kemampuan seseorang yang tinggi untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan. Sedangkan skor rendah mengidentifikasikan kemampuan seseorang yang rendah untuk bertahan dalam menghadapi kesulitan.

2. Wirausahawan Batak Toba dan Jawa

Wirausahawan Batak Toba dan etnis Jawa adalah orang yang berlatar belakang budaya Batak Toba dan Jawa yang mempunyai suatu bentuk usaha. Untuk mengetahui apakah seorang wirausahawan berlatarbelakang budaya Batak Toba atau Jawa, peneliti akan menanyakan secara langsung kepada wirausahawan tersebut untuk mengetahui apakah mereka termasuk orang Batak Toba atau Jawa.

C. POPULASI DAN METODE PENGAMBILAN SAMPEL 1. Populasi dan Sampel

Gambar

Tabel 1. Distribusi Aitem-Aitem Skala Adversity Quotient Sebelum Uji Coba
Tabel 2. Distribusi Aitem-Aitem Skala Adversity Quotient Sebelum Uji Coba
Tabel 3. Distribusi Aitem-Aitem Skala Adversity Quotient Yang Digunakan Saat Penelitian
Tabel 4. Penyebaran Wirausahawan Batak Toba Berdasarkan Jenis
+7

Referensi

Dokumen terkait

Secara keseluruhan dapat dilihat pada tabel 4.2 bahwa nilai total mean pelecehan seksual laki-laki jauh lebih tinggi dibandingkan dengan nilai mean perempuan,

memberikan pengaruh yang baik terhadap pertumbuhan kedelai. Hal ini dapat dilihat bahwa tanaman yang diinokulasi rata-rata hasilnya cenderung lebih tinggi apabila dibandingkan

Dilihat dari nilai adjusted R square menunjukkan bahwa nilai adjusted R square yang dimiliki metode akuntansi persediaan rata- rata lebih tinggi dibandingkan dengan

Menurut anda, perlukah seseorang memiliki daya juang yang tinggi untuk dapat bekerla dengan baik di dunia kerja yang professional ?.. Rtr'rcr tvnn.tncl .r 'ihLrn ocln

Hal ini juga dapat dilihat dari nilai rata-rata posttest lebih besar dibandingkan nilai rata-rata pretest , sehingga dapat disimpulan bahwa terdapat pengaruh Board

Bila dilihat secara nilai, nilai variabel ketahanan pangan pada daerah penelitian lebih tinggi dibandingkan nilai ketahanan pangan rata-rata untuk wilayah Provinsi

Rata-rata hitung indikator kopi LUWAK WHITE KOFFIE harga jual yang tinggi sebesar 3,63 jika dibandingkan dengan 3 (cukup baik) maka nilai rata-rata skor kopi LUWAK

Hal ini juga dapat dilihat dari nilai rata-rata posttest lebih besar dibandingkan nilai rata-rata pretest , sehingga dapat disimpulan bahwa terdapat pengaruh Board